Menu
Irfan Afifi
Deskripsi gambar
Bilik
Irfan Afifi
Pendiri Langgar.co sebuah laboratium pemikiran, kajian, dan ruang kreatif penciptaan pada isu-isu kebudayaan dan keindonesiaan.
Semua Tulisan Langgar

Berbekal cerita lisan dan salinan buku Kudus yang ditulis oleh sejarawan Jawa Tengah, Amen Budiman, saya berangkat ke kota masyhur ini. Dari kalimat demi kalimat buku tanpa titimangsa itu lamat-lamat tampak betapa Kudus adalah alamat kisah-kisah kanon legendaris: konon yang sukar ditampik.

Meskipoen Koedoes itoe ada satoe kota afdeeling ketjil, toch di antero Midden Java ia ada jang paling terkenal sendiri dalem kalangan banjaknja orang Indonesier hartawan dan dalem kalangan ke-igama-an Islam.” – “Poen Koedoes djadi terkenal lantaran productie roko kreteknja. Tjobalah pembatja tjari satoe kota, dimana berdiam sedikitnja 20 orang millioenairs, dan poeloehan lagi tonnairs? Tjoba pembatja tjari lagi kota, dimana ada lebih dari 200 mesdjit, dan banjak pendoedoeknja jang sama apal Qoeran?[1]

Suatu etos kerja dan perilaku yang khas. Jejak-jejak temu-aruh budaya yang tua itu hidup berumur panjang. Keberadaan Masjid Menara Kudus, misalnya. Kehadiran Museum Kretek, contoh yang lain lagi.

Tetapi, tujuan kedatangan saya kali ini tidak semata-mata ke pusat Kota Kudus, melainkan ke Kampung Budaya Piji Wetan di kaki Gunung Muria.

Citra Lain Desa

Jika desa kerap dipandang seakan-akan berada dalam kondisi gelap dan tertinggal, tidak kelihatan—keberadaannya di pinggir; menjadi saksi, bukan yang disaksikan—pemandangan berbeda terjadi di Dusun Piji Wetan, Desa Lau, Kecamatan Dawe. Ada suatu kesadaran atas kenyataan yang selama ini tumbuh mekar secara alamiah bahwa desa adalah tempat produksi pengetahuan dan kebudayaan. Dengan alur yang pendek, pengetahuan yang lempang itu direproduksi menjadi beragam karya seni visual yang dapat dilihat dari segi wacana juga dari segi estetik—andaikata itu yang dikehendaki.

Desa tidak saja mawa cara, namun juga mawa acara dan mawa wicara. Desa punya adat, desa punya peristiwa, desa punya cerita!

Dikemas dalam program Residensi dan Pameran Tapa Ngeli: Muria, Santri, Kretek yang diselenggarakan oleh Kampung Budaya Piji Wetan (KBPW), sebuah proses belajar tentang ekologi budaya dan tradisi terjalin antara seniman, warga, maupun alam. Melalui tangan dingin Karen Hardini selaku kurator residensi dan pameran tersebut, 15 seniman dan kolektif multidisiplin asal Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta saling silang gagasan dan estetika di sini. Dalam praktik residensi, para seniman bergerak dan bekerja menelusuri arus besar dan arus kecil Kudus, lalu mengartikulasikannya menjadi karya, dan dipamerkan. Nilai-nilai rural yang semula dianggap sakral atau yang nyaris tidak dikenal, dikesankan kembali secara luwes sehingga memiliki probabilitas untuk dikelola lebih jauh di kemudian hari.

Seakan tidak ada yang lapuk dari masa lalu—ketetapan yang coba dipertahankan—ketika tersaji kembali secara visual, baik orisinal maupun artifisial. Kiranya dengan cara itulah transmisi memori sosial historis berlangsung sebagai sumber petualangan yang sebelumnya dirasa mustahil. Ada yang sedang bertumbuh, ada yang sedang berubah. Dan warga desa hidup di dunia yang dianggap sebagai nyata atau dekat dengan yang nyata. Barangkali demikianlah obsesi.

Dalam hal ini, KBPW tengah menampilkan keadaan desa yang senantiasa punya siasat untuk merebut peristiwa-peristiwa jadi faktual, kontekstual, dan relasional, implementasi dari proses produksi pengetahuan-kebudayaan yang dinamis. Berbeda dengan keadaan kota yang dibangun berjejalan di antara simpang siur jalan raya yang macet: semua serba dipaksakan.

Kehidupan santri dan industri yang menubuh, tumbuh secara organik dalam kehidupan warga Muria-Kudus seturut dengan relasi antara manusia dan alam yang terhubung dalam banyak lini, dalam ritus dan situs, dalam kehidupan keseharian. Di tengah situasi yang demikian itu karya para seniman menunjukkan sesuatu yang bergerak tidak pernah final untuk dileburkan (mungkin juga dikaburkan) dengan kehidupan warga masyarakat dalam tatapan dan pemahaman baru bertumpu pada pengetahuan dan kebudayaan lama. Entitas nilai-nilai lokal itu mbanyu mili, menubuh, terwariskan, meregenerasi hingga masa-masa kemudian tetap tumbuh merebak dan (mencoba) bertahan dengan segenap penyesuaian-penyesuaiannya.

Iring-iringan peristiwa tersebut merupakan keping-keping puzzle yang tengah disusun untuk mewujudkan berdirinya Folktarium Muria: sebuah museum folklor berbasis masyarakat sebagai pusat pembelajaran, pelestarian, dan pengembangan cerita rakyat serta budaya lokal yang hidup di kawasan Muria.

Kudus dalam Tiga Anasir

Muria, santri, dan kretek menjadi motif lambaran segenap aktivitas dalam residensi hingga pameran. Di atasnya ditempatkan hal-hal dalam suatu posisi dan oposisi antara pusat dan pinggir, antara yang utuh dan sebagian, antara yang besar dan kecil, yang sebelumnya terpisah kemudian terhubung, menyatu, dan berkelindan satu sama lain. Melalui praktik residensi seni, para seniman mengalami dan tinggal bersama dengan segenap variabel dari lokus yang ditempatinya.

Sejak semula ada hubungan timbal balik, bahkan menjadi titik balik di sini. Tidak heran jika kemudian yang ditelusuri dan diupayakan hadir ialah arus kecil di kaki Gunung Muria: antara ruang keagamaan yang personal dan komunal, juga ruang industrial khas kawasan pesisir utara Jawa Tengah yang selama ini tidak banyak mendapat lampu sorot ketika membicarakan Kudus.

Dalam Folktarium Muria-Pameran Residensi Tapa Ngeli tampak adanya upaya untuk mempresentasikan sekaligus merepresentasikan pengetahuan warga yang turun-temurun dirawat, yang coba diwariskan; atau yang selama ini telah jadi asing dan terpinggirkan. Seperti juga terjadi di banyak tempat, sudah galib kalau hal-hal yang tumbuh organik dalam kehidupan akan menubuh dan karenanya seakan tidak kasatmata. Untuk itu dibutuhkan ruang sela. Dalam hal ini seniman menjadi mata yang lain, kesadaran baru, tentang tempat tinggal yang mengandung kisah-kisah dengan benang merah yang panjang tiada habis-habisnya.

Istilah tapa ngeli selaras dengan praktik kerja residensi. Seturut dengan itu, orkestrasi tafsir falsafah tapa ngeli pada karya-karya seniman memperlihatkan ‘pergerakan’ terhadap sesuatu yang ajek dengan ‘penolakan’ atau ‘perlawanan’ lewat bentuk baru dan tawaran wacana lain tentang Muria, santri, dan kretek di gigir sejarah besarnya. Yang dieksplor para seniman adalah folklor yang terbit di pinggir konteks global-lokal Muria-Kudus.

Dengan kata lain, residensi singkat itu serupa celah bagi seniman untuk menatap sejarah lain, sejarah warga, asumsi di luar dominasi narasi arus utama yang penuh, yang saklek, yang dogmatik.

Ada seniman yang menatap Kudus dengan kaca cermin, ada yang menggunakan kacamata, ada pula yang menggunakan kaca pembesar. Tidak aneh apabila para seniman justru mengalami residensi di rumah sendiri—mereka yang telah akrab memiliki kesempatan melihat lebih dekat dan berpeluang menemukan sisi lain, mereka yang sebelumnya asing justru menemukan ‘dirinya sendiri’. Kehangatan jalinan interaksi dan kolaborasi antara seniman dan warga semasa residensi menjadi landasan, latar, dan tampak dalam praktik kolaborasi penciptaan karya para seniman. Hasilnya adalah suatu respons ruang, karya yang dipancangkan di tempat tertentu, site-specific, dekat dengan masyarakat dan alam selaku saksi siklus peradaban Muria-Kudus.

Keputusan Karen Hardini selaku kurator untuk menampilkan karya dengan pendekatan site-specific merupakan satu pertimbangan yang terarah dan terukur. Secara lanskap kewilayahan memungkinkan untuk mempresentasikan karya adalah di ruang terbuka, bukan menempelkan karya di dinding sebuah ruang. Dengan demikian interaksi langsung antara seniman, karya, warga, dan audiens melalui lokasi dan konteks keberadaan karya serta narasi atasnya dapat menubuh. Kendati demikian, tentu saja tidak semua karya didesain khusus dan sesuai dengan lokasi keberadaannya. Ada seniman yang menampilkan karya sebagaimana kekhasan karya-karyanya, namun ada pula yang kemudian tampil dengan karya yang seakan bukan dirinya. Hasilnya ada karya yang dibuat untuk lokasi tertentu, ada yang dibuat berdasar narasi lokasi tertentu, namun ada pula karya dengan konteks relasi antara daerah asal seniman dengan Kudus sebagai lokus. Hal tersebut wajar adanya. Sebab, karya-karya yang dihasilkan dari praktik residensi memiliki nalar penciptaan yang berbeda dan menjadi pertaruhan bagi setiap seniman, juga kurator!

Sejarah sebagai Pertanyaan

Menurut rute karya-karya para seniman dalam Folktarium Muria-Pameran Residensi Tapa Ngeli, saya saksikan langkah laku yang bertopang pada peluang, yakni memberi kesempatan pada yang selama ini dianggap kurang atau bahkan tidak berarti, memberi pengertian bahwa yang kecil pun mengandung nilai. Seluk-beluk kampung yang selama ini tidak terjamah justru dibuka untuk dijelajahi beramai-ramai. Baik yang di dalam rumah maupun yang di luar rumah, bersemi sebagai ilmu, motif, konteks, wacana, narasi yang tumbuh bersama menjadi pertanyaan.

Pertanyaan pertama atas sejarah Kudus coba dijawab oleh Lembana Agroecosystem yang notabene adalah para seniman berakar Madura yang berbasis di Yogyakarta. Menghadirkan karya bertajuk “Abhântal Tana Asapo’ Bhâko”, Lembana Agroecosystem menyuguhkan kompleksitas relasi antara Kudus dengan Madura: syiar Islam dan tembakau. Hasilnya adalah seni peristiwa yang memaparkan sejarah panjang relasi keduanya.

Instalasi karya Lembana,Foto Dok. Juwita Wardah.

Di dalam instalasi yang memadupadankan berbagai literatur dan material, Lembana Agroecosystem mencobahadirkan tanah Madura di Kudus. Perjumpaan dan kedekatan antara Madura dan Kudus itulah yang ditawarkan untuk dialami bersama di sebuah ruang yang prasaja. Melalui instalasi visual ingatan dipanjangkan dengan menampilkan rekaman tahlilan, tembakau krosok, alat linting, sarung, hingga terpal biru bergambar lanskap pertanian tembakau. Tidak hanya soal itu, ditampilkan pula satu hal yang kritis agaknya—atau pragmatis: makam palsu, makam artifisial. Diletakkan di los UMKM KBPW, produksi wacana yang diusung Lembana Agroecosystem seakan sedang dipasarkan lewat pameran ini.

            Masih tentang keterhubungan budaya, Umar Farq menghadirkan karya bertajuk “Ambang” untuk menjawab pertanyaan sejarah antara pesisir utara dengan pesisir selatan. Seniman asal Purworejo itu membuat gapura yang tidak utuh dan tampak rawan runtuh. Material batu bata merah segera melontarkan tatapan saya pada keberadaan Menara Kudus: jejak sejarah akulturasi identitas, spiritualitas, dan religiositas. Yang juga menarik untuk dicermati adalah teks dan rajah pada lempeng-lempeng semen di ceruk-ceruk susunan batu-bata yang tugur itu.

Menempatkan “Ambang” di pintasan antara rumah warga dengan pusat aktivitas seni di Piji Wetan seperti meletakkan segenap persoalan yang akan terjadi di setiap momen. Umar Farq—yang juga berlatar pesantren—seakan tengah menampilkan dirinya secara personal juga komunal sebagai yang berasal dari selatan. Pantulan-pantulan atau bahkan tarikan-tarikan hubungan utara dan selatan itu kemudian menampilkan Umar Farq yang lain. Karya hasil residensi ini serong, memotong kompas adat kebiasaan Umar Farq yang identik dengan lukisan kaligrafi di atas kanvas.

            Sejarah yang intim direkonstruksi oleh Jaladara Collectiva bekerja sama dengan ibu-ibu Piji Wetan dengan menghadirkan ruang domestik keluarga menjadi ruang kolektif warga berupa dapur performatif atau instalasi ruang dapur beserta segenap artefak peralatan memasak hingga resep masakannya. “Rewang: Perigi di Balik Panggung Perayaan”, demikian tajuk karya yang dibuat oleh kolektif seniman perempuan asal Jepara ini. Apakah di sini terdapat wacana tentang dapur sebagai tubuh perempuan? Entahlah. Yang pasti, ada memori kolektif di sini. Lebih-lebih karya dari Jaladara ditempatkan pada lokasi yang sudah karib dengan tatapan warga sebagai dapur bersama. Suatu narasi tentang benda-benda milik warga yang sering kali digunakan dalam rewang: peristiwa memasak yang kolosal.  

Syahdan, sebuah belik yang sudah lama terlupakan, yang sejak 2014 kering, tiba-tiba kembali memancarkan mata air. Sebuah keajaiban! Tidak tanggung-tanggung, peristiwa aneh tapi nyata ini segera disambut anak-anak Piji Wetan yang asyik mandi meski air berubah menjadi keruh karenanya. Belik Kendhindhing, di situlah lokasi karya Febri Anugerah bertajuk “Ingatan- Ingatan yang Berkabut” dihadirkan.

Di tengah tegalan memori warga kembali ketika Febri Anugerah memasang relief pohon Kedhindhing yang telah lama tiada. Karya berbahan baku limbah plastik itu ditanam pada gundukan tanah, disertai relief burung-burung yang tersebar di berbagai penjuru. Bentangan sehelai kain transparan serupa kelir kisah menerangkan narasi yang disusun menjadi judul karya.

Karya ini berangkat dan ditempatkan di lokasi yang mengilhaminya. Hubungan antara karya dan lokasi pun terjalin erat. Cerita-cerita lampau itu dinarasikan kembali, bahkan menjadi cerita baru.

            Selanjutnya disajikan sejarah Muria yang ditatap oleh Divasio P. Suryawan dari Lasem. Bertajuk “Tilar Jāti: Dharmaguna kang Lestari”, Divasio P. Suryawan menyajikan kain batik, rokok, dan kopi lelet yang memperlihatkan kehangatan keterlibatan warga Piji Wetan pada karyanya. Cakruk menjadi satu ruang penting bagi masyarakat desa dalam membingkai cerita sejarah kesehariannya. Kisah-kisah itulah yang kemudian dialihmediakan ke dalam helai-helai batik yang dibuat bersama warga. Menjuntai di cakruk, kain batik berwarna indigo—sebagai bentuk tanggung jawab ekologis—memperlihatkan stilisasi motif-motif dari etiket rokok Kudus dan Lasem, juga ilustrasi alih media ke dalam batik foto lama berupa aktivitas melinting rokok, petani tembakau, ibu-ibu membatik, flora fauna Muria, ukiran, ornamen arsitektur vernakular joglo pencu Kudus, dan lanskap panorama Gunung Muria dari berbagai sudut pandang yang disinari matahari—konon ditatapnya dari Pantai Lasem.

Sementara praktik membatik rokok dengan kopi atau nglelet (rokok-rokok itu racikan  warga Piji Wetan, Mbah Gito) menjadi bagian dari aktivisme warga atau siapa saja yang akan mencobanya di cakruk. Secara umum karya ini menampilkan jejak langkah kehidupan keseharian warga desa di Muria, khususnya Piji Wetan, yang senantiasa berhubungan dengan kerja-kerja pelestarian secara organik dan autentik. Kait tarik Lasem dan Kudus, itulah yang hendak digarisbawahi oleh Divasio P. Suryawan dalam narasi visual yang berkelindan dalam batik.

Tetapi bagaimana jadinya jika pepatah petitih ajaran Sunan Muria dihadirkan dalam mural graffiti di tembok-tembok kota? Praktik itulah yang dilakukan Kudus Street Art bersama sejumlah seniman dalam membuat karya bertajuk “Harmoni Lereng Muria”. Mural dan graffiti menghiasi tembok-tembok yang sebelumnya sepi semata di tujuh lokasi yang terpisah-pisah. Sebagai artefak, mural-mural itu dipotong dalam lima buah kanvas, semacam puzzle, dan dipajang di dinding gang Piji Wetan. Mural yang urban itu pun hadir di lingkungan rural.

Nalar ruang publik sejak awal memang sudah menjadi lahan bagi karya mural. Artinya, pendekatan site-specific pada pameran hasil residensi ini adalah ruang lingkup karya-karya Kudus Street Art. Di sini, mural dan graffiti menandai suatu zaman sekaligus mempertebal lambaran masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang sebidang tembok. Oleh karenanya, tidak hanya menjadi ornamen, karya-karya yang dibuat Kudus Street Art menawarkan refleksi yang tidak segera sirna, bahkan ketika pameran telah paripurna.

Lain lagi dengan karya A.O.D.H. yang bertajuk “Widada Nir ing Sambekala”. Sejarah tubuh manusia Kudus, berupa fragmen siklus hidup, ditafsirkan di sebuah kios kosong yang sumuk, pengap, dengan debu merebak mendesak dada. Terdapat sehelai rajah; tikar pandan yang digelar dengan uba rampe sesaji; juga kuali berisi air, alat noise dengan senar silang sengkarut yang menghasilkan bunyi-bunyian aneh: instalasi audio-visual yang perfomatif. Pada dasarnya, yang ditampilkan seniman-seniman asal Kudus ini adalah instalasi resonansi.

Karya dengan judul selarik doa ini menghimpun segenap material riil yang simbolik serta material artistik yang menarasikan satu fase kehidupan ‘manusia Jawa’, yakni mitoni atau usia tujuh bulan kandungan. Dalam ritus, upacara mitoni berhubungan erat dengan air yang dimaknai sebagai sumber kehidupan. Air dalam kuali inilah yang dimainkan dan menghasilkan bunyi dari sensor yang dipasang. Tidak hanya itu, ‘sensor’ juga bekerja untuk ‘menyembunyikan’ sejumlah simbol dalam piranti sesaji sehingga tampak tidak pepak. Kesadaran kolektif atau respons terhadap lubang-lubang yang ada menjadi bagian penting bagi permainan karya A.O.D.H..  

Di tanah lapang sisi simpang jalan, Fitri DK menghadirkan karya bertajuk “Urip Urup” yang terilhami falsafah “Pager Mangkok” ajaran Sunan Muria. Praktik dan pemaknaan gotong royong ala pager mangkok dikembangkan pada empat lembar batik bermotif gunungan hasil bumi yang dibentangkan pada ragangan bambu, tiang, dan tangga di pusatnya memancang. Di sini Fitri DK juga menampilkan bilangan tujuh pada jumlah mangkuk yang disajikannya: tiga mangkuk ditutup cetakan lino bergambar tangan tengadah berisi pohon, tanah, hasil bumi, empat lainnya berisi biji-bijian, umbi-umbian, rempah-jejamuan, dan rajangan tembakau. Kendi tidak lain melambangkan air sebagai sumber kehidupan. Lagi-lagi citra desa yang khas ditampilkan. Citra kehidupan yang harmoni, saling berbagi, saling empati dalam relasi baik sesama manusia maupun hubungannya dengan alam diartikulasikan melalui karya ini. Keberpihakan Fitri DK pada isu-isu sosial dan lingkungan tidak pernah lepas dan menjadi benang merah pada karyanya.

Sementara itu, sejarah tersembunyi di balik tembok industri rokok Kudus dipresentasikan dalam fotografi naratif oleh Budi Kusriyanto. Di satu sisi, karya bertajuk “Bapak dan Brak: Melihat Lebih Dekat” ini menjadi ruang keluarga bagi Budi Kusriyanto bersama sang bapak. Menggunkan screen sablon tilas yang digunakan bapaknya, foto-foto kehidupan wong cilik di sekitar brak pabrik rokok—orang-orang biasa di balik industri raksasa—ditampilkan menjadi gambar-gambar negatif yang terpentang pada rusuk-rusuk gawang di bawah naungan rumpun bambu. Dunia terdekat, atau barangkali dapat disebut jagat kecil, itulah yang ditampilkan seniman asli Kudus ini. Bapak dan dunianya, brak dan dunianya. Estetika karya yang (lagi-lagi) prasaja, tetapi bukan berarti apa adanya.

Masih terasa intimasinya, potongan-potongan kisah, potongan-potongan ingatan, milik warga Piji Wetan dijahit menjadi satu falsafah yang mengilhami karya “Ageman Amongjiwa”, sebuah instalasi berbasis kain bekas. Dibuat oleh Kolektif Matrahita bergotong royong dengan warga Piji Wetan, potong demi potong kain dalam karya ini menampakkan corak busana, lanskap desa, hewan ternak, hingga tetumbuhan yang karib dalam keseharian warga. Sebuah artefak dari guyub rukun warga dan seniman ketika menghidupkan kembali dongeng-dongeng masa kecil dari memori yang bolong.

Dengan lekas jelas terlihat bahwa narasi visual karya Matrahita adalah menjahit keterhubungan antara manusia dengan alam tempat tinggalnya. Kiranya memang tepat karya ini ditempatkan di sebuah bangunan dengan halaman yang permai. Di dalamnya ada ‘ageman’ yang bisa ‘dipakai’ oleh audiens. Jika dikaitkan dengan (kawasan maupun sunan) Muria-Kudus, apakah karya ini metafor dari agama ageming aji? Lalu bentang kain itu menjulurkan akar-akar yang menjalar dari (atau ke) arah mesin jahit: masa lalu sekaligus masa depannya.

Dan pada sebuah taman, Feri Arifianto—fotografer asal Surakarta, menghadirkan karya bertajuk “Hantaran”. Ia menampilkan karya fotografi objek dengan sejumlah elemen yang dijumpai di Kudus. Batu bata, tegel, kayu naga muria, mawar, kantil, kenanga, serut, kemangi hitam, dimaksudkan sebagai hantaran sesaji untuk sebuah sumber air. Seperti ‘lampu taman’, karya Feri Arifianto diletakkan di taman halaman rumah warga bersisian dengan pohon besar—tidak sekadar ditempel di dinding ruangan. Hal menarik lainnya adalah, dimunculkan kesan bagaimana jika terdengar gemeremang suara tumbuhan yang berdoa. Suara tahlil para peziarah di Kudus dan Muria diperdengarkan lamat-lamat dan hanya akan menyala jika sensor bekerja. Antara suara doa dan objek simbolik disatukan dengan nalar sama-sama sebagai hantaran. Sebuah relasi olang-alik antara karya, alam, dan spiritualitas yang bersipaut.

Suara alternatif coba diorkestrasi lewat panji-panji berupa narasi ulang hubungan kretek dan santri oleh Isrol Medialegal. “Racikan Tangan Terampil”, demikian bunyi suara itu. Dua hal yang telah jadi citra kebudayaan masyarakat Kudus itu dipancangkan di sisi-sisi persimpangan jalan kampung dalam citra visual kemasan kretek: media komunikasi produsen dengan kosumen. Bukan sekadar estetika, dibuat dengan metode direct transfer fabric, sablon, dan cat semprot di atas kain Medialegal mendesain ulang etiket rokok lama sebagai upaya membaca kembali tubuh kebudayaan masyarakat Kudus. Tidak hanya itu, secara kolektif dan hangat, siang malam Isrol bersama Kudus Street Art dan warga menyemprotkan karya stensilnya di tembok-tembok rumah warga Piji Wetan. Semacam upaya mengarsipkan narasi visual dan kultural jati diri suatu kampung.

Jati diri yang lebih luas mencakup (gunung) Muria, santri, dan kretek disusun oleh Mellshana lewat karya bertajuk “Menilik Bilik Muria”. Potongan-potongan peradaban Muria dari masa ke masa disatukan dan dilekatkan menjadi kolase di dalam bilik berselimut kain putih transparan yang melingkar di tengah lanskap tanah lapang. Komposisi kemasan rokok era 1900-an, foto-foto para peracik dan pelinting dari PT Djarum dekade 1960-an—1970-an, flora fauna di Gunung Muria, kehidupan pesantren, peranan wanita Kudus, artefak-artefak purba dari Selat Muria, menjadi kolase yang bercerita pancang dan melingkar antara ujung yang satu dengan yang lain memiliki keterhubungan. Pada karya kolase ini Mellshana tampilkan bagian-bagian penting dari sejarah pokok Muria.

Percakapan mengenai Muria yang lain dibentangkan lewat nalar arsip di “Museum Orang Biasa: Sejarah dan Ingatan Warga” susunan Kolektif Arungkala. Di sini Arungkala menyoal historiografi yang luput dari historiografi dominan tentang Muria maupun Kudus dan memori kewargaan di Piji Wetan. Jebakan kultus tokoh  yang dominan dilepaskan dan digantikan dengan pengetahuan yang tidak lazim beralas arsip untuk mengisi fragmen yang hilang. Kemudian dihadirkan agensi kolonial Justus Karl Hasskarl. Keberadaannya penting mengingat semenjak perjalanan botanis kolonial tersebut, setelah Oktober 1843, nama Gunung Muria baru dipakai di peta buatan Belanda menggantikan nama sebelumnya; Gunung Jepara! Pengetahuan semacam ini boleh jadi baru bagi masyarakat Muria sendiri.

Arsip yang dihadirkan tidak sekadar sebagai material artistik, tetapi juga sebagai intervensi terhadap sejarah dominan. Sosok rekaan bernama Kirdjo, personifikasi orang lokal, satu dari sembilan asisten Hasskarl pun dimunculkan. Bahkan arsip-arsip museum ini dibuat dengan AI—justru untuk mengalihkan pandangan terhadap arsip yang sering kali dianggap suci lagi sahih. Dengan memalsukan arsip, Arungkala memproduksi spekulasi bahwa sejarah bisa direkayasa.

Untuk menunjukkan sumber data dari pengetahuan alternatif itu, Arungkala membuat catatan warga, pengarsipan berbasis warga, memori warga tentang Piji Wetan. Melalui kolaborasi dengan agensi lokal, material milik warga sebagai artefak, sebagai arsip, dihadirkan menjadi koleksi museum ini. Di sini warga membuat riwayatnya sendiri dari kehidupan sehari-hari: ibu-ibu menulis resep atau simbah-simbah menuturkan kesehariannya. Arungkala menampilkan karya seni bukan sebagai yang selesai, melainkan sebagai metode. Maka karya yang dipamerkan bukanlah hasil, bukan artefak, tetapi catatan proses. Tidak ada yang gigantis pada karya prototipe ini, tetapi ada percakapan panjang yang menanti di belakang.

Terakhir, MIVUBI selaku kolektif seni di ruang virtual bersama Marten Bayuaji menghadirkan karya bertajuk “Pilgrims: Trail of The Southern Ridge”. Sebuah minecraft video game variable dimensions yang bisa dimainkan bersama untuk menapaki tujuh situs di Gunung Muria. Ziarah, pertemuan virtual dengan Sunan Muria, hingga perjalanan spiritual hingga puncak Argopiloso pada game ini mendudukkan gunung sebagai pancer, sebagai patokan, petunjuk arah bagi yang sedang bertualang. Senyampang dengan itu Marten Bayuaji berkolaborasi dengan Penggiat Konservasi Muria (Peka Muria) melilitkan kain putih di pohon-pohon langka dan perlu dilindungi di hutan Muria. Alas putih jadi presentasi site-specific Marten Bayuaji yang terkoneksi dengan karya MVUBI dalam game tersebut. Melalui karya virtual yang terhubung dengan situasi riil, MVUBI x Marten Bayuaji seperti tengah membuat sejarah sendiri; sejarah yang bisa ditempuh oleh banyak orang tanpa harus mengalaminya.

Demikianlah, suatu perjalanan mengitari sejarah memang membutuhkan napas panjang. Narasi pengetahuan yang diproduksi berlapis-lapis dan tidak bisa dilepaskan satu sama lain. Meskipun, tentu saja ada yang terbenam dari sebuah zaman, ada pula yang kemudian justru mengemuka. Tetapi, di mana perbatasan antara pusat dan pinggir ketika desa serupa rumah ibu, sedangkan kota sekadar ruang pelarian—juga penantian?


[1] Kesaksian A.A. Achsien, tokoh politisi NU, bertajuk “Menara Koedoes, Asal-oesoelnja nama kota Koedoes” di Star Magazine, Nr. 2, 15 Pebruari 1939, ternukil dalam Amen Budiman, Kudus, hlm. 147.


Tulisan ini merupakan catatan atas tatapan terhadap program Folktarium Muria-Pameran Residensi Tapa Ngeli yang diselenggarakan sepanjang 21—27 April 2025 oleh Kampung Budaya Piji Wetan, Muria-Kudus. 

Suasana sendu menghiasi hari terakhir di Pondok Pesantren Kaliopak. Idealnya saya harus mengikuti pentas budaya bersama teman-teman peserta Ngaji Posonan 2025. Tapi apalah daya, saya harus segera “mancal” ke Semarang untuk persiapan tirakatan Lailatul Qadar di Alas Purwo—tepat di malam  ganjil 23 Ramadan 1446 atau 22 Maret 2025.

Sebenarnya ada pergolakan batin di sana. Apakah saya harus stay di Kaliopak atau melanjutkan rencana awal ke Alas Purwo. Di mana saya mengikuti segala macam rangkaian kegiatan di Kaliopak, lalu lanjut ke Alas Purwo. Akhirnya saya putuskan untuk sesuai rencana awal saja. Mengingat materinya yang tak biasa, hehe.

Menurut salah seorang teman, setiap tirakatan Lailatul Qadar berbeda setiap tahunnya. Jadi saya pikir, saya tak mau ketinggalan materi penting di malam yang istimewa di bulan ramadan kemarin. Lantas mengapa mencari Lailatul Qadar di Alas Purwo? Apa yang didapatkan? Demit? Atau apa?

Pelajaran Penting di Bus

Start dari kediaman Sang Guru EISQ (Waliyullah) menuju Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi. Saya dan rombongan naik bus. Tepat di momen inilah saya mendapat pencerahan tentang bagaimana perbedaan mendasar antara manusia dan binatang. Sang Guru bertanya satu hal penting:

“Dalam keseharian kita, setiap keputusan kita, lebih dominan mana antara pikiran dan perasaan?” Tanya Sang Guru.

“Kang Ridwan, pikiran atau perasaan?” lanjutnya.

“Pikiran.”

“Bu Ruqoyah, pikiran atau perasaan?”

“Perasaan”

Satu per satu rombongan ditanya. Ada yang menjawab pikiran, dan ada juga yang perasaan. Meski tak semua mantap akan jawaban mereka sendiri. Termasuk saya yang sebenarnya kurang mantap memilih jawaban “pikiran”. Namun alam bawah sadar saya lebih condong terhadap jawaban tersebut.

Setelah semua peserta tirakatan ditanyai, Sang Guru melanjutkan pembahasannya. Bahwasanya yang membedakan antara manusia dengan hewan adalah bagaimana cara mengambil keputusan. Manusia idealnya melakukan sesuatu dipengaruhi oleh pikirannya. Kalau manusia lebih dominan perasaan daripada pikirannya, berarti ia binatang.

Ya, sangat logis. Dengan pikiran, manusia memahami ilmu agama. Dengan pikiran, manusia bisa berpikir secara rasional. Tindakannya jadi terarah dan sesuai hukum-hukum yang berlaku di mana pun dirinya berada. Keputusannya tidak didasarkan pada apa yang dirasakan, tetapi apa yang dipikirkan. Tentu lewat pertanyaan filosofis fundamental untuk mengetahui apa alasan kita semua melakukan sesuatu.

“Mas U’ud perasaan? Berarti Kewan,” ujar Sang Guru.

Maka akal pikiran yang aktif sangatlah penting bagi manusia. Sebab ia yang akan menuntun jalan hidup seseorang sesuai dengan karakter dan minat bakatnya. Tak heran jika Presiden BJ Habibie mengatakan bahwa guru sejati yang paling ia percayai adalah otak. Penggerak yang menginspirasi mantan presiden keempat Indonesia itu merancang pesawat.

Selain itu, pikiran bisa mencegah seseorang tersesat oleh perasaanya sendiri. Ketiadaan nalar dalam beragama sangat membahayakan. Seperti yang dialami mendiang Lia Eden yang mengaku melihat seberkas cahaya kuning saat duduk di teras bersama saudaranya. Ia menganggap cahaya yang datang dan merasuk ke dalam dirinya itu adalah Jibril.

Selain itu, pikiran bisa mencegah seseorang tersesat oleh perasaanya sendiri. Ketiadaan nalar dalam beragama sangat membahayakan.

Entah itu apa, seharusnya tidak demikian cara menyikapinya. Mungkin saja itu halusinasi yang diciptakan iblis untuk menyesatkan orang agamis. Sebab belakangan diketahui bahwa Lia Eden ternyata sering melaksanakan shalat tahajjud di malam hari. Lalu terjadilah peristiwa di atas.

Saya jadi teringat dengan kisah klasik yang menceritakan bagaimana perjalanan ruhani Syeihk Abdul Qodir Al-Jaelani. Beliau ketika sholat tahajjud sempat didatangi sesosok mahluk yang mengenakan jubah putih—yang ternyata sosok itu adalah iblis yang berusaha menyesatkan Syeikh. Maka Syeikh Abdul Qodir pun mengusir sosok yang ada di depannya.

Syeikh Abdul Qodir dengan logika pikirannya yang kuat, terhindar dari halusinasi.

Itulah mengapa pentingnya memanfaatkan pikiran yang sudah dianugrahkan oleh Tuhan. Maka sudah selayaknya apapun tindakan yang dilakukan dengan mesti napak sejak dalam pikiran. Bila tak, berarti dia gagal menjadi manusia seutuhnya.

Istimewanya Alas Purwo

Akhirnya setelah perjalanan selama 10 jam lebih, sampailah ke tempat tujuan Taman Nasional Alas Purwo. Sayang sekali, kami semua tak bisa masuk hutan karena sedang ada badai. Bila memaksa masuk, khawatir ada pohon tumbang. Daripada resiko tertimpa pohon tumbang, warga sekitar menutup jalan masuk ke hutan yang konon katanya jadi sarang jin itu.

Secara metafisika, Alas Purwo menyimpan energi super negatif. Hal ini karena taman nasional ini sudah dimitoskan sebagai tempat sakral. Bahkan mungkin bukan orang Jawa saja yang memitoskannya. Wajar bila energi mitosnya sangat besar dan berskala nasional.

Alasan itulah mengapa Sang Guru memilih tempat ini sebagai tirakat edisi ramadan 2025. Sang guru bercerita bahwa dulu ada seorang dalang yang tirakat di Alas Purwo ini. Kalau tidak salah ingat, si dalang tirakat selama tujuh hari tujuh malam. Selepas menjalani tirakat, si dalang itu pulang. Anda bisa menebak apa yang terjadi: job manggung ramai dan namanya naik daun.

Menurut Sang Guru, orang yang menyimpan energi negative (-), maka dia akan memperoleh jalan kemudahan hidup di dunia. Entah produk yang dijual tiba-tiba ramai yang beli. Kalau yang bergelut di bidang jasa, tiba-tiba banyak orang yang membutuhkannya. Inilah mengapa orang-orang memanfaatkan Alas Purwo sebagai “pesugihan”.

Benturan Energi Super Negatif dan Super Positif

Saya sangat beruntung mempunyai teman yang mau menjelaskan kenapa merayakan Lailatul Qadar di Alas Purwo? Kenapa tidak di masjid agung Semarang saja? Masjid Agung Demak? Atau Masjid Jogokarian Yogyakarta. Akhirnya rasa bingung itu terjawab. Terutama soal apa makna sebenarnya perjalanan saya ke Alas Purwo.

“Kamu tahu nggak kenapa kita Lailatul Qadar kok di Alas Purwo?”

“Belum tahu.”

“Alas Purwo itu karena kuatnya mitos di masyarakat, energi super negatifnya jadi besar.”

“Terus apa hubungannya dengan Lailatul Qadar?”

“Lailatul Qadar adalah simbol energi super positif dalam kepercayaan agama Islam. Ya, kamu tahu sendirilah betapa berkahnya malam Lailatul Qadar. Nah, dari sinilah antara energi super negative (-) dan super positif (+) dibenturkan. Hasilnya netral.”

Saya mengangguk setuju. Mencoba mencerna dan menerima pengetahuan baru ini di dalam otak saya. Dan, akhirnya saya mampu memahaminya. Hal ini besar kemungkinan dipengaruhi oleh latar jurusan saya ketika duduk di SMA. Ya, kami berdua punya background jurusan IPA.

Jadi di jurusan IPA ada pelajaran yang namanya Fisika. Salah satu yang paling mudah dipahami adalah soal sumbu positif dan negatif. Bila keduanya bertemu maka terjadi netral. Sementara secara magnetik, dua unsur ini akan saling tarik menarik dan melebur jadi satu.

Itulah tujuan utama Lailatul Qadar di Alas Purwo.

Membuat Rajah Merah

Angin yang tadinya bergerak sangat kencang, akhirnya reda juga. Hanya sepoi-sepoi yang membuat malam Lailatul Qadar makin syahdu. Saya dan semua yang ikut mendapat materi tentang merajah. Kertas putih, garam, bolpoint tinta merah dan bolpoint tinta hitam sudah siap.

Kami semua diminta menuliskan lafadz Allah sebanyak 11 lapis. Memutar. Sebelum ditulis, bagian tengah ditulis lafadz Allah dengan huruf hijaiyah secara terpisah (Alif, Lam, Lam Ha’). Dengan kombinasi bismi yang membentuk simbol plus. Setelah selesai, lafadz bismillah ditulis dengan bolpoint tinta hitam di atasnya seperti pada gambar berikut.

Pembuatan rajah dominan warna merah ini untuk menyimpan hasil benturan energi tadi. Lalu dibuat bandul kalung di ulu hati. Efek yang dihasilkan bisa melemahkan orang-orang yang punya kesaktian. Orang-orang yang punya pangkat.

Terakhir, kata Sang Guru, sanad rajah lafadz Allah 11 lapis itu ia peroleh langsung dari qorin Syeikh Subakir. Tokoh ulama dari Persia yang ditugasi menyebarkan agama Islam di Jawa. Bukan sekali pertemuan langsung dapat. Tapi selama enam bulan, tahap demi tahap.

Syekh Makdum Wali dan Islamisasi Banyumas

Saya senang duduk berlama-lama di tepi makam keramat desa saya, di titik mana saya dapat memandang kekokohan sebuah nisan dan area makam yang luas dan sayup. Sembari saya campakan segala yang ada dan menyibak segala yang tak ada. Bagai membakar dedaunan dan reranting kering yang menyematkan mata. Makam keramat yang acapkali saya ziarahi adalah Makam Syekh Makdum Wali. Maklumlah, rumah saya dekat dengan makam keramat tersebut. Konon, desa saya ini (pasir kidul) dulu merupakan kawasan Pasir Batang (Kerajaan Islam awal  Banyumas). Dalam Babad Pasir, Kerajaan Pasir Batang diklaim sebagai pintu masuk dan pusat penyebaran alias episentrum agama Islam di Wilayah Banyumas. Dari situ mencuat sosok nama ulama Islamisasi Banyumas antara lain: Syekh Makdum Wali dan Pangeran Senopati Mangkubumi. Nukilan sosok Syekh Makdum Wali pernah saya tulis di marewai.id dengan judul:https://marewai.com/pelesiran-menziarahi-makam-syekh-makdum-wali-chubbi-syauqi/

Adapula nukilan dari esai dari Wahyu Ceha yang pernah ditulis di langgar.co dengan judul: https://langgar.co/peran-ulama-dan-sejarah-berdirinya-banyumas/. Disebutkan bahwa Syekh Makdum Wali berasal dari Kerajaan Demak yang diutus Sultan Demak (Raden Fattah) sekira abad 14 M untuk mengislamisasi Kerajaan Pasir Luhur. Islamisasi berjalan dengan damai, Raden Banyak Belanak alias Raja Pasir Luhur memeluk Islam serta bertungkus lumus menyebarkan Islam bersama Syekh Makdum Wali. Tersebab kegigihannya dalam menyebarkan Islam, Raden Banyak Belanak dianugrahi gelar oleh Raden Fatah: Pangeran Senopati Mangkubumi. Atas jasanya yang telah mengislamkan berbagai Adipati dan sebagai julukan atas dirinya sebagai Raja Pasir Luhur.

Sumber Dokumentasi: Penulis. (Mazar Syekh Makdum Wali)

Setelah itu, Pangeran Senopati Mangkubumi memindahkan kerajaannya ke Pasir Batang (yang orang tahu, sekitar komplek Makam Syekh Makdum Wali dan Pangeran Senopati Mangkubumi). Kompleks makam tersebut mendapatkan kunjungan teratur dan menjadi tujuan domestik para peziarah. Tentulah,makam Syekh Makdum Wali dan Senopati Mangkubumi yang menjadi daya tarik spiritual. Begitulah, bila kita menggeser obrolan, kompleks Makam Syekh Makdum Wali ke kajiannya C. Guillot dan H. Chambert-Loir bisa dikategorikan sebagai makam tokoh-tokoh historis (2007: 342). Artinya, ini jenis makam yang sudah tercatat dan tidak bermasalah lagi dengan kelebut asal-usul, silsilah dan semacamnya. Kompleks Makam Syekh Makdum Wali terletak di sebidang tanah di Karanglewas, Banyumas, tidak jauh dari Makam Syekh Makdum Wali, ada beberapa makam penerus Kerajaan Pasir Batang seperti makam Senopati Mangkubumi I&II, Pangeran Langkap, dan Pangeran Perlangon, Pangeran Tembilung.

Sumber Dokumentasi: Penulis (Makam bercungkup: Syekh Makdum Wali dan Pangeran Senopati Mangkubumi II)

Sumber Dokumentasi: Penulis (Makam berpagar: Syekh Makdum Wali dan Pangeran Senopati Mangkubumi II)

Sebagaimana lazimnya di Jawa, dunia ziarah tampak lebih hidup. Dalam amatan Claude Guillot dan H. Chambert-Loir, praktek ziarah di Jawa, selain berupa inisiatif pribadi-individual, juga telah menjadi tradisi kolektif, seperti: nyadran dan ritual bersih desa. Ziarah memainkan peranan penting pada dua tataran, yakni kunjungan makam di satu pihak, dan peran ziarah dalam kehidupan spiritual di pihak lain. Makam Syekh Makdum Wali relatif terpetakan sebagai genealogi makam tua di Banyumas. Ada fenomena unik,yang menjadi tanda tanya saya ketika berziarah dan terjadi di beberapa tempat ziarah: adalah letak makam asli dari Syekh Makdum Wali. Jamak diketahui bahwa makam utamanya yang berada di dalam cungkub besar dengan dinding-dinding kokoh bercat putih. Berpintu warna hijau-kuning khas warna kerajaan Islam. Sehijau dan sesegar doa di telapak tangan. Lokasi makam lazim dinaungi pohon besar, selalu bersih karena ada penjaganya.

Kebetulan di sekitarnya memang ada dua makam, dengan batu nisan digantungi kain putih, diberi pagar tanpa atap. Di antara nisan dan pagar tanpa atap nama Syekh Makdum Wali meruang dan bergema. Merambat bersama alunan merdu doa peziarah. Kabarnya. kedua makam tersebut adalah Makam Syekh Makdum Wali dan Senopati Mangkubumi. Uniknya, ada asumsi galib peziarah makam: yang beratap cungkup hanyalah makam berisi “jubah dan aksesoris Syekh Makdum Wali”, sedangkan dua makam yang di sisinya disebut “makam jasadnya”. Sampai sejauh ini saya tak dapat melacak kebenarannya dan mazhur di kalangan peziarah. Oleh karenanya, peziarah kadang berada di dua makam yang berbeda: makam bercungkup dan makam berpagar. Dari fenomena tersebut saya tak menganggap seperti “makam kosong” di Mesir atau makam semu (cenotaph) di Eropa, seperti disitir dalam bukunya Chambert-Loir (Ziarah dan Wali di Dunia Islam). Sebab setidaknya, dari suasana sekitar kita dapat merasakan aura mistis yang memungkinkan seseorang untuk khidmat berzikir atau berdoa.

Kisah-Kisah Ritus Ziarah

Demikianlah ada berbagai fenomena lain yang menempatkan Makam Syekh Makdum Wali dalam pusaran kekuatan tradisi tutur dan lisan, lebih bersifat tersirat daripada tersurat. Namun di atas semua itu, kelisanan yang melingkupi sejarah sebuah makam keramat semacam Syekh Makdum Wali bukan alasan untuk menganggapnya ahistoris. Sebab, masyarakat yang merawat dan menziarahinya tidak berangkat dari semacam “ruang kosong”. Minimal ada petunjuk turun-temurun yang menandai sebuah makam itu milik seseorang yang istimewa pada masanya.   Makam Syekh Makdum Wali bisa disebut mazar (pekuburan para wali) adalah yang masif diziarahi di Wilayah Banyumas. Peziarah domestik (Banyumas) punya hasrat untuk mengucapkan rasa terima kasih kepada sosok yang telah memperkenalkan Islam ke Banyumas. Terlebih setelah kunjungan Gus Dur ke makam tersebut, melegitimasi: “Makam Syekh Makdum Wali sama keramatnya dengan Makam Sembilan Wali”, masyarakat pun tak terbendung berbondong-bondong berziarah, baik perorangan maupun rombongan seperti dalam Bulan Sadran,itu cukup kuat sebagai legitimasi kolektif. Ayah saya pernah bercerita, dahulu setiap Bulan Sadran masyarakat setempat berduyun -duyun menziarahi makam seraya membawa rantang makanan dan lauk pauk.

Kabarnya, selama perjalanan dari rumah, mereka diharuskan berwudhu dan tapa bisu (tidak berbicara). Setelah berdoa, rombongan peziarah makan besar di sana. Hal ini mengingatkan saya pada tradisi orang Jerman “kaffeeklatsch” (tradisi membawa makanan ke pemakaman (lihat di https://tirto.id/memburu-resep-makanan-di-atas-kuburan-gCyK). Tapi, Tradisi sadranan semacam ini entah mengapa tidak saya jumpai hingga hari ini di sana. Kelak, mungkin sudah tergradasi oleh rentang masa yang panjang. Menziarahi mazar (makam wali) semacam Mazar Syekh Makdum Wali menjadi budaya populer yang kian merebak di Indonesia. Terlebih di Jawa dunia ziarah begitu gayeng.Ini juga diikuti oleh perkembangan pandangan tipologi masyarakat Jawa dalam memandang ziarah, dengan segala peluang dan paradoksnya: ortodoks, reformis dan santri (lihat Ziarah dan Wali di Dunia Islam, 2007:333). 

Konon, laku ziarah di masa lampau acapkali disematkan pada Islam Abangan meminjam istilah Clifford Geertz (Islam Sinkretik). Penuturan sinis Clifford Geertz: Mereka melakukan laku ritual dengan cara berdoa kepada wali setempat entah sebagai tokoh yang memiliki kekuatan gaib atau sebagai perantara antara manusia dan Allah. Kelompok ini juga mempersembahkan sesaji dan hadiah pembacaan ayat suci disertai dengan permohonan meminta keberkahan atau dalam ungkapan bahasa jawanya ngalap berkah. Ragam ibadah ini dipandang sebagai transaksi kepada “Wali” Allah atau bentuk perjanjian untuk “membayar” dalam bentuk tertentu jika bantuannya terkabul. Meminjam perkataan Chambert-Loir & Guillot : Makam-makam wali menghibur hati karena kehadiran kekeramatan, atau bisa juga, menjadi pengganti dari tempat tersuci (bagi dunia Islam), bagi orang-orang yang tak mampu berangkat ke sana (Mekkah).

Dalam amatan George Quinn, laku ziarah kini lebih diramaikan kaum santri (lihat buku: George Quinn. 2021. Wali Berandal Tanah Jawa). Bagi Quinn, faktor pemicunya: frustasi akibat penantian panjang untuk bergiliran naik haji; bisnis wisata spiritual; hingga kejenuhan dalam kehidupan. Memang,saya kerap menyimpan pertanyaan yang hingga hari ini menggantung: Apa hubungan peziarah ke makam keramat dengan kemudahan yang diperoleh? Tentu saja ini agak berbau dongeng. Konon, masing-masing mazar memiliki karakteristik atau kode-kode yang dapat dirasakan oleh peziarah. Seperti saudara saya yang kerap berziarah ke Mazar Sunan Gunung Jati, selepas ziarah ia mengaku mudah dalam mencari rizki.

Tempat-tempat ziarah kini semakin banyak mengurangi praktek gaya abangan. Semakin banyak papan tulisan yang menonjolkan ragam ibadah baku dan peringatan di tempat ziarah yang dahulu sarat akan daya magis mulai disesuaikan dengan ragam Islam ortodoks sebagaimana dalam cerpennya Gus tf Sakai dalam cerpennya,”Meminta kepada Tempat yang Terkabul, Berkaul kepada Tempat yang Keramat”. Cerpen ini pertama kali dimuat di Jurnal Cerpen I/2002 dan kemudian terhimpun dalam buku Laba-Laba (2003). Digambarkan Gus tf Sakai berikut: Bukan hanya dalailil-khairat dilantunkan, melainkan banyak sekali suara. Di sebelah sana, orang juga melantunkan lagu-lagu agama; dan di sebelah sini, orang mengalunkan zikir. Di sebelah lain, orang membaca sifat dua puluh dalam nyanyi; dan di sebelahnya…entahlah. Terdengar kacau. Belum lagi yang komat-kamit sendiri. Dan bau kemenyan yang menyengat (2003: 55).

Tarekat Sebagai Simpul Islamisasi Banyumas

Tradisi ziarah gayeng di Banyumas. Wajar, Banyumas merupakan salah satu basis NU di Jawa Tengah. Tokoh besar K.H. Saefudin Zuhri yang bergiat NU di Sokaraja, Banyumas, hingga jadi Menteri Agama, seolah jadi garansi soal itu. Biasanya, para penganut NU di Banyumas berada di daerah pedesaan, bahkan di beberapa pelosok desa masih saya jumpai penganut Jawa-Islam, sedangkan masyarakat perkotaan (Purwokerto) penganut Islam modern. Amalan-amalan Islam modern cocok dengan aktivitas keseharian orang Purwokerto yang banyak jadi pegawai dan pedagang. Mereka perlu amalan yang cepat, praktis,dan barokah. Namun, orang-orang desa lebih menyukai amalan yang mentradisi: lama, ribet, tapi tak kalah barokah. Saya bayangkan Muhammadiyah dan NU di Banyumas seperti makanan khasnya:mendoan dan keripik tempe. Mendoan digoreng secara cepat, cukup setengah matang, tapi keripik mesti digoreng sampai renyah. Dan jelas mereka punya penggemarnya masing-masing.

Teman saya Moch Dwi Hartanto pernah meneliti dalam bentuk skripsi perihal wajah Islam di Purwokerto-Banyumas yakni : “Islam di Purwokerto Awal abad ke-20 (2018)”. Konon, pasca Islamisasi Kerajaan Pasir Luhur, Islamisasi berlanjut melalui corak Tarekat. Dalam amatan P.J. Verth, Purwokerto dulunya termasuk dalam rijtsland (wilayah persawahan/agraris), maka banyak ordo tarekat yang bercokol di Purwokerto hingga Banyumas: Syadziliyyah, Tijaniyah, Syattariyah, Khalwatiyah, Naqsyabandiyah, dan Akmaliyah. Gerakan tarekat ini mendasarkan pada sufisme bahkan mesianik, hingga menyulut perlawan terhadap kaum penjajah. Bahkan,dalam disertasinya Drewes disebut bahwa Tiga Guru Tarekat Akmaliyah:Kyai Hasan Maulani (Lengkong, Cirebon ), Kyai Nurhakim (Pasir Wetan, Purwokerto), dan Malangyuda (Rajawana, Purbalingga) . Ketiganya merupakan guru-murid, dengan Kyai Hasan Maulani sebagai pendiri dan guru utamanya.

Menariknya, Kyai Hasan Maulani sendiri mendapat bimbingan pertama kali untuk masuk tarekat dari Syekh Abdussomad, seorang guru Naqsabandi-Qodiriyah di desa Jombor, Cilongok, sekitar 25 km barat Purwokerto (lihat Lutfi Makhasin, “Islamisasi Dan Masyarakat Pasar: Sufisme dan Sejarah Sosial Kota Sokaraja”). Dalam bukunya M.C. Ricklef “Polarising Javanese Society: Islamic and Other Visions, C. 1830-1930”, Tarekat Akmaliyah yang dipimpin oleh Syekh Nur Hakim di Pasir Wetan, Purwokerto, Banyumas, terbukti mengajarkan “messianic hope” dan menjadi pionir pemberontakan kepada Belanda. Perihal Syekh Nurhakim,saya pernah menulis di langgar.co, dengan judul: https://langgar.co/sufisme-mbah-nurhakim-penyebar-tarekat-syattariyah-di-banyumas/. Kabarnya, Tarekat Akmaliyah mula-mula disebut Tarekat Syattariyah, di Banyumas, Syattariyah menciptakan varian baru yang menggabungkan beberapa ajaran tarekat lain, seperti Rifaiyah dan Naqsabandi-Qodiriyah, kemudian terciptalah nama Akmaliyah pada Tarekat Syattariyah ini.

Kemudian, Akmaliyah mengalami surut dari Jemaah, datanglah, Tarekat Naqsabandiyah. Setidaknya di Karesidenan Banyumas terdapat 9 guru: 3 di Purbalingga, 5 di Banyumas, dan 1 di Purwokerto, yang berdiri sendiri menyebarkan tarekat Naqsabandiyah, demikian pernah ditulis Martin van Bruinessen ( judul: Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Bandung: Mizan, 1994, hlm. 169-171). Mula-mula tarekat ini muncul di Sokaraja, dengan Mursyid terkemuka bernama Kyai Muhammad Ilyas sekira 1880-an. Sejak lama, Sokaraja dikenal sebagai basis ulama tarekat dan jaringan pesantren di Banyumas. Karena itu, tak berlebihan jika Sokaraja digelari :”Kota Santri” di Wilayah Kabupaten Banyumas. Selain itu, kota ini pernah menjadi pusat Pemerintahan Bupati, dan yang terlintas di pikiran banyak orang : kota industri hingga kota kuliner. Semua itu telah menjadi catatan sejarah di dalam auto-biografi seorang ulama pejuang, sebagaimana termaktub dalam bukunya Kiai Saifuddin Zuhri : Berangkat dari Pesantren (1987) dan Guruku Orang-Orang dari Pesantren (1974). Adapula Tarekat Syadziliyyah yang turut mewarnai corak keberIslaman di Sokaraja. Konon, tarekat inilah yang terbesar di Sokaraja,bahkan kota tersebut menjadi benteng Tarekat Syadziliyah di Banyumas. Adalah Kyai Muhammad Asfiya (cucu Syekh Imam Rozi) mursyid awal sekaligus penyebar Syadziliyyah di Sokaraja.

Sokaraja: Kota Tarekat, Pesantren dan Santri

Dibising gegas Kota Sokaraja yang riuh dengan selebrasi kehidupan, siapa sangka kota ini dapat didefinisikan sebagai: kota sufi; kota industri (masyarakat pasar); kota dagang kaum muslim, demikian narasi yang ditulis Thesisnya Luthfi Makhasin (dengan judul: Sokaraja has many santri: Sufism, market culture, and the Muslim business community in Banyumas, Central Java). Menariknya, dari berbagai ordo tarekat inilah yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya berbagai pesantren di Sokaraja. Meski begitu, waktu dahulu Sokaraja adalah kawasan yang dihuni kelompok “Jawa Islam”. Dengan karakter yang luntur dan ramah dalam menyikapi kebudayaan, sufisme justru merasuk dengan sangat mudah ke lapis-lapis terdalam pemahaman masyarakat sekitar. Ia, sufisme tidak berpretensi untuk mengganti bentuk formal praktik-praktik adat yang sejatinya “baju” daripada “isi”, namun lebih menyuntikkan pandangan dunia Islam ke jantung kesadaran masyarakat, serta mengubah arah “napas” kebudayaan tersebut,tanpa harus mengganti praktik sosial yang masih berjalan (lihat bukunya Mas Irfan Afifi: Saya, Jawa, dan Islam; 2019).

Di samping menjamurnya tarekat dan pesantren, Sokaraja tumbuh semerbak dengan banyak industri serta jadi kota dagang yang sibuk. Pabrik gula, pasar,jalan kereta api, jembatan,jalan raya, adalah “pemberian” Belanda untuk menjadikan Sokaraja sebagai kota industri sekaligus modern. Peranan perdagangan dan industri merangsang mobilitas sosial masyarakat yang semula pertanian perlahan beranjak ke sektor pertekstilan dan batik. Sejak kolapsnya industri gula pada akhir 1920-an, batik telah menjelma penggerak utama ekonomi lokal Sokaraja. Dalam amatan Lutfi Makhasin:

“Dinamika gerakan tarekat di Sokaraja berkaitan erat dengan perkembangan pengusaha batik pribumi. Jaringan bisnis para pengusaha batik ini biasanya paralel dengan jaringan keagamaan dan sosial gerakan tarekat. Di Sokaraja bahkan ada kecenderungan menarik karena para guru tarekat biasanya adalah juga para pengusaha batik yang sukses. Kyai Rifai misalnya, adalah contoh pengusaha batik kaya yang juga seorang guru tarekat dengan jaringan yang sangat luas. Dia adalah guru tarekat Naqsabandi-Kholidiy ah yang didirikan oleh kakeknya, Kyai Muhammad Ilyas. Dia menggantikan ayahnya (Kyai Affandi) sebagai guru tarekat sejak 1928 sampai meninggalnya pada tahun 1968. Pada masa hidupnya, Kyai Rifai konon adalah salah seorang paling kaya di Sokaraja. Jaringan tarekat dan bisnis Kyai Rifai menyebar dari Ciamis, Garut, Tasikmalaya, Purbalingga, Banjarnegara, Pekalongan, Pemalang, Temanggung, dan Magelang” (lihat Luthfi Makhasin Sokaraja has many santri: Sufism, market culture, and the Muslim business community in Banyumas, Central Java).

Di samping perdagangan dan industri,peranan pendidikan turut mempengaruhi mobilitas sosial kaum santri yang tidak dapat dikesampingkan. Sebagaimana dapat kita cermati pada bukunya Kiai Saifuddin Zuhri : Guruku Orang- Orang dari Pesantren dan Berangkat dari Pesantren. Bahkan di kota ini menjadi kebangkitan gerakan kaum santri: SI dan Nahdatul Ulama, yang tak jauh ramai dan besar dibanding kota Purwokerto.

Wajah Islam di Purwokerto-Banyumas

Kembali ke Purwokerto, meski menjadi ibu kota Kabupaten Banyumas sekaligus kota penyanggah (hinterland), Purwokerto turut ambil peran dalam dinamika sejarah Islamisasi di Banyumas. Tepatnya, sekira di paruh abad 19, berdirlah sejumlah organisasi Islam di Purwokerto: NU, Muhammadiyah, Ahmadiyah. Sekira Tahun 1920an SI telah ada di Purwokerto, demikian pernah ditulis oleh Hasanmihardja (Judul: Sedjarah Muhammadijah di Purwokerto, 1971). Di tahun 1922, berdirilah Persyarikatan Muhammadiyah di Kota Purwokerto, berkat kunjungan K.H. Achmad Dahlan yang kala itu memberikan pengajian akbar di Masjid Agung Baitussalam. Dalam imajiner saya, berdirinya Persyarikatan Muhammadiyah di Purwokerto semacam “Matahari Terbit di Atas Gunung Slamet”, Kota Purwokerto persis di bawah Gunung Slamet, lalu di atas Gunung Slamet terbit Matahari yang amat cerah yang merupakan simbol dari Muhammadiyah.

Meski hanya berupa kota administrasi kecil, tak menjadi penghalang Purwokerto menjadi salah satu rintisan kelompok Islam Transnasional semacam Ahmadiyah. Kabarnya, di tahun 1926 Purwokerto menjadi pusat penyebaran Ahmadiyah di Banyumas. Ahmadiyah mula-mula di dakwahkan oleh kader pemuda Muhammadiyah Purwokerto diantaranya: R. Ng. Djojosoegito, Muhammad Husni, Sudewo. Persyarikatan Muhammadiyah mula-mula menyetujui tentang misi pembaharuan ke-Islaman yang dibawa oleh Kwadja Kamaludin dan Wali Ahmad Baig. Bahkan, Wali Ahmad Baig menetap di Purwokerto tepatnya di Kauman Lama, Purwokerto. Namun, tak berselang lama Muhammadiyah memutuskan “berjarak” dengan Ahmadiyah sebab nampak perbedaan diantaranya (lihat di Iskandar Zulkarnaen, 2006, Gerakan Ahmadiyah Indonesia, Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara).

Kauman Lama- Purwokerto bisa dibilang sebagai episentrum Islamisasi di Kota Purwokerto. Pola ini kurang lebih sama seperti terjadi di berbagai kota di Jawa, seperti Kauman Jogjakarta yang menjadi tempat berdirinya Muhammadiyah. Dalam hal ini, tempat menjadi sesuatu yang “mengikat” dan bernilai kontekstual, bukan temporal. Bukan kebetulan suatu tempat menjadi pusat dari suatu kegiatan karena memiliki prasyarat-prasyarat tertentu. Tolok ukurnya bisa kultur hingga aura mistik spiritual. Bahkan, Kauman Lama-Purwokerto juga menjadi tempat basis NU di Kota Purwokerto, di situlah tinggal Kiai Bunyamin, tokoh Nahdlatul Ulama yang cukup terkenal sekaligus guru dari Saifuddin Zuhri. Bahkan, Kiai Bunyamin, merupakan sosok guru spiritual Panglima Besar Jendral Soedirman (lihat Akhmad Saefudin, Riwayat Ringkas 17 Ulama Banyumas (Yogyakarta: Titian Wacana, 2012), hlm. 41).

Demikianlah khazanah singkat keIslaman Purwokerto-Banyumas yang ramai, damai,dan semarak. Wajah KeIslamannya nampak dengan berbagai macam pondok pesantren, masjid warna-warni, Sekolah Islam dengan berbagai varian, zawiyah dzikir, majlis ilmu serta aktivitas ziarah makam yang masif. Saya tak hendak bilang sebuah makam menjadi citra keIslaman sebuah kota atau wilayah. Tapi,percayalah makam itu menjadi narasi kuat jejak Islamisasi suatu wilayah. Begitu.

BACAAN

Saefudin. Akhmad 2012. Riwayat Ringkas 17 Ulama Banyumas. Yogyakarta: Titian Wacana.

Henri Chambert-Loir dkk. 2007. Ziarah Dan Wali Di Dunia Islam. Jakarta-Paris: Serambi. 

Geertz. Clifford 2013. Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa. Depok: Komunitas Bambu.

Quinn. George 2021. Wali Berandal Tanah Jawa. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).

Zuhri. Saifuddin 2013. Berangkat Dari Pesantren. Yogyakarta: LKIS

Zuhri. Saifuddin 2007. Guruku Orang-Orang Dari Pesantren. Yogyakarta: LKIS

Dwi Hartanto. Muhammad 2018. Islam Di Purwokerto Awal Abad Ke- 20 M. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.

Makhasin. Luthfi 2006. Islamisasi Dan Masyarakat Pasar: Sufisme dan Sejarah Sosial. Lafadl Initiatives.

Hasanmihardja. 1971. Sedjarah Muhammadijah di Purwokerto.

M.C. Ricklefs. 2007. Polarising Javanese Society, Islamic And Other Visions (C. 1830-1930). Leiden: KITLV Press.

Afifi. Irfan 2019. Saya, Jawa, dan Islam. Yogyakarta: Tanda Baca.

Zulkarnaen. Iskandar 2006. Gerakan Ahmadiyah Indonesia. Yogyakarta: LkiS

Bruinessen. Martin van 1994. Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia. Bandung: Mizan.

            Lima tahun lalu, saya mendapati buku ini dari pemberian seorang teman setibanya di Bandung. Buku ini merupakan sebuah disertasi antropologi sejarah yang diterbitkan oleh Ecole Francaise d’Extreme-Orient dengan judul asli “Corps de bois, souffle humain: Le theatre de marionettes wayang golek de Java Ouest” karya Sarah Anais Andrieu. Penerbit KPG kemudian menerjemahkan dan menerbitkan buku ini dengan judul “Raga Kayu, Jiwa Manusia: Wayang Golek Sunda”. Buku yang terbilang cukup aktual dan komperhensif untuk ukuran studi kontemporer yang tersedia dengan lokus penelitian spasial Bandung, sekaligus bisa merangkum cakupan besar subjek kebudayaannya sebagai suatu kewilayahan masyarakat Sunda di Jawa Barat.

            Studi dalam buku ini karena tergolong ke dalam etnografi partisipatif yang bersifat langsung dan spasial, maka menjadi berbeda dengan studi antropologi sejarah yang dilakukan oleh Ronit Ricci “Islam Translated” yang lebih pada pengembangan dari teks atau kisah. Kendati demikian, saya menilai keduanya memiliki kesamaan, yaitu bersumber dari khazanah hikayat Islam Asia Tenggara. Dalam buku Islam Translated subjek penelitian berpusat pada kisah seorang yahudi bernama Abdullah bin Salam yang bertanya kepada Nabi, kemudian pertanyaan-pertanyaan itu terangkum dan menjadi hikayat dalam buku seribu pertanyaan. Sementara wayang golek bersumber dari hikayat Amir Hamzah (paman Nabi), kedua hikayat ini kemudian menjadi sebuah semacam epos dalam proses transformasi budaya dan Islamisasi di abad pertengahan Asia Tenggara.

            Sebagai generasi yang terlahir di tahun menjelang 2000-an di wilayah Jawa Barat, mungkin hampir semua anak sudah tidak mengalami persentuhan dengan wayang golek. Jika pun mengalami, yaitu lakon Si Cepot yang hadir di televisi sebagai penanda masuknya bulan Ramadhan.

Si Cepot muncul bak juru dakwah yang kelewat serius dengan lagaknya yang terlihat lucu dan polos

            Hal tersebut menjadi sebuah fenomena baru di saat wayang sudah ditinggalkan, namun bisa bertahan dalam medium baru bernama televisi. Meski bila kita telisik dari dua bab dalam buku yang telah diteliti oleh Sarah Anais Andrieu ini, munculnya wayang di televisi dinilai sebagai kapitalisasi wayang; wayang diletakan sebatas produk dalam industri hiburan dan penonton sebagai konsumen pendulang kapital. Di saat bersamaan, kita bisa melihat di tahun-tahun itu terjadi krisis politik (Reformasi) yang membuat wayang dihadapkan pada geger budaya atas eksistensi dirinya. Setelah di masa sebelumnya (Orde Baru), wayang dihadapkan pada propaganda politik, standarisasi, problematika identitas kelokalan serta pembentukan budaya nasional. Terlepas dari itu, sang dalang Asep Sunandar mungkin tidak memiliki pilihan lain dalam mengenalkan wayang pada khalayak yang lebih luas melalui televisi.

            Sampai di tahap ini, saya pribadi bisa menilai mengapa sang dalang Asep Sunandar membuat lakon Si Cepot dengan wajah berwarna merah; boleh dikata hal itu merupakan simbol kemarahan pada situasi zaman yang dihadapi, bisa juga diartikan sebagai kesakitan eksistensial, atau boleh jadi di masa krisis (Reformasi) itu Si Cepot justru mengalami pencerahan (terlahir kembali) layaknya bayi yang berwarna merah di sekujur tubuhnya. Namun dalam tulisan ini saya tidak hendak membahas perkara itu. Saya lebih tertarik bagaimana wayang golek yang merupakan warisan para penyebar Islam (Walisanga) bisa sampai dan digunakan di Jawa Barat, juga bagaimana para dalang (khususnya Asep Sunandar yang kebetulan menjadi subjek dalam penelitian buku) mengartikulasikan ulang wayang dalam upaya visi awalnya untuk menerjemahkan Islam dalam konteks kiwari.

            Hampir semua peneliti dan praktisi wayang memiliki kesimpulan bahwa wayang merupakan salah satu peninggalan kreasi seni paling agung yang diwarisi bangsa Indonesia. Beberapa peneliti menilai awal kemunculan wayang digunakan pada periode Hindu dan sumber-sumber pembentuk ceritanya adalah epos Mahabrata dan Ramayana. Di samping itu, banyak pula ahli dan peneliti lain yang berpandangan bahwa wayang dalam bentuk, lakon-lakon, dan kisahnya yang diterima hari ini merupakan warisan Islam di masa Wali Sembilan (Walisanga). Sunan Kalijaga yang dikenal sebagai dai (pendakwah) di masa formatur awal Islam, menggunakan kulit hewan (wayang kulit) sebagai medium penerjemahan dan penyebaran agama. Sementara itu, Sunan Giri dan Sunan Kudus dianggap yang memulai reformasi dan reorganisasi wayang di masa setelahnya yang lebih beragam.

Bagi Sarah Anais Andrieu dalam buku ini, Sunan Giri selain menciptakan wayang gedog pada tahun 1553 yang menampilkan kisah-kisah mengenai Pangeran Panji yang legendaris mencari cinta sejati, juga dianggap sebagai penemu wayang golek yang kemudian dikenal dan digunakan di Jawa Barat kini.

            Tambahnya, wayang golek pada mulanya digunakan sebagai pendukung cerita Amir Hamzah (paman Nabi) yang mendefinisikan secara bersamaan repertoar wayang menak (di daerah Kudus) dan wayang cepak/papak (di daerah Cirebon). Sementara dalam wawancaranya kepada sang dalang Asep Sunandar, beranggapan bahwa “wayang golek tidak lebih dari sekadar modernisasi dari wayang kulit, berbentuk tiga dimensi: bertujuan lebih mendekatkan wayang pada masyarakat; yang analogi antar tokoh serta orangnya harus dipermudah, dan supaya masyarakat tetap mencintai wayang”. (Lihat hlm 50-53).

            Bagi saya pribadi, wayang golek yang terbuat dari kayu menjadi ciri khusus seiring berjalannya proses islamisasi di Jawa. Hal tersebut berdasar pada keterangan Denys Lombard dan M.C Ricklefs, yang berpendapat bahwa kedatangan Islam secara nyata menyebabkan terhentinya kegiatan pembangunan arsitektural tertentu (batu) yang lama diwariskan dan beralih menjadi kayu. Begitu memasuki fase Islam, penggunaan kayu langsung dijadikan bahan utama pembangunan masjid Demak sebagai tempat berundingnya para wali sembilan (Walisanga). Masjid ini sekaligus melegitimasi diri sebagai otoritas religius dan kerajaan Islam pertama di Jawa.

            Hingga dalam perkembangan selanjutnya, penggunaan kayu menjadi penanda umum bangunan Kesultanan Islam di semua kepulauan Nusantara. Seiring terjadinya proses islamisasi dengan perkembangan kota-kota bandar (kosmopolit) di semua kepulauan itu, Sarah Anais Andrieu dalam buku ini menyebut Banten dan Cirebon yang terletak pulau Jawa bagian Barat memiliki dukungan dari Demak. Karenanya, pada masa itu para bangsawan Sunda sering bepergian secara teratur untuk menyempurnakan pengetahuan mereka (Lihat hlm, 47-50).

 Sunda-Jawa: Antara Pengaruh dan Dominasi

            Tome Pieres dalam catatannya “Summa Oriental” menyebut, di pulau Jawa ia melihat dua kerajaan Hindu besar seperti meriam kembar, yaitu Padjajaran dan Majapahit. Di periode sebelumnya, dalam catatan-catatan sejarah, kerajaan Hindu pertama berawal di Jawa bagian Barat, yaitu Tarumanegara (abad ke-4 hingga ke-7) hingga berkembang dan mencapai masa keemasannya di Jawa bagian Timur yaitu Majapahit, lalu di penghujung keruntuhan dan peralihannya, Islam bersemai di Jawa bagian Tengah yaitu di Demak. Di fase peralihan dan formatur Islam paling awal ini, saya pribadi hampir tidak menemukan term atau pembeda diri antara Jawa dan Sunda, karena pasca runtuhnya Padjajaran, tidak ada kekuasaan politik dan otoritas religius yang menggantikannya, hal serupa mungkin juga terjadi pada Jawa bagian Timur pasca runtuhnya Majapahit. Sehingga mungkin saja, tapal batas etnisitas dalam pengertian barunya (dari pemerintah Hindia Belanda) yang muncul setelahnya tidak penting lagi, karena yang amat krusial saat itu adalah peralihan menuju Islam.

            Demak sebagaimana tinjauan yang dilakukan oleh De Graaf dan Pigeaud, menjadi kerajaan dan otoritas religius Islam pertama dalam mengisi kekosongan itu. Sebagaimana telah diuraikan di alinea sebelumnya, kita melihat para pembesar atau kaum menak Sunda pada saat itu sering bepergian ke Demak secara teratur untuk menyempurnakan pengetahuan (Islam) mereka. Sebuah potret serupa dilakukan para cendikia Islam di kepulauan Nusantara yang singgah dalam waktu lama di Malaka (sebelum berangkat ke Mekah), setelah menyempurnakan pengetahuan Islamnya di Mekah, para cendikia Islam ini kemudian menghimpun diri dalam jejaring ulama al-Jawi.

            Namun bila dalam perkembangan selanjutnya terjadi pengikisan akibat dari situasi politik kolonial dan Mataram Islam, maka itu benar dan menjadi kompleks; politik kolonial menciptakan narasi sejarah perang bubat yang sangat politis, dan Sultan Agung (1620) menyatukan Sunda bagian timur (Sumedang Larang) sebagai wilayah taklukan Mataram Islam. Dengan demikian, Zanten W. Van dalam kajian etnomusikologi gaya Cianjuran, menyebut Priangan menjadi nama kelompok daerah-daerah administratif di bawah pemerintahan Mataram Islam. Lebih lanjut ia menemukan, di bawah dominasi ini bupati-bupati lokal daerah Priangan hanya memperoleh status rendah dan harus memberikan kepada pemerintah pusat sejumlah produk daerah dengan jumlah yang sangat besar, serta melayani sendiri sang Sultan, terutama saat perayaan acara Maulid Nabi Muhammad SAW.

Pada masa dominasi ini pula, satu set gamelan salendro/pelog diimpor dari Mataram (Jawa Tengah) ke Priangan. Zanten W. Van hanya menyebut Banten sebagai pengecualian, yang di saat itu berstatus merdeka dari dominasi Mataram Islam.

            Dalam proses peralihan masyarakat Sunda pada Islam, studi-studi kontemprer yang tersedia sebagai bahan tinjauan sangat terbatas (karena sejak awal memang sudah sangat terbatas), lebih banyak studi yang menjadi kelanjutan dari studi-studi para sarjana kolonial di periode pertama, dan lebih berpusat pada studi di Jawa dalam pengertiannya hari ini sebagai hasil peninggalan Mataram Islam. Sehingga term Jawa yang kemudian dipahami, menjadi oposisi biner dari Sunda, dan yang lainnya. Pembedaan Jawa-Sunda selanjutnya sangat mungkin diciptakan oleh pemerintah kolonial, di samping karena ekspansinya dengan melakukan politik adu domba (devide et impera), ditambah kecenderungan para ilmuwan kolonial yang selalu mengembalikan tanah jajahan pada masa Hindu (Padjajaran-Majapahit) sebagai fondasi masa lalunya (foundational past), padahal keduanya sudah runtuh dan tidak ada.

            Di saat yang sama Islam sedang bergerak menjadi kekuatan transformasi dan fondasi baru, namun hal tersebut dinilai dapat mengancam kuasa kolonial yang mulai mapan, sehingga pemerintah kolonial berkepentingan untuk meredam kekuatan baru (Islam) itu dengan melakukan segregasi politik. Di kemudian hari, politik segregasi ini mampu memecah kekuatan politik Islam yang pada masa itu bermuara di Demak, menjadi kepingan kerajaan-kerajaan kecil di sepanjang pantai utara Jawa, termasuk dengan berdirinya kerajaan Banten dan Cirebon di Jawa bagian Barat.

Wayang Golek dan Penerjemahan Islam

            Sunan Kalijaga merupakan satu di antara sembilan wali (Walisanga) dan dikenal yang menggubah wayang dengan bentuk barunya (wayang kulit) hari ini. Sunan Kalijaga pula yang membawa wayang kulit tersebut dalam proses penyebaran Islamnya sampai di Cirebon. Sedangkan Cirebon, sebagaimana kita tahu merupakan wilayah kesultanan yang didirikan oleh Sunan Gunung Jati. Dari situ kita bisa melihat perbedaan jalan yang dilalui oleh kedua wali di antara wali sembilan (Walisanga) tersebut. Jalan dakwah (kebudayaan) Sunan Kalijaga berbeda dengan Sunan Gunung Jati yang jalan dakwahnya di wilayah pendidikan dan politik. Hingga kemudian setelah wayang kulit itu sampai dan diterima oleh masyarakat Cirebon, wayang kulit kemudian mengalami perkembangan.

            Kembali ke uraian di awal alinea, Sarah Anais Andrieu berpendapat bahwa Sunan Giri merupakan penemu wayang golek, meskipun bila ditelusuri lebih lanjut dapat memunculkan perdebatan; karena ada yang menyebut penemunya adalah Sunan Kudus. Hal ini berdasar karena repertoar wayang menak dalam cerita Amir Hamzah (paman Nabi) ditampilkan di Kudus. Perdebatan tersebut bagi saya malah semakin mempertegas hipotesa sebelumnya bahwa tapal batas Jawa-Sunda di periode Islam awal itu tidak ada; bila dikata Sunan Giri sebagai penemu, sebagaimana kita tahu Sunan Giri berasal dari Blambangan dan menyebarkan Islamnya dikemudian hari di daerah Giri, Gresik, Jawa Timur. Begitu pula jika penemu wayang golek itu adalah Sunan Kudus, ia juga berada dan kini menjadi wilayah yang berada di ujung Jawa Tengah. Terlepas dari itu semua, wayang golek kemudian sampai dan populer di Jawa Barat.

            Dengan populer dan bertahannya wayang golek di masyarakat Sunda, seiring dengan beralih dan transformasinya pada Islam, memperlihatkan bahwa wayang golek berhasil menjadi media kreatif dalam visi awalnya untuk menerjemahkan Islam di wilayah Sunda. Islam dalam keterangan al-Qur’an adalah rahmat bagi alam semesta, ia melingkupi semua batas-batas identitas yang terangkum oleh kebudayaannya yang berbeda-beda. Bersamaan dengan itu, Islam (al-Qur’an) di peruntukan untuk manusia. Dengan demikian, ia perlu diterjemahkan dalam bahasa dan rangkum kebudayaan yang berbeda-beda itu untuk bisa dimengerti. Sehingga, kalam-kalam langit al-Qur’an (Islam) bisa hadir di bumi dan aktual dalam kehidupan manusia. Maka hanya para utusan (Walisanga), sebagai pewaris ilmunya para Nabi, yang kemudian diberi kemampuan untuk menerjemahkan Islam ke dalam kebudayaan masyarakatnya secara utuh.

Di masyarakat Sunda kiwari, para pendakwah (dai) seperti halnya sang dalang Asep Sunandar dengan ikonnya Si Cepot yang telah disebut di awal, merupakan upaya yang sebelumnya telah berjalan dan turut ia warisi dari wali sembilan (Walisanga), yaitu menerjemahkan Islam untuk ia hadir dan dapat dimengerti di setiap zaman.

            Si Cepot bisa populer karena ia mampu merepresentasikan rangkum kebudayaan manusia Sunda yang bisa kita saksikan memang seperti itu. Sepintas ia mirip Si Kabayan yang abai terhadap zaman, namun dalam banyak hal ucapan-ucapan yang terlihat spontan memiliki kedalaman. Gaya dan nada bicaranya seperti para dai (mubalig) pada umumnya. Namun yang membedakan, Si Cepot menyampaikan pesan agama tidak dengan doktrin yang didaktis, namun dengan kisah-kisah para Nabi dan cerita masa lalu manusia suci (para wali) yang memunculkan metafor-metafor baru. Jika para dai (mubalig) pada umumnya berceramah dengan ciri umum apa yang disebut mauidzoh khasanah (pesan-pesan yang baik), namun dai Si Cepot berceramah dengan kisah (hikmah). Dan kisah (hikmah) ini kemudian yang menjadi ciri umum dalam dunia pewayangan.

            Kisah-kisah (hikmah) itu seringkali sulit dimengerti, untuk mencernanya ia lebih dekat pada mitos ketimbang akal budi. Namun dengan begitu, seiring larutnya malam dalam pertunjukan wayang, kisah (hikmah) tersebut justru mampu membuat khalayak penonton ikut larut dalam permenungan. Selain itu, penyampaian hikmah (kisah) tersebut tidak dalam pengutaraannya secara langsung, namun dengan bodor dan cawokah (humor) yang dinilai lebih sesuai dengan ciri kebudayaan masyarakatnya. Mungkin memang dengan begitu, pesan dari kisah (hikmah) bisa sampai seiring dengan tujuan diciptakannya wayang, yaitu selain sebagai tontonan juga sebagai tuntunan.

(Sebuah Tanggapan untuk P Dr Alexander Jebadu, SVD)

“MEREKA datang dengan Alkitab dan agama mereka. Mereka merampas tanah kami dan menghancurkan semangat kami, dan sekarang mereka mengatakan kepada kami bahwa kami harus bersyukur kepada ‘Tuhan’ karena telah diselamatkan.”

            Kata-kata terkenal Chief Pontiac (1714-1769) tentang kemunafikan para penjajah Eropa yang membawa agama Kristiani ke benua Amerika sembari mengambil tanah dan mengeksploitasi penduduk asli itu kiranya cukup relevan pada hari-hari ini ketika Gereja Katolik Keuskupan Maumere dan Provinsi SVD (Societas Verbi Domini/ Serikat Sabda Allah)—kongregasi imam terbesar di Flores—melalui PT Kristus Raja Semesta Alam Maumere (PT Krisrama) menggusur rumah umatnya yang disebut penyerobot tanah negara yang telah mereka kantongi HGU (Hak Guna Usaha)-nya. 

            Alhasil kecaman pun datang dari berbagai penjuru Tanah Air, tumpah ruah di media sosial. Gereja Katolik, utamanya Keuskupan Maumere, beserta para imam Katolik yang hadir di lapangan selama penggusuran dinilai arogan, sewenang-wenang, tidak manusiawi, dan bertindak brutal. Pemberitaan tentang penggusuran itu terus meluas di berbagai media massa, lokal maupun nasional, dalam maupun luar negeri.

Dan seperti yang telah bisa diduga, kemudian bermunculanlah sederet pembelaan diri, terutama oleh para imam, yang intinya adalah membangun narasi bahwa umat yang digusur tersebut justru merupakan para perampas tanah (land grabber).

             Namun yang paling membuat orang-orang kaget adalah opini Pater Dr Alexander Jebadu, SVD berjudul “Uskup Maumere Tidak Rampas Tanah Umatnya (Tanggapan Berita Miring dari UCA News)” yang dipublikasikan di Media Indonesia (12/02/2025). Bagaimana tidak, dalam tulisannya itu Pater Jebadu bukan hanya sekadar menegaskan betapa sahnya sertifikat HGU yang dimiliki oleh PT Krisrama sehingga tak bisa diganggu gugat, tetapi juga menyampaikan pemikirannya yang sangat orientalis, paternalistik, dan cenderung rasis dalam upayanya menjelaskan sejarah Tanah Nangahale secara berpanjang-lebar setelah sebelumnya dengan arogan melemparkan pertanyaan yang lebih mirip tantangan kepada publik:

Tanah Nangahale yang dikisruhkan ini adalah tanah HGU. Nah, apa itu tanah HGU? Mengapa tanah ini disebut tanah HGU? Mengapa tanah ini menjadi tanah HGU? Bagaimana prosesnya dan apa konteks sejarah Indonesia sampai tanah ini menjadi tanah HGU? Siapa pemilik tanah yang disebut tanah HGU menurut hukum di Indonesia?

Kalau Anda tidak tahu atau menjawab pertanyaan ini secara tidak benar dan tidak paham sejarah masa lalu suku-suku di Indonesia, maka Anda tanpa sadar akan berkubang di dalam kekeliruan. Anda bisa menjadi penyesat warga masyarakat dan melakukan tuduhan palsu alias tidak benar. Anda menampar orang yang tidak bersalah. Itu sebuah kejahatan (crime) dan Anda harus dihukum.

            Dari sinilah, ia yang merasa memahami betul sejarah masa lalu suku-suku di Indonesia kemudian dengan penuh keyakinan mulai mengemukakan pandangannya yang sangat khas kolonialis kulit putih seraya pada saat yang sama secara tak langsung memperlakukan para pengkritik Gereja Katolik Keuskupan Maumere sebagai orang-orang bodoh yang tidak tahu apa itu tanah HGU dan tidak paham sejarah Indonesia.

            Kendati bagi orang-orang yang mengerti sejarah dan wacana pascakolonialisme, pernyataan-pernyataan dalam opininya itu dengan jelas menunjukkan bahwa dosen Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero inilah yang justru tidak memahami sejarah bangsanya sendiri, sejarah kekristenan Barat dan sejarah Gerejanya sendiri (bahkan secara umum!) dan apa itu kolonialisme.

Dari Prasasti sampai Catatan Biksu China

SAYA kira tak ada gunanya bagi siapa pun untuk memperdebatkan fakta hukum terkait kepemilikan sertifikat HGU Tanah Nagahale dan Patiahu oleh PT Krisrama dengan Pater Jebadu maupun pihak Keuskupan Maumere lainnya melalui tulisan di media massa maupun media sosial. Perdebatan soal itu lebih tepat dibawa ke meja persidangan yang menghadapkan PT Krisrama dengan masyarakat adat Suku Soge Natarmage dan Goban Runut-Tana Ai. Meskipun sudah jadi rahasia umum jika hukum di Indonesia kerapkali tumpul ke atas tetapi tajam ke bawah. Dan kita tahu, dari sekian banyak kasus konflik agraria yang terjadi dari Sabang sampai Merauke, amatlah jarang rakyat miskin—orang-orang kampung sederhana—bisa menang melawan orang-orang yang punya uang dan kuasa maupun perusahaan. Bahkan belakangan ini kita juga dibuat ternganga oleh kenyataan bahwa di laut pun koorporasi ternyata bisa memperoleh sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan terbukti yang diseret berurusan dengan hukum hanyalah seorang kepala desa dan stafnya, alih-alih meluputkan pejabat agraria, investor dan pemain lainnya yang punya uang, koneksi dan kuasa.

Bahkan belakangan ini kita juga dibuat ternganga oleh kenyataan bahwa di laut pun koorporasi ternyata bisa memperoleh sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan terbukti yang diseret berurusan dengan hukum hanyalah seorang kepala desa dan stafnya, alih-alih meluputkan pejabat agraria, investor dan pemain lainnya yang punya uang, koneksi dan kuasa.

            Ini perlu saya ingatkan kepada Pater Jebadu seperti halnya ia merasa perlu mengingatkan publik yang dipandangnya buta sejarah bahwa “Indonesia sebagai satu bangsa dan satu negara baru lahir tahun 1945”, seolah-olah peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta itu merupakan sebuah momen yang cuma diketahui oleh segelintir orang Indonesia termasuk dirinya.

            Karena itu, lebih jauh ia pun tanpa ragu mengemukakan klaim-klaimnya yang bukan saja ngawur dan tidak bertanggungjawab secara historiografis tetapi juga sungguh merendahkan dan menggelikan! Coba perhatikan kutipan berikut:

Sebelum tahun 1945, suku-suku di Kepulauan Nusantara (yang sekarang menjadi Indonesia) hidup sangat sederhana. Mereka sangat primitif alias sangat terbelakang. Belum ada sekolah untuk mengasah mereka jadi pintar. Mereka tak tahu baca dan tulis. Belum ada bahasa pemersatu untuk bersoal-jawab pertahankan hak atas sumber-sumber hidup termasuk tanah ulayat.

Melayu sudah menjadi lingua franca (bahasa umum), tapi hanya terbatas segelintir suku pedagang pesisir pantai yang menguasainya. Suku-suku terpencil di pedalaman yang jumlahnya mayoritas sebagai masyarakat petani belum menguasai Bahasa Melayu.

Suku-suku Kepuluan Nusantara yang masih primitif ini hidup terpencar-pencar di tiap pulau, menurut suku dan budayanya masing-masing. Dalam kondisi keterbelakangan demikian, bangsa-bangsa Eropa mulai satu persatu datang menunjukkan batang hidungnya. Mula-mula mereka datang berdagang beli rempah pala, lada, cengkeh dan sebagainya. Kemudian perlahan-lahan mereka kuasai, jajah dan rampok.

            Dari mana atau atas dasar referensi apa pastor ini bisa sampai menyimpulkan bahwa sebelum tahun 1945, suku-suku di Kepulauan Nusantara (yang sekarang menjadi Indonesia) hidup sangat sederhana, sangat primitif alias sangat terbelakang? Apa metodologi ilmu sejarah yang ia pergunakan?

            Apakah ia tak pernah belajar sejarah atau memang sengaja hendak mengaburkan sejarah (dan mengelabuhi pembaca) demi kepentingannya membela marwah Gereja dan ordonya yang tercoreng oleh pemberitaan dan kecaman? Lagipula, yang dimaksudnya suku-suku di Kepulauan Nusantara itu suku mana saja? Tolong sebutkan dengan jelas dong, Pater: Melayu, Sunda, Jawa, Bugis, Kaili, Dayak, dan suku-suku apa saja?

            Padahal jika ia mau membaca sejarah Nusantara (the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula) secara lebih holistik dan komprehensif, tentu ia akan tahu bahwa jauh sebelum armada Portugis (Malaka, 1511; Maluku, 1512) dan Belanda (Banten, 1596) tiba, di Nusantara telah berdiri kerajaan-kerajaan besar seperti Kesultanan Samudera Pasai (1267-1521) Kerajaan Kutai (sejak abad ke-4 M), Kerajaan Tarumanegera (sekitar abad ke-4 dan ke-5 M), Kerajaan Sriwijaya (671-1025), Kerajaan Singosari (1222-1292), dan Kerajaan Majapahit (1293-1527).

            Bahkan pada puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389)—menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV—wilayah kekuasaan Majapahit amatlah luas, meliputi sebagian besar pulau Jawa, Sumatera, Semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Malaku, Papua, Tumasik, dan sebagian kepulauan Filipina. Apakah Pater Jebadu tak pernah mendengar atau membaca tentang Mahapatih Gajah Mada dengan Sumpah Palapanya yang terkenal itu? Apakah Majapahit adalah sebuah kerajaan yang primitif dan terbelakang sebelum ditaklukkan oleh pasukan Sultan Trenggana dari Kesultanan Demak pada tahun 1527?

        Atau  tahukah Pater Jebadu bagaimana Kerajaan/Kesultanan Banten (abad 10-17) yang disebut Bantam itu, dengan segala kekayaan dan kegemilangan raja dan utusannya serta keramahan penduduknya, telah menjadi rujukan karya sastra dari banyak pengarang Eropa? Sebutlah Ben Jonson dalam The Alcemist (1610), Aphra Behn (The Court of the King of Bantam, 1683), Madeleine de Gomez (La Princesse de Java (1739), dan seterusnya (Claude Guillot, 2008: 385).

            Saya juga ingin mengingatkan Pater Jebadu karena barangkali ia lupa (atau belum tahu) bahwa Kesultanan Aceh Darussalam yang didahului oleh Kerajaan Lamuri/Lam Reh (800-1503) dan didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada 1496 serta mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) itu barulah berhasil ditaklukkan oleh Belanda pada tahu 1904. Itu pun setelah pemerintah kolonial memakai siasat licik, yakni menyusupkan seorang orientalis bernama Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936) alias Abdul Ghaffar—yang berpura-pura menjadi mualaf di Mekah untuk mempelajari Islam—ke Aceh sebagai mata-mata. Di mana ia kemudian mempergunakan pengetahuan tentang adat-istiadat dan kebudayaan Aceh yang dipelajarinya itu untuk merancang strategi mematahkan perjuangan jihad fi sabilillah rakyat Aceh. Apakah menurut Pater Jebadu, orang Aceh merupakan suku yang sangat primitif alias sangat terbelakang, sehingga untuk menguasai wilayah Aceh, Belanda harus berperang selama 31 tahun (1873-1904) dengan mengorbankan demikian banyak tentara dan biaya yang begitu besar? 

Saya juga ingin mengingatkan Pater Jebadu karena barangkali ia lupa (atau belum tahu) bahwa Kesultanan Aceh Darussalam yang didahului oleh Kerajaan Lamuri/Lam Reh (800-1503) dan didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada 1496 serta mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) itu barulah berhasil ditaklukkan oleh Belanda pada tahu 1904.

Karena telah (sengaja) melupakan keberadaan kerajaan-kerajaan besar Nusantara yang tersebut di atas, tentu saja bisa dipastikan bahwa Pater Jebadu juga lupa bahwa di tanah Jawa, Sumatera, dan wilayah lainnya pada era kejayaan kerajaan-kerajaan Hindu-Siwa dan Buddha pendidikan yang berbasis keagamaan telah terselenggara secara luas untuk seluruh lapisan masyarakat. Salah satu contohnya adalah sistem pendidikan yang dikenal sebagai “Kadewaguruan” pada era Singosari (bahkan sebelumnya), Majapahit, hingga Mataram Kuno. Cukup banyak naskah Jawa Kuno yang menyinggung keberadaan Kadewaguruan ini, di antaranya Bhomakawya, Sumana-santaka, Sutasoma, Rajapatigundala, Nagarakretagama, Tantu Panggelaran, dan Pararaton, yang menyatakan bahwa Mandala Kadewaguruan merupakan sebuah wanasrama (asrama di tengah hutan) yang dihuni dan ditempati oleh kaum resi dan pertapa beserta murid-muridnya (Santiko, 2005; Munandar, 1990).

            Situs Candi Panataran di lereng barat daya Gunung Kelud, Desa Penataran, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, Jawa Timur adalah salah satu bukti keberadaan Kadewaguruan ini secara arkeologis pada masa masa Kadiri (1052) hingga Majapahit (1486). Situs-situs lainnya adalah Candi Cetho, Candi Kethek, Candi Menggung, Candi Planggatan, dan Candi Sukuh. Sedangkan Candi Morangan di Argomulyo, Cangkringan, Sleman merupakan situs Kadewaguruan pada masa Kerajaan Mataram Kuno.

            Kadewaguruan inilah yang menjadi cikal bakal pesantren di Jawa ketika ajaran Islam berkembang semakin pesat di bawah peran dakwah Walisongo sejak abad ke-15 dan kian meluas pada abad ke-19 dan abad ke-20.

            Sementara itu dari catatan-catatan perjalanan dan pengalaman biksu Buddha Tiongkok termashyur, I-Ching/ I-Tsing [Mandarin: 義淨 – Yijing] (635-713) selama tinggal di Sriwijaya (sekitar 671-695) yang berjudul 南海寄归内法传 (Nanhai Ji Gui Nei Fa Chuan) atau A Record of Buddhist Practices Sent Home from the Southern Seas dan 大唐西域求法高僧传 (Da Tang Xiyu Qiufa Gaoseng Chuan) atau Biography of Eminent Monks Who Went to the Western Regions in Search of the Dharma during the Great Tang Dynasty, kita bukan hanya menemukangambaran tentang Kerajaan Sriwijaya sebagai pusat penting bagi studi dan praktik Buddha, tetapi juga posisi Candi Muaro Jambi (kompleks percandian Buddha terluas di Asia Tenggara) sebagai tempat para biksu dari berbagai negeri datang untuk mempelajari teks-teks Buddha sebelum melanjutkan perjalanan mereka ke Nalanda/India. Kedua karya ini merupakan sumber penting untuk memahami peran Sriwijaya sebagai pusat pembelajaran Buddha pada abad ke-7 hingga ke-8 Masehi. Ini lima abad sebelum Oxford University didirikan di Inggris.

            Kerajaan-kerajaan di Aceh pun sangat memperhatikan pendidikan masyarakatnya sebelum Kesultanan Aceh Darussalam ditaklukkan oleh Belanda. Pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan telah berkembang luas di meunasah, rangkang (semacam balai-balai), dan dayah (zawiyah). Di setiap kampung di Aceh setidaknya terdapat satu meunasah tempat diadakannya pendidikan dasar berbasis Islam bagi anak laki-laki. Perbedaan antara meunasah dan dayah adalah jika meunasah merupakan bangunan tradisional yang lebih fokus pada fungsi sosial dan keagamaan (sebagai tempat ibadah, belajar mengaji, dan bermusyawarah), dayah memiliki peran yang lebih luas dalam pendidikan dan pengembangan intelektual. Sebagai lembaga pendidikan, dayah boleh dikatakan telah mengakar sejak Islam menapak di Aceh pada abad pertama Hijriyah. Bahkan Dayah Cot Kala di Aceh Timur yang didirikan pada tahun 889 pada masa Kerajaan Perlak (Peureulak) tercatat sebagai Pusat Pendidikan Tinggi Islam pertama di Asia Tenggara.

            Para peneliti juga menemukan bahwa sistem pendidikan Nusantara pada zaman klasik ini, baik Kadewaguruan, tempat-tempat studi Buddhisme, dayah, maupun pesantren tak hanya mengajarkan agama saja tetapi juga semua ilmu pengetahuan yang ada pada masanya seperti pengetahuan umum, politik, filsafat timur, sejarah, bahasa, matematika, medis, astronomi, dan teknologi selain berbagai ilmu praktis untuk kehidupan sehari-hari seperti pertanian, tataboga, dan tenun.

            Seperti yang diungkapkan oleh sejarawan muda Asisi Suhariyanto dalam kanal youtube Asisi Channel (“Indonesian Education System Since Ancient Times”), salah satu sifat dari Kadewaguruan adalah pendidikannya yang merata untuk semua kalangan, baik anak bangsawan maupun rakyat jelata. Hal ini, menurutnya, selain bisa kita ketahui dari kisah Ken Angrok (Ken Arok) dalam Pararaton, juga dari pendirian-pendirian prasasti misalnya prasasti penempatan sima (daerah otonom) yang dibuat untuk dibaca oleh publik.

Catatan para pedagang Tiongkok pada era Dinasti Tang (618-907) dan Dinasti Song (960-1279) menyebutkan pula bahwa pada tahun 640 terdapat sebuah kerajaan bernama Ho-Ling yang penduduknya memiliki kemampuan dalam baca-tulis dan astronomi (Suwandono, 2013). Ho-Ling adalah nama Cina untuk Kerajaan Hindu Kalingga di pantai utara Jawa Tengah (antara Pekalongan dan Jepara).

            Lalu bagaimana seorang dosen bergelar doktor seperti Pater Jebadu bisa menyimpulkan bahwa suku-suku di Nusantara itu sangat primitis alias sangat terbelakang?

            Apakah penemuan-penemuan prasasti tertulis, berbagai catatan lontar, dan kitab kuno belum cukup terang bagi dirinya untuk melihat bahwa masyarakat Nusantara sesungguhnya bukanlah masyarakat yang buta huruf sama sekali sebelum kedatangan bangsa Eropa, tetapi telah banyak menguasai baca-tulis dalam aksara Pallawa (bahasa Sanskrit), aksara Jawa Kuno (Kawi), aksara Jawa, aksara Bali, aksara Sunda Buhun, dan aksara Jawi (dikenal juga sebagai aksara Arab-Melayu atau Arab Gundul) yang dipergunakan secara luas untuk menulis surat-menyurat, dokumen-dokumen resmi, catatan sejarah, tembang dan karya kesusastraan?

            Jawabannya, seperti yang telah saya singgung di atas, ada dua kemungkinan. Kalau bukan karena ia memang buta sejarah bangsanya sendiri, berarti ia sengaja hendak mengaburkan sejarah. Dan untuk yang kedua, selain hal ini ia lakukan untuk membela marwah Gerejanya dalam kasus penggusuran PT Krisrama, boleh jadi memang merupakan pandangan pribadinya yang autentik kaum orientalis Barat—yang selalu memandang dan memperlakukan masyarakat pribumi jajahan sebagai subjek inferior demi menguatkan posisi superioritasnya sebagai penjajah. Sehingga di sini ukuran melek huruf buat Pater Jebadu tampaknya hanya terbatas pada baca-tulis huruf Latin (Alphabet) saja.

            Ah, sampai di sini saya pun jadi terkenang pada kisah Tom Hong, ayah sang narator dalam novel memoar Maxine Hong Kingston China Men (1981) yang notabene adalah seorang sarjana Dinasti Qing, tatkala ia pertama kali tiba di Amerika Serikat dan menjalani pemeriksaan oleh petugas imigrasi kulit putih di Angel Island, San Fransisco:

 “Can you read and write?” the white demon asked in English and the Chinese American asked in Cantonese.

“Yes,” said the legal father.

But the secretary demon was already writing No since he obviously couldn’t, needing a translator. (Kingston, 1981: 60)

            Berakhirnya kolonialisme fisik secara formal dengan kemerdekaan negara-bangsa bekas jajahan, bukan berarti berakhir pula pandangan orientalisme seperti ini. Sebab, di samping—seperti yang pernah diungkapkan Katrin Bandel dalam “Sastra Pascakolonial di Indonesia”—relasi kekuasaan global tetaplah sejalan dengan apa yang telah dimulai pada era kolonial dengan negara-negara Eropa dan superpower baru (utamanya Amerika Serikat) tetap dominan secara ekonomis dan budaya (neo-kolonialisme), keterjajahan juga masih terus berlangsung hingga kini terutama dalam bentuk produksi ilmu pengetahuan maupun dalam  pola pikir, selera, dan moralitas akibat warisan pendidikan dan hukum ala kolonial.

Pandangan Orientalisme Seorang Imam Katolik

APA itu orientalisme? Orientalisme dapat diartikan sebagai cara Barat mendefinisikan dan memahami dunia Timur menurut cara pandang dan pengalaman orang-orang Eropa. Di mana ia dijadikan sistem pengetahuan yang bukan saja berfungsi sebagai kerangka konseptual untuk menyaring dunia Timur ke dalam kesadaran Barat, tetapi juga untuk mendominasi, menata ulang, dan menetapkan kekuasaan Barat terhadap dunia Timur. Dengan begitu, orientalisme—mengutip kata-kata Edward W. Said dalam bukunya Orientalisme (1978)—lebih kepada “tanda kekuasaan Atlantik-Eropa terhadap Dunia Timur daripada sebagai wacana yang murni dan jujur mengenai Timur.”

Menurut Juri Lina dalam bukunya Architects of Deception: The Concealed History of Freemasonry (2004), ada tiga cara untuk melemahkan dan menjajah suatu bangsa/negeri, yaitu: 1) Kaburkan sejarahnya, 2) Hancurkan bukti-bukti sejarah bangsa itu agar tidak bisa diteliti dan dibuktikan kebenarannya, 3) Putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya, katakan bahwa leluhurnya itu bodoh dan primitif.        

Ketiga hal inilah yang coba dilakukan oleh bangsa Eropa ketika menancapkan kolonialismenya di tanah Asia-Afrika. Di mana untuk menguasai penduduk pribumi dan mempertahankan tanah jajahannya, kaum kolonialis ini tidak hanya membutuhkan kekuatan senjata dan beragam strategi tetapi juga memproduksi apa yang diperkenalkan oleh Said sebagai wacana kolonial atau “colonial discourse”.

Di sinilah, kolonialisme kemudian dibangun di atas “colonial imagination” yang menghasilkan pengetahuan kolonial tentang wilayah, orang, dan budaya terjajah secara bias dan manipulatif—sebuah fabrikasi kebohongan dan mitos, percampuran antara fakta dan fisik—yang ditulis semata-mata untuk melayani kepentingan sang penjajah. Sehingga tak heran jika dalam mendeskripsikan masyarakat jajahan, kaum kolonial seolah-olah menulis di atas kertas kosong tentang masyarakat yang sama sekali belum ditandai. Mereka menamakan, mencirikan, mengkaji masyarakat terjajah tersebut dalam kerangka kerja bahasa dan aturan-aturan kolonial.

Akibatnya, dalam kajian-kajian para orientalis, perbedaan Barat dan Timur ini ditegaskan sedemikian rupa secara ontologis dan epistemologis, dengan menempatkan Barat pada posisi superior atas Timur yang direpresentasikan sebagai subyek inferior yang terbelakang dan barbar, tidak rasional, penuh takhayul, dan tidak dapat merepresentasikan dirinya sendiri.

Penciptaan mitos “pribumi malas”, “orang Asia pembohong”, “otak orang kulit hitam kurang berkembang”, termasuk dalam hal ini “suku-suku Nusantara sangat primitif alias sangat terbelakang” yang dikemukakan oleh Pater Jabadu, adalah contoh dari wacana kolonial yang diikuti oleh serangkaian diskursus moral misi pemberadaban (civilising mission) yang direpresentasikan sebagai tanggungjawab kemanusiaan bahkan tugas suci bangsa Eropa.

Seperti yang pernah saya tulis dalam esai “Memeriksa Kembali Max Havelaar” (tengara.id, 31/12/2022), salah satu peristiwa tekstual monumental yang menunjukkan orientalisme dalam praktiknya yang paling khas, antara lain bisa kita temukan dalam novel Robinson Crusoe karya Daniel Defoe, terutama peristiwa pertemuan Crusoe dengan seorang penduduk pribumi di pulau terpencil di luar Eropa tempatnya terdampar. Karena itulah, sebagai sosok Eropa yang menganggap dirinya lebih beradab, Crusoe perlu mengajari Friday cara makan yang benar (sesuai dengan cara Eropa), cara berbicara yang benar (menggunakan bahasa Inggris/Eropa), dan mengenalkannya kepada Tuhan yang benar (Tuhan agama Kristen), sembari pada saat yang bersamaan merasa berhak mengklaim pulau “kosong” (tapi berpenghuni) tempatnya terdampar itu sebagai penemuan dan miliknya.

Di samping dapat dikatakan sebagai awal pertemuan sang colonizer dengan the colonized, peristiwa ini juga menjadi repetisi genesis; dan karena itu Crusoe pun memperoleh kekuasaan atas Friday dan otoritas untuk menyertakan peristiwa itu dalam keseluruhan kisah yang menjadi “miliknya”, termasuk kisah tentang hubungannya dengan Friday. Dengan begitu, muncullah asumsi bahwa sebelum adanya kesaksian dari sosok Eropa yang diwakili oleh Tuan Crusoe, keberadaan Friday pra-pertemuan awal itu diabaikan. Bahkan lebih jauh lagi, karena ia dibahasakan dalam sistem wacana yang diberi otoritas maka apapun yang terjadi sebelum peristiwa itu dianggap tidak ada atau dihapuskan!

Keunggulan Crusoe (penjajah Barat) atas Friday (pribumi) yang ditunjukkan oleh Defoe seperti hendak menyatakan kepada kita bahwa struktur kekuasaan kolonial bukan saja dilegitimasi sebagai sesuatu yang baik bagi tanah jajahan, tetapi juga disusun kembali menjadi hubungan guru dan murid. Di mana penduduk pribumi membutuhkan pimpinan dan bimbingan dari ras Eropa yang superior agar dapat hidup lebih baik. Sehingga dengan begitu kolonialisme pun dimaknai sebagai “pembebasan” bagi kaum terjajah. Hal ini persis dengan apa yang diungkapkan karakter Pendeta Wawelaar lewat narasi tokoh narator Batavus Droogstoppel dalam novel Max Havelaar karya Multatuli (Eduard Douwes Dekker):

“Demikianlah para Kekasihku, panggilan tugas kaum Israil yang mulia, (maksudnya membinasakan penduduk Kanaan), dan demikian pula panggilan tugas negeri Belanda! Tidak, orang tidak akan mengatakan bahwa terang yang menyinari kita, kita tutup dengan takaran gandum, bahwa kita pelit dalam membagikan rezeki kehidupan yang kekal. Pandanglah pulau-pulau di Samudera Hindia, yang didiami oleh berjuta-juta cucu dari putera nabi Nuh yang dibuang, dan memang sepantasnya dia dibuang—sedangkan nabi Nuh yang mulia itu berkenan kepada Tuhan. (Max Havelaar, 140)

Tak bisa dipungkiri bahwa selama berabad-abad dan mencapai puncaknya pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, misi penyebaran agama Kristiani ini (baik oleh Zending maupun Katolik) telah menjadi salah satu pembenaran praktik kolonialisme. Bahkan boleh dibilang sebagai salah satu dari tiga semboyan pendorong penjelajahan samudera bangsa Eropa termashyur yang “memunculkan” praktik kolonialisme dan imperialisme, yakni Gold, Glory, dan Gospel.

Itu sebabnya dalam khotbah-khobat Pendeta Wawelaar, diyakini betul bahwa bangsa Belanda yang beradab dan makmur karena kekristenannya memikul tugas suci dari Tuhan untuk membawa peradaban, pengetahuan, dan agama kepada orang Jawa yang tersesat lewat praktik kolonialisme:

Tapi, para Kekasih, Pendeta Wawelaar meneruskan, Tuhan adalah Tuhan cinta kasih. Ia tidak mau orang berdosa jadi binasa, tapi supaya ia bahagia dengan anugerah, di dalam Kristus, oleh kepercayaan! Karena itulah negeri Belanda terpilih untuk menyelamatkan apa-apa yang dapat diselamatkan dari orang-orang yang celaka itu. Untuk itu Ia, dalam kebijaksanaanNya yang tidak dapat diduga, memberikan kekuasaan kepada sebuah negeri yang kecil, tapi besar dan kuat karena pengetahuannya akan Tuhan, untuk menguasai penduduk daerah-daerah itu, supaya mereka dapat diselamatkan dari azab neraka oleh Injil yang suci dan mulia. Kapal-kapal negeri Belanda melayari samudera luas, dan membawa peradaban, kekristenan, kepada orang Jawa yang tersesat.

Tidak, negeri Belanda yang bahagia, tidak menginginkan kebahagiaan untuk dirinya sendiri; kita juga ingin membaginya kepada orang-orang yang celaka di pantai-pantai yang jauh, orang-orang yang terbelenggu dalam ketidakpercayaan, tahyul, dan kecabulan. (Max Havelaar, hlm. 141-142)

Bahkan Multatuli sendiri dengan congkak memperbandingkan dirinya dengan Kristus ketika ia berpidato sebagai tokoh Max Havelaar di depan para pembesar bumiputera dalam “Pidato Lebak”, di mana ia bukan saja yakin dirinya telah diutus untuk menjadi penguasa yang adil dan rendah hati, tetapi juga untuk menjadi seorang “saudara yang lebih tua”.

            Lantas, apakah lahirnya kebijakan Politik Etis (Ethische Politiek) di bumi Hindia Belanda pada  17 September 1901 sebagai respons terhadap meningkatnya kritik dan tekanan para politikus Partai Liberal Belanda (utamanya Conrad Theodor van Deventer lewat artikelnya “Een Eereschuld”/“Hutang Budi”) kepada pemerintah kolonial Belanda terkait kondisi sosial-ekonomi yang semakin buruk di daerah koloni baik akibat efek pelaksanaan Tanam Paksa (Cultuurstelsel) sebelumnya maupun penerapan ekonomi kapitalisme liberal Undang-Undang Agraria 1870 memang sungguh-sungguh meningkatkan kesejahteraan penduduk tanah jajahan?

***

DI bidang pendidikan, politik balas budi ala kolonial Belanda barangtentu hanyalah balas budi setengah hati. Sebab pemerintah kolonial yang mengerti betul pentingnya pendidikan dalam mencerdaskan dan membangkitkan kesadaran sebuah bangsa tetap mengontrol penyelenggaraan pendidikannya secara ketat.

Setelah beratus-ratus tahun melarang masyarakat jajahan untuk “bersekolah” dan menghancurkan semua tatanan masa klasiknya yang menjadi penyebab keterputusan budaya, di masa penerapan Politik Etis ini mereka hanya mengijinkan segelintir kaum pribumi untuk mengenyam pendidikan ala Eropa yaitu orang-orang dari golongan bangsawan dan anak-anak pejabat bumiputera. Itu pun dengan tujuan khusus yakni menciptakan sebuah golongan elite terdidik pribumi untuk dijadikan pegawai kolonial, yakni sebuah kelas perantara/penerjemah antara kekuasaan kolonial dan masyarakat jajahan yang dibodoh-bodohkan. Jean Paul Sartre menyebut golongan ini sebagai Kinglet, dan Homi K. Bhaba dalam bukunya The Location of Culture (1994) membahasakannya sebagai “a subject of a difference that is almost the same but not quite”.

Karena itu tak heran jika menurut berbagai data sejarah, sampai tahun 1930 diperkirakan hanya sekitar 2-3% saja anak-anak pribumi yang mengenyam pendidikan formal ala Belanda di HIS (Hollandsch-Inlandsche School), MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), AMS (Algemeene Middelbare School), dan STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen). Sementara anak-anak dari golongan Tionghoa sama sekali tidak diperhitungkan. Sehingga pada 1900, orang-orang Tionghoa pun mendirikan organisasi pendidikan pertama yang sepenuhnya mandiri, yakni Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) di Batavia, yang secara politik berorientasi ke China Daratan. Seperti dikatakan Mary F. Somers Heidhues dalam Bangka Tin and Muntok Pepper (1992), karakter sekolah ini menggunakan bahasa Mandarin dalam pengajarannya, dengan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua, tetapi tidak memberikan pelajaran bahasa Belanda. Model mereka adalah sekolah modern di Tiongkok dan Jepang, dengan pengaruh Barat yang kuat dalam mata pelajarannya. THHK meluaskan cabang-cabangnya ke berbagai wilayah Hindia Belanda dengan cepat. Akibatnya pemerintah kolonial Belanda yang takut kehilangan kawulanya dari golongan Tionghoa dan khawatir pengaruh politik Tiongkok bakal mengancam kekuasaan mereka di Hindia pun terburu-buru mendirikan HCS (Hollandsche Chineesche School) pada tahun 1908 sebagai tandingan.

Meskipun harus kita akui bahwa pendidikan Politik Etis tersebut ikut berandil melahirkan para founding father kita, tetapi bangsa penjajah yang menyelenggarakan pendidikan secara merata bagi seluruh rakyat Indonesia hanyalah imperialis Jepang. Dalam propaganda politiknya sebagai saudara tua bangsa Asia itu, selain menginstruksikan pengajaran bahasa Jepang hingga ke desa-desa, pemerintah pendudukan Jepang yang melarang penggunaan bahasa Belanda juga menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi dalam administrasi, pendidikan, media massa, dan hukum.

Tentu di luar sekolah-sekolah pemerintah kolonial dan sekolah swasta Tionghoa, juga terdapat sekolah-sekolah yang didirikan oleh organisasi Muhammadiyah (1911) dan Perguruan Taman Siswa (1922) serta sekolah-sekolah yang didirikan untuk kepentingan misi Zending dan Katolik, di mana Pater Jebadu merupakan salah satu produknya jauh di kemudian hari.

Sekolah Zending pertama di Hindia Belanda didirikan oleh Joseph Kam dari Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG) pada 1831 di Minahasa, Sulawesi Utara dengan tujuan menyebarkan ajaran Protestan sekaligus memberikan pendidikan dasar kepada penduduk lokal. Sedangkan dua sekolah misi Katolik pertama adalah sekolah-sekolah guru Normaalschool-Kweekschool (1900/1904) yang didirikan Romo van Lith, SJ di Muntilan, Magelang dengan tujuan mencetak para katekis untuk kebutuhan misi dan Sekolah Santa Ursula di Weltevreden (Jalan Pos, Jakarta Pusat) pada 1906 dengan nama HBS Princess Juliana di bawah asuhan suster-suster Ordo Santa Ursula (OSU).

Saya kira di sini saya tak perlu mengungkapkan tentang sejarah hubungan pasang-surut antara Gereja Katolik dengan Pemerintah Belanda. Tetapi yang jelas, setelah Tahta Suci mencapai kesepakatan dengan pemerintah kolonial Belanda yang dituangkan dalam Nota der Punten pada 1847, vikaris dan para imam boleh dibilang digaji dan dibiayai perjalanannya oleh pemerintah. Mereka juga mendapatkan tunjangan tahunan dari Kerajaan Belanda. Sehingga dengan demikian mereka menjadi pegawai negeri sekaligus misionaris dan mendapat perlakuan yang sama seperti para pendeta Protestan.

Bukankah STFK Ledalero almamater Pater Jebadu sendiri didirikan oleh para misionaris SVD pada masa kolonial Belanda, tepatnya pada tahun 1937?

Sehingga pernyataan Pater Jebadu bahwa sebelum tahun 1945 suku-suku di Kepulauan Nusantara (yang sekarang menjadi Indonesia) hidup sangat sederhana, sangat primitif, dan tak tahu baca-tulis karena belum ada sekolah untuk mengasah mereka jadi pintar juga terbantahkan dengan fakta ini. Kendati, seperti yang telah saya utarakan di atas, baik sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial maupun sekolah misi bukanlah lembaga edukasi yang menyelenggarakan pendidikan secara luas dan merata tetapi hanya terbatas untuk segelintir masyarakat tertentu saja—utamanya sebelum 1930. 

            Namun berbeda dengan para founding father kita yang menggunakan bekal pendidikan kolonial mereka untuk membangkitkan kesadaran nasionalisme bangsanya atau para sastrawan dari bekas tanah jajahan seperti Chinua Achebe, Ngugi wa Thiong’o, dan Salman Rushdie yang melakukan “writing back to the empires” utuk merebut kembali suara, identitas, dan sejarah mereka yang didistorsi oleh kekuasaan kolonial, dalam opininya “Uskup Maumere tidak Rampas Tanah Umatnya” itu Pater Jebadu justru menggunakan kacamata kaum kolonial yang rasial dalam memandang bangsanya sendiri.         

            Bahkan lebih lanjut ia juga tak segan-segan menunjukkan sikap rasialnya terhadap ciri fisik bangsanya, di mana dengan terang benderang disebutkannya bahwa orang-orang Belanda adalah orang-orang yang berperadaban tinggi dan putih, sementara suku-suku bangsa Indonesia itu primitif, ada yang kulit gelap dan semuanya buta huruf. Seolah-olah peradaban ras kulit putih memang ditakdirkan lebih unggul dari ras kulit berwarna karena perkara warna kulitnya. Simaklah kutipan dalam paragraf ini:

Salah satu hal yang umum terjadi adalah perampasan dan perampokan tanah. Orang-orang Belanda, yang berperadaban tinggi, putih, celana panjang, sepatu bengkap dan bersenjata lengkap ini, rampok tanah suku-suku bangsa Indonesia yang masih primitif, ada yang kulit gelap dan semuanya buta huruf.

            Tentu siapa pun tahu kalau Belanda (juga para penjajah Barat lainnya) merampok tanah suku-suku di Asia-Afrika. Kalau tidak, bukan kolonialisme namanya. Masa’ yang begini saja harus “diomongkan” oleh Pater Jebadu? Tetapi apakah para penjajah kulit putih itu bisa berhasil menguasai berbagai wilayah tanah jajahan mereka karena kulit mereka yang putih, karena mereka bisa baca-tulis aksara Latin (Alphabet), dan karena peradaban mereka lebih tinggi? Dalam hal inilah tampak bagi kita betapa parahnya “mentalitas inlander” Pater Jebadu sebagai anak pribumi dari bekas tanah jajahan.

Apa itu mentalitas inlander? Istilah ini merujuk pada pola pikir atau sikap mental penduduk pribumi di suatu wilayah, khususnya dalam konteks sejarah kolonial, yang terbentuk akibat penjajahan, seperti rasa inferior, ketergantungan, atau kurangnya rasa percaya diri terhadap kemampuan sendiri. Hal ini sering dianggap sebagai warisan kolonial yang memengaruhi cara berpikir dan bertindak masyarakat pascakolonial.

Karena itu sebagai seorang pastor “black skin, white masks” (meminjam bahasaFranz Fanon) didikan sekolah misionaris yang didirikan pada era kolonial, lumrah saja kalau Pater Jebadu seakan lupa bahwa Belanda—sejak era para pedagang culas VOC tiba—dapat memonopoli perdagangan rempah-rempah, mengendalikan sumber daya alam dan manusia Nusantara, dan akhirnya menguasai daerah jajahan yang begitu luas tak lain karena mereka memakai strategi-siasat licik yang dikenal dengan istilah devide et impera alias politik adu domba! Yang dengan picik memanfaatkan persaingan antar raja atau perang saudara di kerajaan-kerajaan Nusantara dan memanipulasi dinamika politik lokal sedemikian rupa untuk mencaplok maupun mempertahankan daerah kekuasaan mereka.

            Dalam politik devide et impera, selain memainkan peran sebagai teman dan menciptakan musuh bersama (make friends and create common enemy) di tengah konflik antar kerajaan atau di dalam lingkungan sebuah kerajaan, mereka juga menjalankan strategi manajemen isu dengan menyebarkan propaganda atau desas-desus di lingkungan politik dan sosial, serta memberikan pengakuan-pengakuan atas nama kerajaan Belanda terhadap entitas politik di suatu daerah, hingga mengatur perang saudara. Perang Padri di Sumatera Barat adalah satu satu contohnya.

            Negara-negara Eropa pada masa itu memang lebih unggul dalam hal teknologi berkat revolusi industri. Tetapi ingat, Belanda hanyalah sebuah negeri mungil dengan populasi kecil. Tanpa penggunaan siasat licik tidaklah mungkin bagi mereka untuk menguasai wilayah Nusantara yang begitu luas, yang kemudian mereka namakan Nederlandsch-Indie. Sehingga pada masa pemerintahan sipil, mereka pun menciptakan administrasi kolonial yang mengontrol penduduk Hindia melalui para pembesar bumiputera. Atau dengan kata yang lebih sederhana, Belanda menjajah penduduk Nusantara dengan cara menguasai kerajaan-kerajaannya.

            Kalau Belanda memang demikian hebat secara militer, tak perlu bagi mereka untuk membentuk legiun asing maupun merekrut sekian banyak tenaga pribumi untuk mereka jadikan sebagai serdadu-serdadu kolonial seperti KNIL yang dikenal masyarakat Jawa sebagai londo ireng itu!

            Sejarah Perang Aceh (1873-1904) dan Perang Jawa (1825-1830) harusnya bisa menunjukkan kepada Pater Jebadu betapa lemahnya kekuatan militer Belanda, lantaran hanya bisa mereka menangkan dengan susah payah menggunakan ragam strategi culas seperti membayar para pengkhianat/pembelot dan merancang perundingan palsu. Bahkan untuk memadamkan pemberontakan para kuli tambang Tionghoa yang dipimpin Liu Ngie di Pulau Bangka (1899-1900) saja, residen Bangka harus mendatangkan 500 serdadu dari Batavia.

            Pater Jebadu tentunya tidak paham bahwa salah satu alasan mengapa kerajaan-kerajaan di Nusantara ini begitu mudah dipecah-belah adalah karena pada masa kedatangan VOC wilayah Nusantara terdiri dari banyak kerajaan kecil yang saling bersaing. Di samping wilayah ini memang merupakan wilayah dengan penduduk majemuk yang terdiri dari berbagai suku-etnis. Makanya bangsa Eropa tak pernah berhasil memecah-belah negeri-negeri yang penduduknya cenderung homogen seperti China dan Jepang.

            Karena itu, nasionalisme China dan Jepang yang tak pernah dijajah secara fisik oleh bangsa Eropa pun coraknya sangat berbeda dengan nasionalisme di sekian banyak negara Asia-Afrika bekas koloni Barat termasuk Indonesia yang memperoleh kemerdekaannya pasca Perang Dunia II, yang lahir dari “perasaan (tertindas) senasib sepenanggungan”. Itulah sebabnya Ben Anderson menyebut negara-negara baru ini sebagai imagined community (komunitas yang dibayangkan), yang didirikan berdasarkan suatu image mengenai kesatuan bersama sehingga mereka pun lekat dengan “kebangkitan” nasional.

            Lagipula, jika Pater Jebadu memang berkenan membaca sejarah bangsanya (bukan asal menyerocos seolah-olah ia paham sejarah padahal tidak), ia pasti bakal mengetahui bahwa konflik-konflik agraria di berbagai daerah di Nusantara juga merupakan salah satu penggerak kebangkitan nasional yang meletuskan revolusi kemerdekaan Indonesia. Di mana sepanjang sejarah perjuangan bangsa Indonesia sejak Flying Dutchman belum menjadi legenda kapal hantu hingga Konferensi Meja Bundar di Denhaag pada 1949, perlawanan suku-suku Nusantara untuk merebut kembali hak tanah ulayat dan hutan keramatnya yang dirampas, dipatok, dan dilegitimasi lewat surat-surat ini tidaklah pernah berhenti. Termasuk di sini tanah Nangahale, Maumere, yang dirampas oleh Amsterdam Soenda Compagnie dari masyarakat pribumi untuk penanaman kapas dan kelapa pada tahun 1912.  

Membeli tanah rampasan penjajah Belanda

BUKANKAH Pater Jebadu sendiri mengakui bahwa Gereja (Vikariat Apostolik Kepulauan Sunda Kecil) yang dinakodai misionaris SVD asal Belanda dan Jerman telah membeli tanah rampasan penjajah ini dari perusahaan Belanda pada tahun 1926 dengan 22.500 Gulden? Bahkan bukti pembelian tersebut—menurutnya—masih tersimpan baik di Kantor Provinsialat SVD Ende dan di Ndoa-Keuskupan Agung Ende.

            Hanya saja Pater Jebadu tampak mencoba menghindari sejarah konflik agraria yang berkait-kelindan dengan tanah tersebut, seakan-akan ia tak tahu-menahu kenapa perusahaan kapas penjajah Belanda bisa menjual tanah seluas 1.438 hektar ini kepada Gereja. “Entah apa alasannya,” demikian ia menulis. 

            Padahal seperti yang disampaikan oleh John Bala, anggota Dewan Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Sikka kepada CNN, alasan Amsterdam Soenda Compagnie menjual tanah itu kepada Apostolisch Vicariaat van der Kleine Soenda Eilanden  adalah karena perusahaan ini dilaporkan terus merugi gara-gara perkebunan kapasnya sering dibakar oleh rakyat. Yang mana di sini berarti perlawanan rakyat terhadap perampasan tanah tersebut memang telah terjadi sejak awal dan terus-menerus berlangsung sampai sekarang.

            Namun Pater Jebadu yang tak (mau) tahu perkara ini kemudian berbicara tentang nasionalisasi perusahaan Belanda setelah kemerdekaan Indonesia dan Gereja yang harus mengamankan tanah usahanya atas nama Tuhan Katolik yang solider kepada penderitaan umat manusia itu agar para calon wakil Tuhan di muka bumi tidaklah kekurangan biaya makan-minum. Simak baik-baik kata-kata sang pastor dalam “bahasa khotbah”-nya berikut ini:

Para calon pastor yang diberi makan oleh Rahim tanah Nangahale dan Patiahu berkarya melayani keselamatan jiwa dari umat Katolik sendiri, mulai dari Flores maupun di tempat lain di seluruh Indonesia dan bahkan kini di seluruh dunia.

Dengan demikian, tanah Nangahale dan tanah Patiahu tidak dikelola oleh Gereja Katolik untuk bisnis dalam arti biasa untuk mendulang keuntungan pribadi. Kedua tanah ini dikelola atas nama Allah untuk tujuan suci yaitu beri makan minum para calon pastor yang akan melayani umat Allah di mana saja.

            Terang sudah untuk kita bahwa dalam perspektif seorang imam Katolik seperti Pater Jebadu, makan-minum para calon pastor yang bekerja melayani “keselamatan jiwa” umat Katolik sungguh jauh lebih penting ketimbang ratusan keluarga umat Katolik yang butuh tempat bernaung dan butuh makan itu sendiri. Sebab baginya “keselamatan jiwa” jelas berada di atas keselamatan badaniah. Untunglah, dalam opininya itu ia tidak sampai mengeluarkan istilah “santapan rohani” segala!

Sehingga kita pun tak perlu heran ketika Pater Jebadu—yang seyogianya pernah kuliah filsafat itu—meminta umatnya (yang tampak ‘awam banget’ di matanya) untuk mengerti bahwa nama PT Kristus Raja Semesta Alam memang nama yang amat tepat untuk sebuah badan usaha yang dikelola oleh Keuskupan Maumere dan Provinsi SVD. Sebab PT itu menurutnya adalah “bisnis suci atas nama Tuhan Yesus pemilik alam semesta, termasuk pemilik tertinggi atas tanah Nangahale dan Patiahu”. Karena itu ia pun dengan santai mengintimidasi umatnya dengan ancaman konyol yang mungkin baginya teramat filosofis tetapi kontra rasionalitas: “Yang lawan PT Krisrama sama dengan lawan Yesus sendiri”!

Tampaknya pastor ini sudah lupa pula ia hidup di zaman apa. Barangkali dikiranya ia hidup pada Abad Pertengahan di Eropa, di mana para biarawan pengkhotbah biasa berkeliling untuk menakut-nakuti umatnya yang saleh dengan lukisan neraka sembari menjual surat pengampunan dosa.

Bahkan tak cukup hanya mencatut nama Tuhannya sebagai ancaman, Pater Jebadu juga terkesan seperti hendak membenturkan umatnya dengan negara dalam kasus ini setelah dengan panjang-lebar ia membeberkan pengetahuannya yang bias tentang nasionalisasi pada era Soekarno. Padahal nasionalisasi merupakan pengambilalihan aset negara yang wajar dari bekas penjajah di negara pascakolonial mana pun, walau dalam praktiknya pemerintah sering bertindak sewenang-wenang mengabaikan rakyat. 

Dalam kasus penambangan timah di Bangka contohnya, setelah Banka Tin Winning dinasionalisasi pasca kemerdekaan, pemerintah Republik Indonesia justru meneruskan kebijakan eksploitatif Tin Reglement Belanda pada 1819 dalam memonopoli penambangan timah. Sehingga orang Bangka boleh dibilang tak pernah benar-benar menikmati hasil buminya sejak orang-orang Johor melakukan penambangan pertama kali di Sungai Olin, Toboali pada akhir abad ke-17. Bahkan selama masa Orde Baru, masyarakat dilarang menambang, menyimpan timah walau satu kilogram, apalagi menjualnya. Penjara, bahkan penyiksaan, kerapkali menjadi bagian dari kisah legam timah di masa ini.

Di pulau Mentawai, lebih ngeri lagi. Para penduduk asli dipindahkan secara paksa dari habitatnya di tengah rimba ke barasi-barasi dengan konsep resettlement atau PKMT (Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing), sementara hutan-hutan adat tempat tinggal dan sumber penghidupan-spiritualitas mereka dijadikan sebagai ladang penghasil uang bagi perusahaan HPH dan HTI. Akibatnya, konflik pertanahan pun kerap tak terhindari. Bahkan mereka juga dipaksa untuk meninggalkan agama tradisional mereka Arat Sabulungan—yang dalam Rapat Tiga Agama (Protestan, Islam dan Sistem Kepercayaan Tradisional) 1954 dianggap sebagai keyakinan yang tak cocok bagi masyarakat modern—dan sebagai gantinya, mereka diharuskan untuk memilih salah satu dari lima agama resmi (yang dalam praktiknya cuma Islam, Protestan, dan Katolik saja) dalam waktu tiga bulan setelah pertemuan.

Di sinilah pencaplokan tanah ulayat dan hutan adat kerap dilakukan secara semena-mena oleh negara—apalagi semasa Orde Baru—dengan dalih pembangunan seraya pada saat yang sama berlindung di balik pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Apakah Pater Jebadu memiliki pengetahuan tentang semua perkara ini? Saya tidak bisa menyimpulkan. Dalam kasus di Maumere ia hanya mengajak orang-orang untuk menyadari bahwa tanah Nangahale dan Patiahu di Pulau Flores adalah tanah milik negara yang diberi HGU, bukan tanah ulayat milik Suku Soge Natarmage dan Goban Runut-Tana Ai. Lantaran menurutnya pemerintah RI masa Soekarno telah memutuskan untuk menjadikan semua tanah bekas perusahaan Belanda, tanah-tanah rampasan era kolonial itu, sebagai milik negara atas nama seluruh rakyat Indonesia dan dikelola melalui mekanisme HGU.

Karena itu pula menurutnya Gereja tidak merampok tanah Nangahale dan Patiahu dari suku setempat atau menerimanya begitu saja sebagai hadiah dari penjajah Belanda. Tetapi Gereja membeli tanah rampasan tersebut dari perusahaan Belanda.

Wajar apabila kemudian ia tak mau tahu bahwa tidaklah semua orang—apalagi orang-orang miskin—punya cukup uang untuk membayar pajak setiap tahun kepada negara sebagai sewa atas pengelolaan tanah. Ia juga sepenuhnya mengabaikan bahwa dalam penerapan UU No.5 Tahun 1960 seringkali terjadi ketidakadilan dalam penguasaan dan pemanfaatan tanah, tumpang-tindih hak atas tanah akibat kurangnya koordinasi antar instansi terkait, serta belum optimalnya sistem pendaftaran tanah, yang ujung-ujungnya hanya menguntungkan mereka yang punya uang dan kekuasaan.

            “Dengan adanya sertifikat yang dikeluarkan oleh BPN maka PT. Krisrama (di dalamnya ada Keuskupan Maumere dan Seminari Tinggi Ledalero) diberi hak resmi oleh negara untuk mengelola tanah itu dengan konsekuensi membayar pajak setiap tahun (pajaknya bukan sedikit),” tulis pastor lain, Pater Yosef Kusi SVD, seperti dikutip oleh www.kpksigap.com. “Para penyerobot tinggal di wilayah itu tapi kita yang membayar pajak. Kalau ikut apa yang dikatakan oleh pemerintah, mestinya mereka sudah punya tanah dengan sertifikat. Tapi kelihatannya mereka justru mau mengatur pemerintah/negara,” tambahnya sembari mengungkapkan bahwa nyawanya pernah terancam oleh ‘para pemukim liar’ itu ketika ia melaporkan pencurian pohon-pohon kelapa ke polisi. 

.           Dan senada dengan Pater Jebadu, Pater Kusi pun mengingatkan agar pihak-pihak yang tidak tahu persis, tanpa data sedikit pun, dan tanpa ikut terlibat dalam urusan penyelesaian tanah itu, untuk tidak asal omong.

“Uskup Katolik mana di dunia ini yang tidak mencintai umatnya, yang tidak ada cinta kasih dan menggusur umatnya sendiri secara tidak manusiawi, serta merampas tanah mereka?” demikian tanya Pater Jebadu. Bahkan secara tidak langsung menurutnya, ada pihak-pihak tertentu—termasuk sekelompok orang internal Gereja Katolik sendiri, berjubah—yang merasa diri sangat pintar dan tahu segala sesuatu, yang bermain dalam kasus ini. Merekalah yang telah menyuapkan semua tuduhan ke banyak wartawan media online, tak terkecuali koran besar Kompas, Majalah Tempo, dan UCA News yang berkantor pusat di luar negeri. Bahkan khusus untuk penulis berita di UCA News online, ia mesti menekankan bahwa penulisnya dalah seorang putra Flores yang sudah lama tinggal jauh di Negeri Kanguru-Australia.

“Tindakan ini jelas merupakan blunder besar dan harus dituntut balik. Jika terbukti bersalah, mereka harus dihukum dan didenda, siapapun mereka, termasuk yang berjubah sekalipun, demi keadilan hukum,” begitulah Pater Jebadu mengakhiri tulisannya.

            Seperti yang telah saya katakan di atas, tak ada gunanya bagi siapa pun untuk memperdebatkan fakta hukum dalam kasus ini dengan Pater Jebadu dan pihak Keuskupan Maumere lainnya. Namun siapa pun, yang memahami sejarah dan pascakolonialisme, saya kira pasti dapat melihat dengan terang betapa rasis dan orientalisnya pandangan Pater Jebadu dalam opininya tersebut.

            “Saya tidak hanya heran mengapa Media Indonesia mau memublikasikan tulisan buruk dengan pandangan buruk seperti ini, tetapi saya juga heran bagaimana bisa Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero (IFTK) yang saya hormati, punya dosen dan doktor yang tulisan, argumentasi, dan pandangannya terhadap sejarah dan masyarakat Nusantara sangat buruk,” tulis Felix Nesi di Facebook.        Ah, tentunya saya pun turut heran, Bung![]

Siapa bilang Jakarta kota maksiat? Nampaknya pertanyaan itu harus ditahan terlebih dahulu. Pasalnya, dibalik gedung-gedung yang megah dan tempat nongkrong yang modern. Ternyata di sudut-sudut gang kecil dan perkampung di Jakarta. Banyak sekali kehadiran majelis taklim dan pengajian. Pesertanya pun lintas status, mulai dari anak-anak muda, selebritis, pejabat, hingga pengusaha. Bahkan meski bangunan-bangunan fisik terus bermunculan, arus-arus majelis taklim tetap mengalir deras dari sudut-sudut kota.

Majelis Taklim dalam Sejarah

Majelis taklim merupakan lembaga pendidikan non-formal yang berkembang pesat, khususnya di Jakarta. Majelis taklim menurut bahasa terdiri dari dua suku kata, “majelis” dan “ta’lim. Kata majelis taklim merupakan isim dari akar kata, “tempat duduk, tempat sidang, atau dewan”. Musyawarah majelis ta’lim se-DKI Jakarta yang berlangsung tanggal 9-10 Juli tahun 1980 memberikan batasan mengenai majelis ta’lim, yakni “Lembaga pendidikan non-formal yang diselenggarakan secara teratur diikuti oleh jamaah dengan tujuan untuk membina serta mengembangkan hubungan serasi antara manusia dengan Allah Swt (Suhaidi, 2021).

Dipandang dari teori pendidikan, menurut Ki Hajar Dewantara setidaknya ada tiga konsep pusat pendidikan, yakni: 1). Pendidikan rumah tangga, 2). Pendidikan sekolah, 3). Pendidikan masyarakat. Majelis taklim termasuk dalam golongan pendidikan Islam di masyarakat (Daulay, 2018). Bahkan keberadaan majelis taklim telah diakui dalam pasal 106 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Di Jakarta majelis taklim sebenarnya sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Menurut hasil penelitian Ridwan Saidi dan Alwi Shahab, budayawan Betawi. Majelis taklim yang pertama kali beraktivitas adalah majelis taklim Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi Kwitang, Jakarta Pusat pada 20 April 1890 dan merupakan yang tertua di Betawi. Sejak saat itu jumlah mejelis taklim kian lama kian meluas dan berkembang. Menurut Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta menyebutkan bahwa jumlah majelis taklim pada tahun 2023 di Jakarta mencapai 4.955 (BPS, 2023). Angka ini bahkan jika dibandingkan pendidikan keagamaan lainnya, seperti pesantren jauh lebih besar. Sebab menurut data Kementerian Agama tahun 2021 pondok pesantren di Jakarta hanya 113.

(Majelis Taklim Habib Ali Al-Habsyi Kwitang, Jakarta Pusat. Sumber: Era.id)

Maraknya majelis taklim di Jakarta sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari para pendiri bangsa ini. Sebab Jakarta sejak dulu bukan diciptakan atau dikhususkan untuk pendidikan formal keagamaan seperti pesantren, karena Bung Karno ingin menjadikan Jakarta menjadi kota metropolitan, yang tidak saja sebagai ibukota Indonesia tetapi ibukota Asia-Afrika, Jakarta akan banyak taman dan gedung-gedung besar (Setiawan, 2004).

Kenyataan ini ditambah lagi dengan naiknya Soeharto ke tampuk kekuasaan. Dimana Soeharto menjadikan pembangunan fisik sebagai satu-satunya kegiatan dalam masa kekuasaanya selama 32 tahun. Bangunan fisik hanya merupakan proyek bagi orang-orang kaya raya dan pengusaha kelas kakap. Sehingga seiring jalan waktu Jakarta menjadi kota metropolitan yang penuh sesak dengan bangunan-bangunan. Belum lagi daya tarik Jakarta sebagai kota metropolitan telah mengundang para pendatang untuk “mengadu nasib”. Sehingga secara tidak langsung urbanisasi juga menjadi salah satu rangkaian yang menambah padat penduduk di Jakarta. Menurut data kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) tahun 2024 mencatat bahwa penduduk DKI Jakarta telah mencapai 11,34 juta jiwa (Fadhlurrahman, 2024). Sehingga asumsi saya, banyaknya majelis taklim berkembang di Jakarta, dibanding perkembangan pendidikan pesantren adalah karena kekurangan lahan.

Sebab berbeda dengan pesantren yang butuh lahan luas, kehadiran majelis taklim tidak terlalu butuh makan tempat, hanya di rumah-rumah, masjid dan mushola. Kalau pun jamaahnya membludak. Sesekali menggunakan jalanan sebagai tempat dakwah.

Majelis Taklim Pusat Keilmuan dan Ekspresi Keagamaan

Kehadiran majelis taklim, khususnya di Jakarta. Dalam sejarah memiliki peran yang sangat besar. Hadirnya majelis taklim Habib Ali al-Habsyi Kwitang setidaknya telah membawa angin segar tersendiri di Jakarta, pasalnya majelis ini telah menjadi pusat genealogi keilmuan yang melahirkan sejumlah ulama Betawi seperti, KH. Abdullah Syafi’i (pendiri Perguruan Islam Asy-Syafi’iiyah) dan KH. Tohir Rohili (pendiri Perguruan Islam Ath-Thahiriyah). Selain ada KH. Syafi’i Hadzami ulama Betawi asli produk binaan majelis taklim.

Keduanya kemudian turut mendirikan majelis taklim, yakni majelis taklim Asy-Syafi’iyah di Jakarta Selatan dan majelis taklim Thahiriyah di Kampung Melayu, Jakarta Timur. Menurut KH. Sarifuddin Amsir keberhasilan majelis taklim dalam mencetak para ulama setidaknya ada tiga hal, yakni: 1). Tidak ada batasan waktu seperti di perguruan tinggi dengan SKS untuk meneyelesaikan satu disiplin ilmu, 2). Anak murid mempunyai kebebasan waktu untuk bertanya pada guru, 3). Anak murid langsung dihadapan pada kasus-kasus konret yang ada di masyarakat.

Pembelajaran yang diajarkan di majelis taklim juga meliputi pembelajaran kitab-kitab. Sebagaimana kitab karya KH. Muhadjirin Amsar ad-Darry yang berjudul Mishbah adz-Dzulaam kitab syarah fiqh Bulugh al-Maram. Kitab karya KH. Abdul Hanan Sa’id berjudul kitab Taysir (kitab tajwid). Dan kitab Sullam An-Nayrain karangan Guru Mansur, Jembatan Lima, Jakarta Barat (Kiki, 2022). Oleh karena itu, tidak heran jika karakteristik keberislaman masyarakat Jakarta, banyak dipengaruhi oleh ulama. Itu sebabnya akhlak dan perilaku masyarakat Jakarta cenderung meski tidak semua mengikuti ulama yang berbasis pada majelis taklim.

Dahulu majelis taklim hanya dihadiri oleh bapak-bapak dan ibu-ibu yang sudah berusia lanjut. Namun, sejak pasca tumbangnya Soeharto sekitar tahun 2000-an terjadi pergeseran yang begitu signifikan. Majelis taklim telah banyak digandrungi oleh anak-anak muda. Hal itu tidak bisa lepas dari kehadiran sosok seorang habaib. Sejauh pengalaman saya mengikuti majelis taklim para habaib. Kecenderungan anak-anak muda mulai tertarik mengikuti majelis taklim terbangun sejak tahun 2007.

Kehadiran para habaib jelas memiliki dampak tersendiri bagi perkembangan majelis taklim, khusus di Jakarta. Bagaimana tidak? anak muda Jakarta yang tadinya rewel, “selengean”, “bandel”, diubah citranya melalui kehadiran seorang habaib. Anak-anak muda yang tadinya nongkrong di tempat tidak jelas, kini memiliki wadah lain, yakni majelis taklim. Pesona dan kharisma seorang habaib ternyata mampu menciptakan polariasi yang begitu kuat di kalangan anak muda ibukota. Adapun bentuk polarisasi itu sejauh pengalaman saya adalah terbentuknya identitas “anak majelis” dan “yang bukan”. Selain, jika kita melihat pada hari-hari tertentu, seperti malam minggu banyak majelis taklim pimpinan habaib dihadiri anak-anak muda.

(Jamaah Pengajian Majelis Rasulullah Saw, Sumber: Kompasiana)

Walaupun majelis taklim para habaib tidak mengajarkan literatur keislaman klasik yang “berat-berat” (meski tidak semua). Dan hanya berisi ceramah dan sholawat, namun setidaknya mampu membentuk karakter anak muda Jakarta untuk cinta kepada Nabi Muhammad Saw melalui sholawatan. Selain itu, kehadiran sosok habaib sendiri memiliki makna khusus di hati para anak muda Jakarta, terutama soal keberkahan. Sebagain anak muda percaya bahwa mengikuti setiap majelis taklim yang diisi para habaib akan membawa pada keberkahan, termasuk saya. Berkah secara etimologi diambil dari bahasa Arab, “baraka-yabruku-burukan wa barokatan”, yang berarti kenikmatan dan kebahagiaan. Jika diperhatikan lebih jauh, ternyata asal kata berkah dari baraka, artinya yang mempunyai nilai kebaikan. Sehingga makna berkah dapat dimaknai sebagai bertambahnya nilai kebaikan terus-menerus terhadap dirinya maupun orang lain disekitarnya (Alaydrus, 2009).

Bahkan jika kita melihat beberapa sumber wawancara mengenai hadirnya majelis para habaib. Maka kita akan menemukan berbagai kesan akan perubahan dalam hidupnya. Sebagaimana yang dikutip oleh Republika, “Ahmad Irfan (21), karyawan PT. Karya Widodo Motor, di Pancoran Jakarta Selatan mengaku sangat menikmati pengajian Majelis Rasulullah Saw pimpinan Habib Munzir al-Musawa. Menurutnya sejak dirinya mengikuti majelis ini, kehidupannya yang dahulu luntang-lantung, kini merasa berubah dan berbeda” (Zuhri, 2013).

Apa yang dikatakan Ahmad Irfan tentu berbeda dengan konteks hari ini ketika lahir istilah Gen-Z. Sebab di masa-masa itu teknologi belum menjadi digital natives atau belum menjadi panduan mencari spiritualitas seperti saat ini. Sehingga bila dikaitkan dengan perasaan cemas, overthinking, dan gelisah akibat tekanan modernitas yang menuntut hidup harus pasti dan terarah. Maka solusi kala itu adalah majelis taklim. Asumsi saya mungkin ini salah satu mengapa majelis taklim masih eksis sampai saat ini, terutama majelis yang dipimpin oleh habaib, adapun media sosial yang dikemudian hari muncul semakin melengkapi.

Para habaib dalam konteks ini, selain sebagai tokoh sentral yang memiliki pesona dan kharisma, ternyata juga mampu menjadi apa yang dikatakan oleh Clifford Geertz sebagai makelar budaya (cultural broker), yakni menjadi juru kendali dan sosok kunci dalam pembentukan budaya atau karakter masyarakat muslim serta menjembatani antara yang modern hedonis (dalam konteks Jakarta) dengan yang religius mengaji (ukhrawi) (Sunanto, 2020).

(Jamaah Pengajian Majelis Nurul Mustofa pimpinan Habib Hasan Assegaf, Sumber: Tribunnews.com)

Layaknya seperti gayung bersambut, majelis-majelis taklim pimpinan para habaib ini juga menyambut antusias anak-anak muda ibukota dengan menciptakan merchandise, seperti kaos, helm, dan jaket (seperti jaket Majelis Rasulullah Saw). Merchandise di dalam majelis taklim bukan lagi sekedar sarana dakwah untuk mengajak anak muda cinta sholawat, melainkan sudah menjadi gaya hidup anak majelis taklim Jakarta. Sebab bisa dipastikan bila kita menghadiri majelis-majelis taklim pimpinan para habaib, setidaknya kita akan menemukan anak-anak muda memakai simbol dari majelisnya para habaib.

(Jamaah Pengajian Majelis Nurul Mustofa pimpinan Habib Hasan Assegaf, Sumber: Tribunnews.com)

Oleh karena itu seiring berjalannya waktu, majelis taklim bukan hanya berfungsi sebagai tempat mentransmisikan keilmuan semata, melainkan telah menjadi tempat anak-anak muda meningkatkan gairah keberagamaannya melalui simbol-simbol, selain jaket, simbol-simbol yang sering dipertontonkan adalah konvoi motoran. Kehadiran konvoi majelis taklim ini, meski dalam beberapa hal menimbulkan kemacetan. Tetapi mampu membentuk citra majelis taklim yang tadinya terkesan kaku menjadi lebih kekinian dan menarik, khususnya di kalangan anak muda.

(Contoh pamflet ajakan untuk konvoi majelis, Sumber: Facebook)

Sehingga anak muda Jakarta secara tidak langsung, sebagaimana disampaikan oleh Wasisto Raharjo Jati dalam, “Politik Menengah Muslim Indonesia” tahun 2016, tengah membangun identitas baru dalam beragama. Anak muda Jakarta yang tadinya tidak mengenal sholawat, enggan menghadiri maulid, tidak mengenal siapa itu habib, perlahan mulai mencintai. Sebab kesalehan atau konstruksi yang dibangun oleh majelis para habaib adalah kesalehan yang tidak muluk-muluk, dalam arti kesalehan yang sifatnya mudah dan menarik tetapi bermakna, termasuk bagi saya pribadi, yakni mencintai Nabi Muhammad Saw dengan sholawat (Jati, 2021).

Menuntut sifat kemudahan bagi kalangan muslim perkotaan seperti, Jakarta. Sejatinya tidak lepas dari rutinitas hidup. Jakarta adalah tempat bekerja siang dan malam. Di tengah rutinitas yang tidak kenal henti. Masyarakat, khususnya kelas menengah tidak sempat lagi untuk belajar agama yang “berat-berat” karena waktunya habis untuk bekerja. Sehingga salah satu cara untuk “tobat”, seperti saya dan mengisi ruang kosong religiusitas di dalam dirinya adalah dengan menghadiri majelis taklim.


Daftar Referensi

Suhaidi. (2021). Kurikulum Majelis Taklim (Fiqih-Tauhid-Tasawuf). Riau: PT. Indragiri.com.

Daulay, H. P. (2018). Sejarah Pertumbuhan & Pembaharuan Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.

Setiawan, H. (2004). Memoar Pulau Buru. Magelang: Indonesiatera.

Fadhlurrahman, I. (2024, November 16). 29% Penduduk DKI Jakarta ada di Kota Jakarta Timur pada 2024. Diambil kembali dari katadata.co.id.

BPS. (2023, Agustus 13). Jumlah Lembaga Sarana Dakwah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2023. Diambil kembali dari jakarta.bps.go.id.

Kiki, R. Z. (2022). Genealogi Intelektual Ulama Betawi (Melacak Jaringan Ulama Betawi dari Awal Abad ke-19 sampai Awal Abad ke-21. Jakarta: Jakarta Islamic Center.

Alaydrus, S. M. (2009). Agar Hidup Selalu Berkah. Bandung: PT. Mizan Pustaka.

Sunanto. (2020). Maulana Habib Muhammad Luthfi bin Yahya (Biografi dan Pemikirannya). Pekalongan: Penerbit Nem.

Jati, W. R. (2021). Politik Menengah Muslim Indonesia. Jakarta: LP3ES.

Zuhri, D. (2013, September 15). Habib Munzir Idola Anak-Anak Muda. Diambil kembali dari news.republika.co.id.