Menu

Author Archives: Irfan Afifi

Dalam konteks penjajahan ekonomi sumber daya alam, kita bisa belajar dan menengok ulang bagaimana para aktor sosial maupun kelas sosial berelasi dengan kekuasaan di zaman Cultuurstelsel Belanda dahulu, yang kita tahu sejak kekalahan orang Jawa pada Perang Dipanegara (1825-1830), Jawa benar-benar telah menjadi di satu sisi ajang politik eksploitasi ekonomi pada level sumber daya alam melalui sistem Tanam Paksa (1830-1870) yakni untuk mengganti biaya kerugian perang Belanda, maupun di sisi lain akan menjadi lahan eksperimen politik kebudayaan pecah-belah penyingkiran Islam (identitas pemersatu pribumi)—yakni dengan cara menampik identitas Islamnya orang Jawa, yang dibayangkan melalui kesolidan identitas agama ini tenaga “revolusioner” yang dibawanya akan terus-menerus menginterupsi dan menggugat kekuasaan Kolonial.

Seperti diceritakan Ricklefs dalam “Polarizing Javanese Society, Islamic and Other Visions {c.1830-1930}”(2007), yakni tepat setelah kekalahan perang Dipanegara dimana akhirnya Jawa tunduk pada kuasa kolonial, polarisasi yang terjadi di masyarakat Jawa semakin menegas, saat (1) Para priyayi mulai dari regenten (bupati) hingga pejabat desa menjadi alat birokrasi yang ampuh untuk menerapkan eksploitasi sistem Tanam Paksa (coersed drudgery)—yang dari sistem ini para bangsawan pribumi mendapatkan keuntungan ekonomis dari prosentase hasil tanam—belakangan akan membentuk kelas khusus menjauh dari rakyat (Priyayi), juga (2) Kondisi mayoritas petani yang menjadi objek eksploitasi dalam penyelenggaraan sistem Tanam Paksa yang mengantarkan mereka pada kemelaratan (Abangan), dan yang terakhir (3) Para pedagang Islam dan Haji (kelas menengah), terutama di daerah pantai, yang sebenarnya relatif terlepas dari sistem ini, namun terlibat secara ekonomi juga politis, layaknya peran yang dimainkan oleh para saudagar Arab, China, dan sedikit India (Putihan).

Tidak aneh jika eksponen para pemberontak di tahun 1870 hingga 1880-an adalah para kyai dan tokoh desa pertanian di pedalaman Jawa, yang terlibat jauh dalam tarekat—dalam bingkai identitas Islam tradisional dan sufisme Jawa yang telah ditanamkan secara mendarah daging oleh Sultan Agung maupun para Wali (baca: Islam Jawa)—yakni yang memiliki ngelmu, mengamalkan suluk (laku) dan tirakat, memegang jimat-rajah, serta memegang keris-pusaka.

Tokoh-tokoh pemberontak kolonial seperti Akhmad Ngisa di Banyumas pada tahun 1870 dengan bersemangat menubuatkan datangnya “Ratu Adil” dan akan mengusir walanda (Belanda) dengan bekal piwulang Akmaliyah (baca: tarekat) pada para pengikut taninya.

***

Kita tahu, hari demi hari kelompok Islam Jawa ini semakin merenggang hubungannya dengan para pedagang-Haji yang semakin kasar mendesakkan ide-ide “ortodoksi”-nya di satu sisi (putihan), maupun semakin terpisahnya mereka dari kelompok elite priyayi yang di masa politik Etis (priyayi) yang kita tahu semakin menegaskan antusiasme pada kebudayaan dan nilai-nilai modern Belanda (kamilandanen), yang dalam suasana gamang meninggalkan identitas ke-Islaman mereka, yakni dengan cara menautkan identitas kejawaan dengan masa lalu Hindu-Budhanya (masa Majapahit) dengan bantuan temuan filologi dan arkeologi Belanda, maupun spiritualitas dunia yang sedang menjamur, juga rasionalitas pendidikan Politik Etis yang sedang berjalan.

Tokoh-tokoh pemberontak kolonial seperti Akhmad Ngisa di Banyumas pada tahun 1870 dengan bersemangat menubuatkan datangnya “Ratu Adil” dan akan mengusir walanda (Belanda) dengan bekal piwulang Akmaliyah (baca: tarekat) pada para pengikut taninya. Juga pemberontak bernama Kyai Hasan Maulani, Mas Malangyuda, Kyai Nur Hakim di pedalaman Jawa, atau Mas Cilik yang menyerukan pemberontakan para petani dengan keyakinan “ngelmu” dan “jimat”-nya di Tegal pada tahun 1864, yakni dengan cara menempelkan titel “Haji” meski tak pernah pergi ke Mekkah.

Serta kita juga dapat menemui pemberontakan Mas Rahmat—seperti dicatat apik dalam dalam autobiografi yang diedit oleh Ann Kumar “The Diary of a Javanese Muslim 1883-1886” (Canberra: 1985)—yang mempunyai hubungan dekat dengan Malangyuda juga dengan seorang pangeran Yogyakarta, Suryenggala di tahun 1883. Ia memperoleh kesaktiannya dari mengunjungi mulai dari makam para wali Jawa-Madura, gua wingit, menjadi santri di pesantren, hingga ber-tepekur di petilasan wingit Candi kuno leluhur orang Jawa.

Prototipe pemberontakan ini juga ditemukan pada “mahakarya” Sartono Kartodirjo “Peasant’s Revolt of Banten in 1888” yang terkenal itu yang mewakili spirit Islam Jawa sebelum terdesak badai reformasi Islam yang sebenarnya mulai menjangkiti para kelas menengah Islam Haji pasisir dan pedalaman, maupun sebagian para kyai pedalaman—yang notabene pelanjut “Islam Wali” (Islam tradisional)—seiring meningkatnya jamaah Haji sejak pembukaan Terusan Suez di tahun 1869.

Gelombang reformasi Islam ini berjasa menggelontorkan tuntutan “ortodoksi yang terbaharui” dari tanah Arab, maupun sedikit-demi-sedikit menyumbang kerenggangan sebagian pesantren dari pengajaran tasawuf tingkat lanjut yang menjadi penyangga pandangan dunia Islam Jawa—Ricklefs menyebutnya “Mystic Synthesis”—dan akhirnya menjadikan sebagian pesantren terbonsai dan terkurung dalam kecakapan teknis bahasa Arab maupun paradigma fikih dengan tambahan tasawuf akhlaqi seperlunya, yang pelan-pelan menjauh dari akar kejawaan lama.

Pengajaran kesusateraan Jawa  yang menjadi modus lumrah di pesantren seperti terekam di Pesantren Gebang Tinatar, Tegalsari, Ponorogo, Pesantren Jamsari di Madiun, maupun Pesantren Kyai Anggamaya di Kedu yang dibenarkan oleh catatan Belanda di masa sebelum Perang Dipanegara menjadi terkonfirmasi, karena memang merupakan Kawah Candradimuka tempat para pujangga Surakarta dari mulai Yasadipura I, Yasadipura II, maupun sang Pujangga panutup Ranggawarsita yang pernah menjadi santri di pesantren yang telah disebut di muka.

Di tahun 1866 dikeluarkan peraturan yang berusaha memisahkan penghulu dan pemimpin agama di desa (kyai) alias eksponen pelanjut Islam Jawa tradisional.

***

Dalam konteks masyarakat yang terpolarisasi hebat pasca kekalahan perang Jawa (1825-1830), yakni sejak diberlakukannya Cultuurstelsel dan berganti ke Politik Etis hingga awal abad 20, masyarakat Jawa mulai mengenal sistem ekonomi kapitalistik berjejaring dunia dengan skala yang sangat luas, peredaran masif ekonomi uang, pertanian varietas baru impor, kapitalisme perkebunan, pajak sewa, sistem transportasi yang bersambung di sepanjang Pulau Jawa, serta pendidikan sekolah modern Eropa yang lambat laun menggusur modus pendidikan pesantren—artinya juga menggeser pandangan dunianya—yang kita tahu menjadi penyangga identitas Islam Jawa, sungguh benar-benar semakin membelah masyarakat dalam kategori priyayi, abangan, dan putihan, yang sebenarnya tidak dikenal pada masyarakat Jawa setidaknya bermula pada akhir abad 19 hingga mengeras di awal abad 20. Pembelahan inilah yang kemudian didinamisir ke level terjauhnya melalui studi-studi antropologi seperti dilakukan Clifford Geertz, dan kawan-kawan.

Pembelahan ini tidak terjadi secara natural dalam pengertian strata sosial semata seperti dalam era-era sebelumnya, melainkan dalam hal ini telah menggeret pengkutuban tersebut ke posisi “saling konfrontasi” dalam konteks relasinya dengan kekuasaan ekonomi maupun politik kolonial. Yakni di mana posisi priyayi memerankan strata sebagai mesin birokrasi kolonial untuk menghisap keuntungan maksimal yang diselenggarakan para petani dalam sistem Tanam Paksa, dan sebagian para pedagang Haji yang menyediakan ketersediaan “cash money” seperti yang dilakukan para pedagang Arab, China dan India, serta yang terakhir para petani yang menjadi “obyek tertindas” yang terus menerus menderita kemelaratan, kecuali para petani pemilik tanah yang juga ikut mencicipi keuntungan ekonomi Tanam Paksa.

Nanti di akhir abad 19 hingga awal abad 20, seperti dicatat Steenbrik (1984), kita akan segera tahu serangkaian kebijakan kolonial yang bertujuan untuk memangkas, menekan, dan menggencet kelompok Islam Jawa (Islam Tradisional) yang masih tersisa dan sebenarnya telah berada di “pinggiran” serta kehilangan pemimpin priyayi maupun agamanya setelah Perang Jawa. Misalnya di tahun 1866 dikeluarkan peraturan yang berusaha memisahkan penghulu dan pemimpin agama di desa (kyai) alias eksponen pelanjut Islam Jawa tradisional. Pemerintah kolonial dengan sengaja menjadikan para penghulu sebagai pejabat sipil negeri di bawah administrasinya, dan melarang para Kyai mengumpulkan zakat, agar para penghulu menjadi lebih “setia” kepada Belanda dan pengaruh para Kyai bisa terkurangi.

Juga di dekade tahun-tahun itu kebijakan kolonial dengan bersemangat mencurigai setiap aktivitas bergerombol jamaah tarekat maupun perkumpulan doa yang melibatkan banyak orang, melarang praktik mistik popular yang ramai di pasar-pasar, merampas buku-buku primbon ataupun kitab-kitab, maupun serat-serat yang menubuatkan datangnya Ratu Adil yang dirasa dapat merongrong, maupun pemenjaraan tokoh pengajar pesantren yang jelas-jelas menentang sistem pengadilan hukum agama kolonial (penghulu) yang telah tunduk pada sistem administrasi kolonial. Dalam hal ini pemberontakan Kyai Ahmad Rifa’i Kalisasak yang terkenal bisa kita tempatkan dalam konteks kebijakan ini.

Bahkan di tahun 1905 semua guru agama dan pesantren diminta mendaftarkan dirinya kepada Bupati, beserta laporan kurikulum pengajarannya, kitab-kitab yang diajarkannya, beserta jumlah santrinya, agar ia berada terus-menerus dalam “kendali” kekuasaan kolonial. Pesantren dan guru agama yang membangkang akan ditindak tegas.

Plus, meski awalnya berusaha untuk membentuk pendidikan berdasar sistem pendidikan pribumi (pesantren), namun selanjutnya Pemerintah kolonial benar-benar membikin sistem pendidikan modern yang terpisah dan memisahkan, alias lepas dari sistem pendidikan pribumi (Steenbrink; 1984). Yakni sebuah usaha untuk mengganti seluruh pandangan dunia tradisional lama (yakni dengan unsur mistisismenya yang sulit dikendalikan) dan mengintegrasikan pendidikan umum dan Islam ke spirit modernisme yang lebih tertata dan bisa dikontrol dan dijinakkan. Dengan nalar ini kita menjadi mafhum kenapa tujuan utama dan misi Pendidikan Politik Etis adalah menghapus Budaya takhayul, klenik, mistik, dan khurafat. Dan, akhirnya sistem pendidikan Islam asli pribumi (pesantren) di awal abad 20 tersuruk di pinggiran, terisolasi, dan terabaikan.

Tumbuhnya pemberontakan para petani yang dipimpin para pemimpin lokal yang terserap dalam nuansa identitas ke-Islam-an Jawa, bagi saya menandai fakta penting, bahwa para kawula atau rakyat kebanyakan telah ditinggalkan oleh para pemimpinnya, baik dari para aristokrat Jawa maupun dari para pemimpin agama kelas menengah.

Seperti telah banyak diulas, Perang Dipanegara (1825-1830) menandai perlawanan terakhir bergabungnya elemen masyarakat mulai dari para kyai pemuka masyarakat, santri, para bangsawan/priyayi pemberontak, rakyat biasa, petani, blandong, penyamun, perampok, gali, hingga para pencuri dalam barisan bendera perang “sabilollah” Dipanegara melawan “kafir” Belanda untuk mempertahankan harga diri terakhir bangsa Jawa.

Dan Soekarno mungkin akan menangis saat melihat nasib para petani kita hari ini tidak sedang beranjak dari kondisi kemelaratannya.

***

Sejak kekalahan perang ini, pemberontakan-pemberontakan rakyat telah menjadi insiden pinggiran yang dengan mudah ditangani oleh Pemerintah Kolonial. Karena kita tahu, bahwa Keraton beserta para bangsawannya praktis di satu sisi telah kehilangan kuasa politiknya secara paripurna, maupun secara bersamaan diikuti perilaku para priyayi semakin terserap dalam “rasionalitas” modern Belanda (baca: “agama Budi” (akal), seperti dinubuatkan oleh Serat Gatholoco, Darmogandul, dan Babad Kedhiri), maupun di sisi lain keterkurungan mereka dalam benteng keraton sehingga dengan sendirinya terputus dengan mata-rantai sistem pengetahuan Islam tradisional yang diajarkan oleh guru-guru pesantren di Pedesaan, sehingga melecut kelompok yang disebut terakhir membentuk “jaringan Islam” internasional yang lebih massif di abad 19 hingga 20.

Pemberontakan para petani dan tokoh spiritual lokal ini juga mengungkap bahwa para tokoh yang masih membenamkan diri dalam denyut keagamaan dan penderitaan masyarakat-lah yang akan terus melawan. Masalahnya narasi trikotomi pembelahan masyarakat Jawa, yang sebenarnya merupakan kelanjutan dampak yang ditimbulkan oleh politik pecah-belah kebudayaan Belanda masih terus-menerus dihidupkan para sarjana kolonial beserta murid-muridnya hingga hari ini, yang bahkan dalam kasus tertentu didinamisir untuk saling membenturkan dan mengekslusi. Dan Soekarno mungkin akan menangis saat melihat nasib para petani kita hari ini tidak sedang beranjak dari kondisi kemelaratannya. Juga terkait ide persatuannya untuk menyatukan tiga kelompok ini (Nasionalis, Agama, dan Komunis) yang digagas dari sejak muda dalam payung Indonesia, justru tenggelam dalam narasi sejarah, serta politik pembelahan masih terus dilanggengkan sebagai lanjutan politik kebijakan kolonial Belanda yang telah menyorongkan estafetnya pada penguasa penjajah kapital baru yang sedang berlangsung hari ini. Akhirnya para petani kita terus-menerus berada di “pinggiran” dan masih terbaluti lumuran kemelaratan di sekujur tubuhnya hingga hari ini.

Allahu A’lam.

Irfan Afifi, 31 Maret 2016


Dr. Karel A. Steenbrink, “Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19”, Bulan Bintang, Jakarta, 1984.

M.R.C. Ricklefs, “Mystic Synthesis in Java: A History of Islamization from the Fourteenth to the Early Nineteenth Centuries”, (Norwalk, CT: EastBridge), 2006.

M.R.C. Ricklefs, “Polarizing Javanese Society, Islamic and Other Visions {c.1830-1930}” (Leiden: KITLV Press), 2007.

Ann Kumar “The Diary of a Javanese Muslim 1883-1886” (Canberra, Australian University Monograph), 1985.

Sartono Kartodirjo “Peasant’s Revolt of Banten in 1888”, (Brill Publisher, Series Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkund), 1966.

Dulu saat mengkopi untuk pertama kalinya (sebagian) buku yang sering disebut banyak orang sebagai “ensiklopedia Jawa” atau sering dikenal umum sebagai “Serat Centhini” ini, saya mendapati pengalaman yang unik. Teman saya yang waktu ikut membuka lembar-lembar Serat dengan ketebalan 12 jilid ini sempat sedikit heran ihwal beberapa kutipan berbunyi Arab yang cukup mudah ditemukan, deretan nama tarekat yang muncul di beberapa bait, maupun nama-nama kitab khasanah ilmu pesantren yang beberapa kali menghiasi baris-baris “pada” dalam format tembang Macapat yang memang dipilih untuk menuliskan keseluruhan ajaran serat ini.

Teman saya mengira, Centhini adalah sejenis Kamasutranya Jawa atau minimal kitab kuliner Jawa (ingat karya E. Inandiak yang telah mengeksplorasi seksualitas Centhini yang baru-baru ini sempat beredar). Atau setidaknya, menurut dugaannya, serat ini adalah karya heterodok yang menyimpang dari Islam, atau malah ajaran kebatinan yang bersumber pada ajaran Hindu-Buda pada zaman Majapahit, yang masih terus dirawat oleh masyarakat Jawa yang tak terlalu rela warisan spiritual nenek moyangnya, hilang karena fajar Islam mulai menjelang di tanah Jawa. Setidaknya ia merupakan warisan “sinkretik”, tentu dengan nada peyoratif, imbuhnya. Banyak orang memang sering salah duga. Dan itu wajar.

Th. Pigeaud dalam “Literature of Java”-nya menyebut inti sebenarnya dari Serat Centhini adalah tembang mistik Islam Jawa yang berjudul “Suluk Centhini”

Para pakar kajian Jawa telah bersepakat bahwa serat ini masuk dalam kategori genre “suluk”, alias tembang mistis (tasawuf) Jawa. Bahkan dalam pengantar awal terbitan lengkapnya (1985), oleh penerbit Yayasan Centhini, nama sebenarnya serat ini adalah “Suluk Tambangraras”. Seperti dijelaskan Nancy K. Florida, ternyata kesusateraan Jawa mengenal dua genre sastra bernama “suluk” atau tembang/puisi, dan genre “wirid” atau berarti ajaran/prosa/gancaran. Ingat dua kata ini, “suluk” maupun “wirid” merupakan istilah kunci yang dalam tasawuf (tarekat). Dan dari identifikasi awal ini, kita sebenarnya sudah mulai bisa menduga—meski kata suluk mulai dicerabutkan dari akar sufismenya—bahwa karya ini memang dimaksudkan untuk menyampaikan ajaram mistik jawa (islam), ajaran paling puncak ihwal kesempurnaan hidup Jawa.

Belum lagi, menurut Poerbatjaraka, Serat Centini sebenarnya merupakan eksplorasi baru dari karya suluk yang lebih tua, yakni Suluk Djatiswara, sebuah karya tembang mistisisme (sufi) Jawa di zaman PB III. Artinya serat ini ada dalam galur kesusatraan mistik (Islam) Jawa, atau lebih khusus sufisme yang berkembang di tanah Jawa. Bahkan orang sekelas Th. Pigeaud dalam “Literature of Java”-nya menyebut inti sebenarnya dari Serat Centhini adalah tembang mistik Islam Jawa yang berjudul “Suluk Centhini”. Lalu bagaimana ihwal isinya?

Ensiklopedia Jawa

Serat Centhini yang kita kenal sekarang ini dalam 12 jilid yang terdiri dari 772 satuan bait (baca: “pada”) dikarang di zaman Pakubuwana V di tahun jawa 1742 atau 1814 M. Kemungkinan besar pangeran mataram yang kelak bergelar Pakubuwana V inilah yang menunjuk dewan penulis yang terdiri dari: R.Ng Yasadipura II, Raden Ranggasutrasna, serta Raden Sastradipura. Kita tahu, Yasadipura II, sang pujangga keraton tersebut, adalah santri Kyai Kasan (Iman) Besari di Pesantren Gebang Tinatar, Tegalsari, Ponorogo, tempat pelarian PB II saat pemberontakan Cina pecah. Ronggasutrasno pujangga Istana terkemuka penggubah beberapa tembang, sedangkan R. Ng. Sastradipura pernah pernah tercatat mengganti namanya menjadi Ahmad Ilhar setelah kepulangan Haji dari tanah Mekkah, serta mengarang berbagai suluk terkemuka.

Saya sendiri tak tega mengabaikan tafsiran “Islam” dalam serat ini, yakni hanya dengan melihat latar pesantren yang dilakoni Yasadipura II saat menghabiskan masa “ngaji”-nya di pesantren Kyai Imam Besari, Ponorogo, dan sempat menelurkan “Serat Dewa Ruci” yang terkemuka itu. Atau terkait Ronggasutrasno yang dikabarkan pernah mengarang “Serat Kidungan”, sebuah naskah “suluk” yang mengajarkan perlambang “ngelmu Islam sajati” ajaran wali tanah Jawa yang masyhur: Sunan Kalijaga. Atau Raden Ngabehi Sastradipura menganggit ”Suluk Rupa-rupi” juga kitab “Lungguhing Sipat Kalih Dasa Wonten Ing Badan.”(Tempat Sifat Duapuluh (Allah) Dalam Badan).

Bahkan beberapa riwayat—terutama pada Centhini versi Kamajaya (Yayasan Centhini)—menyebutkan, bahwa Kyai Kasan (imam) Besari sendiri plus Kyai Ahmad Kategan (ulama besar Surakarta) ikut terlibat dalam dewan penyusunan naskah serat ini, selain tiga tokoh yang telah disebut di atas. Dari latar demikian, kita—tepatnya saya—sepertinya perlu memberi ruang tafsir yang cukup bagaimana term-term islam—tepatnya sufisme—menghiasi bait-bait secara menyeluruh dalam serat ini.

Ada beberapa pakar yang telah mengeksplorasi, khasanah literatur pesantren yang memenuhi wajah Centhini secara keseluruhan. Dr. Soebardi, misalnya, dalam sebuah International Conggress of Orientalist di Australia tahun 1971, telah banyak membahas ihwal ini. Saya hanya akan mengulang temuan-temuannnya.

Suluk Centhini sebenarnya adalah cerita tentang “santri lelana”, santri yang mengembara. Tokoh kuncinya bernama Syekh Amongraga (Jayengresmi) selain tokoh-tokoh lain seperti Ki Baji panutra, Rancangkapti, Ken Tambangraras beserta pembantunya (cethi abdi) bernama Centhini, maupun tokoh bernama Jayengraga. Tokoh kunci Amongraga bersama dua saudaranya Jayengsari dan Niken Rancangkapti ini adalah anak keturunan Sunan Giri III (Giri Prapen) yang terpaksa harus meninggalakan kedaton-nya, saat penyerangan Sultan Agung dan Pangeran Pekik Surabaya, yang membuat kocar-kacir seluruh keturunan Giri.

Centhini dengan sangat apik melukiskan bagaimana tiga keturunan Giri bersama beberapa santri yang mendampinginya bisa lolos dari peperangan, saling terpisah, dan mengembara menelusur ke seluruh penjuru Pulau Jawa. Arah pengembaran yang berbeda dari ketiga keturunan ini justru memberi lanskap cerita yang kaya akan tradisi, topografi, busana, musik, bahasa, paramasastra, etika, katuranggan, petung, etika, erotisme, gaya hidup, serta khasanah “ngelmu” Jawa. Syaikh Amongraga sebagai tokoh kunci misalnya digambarkan sebagai “santri” sekaligus “guru” Islam yang mengembara menyusuri pertapaan, petilasan, gunung, hutan, gua, candi, dan pesantren di seluruh daratan pulau Jawa, setelah peristiwa penaklukkan Kedaton Giri. Ia menyusuri tempat suci dan pesantren Jawa ke arah barat hingga sempat berguru pada Syeikh Karang, Banten, Jawa Barat, kemudian menyusur hingga ke Timur menemui Ki Baju Panurta, dan sempat menyesap seluruh ilmu dari Guru pesantren di Wanamarta ini (Jawa Timur), dan menikahi salah satu anaknya Ken Tambangraras, serta selanjutnya memutuskan meninggalkan istrinya untuk mengembara ke pedalaman Jawa Timur, bersambung mengunjungi tempat suci, gua, petilasan, serta menemui para pertapa, ajar, wiku, dan guru-guru pesantren ke pedalaman Jawa Tengah selatan.

Hasil yang kita bisa baca, terbingkai dari cerita dari latar berbagai Pesantren kampung dan Perdesaan di sepanjang dataran pulau Jawa yang bisa dibayangkan di abad 17, Centhini merajut jalinan tenun verbal beribu-ribu helai pemikiran, adat, kebiasaan, sejarah, dan kesusasteraan, dan mistisisme ke-Islam-an Jawa. Atau secara ringkas bisa dikatakan, Centhini adalah—mengutip Nancy K. Florida—“untaian indah khasanah ‘ngelmu’ dunia pesantren Jawa yang kaya di abad 19 awal”.

Suluk Centhini sebenarnya adalah cerita tentang “santri lelana”, santri yang mengembara.

Selain itu, dalam babak-babak awal pengembaraan Syeikh Among Raga, Centhini memberi tekanan lebih pada kualitas spiritual tokoh ini—dengan memberi nama panggilan “syeh”—melebihi Ki Baju panurta, Ken Tambangraras, juga Djayengraga, yang berturut-turut merupakan tokoh-tokoh agama yang begitu dipandang di komunitas santri Desa Wanamarta. Gelar ini merujuk kualitas seperti digambarkan secara baik dalam Centhini, ihwal penguasaan disiplin ilmu-ilmu keislaman utama seperti “Fikh” (hukum Islam), “Usul” (Teologi Islam), dan mistisisme (tasawuf).

Bahkan tidak hanya dianggap santri-guru terpelajar yang taat menjalankan sholat lima waktu, melainkan Amongraga juga digambarkan santri yang cakap membaca Qur’an, mengutip Sunnah, dan menjalankan dzikir. Ia lebih dari semua, merupakan “santri-guru” par-excellent yang telah menyesap pengetahuan rahasia “ma’rifat” (mistisisme) Islam.

Beberapa kitab dalam khasanah pesantren yang beberapa kali Syeikh Amongraga sebut dalam bait-bait Centhini, khususnya dalam bidang Fikh diantaranya Mukarrar, Sudjak, Kitab Ibnu Kajar, Ilah, Sukbah, dan Kitab Sittin. Selain kitab-kitab Fikh, Syeikh Amongraga juga menyebut beberapa kitab dalam bidang Teologi (Usul) dalam bait-bait Centhini diantaranya, Semarakandi, Kitab Durat, Talmisan, Asanusi, Patakul Mubin, Bayan Tasdik, Sail, and Djuahiru. Selain Kitab Fikh dan Kalam (teologi), pada bait-bait Centhini juga beberapa kali menyebut kitab-kitab tafsir Qur’an seperti Tepsir Djalalen (“Tafsir al-Jalalaini”) Tepsir Baelawi (“Tafsir al-Jalalaini”). Baik kitab fikih, usul, maupun tapsir yang disebut di awal sebagian (besar) hingga hari ini masih dipelajaari di pesantren-pesantren kita.

Selain itu, dalam Serat Centhini juga disebut kitab tasawuf yang merupakan dasar ajaran “Kesempurnaan Hidup” yang menjadi puncak ilmu makripat Jawa, diantaranya Ulumuddin, Adkia, dan Kitab Insan Kamil. Kita dengan sangat mudah mengidentifikasi Ulumuddin sebagai nama Arab kitab “Ihya’ Ulumuddin” karya masterpiece Hujjatul Islam Al-Ghazali (1111 M). Kitab ini sangat popular dalam lingkungan pesantren hingga hari ini. Khusus terkait bab etika yang dijelaskan di sepertiga kitab ini malahan begitu popular. Kiai Saleh Darat Semarang (gurunya Kartini) misalnya pernah membuat ringkasannya dalam aksara Jawa pegon. Bahkan di tahun 1936, seorang Kiyai Hardjadarsana Purwokerta menggubah ringkasan ini dalam bentuk tembang dengan nama Serat Mundjijat.

Untuk Adkiya, sebagaimana disebutkan dalam Centhini sebenarnya merujuk judul kitab “Hidayat al-Adhkiya’ ila Tharïk al-Auliya’ (Petunjuk Orang-orang Pandai atas Jalan Para Wali), yang dikarang oleh Zain al-Din Ali al-Malaibari (1522 M).

Sedangkan terakhir Kitab Insan Kamil tidak lain adalah kitab yang dikarang oleh ‘Abd al-Karim b. Ibrahim al-Djïlï (antara tahun 1406-1417 M), dengan judul lengkap ”al-Insan al-Kamil fï Ma’rifat al-Awakhir wa’l-Awa’il”I. Manuskrip kitab ini pernah ditemukan di Banten. Kita tahu, Kitab “Insan Kamil” adalah usaha ekplisitasi ajaran wahdatul wujudnya Syaikh Ibn Arabi yang tersohor itu. Setidaknya, melalui karya murid Al Jilli, Al Burhanfuri, yang berjudul “Tuhfatu al-Mursalah ila ruh an-Nabi” yang banyak beredar di Nusantara, gagasan wahdatul wujud ibn Arabi menyebar ke Aceh dan Sumatera, serta menghiasi hampir secara menyeluruh gagasan pandangan dunia “manunggaling Kawula Gusti” di banyak literatur mistik Jawa.

Seluruh literatur pesantren yang disebut dalam Centhini di atas, sungguh menegaskan posisi Tokoh kunci Amongraga, yang begitu mekankan keseimbangan harmonis “sarengat” (syari’a) dan “tarekat” (thariqa) di satu sisi, “hakekat” (Haqiqa) dan “makripat” (ma’rifah) di sisi lain. Ia menunjuk “Syaria” dan “ma’rifa” sebagai “wadah sakalir”, sedangkan Ma’rifa dan Haqiqa sebagai “buah/biji anugerah” (widji nugaraha). Biji yang ditaruh di tempat yang tidak layak, hanya akan menjadikan kemurahan Tuhan tak lagi berarti. Oleh karenanya biji dan wadah adalah sesuatu yang tak terpisahkan. Hubungan harmonis antara keduanya akan mengantarkan pada kesempurnaan hidup (kasidan), atau sering disebut dengan “ngelmu kasampurnan”.

Namun lagi-lagi, warisan khasanah “ngelmu” yang terajut indah dalam Serat Centhini—yang senyatanya merupakan warisan khasanah Pesantren yang begitu berharga, tidak lagi diakrabi oleh santri-santri pesantren hari ini di satu sisi. Dan si sisi lain, orang-orang Jawa yang masih menekuni khasanah ngelmu ini begitu kewalahan menafsirkan term-term mistik Islam di dalamnya. Dan akhirnya, saya tak terlalu tahu, kapan kedua kelompok ini saling bersapa dan bekerjasama.

Wallahualam.

***

Sejak peristiwa eksekusi Seh Siti Jenar juga Hamzah Fansuri, banyak orang menautkan ajaran “manunggaling kawula gusti” atau “wahdatul wujud” dengan tokoh sufi syahid Al Hallaj yang masyhur. Bahkan orang macam Michael Feener berusaha keras untuk membuktikan jejak-jeak ajaran Al Hallaj di Nusantara. Namun, dari berbagai temuan dan pembacaan naskah, justru menunjukkan secara kuat sebaliknya ihwal pengaruh kuat gagasan sufi Ibnu Arabi, sang syaikhul akbar yang tak kalah sohor.

Martabat Tujuh

Di sebuah naskah popular yang sering diatribusikan pada nama besar “pujangga panutup” Ronggawarsita sebagai pengarangnya, Serat “Wirid Hidayat Djati” atau dengan nama “Serat Makripat” menurut salinan P.W. Van Den Broek, ajaran tentang “martabat tujuh”, yakni ajaran ihwal tujuh tahap tajalliat Allah sebagaimana dialamatkan sebagai ajaran sufi agung Ibnu Arabi itu, benar-benar terpapar secara gamblang. “Istilah-istilah” kunci tiap martabatnya bahkan meminjam secara harafiah dari konsep martabah tujuh, atau di Jawa dikenal dengan nama “martabat pitu”, seperti (1) ngalam Ahadiyat, (2) Ngalam wahdat, (3) ngalam wahidiyat, (4) ngalam arwah, (5) ngalam misal, (6) ngalam Ajsam, dan (7) ngalam insan kamil. Atau juga diterangkan pada halaman lain dengan penjelasan, (1) sajaratu yakin/kayun atau atma, (2) Nur Muhammad atau nur (3) Miratul Kyai atau rahsa (4) Roh ilapi atau suksma, (5) kandil atau nafsu, (6) dharrah atau budi, dan terakhir (7) kijab atau jasad.

Bahkan secara eksplisit, terutama di halaman awal “Serat Wirid” ini, tiap-tiap “martabat” dijelaskan, diwariskan, dinisbahkan, dan diwejangkan oleh para wali tanah Jawa—selepas meninggalnya Kanjeng Sunan Ampel Denta—seturut dengan jenjang dan “pangkat” tiap martabat yang disandang oleh delapan wali Jawa, yang terus tergantikan dari zaman Demak, hingga zaman Pajang dst. Dimulai dari Sunan Giri yang bertugas mengajarkan keber-‘ada’-an Dzat (baca: martabat ahadiyat), Sunan Tandhes, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Kajenar, Sunan Geseng, dan seterusnya.

Bahkan sang Pujangga Ronggawarsita, penyusun serat ini, mengaku hanya menyampaikan ajaran para wali tanah Jawi dalam membabar “wiji” ngelmu kasampurnan (baca: martabat insan kamil) yang didasarkan pada dalil, kadis, ijma, dan kiyas—seperti kita kenal sebagai dasar keyakinan ke-Islam-an Ahlussunnah wal Jamaah. Hal ini sekaligus menepis tuduhan Syi’ah yang sering dilontarkan masyarakat terhadap keyakinan para Wali.

Di dalam “Suluk Wujil” karangan Sunan Bonang, bahkan disebutkan terdapat seorang guru yang mengajar seorang santri bernama Wujil—sering diidentifikasi sebagai sosok Sunan Bonang sendiri—disebut dengan gelar “Ratu wahdat” (martabat kedua)–diterjemahkan secara salah oleh Prof. Poerbatjaraka sebagai “Raja selibat” (wadat)—sebuah gelar yang mengacu pada jenjang “martabat kedua” dalam konsep gradasi ruhani keberadaan semesta dalam relasinya dengan wujud Allah (martabat tujuh). (Pada 1&2, Suluk Wujil).

Beberapa sarjana telah berusaha menjelaskan bagaimana konsep ajaran “martabat tujuh” ini beredar dan mempengaruhi tokoh-tokoh semisal Hamzah Fansuri di Aceh, Raja Ali Haji di Riau, Hasan Mustapa di Sunda, maupun Ronggawarsita di Jawa. Konon, dalam karya-karyanya Saikhul Akbar Ibn Arabi tidak pernah secara eksplisit memaparkan tentang konsep “martabat tujuh”.

“Serat Centhini” juga menguatkan koherensi ini. Misalnya di halaman terkahir Jilid I “Serat Centhini” terbitan Yayasan Centhini Yogyakarta (1985, Jilid I: hal 332)), Ayah seorang tokoh bernama Mas Cebolang, yang tinggal di daerah Sokayasa, Banyumas, dikenal dengan sebutan “Seh Akadiyat” (Martabat pertama). Atau di bagian halaman lain “Serat Centhini” juga menyebutkan seorang wiku yang tinggal di gunung Argapura, yang tiba-tiba muncul seketika di hadapan Jayengsari dan Niken Rancangkapti saat beristirahat di gunung itu, yakni seorang asketis bergelar “seh wahdat” (martabat kedua), seorang wiku Argapura yang akan memberi wejangan pada Jayengsari terkait pengetahuan dzat, sifat, asma, dan af’al Allah, serta jalan menuju-nya (pupuh 72 Dhandhanggula, pada 28 & pupuh 73 Asmaradana, pada 1-47, hal. 259 & 261-5).

Malah dalam bait-bait lebih rinci di Serat Centhini, khususnya pada tembang Asmaradana ke-48 (jilid 1), Jayengresmi saat masih tinggal di gunung Tanpomas bahkan sempat menerangkan secara detil satu-persatu rincian konsep “martabat tujuh” (kasapta martabah) kepada Niken Rara Ruhkanti, yang wejangannya terkait tiap martabat memenuhi hampir seluruh isi tembang yang terdiri dari 40 bait penjelasan, yakni untuk menghibur Niken Ruhkanti yang sedang dirundung kesedihan setelah di tinggal wafat sang ayah (hal. 160-164).

Beberapa sarjana telah berusaha menjelaskan bagaimana konsep ajaran “martabat tujuh” ini beredar dan mempengaruhi tokoh-tokoh semisal Hamzah Fansuri di Aceh, Raja Ali Haji di Riau, Hasan Mustapa di Sunda, maupun Ronggawarsita di Jawa. Konon, dalam karya-karyanya Saikhul Akbar Ibn Arabi tidak pernah secara eksplisit memaparkan tentang konsep “martabat tujuh”. Baru kemudian oleh para muridnya lah gagasan-gagasan ini menemukan bentuk secara lebih defenitif yang kemudian hari menyebar dan dikenal di Indonesia. Awalnya adalah kitab “Insan Kamil” yang dikarang oleh “murid” Ibnu Arabi di India yang bernama Abd Alkarim Al Jilli, dan kemudian mendapat skematisasi dan sistemasi yang final di tangan seorang “murid” Jilli, Alburhanphuri, yakni dengan judul; “Tuhfatul Mursalah Ila ruh in Nabiy” atau sering disebut secara singkat dengan “tuhfah”.

“Serat Centhini” menyebut kitab “Insan Kamil”—merujuk pada karya Al Jilli di atas–sebagai salah satu kitab yang dipelajari dan dikuasai oleh Seh Amongraga, tentu selain kitab tasawuf lain yang juga disebutkan seperti Adkiya dan Holomoddin. Yang pertama berjudul lengkap “Hidayatul Adzkiya ila Tariqil Auliya” karangan Zainuddin Al Malibari, sedangkan yang kedua maksudnya “Ihya Ulumuddin” karya Imam Ghazali yang terkenal. Selain itu, A.H. Jhons telah menemukan manuskrip “Serat Tuhfah” atau “Serat Tupah” yang merupakan terjemahan atau gubahan “Tuhfatul mursalah Ila Ruhin Nabiy” karya Burhanpuri yang telah digubah oleh orang Jawa dalam bentuk tembang macapat yang terdiri dari empat pupuh (tembang), dan 131 ‘pada’ (bait). Kitab tipis ini baru saya dapatkan akhir-akhir ini, sekitar 4 bulan kemarin. Bahkan, jika ini diterima, di serat lain yang judunya hampir mirip, berjudul “Kitab Topah” yang diterbitkan Penerbit Soemodidjoyo Mahadewa, Yogyakarta (1957), Ali bin Abi Thalib sendirilah yang datang (secara ruhani) ke Jawa menerangkan ilmu “martabat tujuh” di pulau ini.

Seperti dikatakan Seyyed Hossein Nasr, doktrin kesatuan (baca: tauhid) atau sering dikenal sebagai “manunggaling kawula gusti” dalam kasus kita, sebenarnya, bukan persatuan wujud—karena yang benar-benar ‘wujud’ hanya Allah.

Dari karya-karya murid Ibnu Arabi inilah, atau juga dari sebagian kutipan karya sang syeikh sendiri, ajaran Martabat Tujuh atau kadang sering dikenal dengan ajaran “wahdataul wujud” menyebar ke Nusantara secara umum, termasuk di Jawa. Ajaran ini menyebar awalnya mungkin, setidaknya yang bisa kita identifikasi, melalui jalur tarekat Syattariah (juga Isbandiyah atau Naqsabandiyah), sebuah tarekat yang diikuti oleh Seh Amongraga seperti diceritakan Centhini (hal. 56, jilid 6). Kita juga mendapati bahwa Sang Pangeran Diponegara, sang tokoh Perang Jawa, seperti dicatat Peter Carey, juga membaca secara giat “Serat Topah” dari jalur Guru Syattariahnya, Kyai Taptojani, Mlangi. Bagan “daerah” (denah mistik terkait zikir) yang digambar Pangeran Diponegara di buku Babad Tanah Jawi beliau (1838) menunjuk pada keterkaitan tarekat Syattariah dan Naqsabandiyah (Carey: 2014, 38), seperti dalam kasus Seh Among raga. Hal ini persis seperti dijalani Paman ronggawarsita, Ronggasasmita, yang juga mengamalkan wirid syattariah dengan tekun, atau bahkan mungkin juga malah Sang Pujangga sendiri.

Ajaran martabat tujuh inilah yang kemudian membentuk struktur pandangan dunia kejawaan, ihwal manusia, alam, dan Tuhan, yang sayangya justru oleh para pakar seperti Zoetmulder dan Harun Hadiwiyono, justru masih dipautkan dengan konsep Hinduisme yang jauh seperti aliran Vedanta, Sankara, hingga Ramanunja, yang sebenarnya tak punya riwayat dan bekas pemikiran nyata di Pulau ini. Akibatnya, kejawaan mengalami beban sebutan peyoratif “panteisme” yang tak punya padanan pas dalam khasanah pemikiran tasawuf Islam Jawa karena benar-benar mereduksi gagasan padat seperti dirumuskan para wali tanah Jawi.

Seperti dikatakan Seyyed Hossein Nasr, doktrin kesatuan (baca: tauhid) atau sering dikenal sebagai “manunggaling kawula gusti” dalam kasus kita, sebenarnya, bukan persatuan wujud—karena yang benar-benar ‘wujud’ hanya Allah. Ia melainkan hanya semata penjabaran konsep “kedekatan” (qurb) seperti tergambar konsep lapis-lapis syahadat (baca: sadat Jati) seperti yang diterangkan di “Serat Tuhfah” versi macapat. Ia hanya jalan mendekat, melalui (1) faraid (ibadah fardu), (2) nawafil (ibadah sunnah), (3) qoba qausain (dua busur panah), dan (4) au adna (atau lebih dekat)—(Sinom, hal. 78). Karena pada dasarnya, menurut lapis dan tingkatan syahadat kita, pada akhirnya keber-‘ada’-an mahluk bukanlah wujud, melaikan maujud, dan oleh karenanya selalu dalam kondisi “faqir” akan status “ada”.

Seperti telah dirumuskan oleh leluhur orang Jawa, pada akhirnya memang secara hakiki “ora ana apa-apa kejaba dudu”. La maujuda illallah.

Allahu A’lam.

Irfan Afifi, Senin 16 April 2018

Warisan terbesar yang ditinggalkan para wali tanah Jawi (baca: Islam di Nusantara), yang mungkin akan susah diterima oleh para muslim hari ini, sebenarnya adalah wayang (kulit) dan bukan “peradaban teks”. Selain Para wali kita tidak meninggalkan teks—kecuali sedikit yang itupun dalam bentuk huruf Hanacara—peradaban teks hanya bisa menyingkap secara terbatas “olah kebudayaan” proses Islamisasi awal, yang sebenarnya telah memanifes dan membentuk “diri” kita, dalam tata ontologi (tauhid) sufisme-Islam yang ingin diperjuangkan.

Mungkin para wali, menurut saya, sangat sadar peradaban teks seberapapun agung dan besar kontribusinya terhadap hidup ini, ia pada akhirnya tak mengantarkan kita pada “akhlak” atau “budi utama”, alias mengantarkan manusia menuju diri paripurna atau utuh-nya (baca: janma utama/insan kamil).

Wayang dengan komponen unsur tembang, cerita, teater, sastra, gending, seni rupa, musik, dan suaranya, seperti dirumuskan Kalijaga, adalah sarana “tanpa menggurui” masyarakat Jawa dan sekitarnya untuk melihat “diri” mereka sendiri. Ia seolah mengajak kita melihat sembilan “fakultas” dalam diri kita (baca: babahan hawa sanga), yang memanifes dalam diri wujud Pandawa, Sembadra, Karna, dan Kresna, agar sisi gelap “kecenderungan” jahat kita tidak tergelar dalam wujud Kurawa yang berjumlah 100 itu. Wayang dengan begitu merupakan eksempalar yang diperlambat ihwal “perang besar” manusia mengalahkan diri-nya sendiri (baca: Jihad Akbar). Inilah cara mengenali diri, seperti diserukan secara kuat oleh “tasawuf”. Man ‘Arafa Nafsahu, Arafa Rabbahu. Siapa mengenal dirinya, Ia akan mengenal Tuhannya. Atau dalam istilah Jawa disebut “mulat sarira”; melihat dirinya sendiri.

 

Dalam pupuh ke-8 “Serat Cebolek” karangan Yasadipura, hal ini terkonfirmasi:

Punapa malih rasaning Kawi

Bima Suci kalihan Wiwaha

Pan sami keh sasmitane

Ngenting rasaning ngelmu

Yen patitis kang mardikani

Kadyangga Kawi Rama

Punika tesawuf

 

Apalagi “rasa”-nya (makna) Kawi

Bima Suci dan Arjuna wiwaha

Sungguh penuh pralambangnya

Sebuah “makna” ilmu yang sangat dalam

Jika tepat (dalam) menguliti maknanya

Seperti halnya Kawi Rama(yana)

Itu merupakan Tasawuf

 

Peradaban teks dengan begitu, dalam kerangka ontologi sufisme (baca: tauhid wujudi), hanya membantu sedikit—atau malah secara deontologis mengkerangkeng “laku” manusia (baca: suluk) yang sebenarnya berjumlah sebanyak jumlah manusia di bumi ini, seperti disitir oleh sebuah perkataan “hikmah” seorang sufi di awal abad Islam. Karena semakin manusia berhasil menderet dan mengeksplisitasi larangan dan seruan dari ajaran, maka semakin terpapar pada mata kita “pelanggarannya”. Ini seolah membenarkan aksioma, “Tidak ada satu koruptor pun yang pada dasarnya menolak bahwa perbuatannya itu tercela dan melanggar agama.” Ini bukan ihwal ketidaktahuan “pengetahuan” akan benar-salah, melainkan cermin “diri” yang telah kotor atau sebentuk kegagalan mewujudkan “diri” kemanusiaannya yang memang tak pernah ia “gulawentah”.

Akhirnya saya sedikit mafhum, warisan terbesar kita sebenarnya jikapun ia terselip dalam peradaban teks kita—yang sebenarnya bukan hanya teks “logis-rasional”, karena berwujud bahasa metafora “sastrawi” yang ditembangkan—hanya merupakan pandu awal agar kita menerjunkan diri dalam olah diri atau riyalat dalam bahasa Jawanya (baca: riyadhoh), sebagai ejawantah ilmu “Kasidan Jati”, “kasampurnan”, atau “ma’rifat”. Olah diri atau tepatnya “olah budi” (mesu budi) tersebut dimulai dengan cara mengenali diri, yang dalam bahasa kita, disampaikan dalam bentuk beragam ungkapan dari sejak zaman Yasadipura hingga Suryomentaram, yakni dari mulai term “mulat-sarira”, “mawas-diri”, “nanding-sarira”, “tepa-sarira”, “nyawang-karep”, hingga “pangawikan pribadi”.

Olah diri, lelaku, atau olah budi dengan begitu adalah “(le)laku” sekaligus proses “budaya” (baca: budi-daya) alias mendayakaan seluruh komponen bagian diri kita yang berjumlah empat itu yang berujud (1) Karsa [Raga], (2) Cipta, (3) Jiwa,  dan (4) Rasa kita—yang dengan sendirinya berbeda dengan “kebudayaan” seperti didefinisikan Kuntjaraningrat yang lebih menekankan sebagai semata “hasil” dari cipta-rasa-karsa dan bukan pada “proses” mengolahnya—agar diri kita menuju keadaan kesempurnaan, keutuhan, atau mencapai keutamaan hakiki manusia (Kasidan Jati/ngelmu kasampurnan) dalam mengemban tugas “kekhalifahan” di muka ini untuk menyebarkan rahmat bagi semesta. Hal ini dirumuskan para leluhur dengan ungkapan indah, “Manunggaling Karsa, Cipta, Jiwa, dan Rasa Agawe Rahayuning Bumi”.

Kebudayaan atau budaya dari defenisi di atas, yang posisi wayang berdiri di dalamnya, dengan begitu dalam makna utuhnya adalah olah budi (amasah mesu budi) atau katakanlah “proses Suluk” atau “lelaku” untuk terus-menerus menyelaraskan atau memanunggalkan karsa, cipta, jiwa, serta rasa kita, yang diujungnya akan termanifes dalam tata-budaya, tata-nilai, tata-masyarakat, tata-negara, juga tata-adat, yang hari ini warisan tersebut lamat-lamat kita tinggalkan dan abaikan.

 

Ngelmu iku kelakone kanthi laku            Ilmu itu tercapai melalui sebuah “laku” (diri)

Lekase lawan kas                                   (yang) permulaannya diawali dengan kesungguhan

Tegese kas nyantosani                           yakni kesungguhan yang membantu memperkokoh  (diri)

Setya budya pangekese dur angkara     terus mengolah budi, agar keburukan dan angkara musnah

(Mangkunegara IV, “Serat Wedhatama”, pupuh ke-3, Tembang Pocung)

 

Dalam kerangka ini pula wejangan Wedhatama ihwal “ngelmu iku kelakone kanthi laku” menjadi sedikit bisa dipahami. Ngelmu itu—jauh dari pengertiannya yang semata dicapai sebatas lewat jalan “praktik” (“learning by doing”) dalam bahasa hari ini—sebenarnya adalah sebentuk capaian atau buah dari olah diri “ruhaniah” untuk mendayakan seluruh potensi dan fakultas dalam diri kita (baca: Karsa, Cipta, Jiwa, Rasa)—yang dengan sendirinya berbeda dengan ilmu yang hanya menekankan aspek kognitif-rasional-diskursif fakultas diri hasil sekolah hari ini. Dan kita tahu dari para sesepuh, olah diri “lelaku” tersebut berujung pada jatuhnya anugerah pengetahuan kesempurnaan (budi) atau ma’rifat (kakenan nugrahaning hyang widhi). Yakni dalam bahasa Wedhatama disebut sebagai ngelmu bangkit mikat reh mangukut, kukutaning Jiwangga—alias berujung pada konsep “ora ana apa-apa kejaba dudu”, sebuah proklamasi ontologis “tauhid” (awas roroning atunggil) tentang tidak ada apapun realitas atau kenyataan yang haq kecuali Allah. La ilaha illallah. La maujuda illallah. Sebuah gerak nafi (menegasi) dan istbat (mengafirmasi). Selain-Nya dalam gradasi wujud adalah “bathil” alias tidak “haq”. Dan hanya manusialah yang bisa mencipta (baca: Cipta) tatanan realitas semesta menjadi “haq” agar ia bisa menjadi cermin atau ayat yang memanifestasikan tajalli “Sang Realitas Haq” (Sang Hakikat)— dalam bahasa Wedhatama wujudollah sumrambah alam sakalir.

Laku Ilmu dengan  begitu—atau sebenarnya “perjalanan” lelaku kita menuju Allah (sangkan paraning dumadi)—adalah (1) mengedalikan keinginan dorongan nafsu keinginan natural diri rendah kita yang bisa menyesatkan (Karsa), (2) menajamkan akal-cipta agar kita mengenali haq-batil dengan cara “waspada” terhadap pamrih diri (Cipta), (3) menggosok cermin hati kita dengan mengisi nama-nama-Nya  yang indah (emut/eling), (4) juga memperindah “rasa” estetik-moral yang akan mengantarkan kita pada hakikat kehidupan (wosing/rosing dumadi), yang dengan itu bisa menjadi bekal manusia sebagai “wakil tuhan” menyebarkan rahmat bagi semesta atau turut memperindah alam semesta (memayu ayuning bawana), serta menebar kasih bagi sesama (memangun karyenak tyasing sesama). Karena kebenaran (agama) harus menjadi pakaian yang mempercantik diri menuju akhlak luhur atau budi utama sebagai Manusia (Agama ageming Aji, mring atining tata karma, nggon anggon agama suci)

Dan hanya dari laku ilmu dalam pengertian di atas, kita akan bisa menyingkirkan kejahatan dan keburukan (baca: Bathil) yang sebenarnya merupakan manifestasi dorongan nafsu egotism yang muncul melalui stimulus pancadriya yang melecut kehendak dan nafsu kita. Agar proses berilmu mau tidak mau harus dimulai dengan—dalam bahasa Wedhatama—memperkokoh dan meneguhkan tekad (nyantosani) serta kegigihan disiplin awal kita (kas) untuk terus-menerus mengolah dan mengutuhkan seluruh aspek kemanusiaan budi kita (setya budya), agar keburukan yang sebenarnya bersumber dalam diri kita dapat diberantas (pangekesing dur angkara). Dengan cara seperti itu, proses perjalanan “berbudaya” dalam mengutuhkan kemanusiaan kita akan bisa memberi dampak dalam usaha mempercantik dan “mengindahkan” dunia (memayu hayuning bawana) juga turut bisa menebar rahmat bagi alam semesta.

Allahu a’lam

Yogyakarta, 21 Oktober 2017

“Dengan cara apa Tuhan seharusnya kita didekati?” “Dengan cara feminin atau dengan cara maskulin?” tanya saya dalam sebuah diskusi kecil di rumah kontrakan teman. Sontak, diskusi—atau tepatnya obrolan—yang memang sedang membincangkan ihwal Spiritualitas itu kemudian senyap. Juga termasuk saya, yang sebenarnya tak begitu sadar kenapa pertanyaan itu tiba-tiba terlontar. Teman-teman seketika segera membalikkan pertanyaan itu pada sang penanya. Sang penanya diam, tak tahu jawabnya.

Selang beberapa hari, saya berfikir. Saya lalu teringat beberapa wejangan para Faqir. Kata para guru sufi, sifat “feminin” Tuhan, kata mereka, selalu mengatasi sifat “maskulin”-nya, atau seperti tersitir dalam sebuah hadist qudsi, “Rahman dan Rahim Tuhan selalu melebihi atau mendahului murkanya”. Lalu saya teringat “nama-nama indah” (baca: asma’ul husna) Tuhan yang sering dihafalkan waktu kecil itu, yang setelah saya cermati memang membenarkan dugaan saya. Maha Penghukum, Maha Pemaksa, Maha Kuat, juga Maha Perkasa “tenggelam” dalam sifat-sifat Maha-Pemurah, lembut, welas, asih, pengampun, pembuka rahmat, pemelihara, adil, bijaksana, mulia, dll. Singkatnya, saya menemukan segudang feminitas di dalamnya, melebihi aspek “maskulin”-Nya.

Saya sebenarnya tak benar-benar tahu, apa yang sedang tampil di dunia hari ini. Yang jelas, banyak media memberitakan perang dan kekerasan, bahkan mengatas-namakan agama juga ras. Sungguh cara-cara yang “maskulin”. Saya sungguh menyukai metafor ini, “Di saat para lelaki bersorak usai kemenangan perang, para Wanita sebaliknya menangisi kematian para putera-putera yang mereka besarkan dengan kasih-sayang.”

Saya juga, sekali lagi, tak tahu apakah Ashin Wirathu—biarawan Budha Burma penghasut kebencian etnis-agama di Myanmar atas sekelompok muslim etnis Rohingya yang beritanya beredar hari-hari kemarin—bersepakat dengan saya. Tapi, banyak media membenarkan, jika ia tak keberatan disebut “Bin Laden-nya Burma”. Ia, katanya terlibat dalam “Gerakan 969” yang menyerukan pemutusan bisnis dan pernikahan dengan Muslim Burma di tahun 2001, juga pemindahan etnis Rohingya di “negeri ketiga”. Ia tidak sendiri, kabarnya 2600 biarawan Budha juga ribuan pengagum di media sosial mendukungnya. Setelah masa pemenjaraannya (2003-2010), Wiratu dibebaskan. Sejak itu, ia sering disebut-sebut sebagai dalang pemicu kerusuhan, pembunuhan, penjarahan, dan pengusiran Muslim Rohingya pada juni 2013, yang menewakan 200 orang, dan lebih dari 100.000 muslim Rohingya terusir. “Mungkin anda bisa hidup dengan kebaikan dan cinta, tapi anda tidak akan bisa tidur di samping ‘anjing gila’,” katanya.

Dari Wirathu kita belajar bahwa (kepicikan) agama bisa bertaut dengan nasionalisme juga “maskulinitas”. Mungkin saya juga terlalu menyederhanakan dan mengabaikan latar sejarah mereka. Tapi yang jelas, tidak kurang beberapa biarawan Budha lain mengecam praktik “maskulinitas” Wirathu yang bertentangan dengan ajaran Budha. Mungkin perkaranya bukan semata agama tapi juga kekhawatiran. Ya kekhawatiran, bahwa “negeri Buddist” akan berubah menjadi “negeri Muslim”. Ketakutan yang dihadapi dengan ketakutan, kata Aung San Kyi. Pada akhirnya, lingkaran kekerasan terus berlangsung.

Saya juga, kali kedua, tak benar-benar tahu bagaimana lingkar kekerasan dan “maskulinitas” ini terus beroperasi. Dalam soal Wirathu, Ia sering menyatakan ia tidak ingin menikah. “Saya tidak ingin bersanding dengan wanita,” katanya singkat dalam sebuah wawancara dimuat di The Guardian. Masa pahit dan kelamnya saat kecil, memaksanya berhenti sekolah dan segera bergabung menjadi biarawan Budhist di umur 14.

Apakah “feminitas” semakin menjauhi dirinya, saya juga tak benar-benar paham. Ini mirip, jika kita cermati, bagaimana para fundamentalis Taliban dalam memperlakukan wanita. Obyek pertama sasaran pertama penerapan hukum “syari’ah”-nya adalah wanita. Para wanita menjadi sasaran cambuk atas praktik perzinaan, dieksklusi dari ruang publik, ditertibkan karena dianggap sumber mala, hingga mereka musti dibungkus ke-“persona”-an dengan burqah. Mungkin pengkaitan ini agak ngawur dan serampangan. Tapi yang bisa saya amini, bahwa tampilan praktik beragama kita hari ini memang benar-benar maskulin. Bahkan Tuhan pun dibayangkan semata-mata dari sifat “maskulin”-Nya: penghukum juga pemberi azab bagi yang melanggar perintahnya.

Jika Tuhan, oleh para guru suci kita dulu, sering “ditemukan” dan “didekati” dengan rasa cinta (baca: mahabbah), kenapa itu tidak sedikitpun menggugah kita. Tuhan benar-benar telah kita tempeli baju Keagungan dan Keperkasaan , sehingga melupakan sifat “Keindahan”-Nya.  Kita seru sekeras-kerasnya Ke-“Jalal”-an serta ke-“Qahar”-an Nya, sembari menyingkirkan ke-“Jamal”-an Nya.  Apakah Tuhan benar-benar telah menjadi “laki-laki”?

Saya jadi ingat, pernyataan ekskatik Ibn Arabi bahwa “perempuan” adalah epifani-Nya (baca: tajalli) paling sempurna di bumi ini. Karena, tanpa wanita, kita benar-benar tak punya preseden untuk mengalami keindahan “wajah”-Nya. Mungkin ini signifikansi pernyataan Nabi kita ihwal tiga hal yang paling ia cintai: kesejukan mata saat sholat, parfum, dan wanita—yang sering dibelokkan oleh para orientalis Islam awal bahwa nabi seorang womenizer. Tapi tidakkah—jangan-jangan—pengertian saya tentang “maskulinitas” juga sebenarnya kurang tepat.

Dulu, syahdan seorang Yogini keluar dari pertapaannya melewati kerumunan orang di sebuah pasar dengan bertelanjang. Orang-orang ribut dan mencercanya. Namun, saat sang pertapa perempuan tersebut melewati seorang Wali-Faqir yang dimuliakan di India, segera ia buru-buru menutupi tubuh dengan pakaiannya.

Ada cerita serupa yang terjadi di Baghdad. Di masa Mansyur Al Hallaj, sufi syahid itu, kerumunan orang gempar karena melihat seorang wanita yang dikenal salihah di kota itu berjalan di tengah-tengah orang ramai dengan membuka burqa-nya. Seseorang memberanikan diri menanyakannya: “Kenapa kau membuka kerudungmu?” Sang wanita menjawab: “Saya tak lagi melihat ‘laki-laki’ di kota ini.” “Seandainya tak ada Mansyur, maka saya akan membuang seluruh kain yang menempel di tubuh ini.”

Saya semakin bingung. Apalagi harus menjawab bagaimana Tuhan seharusnya “didekati”, lewat bakti-ketaatan, pengetahuan, atau cinta? Lewat jalan “maskulin” atau “feminin”? Namun, saya jadi sedikit tahu, bahwa untuk menyebut kata ganti dia (laki-laki), Qur’an masih memberi ruang pada kata “dzat” (yang memang menunjuk pada Allah), yang kita tahu itu adalah bentuk kata “feminin” dalam tata bahasa Arab. Jadi apakah saya sudah menjawab pertanyaan di muka. Saya kira belum.

Karangduren, 22 mei 2015.

Saya menemukan dua buku penting ini, sungguh dari keajaiban google yang maha (serba) tahu. Buku yang Pertama “History of Java”-nya Raffles (1817) dua volume, sedangkan yang kedua “History of Indian Archipelego”-nya Johns Crawfurd (1820) dua volume. Dua buku ini, bagi saya, begitu penting, terutama berkait dengan dokumen awal bagaimana cara pandang dunia Jawa, atau tepatnya “agama Jawa” didefinisikan untuk pertama kali dalam lembar-lembar awal penelitian akademik para orientalis, yakni dalam pengertian komprehensivitasnya. Dan kita akan segera tahu, dua buku “history” ini merupakan blue print untuk pertama kali bagaimana “agama Jawa” didefinisikan, serta berikutnya bagaimana defenisi itu direproduksi berulang-ulang oleh para orientalis yang lebih belakangan, atau bahkan hingga para sarjana kita hari ini.

Setidaknya hingga abad 19 (1800 M), VOC hanya mengenal beberapa aspek masyarakat wilayah di sepanjang pantai utara Jawa, atau setidaknya sedikit aspek pengetahuan masyarakat untuk menunjang ekonomi dagang mereka, seperti terekam dalam laporan catatan perjalanan para pelancong Eropa maupun catatan-catatan statistik para pejabat VOC. Wilayah pedalaman Jawa selatan, hingga tahun awal 1800, merupakan tanah “antah berantah” yang lebih banyak diselubungi mitos.

Saya tidak ingin mengatakan bahwa sebelum tahun 1800 belum ada karya tulis tentang Jawa sama sekali. Bukan, bukan itu. Ada beberapa nama penulis yang telah mendahului Rafless, seperti Areland (1677-1718) yang pernah menulis menulis daftar vocabulary Jawa di awal abad 18, atau laporan perjalanan Enggel Hard di Jawa (1761-1831), juga Jayyet (1620-1689), hingga Gordjin yang untuk pertama kalinya menerjemahkan sebagian “Sejarah Raja Jawa” di tahun 1779. Atau para akademisi Belanda di tahun 1768 sudah mengenal terjemahan kode hukum kesultanan Cirebon dalam bahasa mereka.

Belum ini jika kita memasukkan catatan-catatan lapangan yang dilakukan oleh para missionaris dan zending yang sejak awal abad 18, seperti dilakukan JFC Brumund, dkk, yang merekam pertemuan dan perkenalan awal mereka dengan masyarakat Jawa pada catatan-catanan mereka dalam konteks misi.

Signifikasnsi “History of Java”-nya Raffles menurut saya; karena membahas masyarakat Jawa—yang sebelumnya berupa pecahan-pecahan yang tak terangkai—mencakup seluruh wilayah Jawa dalam satu buku untuk pertama kalinya, atau meminjam kalimat Jochem van den Boogert (1971) “very first collections all available knowledge of Java”. Dalam bahasa panjangnya, buku ini mengajak pada publik Eropa secara luas, menikmati seluruh potongan dari bagian yang tersedia dari seluruh sobekan pengetahuan tentang Jawa dalam satu format yang terstruktur dalam sebuah buku untuk pertama kalinya. Ia mengurai dari perihal gunung, penduduk, pakaian, makanan, adat, ceremony kerajaan, hingga “agama”. Kita juga dengan segera akan mendapati bahwa “History of Indian Archipelego” Crawfurd mempersembahakan bahasan mencakup hampir seluruh wilayah Jawa.

Tak aneh jika sejak diterbitkannya dua buku tersebut di abad 19 (1817 & 1820 M), dua buku ini menjadi sebuah terobosan dan merupakan satu-satunya otoritas serta sumber referensi absolut selama lebih setengah abad untuk para sarjana Eropa secara umum, atau bahkan lebih. Ingat, bahkan Karl Marx pun dalam “das Capital” yang melegenda itu, saat membahas “tipe produksi Asiatic”, merujuk dengan bersemangat buku Raffless ini. Atau Ricklefs sejarawan Jawa kontemporer hari ini dalam trilogi buku islamisasi masyarakat Jawa-nya—(1) Mystics Synthesis, (2) Polarizing, dan (3) Islamisation—masih perlu merujuk buku ini.

Oleh para sarjana orientalis terkemuka, Raffless disebut sebagai inisiator dan pemula studi ilmiah atas masyarakat Jawa. Bahkan beberapa pakar menyebutnya sebagai “the first true orientalist on Java”. Meski perlu dicatat, kata “history” seperti dibubuhkan dalam judul buku tersebut, sebenarnya tak memiliki pengertian sejarah Ilmiah ketat hari ini. Kata (History) hanya secara sederhana dimaksudkan sebagai sebuah kompilasi pandangan yang mencakup aspek menyeluruh segala hal-ihwal tentang Jawa. Sesederhana itu.

Sebenarnya buku dalam genre history tentang nusantara, Raffles bukan seorang pemula. Sebelumnya William Marseden sudah menerbitkan buku “History of Sumatra” di tahun 1789 M. Raffles ternyata berteman akrab dengan Marseden, yang merupakan lawan diskusinya yang bersemangat. Di kemudian hari kita tahu, buku “History of Sumatra” Marseden membantu Raffles untuk menyempurnakan dan menstrukturkan “history of Java”-nya dalam bangun yang lebih utuh dan koheren secara umum.

Selain signifikansi kebaruan dan kemenyeluruhan studi Raffless yang diklaim merupakan tonggak studi sejarah dengan intensi “ilmiah” pertama atas masyarakat Jawa, Raffless menginisiasi metode keilmuan yang belum dilakukan para pendahulunya dalam penyelidikan tentang masyarakat Jawa.

Kita tahu, sejak menjadi penguasa baru Jawa dan diangkat Leutenan General di tahun 1811 di Hindia Belanda, Raffles merupakan produk “anak sah zaman Pencerahan Eropa”. Ia sangat bersikeras mengganti sistem monopoli ekonomi VOC menuju liberalized Economy. Karena baginya, free-trade dan sistem pajak yang fair lebih menggiurkan daripada pengiriman dan ekspor pertanian. Dan Raffles tahu, sistem pajak baru tersebut membutuhkan perluasan keterlibatan pengawai sipil lokal dan perbaikan pendidikan atas para pejabat tersebut.

Nah, sebelum menerapkannya, Raffles membentuk sebuah komite yang bertugas menginvestigasi hukum lokal tentang kepemilikan yang pernah ada sebelumnya. Collin MacKenzie ditunjuk untuk mengepalai Land Rent Commite yang bertugas mengumpulkan artefak, kostum, gambar, dan teks yang tersebar di seluruh penjuru pulau Jawa. Dari perbendaharaan materi koleksi MacKenzie tersebut sebagaian akan digunakan Raffless dalam menyempurkanan History-nya.

Dengan mudah kita mendapati dalam “History”, nama dan karya pendahulu orientalis Belanda, seperti HC. Cornellius perihal sketsa dan gambar tentang candi-candi di Jawa Tengah, atau studi Captain George P. Backer yang melakukan studi ekstensif tentang Borobudur dan Prambanan, juga Nicolaus EnggleHart terkait gambar-gamabr patung di wilayah Semarang. Ia menggabungkan temuan-temuan para orientalis Belanda awal dalam bangun maha karyanya.

Lebih-lebih, Raffles juga berteman akrab dengan para priyayi dan bangsawan istana, seperti Bupati Torbaya (Semarang), Kiai Adipati Suraadimenggala, dan Panembahan Sumenep, Natakususma, yang dikemudian hari kita ketahui ikut menerjemahakan sebagian babad untuk pertama kalinya. Oleh Karenanya, “History” sering dianggap sebagai sebuah sintesis laporan dengan bahan-bahan yang dipersiapkan dan dikumpulkan para relawan, serta menggabungkan temuan studi dari pada pendahulu yang tak selalu mendapat sebutan kredit sepantasnya. “History” dengan sendirinya menampilkan ketersambungan usaha-usaha penyeledikan sebelumnya yang merentang dari sejak VOC, atau bahkan sejak zaman Portugis.

Selain buku, signifikansi Raffless juga terletak pada usahanya untuk menghidupkan lagi Het Bataviaash Genoothschap voor en Wtenschappern (Batavian Society) atau sering dikenal dengan Royal Batavian Society Art and Science, yakni sebuah lembaga dan Society bentukan Belanda yang pertama kali yang pernah ada di Asia, bahkan mendahului Royal Asiatic Society bikinan Inggris. Kajian Society ini sebelumnya di masa VOC merentang dari geografi, teknologi, agrikultur, sejarah alam, etnologi, kesehatan tropis, dan sedikit tentang sejarah dan sastra. Sedangkan fokus tentang Kajian “agama” tidak ada.

Sejak Raffles mengambil alih lembaga ini, kajian tentang deskripsi etnografis dan agama Jawa meningkat drastis. Memang sebelum tahun 1800, sudah ada beberapa orientalis Belanda yang tertarik dengan kajian sastra Jawa. Tapi hanya di masa Raffless dan Crawfurd lah yang menandai tinggal landas menuju studi saintifik akan bahasa dan sastra Jawa. Kita tahu, sejak tinggal di Yogyakarta, Crawfurd belajar dengan intensif bahasa dan sastra Jawa dan berteman aktif dengan para bangsawan istana Keraton Yogyakarta. Ia juga sempat belajar bahasa dan sastra Melayu di Penang, sebelum berlabuh di Jawa.

Dari Raffles kita tahu ia adalah seorang filolog bersemangat dan merupakan ekponen awal akan ide: “teks menyediakan titik akses penting terhadap studi kebudayaan bangsa lain”. Di awal abad pertama 18, Raffles mengerahkan usaha gigihnya merekonstruksi untuk pertama kalinya “agama Jawa” dengan intensi akademik dan ilmiah, melalui pintu masuk filologi dan arkeologi. Persis bersamaan dengan tokoh-tokoh Inggris Charles Wilkens, William Jone, dan Henry Thomas Coolebroke dalam merekontruksi dan “menginvensi” agama Hindu melalui jalur bahasa Sankrit di tanah jajahan di India.

Dalam sebuah pidatonya di Royal Batavian Society, Raffles menekankan akan pentingnya dua hal penting bagi penelitian ilmiah akan Jawa: 1) Pentingnya penelitian etnologi area luar Jawa, agar tidak tumpang tindih dengan kajian yang dilakukan Royal Society (Inggris) di Jawa, 2) Penekanan akan pentingnya studi filologi (manuskrip dan teks-teks Jawa) sebagai pintu masuk paling sempurna pada sejarah, pikiran, adat, hukum, dan istitusi Jawa.

Memang studi akan budaya dan agama Jawa, terutama melalui pintu teks, akan mengalami fase panennya baru di pertengahan pertama abad 19 (1850 ke atas) dan mencapai kematangannya di awal abad 20. Namun fondasi penelitian ilmiah awal melalui jalur filologi (juga arkeologi) yang dilakukan Raffles lah yang menjadi pijakan awal yang kita tahu segera akan diamini secara teguh dan diteruskan oleh para filolog Belanda setelahnya. Oleh karenanya di awal abad 20, kita akrab dengan nama-nama seperti Gericke, T.J. Roorda, Winter, Cornet de Groot, Cohen Struart, Wilken, Brandes, dan masih banyak lainya. Raffles lah yang meletakkan batu bata pertama penelitian Jawa dalam konteks akademik dan ilmiah secara ketat melalui jalur filologi.

Islam Jawa

“History”-nya Raffles, jauh dari para pendahulunya, memberi bahasan “agama Jawa” sekitar 68 hal sendiri dari ketebalan buku 800 halaman secara keseluruhan, sedangkan Crawfurd (History of Indian Archiphelego) perlu mengulas agama jawa sepanjang 55 halaman dari total 1700 halaman secara keseluruhan. Dari 68 hal ulasan ihwal agama Jawa dalam “History” Raffless lebih menitikberatkan pada ancient religion pada 63 halaman, sedangkan porsi Islam—yang merupakan agama mayoritas pada masa itu—hanya ditulis dalam 13 halaman sisa. Ini persis juga dilakukan Crawfurd dalam bukunya yang lebih memberi porsi “agama kuno” masyarakat, berdasar reruntuhan candi-candi Hindu, patung, inskripsi Jawa yang ia teliti secara menggebu. Bahkan Crawfurd membuat klasifikasi dari candi, patung, dan inskripsi yang ia telaah dalam rentang kategori penyembahan yang murni hingga penyimpangan penyembahan pada artefak-atefak tersebut.

Crawfurd berpendapat “Hinduisme” yang dipeluk oleh masyarakat pribumi adalah “Hinduisme yang sudah terkorupsi”. Kasus penemuan “agama Hindu” pada masyarakat Jawa sebenarnya merupakan temuan baru. Baru di tahun 1787 agama Hindhu disebut dalam tulisan-tulisan para orientalis, dan Budha baru disebut di awal abad 18. Sebelumnya para orientalis awal Eropa seperti Stavorius (1760) menyebut agama Jawa dengan istilah “Javanese Heathen”, atau Dirk van Hogendrof menyebut “old heathen religion”, yakni semacam agama pagan.

Dalam argumen post colonial, penekanan pada agama kuno di banding Islam pada dua mahakarya Raffless dan Crawfurd, dengan porsi pembahasan yang tidak seimbang, memberi sedikit permakluman dan “excuse” akan dugaan kebencian dua tokoh ini terhadap agama Islam. Dalam dua karya tersebut segera kita menemukan tesis yang (terlihat) mengafirmasi seperti dipaparkan dan diklonklusikan di sepanjang isi teksnya.

Baik Crawfurd maupun Raffles menyakini secara self-evident bahwa agama orang Jawa adalah Islam. Namun, buru-buru ia memberi catatan, bahwa Islamnya orang Jawa sudah tercampur dengan adat lokal dan hukum Hindu. Keduanya berpendapat bahwa masyarakat Jawa adalah “supervisial muslim” alias “muslim yang hanya ada pada permukaan”. Bahkan lebih lanjut, bagi Crawfurd, Islamnya orang Jawa adalah “modified Islam, a mixture of native customs with Islamic dan Hindu laws”. Salah tafsir ini mungkin berawal mengikuti penyepadanan kerangka dan model yang seolah-olah selaras dengan perkembangan sejarah agama Kristen Eropa, dari Catholic ke Protestantianisme yang menghendaki pemurnian.

Mereka tidak sadar akan bias kontruksi ke-“Kristen”-an mereka, yang hal tersebut menyebabkan mereka abai terhadap fakta betapa beragamanya ekspresi keberagamaan Islam zaman itu—yang memang beragam—baik corak Islamnya Maroko, Islamnya Afrika, Islamnya Arab Saudi, Islamnya Turki, Islamnya Persia, Islamnya Melayu, maupun Islamnya Jawa yang memang tak mengenal otoritas absolut tunggal, seperti layaknya Paus dalam Katholik yang bertugas menyeragamkan secara absolut aliran-aliran dalam tubuh agamanya, dalam konteks masa itu.

Bahkan Raffless misalnya mencap masyarakat Jawa sebagai “Islam di permukaan” dengan hanya menyebut kriteria bahwa orang Jawa tidak terlalu mengenal nabinya dan mereka “tidak terlalu benci melihat Belanda sebagai kafir.” Ini mungkin merupakan praduga Islam paling membekas sejak persentuhan Eropa dengan Islam dalam even berkepanjangan perang Salib; bahwa Islam harus selalu berarti “peperangan” dan “kekerasan”. Dan kita tahu, hingga abad 16-17, pengetahuan Eropa tentang Islam adalah sederet ingatan akan kekerasan Islam di Perang Salib.

Crawfurd malah lebih lanjut menyebut, masyarakat Jawa memiliki kekurangan “kapabilitas mental” untuk memahami Islam—sehingga mencampuradukkannya dengan kepercayaan lama—dan bahkan juga Hindu, serta kurang mampu menjangkau ide-ide abstrak yang ditawarkan oleh dua agama tersebut. Masyarakat Jawa—meminjam bahasa Crawfurd dalam “History of Indian Archiphelego”-nya—adalah “semi-barbarian”.

Dari dua mahakarya ini, “agama Jawa” diintrodusir dan benar-benar memperoleh standarisasi pada level tertentu, dan menyembunyikan bias-bias kolonialnya. Tafsir dua raksasa filolog ini, di kemudian hari, direprodusir berulang-ulang di sekolah dan universitas tempat pendidikan calon pegawai sipil dan militer Belanda, maupun para akademisi Belanda, sebelum masa tugas mereka di Hindia Belanda. Doktrin tentang “agama Jawa” inilah yang kemudian memberi strukturasi pada pengalaman para pejabat Hindia Belanda di tanah Jajahan.

Oleh Karenanya, orang-orang seperti Roorda van Eisinga (1819-1830 M), seorang sarjana dengan pengetahuan ekstensif paling terkemuka di masanya tentang Jawa, Melayu, Arab, dalam ceramahnya di tahun pada calon-calon pejabat yang akan berangkat ke Hindia Belanda masih mengulang proposisi yang sama dengan Raffless dan Crawfurd. Atau Johannes Oliver, seorang kepala sekolah pemerintah untuk calon pejabat kolonial menulis dalam jurnal “De Osterling” di setengah awal abad 19 mengatakan: Islamnya orang Jawa adalah “mixed with Hindu concept” atau dalam istilah lain “restricted to behavior”. Dan sepertinya preposisi Raffless tidak berhenti di abad itu, ia berlangsung hingga hari dan masih diyakini teguh oleh para akademisi kita. Mereka meringkas semua perdebatan itu dengan istilah besar bernama “sinkretisme”. Titik.


Catatan :

Ulasan ini diilhami dan nyaris sebagian disarikan dari sebuah buku Jochem van Den Boogert, Rethinking Javanese Islam, Towards New Descriptions of Javanese Traditions, Leiden University Desertasion, Belanda, (1971).