Menu
Irfan Afifi
Deskripsi gambar
Bilik
Irfan Afifi
Pendiri Langgar.co sebuah laboratium pemikiran, kajian, dan ruang kreatif penciptaan pada isu-isu kebudayaan dan keindonesiaan.
Semua Tulisan Langgar

Barangkali hal yang paling umum dipahami oleh masyarakat mengenai sejarah awal perkembangan Islam di Indonesia adalah, keterangan yang menjelaskan tentang kedatangan Islam dengan cara damai. Sebab, sebagai pengetahuan bersama, Islam selalu dikisahkan tiba dan diterima oleh masyarakat Indonesia tidak dengan jalan penaklukan militer, kekerasan, apalagi paksaan. Melainkan, masuk dengan cara yang lebih halus, yakni dengan menggunakan pendekatan kultural. Pendekatan yang melibatkan dialog intensif antara doktrin-doktrin Islam dengan tradisi budaya lokal di tanah air.

Pendekatan atau dialog semacam ini, bukan hanya sebagai alasan mengapa Islam dapat diterima dengan mudah, tetapi juga menjadi semacam bentuk penyesuaian Islam terhadap tradisi kultural, di mana Islam hendak disemai, sehingga melahirkan produk kebudayaan baru yang dijiwai oleh spirit tauhid dan ajaran kemanusiaan. Yang mana dalam terminologi Almarhum K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur disebut dengan istilah “Pribumisasi Islam”.

Pribumisasi Islam dalam Pandangan Gus Dur

Istilah pribumisasi Islam pertama kali dipopulerkan oleh Gus Dur di awal tahun 80-an. Gagasan pribumisasi Islam ini muncul sebagai bentuk respon Gus Dur terhadap, menguatnya kecenderungan purifikasi agama, sebuah gerakan yang lebih cenderung mengarah ke bentuk “arabisasi” ketimbang islamisasi. Gerakan ini bertujuan untuk menyeragamkan atau memformalisasikan agama dalam segala aspek, baik dalam aspek kehidupan sosial budaya masyarakat yang ingin digantikan dengan “Tradisi Budaya Arab”, maupun dalam aspek hukum ketata negaraan, yang berusaha memaksakan Quran-Hadis sebagai landasan formil dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kecenderungan inilah, yang dinilai oleh Gus Dur, berpotensi mengancam masyarakat Indonesia, tercerabut dari akar-akar kulturalnya.

Gagasan pribumisasi Islam Gus Dur ini, boleh dibilang merupakan bentuk sintesis dari perjumpaan Islam yang mengusung nilai-nilai universal, dengan tradisi budaya lokal yang bersifat partikular. Perjumpaan ini sekiranya juga dapat dibaca, sebagai hasil rekonsiliasi dan atau akomodasi Islam terhadap tradisi budaya yang dijumpai Islam di wilayah persemaian (di luar daerah Arab, asalnya).

Kendati demikian, Gus Dur menekankan bahwa, sasaran wilayah kajian pribumisasi Islam adalah wilayah yang menyangkut manifestasi kehidupan sosial kultural masyarakat belaka, bukan wilayah ajaran yang menyangkut inti keimanan dan kewajiban syariat Islam. Sehingga dengan tegas Gus Dur menolak, jika pribumisasi Islam, disalah pahami sebagai bentuk sinkretisme, karena pribumisasi Islam tujuannya bukanlah untuk memadukan teologi Islam dengan sistem kepercayaan lain. Melainkan, mempertimbangkan kebutuhan-kebuthan lokal untuk merumuskan hukum agama, tanpa harus merubah agama. Demikian juga sebaliknya, bukan untuk meninggalkan norma agama demi mengukuhkan tradisi budaya, tetapi mengakomodir kebutuhan-kebutuhan tradisi budaya, menggunakan ruang dialog yang disediakan oleh nash agama melalui regulasi kaidah usul fiqh (Wahid, 2021).

Sehingga dengan tegas Gus Dur menolak, jika pribumisasi Islam, disalah pahami sebagai bentuk sinkretisme, karena pribumisasi Islam tujuannya bukanlah untuk memadukan teologi Islam dengan sistem kepercayaan lain.

Secara singkat, Gus Dur mengilustrasikan pribumisasi Islam itu sebagai bagian dari sejarah, baik di tempat asalnya maupun di wilayah-wilayah persemaian lainnya, termasuk di Indonesia. Yang mana, kedua sejarah tersebut membentuk sebuah “sungai besar”. Sungai yang terus mengalir dan terus dimasuki kali-kali kecil lainnya. Kendati secara kualitas, airnya bisa berubah, namun sungai itu, teteap “sungai” yang sama (Wahid, 2021). Kurang lebih maksud dari perumpamaan Gus Dur tersebut adalah, pergulatan Islam dengan realitas sejarah tidak lantas mengubah Islam, melainkan hanya mengubah manifestasi kehidupan beragama dari pemeluknya saja.

Berangkat dari pandangan Gus Dur di atas, sekiranya dapatlah dimengerti bahwa pada dasarnya Islam yang kita warisi hari ini, merupakan hasil dari peroses panjang, penetrasi Islam terhadap budaya lokal kita di masa lalu. Suatu peroses yang melibatkan dialog intensif antara doktrin-doktrin Islam dengan beragam tradisi, tata nilai lokal yang lebih dulu hidup di tengah-tegah masyarakat Indonesia.

Problem Pribumisasi Islam di Lombok

Dalam konteks Lombok, sejarah Islam belum menunjukkan perkembangannya yang signifikan. Rekonstruksinya masih terfokus pada narasi islamisasi pada abad ke-16, yang dipelopori oleh Sunan Prapen, keturunan Sunan Giri dari Gersik, Jawa Timur. Kajian-kajian tersebut, saya kira belum bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai proses Islamisasi di masa lalu. Dinamikanya pun tidak banyak berubah, sehingga belum dapat menawarkan gambaran yang lebih utuh, tentang bagaimana proses penubuhan Islam di Tanah Sasak ini.

Hal ini dapat dimengerti, dari minimnya kajian sejarah yang berfokus pada telaah, mengenai proses dialog antara Islam dan tradisi pra-Islam yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Sasak-Lombok, baik sebelum maupun setelah kedatangan Sunan Prapen. Padahal, di tempat lain, pengkajian bentuk-bentuk dialog awal semacam ini, merupakan bagian terpenting yang dapat dijadikan rujukan untuk menggali dan memahami proses pembentukan identitas keberislaman masyarakat lokal mereka. Oleh karena itu, pembahasan tentang pribumisasi Islam, khususnya dalam konteks Lombok, masih sangat relevan, untuk membangun perspektif yang lebih kosmopolitan dan matang dalam menyikapi realitas keberagaman mengenai cara hidup berislam sekaligus berbudaya masyarakat, yang sejatinya selalu plural atau tidak pernah tunggal.

Oleh karena itu, pembahasan tentang pribumisasi Islam, khususnya dalam konteks Lombok, masih sangat relevan, untuk membangun perspektif yang lebih kosmopolitan dan matang dalam menyikapi realitas keberagaman mengenai cara hidup berislam sekaligus berbudaya masyarakat, yang sejatinya selalu plural atau tidak pernah tunggal.

Di samping itu, pemahaman tentang Pribumisasi Islam Sasak ini sangat penting untuk mengatasi kecenderungan diskriminiasi terhadap manifestasi Islam kultural yang ada di Lombok. Sebab, seperti keterangan yang dikemukakan oleh M. Jadul Maula, bahwa bentuk-bentuk tradisi Islam kultural di Indonesia, sering digunakan sebagai dalih atau alasan untuk meminggirkan Komunitas Islam tertentu dengan sebutan Islam Lokal, Islam Adat, Islam Tradisional atau Islam Sinkretik. Bahkan tak jarang diberi streotip tanpa alasan yang jelas, sebagai praktik penyimpangan terhadap kemurnian Islam (Maula, 2019). Sehingga tak heran, beberapa dekade ini, daerah-daerah Lombok yang teridentifikasi atau diperkirakan sebagai titik awal pertumbuhan Islam, sebut saja di antaranya seperti; Daerah Bayan, Pejanggik, Pujut, Jerowaru, Sekotong, dan daerah pinggiran Lombok lainnya, kerap kali dilabeli stigma negatif sebagai daerah-daerah yang masih mengamalkan paraktik-praktik “sampar” (baca; Islam Sinkretis), karena dianggap sesat, memadukan syariat Islam dengan tradisi budaya lama (pra-Islam) dalam penyelenggaraan upacara-upacara adat maupun tradisi keagamaan lainnya.

Bentuk-bentuk Pribumisasi Islam di Lombok

Diskriminasi terhadap manifestasi Islam kultural yang ada di Lombok tersebut, boleh jadi disebabkan oleh cara pandang masyarakat yang kurang tuntas, kemungkinan karena mereka memperoleh kajian agam hanya dari satu sumber otoritas saja. Sehingga, ketika melihat praktik-praktik Islam kultural di luar dari pemahaman yang mereka dapatkan selama ini, dengan segera mereka menganggap hal tersebut sebagai bentuk-bentuk penyimpangan.

Oleh karena itu, sangat penting bagi otoritas-otoritas keagamaan, membangun perspektif yang lebih holistik, untuk menyikapi masalah ini. Caranya, dengan melakukan kajian yang mendalam mengenai pribumisasi Islam, dan berupaya melakukan pengembangan terhadap nash agama. Hasil kajian mereka inilah, yang perlu difatwakan, sebagai dasar hukum atau pegangan bagi masyarakat untuk menilai praktik-praktik keberislaman di sekitar mereka. Sebab, bentuk-bentuk diskriminasi seperti yang telah saya kemukakan sebelumnya, tidak akan terjadi andai kata, masyarakat memiliki wawasan yang luas untuk memaknai arti perbedaan, dan menerima kemestian akulturasi Islam dengan tradisi budaya lokal sebagai proses yang wajar (alamiah).

Sebagai contoh, pola pembangunan masjid kuno di Lombok, seperti Masjid Kuno Gunung Pujut, Masjid Kuno Rembitan, Masjid Kuno Bayan dan masjid kuno lainnya, menunjukkan hal ini. Masjid-masjid tersebut tidak hanya, secara arsitektur memiliki kemiripan dengan masjid-masjid kuno di Jawa, seperti Masjid Demak misalnya, tetapi juga memiliki ciri khas yang menarik; karena hampir semunya dibangun di atas bukit atau setidaknya di dataran tinggi.

Tentang kecenderungan ini mengingatkan saya pada konsep kepercayaan dalam agama Hindhu-Buddha (mungkin agama masyarakat Suku Sasak sebelum Islam masuk). Dalam kepercayaan Hindhu-Buddha gunung atau meru merupakan tempat yang paling agung dan mulia, karena gunung diyakini merupakan tempat bersemayamnya para dewa (Poesponegoro & Notosusanto, 1984). Dugaan saya, pola pembangunan tempat ibadah seperti ini sengaja diadopsi oleh penyebar Islam awal di Lombok, sebagai bagian dari strategi untuk mendekati masyarakat agar mereka tertarik dengan Islam. Seraya, secara gradual mubalig-mubalig itu, meluruskan niat keimanan masyarakat ke arah tauhid yang benar, sesuai dengan ajaran Islam.

Pola hubungan yang sehat antara Islam dan budaya lokal masyarakat Sasak ini sepertinya juga tercermin dalam tradisi roah. Kendati pola tradisi ini merupakan pola umum dalam praktik pelaksanaan Islam kultural di daerah lain. Namun tradisi roah tetap perlu saya kemukakan sebagai pembeda, antara tradisi Islam kultural yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Sasak-Lombok dengan tradisi Islam kultural di tempat lain.

Istilah “roah” kemungkinan besar merupakan hasil adopsi dari nama bulan dalam sistem penanggalan Hijriyah, yakni bulan Sya’ban, yang berlaku bagi masyarakat Sasak. Dalam prakteknya, secara simplisitis roah dihubungkan dengan tradisi mengirim doa kepada arwah keluarga yang telah meninggal dunia, namun seiring waktu istilah ini berkembang menjadi tradisi sosial-keagaman untuk mengekspresikan banyak hal, seperti perasan haru, harap, maupun rasa syukur yang mendalam masyarakat atas limpahan karunia Ilahi.

Kini, roah telah menjadi tema besar dalam setiap acara hajatan di kalangan masyarakat Sasak. Segala bentuk kegiatan sosial, yang berkaitan dengan acara hajatan hidup (urip) maupun kematian (pati), seringkali diaktualisasikan dengan menyelenggarakan roah. Tata pelaksanaannya cukup sederhana, yakni dengan menyelenggarakan acara dzikiran dan pembacaan doa yang dipimpin oleh seorang kiai kemudian ditutup dengan jamuan makan oleh tuan rumah. Perjamuan ini diniatkan sebagai sedekah atau amal jariyah, ragam makanan yang disajikan, disesuaikan dengan kemampuan tuan rumah, konsep acaranya dan kuliner khas setempat.

Rekonsiliasi dan akomodasi Islam terhadap adat kebiasaan masyarakat Suku Sasak ini juga dapat dicermati dalam tradisi pernikahan. Dalam realitas kehidupan masyarakat Suku Sasak, secara umum berkembang suatu pemahaman bahwa jodoh, rizki dan kematian adalah Hak Tuhan yang tidak seorang pun manusia boleh mengatur atau mengintervensinya. Implikasi logis dari pandangan ini, terutama dalam konteks pernikahan adalah, pembicaraan apa pun mengenai persiapan pernikahan, seperti lamaran, jumlah mahar dan lain sebagainya, kurang bisa diterima oleh masyarakat yang masih ketat mempertahankan adat. Hingga solusi yang ditawarkan adalah,  calon pengantin perempuan harus dibawa lari, pergi dari rumah orang tuanya oleh calon pengantin laki-laki. Tentu, perginya perempuan dari rumah dengan tujuan menikah ini, telah lebih dahulu direncanakan atau telah disepakati bersama oleh kedua mempelai (calon laki-laki dan perempuan), bukan meninggalkan rumah karena paksaan dari pihak lain.

Meskipun, pola adat atau kebiasaan seperti ini dapat dihubungkan dengan kaidah; al-adah muhakkamah (adat istiadat sebagai dasar hukum). Namun, kenyataannya masih banyak masyarakat Sasak yang kurang setuju dengan cara membawa lari pengantin perempuan ini, bahkan mereka tak segan-segan menyebutnya sebagai cara pra-nikah yang tak islami. Padahal, saya kira pola tradisi atau kebiasaan masyarakat ini, memiliki peranan yang sangat penting sebagai ruang untuk menampung aspirasi lokal mengenai pemahaman tentang nilai kebijaksanaan yang mereka pegang teguh, atau kearifan lokal yang sejatinya juga berpijak pada pandangan agama. Sebab, bagaimanapun juga, penyelenggaraan acara pernikahan ke tahap selanjutnya, kedua mempelai wajib dinikahkan sesuai dengan ketentuan agama (Islam) yang berlaku. Adapun praktik membawa lari calon pengantin perempuan, hanyalah merupakan bagian dari tradisi pra-nikah yang tidak diatur oleh agama, sehingga tidak diwajibkan diberlakukan untuk masyarakat Sasak-Lombok, melainkan hanya sebagai alternatif atau cara lain yang telah dianggap wajar sebagai norma adat.  

Demikianlah beberapa bentuk-bentuk pribumisasi Islam yang dapat saya kemukakan dalam kesempatan kali ini. Kendati masih banyak tradisi-tradisi lain yang belum sempat saya singgung seperti misalnya; maulid adat, mi’rat, lebaran topat, ngayu-ayu, ngerantok, doyan nade, nyoyang, rebo bontong dan tradisi-tradisi lainnya. Namun saya kira, beberapa contoh yang telah saya singgung sebelumnya, telah cukup memberikan gambaran mengenai persoalan pribumisasi Islam dalam konteks masyarakat Sasak-Lombok. Sepertinya, pribumisasi Islam di Lombok tidak hanya berfokus pada penereimaan ajaran agama semata, tetapi juga mengarah pada upaya untuk menemukan titik temu antara tradisi lokal dan ajaran Islam, tanpa mengorbankan esensi dari keduanya. Dengan demikian, dapatlah dimengerti bahwa agama dan budaya lokal, sejatinya tidak pernah saling menegasi, melainkan saling memperkaya dan membentuk identitas keagamaan yang lebih berakar pada konteks sosial kultural masyarakat setempat. Wallahua’lam!


Bahan Bacaan:

Bizawi, Z. M. (2003). Dialektika Tradisi Kultural: Pijakan Historis dan Antropologis Pribumisasi Islam. Afkar, 33-67.

Maula, M. J. (2019). Islam Berkebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Kaliopak.

Poesponegoro, M. D., & Notosusanto, N. (1984). Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: PN Balai Pustaka.

Wahid, A. (2021). Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan. Depok: Desantara.

Wahid, A. (2024). Tuhan Akrab Dengan Mereka. DKI Jakarta: YBAW.

Di Kelurahan Lumpur (Gresik), atau lebih tepat di Gang Empat (Jalan Sindujoyo XII), hidup sebuah komunitas yang konon lahir sejak akhir tahun 70-an, yaitu: Draculla Boys Club (DBC). Sesuai arti kata “Boys” dalam namanya, merujuk bahasa Inggris, anggota DBC hanyalah laki-laki yang tinggal di sekitar Kelurahan Lumpur, terutama Gang Empat. Meski begitu, DBC bukan komunitas berstruktur. Jadi, tidak ada ketua atau jabatan lain, kecuali hanya ada anggota yang terus beregenerasi dari kakek, ke anak, dan cucu.

Kenapa memakai kata “Draculla”? Kata “Draculla” yang mengingatkanku pada tokoh fiktif dalam novel “Dracula” karya Bram Stoker (penulis Irlandia). Menurut Cak Anshor—salah satu anggota DBC—penamaan “Draculla” muncul akibat para anggota DBC (dewasa atau muda) memiliki kebiasaan melekan (begadang) dan cangkruk di amben (semacam bangunan bale tapi mirip pos kamling). Sehingga, bagi para anggota DBC, kata “Draculla”—memakai huruf “L” dobel—berkonotasi jarang tidur pada waktu malam.

Posisi amben itu berada di atas—atau menutup—kali (sungai kecil) dan berada di perempatan Gang Empat (terhubung ke Gang Tiga dan Gang Lima). Amben itu berbahan kayu, tidak disemen, jadi lebih mudah perbaikannya (reparasi). Kira-kira amben itu memiliki luas 5 meter x 6 meter. Dan, amben itu menjadi tempat penting karena melekan dan cangkruk yang dilakukan para anggota DBC telah membentuk wadah silaturahmi. Apalagi, ketika melekan dan cangkruk, kadang para anggota DBC melakukan liwetan.

Selain melekan dan cangkruk, sejak tahun 2010, amben itu selalu menjadi tempat bagi agenda DBC setiap akhir tahun. Agenda untuk mengadakan Haul KH. Abdurrahman Wachid dan Sesepuh Masyarakat Kelurahan Lumpur (selanjutnya ditulis Haul Gus Dur). Cak Anshor bercerita bahwa para anggota DBC sangat mengagumi Gus Dur (pecinta Gus Dur). Sebab itu, tujuan Haul Gus Dur, selain mendoakan, juga mengenang keteladanan Gus Dur dan Sesepuh Masyarakat Kelurahan Lumpur.

Haul Gus Dur bermula dari perasaan duka bagi para anggota DBC ketika Gus Dur wafat pada 30 Desember 2009. Sehingga, setelah mengadakan beberapa peringatan Gus Dur wafat (satu hingga tujuh hari; empat puluh hari; dan seratus hari), para anggota DBC sepakat mengadakan Haul Gus Dur setiap 30 Desember. Meski sempat terbatas untuk kalangan sendiri gara-gara pandemi Covid-19, Haul Gus Dur belum sekali absen. Pada tahun 2024, Haul Gus Dur sudah memasuki tahun ke-15.

Di Haul Ke-15 Gus Dur, selain kegiatan yasin dan tahlil, serta ishari (seni hadrah), juga DBC mengundang Dr. H. Muhammad Shodiq, M.Si (Wak Kaji Shodiq) untuk berceramah. Wak Kaji Shodiq adalah dosen UIN Sunan Ampel Surabaya dan pendiri Pondok Pesantren Wak Kaji Shodiq. Dalam ceramah, Wak Kaji Shodiq berpesan kepada para tamu Haul Ke-15 Gus Dur agar belajar bagaimana sosok Gus Dur. Sebab, “Gus Dur itu bapak pluralisme. Kita harus belajar dari Gus Dur. Menghargai perbedaan.”

Keterangan: Wak Kaji Shodiq berceramah, suasana Haul Ke-15 Gus Dur dari jalan gang sisi timur, dan potret kelompok ishari.Sumber: Dok. DBC dan Aji (2024).  

Budaya Sambatan

Pada bakda isya di Gang Empat, sebagian anggota DBC menggelar tikar untuk para tamu Haul Ke-15 Gus Dur. Lain itu, anak-anak kecil duduk di amben. Dan, alas amben itu tertutup beberapa karpet dan bagian dindingnya terpasang latar belakang yang berisi: Wajah Gus Dur; Tulisan “Haul KH. Abdurrahman Wachid (Gus Dur) dan Sesepuh Masyarakat Kelurahan Lumpur”; Tulisan “Keluarga Besar DBC” dan “Gresik, 30 Desember 2024”; serta puisi pendek karya Mardi Luhung yang bertulis “/Jika kita mau, hidup itu/ bisa sederhana penuh berkah//”.

Amben itu serupa panggung prosenium di hadapan tikar yang tergelar panjang. Para tamu Haul Ke-15 Gus Dur dapat berlesehan di tikar—menghadap vertikal ke arah amben itu—dari tiga jalan gang (barat, timur, dan utara). Dan, para anggota DBC membagi dua kelompok pada tiga jalan gang: Kelompok pertama, jalan gang sisi barat untuk perempuan; Kelompok kedua, jalan gang sisi timur dan utara untuk laki-laki. Di depan amben itu—yang menghubungkan tiga jalan gang—menjadi tempat bagi kelompok ishari.

Keterangan: Suasana Haul Ke-15 Gus Dur dari pelbagai sudut.Sumber: Aji (2024).  

Aku memilih duduk di jalan gang sisi timur. Tapi, aku tidak duduk di tikar. Aku duduk di teras salah satu rumah warga—sekitar delapan meter dari tikar paling belakang yang digelar sebagian anggota DBC—bersama beberapa banser yang sedang berjaga. Dan, aku mulai memperhatikan satu per satu tamu Haul ke-15 Gus Dur yang berdatangan. Beberapa saat kemudian, Cak Anshor menghampiri aku. Lalu, aku menyalimi Cak Anshor, sekalian bertanya perihal semangat para anggota DBC yang mengadakan Haul Gus Dur setiap akhir tahun.

Sak petok’e gowo barang. Onok nyumbang mie yo diterimo ae. Sambatan,” ucap Cak Anshor dalam dialek Jawa pesisir yang aku terjemahkan dalam bahasa Indonesia begini: “Sekenanya membawa barang. Kalau ada yang menyumbang mie bisa diterima saja. Sambatan.” Dari ucapan Cak Anshor, aku memahami istilah “sambatan” sebagai budaya tolong-menolong di Kelurahan Lumpur ketika mengadakan kegiatan.[1] Budaya tolong-menolong tanpa berharap balasan dari ‘pemberi’ dan ‘penerima’.

Contoh budaya sambatan yang unik bagiku di Haul Ke-15 Gus Dur, yaitu: Para anggota DBC menerima donasi berupa uang dari para warga lalu membelanjakan degan untuk berkatan (semacam bingkisan). Sehingga, sebelum pulang, para anggota DBC membagikan satu butir degan kepada setiap tamu Haul Ke-15 Gus Dur. Aku menilai bahwa apa yang diterima para anggota DBC dari para warga, lalu apa yang diberikan para anggota DBC kepada para tamu Haul Ke-15 Gus Dur, adalah kebaikan budaya sambatan yang penuh keikhlasan dan kebersamaan.

Keterangan: Mardi Luhung dan Cak Anshor dengan membawa berkatan degan utuh.Sumber: Aji (2024).  

Ternyata, buah sebagai berkatan, seolah tradisi di Haul Gus Dur yang diadakan para anggota DBC. Cak Anshor mengingat sebagian buah sebagai berkatan sebelum Haul Ke-15 Gus Dur, antara lain: Haul Ke-7 Gus Dur berkatan kelengkeng; Haul Ke-8 Gus Dur berkatan anggur; Haul Ke-9 Gus Dur berkatan durian; Haul Ke-10 Gus Dur berkatan nangka; Haul Ke-11 Gus Dur berkatan semangka; Haul Ke-12 Gus Dur berkatan pisang tanduk; Haul Ke-13 Gus Dur berkatan nanas; dan Haul Ke-14 Gus Dur berkatan durian.

Cak Anshor menjelaskan beberapa buah sebagai berkatan didatangkan para anggota DBC dari luar Gresik, seperti: Berkatan degan pada Haul Ke-15 didatangkan dari Lumajang; Berkatan durian pada Haul Ke-9 dan Berkatan nanas pada Haul Ke-13 didatangkan dari Gunung Kelud; atau Berkatan durian pada Haul Ke-14 didatangkan dari Blitar (waktu itu, durian di Gunung Kelud belum musim). Bagiku, berkatan yang unik itu menampakkan kreativitas para anggota DBC. Kreativitas yang mengedepankan kesederhanaan dan tawaduk.

Budaya sambatan tidak hanya konsumsi. Bisa berupa jasa. Juga, bisa berupa karya seni, seperti Mardi Luhung (penyair) yang menerima permintaan para anggota DBC. Permintaan untuk menyumbangkan puisi pendek yang dapat menghiasi latar belakang, serta menghiasi kaos kegiatan. Dan, di Haul Ke-15 Gus Dur, aku baru mengetahui bagaimana puisi pendek karya Mardi Luhung untuk latar belakang bertahun 2022 dan 2023 setelah anggota DBC memasangkannya di jalan gang sisi utara.

Barangkali, para anggota DBC memasang dua latar belakang yang lama di jalan gang sisi utara agar para tamu Haul Ke-15 Gus Dur tidak menengok kali. Dan, aku mencatat dua puisi pendek karya Mardi Luhung di dua latar belakang itu, begini: “/Kami memercayai bahwa niat baik/ akan melahirkan kebaikan, dan cinta/ akan melahirkan ketulusan: ‘Bersamalah’//” (2022); dan “/Kami percaya pada jalan itu,/ kami percaya pada rumah yang menanti./ Kami percaya pada senyum sesama yang/ ada di pintu rumah itu./ Perkenanlah.//” (2023).

Lalu, Cak Anshor mengirimkan sebuah foto kepadaku. “Iki banner haul pertama onok puisine ayah pean,” ucap Cak Anshor yang dialek Jawa pesisirnya itu bisa aku terjemahkan dalam bahasa Indonesia: “Ini latar belakang Haul Ke-1 Gus Dur ada puisi ayahmu.” Lalu, aku mencatatnya, begini: “/Mari belajar pada laut, sebab/ laut tak pernah memilah./ Dan antara yang ada adalah seiringan./ Yang jatuh akan dibangunkan./ Yang belakang akan dinanti./ Ya, kita percaya, harapan tak pernah memilih./ Seperti ombak./ Seperti desir yang digenggam oleh laut.//”

Puisi pendek karya Mardi Luhung yang menghiasi latar belakang bertahun 2010, 2022, 2023, dan 2024. Empat puisi pendek karya Mardi Luhung yang baru aku baca di Haul Ke-15 Gus Dur menjadi contoh lain, bahwa budaya sambatan menumbuhkan sinergi yang berkesinambungan antara ‘pemberi’ dan ‘penerima’. Sinergi yang menumbuhkan kebaikan. Juga, sinergi yang mengikis kepamrihan. Keajegan dan keberhasilan Haul Gus Dur yang diadakan para anggota DBC setiap akhir tahun pun tidak lepas dari budaya sambatan.

Keterangan: Potret anggota DBC mengadakan Haul Ke-1 Gus Dur di amben.Sumber: Dok. DBC (2010).  

Dalam budaya sambatan, posisi individu atau kelompok yang punya kegiatan tidak harus bermula sebagai ‘penerima’. Bisa juga bermula sebagai ‘pemberi’. Hal itu bisa terjadi momentum setiap mengadakan Haul Gus Dur. Seperti apa yang diungkapkan Cak Anshor: “Akeh uwong nitipno nyembelih wedos akikah pas DBC ngadakno Haul Gus Dur.” Atau bahasa Indonesia untuk terjemahan dialek Jawa pesisir dari Cak Anshor, begini: “Banyak orang menitipkan penyembelian kambing akikah saat DBC mengadakan Haul Gus Dur.”

Keterangan: Suasana pemotongan daging kambing akikah yang dilakukan para anggota DBC.Sumber: Dok. DBC (2024).  

Orang yang menitipkankan penyembelian kambing akikah sangat terbantu karena para anggota DBC dapat merawatnya, seperti pemotongan daging hingga pembersihan jeroan. Juga, orang yang menitipkankan penyembelian kambing akikah tidak perlu repot mengundang siapa pun, sebab menurut Cak Anshor, tamu yang datang di setiap Haul Gus Dur bisa berjumlah kurang lebih 700 orang. Tapi, Cak Anshor mengaku para anggota DBC hanya sanggup menyembelih lima ekor kambing akikah.

Para anggota DBC menyerahkan hasil pemotongan daging dan pembersihan jeroan kepada ibu-ibu agar dimasak sebagai hidangan. Ibu-ibu itu juga memasak hidangan bandeng dan udang (donasi dari seorang warga). Di Haul Ke-15 Gus Dur, semua hidangan, beserta nasi, diletakkan di tampah. Para tamu Haul Ke-15 Gus Dur dapat menikmati semua hidangan secara bupungan (semua hidangan diletakkan di satu tampah lalu dimakan ramai-ramai oleh beberapa orang) setelah rangkaian kegiatan selesai.**


[1] Keterangan istilah sambatan di Kelurahan Lumpur bisa ditemukan pada Pengantar Penyusun: Kisah dari Sambatan Semacam Puisi yang ditulis oleh Mardi Luhung dalam buku puisi Sambatan Semacam Puisi (2023), yaitu: “Untuk kata (istilah) sambatan, ini saya pungut dari kosa kata kampung istri saya di pesisir utara Gresik (Kelurahan Lumpur). Artinya, semacam kerelaan bagi setiap nelayan untuk memberikan hasil tangkapan ikannya di hari itu pada seseorang yang sedang mempunyai gawe, perayaan, atau pembangunan tertentu di kampung. Semacam gotong royong yang tulus dan rela memberi. Gotong royong yang beritikad untuk saling meringankan beban yang ada.” (Hlm: ix-x).

Suasana senja di kompleks pemakaman Rahmat Jati, Gambiran, Kotagede, (8/12/2024) tidak seperti biasanya. Tidak ada kabar kematian, apalagi hiruk pikuk para penggali kubur untuk menyiapkan pemakaman. Layaknya sebuah pemakaman, kesibukan paling dramatis adalah mengantarkan jenazah ke liang pemakaman. Namun, sore itu bukan iring-iringan para pelayat yang membuat sibuk pemakaman. Tetapi, gelaran pentas teater tampaknya akan menjadi pemandangan lain di kompleks pemakaman yang bersejarah itu.

Pada sisi Barat kompleks pemakaman yang cukup luas itu, tepat di pintu masuk sebelah Barat terdapat area makam keluarga salah satu tokoh pahlawan nasional. Adalah Soerjopranoto, seorang tokoh penting pergerakan nasional, pembela kaum buruh musuh utama kolonial bersemayam tenang di area makam itu. Lalu, di Area yang tidak begitu luas tersebut, beberapa orang mulai sibuk dengan berbagai persiapan pementasan. Sebuah tenda lengkap dengan panggung kecil berdiri menghadap ke Utara. Tidak lupa gelaran tikar memanjang seperti telah siap menyambut para tamu yang datang.

Kompleks pemakaman Rahmat Jati Gambiran, Kotagede memang diyakini sebagai kompleks pemakaman tua yang sudah ada sejak abad ke-16. Hal ini dibuktikan, di sebelah timur pemakaman ini, terdapat makam Ki Juru Kithing. Seorang arif sekaligus hakim di masa Panembahan Senopati, raja pertama yang membuka alas Mentaok menjadi pusat peradaban Mataram Islam pertama. Keberadaan pohon Nogosari, sebuah pohon yang pertumbuhannya melalui proses berabad-abad itu, bisa menjadi bukti lainnya yang menunjukan bahwa kompleks makam ini sudah memiliki sejarah panjang. Maka tidak salah, kenapa Soerjopranoto seorang pangeran dari Pakualaman itu memilih peristirahatan terakhirnya di kompleks makam ini.

Sore itu sebuah pertunjukan teater akan segera dimulai di area gerbang pintu masuk pemakaman Soerjopranoto. Iya, sebuah peristiwa pertunjukan teater akan mengambil setting tempat di halaman makam yang tidak begitu luas tersebut. Tentu, hal ini tidak seperti pertunjukan teater pada umumnya. Ketika pertunjukan teater biasa di sebuah gedung dengan tata cahaya yang memukau. Jelas dalam pertunjukan kali ini, anda tidak akan menemukan itu semua. Mengambil setting alam terbuka, menjadikan situs makam sebagai objek utamanya. Pertunjukan dengan judul “Merapal Piwulang Sampai Pulang,” yang disutradarai oleh Amalia Rizqi Fitriani ini akan segera berlangsung.

Pertunjukan tepat berada di pintu masuk Makam Rahmadjati, Gambiran, Kotagedhe (Foto Dokumentasi Tim Media Sakatoya)

Mengambil konsep bentuk teater “site-specific” yaitu bentuk teater yang dipentaskan dalam tempat lokasi yang unik, dan adaptasi khusus. Pertunjukan teater yang merupakan rangkaian dari 5 pertunjukan lainnya ini, bertajuk Soerjopranoto: 6 Tubuh Si Raja Mogok. Proyek teater ini, mencoba mengaktivasi biografi dan peristiwa Soerjopranoto di 6 situs di Yogyakarta dengan berbagai pendekatan artistik mulai dari partisipatoris, spekulasi fiksi, aktivasi arsip dan reenactment sejarah. Bentuk ini dipilih sebagai tawaran baru, untuk sebuah proyek teater kepahlawanan yang disponsori Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia. Karena melalui pendekatan inilah, jejak historis para tokoh pahlawan lebih bisa dirasakan. Penonton diajak secara lebih dekat untuk terlibat menyusuri situs-situs penting jejak sang tokoh pahlawan nasional itu ada. Lalu melalui peristiwa pertunjukan teater ini juga, tokoh pahlawan dengan segala nilai-nilainya dihidupkan dan diinterpretasikan ulang.

Pertunjukan teater yang merupakan rangkaian dari 5 pertunjukan lainnya ini, bertajuk Soerjopranoto: 6 Tubuh Si Raja Mogok. Proyek teater ini, mencoba mengaktivasi biografi dan peristiwa Soerjopranoto di 6 situs di Yogyakarta dengan berbagai pendekatan artistik mulai dari partisipatoris, spekulasi fiksi, aktivasi arsip dan reenactment sejarah.

Ziarah Dalam Ritus Pertunjukan

Dalam bayang-bayang langit yang mulai mendung, pertunjukan sore itu akan segera digelar. Para penonton yang sejak dari pagi berkeliling ke situs-situs sejarah hidup Soerjopranoto, sudah memasuki gang kecil arah makam Pahlawan Nasional RM Soerjopranoto. Beberapa pemain musik, dibawah penata musik Jenar Kidjing mulai memainkan satu instrumen, tembang kinanthi. Sebuah tembang dalam metrum macapat yang mempunyai 11 taembang dengan nada berbeda, mempunyai makna perjalanan sangkan paran dumadi: dari mana manusia berasal dan akan kemana ia berpulang. Tokoh juru kunci (Abdusshomad) berpakaian Jawa lengkap, menyambut para tamu penonton yang datang dengan ramah. Mereka dipersilahkan duduk di tikar yang sudah disediakan. Mengambil konsep ziarah sebagai bentuk pertunjukan dengan artistik gelaran pengajian di kampung-kampung, dengan penonton menghadap ke Selatan dan panggung kecil ke Utara, peristiwa teater sore itu dibuka. 

Abdusshomad, berperan menjadi juru kunci, sedang memberi bingkisan berupa “ijazah” kepada penonton (Foto Dokumentasi Tim Media Sakatoya).

Juru kunci makam kemudian menjelaskan perihal tata cara dan adab ketika ziarah ke makam. Sambil terus diiringi suara sayu gamelan, juru kunci menekankan pentingnya tujuan dan maksud kita ziarah. Lalu ia menjelaskan bahwa niat pertama kita adalah, pertama untuk merefleksikan perjuangan eyang Soerjopranoto dan mendoakan beliau. Tidak hanya itu, sang juru kunci juga menitipkan beberapa pesan khusus bagi para peziarah (penonton) yang datang. Salah satunya adalah para peziarah dimohon menata niat yang baik, bersih,  murni, dan tidak diperkenankan memohon selain kepada Allah. Peziarah juga diminta melepas alas kaki ketika masuk ke makam. Tidak membuat gaduh, dan mengucapkan kata-kata kotor. Serta bagi para perempuan yang datang bulan diminta tidak masuk ke dalam makam. 

Tradisi ziarah sendiri sebenarnya sudah jauh ada dalam khasanah kebudayaan masyarakat Jawa lebih luas Nusantara. Bahkan hampir agama-agama di Indonesia mempunyai tradisi ziarah dengan berbagai variasi bentuknya. Sedangkan dalam kultur Jawa-Islam, ziarah menjadi ritus daur hidup sebagai upaya menyambung konektivitas seseorang dengan leluhurnya yang sudah meninggal. Tidak hanya itu, ziarah juga dinyakini sebagai upaya untuk ngalap berkah sekaligus untuk mengingat kematian. Karena hanya dengan mengingat kematian, manusia bisa punya kesadaran bahwa hidup di dunia ada limitasi-nya. Dari kesadaran itulah diharapkan timbul pemahaman untuk tidak berlebih-lebihan. Pepatah Jawa menyebutkan, “Urip mung mampir ngombe,” artinya hidup di dunia hanya mampir minum. Karena yang abadi adalah kehidupan setelah kematian itu sendiri.  Sedangkan dalam keyakinan muslim Jawa-Islam, dengan kita berdoa ke makam orang-orang suci yang sudah meninggal, kita bisa berwasilah (menggunakan orang-orang suci sebagai perantara untuk mengabulkan doa-doa kita yang dipanjatkan kepada Gusti Allah SWT). Penting dicatat, bahwa dalam kesadaran muslim Jawa ziarah adalah upaya mengingat jasa para leluhur dan tidak diperkenankan meminta kepada arwah orang yang dikuburkan. Karena satu-satunya permintaan hanya bisa ditujukan kepada Tuhan, Allah SWT.

Lalu, selepas juru kunci menjelaskan tata cara ziarah, dan rangkaian peristiwa yang akan diadakan pada sore itu. Acara berlanjut pada performer lecture atau mudahnya kita bisa sebut sebagai ceramah oleh kiai muda Yogyakarta yaitu Gus Yaser Arafat. Layaknya ceramah agama pada umumnya, Gus Yaser yang juga seorang dosen di UIN Sunan Kalijaga sekaligus peneliti makam dan nisan-nisan ini, duduk bersila membelakangi pemain musik, dan menghadap penonton. 

Gus Yaser Arafat memberi ceramah di panggung utama didampingi Gus Rendra Bagus Pamungkas (Foto Dokumentasi Tim Media Sakatoya).

Sore itu Gus Yaser menjelaskan banyak hal tentang kiprah semasa hidup Soerjopranoto. Tidak kurang hampir selama 15 menit, dalam ceramahnya, ia menjelaskan perihal keutamaan eyang Soerjopranoto. Membabar sejarah singkat, kemudian mengilustrasikan peran dan sikap kakak kandung Ki Hajar Dewantara itu semasa beliau masih ada. Ia menjelaskan bahwa Soerjopranoto adalah sosok yang memiliki rasa welas asih yang tinggi. Dengan keteguhan sikapnya, Soerjopranoto berupaya mengangkat harkat martabat wong cilik dalam belenggu kolonialisme Belanda pada saat itu. Hal itu dibuktikan dengan beberapa agenda sosial yang beliau dirikan melalui, koperasi Mardhi Kaskaya, sekolah Adhi Dharma dan peran sosialnya untuk menyuarakan protes terhadap hak-hak buruh di masa penjajahan.

Tidak hanya itu, masih dengan alunan gamelan tipis. Gus Yaser menjelaskan perihal makna “tapa mandita” yang dijalankan Soerjopranoto di masa tuanya. Layaknya orang Jawa yang arif pada umumnya, kehidupan masa tua selalu dipersiapkan dengan sebaik baiknya. Tapa mandita bisa dipahami sebagai upaya seseorang mengambil jarak dengan kenyataan dunia, dan berupaya mendekatkan diri kepada Tuhan. Biasanya seorang ketika sudah menginjak umur 50 tahun, dalam kesadaran orang Jawa, layaknya ia mempersiapkan diri untuk pulang kembali ke pangkuan Tuhan. Maka ungkapan yang muncul, jika kita mendengar siaran kematian di masjid-masjid di Jawa bahasa yang digunakan adalah “sowan marang Gusti Allah.” Dalam hal ini ungkapan “sowan” menandakan bahwa kematian seseorang bukanlah ujung dari perjalanan manusia. Namun manusia hanya melanjutkan perjalanan selanjutnya yaitu bertamu sekaligus bertamu kepada Gustinya, yaitu Allah SWT. Manusia berganti alam, dari alam jasmani menuju alam rohani (barzah), sebagai sumber keabadian.

Biasanya seorang ketika sudah menginjak umur 50 tahun, dalam kesadaran orang Jawa, layaknya ia mempersiapkan diri untuk pulang kembali ke pangkuan Tuhan. Maka ungkapan yang muncul, jika kita mendengar siaran kematian di masjid-masjid di Jawa bahasa yang digunakan adalah “sowan marang Gusti Allah.” Dalam hal ini ungkapan “sowan” menandakan bahwa kematian seseorang bukanlah ujung dari perjalanan manusia.

Dalam lanskap kesadaran seperti itulah, Soerjopranoto seperti dijelaskan oleh Gus Yaser menghabiskan masa tuanya. Selain lebih banyak mendekatkan diri kepada Tuhan. Soerjopranoto juga lebih banyak menghabiskan waktunya di masa itu untuk memperdalam ilmu agama. Menuliskan beberapa artikel yang bernuansa sufistik (Jawa-Islam).

Lalu tiba-tiba suasana menjadi hening. Gus Rendra Bagus Pamungkas yang berada di samping Gus Yaser, tiba-tiba melantunkan salah satu teks Soerjopranoto tentang makna eksistensialisme Tuhan. Dengan teknik pembacaan “sulukan” layaknya para dalang wayang kulit Jawa, aktor kenamaan Yogyakarta itu, mengajak penonton untuk merenungi kembali eksistensi Gusti Allah dalam kehidupan.

“Allah ana opo ora?

Ana kang celathu Allah ora ono. Ana kang celathu Allah ana.

Wong-wong kang celathu  Allah ora ono lan wong kang celathu Allah iku ana pada  ora ngerti apa kang dimaksud Allah iku.

Becike sadurunge anggunem prakara Allah ditakoni iku apa ta.”

Begitu teks yang dibacakan Gus Rendra, dinukil dari tulisan eyang Soerjopranoto.

Selepas Gus Rendra membacakan teks tersebut, Gus Yaser menyambungnya dengan salah satu teks ayat dari Al Quran. Dengan bacaan Al Quran langgam Jawa, suara merdu Gus Yaser mengheningkan suasana.

Jaa ajjuhan-naasu  ‘buduu Rabba Kum’

Wa laa tusjrikun bihii sjai-aa

Ud ‘uunii istadjib lakum

Wasjkuruu  lii wa laa takfuruun

La illaha illallah.”

(Wahai manusia, sembahlah Tuhanmu).

(Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukannya).

(Berdoalah kepadaKu, niscaya aku perkenankan bagimu, “apa yang kamu harapkan”).

(Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepadaku dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku).

(Bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah).

Sosok boneke menyerupai Semar muncul mengiringi peziarah memasuki makam Soerjopranoto (Foto Dokumentasi Tim Media Sakatoya).

Dengan nada dan tensi yang mengguratkan emosi, suara tahlil menggema di area makam. Yang mengejutkan, dua sosok boneka semar muncul dari belakang panggung dan penonton. Bentuk boneka replika semar itu, berjalan ke arah panggung dengan membawa bunga setaman. Lalu dua sosok semar, membersamai Gus Yaser dan Gus Rendra diiringi para hadirin yang datang untuk berziarah ke Makam Soerjopranoto. Diiringi suara tahlil yang berbalut gamelan Jawa yang anggun, mereka mulai berjalan tanpa alas kaki menuju makam. Puluhan bunga dibungkus daun pisang sudah disiapkan. Para peserta ziarah yang lebih dari seratus orang mulai mengantri bergantian memasuki makam. Mereka diajak merasakan suasana haru mengunjungi makam eyang Soerjopranoto, lalu seketika doa-doa baik mulai dirapalkan.

Tidak lama berselang, saat para penonton bergantian memasuki makam, hujan mulai turun. Beberapa panitia mulai kelimpungan mengamankan suasana, jas hujan mulai disebar. Mendung yang sejak awal mengawal pertunjukan ini akhirnya menurunkan keberkahannya. Hebatnya tidak ada yang mengelak dari air hujan, semua tetap bertahan mengikuti pentas yang sudah memasuki adegan pungkasnya. 

Selepas semua penonton memasuki makam untuk ziarah dan menabur bunga, pertunjukan usai. Tidak ada selebrasi yang mengesankan, hanya ada perkenalan kecil dan kru pertunjukan. BM Anggana sebagai produser rangkaian pertunjukan Soerjopranoto: 6 Tubuh si Raja Mogok dari Komunitas Sakatoya mengambil nafas panjang, lega. Ia memperkenalkan tim dibalik peristiwa teater kepahlawanan yang tidak biasa tersebut. “Semoga rangkaian pertunjukan selama 6 hari ini, dapat benar-benar kita ambil pelajaran dari sejarah perjuangan Soerjopranoto, hingga bisa kita teruskan kedepannya,” Tegas BM Anggana.

Secara perlahan, cakrawala sejarah Islam semakin luas. Kajian sejarah Islam tidak lagi terbatas pada wilayah dunia Arab-Persia klasik, melainkan juga merambah zona perbatasan seperti dunia Melayu-Jawa. Dimana ratusan juta umat Islam telah mengamalkan agama ini selama berabad-abad. Di kepulauan ini juga kita menemukan jejak para wali pengembara, para raja berdaulat, serta para ulama yang gigih menyebarkan ajaran agama Islam (misalnya dalam kajian mendalam Naquib al-Attas tentang sufi abad ke-16 dalam The Mysticism of Hamzah Fansuri, dan kajian A.L. Khan mengenai ratu-ratu Sumatera dalam Sovereign Women In A Muslim Kingdom: The Sultanahs of Aceh, 1641–1699).

Gambaran lebih komprehensif ditunjukan dalam karya monumental seorang sejarawan besar asal Amerika (1949) M.C Riclefts dalam bukunya Mystic Synthesis In Java: A History of Islamization from the Fourteenth to the early Nineteenth Centuries,. (EastBridge Norwalk, Connecticut, 2006). Dalam Karya ini, Ricklefs menyuguhkan tinjauan komprehensif tentang proses Islamisasi di Jawa. Sejak abad keempat belas hingga awal abad kesembilan belas, serta bagaimana identitas ke-Jawa-an dan Islam menjadi semakin selaras. Pada permulaan, Ricklefs menggambarkan kondisi Jawa pada tahun 1500-an, ketika identitas Islam dan Jawa masih tampak berlapis dan terpecah-pecah. 

Sejak abad keempat belas hingga awal abad kesembilan belas, serta bagaimana identitas ke-Jawa-an dan Islam menjadi semakin selaras. Pada permulaan, Ricklefs menggambarkan kondisi Jawa pada tahun 1500-an, ketika identitas Islam dan Jawa masih tampak berlapis dan terpecah-pecah. 

Pada masa itu, kerajaan Hindu-Budha Majapahit, meskipun ragu untuk sepenuhnya menerima agama baru, tetap mengizinkan pemakaman anggota keluarga kerajaan yang Muslim di sekitar wilayahnya, seperti yang terlihat di kompleks makam Troloyo di Jawa Timur. Bab pertama ini membahas bagaimana masyarakat Jawa secara bertahap mulai mengadopsi dan menerima Islam, seraya memisahkan antara doktrin Islam ortodoks dan pandangan dunia Hindu-Buddha tradisional. Penulisan tersebut mempersiapkan babak baru di Jawa, memungkinkan para penguasa untuk tidak hanya menerima Islam, tetapi juga menjadi pelopor utama Islamisasi di tanah Jawa.

Lalu Sultan Agung menyelaraskan pandangan bahwa menjadi Muslim dan Jawa bukanlah hal yang bertentangan, dan dia berperan sebagai pengharmoni kedua identitas tersebut. Tercatat sebagai raja sufi sepanjang pemerintahannya yang berlangsung tiga puluh tahun (1613-1646), Agung, menurut “seorang Eropa yang mengunjungi istana” (hlm. 32), dilihat sebagai Muslim yang taat. Pada saat yang sama, babad Jawa menampilkan Sultan Agung sebagai sosok yang mengikuti ritual-ritual tradisional, termasuk pernikahan mistik dengan Ratu Kidul (hlm. 35). Pada tahun 1633, Sultan Agung mengunjungi makam seorang sufi di Tembayat, Jawa Tengah, yang wilayahnya sempat menolak kedaulatan Sultan. Kunjungan ini menghasilkan penciptaan kalender baru yang menggabungkan kalender lunar Islam dengan kalender Saka Jawa, suatu langkah simbolis yang menunjukkan sinkretisme identitas Jawa dan Islam. Sultan Agung baru mengadopsi gelar ‘Sultan’ beberapa tahun sebelum wafatnya, tetapi warisannya tetap dikenang sebagai raja ideal yang menjadi panutan bagi raja-raja Jawa berikutnya. Semua itu digambarkan dengan cukup dan baik oleh Ricklefs pada bab kedua dalam buku ini. 


Sedangkan dalam bab ketiga, Ricklefs mengeksplorasi pemerintahan Amangkurat I. Penguasa yang dikenal karena kekejamannya itu, membuat para duta Belanda bingung dengan caranya memerintah, di mana “orang tua dibunuh untuk memberi tempat kepada yang muda” (hlm. 55). Amangkurat I, setelah menghadapi upaya kudeta pada tahun 1647, memerintahkan pembunuhan massal terhadap sekitar dua ribu pemimpin agama Islam beserta keluarga mereka. Ricklefs berpendapat bahwa tindakan-tindakan tersebut menggambarkan keadaan mental yang tidak stabil pada diri Amangkurat I, yang bahkan meninggalkan mayat istrinya tanpa dikuburkan sementara membiarkan para pelayan kelaparan hingga mati (hlm. 58). Bab ini juga membahas Perang Saudara antara kaum Muslim dan non-Muslim pada tahun 1670-an, serta hubungan kompleks antara Amangkurat II dan VOC. Amangkurat II dituduh berpihak pada “kafir” Kristen karena dukungan VOC, yang memicu pemberontakan dari kaum Muslim Jawa yang menyerukan jihad terhadapnya.

Selanjutnya Ricklefs menguraikan ketegangan yang terus berlanjut antara kaum elit istana Jawa dan rakyat dalam menghadapi VOC. Pada bab empat ini, digambarkan para bangsawan dan masyarakat luas sepakat bahwa kehidupan yang religius tak mungkin berjalan selaras dengan kedekatan terhadap VOC Belanda (hlm. 72). Setelah kematian Amangkurat II, perselisihan antara Amangkurat III dan pamannya membawa kerajaan Kartasura dalam situasi krisis. Intervensi VOC memperpanjang konflik ini hingga puncaknya pada tahun 1705, ketika Pakubuwana I diangkat sebagai penguasa oleh dukungan VOC. Penerus Pakubuwana I, Amangkurat IV, yang melanjutkan kedekatan kerajaan dengan VOC, dicatat sebagai raja yang paling dibenci, bahkan disebut sebagai “maharaja yang telah ditinggalkan rakyatnya dan memiliki hampir seluruh Jawa sebagai musuhnya” (hlm. 93). 

Sementara itu, ibunya, Ratu Pakubuwono, secara rahasia menentang kedekatan tersebut dan diawasi ketat oleh VOC. Peran Ratu Pakubuwana dalam upaya menyelaraskan identitas Jawa dan Islam sangatlah penting. Dalam bab lima ini, sang ratu mencoba membentuk cucunya menjadi seorang raja sufi yang saleh (hlm. 103). Melalui sastra sufi, ia berupaya menyebarkan Islam di kalangan istana. Namun, cita-citanya menjadikan cucunya sebagai Sultan Agung baru ternyata tidak berhasil. “Buku-buku karya Ratu Pakubuwana gagal mencapai tujuannya untuk menjadikan pemerintahan Pakubuwana II ideal” (hlm. 142). Lalu dalam bab enam menguraikan diskusi di Jawa tentang gaya Islam yang ideal untuk diikuti, dan berujung pada identitas sintesis yang menyatakan bahwa menjadi Jawa dan Muslim bukan lagi hal yang saling bertentangan.

Beberapa istilah penting dalam karya ini, seperti ‘Islamisasi’ dan ‘sintesis mistik’, seharusnya didefinisikan secara lebih jelas agar pembaca mendapatkan kejelasan mengenai proses Islamisasi yang dimaksud. Hal ini relevan karena proses tersebut dapat berbeda dengan konsep Islamisasi dalam pemahaman para sarjana Islam kontemporer (lihat Syed Naquib al-Attas Islam and Secularism, Ismail Faruqi Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan, dan Wan Mohd Nor Wan Daud The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas). Kendati demikian, buku ini tetap berhasil menggambarkan proses Islamisasi di Jawa dengan cermat dan mendalam. Bagi para mahasiswa sejarah Jawa dan kajian Islam, Mystic Synthesis karya Ricklefs adalah sumber yang amat berharga untuk memahami perkembangan sejarah Islam di Jawa. Dengan menggunakan manuskrip Jawa yang luas, Ricklefs telah berhasil mengangkat narasi sejarah ini dari sekadar cerita lama orientalis kolonial menjadi kisah yang hidup dan relevan untuk generasi sarjana sejarah yang akan datang.

Banyak pemahaman keliru yang berkembang di masyarakat Jawa, utamanya Jawa di Solo Raya dalam memahami makna dari pusaka-pusaka Keraton Kasunanan Surakarta. Sebagai contoh, Kebo Bule Kyai Slamet, sering digambarkan sebagai kerbau albino yang bernama Kyai Slamet. Kebo Bule Kyai Slamet juga dianggap dapat menjadi wasilah atas berkah dan keselamatan dari Allah SWT. Tak heran, saat kerbau itu lewat dalam Kirab Pusaka Malam 1 Suro di Keraton Surakarta, mereka saling berebutan hanya untuk memegang kerbau albino itu, ironisnya, mereka juga berebutan untuk mengambil tlethong dan kencingnya demi mendapat “berkah.” 

Keraton Kasunanan yang sebagai entitas yang memiliki otoritas untuk mendidik dan memberi pemahaman kepada rakyat dengan Lembaga Adat-nya justru merawat tradisi jahiliyah ini. Gusti Moeng sebagai Ketua Lembaga Dewan Adat Keraton Kasunanan Solo saat wawancara dengan sebuah media, menjelaskan makna simbolik dari Kebo Bule Kyai Slamet sebagai sebuah harapan untuk bisa selamat di dunia maupun akhirat. Dan saat menjelaskan alasan kenapa Kebo Bule itu selalu menjadi cucuk lampah, baginya itu bukan berarti manusia yang ikut kerbau, tapi orang Jawa sangat “bergantung” pada kerbau yang bisa mengolah tanah sehingga bisa menghasilkan pangan. Sebuah pernyataan yang tentu saja ambigu.

Sejarah Kebo Bule dan Kyai Slamet

Dalam literasi Jawa, Kebo Bule adalah frasa dalam sebuah nubuatan akan kedatangan bangsa asing yang berkulit putih, dalam hal ini bangsa-bangsa Eropa, seperti Inggris, Belanda maupun Portugis. Ramalan itu bisa kita temukan dalam Babad Tanah Jawi I-IV. Bat. Gen. XXXIII, No. 312, 3120 -3l2c. Babon dari R. Panji Jayasubrata. Tembang XXVIII, hlm. 118. Pucung 21 bait.

Bedhahipun malih negeri Blambangan déning wadya-bala Mataram, tiang Bali sami lumajeng wangsul. Kacarios Jurutaman minda-minda sang Nata amota-mota garwanipun sang Nata, lajeng dipun-waos déning Nata, layon musna, sarta anyuanten: benjing yèn wonten maesa bule siwer mripatipun, ingriku pemalesipun. 

Yang kira-kira artinya begini:

Karena hancurnya kerajaan Blambangan oleh tentara Mataram, orang-orang Bali kemudian pulang. Diceritakan oleh Jurutaman (tukang kebun) bahwa ia diminta Sang Raja agar merawat permaisurinya, sang Raja berlari pergi, hilang musnah sambil berucap: Besuk jika ada kerbau putih matanya biru, itulah balasannya. 

Kisah serupa juga terdapat dalam De Heiligen Van Java, dalam catatan kakinya disebutkan tentang masyhurnya ramalan Syekh Bela-belu di kalangan Masyarakat Jawa. Ramalan yang sebenarnya berasal dari novel sejarah Majapahit karya Gramberg. Kutipan ini dapat ditemukan di Meded. Zend. Gen. vol. 35, hal. 107 yang dicatat sebagai berikut:

Orang-orang Jawa bercerita tentang ramalan Syeh Bela-belu saat ia akan dibunuh.

“Ingatlah dan tanamkanlah pada anak cucumu, bahwa suatu hari nanti seorang pangeran dari Sang Maha Penguasa akan memerintah Jawa, kulitnya putih dan matanya biru”.

Jadi, Kebo bule dari dua petikan cerita tersebut adalah “seseorang” atau “sosok” yang diramalkan akan muncul dan digunakan sebagai ancaman para korban yang kalah, dengan kata lain, untuk menubuatkan kedatangan bangsa Belanda (kebo bule = kerbau putih), yang akan membalaskan dendam mereka. 

Kebo bule berikutnya adalah kerbau asli, kerbau albino hadiah dari Kyai Hasan Besari Tegalsari kepada Pakubuwono II sesaat setelah geger pecinan. Konon, kerbau-kerbau itulah yang menunjukkan (menjadi cucuk lampah) dimana lokasi istana baru akan dibangun oleh Pakubuwono II. Tak bisa disangkal, kembalinya kekuasaan Pakubuwono II tak lepas dari keterlibatan Kompeni yang diplokoto oleh Pakubuwono II untuk melenyapkan pemberontak Cina. Hadiah itu mungkin semacam sanepan dari sang Kyai kepada Raja yang dilindungi Belanda itu. 

Lalu Siapa Kyai Slamet?

Dalam konteks Geger pecinan, Kyai Slamet tentu adalah sebuah peristiwa, bukan sebuah pusaka, apalagi sosok. Saat terdesak oleh Pasukan Garendri, Pakubuwono II menyelamatkan diri ke Madiun dan Ponorogo, disanalah dia meminta perlindungan kepada beberapa Kyai, diantaranya Kyai Basyariyah Sewulan dan Kyai Kasan Besari Tegalsari. 

Entah siapa yang menyembunyikan sebuah peristiwa runtuhnya Mataram Kartasura  ke dalam pesan alegoris Kebo Bule dan Kyai Slamet itu. Namun, tampaknya kebenaran ramalan Raja Blambangan dan Ramalan Syekh Bela-Belu itu, dikemudian hari terbukti.

Sebelum abad ke-20, nenek moyang kita menuliskan sejarah masa lalunya dengan cara menyesuaikannya dengan kondisi sosio-kultural dan teknologi yang berkembang pada saat itu. Jika pada waktu itu yang berkembang adalah penulisan karya sastra, maka tak heran jika mereka merekam sejarah menggunakan medium sastra. Medium yang kita pahami bersama sebagai ruang yang tidak memberikan penekanan penuh pada seluk beluk dan fakta kejadian sebenarnya, tetapi pada bentuk simbol dan makna-makna estetika lainnya.

Dari hasil penelitian Nancy K. Florida, seorang sarjana Amerika yang memfokuskan kajian pada naskah-naskah klasik Jawa, terutama yang ditulis oleh para pujangga Keraton Surakarta, setidaknya dari era Pujangga Yasadipura sampai Ranggawarsita mengungkapkan bahwa, babad-babad itu adalah tulisan sejarah yang dituangkan ke dalam struktur bahasa sastra (syair), dengan mempertimbangkan dimensi perkembangan sosial, kultural, politik dan agama sebagai subject matter-nya, diniatkan sebagai peringatan bagi orang Jawa saat itu, dan ramalan untuk kejadian di masa yang akan datang. Sebab, pujangga-pujangga keraton itu, memandang bahwa tulisan sejarah bukan berarti catatan masa silam, melainkan salinan dari masa lampau, dalam upaya mempersiapkan diri untuk menjangkau kejadian yang akan terjadi di masa yang akan datang.

Nancy mencontohkan argumentasinya ini dengan menunjukkan penulisan Babad Jaka Tingkir. Menurutnya, sejarah yang tertuang dalam Babad Jaka Tingkir, seolah-olah terlepas atau tidak memiliki hubungan langsung dengan peristiwa masa silam yang hendak dikisahkan penulisnya, yakni kisah hidup tokoh Jaka Tingkir. Alih-alih menceritakan kisah hidup tokoh utamanya, Babad Jaka Tingkir justru berisi kisah tentang 7 pahlawan pinggiran, yang ia sebut sebagai 7 tokoh persiapan, yang memungkinkan cerita Jaka Tingkir itu terwujud.

Rekonstruksi penulisan sejarah semacam ini, tentu sangat berbeda dengan wacana penulisan sejarah di masa sekarang, maupun penulisan sejarah dalam perspektif Barat setelah memasuki era “Pencerahan”, yang menghendaki sejarah atau kejadian di masa silam, ditulis dengan menggunakan kerangka ilmiah, disajikan dengan bahasa yang terang, jelas dan representatif. Namun betapapun juga, perbedaan ini menunjukkan kepada kita bahwa makna sejarah tiap-tiap zaman itu ternyata berbeda-beda. Setiap zaman, baik itu masyarakatnya maupun penulisnya menggarap masa lalunya sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Oleh sebab itu, sekiranya penulis sejarah yang baik menurut saya adalah penulis yang mampu memahami kebutuhan narasi sejarah pada zamannya, dan mampu mengurai persoalan keterbacaan sejarah yang ia tulis.

Oleh sebab itu, sekiranya penulis sejarah yang baik menurut saya adalah penulis yang mampu memahami kebutuhan narasi sejarah pada zamannya, dan mampu mengurai persolan keterbacaan sejarah yang ia tulis.

Sejarah Islam yang Terbaca dan Tak Terbaca dalam Babad Lombok

Berdasarkan gambaran singkat mengenai metode penanganan bukti sejarah berupa babad di atas, maka hal terpenting yang perlu diperhatikan oleh para peneliti atau siapa saja peminat kajian sejarah, sebelum melakukan penulisan sejarah adalah memahami betul kedudukan babad itu sebagai sebuah karya sastra, sebagai karya yang tidak berpretensi merekam secara presisi kejadian di masa lampau. Oleh sebab itu, babad mestilah disandingkan atau dikonfrontir dengan bukti-bukti lain yang relevan. Sayangnya, metode analisis sejarah yang menerapkan dialektika pengkajian semacam ini, masih sangat kurang di daerah saya, khususnya penulis sejarah yang mengkaji penyebaran Islam di Lombok. Para penulis sejarah penyebaran Islam di Lombok, cenderung hanya mengutip secara apa adanya, sejarah yang tertuang di babad Lombok saja, yang secara eksplisit menyebutkan aktor utamanya adalah Pangeran Prapen. Sementara, Sunan Giri yang jauh lebih awal berperan dalam syiar Islam ke Wilayah Indonesia Bagian Timur (Lombok), tidak mendapatkan porsi penjelasan yang memadai. Dalam Babad Lombok, Pupuh Dangdang bait ke-12 dan 13 ditulis:

Hana malih putra lor sangaji, kanging ngandel, wiweka digjaya, nama Pangeran Parapen, punika kang hing ngutus, hanglelana hing Lombok Hadi, Samabawa, Bali Blata, nyelami den luhung, yen nana bangga tan narsa den situtur, kalamullah hing hadil, kang sinelir hing kurngan.

Yen tan helem haunting janji, den serangi, lan wacana galak, tatanding helmi kasaten, yen maksih nora haranut, suma pala den lawan jurit, mati kalih ganjaran, haywa ge kundru ….

Adalagi putra sang Sunan, yang menjadi andalan, arif bijaksana sakti, bernama Pangeran Prapen, itulah yang diutus, berlayar ke Lombok Adi, Sumbawa, Bali Blata, mengislamkan agar tinggi suci. Bila ada yang ingkar membangkang, akan wahyu Allah yang adil, yang termaktub dalam Qur’an.

Bila tak mau ikuti titah, terangkanlah, dengan ucapan yang tegas, ajaklah ia mengadu ilmu kesaktian, bila belum mau ikut, apa boleh buat perangilah, bila engkau mati (terbunuh) mendapat ganjaran ….

Dari kutipan Babad Lombok di atas, peran dari Sunan Prapen yang ditugaskan untuk menyebarkan Agama Islam di wilayah Lombok, sangat jelas dan bahkan cukup dominan. Bahkan, kesannya, Sunan Prapen boleh memerangi raja atau masyarakat Lombok yang menolak masuk Islam. Tentu, tidak ada persoalan ketika seseorang terinspirasi oleh babad untuk menulis, tetapi jika tujuannya untuk menulis sejarah, maka pastilah ia mencari tambahan referensi yang lain, sebanyak-banyaknya. Karena, sekali lagi ini berhubungan dengan watak dari babad atau karya sastra yang lebih menekankan pada nilai estetika ketimbang fakta. Jika tidak demikian, maka hal tersebut beresiko membuat tulisan sejarah itu terkesan kurang proporsional, kurang mengakar dan barangkali tidak terkoneksi, sebagai sebuah rangkaian panjang dengan perjalanan sejarah yang lebih luas lagi.  

Sunan Giri sebagai Pelopor Penyebar Islam di Pulau Lombok

Terdapat banyak sekali hasil studi sejarah Islam di Jawa, yang mengungkapkan bahwa Sunan Giri adalah sosok wali, bagian dari Wali Songo, yang tergolong paling awal merintis dakwah Islam ke kepulauan wilayah Indonesia Bagian Timur. Mulai dari Bali, Lombok, Sumbawa, Bima, Sulawesi bahkan sampai Maluku. Bahkan jauh sebelum Sunan Prapen. Keterangan tersebut setidaknya didukung oleh 3 alasan, yakni; Keberadaan Ibu angkat Sunan Giri yang berprofesi sebagai pedagang di jalur pelayaran kepulauan Indonesia Bagian Timur; Kedua, Sunan Giri juga membangun pesantren sebagai pusat transmisi pengajaran ilmu agama di daerah Gresik; Dan yang terakhir, posisi sentral Sunan Giri pada era Wali Songo sebagai ulama sekaligus umara (penguasa).

Dakwah yang dilakukan oleh Sunan Giri ke Lombok atau ke wilayah kepulauan Indonesia bagian Timur ini, dimungkinkan karena Sunan Giri dibesarkan oleh seorang janda bernama Nyai Gede Pinatih. Hoesein Djajadiningrat, menyebutkan bahwa Nyai Gede Pinatih adalah seorang janda kaya raya, bersuamikan Koja Mahmud Syahbandar. Ia merupakan salah satu dari anggota  keluarga Kerajaan Majapahit yang awal sekali memeluk Agama Islam. Dakwah Sunan Giri ke wilayah Kepulauan Indonesia Bagian Timur diperkirakan dimulai, setelah Sunan Giri pulang dari Malaka (bertemu dan belajar ilmu agama dari ayahnya, Maulana Ishak), ia turut ambil bagian dalam usaha ibu angkatnya, yakni berdagang ke pulau-pulau, Indonesia Bagian Timur. Tentu misi utama Sunan Giri muda, ikut berdagang bukanlah untuk mengejar keuntungan material semata, namun ia ikut berdagang hanya sebagai sarana untuk menyebarkan Agama Islam di wilayah Indonesia Bagian Timur yang termasuk di dalamnya adalah Pulau Lombok.

Kedua, setelah dirasa bahwa syiar Islam melalui jalur perdagangan kurang maksimal, barulah kemudian Sunan Giri membangun pesantren sebagai pusat dakwahnya. Hanya saja jangan dibayangkan bahwa pesantren yang dimaksud di sini, adalah ruang belajar formal yang terlembaga dengan baik seperti umumnya pesantren saat ini. Martin van Bruinessen dalam studinya menyatakan, tidak ada bukti bahwa pada era Wali Sanga sudah ada pesantren dengan pola pengajaran formal seperti pesantren yang kita kenal hari ini. Boleh jadi, pesantren yang dimaksud pada waktu itu adalah, tempat-tempat belajar-mengajar ilmu agama yang dilaksanakan di padepokan, masjid, langgar, dan tempat-tempat lain di sekitar lingkungan kediaman gurunya. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan pesantren yang dimaksud adalah ruang sebagai pusat belajar-mengajar ilmu agama yang menjadi prototipe atau cikal bakal pengembangan pesantren modern saat ini.

Kiranya dapatlah dibayangkan bahwa pesantren yang dibangun oleh Sunan Giri itu ramai didatangi oleh santri-santri, tidak hanya datang dari Jawa saja, namun muridnya sangat mungkin datang dari wilayah Indonesia bagian lain, mengingat Gresik pada waktu itu adalah pelabuhan terbesar yang menjadi pusat persinggahan perdagangan, pelayaran antar pulau. Dan sangat dimungkinkan, bagi masyarakat di gugus kepulauan Indonesia Bagian Timur yang pernah menerima dakwah Sunan Giri itu, datang langsung atau mengutus keluarga kerabatnya untuk memperdalam ilmu agama, seperti yang pernah diterima sebelumnya. Dan pola Pendidikan semacam ini, barangkali adalah suatu hal yang wajar bagi masyarakat di manapun, tidak terkecuali masyarakat Lombok, dari dahulu bahkan hingga saat ini. Sudah menjadi suatu tradisi bagi masyarakat di daerah tertentu mengutus satu atau dua anak yang berpotensi untuk memperdalam ilmu agamanya ke daerah yang kuat tradisi keilmuannya, dengan tujuan jika kelak anak itu berhasil, ia akan diminta pulang untuk mengabdi, membimbing, membangun masyarakat sesuai dengan bidang ilmu yang dikuasainya.

Ketiga, kedudukan Sunan Giri sebagai bagian dari keluarga Kerajaan Majapahit dan sebagai pemimpin agama memungkinkan ia memiliki pengaruh besar dan luas, bukan hanya di daerah Jawa namun ia juga dapat menjangkau atau membentuk jaringan dengan daerah-daerah di luar pulau Jawa, melalui diplomasi politik antar sesama penguasanya. Penemuan bangsal Sri Menganti, Puri Kedaton dan gelar Prabu Satmata, menunjukkan bahwa salah satu anggota Wali Sanga ini, tidak hanya sebagai sosok yang berangkat dari golongan ulama yang berpengaruh saja, namun temuan itu menegaskan bahwa Sunan Giri juga dapat disebut sebagai seorang raja. Sebab, pada waktu itu tidak sembarang orang boleh memiliki bangunan bangsal, puri atau kedaton kecuali ia adalah seorang raja atau keluarga penguasa. Namun jangan dibayangkan bahwa kedaton atau kerajaan Sunan Giri itu, sama persis seperti konsep kerajaan yang dipimpin oleh raja dengan kekuasaan yang sungguh luar biasa besar dan kompleks seperti Majapahit. Kerajaan atau kedaton Sunan Giri itu adalah wilayah bagian dari kekuasaan di bawah Majapahit yang diizinkan mengatur atau mengelola wilayah kekuasaannya sendiri secara independen, karena Sunan Giri memiliki hubungan kekeluargaan dengan Kerajaan Majapahit.  Demikian juga halnya dengan gelar Prabu Satmata yang disematkan kepada Sunan Giri, gelar “prabu” bagi orang Jawa adalah gelar kehormatan untuk menyebut “maha raja”, raja yang paling besar pengaruhnya di atas raja-raja kecil lainnya. Sedangkan istilah “satmata” adalah istilah yang diadopsi dari konsep pendewaan pada era Majapahit sebagai simbol dewa-dewa yang menjaga empat atau delapan penjuru mata angin, ditambah satu lagi dewa di tengahnya sebagai pemimpin atau tempat bersemayamnya dewa paling tinggi yakni, Dewa Siwa.

Kerajaan atau kedaton Sunan Giri itu adalah wilayah bagian dari kekuasaan di bawah Majapahit yang diizinkan mengatur atau mengelola wilayah kekuasaannya sendiri secara independen, karena Sunan Giri memiliki hubungan kekeluargaan dengan Kerajaan Majapahit.  Demikian juga halnya dengan gelar Prabu Satmata yang disematkan kepada Sunan Giri, gelar “prabu” bagi orang Jawa adalah gelar kehormatan untuk menyebut “maha raja”, raja yang paling besar pengaruhnya di atas raja-raja kecil lainnya.

Di sisi lain, ketika Sunan Ampel (Maulana Malik Ibrahim) wafat, pada tahun 1478 Masehi, Sunan Kalijaga atau Raden Said, dalam rapat para wali mengambil inisiatif untuk mengusulkan Sunan Giri sebagai pengganti Sunan Ampel, menjadi penghulu dari para wali Tanah Jawa dan sebagai mufti atau pemimpin muslim di seluruh wilayah Jawa.  Kedudukan ganda dan strategis inilah yang membuat Sunan Giri, boleh dibilang sangat besar pengaruhnya, yang memungkinkan ia melakukan dakwah baik melalui jalur ketokohannya sebagai pemimpin para wali Tanah Jawa maupun sebagai seorang raja, melalui jalur diplomasi dengan golongan penguasa baik di daerah Jawa maupun di luar Pulau Jawa. Kedudukan ganda inilah yang disebut oleh orang Jawa dengan istilah “Pandhita-Ratu”, yang bermakna pemimpin agama, rohaniawan (pandhita), sekaligusa raja atau penguasa (ratu).

Dengan posisi strategis inilah, sekiranya kita dapat membuat sebuah analisis mengenai pola transmisi ajaran Islam yang disampaikan oleh Sunan Giri, pola transmisi yang tidak mengandung unsur ancaman dan kekerasan,  yakni secara langsung dan tidak langsung,. Pola yang pertama; dapat dipahami sebagai sebuah pola dakwah ketika masyarakat menerima pengajaran langsung dari Sunan Giri. Pola transimisi itu terjadi saat Sunan Giri berdagang ke pulau-pulau Indonesia bagian timur, kesempatan singgah dan berdagang itu dimanfaatkan oleh Sunan Giri untuk mendatangi masyarakat dan menyampaikan syiar Islam secara langsung. Di sisi lain, transmisi dengan cara langsung ini dapat pula dimengerti dengan adanya murid-murid Sunan Giri yang berasal dari berbagai daerah itu, datang untuk belajar ilmu agama langsung kepada Sunan Giri di pesantrennya.

Adapun transmisi ajaran Islam secara tidak langsung yang dilakukan oleh Sunan Giri, sekiranya dapat dibayangkan melalui dua cara, yakni dengan cara mengutus para mubalig ke daerah-daerah lain dan melalui diplomasi politik. Mubalig-mubalig yang diutus itu adalah murid-murid yang digembleng langsung oleh Sunan Giri, kemudian setelah ilmu agamanya dirasa cukup, mereka ditugaskan kembali mengabdi dan menyampaikan Syiar Islam kepada masyarakat di daerahnya masing-masing. Kemudian melalui diplomasi politik dengan para raja atau penguasa-penguasa daerah lain.  Moh. Dahlan Mansur mengatakan, bahwa untuk penobatan raja atau sultan baik itu kerajaan di Jawa maupun kesultanan di daerah Maluku, mereka harus datang menghadap ke Sunan Giri terlebih dahulu untuk disahkan. Keterangan lain menyebutkan bahwa, Sunan Giri juga telah mengirim sepucuk surat dakwah ke Hitu (Halmahera) dimana penduduk setempat telah masuk Islam. Konon, kedatangan surat itu disambut dengan baik oleh Masyarakat dengan diselenggarakan sebuah acara penyambutan yang meriah sebagai bukti penerimaan masyarakat akan Islam dan sebagai bukti betapa Sunan Giri adalah ulama sekaligus umara yang memiliki pengaruh dan jasa sangat besar bagi mereka.

Penerus Dakwah Sunan Giri dan Pribumisasi Islam di Lombok

Tidak hanya berhenti sampai di situ, cetak biru kesuksesan dakwah Islam melalui jalur ketokohan Sunan Giri sebagai rohaniawan sekaligus penguasa, sehingga mampu bertahan, kurang lebih selama 200 tahun ini, didukung oleh banyak faktor, namun yang sekiranya penting untuk disinggung dalam kesempatan kali ini adalah faktor keluarga yang meneruskan perjuangan Sunan Giri dan faktor gerakan “Pribumisasi Islam”. Setelah Sunan Giri meninggal dunia pada tahun 1506. Dakwah dan pemerintahan Sunan Giri kemudian dilanjutkan oleh keturunanya, secara berturut-turut oleh; Pangeran Zainal Abidin atau Sunan Dalem (Putra Sunan Giri), kemudian dilanjutkan oleh Sunan Sedamargi (Putra pertama, Pangeran Zainal Abidin), lalu Sunan Giri Prapen (Putra ke-2, Pangeran Zainal Abidin) dan keturunannya yang lain. Dari sinilah, kiranya relevan untuk membicarakan Sunan Giri Prapen sebagai sosok yang memainkan peran, menyebarkan Islam di Lombok. Sebab, dalam catatan-catatan sejarah, pada masa Sunan Prapen lah dakwah Islam ke wilayah Indonesia Bagian Timur, disebut-sebut lebih digencarkan kembali, dan mencapai puncak kesuksesannya. Sunan Prapen, dikatakan menemui puncak kesuksesannya karena selain melakukan perluasan bangunan kedhaton, masjid dan perluasan makam Sunan Giri, ia juga menaikkan intensitas dakwah Islam ke wilayah Indonesia Bagian Timur termasuk di dalamnya adalah Pulau Lombok. Meski demikian, kesuksesan atau kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Sunan Prapen tersebut, keagungan, kemasyhuran dan kewibawaan rohani tetap diberikan kepada Sunan Giri atau Prabu Satmata.

Sunan Prapen, dikatakan menemui puncak kesuksesannya karena selain melakukan perluasan bangunan kedathon, masjid dan perluasan makam Sunan Giri, ia juga menaikkan intensitas dakwah Islam ke wilayah Indonesia Bagian Timur termasuk di dalamnya adalah Pulau Lombok.

Selanjutnya, istilah pribumisasi dalam konteks penyebaran Islam oleh para wali Tanah Jawa bermakna membenahi seluruh aspek kehidupan masyarakat Jawa. Menurut Nur Kholik Ridwan, pribumisasi Islam membawa pengertian pada gerak yang dilakukan oleh para sufi yang bermazhab Sunni, yang berusaha mempertemukan tradisi lama masyarakat Jawa dengan nilai-nilai Islam (baca: baru), hingga kemudian hasilnya menjadi produk kebudayaan yang kita kenal sampai hari ini sebagai tradisi Islam Jawa. Sebab, tradisi yang dimaksud telah disesuaikan dengan tujuan dan niat keislaman yang dikehendaki oleh para wali. Suatu kaidah ushul fiqh yang dijadikan dasar gerakan pribumisasi Islam oleh para wali adalah, mempertahankan hal lama yang dianggap perlu lagi maslahat, dan membuat hal baru yang bernilai lebih baik di tengah masyarakat lama, secara gradual. Gerakan pribumisasi Islam ini sedemikian kuat dan mengakarnya, sehingga masuk ke dalam semua pranata sosial masyarakat Jawa; mulai dari ritus kelahiran dan kematian, pernikahan, wawasan spiritual, nilai-nilai sastra, nilai-nilai sosial dan tata masyarakat Jawa lainnya.

Sehingga dapat dimengerti, bahwa muatan dakwah atau pribumisasi Islam seperti inilah yang mungkin sampai kepada masyarakat Lombok, mengingat Sunan Giri adalah sosok yang menjadi bagian terpenting dari gerak atau kerja bersama para wali Tanah Jawa itu. Namun, sangat penting untuk memahami bahwa, terdapat pertimbangan-pertimbangan tertentu dan atau penyesuaian-penyesuaian (penambahan atau pengurangan) tertentu terhadap, situasi dan kondisi sosial kultural masyarakat Lombok pada waktu itu, sehingga pribumisasi Islam itu bisa diterima dengan baik. Maka tak heran, jika hari ini kita mewarisi tradisi Islam kultural yang memiliki kemiripan dengan tradisi Islam kultural yang ada di Pulau Jawa. Sebut saja beberapa di antaranya; tradisi nembang membaca takepan (sastra), di bidang bahasa dan budaya, peringatan kematian, tahlilan, maulidan, rowah dan tradisi-tradisi Islam kultural lainnya, yang sangat mirip dengan tradisi Islam yang ada di Jawa.

***

Akhirnya setelah percobaan membuat analisis mengenai sejarah penyebaran Islam di Lombok ini, kiranya saya dapat membuat simpulan, bahwa; Amat sangat penting bagi penulis sejarah untuk memperhatikan kedudukan referensi yang dijadikan pegangan, jika kebetulan sumbernya berupa karya sastra seperti babad, maka keharusan baginya untuk mencari referensi tambahan yang relevan dengan topik atau pokok kajiannya. Mengingat watak dasar dari karya sastra dan karya sejarah cukup jauh berbeda. Jika salah satunya penekanannya pada aspek estetika, sedangkan yang lainnya, penekanannya pada aspek faktualnya.

Selanjutnya, sejarah mengenai masuknya agama Islam telah melewati rentang waktu yang cukup panjang, sementara kejadian di masa lalu tidak mungkin terulang kembali, sama persis. Oleh sebab itu, pada dasarnya penulisan sejarah berarti upaya manusia dengan kemampuan akalnya memikirkan masa lalu, karenanya nilai sejarah sangat bergantung dari sudut pandang penulisnya. Tidak mungkin saya dapat menentukan versi mana yang lebih benar mengenai sejarah masuknya Islam di Pulau Lombok. Tetapi setidaknya saya bisa menyatakan bahwa, tidak mungkin membayangkan Islam, dapat berkembang sebagai agama mayoritas di Pulau Lombok tanpa peranan Sunan Prapen. Dan lebih mustahil lagi membayangkan Islam diterima dengan baik oleh masyarakat Lombok, dengan meminggirkan atau mengesampingkan, peran Sunan Giri dan gerakan pribumisasi Islamnya.


Sumber Bacaan:

Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo. Tangerang Selatan, Pustaka IIMan dan LESBUMI PBNU, 2016.

Anonim, Babad Lombok, (diterjemahkan oleh Lalu Gde Suparman), Jakarta, Proyek Pembinaan Buku sastra Indonesia dan Daerah, 1994.

Bambang Suwondo, Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat, Jakarta, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978.

Irfan Afifi, Saya Jawa dan Islam, Yogyakarta: Tanda Baca, 2019.

M. Ishom El-Saha & Mastuki HS (editor). Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren, Yogyakarta, Diva Pustaka. 2023.

Nancy K. Florida, Menyurat yang Silam Menggurat yang Menjelang: Sejarah Sebagai Nubuat di Jawa Masa Kolonial. Yogyakarta. Mata Bangsa, 2020.

_________  Jawa-Islam di Masa Kolonial; Suluk, santri, dan Pujangga Jawa, Yogyakarta, Buku Langgar, 2020.

Nur Khalik Ridwan, Islam di Jawa Abad XII-XVI Para Wali, Pribumisasi Islam, dan Pergulatan Jati Diri Manusia Jawa. Yogyakarta, Buku Langgar, 2021

Solichin Salam, Sekitar Wali Sanga, Kudus, Menara Kudus, 1960

Umar Hasyim, Sunan Giri: Pemerintahan Ulama di Giri Kedaton, Kudus, Menara Kudus, 1999.

William H. Fredrick, Soeri Soeroto, Pemahaman Sejarah Indonesia: Sebelum dan Sesudah Revolusi. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia. 1984.