Author Archives: Irfan Afifi
Izinkan pada awal tulisan ini, saya membuat disclaimer bahwa seluruh isi tulisan pengantar ini, anggap saja sejenis sendau-gurau juga sebuah racauan. Dan oleh karena itu, para pembaca tak perlu menganggapnya terlalu serius, apalagi membatinkannya dalam sebuah permenungan yang menyendiri.
Karena hal ini berkait dengan seorang sosok dan juga terkait sebuah ajaran yang begitu luhur, wingit, serta lungid, yakni sosok bernama Ki Ageng Suryomentaram dengan ajaran “Kawruh Jiwa”-nya, dimana dari sejak dini pada saripati-inti ajaran tokoh ini sendiri, mewanti-wanti para pembacanya untuk tak menjadikannya sebagai semata ‘diskursus’: bahan permenungan, alih-alih intellectual exercise yang tanpa ujung. Ia, Ki Ageng Suryomentaram, semata menyodorkan aksioma-aksioma [baca: sebuah ajakan] sebagai pelecut yang bisa membantu seseorang untuk segera masuk mengenali dan mengawasi realitas kediriannya sendiri. Tak lebih dari itu.
Karena, jika anda telah menyambut ajakannya ini, hati-hati, bukan saja Anda akan tergetar dan terkesima menyaksikan realitas diri Anda sendiri yang begitu mengagumkan, namun Anda juga akan mengalami transformasi diri yang tanpa terkatakan [tan kena kinira ngapa], yakni sebuah perubahan diri yang tidak memiliki capaian presedennya sebelumnya. Bagi Anda yang belum siap membaca tulisan ini, awas, urat Anda bisa putus.
****
Lepas dari kaidah “Kawruh Jiwa” [baca: ajaran Ki Ageng] yang akan segera diuraikan secara melimpah dalam buku ini, saya akan menyingggung sedikit terkait pijkan dasar spiritualitas [dasar bentangan ilmu ruhani], yang sayangnya bahkan sering dibaikan oleh para pelajar Kawruh Jiwa sendiri [baca: para pengikut Ki Ageng], yakni terutama persis seperti telah dijelaskan dalam dokumen surat-surat “pra-Kawruh Jiwanya” Ki Ageng yang berjudul “Buku Langgar 1920-1928” [belum diterbitkan].
Dengan menyinggung ulang dokumen awal tulisan Ki Ageng Suryomentaram ini, bukan saja kita bisa memblejeti dasar-pijakan spiritual macam apa yang membuat Ki Ageng bisa merumuskan Kawruh Jiwa-nya, melainkan juga kita bisa merunut cadangan kultural macam apa yang memungkinkan sosok agung ini muncul dan hadir, sekaligus bagaimana prasyarat cadangan-cadangan tersebut memungkinkan ajaran Kawruh Jiwa-nya bisa melampaui kelemahan ajaran spiritual-ruhani sebelumnya, serta pada saat bersamaan, juga sekaligus bisa menemukan signifikansi orisionalitas gagasannya sendiri.
Saking wingit dan sakralnya, Ki Ageng Suryomentaram berusaha memeras pijakan kawruhnya [rumusan pengetahuannya] dalam Buku Langgar—sebagaimana tertera dalam salah satu tulisan ‘surat’-nya yang berjudul “Pedagogie”—dengan rumusan yang agak berani sekaligus simbolik. Ia mengatakan bahwa basis pijakan pengetahuan yang ia rumuskan, adalah semata merupakan “pijakan atau bekal manusia untuk menjalankan unsur-unsur kedewataan dalam dirinya” [sanguning manungsa supados anetepi Kadewatanipun].
Rumusan ini berangkaat dari asumsi sederhana bahwa di dalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling berperang yakni,
[1] unsur ke-buto-an atau sifat raksasa [atau katakanlah unsur kehewanan dalam diri, diri kecil, dan nafsu], sedangkan yang kedua,
[2] unsur ke-dewa-an atau unsur ‘ketuhanan’ atau ‘kemalaikatan’ di dalam diri terdalam manusia. Ini adalah unsur fitrah jiwa terdalam manusia, hati nurani [pancaran cahaya Tuhan yang bersemayam dalam diri: Nur Muhammad].
Nah ilmu mengenali diri atau sering disebut ilmu ‘mawas diri’ ini sejatinya —sebagai langkah mendasar sekaligus puncak untuk mengenali hakikat kenyataan dan hidup ini—adalah ilmu untuk mengenali hakikat sejati terdalam dari diri, plus usaha mengeluarkan, merealisasikan, dan menegakkan pancaran unsur kedewataan yang bersemayam dalam diri manusia itu sendiri [baca: ilmu ruhani, khalifatullah}.
Kendaraan atau wahana untuk mencapai derajat pengenalan diri ini [plus realisasinya] oleh Ki Ageng dinamai dengan apa yang diistilahkannya sebagai Sih atau rasa welas asih atau cinta. Yakni sebuah daya yang sebenarnya berasal atau masih berada dalam area kuasa yang memancar dari Kraton Surga [inggih punika Sih ingkang kabawani Kraton Swarga]. Alias, sebuah daya untuk menundukkan dan ‘menguasai bumi seisinya’ [smarabumi]. Meminjam kalimat Suryomentaram sendiri,
“Apakah kalian sudah tahu, jika pada alam semesta-keseluruhan ini tidak ada daya yang bisa mengunguli ketinggian daya dibanding rasa cinta-sejati?”
[Punapa sampeyan sampun mangertos yen ing jagad sawegung punika mboten wonten daya ingkang nglangkungi luhuripun katimbang raos sih sejati?]
Karena, menurutnya, pada dasarnya kebutuhan manusia di dunia ini selain makan tak lain hanya rasa cinta. Berjuta-juta orang dengan susah payah mencari harta benda [semat], kehormatan-pangkat [drajat] dan kuasa-jabatan [pangkat] agar dikasihi dan mendapat cinta dari yang lain. Namun ternyata apa yang didapatinya justru sebaliknya: perselisihan, iri-hati, sombong, rasa benci atas jalan hidupnya sendiri, juga rasa benci terhadap orang lain karena tidak mencintai dan mengasihinya. Model pencarian kebahagian yang seperti inilah yang akan mengantarkannya kepada ‘neraka kesengsaraan’.
Sungguh ini dikarenakan ketidakmengertian akan hakikat gerakan hidup, alias ketiadaan pengetahuan dan ilmu, dimana gerakan kodrati hidup tadi dipaksa tunduk pada keinginan dan kehendak sewenang pribadinya sendiri [kehendak-nafsu]; tanpa ilmu nyata. Oleh karenanya Ki Ageng menyarankan, untuk sampai kepada pengetahuan terkait hakikat hidup [meruhi dat-ing dumadi: Ilmu hakikat], seseorang harus mengambil jalan lurus siratalmustaqim bernama pengetahuan “mengenali dirinya sendiri” [ilmu ma’rifat], karena sumber segala kesengsaraan kita adalah ketidakmengertian akan realitas diri ini.
Dalam bahasa pasemon pewayangan, apa yang ingin dikerjakan oleh Ki Ageng Suryomentaram adalah mengajarkan ilmu kedewataan [baca: ilmu ruhani] supaya tergelar di alam dunia mayapada ini, alias alam semesta dunia ini. Atau dalam bahasa yang lebih simbolis, ia mendapat mandat dari Bathara Guru, yakni melalui penasehatnya Bathara Narada, penguasa kayangan Dewata, untuk mendirikan Univeritas Kagungan Dalem Bathara Guru, yakni sebuah universitas yang akan mengajarkan ilmu kedewataan atau ilmu ruhani, supaya tegak dan berdiri di alam mayapada dunia ini [angadekaken unipersitit kaagungan dalem jumeneng wonten ngarcapada].
Sebuah ilmu yang menuntun para mahasiswanya untuk mengenali realitas hakikat kediriannya sendiri [baca: man arafa nafsahu] yang belakangan akan dinamai oleh Ki Ageng Suryomentaram sendiri dengan nama “mawas diri” atau “pangawikan pribadi” [alias ilmu tentang mengawasi dan mengenali diri sendiri]. Siapa yang telah mengenali diri sejatinya akan sampai kepada unsur atau pancaran hakikat kedewataan yang bersemayam dalam diri ini [jumeneng pribadi]. Di belakang hari, penamaan ilmu ini berganti lagi menjadi bernama “Kawruh Jiwa” untuk mengeliminasi konotasi dan jebakan mistifikasinya.
Dalam konteks ini pula, perlu kita dicatat bahwa usaha Ki Ageng Suryomentaram menelurkan “Kawruh Jiwa” ini oleh karenanya juga harus dibaca dalam rentang rangkaian tradisi keilmuan ruhani sebelumnya [baca: surat wiridan], yakni sebagai sebentuk cadangan kultural ke-Jawa-an yang memungkinkan sosok ini menelurkan gagasan orisionalnya, yang secara bersamaan juga telah terolah secara matang bahkan melampaui tradisi spiritual sebelumnya sekaligus. Dalam hal ini, Ki Ageng Suryomentaram bisa juga kita anggap merupakan rantai kristalisasi puncak dari bentang rangkaian ajaran keruhanian Jawa sebelumnya tersebut.
Dan hanya di tangannya sematalah, yakni melalui metode rasional-objektifnya, ia bisa menepis aspek mistifikasi ajaran keruhanian maupun spiritualitas lama yang pekat dengan jebakan irrasionalitas dan normativitas sendiri yang melenakan. Pada Kawruh Jiwa-lah ajaran keruhanian lama mencapai kematangan rasional objektifnya, sebut saja begitu, sehingga bisa menjadi suguhan makanan ruhani [pengetahuan obyektif, alih-alih normatif] yang dapat diambil oleh siapapun tanpa membedakan baju tempelan identitas suku, kelompok, agama, maupun kebangsaan apapun. Alias telah menjangkau aspek universalitasnya bagi kemanusiaan seluruhnya.
Namun begitu, ajaran yang ditelurkannnya, sekali lagi tak boleh dilupa, masih merupakan rangkaian benang yang sama dari ajaran spiritual-ruhaniyah kemanusiaan sebelumnya [Jawa-Islam]. Dalam jalur pengatahuan “mawas diri” atau “pangawikan pribadi”-nya misalnya [baca: ilmu pengenalan akan dirinya sendiri], tema ini hampir ditemukan merata dalam tradisi spiritual-ruhani sebelumnya.
Bahkan dalam ulasan yang lebih eksplisit serta padat pada ajaran Bangkokan Kawruh Jiwa-nya bernama “Buku Langgar”, Ki Ageng sendiri dengan sadar berusaha menilik ulang dan me-review saripati ajaran-ajaran tradisi sebelumnya ini, yakni dimulai dari ajaran sejak zaman akhir Prabu Brawijaya, zaman Demak akhir, masa Sultan Agung beserta Sastra Gendhing-nya, masa Mataram Akhir, Kartasura Akhir, serta pada zaman Giyanti, hingga zaman Penjajahan Belanda pada masa ia hidup. Ia menunjukkan kelebihan ajaran-ajaran yang terselenggara pada setiap masa-masa tersebut, plus menunjukkan jebakan-jebakannya.
Bahkan tokoh agung ini juga mengulas secara terpisah saripati ajaran pada masa “Sekolahan Gaib Zaman Islam” [jaman kuwalen: zaman para wali], yang sering dikenal sebagai masa dimana para wali tanah Jawi menyebarkan ajaran ruhaninya, yang relatif ia beri porsi ulasan yang cukup padat, untuk sekali lagi menimbang kelebihan serta potensi jebakannya. Tak hanya itu, ia juga membandingkan dengan tradisi ajaran Budhisme, serta memberi tambahan ulasan kritik terkait kecenderungan kultifikasi benda-benda gaib [kultus benda] seperti dilakukan oleh para pelaku dan penganut Theosofi, yang memang pada saat itu, awal abad 20, mulai menyebar di tanah jajahan Hindia Belanda.
Hal ini, bagi saya, bukan sesuatu yang mencengangkan. Karena, dalam dokumen Primbon 9 jilid yang dikeluarkan Keraton Surakarta, bernama “Kitab Primbon seri-Adam Makna” yang telah banyak beredar, dimana dikatakan pada pengantar pendahuluannya, bahwa Ki Ageng Suryomentaram merupakan cucu dari seseroang pangeran pemilik berjubel-jubel kitab dan manuskrip kuno tinggalan warisan kesusateran Kraton Jawa Mataram Islam: Pangeran Harjo Tjakraningrat. Dan Suryomentaram, konon mendapat limpahan kepustakaan ini dari kakeknya tersebut. Juga dari koleksi manuskrip milik kakeknya ini pulalah, 9 jilid Kitab Primbon yang telah disebut, akhirnya bisa diterbitkan dalam edisi latin dan tersebar di kalangan masyarakat.
Signifikansi informasi barusan sebenarnya hanya ingin meletakkan kesadaraan terkait satu hal: Ki Ageng Suryomentaram bukan hidup dalam ruang vakum dalam menelurkan gagasan-gagasannya. Plus hal ini terkait ide mendasar, bahwa Ki Ageng benar-benar berinteraksi dengan gagasan dan ajaran ruhani zamannya.
Bahkan, dalam riwayat hidupnya, ia pernah terseret secara kuat dalam laku “lelana-brata” [baca: santri lelana], dalam pengelanaan ruhani dan tirakat ke makam dan petilasan-petilasan keramat di banyak tempat pada masanya [gua langse, dll]. Juga terkait keputusannya ‘keluar’ [melarikan diri] dari kenyamanan keraton dalam lelaku asketiknya: seperti menjadi penggali sumur, kuli angkut koper, berdagang kain keliling di daerah Banyumas, menanggalkan gelar resmi kepangeranannya, mendesak pemerintah kolonial untuk menuruti permintaan berhajinya ke Makkah, menyerahkan sebagian besar harta bendanya kepada pelayannya, hingga menjadi petani biasa sampai umur tuanya di Desa Bringin, Salatiga. Laku-laku inilah, latar penting yang memungkinkan sosok ini melahirkan gagasan-gagasan ‘orisionil’ Kawruh Jiwanya di belakang hari.
Dari cadangan kultural kejawaan inilah yang mumungkinkan sosok Ki Ageng bisa menyandingkan dan menukil secara enak pengetahuan-pengetahuan lama-lama tersebut. Juga dalam konteks ilmu pengenalan diri sendiri, Ki Ageng dengan enak bisa memeras dan mengambil saripati ajaran-ajaran lama Jawa-Islam dengan pengetahuan pangawikan pribadi-nya sendiri, yakni dengan cara mengeluarkan signifikansi mistis makna selubung ‘rahasia’ tokoh semacam Siti Jenar dengan kisah cacingnya, maupun Kanjeng Kyai Kopek sang sosok macan-nya Sultan Agung, maupun signifikansi mistik-simbolis jembatan kayu melintang [wot galinggang] yang dipakai Sunan Kalijaga saat bertapa di Pulau Upih.
Semua simbol ini mengacu pada perjalanan atau dalam bahasa lamanya disebut ‘lelaku’ ruhani dalam rangka mengenali dan menemui diri sejatinya sendiri. Persis seperti perjalanan ruhani sosok Bima dalam pewayangan dalam usahanya menemui ‘dirinya sendiri’ dalam wujud sosok kecilnya [baca: Dewa Ruci]. Sebuah perjalanan ruhani untuk menemui Diri-nya sendiri atau sering disebut ‘suluk’ [dimana istilah tasawuf ini telah diserap dalam bahasa Jawa untuk menamai genre tembang alit macapat dalam tradisi Jawa—baca kesusateraan Suluk].
Dan dalam galur bentangan keilmuan ruhani inilah Kawruh Jiwa ini harus ditempatkan sebagai masih dalam rangkaian kontinum keilmuan lama untuk mengenali jiwa terdalam diri manusia [baca: mulat sarira]. Yakni tentu dengan kebaruan sodoran metodologi obyektifnya, alias alih-alih normatif dan mistis seperti tradisi ruhani sebelumnya, dan oleh karenanya, Kawruh Jiwa dengan begitu bisa dikatakan merupakan pematangan gagasan-gagasan objektif dari tradisi ilmu ruhani sebelumnya.
Hal ini sekaligus memberi arti dan signifikansi baru kenapa Ki Ageng lebih memilih kata ‘kawruh’ yang lebih berkononotasi obyektif-empiris, daripada kata ‘ngilmu’ yang lebih berkonotasi mistik dan normatif misalnya. Alias secara ringkas ia berhasil menelurkan prinsip-prinsip objektif keilmuan, dengan maksud memperluas pengandaian cakupan universalitasnya, terkait perangkat pengetahuan akan pengenalan realitas diri yang bisa membantu manusia Jawa juga Indonesia atau bahkan dunia secara luas, dengan sodoran metode barunya.
Juga penting ditilik, bahkan sejak pertalian erat juga relasi persaudaranya dengan Ki Hajar Dewantara, yakni jauh sebelum pertemuan rutin “Selasa Kliwon” pada tahun-tahun yang mendahului dalam menelurkan pendirian Taman Siswa dimana ia terlibat, Ki Ageng Suryomentaram telah berinteraksi secara intens dengan gagasan-gagasan filsafat Barat zamannya. Dalam sebuah suratnya ia menyinggung hal ini secara implisit:
“Aku kelingan dek Paman Ajar isih sekolah. Sok Bengkat barang, mungsuhe Nabi Kilir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kali. Nek Lud-ludan Pei karo Batara Narada lan Sidarta Kapilawastu. Jing Ngloco Pitagoras utawa Plato. Nek Bas-basan janji karo Prabu Brawijaya, betah sawengi. Nek mul-mulan adate mungsuhe Laose dibut loro karo Konghuchu. Jing tukang mungsuhake Aristoteles karo Kant.”
Artinya,
“Aku masih ingat saat paman Ajar [Ki Hajar Dewantara; pen.] masih sekolah, kadang bermain pedang-pedangan juga. Musuhnya Nabi Khidir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau bermain kartu bersama Bathara Narada dan Sidarta Kapilawastu. Yang mengocok Pitagoras dan Plato. Jika bermain bas-basan, janjian sama Prabu Brawijaya. Tahan semalaman. Kalau bermain gulat biasanya musuhnya Laotse, dikeroyok bareng Konfusius. Yang menjadi tukang adunya Aristoteles bersama Immanuel Kant.”
Kutipan di atas ingin menyodorkan keterangan implisit, bahwa Ki Ageng bukan saja tidak mengisolasi diri dari gagasan-gagasan besar dunia zamannya—seperti dugaan banyak orang—dan malah ia sebenarnya berada tepat pada pusaran aliraan deras gagasan-gagasan besar zamannya tersebut, namun ia memilih tak larut dan melarutkan diri. Bahkan ia malah membentuk pusarannya sendiri. Karena seturut perkataannya sendiri, jika hanya terseret arus dalam relasi perhubungan yang semakin meningkat antar-bangsa, bangsa yang tidak dapat memberi sumbangan gagasannya kepada dunia [alias cuma mengunyah teori dari luar] akan sirna tanpa guna [dene bangsa ingkan mboten saged urun bade sirna].
***
Buku Trilogi Ki Ageng Suryomentaram yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini adalah rangkaian panjang lelaku sang penulis dalam menyajikan suguhan makanan ruhani “Kawruh Jiwa”-nya Ki Ageng Suryomentaram, agar dapat dicicipi siapapun dalam merasakan buah penerapan Kawruh Jiwanya Ki Ageng. Konon Muhaji Fikriono katanya dalam usaha menuliskan karyanya ini perlu menunggu umur kematangan ruhani di usia 50. Juga, Trilogi buku ini juga semacam elaborasi terkait cadangan kultural ilmu ruhani ke-Jawa-an, seperti yang telah disebut, yang membentuk dan memungkinkan Ki Ageng Suryomentaram menelurkan Kawruh Jiwanya yang begitu orisinil, namun juga masih merupakan jejak bentangan benang tradisi keilmuan ruhani yang berturutan sebelumnya.
Pembacaan rentang tradisi pengetahuan ruhani kejawaan ini sangat diperlukan bukan semata untuk mendudukkan latar kultural yang memungkinkan sosok agung Suryomentaram lahir, namun juga dalam bahasa tokoh ini sendiri, agar bangsa Jawa pada khususnya, mampu, tentu dengan cadangan-cadangan kulturalnya yang kaya tersebut, untuk merumuskan tata-sosial baru yang lebih mulia [saged tata bebrayan enggal ingkang langkung mulyo].
Karena, bagaimanapun, usaha menyelenggarakan keilmuan ruhani dari mandat kayangan Dewata, punya kendala dan rintangannya sendiri, meski tradisi keilmuan ruhani ini merupakan warisan kaya yang dimiliki bangsa Jawa juga Indonesia secara umum. Namun begitu, bangunan Universitas Keilmuan Diri-Ruhani di masa yang lama, menurut Ki Ageng, atapnya sudah banyak yang retak, patah, dan rompal di sana-sini [unipersitit kina ingkang pager-payonipun sampun sami popol].
Banyak para maha-guru dan professornya yang ikut merawat dan menjaga universitas ruhani tersebut telah banyak yang terserang oleh ‘cacing kebencian’ [kremi gething], serta banyak papan dan dinding kayu universitasnya telah tergerogoti oleh rayap ‘merasa unggul sendiri’, serta telah dihinggapi kesombongan dan rasa jumawa [ama pambegan], sehingga urgensi pendirian universitas pengetahuan diri yang baru [baca: Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru] perlu disegerakan. Dan dalam latar seperti itulah Ki Ageng Suryomentaram hadir.
Karena, penghalang terbesar untuk mengenali kenyataan diri—yang akan membawa pada keadaan bahagia bersama [baca: zaman windukencana]—adalah sebuah rasa “merasa lebih dari yang lain”, rasa sombong, rasa ‘lebih unggul dari yang lain’, juga rasa iri. Rasa-rasa ini muncul dikarenakan sebagai penanda akan betapa tidak tahunya dia akan kenyataan dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.
Dan melihat diri melalui ‘pangawikan pribadi’-nya Ki Ageng berguna untuk membedol rasa-rasa ini sampai kepada akar-akarnya, yang akan mengantarkan seseorang masuk kepada surga ‘rasa-tentram’ dan kedamaian. Karena tercapainya rasa tentram diri ini pulalah yang membuatnya akan bisa menyaksikan dan rajin mengawasi rasanya orang lain, sehingga menemukan cermin ‘rasa yang sama’ terhadap yang lain.
Juga dari jalur pengenalan diri inilah, orang mulai bisa mendeteksi asal sumber kesengsaraan manusia, alias rasa tak pernah cukup dari keinginannya [karep/karsa]. Dikarenakan sifat keinginan ini memang memiliki kondisi kekukarangan, celaka, dan sengsara terus-menerus [dat-ing karep punika cilaka]. Setiap kali melihat orang miskin, orang kaya, orang rendahan, orang berpangkat, orang pandai, orang bodoh, seseorang bisa merasakan kesengsaraan yang sama yang diderita mereka, karena telah menyatu dengan keinginan yang membuatnya memasuki kondisi rasa kekurangan tanpa ujung.
Dalam penglihatan diri ini, ia mulai bisa menyaksikan bahwa terpenuhinya keinginaan tidak akan membuat orang bahagia, karena segera akan mengingini sesuatu yang lebih, tak puas [baca: mulur]. Dan memang begitulah keinginan. Namun, dari jalur ini pula, seseorang akan mulai bisa memilah antara “Aku” sebagai pengawas-keinginan dengan keinginan dan rasa-rasa yang ditimbulkannya sebagai objek awasannya. Aku yang mengawasi keinginan, ternyata mandiri dan terbebas dari kesengsaraan yang dimunculkannya [aku dudu karep].
Akhirnya sang-Aku bisa mengawasi keinginan [karep] se-enaaknya [tanpa perlu mengubahnya], alias tidak khawatir lagi, karena terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan tersebut, tidak akan menyebabkan kebahagian seterusnya maupun kesusasahan seterusnya: senang sebentar, lalu susah lagi [karena keinginannya mengembang; mulur], atau jika tidak terpenuhi susah, lalu senang kembali [karena keinginannya mengempis: mungkret].
Kesadaran sang-Aku pengawas [Diri besar] yang tak lagi terbelit dengan gerakan keinginaan subyektifnya akhinya muncul ke permukaan. Ia sekarang bisa mengawasi keinginannya sendiri, yang secara alami memang memiliki sifat “sewenang-wenang” serta “tak mau bersusah payah” dalam pemenuhannya [alias tak bisa diubah], yang ini jelas melawan prinsip alamiah kenyataan hidup itu sendiri.
Ketika, sang rasa “Aku” telah muncul ke permukaan [sampun medal saking korining pikiran] ia bisa merasakan rasa tentram yang tanpa kira, yakni sejenis rasa damai yang bukan dikarenakan terpenuhinya keinginan, melainkan rasa Aku yang telah terbebas, dan telah bisa menerima sifat kinginaan yang ‘maha lucu’ itu [tanpa perlu lagi mengubahnya], yang pada dasarnya tidak bisa lagi membuat Aku sengsara [karena aku hanya mengawasi].
Pada saat inilah akan muncul rasa tangguh [raos tatag], serta telah bisa menerima keadaan dan kejadian yang telah terjadi di masa lalu [musnahnya rasa sesal—getun], serta telah siap menghadapi apa yang akan berlangsung di masa mendatang [rasa khawatir hilang—sumelang], karena baik terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan, tidak akan membuat kebahagiaan yang bersifat terus-menerus [dalam arti rasa senang terus-terusan] maupun kesengsaraan yang terus-menerus [sedih yang terus-terusan]: karena rasa senang dan susah ini pada dasarnya terus-menerus bergantian seiring gerakan keinginan yang bersifat mengembang-mengempis [mulur-mungkret].
Kondisi inilah yang akan mengantarkan kita pada terpilahnya watak-watak kehewanan atau ke-buto-an yang telah berpisah dengan watak kedewataannya [andadosaken sigaring pilahipun wateg-wateg kahewanan lan wateg-wateg kadewatan].
Seseorang akhirnya berdiri tegak dalam berpengetahuan sebagai pribadi [baca: madeg pribadi kawruh] dalam mengawasi kenyataan. Pengetahuan dan proses mengetahuinya tidak lagi digunakan semata sebagai perabot yang tunduk pada pemenuhan keinginannya [penilaian subyektifnya], yang sayangnya jika dibiarkan bisa menyuburkan pengetahuan “kata-katanya” [katanya kitab, katanya buku, katanya teori, katanya orang, dll] maupun pengetahuan “pantas-pantasnya’, alias pengetahuan berdasar kebiasaan dari yang apa dinyakininya [gugon-tuhon], melainkan telah bergerak kepada pengetahuan yang sudah terlepas dari unsur subyektivitas keinginan dan kehendaknya, alias Kawruh Nyata [Ilmu Nyata]. Yakni sejenis ilmu pengetahuan yang telah dimengerti, diketahui, dan dirasakannya sendiri berdasar prinsip obyektif kenyataan hidup yang telah teralami [baca: kasunyatan, hakikat, kahanan jati].
Dalam amsal pewayangan, orang yang telah menegakkan sang Aku ini akan manunggal dengan Batara Wisnu [tetep sarira Bethara Wisnu], memakai mahkota “merasa benar sendiri” [ngrasuk makutha rumaos leres], alias sudah mengerti, mengetahui, dan merasakan sendiri, karena telah duduk di singgasana Kawruh Nyata atau Ilmu Nyata [lenggah ing dampar kawruh nyata], serta kemudian menjadi sang Aku yang maha serba tahu [semuanya kuketahui, bahkan termasuk yang tidak kuketahuipun, aku tahu].
Namun setiap kali sang Aku melihat yang lain, ia ternyata melihat orang lain seperti bayangannya sendiri yang juga “merasa benar sendiri’ [tiap orang pasti begitu], meskipun dasar penyangga pengetahuan “merasa benar sendiri”-nya tersebut adalah pengetahuan yang “kata-katanya” [jare-jare] atau “menurut ini-menurut itu” [biridan], maupun “pengetahuan pantas-pantasnya berdasar semata kebiasaan yang dinyakininya” [gugon tuhon].
Ia melihat orang lain juga ‘merasa benar sendiri’ meskipun belepotan di sana-sini. Padahal, siapapun yang bersikeras memaksa orang lain untuk supaya “merasa keliru” tanpa didampingi suguhan sajen Dewi Sinta bernama ‘rasa welas asih’ yang sempurna, tentu pasti akan kwalat” [pramila tiyang ingkang ngogek-ngogek dating tiyang sanes, ingkang supados rumaos klentu mboten mawi Dewi Sinta, Sih ingkang sampurna, tamtu kwalat].
Rasa Aku-mengawasi yang telah muncul dalam diri seseorang inilah yang dikatakan oleh “Kawruh Jiwa” bisa menjadi pandu dalam mengawasi dan menimang gerak naik-turunnya rasa-rasa beragam dalam hati yang terus berseliweran, plus untuk membedol dan mencabuti rasa-rasa ruwet yang telah berurat akar di dalamnya. Rasa tentram akhirnya akan bersemayam, karena telah bisa menerima dan mengawasi rasa-rasa yang berwarna tadi, yang memang berlangsung seturut hukum kejadian dan sifat keinginan.
Jika rasa tentram ini semakin bertambah dan mengakar dalam diri, ia bisa berdiri sebagai pribadi [jumeneng pribadi], alias tidak membutuhkan ‘rasa-welas-asih’ dari orang lain, karena dalam hatinya telah berlimpah dan kelebihan rasa cinta [sugih sih-kaya cinta], yakni sebagai hasil buah tanaman pengetahuan yang tumbuh dari pengenalan kenyataan dirinya sendiri. Jika buah ini telah matang, ia bahkan bisa membagikannya sebagai suguhan makanan bagi setiap makhluk di bumi untuk memetiknya.
Sang Maha-Kaya-“Cinta” ini [orang yang telah berkecukupan cinta, karena saking melimpahnya di dalam hatinya] kemudian juga bisa mulai bertani, menanamkan benih pengetahuan [kawruh] ke dalam hati orang lain dengan cara membajaknya dengan simpati, melembutkan tanah pertaniannya dengan alat garu bernama sabar, dan menyiangi gulmanya dengan rasa welas-asih.
Sabar dikarenakan berasal dari terang penglihatannya, bahwa menanam padi pasti akan menumbuhkan padi. Sedangkan simpati adalah penglihatan jiwanya dalam memandang orang lain, tidak ada lagi sekat-pemisah yang tidak mungkin bisa ditembus oleh kekuatan simpati. Jika anak panah simpati telah dilepaskan, semua yang berkerlipan akan termurnikan; sebuah senjata prabu Niwatakawaca dalam pewayangan, dimana saat sang Arjuna telah bisa mengalahkan sosok ini, ia disebut “lelananing jagad’ [sang pria sejatinya jagad raya].
Mungkin dalam rangka menjelaskan ajaran mulya pengenalan diri-ruhani inilah, penulis buku Trilogi Suryomentaram ini: Muhaji fikriono, bertungkus-lumus menuliskannya dalam tiga jilid tebal yang serba melingkupi sehingga memudahkan para pembaca. Dan, seperti sering dikatakan penulis buku ini kepada saya, bahwa ‘sudah saatnya’ ajaran ini perlu diwedar dan dijelentrehkan tanpa harus ditutup-tutupi lagi karena kekhawatiran akan efek getarnya bagi tradisi pengetahuan normatif ruhani sebelumnya.
***
Pesan Seri Buku Ki Ageng Suryomentaram Karya Muhaji Fikriono [Klik Link]
Namun, sebelum beranjak mengatamkan rangkaian buku trilogi ini, saya ingin mengingatkan kepada para pembaca, bahwa rangkaian ajaran yang akan Anda dapatkan dari hasil ‘membaca’ buku Suryomentaram ini, pada akhirnya adalah baru semata ‘katanya’ Suryomentaram [ilmu jare-jare dan biridan]. Alias Anda belum mengetahui dan merasakannya sendiri [mengerti, mengetahui, atau merasakan sendiri—Kawruh Nyata].
Maka, setelah selesei, segeralah lupakan ‘katanya’ Suryomentaram, tepislah pengetahuan ‘menurut’ Suryomentaram. Segeralah, mulai saat ini, di sini, dan dalam keadaan seperti ini [saiki, kene, ngene] mengenali dan mengawasi realitas diri Anda sendiri. Karena tak ada siapapun, makhluk bumi manapun, yang bisa mengajari Anda–tidak guru manapun, tidak kitab, tidak buku, tidak tulisan, atau tidak siapapun—dalam usaha mengenali realitas diri anda sendiri.
Wejangan Suryomentaram di bawah ini barangkali tepat untuk memungkasi paragraf pengantar tulisan ini:
Saya mengingatkan kepada semua yang mendengar
[Kulo pepenget dateng sedaya ingkang mirengaken],
Jangan pernah menjalankan ajaran-ajaran di atas
[sampun ngantos anglampahi wulangan punika],
Malah akan mendapat kesusahan yang tak terkira
[mindak angsal kesusahan ingkang tanpa upami].
Ajaran-ajaran di atas hanya untuk tiang-sandaran saat duduk semata
[wulangan punika namung kangge cagak lenggahan kemawon],
Atau semata sebagai suguhan pengiring saat wedangan
[utawi pacitan wedangan],
Jangan sampai dibaca saat sendiri
[sampun dipun waos ijen-ijenan],
Sebab nanti kalau ada setan yang lewat, juga akan ikut tertarik untuk mengamalkannya
[sabab mangke yen wonten setan langkung lajeng kapingin nglampahi],
Akhirnya bisa membahayakan, rusak dunia-akhiratnya
[wasana kadrawasan, risak donya-ngakeratipun].
Akhir kata selamat membaca. Langeng bungah-susah!
Klandungan, Malang. 26 Januari 2024
Irfan Afifi
Pelajar Kawruh Jiwa, ngiras-ngirus Tukang Sapu Langgar.co
*** Tulisan pengantar ini ditulis untuk mengenang momen ‘kasendal-mayang’ rasa gemetar diri yang tak terkira karena membolak-balik “Buku Langgar 1920-1928” [belum terbit] selama masa tiga tahun.
Syahdan. Suatu siang di bulan Maulud pertengahan 2019, seseorang kawan karib lama berkunjung di kediaman saya di Dusun Cepokojajar, Bantul, DIY. Kedatangannya kali ini sedikit berbeda. Ia banyak berkisah, tidak seperti sebelumnya. Ia berkisah apapun. Apa saja. Apapun remeh-temeh yang bisa dijadikan obrolan dan canda. Entah tentang kepindahan rumah kontrakannya yang baru, tentang awal pernikahannya di tahun ini, hingga cerita atau barangkali tepatnya, kisah kelakuan dan perilaku tetangga-tetangga barunya, yang kali ini, bisa sedikit membuatnya tersenyum kecil. Maklum, ia baru saja menikah. Dan saya kira, pernikahan, apalagi yang baru tentu saja, akan menyibak banyak kisah dan cerita. Cerita yang mulai keluar dari fokus dirinya, meluber ke orang terkasihnya, tetangga, sekelilingnya, atau bahkan orang-orang yang ditemuinya di jalan. Saya tak heran. Barangkali memang pernikahan, batin saya saat itu, sejenis fase yang mengajak orang “keluar” dari dirinya. Keluar sedikit demi sedikit dari kesenangan diri menuju seseorang di luar dirinya, terutama kepada “yang terkasih”. Atau bahkan semakin melecut seorang mengawasi hal-hal yang di luar “interest” dirinya. Mungkin.
Namun, ada satu cerita darinya yang barangkali tak ‘kan terlupa hingga hari ini. Suatu waktu, juga masih di bulan Maulud tahun yang sama, ia, teman saya itu, menceritakan bahwa ia terlibat perbincangan santai dengan tetangga barunya di Kota Gede. Ia bertanya dengan sedikit iseng kepada tetangganya. Ia menanyakan bagaimana pendapatnya terkait nabinya: Muhammad. Tetangganya itu menjawabnya dengan ringan, nyaris tanpa beban: “Nabi Muhammad itu, menurut saya lho mas, seseorang yang jiwanya, pikiran, perkataan, dan perbuatannya telah selaras dan manunggal.” Saya terhenyak mendengar kisahnya. Saya terperanjat pada jawaban tetangganya. Seumur-umur, saya tak pernah mendengar jawaban seperti ini. Seketika, tanpa benar-benar saya sadari, seingat saya, tiba-tiba dari mulut saya secara lirih terucap salawat, “Allahumma, shalli ‘ala Muhammad.” Setelahnya, saya tak lagi ingat lanjutan kisahnya. Saya hanya mengingat jawaban tetangganya itu. Saya nyaris lupa diri.
Tetangganya itu menjawabnya dengan ringan, nyaris tanpa beban: “Nabi Muhammad itu, menurut saya lho mas, seseorang yang jiwanya, pikiran, perkataan, dan perbuatannya telah selaras dan manunggal.” Saya terhenyak mendengar kisahnya. Saya terperanjat pada jawaban tetangganya. Seumur-umur, saya tak pernah mendengar jawaban seperti ini. Seketika, tanpa benar-benar saya sadari, seingat saya, tiba-tiba dari mulut saya secara lirih terucap salawat, “Allahumma, shalli ‘ala Muhammad.”
Jujur, ini jawaban orang Jawa-awam yang menampar kesadaran intelektual saya. Jawaban ini, saya bayangkan, tidak mungkin lahir dari refleksi seseorang sehabis mendengarkan pengajian tentang kisah dan riwayat Nabi misalnya, atau bahkan didapat dari membaca buku ringkasan sirah Nabi. Ia seolah lahir dari pergulatan intim batinnya yang tak terpisah dari laku-hidupnya. Ya laku hidup seorang awam yang berusaha menjangkau nabinya dalam keseharian laku-hidupnya sehari-sehari. Sesosok Nabi yang bukan pertama-tama muncul dari kisah-kisah dari luar yang dibacanya sehingga semata akan menjadi “diskursus kenabian”, melainkan sosok Nabi yang muncul “dari dalam”, yang intim dialaminya dalam kehidupan. Sesosok Nabi yang muncul dari “diri-batin”-nya dan pergulatannya sendiri. Seorang nabi yang tak lagi berjarak dalam diskursus. Seorang Nabi yang menjadi pandu “diri-batin”-nya sendiri dalam menapaki lelakon kehidupannya.
Jawaban ini benar-benar menghentak saya untuk waktu yang lama. Bahkan nyaris hingga hari ini. Dalam tanya sanya, lanskap kultural macam apa yang memungkinkan orang-orang ini, sebut saja seorang Jawa-awam dalam kasus cerita saya di atas, memiliki jawaban yang begitu “genuine” ini? Bagaimana orang Jawa membayangkan, sekaligus menjangkau nabinya yang begitu jauh? Atau tepatnya, bagimana orang Jawa memahami nabinya, serta melukiskannya? Atau dalam konteks yang lebih historis, cadangan dan khasanah kultural macam apa yang membentuk lapisan simbolik yang begitu dalam pada rentang sejarah masyarakat Jawa sehingga memungkinkan masyarakat ini, bahkan bagi orang yang paling awamnya sekalipun, mampu menjangkau nabinya, bukan semata hanya pada level lahir diskurusus, kisah, dan sosoknya saja yang begitu luaran, melainkan menghunjam kepada sosok batin yang intim dialaminya dalam kesadaran laku ruhaniah perjalanan kehidupannya. Sayangnya, saya harus bersabar menjawabnya.
***
Dalam sebuah kesempatan yang tak lagi saya ingat tanggalnya di tahun 2020, saya tiba-tiba berada di tengah-tengah keriuhan dan kegembiraan pembacaan “Salawat Emprak” di Pondok Pesantren Budaya Kaliopak, Dusun Klenggotan, di pinggiran timur Yogyakarta. Sebuah pembacaan shalawat kepada Nabi Muhammad dengan “cara Jawa” yang konon diajarkan oleh para wali tanah Jawi dan telah dimasifkan serta ditradisikan oleh masyarakat Jawa sejak zaman Sultan Agung, masa kesultanan Mataram empat abad yang silam. Barangkali “Salawat Emprak”, yang merupakan salah satu dari banyak kesenian salawat yang disebut di Serat Centhini yang masyhur itu, yang digelar di Pondok Budaya Kaliopak malam itu, telah mendapat banyak tambahan dan tambal-sulam di sana-sini. Namun aura pembacaannya, yang banyak didominasi bunyi-bunyi syi’iran berbahasa Jawa, gerakan tari-tarian para paraga laki-laki yang mengirinya, warna dan jenis pakaian lengkap Jawa tradisional yang dikenakan para pemainnya, juga komposisi bunyi dan alunan yang dikeluarkan dari alat-alat musiknya seperti kendang, kempul, gong, kentang, serta kentengnya, maupun liukan nyaring dan tinggi para penyenandungnya, atau bahkan model penceritaan dari seorang dhalang [seorang perawi] dalam mengkisahkan riwayat sang Nabi (baca: rawen) di sela-sela pembacaan tembang-tembang dan senandung salawatan, benar-benar menghentak dalam sebuah rangkaian pagelaran wingit yang tak terkatakan. Plus bau menusuk pengaharum dupa yang saya lihat telah menyala di pojok-pojoknya, sungguh membuat saya larut atau malah terserap seutuhnya.
Seingat saya, saya begitu larut malam itu. Larut dalam alunan tembang-tembang yang dilantunkan, yakni seturut ayunan musiknya yang menggerakkan juga menggetarkan hati itu. Beberapa kisah atau rawen yang dibacakan perihal kelahiran Nabi beserta “cahaya” yang menyertai dalam bahasa Jawa lamanya, lamat-lamat saya tangkap dengan keterbatasan pendengaran telinga beserta jangkauan arti yang menyertainya, secara tak utuh. Namun dari-nya, saya sempat tersedot agak kuat. Beberapa pendaran makna yang memancar dari pembacaan kisah kelahiran “Sang Cahaya” [Muhammad], memeranjat saya. Saya seolah terbawa, tersapa kehadiran Nabi dalam pengertian ruhani-batinnya yang tak berjarak. Diri-batin kenabian yang hadhir dalam relung kesadaran hati yang terpancar dari kisah serta kedalaman “rasa” alunan musiknya yang telah mangunggal dalam gerakan tarian para peraganya. Saya nyaris hilang.
Diri-batin kenabian yang hadhir dalam relung kesadaran hati yang terpancar dari kisah serta kedalaman “rasa” alunan musiknya yang telah mangunggal dalam gerakan tarian para peraganya. Saya nyaris hilang.
***
Di belakang hari, saya lamat-lamat bisa sedikit mengingat “kisah-kisah” yang menggetarkan yang menghunjam itu. Bahkan di waktu selanjutnya, saya mulai memburu manuskrip yang menjadi pandu “Salawat Emprak” ini dalam memandu pergelarannya. Tak lama, seorang teman, yang juga merupakan santri senior di Pesantren Kaliopak, bernama Munir, menyodori saya hasil karya skripsinya di UIN Sunan Kalijaga tentang “Salawat Emprak” [Misbachul Munir, Skripsi SKI, 2012]. Munir ternyata telah menyeleseikan research-nya perihal “salawat Emprak” yang menjadi tugas akhir S-1-nya di tahun 2012. Dengan bekal itulah, saya kemudian dipertemukan dengan Luthfi, santri senior lain di Kaliopak, yang menurut keterangan Kiai Jadul Maula, pengasuh dan muassis pondok ini, telah berhasil mengalih-aksarakan manuskrip pegon tinggalan leluhur, yang terus-menerus diwariskan pada “simbah-simbah” pelaku “Emprak” antar generasi.
Berkahnya, saya segera mendapat naskah latin alih aksara pegon plus salinan manuskrip aksara pegon-nya sekaligus dari Luthfi. Naskah ini samar-samar diingat para pelaku Emprak, bernama “Tladha” yang ditulis-ulang Gusti Yudanegara, seorang pangeran Kesultanan Yogyakarta di masa penjajahan Belanda dulu. Namun begitu, hasil alih-aksara latin dari manuskrip pegon ini, belum mendapat sentuhan editing yang cukup. Juga, yang tak kalah krusialnya, pengerjaan “terjemahan” setidaknya hingga saya mendapatkan manuskrip ini, belum dikerjakan sama sekali. Dari naskah yang belum terterjemahkan ini, saya kemudian mengambil alih tugas tersebut. Yakni dari sejak pembenahan ejaan dan bunyi, mengambil keputusan membenarkan kata-kata asing yang tak dikenali, hingga menerjemahkannya secara utuh arti tiap-tiap bait tetembangan, cerita-rawinya, hingga senandung arti kidung macapat dan bunyi salawatan-nya secara utuh. Dari hasil terjemahan ini, saya mulai sedikit bisa menduga serta bisa meraba syair-syairnya, tetembangan, juga kisah-kisah metaforisnya yang dulu sempat menghentakkan diri itu. Dan ternyata, sejak saat itu, naskah itu mulai lamat-lamat menyusun semesta simbolik makna tersendiri di dalam diri. Saya benar-benar sedang diterjang kegembiraan.
***
Sekira tiga tahun yang lalu, ketika saya merampungkan karya saya yang telah mendapat banyak apreseasi dan tanggapan, “Saya, Jawa, dan Islam”, [TandaBaca: 2019], saya dihantui sebuah pertanyaan yang akut. Seturut sodoran tesis yang saya kemukakan dalam buku di atas, jika sufisme dalam kasus Jawa telah mengubah secara menyeluruh bangun “aksioma kebudayaan” Jawa secara mendasar kepada alas Islam–dan bahkan telah menjadi penyatu identitas “pandangan dunia” Jawa yang berpaut dan tak lagi bisa dipisahkan dengan Islam setidaknya dari sejak abad 16 hingga 19–maka apa penanda utama kulturalnya? Pra-andainya, Jika tujuan puncak metafisika sufisme adalah maqam kecintaan memuncak pada “Kanjeng Nabi” beserta manifestasi “realitas” batin Nur Muhammad-nya, bagaimana orang Jawa menerjemahkan ini dalam praktik kulturalnya yang lebih spesifik?
Berberapa pertemuan dengan para sesepuh, sepertinya membantu saya menyibak lapisan simbolik ini. Perayaan Sekaten misalnya [baca: Syahadatain], yang oleh keraton Ngayogyakarta maupun Surakarta, atau bahkan hingga Kesultanan Cirebon yang sering dinamai sebagai “garebeg mulud” itu, dianggap merupakan perayaan yang terbesar–yakni sebuah perayaan agung menyambut kelahiran Nabi Muhammad. Di banding perayaan garebeg-garebeg lain, seperti “garebeg sawal” [Idul Fitri] atau “garebeg besar” [Idul Adha], “Garebeg Mulud” akan dirayakan begitu megah di pusat-pusat keraton-keraton Jawa–plus replikasinya di tiap kabupaten pada sekujur wilayah kadipaten di pulau Jawa–yakni sebagai perayaan paling besar dari seluruh ritus perayaan-perayaan lain di Keraton. Bahkan dipandang dari durasi waktu beserta jumlah gunungan makanan dan sayuran yang diperebutkan masyarakat di alun-alun kerajaan itu, ia boleh dipandang sebagai yang maha besar. Ia mirip “hari rayanya” orang Jawa, jauh lebih besar melebihi perayaan “garebeg sawal” atau yang kita kenal hari ini sebagai hari raya Idul Fitri itu.
Oleh karenanya perayaan kelahiran Kanjeng Nabi Muhammad melalui garebeg mulud-nya, setidaknya hingga abad 19, adalah siklus kosmologis “hari raya”-nya orang Jawa lama.
Oleh karenanya perayaan kelahiran Kanjeng Nabi Muhammad melalui garebeg mulud-nya, setidaknya hingga abad 19, adalah siklus kosmologis “hari raya”-nya orang Jawa lama. Saya kadang bertanya, dimanakah di belahan bumi ini peristiwa kelahiran Nabi dirayakan sebegitu megah, dengan durasi waktunya yang begitu lama [berhari-berhari], dengan segala atribut kemewahannya; saya kira tak berlebihan jika saya menyebut Jawa. Sebuah siklus kosmologis-ruhani “hari-raya”-nya Jawa yang berusaha menghubungkan masyarakatnya dengan realitas “cahaya kenabian” Muhammad. Nur cahya. Nur Rasa. Sang Hyang Nur Cahya. “Rasa iku rasul-ku,” kata primbon Jawa.
Namun saya tentu sangat sadar, sejak kolonialisme Belanda mencengkram secara utuh kekuasan politik kerajaan Jawa setidaknya pada awal abad 19, tradisi ini kian melentur. Subyek masyarakat Jawa yang dulu diikat tunggal dalam nafas “sufisme Jawa” akhirnya terpecah belah-dalam spektrum aliran [santri, abangan, priyayi] yakni dalam proses pengutuban menaik yang, menurut saya, by design diciptakan Belanda atas nama interest kelanggengan kekuasaannya [baca; Nancy K Florida, Jawa-Islam di Masa Kolonial, Langgar, 2021]. Dan, sayangnya, nalar benturan “politik pecah-belah” dan pengutuban aliran ini masih terawat bahkan dalam narasi akademik kita. Sehingga kita justeru abai terhadap warisan dan “keilmuan” megah ini.
***
Pembacaan “salawat Emprak” di Pesantren Kaliopak malam itu, setelah berusaha lamat-lamat saya susun-ulang, seolah sedang memendarkan makna dan lapis simbolik yang memberi jejak. Ia, salawat ini seolah ingin memendarkan kecintaan lahir-batin seperti yang dialami orang-orang Jawa lama, dan dengan segera berusaha memendarkan ‘cita-rasa’ terdalam itu dalam rumusan gubahan alunan tetembangan, se-syi’ir-an, beserta alunan tabuhan musiknya, yang tentu khas dengan “cara Jawa” agar pertemuan rasa intim itu memendar ke “ra[h]sa” terdalam orang Jawa kebanyakan [baca; Syirr]. Lihat bait-bait pembuka Salawat Emprak ini,
Dzikir Maulud Nabi cara
Mengenang Maulud Nabi cara Jawa
Sarèhipun dèrèng sumêrêp dhatêng basa Arab
Karena banyak yang belum mengenal bahasa Arab
Dados kadamêl basa Jawi kémawon
Sehingga dibuat berbahasa Jawa saja
Supados ènggal sumêrêp sarta mangêrtos
Agar segera mengerti dan memahami
Kamirêngakên garwa putra wayah
Diperdengarkan istri, anak, dan cucu
Utawi ingkang sami lêlênggahan sêdaya
Atau yang sedang duduk sekalian
Cariyosipun Maulud Nabi
Cerita kelahiran Nabi [Muhammad]
Ingkang mugi angsala
Semoga mendapat
bêrkah syufa’atipun Kanjêng Gusti
Berkah dan syafa’at-nya Kanjeng Nabi
…
Dados sêrat cahya kayuwanan
Yakni menjadi sebuah tulisan dari pendar “Sang Cahaya keselamatan”
Pembuka awal cerita ini merupakan ungkapan lugas Salawat Emprak. Ia, saya bayangkan, sejenis ungkapan kerendahan hati untuk mendekatan subjek orang-orang Jawanya dengan cara ungkap relasi intim dengan Sang Nabi yang bukan semata pada kisah pribadinya yang masih berjarak, melainkan sang Nabi sebagai cahaya sejati [nur muhammad] yang bisa menerangi dengan syafa’at dan berkahnya kepada kalbu atau “rasa” terdalam para pengikut orang Jawa. Sang Cahaya Keselamatan.
Oleh karenanya, Salawat ini seolah ingin memancarkan dan memendarkan kisah Sang Nabi beserta pendar “cahya”-nya di dalam nafas pemahaman yang–mengutip bait rawen yang tertulis di dalamnya–diajarkan para wali tanah Jawi. Yakni pendaran cahya yang muncul pada malam kelahiran sang Nabi berdasar galur pembabaran keilmuan sejati para wali tanah Jawi yang telah mendapat cercah sejati Nur Muhammad-nya [Ing wênginé wiyosé Kanjeng Gusti Muhammad lan ababar ilmu kuwaliyan térang nyata séjatinira].
Ia juga bisa dikatakan, saya kira, sebagai cara ungkap Jawa menjangkau Nabinya sebagai cahaya yang semakin mendekat dalam realitas kedirian orang Jawa itu sendiri. Maka tak salah jika ia, salawat ini secara keseluruhan, bisa dipandang sebentuk persaksian ataupun wujud kekidungan atau nyayian yang digemakan semesta beserta seluruh isinya untuk menyambut kelahiran Sang Cahaya Nabi. Kekidungannya Semesta.
Mantra-mantra kidungane sabuwana
Doa-mantra, nyayiannya seluruh semesta
Sasi maulud, Turune cahya kang mulya
Bulan Maulud, Turunnya cahaya yang mulia
A Nur A Nur
Sang cahaya
Sorotanipun kang sasangka
Sorot cahaya Matahari
Kasorotan-kasorotan
[Kalah] Tertimpa sorotan
Wadanane sang Sudibya
Wajah Sang Mulya/Unggul [Muhammad]
Muncar-muncar amadangi sabuwana
Berpancaran menerangi seluruh semesta
Anyar-anyar anggenira
Serba baru dalam [pakaiannya]
Busanane nur kang mulya
Berbaju cahaya yang mulia
Sapa mulat-sapa mulat
Siapa yang menyaksikan
Ing Gustinya ilang akalnya
Kepada gustinya [Muhammad], hilang akalnya
…
Baskara ilang sunarnya
Sang surya kehilangan sinarnya
Pan kasoran-pan kasoran
Karena kalah
Ing warnane gusti kula
Dengan rupa baginda kami [Muhammad]
Saya benar-benar tertegun membaca bait-bait kisah awal rawen ‘Salawat Emprak’ ini, juga lukisan kekidungan beserta alunan suara-intonasi musiknya yang begitu khas. Ia dikatakan sejenis “kekidungannya semesta dalam menyambut kelahiran sang Nabi”. Sebuah Kidung yang menjadi persaksian, bahwa di malam kelahiran sang Nabi [bulan mulud], memancarlah seberkas cahaya yang menyebar, menerangi jagad semesta seluruhnya. Matahari seketika redup, diterpa cahayanya. Semesta, beserta seluruh makhluk yang mengisinya, menyambut gembira kedataangannya. Seberkas cahaya yang telah ditunggu-tunggu oleh alam semesta. Perhatikan bait-bait di bawah ini,
Cahyané nalèndra tama
Cahya sang raja utama [Muhammad yang baru-saja lahir]
Jumbuh lan soroté Baskara
Bertemu dengan sorot matahari
Campur lan sênêné ima-ima
yang bercampur dalam sorot mendung
Kawimbuhan sunaring Baskara
Yang tertimpa dari pancaran sorot matahari
Yèn tingalan sumundhul ngéndra buwana
[Cahya Nabi] jika dilihat, menerobos ke atas angkasa
Surêm sang hyang giwangkara
Reduplah cahaya matahari [seketika]
Kasorotan cahyané nalèndra tama
Tersorot cahanya Sang Raja Utama [Nabi]
…
Wondéné kutu-kutu
Sedangkan para binatang
sato kumelip sato dumadi
Baik kecil maupun besar
Yèn bisaha tata jalma
Jika bisa berbuat cara manusia
Samya asung salam sêdaya
Pada memberi salam semuanya
Hormat angluhurakên panjênênganira
Menghormat meluhurkan Beliau
Sang prabu ingkang misésa
Sang Raja yang berkuasa
Kanjêng Rosululloh
Baginda Rasulullah
Wondéné kayu watu sêgara
Adapun pohon, batu, dan samudera
Gunung angin mina myang tirta
Gunung, angin, ikan di air
Buron darat miwah samudra sak isiné
Amphibi, serta samudera besera seluruh isinya
Hormatira béda-béda datan padha
Salam-hormat mereka berbeda-beda, tak sama
Yèn rinungu sangking mandrawa
Jika didengar dari kejauhan [salam mereka]
Suwaranira arum
Suaranya begitu lirih nan manis
Dahat langênnya mawulêtan
Begitu indah, jalin-menjalin
Tansah mulêk kongasing asmara
Senantiasa padu menebarkan semerbak asmara
Asmaratapa miwah tantra
Asmara-kerinduan ber-bala pasukan
Miwah isèn-isèné bumi sapta
Seluruh makhluk [penghuni] bumi berlapis 7
Langit sapta samya hormat sêdaya
Tujuh langitnya [juga] memberi salam hormat semua
Tikbrasurya baskara rêkta
Pancaran cahaya merah sang surya
Myang kontha-kontha
Beserta bulatan bentuk wujudnya
Samya asung salam sêdaya
Memberi salam semua
Apadéné sato kèwan
Adapun semua hewan
Myang dêrbakan suku loro suku papat
Baik yang berkaki dua maupun empat
Jim miwah manungsa
Bangsa Jin beserta manusia
Samya asung salam sêdaya
Pada memberi salam semuanya
Mawarna-warna
Beraneka rupa
Yèn tiningalan ing mandrawa
Jika dilihat dari kejauhan
Lir puspita kasorotan sang hyang Rudétya
Bak bunga-bunga tersorot oleh “Sang Matahari” [Nabi]
Sungguh, ini lukisan yang menggetarkan. Dengan seluruh pralampita, pasemon, dan kedalaman metaforanya, saya tidak lagi bisa mengelak untuk memberi kesaksian akan kedalaman “Kidung Semesta” ini. Sebuah jalinan indah “doa-mantra” berbentuk tetembangan–seperti dibenarkan sendiri di dalam naskah ini–yang merupakan hasil gubahan para wali tanah Jawi yang telah diterpa “Cahaya Kenabian” di relung batin kalbunya. Yakni sebuah “zikir maulud cara Jawi” untuk memberi pujian dan salam-hormat atas kelahiran dan kemunculan sosok sang cahaya mulya, yang tak lain bernama–meminjam segenap aneka gelar yang disematkan dalam cerita rawen dalam salawatan ini–sang ”Kanjêng Gusti Nabi Muhammad”, atau “Sri Maha Raja Kanjêng Rosulullah shollallohu ‘alaihi wasallam“, atau “Sang Prabu Nabi Malikuningrat”, atau “ Sri Prabu Niyakaningrat”, atau juga ”Bêndara Radèn Mas Gusti Muhammad”. Yakni seorang nabi agung bergelar lengkap “Kanjêng Nabi Malikuningrat Muhammadinil Musthofa Khabibul Mukhtar Panatagama”.
Seorang manusia mulya yang akan menjadi pelita yang menerangi orang-orang yang sedang diselubungi kegelapan dan kebodohan [dadya diyan, Amadhangna ing atiné kawulaningsun]. Seorang manusia, yang dari sudut ruhani, “telah ada sejak 1000 tahun sebelum Nabi Adam terlahir” [anggèn manira sujud sèwu tahun], menyembah di hadapan hadirat-Nya sejak itu [Manira saweg dados ênur, sowan wontên pangayunan Dalêm], dan dari “cahaya sang Muhammad” inilah pendarannya menghidupkan Nabi Adam as [lan dawêk manira diparingakên manuksma wontên tapêlé èyang Adam]. Yakni Sang “pemula” sekaligus “penutup ruhaninya” para Nabi.
Adalah juga Dia sang sosok cahaya, dimana siapapun manusia yang tercerahi oleh sorot cahaya ini dalam kalbunya [Sintên-sintên ingkang katurunan nur dalêm], meski ia lahir dari seorang ayah-ibu yang jauh dari tercerahi [dêlah ibu utawi rama dipun uncati nur Dalêm], akan ditingkatkan derajat kemulyaannya [sami mulya sêdaya], yakni bagaikan kalbu-batin yang seketika terbersihkan [kadiya sinaponing tiyasira]. Alias, sosok yang telah dinubuatkan dan telah tertulis pada ketetapan di singgasana Arsy’-Nya Allah [angsal pawênang sangking ‘arsyi kursi kêncana], yakni yang akan membawa mandat-kuasa “syari’at yang ke-enam” [Ingkang ngasta kuasa saréngat ingkang kaping nêm]. Pembawa syari’at terakhir yang paripurna.
Bahkan lebih jauh, rawen-cerita salawat ini juga menaburi kisah kedahsyatan yang mengiringi kelahiran Sang Nabi dari sisi zahirnya. Lukisan yang juga berbalut lapis simbolik yang bisa menggetarkan para pendengarnya. Sebuah gambaran sakral yang mengiringi saat-saat genting ketika Aminah, sang ibunda Nabi, mulai merasakan sakit sebagai pertanda waktu kelahiran sang bayi yang sedang dikandungnya.
Wauta sang dyah rêtna Ratu Aminah
Tersebutlah kisah tentang Dyah retna Ratu Aminah
Kacarita nalika sampun kêraos gêrahipun
Diceritakan saat mulai merasakan sakit
Badhè kagungan putra
Hendak melahirkan putera
Wondéné ingkang nênggani
Adapun yang menunggui
Sang dyah Siti Aminah
Sang Dyah Siti Aminah [Ibunda Muhammad] adalah
Tilas garwanipun sang Raja Firngon
[almarhum] istrinya Raja Fir’aun [yakni Aisyah]
Kalian sang Siti Maryam
ditemani Siti Maryam [ibunda Nabi Isa]
Ingkang putra èstri bagé[n]dha Ngimêron
Yang merupakan putri Baginda Imron
Wondéné ingkang ngladosi
Adapun yang menjadi pembantunya
Ibu Maryam lan ibu Asiyah
Ibundanya Maryam dan Ibundanya Aisyah
Wondéné para widadari samya
Sedangkan para bidadari bersama-sama
Tumurun sangking suwarga sêdaya
Turun dari surga semuanya
Badhê têtulung dhumatêng
Hendak menolong kepada
Sang dyah Ratu Aminah
Dyah Ratu Aminah
Gandanira mulêk ngambar mulêk arum
Bau kuat semerbak harum segera menyebar
Sawêk kalêrêsan mbotên wontên dilah
Di saat bersamaan, juga tak ada lampu
Wondéné ingkang dados dilah
Adapun yang jadi lampunya
Cahyanipun para widadari
Cahaya yang memancar dari para bidadari
Ingkang samya têtulung punika
Yang bersama-sama memberi pertolongan
Lah ingriku sang Ratu Aminah
Di saat itulah Aminah
Lajêng bingar pênggalihira
Lega hatinya
Ical kuwatirira
Hilang rasa khawatirnya
Wondéné ingkang anyudhang ibu Asiyah
Sedangkan Ibundanya Aisyah yang menimangnya
Ingkang anjagèni ing pangayunan
Yang menjaga dari depan [yaitu]
Ibu Maryam
Ibundanya Maryam
Wondéné sêkathahé para warênggana
Adapun sekalian para anggota bidadari
Sami amuji mujèkakên sugêng
bersama menghatur salam-puji keselamatan
Ing wiyosipun Gusti Muhammad
Untuk kelahiran Kanjeng Nabi
Suwaranira têrus mara ngidêri buwana
Suara salam mereka bersahutan menyebar ke seluruh penjuru semesta
Tak sebatas itu. Bahkan terdapat pula lukisan yang lebih epik dan filmis ihwal bagaimana para malaikat dan bidadari semua, juga ikut merayakan kedatangan gustinya. Coba lihat di bawah ini,
Cinarita duk miyosipun
Diceritakan saat kelahiran
Pêrtapanipun Gusti Ratu Aminah
Di rahim ‘pertapaan’ kandungan Aminah
Brol saking marga ina
Yang segera keluar dari jalan gua-garbanya
Sampun ngagêm cêlak
[alis Sang Bayi] sudah terhiasi celak
Lan sampun sunat sampun pagas pusêr
Sudah disunat, usus pusarnya juga sudah tanggal
Lah ing ngriku lajêng
Saat itulah lalu
[...] êmban dhumatêng Malaikat Jabrail
Dimomong oleh malaikat Jibril
Dipun unjukakên
Dihaturkanlah
Wontên pangayunan Dalêm
Ke hadapan hadirat-Nya
Gusti kang Agung kang Maha Mulya
Allah yang Maha Agung nan Mulya
Ingkang punika dhawuh dalêm
Titah dari-Nya [Allah]
Dipun karsa akên
Diminta
Ngubêng-ubêngakên ibêjajahan
Dibawa berkeliling mengitari-menjelajahi
Pinggiripun bumi pitu langit
Pinggir seluruh bumi dan langit yang berlapis tujuh
Dharat miwah samudra
Di darat maupun samudera
Lan sak isènipun sêdaya
Serta ke bagian semua isi semestanya
Sarêng sampun têlas sêdaya
Setelah tuntas seluruh bagiannya
Lajêng dipun wangsulakên wontên
Lalu dikembalikan ke dalam
Wêngkang wê[n]tisipun sang dyah Ratu Aminah
Ke gua-garba Aminah melalui selangkangannya
Nalika badhé miyosipun Kanjêng Gusti Timur
Ketika hendak lahir sang Gusti Kecil kita
Lajêng miyos pangarsanipun tirta-paminta marga
Segera keluar air ketuban di depannya
Byar kumréwés gandanira
Seketika merebaklah bau harum
Ngambar manêrus ing suwarga angla
Menyeruak, terusan dari Surga A’la
Lah ingriku lajêng wontên
Di situlah lalu ada
Suwara magura-gura
Suara menggelegar
Kadiya manêngkêr buwana
Laksana membelah semesta
Ana déné sêtmitané suwara
Adapaun pertanda suaranya
Aih aih isiné bumi kabèh
Aih... aih... [mewakili suara] Seisi bumi semua
Ingsun ora nitahakên apa-apa
Aku [Allah] tak menitahkan apa-apa
Ambungaha isiné bumi kabèh
[selain] membahagiakan seisi bumi
Anging iya anitahakên ingsun
Tak lain sungguh aku [Allah] menitahkan
Ing kêkasih ingsun sawiji
Kekasihku satu-satunya
Kang bakal angêrayah
Yang bakal menjangkau
... ingsun ing ngalam kabèh
[para makhluk]-Ku Seluruh Alam
Lah ingriku sarêng badhé
Di situlah setelah [rasa] hendak
Gêrêngsêng wiyosipun Gusti Timur
berlangsung kelahiran Nabi terasa
Ingkang badhé mungkasi saréngat
[Nabi] yang hendak menutup seluruh syari’at
Lajêng kapang baris kubêng
Lalu berdiri berbaris melingkarlah
Pêryayi Malaikat ingkang agung-agung sêdaya
Para malaikat utama
Samya ambèbèr suwiwinira
Bersama-sama merentangkan sayapnya
Dipun karya wêran
Membentuk tameng melingkar
Supados sang dyah Ratu Aminah
Agar Dyah Ratu Aminah
Sampun katingal ing kathah
Jangan sampai terlihat oleh orang banyak
Malaikat Mikail
[dipimpin] Malaikat Mikail
Wondéné ingkang jumênêng
Adapun yang berdiri
Wontên pangayunan, Malaikat Jabaroil
di bagian depan Malaikat Jibril
Wondéné pêryayi agung Malaikat
Sedangkan para malaikat utama
Samya ramé a[ng]gènipun muji
Bersama-sama memuji [kepada Tuhan]
Wontên sawênèh Malaikat
Terdapat juga malaikat-malaikat lain
Maos dalil subêkhanalloh ai walkhamdulillah
Membaca bacaan “Subhanallah” dan “Alhamdulillah”
Hu Allah hu akhêbar 3x
“Allahu Akbar” tiga kali
Samya ramè anênuwunakên pangapura
Begitu riuh memintakan ampunan
Ingkang sifat Jalal Kamal
Kepada Yang maha Jalal nan Kamal
Wondéné ingkang ngrompaka
Adapun yang menyusun kidung
Kanjêng Ratu Aminah
Kanjeng Ratu Aminah
Para widadari ingkang samya rawuh
Para bidadari pada berdatangan
Ingkang ngambar gandanira
Dengan semerbak bau harumnya
Wondéné para wêrênggana wau sêdaya
Sedangkan anggota bidadari sekalian tadi
Samya amuji mujèkakên
Bersama menghaturkan doa-pujian
Wilujêngipun sang dyah Ratu Aminah sêdaya
Untuk keselamatan Aminah sekalian
Lan sami ngêréh-réh ing Ratu Aminah
Juga turut memberi pelipur-lara untuk Aminah
…
Lan samya ambawur ing
Serta bersama “menyilau-butakan”
Paningalira kang bangsa manungsa
Penglihatan mata para manusia
Lan angudang-kudang
Serta memberi pengharapan
Ing bêjané Ratu Aminah
Untuk keselamatan Aminah
Yèn badhé angsal bêja salaminipun
Bahwa Ia akan mendapat kebahagiaan selamanya
Lan amaringi priksa
Juga memberinya tahu
Yèn ingkang badhé miyos punika
Jika yang hendak lahir itu
Ingkang nama musthikaning wulan
Yang disebut sebagai “mustikanya sang rembulan”
Titisé Nur Muhammad
Ejawahtah “Nur Muhammad”
Lah ingriku suwaranira Malaikat
Di situlah suara para malaikat
Miwah para widadari
Serta para bidadari
Gumrê[ng]gêng
Berdengung [suaranya]
Kadya tawon gabu adon kèlang
Seperti lebah yang saling beradu berbagi madu
Lurahé widadari têtiga samya amuji
Ketiga kepala bidadari bersama melantunkan doa-puji
Ka[ya] mangkana pujènira mara-mara têka
Begitulah doa-puji mereka seketika hadir
Ga[m]pang olèha marga gampang
Semoga dimudahkannya jalan
Aja ana kang sikara-kara
Jangan sampai ada yang mencelakai
Sungguh peristiwa agung yang membuat hati kita gentar sekaligus terpesona. Sebuah peristiwa kelahiran yang menyentuh ihwal kedatangan “mustikanya sang rembulan”, ejawantah dari Nur Muhammad yang telah dinanti-nanti makhluk semesta. Namun begitu, lukisan ini baru separuh jalan. Cahayanya tak semata hanya disambut oleh para malaikat, para nabi, dan para bidadari, melainkah juga memberi berkah pada orang terdekatnya; sang ibunda, sang ayah, orang yang menyusuinya, serta orang-orang terdekat yang mengelilinginya.
Sang Ibunda misalnya, sejak ia membobot Sang Nabi sejak dari awal bulan umur kandungannya hingga waktu kelahiran, berganti-ganti ditemui para nabi utama dalam mimpinya, yang pertama Adam, Idris, Nuh, Ibrahim, Ismail, Musa, Hud, Dawud, dan Sulaiman, serta yang terakhir Isa as. Bahkan petanda kelahiran sang Nur Cahya ini sudah dirasakan sejak awal oleh sang Ibunda.
Diceritakan bahwa tiba-tiba perut kandungan Aminah diterpa cahaya [byar mêncorong wontên lambungé Ratu Aminah]; yakni seberkas cahaya yang memancar juga dari dahi sang Ibu [mêncorong
sumunar maya-maya kaya téja wontên larapanipun Ratu Aminah]. Inilah pertanda bahwa nur kenabiaan telah mengejawantah dalam kandungan Aminah [Nur Buat sampun tumètès manuskma marang sang Ratu Aminah]. Wajah sang ibunda seketika bercahaya laksana rembulan [sang retna ayu… cahyané maya-maya anglir sêsangka].
Tak hanya sang Ibunda, Sang Ayahanda, Abdullah, juga mendapati pendar cahaya Nur Nubuwwah yang sama [Radèn Ngabdulloh sarêng katurunan Nur Buat]. Ia menyaksikan sendiri saat masih berada di luar rumah, segebyar pancaran cahya yang memenuhi semesta [gumêbyar cahyanira angêbêki sabuwana], menyentuh batas terjauh semesta [sumundhul marang ngawiyat]. Seketika, ia menjadi penyaksi akan salam hormat kilat petir yang terlihat menggelegar, menyambar ujung barat dan timur [gêtêr mawaruhan jumêgur lor wètan kidul miwah kulon]. Seorang bapak pria agung, yang sebelumnya telah mendapat bisikan suara sejati [wontên jati suara dumêling], bahwa di dalam nutfah yang bersemanyam pada tubuhnya sedang berdiam cahaya mulia [sira iku kanggonan cahya Nur Buat], yakni benih yang akan menurunkan seorang bayi yang akan menjadi “mustikanya semesta” [bakal anurunakên sira Nabi musthikaning rat].
Tak berhenti di situ, berkah ini juga akan menimpa sosok beranama Halimah Sa’diyah, sang emban yang bertugas menyusui Sang Nabi sebelum Ibunda Aminah wafat. Halimah yang berasal dari Bani Sa’ad ini, yang saat itu klan sukunya dilanda kekeringan, paceklik, dan kemeleratan [dhahat saking langipira lan saking apês mlarat], benar-benar akan ditimpa kebahagiaan yang tanpa kira. Perempuan inilah, bersama suaminya Qais, sedikit dari banyak orang yang paling awal ikut menyaksikan pendar cahaya kenabian yang membuatnya pingsan berkali-kali [sêkala lajêng sumaput malih ilang ngakalira kamitênggêngên].
Ia jugalah yang membopong Sang Nabi, yang berada dalam situasi lemah, haus, dan letihnya karena kemiskinan klan-nya, menyaksikan betapa Sang Bayi yang digendongnya bisa menyebabkan pohon kering yang disinggahinya seketika tumbuh subur bersama buahnya [kayu aking, Ijo royo-royo pradapa ndadak sêkala] ; Onta kurus nan lemah yang sebelumnya ia tunggangi sekejap menjadi gemuk dan kuat [onta kuru siji, dadak rosa ndadak sakala]; Air susunya yang telah berhenti lama tiba-tiba mengalir deras; Hewan-hewan ternaknya yang kurus-kerontang seketika menjadi gemuk dan beranak pinak begitu cepat [wedhus kuru sawiji, gemblah-gemblah sanalika]. Seorang Bayi yang menjadikan Klan Bani Sa’ad seluruhnya mendapati hujan deras setelah sebelumnya dilanda kekeringan [Nêgara Bani Sangad, Larang udan, larang pangan, dadak sakala prepet, jawah bres]; hingga akhirnya keseluruhan anggota suku ini ditimpa kemulyaan, kesuburan, dan kesejahteraan.
Sebuah pen-candra-an sempurna, yang dilukiskan para manusia Jawa, ihwal datangnya kelahiran sang pembawa cahaya. Terutama teruntuk bagi manusia juga bagi segenap makhluk yang siap menyambut kedatangan kelahiran “sang pemukanya para Nabi” ini [pramugarining para nabi].
Sebuah pen-candra-an sempurna, yang dilukiskan para manusia Jawa, ihwal datangnya kelahiran sang pembawa cahaya. Terutama teruntuk bagi manusia juga bagi segenap makhluk yang siap menyambut kedatangan kelahiran “sang pemukanya para Nabi” ini [pramugarining para nabi]. Sebuah kelahiran yang membuat seluruh isi semesta terpesona. Namun begitu, sang cahaya ini tidak hanya semata memesonakan, ia juga menggetarkan sendi-sendi ajaran lama sebelumnya, termasuk orang-orang yang akan menyangkalnya. Lihat bait tembang Dhandang Gula seperti tertera naskah Salawat Emprak ini,
Sakala padhang tanpa damar…
Seketika muncul terang cahaya tanpa pelita
Rêtna di … Mirah yèn diluta…
[pancaran] Mutiara Yakut merah, menyusul
Byar pating palêncur…
Terang serba berpancaran
Kang tetirah sesotya
Jejak sorot intan beraneka warna
Lan nuli jungkêl kabèh
Lalu terjungkallah semua
Sêmbahané wong kafir
Batu sesembahan orang kafir
Bêrhala watu lan bêrhala kayu
Berhala batu maupun kayu
Lan amadhangi ing sakèhé
Juga [cahyanya] menerangi
Wong kang pada mupêt-mupêtan
Orang yang bersembunyi di kegelapan
Bisik-bisik kalingan dursila
Yang berbisik-bisik menutupi perbuatan nistanya
Sawusira miyos Kanjêng Gusti Muhammad
Setelah lahir Kanjeng Gusti Muhammad
Lajêng kapadhangan
Lalu tertimpa pancaran sorotnya
Byar anulya kawêlèh angêrasa yèn ina
Seketika terang, terlihat merasa hina
Lah ingriku gilapên Sètan ing paningalira
Di situlah setan tersentak penglihatannya
Tan bisa mabur marang akasa
Tak bisa terbang lagi ke angkasa
Dahat kasulapan déné cahya
Begitu tersilaukan matanya oleh Sang Cahya
Pating galu[n]dhung
Tergelepar [tanpa daya]
Kaya manuk ilang panjawaté
Bak burung kehilangan bulu sayapnya
Mabur-mabur tan bisa
Tak mampu terbang
Malah-malah kadya surya têngengé
Malah seperti kaku penglihatannya
Mabyur sunarira
Sorot sang Cahaya berterbangan [ke atas]
Tiningalan kadiya
Jika dilihat seperti [terjadi]
Gêrahana [gêrhana] ping pitu sêdina
Gerhana tujuh kali sehari
Wondéné isinéng rat kabèh
Adapun seisi semesta sekalian
Padha anêrka yèn dina kiyamat
Menerka kalau akan datang kiyamat
Ingkang punika gua pèrèng sungil-sungil
Di mana gua, lereng, jurang-jurang yang tersembunyi
Kapadhangan sêdaya
Tersorot cahayanya semua
Lan banjur pêcah dhamparé Ratu Kisra
Seketika hancurlah Kursi singgasana Ratu Kisra [Persia]
Gêniné sêmbahané wong Farsi
Juga api sesembahan orang Persia
Lan padha sigar brahalané kayu
Pecah terbelah dua berhala kayunya
Samya ta’lim sêdaya
Pada bersimpuh semua memberi hormat
Ing Gusti kang Mêksih timur
Kepada Sang Gusti Kecil [kita]
Lan nuli ngêrasa ina lan kawêlèh kabèh
Serta kemudian merasa rendah, tampak hina semua
Saithon olèhe maling pêngrungu
Setan dengan kebiasaannya mencuri dengar
Lan pangrasa angrasa
Serta Mencuri kabar
Tan bisa anggodha
Tak bisa lagi bisa menggoda
Sebuah gambaran yang membuat gentar para makhluk semesta, terutama makhluk yang masih dilimputi kegelapan dan kekafiran, beserta daya nista yang dibawanya. Lukisan indah tentang munculnya sosok Muhammad sang Nabi pilihan yang dilahirkan pada waktu yang mendahului fajar pagi [ngajêngakên fajar sidik], yakni pada malam senin tanggal 12 Rabiul Awwal [Ing malêm Isnèn tanggal kaping rolas ing sasi Robingul Awal], berbarengan dengan Tahun Gajah [marêngi tahun Fil], tepat pada musim Sinta dengan rasi bintang “Aturida” [ing mangsa Sinta ing buruj maqom
Ngatho Urida]. Alias berbarengan tanggal dengan Hijrahnya Nabi Ibrahim menuju Makkah bersama puteranya [amaréngi…hijrahipun Kanjêng Nabi Ibrohim wontên nêgara Mêkah]. Orang-orang Jawa menamai bulan ini dengan sebutan “Sasi Maulud” [Bulan Maulud], alias sebuah bulan maha penting. Bulan “hari raya”-nya orang-orang Jawa. Bulan datangnya sang Nur-Cahya. Bulan yang tepat untuk melantunkan serta melangitkan kekidungan semesta untuk menyambutnya.
***
Ingatan saya tetiba kembali ke pergelaran Salawat Emprak malam itu. Saya terseret. Saya seperti kembali ke waktu di Pesantren Kaliopak. Lamat-lamat saya mengingat cerita-rawen yang mengisahkan Sang Kakek sang bayi, saking girangnya, segera membopong Baginda Nabi memasuki Kakbah, sembari berdoa. Lalu ia keluar, membawa sang bayi ber-thawaf mengelilingi Ka’bah dengan menyenandungkan Kidung “Allahumma”. Sebuah kidung Jawa yang terhiasi dan bertaburan bahasa Melayu lama di dalamnya.
Alon-alon lumakumu ndak kesandung 2x
Pelankanlah jalanmu agar tak tersandung
Yèn kusandhung 2x
Karena jika tersandung
Badan alus mandhêg mayung
Diri sukmamu berhenti-berdiri seketika
Gusti Allah nyuwun ngapura
Gusti Allah [saya] meminta ampunan
Sarta saya liat cucu-cucu saya ini
Saya lihat cucu saya ini
Yang saya arêp jadi raja
Saya harapkan bisa menjadi Raja
Yang pêrtama baik mémang 2x
Cucu pertama yang begitu ganteng
Ambuk sukur yang puji
Saya mengajak bersukur memuji
Kêpadha tuan-tuan
Kepada Tuan-tuan sekalian
Allah kasih cucu saya
Allah menganugerahi cucu saya
Sukak mana ati lêbih goyang turun
Kegembiraan yang membuat hati menari
Lalu amat .... Bolé raja-raja
Karena begitu… Semoga raja-raja
Sukak minta tolong Allah
dengan senang hati memintakan tolong kepada Allah
Allah yang punya ..…
Allahlah sang pemilik…
Sarta orang meliat
Orang-orang yang sedang menyaksikan
Sukak atinya 2x
Bergembira hatinya
Dhilindhungkên jauh dari
Terlindungi jauh dari
Pêkêrjaan orang jahat
Perbutan orang-orang nista
Jauh dari musibat yang
Jauh dari musibah
Mata dua 2x
Dua bola mata ini [bersaksi]
Sunggu[h]-sunggu[h] Tuan
Sungguh telah Gusti
Allah mêngatakên dhalêm karaan [Qur’an]
Allah tuliskan di dalam Al Qur’an
Nama Akhmad disurat
Sesosok bernama Ahmad yang tercatat
Atas suwarga 2x
Di Surga
Tuan Allah punya rakhmat
Allah-lah yang berhak menurunkan rahmatnya
Dhikasihkên umur panjang
Diberikan umur panjang
Ala sujudana pagugahé badan sukma
Sujutilah sang penggugah hidup badan-suksmamu
Ana-ana tangis rayung-rayung
[seperti] Ada suara tangis mengalun
Wong ngalam donya
Tangisnya manusia seluruh alam semesta
Gusti Allah nyuwun ngapura
Ya Allah ampunilah [Kami]
Ada dhi dhang ading dhang dhi dha dhu lahing…
Da di dang, ding, dang di da du lahing
Ala tua raja cucunya dhi ikêt
Sang Kekek Raja mengikat cucunya
Kain dhibawa …
Dengan kain, lalu dibawanya
Putêr towaf tuju kali lantas .......…
Bertawaf tujuh kali mengelilingi [Kakbah. Lalu..
Hu ya Alloh ta’ala, Dat kang Maha Mulya
Hu ya Allah Ta’ala, Duhai Zat Maha Mulya
Mendengarkan kekidungan ini saya terbawa dalam barisan jalan di belakang sang Kakek Abdul Muthalib. Saya benar-benar membayangkan ada dalam barisan thawaf itu. Ikut serta mengiring kegembiraan sang Kakek. Namun tiba-tiba, suara musik Emprak mengambil jalur senggakan nada lain. Sekejap terdengarlah bunyi “Asraqal Badru ‘alaina’ min saniyatil wada’”. Orang-orang segera berdiri [baca: mahalul qiyam]. Melantunkan Salawat Badar, menyambut kedatangan “ruhani” Nabinya. “ Ya Nabi, Salam sejahtera untukmu.” “Ya Rasul salam Sejahtera untukmu”. “Telah terbit sang Rembulan.” “Andalah sang Rembulan.” “Andalah Sang Matahari.” Saya tak ingat lagi. Gerakan tarian para peraga laki-lakinya dengan liukan gerakan tangannya semakin menyedot saya. Tiba-tiba mata saya terpejam tanpa diminta. Seketika itu, bau harum menusuk hidung begitu kuat. Mata saya, tanpa benar-benar saya bisa kendalikan, menitikkan air-mata. “Marhaban, ya Marhaban” [Selamat Datang], “ya Nural Aini…”[Sang Cahaya yang menerangi mataku]. Saya menggeru. Sekuat tenaga. Memekik. Mengeraskan suara. Saya tergulung tangisan kegembiraan. Lautan Cahaya Batin Kenabian.
Shallallahu ‘ala Muhammad, Ya nabi salam ‘alaika, Ya rasul salam ‘alaika, Ya habib salam alaika. Ya Nabi salam ‘alaika, Shalawatullah ‘alaika.
Saya tersadar. Teringat perkatakan ibu saya di desa dulu. “Muhammad itu di sini, Le,” sambil menelangkupkan kelima jari tangan ke dadanya.
Klandungan, Malang, 5 Januari 2023
Daftar Pustaka
Anonim Manuskrips, Tlada [Salawat Emprak], Yogyakarta, Tanpa Tahun.
Anonim, Jawab Slawatan Jawi, dalam https://www.ꦤꦮꦏ꧀ꦱꦫ.id, Diakses 1 Januari 2021.
Irfan Afifi, Slawat Emprak: Terjemah dan Suntingan, Belum diterbitkan, Yogyakarta, 2023.
Irfan Afifi, Saya, Jawa, dan Islam, TandaBaca, Yogyakarta, 2019.
Nancy K. Florida, Jawa-Islam di Masa Kolonial: Suluk, Santri, dan Pujangga Jawa, Terj. Irfan Afifi, Buku Langgar, Yogyakarta, 2020.
Keterangan
Tulisan ini pernah diterbitkan dalam buku bunga rampai “Nyame Braya, Nyame Slam: Tradisi Islam Nusantara” oleh penerbit Buku Republika. Dimuat kembali di sini untuk tujuan pendidikan.
Jika seseorang pada hari ini membayangkan Sabdapalon sebagai semata sosok kisah mitos, barangkali ia akan segera terperangah. Karena melalui tokoh yang disangka “mitologis” ini, bangsa Indonesia, atau lebih tepatnya Jawa, akan mengalami denyut perubahan yang begitu dahsyat, yang tak lagi punya preseden sebelumnya. Sosok mitologis yang telah membuat sejarah Jawa bergemuruh secara keras yang memaksa kita untuk menengok ulang sejarah kita. Lalu siapa dan bagaimana kisah yang telah mengombang-ambingkan kita dalam pusaran sejarah bangsa?
Dalam Serat Dharmagandhul (menurut keterangan Hoofdenschool di Prabalingga, ditulis pada tahun 1879), Sabdapalon Nayagenggong ialah sosok emban atau pamomong raja Jawa sejak zaman dahulu
Narenda kawula emong Para raja, saya momong
punika karyaningwang Itulah pekerjaanku
Seorang tokoh yang dikatakan serat ini sebagai “raja dari semua mahluk halus yang menjaga tanah Jawa” atau bahasa serat ini berbunyi “ratuning dhanyang kang rumeksa tanah Jawi”. Ya, Seorang dhanyang tanah Jawi, sang ratu makhluk gaibnya tanah Jawi, seseorang yang ditegaskan sendiri oleh karya lain bernama Serat Dharmagandhul sebagai ”yang sering dikenal dengan nama Semar”.
Nama ulun nami Ki Lurah Semar Namaku bernama Ki Lurah Semar
Ulun nglimputi Salire kang samar wujud Saya yang melimputi seluruh yang samar dari keberadaan
Seorang yang menurut sumber Babad Kadhiri (ditulis Sumasentika tahun 1873), sebagai “pengawal” yang menyertai kepergian Raja Brawijaya mengungsi ke pulau Bali, setelah kerajaan tersebut hancur diserang–menurut olok-olok dalam karya ini–”Sang anak durhaka bernama Raden Patah”. Seseorang yang oleh orang kebanyakan hari ini, dianggap tokoh gaib yang meramalkan bahwa “Jawa akan berpindah agama dari Islam ke Kawruh Buda” setelah 400 tahun, yakni dari sejak tahun keruntuhan kerajaan Majapahit: Saka dari tahun 1400-ke tahun 1800 atau tahun Masehi dari 1478—ke 1878.
Sabdapalon dalam Naskah
Menurut jelajah terbatas terkait naskah-naskah tua, sosok tokoh dengan karakternya sebagai seorang tokoh sakti bin gaib sebagaimana kita lukiskan pada sosok Sabdapalon, kita tidak pernah menjumpainya. Kita misalnya, hanya menemukan sosok dengan nama sama namun berbeda karakter dan wataknya. Di Serat Damarwulan, misalnya, tokoh ini muncul sebagai pelayan raja Damarwulan, yang tak memiliki kelebihan apapun, selain ia hanya sebatas seorang pelayan.
Namun, baru di abad 19-an sajalah kita menemukan sosok “Sabdopalon” sebagaimana menjadi imaji “sosok gaib” seperti dibayangkan orang-orang hari ini. Alias, ia produk baru yang sengaja diciptakan, dan relatif berhasil menjadi ‘kenyataan mental” bangsa Jawa, yang bahkan masih dirawat hingga kini. Lalu kapan sosok tokoh sakti-bin gaib ini muncul. Sosok ini pertama kali ini muncul dalam manuskrip berjudul Babad Kadhiri, yang ditulis Mas Sumasentika, pensiunan wedana daerah Lengkong (Kabupaten Nganjuk, Kediri hari ini), yang selesai menuliskannya pada tahun 1873.
Babad ini merupakan sebuah manuskrip yang untuk pertama kalinya berani menggambarkan bahwa proses perubahan Jawa menjadi Islam adalah sebuah kesalahan. Menurut narasi babad ini, Islamisasi di Jawa yang disebarkan oleh sosok-sosok para walinya (Walisanga) digambarkan sebagai seekor tikus, “datang diberi kebaikan, di belakang menggerogoti”. Pada babad ini pulalah, untuk pertama kalinya dalam sumber sejarah, mengatakan bahwa proses Islamisasi di Jawa, yakni melalui raja pertamanya, Raden Patah, cerita islamisasi jawa dilukiskan berubah menjadi cerita tentang kedurhakaan seorang anak bernama Raden Patah yang memberontak terhadap ayahnya, Brawijaya. Atau ringkasnya, sebuah manuskrip yang menandai sikap “anti-Islam” untuk pertama kalinya di tahun 1870an.
Menurut narasi babad ini, Islamisasi di Jawa yang disebarkan oleh sosok-sosok para walinya (Walisanga) digambarkan sebagai seekor tikus, “datang diberi kebaikan, di belakang menggerogoti”
Babad Kadhiri (1873)
Lalu bagaimana cerita tentang munculnya naskah ini? Menurut keterangan pengantar manuskrip ini sendiri, Babad ini ditulis atas permintaan pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1832, alias pasca Perang Jawa 1825-1830, yang mendesak adipati Kedhiri saat itu untuk menuliskan sejarah-nya. Permintaan ini mendapat sambutan bupati Kediri yang saat itu berkuasa. Bupati Kediri saat itu, M. Ng. Purbawijaya, segera memanggil Ki Dermakanda, seorang dalang wayang klitik saat itu yang dikira mengetahui banyak hal untuk menerangkan sejarah Kediri (Jawa). Dalang itu ternyata tak tahu, namun segera menjanjikan untuk segera mencari sumber atau sosok yang bisa menceritakan.
Ki Dermakandha tak begitu lama datang lagi bersama cantrik “niyaga”-nya bernama Ki Sondhong ke kediaman sang Bupati. Singkat cerita, Ki Sondhong kemudian dijadikan media-kerasukan yang bisa dimasuki oleh seorang Raja Jin Gunung Kelud (Gua Selabale) bernama “Ki Buthalocaya”. Sang raja jin Buthalocaya inilah yang akan bercerita, melalui mulut Ki Sondhong yang telah dirasuki, ihwal segala hal terkait sejarah Jawa. Ki Buthalocaya sang “dhanyang”-nya Kota Kediri inilah yang bercerita melalui mulut Ki Sondhong. Dari penuturan sosok “sang ratu makhluk halus” inilah sejarah Jawa versi babad ini kemudian dicatat, ditulis, dan menjadi karya yang hari ini kita kenal sebagai Babad Kedhiri.
Keseluruhan cerita Babad ini intinya terkait proses yang salah dari berubahnya agama orang Jawa ke Islam. Proses Islamisasi digambarkan dimulai oleh penyerangan Demak atas Majapahit, yang didorong oleh dorongan jahat Sunan Bonang dan Giri. Yakni penyerangan dari seorang anak durhaka terhadap ayahnya (Raden Patah). Dengan penambahan unsur dramatis tertentu, cerita Islamisasi juga dilukiskan sebagai “perilaku barbar” dimana seluruh kitab-kitab “Agama Buda” dihancurkan semua. Akibatnya orang Jawa tak lagi bisa mengenali dan mengakses agama leluhurnya. Bahkan saking sedihnya, raja Brawijaya dalam menyaksikan perilaku durhaka anaknya, akhirnya memilih mengungsi menuju ke Bali ditemani pengawalnya yang setia bernama Sabdapalon Nayagenggong.
Dengan penambahan unsur dramatis tertentu, cerita Islamisasi juga dilukiskan sebagai “perilaku barbar” dimana seluruh kitab-kitab “Agama Buda” dihancurkan semua.
Tak selesai di situ. Babad ini juga menggambarkan adegan Raden Patah setelah mengalahkan Majapahit, yang segera menuju ke Ampel, sowan dan meminta restu ke Istri Sunan Ampel yang masih hidup. Segera saja Ia dimarahi karena berani menyerang dan berperilaku durhaka kepada ayahnya. Pemberotakannya, kata istri Ampel, adalah sebuah kesalahan besar. Sang Istri Ampel ini meminta Patah segera mengembalikan lagi ‘tahta kerajaan’ kepada Brawijaya.
Sunan Kalijaga yang menyaksikan hal ini semua, segera tanggap. Ia dengan segera menyusul Brawijaya ke arah timur dan memintakan maaf Patah terhadap Sang Raja, dan meminta kembali menjadi raja, namun Sang Raja tak berkenan. Keputusan telah dijatuhkan (secara harfiah dalam bahasa Jawanya berbunyi “sabda palon”). Seorang raja, pantang menjilat ludah-nya (keputusannya) yang telah keluar. Namun begitu, dalam sebuah percakapan yang tampak intim, Sunan Kalijaga kemudian berhasil membujuk sang raja ini, Brawijaya, menyatakan masuk Islam. Bahkan sang raja juga mengajak pelayannya “Sabdapalon” untuk ikut serta masuk dalam agama ini.
Namun justru karena hal inilah yang menyebabkan Sabdapalon marah dan semenjak saat itu tidak mau lagi mendampingi rajanya, alias meninggalkan sang raja untuk selamanya, karena telah meninggalkan agama leluhur, “agama Buda” atau “agama budi”. Sang pengawal ini, benar-benar menyesali kenapa rajanya berpindah ke agama padang pasir yang tandus dan nyaris tak pernah hujan. Ia benar-benar menolak diajak memeluk agama Islam, dan mengatakan bahwa “agama saya adalah agama leluhur, agama Buda. Agama buda adalah agama budi”.
Sebelum meninggalkan rajanya, Sabdapalon kemudian bersumpah bahwa “Saya akan mendatangkan orang asing ke Jawa, Orang Jawa yang berkelakuan buruk akan saya buang ke luar. Saya tak akan berhenti berbuat sesuatu, sebelum keturunan Jawa kembali kepada Budinya. Hingga mereka bisa minum lagi alkohol dan daging babi, seperti di zaman Majapahit. Sampai mereka mengetahui untung dan rugi” [baca: Kawruh Eropa]. Nah di babad inilah tokoh Sabdapalon dan Nayagenggong untuk pertama kalinya muncul dalam manuskrip. Seseorang pelayan sakti nan “linuwih” yang bisa menjangka peralihan tanah Jawa kembali ke agama leluhurnya.
Gatholoco dan Dharmaghandul: Melanjutkan Narasi
Setelah terbitnya Babad Kedhiri, terdapat kesusastraan Suluk maupun Serat yang sengaja mengulang narasi Babad Kedhiri ini. Ia secara terang-terangan nyaris secara keseluruhan mengulang argumen yang pernah keluar di babad ini. Bahkan dalam beberapa hal, ia mencomot tokoh-tokoh yang telah disebut, dan kemudian mengeksplorasinya secara lebih panjang, dengan detail yang lebih dramatis dan filmis.
Sebuah karya suluk yang mengulang cerita dan narasi Babad adalah “Suluk Gatholoco”. Karya ini terbit pada tahun 1870an, menurut keterangan misionaris Belanda C. Poensen, yang saat itu sedang berkunjung ke wilayah Kediri. Suluk ini berkisah dan semata mengulang isi Babad Kadhiri bahwa agama Islam adalah agama padang pasir yang jarang hujan (1 tahun sekali). Agama yang tak akan pernah cocog bagi penduduk Jawa yang diliputi kesuburan dan hujan yang melimpah. Bahkan dalam sebuah sarkasme yang menghentak, suluk ini menggambarkan, tuhannya orang padang pasir adalah tuhan barbar; “Allah tidak punya Budi”, kata suluk ini. Sejak dahulu kala hingga di era zaman Majapahit orang Jawa telah beragama Buda. Dan baru kali inilah [di masa Islam], agama leluhur orang Jawa lalu berubah dan ditinggalkan.
Semua celaan dari karya Gatholoco ini seluruhnya muncul dari mulut sosok dekil, jembel, bermuka jelek, yang dalam kesehariannya selalu berpegangan dan menghisap opium di tangannya. Seorang yang mengenalkan dirinya sebagai bernama “Gatholoco”, sebuah nama yang secara asosiatif menunjuk “alat kelamin pria yang digosok”, mendebat keras, serta menjatuhkan para lawan musuh debatnya, yakni tiga orang santri bernama Ngabdul Jabbar, Ngabdul Manab, dan Amat Ngarib. Bahkan sang tokoh protagonis ini, menurut alur rekaan khayal cerita “Gatholoco” ini, berhasil mengalahkan Kyai Kasan Besari (guru sang pujangga Ranggawarsita) dalam sebuah debat Ilmu. Sungguh sebuah reka-penggambaran yang sengaja keluar dari narasi sejarah utama.
Di babak akhir cerita, Gatholoco diceritakan mengalahkan musuh debat terakhirnya, yakni seorang pertapa wanita bernama “Dewi Perjiwati”, yang secara literal berarti “alat kelamin perempuan”, dan segera saja memperistrinya. Sejak saat itulah, Gatholoco mengganti namanya menjadi Kanjeng Gusti “Kalamulah”, yang ia plesetkan maknanya sebagai bermakna “Penis Budi yang telah masuk”, dan bukannya menunjuk makna “firman Allah”. Oleh karenanya ia kemudian menjadi “Buda”, seorang yang telah tercerahkan [terasuki] oleh budi”. Penis budi yang telah masuk ke vagina Dewi Perjiwati. Seorang Buda.
Serat Darmagandhul (1879)
Selain kisah di atas, juga terdapat manuskrip berjudul “Serat Dharmagandhul” yang tidak hanya mengulangi narasi Babad Kedhiri (1873), melainkan juga mengulang cerita Gatholoco (1870an). Serat ini sengaja mencomot gelar Gatholoco, yakni “kalamulah”, dan menggantinya dengan kata-kata lain yang bermakna mirip, yakni “Kalam-Wadi”. Dalam Serat Dharmagandhul ini, sosok sang “Kalam-Wadi” [alias Gatholoco yang bergelar “kalamulah”] diposisikan sebagai penutur cerita, alias gurunya tokoh baru yang dimunculkan bernama: Dhermagandhul, yang secara asosiasi bunyi juga bermakna sosok yang tugasnya selalu bergelantungan (penis).
Serat ini Ia juga memunculkan lagi tokoh Ki Buta Locaya yang telah sejak awal muncul di Babad Kedhiri. Ia bahkan juga menuliskan secara lebih panjang kisah tentang Sabdo-Palon Naya Genggong yang sebenarnya hanya mengulang cerita babad ini.
Dalam narasinya secara umum, serat ini dalam nada yang sama, menyerukan ulang untuk kembali ke agama Buda, sembari mengejek agama Islam. Bahkan dalam serat ini justru memuji dan menyarankan berpindah ke agama Kristen, karena dianggap lebih dekat ke agama Budi Jawa. Sehingga menjadi tak aneh jika misalnya banyak orang menduga dan berspekulasi lebih lanjut jika hal ini merupakan bagian dari kerja misionarisme Kristen di Jawa, yang memang saat itu sedang berkembang di daerah lereng bukit Wilis dan Kelud, Kediri, Nganjuk, dan sekitarnya.
Narasi Anti Islamisasi
Dari pembacaaan ketiga sumber Manuskrip tadi 1) Babad Kedhiri (ditulis 1873), 2) Suluk Gatholoco (1870-an, 3) Serat Darmagandhul (1879) semuanya seolah menandai fase baru wacana dan aspirasi ketidakrelaan sebagian orang Jawa, kenapa Jawa berpindah ke ajaran Islam. Dan sosok “Sabdopalon Nayagenggong” sengaja muncul dan dimunculkan sebagai narasi utama di tiga manuskrip tadi, dan selanjutnya akan disadur secara berantai secara tak terkendali selanjutnya, dan bahkan berkembang menjadi cerita mandiri yang beraneka, yang secara tak terelakkan, juga turut membentuk kesadaran baru pada realitas mental orang Jawa.
Sosok tokoh gaib Sabdopalon yang sengaja dimunculkan di akhir abad 19 ini akhirnya menjadi lambang yang mewakili aspirasi sekelumit orang Jawa yang hendak ingin kembali kepada agama Buda. Namun perlu disebutkan, bahwa sejak dibentuk Institut Bahasa dan Budaya Jawa di Surakarta setelah kekalahan Jawa (1825-1830) yakni lembaga Javanologi yang pertama kali diciptakan kolonial di Surakarta, sebelum dipindahkan ke Delf dan Leiden, masyarakat Jawa jajahan mulai terbantu membayangkan masa lalunya yang lebih jauh [pada era Majapahit ke belakang], lewat bantuan temuan-temuan arkeologi dan filologi kolonial.
Semenjak usaha Javanologi untuk meneliti masa jauh zaman Majapahit yang sebenarnya telah lama terkubur, yakni dengan menemukan manuskrip Kekawin-kekawin penting yang masih tersebar di Lombok dan Bali, ulasan-ulasan akademiknya akan banyak membangkitkan kembali dan mempengaruhi jangkauan imaji bangsawan Jawa dalam membayangkan masa-lalunya yang telah hilang. Dengan bantuan temuan arkeologi dan filologi kolonial inilah (akhir abad 19 dan awal 20), bangsawan Jawa mulai berani membayangkan untuk kembali kepada masa lalunya yang sangat jauh. Dan saya kira, Sabdapalon adalah simbol yang mewakili jangkaun imaji yang memang telah didiktekan oleh kolonial untuk menuntun orang Jawa kembali kepada agama leluhurnya (Hindu-Budha zaman Majapahit)–seturut keterangan Nancy K. Florida–yakni persis sebagaimana diimajikan para arsitek kolonial Javanologi Surakarta, sebagai sebuah prototipe “kejawaan yang jinak”, “sebuah kejawaan yang belum terintrusi oleh aspek revolusioner agama padang pasir”, yang terus-saja memberontak kepada Belanda, dengan slogan “kapir landa”-nya.
Dan hal ini menurut keterangan Ricklefs di bukunya “Polarizing Javanese Society”, kisah tentang Sabdapalon sebagai sebentuk gugatan tentang narasi Islamisasi akhirnya bertemu dan saling bersambut dengan kepentingan misionaris Kristen di Jawa di wilayah Kediri dan sekitar lereng Wilis dan Kelud, yang memang sejak perang Jawa telah menjadi pusat misionarismenya, yakni dengan sosoknya bernama R. Coolen di lembah Ngara [kecamatan Nganjuk, Kediri]. Dari pusat lereng inilah kita mengenal Kyai Tunggul Wulung yang berpaut dengan cerita Butha Locaya, Paulus Tosari, dan bahkan bersambung hingga Kyai Sadrah. Spekulasi ini perlu mendapat konfirmasi penelitian yang lebih dalam.
Namun begitu, pusat produksi manuskrip-manuskrip ini, seperti yang dikatakan M.R.C Ricklefs, memang berada atau setidaknya isinya berasal dari lereng bukit Wilis dan Kelud seperti yang telah dijelaskan. Oleh karenanya spekulasi-spekulasi terkait hubungan ini, kadang bisa sedikit dimaklumi.
Yang jelas memang sejak kekalahan masyarakat Jawa setelah berakhirnya Perang Diponegara (1825-1830), masyarakat Jawa tunduk total pada penjajah Belanda, dan sejak perubahan kuasa inilah, Jawa benar-benar akan berubah secara drastis menuju kemungkinan yang belum ada presedennya di masa lalu. Seperti telah banyak disebutkan pada karyanya Mystic Synthesis in Jawa (2006), masyarakat Jawa, setidaknya dari masa Demak hingga Mataram pada akhirnya menerima Islam sebagai identitas kejawaannya. Dalam istilah Ricklefs “Orang Jawa…,” setidaknya hingga masa perjanjian Giyanti 1755, “…telah diikat dalam kesatuan bingkai pandangan dunia Islam, dan tidak lagi bisa membayangkan kejawaannya di luar Islam”.
Namun sejak kekalahan masyarakat Jawa 1830, bangsa dan keraton Jawa akhirnya tunduk kepada penjajah barunya bernama Belanda. Sejak ketundukan inilah Islam mendapat tantangan keras alias tak lagi kuat menyatukan bangun masyarakat dalam satu payung-padu, seiring konstelasi perubahan kekuasaan. Bahkan, dalam beberapa analisis, politik pecah-belah masyarakat Jawa yang awalnya diikat oleh identitas Islam ini, sengaja diciptakan kolonial lewat perangkat politik pengetahuannya [salah satunya melalui lembaga Javanologi-nya yang terus berevolusi], yang pelan tapi pasti segera mendesak Islam ke pinggiran. Selama Islam masih menjadi identitas kejawaan, selama itu pula kekuasaan kolonial tak akan pernah tenang, Kuasa kolonial akan terus mendengar pekik-pemberontakan Jawa dengan semboyan “perang sabilolah”. Politik pengetahuan dan kebudayaan yang diterapkan kolonial bergayung-sambut dengan perubahan konstelasi pemahaman Islam melalui gerakan modernisme Islamnya di pusat negara Islam Mekkah maupun Mesir. Akhirnya masyarakat Jawa dalam proses pengutuban menaik akhirnya terbelah menjadi tiga golongan yang saling bermusuhan: Santri, Abangan, Priyayi di akhir abad 19, meski ketiganya masih meyakini diri mereka sebagai Muslim.
Namun begitu, baru pada akhir abad 19 lah mulai terdapat sekelumit lapisan masyarakat Jawa yang memilih jalur ekstremnya. Mereka mulai berani mempertanyakan ulang Islam dan Islamisasi yang tentunya dengan bantuan temuan-temuan arkeologi dan filologi Belanda, dan segera saja membuat mereka bisa menautkan visi mereka untuk kembali ke masa lalu yang jauh: agama Buda. Saya kira dalam konteks Itulah makhluk gaib Sabdapalon dan Nayagenggong muncul dan dihadirkan. Dan saya kira makhluk ini akan terus menghantui Indonesia. Allahu A’lam.
Keterangan: Tulisan ini adalah materi acara yang diselenggarakan Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY 14 Juni 2023. Dimuat kembali di sini untuk tujuan pendidikan.
Daftar Pustaka
B.R.T. Tandhanagara, Darmagandhul Gancaran, Penerbit Sadu Budi, Sala, tanpa tahun.
Damar Sasangka, Darmagandhul, (penerjemah), Jakarta Selatan, Dolphin, 2011.
M. Hariwijaya, Suluk Gatholoco, Berdasar Naskah Koleksi Perpustakaan Sono Budhoyo, Nomor PBA 179, (PBE 34), Yogyakarta, 2006.
Prawirataruna, Balsafah Gatholotjo, Ngemot Balfasah Kawruh Kawaskitan, Miturut Gubahan sdr. Prawirataruna, ing awale abad 20 Masehi, diperiksa dan dialihaksarakan oleh R. Tanoyo, Penerbit Mulyo, Solo, Tanpa Tahun.
M.R.C. Ricklefs, Mystic Synthesis in Java: A History of Islamization from the Fourteenth to the Early Nineteenth Centuries, (Norwalk, CT: EastBridge, 2006).
________________, Polarizing Javanese Society, Islamic and other Visions (c. 1830-1930), NUS Press (Singapore: 2007).
——————-, Islamisation and Its Opponents in Java, A Political, Social, Cultural, and Religious History C. 1930 to the Present, NUS Press (Singapore: 2012).
——————-, The Seen and Unseen World in Java, 1726-1746, History, Literature, and Islam in the Court of Pakubuwana II, University of Hawai Press, 1998.
P.W. van der Broek (ed. transl.), De Geschieden van het rijk Kediri, opgeteekend in het Jaar 1873 door mas Soema-Sentika, gepensioneerd Wedana van het district Lengkong, Leiden, E.J. Brill, 1902
M.Ng. Mangoenwidjoyo, Serat Babad Kadhiri, Boekhandel Tan Khoen Swie, Kediri, Tahun 1932.
Mas Ngabei Purbawidjaja & Mas Ngabei Mangunwidjaja, Serat Babad Kadhiri, Kisah Berdirinya Sebuah Kerajaan, Penerjemah Siti Halimah Soeparno, Yogyakarta, Matara Communication, 2008.
Nancy K. Florida, Jawa-Islam di Masa Kolonial; Suluk, Santri, dan Pujangga Jawa, (penerjemah dan editor Irfan Afifi), Buku Langgar, Yogyakarta, 2021.
Akhir-akhir ini saya nyaris berkesimpulan bahwa makna hidup tak mungkin didapat dari proses abstraksi-abstraksi pemikiran dan permenungan filosofis berjarak. Melainkan ia bisa digenggam, hanya dari proses mengalami secara intim-subjektif pengalaman-pengalaman kehidupan. Sederhananya untuk dapat merengkuh makna hidup, orang, saya anjurkan untuk menjadi pecinta daripada menjadi filsuf.
Kalaupun “makna hidup”––katakanlah begitu––bisa ditangkap dari permenungan berjarak para filsuf, makna tersebut saya kira kok bersifat objektif, jauh, dan dingin, alias tak membantu banyak hal atas keputusan spesifik dari ribuan gejala dan pengalaman yang kita hayati secara spesifik. Ia ada “jauh” di sana, oleh karenanya apa guna?
Persis seperti dalam menghayati agama, makna hidup harus dijemput tepat pada saat anda “menceburkan” diri dalam pengalaman fana keduniaan anda. Mungkin metafor yang baik untuk melukiskan ini adalah saat anda belajar bersepeda.
Agama, atau lebih tepatnya kebenaran agama, digapai bukan dengan mematuhi rumusan baku yang bersifat umum dan mengekang, yakni dengan cara melibatkan diri dalam pertengkaran diskursif terkait madzhab-madzhab aturan-aturan yang beragam tentang juklak dan juknis seperti tertera dalam banyak buku panduan bersepeda.
Kebenaran agama adalah hal intim yang diperoleh dari jalan menerjunkan diri untuk dengan komitmen dan tekad sempurna berani mengayuh sepeda dengan keterlibatan penuh, meski ia harus berkali-kali terluka karena sepeda anda tersungkur. Tapi tekadnya untuk merengkuh kebenaran akan memicu anda untuk bangkit dan bangkit lagi. Anda, percayalah, akan dibangkitkan oleh cinta.
Kebenaran agama adalah hal intim yang diperoleh dari jalan menerjunkan diri untuk dengan komitmen dan tekad sempurna berani mengayuh sepeda dengan keterlibatan penuh, meski ia harus berkali-kali terluka karena sepeda anda tersungkur. Tapi tekadnya untuk merengkuh kebenaran akan memicu anda untuk bangkit dan bangkit lagi. Anda, percayalah, akan dibangkitkan oleh cinta.
Para faqir dan guru suci kita telah sering memperingatkan kita bahwa menghafal kitab suci tak akan mengantarkan kita pada kebenaran, apalagi kearifan. Kebenaran didapat sungguh dari upaya intim kita untuk “mengalami” percik-percik pengalaman. Banyak orang menyebut upaya ini sebagai “cinta”, dan sepertinya saya setuju.
Sungguh saya akan bergetar, jika menemui seseorang yang dengan tanpa sedikitpun mundur––tentu setelah melewati uji rentang waktu yang lama––untuk terus menerus memperjuangkan cintanya. Ia, bagi saya telah “mengalami” cinta sebagai proses spiritual yang sublim, dan oleh karenanya saya akan segera bersimpuh di depannya (lirik Tarli Nugroho).
Para faqir dan guru suci kita telah sering memperingatkan kita bahwa menghafal kitab suci tak akan mengantarkan kita pada kebenaran, apalagi kearifan. Kebenaran didapat sungguh dari upaya intim kita untuk “mengalami” percik-percik pengalaman. Banyak orang menyebut upaya ini sebagai “cinta”, dan sepertinya saya setuju.
Saya sarankan, jika anda ingin merengkuh kebenaran, singkirkan jauh-jauh permenungan filosofis berjarak dan jadilah pecinta yang buta. Karena, jika cinta saya buta, ungkap anda, saya pasti akan menemukan jalan bersamanya.
Tapi, tunggu dulu. Pandangan saya di atas sebenarnya masih hitam-putih. Yakni Saya seolah membuat garis tegas wilayah antara filsuf dan pecinta. Padahal, dalam hidup, saya sering menemukan seorang filsuf yang berusaha mengalami kehidupan dengan bantuan permenungan berjaraknya. Karena bagaimanapun, pengalaman yang tak direfleksikan hanya akan menambah deretan pengalaman yang tak terangkai.
Namun, sebenarnya, apa yang saya ingin katakan sebenarnya sederhana, yakni saya ingin mengalami hidup ini dari menggeluti kekayaan elemen yang mendukungnya: permenungan, ilmu pengetahuan, rasa seni, keterlibatan etis, keindahan, dsb.
Karena, kita tahu, akhir-akhir ini ada kecenderungan banyak orang meyakini bahwa hanya dengan kelebatan panduan ilmu pengetahuan, tafsir agama, dan doktrin-doktrin agama semata, mereka merasa telah meringkus kebenaran. Mereka abai bahwa hidup adalah kecamuk gejala yang sejatinya perlu didekati tidak hanya dengan ilmu tapi juga seni; tidak hanya dengan tafsir kitab suci, melainkan juga dengan etika dan akhlak kemanusiaan––yang sejatinya saya yakini segaris dengan agama yang fitri.
Sudah. Kalau begitu, anda ingin jadi filsuf atau pecinta.
Gambar di bawah ini namanya kayon. Banyak sumber mengasalkan kata ini dari kata kayu dalam bahasa Jawa yang berarti pohon dan wit-witan (tumbuhan), maupun dr kata hayyu atau hayyun dari bahasa Arab (yang dilafalkan lidah Jawa menjadi kayu atau kayun) yang berarti ‘hidup’. Kata kayu ditambah akhiran -an menurut kaidah fonetis Jawa menjadi kayon (bukan kayuan), persis seperti kata turu (tidur) mendapat akhiran -an menjadi turon bukan turuan.
Arti dua cabang asal kata ini sepertinya justru saling melengkapi. Seperti simbol pohon kalpataru yang terpampang dan memenuhi gambarnya, hal ini memang mau menunjuk arti ‘pohon kehidupan’ (pohon kalpataru). Namun dalam bahasa jawa, selain kata wit yang berarti pohon, kata wit juga bisa berarti kependekan kata wiwit atau wiwitan yang berarti “permulaan”. Jadi ini juga soal “permulaan kehidupan”, atau juga terkait permulaan kehidupan yang dimetaforkan seperti pohon, yakni ada awal-akarnya kemudian berkembang bertumbuh, bercabang, berdaun, beranting, berbunga dll.
Makna dan simbolisasi yang baru saya paparkan sungguh terkonfirmasi oleh salah satu deskripsi setiap dalang wayang kulit purwa di tengah pakeliran saat menancapkan kayon-nya, kemudian mendendangkan sulukan (pathet sanga wantah) yang mengilustrasikan kayon awal mulai pohon kehidupan itu.
Kayune purwa sejati. (Ke)hidup(an) permulaan sejati. Yang dahannya semesta, beranting cahaya pelangi, kembangnya bintang-bintang, berkelopak langit, berbuah matahari dan bulan, tersirami embun dan hujan, juga berpuncak angkasa, dst.
Jadi sebenarnya kayon ini ingin mengajarkan tentang awal mula sejati kehidupan atau alam semesta ini (yang sebenarnya sekaligus akhirnya). Lalu apa permulaan sejati atau awal mula dari kehidupan ini?
Jadi sebenarnya kayon ini ingin mengajarkan tentang awal mula sejati kehidupan atau alam semesta ini (yang sebenarnya sekaligus akhirnya). Lalu apa permulaan sejati atau awal mula dari kehidupan ini?
Jawabannya kita temukan di paragraf Wirid Hidayat Jati-nya Ranggawarsita, saya kutipkan:
“Kang dingin Ingsun anitahake Kayu…’ (ingat kata ‘kayu’)”.
“Yang pertama Saya (Allah) mencipta/memerintahkan Hayyu (zat hidup/ kecenderungan pertama Dzat-Nya)…’
“Nuli cahya aran Nur Mukammad”
“Baru selanjutnya cahaya yang bernama Nur Muhammad”.
Saya kutip kata perkata biar orang tidak mengira saya ngelindur. Di paragraf ini sebenarnya Ranggawarsita ingin menceritakan awal-mula kehidupan bukan dari sisi penciptaan dunia menurut syariat lahir, melainkan dari konsep penciptaan semesta dari haqiqat-esotoris seperti diamini banyak tokoh sufi seperti Ibn Arabi, Jilli, Jami, Burhanpuri, bahwa semesta ini merupakan merupakan tajalli atau pendararan kecenderungan pertama Dzat-Nya (Syu’un dzatiyah) yang bernama Hayyu atau kayu yang kemudian mencipta cahaya atau nur muhammad.
Kecenderungan Dzat-Nya yg pertama ini (Kayu) oleh Ranggawarsita disebut juga sajaratul yakin (harafiahnya pohon yakin/pohon hidup) yang olehnya dimaknai “bertumbuh di alam adam-ma’dum” atau di alam “gaib-nya gaib” alias di alam puncak tertinggi (pertama) kegaiban tuhan, yang oleh Ranggawarsita disebut sebagai tempat kegaiban pertama alam ahadiyat (dados wahananing ngalam akadiyat).
Dari kegaiban pertama ini lalu munculllah nur Muhammad di alam kegaiban kedua (alam wahdat), terus hingga alam ketiga (alam sirr/rasha), keempat (alam arwah), kelima (alam misal), keenam (alam jisim kebendaan dunia ini) hingga ketujuh (dunia insan kamil manusia), yang sering disebut ‘martabat tujuh’ (kasapta martabat).
Jadi Ranggawarsita tak sendiri. Teori penciptaan ini diamini juga oleh sufi lain seperti Hamzah Fansuri, al-Jilli, Burhanpuri, dll. Dan sekali lagi teori ini tidak bertentangan (hanya sisi esotoris dalam memandang) dengan teori kejadian al Qur’an dari sisi lahir-eksoterik dari “ketiadaan” menjadi “ada”.
Dari sisi esotorik inilah kehidupan (kayu) bermula dari penyingkapan kegaiban berlapis-lapis atau peluberan (faidh, tanazzul) kecenderungan dzat-Nya bernama “hayyu” tadi melahirkan kehidupan dunia ini (dunia ini madźhar-Nya). Atau dalam bahasa lain, (kehidupan) dunia ini atau alam semesta ini hanya tajalli atau manifestasi atau pen-“nyata”-an dari Wujud dari Yang Maha Hidup (Hayyu).
Tak aneh misalnya gunungan wayang itu yang awalnya dinamai kayon Blumbangan dikenali masyarakat diciptkan oleh Sunan Kalijaga. Lalu disempurnakan menjadi Kayon Gapuran di zaman Mataram kartasura (jangan mencarinya di zaman Majapahit, yg cuma menyisakan parwa-parwanya (cerita wayang) tp tak diketemukan wayang kulitnya).
Jadi jangan heran jika kayon itu muncul dalam perubahan suasana di setiap babak lakon cerita: di awal, tengah, dan akhir wayang). Ia juga menandai munculnya sulukan (harafiah Arab-nya “perjalanan” hidup kembali kepada-Nya) alias tembang peralihan di setiap lakon (laku, mlaku, lakon perjalanan kehidupan) wayang.
Akhirnya kayon adalah lambang perjalanan kehidupan yang berasal dari-Nya dan sedang menuju-Nya. Lambang untuk mengenali awal-mula kehidupan manusia (kayun purba sejati). Ia bahkan bukan semata mengajari tauhid lahir bahwa Tuhan kita adalah Allah. Namun bahwa satu-satunya yang benar-benar ‘ada’ (yakni tauhid wujud), adalah Dia. Keber-ada-an bumi dan alam semesta ini hanyalah ‘bayangan’ (wayangan), alias tidak haqiqi, majazi, dari keber-Ada-an mutlaq-Nya. Termasuk hidup kita ini hanya bersifat metaforik (majazi), karena yang benar-benar hidup adalah Yang Maha Hidup. Dalam bahasa lahir-syariat, hidup kita ini hanya pinjaman.
Akhirnya kayon adalah lambang perjalanan kehidupan yang berasal dari-Nya dan sedang menuju-Nya. Lambang untuk mengenali awal-mula kehidupan manusia (kayun purba sejati). Ia bahkan bukan semata mengajari tauhid lahir bahwa Tuhan kita adalah Allah.
Makanya saya tidak terlalu kaget, ada seorang ustadz yang mengharamkan ajaran tauhid wayang ini, yang dari mulutnya keluar semua yg tak ada dalilnya ia bid’ahkan. Namun saya sedih, karena kita (para pewaris walisanga ini) benar-benar kehilangan ajaran mulia ini dari tikungan-tikungan sejarah kolonialismenya sehingga tak lagi mengenali ajaran penting ini. Ringkasnya para muslim kita hari juga sudah mulai “kelangan enggok“. Mungkin ini nasib sejarah, saya memaklumi.
Saya tiba-tiba ingat zikirnya simbah-simbah tetangga dulu: “ya kayu ya kayumu” (Ya Hayyu, Ya Qayyum(u).
Alhamdulillah. Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Wasshalatu ‘ala rasulillahi ajma’in.
Berlaksa unggun puji syukur senantiasa tak putusnya kami langitkan kehadirat Allah swt. Juga shalawat serta salam semoga terus tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad rasulillah ajma’in. Juga saya haturkan beribu curahan rasa terima-kasih kepada Yayasan Bentala, terutama mas Alam beserta jajaran pengurus yayasan, yang telah memberi tempat dan kesempatan yang sungguh berharga ini kepada kami untuk menyampaikan semacam “Pidato Kebudayaan” dalam rangka tasyakuran milad Yayasan Bentala Tamaddun Nusantara ke-2 tahunnya.
Saya sendiri sebenarnya, untuk yang pertama, tak benar-benar yakin, apakah apa yang saya sampaikan ini bisa memenuhi defenisi, tujuan, dan maksud yang diharapakan panitia. Kedua, saya juga merasa tak terlalu pantas berdiri di hadapan hadirin sekalian, yakni dalam posisi menyampaikan serangkaian refleksi situasi kebudayaan mutakhir, apalagi terkait relasinya dengan Islam, yang sebanarnya sungguh jauh dari kapasitas saya, yang saya merasa miliki. Saya tak benar-benar tahu, kenapa panitia memilih dan menunjuk saya. Padahal betapa banyak jajaran tokoh senior dan hebat, yang telah lebih dahulu menggeluti dan melakukan kiprah nyata riil dalam ranah ini. Semoga saya yang lancang ini dan terpaksa berdiri di hadapan hadirin ini bisa menjalankan “tugas” ini. Dan semoga hadirin bisa memberi maaf dan permakluman.
***
Saya sekali lagi tak pernah setepatnya tahu, apakah membincang kebudayaan dengan pengertian dan makna luas maupun peliknya, apalagi dalam relasinya dengan Islam, di era yang dikatakan sudah mulai menjelang ke penghujung Society 5.0 ini masih relevan? Atau barangkali sebaliknya saking genting dan relevannya membincang “kebudayaan” dalam konteks paling mendasar dari kepelikan defenisi dan cakupan maknanya, justru malah membuat kita benar-benar enggan untuk menilik lagi ranah ini, lalu kita sisihkan serta kita kesampingkan istilah ini, atau bahkan kita kerutkan term besar bernama kebudayaan ini, sebagai sesuatu yang semata berpaut dengan masa lalu, tradisi, warisan adat, kesenian tradisional, benda-benda arsitektur kuno, juga warisan wejangan dan petitih moral para tetua atau sesepuh yang telah tergusur di pinggir modernitas yang tak lagi berkelindan dengan laju gerak komunikasi dan jejaring teknologi-informasi digital yang secara faktual telah menyesaki ruang hidup kita hari-hari ini.
Bagi orang seperti saya yang dengan suka-duka sering menenggelamkan diri menekuni dan menggeluti apa-apa yang sering dikenal “tradisi”, “kesusateraan lama”, atau bahkan yang sering di-cap “feodal” dan “kuno” itu, dengan tambahan sedikit “sufisme” dan “filsafat”, barangkali suara saya akan dianggap semacam sebentuk “anakronisme” yang tak lagi memiliki relavansi, alih-alih gema.
Bagi orang seperti saya yang dengan suka-duka sering menenggelamkan diri menekuni dan menggeluti apa-apa yang sering dikenal “tradisi”, “kesusateraan lama”, atau bahkan yang sering di-cap “feodal” dan “kuno” itu, dengan tambahan sedikit “sufisme” dan “filsafat”, barangkali suara saya akan dianggap semacam sebentuk “anakronisme” yang tak lagi memiliki relavansi, alih-alih gema.
Kita telah mafhum kebudayaan dengan rentang cakupannya yang sebenarnya melingkungi keseluruhan hidup kita ini, hari-hari ini tampaknya terlihat lebih fluid (cair), alias tak sepadat yang kita sangka dalam kondisi masa lalunya. Dalam jejaring dunia digital yang kita akrabi hari ini, sumber-sumber pengetahuan, cara memandang dunia, nilai-nilai, yang dalam banyak hal yang ikut mengarahkan sistem perilaku dan kebiasaan praktik tindakan kita, alias dalam derajat tertentu juga turut membentuk secara lebih mendasar kepribadian dan karakter kita (yakni sebagai semacam disposisi batin yang mengarahkan dan menuntun perilaku kita), hari ini mata air sumbernya bisa hadir dan datang dari aliran manapun. Ia lebih mirip gerak sentripetal dari sumber jejaring digital global yang men-drive sistem nilai dan perilaku anak-anak kita saat ini atau dikemudian hari. Dan bahkan dalam skala kecepatan dan percepatan pertukaran informasi dan komunikasi, yang mau tak mau, secara ruang semakain meluas, merentang, atau bahkan mengglobal, yakni dalam rangkaian perjumpaan pada lintas batas suku, bahasa, umur, agama, pengetahuan, bahkan bangsa. Atau dalam skala waktu, kita bisa melihat, terjadi arus pergantian konsumsi informasi, pengetahuan, citra, visual, teks, ikon, suara, yang datang bergantian dan terus-menerus berubah dengan kecepatan dan percepatan yang mencengangkan, mungkin para orang tua hari ini seolah seperti menyerahkan dan memasrahkan anak-anak mereka kepada aliran arus besar sungai digital global, dengan hempasan gelombangnya yang terus-menerus berganti baru dalam semesta arus pembentuk kebudayaan yang tak setepatnya kita tahu ujung muaranya mengalir kemana.
Mungkin kita, atau tepatnya saya, tak lagi bisa lagi membanyangkan sebuah simpul kebudayaan sebagai sebuah universum yang bersifat padat yang layaknya saya dapati dulu di masa kanak-kanak dan remaja saya, dimana sumber-sumber tata-nilai beserta gugus pengetahuan dan cara pandang melihat realitas hidup masih datang dari sumber lokalitas dan kearifan agama di desa saya yang relatif padu yang terangkai dalam rangkaian kebiasaan dan praktik hidup, yang memancar dan terekam secara simbolik dan metaforik dalam baju tradisi, nilai-nilai kearifan agama, kesenian, mata-pencaharian, dan adat, dll, yang secara mantap menjadi pandu yang mengarahkan secara lebih monolitik dalam semesta penafsiran dan pengatasan masalah dan kompleksitas hidup.
Namun masalahnya, dalam era arus keterhubungan teknologi dan informasi digital global hari ini perjalanan kebudayaan bangsa ini, setidaknya hingga detik ini saya merasa, tak pernah berjalan dalam jalur yang semata “linier”. Ada patahan dan bahkan seperti yang disebut Umar Khayam sebagai “keterbelahan” baik di level struktur pandangan dunia, individu, nilai-nilai, maupun kebijaksanaan hidup, atau bahkan praktik kebiasaan hidupnya yang masih terekam dalam praktik tradisi-adat, beserta nilai dan pengetahuan yang melambarinya, yang terus saja menginterupsi yang secara sayup-sayup dan masih saja bergema secara lirih, dalam pertemuannya dengan modernitas hidup yang telah membentuk tata kehidupan modern kita sebagai sebuah bangsa: seperti nilai demokrasi yang mengkerangkai kita sebagai negara-bangsa, sistem keilmuan sains yang menubuh dalam sistem pendidikan formal, ataupun rasionalitas positif ilmiah yang relatif memandu sistem dan tindakan politik, ekonomi, kesehatan, tata-pemerintahan hingga level desa (setidaknya dalam bentuk formalnya), atau juga bahkan hingga norma modern yang mengatur kita dalam praktik kebiasaan relasi hidup sehari-hari, hingga nilai-nilai modern seperti emansipasi, HAM, gender, toleransi, multikulturalisme, sistem ekonomi kapitalisme, dan lain-lain dimana prinsip-prinsip seruan moralnya sulit kita abaikan dan kesampingkan.
Nalar pandangan dunia agama beserta kearifan nilainya yang menubuh dalam tradisi dan kebiasaan, yang dalam kasus Indonesia, saya kira, Islam punya sumbangsih nyatanya, yang juga dalam banyak hal sebenarnya berseberangan dengan nalar sains dan rasionalitas modern, masalahnya, masih saja terus-menerus hidup beriringan dan berdampingan, yang dalam derajat tertentu kadang berdiri secara vis-avis dengan spirit imperatif “nalar ilmiah-positif” yang dibawanya maupun spirit “gerak maju ke depan” atau progresifitas maupun linieritasnya, maupun aspek “sekularisme sejarah”-nya seperti dindaikan dalam tubuh dan prinsip modernitas itu sendiri. Tak aneh misalnya kita mendapati, institusi pendidikan informal seperti pesantren tradisional dengan skema timbunan pengetahuan yang melabrak aspek nalar ketat positif-scientific maupun materilistik-nya sains yang menyangga bangun formal pranata kelembagaan masyarakat modern kita masih saja bertahan, ataupun juga kita masih bisa menyaksikan praktik penyelenggaraan tradisi maupun nilai-nilai kearifannya yang masih terus memancar, meski sayup-sayup, yang sekali lagi terus mewartakan gagasan pandangan dunia, yang menyeru kepada dan mengarahkan orang kepada cara pandang kemanusiaan yang tak terpisah dari bingkai ketuhanannya, (alias berseberangan dengan prinsip humanisme sekuler), maupun cara pandangnya yang menawarkan bingkai kehidupan kemanusiaan yang tak semata memperlakukan alam sebagai obyek eksploitasi dan bahkan menempatkannya sebagai sesuatu yang sakral yang memang dalam titik tertentu bertabarakan dengan prinsip rasionalitas intrumentalistik-materialistik dan prinsip obyektifikasi alam seperti yang didengungkan prinsip subyek dan gagasan individualisme yang menyangga bangun modernitas.
Atau barangkali juga kita masih bisa menyaksikan dan merasakan bagimana kearifan dan tradisi beserta nilai-nilainya yang terserap dalam dunia keseharian, seperti gotong-royong dan kerukunan, yang saya duga masih berakar kuat dalam struktur pandangan dunia lama tradisi dan dan nilai-nilai kearifan agama yang menubuh di dalamnya, masih menjadi penyangga bangun utama persatuan Indonesia misalnya, alih-alih daripada faktor nalar dorongan nalar citizenship atas prinsip ketaatan hukum positif, sebagai wajah pelembagaan nalar sains yang terselenggara di negeri modern ini. Atau juga barangkali penyelenggaran dan perayaan tradisi yang terus saja (masih diusahakan) diselenggarakan, yang dalam kasus Indonesia selalu saja tidak dipisahkan dari bangun struktur nilai-nilai agama yang membingkainya, maupun juga segudang perayaan dan pergelaran kultural-informal, layakanya pengajian massal bernuansa kultural, pengajian majlis-majlis agama, maupun pagelaran tradisi yang dalam sekala masal dan kolosal masih berdenyut dan seolah berusaha mengelak dari “ritme” jam kerja masyarakat industrial, maupun kesadaran waktu linier dan kosmologi positif yang digariskan yang dituntut oleh kerangka produktivitas kerja modern maupun nalar pengejaran materialistiknya, alias menuruti langgam pencarian dasar kenyataan ontologi terkait realitas yang ditemukan di dasar kenyataan realitas semesta terdasar bernama materi.
Dari sejak era polemik Kebudayaan di tahun 1930an, Surat Kepercayaan Gelanggang 1950, ataupun geger Manifes Kebudayaan di tahun 1963, dan bahkan hingga era keterbukaan informasi hari ini, saya merasa, kita sebagai sebagai bangsa tak pernah kunjung menemukan rumusan dan tawaran final atas keterbelahan “kebudayaan” kita (sebut saja begitu): antara di satu sisi ingin terus terhubung, atau setidaknya masih terus dihantui dan digelayuti denyut kearifan tradisi masa lalu dan struktur pandangan dunia lama yang hingga hari ini masih terus-menerus bertahan, bahkan masih menyangga bangun kedirian dalam gradasi tertentu bangsa ini, maupun di sisi yang lainnya sebuah dorongan untuk menatap dan menyongsong dan menjemput ketertinggalan menuju masa depan yang telah digariskan “pusat” tata modernitas global yang imperatif nilai-nilainya bahkan telah menjadi matra dan seruan yang beredar dalam bahasa formal tata kelembagaan modern kita maupun telah menjadi cakapan informal dalam keseharian biasa hidup kita.
Atau barangkali saya salah. Di era jejaring teknologi-informasi global yang telah menyesaki ruang hidup keseharian kita hari ini, seperti yang telah saya singgung sebelumnya, kita tak lagi bisa secara naif mengandaikan adanya pusat tunggal yang sering kita acu sebagai simbol dan titik pusat modernitas, yang kita sering tunjuk ke batang hidung Eropa maupun Amerika, dimana cahaya pusat modernitas itu bermula dan memendar secara sentrifugal merata kepada wilayah bagian lain di dunia. Dengan keterhubungan global teknologi-informasi digital ini, justru pendaran pusat ini juga ternyata ikut melecut pusat-pusat “kebudayaan-kebudayaan” baru, sebagaimana telah berlangsung, dan saya kira akan terus berlanjut kepada pendar-pendar pusat baru yang terus akan bertumbuh. Dan saya kira di titik ini pula, jangan-jangan membincang tradisi dan kearifan, struktur pandangan dunia lama, dimana Islam dalam kasus bangsa Indonesia juga ikut menyumbangkan kontribusinya, utamanya terkait kearifan yang kita warisi, saya kira, justru akan mendapat dan mendaratkan relevansi dan signifikansinya.
***
Sejauh saya mengakrabi tradisi, terutama di Jawa, yang kemudian dibelakang hari memendar dan memproyeksi secara pelan ke wilayah lain di Indonesia, yakni dalam pengertian dengan segenap kompleksitas warisan sejarah, kesusateraan, kearifan, maupun nalar falsafah yang menyangga bangun struktur pandangan dunia lamanya, saya merasakan, bahwa Islam, terutama sufisme, telah memberi kontribusi secara mendasar dan revolusioner bangun struktur pandangan dunia tersebut. Tentu, saya mengakui, ada pertemuan dan perjumpaan kreatif atas warisan kebudayaan dan cara pandang lama seperti yang dibawa oleh Hinduisme dan Budhisme, atau mungkin warisan sistem kepercayaan yang ada di wilayah ini di waktu yang lampau, namun gagasan metafisika sufisme (Islam dalam kerangka integralnya), saya kira, mampu menyediakan arus besar yang memungkinkan berbagai jenis aliran tersebut bertemu di suatu aliran cara pandang baru yang mengarahkan pada gagasan tentang kesatuan hakikat hidup terkait ketunggalan realitas atau yang sering dikenal pada terms tasawuf sebagai “wahdatul wujud” atau juga disebut “tauhid wujud”.
Sejauh saya mengakrabi tradisi, terutama di Jawa, yang kemudian dibelakang hari memendar dan memproyeksi secara pelan ke wilayah lain di Indonesia, yakni dalam pengertian dengan segenap kompleksitas warisan sejarah, kesusateraan, kearifan, maupun nalar falsafah yang menyangga bangun struktur pandangan dunia lamanya, saya merasakan, bahwa Islam, terutama sufisme, telah memberi kontribusi secara mendasar dan revolusioner bangun struktur pandangan dunia tersebut.
Gagasan metafisika ini, sependek telusur saya atas warisan kesusaterasan lama tersebut, yang sebenarnya juga turut terpancar nilainya dalam keragamaan adat, kesenian, dan tradisinya, seolah ingin menegakkan proses dan pengajaran penyempurnaan capaian berkemanusiaan masyarakat Nusantara saat itu. Tokoh semisal Hamzah Fansyuri di Sumatera, Abdurrauf Asyingkili di Aceh, Sunan Kalijaga, Ranggawarsita di Jawa, Hasan Mustapa di Sunda, Raja Ali Haji di Riau, untuk mengambil beberapa contoh, saya tangkap, sebenarnya hanya ingin menyorongkan satu gagasan kesempurnaan dan keutuhan terkait proses menjadi manusia, atau terkait proses “berkemanusiaan” dengan idiom-idiom yang beraneka, seperti “insan kamil”, “janma utama” “manusia budiman”, dll. Gagasan-gagasan pengutuhan proses “kemanusiaan” ini selalu harus dindaikan dari prinsip ketunggalan realitas hidup dan kenyataan ini (sebagaimana saya singgung sebelumnya), yakni bahwa pada dasar ontologis ruhaniah kemanusiaan kita selalu terhubung dengan realitas ketuhanan, dan hanya titik pijak keterhubungan dengan “Yang Maha Sempurna” inilah proses “berkemanusiaan” ini juga mendapat pendasaran bangun universalitasnya, namun secara serentak juga mengakui ruang dialektika partikularnya sebagai manusia yang memang ditakdirkan (oleh Tuhan) lahir di ruang, bahasa, wilayah, bangsa, dan kondisi geografi, budaya, dan lingkungan alam yang spesifik.
Dari para tokoh ini, kita diajari, bahwa salah satunya cara yang mengutuhkan proses berkemanusiaan manusia Nusantara ini adalah dengan cara mengenali kenyataan realitas “kedirian” kita sendiri yang memang terhubung dengan realitas ketuhanan, yang merupakan titik segala sumber kenyataan realitas hidup jagad-semesta ini, yang dibahasakan secara beragam dan beraneka dengan istilah “mawas diri” (alias mengawasi diri sendiri), atau “mulat sarira” (melihat diri) seperti dikenal dalam istilah ilmu ma’rifat Jawa, atau “man arafa nafsah” (mengenali diri) dalam kasus Hamzah Fansyuri dan Abdurrauf Singkili, atau juga dalam istilah “pangawikan pribadi”-nya (mengetahui diri) Ki Ageng Suryomentaram, dll. Cara pengenalan diri, atau katakanlah proses pengenalan dan juga proses pengutuhan potensi kemanusiaan ini, berlangsung seturut tahapan jenjang menaik perjalanan kehidupan manusia itu sendiri, yakni dari sejak ia lahir, muda, dewasa, tua, hingga maut menjemput (alias seturut perjalanan jenjang kehidupan manusia ini), yang sering dibahasakan dengan konsep “sangkan paraning dumadi” seperti dibahasakan oleh Sunan Kalijaga di “Suluk Linglung”-nya (Innalillahi wa inna ilaihi raji’un). Kita berasal dari realitas tunggal Tuhan, dan akan kembali pada realitas tunggal tersebut.
bahwa salah satunya cara yang mengutuhkan proses berkemanusiaan manusia Nusantara ini adalah dengan cara mengenali kenyataan realitas “kedirian” kita sendiri yang memang terhubung dengan realitas ketuhanan, yang merupakan titik segala sumber kenyataan realitas hidup jagad-semesta ini, yang dibahasakan secara beragam dan beraneka dengan istilah “mawas diri” (alias mengawasi diri sendiri), atau “mulat sarira” (melihat diri) seperti dikenal dalam istilah ilmu ma’rifat Jawa, atau “man arafa nafsah” (mengenali diri) dalam kasus Hamzah Fansyuri dan Abdurrauf Singkili, atau juga dalam istilah “pangawikan pribadi”-nya (mengetahui diri) Ki Ageng Suryomentaram, dll.
Rentang perjalanan kehidupan hidup manusia tersebut, dengan tahapan dan tantangan di tiap fase umur kedewasaannya, oleh karenanya dikatakan merupakan sebuah “perjalanan” kemanusiaan, yang tak semata bersifat evolusionistik ansih, alias semata perjalanan ragawi-kognitif-afektif-psikomotorik dalam pengertian biologisnya, melainkan sebuah perjalanan ruhaniah kemanusiaan itu, yang oleh karena sering disebut dalam istilah “lelakon” (baca: laku, mlaku, lelaku, perjalanan ruhani) atau dengan istilah lain yang juga telah diserap dalam istilah Indonesia maupun di Jawa bernama “Suluk” (perjalanan ruhani), yang kita tahu telah menjadi salah satu genre terbesar kesusateraan tembang “macapat” Jawa maupun merujuk nada liukan tembang yang disenandungkan oleh seorang Dalang wayang kulit Jawa, yang saya kira juga merekam perjalanan besar ruhani kemanusiaan tersebut: dari sejak “mijil” (lahir) hingga “pucung” (dipocong saat maut menjemput).
Dan saya pikir, proses perjalanan kematangan ruhani berkemanusiaan ini pula kita tersambung dan terpaut lagi dengan gagasan penting dan besar dengan istilah bernama “kebudayaan”, yang memang sebenarnya dari sejak istilah ini berakar dalam tradisi, sebenarnya terus saja mendengungkan prinsip “kematangan ruhani tersebut”, yang seiring proses modernisasi maupun penubuhan pendidikan sains ilmiah di sekujur lembaga institusi pendidikan, maupun pada pranata politik, ekonomi, pemerintahan, maupun bahkan pranata budaya kita, visi ruhani tersebut sekarang kita abaikan, atau bahkan sering kita pinggirkan, sebagai suatu konsep jadul yang tak lagi memiliki relavansi dalam semesta berkembangnya nalar positif-ilmiah-instrumentalistik, yang memang pada prinsip dasar ontologinya menggusur keterhubungan realitas material kehidupan kita ini dengan realitas Tuhan.
***
Sejauh lacakan saya terkait term “budaya” dalam khasanah tradisi, kata atau istilah ini sering atau bahkan selalu tampil dalam bentuk kata kerjanya: “ambudi daya” atau dalam kata “budya” yang sebenarnya berkembang, dalam kasus Jawa, di era Jawa masa pertengahan (abad 16-19), alias kita tidak menemukan kata kerjanya di masa Jawa Kuno (dimana pada kamus “Jawa Kuna”-nya Zoetmoelder kita hanya menemukaan kata Buddhi sebagai kata benda), atau dalam bahasa lain, ia merupakan term yang telah dipercanggih oleh kedatangan sistem pandangan dunia baru (Islam) untuk menyorongkankan sebuah gagasan baru yang telah diperkembangkan. Dalam kasus ini, di dalam Serat Wedhatama misalnya, sebagai contoh, kita bisa menemukan kata “budya” atau “amasah mesu budi” yang intinya usaha untuk “men-daya-kan budi” kemanusian kita (baca: budi dan daya). “Budhi” atau “Budi” di sini bukan hanya merujuk akal pikiran semata, alih-alih semata otak fisik, melainkan justru menunjuk keseluruhan kesatuan fakultas jasadi-ruhani manusia yang berjumlah empat, yakni (1) Raga/Karsa alias kehendak dan keinginan, (2) Cipta/Kalbu, fakultas pikiran, imajinasi dan daya ciptanya, (3) Jiwa, tempatnya niat, tekad, dan dorongan terdalam, dan yang ke-(4) Rasa, fakultas estetik dan dorongan empati moral yang terdalam.
Jadi berbudaya atau berkebudayaan adalah merujuk pengertian di atas adalah mendayakan, mengembangkan, mengasah, dan mengolah potensi kemanusiaan kita yang berjumlah empat: Raga (Karsa), Cipta, Jiwa, dan Rasa kita. Jika kita telah sering mengenal defenisi Budaya sebagai hasil Cipta, Karsa, Rasa manusia sebagaimana dikatakan Koentjaraningrat, maka sebagai kata kerja, berbudaya dalam visi tradisinya adalah mengolah potensi Jasadi-ruhani (alias bersifat lahir-batin) fakultas atau potensi kemanusiaan kita, yakni Cipta, Karsa (Raga), Rasa, dan ditambah Jiwa (alias kata Jiwa masih disertakan) untuk mencapai puncak tertinggi potensi kemanusiaan itu sendiri. Pada visi struktur pandangan dunia lama, ia masih memandang dan menekankan proses pengolahan potensi kemanusiaan tersebut sebagai usaha mengenali dan mengasah realitas kedirian kemanusiaannya ini yang di dasar potensi terdalam kemanusiaannya ia terhubung dengan realitas ketuhanan, alias masih meneropong proses berkemanusiaan ini dari visi ruhani ketuhanannya.
Jadi berbudaya atau berkebudayaan adalah merujuk pengertian di atas adalah mendayakan, mengembangkan, mengasah, dan mengolah potensi kemanusiaan kita yang berjumlah empat: Raga (Karsa), Cipta, Jiwa, dan Rasa kita. Jika kita telah sering mengenal defenisi Budaya sebagai hasil Cipta, Karsa, Rasa manusia sebagaimana dikatakan Koentjaraningrat, maka sebagai kata kerja, berbudaya dalam visi tradisinya adalah mengolah potensi Jasadi-ruhani (alias bersifat lahir-batin) fakultas atau potensi kemanusiaan kita, yakni Cipta, Karsa (Raga), Rasa, dan ditambah Jiwa (alias kata Jiwa masih disertakan) untuk mencapai puncak tertinggi potensi kemanusiaan itu sendiri
Jadi usaha mendayakan Cipta, Karsa, Rasa, dan Jiwa ini oleh Serat Wedatama dikatakan juga merupakan sebuah “laku” (olah berpuncak ruhani) yang terhubung secara berjenjang-menaik dengan tahapan perjalanan kemanusiaan seperti dalam pengertian sufismenya bernama “Suluk” yang bergradasi dari: (1) Syari’at, (2) Tarikat, (3) Hakikat, dan (4) Ma’rifat. Atau bahkan secara literal dikatakan bahwa olah budi atau mendayakan budi ini, alias proses berbudaya ini, dikatakan dengan term: Sembah Raga (Karsa), Sembah Cipta, Sembah Jiwa, dan Sembah Rasa, sebagai konsep keterhubungan ruhani dalam simbolisasi ibadah berkemanusiaan maupun sebagai padanan jenjang tahapan Suluk yang telah disebutkan.
Oleh karenanya secara singkat dikatakan, proses berbudaya atau proses berkebudayaan adalah juga secara serentak sekaligus proses berkemanusiaan; Sebuah proses untuk mengutuhkan dan menga-aktualkan seluruh potensi yang dimiliki manusia, yang memang secara fitrah kemanusiaannya, selain di satu sisi pada realitas terdalam kemanusiaannya tersambung dengan realitas ketuhanan, maupun di sisi yang lain secara fitrah kemanusiaannya memang berkecenderungan menuruti dorongan terberi dalam diri terdalamnya bernama keindahan, kebaikan, kebenaran, dan kesempurnaan, bahkan sebelum ia memiliki dan menganut agama tertentu.
Tahapan mengolah potensi kemanusiaan tersebut (alias berbudaya) seperti digariskan dalam tradisi, dimulai dari mengolah potensi dorongan kehendak & raga, serta pendisiplinan dorongan naturalnya, dalam memperkembangkan skil dan kecakapan dalam berbahasa, berjalan, beradaptasi dengan peradaban material dan nilai yang terwarisi, dll, yakni melalui pandu awal terkait baik-buruk dan hitam-putih yang menuntun perkembangan kedewasaan seseorang (syari’at), juga mengasah daya-cipta untuk memperkembangkan temuan, inovasi, ilmu, teknik, serta pendalaman lanjut akan nilai-nilai kebenaran yang lambat laun akan terpahami rasionalisasinya (tarikat), serta olah meluruskan niat, menebalkan tekad, dan keyakinan serta kesesuainnya dengan tindakannya pada hakikat terdalam hidup dengan visi jangka panjangnya ini hingga alam akhirat (hakikat), hingga melatih dan memperkembangkan kepekaan estetika dan empati moral, hingga hakikat “rahsa” hidup yang mengantarkan pada nilai sublim hidup hingga puncak yang menyibakkan misterinya secara bertahap dalam perjalanan kemanusiaannya (ma’rifat).
***
Visi berkebudayaan sebagai proses berkemanusiaan, seperti dijelaskan sebelumnya, oleh karenanya sebenarnya bisa menjadi simpul yang menjembatani dari prinsip-prinsip keagamaan, terutama Islam, yang wajahnya hari ini di satu sisi menjauh dari proses berkemanusiaan seturut fitrah ruhani tersebut, atau di sisi yang lain menyatukan kembali prinsip agama yang juga telah terlanjur berdiri terpisah dari visi “budaya” dan proses berkebudayaan yang sebenarnya merupakan sesuatu yang inhern dalam bangun ajaran agama ini. Selain itu juga gagasan berkemanusiaan yang berpijak pada prinsip ketuhanan ini juga bisa menjadi penyeimbang gagasan Humanisme Sekuler yang pada derajat tertentu memilik kecenderungan terutama seperti dalam rekam historis kemunculannya sebagai prinsip yang melawan, menegasi dan menggusur agama, alias secara vis a vis selalu berdiri berlawanan, dan selalu berusaha memukul mundur agama di ruang prifat dan pinggirnya.
Juga sebenarnya ujung dari seluruh rangkaian kearifan (baca: ngilmu) ihwal proses berkemanusiaan atau proses berbudaya (olah-budi) ini, saya rasa, hanyalah ingin mengantarkan manusia Nusantara ini kepada capaian olah budi tertingginya; alias sebenarnya merujuk kepada manusia yang mencapai budi puncaknya, atau tercermin dari kata “budiman”, yakni seorang dengan ketinggian “akhlak” dan “budi-pekerti”-nya. Yakni capaian kemanusiaan yang telah mengenali, menggali, potensi kemanusiaan hingga realitas terdalamnya, dan bahkan telah bisa mengaktualkan potensi terdalam tadi dalam kenyataan, alias telah mengenali “Jati-diri” (kesejatian reaslitas dirinya), bahkan ia telah mewujudkan kesejatian realitas dirinya tadi menjadi tergelar dan memendar nyata dalam kenyaataan kongrit semesta ini, alias telah menegakkan kedirian tersebut (baca: kedaulatan diri) yang pendaran kesejatiaan realitas terdalamnya tadi ikut menerangi semesta luas di sekilingnya. Sebuah kualitas kemanusiaan yang telah “men-diri” (baca: mandiri), yang telah berhasil menegakkan dan berdaulat atas dirinya maupun telah bisa menyelaraskan cipta, karsa, rasa, dan Jiwanya dalam rangka menebar rahmat bagi semesta seluruhnya. Memangun Hayuning Bawana. Rahmatan lil Alamin.
Juga sebenarnya ujung dari seluruh rangkaian kearifan (baca: ngilmu) ihwal proses berkemanusiaan atau proses berbudaya (olah-budi) ini, saya rasa, hanyalah ingin mengantarkan manusia Nusantara ini kepada capaian olah budi tertingginya; alias sebenarnya merujuk kepada manusia yang mencapai budi puncaknya, atau tercermin dari kata “budiman”, yakni seorang dengan ketinggian “akhlak” dan “budi-pekerti”-nya.
Penjelasan saya berkait proses berkebudayaan di atas, dimana manusia memperkembangkan potensi jasadi hingga puncak potensi ruhani kemanusiaannya, yakni untuk menuruti dorongan fitrahnya ke arah kebaikan, kebenaran, dan keindahan, sebenarnya sungguh merupakan proses beragama itu sendiri sebagaimana dikatakan di dalam Surat Ar-Rum (30), dimana Islam hadir hanya ingin mengafirmasi dan membenarkan kecenderungan fitrah dasar kemanusiaan tersebut, dan bahkan Islam hanya merupakan pandu untuk mewujudkan fitrah kemanusiaan tersebut tergelar dalam realitas hidup, dan oleh karenanya gerak berkemanusiaan seperti inilah yang dipandang sebagai “agama yang lurus” (dinul qayyim). Dalam visi ini, Islam sebenarnya adalah ajaran ihwal proses berkemanusiaan atau bahkan ia merupakan sebentuk ajaran proses berkebudayaan (olah potensi jasadi-ruhani kemanusiaan) itu sendiri.
Seseorang yang telah menundukkan, mengatasi, melampaui dorongan naturalnya (nature), alias dorongan nabati dan hewaninya, yakni mengatasi keterbelengguan pada dorongan jasadiyah-material kemanusiaannya, alias telah melampaui fase kemanusiaan “basyariyyah”-nya, akan dengan sendirinya bisa meningkatkan dan mendayakan kualitas kemanusiaan untuk capaian kebenaran, keindahan, dan kebaikan yang lebih tinggi dari dorongan fitrahnya (culture), alias ia secara bertahap telah bisa memperkembangkan potensi kemanusiaannya tertinggi puncaknya, alias capaian kemanusiaan “insaniyyah”-nya. Manusia seperti ini, setelah berhasil mengenali realitas terdasar kediriannya (man arafa nafsah) dan bahkan telah mampu menggelar realitas terdasar itu memancar keluar, yakni dengan cara berperang dalam usahanya mengatasi kecenderungan natural, dan berhasil memenangkan pertarungan tersebut dalam mengaktualkan potensi fitrah dorongan kemanusiaan luhur yang inhern di dalam dirinya (proses mengolah budi-ruhaninya), saya kira, pada dasarnya sebenarnya adalah manusia yang telah menegakkan “kedaulatan” dirinya. Alias ia telah bisa menegakkan “alif kedirian”, sebut saja begitu, dan karenanya telah siap menjadi sumbu tegak (jumeneng) yang memancarkan rahmat bagi semesta seluruhnya (khalifatullah), apapun agamanya.
***
Apa yang saya katakan ini barangkali, sebenarnya hanya mengulang apa yang dulu dikatakan dalam “Suluk Lokajaya”-nya Sunan Kalijaga, atau juga dikatakan dalam “Serat Sastra Gendhing”-nya Sultan Agung dengan apa yang disuratkan dengan istilah Indah bernama: “sastra alif”, sebuah khasanah pengetahuan yang mengajari proses menegakkan “alif kemanusiaan” kita, sebagaimana huruf pertama abjad Arab itu tersirat juga tertera di rajah kertas yang dipakai oleh sosok Sosrokartono dalam menyembuhkan pasien-pasiennya.
Nah barangkali setelah uraian berlarat dan ngelantur saya terkait proses berkebudayaan sebagai proses berkemanusiaan, atau bahkan sebagai proses berketuhanan itu, kearifan yang saya kemukakan bisa memberi teropong baru bagi realitas kehidupan kita hari ini, yang saat ini memang telah secara faktual terhubung secara global melalui perangkat digital teknologi-informasi yang hiruk-pikunya kita rayakan dengan gelegar euforia yang membuncah di hari-hari ini. Jika kita andaikan realitas jejaring komunikasi-informasi digital global hari ini telah memecah kepaduan sumber-sumber pembentuk kebudayaan lama dalam banjir besar arus keterombang-ambingan informasi-komunikasi global dalam rangkaian perubahan dan pergantiaan informasi yang begitu mencengangkan, barangkali sebentuk khasanah pengetahuan yang telah saya urai dan sodorkan tadi, bisa memberi insight baru yang lebih kokoh dan mengukuhkan. Barangkali dalam jalur arus perubahan ini, strategi kebudayaan, katakanlah berskala nasional, tidak lagi seharusnya diarahkan semata pada “pelestarian” pada tingkat bentuk dan wujud wadag kekayaan kesenian dan tradisi kita semata yang justru mengarah pada gerak involusi, melainkan juga harus bergerak mendinamisirnya seturut logika arus perubahan dan ketersambungan global yang tak mungkin lagi dihindari, maupun dalam bentuk canggihnya berusaha menyesap dan mengilmui kembali khasanah kearifan tadi untuk kebutuhan masa depan dalam arus keterbukaan kreatif yang menguatkan fondasi berkemanusiaan kita sebagai sebuah bangsa.
Barangkali dalam jalur arus perubahan ini, strategi kebudayaan, katakanlah berskala nasional, tidak lagi seharusnya diarahkan semata pada “pelestarian” pada tingkat bentuk dan wujud wadag kekayaan kesenian dan tradisi kita semata yang justru mengarah pada gerak involusi, melainkan juga harus bergerak mendinamisirnya seturut logika arus perubahan dan ketersambungan global yang tak mungkin lagi dihindari, maupun dalam bentuk canggihnya berusaha menyesap dan mengilmui kembali khasanah kearifan tadi untuk kebutuhan masa depan dalam arus keterbukaan kreatif yang menguatkan fondasi berkemanusiaan kita sebagai sebuah bangsa.
Strategi kebudayaan oleh karenanya yang paling memungkinkan dilakukan, adalah strategi pematangan diri kemanusiaan manusia Indonesia, dimana kearifan tradisi beserta struktur pandangan dunia agama yang terjalin indah di dalamnya, akan menjadi salah satu alternatif dalam arus pertemuan, keterbukaan, dan dialog dengan arus pemikiran, informasi, bahkan ideologi dunia yang justru, dalam prinsip keterbukaan dan prinsip kebebasan ini, saya yakin warisan akar kearifan tradisi yang sebenarnya masih menyangga bangun ke-Indonesiaan ini akan tampak lebih istimewa (justru dikarenakan oleh arus pertemuan dan pengenalannya dengan “yang lain”), yang dengan kekuatan tertentu akan menggeret proses berkebudayaan maupun proses berkemanusiaan manusia Indonesia yang tak melapaskan diri dari akar visi ruhani ketuhanannya.
Dalam kasus proses kita “menjadi Indonesia”, atau dalam kata lain dalam sudut arah perjalanan kebudayaan bangsa, warisan kearifan tradisi yang telah saya singgung, yang sebenarnya saya kira masih merembesi struktur pandangan dunia masyarakat kita dalam derajat tertentu, bisa menjadi titik simpul ajaran, hikmat, dan kebijaksanaan, yang menyorongkan kearifan akan arah pengenalan realitas terdasar kemanusiaan kita (mulat sarira) maupun sebagai pandu bagi proses berkemanusiaan manusia Indonesia (sila 2) yang masih bertopang dan bertumpu pada prinsip ketuhanan (sila 1) sebagai sumber realitas terdalam itu. Dengan panduan olah berkebudayaan seperti inilah manusia Indonesia akan mampu mengatasi dan melampaui kecenderungn natural nafsu, kepentingan, dan kebenaran egotisnya, dan memapu mengambil dari sudut kebenaran yang lain, yang memungkinkannya melampaui perbedaan dan secara serentak bergerak menuju kesamaan, kesepahaman, kesatuan dan, dan persatuan (sila ke-3). Pelampauan kecenderungan natur kita untuk memburu kesenangan, kemenangan, kebenaran diri sendiri dan kelompoknya ini harus diatasi dengan mekanisme permusyawaratan (sila ke-4) yang menyurutkan keinginan “menang sendiri”, “benar sendiri”, “sekehendaknya sendiri” dalam pandu hikmat dan kebijaksaan dan kearifan yang telah melampui sekaligus mempertinggi derajat dan jenjang kebenaran partikular, individu, maupun kelompok tertentu, yang akan mengantarkan pada kondisi “adil bagi diri sendiri” pada level individu (proses berkemanusiaan pada sila ke-3) yang merupakan pra-syarat penting bagi keadilan seluruh rakyat Indonesia (sila ke-5).
Ringkasnya dalam semesta terombang-ambingan informasi-komunikasi global yang katanya berada pada penghujung Society 5.0 ini, kearifan visi tradisi bisa membantu proses pematangan diri manusia Indonesia yang terus terhubung dengan akar yang menyangga bangun kediriannya, yang membantu proses pertumbuhan batang, ranting, dan daun pohon kemanusiaan manusia Indonesia kita yang menjulang tinggi dalam pertemuan dialog kreatif dengan arus kebudayaan dunia yang akan mengukuhkan tegaknya “alif kedirian” manusia Indonesia, alias telah “men-diri” dan mencapai kedaulatan bangsa, baik di ranah politik, ekonomi, dan kebudayaan kita, yang sejatinya hanya merupakan pancaran rekam jejak proses keutuhan kita dalam proses menjadi manusia. Dan, akhir kata, barangkali memang kebenaran itu mungkin tidak datang dari barat ataupun timur, yakni sebenarnya ia bisa menyapa siapapun yang tanpa letih memperkembangkan laku berkemanusiaan pada puncak tertinggi ruhani capaian kemanusiaan universalnya.
Cepokojajar, 25 September 2021
(Tulisan ini disampaikan dalam “Pidato Kebudayaan” pada acara ultah Yayasan Bentala Tamaddun Nusantara ke-2, Yogyakarta, 26 Sepetember 2021)