Secara perlahan, cakrawala sejarah Islam semakin luas. Kajian sejarah Islam tidak lagi terbatas pada wilayah dunia Arab-Persia klasik, melainkan juga merambah zona perbatasan seperti dunia Melayu-Jawa. Dimana ratusan juta umat Islam telah mengamalkan agama ini selama berabad-abad. Di kepulauan ini juga kita menemukan jejak para wali pengembara, para raja berdaulat, serta para ulama yang gigih menyebarkan ajaran agama Islam (misalnya dalam kajian mendalam Naquib al-Attas tentang sufi abad ke-16 dalam The Mysticism of Hamzah Fansuri, dan kajian A.L. Khan mengenai ratu-ratu Sumatera dalam Sovereign Women In A Muslim Kingdom: The Sultanahs of Aceh, 1641–1699).
Gambaran lebih komprehensif ditunjukan dalam karya monumental seorang sejarawan besar asal Amerika (1949) M.C Riclefts dalam bukunya Mystic Synthesis In Java: A History of Islamization from the Fourteenth to the early Nineteenth Centuries,. (EastBridge Norwalk, Connecticut, 2006). Dalam Karya ini, Ricklefs menyuguhkan tinjauan komprehensif tentang proses Islamisasi di Jawa. Sejak abad keempat belas hingga awal abad kesembilan belas, serta bagaimana identitas ke-Jawa-an dan Islam menjadi semakin selaras. Pada permulaan, Ricklefs menggambarkan kondisi Jawa pada tahun 1500-an, ketika identitas Islam dan Jawa masih tampak berlapis dan terpecah-pecah.
Pada masa itu, kerajaan Hindu-Budha Majapahit, meskipun ragu untuk sepenuhnya menerima agama baru, tetap mengizinkan pemakaman anggota keluarga kerajaan yang Muslim di sekitar wilayahnya, seperti yang terlihat di kompleks makam Troloyo di Jawa Timur. Bab pertama ini membahas bagaimana masyarakat Jawa secara bertahap mulai mengadopsi dan menerima Islam, seraya memisahkan antara doktrin Islam ortodoks dan pandangan dunia Hindu-Buddha tradisional. Penulisan tersebut mempersiapkan babak baru di Jawa, memungkinkan para penguasa untuk tidak hanya menerima Islam, tetapi juga menjadi pelopor utama Islamisasi di tanah Jawa.
Lalu Sultan Agung menyelaraskan pandangan bahwa menjadi Muslim dan Jawa bukanlah hal yang bertentangan, dan dia berperan sebagai pengharmoni kedua identitas tersebut. Tercatat sebagai raja sufi sepanjang pemerintahannya yang berlangsung tiga puluh tahun (1613-1646), Agung, menurut “seorang Eropa yang mengunjungi istana” (hlm. 32), dilihat sebagai Muslim yang taat. Pada saat yang sama, babad Jawa menampilkan Sultan Agung sebagai sosok yang mengikuti ritual-ritual tradisional, termasuk pernikahan mistik dengan Ratu Kidul (hlm. 35). Pada tahun 1633, Sultan Agung mengunjungi makam seorang sufi di Tembayat, Jawa Tengah, yang wilayahnya sempat menolak kedaulatan Sultan. Kunjungan ini menghasilkan penciptaan kalender baru yang menggabungkan kalender lunar Islam dengan kalender Saka Jawa, suatu langkah simbolis yang menunjukkan sinkretisme identitas Jawa dan Islam. Sultan Agung baru mengadopsi gelar ‘Sultan’ beberapa tahun sebelum wafatnya, tetapi warisannya tetap dikenang sebagai raja ideal yang menjadi panutan bagi raja-raja Jawa berikutnya. Semua itu digambarkan dengan cukup dan baik oleh Ricklefs pada bab kedua dalam buku ini.
Sedangkan dalam bab ketiga, Ricklefs mengeksplorasi pemerintahan Amangkurat I. Penguasa yang dikenal karena kekejamannya itu, membuat para duta Belanda bingung dengan caranya memerintah, di mana “orang tua dibunuh untuk memberi tempat kepada yang muda” (hlm. 55). Amangkurat I, setelah menghadapi upaya kudeta pada tahun 1647, memerintahkan pembunuhan massal terhadap sekitar dua ribu pemimpin agama Islam beserta keluarga mereka. Ricklefs berpendapat bahwa tindakan-tindakan tersebut menggambarkan keadaan mental yang tidak stabil pada diri Amangkurat I, yang bahkan meninggalkan mayat istrinya tanpa dikuburkan sementara membiarkan para pelayan kelaparan hingga mati (hlm. 58). Bab ini juga membahas Perang Saudara antara kaum Muslim dan non-Muslim pada tahun 1670-an, serta hubungan kompleks antara Amangkurat II dan VOC. Amangkurat II dituduh berpihak pada “kafir” Kristen karena dukungan VOC, yang memicu pemberontakan dari kaum Muslim Jawa yang menyerukan jihad terhadapnya.
Selanjutnya Ricklefs menguraikan ketegangan yang terus berlanjut antara kaum elit istana Jawa dan rakyat dalam menghadapi VOC. Pada bab empat ini, digambarkan para bangsawan dan masyarakat luas sepakat bahwa kehidupan yang religius tak mungkin berjalan selaras dengan kedekatan terhadap VOC Belanda (hlm. 72). Setelah kematian Amangkurat II, perselisihan antara Amangkurat III dan pamannya membawa kerajaan Kartasura dalam situasi krisis. Intervensi VOC memperpanjang konflik ini hingga puncaknya pada tahun 1705, ketika Pakubuwana I diangkat sebagai penguasa oleh dukungan VOC. Penerus Pakubuwana I, Amangkurat IV, yang melanjutkan kedekatan kerajaan dengan VOC, dicatat sebagai raja yang paling dibenci, bahkan disebut sebagai “maharaja yang telah ditinggalkan rakyatnya dan memiliki hampir seluruh Jawa sebagai musuhnya” (hlm. 93).
Sementara itu, ibunya, Ratu Pakubuwono, secara rahasia menentang kedekatan tersebut dan diawasi ketat oleh VOC. Peran Ratu Pakubuwana dalam upaya menyelaraskan identitas Jawa dan Islam sangatlah penting. Dalam bab lima ini, sang ratu mencoba membentuk cucunya menjadi seorang raja sufi yang saleh (hlm. 103). Melalui sastra sufi, ia berupaya menyebarkan Islam di kalangan istana. Namun, cita-citanya menjadikan cucunya sebagai Sultan Agung baru ternyata tidak berhasil. “Buku-buku karya Ratu Pakubuwana gagal mencapai tujuannya untuk menjadikan pemerintahan Pakubuwana II ideal” (hlm. 142). Lalu dalam bab enam menguraikan diskusi di Jawa tentang gaya Islam yang ideal untuk diikuti, dan berujung pada identitas sintesis yang menyatakan bahwa menjadi Jawa dan Muslim bukan lagi hal yang saling bertentangan.
Beberapa istilah penting dalam karya ini, seperti ‘Islamisasi’ dan ‘sintesis mistik’, seharusnya didefinisikan secara lebih jelas agar pembaca mendapatkan kejelasan mengenai proses Islamisasi yang dimaksud. Hal ini relevan karena proses tersebut dapat berbeda dengan konsep Islamisasi dalam pemahaman para sarjana Islam kontemporer (lihat Syed Naquib al-Attas Islam and Secularism, Ismail Faruqi Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan, dan Wan Mohd Nor Wan Daud The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas). Kendati demikian, buku ini tetap berhasil menggambarkan proses Islamisasi di Jawa dengan cermat dan mendalam. Bagi para mahasiswa sejarah Jawa dan kajian Islam, Mystic Synthesis karya Ricklefs adalah sumber yang amat berharga untuk memahami perkembangan sejarah Islam di Jawa. Dengan menggunakan manuskrip Jawa yang luas, Ricklefs telah berhasil mengangkat narasi sejarah ini dari sekadar cerita lama orientalis kolonial menjadi kisah yang hidup dan relevan untuk generasi sarjana sejarah yang akan datang.
Banyak pemahaman keliru yang berkembang di masyarakat Jawa, utamanya Jawa di Solo Raya dalam memahami makna dari pusaka-pusaka Keraton Kasunanan Surakarta. Sebagai contoh, Kebo Bule Kyai Slamet, sering digambarkan sebagai kerbau albino yang bernama Kyai Slamet. Kebo Bule Kyai Slamet juga dianggap dapat menjadi wasilah atas berkah dan keselamatan dari Allah SWT. Tak heran, saat kerbau itu lewat dalam Kirab Pusaka Malam 1 Suro di Keraton Surakarta, mereka saling berebutan hanya untuk memegang kerbau albino itu, ironisnya, mereka juga berebutan untuk mengambil tlethong dan kencingnya demi mendapat “berkah.”
Keraton Kasunanan yang sebagai entitas yang memiliki otoritas untuk mendidik dan memberi pemahaman kepada rakyat dengan Lembaga Adat-nya justru merawat tradisi jahiliyah ini. Gusti Moeng sebagai Ketua Lembaga Dewan Adat Keraton Kasunanan Solo saat wawancara dengan sebuah media, menjelaskan makna simbolik dari Kebo Bule Kyai Slamet sebagai sebuah harapan untuk bisa selamat di dunia maupun akhirat. Dan saat menjelaskan alasan kenapa Kebo Bule itu selalu menjadi cucuk lampah, baginya itu bukan berarti manusia yang ikut kerbau, tapi orang Jawa sangat “bergantung” pada kerbau yang bisa mengolah tanah sehingga bisa menghasilkan pangan. Sebuah pernyataan yang tentu saja ambigu.
Sejarah Kebo Bule dan Kyai Slamet
Dalam literasi Jawa, Kebo Bule adalah frasa dalam sebuah nubuatan akan kedatangan bangsa asing yang berkulit putih, dalam hal ini bangsa-bangsa Eropa, seperti Inggris, Belanda maupun Portugis. Ramalan itu bisa kita temukan dalam Babad Tanah Jawi I-IV. Bat. Gen. XXXIII, No. 312, 3120 -3l2c. Babon dari R. Panji Jayasubrata. Tembang XXVIII, hlm. 118. Pucung 21 bait.
Bedhahipun malih negeri Blambangan déning wadya-bala Mataram, tiang Bali sami lumajeng wangsul. Kacarios Jurutaman minda-minda sang Nata amota-mota garwanipun sang Nata, lajeng dipun-waos déning Nata, layon musna, sarta anyuanten: benjing yèn wonten maesa bule siwer mripatipun, ingriku pemalesipun.
Yang kira-kira artinya begini:
Karena hancurnya kerajaan Blambangan oleh tentara Mataram, orang-orang Bali kemudian pulang. Diceritakan oleh Jurutaman (tukang kebun) bahwa ia diminta Sang Raja agar merawat permaisurinya, sang Raja berlari pergi, hilang musnah sambil berucap: Besuk jika ada kerbau putih matanya biru, itulah balasannya.
Kisah serupa juga terdapat dalam De Heiligen Van Java, dalam catatan kakinya disebutkan tentang masyhurnya ramalan Syekh Bela-belu di kalangan Masyarakat Jawa. Ramalan yang sebenarnya berasal dari novel sejarah Majapahit karya Gramberg. Kutipan ini dapat ditemukan di Meded. Zend. Gen. vol. 35, hal. 107 yang dicatat sebagai berikut:
Orang-orang Jawa bercerita tentang ramalan Syeh Bela-belu saat ia akan dibunuh.
Jadi, Kebo bule dari dua petikan cerita tersebut adalah “seseorang” atau “sosok” yang diramalkan akan muncul dan digunakan sebagai ancaman para korban yang kalah, dengan kata lain, untuk menubuatkan kedatangan bangsa Belanda (kebo bule = kerbau putih), yang akan membalaskan dendam mereka.
Kebo bule berikutnya adalah kerbau asli, kerbau albino hadiah dari Kyai Hasan Besari Tegalsari kepada Pakubuwono II sesaat setelah geger pecinan. Konon, kerbau-kerbau itulah yang menunjukkan (menjadi cucuk lampah) dimana lokasi istana baru akan dibangun oleh Pakubuwono II. Tak bisa disangkal, kembalinya kekuasaan Pakubuwono II tak lepas dari keterlibatan Kompeni yang diplokoto oleh Pakubuwono II untuk melenyapkan pemberontak Cina. Hadiah itu mungkin semacam sanepan dari sang Kyai kepada Raja yang dilindungi Belanda itu.
Lalu Siapa Kyai Slamet?
Dalam konteks Geger pecinan, Kyai Slamet tentu adalah sebuah peristiwa, bukan sebuah pusaka, apalagi sosok. Saat terdesak oleh Pasukan Garendri, Pakubuwono II menyelamatkan diri ke Madiun dan Ponorogo, disanalah dia meminta perlindungan kepada beberapa Kyai, diantaranya Kyai Basyariyah Sewulan dan Kyai Kasan Besari Tegalsari.
Entah siapa yang menyembunyikan sebuah peristiwa runtuhnya Mataram Kartasura ke dalam pesan alegoris Kebo Bule dan Kyai Slamet itu. Namun, tampaknya kebenaran ramalan Raja Blambangan dan Ramalan Syekh Bela-Belu itu, dikemudian hari terbukti.
Sebelum abad ke-20, nenek moyang kita menuliskan sejarah masa lalunya dengan cara menyesuaikannya dengan kondisi sosio-kultural dan teknologi yang berkembang pada saat itu. Jika pada waktu itu yang berkembang adalah penulisan karya sastra, maka tak heran jika mereka merekam sejarah menggunakan medium sastra. Medium yang kita pahami bersama sebagai ruang yang tidak memberikan penekanan penuh pada seluk beluk dan fakta kejadian sebenarnya, tetapi pada bentuk simbol dan makna-makna estetika lainnya.
Dari hasil penelitian Nancy K. Florida, seorang sarjana Amerika yang memfokuskan kajian pada naskah-naskah klasik Jawa, terutama yang ditulis oleh para pujangga Keraton Surakarta, setidaknya dari era Pujangga Yasadipura sampai Ranggawarsita mengungkapkan bahwa, babad-babad itu adalah tulisan sejarah yang dituangkan ke dalam struktur bahasa sastra (syair), dengan mempertimbangkan dimensi perkembangan sosial, kultural, politik dan agama sebagai subject matter-nya, diniatkan sebagai peringatan bagi orang Jawa saat itu, dan ramalan untuk kejadian di masa yang akan datang. Sebab, pujangga-pujangga keraton itu, memandang bahwa tulisan sejarah bukan berarti catatan masa silam, melainkan salinan dari masa lampau, dalam upaya mempersiapkan diri untuk menjangkau kejadian yang akan terjadi di masa yang akan datang.
Nancy mencontohkan argumentasinya ini dengan menunjukkan penulisan Babad Jaka Tingkir. Menurutnya, sejarah yang tertuang dalam Babad Jaka Tingkir, seolah-olah terlepas atau tidak memiliki hubungan langsung dengan peristiwa masa silam yang hendak dikisahkan penulisnya, yakni kisah hidup tokoh Jaka Tingkir. Alih-alih menceritakan kisah hidup tokoh utamanya, Babad Jaka Tingkir justru berisi kisah tentang 7 pahlawan pinggiran, yang ia sebut sebagai 7 tokoh persiapan, yang memungkinkan cerita Jaka Tingkir itu terwujud.
Rekonstruksi penulisan sejarah semacam ini, tentu sangat berbeda dengan wacana penulisan sejarah di masa sekarang, maupun penulisan sejarah dalam perspektif Barat setelah memasuki era “Pencerahan”, yang menghendaki sejarah atau kejadian di masa silam, ditulis dengan menggunakan kerangka ilmiah, disajikan dengan bahasa yang terang, jelas dan representatif. Namun betapapun juga, perbedaan ini menunjukkan kepada kita bahwa makna sejarah tiap-tiap zaman itu ternyata berbeda-beda. Setiap zaman, baik itu masyarakatnya maupun penulisnya menggarap masa lalunya sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Oleh sebab itu, sekiranya penulis sejarah yang baik menurut saya adalah penulis yang mampu memahami kebutuhan narasi sejarah pada zamannya, dan mampu mengurai persoalan keterbacaan sejarah yang ia tulis.
Sejarah Islam yang Terbaca dan Tak Terbaca dalam Babad Lombok
Berdasarkan gambaran singkat mengenai metode penanganan bukti sejarah berupa babad di atas, maka hal terpenting yang perlu diperhatikan oleh para peneliti atau siapa saja peminat kajian sejarah, sebelum melakukan penulisan sejarah adalah memahami betul kedudukan babad itu sebagai sebuah karya sastra, sebagai karya yang tidak berpretensi merekam secara presisi kejadian di masa lampau. Oleh sebab itu, babad mestilah disandingkan atau dikonfrontir dengan bukti-bukti lain yang relevan. Sayangnya, metode analisis sejarah yang menerapkan dialektika pengkajian semacam ini, masih sangat kurang di daerah saya, khususnya penulis sejarah yang mengkaji penyebaran Islam di Lombok. Para penulis sejarah penyebaran Islam di Lombok, cenderung hanya mengutip secara apa adanya, sejarah yang tertuang di babad Lombok saja, yang secara eksplisit menyebutkan aktor utamanya adalah Pangeran Prapen. Sementara, Sunan Giri yang jauh lebih awal berperan dalam syiar Islam ke Wilayah Indonesia Bagian Timur (Lombok), tidak mendapatkan porsi penjelasan yang memadai. Dalam Babad Lombok, Pupuh Dangdang bait ke-12 dan 13 ditulis:
Hana malih putra lor sangaji, kanging ngandel, wiweka digjaya, nama Pangeran Parapen, punika kang hing ngutus, hanglelana hing Lombok Hadi, Samabawa, Bali Blata, nyelami den luhung, yen nana bangga tan narsa den situtur, kalamullah hing hadil, kang sinelir hing kurngan.
Yen tan helem haunting janji, den serangi, lan wacana galak, tatanding helmi kasaten, yen maksih nora haranut, suma pala den lawan jurit, mati kalih ganjaran, haywa ge kundru ….
Adalagi putra sang Sunan, yang menjadi andalan, arif bijaksana sakti, bernama Pangeran Prapen, itulah yang diutus, berlayar ke Lombok Adi, Sumbawa, Bali Blata, mengislamkan agar tinggi suci. Bila ada yang ingkar membangkang, akan wahyu Allah yang adil, yang termaktub dalam Qur’an.
Bila tak mau ikuti titah, terangkanlah, dengan ucapan yang tegas, ajaklah ia mengadu ilmu kesaktian, bila belum mau ikut, apa boleh buat perangilah, bila engkau mati (terbunuh) mendapat ganjaran ….
Dari kutipan Babad Lombok di atas, peran dari Sunan Prapen yang ditugaskan untuk menyebarkan Agama Islam di wilayah Lombok, sangat jelas dan bahkan cukup dominan. Bahkan, kesannya, Sunan Prapen boleh memerangi raja atau masyarakat Lombok yang menolak masuk Islam. Tentu, tidak ada persoalan ketika seseorang terinspirasi oleh babad untuk menulis, tetapi jika tujuannya untuk menulis sejarah, maka pastilah ia mencari tambahan referensi yang lain, sebanyak-banyaknya. Karena, sekali lagi ini berhubungan dengan watak dari babad atau karya sastra yang lebih menekankan pada nilai estetika ketimbang fakta. Jika tidak demikian, maka hal tersebut beresiko membuat tulisan sejarah itu terkesan kurang proporsional, kurang mengakar dan barangkali tidak terkoneksi, sebagai sebuah rangkaian panjang dengan perjalanan sejarah yang lebih luas lagi.
Sunan Giri sebagai Pelopor Penyebar Islam di Pulau Lombok
Terdapat banyak sekali hasil studi sejarah Islam di Jawa, yang mengungkapkan bahwa Sunan Giri adalah sosok wali, bagian dari Wali Songo, yang tergolong paling awal merintis dakwah Islam ke kepulauan wilayah Indonesia Bagian Timur. Mulai dari Bali, Lombok, Sumbawa, Bima, Sulawesi bahkan sampai Maluku. Bahkan jauh sebelum Sunan Prapen. Keterangan tersebut setidaknya didukung oleh 3 alasan, yakni; Keberadaan Ibu angkat Sunan Giri yang berprofesi sebagai pedagang di jalur pelayaran kepulauan Indonesia Bagian Timur; Kedua, Sunan Giri juga membangun pesantren sebagai pusat transmisi pengajaran ilmu agama di daerah Gresik; Dan yang terakhir, posisi sentral Sunan Giri pada era Wali Songo sebagai ulama sekaligus umara (penguasa).
Dakwah yang dilakukan oleh Sunan Giri ke Lombok atau ke wilayah kepulauan Indonesia bagian Timur ini, dimungkinkan karena Sunan Giri dibesarkan oleh seorang janda bernama Nyai Gede Pinatih. Hoesein Djajadiningrat, menyebutkan bahwa Nyai Gede Pinatih adalah seorang janda kaya raya, bersuamikan Koja Mahmud Syahbandar. Ia merupakan salah satu dari anggota keluarga Kerajaan Majapahit yang awal sekali memeluk Agama Islam. Dakwah Sunan Giri ke wilayah Kepulauan Indonesia Bagian Timur diperkirakan dimulai, setelah Sunan Giri pulang dari Malaka (bertemu dan belajar ilmu agama dari ayahnya, Maulana Ishak), ia turut ambil bagian dalam usaha ibu angkatnya, yakni berdagang ke pulau-pulau, Indonesia Bagian Timur. Tentu misi utama Sunan Giri muda, ikut berdagang bukanlah untuk mengejar keuntungan material semata, namun ia ikut berdagang hanya sebagai sarana untuk menyebarkan Agama Islam di wilayah Indonesia Bagian Timur yang termasuk di dalamnya adalah Pulau Lombok.
Kedua, setelah dirasa bahwa syiar Islam melalui jalur perdagangan kurang maksimal, barulah kemudian Sunan Giri membangun pesantren sebagai pusat dakwahnya. Hanya saja jangan dibayangkan bahwa pesantren yang dimaksud di sini, adalah ruang belajar formal yang terlembaga dengan baik seperti umumnya pesantren saat ini. Martin van Bruinessen dalam studinya menyatakan, tidak ada bukti bahwa pada era Wali Sanga sudah ada pesantren dengan pola pengajaran formal seperti pesantren yang kita kenal hari ini. Boleh jadi, pesantren yang dimaksud pada waktu itu adalah, tempat-tempat belajar-mengajar ilmu agama yang dilaksanakan di padepokan, masjid, langgar, dan tempat-tempat lain di sekitar lingkungan kediaman gurunya. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan pesantren yang dimaksud adalah ruang sebagai pusat belajar-mengajar ilmu agama yang menjadi prototipe atau cikal bakal pengembangan pesantren modern saat ini.
Kiranya dapatlah dibayangkan bahwa pesantren yang dibangun oleh Sunan Giri itu ramai didatangi oleh santri-santri, tidak hanya datang dari Jawa saja, namun muridnya sangat mungkin datang dari wilayah Indonesia bagian lain, mengingat Gresik pada waktu itu adalah pelabuhan terbesar yang menjadi pusat persinggahan perdagangan, pelayaran antar pulau. Dan sangat dimungkinkan, bagi masyarakat di gugus kepulauan Indonesia Bagian Timur yang pernah menerima dakwah Sunan Giri itu, datang langsung atau mengutus keluarga kerabatnya untuk memperdalam ilmu agama, seperti yang pernah diterima sebelumnya. Dan pola Pendidikan semacam ini, barangkali adalah suatu hal yang wajar bagi masyarakat di manapun, tidak terkecuali masyarakat Lombok, dari dahulu bahkan hingga saat ini. Sudah menjadi suatu tradisi bagi masyarakat di daerah tertentu mengutus satu atau dua anak yang berpotensi untuk memperdalam ilmu agamanya ke daerah yang kuat tradisi keilmuannya, dengan tujuan jika kelak anak itu berhasil, ia akan diminta pulang untuk mengabdi, membimbing, membangun masyarakat sesuai dengan bidang ilmu yang dikuasainya.
Ketiga, kedudukan Sunan Giri sebagai bagian dari keluarga Kerajaan Majapahit dan sebagai pemimpin agama memungkinkan ia memiliki pengaruh besar dan luas, bukan hanya di daerah Jawa namun ia juga dapat menjangkau atau membentuk jaringan dengan daerah-daerah di luar pulau Jawa, melalui diplomasi politik antar sesama penguasanya. Penemuan bangsal Sri Menganti, Puri Kedaton dan gelar Prabu Satmata, menunjukkan bahwa salah satu anggota Wali Sanga ini, tidak hanya sebagai sosok yang berangkat dari golongan ulama yang berpengaruh saja, namun temuan itu menegaskan bahwa Sunan Giri juga dapat disebut sebagai seorang raja. Sebab, pada waktu itu tidak sembarang orang boleh memiliki bangunan bangsal, puri atau kedaton kecuali ia adalah seorang raja atau keluarga penguasa. Namun jangan dibayangkan bahwa kedaton atau kerajaan Sunan Giri itu, sama persis seperti konsep kerajaan yang dipimpin oleh raja dengan kekuasaan yang sungguh luar biasa besar dan kompleks seperti Majapahit. Kerajaan atau kedaton Sunan Giri itu adalah wilayah bagian dari kekuasaan di bawah Majapahit yang diizinkan mengatur atau mengelola wilayah kekuasaannya sendiri secara independen, karena Sunan Giri memiliki hubungan kekeluargaan dengan Kerajaan Majapahit. Demikian juga halnya dengan gelar Prabu Satmata yang disematkan kepada Sunan Giri, gelar “prabu” bagi orang Jawa adalah gelar kehormatan untuk menyebut “maha raja”, raja yang paling besar pengaruhnya di atas raja-raja kecil lainnya. Sedangkan istilah “satmata” adalah istilah yang diadopsi dari konsep pendewaan pada era Majapahit sebagai simbol dewa-dewa yang menjaga empat atau delapan penjuru mata angin, ditambah satu lagi dewa di tengahnya sebagai pemimpin atau tempat bersemayamnya dewa paling tinggi yakni, Dewa Siwa.
Di sisi lain, ketika Sunan Ampel (Maulana Malik Ibrahim) wafat, pada tahun 1478 Masehi, Sunan Kalijaga atau Raden Said, dalam rapat para wali mengambil inisiatif untuk mengusulkan Sunan Giri sebagai pengganti Sunan Ampel, menjadi penghulu dari para wali Tanah Jawa dan sebagai mufti atau pemimpin muslim di seluruh wilayah Jawa. Kedudukan ganda dan strategis inilah yang membuat Sunan Giri, boleh dibilang sangat besar pengaruhnya, yang memungkinkan ia melakukan dakwah baik melalui jalur ketokohannya sebagai pemimpin para wali Tanah Jawa maupun sebagai seorang raja, melalui jalur diplomasi dengan golongan penguasa baik di daerah Jawa maupun di luar Pulau Jawa. Kedudukan ganda inilah yang disebut oleh orang Jawa dengan istilah “Pandhita-Ratu”, yang bermakna pemimpin agama, rohaniawan (pandhita), sekaligusa raja atau penguasa (ratu).
Dengan posisi strategis inilah, sekiranya kita dapat membuat sebuah analisis mengenai pola transmisi ajaran Islam yang disampaikan oleh Sunan Giri, pola transmisi yang tidak mengandung unsur ancaman dan kekerasan, yakni secara langsung dan tidak langsung,. Pola yang pertama; dapat dipahami sebagai sebuah pola dakwah ketika masyarakat menerima pengajaran langsung dari Sunan Giri. Pola transimisi itu terjadi saat Sunan Giri berdagang ke pulau-pulau Indonesia bagian timur, kesempatan singgah dan berdagang itu dimanfaatkan oleh Sunan Giri untuk mendatangi masyarakat dan menyampaikan syiar Islam secara langsung. Di sisi lain, transmisi dengan cara langsung ini dapat pula dimengerti dengan adanya murid-murid Sunan Giri yang berasal dari berbagai daerah itu, datang untuk belajar ilmu agama langsung kepada Sunan Giri di pesantrennya.
Adapun transmisi ajaran Islam secara tidak langsung yang dilakukan oleh Sunan Giri, sekiranya dapat dibayangkan melalui dua cara, yakni dengan cara mengutus para mubalig ke daerah-daerah lain dan melalui diplomasi politik. Mubalig-mubalig yang diutus itu adalah murid-murid yang digembleng langsung oleh Sunan Giri, kemudian setelah ilmu agamanya dirasa cukup, mereka ditugaskan kembali mengabdi dan menyampaikan Syiar Islam kepada masyarakat di daerahnya masing-masing. Kemudian melalui diplomasi politik dengan para raja atau penguasa-penguasa daerah lain. Moh. Dahlan Mansur mengatakan, bahwa untuk penobatan raja atau sultan baik itu kerajaan di Jawa maupun kesultanan di daerah Maluku, mereka harus datang menghadap ke Sunan Giri terlebih dahulu untuk disahkan. Keterangan lain menyebutkan bahwa, Sunan Giri juga telah mengirim sepucuk surat dakwah ke Hitu (Halmahera) dimana penduduk setempat telah masuk Islam. Konon, kedatangan surat itu disambut dengan baik oleh Masyarakat dengan diselenggarakan sebuah acara penyambutan yang meriah sebagai bukti penerimaan masyarakat akan Islam dan sebagai bukti betapa Sunan Giri adalah ulama sekaligus umara yang memiliki pengaruh dan jasa sangat besar bagi mereka.
Penerus Dakwah Sunan Giri dan Pribumisasi Islam di Lombok
Tidak hanya berhenti sampai di situ, cetak biru kesuksesan dakwah Islam melalui jalur ketokohan Sunan Giri sebagai rohaniawan sekaligus penguasa, sehingga mampu bertahan, kurang lebih selama 200 tahun ini, didukung oleh banyak faktor, namun yang sekiranya penting untuk disinggung dalam kesempatan kali ini adalah faktor keluarga yang meneruskan perjuangan Sunan Giri dan faktor gerakan “Pribumisasi Islam”. Setelah Sunan Giri meninggal dunia pada tahun 1506. Dakwah dan pemerintahan Sunan Giri kemudian dilanjutkan oleh keturunanya, secara berturut-turut oleh; Pangeran Zainal Abidin atau Sunan Dalem (Putra Sunan Giri), kemudian dilanjutkan oleh Sunan Sedamargi (Putra pertama, Pangeran Zainal Abidin), lalu Sunan Giri Prapen (Putra ke-2, Pangeran Zainal Abidin) dan keturunannya yang lain. Dari sinilah, kiranya relevan untuk membicarakan Sunan Giri Prapen sebagai sosok yang memainkan peran, menyebarkan Islam di Lombok. Sebab, dalam catatan-catatan sejarah, pada masa Sunan Prapen lah dakwah Islam ke wilayah Indonesia Bagian Timur, disebut-sebut lebih digencarkan kembali, dan mencapai puncak kesuksesannya. Sunan Prapen, dikatakan menemui puncak kesuksesannya karena selain melakukan perluasan bangunan kedhaton, masjid dan perluasan makam Sunan Giri, ia juga menaikkan intensitas dakwah Islam ke wilayah Indonesia Bagian Timur termasuk di dalamnya adalah Pulau Lombok. Meski demikian, kesuksesan atau kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Sunan Prapen tersebut, keagungan, kemasyhuran dan kewibawaan rohani tetap diberikan kepada Sunan Giri atau Prabu Satmata.
Selanjutnya, istilah pribumisasi dalam konteks penyebaran Islam oleh para wali Tanah Jawa bermakna membenahi seluruh aspek kehidupan masyarakat Jawa. Menurut Nur Kholik Ridwan, pribumisasi Islam membawa pengertian pada gerak yang dilakukan oleh para sufi yang bermazhab Sunni, yang berusaha mempertemukan tradisi lama masyarakat Jawa dengan nilai-nilai Islam (baca: baru), hingga kemudian hasilnya menjadi produk kebudayaan yang kita kenal sampai hari ini sebagai tradisi Islam Jawa. Sebab, tradisi yang dimaksud telah disesuaikan dengan tujuan dan niat keislaman yang dikehendaki oleh para wali. Suatu kaidah ushul fiqh yang dijadikan dasar gerakan pribumisasi Islam oleh para wali adalah, mempertahankan hal lama yang dianggap perlu lagi maslahat, dan membuat hal baru yang bernilai lebih baik di tengah masyarakat lama, secara gradual. Gerakan pribumisasi Islam ini sedemikian kuat dan mengakarnya, sehingga masuk ke dalam semua pranata sosial masyarakat Jawa; mulai dari ritus kelahiran dan kematian, pernikahan, wawasan spiritual, nilai-nilai sastra, nilai-nilai sosial dan tata masyarakat Jawa lainnya.
Sehingga dapat dimengerti, bahwa muatan dakwah atau pribumisasi Islam seperti inilah yang mungkin sampai kepada masyarakat Lombok, mengingat Sunan Giri adalah sosok yang menjadi bagian terpenting dari gerak atau kerja bersama para wali Tanah Jawa itu. Namun, sangat penting untuk memahami bahwa, terdapat pertimbangan-pertimbangan tertentu dan atau penyesuaian-penyesuaian (penambahan atau pengurangan) tertentu terhadap, situasi dan kondisi sosial kultural masyarakat Lombok pada waktu itu, sehingga pribumisasi Islam itu bisa diterima dengan baik. Maka tak heran, jika hari ini kita mewarisi tradisi Islam kultural yang memiliki kemiripan dengan tradisi Islam kultural yang ada di Pulau Jawa. Sebut saja beberapa di antaranya; tradisi nembang membaca takepan (sastra), di bidang bahasa dan budaya, peringatan kematian, tahlilan, maulidan, rowah dan tradisi-tradisi Islam kultural lainnya, yang sangat mirip dengan tradisi Islam yang ada di Jawa.
***
Akhirnya setelah percobaan membuat analisis mengenai sejarah penyebaran Islam di Lombok ini, kiranya saya dapat membuat simpulan, bahwa; Amat sangat penting bagi penulis sejarah untuk memperhatikan kedudukan referensi yang dijadikan pegangan, jika kebetulan sumbernya berupa karya sastra seperti babad, maka keharusan baginya untuk mencari referensi tambahan yang relevan dengan topik atau pokok kajiannya. Mengingat watak dasar dari karya sastra dan karya sejarah cukup jauh berbeda. Jika salah satunya penekanannya pada aspek estetika, sedangkan yang lainnya, penekanannya pada aspek faktualnya.
Selanjutnya, sejarah mengenai masuknya agama Islam telah melewati rentang waktu yang cukup panjang, sementara kejadian di masa lalu tidak mungkin terulang kembali, sama persis. Oleh sebab itu, pada dasarnya penulisan sejarah berarti upaya manusia dengan kemampuan akalnya memikirkan masa lalu, karenanya nilai sejarah sangat bergantung dari sudut pandang penulisnya. Tidak mungkin saya dapat menentukan versi mana yang lebih benar mengenai sejarah masuknya Islam di Pulau Lombok. Tetapi setidaknya saya bisa menyatakan bahwa, tidak mungkin membayangkan Islam, dapat berkembang sebagai agama mayoritas di Pulau Lombok tanpa peranan Sunan Prapen. Dan lebih mustahil lagi membayangkan Islam diterima dengan baik oleh masyarakat Lombok, dengan meminggirkan atau mengesampingkan, peran Sunan Giri dan gerakan pribumisasi Islamnya.
Sumber Bacaan:
Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo. Tangerang Selatan, Pustaka IIMan dan LESBUMI PBNU, 2016.
Anonim, Babad Lombok, (diterjemahkan oleh Lalu Gde Suparman), Jakarta, Proyek Pembinaan Buku sastra Indonesia dan Daerah, 1994.
Bambang Suwondo, Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat, Jakarta, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978.
Irfan Afifi, Saya Jawa dan Islam, Yogyakarta: Tanda Baca, 2019.
M. Ishom El-Saha & Mastuki HS (editor). Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren, Yogyakarta, Diva Pustaka. 2023.
Nancy K. Florida, Menyurat yang Silam Menggurat yang Menjelang: Sejarah Sebagai Nubuat di Jawa Masa Kolonial. Yogyakarta. Mata Bangsa, 2020.
_________ Jawa-Islam di Masa Kolonial; Suluk, santri, dan Pujangga Jawa, Yogyakarta, Buku Langgar, 2020.
Nur Khalik Ridwan, Islam di Jawa Abad XII-XVI Para Wali, Pribumisasi Islam, dan Pergulatan Jati Diri Manusia Jawa. Yogyakarta, Buku Langgar, 2021
Solichin Salam, Sekitar Wali Sanga, Kudus, Menara Kudus, 1960
Umar Hasyim, Sunan Giri: Pemerintahan Ulama di Giri Kedaton, Kudus, Menara Kudus, 1999.
William H. Fredrick, Soeri Soeroto, Pemahaman Sejarah Indonesia: Sebelum dan Sesudah Revolusi. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia. 1984.
Udara sore sekitar makam Sunan Drajat terasa sejuk, meskipun suasananya tak jauh berbeda dengan pasar. Aku, seorang guru yang tak terlalu suka dengan hal-hal spiritual, mengamati sekeliling dengan skeptis. Kali ini, aku mengantar rombongan murid berziarah wali sembilan—ritual tahunan yang menurutku tak lebih dari acara jalan-jalan yang dibumbui takhayul dan mitos. Namun, sekolah memaksa, dan di sinilah aku, berdiri di tengah kerumunan orang yang datang dengan harapan kosong dan sia-sia.
“Kalian jangan terlalu percaya sama yang gaib-gaib. Ini cuma tradisi, tidak ilmiah,” pesanku kepada murid-murid menjelang turun dari bus.
Duduk malas di bangku kayu, menunggu mereka masuk ke makam, aku amati sekitar.
Makam Sunan Drajat berada di puncak bukit, dikelilingi pemandangan indah. Di bawah bukit hamparan sawah melandai jauh. Konon, dulu di bawah sana terdapat sungai purba yang membentang dari Surabaya, Demak, hingga Cirebon, yang digunakan wali sanga saling berkunjung. Tapi bagiku, cerita semacam itu tidak lebih dari legenda.
Nisan-nisan tua berserakan membawa kesan hampa dan purba. Warung-warung kecil berjajar di pinggir jalan, suara tawar-menawar terdengar samar. Aku melirik jam tangan. Bosan. Suasana di sekitar, meski ramai menjadi tak menarik.
Di tengah kebosanan seorang bapak tua duduk di sampingku. Tangannya menjinjing mainan anak-anak. Ada gasing, kitiran, kuda-kudaan dan sebagainya. Penampilannya sederhana mengenakan baju surjan, celana longgar, dan iket kepala batik. Perawakannya kurus tapi sehat.
“Mainan, Mas? Buat yang di rumah” suaranya parau.
Aku menatapnya heran. Tidak ada yang menjual mainan di sini.
“Mainan?” tanyaku sinis. “Di tempat begini kok jual mainan, Pak. Mestinya makanan.”
Bapak tua tidak mendengarku, ia sibuk merapikan mainannya. Tiba-tiba sambil lalu dia berkata.
“Hidup itu permainan, Mas. Kenapa tidak mainan?”
Kalimatnya klise tapi membuatku terdiam.
“Kisanak darimana?”.
“Jogja. Kalau sampeyan?” Ia bergumam tidak jelas. Aku juga tak tertarik tahu asalnya.
“Yang nyaman, santai, tidak usah ngeden, Mas..” katanya. Yang tidak nyaman apalagi ngeden itu ya siapa. Enak saja. Sok tahu.
“Wong urip iku..”
“Nama Bapak siapa?” tenyaku memotong.
***
“Drajat,” jawabnya.
Aku tertawa kecil, geli campur sinis.
“Hahaha, namanya seperti wali. Sunan Drajat?” candaku.
Bapak tua diam tersenyum kecil. Ia menatapku sebentar, lalu beralih ke nisan-nisan di sekeliling kami. Sorot matanya teduh, seolah melihat sesuatu yang tak kasat mata. Ada keheningan dalam sikapnya yang membuatku merasa tak nyaman.
Menjelang magrib, suasana berubah. Langit jingga di ufuk barat meredup gelap, dan udara terasa lebih dingin. Warung-warung mulai sepi, satu per satu pedagang menutup kiosnya.
Aku memandang ke arah bukit. Di balik sana, tampak kilapan air mengalir perlahan. Hamparan sawah penuh genangan tiba-tiba berubah menjadi laut. Aku tertegun. Berkali mataku mengerjap tapi tidak juga hilang. Sekarang bahkan jelas: lampu jalan menerangi perahu-perahu yang tertambat dan orang-orang berjalan di tepian.
“Pak, apa itu? Kok ada kapal?” tanyaku menuding jauh dan bingung.
Bapak tua, yang kini berdiri menggendong mainannya, tersenyum lagi.
“Itu pelabuhan. Perahu ke Demak sudah datang, saya harus berangkat.”
Jantungku berdetak kencang.
“Ke… Demak?” tanyaku terbata-bata.
Tanpa menoleh, bapak itu berkata pelan. Suaranya berat dan dalam.
Saya terpaku. Kata-katanya sederhana, namun menusuk hati.
Tanpa berkata lagi, bapak penjual mainan beranjak menuruni bukit menuju dermaga. Di sekelilingku orang-orang bermunculan, berdiri penuh hormat melepas kepergiannya. Aku heran memandangi mereka, yang seperti peziarah namun auranya berbeda.
“Siapa itu?” tanyaku pada sebelahku. Ia menatapku heran. “Kamu benar tidak tahu? Itu Kanjeng Sunan.”
“Sunan… Drajat?”
Tiba-tiba orang-orang di sekelilingku lenyap. Rombongan muridku, para peziarah, semuanya hilang. Yang tersisa hanyalah nisan-nisan tua dalam remang gelap.
“Yang fana adalah waktu. Kita Abadi:”
(Sapardi Djoko Damono, “Yang Fana adalah Waktu”)
THE Photograph (2007)[1]adalah film yang menghidupkan fotografi. Tetapi tidak seperti A Great Day in Harlem (1994)—film dokumenter Jean Bach yang berangkat dari foto jepretan Art Kane pada musim panas 1958 di Harlem, New York; film berdurasi 103 menit ini hanyalah menciptakan (baca: mereka) karya-karya fotografinya sendiri demi kebutuhan sinematografi yang seyogianya merupakan kelanjutan dari seni fotografi.
Adegannya dibuka dengan terpentangnya pintu sebuah rumah besar Hoakiau[2], menampakkan tembok kusam di sisi dalamnya yang dipenuhi oleh gantungan foto-foto hitam-putih terpigura yang tak kalah kusam: menguning dan penuh bercak.
Dan seiring terbukanya pintu, kamera pun bergerak perlahan mendekati dinding penuh foto itu, lalu mendadak berganti jadi close-up shot yang terfokus pada potret seorang lelaki Tionghoa sedang duduk di samping kamera besar berkaki tiga. Sebuah foto yang telah dimakan usia sebagaimana terlihat bukan hanya dari kondisi fisiknya saja, tetapi juga dari pigura yang membingkainya dan tulisan hànyŭ merah di atas kacanya yang buram berdebu.
Nama hànyŭ maupun alfabet latin (dalam ejaan Hokkien) lelaki dalam potret itu sudah (nyaris) tak terbaca, begitu pula dengan tahun masa hidupnya yang tercantum di bawah nama. Tetapi pada foto-foto berikutnya yang tertangkapoleh pergerakan kamera, nama dan angka yang tertera di atas potret sosok-sosok lelaki lain dengan pose serupa masihlah terbaca cukup jelas: 陳添來 – Tan Tham Lay[3] – 1895-1957 dan 陳連輝 – Tan Lian Hoei[4] – 1914-1965.
Jelas, ketiga sosok lelaki dalam foto-foto tua itu tak lain merupakan buyut, kakek, dan ayah dari karakter utama film ini yang diperankan oleh aktor Tionghoa Singapura Lim Kay Tong (林祺堂)[5], yakni 陳漢裕 – Tan Han Xi[6]/ Johan Tanujaya – 1956-[…]. Nama tokoh utama tersebut—dengan jenis huruf hànyŭ dan alfabet latin, juga warna yang sama—tampak tertulis pula di atas kaca pigura kosong yang perlahan digantungnya sendiri di sisi potret buyut-kakek-ayahnya setelah ia mencopot dua lembar dari sekian banyak foto tua hitam-putih ukuran 4R yang digantung dengan jepitan kayu di tembok.
Dalam gaze shot ini, kamera membidik secara dekat wajahnya yang dipantulkan kaca pigura kosong itu: wajah tua seorang lelaki Tionghoa dari golongan menengah ke bawah yang terlihat sudah lelah oleh kegetiran hidup, di mana sepasang matanya tengah menatap wajahnya sendiri di permukaan kaca dengan tatapan sayu. Momen screenplay opening ini juga disertai oleh monolog voice over suara Shanty yang memerankan tokoh Sita, seorang perempuan Jawa dari desa yang berprofesi sebagai penyanyi di bar karaoke dan sesekali sebagai pekerja seks komersial:
“Pada saat kita merenungkan masa lalu, akan ada saat-saat yang mengubah kita, diri kita, hidup kita, agar dapat melangkah lebih pasti ke depan. Ini sebuah cerita tentang seorang manusia yang telah menyentuh hidup ini, menyentuh saya.”
Dari monolog voice over itulah kita segera sadar bahwa Sita sesungguhnya adalah character-narrator dalam film ini, sehingga dengan demikian The Photograph boleh dibilang film dengan cerita berfokal internal yang—dalam kajian sastra—dikategorikan sebagai homodiegetic, di mana narator adalah seorang tokoh sentral yang berada dalam cerita.[7]
Adegan pembuka masih berlanjut dengan bidikan kamerayang berpindah ke frame tangan Johan Tan yang sedang membersihkan meja dari botol-botol obat dan membereskan kertas-kertas berserakan yang di antaranya bertuliskan “Asisten fotografi dicari dengan cepat”. Lalu segera bertukar dengan adegannya sedang memegang dupa dan menyusul sang tokoh utama diperlihatkan membuka sebuah peti kayu di bawah meja sembahyang, yang di dalamnya berisi lensa kamera tua, bungkusan kain, setelan jas terlipat rapi, dan sebuah kotak besi terkunci.
Dalam kotak besi terkunci yang dibukanya inilah kita kemudian menemukan foto-foto tua. Tiga lembar di antaranya dikeluarkan Johan untuk diletakkan di altar sembahyang keluarganya, yaitu foto rel kereta api, pemandangan pelabuhan, dan sebuah kamera tua tegak di samping kursi kosong dalam studio—yang mana ternyata juga tertempel di sisi pigura kosong yang baru digantung.
Tentu saja dalam momen ini kita belumlah memahami apa makna ketiga lembar foto itu bagi Johan yang memandangnya dengan nanar disertai gumam “saya akan mulai mati hari ini”. Namun dari perlakuan tokoh terhadap ketiga lembar foto, toh dengan gamblang kita dapat menduga bahwa obyek-obyek foto tersebut memang bukan sembarangan obyek, tetapi merupakan sesuatu yang amat bernilai bagi sang tokoh. Foto-foto Johan itu pun serta merta mengingatkan saya pada obsesi tokoh Antonio Paraggi memotret ketidakhadiran Bice sang kekasih yang pergi meninggalkannya dalam cerpen “Petualangan Seorang Fotografer” karya Italo Calvino, dengan obyek-obyek foto berupa asbak penuh puntung, tempat tidur berantakan, noda lembab di dinding, atau sudut ruangan yang sama sekali kosong.[8]
Berharganya foto-foto tua Johan beserta semua benda yang tersimpan dalam peti kayunya di bawah altar sembahyang itu, tampak semakin terang ketika pada satu adegan di pertengahan film, Johan dengan tegas melarang Sita yang hendak mengepel lantai menyentuh peti tersebut. Bahkan saking pentingnya ketiga lembar foto itu, dapat dikatakan bahwa jalan cerita film besutan Nan Achnas ini tak lain adalah sebuah perjalanan untuk menyibak rahasia hidup sang tokoh utama yang direpresentasikan oleh karya fotografi.
Dengan demikian The Photograph bukan saja dimulai dengan memperkenalkan kita kepada sang protagonis, tetapi juga pada hal-hal krusial yang langsung menukik ke jantung konflik cerita film—yang pada awalnya secara sepintas barangkali tampak sederhana, remeh, dan berpotensi luput dari konsentrasi kita tetapi sebenarnya begitu konkret sebagai obyek-obyek yang dibebani makna. Termasuk juga di sini potret-potret diri Sita dan putrinya, Yani, yang berulangkali diperlihatkan kepada kita sejak adegan perempuan itu mengemas barang untuk pindah dari rumah Rossi (Indy Barends) ke Roemah Photo Tan.
Karena itu tak bisa tidak, film ini menuntut kejelian mata penonton untuk menangkap berbagai detail kecil pada properti, seakan-akan memang tak ada bagian yang tidak berarti atau diletakkan sekadar untuk memenuhi setting. Dan keseriusan menangkap detail ini bukan hanya terkait dengan perihal foto atau yang berhubungan dengannya, melainkan juga menyangkut lanskap interior dan eksterior, bahkan seluruh mise-en-scene yang didominasi oleh cahaya redup dan warna suram untuk mendeksripsikan kemurungan hidup tokoh-tokohnya.
Perhatikan saja keadaan ruang depan Roemah Photo Tan[9] yang ditempati oleh seorang tukang wayang potehi (poo tay hie) bernama Tho Teng Be dan tukang servis jam “Eka Jaya Watch” saat Sita pertama kali tiba contohnya. Di antara orang-orang sedang membaca koran dan seorang nenek bersembahyang di depan altar, jika teliti kita bisa melihat adanya gambar Dewa Kwan Kong[10] yang menghitam di tembok pertanda tuanya gambar tersebut. Studio milik Johan juga di-set secara saksama sehingga memperlihatkan sebuah model studio foto yang barangkali telah menjadi memori kolektif orang Indonesia hingga tahun 90an dengan ragam lukisan pemandangan sebagai background-nya.
Begitu pula kondisi kamar loteng Sita yang begitu jorok dengan sampah kertas dan kantong plastik berserakan secara alami, atau betapa kotor berdebunya kain latar studio berupa lukisan Tembok Besar China yang dibersihkan oleh Johan dan Sita, dan terutama bekas-bekas gantungan pigura foto pada tembok di tepi jalan tempat Johan saban pagi mangkal sebagai tukang foto; di mana bekas-bekas itu bukan saja mengesankan suatu hal yang telah berlangsung lama, namun juga dapat dipergunakan untuk mengulang rutinitas serupa setiap saat ketika setiap pigura mesti digantungkan kembali pada tempatnya sediakala—layaknya momen-momen hidup yang seakan dapat diulang pada saat kita memandang sebuah foto.
***
“FOTOGRAFI adalah cara memenjarakan realitas. Seseorang tak dapat memiliki realitas, seseorang dapat memiliki gambar—seseorang tidak dapat memiliki masa kini tetapi seseorang dapat memiliki masa lalu,”[11] demikian tulis Susan Sontag dalam bukunya On Photograph (1977).
Selama sekian dasawarsa setelah Joseph Nicepore Niepce berhasil memproyeksikan Point de vue du Gras pada 1816 yang dianggap sebagai karya fotografi pertama berupa gambaran kabur atap-atap rumah pada sebuah lempengan campuran timah yang dipekakan,[12] manusia mengira bahwa mereka telah melangkah lebih jauh dari seni lukis realis dalam usaha untuk mengawetkan momen. Sejak itulah teknologi kamera terus mengalami perkembangan dari masa ke masa hingga yang kita kenal sekarang. Namun apakah waktu memang sungguh-sungguh dapat dikerangkeng dalam selembar potret? Apakah manusia, benda-benda, dan peristiwa yang berhasrat kekal seyogianya bisa dibekukan dalam proses kiamiwi di kamar gelap atau cetak digital?
Nirwan Ahmad Arsuka dalam sebuah esainya tentang fotografi pernah mengingatkan kita akan sifat waktu ini dengan mencontohkan mitologi Batara Kala sang penimpa bala dan Dewa Kronos yang selalu menelan apa saja yang dilahirkannya. Menurut Arsuka, ada tiga aspek fisis waktu yang tercerap indra manusia. Pertama, waktu selalu mengalir, tak terbendung. Kedua, waktu hanya bergerak asimetris, selalu mengarah ke depan. Dan ketiga, aliran waktu akhirnya menelan dan menghancurkan apa saja yang ditempuhnya.[13] Karena itu pula dalam sejarah kita kenal mumi yang tersimpan dalam piramida penuh labirin yang dibuat untuk menahan dan menyesatkan instruksi waktu yang tak kenal ampun. Juga para prajurit terakota yang dibangun untuk menjaga makam Shih Huangdi, setelah sang kaisar sia-sia melawan usia dengan ramuan herbal dan alkimia.
Kekuatan teknologi kamera adalah kemampuannya yang seolah mampu menghentikan waktu. Dalam citra yang diabadikan oleh kamera, waktu seperti tampak membeku untuk selama-lamanya, juga apa pun yang berada di dalamnya: diri kita, pakaian yang kita kenakan, ruangan, dan cahaya ketika itu.
Sehingga—mengutip Arsuka—terhamparlah kenyataan obyektif yang bisa menyedot. Seakan aliran waktu yang selalu asimestris, bergerak ke depan itu, dapat ditaklukkan oleh kamera. Pada selembar foto, waktu seakan bergerak mundur ke masa silam tatkala kita melihatnya pada masa kini seraya membalik sekaligus mempertegas hukum kausalitas. Kemampuan mengendalikan arah dan kecepatan gerak waktu—mempercepat atau memperlambatnya—adalah penaklukan kedua kamera atas waktu.[14] Dengan begitu, realitas dalam fotografi pun bisa diandaikan sebagai “sesuatu yang kelak retak dan kita membikinnya abadi”.[15] Dalam waktu yang fana, dalam temporalitas, realitas senantiasa berubah. Karena itu memotret adalah upaya untuk mengabadikan kenyataan yang selalu saja retak akibat kefanaan sang waktu. Seperti diungkapkan Seno Gumira Ajidarma:
Setiap kali kita memandang sebuah foto, tentu momen dalam foto itu telah menjadi masa lalu. Namun sebuah foto selalu kontemporer, selalu berada di masa kini, karena sebuah foto berada dalam kekinian pemandangnya. Yang retak itu kita bikin abadi. Keabadian itu bukan suatu kebekuan, melainkan fiksasi, kehidupan itu tidak ke mana-mana, selalu terhidupkan kembali oleh pemandangan kepada citra foto tersebut. [16]
Sebab itu pula, apa yang terekam hanyalah separuh ilusi. Waktu, kita tahu, tidaklah pernah sungguh-sungguh dibekukan dalam sebuah foto tetapi hanya tampak seperti itu. Sebab pada dasarnya citra fotografis adalah irisan tipis dari realitas yang begitu besar dan kompleks. Selembar foto mungkin saja menjadi representasi realitas, namun sebagai citra ia tetaplah bukan realitas itu sendiri.
Maka fotografi, kata Seno lagi, adalah kalacitra, gambaran waktu. Sebuah foto hanya berusaha menangkap waktu, mencoba membekukan dan mengekalkannya, namun yang tertangkap hanyalah citra dari sebuah pemandangan di depan kamera. Waktu (yang sesungguhnya) selalu berada di luar foto-foto itu. Bahkan foto-foto tak lain hanyalah prasangka naif dalam ketidakberdayaan kita menghadapi laju waktu yang merusak dan terus meninggalkan manusia, benda-benda, dan peristiwa.
Oleh sebab itu fotografi juga cenderung terancam oleh keterbatasan informasi, tak mampu memberikan informasi memadai atas apa yang terjadi sebelum dan sesudah pemotretan. Bahkan tak jarang, menyuguhkan informasi menyesatkan.
Menurut Roland Barthes: Citra fotografi pada dasarnya adalah analogon sempurna dari kenyataan, a message without a code yang secara literal memustahilkan deskripsi, tapi secara paradoksal menjadi dasar dari pembentukan pesan mengandung kode yang pembacaannya sangat tergantung pada sejarah dan pengetahuan orang yang memandangnya.[17] Itulah kenapa makna sebuah foto ditentukan oleh pemandangnya, ketika disebut bahwa bagi orang lain foto-foto itu tak berjiwa.[18]
Tak heran apabila ketiga lembar foto Johan dalam film The Photograph tidaklah dipahami Sita dan orang lain yang tak memahami konteks sejarahnya; tak berarti apa-apa selain hanya menerbitkan penasaran. Mereka hanyalah bermakna sebagai “salinan realitas” bagi diri Johan pribadi sebagai pemilik sekaligus pemotretnya. Di sinilah letak sakralitas foto lama itu.
Dalam tradisi Tionghoa, foto sebagai representasi (sebelum foto ada, digunakan lukisan atau nama) memang sudah menjadi hal umum. Foto-foto itu—sebagaimana yang juga diperlihatkan dalam The Photograph (berupa foto anak-istri dan orang tua Johan)—lazim diletakkan di altar sembahyang sebagai pengganti orang-orang yang sudah mati.
Ya, foto menjadi sakral lantaran konteks waktu bukan karena mengulur usia manusia, meskipun cuma seakan-seakan atau secara ilusif. Lantaran kemampuannya mengada dalam waktu. [19]
***
SITA dan Johan adalah dua orang berbeda generasi, berbeda etnis, dan berbeda jenis kelamin yang dipersatukan oleh nasib: kegetiran hidup yang muram.
Pada Sita, kegetiran itu berupa kemiskinan. Sebagai seorang single mom yang mesti meninggalkan desanya untuk bekerja jadi penyanyi karaoke dan pekerja seks di kota, ia bukan hanya mesti menghidupi anaknya tetapi juga mencari biaya pengobatan untuk neneknya yang sakit. Karena itu cita-citanya adalah bisa membawa anak dan neneknya hidup bersamanya. Namun itu sungguh tak mudah lantaran ia juga terjerat hutang pada seorang germo bernama Suroso (Lukman Sardi) yang dulu membawanya ke kota, yang setiap saat mengancamnya akan membeberkan kepada anak dan neneknya serta orang-orang desa apa pekerjaannya di kota:
Sita sendiri selalu mengaku kepada nenek dan anaknya, juga Pak Rohim tetangganya yang menjadi tempat ia menelepon Yani, bahwa dirinya punya “pekerjaan baik-baik” di kota sebagai buruh di pabrik garmen. Karena itu secara rutin ia pun mengirimkan foto-foto dirinya dalam pose ceria mengenakan pakaian-pakaian modis yang dipinjamnya dari Rossi yang berprofesi sebagai penjahit. Semua foto itu, termasuk yang sejak awal diperlihatkan kepada kita, merupakan foto-foto yang dijepret di Roemah Photo Tan (tempat ia mengenal Johan). Ya, sampai di sinilah kita jadi tahu betapa pentingnya foto-foto itu bagi diri Sita. Sebab lewat foto-foto itulah ia seakan bisa menampilkan “dirinya yang lain” yang ia ingin orang lain lihat, terutama anaknya.
Tetapi tidaklah dalam semua foto ia ternyata sanggup “berakting” ceria. Pada selembar dari dua potretnya yang dicuci oleh Johan suatu kali tampaklah wajah aslinya yang sedih dan murung dengan mata sembab. Toh, seperti kata Johan, itulah salah satu esensi fotografi: “Foto bisa jujur, bisa menipu. Terserah mau pajang yang mana, dan yang mana yang mau disimpan.” Sehingga dalam hal ini kita pun kembali mempertanyakan apakah potret benar-benar dapat diterima sebagai representasi realitas atau seyogianya ia hanya sebuah salinan palsu?
Tetapi kejujuran wajahnya yang terekam kamera Johan itulah yang kemudian membuat Sita mencoba menanggalkan topeng yang selama ini ia kenakan (demi melindungi nama baik diri dan keluarganya) dengan mengaku di depan cermin: “Namaku Sariah, bukan Sita.” Bahkan pada akhir film, akhirnya ia membakar semua “potret bertopeng keceriaan”-nya itu bersama foto-foto tua Johan yang sudah meninggal.
Johan sendiri memiliki kegetiran hidup yang berbeda, sebagaimana yang terungkap lapis demi lapis sepanjang alur film ini. Sebelum kenal lebih dekat dengan Johan, Sita seperti Rossi dan orang-orang lain, hanya memandangnya sebagai lelaki tua aneh yang cuma bicara seperlunya, tak mau bertatapan, dan setiap pagi melakukan rutinitas membakar dupa dengan sesajen buah-buahan di atas rel kereta. Selain suka mengintip aktivitas Johan membuka peti besarnya saban malam dari celah papan kamar lotengnya, Sita juga beberapa kali tanpa segan memakan apel sesajen lelaki itu.
Barulah setelah pada suatu hari fotografer itu menyelamatkannya dari tangan Suroso yang membuat hubungan mereka jadi lebih dekat oleh rasa empati masing-masing, perlahan Sita mulai mengenal sosok Johan lebih jauh dan berusaha memahami lelaki tua itu. Sampai akhirnya sedikit demi sedikit ia pun mengetahui rahasia hidup Johan dan apa makna ketiga lembar foto di altar sembahyang yang tersangkut erat pada masa silam si tukang foto.
Perbedaan antara Sita dan Johan yang cukup kentara adalah apabila Johan seolah terperangkap dalam foto-foto masa silam; foto-foto Sita adalah masa depan lebih baik, sekali pun itu masih berupa harapan temporary yang diwujudkan secara manipulatif lewat pose dibuat-buat. Dan hal ini dengan tegas pernah dinyatakan Sita di hadapan Johan yang sedang membakar dupa untuk arwah anak-istrinya: “Aku melihat ke depan, Pak. Bukan ke masa lalu seperti Bapak. Aku mesti jaga nenekku, mesti jaga anakku. Yang hidup yang penting, Pak. Bukan yang mati.”
Tetapi apakah hidup Johan memang hanya melulu tertoleh ke masa lalu? Ketiga lembar foto di atas altar memang mengisyaratkan demikian: sebuah sakralitas masa silam pada potongan-potongan kertas yang menguning secara emosional. Namun sebagaimana Sita, kita akhirnya tahu betapa keramatnya ketiga lembar foto itu untuk Johan, yang mengikat hidupnya penuh seluruh dalam aktivitas penghidupannya sebagai fotografer, tanpa ia berdaya menolak. Dalam perkara inilah, Johan seolah tak kunjung beranjak, tak mampu beranjak, bahkan tak ingin beranjak dari masa lalu yang tercetak di atas foto. Usianya kian menua, masa berganti, tetapi waktu tetap saja (seakan) membeku dalam momen-momen tertentu yang terus menghantuinya dengan rasa bersalah: “Saya tidak pernah melakukan apa pun dalam hidup saya yang berarti.”
Sehingga di sini—di luar tuntutan tradisi China untuk mengenang mereka yang sudah tak ada—kata Seno, “yang sakral bukan cuma potret saja, tetapi juga yang lama”.[20]
Meskipun orang-orang seperti Rossi sedikit-banyak sebetulnya sudah tahu peristiwa seperti apa yang dialami Johan sehingga ia dianggap aneh, tetapi semua itu barulah benar-benar terungkap pada penghujung film ketika lelaki tua itu akhirnya berkenan membagi “duka abadinya” kepada Sita dengan menunjukkan seluruh isi peti kayunya yang penuh rahasia: Istri dan anak laki-lakinya mati tertabrak kereta api pada hari ketika ia memutuskan untuk menolak meneruskan profesi fotografer yang turun-temurun dalam keluarganya demi mewujudkan cita-citanya bepergian jauh, kembali ke China. Sebuah cita-cita yang kandas baginya bukan saja karena sebagai generasi keempat dari keluarga tukang foto ia telah berjanji untuk menjadi seorang penerus, namun tampaknya juga karena sebagai seorang lelaki Tionghoa ia memikul kewajiban untuk melanjutkan xing (marga) keluarganya dengan menikah.
Karena itu foto rel tempat anak-istrinya mati tertabrak (atau menabrakan diri pada) kereta api yang ditumpanginya menuju pelabuhan pun berlaku seperti mesin waktu bagi Johan: kapan saja ia memandang foto itu, ia seperti kembali ke momen paling menyakitkan dalam hidupnya. Walaupun bukan hanya foto itu saja yang dimiliki oleh Johan, tetapi juga foto-foto lainnya yang lebih mengiriskan dan mengerikan—yang selama ini tersimpan rapat dalam kotak besi terkunci dalam peti kayunya—yakni foto-foto potongan tubuh anak-istrinya.
Saya yang memotret ini. Saya ada, pada hari itu. Pagi itu, saya beri tahu Selly saya akan meninggalkan mereka. Saya benci semua dalam hidup saya. Saya benci menjadi penerus warisan keluarga. Benci menjadi orang yang menurut. Dan saya katakan ke Selly kalau saya tidak cinta dia. Saya tidak pernah cinta dia. Saya katakan semuanya pada hari itu.
Sejak tragedi itulah ia tak pernah lagi naik kereta api, tak pernah pergi ke pelabuhan yang ia rindukan; yang mestinya menjadi tempat ia bertolak meninggalkan semua hal yang tak ia sukai pada masa muda. Setidaknya sampai suatu hari ketika Sita bersedia menemaninya naik kereta pergi ke pelabuhan untuk terakhir kali dalam hidupnya.
Di sinilah kemudian terungkap makna foto kedua: pemandangan pelabuhan tempat di mana “Kapal-kapal dari China ada di sini. Saya ingat saya hampir jatuh waktu turun”, sebuah foto yang menjadi muasal kegetiran hidupnya, membuat ia merasa menjadi lelaki durhaka yang lalai pada tanggungjawab terhadap keluarga. Dan dalam foto pelabuhan ini seakan-akan tersimpanlah masa depan yang telah lama menjadi masa silam: sebuah past future continuous.
Namun foto ketiga (kamera yang tegak di sisi kursi kosong dalam studio) semestinya merupakan hal dari masa silam yang belum selesai. Karena hingga menjelang akhir hayatnya (yang telah sakit-sakitan), Johan belum juga berhasil mendapatkan pengganti untuk meneruskan profesi warisan keluarganya. Kendati ia telah menyebarkan dan menempel selebaran di mana-mana, tetapi yang datang melamar jadi fotografer magang hanyalah orang-orang tak berkompeten yang bahkan tidak paham cara memotret. Bahkan satu-satunya orang (pecatan tentara) yang akhirnya ia terima, ternyata memiliki kelainan mata.
Apabila foto pertama Johan merupakan foto menangkap kematian (dan membalsemnya), foto ketiga ini seolah-olah hendak menunda kematian. Yang sekilas-pintas mirip dengan apa yang hendak diutarakan oleh Goenawan Mohamad lewat puisi “Buat H.J. dan PG”, yakni tatkala sebuah foto lama diajukan seorang lelaki tua kepada malaikat maut (yang hanya tertawa) untuk menunda ajalnya lantaran anaknya akan tiba terlambat dari rumahnya yang jauh. Sebuah foto yang demikian sakral karena di sanalah berada “tempat yang kita kenal” dengan “saat-saat yang tak pernah baka”. Namun kita pun mafhum bahwa tak seorang pun bisa menunda kedatangan malaikat maut. Dalam kuasa waktu, kematian adalah sebuah keniscayaan.
Terungkap juga di sini ternyata Johan tak memiliki selembar pun potret dirinya sendiri. Sebab dalam keyakinan dan tradisi keluarganya turun-temurun, hanyalah seorang fotografer pengganti yang boleh memotret dirinya. Syarat lainnya, pengganti itu haruslah laki-laki. Karena itu, walaupun Sita tampak tertarik pada dunia fotografi, ia tetap saja tak diijinkan Johan untuk menjepret dirinya (karena bisa sial) dan menyentuh kameranya. Hal ini berarti Johan akan mati sebagai lelaki gagal yang tak mampu memenuhi janji bahkan sumpahnya kepada leluhurnya untuk menemukan penerus profesi keluarga. Profesi yang dulu ia tolak sehingga mendatangkan kesialan berupa kematian tragis anak-istrinya. Dan ini merupakan kegagalan keduanya (yang bakal mengakibatkan arwahnya kelak tak akan bertemu dengan keluarganya di akhirat) setelah ia gagal memenuhi janjinya untuk menjadi anak yang baik, suami yang baik, dan ayah yang baik. Itu sebabnya Johan merasa “Belum siap untuk pergi. Belum selesai tugas-tugas saya. Belum sekarang.”
The Photograph bukanlah kisah atau kajian yang “menggugat fotografi” seperti cerpen Italo Calvino “Petualangan Seorang Fotografer” dan buku On Photograph karya Susan Sontag, maupun film yang mempertanyakannya seperti Blow-Up (1966) karya Michelangelo Antonioni yang sempat dibicarakan Seno. Namun demikian kita pun seakan menemukan adanya semacam keserupaan yang tak sama antara Johan dan karakter Antonio Paraggi. Di mana keduanya adalah orang yang berkonfrontasi dengan fotografi.
Hanya saja, jika Antonio yang bukan seorang fotografer memotret sembari terus-menerus meralat kesimpulannya perihal fotografi demi membangun polemik “antifotografi”-nya, Johan adalah orang yang menjalani profesi itu dalam keterpaksaan dan penyesalan. Tetapi begitu, toh keduanya tampak begitu sungguh-sungguh melakoninya. Hal ini terlihat misalnya dari rasa penasaran Sita setiapkali Johan mengambil foto para pelanggan yang tak cukup hanya dengan sekali jepret saja tetapi mesti berkali-kali agar menghasilkan foto terbaik, meskipun hal itu terkesan memboroskan negatif film. Sementara Antonio akhirnya menyadari bahwa memotret yang ia tinggalkan adalah jalan sesungguhnya yang secara tidak jelas telah dicarinya selama ini.
***
“APA yang mendorong kalian untuk memotong kontinum aktif hari ini menjadi bagian-bagian temporal, ketebalan dari satu detik?” tanya Antonio Paraggi dalam ceramahnya tentang fotografi kepada Bice dan Lydia yang memintanya menjepret adegan mereka sedang bermain bola di pantai. “Dengan melemparkan bola itu ke sana-kemari, kalian hidup saat ini, tetapi ketika pandangan pada bingkai disisipkan di antara tindakan kalian, bukan lagi kesenangan dalam permainan bola itu yang memotivasi kalian, melainkan keinginan untuk melihat diri kalian lagi di waktu mendatang, keinginan untuk menemukan kembali diri kalian dua puluh tahun kemudian,”[21] begitulah ia menarik analisa yang menegaskan kembali temporalitas foto sebagai representasi realitas termaknakan.
Sebuah foto tak ada untuk dan demi momen yang direkamnya saja, tetapi kepada siapa pun yang akan memandangnya di masa depan. Memotret itu mengambil dan menciptakan kembali sebuah dunia, yang hanya dimungkinkan oleh temporalitasnya, sebuah foto ada lantaran waktu membuatnya terus-menerus ada.[22] Apa yang direpresentasikan sebuah foto hanya pernah ada, tetapi tak akan pernah selesai digambarkan seperti apa.[23]
Pada Johan, masa lalu yang tragis seolah-olah terbekukan dalam foto rel kereta yang menelan nyawa anak-istrinya. Namun bukan foto itu saja yang menjadi representasi rasa sakit dan penyesalan kekalnya yang ia jadikan sebagai pengingat kesalahan dirinya yang tak termaafkan, melainkan juga foto pelabuhan yang mewakili cita-citanya yang tak pernah terwujudkan dan foto kamera dengan kursi kosong yang mewakili pengharapannya untuk menebus dosa pada leluhur. Ketiga foto itu tak bisa dipisahkan, tetapi membentuk semacam kausalitas berkesinambungan secara bolak-balik: tanpa foto pelabuhan tak bakal ada foto rel kematian, dan tanpa janji kepada luluhur (foto kamera dengan kursi kosong) maka tak perlu ada foto pelabuhan idaman dan foto rel tragedi.
Kita (yang menonton film ini) tahu bahwa pada suatu malam menjelang detik-detik penghabisan hidupnya, Johan yang akhirnya menyerah pada kegagalannya menemukan seorang lelaki penerus profesi keluarganya itu pun mengenakan setelan jas terbaiknya yang selama ini tersimpan dalam peti dan meminta Sita untuk memotretnya. Apakah dengan demikian berarti ia akhirnya merestui Sita sebagai penggantinya?
Sayangnya, sebelum Sita berhasil menarik tuas kamera tuanya, Johan sudah keburu menghembuskan nafas terakhirnya di kursi. Sehingga jika buyut-kakek-ayahnya dijepret oleh para penerus masing-masing dengan penuh kebanggaan di samping kamera, satu-satunya potret diri Johan tak lain adalah sebuah post mortem photography. Meskipun Sita juga memotret dirinya bersama mayat lelaki yang abu jenazahnya kemudian ia tebarkan ke laut itu sambil menangis.
Foto terbingkai dalam pigura bertuliskan nama Johan yang bertahun-tahun tergantung kosong di Roemah Photo Tan inilah yang ditampakkan kepada kita sebagai penutup film disertai bergantinya suara narator dari Sita ke Yani (yang tak pernah hadir secara langsung dalam film): “Saya Yani, dan ini cerita ibu saya. Potret ini membawa Ibu dan saya untuk terus menjalani kehidupan dengan sebaik-baiknya. Kehidupan yang tertangkap pada dinding-dinding kenangan.”
***
SAYA kira The Photograph bukan hanya film terbaik Indonesia tentang fotografi, yang mencoba mengantar kita untuk memahami kompleksitas manusia dalam memaknai eksistensinya dalam waktu, tetapi juga salah satu film terbaik dalam upaya memahami Tionghoa—khususnya Hoakiau di Indonesia. Setidaknya film ini memang dibuat dengan pengetahuan tentang Tionghoa (identitas dan nama-nama, detail budaya-tradisi, sejarah, serta bahasa-aksara) yang jauh lebih memadai. Bukan dengan pandangan stereotipterhadapnya seperti yang kerap kita temukan dalam segelintir film Indonesia.
Karena itu di luar perkara keampuhan akting dan jam terbang Lim Kay Tong, pilihan untuk memasang aktor Tionghoa-Singapura yang berdarah Tionghoa asli, besar dalam komunitas Tionghoa, dan tak fasih berbahasa Indonesia seperti segelintir kaum Hoakiau Indonesia di daerah tertentu[24] ini sebagai pemeran Johan Tanujaya, saya rasa juga merupakan sebuah pilihan yang tepat demi mendapatkan potret yang lebih utuh dan realis.
Kekurangan film ini menurut saya adalah ia tidak berusaha menggunakan narasi sosial-politik untuk membangun latarnya. Padahal peristiwa kembalinya ratusan ribu Hoakiau dari berbagai daerah di Indonesia ke China Daratan pada tahun 1960-an akibat pemberlakuan PP 10/1959[25] misalnya, bisa saja menjadi latar yang kuat untuk menopang alasan logis Johan muda ingin kembali ke China. Bukan hanya sekadar hasrat seorang muda hendak memberontak terhadap kewajibannya menjadi penerus warisan keluarga yang tampak rada remeh. PP 10/1959 adalah sebuah potret diskriminasi rasial terhadap Tionghoa di Indonesia yang tak boleh kita lupakan begitu saja untuk merajut masa depan Indonesia.[]
.
[1] Film ini saya tonton ulang melalui platform Netflix pada Agustus 2024; ditonton pertama kali 6 Juni 2008 di Kompleks Sarkema, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta dalam bedah film “The Photograph” oleh Aparatur Temu Wicara KMSI 2008.
[2] Hoakiau (Mandarin: Huaqiao) artinya Tionghoa Perantauan (Overseas Chinese). Istilah ini awalnya dipakai untuk merujuk semua orang Tionghoa (apa pun warga negaranya; totok, keturunan, maupun peranakan) yang bermukim di luar China Daratan, Taiwan, Hongkong, dan Makau. Namun pada penggunaan belakangan, ia lebih dimaknai sebagai orang Tionghoa totok (kelahiran Mainland) yang tinggal di luar negeri saja.
[3] Dalam ejaan Mandarin dibaca Chen Tian Lai.
[4] Mandarin: Chen Lian Hui.
[5] Mandarin: Lin Qi Tang.
[6] Mandarin: Chen Han Yu.
[7] Lihat Gerard Genette, Narrative Discourse: An Essay in Method, trans. Jane E. Lewin (New York: Cornell University Press, 1980).
[8] Italo Calvino, Gli Amori Difficuli (Kecamuk Cinta), terj. Intan Fitriana Suwandi (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), 77.
[9] Rumah besar yang dihadirkan sebagai Roemah Photo Tan dalam film ini tampak memiliki corak interior cukup khas, baik dari tata letak ruangan, bentuk dan ornamen jendela, altar sembahyang keluarga, maupun keberadaan bagian rumah yang bolong di tengah atau yang dalam bahasa Hakka lazim disebut tian-chiang (harfiah: Sumur Langit). Rumah-rumah Tionghoa seperti ini—baik beton, setengah beton, maupun rumah papan—masih cukup banyak bertebaran di Bangka-Belitung dan Kalimantan Barat, umumnya dengan asistektur campuran China dan Belanda-Hindia.
[10] Selain Dewi Kwan Im, Dewa Kwan Kong merupakan dewa China yang paling banyak dipuja oleh kaum Tionghoa di Nusantara (Indonesia, Malaysia, Singapura).
[11] Susan Sontag, On Photograph (New York: RosettaBooks LLC, 2005), 127-128.
[12] Lihat https://id.m.wikipedia.org/wiki/kamera, diakses 03/09/2024.
[13] Nirwan Ahmad Arsuka, “Susan Sontag, dll.: Citra—Waktu” dalam https;//arsuka.wordpress.com/2008/09/25/sontag-citrawaktu/, diakses 03/09/2024. Esai ini juga dapat ditemukan dalam buku kumpulan esai Nirwan Ahmad Arsuka, Semesta Manusia (Yogyakarta: Ombak, 2018)
[14] Ibid.
[15] Dipetik dari puisi Goenawan Mohamad, “Kwatrin tentang Sebuah Poci”. Lihat Goenawan Mohamad, Asmaradana (Jakarta: Grasindo, 1992), 51. Puisi ini juga dikutip dan diinterpretasi oleh Seno Gumira Ajidarma pada esainya “Kalacitra” dalam JB Kristanto dan Nirwan Ahmad Arsuka (ed.), Bentara – Esei-esei 2002 (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), 201.
[16] JB Kristanto dan Nirwan Ahmad Arsuka (ed.), 201.
[17] Seperti yang dikutip Nirwan Ahmad Arsuka dalam “Susan Sontag, dll.: Citra—Waktu”. Periksa Roland Barthes, “The Photographic Message” dalam Image Music Text, terj. Stephen Heath (New York: Hill and Wang, 1977), 8-9.
[18] JB Kristanto dan Nirwan Ahmad Arsuka, 211.
[19] Ibid, 207.
[20] Ibid.
[21] Italo Calvino, Gli Amori Difficuli (Kecamuk Cinta), 69.
[22] Seno Gumira Ajidarma, 202.
[23] Ibid, 207.
[24] Sampai kini masih terdapat orang Tionghoa di Bangka-Belitung yang tidak fasih berbicara dalam bahasa Indonesia. Beberapa anggota keluarga besar penulis esai ini contohnya.
[25] PP 10/1959 adalah sebuah peraturan berisi larangan bagi orang-orang asing untuk berdagang eceran di luar ibukota tingkat I dan tingkat II, yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1960. Akibat PP ini, puluhan ribu orang Tionghoa dipaksa meninggalkan tempat usaha dan kediamannya. Meskipun isi peraturan ini hanya melarang mereka “berdagang eceran” di luar ibukota provinsi dan kabupaten, tetapi dalam pelaksanaannya di lapangan oleh militer, mereka dipaksa meninggalkan kediaman. Termasuk orang-orang Tionghoa bukan pedagang dan yang telah tercatat sebagai WNI. Tindakan paling brutal terjadi di Jawa Barat di bawah pimpinan Kolonel Kosasih. Tentara melemparkan ratusan keluarga Tionghoa ke atas truk dan membawa mereka ke kamp. Di Cimahi, Juli 1960, seorang perempuan Tionghoa mati tertembak ketika ia bersama keluarganya mencoba bertahan, tidak mau meninggalkan rumah. Apa yang dilakukan Kosasih begitu provokatifnya sehingga Kedutaan Besar RRC di Jakarta menentangnya dengan meminta agar orang-orang Tionghoa tunduk kepada komando kedutaan dan tetap tinggal di rumah sampai mereka menemukan solusi. Selain menyampaikan protes melalui Duta Besar Huang Chen, pada 10 Desember 1959 Radio Peking kemudian mengumumkan seruan kepada Hoakiau yang memilih kewarganegaraan RRC untuk “kembali ke kehangatan Ibu Pertiwi” (Guiguo). Mereka yang tertarik kepada seruan tersebut segera didaftarkan oleh Kedubes RRC. Selain mengirimkan kapal Guanghua, Peking juga menyewa beberapa kapal perusahaan Belanda seperti Tjiwangi, Tjiluwah, dan Tjitjalengka untuk mengangkut para Hoakiau yang hendak kembali ke China. Pada awalnya bukan hanya mereka yang menjadi korban PP saja yang tertarik untuk pulang ke China, tetapi juga banyak pemuda dan pelajar menyambut seruan Radio Peking ini dengan gembira dan penuh semangat. Tercatat kurang-lebih 130.000-an Hoakiau meninggalkan Indonesia untuk bermukim kembali di China Daratan, termasuk mereka yang mengenakan kebaya encim. (dari berbagai sumber). Perihal PP 10/1959 ini antara lain bisa dibaca dalam Benny G. Setiono, Tionghoa dalam Pusaran Politik (Jakarta: TransMedia, 2008), 811-815.
Izinkan pada awal tulisan ini, saya membuat disclaimer bahwa seluruh isi tulisan pengantar ini, anggap saja sejenis sendau-gurau juga sebuah racauan. Dan oleh karena itu, para pembaca tak perlu menganggapnya terlalu serius, apalagi membatinkannya dalam sebuah permenungan yang menyendiri.
Karena hal ini berkait dengan seorang sosok dan juga terkait sebuah ajaran yang begitu luhur, wingit, serta lungid, yakni sosok bernama Ki Ageng Suryomentaram dengan ajaran “Kawruh Jiwa”-nya, dimana dari sejak dini pada saripati-inti ajaran tokoh ini sendiri, mewanti-wanti para pembacanya untuk tak menjadikannya sebagai semata ‘diskursus’: bahan permenungan, alih-alih intellectual exercise yang tanpa ujung. Ia, Ki Ageng Suryomentaram, semata menyodorkan aksioma-aksioma [baca: sebuah ajakan] sebagai pelecut yang bisa membantu seseorang untuk segera masuk mengenali dan mengawasi realitas kediriannya sendiri. Tak lebih dari itu.
Karena, jika anda telah menyambut ajakannya ini, hati-hati, bukan saja Anda akan tergetar dan terkesima menyaksikan realitas diri Anda sendiri yang begitu mengagumkan, namun Anda juga akan mengalami transformasi diri yang tanpa terkatakan [tan kena kinira ngapa], yakni sebuah perubahan diri yang tidak memiliki capaian presedennya sebelumnya. Bagi Anda yang belum siap membaca tulisan ini, awas, urat Anda bisa putus.
****
Lepas dari kaidah “Kawruh Jiwa” [baca: ajaran Ki Ageng] yang akan segera diuraikan secara melimpah dalam buku ini, saya akan menyingggung sedikit terkait pijkan dasar spiritualitas [dasar bentangan ilmu ruhani], yang sayangnya bahkan sering dibaikan oleh para pelajar Kawruh Jiwa sendiri [baca: para pengikut Ki Ageng], yakni terutama persis seperti telah dijelaskan dalam dokumen surat-surat “pra-Kawruh Jiwanya” Ki Ageng yang berjudul “Buku Langgar 1920-1928” [belum diterbitkan].
Dengan menyinggung ulang dokumen awal tulisan Ki Ageng Suryomentaram ini, bukan saja kita bisa memblejeti dasar-pijakan spiritual macam apa yang membuat Ki Ageng bisa merumuskan Kawruh Jiwa-nya, melainkan juga kita bisa merunut cadangan kultural macam apa yang memungkinkan sosok agung ini muncul dan hadir, sekaligus bagaimana prasyarat cadangan-cadangan tersebut memungkinkan ajaran Kawruh Jiwa-nya bisa melampaui kelemahan ajaran spiritual-ruhani sebelumnya, serta pada saat bersamaan, juga sekaligus bisa menemukan signifikansi orisionalitas gagasannya sendiri.
Saking wingit dan sakralnya, Ki Ageng Suryomentaram berusaha memeras pijakan kawruhnya [rumusan pengetahuannya] dalam Buku Langgar—sebagaimana tertera dalam salah satu tulisan ‘surat’-nya yang berjudul “Pedagogie”—dengan rumusan yang agak berani sekaligus simbolik. Ia mengatakan bahwa basis pijakan pengetahuan yang ia rumuskan, adalah semata merupakan “pijakan atau bekal manusia untuk menjalankan unsur-unsur kedewataan dalam dirinya” [sanguning manungsa supados anetepi Kadewatanipun].
Rumusan ini berangkaat dari asumsi sederhana bahwa di dalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling berperang yakni,
[1] unsur ke-buto-an atau sifat raksasa [atau katakanlah unsur kehewanan dalam diri, diri kecil, dan nafsu], sedangkan yang kedua,
[2] unsur ke-dewa-an atau unsur ‘ketuhanan’ atau ‘kemalaikatan’ di dalam diri terdalam manusia. Ini adalah unsur fitrah jiwa terdalam manusia, hati nurani [pancaran cahaya Tuhan yang bersemayam dalam diri: Nur Muhammad].
Nah ilmu mengenali diri atau sering disebut ilmu ‘mawas diri’ ini sejatinya —sebagai langkah mendasar sekaligus puncak untuk mengenali hakikat kenyataan dan hidup ini—adalah ilmu untuk mengenali hakikat sejati terdalam dari diri, plus usaha mengeluarkan, merealisasikan, dan menegakkan pancaran unsur kedewataan yang bersemayam dalam diri manusia itu sendiri [baca: ilmu ruhani, khalifatullah}.
Kendaraan atau wahana untuk mencapai derajat pengenalan diri ini [plus realisasinya] oleh Ki Ageng dinamai dengan apa yang diistilahkannya sebagai Sih atau rasa welas asih atau cinta. Yakni sebuah daya yang sebenarnya berasal atau masih berada dalam area kuasa yang memancar dari Kraton Surga [inggih punika Sih ingkang kabawani Kraton Swarga]. Alias, sebuah daya untuk menundukkan dan ‘menguasai bumi seisinya’ [smarabumi]. Meminjam kalimat Suryomentaram sendiri,
“Apakah kalian sudah tahu, jika pada alam semesta-keseluruhan ini tidak ada daya yang bisa mengunguli ketinggian daya dibanding rasa cinta-sejati?”
[Punapa sampeyan sampun mangertos yen ing jagad sawegung punika mboten wonten daya ingkang nglangkungi luhuripun katimbang raos sih sejati?]
Karena, menurutnya, pada dasarnya kebutuhan manusia di dunia ini selain makan tak lain hanya rasa cinta. Berjuta-juta orang dengan susah payah mencari harta benda [semat], kehormatan-pangkat [drajat] dan kuasa-jabatan [pangkat] agar dikasihi dan mendapat cinta dari yang lain. Namun ternyata apa yang didapatinya justru sebaliknya: perselisihan, iri-hati, sombong, rasa benci atas jalan hidupnya sendiri, juga rasa benci terhadap orang lain karena tidak mencintai dan mengasihinya. Model pencarian kebahagian yang seperti inilah yang akan mengantarkannya kepada ‘neraka kesengsaraan’.
Sungguh ini dikarenakan ketidakmengertian akan hakikat gerakan hidup, alias ketiadaan pengetahuan dan ilmu, dimana gerakan kodrati hidup tadi dipaksa tunduk pada keinginan dan kehendak sewenang pribadinya sendiri [kehendak-nafsu]; tanpa ilmu nyata. Oleh karenanya Ki Ageng menyarankan, untuk sampai kepada pengetahuan terkait hakikat hidup [meruhi dat-ing dumadi: Ilmu hakikat], seseorang harus mengambil jalan lurus siratalmustaqim bernama pengetahuan “mengenali dirinya sendiri” [ilmu ma’rifat], karena sumber segala kesengsaraan kita adalah ketidakmengertian akan realitas diri ini.
Dalam bahasa pasemon pewayangan, apa yang ingin dikerjakan oleh Ki Ageng Suryomentaram adalah mengajarkan ilmu kedewataan [baca: ilmu ruhani] supaya tergelar di alam dunia mayapada ini, alias alam semesta dunia ini. Atau dalam bahasa yang lebih simbolis, ia mendapat mandat dari Bathara Guru, yakni melalui penasehatnya Bathara Narada, penguasa kayangan Dewata, untuk mendirikan Univeritas Kagungan Dalem Bathara Guru, yakni sebuah universitas yang akan mengajarkan ilmu kedewataan atau ilmu ruhani, supaya tegak dan berdiri di alam mayapada dunia ini [angadekaken unipersitit kaagungan dalem jumeneng wonten ngarcapada].
Sebuah ilmu yang menuntun para mahasiswanya untuk mengenali realitas hakikat kediriannya sendiri [baca: man arafa nafsahu] yang belakangan akan dinamai oleh Ki Ageng Suryomentaram sendiri dengan nama “mawas diri” atau “pangawikan pribadi” [alias ilmu tentang mengawasi dan mengenali diri sendiri]. Siapa yang telah mengenali diri sejatinya akan sampai kepada unsur atau pancaran hakikat kedewataan yang bersemayam dalam diri ini [jumeneng pribadi]. Di belakang hari, penamaan ilmu ini berganti lagi menjadi bernama “Kawruh Jiwa” untuk mengeliminasi konotasi dan jebakan mistifikasinya.
Dalam konteks ini pula, perlu kita dicatat bahwa usaha Ki Ageng Suryomentaram menelurkan “Kawruh Jiwa” ini oleh karenanya juga harus dibaca dalam rentang rangkaian tradisi keilmuan ruhani sebelumnya [baca: surat wiridan], yakni sebagai sebentuk cadangan kultural ke-Jawa-an yang memungkinkan sosok ini menelurkan gagasan orisionalnya, yang secara bersamaan juga telah terolah secara matang bahkan melampaui tradisi spiritual sebelumnya sekaligus. Dalam hal ini, Ki Ageng Suryomentaram bisa juga kita anggap merupakan rantai kristalisasi puncak dari bentang rangkaian ajaran keruhanian Jawa sebelumnya tersebut.
Dan hanya di tangannya sematalah, yakni melalui metode rasional-objektifnya, ia bisa menepis aspek mistifikasi ajaran keruhanian maupun spiritualitas lama yang pekat dengan jebakan irrasionalitas dan normativitas sendiri yang melenakan. Pada Kawruh Jiwa-lah ajaran keruhanian lama mencapai kematangan rasional objektifnya, sebut saja begitu, sehingga bisa menjadi suguhan makanan ruhani [pengetahuan obyektif, alih-alih normatif] yang dapat diambil oleh siapapun tanpa membedakan baju tempelan identitas suku, kelompok, agama, maupun kebangsaan apapun. Alias telah menjangkau aspek universalitasnya bagi kemanusiaan seluruhnya.
Namun begitu, ajaran yang ditelurkannnya, sekali lagi tak boleh dilupa, masih merupakan rangkaian benang yang sama dari ajaran spiritual-ruhaniyah kemanusiaan sebelumnya [Jawa-Islam]. Dalam jalur pengatahuan “mawas diri” atau “pangawikan pribadi”-nya misalnya [baca: ilmu pengenalan akan dirinya sendiri], tema ini hampir ditemukan merata dalam tradisi spiritual-ruhani sebelumnya.
Bahkan dalam ulasan yang lebih eksplisit serta padat pada ajaran Bangkokan Kawruh Jiwa-nya bernama “Buku Langgar”, Ki Ageng sendiri dengan sadar berusaha menilik ulang dan me-review saripati ajaran-ajaran tradisi sebelumnya ini, yakni dimulai dari ajaran sejak zaman akhir Prabu Brawijaya, zaman Demak akhir, masa Sultan Agung beserta Sastra Gendhing-nya, masa Mataram Akhir, Kartasura Akhir, serta pada zaman Giyanti, hingga zaman Penjajahan Belanda pada masa ia hidup. Ia menunjukkan kelebihan ajaran-ajaran yang terselenggara pada setiap masa-masa tersebut, plus menunjukkan jebakan-jebakannya.
Bahkan tokoh agung ini juga mengulas secara terpisah saripati ajaran pada masa “Sekolahan Gaib Zaman Islam” [jaman kuwalen: zaman para wali], yang sering dikenal sebagai masa dimana para wali tanah Jawi menyebarkan ajaran ruhaninya, yang relatif ia beri porsi ulasan yang cukup padat, untuk sekali lagi menimbang kelebihan serta potensi jebakannya. Tak hanya itu, ia juga membandingkan dengan tradisi ajaran Budhisme, serta memberi tambahan ulasan kritik terkait kecenderungan kultifikasi benda-benda gaib [kultus benda] seperti dilakukan oleh para pelaku dan penganut Theosofi, yang memang pada saat itu, awal abad 20, mulai menyebar di tanah jajahan Hindia Belanda.
Hal ini, bagi saya, bukan sesuatu yang mencengangkan. Karena, dalam dokumen Primbon 9 jilid yang dikeluarkan Keraton Surakarta, bernama “Kitab Primbon seri-Adam Makna” yang telah banyak beredar, dimana dikatakan pada pengantar pendahuluannya, bahwa Ki Ageng Suryomentaram merupakan cucu dari seseroang pangeran pemilik berjubel-jubel kitab dan manuskrip kuno tinggalan warisan kesusateran Kraton Jawa Mataram Islam: Pangeran Harjo Tjakraningrat. Dan Suryomentaram, konon mendapat limpahan kepustakaan ini dari kakeknya tersebut. Juga dari koleksi manuskrip milik kakeknya ini pulalah, 9 jilid Kitab Primbon yang telah disebut, akhirnya bisa diterbitkan dalam edisi latin dan tersebar di kalangan masyarakat.
Signifikansi informasi barusan sebenarnya hanya ingin meletakkan kesadaraan terkait satu hal: Ki Ageng Suryomentaram bukan hidup dalam ruang vakum dalam menelurkan gagasan-gagasannya. Plus hal ini terkait ide mendasar, bahwa Ki Ageng benar-benar berinteraksi dengan gagasan dan ajaran ruhani zamannya.
Bahkan, dalam riwayat hidupnya, ia pernah terseret secara kuat dalam laku “lelana-brata” [baca: santri lelana], dalam pengelanaan ruhani dan tirakat ke makam dan petilasan-petilasan keramat di banyak tempat pada masanya [gua langse, dll]. Juga terkait keputusannya ‘keluar’ [melarikan diri] dari kenyamanan keraton dalam lelaku asketiknya: seperti menjadi penggali sumur, kuli angkut koper, berdagang kain keliling di daerah Banyumas, menanggalkan gelar resmi kepangeranannya, mendesak pemerintah kolonial untuk menuruti permintaan berhajinya ke Makkah, menyerahkan sebagian besar harta bendanya kepada pelayannya, hingga menjadi petani biasa sampai umur tuanya di Desa Bringin, Salatiga. Laku-laku inilah, latar penting yang memungkinkan sosok ini melahirkan gagasan-gagasan ‘orisionil’ Kawruh Jiwanya di belakang hari.
Dari cadangan kultural kejawaan inilah yang mumungkinkan sosok Ki Ageng bisa menyandingkan dan menukil secara enak pengetahuan-pengetahuan lama-lama tersebut. Juga dalam konteks ilmu pengenalan diri sendiri, Ki Ageng dengan enak bisa memeras dan mengambil saripati ajaran-ajaran lama Jawa-Islam dengan pengetahuan pangawikan pribadi-nya sendiri, yakni dengan cara mengeluarkan signifikansi mistis makna selubung ‘rahasia’ tokoh semacam Siti Jenar dengan kisah cacingnya, maupun Kanjeng Kyai Kopek sang sosok macan-nya Sultan Agung, maupun signifikansi mistik-simbolis jembatan kayu melintang [wot galinggang] yang dipakai Sunan Kalijaga saat bertapa di Pulau Upih.
Semua simbol ini mengacu pada perjalanan atau dalam bahasa lamanya disebut ‘lelaku’ ruhani dalam rangka mengenali dan menemui diri sejatinya sendiri. Persis seperti perjalanan ruhani sosok Bima dalam pewayangan dalam usahanya menemui ‘dirinya sendiri’ dalam wujud sosok kecilnya [baca: Dewa Ruci]. Sebuah perjalanan ruhani untuk menemui Diri-nya sendiri atau sering disebut ‘suluk’ [dimana istilah tasawuf ini telah diserap dalam bahasa Jawa untuk menamai genre tembang alit macapat dalam tradisi Jawa—baca kesusateraan Suluk].
Dan dalam galur bentangan keilmuan ruhani inilah Kawruh Jiwa ini harus ditempatkan sebagai masih dalam rangkaian kontinum keilmuan lama untuk mengenali jiwa terdalam diri manusia [baca: mulat sarira]. Yakni tentu dengan kebaruan sodoran metodologi obyektifnya, alias alih-alih normatif dan mistis seperti tradisi ruhani sebelumnya, dan oleh karenanya, Kawruh Jiwa dengan begitu bisa dikatakan merupakan pematangan gagasan-gagasan objektif dari tradisi ilmu ruhani sebelumnya.
Hal ini sekaligus memberi arti dan signifikansi baru kenapa Ki Ageng lebih memilih kata ‘kawruh’ yang lebih berkononotasi obyektif-empiris, daripada kata ‘ngilmu’ yang lebih berkonotasi mistik dan normatif misalnya. Alias secara ringkas ia berhasil menelurkan prinsip-prinsip objektif keilmuan, dengan maksud memperluas pengandaian cakupan universalitasnya, terkait perangkat pengetahuan akan pengenalan realitas diri yang bisa membantu manusia Jawa juga Indonesia atau bahkan dunia secara luas, dengan sodoran metode barunya.
Juga penting ditilik, bahkan sejak pertalian erat juga relasi persaudaranya dengan Ki Hajar Dewantara, yakni jauh sebelum pertemuan rutin “Selasa Kliwon” pada tahun-tahun yang mendahului dalam menelurkan pendirian Taman Siswa dimana ia terlibat, Ki Ageng Suryomentaram telah berinteraksi secara intens dengan gagasan-gagasan filsafat Barat zamannya. Dalam sebuah suratnya ia menyinggung hal ini secara implisit:
“Aku kelingan dek Paman Ajar isih sekolah. Sok Bengkat barang, mungsuhe Nabi Kilir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kali. Nek Lud-ludan Pei karo Batara Narada lan Sidarta Kapilawastu. Jing Ngloco Pitagoras utawa Plato. Nek Bas-basan janji karo Prabu Brawijaya, betah sawengi. Nek mul-mulan adate mungsuhe Laose dibut loro karo Konghuchu. Jing tukang mungsuhake Aristoteles karo Kant.”
Artinya,
“Aku masih ingat saat paman Ajar [Ki Hajar Dewantara; pen.] masih sekolah, kadang bermain pedang-pedangan juga. Musuhnya Nabi Khidir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau bermain kartu bersama Bathara Narada dan Sidarta Kapilawastu. Yang mengocok Pitagoras dan Plato. Jika bermain bas-basan, janjian sama Prabu Brawijaya. Tahan semalaman. Kalau bermain gulat biasanya musuhnya Laotse, dikeroyok bareng Konfusius. Yang menjadi tukang adunya Aristoteles bersama Immanuel Kant.”
Kutipan di atas ingin menyodorkan keterangan implisit, bahwa Ki Ageng bukan saja tidak mengisolasi diri dari gagasan-gagasan besar dunia zamannya—seperti dugaan banyak orang—dan malah ia sebenarnya berada tepat pada pusaran aliraan deras gagasan-gagasan besar zamannya tersebut, namun ia memilih tak larut dan melarutkan diri. Bahkan ia malah membentuk pusarannya sendiri. Karena seturut perkataannya sendiri, jika hanya terseret arus dalam relasi perhubungan yang semakin meningkat antar-bangsa, bangsa yang tidak dapat memberi sumbangan gagasannya kepada dunia [alias cuma mengunyah teori dari luar] akan sirna tanpa guna [dene bangsa ingkan mboten saged urun bade sirna].
***
Buku Trilogi Ki Ageng Suryomentaram yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini adalah rangkaian panjang lelaku sang penulis dalam menyajikan suguhan makanan ruhani “Kawruh Jiwa”-nya Ki Ageng Suryomentaram, agar dapat dicicipi siapapun dalam merasakan buah penerapan Kawruh Jiwanya Ki Ageng. Konon Muhaji Fikriono katanya dalam usaha menuliskan karyanya ini perlu menunggu umur kematangan ruhani di usia 50. Juga, Trilogi buku ini juga semacam elaborasi terkait cadangan kultural ilmu ruhani ke-Jawa-an, seperti yang telah disebut, yang membentuk dan memungkinkan Ki Ageng Suryomentaram menelurkan Kawruh Jiwanya yang begitu orisinil, namun juga masih merupakan jejak bentangan benang tradisi keilmuan ruhani yang berturutan sebelumnya.
Pembacaan rentang tradisi pengetahuan ruhani kejawaan ini sangat diperlukan bukan semata untuk mendudukkan latar kultural yang memungkinkan sosok agung Suryomentaram lahir, namun juga dalam bahasa tokoh ini sendiri, agar bangsa Jawa pada khususnya, mampu, tentu dengan cadangan-cadangan kulturalnya yang kaya tersebut, untuk merumuskan tata-sosial baru yang lebih mulia [saged tata bebrayan enggal ingkang langkung mulyo].
Karena, bagaimanapun, usaha menyelenggarakan keilmuan ruhani dari mandat kayangan Dewata, punya kendala dan rintangannya sendiri, meski tradisi keilmuan ruhani ini merupakan warisan kaya yang dimiliki bangsa Jawa juga Indonesia secara umum. Namun begitu, bangunan Universitas Keilmuan Diri-Ruhani di masa yang lama, menurut Ki Ageng, atapnya sudah banyak yang retak, patah, dan rompal di sana-sini [unipersitit kina ingkang pager-payonipun sampun sami popol].
Banyak para maha-guru dan professornya yang ikut merawat dan menjaga universitas ruhani tersebut telah banyak yang terserang oleh ‘cacing kebencian’ [kremi gething], serta banyak papan dan dinding kayu universitasnya telah tergerogoti oleh rayap ‘merasa unggul sendiri’, serta telah dihinggapi kesombongan dan rasa jumawa [ama pambegan], sehingga urgensi pendirian universitas pengetahuan diri yang baru [baca: Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru] perlu disegerakan. Dan dalam latar seperti itulah Ki Ageng Suryomentaram hadir.
Karena, penghalang terbesar untuk mengenali kenyataan diri—yang akan membawa pada keadaan bahagia bersama [baca: zaman windukencana]—adalah sebuah rasa “merasa lebih dari yang lain”, rasa sombong, rasa ‘lebih unggul dari yang lain’, juga rasa iri. Rasa-rasa ini muncul dikarenakan sebagai penanda akan betapa tidak tahunya dia akan kenyataan dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.
Dan melihat diri melalui ‘pangawikan pribadi’-nya Ki Ageng berguna untuk membedol rasa-rasa ini sampai kepada akar-akarnya, yang akan mengantarkan seseorang masuk kepada surga ‘rasa-tentram’ dan kedamaian. Karena tercapainya rasa tentram diri ini pulalah yang membuatnya akan bisa menyaksikan dan rajin mengawasi rasanya orang lain, sehingga menemukan cermin ‘rasa yang sama’ terhadap yang lain.
Juga dari jalur pengenalan diri inilah, orang mulai bisa mendeteksi asal sumber kesengsaraan manusia, alias rasa tak pernah cukup dari keinginannya [karep/karsa]. Dikarenakan sifat keinginan ini memang memiliki kondisi kekukarangan, celaka, dan sengsara terus-menerus [dat-ing karep punika cilaka]. Setiap kali melihat orang miskin, orang kaya, orang rendahan, orang berpangkat, orang pandai, orang bodoh, seseorang bisa merasakan kesengsaraan yang sama yang diderita mereka, karena telah menyatu dengan keinginan yang membuatnya memasuki kondisi rasa kekurangan tanpa ujung.
Dalam penglihatan diri ini, ia mulai bisa menyaksikan bahwa terpenuhinya keinginaan tidak akan membuat orang bahagia, karena segera akan mengingini sesuatu yang lebih, tak puas [baca: mulur]. Dan memang begitulah keinginan. Namun, dari jalur ini pula, seseorang akan mulai bisa memilah antara “Aku” sebagai pengawas-keinginan dengan keinginan dan rasa-rasa yang ditimbulkannya sebagai objek awasannya. Aku yang mengawasi keinginan, ternyata mandiri dan terbebas dari kesengsaraan yang dimunculkannya [aku dudu karep].
Akhirnya sang-Aku bisa mengawasi keinginan [karep] se-enaaknya [tanpa perlu mengubahnya], alias tidak khawatir lagi, karena terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan tersebut, tidak akan menyebabkan kebahagian seterusnya maupun kesusasahan seterusnya: senang sebentar, lalu susah lagi [karena keinginannya mengembang; mulur], atau jika tidak terpenuhi susah, lalu senang kembali [karena keinginannya mengempis: mungkret].
Kesadaran sang-Aku pengawas [Diri besar] yang tak lagi terbelit dengan gerakan keinginaan subyektifnya akhinya muncul ke permukaan. Ia sekarang bisa mengawasi keinginannya sendiri, yang secara alami memang memiliki sifat “sewenang-wenang” serta “tak mau bersusah payah” dalam pemenuhannya [alias tak bisa diubah], yang ini jelas melawan prinsip alamiah kenyataan hidup itu sendiri.
Ketika, sang rasa “Aku” telah muncul ke permukaan [sampun medal saking korining pikiran] ia bisa merasakan rasa tentram yang tanpa kira, yakni sejenis rasa damai yang bukan dikarenakan terpenuhinya keinginan, melainkan rasa Aku yang telah terbebas, dan telah bisa menerima sifat kinginaan yang ‘maha lucu’ itu [tanpa perlu lagi mengubahnya], yang pada dasarnya tidak bisa lagi membuat Aku sengsara [karena aku hanya mengawasi].
Pada saat inilah akan muncul rasa tangguh [raos tatag], serta telah bisa menerima keadaan dan kejadian yang telah terjadi di masa lalu [musnahnya rasa sesal—getun], serta telah siap menghadapi apa yang akan berlangsung di masa mendatang [rasa khawatir hilang—sumelang], karena baik terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan, tidak akan membuat kebahagiaan yang bersifat terus-menerus [dalam arti rasa senang terus-terusan] maupun kesengsaraan yang terus-menerus [sedih yang terus-terusan]: karena rasa senang dan susah ini pada dasarnya terus-menerus bergantian seiring gerakan keinginan yang bersifat mengembang-mengempis [mulur-mungkret].
Kondisi inilah yang akan mengantarkan kita pada terpilahnya watak-watak kehewanan atau ke-buto-an yang telah berpisah dengan watak kedewataannya [andadosaken sigaring pilahipun wateg-wateg kahewanan lan wateg-wateg kadewatan].
Seseorang akhirnya berdiri tegak dalam berpengetahuan sebagai pribadi [baca: madeg pribadi kawruh] dalam mengawasi kenyataan. Pengetahuan dan proses mengetahuinya tidak lagi digunakan semata sebagai perabot yang tunduk pada pemenuhan keinginannya [penilaian subyektifnya], yang sayangnya jika dibiarkan bisa menyuburkan pengetahuan “kata-katanya” [katanya kitab, katanya buku, katanya teori, katanya orang, dll] maupun pengetahuan “pantas-pantasnya’, alias pengetahuan berdasar kebiasaan dari yang apa dinyakininya [gugon-tuhon], melainkan telah bergerak kepada pengetahuan yang sudah terlepas dari unsur subyektivitas keinginan dan kehendaknya, alias Kawruh Nyata [Ilmu Nyata]. Yakni sejenis ilmu pengetahuan yang telah dimengerti, diketahui, dan dirasakannya sendiri berdasar prinsip obyektif kenyataan hidup yang telah teralami [baca: kasunyatan, hakikat, kahanan jati].
Dalam amsal pewayangan, orang yang telah menegakkan sang Aku ini akan manunggal dengan Batara Wisnu [tetep sarira Bethara Wisnu], memakai mahkota “merasa benar sendiri” [ngrasuk makutha rumaos leres], alias sudah mengerti, mengetahui, dan merasakan sendiri, karena telah duduk di singgasana Kawruh Nyata atau Ilmu Nyata [lenggah ing dampar kawruh nyata], serta kemudian menjadi sang Aku yang maha serba tahu [semuanya kuketahui, bahkan termasuk yang tidak kuketahuipun, aku tahu].
Namun setiap kali sang Aku melihat yang lain, ia ternyata melihat orang lain seperti bayangannya sendiri yang juga “merasa benar sendiri’ [tiap orang pasti begitu], meskipun dasar penyangga pengetahuan “merasa benar sendiri”-nya tersebut adalah pengetahuan yang “kata-katanya” [jare-jare] atau “menurut ini-menurut itu” [biridan], maupun “pengetahuan pantas-pantasnya berdasar semata kebiasaan yang dinyakininya” [gugon tuhon].
Ia melihat orang lain juga ‘merasa benar sendiri’ meskipun belepotan di sana-sini. Padahal, siapapun yang bersikeras memaksa orang lain untuk supaya “merasa keliru” tanpa didampingi suguhan sajen Dewi Sinta bernama ‘rasa welas asih’ yang sempurna, tentu pasti akan kwalat” [pramila tiyang ingkang ngogek-ngogek dating tiyang sanes, ingkang supados rumaos klentu mboten mawi Dewi Sinta, Sih ingkang sampurna, tamtu kwalat].
Rasa Aku-mengawasi yang telah muncul dalam diri seseorang inilah yang dikatakan oleh “Kawruh Jiwa” bisa menjadi pandu dalam mengawasi dan menimang gerak naik-turunnya rasa-rasa beragam dalam hati yang terus berseliweran, plus untuk membedol dan mencabuti rasa-rasa ruwet yang telah berurat akar di dalamnya. Rasa tentram akhirnya akan bersemayam, karena telah bisa menerima dan mengawasi rasa-rasa yang berwarna tadi, yang memang berlangsung seturut hukum kejadian dan sifat keinginan.
Jika rasa tentram ini semakin bertambah dan mengakar dalam diri, ia bisa berdiri sebagai pribadi [jumeneng pribadi], alias tidak membutuhkan ‘rasa-welas-asih’ dari orang lain, karena dalam hatinya telah berlimpah dan kelebihan rasa cinta [sugih sih-kaya cinta], yakni sebagai hasil buah tanaman pengetahuan yang tumbuh dari pengenalan kenyataan dirinya sendiri. Jika buah ini telah matang, ia bahkan bisa membagikannya sebagai suguhan makanan bagi setiap makhluk di bumi untuk memetiknya.
Sang Maha-Kaya-“Cinta” ini [orang yang telah berkecukupan cinta, karena saking melimpahnya di dalam hatinya] kemudian juga bisa mulai bertani, menanamkan benih pengetahuan [kawruh] ke dalam hati orang lain dengan cara membajaknya dengan simpati, melembutkan tanah pertaniannya dengan alat garu bernama sabar, dan menyiangi gulmanya dengan rasa welas-asih.
Sabar dikarenakan berasal dari terang penglihatannya, bahwa menanam padi pasti akan menumbuhkan padi. Sedangkan simpati adalah penglihatan jiwanya dalam memandang orang lain, tidak ada lagi sekat-pemisah yang tidak mungkin bisa ditembus oleh kekuatan simpati. Jika anak panah simpati telah dilepaskan, semua yang berkerlipan akan termurnikan; sebuah senjata prabu Niwatakawaca dalam pewayangan, dimana saat sang Arjuna telah bisa mengalahkan sosok ini, ia disebut “lelananing jagad’ [sang pria sejatinya jagad raya].
Mungkin dalam rangka menjelaskan ajaran mulya pengenalan diri-ruhani inilah, penulis buku Trilogi Suryomentaram ini: Muhaji fikriono, bertungkus-lumus menuliskannya dalam tiga jilid tebal yang serba melingkupi sehingga memudahkan para pembaca. Dan, seperti sering dikatakan penulis buku ini kepada saya, bahwa ‘sudah saatnya’ ajaran ini perlu diwedar dan dijelentrehkan tanpa harus ditutup-tutupi lagi karena kekhawatiran akan efek getarnya bagi tradisi pengetahuan normatif ruhani sebelumnya.
***
Pesan Seri Buku Ki Ageng Suryomentaram Karya Muhaji Fikriono [Klik Link]
Namun, sebelum beranjak mengatamkan rangkaian buku trilogi ini, saya ingin mengingatkan kepada para pembaca, bahwa rangkaian ajaran yang akan Anda dapatkan dari hasil ‘membaca’ buku Suryomentaram ini, pada akhirnya adalah baru semata ‘katanya’ Suryomentaram [ilmu jare-jare dan biridan]. Alias Anda belum mengetahui dan merasakannya sendiri [mengerti, mengetahui, atau merasakan sendiri—Kawruh Nyata].
Maka, setelah selesei, segeralah lupakan ‘katanya’ Suryomentaram, tepislah pengetahuan ‘menurut’ Suryomentaram. Segeralah, mulai saat ini, di sini, dan dalam keadaan seperti ini [saiki, kene, ngene] mengenali dan mengawasi realitas diri Anda sendiri. Karena tak ada siapapun, makhluk bumi manapun, yang bisa mengajari Anda–tidak guru manapun, tidak kitab, tidak buku, tidak tulisan, atau tidak siapapun—dalam usaha mengenali realitas diri anda sendiri.
Wejangan Suryomentaram di bawah ini barangkali tepat untuk memungkasi paragraf pengantar tulisan ini:
Saya mengingatkan kepada semua yang mendengar
[Kulo pepenget dateng sedaya ingkang mirengaken],
Jangan pernah menjalankan ajaran-ajaran di atas
[sampun ngantos anglampahi wulangan punika],
Malah akan mendapat kesusahan yang tak terkira
[mindak angsal kesusahan ingkang tanpa upami].
Ajaran-ajaran di atas hanya untuk tiang-sandaran saat duduk semata
[wulangan punika namung kangge cagak lenggahan kemawon],
Atau semata sebagai suguhan pengiring saat wedangan
[utawi pacitan wedangan],
Jangan sampai dibaca saat sendiri
[sampun dipun waos ijen-ijenan],
Sebab nanti kalau ada setan yang lewat, juga akan ikut tertarik untuk mengamalkannya
[sabab mangke yen wonten setan langkung lajeng kapingin nglampahi],
Akhirnya bisa membahayakan, rusak dunia-akhiratnya
[wasana kadrawasan, risak donya-ngakeratipun].
Akhir kata selamat membaca. Langeng bungah-susah!
Klandungan, Malang. 26 Januari 2024
Irfan Afifi
Pelajar Kawruh Jiwa, ngiras-ngirus Tukang Sapu Langgar.co
*** Tulisan pengantar ini ditulis untuk mengenang momen ‘kasendal-mayang’ rasa gemetar diri yang tak terkira karena membolak-balik “Buku Langgar 1920-1928” [belum terbit] selama masa tiga tahun.