Menu

Author Archives: Afthonul Afif

Janji Keadilan Bagi Tionghoa di Indonesia

Setelah kekuasaan Orde Baru tumbang, kondisi sosial-politik di Indonesia mengalami pergeseran yang signifikan. Tidak hadirnya kekuatan politik dominan membuat gelombang demokrasi melanda hampir di segala bidang kehidupan, tidak terkecuali di bidang kebudayaan. Kondisi ini memungkinkan berbagai praktek kebudayaan yang pada saat Orde Baru berkuasa dilarang tampil secara publik kemudian satu persatu mulai berani menampakkan dirinya kembali, salah satunya adalah kebudayaan etnis Tionghoa.

Meski diperolehnya kembali kebebasan tersebut harus ditebus dengan sebuah kerusuhan massa—atau yang dalam ingatan kolektif bangsa ini dikenal sebagai ‘Tragedi Mei 1998’—yang memakan banyak korban jiwa dari kalangan etnis Tionghoa, namun masa-masa sesudah itu tidak bisa dipungkiri telah membawa banyak perubahan bagi kehidupan mereka di Indonesia. Indonesia pasca-Orde Baru, atau juga biasa disebut dengan “Era Reformasi” telah membuka kesempatan yang lebih luas bagi orang Tionghoa Indonesia untuk dapat mengekspresikan Identitas kebudayaan mereka kembali tanpa perlu khawatir dengan larangan dari pemerintah. Praktis sejak tahun 1999, mereka pun akhirnya bisa merayakan kembali Hari Raya Imlek tanpa perlu takut-takut lagi (Turner, 2003; Turner dan Allen, 2007).

Pribumi dan Non Pribumi

Sebelumnya, tepat pada 16 September 1998, Presiden B.J. Habibie mengeluarkan Instruksi Presiden No. 26/1998 yang menghapuskan penggunaan istilah “pribumi” dan “non pribumi” untuk menyebut orang pribumi dan orang Tionghoa. Momen bersejarah ini pun kian sempurna ketika pada 17 Januari 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keputusan Presiden No. 6/2000 yang berisi pencabutan Instruksi Presiden No.14/1967 tentang pelarangan agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina, yang kemudian diteruskan dengan pencabutan larangan penggunaan nama Tionghoa buat orang-orang Tionghoa Indonesia pada 2001. Keputusan presiden ini selanjutnya diterjemahkan lewat Keputusan Menteri Agama No.13/2001 tentang penetapan Hari Raya Imlek sebagai hari libur fakultatif (hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya) dan diteruskan dengan pencabutan larangan penggunaan bahasa Tionghoa baik lisan maupun tulisan (Setiono, 2002). Ketika menghadiri perayaan Imlek yang diselenggarakan MATAKIN pada tanggal 17 Februari 2002, Presiden Megawati Soekarnoputeri juga mengumumkan bahwa mulai tahun 2003 Imlek akan ditetapkan menjadi hari libur Nasional.

Kembali Ke Kancah Politik

Perlu juga dicatat bahwa sejak bergulirnya Era Reformasi telah lahir kesadaran di kalangan orang-orang Tionghoa Indonesia untuk meramaikan kembali kancah politik nasional, mengingat sepanjang pemerintahan Orde Baru hak-hak politik dan budaya mereka tidak mendapatkan penyaluran yang memadai. Berbagai kelompok peranakan Tionghoa pun beramai-ramai membentuk partai politik, paguyuban, perhimpunan, LSM, dan sebagainya. Di antaranya adalah Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (PARTI), Partai Bhinneka Tunggal Ika (PBI), Paguyuban Sosial Marga Tionghoa (PSMTI), Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI), Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), Gerakan Anti Diskriminasi (GANDI), Solidaritas Pemuda Pemudi Indonesia Untuk Keadilan (SIMPATIK), dan sebagainya (Setiono, 2002; Turner dan Allen, 2007: 122-123).

Perlu juga dicatat bahwa sejak bergulirnya Era Reformasi telah lahir kesadaran di kalangan orang-orang Tionghoa Indonesia untuk meramaikan kembali kancah politik nasional, mengingat sepanjang pemerintahan Orde Baru hak-hak politik dan budaya mereka tidak mendapatkan penyaluran yang memadai.

Namun sangat sedikit di antara partai-partai politik yang dikomandoi oleh orang Tionghoa tersebut menuai kesuksesan berarti. Hampir semua partai yang berdiri waktu itu, selain PBI yang hanya mendapatkan satu kursi di parlemen dari daerah pemilihan Kalimantan Barat, tidak memenuhi ketentuan ambang batas (treshold) elektoral yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Thee Kian Wie, ekonom senior dari LIPI, berpendapat bahwa kecenderungan tersebut merupakan tanda-tanda positif bagi perbaikan kehidupan dan masa depan orang Tionghoa di Indonesia, namun satu hal yang membuatnya nampak kurang begitu nyaman dari fenomena tersebut adalah terkait dengan penonjolan yang berlebihan terhadap ciri-ciri ketionghoaan dalam partai-partai yang ada, karena seolah-olah mereka hanya mewakili kepentingan orang-orang Tionghoa saja, selain juga bisa memicu munculnya kembali penilaian berbau rasial dari kelompok pribumi (Turner, 2003: 349).

Gagasan Pembauran

Senada dengan Thee, Ong Hok Ham, sejarawan peranakan yang sejak dulu mendukung gagasan pembauran, juga menunjukkan ketidakyakinannya bahwa partai-partai berbasis etnis yang didirikan oleh sejumlah tokoh Tionghoa akan mampu menjadi sarana perjuangan bagi perbaikan nasib masyarakat Tionghoa di Indonesia. Dugaan Ham terbukti benar. Jangankan merealisasikan tujuan tersebut, bersaing mendapatkan suara dalam pemilu 1999 saja, bahkan sekedar menjadi kontestan, partai-partai tersebut terlihat kurang kompetitif. Strategi yang kemudian dipilih oleh tokoh-tokoh Tionghoa justru mengembangkan mekanisme lobi, strategi politik yang oleh Ham dipandang sebagai langkah meniru lobi-kobi berbasis etnis yang lazim terjadi dalam perpolitikan Amerika. Sistem lobi ini dimaksudkan untuk menjaga idependensi sikap di tengah iklim politik yang kurang menentu. Sebab, jika sikap politik itu telah digariskan secara tegas, hal ini justru akan merugikan masyarakat Tionghoa sendiri karena sikap politik mereka akan lebih mudah ditebak, dan yang lebih penting adalah kenyataan bahwa jarang sekali partai yang didirikan oleh kelompok minoritas akan mampu berkembang menjadi lebih besar di kemudian hari. Tentang sikapnya ini Ham berpendapat:

~~~

“…. partai politik dari golongan minoritas cenderung mengisolasi golongan minoritas dari dunia perpolitikan bangsa. Sementara itu, partai politik dari minoritas etnis atau ras tidak pernah memiliki kursi banyak dalam parlemen, karena jumlah mereka terlalu sedikit. Masalahnya adalah apakah bisa dilahirkan politik minoritas yang independen, yang berjuang bagi kepentingan minoritas, seperti menghapus diskriminasi, dan bagi seluruh bangsa” (Kompas, 13 Agustus 1999).

~~~

Thee dan Ham selanjutnya lebih menyarankan supaya orang-orang Tionghoa untuk bergabung ke dalam partai-partai politik yang sudah ada, yang secara politis lebih terbuka terhadap, dan lebih mampu mengakomodasi kepentingan berbagai golongan di Indonesia, misalnya PDI-P, Golkar, PAN, PKB, dan lain-lain. Hasilnya ternyata memang lebih bagus. Pada pemilu 1999, ada beberapa orang etnis Tionghoa yang berhasil menjadi anggota DPR, MPR dan DPRD. Di DPR ada nama Kwik Kian Gie (kemudian diganti karena diangkat menjadi menteri) dan Tjiandra Wijaya Wong dari PDI-P, Alvin Lie Ling Piao dari PAN, Enggartiasto Lukita dari Golkar. Sementara di MPR ada nama Hartarti Murdaya (Chow Lie Ing) dari Walubi yang mewakili Utusan Golongan dan Daniel Budi Setiawan yang menjadi wakil Utusan Daerah Jawa Tengah dari PDI-P. Seharusnya ada lagi seorang etnis Tionghoa yang menjadi anggota DPR yaitu Frans Tshai yang mewakili PDI-P Bogor, namun pada saat-saat terakhir ia disingkirkan dan tempatnya diberikan kepada orang lain (INTI, 2003).[1]

Beberapa etnis Tionghoa bahkan pernah menduduki beberapa jabatan strategis di pemerintahan lokal, di antaranya Basuki Tjahaja Purnama, menjabat sebagai Bupati Belitung Timur periode 2005-2010, dan setahun kemudian, Christiandy Sanjaya terpilih sebagai Wakil Gubernur Kalimantan Barat. Jumlah keterlibatan orang-orang Tionghoa dalam politik praktis mengalami peningkatan cukup signifikan pada Pemilu 2009. Terdapat sekitar 100 calon legislatif di tingkat DPR yang berasal dari etnis Tinghoa. Belum lagi caleg untuk tingkat DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Dalam daftar tersebut, misalnya, selain nama Alvin Lie (PAN Jateng), Rudianto Tjen (PDI-P, Bangka), Charles Honoris (PAN Jatim), Henky Kurniadi (PDI-P Jatim), Agoes (Hanura), L Walanda (Sulawesi Utara), Tan Fu Yong (DKI Jakarta), dan Samuel Nitisaputra (Kalimantan Timur), Frans Tjai dan Eddy Sadeli (P. Demokrat), AB Susanto (PKB), Tommy Satnjoto, Hertanto Surya, Sri Mutiara Sutardji (PKPI), Anton Gautama (PDI-P), Siegvrieda, Joseph Mangondow (Pelopor), Hendry Tjandra (PIB), Kimmy Himawan (PAN), dan sebagainya (Suara Karya, 31 Maret 2009).[2]

Kebebasan Masyarakat Tionghoa Indonesia

Iklim kebebasan di Era Reformasi juga disambut dengan terbitnya banyak publikasi seputar masyarakat Tionghoa di Indonesia, dari kajian yang sifatnya serius hingga yang lebih populer.[3] Kondisi ini juga dimanfaatkan sebagian kalangan untuk menerbitkan media berkala yang menyuarakan aspirasi masyarakat Tionghoa di Indonesia.[4] Sampai akhir April 2008, setidaknya masih terbit sembilan media yang mengambil segmentasi warga keturunan Tionghoa: lima media cetak berbahasa Mandarin (Indonesia Shang Bao, Gui Ji Ri Bao, Suara Indonesia, Harian Indonesia (Reji Ri Bao), dan Kun Dian Ri Bao), tiga media cetak berbahasa Indonesia (Era Baru, Majalah Sinergi, dan majalah Suara Baru), dan sebuah media berbahasa Inggris (The Universal Daily News) (Prasetyo, 2010: 172-173).

Bagaimana dengan orang-orang Tionghoa Muslim Indonesia dalam merespon perubahan situasi politik tersebut?

Dipicu oleh kekecewaan terhadap Golkar yang dianggap kurang mampu mengawal proses pembauran selama berkuasa, Junus Jahja dan sejumlah tokoh Tionghoa, di antaranya HM. Jusuf Hamka, Budi Susanto, Dr. Dih Liang, mendirikan Partai Pembauran Indonesia (Parpindo) dengan pertimbangan dibutuhkannya sebuah wadah partai politik yang sanggup menampung aspirasi masyarakat terhadap masalah pembauran bangsa dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Parpindo yang memilih Pancasila sebagai basis ideologinya ini bersifat terbuka bagi seluruh warga negara tanpa memandang suku, keturunan, dan agamanya (Kompas, 6 Juni 1998). Menurut Junus, agenda pembauran selama Orde Baru berkuasa berjalan tanpa arah, digerakkan oleh pihak yang tidak ‘becus’ dan tidak peduli terhadap pembauran itu sendiri. Meski agenda asimilasi sudah dicetuskan sejak tahun 1960-an, bahkan telah menjadi slogan resmi rezim Orde Baru, namun terbukti hasilnya tidak maksimal dan tepat sasaran karena rezim yang berkuasa memang belum menganggap masyarakat Tionghoa sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia itu sendiri. Sebab, agenda pembauran yang sejati, dalam artian memperkuat infrastruktur bagi terciptanya pembauran yang bersifat alamiah, belum menjadi isu mayor bagi hadapan pemerintah Orde Baru. Junus menuturkan:

~~~

“Kita ini bukan economic animals, dan juga bukan mewakili kelompok yang bersemangat cukongisme. … di antara orang-orang keturunan Cina ini ada pemain bulu tangkis, dokter-dokter yang bekerja sebagai pegawai negeri, dan lainnya. Selama ini mereka dipukul rata saja dan pergerakan pembauran di Indonesia tidak lagi ditangani oleh mereka yang mempunyai perhatian terhadap masalah ini, tapi sudah kemasukan orang-orang yang menginginkan pembahasannya meluas tidak hanya pada masalah Cina saja.”[5]

~~~

Sayang, rendahnya dukungan baik dari kalangan Tionghoa sendiri maupun masyarakat Indonesia secara umum membuat Parpindo kurang mampu bersaing dengan partai-partai lainnnya, bahkan dinyatakan tidak lolos dalam Pemilu 1999. Namun, kondisi tersebut lantas tidak membuat Junus patah semangat untuk tetap menempatkan urgensi asimilasi bagi orang-orang Tionghoa di Indonesia sebagai pokok perhatiannya. Salah satunya disampaikan melalui seruan terhadap orang-orang Tionghoa Muslim untuk menyikapi perubahan politik pasca tumbangnya Orde Baru sebagai peluang untuk menunjukkan peran mereka secara lebih luas. Dengan kata lain, kebebasan itu harus bisa dimanfaatkan oleh orang-orang Tionghoa Muslim untuk berpartisipasi lebih aktif di berbagai bidang kehidupan. Namun, tetap perlu diwaspadai bahwa potensi konflik antara etnis Tionghoa dengan penduduk pribumi belum sepenuhnya hilang meski orde kekuasaan telah berganti.

Akar Konflik dan Potensi Memediasinya

Menurut Jahja, selama pemerintah Orde Baru berkuasa, sebenarnya praktek diskriminasi tidak hanya ditujukan kepada etnis Tionghoa semata, tetapi penduduk pribumi pun turut merasakannya. Orang Tionghoa memang dilarang mengekspresikan kebudayaannya dan dibatasi keterlibatannya dalam bidang politik, namun mereka dimanjakan pemerintah dalam sektor ekonomi. Sebaliknya, meskipun penduduk pribumi lebih leluasa berkecimpung dalam kehidupan politik, namun aksesnya terhadap sumber-sumber ekonomi relatif dibatasi oleh pemerintah Orde Baru. Kondisi ini, kalau tidak disikapi secara serius oleh pemerintahan baru di Era Reformasi tentu potensial menjadi ancaman bagi terciptanya kerjasama dan sikap saling menghormati antara kedua kelompok tersebut. Kondisi ini, lanjut Jahja, sebenarnya peluang bagi orang-orang Tionghoa Muslim untuk memerankan fungsinya sebagai mediator bagi kedua kelompok. Posisi orang-orang Tionghoa Muslim yang relatif dapat diterima oleh penduduk pribumi membuat mereka lebih leluasa menjalin kerjasama dengan penduduk pribumi, yang kemudian dapat dilanjutkan dengan menjembatani kedua kelompok dalam kegiatan-kegiatan publik (Ali, 2007: 14-15).

Orang Tionghoa memang dilarang mengekspresikan kebudayaannya dan dibatasi keterlibatannya dalam bidang politik, namun mereka dimanjakan pemerintah dalam sektor ekonomi. Sebaliknya, meskipun penduduk pribumi lebih leluasa berkecimpung dalam kehidupan politik, namun aksesnya terhadap sumber-sumber ekonomi relatif dibatasi oleh pemerintah Orde Baru.

Sependapat dengan Junus Jahja, Budi Setyagraha, tokoh Tionghoa Muslim dari Yogyakarta, melihat bahwa terbuka lebarnya pintu kebebasan di Era Reformasi tersebut semestinya bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh orang-orang Tionghoa untuk terlibat dalam berbagai bidang kehidupan di negeri. Mereka sebaiknya tidak hanya berkonsentrasi di bidang bisnis saja, tetapi harus lebih berani memasuki jenis profesi lainnya, mungkin menjadi guru, dosen, peneliti, tentara, polisi, jaksa, hakim, pengacara, artis, wartawan, sastrawan, begitu juga menjadi politikus. Orang-orang Tionghoa harus berusaha keluar dari isolasi yang selama ini mengungkungnya. Politik bukan lagi sesuatu yang menakutkan dan perlu dijauhi, sebaliknya perlu dipelajari dan dipahami. Etnis Tionghoa harus turut berpolitik praktis melalui partai politik-partai politik  yang sesuai dengan pilihannya atau bersama-sama komponen bangsa lainnya mendirikan partai politik untuk dijadikan alat perjuangan guna mencapai apa yang selama ini mereka harapkan. Bagi orang-orang Tionghoa Muslim sendiri, lanjut Budi, kondisi ini juga merupakan peluang bagi mereka untuk lebih aktif dalam mengusung agenda-agenda asimilasi. Posisi mereka yang lebih dapat diterima oleh penduduk pribumi harus mereka manfaatkan secara maksimal sebagai jalan untuk memasuki bidang-bidang pekerjaan yang selama ini identik dengan penduduk pribumi, seperti guru, dosen, karyawan, peneliti, artis, pengacara, notaris, insinyur, dan sebagainya (Bernas, 19 Maret 2006).

Tionghoa Muslim

Bersambut dengan seruan dua tokoh di atas, pertemuan penulis dengan dua orang Tionghoa Muslim asal Semarang dan Kudus, sebut saja Hasan dan Hendra, sedikit banyak telah membuktikan bahwa bagi orang Tionghoa Muslim sendiri pun selanjutnya merasa lebih bisa diterima dan dipersepsi secara positif oleh orang-orang pribumi ketika mereka berkecimpung di bidang profesi yang umumnya juga ditekuni oleh orang-orang pribumi. Sebenarnya, dengan menyandang identitas sebagai Muslim pun mereka merasa sudah lebih bisa diterima, apalagi ketika mereka menekuni pekerjaan-pekerjaan yang sering dikaitkan dengan orang-orang pribumi. Kondisi ini menggambarkan bahwa prasangka dan diskriminasi yang sering mereka terima sebenarnya bukan semata dipicu oleh persoalan perbedaan ras dan agama, tetapi juga erat kaitannya dengan perbedaan profesi yang berujung pada perbedaan tingkat kesejahteraan ekonomi antara mereka dengan penduduk pribumi.

Kesejahteraan ekonomi yang cukup mencolok tidak bisa dipungkiri telah membuat orang-orang pribumi cemburu terhadap mereka, hingga kemudian muncul stereotip negatif seperti economic animals (binatang ekonomi) yang rakus dan egois.

Kesejahteraan ekonomi yang cukup mencolok tidak bisa dipungkiri telah membuat orang-orang pribumi cemburu terhadap mereka, hingga kemudian muncul stereotip negatif seperti economic animals (binatang ekonomi) yang rakus dan egois. Itulah sebabnya ketika ada orang-orang Tionghoa yang menekuni jenis profesi selain di bidang bisnis, orang-orang pribumi cenderung melihat mereka sebagai pengecualian, apalagi jika mereka sekaligus seorang Muslim. Hal ini mengindikasikan bahwa hubungan antara kedua belah pihak sejauh ini memang sarat akan prasangka dan kecurigaan, seperti yang diungkapkan oleh Hasan dan Hendra berikut:

~~~

“Sangat sulit menghilangkan stigma buruk terhadap orang-orang Cina, apalagi untuk mereka yang kaya-kaya. Mereka umumnya juga hidup secara eksklusif, dan kurang bergaul dengan penduduk pribumi. Bahkan, cenderung menganggap rendah orang pribumi. Coba Anda lihat saja, di sepanjang jalan-jalan utama di Semarang Anda bisa melihat banyak sekali orang-orang Cina yang mempekerjakan orang-orang Jawa. Mereka juga memperlakukan orang-orang pribumi layaknya seorang pembantu. Ini mungkin penyebab mengapa masyarakat pribumi juga sering membenci orang-orang Cina. … tapi ini tidak semua mas, karena nampaknya ada pengecualian bagi orang Tionghoa yang masuk Islam. Sejak menjadi Muslim pada tahun 1997 sambutan masyarakat pribumi sangat welcome, mereka seakan-akan tidak percaya kalau ada orang Cina yang masuk Islam. Namun satu hal juga yang mungkin membuat mereka semakin menerima saya adalah karena saya ini kan bukan Cina kaya? Saya hanya seorang karyawan swasta, sama juga dengan mereka, jadi mereka tidak iri atau cemburu kepada saya. Menurut saya pekerjaan itu penting banget mas, karena ini sumber kecemburuan yang sebenarnya paling jelas.”[6] 

“Bagi mereka yang belum tahu kalau saya adalah seorang Muslim, mungkin mereka akan menganggap saya itu sama saja dengan orang-orang Cina lainnya, yang dianggap lebih suka hidup eksklusif menggerombol dengan sesama golongannya. Tapi, kebetulan saya ini bukan pebisnis mas, karena dorongan hati saya lebih condong pada mengajar. Sejak kecil saya merasa kurang trampil dalam manajemen, saya lebih suka dengan sesuatu yang bersentuhan dengan pendidikan. Itulah mengapa saya sekarang memilih menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi swasta di semarang. Bagi teman-teman atau mahasiswa saya yang tahu keislaman saya, mereka sangat bersimpati dan mendukung saya. Saya dianggap orang Cina yang melawan arus atau orang Cina yang mbalelo, tapi konotasinya tentu yang positif.”[7]

~~~

Senada dengan kecenderungan di atas, Maulana dalam penelitiannya juga membuktikan hal serupa di kalangan masyarakat Tionghoa Muslim Yogyakarta. Dia menyebutkan ada kecenderungan di kalangan mereka untuk berprofesi di bidang yang tidak terkait langsung dengan aktivitas bisnis, sesuatu yang mungkin selama masa pemerintahan Orde Baru bukanlah pilihan yang populer bagi mereka. Beberapa nama bisa disebut, di antaranya adalah Ahmad Sutanto dan Margaretta, dosen di Fakultas Ekonomi dan Fakultas-MIPA Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, Grace Lestariana, dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dan Hendrik, dosen di Fakultas Teknik Universitas Islam Indonesia (Maulana, 2010: 109). Sebenarnya di kalangan orang-orang Tionghoa Muslim sendiri juga terdapat kecenderungan kuat untuk mencoba berkarir di instansi pemerintah sebagai pegawai negeri sipil (PNS), namun karena kesempatan untuk melakukannya masih terbatas maka mereka kemudian memilih untuk berkarir di institusi-institusi swasta. Fenomena ini merupakan bukti nyata bahwa telah terjadi perubahan-perubahan orientasi pada diri orang-orang Tionghoa dalam konteks Indonesia pasca-Orde Baru, kecenderungan yang disadari atau tidak, ternyata telah membantu mengikis prasangka-prasangka negatif terhadap mereka dari masyarakat pribumi. Dengan kata lain, tidak semua orang Tionghoa Indonesia merupakan aconomic animals yang patut dicurigai dan dibenci, demikian pengakuan seorang warga pribumi ketika dimintai pendapatnya mengenai kecenderungan tersebut.

Perubahan-perubahan orientasi pada diri orang-orang Tionghoa dalam konteks Indonesia pasca-Orde Baru, ternyata telah membantu mengikis prasangka-prasangka negatif terhadap mereka dari masyarakat pribumi.

~~~

“Awalnya agak aneh sih melihat orang Cina kok jadi guru atau jadi dosen. Kebanyakan dari mereka kan pedagang yang menganggap uang sebagai tujuan utama mereka. Menurut saya, ini gejala yang patut dicermati dan disambut baik, karena semakin banyak orang-orang Cina yang berani mengambil langkah ini, maka saya yakin penilaian orang-orang Jawa lambat laun akan berubah.”[8]

~~~

Kenangan Orde Baru

Sayangnya, mengingat kesempatan yang tersedia masih sangat terbatas untuk berkarir di Institusi-institusi pemerintah, maka kita belum bisa menjumpai lebih banyak lagi orang-orang Tionghoa yang menempuh jalan tersebut. Namun, terlepas dari masih minimnya kesempatan tersebut, Indonesia pasca-Orde Baru tetaplah akan dikenang oleh masyarakat Tionghoa Indonesia sebagai salah satu babak terpenting dalam sejarah keberadaan mereka di negeri ini. Demokratisasi di bidang politik telah melahirkan kembali kesadaran di kalangan masyarakat Tionghoa akan pentingnya ketersediaan saluran-saluran partisipasi bagi mereka, selain sebagai sarana perjuangan bagi kepentingan-kepentingan mereka, hal ini juga dapat dipandang sebagai bukti keseriusan mereka untuk terlibat lebih jauh dalam upaya-upaya perbaikan negeri ini.

Demokratisasi di bidang politik telah melahirkan kembali kesadaran di kalangan masyarakat Tionghoa akan pentingnya ketersediaan saluran-saluran partisipasi bagi mereka.

Di kalangan Tionghoa Muslim sendiri, iklim kebebasan di Indonesia pasca-Orde Baru ini kemudian segera direspon dengan cara semakin menguatkan konsolidasi dan merumuskan orientasi gerakan ke depan secara lebih sistematis. Ambil contoh, pada 23 Maret 2005 DPD PITI Jateng menyelenggarakan Musyawarah Wilayah yang mengusung agenda utama yaitu merumuskan strategi-strategi gerakan yang diharapkan lebih mampu mewujudkan terciptanya suasana saling menghormati dan kerjasama antara masyarakat Tionghoa Muslim dengan penduduk pribumi. Kegiatan ini diikuti oleh hampir seluruh anggota DPD PITI Jawa Tengah, di antaranya dari Semarang, Pekalongan, Rembang, Kudus, Purbalingga, Tegal, Surakarta, Salatiga, Jepara, Purwokerto, Blora, dan lain-lain. Beberapa tokoh penting Tionghoa Muslim Jawa Tengah juga hadir dalam acara tersebut, seperti H. Fuad Sahil, Jaisar Amit, Maksum Pinarto, Gautama Setiadi, Harry Afandi, dan Iskandar. Salah satu butir rekomendasi dari acara tersebut adalah disepakatinya pembangunan Islamic Center yang rencananya akan dibangun di Semarang dan diharapkan mampu menjadi pusat kegiatan dan pembelajaran pengetahuan keislaman bagi orang-orang Tionghoa Muslim di Jawa Tengah (Suara Merdeka, 22 Maret 2005).[9]

Ruang Demokrasi Tionghoa Muslim

Di tahun yang sama, DPP PITI juga menyelenggarakan Musyawarah Nasional III yang diselenggarakan di Surabaya. Munas yang kemudian menetapkan HM. Trisno Adi Tantiono sebagai Ketua Umum DPP PITI ini dapat dianggap sebagai momen paling bersejarah bagi masyarakat Tionghoa Muslim Indonesia pasca-Orde Baru, sebab melalui forum ini kemudian lahir kesepakatan tentang penggunaan kembali kata Tionghoa dalam nama PITI. Di tahun-tahun itu juga tanda-tanda semakin menggeliatnya aktivitas komunitas Tionghoa Muslim Indonesia mulai terasa, setidaknya jika dilihat dari dibangunnya masjid dan pusat keislaman di beberapa daerah, di antaranya Masjid Cheng Ho di Surabaya, Purbalingga, Bandung, dan Palembang, Masjid Ja’mi An Naba’ KH. Tan Shin Bie di Purwokerto, Masjid Cheng Ho Jawa Tengah di Semarang, serta Islamic Center di Kudus (Tanudjaja, 2005).[10] Makin maraknya aktivitas komunitas Tionghoa Muslim di Indonesia pasa-Orde Baru ini kemudian mematahkan tesis yang menganggap bahwa keislaman mereka semata hanya untuk mencari perlindungan penguasa. Jika tesis ini benar, semestinya sebagian besar orang Tionghoa yang telah memeluk Islam ketika Orde Baru masih berkuasa akan kembali lagi kepada keyakinan terdahulu mereka seiring dengan tumbangnya kekuasaan Orde Baru yang pernah mengebiri kebebasan mereka hampir di segala bidang kehidupan telah tumbang.

Meski iklim demokrasi di Indonesia pasca-Orde Baru telah memberi kesempatan bagi orang-orang Tionghoa Muslim untuk menunjukkan identitas dan pandangan-padangan mereka secara lebih terbuka, namun hal ini bukan berarti tidak ada lagi masalah serius yang bakal mereka hadapi di waktu-waktu selanjutnya. Menurut pengamatan Ali (2007: 14-15), posisi mereka tetap berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, keputusan untuk memeluk Islam memang semakin mendekatkan mereka dengan pemerintah dan masyarakat pribumi, namun di sisi lain mereka juga menghadapai situasi baru yang cukup dilematis, yakni hubungan mereka dengan orang-orang Tionghoa terancam memburuk.

Jika mereka terlalu dekat dengan pemerintah dan penduduk pribumi, maka hal ini dikhawatirkan akan mengganggu hubungan mereka dengan orang-orang Tionghoa non-Muslim, sementara jika mereka terlalu dekat dengan orang-orang Tionghoa, maka mereka kemudian akan rentan terhadap prasangka-prasangka negatif dari penduduk pribumi.

Jika mereka terlalu dekat dengan pemerintah dan penduduk pribumi, maka hal ini dikhawatirkan akan mengganggu hubungan mereka dengan orang-orang Tionghoa non-Muslim, sementara jika mereka terlalu dekat dengan orang-orang Tionghoa, maka mereka kemudian akan rentan terhadap prasangka-prasangka negatif dari penduduk pribumi, misalnya jalan memeluk Islam hanya sekedar untuk mencari posisi aman. Dengan demikian, menjadi Muslim tidak kemudian selalu bermakna sebagai telah purnanya proses asimilasi orang-orang Tionghoa ke dalam masyarakat pribumi, karena dalam konteks Indonesia pasca-Orde Baru, telah terjadi perubahan-perubahan mendasar terkait dengan orientasi pembentukan identitas mereka seiring semakin terbukanya kebebasan untuk menunjukkan identitas mereka yang sebenarnya. Dengan kata lain, menjadi Muslim sekarang ini tidak selalu sebangun dengan menjadi pribumi, karena gelombang ‘resinifikasi’ kebudayaan yang tidak bisa dibendung lagi itu juga turut melanda kalangan Tionghoa Muslim Indonesia. Petikan kesaksiaan salah seorang dari mereka berikut ini mungkin bisa memberi gambaran tentang bagaimana mereka menanggapi gelombang perubahan tersebut.

~~~

“Sekarang kondisinya telah jauh berubah, tidak seperti zaman Orde Baru yang penuh dengan hambatan-hambatan. Orang-orang Cina itu tidak bisa dipaksa lagi untuk menghapus ciri-ciri yang mereka miliki, apalagi jika hal itu berhubungan dengan kepercayaan-kepercayaan yang telah diwariskan selama berabad-abad lamanya. Meski saya ini sudah menjadi Muslim sejak lama dan dalam banyak hal mengikuti cara-cara atau kebiasaan-kebiasaan orang Jawa, namun ketika ada kesempatan untuk merayakan hari-hari besar Tionghoa, atau apapun lah yang berhubungan dengannya, dalam hati pun saya merasa sangat antusias dan gembira. Ibaratnya, kita pernah kehilangan barang berharga yang kita miliki, nah ternyata sekarang barang itu telah kembali lagi.”[11]

~~~

Bersambung… (untuk mendownload versi panjangnya).


Catatan:

 

[1] Keterangan lebih detil bisa dilihat secara online di http://id.inti.or.id/specialnews/25/tahun/2003/bulan/02/tanggal/01/id/292/print/. Dikunjungi pada 10 Januari 2011.

[2] Sumber onlinenya bisa dilihat di http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=223505. Dikunjungi pada 15 April 2011.

[3] Penjelasan lebih lanjut, lihat, Agus Setiadi, ”Geliat Sang Naga dalam Pustaka: Buku-Buku Tentang Kebudayaan Tionghoa di Era Reformasi”, dalam I. Wibowo dan Thung Ju Lan (eds.), Setelah Air Mata Kering: Masyarakat Tionghoa Pasca-Peristiwa Mei 1998 (Jakarta: Penerbit Kompas, 2010), hal. 139-165.

[4] Lihat, Stanley Adi Prasetyo, ”Adakah Media untuk Kalangan Tionghoa?, dalam I. Wibowo dan Thung Ju Lan (eds.), Setelah Air Mata Kering: Masyarakat Tionghoa Pasca-Peristiwa Mei 1998 (Jakarta: Penerbit Kompas, 2010), hal. 116-183.

[5] “Tidak Berjalannya Asimilasi Mendorong Pembentukan Parpindo”, Kompas, 9 Juni 1998. Tersedia sumber onlinenya bisa di http://indo982.tripod.com/n0698/n0698_20.html. Dikunjungi pada 15 Mei 2009.

[6] Wawancara dengan Hasan di Masjid Agung Baiturrahman Semarang pada 21 Oktober 2008.

[7] Wawancara dengan Hendra di salah satu rumah makan di bilangan simpang lima Semarang pada 4 November 2008.

[8] Wawancara dengan salah seorang warga Yogyakarta.

[9] “Muswil PITI akan Diselenggarakan 23 Maret 2005.” Tersedia secara online di http://www.suaramerdeka.com/harian/0503/22/nas19.htm. Dikunjungi pada 14 Maret 2009.

[10] Lihat juga http://www.muslimtionghoa.com/index.php?action=generic_content.main&id_gc=46. Dikunjungi pada 8 Agustus 2008.

[11] Wawancara dengan Hasan di Masjid Agung Baiturrahman Semarang pada 21 Oktober 2008.

PADA sebuah sore di pekan terakhir Mei 2017 sekelompok anak muda penggiat literasi di kota ini mengajak saya bertemu di sebuah kedai kopi kecil yang berlokasi persis di depan kampus Universitas Muria Kudus. Sebagian besar dari mereka saya ketahui berlatar belakang sebagai jurnalis.

Saya tidak perlu berpikir lama-lama untuk mengiyakan ajakan itu. Lagian mereka juga bukan sosok-sosok yang asing bagi saya. Kebetulan juga waktu itu saya memang sedang mencari-cari alasan untuk keluar rumah. Saya merasa sudah tidak sanggup lagi berdamai dengan rasa bosan dan penat setelah seharian bersusah payah dan nyaris menyerah untuk memungkasi sebuah tulisan.

Pukul 16.30 saya berangkat dari rumah, sementara mereka sudah menunggu di lokasi. Saya geber motor saya dengan kecepatan tinggi supaya mereka tidak menunggu terlalu lama. Sesampai di lokasi saya menyaksikan mereka sudah duduk berhadap-hadapan di depan dua meja yang digabungkan menjadi satu. Dari halaman parkir kedai saya menangkap kesan bahwa ini adalah pertemuan yang sudah disiapkan sebelumnya.

“Silahkan duduk, mas,” sambil menyeret sebuah kursi Imam mempersilahkan saya duduk.

Selain Imam, di pertemuan ini hadir pula Zakki, Mala, Ayu, Islakh, Mail, Farid dan Salam. Rasanya sudah cukup lama saya tidak bertemu mereka dalam formasi selengkap ini. Sejak sebagian dari mereka lulus kuliah dan mulai bekerja saya sudah semakin jarang bertemu mereka. Bukan tidak pernah usaha semacam ini dilakukan sebelumnya, namun ternyata lebih sering berujung gagal. Saya kira ini adalah siklus yang wajar dalam sebuah pertemanan.

Pertemuan sore itu terasa istimewa dan menggembirakan. Mereka saling berbagi kabar soal kemajuan-kemajuan hidup pribadi masing-masing, terutama di bidang dunia kepenulisan. Belum lama Mala berhasil menyedot perhatian publik berkat liputannya yang menyentuh tentang Soesilo Toer di Blora, seorang doktor lulusan Rusia yang memilih jalan hidup sebagai pemulung, sekaligus adik kandung penulis terkemuka Indonesia, Pramoedya Ananta Toer.

Zakki, yang belakangan lebih banyak menghabiskan waktunya di Semarang dan bergabung dengan Aliansi Jurnalis Independen di kota itu, mulai sering memenangi beasiswa liputan yang diadakan oleh lembaga-lembaga bergengsi yang beberapa hasil liputannya telah dirilis oleh sejumlah media online besar berbasis di Jakarta. Belum lagi Islakh, mahasiswa psikologi Universitas Muria Kudus, yang akhir-akhir ini, di tengah-tengah kesibukannya menyelesaikan skripsinya tentang peristiwa 1965, berhasil mencatatkan namanya sebagai mahasiswa berprestasi berkat keikutsertaannya di berbagai forum ilmiah bergengsi di berbagai kota besar di Indonesia.

Selain Mala, yang menyelesaikan pendidikan tingginya di Univeristas Diponegoro Semarang, dan sekarang bekerja sebagai redaktur di harian Radar Kudus Jawa Pos, semua yang hadir di pertemuan ini merupakan produk dari lembaga-lembaga pendidikan tinggi lokal: IAIN Kudus dan UMK. Tidak bermaksud melebih-lebihkan, atau memandang remeh yang lainnya, apa yang mereka capai sejauh ini boleh dibilang mengejutkan dan membesarkan hati, lebih-lebih di tengah kultur literasi kota Kudus yang masih jauh untuk disebut berkembang.

Jujur saja, berkat kehadiran orang-orang muda seperti mereka, saya merasa kembali dibuat jatuh hati pada kota kelahiran saya ini, setelah kurang lebih dua puluh tahun lamanya saya tinggalkan dan abaikan. Lagi-lagi, tidak bermaksud membuat glorifikasi, saya berkeyakinan bahwa masa depan literasi kota Kudus di tahun-tahun mendatang akan banyak ditentukan, atau paling tidak diwarnai, oleh orang-orang muda ini.

“Begini, mas. Bagaimana kalau kita menerbitkan sebuah buku tentang Kudus? Beberapa dari kami sudah memiliki tulisan jadi, sementara yang lain sepertinya siap untuk membuat tulisan susulan,” ujar Ayu.

Tanpa terasa, hampir satu jam obrolan kami berlangsung. Hal yang paling mengesankan saya dari obrolan sore itu adalah semakin berkembangnya daya jelajah mereka dalam memilih bacaan-bacaan bagus dan menarik, juga cara mereka membuat apresiasi tentangnya. Saya melihat kegemaran mereka terhadap buku bukan sekadar ekspresi dari gaya hidup orang muda terpelajar masa kini yang hendak mendefinisikan diri, gejala yang mudah kita jumpai di banyak kota besar di Indonesia, bahwa buku sudah mulai ditempatkan bukan dalam fungsi tradisionalnya sebagai jendela pengetahuan belaka, namun sudah beranjak menjadi penanda kelas dan identitas.

Justru sering kali, di kota-kota kecil yang akses terhadap bacaan tidak semelimpah di kota-kota besar, kita akan menjumpai orang-orang yang cara mereka memperlakukan sebuah buku akan terlihat lebih tulus dan jujur. Mereka menyadari keterbatasan akses untuk mendapatkannya, dan begitu mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan, mereka menanggapinya dengan penuh gairah dan menempatkannya layaknya sebuah kitab suci.

Di tengah-tengah obrolan tentang buku yang membuat anak-anak muda ini nyaris tidak pernah bosan, sesekali kami saling melempar ejekan tentang kekonyolan-kekonyolan hidup masing-masing yang, bahkan jika diketahui seluruh penduduk bumi sekali pun, kami sama sekali tidak akan menganggapnya sebagai aib. Bukan dalam rangka merundung, bukan pula untuk meninggikan diri, namun semata sebagai cara kami memulihkan kehangatan dan keakraban yang belakangan semakin langka kami dapati. Secangkir kopi robusta Muria di depan saya tandas, menyisakan kerak hitam yang hampir mengering di dasar cangkir.

Kami memutuskan menghentikan obrolan ketika azan maghrib berkumandang dan bersepakat untuk melanjutkannya setelah menunaikan sembahyang maghrib. Saat kami beranjak dari tempat duduk, Imam memberitahu penjaga kedai bahwa kami akan kembali lagi setelah selesai sembahyang.

“Jangan pada pulang dulu ya, masih ada hal penting yang perlu kita bicarakan setelah shalat maghrib,” seru Ayu mengingatkan teman-temannya.

~~

SEBENARNYA apa yang hendak kita bicarakan, tampaknya serius banget?,” saya mencoba membuka percakapan setelah kami berkumpul kembali di meja yang sama.

Ayu dan Mala saling melempar pandangan, sementara yang lain terdiam dan seolah-olah sedang menunggu ada di antara yang hadir di situ mulai membuka pembicaraan. Zakki mengalihkan perhatian ke ponselnya yang sejak dia duduk tampak menyala berkali-kali. Islakh tampak senyum-senyum, sepertinya hendak menyampaikan sesuatu, namun beberapa saat saya menunggu tak kunjung keluar dari mulutnya pernyataan apa pun.

“Sudah sampaikan saja, Parist Penerbit siap kok menerbitkannya,” ujar Mail, jebolan Lembaga Pers Mahasiswa Paradigma, IAIN Kudus, yang juga pengelola sebuah rumah penerbitan kecil di Kudus, sambil tertawa kecil memecah kebuntuan.

“Begini, mas. Bagaimana kalau kita menerbitkan sebuah buku tentang Kudus? Beberapa dari kami sudah memiliki tulisan jadi, sementara yang lain sepertinya siap untuk membuat tulisan susulan,” ujar Ayu.

Ayu menyebutkan bahwa dia sendiri, Mala, Zakki, dan Imam masing-masing sudah memiliki satu tulisan yang siap disunting. Ayu meminta saya untuk menyunting tulisan-tulisan mereka sekaligus memberikan semacam kata pengantar supaya kelak ketika semua tulisan mereka sudah terkumpul dan siap diterbitkan, memiliki kerangka perspektif yang jelas.

Dalam hati saya sangat gembira menyambut rencana ini, meski saya masih merasa perlu menahan diri untuk menunjukkannya di hadapan mereka. Lagian saya sendiri juga belum memiliki gambaran jelas bentuk tulisan seperti apa yang sudah mereka buat dan sebagiannya lagi yang bakal mereka susulkan. Namun sepertinya saya memang harus menunda memberikan tanggapan sebelum mereka menyampaikan rencana mereka secara jelas terlebih dulu.

Yen kuat dilakoni, yen ora kuat ditinggal ngopi. Ungkapan yang saya plesetkan dari lirik lagunya Via Vallen ini kira-kira menggambarkan kondisi pikiran saya waktu itu: mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa projek ini akan berhasil tanpa merasa perlu terbebani, meski harus menerjang wilayah yang belum sepenuhnya kami kenali.

Setelah selesai dengan ponselnya, Zakki segera menceburkan diri dalam obrolan yang makin seru itu. Dia memulainya dengan menyebut sebuah buku yang belum lama dia selesai baca. Belum banyak menjelaskan buku apa yang dia maksud, dia sudah berkali-kali bilang kalau buku itu sangat bagus dan membuatnya terkesan.

“Aku tahu, mas Zakki. Narasi toh? Yang diterbitkan Pindai Yogya itu toh?,” Ayu menyambar tanpa aba-aba.

Mala, Imam, Islakh, juga tak mau ketinggalan membuat kesaksian tentang betapa bagusnya buku yang Zakki maksud. Sepertinya mereka sudah membaca buku itu, atau kalau belum menuntaskannya, paling tidak mereka sudah memegang dan mengenali tulisan-tulisan di dalamnya. Saya pura-pura tidak tahu menahu perihal buku yang sanggup membikin anak-anak muda ini terbius, meski di antara kami mungkin saya lah orang pertama yang memegang buku ini. Saya membelinya di Yogya tidak lama setelah buku ini diterbitkan.

Zakki menyebut sejumlah nama beken dalam buku itu. Yang lain pun segera menimpali. Di antara sederet penulis yang menjadi kontributornya, ada nama yang mereka sebut berulang-ulang karena tulisannya mereka anggap menonjol. Dia adalah Rusdi Mathari, atau Cak Rusdi, yang sekarang sudah meninggalkan kita semua dan damai di kehidupan barunya. Mari kita doakan beliau, semoga amal baik beliau semasa hidup diterima dan kuburnya dilapangkan oleh Yang Maha Kuasa. Alfatehah…

Sampai di situ saya kira-kira sudah dapat membayangkan tulisan seperti apa yang hendak mereka buat. Ya, mereka tampaknya sedang terpapar sebuah genre penulisan dalam jurnalisme yang menonjolkan kedalaman dengan alur penceritaan panjang layaknya karya sastra. Tulisan semacam ini oleh publik Indonesia dikenal sebagai Jurnalisme Sastrawi atau Prosa Jurnalisme.

Meski saya belum sepenuhnya yakin, semata karena saya memang belum membaca tulisan yang mereka buat sebelumnya, mereka sanggup menghasilkan tulisan semacam itu dengan kualitas sama bagusnya dengan tulisan-tulisan dalam Narasi.  Namun saya menyadari keraguan saya ini tidak perlu saya sampaikan saat itu juga di depan mereka. Saya khawatir hal ini justru akan mengacaukan mood mereka ketika mereka sedang di puncak semangat untuk berkarya. Di luar penilaian apa pun, hal yang patut saya tanggapi dengan rasa gembira dan kagum adalah mereka telah menentukan kiblat yang menurut saya benar—setidaknya tepat.

Dalam suasana yang sedang bagus-bagusnya itu, Zakki melanjutkan penjelasannya. Berbekal pengetahuan yang dia peroleh dari berbagai pelatihan jurnalisme yang dia ikuti, umumnya di Jakarta, dia menjelaskan dengan cukup detil perihal bentuk tulisan yang sedang kami diskusikan. Dia menyertai penjelasannya dengan menyebut sosok-sosok penting yang telah berjasa mempopulerkan genre ini di Indonesia, sebut saja Andreas Harsono, Linda Christanty, Bondan Winarno, Rusdi Mathari, Fahri Salam, dan lain-lain. Selain paling senior di antara kawan-kawannya yang hadir di situ, Zakki adalah orang yang menurut saya memiliki pengetahuan paling luas seputar jurnalisme sastrawi atau prosa naratif.

Pembicaraan kami sudah mulai mengerucut. Entah seperti apa nanti hasilnya, kami menyepakati bahwa projek penulisan yang sedang kami rancang ini berkiblat pada bentuk prosa naratif. Mereka yang sebelumnya menyebutkan sudah memiliki tulisan jadi akhirnya menunda untuk menyerahkannya ke saya setelah diskusi kami berujuang pada disepakatinya standar-standar penulisan. Mereka merasa perlu untuk memperbaikinya. Saya pikir memang akan lebih baik jika projek ini dimulai dari start yang paling awal guna mencapai hasil yang lebih maksimal.

Tahap selanjutnya kami membahas tentang tema apa yang akan mereka tulis. Soal ini kami menyepakatinya diserahkan kepada masing-masing penulisnya. Sebagian sudah memiliki bayangan, sementara sebagian yang lain masih mencari-cari. Saya mengusulkan untuk menulis sesuatu yang memang sudah diketahui dan dikenali dengan cukup baik sebelumnya. Selain setiap penulis akan memiliki gambaran awal tentang topik yang akan dia tulis, saya juga menandaskan bahwa tulisan yang baik adalah tulisan yang akhirnya berhasil ditulis. Sebagus apa pun ide kita, akan percuma saja selagi ia masih merupakan wilayah yang sama sekali tidak dapat kita jangkau.

Menimbang bahwa ini adalah ide yang bagus, saya dengan senang hati menerima tawaran mereka untuk memimpin projek ini dan menyediakan diri sebagai editornya. Diam-diam, saya memang sudah menunggu momen seperti ini sejak lama. Bukan apa-apa, pengetahuan saya tentang kota saya sendiri memang masih sangat minim, dan saya ingin tahu lebih dalam lewat tulisan-tulisan mereka. Selain itu pula, Kudus sebagai sebuah kota di pesisir pantai utara Jawa dengan sejarahnya yang panjang dan perannya yang sangat menentukan dalam Islamisasi di Jawa, sejauh ini memang belum banyak dikaji dan ditulis. Dan menurut saya, pilihan pada bentuk prosa naratif merupakan pilihan yang tepat. Selain kita akan tetap mendapatkan kedalaman informasi, tulisan jenis ini juga dapat dikonsumsi oleh publik secara luas.

Satu hal yang juga saya sampaikan kepada mereka adalah bahwa saya sendiri sebenarnya bukan orang yang terlatih dalam tradisi penulisan semacam ini. Kesediaan saya menerima tawaran mereka semata sebagai sikap seorang pemula yang tertarik dengan hal baru untuk dipelajari. Bekal yang saya miliki untuk mengawal projek ini tidak banyak. Inilah yang membuat saya tidak berpikir muluk-muluk dengan membayangkan projek ini kelak akan berdampak ini dan itu.

Yen kuat dilakoni, yen ora kuat ditinggal ngopi. Ungkapan yang saya plesetkan dari lirik lagunya Via Vallen ini kira-kira menggambarkan kondisi pikiran saya waktu itu: mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa projek ini akan berhasil tanpa merasa perlu terbebani, meski harus menerjang wilayah yang belum sepenuhnya kami kenali.

Pukul 21.00 kami berpisah dengan membawa kesepakatan dalam suasana hati terbaik, seolah-olah kami sedang mengawal sebuah misi “kenabian”.

Tanpa kami sadari, diam-diam kami justru sedang membiarkan hantu masuk ke kepala kami, dan memberinya ruang untuk terus bergentayangan menebar terornya di benak setiap orang yang terlibat—di bulan-bulan berikutnya yang panjang dan menegangkan.

~~

MESKI tradisi kepenulisan saya tidak tumbuh dari rahim jurnalisme, namun saya cukup menyadari bahwa saya akan rugi besar jika mengabaikan perkembangannya sama sekali. Untuk tujuan apa?

Saya bukan seorang pembaca sastra yang baik. Dan, jika alasan saya membacanya saya sampaikan kepada mereka yang bergulat di situ, mungkin mereka akan geram dan bahkan mengecam. Saya melakukannya semata dalam rangka kesenangan pribadi, sebagai katarsis, meski acapkali setelahnya saya justru mendapatkan masalah baru. Tapi untungnya ini lebih jarang terjadi. Hanya dari karya-karya yang menurut saya bagus saja saya tersandung masalah-masalah baru.

Melalui sastra, saya sering menjumpai dunia yang rumit ini terpadatkan dalam struktur yang dapat saya pahami: Ada persoalan yang diangkat, babak, konflik, progresi dan transformasi, karakter yang ditonjolkan, juga emosi yang dikuak. Tugas ini seringkali tidak berhasil dilakukan dengan baik oleh disiplin yang saya tekuni, ilmu sosial. Persis di titik ini sastra mampu mengisi kekosongan pemaknaan atas dunia.

Minat saya terhadap struktur dan cerita membuat saya lebih menyukai prosa ketimbang puisi. Oleh karenanya, jangan sekali-kali menanyakan puisi siapa atau seperti apa yang menurut saya bagus. Bagi saya semua puisi sama sulitnya untuk dipahami. Bahkan, ketika sedang dalam emosi-emosi ekstrem sekali pun, entah yang menyenangkan atau menyedihkan, yang oleh banyak teman dianggap sebagai momen terbaik untuk berpuisi, dimensi puitik dalam jiwa saya tetap saja tumpul. Benar, saya sungguh payah soal ini.

Hal yang sama juga berlaku untuk karya-karya jurnalisme. Saya lebih menyukai hasil-hasil liputan yang mendalam, yang menghadirkan persoalan dalam bentuk kisah, meski lagi-lagi tidak banyak yang sudah saya baca. Dari yang sedikit itu, saya sangat terkesan dengan tulisan Andreas Harsono, Hoakiao dari Jember, yang menurut saya adalah tulisan terbaik dalam buku antologi yang disinggung di atas.

Melalui tokoh Ong Tjie Liang, yang kemudian kita ketahui adalah dirinya sendiri, Harsono berhasil mengangkat kegetiran hidup etnik Tionghoa di Jawa, juga di Indonesia secara umum, lewat teknik penceritaan berlapis tanpa kehilangan karakter arsitektoniknya, kekhasan yang juga dapat kita jumpai dalam tulisan-tulisannya yang lain.

Namun, nyaris tidak ada yang sanggup menandingi kekaguman saya terhadap karya naratif yang satu ini, Zaman Edan: Indonesia di Ambang Kekacauan, sebuah laporan yang disusun dari invesitigasi yang dikerjakan jurnalis asal Inggris, Richrad Lloyd Parry, selama tiga tahun berturut-turut pada 1996-1999 di daerah-daerah paling membara di Indonesia yang menandai kejatuhan rezim Orde Baru.

Jika cuma saya yang bersaksi, mungkin Anda tidak akan percaya perihal betapa bermutunya karya yang dalam edisi aslinya berjudul In the Time of Madness: Indonesia on the Edge of Chaos (2005) ini. Baiklah, saya merasa perlu kutipkan di sini kesaksian yang disampaikan sendiri oleh Farid Gaban—salah seorang jurnalis senior yang reputasinya dalam dunia jurnalisme Indonesia nyaris tidak ada yang meragukan—tentang buku itu.

“Jurnalisme sastrawi dalam praktik dan contoh nyata. Liputan Richrad Lloyd Parry tentang konflik Dayak-Madura di Kalimantan, kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, serta referendum berdarah di Timor Leste disajikan dalam sebuah dongeng mirip novel. Dan, inilah novel horor yang membuat film-film Alfred Hitchcock terasa hambar, sekaligus membuat kita akan bertanya: inikah wajah Indonesia sebenarnya?”

Jika masih belum percaya, saya kutipkan satu lagi. Tak tanggung-tanggung, kali ini pujian disampaikan oleh Literary Review, majalah kritik karya paling disegani di Inggris, bahkan juga di dunia, yang berbasis di London. Demikian bunyinya:

“Richrad Lloyd Parry selalu menyuguhkan kisah-kisah dahsyat. Dia menulis dengan kepekaan dan kepiawaiaan, mengais fragmen-fragmen cerita dari sana-sini lalu menyusunnya sehingga pembaca mendapatkan gambaran nyata tentang sebuah bangsa yang sedang meluncur ke titik terendahnya… Richrad Lloyd Parry adalah wartawan pemberani dan tak kenal lelah yang masuk ke dalam borok kejahatan manusia serta kembali dengan sebuah kisah yang terlalu mengerikan untuk dipercaya… Reportase yang indah dan berani.”

Belum percaya juga?

Alangkah sialnya saya!

Tiba-tiba pikiran saya terpelanting pada teman-teman muda saya yang sedang mengerjakan liputan naratif tentang kota mereka itu. Andai saja mereka membaca buku ini sebelum mereka menyusun laporan mereka, mungkin bekal yang mereka miliki untuk membangun plot dan mengembangkan karakter menjadi lebih kaya. “Tapi sudahlah. Projek itu sudah hampir selesai. Lagian, masih ada kesempatan-kesempatan berikutnya, bukan?,” batin saya.

Tidak bermaksud melebih-lebihkan, atau memandang remeh yang lainnya, apa yang mereka capai sejauh ini boleh dibilang mengejutkan dan membesarkan hati, lebih-lebih di tengah kultur literasi kota Kudus yang masih jauh untuk disebut berkembang.

Harapan saya yang berkembang kelewat jauh itu sontak saya rasakan sebagai sebuah kecongkakan. Bagaimana mungkin saya menuntut mereka melakukan sesuatu yang bahkan teman-teman mereka di daerah-daerah lain yang iklim literasinya lebih sehat belum tentu sanggup melakukannya? Bukankah itu sama juga saya mematok standar yang seharusnya dipenuhi oleh mereka yang sudah terlatih untuk orang-orang muda yang masih belajar itu? Bahkan, bukankah media-media besar tanah air yang telah memiliki sumberdaya mapan sekali pun nyaris tidak peduli dengan produksi karya-karya jurnalistik semacam itu?

Sungguh saya merasa bersalah kepada mereka. Mestinya saya fokus saja pada semangat mereka ketimbang mengeluhkan keterbatasan-keterbatasan yang sebenarnya juga terjadi di mana saja, dan dirasakan siapa saja.

Alamak… betapa bengisnya tuntutan itu jika saya bandingkan dengan kerepotan mereka ketika harus turun ke lapangan untuk menggali informasi dengan ongkos yang dirogoh dari kantung mereka sendiri yang saya ketahui tidak dalam itu. Dibuat sadar oleh kondisi yang sebenarnya, saya merasa seperti ditampar oleh kenyataan yang jika tidak dipahami secara terbalik, seterusnya akan menunjukkan siapa diri saya sesungguhnya: seorang penggerutu yang ke mana-mana membanggakan kekerdilannya.

Belum sepenuhnya siap menerima kenyataan bahwa saya ternyata seburuk itu, pikiran saya tiba-tiba dihantam oleh ucapan Samuel Butler, penyair Inggris abad ke-15, yang entah bagaimana datangnya, merangsek begitu saja ke dalam kesadaran saya.

“The truest characters of ignorance are vanity and pride and arrogance.” [Wujud asli kedunguan ada dalam sifat sombong, besar kepala dan congkak].

~~

PADA pertengahan 2010 saya membaca dua karya liputan Andreas Harsono bertajuk Panasnya Pontianak, Panasnya Politik dan Ahmadiyah, Rechtstaat dan Hak Asasi Manusia, yang diunggah di blog pribadinya, yang versi lebih pendeknya kalau tidak salah diterbitkan oleh mingguan Gatra, ketika sedang meriset tema seputar politik identitas. Kedua tulisan ini memberi saya gambaran nyata tentang bagaimana ketegangan-ketegangan sosial berbasis identitas bekerja di lapangan, bukan lagi sekadar sebagai konstruksi pengetahuan seperti yang saya dapat dari membaca buku-buku teoretik.

Untuk keperluan tulisan ini, saya membaca kedua tulisan itu lagi. Jika pembacaan saya terdahulu berfokus pada kandungannya, sekarang saya lebih berorientasi pada bentuk dan strukturnya.

Meski banyak mengadopsi teknik-teknik yang digunakan dalam karya sastra, terutama cerpen dan novel, prosa naratif tetap saja sebuah karya jurnalisme. Bentuknya yang eksploratif tidak kemudian membuatnya menarik diri dari fakta. Ia tetap berpatokan pada prinsip baku jurnalisme 5W 1H.

Andreas Harsono, dalam pengantarnya untuk buku Jurnalisme Sastrawi (2008) menyebutkan bahwa dalam prosa naratif “who” berubah menjadi karakter, “what” menjadi plot atau alur, “where” menjadi setting, “when” menjadi kronologi, “why” menjadi motivasi, dan “how” menjadi narasi.

Jan Whitt dalam Women in American Journalism: A New History (2008) memberikan sebuah definisi menarik tentang apa itu jurnalisme sastrawi:

“Literary journalism is not fiction—the people are real and the events occurred—nor is it journalism in a traditional sense. There is interpretation, a personal point of view, and (often) experimentation with structure and chronology. Another essential element of literary journalism is its focus. Rather than emphasizing institutions, literary journalism explores the lives of those who are affected by those institution.”

[Jurnalisme sastrawi bukanlah karya fiksi—ada orang-orang yang benar-benar hadir dan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Ia juga bukan jurnalisme dalam pengertian tradisional. Di dalamnya melibatkan penafsiran dari sudut pandang pribadi, dan terdapat eksperimentasi dengan struktur dan kronologi. Ciri mendasar lain dari jurnalisme sastrawi adalah terletak pada titik tekannya. Ketimbang memberi perhatian pada institusi-institusi, jurnalisme sastrawi justru menggali kehidupan orang-orang biasa yang dipengaruhi oleh institusi-institusi tersebut].

Prosa jurnalisme atau jurnalisme sastrawi atau jurnalisme eksploratif atau jurnalisme naratif, dan masih ada beberapa sebutan lainnya, pertama kali berkembang di Amerika pada 1960-an sebagai gerakan jurnalisme baru (new journalism) dengan Tom Wolfe sebagai pencetusnya. Namun demikian, bukan berarti tulisan-tulisan dengan karakter sejenis belum pernah dibuat sebelumnya.

Di kalangan jurnalis naratif sendiri, ada beberapa karya yang terbit sebelum tahun 1960-an yang sering mereka sebut sudah membawa ciri-ciri jurnalisme baru ini, seperti Hiroshima (1946) oleh John Hersey, A Hanging (1931) oleh George Orwell, The San Francisco Earthquake (1906) oleh Jack London, atau yang lebih awal lagi seperti The Watercress (1892) oleh Henry Mayhew.

Lalu ciri apa saja yang dapat dikenali dari jurnalisme sastrawi sehingga ia berbeda dengan jurnalisme tradisional? Norman Sims dalam True Stories: A Century of Literary Journalism (2008) menyebutkan:

“Among the shared characteristics of literary journalism are immersion reporting, complicated structures, character development, symbolism, voice, a focus on ordinary people—if for no other reason than that celebrities rarely provide the necessary access—and accuracy.”

[Di antara ciri umum dari jurnalisme sastrawi adalah liputan mendalam, struktur yang rumit, perkembangan karakter, simbolisme, suara, penekanan pada kehidupan orang biasa—semata karena alasan bahwa para pesohor jarang memberikan kecukupan akses—dan akurasi].

Sekarang saya mafhum, mengapa kawan-kawan muda saya itu dalam perjalanan menyelesaikan laporan mereka menjumpai banyak kendala. Menghasilkan tulisan dengan ciri-ciri di atas ternyata memang bukan perkara gampang, bahkan mungkin bagi mereka yang sudah terlatih sekali pun.

Sepertinya—meminjam perspektif ilmu neurologi—dibutuhkan kemampuan memaksimalkan serta menyeimbangkan cara kerja otak kanan dan kiri sekaligus untuk melakukannya. Dengan kata lain, penulisnya perlu menguasai kemampuan berpikir logis dalam berbagai bentuknya—memilih, memilah, menyusun, menganalisis, dan lain-lain—juga berpikir kreatif layakanya seorang seniman mengelola ide-idenya.

Ya, jurnalisme sastrawi adalah tulisan yang mengombinasikan teknik-teknik yang khas dipakai dalam penulisan sastra, seperti membangun dialog, karakter, emosi, alur, setting, konflik, dan lain-lain. Dan, di saat bersamaan ia juga tetap harus berpedoman pada keakuratan empiris dan koherensi logis. Bayangkan, Anda dipaksa untuk mengadopsi dua orientasi kepribadian yang tampak saling bertolak belakang ke dalam diri Anda—sikap dingin seorang ilmuwan dan kreativitas serta spontanitas seorang seniman.

Berat?

Rasanya kok begitu.

~~

FASE paling kritis dan mendebarkan dari proses ini akhirnya tiba juga: menunggu mereka mengirimkan tulisan lalu memberi kesempatan kepada saya untuk menyuntingnya.

Sejak pertemuan pertama pada Mei 2017 lalu, kami sudah membuat kesepakatan bahwa total waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan projek ini adalah enam bulan. Tiga bulan untuk proses liputan dan penulisan, dua bulan untuk penyuntingan dan perbaikan, dan satu bulan terakhir untuk persiapan penerbitan menjadi sebuah buku. Untuk mengawal rencana ini, Ayu berinisiatif membuat group WA sebagai media komunikasi di mana dia sendiri bertindak sebagai adminnya.

Untuk jumlah minimal tulisan yang akan dihasilkan kami menyepakatinya di angka sepuluh, ditambah satu pengantar dari saya, jumlah yang menurut kami sudah cukup untuk dikumpulkan menjadi sebuah karya antologi. Mengingat jumlah orang yang terlibat tidak lebih dari sepuluh, kami membuka kemungkinan kepada setiap penulis untuk membuat tulisan lebih dari satu.

Bila mengacu pada jadwal yang sudah dibuat, mestinya di bulan Agustus 2017 semua tulisan sudah terkumpul di tangan saya. Namun apa mau dikata, hingga minggu pertama September 2017, baru tulisannya Zakki yang saya terima, dan sebulan kemudian disusul oleh tulisan Ayu. Berhubung tidak ada sesuatu yang mengharuskan kami untuk segera menyelesaikan projek ini, ditambah berbagai kendala teknis yang dihadapi masing-masing penulis, kami pun memperbarui kesepakatan dengan memperpanjang tenggat hingga lima bulan ke depan sejak Oktober 2017. Ya, membuat tulisan panjang bergaya naratif memang sekali lagi tidak mudah. Bahkan para jurnalis yang sudah terlatih sekali pun butuh waktu hingga berbulan-bulan untuk menyelesaikan satu tulisan panjang mereka, pikir saya.

Dengan tulisan Zakki dan Ayu sudah di tangan, setidaknya saya memiliki gambaran tentang bentuk tulisan yang sudah dihasilkan. Lagian dengan dikirim secara bertahap pekerjaan saya akan menjadi lebih ringan. Saya memiliki cukup waktu untuk menyunting tulisan mereka dan memberikan catatan-catatan perbaikan sejauh itu diperlukan, tentu dengan wawasan saya yang amat terbatas dalam menangani tulisan semacam ini. Tidak menjadi soal, namanya juga masih di tahap belajar, asalkan dilakukan dengan sungguh-sungguh pasti ada faedahnya.

Gambar: Para Penulis Buku ” Yang Asing di Kampung Sendiri”

Satu minggu sebelum perpanjangan waktu pertama habis, baru satu tulisan dari Mala yang disusulkan. Saya mulai panik. Bayang-bayang bahwa proses ini akan berujung anti-klimaks mulai mengganggu pikiran saya.

Lewat group WA yang sudah kami buat, saya mencoba mengintensifkan komunikasi. Saya mulai mengajak mereka mengenali satu per satu masalah yang mereka hadapi. Ada yang kooperatif dan aktif menyampaikan permasalahannya, ada pula yang hanya diam sejuta bahasa. Saya berusaha memakluminya, watak orang memang beda-beda. Mungkin ada tipe orang yang memang lebih nyaman jika harus memerinci permasalahan mereka lewat percakapan langsung tanpa perlu diketahui oleh orang lain. Ya, ini adalah kemungkinan yang tidak dapat saya abaikan.

“Apa perlu saya menerapkan metode Sokratik untuk memancing mereka agar terbuka dengan semua kendala yang mereka hadapi? Haruskah saya membantu mereka mendayagunakan seluruh potensi mereka guna memecahkan kebuntuan ini? Haruskah saya menghadirkan seorang teman yang sudah dianggap maestro dalam penulisan naratif untuk memberikan pencerahan kepada mereka?”

Nah, sifat takabur saya mulai muncul lagi. Sial, mengapa pula saya harus mengetahuinya secepat ini?

Melalui tulisan Yang Asing di Kampung Sendiri, kami akan membawa pembaca pada sebuah desa tua di Kudus yang sedang mencoba mematut-matutkan diri menjadi sebuah desa wisata yang salah satu strateginya adalah dengan mengangkat kembali khazanah tradisi peninggalan leluhur mereka.

Dugaan saya bahwa membuat tulisan panjang dengan sekian tuntutan teknis adalah jenis pekerjaan berat makin terbukti. Saya menjumpai dalam diri mereka sebuah gambaran yang kaffah—tentang persoalan-persoalan mendasar yang tampaknya juga dialami oleh semua orang yang mulai menceburkan diri dalam peradaban tulis-menulis—sejak eranya Plato hingga Tere Liye—sejak zamannya Cleopatra hingga Nella Kharisma.

Saya mulai sadar bahwa pemberlakuan tenggat justru akan membuat mereka makin tertekan. Saya pun berpikir bahwa projek ini sebaiknya memang digulirkan tanpa perlu mematok batas waktu. Biarkan ia menyelesaikan dirinya sendiri, entah kapan itu, persis seperti cara dunia menjemput kiamat.

Lalu bagaimana dengan nasib tiga tulisan yang sudah melewati proses penyuntingan itu? Betapa kecewa penulisnya jika proses ini akhirnya harus dihentikan sementara mereka sudah bersusah payah membuatnya dengan pedoman teknikal yang njlimet itu? Ini sungguh dilematis. Dalam situasi demikian saya tidak mampu lagi berpura-pura sabar dan bijak.

Kepada ketiga pengirim pertama tulisan itu saya mencoba mengajukan pilihan: dilanjutkan dengan tetap mematok tenggat, dilanjutkan tanpa tenggat meski dengan resiko akan menghadapi ketidakpastian, atau dihentikan saja dan saya akan berusaha mencarikan nasib yang layak untuk tiga tulisan yang sudah dibuat itu.

Sungguh, saya ketiban sial untuk ke sekian. Kondisi yang saya rasakan genting ini, kekecewaan yang sudah terlanjur saya borong di awal ini, kesia-siaan yang saya kutuk setiap kali terjaga ini, ternyata oleh Mala dan Ayu ditanggapi enteng belaka. Di sini kekecewaan saya tiba-tiba segera beralih kepada mereka berdua. Bagaimana mungkin mereka mengabaikan kepedulian saya yang sedang mekar-mekarnya ini—semata untuk mengangkat wibawa dunia literasi kota Kudus ke puncak tertinggi yang hanya akan terjadi sekali saja dalam sejarahnya?

“Mau gimana lagi, mas. Demikian lah situasinya. Toh kita hanya bisa berusaha. Selebihnya, mana tahu kita?,” ucap Ayu dengan datarnya, menunjukkan bahwa dia tidak mau tahu dengan keresahan saya.

“Aku yang sudah berkali-kali merasakan pengalaman sepertimu saja tidak kecewa kok mas. …Ada sih, tapi sedikit saja,” susul Mala, dan kali ini benar-benar berhasil membikin saya malu.

Nah, masih ada Zakki. Bagaimana dengan dia?

“Yo gapopo mas… Lagian tulisan yang kukirim kemarin hanya pengembangan dari tulisan yang sebelumnya sudah pernah dimuat di media lain kok,” ujar Zakki dengan entengnya. Sesama laki-laki memang mustahil bisa saling mengerti!

“Kalian bersekongkol ingin mempermalukanku? Berani-beraninya kalian ini?!”

Tenang, saya mengucapkannya hanya dalam batin.

~~

TERNYATA, kami masih diberi kesempatan untuk melanjutkan perjalanan. Kali ini, meski sudah memasuki minggu kedua Januari 2018 dan belum ada tulisan baru yang disusulkan, perasaan dan pikiran saya terasa lebih ringan dan lapang. Ingin sekali saya ucapkan terima kasih kepada Ayu, Mala dan Zakki. Namun, setelah saya pikir-pikir buat apa juga? Lagian, apa mereka pantas menerimanya? Toh mereka sudah membuat saya kehilangan muka, dan celakanya di depan diri saya sendiri.

Diam-diam, saya menikmati tulisan mereka. Saya tidak ingin terburu-buru merampungkannya, mumpung juga belum ada tulisan baru yang masuk. Alur ceritanya saya cerna dan rasakan pelan-pelan. Adegan-adegannya saya kenang. Dan… cukup! Pujiannya tidak perlu banyak-banyak.

Rasa kesal saya kepada mereka tiba-tiba berubah menjadi benih-benih harapan, dan ini yang selalu menjadi masalah besar bagi saya. Soalnya, saya selalu menuntut lebih kepada orang-orang yang sudah berhasil mengambil perhatian saya. “Gawat. Mengapa saya bisa sejujur ini?,” batin saya. Saya benar-benar tidak suka. Bukan apa-apa, kalau mereka tahu, bisa besar kepala mereka.

Dalam Melacak Jejak Penemu Kretek, Zakki mengajak kita mengenali sosok Djamhari, tokoh yang diduga sebagai penemu kretek, meski sampai hari ini kebenarannya juga masih simpang siur. Menyadari keterbatasannya dalam mengakses sumber-sumber primer, Zakki meminjam kisah penelusuran Edi Supratno, sejawaran Kudus yang bertahun-tahun meneliti Djamhari, sebagai material ceritanya. Meski begitu, dia cukup berhasil mengangkat sosok Djamhari hingga orang akan mempertimbangkannya sebagai tokoh yang memang benar-benar pernah hidup di Kudus. Maklum saja, kisah hidupnya selama ini lebih banyak diselubungi oleh mitos-mitos. Dia sepertinya tahu kapan harus memperkaya narasinya dengan menyisipkan bacaan-bacaan relevan yang dia gali sendiri. Saya kira Zakki telah mengambil perannya secara proporsional.

Gusjigang merupakan akronim dari gus, ngaji dan dagang, yang secara umum merupakan gambaran ideal dari kepribadian santri Kudus yang dalam diri mereka sekaligus terdapat kualitas-kualitas seperti keluhuran budi pekerti, ketaatan menjalankan ajaran agama dan kemahiran dalam berdagang.

Melalui tulisan Yang Asing di Kampung Sendiri, Mala membawa kita pada sebuah desa tua di Kudus yang sedang mencoba mematut-matutkan diri menjadi sebuah desa wisata yang salah satu strateginya adalah dengan mengangkat kembali khazanah tradisi peninggalan leluhur mereka. Mula-mula dia mengajak kita mengenali sebuah tradisi yang sudah dijalankan secara turun-temurun selama ratusan tahun yang tidak mungkin akan kita temukan di desa-desa lain di seantero Kudus, yaitu ritual nganten mubeng dari Desa Loram Kulon. Tinjauan kesejarahannya membangkitkan romantisme, membuat pembacanya tergoda untuk membayangkan tahun-tahun awal ketika Islam baru masuk di kota ini. Keutamaan-keutamaan dan tabu-tabu di balik tradisi dia sebutkan satu per satu, dengan harapan mungkin dapat dijadikan sebagai bahan renungan. Namun, dia ujung kisah dia menutupnya dengan nada getir:

“…tak banyak tulisan yang mengabadikan cerita-cerita rakyat di daerah ini. Warga desa yang memiliki kesadaran untuk menggali potensi-potensi desanya juga belum banyak, untuk tidak mengatakannya tidak ada sama sekali. Mereka hanya berlomba-lomba melaksanakan tradisi, sementara banyak situs warisan budaya tidak tertedeksi atau bahkan hilang.”

Mereka yang menghasrati sejarah sebagai pemuas romantisme belaka akan kembali dihantam kegetiran berikutnya. Kali ini lewat Tidak Lebih Dari Sekadar Lembaran Rupiah, karya reportase Ayu yang berkisah tentang sebuah stasiun kereta yang—bukannya dilindungi dan dijadikan sebagai ikon yang merekam perkembangan sebuah kota dari masa ke masa—justru terancam mengalami alih fungsi bahkan hilang untuk selama-lamanya karena keputusan untuk menyewakan lahan kepada pihak swasta secara resmi sudah diterbitkan.

Bayangkan, pada 17 Agustus 2017 bangunan bersejarah itu masih digunakan sebagai lokasi upacara peringatan kemerdekaan Indonesia oleh sebuah komunitas pecinta sejarah di Kudus, dan tidak genap dua bulan kemudian, situs yang menjadi saksi Agresi militer Belanda I ini secara resmi dan terbuka dinyatakan ditutup untuk umum dengan alasan seperti yang disebutkan di atas.

Pada 11 Mei 2018 sebuah pesan masuk di email saya. Rupanya Salam dan kedua kawannya, Salim dan Ismah, mengirim sebuah tulisan yang sebenarnya sudah mereka janjikan setahun lalu. Mereka memberi judul Jenang Kudus, Tak Sekadar Dibuat dan Dijual untuk karya liputan keroyokan mereka. Dalam pengantarnya di emailnya, Salam menyebutkan bahwa tulisan ini mereka adaptasi dari tulisan yang sebelumnya sudah terbit di sebuah majalah yang dikelola oleh lembaga pers mahasiswa di Kudus. Bukan persoalan buat saya, yang penting projek penulisan ini tetap bergulir menemukan titik akhirnya.

Mereka yang menyukai dimensi romantik dari sejarah dan menjadikannya sebagai klangenan saya anjurkan untuk memulai membaca buku ini dari tulisan mereka itu. Dengan spirit menggebu-gebu khas anak muda, sepertinya mereka mengupayakan tulisan mereka dapat menjadi bagian dari usaha-usaha untuk mengangkat kembali dan melestarikan local wisdom atau potensi-potensi ekonomi berbasis tradisi di sebuah daerah agar manfaatnya dapat dirasakan seluas-luasnya oleh masyarakat. Dan upaya mereka ini saya kira cukup berhasil dengan menjadikan tradisi pembuatan jenang di Kudus sebagai sampelnya.

Spirit serupa juga akan kita temukan dalam beberapa tulisan lainnya yang baru disusulkan beberapa bulan kemudian setelah Salam dan kedua temannya mengirimkan tulisan mereka. Dalam kategori ini kita dapat menyebut di antaranya: Selayang Pandang Situs Patiayam oleh Imam, Parijoto, antara Mitos dan Fakta oleh Farid, Malam 1 Suro di Negeri Pewayangan dan Hikayat Sebuah Desa Di Dalam Desa oleh Islakh, dan Cerita di Balik Secarik Kain Keramat oleh Ayu.

Pada Juni 2018 Zakki mengirimkan kabar baik. Dia berhasil menyelesaikan tulisan keduanya yang dikembangkan dari liputannya tentang puasa Dalail Khairat di sebuah kampung santri di bagian timur kota Kudus yang sebelumnya pernah dimuat di portal berita Vice Indonesia pada 5 Juni 2008. Tulisan yang bertajuk Hikayat Puasa 1.000 Hari ini dengan apik menggambarkan eksistensi sebuah tradisi keagamaan yang sudah berusia ratusan tahun, yang kalau dirunut sanadnya akan berujung kepada Imam Ibn Sulaiman Al-Jazuli, seorang ulama besar dari Maroko yang hidup pada abad ke-15.

Lewat tulisannya ini, Zakki hendak menegaskan bahwa puasa dalail khairat merupakan potret sesungguhnya dari Islam Nusantara yang bercorak hibrid, produk dari persinggungan yang panjang antara ulama-ulama nusantara dengan guru-guru mereka dari pusat dunia Islam di Timur Tengah. Dalam praktik puasa ini, Zakki menemukan:

“…simpul jaringan ulama Nusantara dengan ulama di Timur Tengah. Agen utama persebaran dalail khairat di Nusantara adalah Syekh Mahfudz al-Termasi yang pernah menimba ilmu di Haramain (Makkah dan Madinah). Dia meninggal di Makkah pada usia 51 tahun bertepatan pada 20 Mei 1920. Adalah Muhammad Amin al-Madani selaku guru yang mengijazahkan puasa dalail khairat kepadanya. Tradisi puasa ini kemudian dia bawa ke tanah air dan menyebar ke seluruh penjuru nusantara.”

Pada pertengahan September 2018, Imam menambah daftar tulisan tentang potret keberagamaan masyarakat Kudus yang berakar pada tradisi dengan mengirim tulisan keduanya yang berjudul Etos Gusjigang, yang versi pendeknya pernah diterbitkan oleh sebuah harian terkemuka di Jawa Tengah. Gusjigang merupakan akronim dari gus, ngaji dan dagang, yang secara umum merupakan gambaran ideal dari kepribadian santri Kudus yang dalam diri mereka sekaligus terdapat kualitas-kualitas seperti keluhuran budi pekerti, ketaatan menjalankan ajaran agama dan kemahiran dalam berdagang.

Tulisan tersebut sebenarnya lebih tepat disebut esai ketimbang prosa naratif karena unsur-unsur yang harus dipenuhi dari sebuah tulisan naratif nyaris tidak kita temukan di dalamnya. Tidak menjadi soal. Bagi saya, fungsinya yang dapat memperkaya cakupan tema untuk karya antologi ini, juga nilai informasinya yang saya kira penting untuk diketahui banyak orang, menjadi dasar pertimbangan saya mengapa akhirnya memasukkan tulisan Imam itu.

Selain itu, umumnya sebuah buku yang dihimpun dari tulisan banyak orang, masing-masing penulisnya akan menjadi pihak yang paling bertanggungjawab atas tulisan yang mereka buat. Itu artinya, setiap tulisan adalah cermin dari setiap penulisnya. Justru di sinilah letak kelebihan dari karya antologi ini, keutuhannya hanya dapat dilihat dari kekhasan setiap bagian yang menyusunnya.

“Lho… kok jadi mirip semboyan negara kita, Bhineka Tunggal Ika, ya?”

Minggu terakhir September 2018, genap sepuluh tulisan di tangan saya dan sudah melewati proses penyuntingan. Rasanya sungguh melegakan. Projek sederhana ini akhirnya tunai juga. Untuk menyingkat proses, saya segera mengirim naskah ini kepada Mail untuk ditindaklanjuti ke tahap pra-cetak. Sepuluh tulisan dan satu pengantar yang sengaja saya panjang-panjangkan saya kira sudah layak untuk disulap menjadi sebuah buku.

Dan, kejutan tiba-tiba terjadi di detik-detik terakhir. Ketika kami sudah memilih Yang Asing di Kampung Sendiri: Kudus dalam Prosa Jurnalisme sebagai judul untuk karya ini, dan Mail sudah menemukan format tata letak dan desain sampul yang kami anggap paling pas, di siang hari yang gerah pada 10 November 2018, bersamaan dengan momentum peringatan Hari Pahlawan, Mala tiba-tiba mengirim sebuah pesan ke WA saya.

“Mas, mohon cek email.”

“Oke,” jawab saya pendek, sependek pesan pembuka yang dia kirim.

Begitu saya membuka email, saya temukan sebuah pesan pengantar yang agak panjang namun jauh dari kesan bertele-tele untuk sebuah tulisan yang dia lampirkan. Saya segera mengunduhnya dan tak lama kemudian membukanya.

Saya terkejut, atau mungkin lebih tepatnya girang, menyambut email itu. Di detik-detik terakhir dari proses yang menguras pikiran dan emosi saya ini, Mala membuat kejutan dengan mengirim sebuah tulisan yang panjangnya lebih dari 5.000 kata atau setara dengan 30.000 karakter lebih. Di bagian paling atas di halaman pertama tulisannya menggantung sebuah kalimat: Nasibnya Tak Seindah Kisah Damar Wulan.

~~

14 NOVEMBER 2018. Tumpukan buku tersungkur di sudut meja yang biasa saya pakai untuk mengetik. Sore itu penampakannya lusuh dan mulai berdebu. Saya membatin, mengapa buku ini cepat sekali berdebu, padahal hujan sudah mulai turun sejak sebulan terakhir di kampung saya. Rupanya, saya sendiri yang menyebabkan buku-buku ini lebih disukai debu: saya tidak menyentuh mereka selama hampir dua minggu.

Saya ambil dan bersihkan satu per satu buku-buku itu. Pelan-pelan debu yang mengotori mereka saya singkirkan. Saya merasa berasalah telah mengabaikan mereka, rasanya sama persis dengan ketika saya sudah membuat kecewa orang-orang yang saya sayangi. Mestinya saya bersama mereka sejak minggu pertama sampai menjelang minggu keempat November 2018 ini. Saya membutuhkan mereka untuk membekali saya sesuatu yang akan saya bawa pada sebuah acara di akhir bulan ini.

Saat saya selesai meletakkan buku-buku yang sudah saya bersihkan itu di bagian yang lebih dekat dengan posisi laptop saya, pikiran saya mendadak tertuju kepada mereka yang lain—siapa lagi kalau bukan teman-teman muda saya yang tulisan-tulisan mereka sebelumnya saya cabik-cabik itu. Mungkin, ini karena untuk beberapa pekan ke depan saya harus meninggalkan mereka, sementara dalam dua pekan terakhir saya hampir menghabiskan setiap malam dengan sebagian dari mereka.

Saya sedih dan kecewa dengan diri saya sendiri setiap kali mengingat hari-hari panjang itu, ketika hampir setiap saat saya menyumpahi dan memaki-maki tulisan-tulisan mereka. Memangnya, apa yang sudah saya lakukan buat mereka sehingga saya seolah-olah memiliki hak untuk memperlakukan mereka sesuka hati saya?

Kebingungan dan kecemasan benar-benar saya rasakan sore itu ketika saya teringat dengan percakapan terakhir kami dua malam sebelumnya ketika kami menyinggung perihal makna “masa depan” dan “keberhasilan” bagi orang-orang yang memilih menggeluti dunia literasi seperti mereka. Bisa-bisanya saya malam itu menertawakan pertanyaan-pertanyaan mereka, dan bahkan ketika keesokan harinya saya mengingatnya lagi, saya masih menganggapnya sebagai lelucon yang pantas untuk diolok-olok. Lagi, memang apa yang sudah saya lakukan untuk membuat hidup mereka menjadi lebih ringan dan mudah?

Tatapan mata saya kembali tertuju pada tumpukan buku di depan saya, namun pikiran saya sore itu sebenarnya sedang tertambat pada sepotong percakapan dengan Islakh di malam jahanam itu.

“Sebenarnya apa toh yang sedang kita cari, mas?”

“Apa benar, buku bisa menyelamatkan hidup orang-orang sepertiku di sebuah kota yang masyarakatnya nyaris tidak pernah menganggap buku sebagai benda berharga?”

“Aku sih sebenarnya bisa cuek, tapi bagaimana aku harus bersikap jika pertanyaan itu muncul dari mulut orangtuaku?”

Kapan kowe berhasil, le?”

Adakah sikap abai yang lebih vulgar dibanding sinisme yang berkedok keutamaan berpikir rasional di hadapan berondongan pertanyaan-pertanyaan eksistensial dari jenisnya yang paling transparan dari seorang anak muda yang sedang gundah dan begitu serius mendefinisikan diri dan masa depannya?

Jika pertanyaan-pertanyaan tersebut kembali diajukan kepada saya sekarang, malam ini, ketika saya kembali berurusan dengan tumpukan buku-buku lusuh itu, jujur saya akan menjawabnya:

“Tidak tahu.”

“Tidak tahu.”

“Dan, tidak tahu.”

 

Kudus, 15 November 2018 

**


[Tulisan ini juga dimuat di portal Kongkow: Basabasi.co; per tanggal 19 November 2018 pada kolom Celoteh, dan dipersembahkan kepada rekan-rekan penulis buku “Yang Asing di Kampung Sendiri” yaitu: Diyah Ayu Fitriyani, Imam Khanafi, Islakhul Mutaqin, Ismah Nurani, Muhammad Farid, Muhammad Nur Salim, Noor Syafaatul Udhama, Yaumis Salam, dan Zakki Amali.]