Author Archives: Raudal Tanjung Banua
Keajaiban di Tepi Jalan
“Kotak ajaib” lainnya kami amsal dari rambu-rambu yang tanpa kami sadari, telah terpancang begitu saja di tepi jalan. Kebanyakan bertanda panah warna hitam, berlatar warna kuning, menikung ke kiri atau ke kanan. Persis kotak menempel di tiang. Hanya rambu dekat sekolah kami yang tampil beda: dua sosok serupa bayang-bayang tampak bergandengan tangan. Dan kami bertengkar karenanya.
“Ini tanda anak sekolah menyeberang jalan,” kata Ipul, murid paling pandai di kelasku.
“Setelah kurenung-renungkan, agaknya ini gambar kera,” kata Isul Karnaedi.
“Benar. Sekolah kita kan dekat rawa, banyak keranya,” Leni mendukung Isul.
“Ini Pak Mawan dengan beruknya,” teriak Ujang dari belakang. Ipul yang sejak tadi merasa kesal mendadak marah ketika nama pamannya yang tukang beruk (monyet terlatih pemetik kelapa) dibawa-bawa. Kami pun nyaris bertinju di bawah rambu jalan yang masih baru. Untung Pak Syahril, guru agama, kebetulan lewat dengan sepeda kumbangnya. Ia mendadak berhenti, menyandarkan sepeda lalu bergegas melerai, bukan, memarahi, kami.
Selain ketakjuban pada rambu, masih ada keajaiban lain, begitu nyata. Suatu pagi ibu membangunkanku lebih awal. Ia menuntunku ke tepi jalan. Di sana serombongan anak tampak sedang bermain sepatu roda. Mereka adalah para ponakan Pak Rajalis yang baru datang dari kota, berliburan ke desa, ke rumah sang paman, yang tak lain seorang penilik sekolah di kecamatanku. Ada empat orang anak, laki-perempuan, meluncur dengan sigap, saling salip, tapi tak saling bersinggungan siku apalagi bertabrakan. Hanya saja, karena banyaknya lobang jalan, beberapa kali mereka tampak hampir jatuh, membuat dada kami berdebar-debar. Tak jarang mereka menyumpah sambil membandingkan jalan kami dengan jalannya di kota. Apa pun, tanpa terasa, kami, anak-anak kampung, telah berbaris menonton di tepi jalan, lupa mandi ke sekolah. Sebagian masih melilitkan handuk atau berselempang kain sarung di bahu. Ah, keajaiban selalu ada pada yang baru, dan itu menyenangkan!
Tak jarang mereka menyumpah sambil membandingkan jalan kami dengan jalannya di kota. Apa pun, tanpa terasa, kami, anak-anak kampung, telah berbaris menonton di tepi jalan, lupa mandi ke sekolah. Sebagian masih melilitkan handuk atau berselempang kain sarung di bahu. Ah, keajaiban selalu ada pada yang baru, dan itu menyenangkan!
Tapi ada pula hal biasa yang tak kalah menyenangkan, dan itu terasa istimewa, ialah menunggu lewat truk tanki Pertamina yang sopirnya mirip Rhoma Irama. Rambutnya keriting, bercambang lebat dan mukanya bulat khas bulan purnama. Gempal tubuhnya persis, terlihat menyumbul dari kaca bertulisan “Dilarang Menumpang” dan “Dilarang Merokok” itu. Pakaiannya selalu necis. Kadang ia sengaja berkacamata hitam, memakai peci haji, jadi persis betul artis idola kami. Jika ia melintas kami akan berteriak,”Bang Rhoma!” Bahkan Ujang sampai mencabut poster kakaknya di kamar, lalu poster film “Menggapai Matahari II” itu kami rentang saat ia lewat. Namun ia tak menoleh sedikit pun. Tampak betul ia menjaga wibawanya. Kami dibuat penasaran.
Sampailah suatu hari, truk tanki “Bang Rhoma” menabrak sapi Uni Jani. Kaki sapi itu patah. Para pemuda berhasil menghentikan “Bang Rhoma” dan memaksanya turun untuk berunding. Semua orang, tua muda, laki-perempuan, berduyun-duyun mendatangi rumah kepala desa Thamrin, tempat perundingan berlangsung alot. Kabar menyebar,”Ada Rhoma, ada Rhoma…”
Perundingan itu akhirnya selesai juga. “Bang Rhoma” merasa mati langkah didatangi orang sekampung—padahal mereka datang karena penasaran dan sebagian untuk memujanya. Permintaan Uni Jani yang minta ganti tiga karung padi, dikabulkan. Uni Jani bertekad akan membesarkan si anak sapi dengan membuatkan kandang khusus. Maklum, anak sapi itu masih kecil, belum bisa dijual atau disemblih.
Sejak peristiwa itu, tiap kali lewat, “Bang Rhoma” akan menekan klakson, kadang melambai, pada orang yang ia jumpai duduk di pos ronda atau lapau kopi. Tapi bersamaan dengan itu, entah kenapa, rasa penasaran kami pupus sudah sehingga kami tak tertarik lagi padanya.
Dalam Perangkap Jalur Membenam
SEMENTARA dunia berputar cepat di kotak ajaib kami, berkelabat seperti “Dunia Dalam Berita” dan bergema seumpama syair OM Soneta di acara “Aneka Ria”, kehidupan di jalan malah bertambah lambat. Ruas jalan rusak parah. Remuk-redam. Bandingannya hanya pada masa bergolak—PRRI, setidaknya begitu cerita kakek-nenek kami. Aku sempat merasakan akibatnya. Setamat SMA, aku mulai ikut membantu paman Kodis membawa teri super ke Padang. Jika jalan baik, perjalanan dengan mobil pick-up itu bisa tuntas dalam hitungan jam, tapi kini nyaris seharian. Celakanya, suatu kali di Siguntur Tua, mobil kami terjebak lumpur. Semalaman kami berjuang mengeluarkannya, sia-sia.
Paginya, dari halaman sebuah rumah ada seorang perempuan menyapa. Senyumnya akrab serupa fajar, namun tak kukenal. Lama kugosok mataku untuk akhirnya sadar bahwa perempuan yang anak itu tak lain Masyitoh, kawan SMP-ku dulu. Lama sekali kami tak bertemu. Orang tuanya bukan asli orang kampungku, hanya mereka pernah lama tinggal di rumah Dubalang, tak jauh dari rumahku. Ada yang bilang keluarga Masyitoh kerabat jauh Pak Dubalang. Baru naik ke kelas tiga, Masyitoh dibawa pindah oleh orang tuanya, entah ke mana. Aku ingat, Masyitoh punya dua adik, satu masih kecil dan aku tak tahu namanya, sedangkan yang SD bernama Itos—anaknya jago catur.
Kini dalam kelelahan di jalan, Masyitohlah yang kemudian melayani kami dengan makan-minum, handuk bersih dan kain sarung yang sengaja diambilkan dari dalam lemari—terendus dari aroma kapur barus.
“Begini hidupku sekarang, Kudal, mengurus anak-anak,” katanya tanpa kuminta. Ia cerita, setamat SMP ia tak melanjutkan sekolah lagi sebab dikawinkan ayahnya dengan anak seorang haji.
“Jadi, ke Siguntur ini dulu kau pindah saat naik ke kelas tiga?” tanyaku sekedar bernostalgia.
“Bukan. Dari sekolah kita di Taluak, kami dibawa ayah ke Lubuak Aluang. Di situ aku menamatkan SMP dan Itos menamatkan SD. Setelah itu ayah ke sini, membuka kedai nasi di kelok sana, tapi keburu tutup,” ia menunjuk sebuah rumah makan yang nyaris runtuh, ditinggalkan. “Tapi di sinilah aku bertemu anak Pak Haji…” ia menunduk.
“Oya, Itos di mana sekarang?” cepat aku beralih tanya.
“Ia STM di Padang, padahal ingin jadi tentara,” ia tertawa tertahan, terdengar seperti dari lorong yang jauh.
“Kau beruntung punya suami, anak-anak dan rumah yang besar, Ita. Kapan suamimu pulang?” tanyaku akhirnya, antara canggung dan asing.
“Biasanya tiga hari. Kami punya truk yang biasa membawa getah gambir daerah sini ke Padang, lalu mencari tambahannya ke Pangkalan, Kotobaru. Sejak jalan rusak perjalanan bisa jadi lima hari bahkan seminggu. Tapi pagi ini ia akan pulang, nanti kuminta ia membantumu,” katanya.
Aku meliriknya; pandangan kami beradu. Dia secantik dulu, saat kami saling tak berani menyatakan isi hati.
Belum habis pagi, tiba-tiba terdengar truk menderu memasuki halaman. Masyitoh menepati janji. Suaminya bersama anak buahnya membantu kami. Bertahun-tahun kemudian, aku bertemu sebuah buku usang yang kubaca berulang, Jalur Membenam karya Wildan Yatim. Aneh, aku merasa pengarang Sidempuan yang tinggal di Bandung dan juga ahli Biologi itu seolah bercerita tentang diriku!
Hutan yang Rusak dan Badak-badak
KETIKA usiaku terus bertambah dan kupikir sudah seharusnya pergi meninggalkan kampung, truk-truk pembawa kayu gelondongan kian merajalela di jalanan. Menghantui dan meneror kepala siapa saja. Terlebih kemudian truk-truk itu meraung dalam kubangan. Badan jalan sudah merosot betul kondisinya lantaran tiap hari dilintasi beban berat tak berampun. Kondisinya persis kubangan kerbau, kubang babi atau…kubangan badak-badak!
Ya, badak! Binatang berjangat tebal itu jadi ungkapan buruk di kampungku: muka badak, pekak badak. Itu buat orang keras kepala dan tak tahu malu. Di sekolahku dulu, jika kami susah diatur, kepala sekolahku lantang berteriak,”Semuanya dengarken, kecuali bagi yang pekak badak!”
Begitu pula menjelang pemilihan bupati, kencang beredar pendapat bahwa daerahku mesti tetap dipimpin orang berlatar belakang tentara, seperti biasanya. Ketua DPRD kami (waktu itu pemilihan oleh mereka) tentu saja sepakat. Orang daerah kita masih banyak yang pekak dan bermuka badak, jadi perlu digebrak, begitu katanya. Karuan jadi ramai di koran-koran. Padahal dari sebuah buku yang kubaca di perpustakaan sekolah, aku tahu, badak justru hewan yang sangat peka dengan gerak, suara dan cahaya.
Tapi itulah manusia seenaknya bikin umpama. Dan itulah yang terjadi, namun dalam amsal berbeda. Di tengah gerahnya kampung kami menghadapi truk pengangkut kayu, para pemuda mulai nekad menyetop truk atau melemparnya diam-diam. Beberapa kaca truk pecah dan serombongan pemuda ditantang berkelahi oleh sopir truk kayu yang pongah. Suatu malam, aku ikut melempar sebuah truk. Dari jauh kami sudah melihat silau lampunya menyorot seisi kampung. Dadaku berdebar kencang, telingaku tegak; mungkin seperti seekor badak menghadapi ancaman. Kami berempat—aku, Sihem, Isul dan Nedi—menunggu di Jembatan Tajun, tempat yang lengang. Begitu truk masuk jembatan, Nedi berbisik memberi aba-aba, dan serentak kami lemparkan batu-batu dalam genggaman, sebagian kami bungkus dalam kain sarung. Terdengar kerontang besi beradu. Lalu suara berderai yang keras, seolah desau pelepah tua jatuh melayang dari pohon kelapa. Itu bunyi kaca yang pecah. Kaca depan truk itu menganga, memperlihatkan wajah sopirnya yang kaget, tapi segera berubah murka.
Dadaku berdebar kencang, telingaku tegak; mungkin seperti seekor badak menghadapi ancaman. Kami berempat—aku, Sihem, Isul dan Nedi—menunggu di Jembatan Tajun, tempat yang lengang. Begitu truk masuk jembatan, Nedi berbisik memberi aba-aba, dan serentak kami lemparkan batu-batu dalam genggaman, sebagian kami bungkus dalam kain sarung.
Truk berhenti di tengah jalan. Dan kami, dari pokok rumbia, segera mengambil langkah seribu, melewati hutan sagu, rawa-rawa penuh lintah hingga sampai ke rumah Ikal tempat kami biasa bermalam. Sesampai di situ, kami cuci kaki, lalu dengan berkelumun kain sarung di atas tikar, kami segera pura-pura tidur seolah tak terjadi apa-apa. Sementara di jalan orang-orang dibuat heboh, dan sopir truk beserta kernetnya menyumpah-nyumpah menyebut nama hantu blau dan sejenisnya. Masing-masing orang tua berusaha mencek anak-anaknya di tempat bermalam mereka, di surau atau rumah-rumah tetangga. Semua aman. Semua anak terbukti tidur nyenyak malam itu.
Namun setelah beberapa kali peristiwa serupa terjadi, polisi mulai turun tangan, dan dengan gampang membaca modus anak-anak muda kampung kami. Jika ada terkabar truk dilempar, polisi akan membangunkan semua anak atau pemuda yang tidur di surau dan rumah-rumah tempat mereka biasa tidur bersama. Cukup dengan menyigi mata kaki kami dengan senter atau membawanya ke bawah tiang listrik, si polisi sudah bisa dengan yakin mencekal lengan kami ke atas pick-up. Ternyata mereka menandai dari basah atau tidaknya kaki kami, atau sisa lumpur yang belum sempurna dibersihkan. Beberapa beralasan baru saja melaksanakan sholat tahajud, tapi si petugas peduli apa? Dengan begitu, banyaklah pemuda yang dijemput polisi, lengkap dengan ancaman dan gertakan. Mereka ketakutan, sebagian memilih lari, merantau jauh, dan dunia kembali bungkam.
Tapi saat itulah, binatang bercula dan berjangat tebal itu muncul ambil bagian!
Bagaimana caranya? Bermula dari berita tentang perburuan hewan langka di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Koran Padang maupun Jakarta menjadikan nasib tragis badak sumatera, hewan langka itu, sebagai berita utama. Dan itu sangat sakti mandraguna ternyata! Sebab, dengan lihainya, sekalian wartawan punya celah mengungkap pembalakan kayu—hal yang sebelumnya tak tersentuh. Laporannya dibuat bersambung dan beritanya seolah berseri, berhari-hari. Judul-judulnya juga dibuat mencolok. Akibatnya, bupati kami dipanggil ke Padang, sebagian orang bilang ke Jakarta, entah oleh siapa dan untuk apa. Betul-betul mustajab. Truk kayu mulai jarang melintas bahkan lalu berhenti sama sekali. Truk terakhir yang kulihat sempat terperosok lobang yang dalam, tertahan hingga 2 x 24 jam. Tak seorang pun yang mau menolong. Sopir dan kernetnya yang biasanya selalu memasang tampang pongah, dengan rokok mahal di tangan, kali itu benar-benar menderita. Hujan turun, dan ia tampak seperti dua ekor musang yang kuyup. Benar-benar akhir masa yang menyedihkan. Tak ada juga pertolongan dari mobil derek kiriman bos mereka dari kota. Hanya karena dianggap mulai mengganggu kendaraan lain yang lewat, akhirnya orang kampungku turun tangan membantu mendorongnya beramai-ramai. Sopir truk, dengan sisa senyum yang renyai, pamit diri dan aku melihat seekor badak seolah melintas di dalam matanya.
Sejak hari terakhir melihat truk kayu, agaknya kami semua telah berterima kasih pada badak, meski ia terlanjur kekal dalam ungkapan yang tak layak. Bertahun-tahun kemudian, di sebuah ruang arsip perpustakaan Ibukota, aku dapati banyak berita tentang penembakan badak di daerahku. Bukti bahwa kasusnya pernah heboh, meski mungkin tak seriuh cicak-buaya yang dulu juga heboh, atau perkara saham gunung emas Papua. Salah satu majalah membuatku terhenyak. Di halaman utamanya, terdapat karikatur (mantan) bupati kami dalam pakaian dinas, lengkap dengan tanda pangkat, tapi berkepala badak!
Tapi bagaimanapun hutan kami telah rusak, binasa. Musim hujan banjir melanda kampung. Sawah-sawah terendam, air menjilat-jilat lantai rumah di atas tiang dan meluber ke jalan raya. Ikan-ikan rawa atau air tawar berkecipuk, berloncatan, sebagian menggelepar ke atas lantai papan yang hampir serata air. Tinggal mengulurkan tangkai tangguk dari langkan, maka ikan-ikan gabus sebesar lengan orang dewasa akan kami dapatkan berember-ember. Juga ikan puyu, mujair dan saribulan, semua ada, membuat kami sampai bosan menyantapnya. Apalagi adik-adik kami sering diolok-olok anak kampung sebelah, dekat pasar, bahwa memakan ikan puyu—yang sesungguhnya sangat lezat itu—membuat otak jadi bodoh.
Jika banjir sudah tak terbendung lagi, tak ada yang bisa kami makan kecuali kembali dengan nikmat menyantap ikan-ikan tangkapan kami. Bahkan kami pun tak bisa berdiam di atas rumah karena air yang keruh sudah menghanyutkan tangga dan menggeser tiang dapur. Badan jalan yang lebih tinggi terpaksa kami jadikan tempat mengungsi. Itu masih untung, ketimbang tempat lain yang diamuk galodo, yakni banjir besar disertai longsor, lumpur dan tunggul kayu. Pernah saat banjir besar, serombongan orang datang memotret kami. Yang lain bertanya tentang keadaan pengungsi. Konon mereka wartawan. Beberapa hari kemudian orang sekampung heboh melihat foto kampung kami masuk koran. Mereka antri membacanya di rumah kepala desa.
Tak dinyana, aku dan ibuku ada di dalamnya. Aku sedang membungkuk mendaras lumpur di badan jalan, sedang ibuku berdiri tegak memegang periuk kosong (mungkin juga dengan perut kosong).
Aneh, orang-orang di kampungku percaya, kalau sudah masuk koran, katanya bakal ada pembangunan! Begitukah?
“Orang-orang Proyek”
BEGITULAH ternyata—entah benar ada hubungannya atau tidak—entah berapa tahun setelah foto kami dimuat koran, lambat-laun mulai terasa ada pembangunan. Orang-orang sering menatap kami dengan isyarat mata berterima kasih. Entah terima kasih untuk apa. Apakah mereka merasa kami pahlawan? Padahal aku merasa hanya kebetulan. Wartawan itulah yang lebih berhak dianggap pahlawan, meski tentu saja kami tak akan menemukan seorang pun wartawan dalam hari-hari di kampung yang terkurung.
Akhirnya masa itu benar-benar tiba. Angin perubahan datang bersama orang-orang proyek, dengan deretan truk beserta mesin-mesin besar yang aneh-aneh bentuknya. Pelaksana proyeknya sebuah perusahaan yang kuingat namanya: BSP—entah akronim dari apa. Perusahaan ini membuat pangkalannya di sebuah tanah lapang di ujung kampungku, Taratak-Pandakian. Di sana dibangun rumah-rumah bedeng untuk pekerja, satu-dua rumah yang agak besar, agaknya diperuntukkan bagi mandornya atau yang membawa keluarga. Di tengah-tengah lapangan terdapat alat-alat penggilingan pasir dan batu, besar dan berderak-derak, dengan cerobong dan pipa hisap yang mengulur serupa dahan pohon di hutan.
Jalan diperbaiki, lobang-lobang ditimbun dan diaspal, sebagian diperlebar, beberapa jembatan diganti. Kendaraan pemadat jalan (kami sebut “mesin giling”), kendaraan pengeruk (“mesin cangkuk”) dan kendaraan yang bisa meratakan permukaan jalan (“mesin bajak”) siap-sedia turun arena. Sementara puluhan truk dengan moncong panjang dan bak yang bisa menjungkit sendiri (kami sebut “oto kopan”), hilir-mudik dengan air menetes-netes dari pasir dan batu yang mereka ambil di Kayu Gadang, bagian hulu Batang Surantiah. Para sopir truk itu suka bicara keras dan tertawa terbahak-bahak, tapi sebenarnya senang bergaul. Mereka sering menjadi tumpangan bapak-bapak yang punya urusan ke kecamatan atau anak-anak yang berangkat sekolah. Sebagian lagi dari mereka tampak lebih lunak, tapi liat, dengan wajah selalu seperti tersenyum. Mereka bercampur, berbaur. Yang satu suka mengucapkan “bah” dengan lantangnya, sebagian lagi suka bilang “sontoloyo” dengan mata mengerjap jenaka. Ah, merekalah abang-abang dari Batak dan mas-mas dari Jawa yang bisa hidup dalam satu bedeng sebagai orang-orang proyek!
Mereka bercampur, berbaur. Yang satu suka mengucapkan “bah” dengan lantangnya, sebagian lagi suka bilang “sontoloyo” dengan mata mengerjap jenaka. Ah, merekalah abang-abang dari Batak dan mas-mas dari Jawa yang bisa hidup dalam satu bedeng sebagai orang-orang proyek!
Berkat orang-orang proyek yang bekerja siang-malam, rumah-rumah makan tumbuh di sepanjang jalan kampungku. Sebagian bertahan dengan lapau kopi yang kian hidup dan ramai. Satu dua kali terdengar kabar bahwa Si Abang main mata dengan gadis rumah makan; sesekali terloncat berita, dari bisik ke bisik, bahwa Si Mas menjalin cinta dengan janda penunggu lapau kopi. Semua itu ditanggapi wajar oleh orang kampungku, bagai angin lalu di sela rumput dan gelagah, sudah semestinya ada yang bergoyang, menggoda. Akan tetapi ada satu berita percintaan yang ditanggapi tak biasa. Ialah ketika Mandor Herman terkabar hendak meminang Si Neli, gadis manis anak Pak Lemu yang tinggal tak jauh dari base-camp BSP. Apa yang menjadi perbincangan orang-orang, juga dari bisik ke bisik, adalah kenyataan Si Neli sudah bertunangan dengan Si Tando, anak Etek Limah. Malangnya, Tando sedang merantau ke Malaysia, dan sialnya, orang tua Neli menerima pinangan Sang Mandor!
Sebagian lain berbisik-bisik,”Eh, apa si Abang dikhitan?”
“Kenapa tidak?”
“Dia kan Batak.”
“Bah, Batak Sidempuan si Abang mah!” jawab rekannya dari Jawa.
“Lagian, kalau pun tak sunat, dapat gadis secantik Neli ia pasti mau disunat,” kata seorang lain, dan mereka lalu tertawa bersama-sama.
Begitulah, tak ada yang bisa melerai cinta mereka, kecuali jika Tando bersegera pulang. Tapi itu tak kunjung terjadi, sampai jalan di daerahku selesai dibangun. Konon, Tando memang menyerah, tak mau pulang ketika mendengar gadisnya diincar orang, sebab ia tahu selama ini Mandor Herman telah memberi banyak “pinjaman” uang buat keluarga Neli. Dan itu tak mungkin bisa ia tebus dengan keadaan yang masih merana di rantau orang. Begitu orang-orang proyek bubar, Si Neli digunggung dibawa terbang oleh Mandor Herman ke Medan, berbarengan dengan usainya satu-dua percintaan abang-abang dan mas-mas dengan perempuan kampung kami—semua kembali ke keadaan semula. Si Tando pun pulang dengan mata tak lagi basah, sebab katanya ia sudah belajar melepaskan orang yang dicinta ketika mendengar kiamat dini bagi percintaannya. Sebaliknya, mata ibu-ibu di kampung kamilah yang dibuat basah, haru melihat Tando, rida menerima segala tiba.
Hingga setahun kemudian, tiba pula saat yang tak terduga. Pada suatu malam sehabis hujan badai, sebuah bus malam berhenti di muka rumah Pak Lemu. Cahaya lampu bus mengkilap dipantulkan aspal jalan yang masih baru. Segera saja bagai kelekatu orang-orang kampungku merubung bus, sumber cahaya itu. Siapa yang pulang? Perantau mana yang datang? Ini bus malam, bus jauh. Sebagian orang mendongakkan kepala, dan segera tahu siapa gerangan yang turun: Si Neli, perempuan kampung kami. Kenapa ia sendiri? Dan meski berpakaian kedodoran, orang-orang tahu belaka perempuan itu sedang mengandung, mungkin anak pertama.
Siapa yang pulang? Perantau mana yang datang? Ini bus malam, bus jauh. Sebagian orang mendongakkan kepala, dan segera tahu siapa gerangan yang turun: Si Neli, perempuan kampung kami. Kenapa ia sendiri? Dan meski berpakaian kedodoran, orang-orang tahu belaka perempuan itu sedang mengandung, mungkin anak pertama.
Setelah Neli turun beserta sedikit barang bawaannya, bus segera melaju, dan setelahnya, di depan pintu meledaklah tangis sepasang perempuan. Ibu dan anak. Apa yang terjadi? Malam itu juga orang-orang segera tahu jawabannya. Neli nekad meninggalkan Medan karena Si Abang kerap menyakitinya, semacam kompensasi yang sulit dimengerti. Puncaknya, Si Abang diciduk polisi karena kasus suap-menyuap, sebagian orang berbisik,”Korupsi!”
Aku semakin terang mengingat kisah ini kembali, saat membaca novel Orang-orang Proyek Ahmad Tohari, seakan aku diajak pulang ke pangkal jalan, di mana selalu ada benang kusut yang minta dibereskan. Direnungkan.
Bus Siang, Bus Malam
BERKAT jalan panjang yang dibangun, kami pun seolah terbangun dari tidur panjang. Kampung terasa berseri seolah dirayapi sebentang makhluk halus yang meliuk membawa segalanya melaju. Dan yang lebih menggairahkan: bus-bus lewat berpacu. Bus-bus itu lintas dua kali sehari, jumlah busnya juga bertambah banyak. Pagi, bus berpacu ke Kota Padang masuk Terminal Lintas Andalas yang beradu pinutu dengan Pasar Raya; sore kembali ke pangkalannya di kota kecamatan yang tersebar di selatan: Kambang, Balaiselasa, Airhaji, Indrapura, Tapan hingga Lunang-Silaut di perbatasan Bengkulu. Nama-nama beserta rupa dan warna bus masih berkelabat di kepalaku hingga sekarang: Budi Jaya, Painan Indah, Sinar Lengayang, Sinar Bulan, Gunung Kulam, DMB, Erlindo, Mansiro, Mustikarila, Habeco…
O, juga klaksonnya yang minta minggir! Walau teleng karena beban, larinya tetap kencang.
Suatu kali, dari jendela rumah papanku yang menghadap jalan raya, aku berteriak mengusir tupai di pohon kelapa,”Hoi, tupaiii….pergi tupai!” Tak dinyana, sebuah bus yang melintas mendadak berhenti. Rupanya mereka mengira teriakanku itu suara orang menyetop bus!
Kututup jendela dengan hati puas. Begitulah kalau busnya kosong, mereka akan berburu penumpang. Coba jika penuh, menoleh pun sopirnya tidak. Aku tahu lantaran kerap membantu orang menyetopkan bus, salah satunya Wak Kaidir. Ia tak pernah berani.
“Rasa mau ditabraknya saja kita,” katanya.
“Terus, bagaimana Wak menghentikannya saat pulang?” tanyaku.
“Selepas Jembatan Tajun, awak picingkan mata dan berteriak,Sini satu, Pir!”
Meski berteriak dari jauh, bus tumpangan Wak Kaidir tetap berhenti di tempat yang terlewat. Itu saking kencangnya lari bus. Maklum, ketika bus-bus jumbo dengan bodi keluaran “New Armada” Magelang menguasai jalur utama, jalan baru saja selesai total diperbaiki oleh “orang-orang proyek”. Sopir bus seakan “balas dendam” dari keterpurukannya selama ini.
Sementara itu bus-bus malam antar propinsi berjalan lebih pelan, mungkin karena ukurannya lebih besar, tambah menjulang dengan beban di atapnya. Menakjubkan. Ia seolah muncul begitu saja dari balik kelam. Hanya mereka yang berjaga hingga larut yang akan menjumpainya. Tujuannya Padang-Sungaipenuh, Padang-Bengkulu atau Medan-Bengkulu (Di bus malam itulah dulu gadis kenalanku dan gadis kenalan Ujang Meren pernah menumpang, kemudian tidak lagi, bahkan setelah jalan kami diperbaiki). Aku sering tergeragap menyaksikan bus-bus malam lintas satu-persatu. Anak Gunung, Cahaya Kerinci, Bengkulu Indah, Bunga Setangkai, Mawar Selatan, itu nama-nama yang menyeruak kenanganku. Bertambah kekal kenangan, tiap teringat bahwa aku dan Ujang pernah terus membayangkan gadis kenalan kami melintas.
Sejumlah bus pernah mengalami kecelakaan di Bukit Batu Biawak, Bukit Pulai atau Bukit Jaring Punai dan Kelok Awas di selatan—ini agak mengerikan untuk dikenang, tapi selalu terkenang. Cerita tentang kecelakaan itu menyebar cepat dibawa orang lewat, dan berkembang bercabang-cabang. Misalnya, bagaimana bus Mustikarila yang disopiri Oyon, pemuda Pasar Surantih, jatuh di kelok yang tak terlalu patah (biasa disebut “tikungan manis”) dan jurangnya pun tidak terlalu dalam, tapi makan banyak korban. Sebelum kejadian, Oyon bertengkar dengan kakak perempuannya yang menyumpahinya supaya dia mati masuk jurang. Kata yang lain, Oyon habis minum-minum di kedai nasi. Ada pula yang bilang, di sampingnya duduk janda Dahlimar, membuat Oyon kepayang oleh minyak wangi dan gerai rambutnya. Entah mana yang benar. Yang jelas, dua orang kampungku ikut jadi korban. Pertama uni Tiar, kakinya patah dan ia jalan bertongkat sejak itu. Kedua, Pak Bakir, pinggulnya patah dan ia menceracau menyebut nama sekalian makhluk sebelum matanya kekal tertutup.
Selain itu, ada pula bus Cahaya Kerinci jatuh ke jurang setelah sopirnya, konon, melihat makhluk tanpa kepala di tikungan. Tujuh orang meninggal. Beberapa waktu sebelumnya, mobil keluarga Nain jatuh di Kelok Baimin, dalam perjalanan menonton sirkus ke ibukota kabupaten. Kelok Baimin merupakan kelok paling tajam di Bukit Taratak. Aku baru sempat melihat keloknya langsung setelah menjadi remaja tanggung dengan suatu laku takjub yang tidak dibuat-buat. Aku sentuh dinding pengamannya dengan tangan bergetar (satu di antaranya pecah karena ditabrak datsun Nain). Nama “Baimin” berasal dari lafal sebutan “pagar semen” ini. Sebelumnya, hanya dapat kubayangkan dari cerita orang. Keloknya patah seperti siku, kata Munui, sambil membengkokkan sikunya. Sempit diapit bukit dan jurang, kata Mansur seraya merapatkan kedua telapak tangannya. Sudah keloknya siku dan sempit, menanjak pula, tambah Kodin sambil mengangkat tangan membuat sudut teramat miring.
Di kelok itulah mobil Nain jatuh. Istrinya yang sedang hamil tua tewas, dan cerita berkembang ke mana-mana. Konon si istri menjelma arwah penasaran yang membuat Kelok Baimin menjadi angker untuk sekian lama.
Ah, bus juga akhirnya yang membawaku pergi. Setelah beberapa tahun luntang-lantung di kampung setamat SMA, dan sesekali ikut membantu paman Kodis mengantar teri ke Padang atau Pekanbaru, saatnya aku menyerah. Mungkin seperti Tando yang menyerah. Atau persis pamanku yang perlahan juga menyerah, sebab setelah jalan mulus-lancar, saingan usaha ikan kian banyak. Apalagi yang kami punya jika bukan kehendak untuk menyerah dan segera mencari medan laga baru untuk bertarung? Jadi, begitulah, sebagaimana lazimnya adat di kampung, bila kubangan telah kering, saatnya terbang jadi bangau mencari kubangan lain ke sebalik bukit atau kaki gunung: ke seberang, ke rantau jauh, ke negeri orang…
Kawan-kawanku datang bertandang, dan bertanya,”Naik bus apa kau berangkat, Kudal? Bus siang atau bus malam?” Itu untuk memastikan apakah aku akan pergi jauh atau dekat. Jika naik bus siang berarti aku akan pulang cepat, ibarat “merantau di celah dapur”; bila naik bus malam artinya aku akan merantau ke luar daerah, bahkan luar pulau, dan pulangnya bakalan lama atau sekalian “merantau cina”.
“Naik bus siang dulu, nanti sesampai di Padang baru naik bus malam,” jawabku.
Mereka berpandangan. Tak lama pecahlah gelak-tawa.
“Kapindiang! Itu tak ada dalam kamus kita,” Ikal menuding, dan mulailah kami saling bertikam kata. Kata-kata yang terasa terus bergema bahkan ketika bus membawaku berlari, jauh di jalan masa kecilku, memanjang hingga ke masa remaja, membawa segala yang melintas di atasnya.
***
KINI, jalan masa kecilku dan segala yang melintas di atasnya itu, sejatinya tak banyak berubah. Atau, ia menyusut ke masa lalu?
Bila sesekali pulang ke kampung, dari Kota Padang (ini kota satu-satunya di dunia yang tak punya terminal, kata kawanku), maka akan kulihat tikungan demi tikungan menyusut pelan-pelan. Apa yang dulu menakjubkan, ternyata sekarang tak lebih sebuah kelokan yang dilalui sopir travel—pengganti bus—sambil bersiul memegang kemudi sebelah tangan. Bahkan aku tak sadar mobil travel plat hitam yang kutumpangi telah melewati Bukit Batu Biawak atau Bukit Pulai yang dulu terasa sangat curam. Apakah karena tanjakannya sudah dipapas, jalan diperlebar atau jenis kendaraannya yang baru? Mungkin begitu.
Tapi satu hal tak berubah: jalinan batin tak bertara. Persis hubunganku dengan Masyitoh. Tiap kali kembali ke kota, selalu kubayangkan ia berdiri di halaman rumahnya yang luas seolah ia ikut melepasku. Setelahnya, aku seperti terhempas ke jalur-jalur yang membenam, menarik kenanganku, dalam, dalam…
(Oktober 2015-April 2016-Juni 2020)
(Versi pendek cerita ini pernah dimuat Koran Tempo. Digarap ulang dalam versi panjang–sebuah versi lain– dengan banyak revisi, tambahan, dan ‘tikungan’).
HUBUNGAN apakah yang terjalin antara seseorang dengan sebuah jalan? Dengan segala kesungguhan, aku mencoba memahaminya, dan tahu bahwa jalinan itu menjangkau ruang batin yang teramat dalam. Begitulah setidaknya yang aku rasakan. Hanya dengan membayangkan seruas jalan di kampungku, ingatanku akan terhantar ke banyak nama dan peristiwa. Mengalir dan terhantar begitu saja, seolah kami—aku dan jalan masa kecilku—saling menjelang, hampir-menghampiri, lalu bersilangan dalam kenangan. Utuh, murni.
Menyadari itu, maka aku tidak merasa heran dengan tindakan tak masuk akal seorang saudaraku yang bertugas di Jakarta; kuamsal sama seperti diriku yang diamuk rindu-dendam kampung-halaman, tak bersudah. Suatu kali saat melintas di Terminal Rawamangun, mendadak ia minta turun dari bajaj. Tanpa pikir panjang, ia beli selembar tiket, lalu ia bergegas naik ke atas bus jurusan Sumatera. Ia masih berpakaian dinas waktu itu: baju dan celana loreng, ya, ia seorang kapten tentara. Akibatnya, baru saja ia mencecahkan pantat di kursi rumah—setelah dua hari dua malam terbenam di kursi bus—komandan meneleponnya, minta dia segera balik ke Jakarta!
“Terasa ada yang menarikku naik ke atas bus Gumarang Jaya, entah apa. Setiap kali lewat Rawamangun perasaan itu muncul terus, tapi kulawan terus. Lama-lama aku tak tahan lagi. Melihat bus Sumatera masuk-keluar terminal, jalan di depan rumah kita mendadak terlintang begitu saja di depan mata,” ia menceritakan kepulangannya yang tak biasa itu ketika kami bertemu di Jakarta beberapa tahun setelah kejadian.
“Bagaimana dengan komandanmu?” tanyaku.
“Urusan komandan ya, komandan; urusan rindu tak ada komandan-komandanan,” katanya sengak. Meski begitu, saat ditelepon itu, ia menyatakan siap menghadap komandan dengan kembali secepatnya ke ibukota.
Aku pernah merasakan hal yang sama, dengan kisah berbeda. Dalam suatu acara sastra ke Lampung, sehabis penyeberangan Merak-Bakauheni, hatiku meriap disambut sebuah jalan. Ya, begitu melihat Jalan Lintas Sumatera terbelintang di depan mata, dengan bus-bus berdebu dan truk-truk berderak, tiba-tiba aku ingin sekalian menyusurinya hingga ke kampungku di pantai Barat sana. Meski urung, setidaknya saat di warung makan, ujung jariku gemetar sengaja menyentuh tepi aspal—panas, legam!
Ah, hubunganku dengan jalan kampung halaman tak mudah dijelaskan. Kecuali bahwa aku punya beberapa cerita kecil yang mungkin bisa menggambarkan apa yang ingin kutuju, alih-alih cerminan pengalaman yang sama dari orang lain. Mari, ikutlah denganku.
Jalan Masuk, Jalan ke Luar
MULA-MULA mesti kujelaskan bahwa hanya ada satu jalan utama di daerah asalku, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Jalan itu sempit berliku, diapit bukit-bukit di satu sisi, dan di sisi lain, lautan biru. Sebenarnya itu merupakan ruas Jalan Lintas Barat Sumatera, tapi tak seramai Lintas Timur atau Lintas Tengah. Ia membentang seolah tanpa simpang sebab setiap simpang tak akan membawamu jauh ke mana-mana. Buntu di bukit, berujung di laut. Ada memang sebuah simpang ke Sungai penuh, Kerinci, dekat kota kecil penghasil nilam, tapan, namun jalur itu rusak berantakan. Hanya orang tak punya pilihan yang mau menempuhnya. Sementara jalan tembus Kambang-Muarolabuh yang sering didendangkan Madin atawa Pirin Bana, tukang rabab kenamaan di daerahku—yang membuat dia diselidik “orang kabupaten” atau “orang pemerintah” di mana ia dituduh sebagai penyebar fitnah—tak pernah dikerjakan sampai sekarang. Hanya jadi janji-janji manis calon bupati atau gubernur tiap musim kampanye Pilkada tiba. Terlantar, merana.
Sementara jalan tembus Kambang-Muarolabuh yang sering didendangkan Madin atawa Pirin Bana, tukang rabab kenamaan di daerahku—yang membuat dia diselidik “orang kabupaten” atau “orang pemerintah” di mana ia dituduh sebagai penyebar fitnah—tak pernah dikerjakan sampai sekarang. Hanya jadi janji-janji manis calon bupati atau gubernur tiap musim kampanye Pilkada tiba. Terlantar, merana.
Jadilah kami hanya punya seruas jalan lintas yang tak tergantikan itu. “Orang pemerintah” sendiri dalam setiap kesempatan, misalnya saat beramah-tamah dengan perantau atau ketika menerima kunjungan “orang pusat”, selalu menyatakan “jalan masuk dan keluar sama saja.” Terdengar serupa seloroh, tapi karena mereka yang mengucapkan—dan bukannya Madin si tukang kaba—maka tak ada yang salah; dan tak pula membuat mereka segera membenahinya.
Tapi memang begitulah keadaannya sejak dahulu. Jika ada jembatan putus atau tanah longsor menutupi badan jalan, atau badan jalan itu sendiri ambrol ke sungai maupun tepi laut, katakanlah di Bukit Pulai atau Bukit Taratak, maka semua kendaraan akan tegak tertahan. Percuma berbalik arah. Bukankah jalan datang dan pulang cuma satu? Saat begitu, sebagian orang kampungku akan beralih jadi penjual penganan, yang hangat-hangat, yang manis-manis. Yang paling cekatan di antara mereka kerap juga dijadikan bahan pembicaraan jika bukan dicemburui, misal:
”Iris kue talam Mak Peren tipisnya bukan kepalang, ya. Mentang-mentang orang sudah tak punya pilihan beli-beli makanan,” kata seseorang mencoba kritis.
“Setipis kulit ari,” sahut yang lain.
“Bisa ke Mekkah dia dengan labanya,” kata Isul pula.
“Tapi tetap laris…”
“Tentu saja karena dia punya niat ke Mekkah, niat baik akan menaikkan rezeki,” kata Uman tak kalah cekatan.
Hmm, padahal karena orang-orang tak punya pilihan, kataku dalam hati. Aku tak pernah siap berdebat dengan Uman, sepupuku yang taat.
Namun bagaimanapun, halangan begini bagi orang kampungku bukan soal kesempatan mencari rezeki. Lihatlah, pintu rumah kami terbuka buat orang berteduh. Surau, mushala bahkan rumah perantau yang lama tinggal, akan dibuka oleh penunggunya, jadi tempat nyaman bagi mereka yang terlantar di jalan. Ada pun bagi kami anak-anak muda yang tumbuh di antara lumpur dan debu, nyanyian ombak laut dan dendang malam, halangan demikian diamsal sebagai hiburan. Kami bagai dipertemukan hari raya yang dipercepat datangnya, seakan rombongan perantau “pulang basamo” telah tiba. Kampung mendadak ramai, kendaraan yang tertahan seperti berbaris di tempat parkir. Sementara alat-alat berat yang menyingkirkan longsoran sepintas tampak serupa buayan kaliang, komedi putar tradisional, di arena pasar malam. Pada hari-hari seperti itu, kami tak usah ke laut, ke sawah atau ke ladang, semua diperbolehkan larut menonton, dan jika untung kami akan berkenalan dengan satu-dua orang gadis penumpang bus!
Tentu gadis-gadis itu, sebagaimana penumpang lain, bosan menunggu. Sebagian rasa bosan cepat sirna berkat kami yang ternyata berbakat juga menjinakkan hati mereka. Tak terbayangkan bagaimana Ujang Meren yang bertubuh pendek gempal mengenakan baju dengan lengan tergulung dan rambut berlumur minyak tancho serupa getah burung, mulai memikat seorang gadis yang selalu tak jauh-jauh duduk dari ketiak maknya. Meski bicaranya gagap seperti ayahnya, Ujang sangat percaya diri, juga persis ayahnya yang dikenal sebagai parewa kampung. Kami tak tahu bagaimana ia berkenalan. Tahu-tahu ia sudah bisa gelak berderai bersama si gadis yang menumpang tidur di mushala itu. Tak lama kemudian ia sudah berhasil mengajak si gadis ke luar dari halaman mushala.
“Wah, bisa kau lepas jepitan ketiak maknya, ya?” bisik Pedi sengit.
“Apa ndak lekat baunya?” tukuk Izal. Keduanya lebih cepat panas ketimbang berani. Ujang menyeringai, pertanda ia akan membuat perhitungan bila urusan dengan si gadis selesai.
“Tak sia-sia kau menuntut ilmu pekasih limau purut, Jang,” kata Amri tulus. Ujang tersenyum dan itu berarti akan ada sebatang-dua batang rokok nanti buat Amri.
Kepadaku, Ujang melapor bahwa gadis itu bernama Eda, asli Pariaman. Ia dan ibunya dalam perjalanan ke Sungaipenuh, Kerinci, tempat ayahnya berladang kulit manis.
Aku memujinya,”Peladang rajin seperti kau pantas dapat gadis yang mau menemani maknya ke ladang jauh, Jang.” Kulihat hidungnya kembang-kempis sedikit.
Aku memujinya,”Peladang rajin seperti kau pantas dapat gadis yang mau menemani maknya ke ladang jauh, Jang.” Kulihat hidungnya kembang-kempis sedikit.
Lalu aku pun melapor perihal gadis kenalanku. Namanya Asni, kubilang. Gadis manis asal Bengkulu yang kuliah di Kota Padang.
”Kudal, dari dulu kami tahu kau ingin bersekolah tinggi, dan kini kau bertemu anak orang kuliah. Itu tanda-tanda,” Ujang balas berkata. Terharu juga aku dibuatnya.
Sejak itu aku dan Ujang kerap menunggui bus-bus malam Padang-Bengkulu atau Padang-Sungaipenuh lewat, seolah gadis kami melambai dari balik kaca jendelanya. Membayangkannya saja kami sudah merasa puas. Teramat puas.
Perlawatan Hatta, Sahabat Hatta
MEMANG, salah satu kawasan yang kerap longsor adalah Bukit Taratak yang membatasi kampungku dengan kampung sebelah, Taluak Ujung Batu (karena itu Bukit Taratak kadang disebut juga Bukit Taluak). Di puncaknya ada Panorama Nyiur Melambai, nama pemberian Hatta dalam satu kunjungan ke Sumatera Tengah pada tahun 50-an, masa ketika kabupaten kami masih bergabung dengan Kerinci, bernama Pesisir Selatan Kerinci (PSK) beribukota di Painan, pernah juga di Sungaipenuh, dan sempat sebentar di Balaiselasa.
Di Bukit Taratak, punggung Bukit Barisan berjejer membentuk tebing aneka rupa. Kadang landai dengan semak rengsam, sebagian tegak curam dengan tetesan air dan lumut tumbuh serupa tirai. Inilah yang sering longsor atau runtuh. Jika sudah begitu, para pemuda kampungku akan turun mengatur lalu lintas. Tentu, sebagian bertugas menadahkan topi atau ember kecil ke kaca kendaraan yang berhasil lewat. Tak jarang longsor baru bisa diatasi setelah sehari-semalam, itu pun sesuai “kesepakatan” polisi, orang perhubungan, petugas PU dan pemuda kampungku—maksudnya, kesepakatan tahu sama tahu terkait tugas “mulia” para pemuda dengan topi dan ember kecilnya itu.
Tak jarang longsor baru bisa diatasi setelah sehari-semalam, itu pun sesuai “kesepakatan” polisi, orang perhubungan, petugas PU dan pemuda kampungku—maksudnya, kesepakatan tahu sama tahu terkait tugas “mulia” para pemuda dengan topi dan ember kecilnya itu.
Menurut cerita, saat lawatan Hatta dulu, terjadi juga tanah longsor di Bukit Sibingkeh, dekat perbatasan kabupatenku dengan Kota Padang. Namun dalam waktu singkat semuanya teratasi. Tak lain berkat cangkul-cangkul terayun dari tangan orang-orang kecil, tanpa alat berat, sehingga wakil presiden kita dengan senyum selalu hangat, bisa lewat hingga sampai ke Danau Kerinci—maka hingga sekarang ada juga di sana panorama bernama Beringin Hatta dan Tanjung Hatta.
Saat sampai di puncak Bukit Taratak, Hatta berhenti, melepas pandang sekeliling, menyaksikan Samudera Indonesia cerlang terbentang, juga pulau-pulau kecil indah nian–Pulau Kiabak, Katang-Katang, dan Teluk Tempurung yang namanya disebut dalam pantun dan dendang. Sementara di pantai, di bawah nyiur yang melambai-lambai para nelayan terlihat menghela pukat. Mereka semua penuh semangat, persis warga Sibingkeh yang baru saja ia saksikan begitu sigap membuka jalan. Alhasil, selain memberikan nama tempat itu“Panorama Nyiur Melambai”, kunjungan tersebut konon juga memperteguh gagasan koperasi Hatta: kebersamaan!
Dari sini saja jelas jalan kami bernilai sejarah. Apalagi dilihat jauh ke zaman Belanda yang menggunakannya untuk membuka tambang emas dan merintis kebun kapas dan lada. Belanda juga membuka jalan Tapan-Kerinci, demi mencari sumber hutan dan hasil bumi.
Tak lama setelah pemerintahan Hindia-Belanda jatuh, dibombardir Jepang sejak dari Tarakan, Balikpapan, hingga loncat ke Jawa dan Sumatera, jalan yang melintasi kampungku ini sebenarnya membentangkan satu lagi sejarah kecil, tapi jarang tercatat. Alkisah, kabar tentara Nippon bakal sampai ke Bengkulen (Bengkulu) dan Sumatera’s Weskuts (ibukotanya Padang), menggoncang tatanan Hindia di pantai barat Sumatera. Mereka segera menyiapkan kapal untuk pelarian ke Australia. Teluk Bayur adalah pelabuhan yang dipilih sebagai “emergency exit”.
Bagaimana dengan Soekarno di rumah pengasingannya di Bengkulu? Otoritas Hindia meminta Soekarno dan keluarganya (termasuk ibu Inggit) diberangkatkan ke Padang dengan sebuah oto dan pengawalan sekedarnya– toh yang mengawal dan dikawal saat itu sama-sama senasib di hadapan penguasa baru Asia Timur Raya. Karena itulah mereka sengaja tidak melalui laut karena Angkatan Laut Jepang terkabar mulai melancarkan operasi.
Maka bertolaklah Bung Karno dan orang-orang tercintanya mulai dari Anggut Atas Bengkulu kota, Lais, Bintunan, Air Ramai, Ipuh, Pasar Bantal, Air Dikit, sampai Muko-Muko di perbatasan. Selepas itu, Soekarno menyusuri jalan daerahku: Lunang, Tapan, Indrapura, Airhaji, Balaiselasa, Kambang, Surantih, Taratak-Lansano, ah, itu kampungku! Lalu berlanjut terus ke utara melalui Taluk, Batangkapas, Painan, Salido, Bayang, Tarusan– ya, setiap ruas jalan yang kuceritakan– hingga sampai di Kota Padang. Di sana, rencana Belanda membawa Bung Karno keluar Sumatera gagal, karena Jepang sudah menunggu di situ.
Apa pun, jalan raya kampungku yang merana pernah dilalui Soekarno beberapa waktu sebelum merdeka. Tak berlebihan, jalan ini yang mengantarnya selamat ke Padang, Bukittinggi, Palembang, lalu Jakarta hingga ia memproklamirkan kemerdekaan bersama Hatta. Tapi setelah merdeka, jalan itu malah tak terawat, rusak di mana-mana. Berkali-kali pemerintah daerah mengajukan biaya perbaikan ke Jakarta, tapi tak kunjung dapat kepastian. Kekecewaan makin meruyak, ketika sejumlah petinggi daerah kami berkunjung ke Ibukota, mereka bersua jalanan aspal yang bagus di Pulau Jawa. Konon, seorang perwira sempat murka,”Kita di sini terbenam lumpur berhari-hari, dengan roda terus di bawah, hingga bosan kerbau bertanya pada pedati; sementara di Jawa jalan ke sumur dan sendang pun diaspal licin-rata!”
Kekecewaan makin meruyak, ketika sejumlah petinggi daerah kami berkunjung ke Ibukota, mereka bersua jalanan aspal yang bagus di Pulau Jawa. Konon, seorang perwira sempat murka,”Kita di sini terbenam lumpur berhari-hari, dengan roda terus di bawah, hingga bosan kerbau bertanya pada pedati; sementara di Jawa jalan ke sumur dan sendang pun diaspal licin-rata!”
Didorong oleh rasa kecewa, muncullah inisiatif lokal untuk mengatasi keadaan. Kondisi jalan sedikit lebih baik ketika Dewan Banteng—cikal-bakal PRRI—mulai memperbaiki sendiri jalan yang rusak serta membangun banyak jembatan, seiring dibukanya jalur rintisan yang dikenal dengan “Jalan Dewan Banteng”. Dari mana biayanya, ada yang bilang dari bisnis tentara di daerah. Ada yang bilang perdagangan gelap dengan Singapura, penyelundupan, dan berbagai tudingan lain. Apa pun, jalan kami satu-satunya itu sempat berjaya dengan jembatan baru dan pengerasan sana-sini.
Namun itu belum cukup. Ketika kemelut kian runcing, tudingan dan kecurigaan saling tikam, Hatta tiba-tiba memutuskan undur langkah dari sisi sahabatnya, yang dalam beberapa hal, mungkin telah menjadi seteru. Ini memicu tokoh-tokoh di daerah bersikap. Dan orang-orang militer paling cakap soal ini. Segera Dewan Banteng mengumumkan pemerintahan tandingan, PRRI, dan dalam hitungan hari, Soekarno mengirim pasukan ke daerah kami. Kota kecil Painan, ibukota kabupaten kami, hancur-lebur dihajar bom. Jalan utama satu-satunya beserta puluhan jembatan dari utara ke selatan dibombardir, jalan yang dulu pernah memperjalankan Hatta dan Soekarno di tiap keloknya.
Angkatan Udara Republik terus menggila menghela konflik ke batas tak bertara. Sebab ketahuilah, perusakan jalan dan jembatan, penghangusan Kota Painan, konon tak ada dalam skenario resmi APRI, Angkatan Perang Republik Indonesia yang menaungi AURI. Artinya, Angkatan Udara yang paling jauh disusupi komunis itu telah bertindak sendiri, untuk tujuan sendiri, entah apa.
Ah, jalan ini senantiasa akan mengingatkanku pada Soekarno, karena tentara APRI sendiri disebut “Tentara Soekarno”. Pasukan yang komandoi Ahmad Yani itu berhasil menguasai ruas jalan utama di daerahku setelah sukses membombardir kota-kota dari udara. Orang PRRI terpaksa ijok, masuk hutan, dan kehilangan jalan utama.
Hmm…, ingatanku pada Soekarno terkait juga dengan soal lain sebenarnya: gadis Bengkulu. Tentu kau ingat Fatmawati, gadis cantik dengan rambut dikepang itu, jelas salah seorang di antara mereka. Soekarno, sesampai di Jakarta, seolah bergegas meminangnya (bukankah ketika sekali lagi Soekarno lewat Bengkulu menuju pelabuhan Palembang, untuk dipulangkan Jepang ke Jawa, laki-laki plamboyan itu sempat diam-diam menemui Fatmawati? Karno berjanji akan memanggilnya ke Jakarta!). Benar saja, tak lama sampai di Jawa, Bung Karno menunaikan janjinya, tak peduli harus melepas Ibu Inggit pulang ke Bandung, surut dari gerbang.
Lalu aku? Aku hanya sekali bertemu Asni, gadis kenalanku waktu bus terhalang longsor dulu, lalu berlanjut dengan sepucuk dua-pucuk surat. Untung dulu kami sempat bertukar alamat. Dalam surat terakhirnya, Asni menyebut bahwa ia lebih suka ke Bengkulu naik bus melalui jalur Padang-Lubuklinggau, lebih jauh memutar, masuk Jalan Lintas Tengah (Jalinsum), tapi jalannya bagus. Senasib Ujang dengan aku. Eda, gadis kenalannya, jika hendak ke Kerinci juga memilih jalan memutar ke Solok Selatan. Tinggallah kami di Panorama Nyiur Melambai, sambil melirik pasangan kekasih sedang bersantai, kadang kami berbalas pantun tentang bukit tercinta ini.
“Bukit Taratak tinggi belum, Nyiur Melambai di atasnya, kasih terdorong sampai belum, sesak nafas badan dibuatnya,” kataku, persis tukang kaba.
Ujang Meren membalas, juga seturut tukang kaba: “Taratak Gunung Paseban, Kerinci mandi berbaju, taragak (rindu) usah berpesan, dalam mimpi kita bertemu…”
Truk-Truk yang Mengubah Dunia
SELAIN bus, kami senang menyaksikan truk-truk yang lewat mengangkut kopra, cengkeh, kulit manis, karet, jengkol, segala hasil kebun dan ladang (waktu itu belum ada kelapa sawit!). Tak ketinggalan hasil laut seperti ikan asin dan teri super yang menjadi unggulan daerahku. Meski ditutupi terpal dengan ikatan tali-temali serupa barang di kapal, kami bisa menerka apa yang dibawa sebuah truk dari menghidu baunya. Bersama debu yang berkisar, aromanya akan menyebar di udara. Itu sedap betul. Kecuali bau getah karet yang tanpa dihirup pun akan membuat hidungmu gosong. Tapi tak ada di antara kami yang hendak menutup hidung, bahkan untuk sekedar menggerutu. Kami tahu, itu sumber penghidupan orang kampung kami, ditakik dipagi buta, dari pohon-pohon karet di tepi rimba. Sebagaimana aroma ikan asin yang dijemur, kami terbiasa menghirupnya dengan tiada rasa terusik.
Kami juga hapal suara dan jenis truk yang lewat, sebagian kami kenali pemilik atau sopirnya. Ada Perel berambut keriting (konon, itu ciri sopir yang tak bakal mengantuk). Sadek yang suka melambai. Bidin yang selalu melilitkan kain sarung di leher. Dan banyak yang lain. Itu sopir-sopir kenamaan di kampungku. Mereka biasa membawa truk Bang Lukas, Andri Caniago, Pak Sani atau Datuk Sudir. Selain truk ukuran sedang (biasa disebut “oto-kol”; apakah karena pembawa lobak atau harus diengkol? Ada yang menyebut “oto-pra”; mungkin berasal dari pra-oto atau oto yang mengangkut getah para? Entah). Ada pula truk fuso yang lebih besar dan panjang. Selain ke Padang, Sibolga, Medan atau Pekanbaru, truk-truk itu terbiasa menyeberang ke pulau Jawa. Jika daerahku sedang paceklik, mereka mangkal ke Lubukpinang dan Muko-muko, Bengkulu, cari muatan. Pulangnya, dari Jawa, mereka bawa barang carteran dari Jakarta, atau bawang dari Brebes. Beberapa pemuda kampung kami sempat jalan-jalan ke ibukota negara dengan ikut jadi kernet. Selain dimodifikasi dengan cat warna-warni, klakson yang melengkung dan kaca spion yang berpilin serupa tanduk rusa, kaca, dinding dan bokong truk dipenuhi tulisan atau gambar-gambar mengundang senyum sekaligus harapan; mulai doa ibu dan penantian anak-istri, pengorbanan dan kesetiaan, berkah dan perlindungan, bunga rumah makan, tekad dan keberanian, sampai rayuan gombal yang tidak mengenal dosa.
Truk-truk itu (terutama bokongnya) sungguh menghibur dan menyenangkan, kerap membubungkan angan kami ke daerah-daerah jauh buat dijelang. Kami membayangkannya seperti kapal yang berlayar. Namun entah tahun keberapa, muncullah truk-truk jenis tronton, beroda tiga pasang, total enam kiri-kanan; baknya terbuka, tanpa dinding, sepenuhnya dari besi-baja. Tanpa harus menyembunyikan yang diangkutnya, kami terbiasa melihat dengan mata telanjang apa yang terbelintang di belakangnya: kayu gelondongan! (Mengingatnya kini, kuamsal seperti tongkang berlayar di sungai keruh Kalimantan). Tanpa bau, tanpa aroma. Kecuali bunyi derak dan deru, lalu raungan menakutkan yang membuat kami kerap menutup telinga. Satu truk memuat dua atau tiga batang pohon yang berusia puluhan jika bukan ratusan tahun. Mereka berderak dari selatan persis raksasa tua menyeret langkah ke utara, membuat rumah terasa dihoyak gempa.
Seiring dengan itu, truk-truk tak kalah besar dari arah utara (dari Padang), pun lewat ke selatan membawa tiang-tiang listrik beton yang dirantai. Ini seiring rencana masuknya listrik ke daerah kami.
Sering terjadi truk kayu berpapasan dengan truk pembawa tiang listrik di tikungan. Paling diingat orang adalah peristiwa Batu Biawak, dekat Painan. Kedua truk terjebak sehingga akibatnya juga seperti efek tanah longsor. Kendaraan lain ikut tertahan. Sopir truk bertengkar, sukar berdamai. Tak ada yang mau mengalah. Bahkan masing-masing berniat mengutus kernetnya untuk menghadap “bos” mereka di Kota Padang. Polisi, antara lamban dan segan, terpaksa turun tangan. Truk manakah yang akan menang, Saudara? Ternyata truk tiang listrik mengalah! Tiga tiang diturunkan dari sana; dua tiang retak, satunya patah. Dengan cara itu, truk tiang listrik bisa mundur sehingga ada celah bagi truk kayu untuk lewat. (Kelak, tempat itu bernama Kelok Tiang Tiga; dan bertahun-tahun lamanya tiang-tiang malang itu dibiarkan tergeletak, menebal digerumbuli belukar-semak). Peristiwa tersebut ramai jadi perbincangan di lapau kopi dan ditarik satu kesimpulan: ternyata “penguasa kayu” lebih kuat ketimbang “penguasa listrik”!
Meski begitu, toh tiang-tiang listrik mulai tegak berbaris, bersanding dengan tiang kabel telkom yang telah lebih dulu ada (kami sebut “tiang kawat”). Baik tiang kawat maupun tiang listrik tak selalu patuh pada arah jalan. Di perbukitan, kabel dan kawat itu menjulur memintas jurang, dan kami bayangkan segalanya akan lebih cepat bila di situ ada kereta gantung. Tapi ada tak ada kereta gantung, sejak tiang listrik berdiri segalanya berubah cepat di kampungku. Meski listrik hidup-mati tak menentu, dunia baru datang bertandang lewat “kotak ajaib” yang dulu hanya bisa kami saksikan di kota kabupaten. Itu berkat menara pancar televisi yang dibangun di Bukit Palakek, Kambang. Menteri Penerangan Harmoko datang meresmikannya; ia dan rombongan naik kendaraan dengan serine meraung-raung sepanjang jalan. Raungan itu berlebihan sebab kendaraan yang berkonvoi sebenarnya tidak bisa berlari kencang. Lobang jalan di mana-mana. Suara serine seolah ikut berputar-putar terjebak lobang, dipantulkan dinding batu, tebing serta rimbunan kelapa dan pokok sagu. Membuat ayam-ayam berlari sembunyi ke kolong rumah.
Tapi yang jelas, sejak saat itu kami bisa menikmati Dunia Dalam Berita, plus Laporan Khusus, Kelompencapir dan Aneka Ria Safari, sekalipun menumpang di rumah dinas PPL atau rumah kepala desa. Paling penting, kami tak perlu mencarter truk ke kota kabupaten bila Elyas Pical bertarung–bersarung tinju, bergigi palsu–di gelanggang.
Lama-lama, orang kampung banyak yang mulai membeli televisi sendiri, hasil menjual padi atau panen semangka. Si “kotak ajaib” pun menyala di rumah-rumah, lapau kopi, dan jika untung listrik tak padam, ia akan bertahan hingga larut malam. Kami mulai terbiasa mendengar orang-orang asing seperti bercakap di pangkal kuping kami, di atas bantal. Sesekali terbawa juga ke dalam mimpi.
~~Bersambung~~
Artikel “Sebuah Jalan, Kampung dan Kisah-Kisah (Masa) Kecil yang Menikung” ini, merupakan catatan Kenangan dari penulis di Jalan Lintas Barat Sumatera. Tulisan ini bagian pertama dari 2 seri yang akan dipublikasikan di Langgar.co.
Salah seorang dari sedikit penyair Tanah Air yang memiliki “sidik jari” kepenyairan adalah Sapardi Djoko Damono (Solo, 20 Maret 1940-Tangsel, 19 Juli 2020). Uniknya, ia dapatkan tidak melalui patahan yang ekstrem, jika tak boleh dikatakan konvensional. Ia tidak menyempal dari yang banyak, tapi justru melalui jalan ramai lirisisme yang, seturut Acep Zamzam Noor merupakan “Sungai Musi”-nya sastra Indonesia.
Ungkapan Acep ini saya ingat benar karena cukup sahih merepresentasikan jalur besar sastra Indonesia modern. Suatu hari, saya dan Acep diminta mengisi diskusi sastra komunitas di Palembang, di tepian Sungai Musi, yang pernah disebut Rendra dalam sebait sajaknya sebagai “jalan baru yang sangat dikenal.” Tak perlu jauh-jauh, penyair asal Cipasung itu segera melirik Musi sebagai amsal. Bayangkanlah, sesuatu yang seolah baru, tapi sangat kaukenal. Dan itu hanya mungkin dalam tradisi lirisisme.
“Lirisisme atau tradisi puisi lirik ibarat sungai Musi yang membelah kota Palembang, dia sungai besar yang dilalui dan dikenal banyak orang, namun jelas ada banyak sungai lain di sini; dan bisa juga, Musi sendiri menyempal dengan sejumlah cabangnya.”
Dari sanalah kemudian puitika kepenyairan kita terdedah. Ada banyak penyair dengan nama-nama besar bertungkus-lumus mereguk kemurnian sungai lirisisme itu, tapi ada juga yang mencoba menyempal, sungguh pun dalam sempalan itu nuansa liris tak sepenuhnya memudar. Dan Sapardi termasuk sosok yang menikmati betul keriangan bermain di jalur itu, dengan imaji kanak-kanak yang tak pernah habis ia sentuh.
Dan Sapardi termasuk sosok yang menikmati betul keriangan bermain di jalur itu, dengan imaji kanak-kanak yang tak pernah habis ia sentuh.
Tanpa harus mengayun kapak Ibrahim yang ekstrem seperti Sutardji Calzoum Bachri atau chaos alam benda ala Afrizal Malna, Sapardi nyaman dengan ekspresinya yang “kalem”, “bijak”, “santun” (sebentar, ia toh cukup ringan bilang “kerikil yang goblok”, “kepala ditetak” “selangkang diacak-acak”, atau bahkan “kesibukan memperkosa” dalam buku cerita anak! Ini butuh penjelasan tersendiri; tapi paling tidak, itu anggapan umum yang gampang nampak).
Karena itu, tanpa mengurangi hormat pada sebuah pendapat, saya agak merasa kurang pas dengan ungkapan Hairus Salim yang menyebut puisi Sapardi “berapi-api” (lihat: mojok.co 20/7/2020). “Berapi-api” cenderung berbau orator (puisi mimbar), sedangkan puisi Sapardi lebih menekankan gumam-gumam lirih narator (puisi kamar) yang mungkin saja mengandung api—apalagi dalam periode buku Ayat-Ayat Api (2000), tapi tidak berapi-api.
Apapun, pilihan puitika Sapardi lambat-laun, pelan dan pasti menggumpal sebagai cabang lirisisme yang lain, sebut saja puitika Sapardian. Dan itu, di luar kendalinya tentu, terus membesar serta beroleh banyak pengikut. Itu cukup membuatnya, seturut Triyanto Triwikromo, “penyair kesayangan ummat”.
Apapun, pilihan puitika Sapardi lambat-laun, pelan dan pasti menggumpal sebagai cabang lirisisme yang lain, sebut saja puitika Sapardian. Dan itu, di luar kendalinya tentu, terus membesar serta beroleh banyak pengikut.
Memang, dalam ranah kepenyairan kita, sebagaimana kerap saya diskusikan bersama Tan Lioe Ie, setidaknya ada dua pola kepenyairan yang berkembang. Pertama bersifat ekslusif seperti puitika Tardji dan Afrizal Malna. Ini sulit dimasuki orang lain jika tak mau berada dalam bayang-bayang mereka.
Sebaliknya, atau yang kedua, puisi inklusif sebagaimana pada puisi Chairil Anwar atau sajak-sajak suasana banyak penyair. Jenis kedua ini relatif bisa dimasuki siapa saja karena tak ada garis batas yang tegas dalam pola pengucapannya. Meski bukan berarti tanpa resiko. Mereka yang terlalu nyaman bermain di bawah Chairil, Rendra atau GM, tetap bisa terpercik rasa dan warna yang sama, dan itulah sebabnya itu juga bukan sesuatu yang otomatis mudah.
Begitulah, puitika Sapardian termasuk jenis yang kedua. Sekilas tampak gampang, dan kadung dirumuskan dalam pernyataan-pernyataan akrab dan gamblang: sederhana, tidak rumit, metaforanya dekat dengan kita, dan seterusnya. Akan tetapi benarkah semudah itu?
Begitulah, puitika Sapardian termasuk jenis yang kedua. Sekilas tampak gampang, dan kadung dirumuskan dalam pernyataan-pernyataan akrab dan gamblang: sederhana, tidak rumit, metaforanya dekat dengan kita, dan seterusnya. Akan tetapi benarkah semudah itu?
Untuk melihat situasi yang sebenarnya (meski tak otomatis benar), saya pernah menyusuri puitika Sapardian ini dalam puisi seorang penyair Yogyakarta, Ulfatin Ch. Upaya penglihatan ini jelas tak cukup memadai, namun kepergian penyair “Hujan Bulan Juni” ini, menerbitkan keinginan saya untuk membuka kaji lama yang terbengkalai. Apakah bakal berguna?
Entahlah. Baiknya saya sitir puisi “Jaring” Sapardi, sekedar membujuk hati bahwa dengan “diam pun” seolah orang paham, meski untuk benar-benar mengerti perlu mengkaji “berkas-berkas nafasmu”:
maka berpecahan bunga api. Diam pun
(katakan sesuatu, bisikmu) meretas
di antara berkas-berkas nafasmu. Kubayangkan capung
pada jaring laba-laba, pada silangan-silangan cahaya
Berawal dari Komentar
Cara gampang mengomentari puisi Ulfatin Ch.—dan sejumlah puisi penyair lirik lainnya—adalah: puisinya mirip (puisi) Sapardi.
Apa yang dimaksud “mirip Sapardi” di atas (atau kita sebut puitika Sapardian), antara lain, puisinya terpengaruh oleh puisi-puisi Sapardi, terutama karena jalur lirisisme yang ia tempuh. Dilihat lebih dekat lagi, keterpengaruhan atau kedekatan itu ternyata juga mencakup bahasa ungkap, metafor bahkan tema.
Perhatikan puisi berikut:
Sajak
Pergilah kerna malam sudah reda. Kau menolehku
ke padang mana lagi, ke laut
(mencapai sunyi)
tapi sudah tiba saatnya, berdukalah
Sajak 2
Telah kau petik bunga yang tumbuh
Sampai tak bersisa
Di jalan setapak di sungai yang arak
Selalu kudengar gema rindu menggelepar
Tak tertampung air mata
Tak menampung muara
Sedang jiwa entah ke mana mengelana
2012
Saya tidak mengatakan kedua “Sajak” tersebut persis sama, namun ada nuansa yang berdekatan. Kutipan pertama merupakan karya Sapardi Djoko Damono dalam kumpulan DukaMu Abadi (Bentang Pustaka, 2002; cetak awal 1969), sedangkan yang kedua karya Ulfatin Ch. dalam Kata Hujan (interlude, 2013). Jika disigi lebih lanjut, puisi-puisi dalam kedua buku di atas banyak memiliki pilihan kata yang sama: “hujan”, “bunga”, “malam”, “jendela”, “pintu” “rindu” dan seterusnya.
Akan tetapi, apakah segampang itu menganggap sebuah karya berdekatan atau terpengaruh? Dan jika pun berdekatan atau terpengaruh, kenapa emangnya?
Di dunia ini tentu banyak karya yang sama, karena memang tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari. Dan “kita berbagi,” kata George Seferis, penyair Yunani. Begitu pula tentang kata, ungkapan apalagi tema, sedari dulu yang banyak ditulis orang ya soal-soal manusia dan kemanusiaan, ketuhanan, alam, cinta kasih, maut, dan seterusnya.
Jadi potensi untuk berdekatan itu sangat mungkin. Kita mengakui adanya unsur intertekstualitas, dan tidak bisa pula diabaikan apa yang disebut jiwa zaman. Bakdi Soemanto (2006: 67), ketika mengomentari perihal puisi awal Sapardi yang berdekatan dengan puisi balada Rendra, menyebut itu semacam jiwa zaman yang menaungi dan ikut mewarnai karya-karya mereka.
Jadi, apakah keterpengaruhan itu sesuatu yang buruk? Astaga, tidak.
Sastra Indonesia sebenarnya telah memperlihatkan keterpengaruhan sebagai sesuatu yang toleran. Dalam lirisisme misalnya, kita bisa melihat bagaimana saling kait antar penyair menjadi keniscayaan. Goenawan-Sapardi-Abdul Hadi—tanpa mengabaikan sosok lain—lazim disebut sosok yang meneroka lirisisme dengan kedekatan gaya. Namun dalam perkembangannya mereka bersimpang jalan.
Goenawan menulis sajak-sajak suasana, Sapardi cenderung imajis, sedangkan Abdul Hadi WM mengarah ke sufistik. Dalam generasi berikutnya, ada sejumlah penyair yang kemudian diidentikkan dengan Sapardi—dalam persfektif “cara gampang” di atas—beberapa dapat disebut: Acep Zamzam Noor, Joko Pinurbo, Gus tf, Dorothea Rosa Herliany, termasuk tentu Ulfatin Ch., dan yang lebih muda Hasan Aspahani atau Aan Mansyur dan seterusnya. Mereka penyair yang muncul tahun 80-90-an, berlanjut tahun 2000-an.
Akan tetapi dalam perjalanannya kemudian, masing-masing penyair mencoba “menawar” gaya Sapardi dengan gaya dan muatan mereka sendiri. Tanpa menghilangkan unsur lirisisme Sapardi, Acep Zamzam Noor berhasil memperkaya lirisisme dengan muatan eksotisme dan erotisme lewat pola-pola lukisan; warna, garis, komposisi. Joko Pinurbo memperkayanya dengan parodi, liturgi atau “kiasan badan” kata Ignas Kleden. Gus tf bergerak ke wilayah kosmologis dan filsafat. Ada pun Dorothea mencoba masuk ke dalam tema-tema feminisme yang bahasanya lebih “tegang”.
Bahkan, jangan lupakan Afrizal Malna. Ia sebenarnya paling jauh menyempal. Jika pada buku puisi Abad yang Berlari masih terasa unsur lirik bahkan puitika Sapardian (maklum Sapardi sudah menyair sejak tahun 50-an), maka dalam buku-bukunya lebih kemudian ia mengibarkan bendera sendiri: Afrizalian. Atau jika ingin merujuk jejak “normalitas” bahasa Afrizal, lihat saja esei-eseinya dalam buku Perdebatan Sastra Kontekstual; sangat konvensional. Bukankah, sajak-sajaknya pun kata Tardji tidak bebas dari aku-lirik: bicara lagi kambingku, pisau cukurku, dan seterusnya itu?
Bagaimana generasi yang lebih mutakhir, mungkin dibicarakan lain waktu. Saya ingin fokus kepada Ulfatin dulu.
Dikukuhkan oleh Kesetiaan
Bagaimana dengan Ulfatin? Sejauh yang saya ikuti, penyair ini tetap bersetia dengan gayanya sejak awal, mulai dari Selembar Daun Jati (1996), Konser Sunyi (1993), Nyanyian Alamanda (2002) hingga Kata Hujan (2013), termasuk sajak lepasnya di surat kabar.
Tentu tak semua sajaknya sempat saya baca, dan yang saya baca pun tidak semuanya saya kenali lebih jauh. Tapi dalam amatan mata telanjang, yang dihadirkan tetap saja sajak liris yang ringkas (dan dalam jumlah terbatas ada juga yang panjang), sendu, bicara tentang cinta, rindu dan pengharapan, dan jika pun ada gugatan-gugatan, itu tidak dengan lantang melainkan dengan gumam, simbol dan perumpamaan.
Pergulatan batin aku-lirik tidak disajikan secara gamblang, tapi cukup dengan menghadirkan secuplik ungkapan simbolik (terkadang usang), seperti “lukaku warnamu/ Jingga mengangkasa” (“Bougenvil”), “aku ingin bersemayam tanpa surat-surat/ tanpa alamat di lubuk cintamu” (“Kepada N”), “Menatap lembaran kalender yang tinggal satu/ usiaku pun tanggal satu” (“Bunga Randu pada Kalender”), dan seterusnya, namun toh tetap menyiratkan “betapa sengit cinta kita” (ala SDD).
Ya, meski mengangkat pergulatan batin aku-lirik, dalam ungkapan menyerupai soliloqui, namun Ulfatin sebenarnya selalu tak sendiri. Ini satu hal yang perlu ditekankan karena ada satu anggapan yang lazim menyebut bahwa sajak-sajak liris itu adalah sajak yang “bersendiri”. Apalagi dalam konteks sajak Ulfatin, gaya ungkap yang berbisik dan ritmis memang dekat dengan kesendirian, namun bila didalami tidaklah demikian. Jika diperhatikan secara seksama, sajak Ulfatin selalu melibatkan orang lain atau subjek kedua: engkau, kau, kamu. Atau orang ketiga: dia, ia, ibu. Atau ia menyebut nama, semisal Alamanda.
Dengan demikian, dalam tampilannya yang seolah sendiri, ia, disadari atau tidak, sebenarnya telah menghela subjek lain untuk masuk ke dalam dunia batin aku-lirik. Memiuhnya, dan menjadi bagian dari sengitnya pergulatan aku-lirik. Maka, kesendirian Ulfatin merepresentasikan kesendirian banyak orang. Pada tahap ini, “peran” Ulfatin sebenarnya vital: penyambung kesunyian orang lain. Di tengah ketidakjujuran orang-orang mengungkapkan kesendiriannya—di mana mereka memilih ekspresi-ekspresi komunal yang lantang, gagah dan terbuka—Ulfatin tidak. Ia bersetia (dan jujur) dengan kesendirian atau kesunyiannya, tanpa tergoda ekspresi yang meledak-ledak.
Ia bersetia (dan jujur) dengan kesendirian atau kesunyiannya, tanpa tergoda ekspresi yang meledak-ledak.
Upaya menggaet subjek lain menjadi mungkin dilakukan karena, pertama, Ulfatin selalu punya konklusi simbolik, terutama di bait atau baris terakhir sajaknya. Misalnya: “tak ada kenangan. Meski setiap jejak di jalan/ masih menuliskan namamu” (“Pesan di Pintu”), “Seperti angin meliuk di kisaran subuh/ daun-daun luruh menjauh” (“Lagu Hujan, 1”), “Sudah kutahu, jejakmu perdu berliku/ tersabit perumput/ Maka biarkan berhamburan bunga-bunga/ biarkan (“Jejak Embun”), “Sebutir debu pun jatuh juga di rambutmu/ sebelum kemudian kau pungut dan kau simpan di dalam saku” (“Rindu yang Patah”).
Misalnya: “tak ada kenangan. Meski setiap jejak di jalan/ masih menuliskan namamu” (“Pesan di Pintu”), “Seperti angin meliuk di kisaran subuh/ daun-daun luruh menjauh” (“Lagu Hujan, 1”), “Sudah kutahu, jejakmu perdu berliku/ tersabit perumput/ Maka biarkan berhamburan bunga-bunga/ biarkan (“Jejak Embun”), “Sebutir debu pun jatuh juga di rambutmu/ sebelum kemudian kau pungut dan kau simpan di dalam saku” (“Rindu yang Patah”).
Hal kedua adalah, metafor dalam baris dan bait puisi Ulfatin cenderung rapat, bahkan tidak jarang hampir semua baris puisinya dibangun oleh metafor (betapa pun tingkat pengulangannya amat tinggi, dan metafor itu sendiri kadang sudah tidak khas, jika tidak dikatakan aus). Saking tingginya, ketika ia sesekali bicara agak langsung, misalnya “juga baju-baju lama yang tak muat lagi di tubuh kita” (“Pada Kenangan”), tetap saja kita tergoda menghubungkannya dengan sesuatu yang simbolik.
Ini berkebalikan dengan puisi Subagio Sastrowardoyo yang umumnya menyatakan sesuatu secara langsung dalam baris dan bait sajaknya, membuat pembaca bertanya,”Kok tak ada metafornya?” Yang terjadi sebenarnya adalah: baik pada Ulfatin maupun Subagio, metafor mereka adalah keseluruhan dari sajak mereka. Pada Subagio, ini menjawab persoalan kata-katanya yang keseharian, biasa, tidak metaforik; sedangkan pada Ulfatin ini menutupi metafor yang kita anggap aus. Sajak “Kata Hujan” bisa menggambarkan ini:
Kata Hujan
Tes tes tes
kata hujan mencintai kamu
Di bibir payung yang terbuka, di atas aspal yang dingin
ia mencoba memungut rindu
yang terlanjur beku
2012
Saya yang kadung “dimanjakan” oleh taburan metafora dalam sajak Ulfatin, tetap menganggap setiap baris sajak di atas bagian dari perlambang: suara “tes tes tes” “hujan yang mencintai”, “payung yang terbuka”, “aspal yang dingin”, “rindu yang beku”. Namun tentu saja semua itu tak memuaskan, di samping sangat ringkas, simbol-simbol tersebut juga umum. Namun, cobalah memandang keseluruhan sajak “Kata Hujan” sebagai satu metafor, maka ia akan menjadi tidak biasa, kaya dan sekali lagi akan terasa, meminjam Sapardi, “betapa sengit cinta kita”.
Pada Akhirnya Pilihan
Demikianlah, kebersetiaan Ulfatin dengan gayanya—betapa pun itu selalu terhubungkan dengan sosok lain—mesti dipandang sebagai sikap konsisten seorang penyair. Sejatinya, sikap tersebut tidaklah mudah. Di tengah banyaknya godaan aliran, estetika, wacana maupun gaya semusim yang merajalela dalam sastra Indonesia mutakhir—betapa pun mengatasnamakan eksprimentasi dan eksplorasi—toh sikap setia yang kian mahal pada akhirnya muncul sebagai alternatif. Karya-karya “konvensional” kadang dirindukan di tengah berjubelnya karya yang berpretensi “mengubah dunia”.
Namun, kebersetiaan tentu tak identik dengan kejumudan. Ia tetap membutuhkan pencarian-pencarian lebih lanjut, sehingga segalanya tidak “terlanjur beku”. Sapardi sendiri mengalami metamorfosis, misalnya, dalam Ayat-Ayat Api (2000), puisi-puisinya mencoba lebih “politis”, meski tidak meninggalkan umpak lirisisme yang menjadi khasnya. Ulfatin sebenarnya juga mencoba melakukan eksprimen-eksprimen kecil, misal dalam puisi “Orang-orang Bantaran”:
Di sini mereka istirah dan memulai hidup ketika matahari sudah berdiri
di bantaran sungai ini di pinggir rumah dinas di kota
Mereka gerakkan kaki yang sedang terseok mendengar nyanyian perut
atau rengek anaknya melihat mainan di etalase sehabis kerja sore hari
Mereka tak pernah mengeluh hujan atau dingin ketika malam kemarau
seperti kalian yang tak pernah memikirkan bagaimana mereka nanti hidup atau mati
………………
Sajak tersebut sangat kental unsur sosialnya, berbicara secara terbuka tentang “mereka” yang menjadi korban ketidakadilan. Meskipun idiom “istirah” “hujan”, “ricik air” tetap ada, dan nuansa gaya aslinya juga terasa, namun “Orang-orang Bantaran” berhasil menunjukkan kadar kepenyairan Ulfatin dengan puitika yang lain. Ini tidak saja memecah “kebekuan estetika”, sekaligus menunjukkan bahwa Ulfatin sebenarnya bisa memainkan gaya apa saja—jika mau—namun ia memilih sebagai “pemeluk teguh”.
Dalam buku Kata Hujan, saya temui juga eksprimen-eksprimen kecil Ulfatin, seperti “Mudik Lebaran”, “Rindu yang Patah” dan “Menatap Api” yang tidak saja berbeda secara tematik, juga kerelaannya keluar dari “rumah tempat istirah”, sebab sebenarnyalah “aku sendiri pengelana, pencari cinta di hutan semesta” (“Kubangun Seribu Rumah”)
Saya kutipkan salah sebuah:
Menatap Api
Apakah kita akan kehilangan api
setelah api itu padam
mata yang menatap dengan ketulusan
adalah nyala yang tak pernah sirna
Jiwa yang berkobar tak melelahkan
raga
Apakah kita akan kehilangan api
setelah api itu padam
menatap arang dengan keyakinan
bara dengan kehangatan
Apakah akan sirna setelah rasa bosan
mengungguli rasa manusiamu
lelaki menggeliat menjelma naga dan bertarung
di laut dangkal untuk sebuah kehangatan dunia
Sementara perempuan melahap api
dengan kesabaran untuk keutuhan
2011
1 Tulisan ini, dengan beberapa revisi merupakan draf diskusi bulanan Studio Pertunjukan Ssastra (SPS) Yogyakarta, TBY, 28 September 2013, kecuali bagian prolog yang sepenuhnya ditambahkan baru.
Pada tahun 2016 saya dipercaya menjadi salah seorang juri lomba cipta sastra “Sail Puisi Cimanuk” yang diadakan oleh Dewan Kesenian Indramayu. Karena tema lomba merujuk sebuah tempat, yakni Kabupaten Indramayu, khususnya yang berhubungan dengan Sungai Cimanuk, maka panitia lomba merasa perlu membuat semacam pengantar Historiografi. Di situ diuraikan kesejarahan Indramayu (Dermayon) sebagai bandar besar pada abad ke-14, bersama Banten dan Sunda Kelapa. Sungai Cimanuk (Chemano) menjadi tempat berlabuh kapal-kapal segala bangsa.
Dari mana panitia lomba mendapatkan informasi tentang itu? Tidak lain dari catatan seorang pengelana Portugis, Tome Pires. Sepanjang 1512-1515, Pires berkelana di Nusantara dan menulis kisah perjalanannya dalam buku fenomenal, Suma Oriental. Cimanuk ada ditulis di situ:
[…] Cimanuk sebuah kota yang besar dan bagus. Tuan-tuan kepala pelabuhan ini merupakan orang-orang yang sangat penting. Masing-masing ditakuti dan sangat dihormati oleh penduduk. Mereka pemburu tangguh yang melewatkan sebagian waktu mereka untuk bersenang-senang, dan memiliki kuda-kuda yang dihiasi dengan bagus. Mereka bersaing dengan orang Jawa, begitu pula sebaliknya. Mereka bilang, orang Sunda lebih gagah perkasa. […]
Demikian secuplik catatan Pires yang diterakan panitia. Perihal Cimanuk, saking lebarnya sungai yang berhulu di Gunung Papandayan itu, Pires menganggapnya sebagai laut atau selat yang memisahkan “Pulau” Sunda dan Jawa. Dua wilayah yang digambarkannya saling bersaing, namun bisa menjalin hubungan dagang dengan baik. Pengelana Portugis lainnya, Joao de Barros juga menuliskan perjalanannya dalam buku Da Asia, Dacada IV (1615). Pires dan Barros merupakan dua pengelana yang menulis catatan perjalanan pada era rempah-rempah dan bertahtanya kolonialisme di Nusantara.
Jauh sebelum zaman rempah dan kolonial, kita mendapat informasi masa lalu berkat catatan perjalanan seorang biksu Budha dari Cina, I Tsing. Ia menuju India menyusuri Jalur Sutra—sebuah jalur yang banyak muncul dalam catatan para musafir—lalu “terdampar” di Palembang (671 masehi). Pada kedatangannya yang kedua, I Tsing menetap satu tahun di Palembang (685-695 masehi). Ia mencatat kebesaran Kemaharajaan Sriwijaya dan kehidupan masyarakat Melayu di Jambi.
Catatan perjalanan (travelogue), menurut Gusti Asnan (2014), merupakan tradisi yang sudah lama berkembang di kalangan masyarakat Eropa, Cina dan Arab, meskipun publikasinya baru marak dilakukan pertengahan abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20. Dalam makalah di Borobudur Writers and Cultural Festival itu (kemudian dimuat dalam buku Arus Balik: Memori Rempah dan Bahari Nusantara), Asnan menyebut travelogue bisa dibuat oleh individu namun ada juga bersifat kolektif, misalnya ekspedisi wilayah yang direstui raja-raja, bahkan bisa berupa laporan bersama armada niaga.
Laporan pelayaran Cheng Ho, Colombus, Marcopolo atau Vasca Da Gama termasuk dalam catatan kolektif. Sedangkan perjalanan Tome Pires dan Parada Harahap—dua orang travelogues yang menjadi fokus bahasan Asnan—merupakan catatan individu. Baik catatan kolektif maupun individu, dengan kelebihan dan kekurangannya, sama-sama penting sebagai bahan referensi historiografi suatu bangsa atau kawasan. Karena itu tak heran, kesejarahan Indonesia banyak digali dari catatan perjalanan musafir Cina, Arab dan Eropa seperti dilakukan Anthony Reid. (Dan dalam bentuk lain, dapat dirujuk untuk keperluan praktis dalam kerja literasi sebagaimana dilakukan Panitia “Sail Puisi Cimanuk” di atas).
Travelogue… Baik catatan kolektif maupun individu, dengan kelebihan dan kekurangannya, sama-sama penting sebagai bahan referensi historiografi suatu bangsa atau kawasan. Karena itu tak heran, kesejarahan Indonesia banyak digali dari catatan perjalanan musafir Cina, Arab dan Eropa seperti dilakukan Anthony Reid.
Buku The Suma Oriental of Tome Pires (1944) yang dieditori Armando Cortesao—juga memuat tulisan Fransisco Rodrigues; tak hanya tentang Nusantara, juga Mesir, India dan Cina—jelas menyumbang historiografi itu, misalnya tentang kehidupan bahari Sumatera, sistem pemerintahan dengan kerajaan dan kedatuan, hidup-matinya kota-kota pelabuhan, dinamika sosial kemasyarakatan, dan seterusnya (Asnan, 2014).
Status dan latar belakang seorang pejalan dapat memberi garansi kelengkapan sebuah travelogue. Perjalanan yang didanai raja, sultan atau komisi dagang bisa mengumpulkan lebih banyak data dan keluasan daya jelajah. Meski begitu, pada perjalanan individual data bisa juga didapatkan secara leluasa, bebas dan personal tanpa ikatan dinas, sehingga tidak mengurangi keunggulannya, terutama untuk data pingggiran (non-mainstream). Pires sendiri adalah juru tulis utama Portugis untuk kawasan Malaka dan Tanah Jawa sekaligus duta Portugis untuk Cina. Ia juga pernah menjadi penyuplai candu dan obat-obatan untuk Portugis di India. Karena itu data dan pengamatannya sangat luas, meskipun posisinya sebagai “orang dalam” memiliki bias, penilaian yang subjektif, penuh prasangka, kesalahan nama dan hal-hal sejenis yang disebut Asnan sebagai kelemahan travelogue.
Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Letnan Hindia-Belanda berkebangsaan Inggris menulis The History of Java (1817), kitab babon yang memuat segala hal tentang Jawa, mulai adat istiadat, hal-ihwal kebudayaan, manusia, keadaan alam dan geografis, agama dan kepercayaan. Raffles ditugaskan ke Jawa pada tahun 1811 ketika Kerajaan Inggris mengambil alih wilayah jajahan Kerajaan Belanda di Nusantara. Tahun 1818 Raffles dipindahkan ke Bengkulu dan bertugas sampai tahun 1824 dari mana ia pernah melakukan perjalanan ke pedalaman Minangkabau dan mencatatkannya dalam laporan dan surat-surat.
Dalam jelajahnya ia mencatat persinggahannya di Simawang dekat Danau Singkarak, perjumpaannya dengan kota-kota di pedalaman Minangkabau hingga ketercengangannya menemukan istana Pagaruyung yang sudah habis dibakar Tuanku Lintau pada awal Perang Padri. Raffles sempat memperhatikan sawah yang pengairannya baik di Pauh dan hamparan sawah seluas mata memandang di Selayo, Solok, yang kini disebut menghasilkan salah satu beras terenak di Nusantara, “beras Solok” (Wenri Wanhar, JPPN, 2016).
Buku The History of Java sendiri tidak murni sebagai catatan perjalanan (travelogue) namun tetap memuat unsur-unsur kepejalanan. Pertama, perjalanan Raffles sendiri secara langsung ke berbagai pelosok di Jawa, seperti Prambanan atau Borobudur, dan kedua, menyiratkan perjalanan pihak kedua atau ketiga yang bisa kita sebut sebagai perantara. Perantara ini jelas melakukan perjalanan langsung, kemudian memasok data kepada Raffles yang kemudian menuliskannya. Laporan dari ahli dan pihak partikelir yang membantunya itu, digabung dengan perjalanan dan pengamatannya sendiri. Maka The History of Java menurut saya tetap dapat dipandang sebagai buah travelogue, di samping juga memenuhi unsur genre kepenulisan yang lain, katakanlah takstonomi atau etnografi.
Raffles konon terpacu menulis bukunya setelah membaca History of Sumatera (1783) karya William Marsden. Sama seperti Raffles, Marsden juga tidak benar-benar melakukan travelling ke pedalaman dan pantai barat secara lengkap-menyeluruh, apalagi ke Nassau (Kepulauan Pagai) dan pulau-pulau lain di lepas pantai Sumatera. Selain “hanya” mengadakan perjalanan keliling Bengkulu dan sempat ke Sumateras Weskuts (Sumatera Barat), sebagian besar bahan-bahannya ia dapat melalui sosok perantara. Sebagai sekretaris EIC (kumpeni dagang Inggris) di Bengkulu, ia sering bertemu orang dari berbagai pelosok Sumatera di Benteng Marlborough, dan dari sana ia menggali fakta dan cerita. Maka jadilah buku monumental yang meski tak bisa sepenuhnya dianggap jenis travelogue, namun nuansa travelogue tak dapat diabaikan.
Oleh karena itu, melihat travelogue (di) Nusantara pada masa-masa awal berkembangnya tradisi kepenulisan genre ini, tidak bisa secara murni berdasarkan perjalanan an sich. Sebab kerja kepenulisan biasanya bersanding dengan kerja-kerja observasi, administrasi, ekspedisi bahkan peperangan dan penaklukan. Travelogue mesti dilihat secara luas, baik cara ia menyusup ke dalam berbagai jenis tulisan (jurnalistik, sastra, laporan penelitian, bahkan biografi/otobiografi), maupun sebaliknya, cara ia merespon berbagai jenis bidang (sejarah, kebudayaan, seni, ekologi, etnografis, spritualitas, hingga administrasi pemerintahan). Buku Miguel Coverrubias Island of Bali (1922), surat-surat Rabindranath Tagore dalam perjalanannya ke Bali (1927) dan buku Revolusi di Nusa Damai karya Ketut Tantri menunjukkan hal tersebut.
Sementara itu, antropologi termasuk dunia yang banyak menyumbangkan catatan bernuansa travelogue. Hal yang paling terkenal adalah pengalaman tinggal dan perjalanan Reimar Schefold di pedalaman Siberut, Mentawai. Schefold merupakan antropolog kelahiran Basel, Swiss dan menjadi guru besar Antropologi Budaya Indonesia di Universitas Leiden. Bukunya, Aku dan Orang Sakuddei (2014, edisi pertama berbahasa Belanda terbit 2012) merekam kehidupan masyarakat Siberut dengan cermat, akrab dan menegangkan; perjalanan menembus hutan, sungai dan laut, berupacara dan tinggal di uma, berinteraksi dengan sikerey, dan seterusnya lengkap terdedah.
Begitu pula pengalaman Elio Modigliani, antropolog Italia, di Pulau Nias. Meski pengalaman tersebut ditulis ulang oleh orang lain, yakni Vanni Puccioni, nuansa perjalanan dalam era 1886 tersebut tidaklah hilang. Vanni sangat piawai bercerita dalam buku Tanah Para Pendekar (2016, edisi pertama berbahasa Italia terbit tahun 2013), sehingga sosok Elio Modigliani yang berkelana jauh dimasa silam di Nias Selatan terasa hadir kembali.
Tentu saja sebuah travelogue sangat mungkin memaksimalkan penggaliannya atas sumber-sumber terpercaya (tokoh atau referensial), baik primer maupun sekunder. Toh situasi dan konteks zaman ketika seseorang melakukan itu sudah mendekati atau bahkan melebihi sebuah perjalanan yang tidak semudah waktu sekarang. Marsden menulis Sumatera dari Bengkulu, dan bayangkanlah, betapa dari London untuk sampai ke Bengkulu pada tahun 1774 itu menyiratkan medan perjalanan yang niscaya merepresentasikan tempat lain yang dibayangkan. Persentuhannya dengan berbagai pihak di Bengkulu, itu riil membawa cerita perjalanan dari pelosok-pelosok tanah Sumatera yang jauh.
Bisa pula berlaku hal sebaliknya. Seorang pejalan menjelajah langsung berbagai tempat, namun tidak menuliskan catatannya secara langsung. Ada perantara orang lain juga saat menuliskan. Apa yang dilakukan Vanni atas Elio merupakan sebuah kemungkinan yang bisa dikembangkan. Antara perjalanan dan catatannya berjarak jauh (perjalanan Elio tahun 1886, dan tulisan Vanni tahun 2013), namun berkat referensi dan catatan berserak si pejalan (dalam arti belum dirangkai dalam narasi), jarak itu bisa disambungkan. Hal yang sama tersua dalam buku Kisah Perjalanan Magellaan ke Pulau-Pulau Rempah karya Louise Andrews Kent (tahun tak terlacak) yang diterjemahkan Alibasah Moeis. Kent mengisahkan pelayaran Ferdinand Magellaan berkeliling dunia mencari pulau rempah-rempah, Maluku, bersama kawan-kawannya yang kemudian juga dikenal sebagai begawan perjalanan seperti Pigafetta dan Vasco da Gamma.
Sementara itu, Ibnu Batutah, pengelana asal Maroko punya teknik sedikit berbeda. Meski sama-sama dituliskan orang lain, namun ia terlibat aktif mendiktekan dan memeriksa catatannya itu. Sebagaimana kita tahu, pengelanaan Batutah ke timur pada abad ke-14 mencapai Maladewa dan Samudera Pasai. Selain Afrika, Turki dan Kremia di Rusia, Batutah juga tiba di Tabriz, “pintu gerbang Cina”, tapi ia berbalik ke Mekkah untuk naik haji yang kedua kali. Barulah dalam perjalanan berikutnya Batutah sampai ke Cina dengan terlebih dulu singgah di ujung barat Sumatera, diterima Sultan Pasai.
Uniknya, kisah perjalanan Batutah merupakan hasil penceritaan ulang yang didiktekan kepada Ibnu Juzay, juru tulis Sultan Maroko. Juzay mencatat dalam bentuk rihlah (kisah perjalanan, salah satu genre sastra Arab) dan menjadi buku yang diakui sebagai catatan perjalanan dunia paling lengkap dari abad ke-14: Tuhfat al-Nuzzhar fi Gharaib al-Amshar wa Ajaib al-Asfar (Persembahan Seorang Pengamat tentang Kota-Kota Asing dan Perjalanan yang Mengagumkan). Sebagian buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Yayasan Obor.
Berdasarkan penelusuran di atas, sekali lagi perlu disadari bahwa travelogue (di) Nusantara, terutama pada masa-masa awal, secara teknis boleh dikatakan bukan genre yang murni. Akan tetapi secara “ruh”, perjalanan—dalam pengertian luas—tetap sebagai kunci. Dalam hal ini, judul buku Karl May, Dan Damai di Bumi, bisa saja kita elaborasi menjadi, “dan tak ada yang murni di bumi”!
… sekali lagi perlu disadari bahwa travelogue (di) Nusantara, terutama pada masa-masa awal, secara teknis boleh dikatakan bukan genre yang murni. Akan tetapi secara “ruh”, perjalanan—dalam pengertian luas—tetap sebagai kunci.

Tuapejat Pulau Pagai pada masa kolonial disebut Nassau (dokumen penulis)
Memburu Jejak Wallace di Buru
Dalam ilmu pengetahuan modern dikenal “Garis Wallacea” yang membagi Nusantara dalam dua bagian, Timur dan Barat, berdasarkan ragam flora dan faunanya. Adalah Alferd Russel Wallace, si empunya garis imajiner itu, yang menerakan garis klasifikasi pada peta Nusantara, hal yang menggerakkan Charles Darwin beberapa waktu kemudian, melakukan perjalanan ke Galapagos hingga menelorkan teori evolusi yang kontraversial itu. Wallace sendiri melakukan observasi naturalistiknya didorong oleh gairah perlawatan yang tertuang dalam catatan perjalanan Ferdinand Magellan (1521). Magellan, pelaut Spanyol, berkeliling dunia dengan kapal Victoria bersama Figafeta, petualang Italia yang kelak menerbitkan catatannya sendiri. Perjalanan Wallace pun kemudian menghasilkan buku yang kaya dan memikat, The Malay Archipelego (1869) atau Kepulauan Nusantara: Sebuah Kisah Perjalanan, Kajian Manusia dan Alam (edisi Bahasa Indonesia, Komunitas Bambu, 2009).
Wallace berlayar dari barat ke timur, dari Sumatera, Jawa, Bali dan Lombok. Di Lombok ia masuk melalui pelabuhan Ampenan yang waktu itu termasuk jalur wajib yang disinggahi kapal-kapal dari barat ke timur atau sebaliknya. Di Lombok, Wallace menemukan raja yang sedang melakukan cacah jiwa untuk pengobatan wabah. Waktu itu pelabuhan sangat ramai dan Ampenan merupakan pusat perdagangan Lombok di bawah Kerajaan Karangasem. Sekarang kita tahu, Ampenan tinggal sebagai kota tua di sudut Mataram, NTB. Ketika saya datang, tak ada jejak Wallace tertinggal, kecuali catatannya tentang Lombok yang penuh kesan.
Lebih ke timur, salah satu tempat yang pernah menjadi lokasi observasi Wallace adalah Kayeli di Pulau Buru—saya juga pernah datang ke tempat itu. Saya datang ke Kayeli sebulan lebih awal daripada Alferd Russel Wallace. Jangan terkejut. Sang Naturalis Inggris itu datang bulan Mei, menjelajah hingga lembah Waeapo, dan menetap di Kayeli sampai Juni 1819. Saya datang minggu pertama bulan April 2018, mendaki hingga ke Gunung Botak, dan tinggal sampai akhir bulan di Namlea, seberang Kayeli.
Sebelum diterjang banjir dan ditinggalkan, Kayeli cukup membuat penjelajah seperti Wallace takjub. “Bouru (maksudnya Cajeli, Kajeli, atau Kayeli) memiliki sebuah benteng kecil yang tertata sangat rapi, dikelilingi oleh lapangan rumput dan jalan-jalan yang bagus,” tulisnya dalam The Malay Archipelego.
Keberadaan Wallace di Buru dapat merepresentasikan cara ia menuliskan perburuannya akan serangga, dedaunan dan bunga liar, di pulau terbesar Maluku itu, atau cara ia menuliskan banyak hal di Nusantara, sebab memang catatannya merupakan “sebuah kisah perjalanan, kajian manusia dan alam”.
Keberadaan Wallace di Buru dapat merepresentasikan cara ia menuliskan perburuannya akan serangga, dedaunan dan bunga liar, di pulau terbesar Maluku itu, atau cara ia menuliskan banyak hal di Nusantara, sebab memang catatannya merupakan “sebuah kisah perjalanan, kajian manusia dan alam”.
Ketika Wallace memulai perburuan serangga dan pengamatan unggasnya, Raja Kayeli tidak cukup hanya mengutus orang suruhan sebagai pendamping, namun raja sendirilah yang mendampingi si Inggris secara langsung. Menurut saya ini “bernuansa politis”, bagaimana seorang raja ingin menunjukkan wilayah kekuasaannya kepada seorang asing yang sedang berburu ragam kumbang, burung dan kupu-kupu, sekaligus “diplomatis”; bagaimana seorang raja bisa memberi rasa aman bagi orang jauh.
Raja Cajeli menawarkan diri untuk menemani saya karena kampung itu berada di bawah kekuasannya. Maka kami berangkat pada dinihari dengan sebuah perahu panjang berawak delapan pendayung. Setelah berperahu selama dua jam, kami memasuki sungai yang arusnya sangat kuat. Lebar sungai itu kira-kira 100 yard dan bagian tepinya ditumbuhi rumput tinggi, terkadang oleh semak-semak dan pohon-pohon palem. […..] (2009: 284)
Sungai yang dimaksud Wallace saya duga ialah Sungai Waeapo, sungai terbesar di Pulau Buru yang membelah lembah Waeapo yang subur. Pada tahun 60-an, ribuan tahanan politik pernah dibantarkan di lembah ini, dan kesuburannya kemudian terbukti dengan keberhasilan para tapol membukanya sebagai lahan sawah terluas di Maluku, yang kelak diwariskan kepada orang-orang trans. Hal yang tentu saja tak terbayangkan oleh Wallace.
Bagi Wallace, keadaan Kayeli jauh lebih bagus daripada Delli [sic]—mungkin maksudnya Dili di Pulau Timor—yang dipimpin “Yang Mulia Gubernur” serta memiliki garnisun lengkap dengan letnan, kapten dan mayor. Padahal Bouru dengan Cajeli sebagai pusat pemerintahan “terlalu miskin untuk memiliki seorang asisten residen sekalipun”. Karena itulah, Kayeli hanya memiliki seorang opziener alias pengawas, putra asli Amboyna (Ambon), dengan garnisun berkekuatan 12 orang serdadu Jawa dan seorang ajudan sebagai komandan.
Waktu pertama datang (Wallace menyebutnya “pendaratan di Kajeli”), ia dijemput seorang petugas dengan perahu ke tengah teluk setelah nakhoda menembakkan senjata ke udara untuk memberitahu kedatangannya, dan kapal sendiri hanya berdiam di tengah tanpa membuang sauh, untuk akhirnya bertolak lagi. Wallace bersama paket dan barang kiriman diangkut dengan perahu ke darat, dan segera ia menjumpai Kayeli sebagai kota kecil yang tertata.
Di samping itu, ia juga mencatat:
Di kampung ini, pohon buah-buahan tumbuh lebat di antara rumah-rumah. Akibatnya, sinar matahari dan udara segar tidak dapat masuk ke dalam rumah. Rasanya sangat sejuk pada musim kemarau, tetapi lembab dan pengab pada musim hujan. (ibid, 2009).
Aktivitasnya mengumpulkan serangga ia tuliskan sebagai berikut:
Namun, tidak banyak serangga yang berhasil dikumpulkan. Saya hanya menemukan kumbang jenis Longicorn dan Buprestide, juga beberapa sepesies kumbang Amboyna. […] Selama dua bulan berada di Bouru, saya hanya mengumpulkan 210 jenis kumbang. […] Salah satu serangga terindah yang saya temukan di Bouru adalah cerambyx dengan warna coklat tua dan antena yang sangat panjang. (2009: 286).
Setelah menulis panjang lebar tentang ketakjubannya menemui hal-hal baru di Buru, ia pun menulis tentang persentuhan orang Alfuru dengan barang baru yang ia bawa:
Hampir semua penduduk Bouru belum pernah melihat peniti. Yang pernah melihatnya dengan bangga akan memberitahu teman-temannya mengenai keistimewaan dan kegunaan barang Eropa yang aneh tersebut—sebuah jarum dengan kepala, tapi tanpa mata! […] Saya sring melihat mereka memungut potongan-potongan kertas yang saya buang, lalu menyimpannya dengan hati-hati dalam kotak sirih mereka. […] (ibid, 287).
Cukup banyak hal-hal penting dituliskan Wallace dalam bukunya, sekalipun itu aktivitas dan suasana sehari-hari. Karena ditulis dengan detail, jujur dan polos—termasuk tanpa basa-basi menyatakan ketidaksenangan—maka keadaan Pulau Buru awal abad ke-19 bisa dirujuk dari sini. Sayang sekali saya tidak menemukan semacam tugu penghormatan atas jejak Wallace di Buru. Umumnya monumen dan tugu di Buru berhubungan dengan pengabdian heroik para prajurit, mayor dan jendral yang menjadi pengawal setia para tapol.
Sayang sekali saya tidak menemukan semacam tugu penghormatan atas jejak Wallace di Buru. Umumnya monumen dan tugu di Buru berhubungan dengan pengabdian heroik para prajurit, mayor dan jendral yang menjadi pengawal setia para tapol.

Pelabuhan Pulau Buru (dokumen penulis)
Perjalanan Jurnalistik yang Menggelitik dan yang Heroik
Selain perjalanan Tome Pires era klasik, Gusti Asnan juga merujuk perjalanan jurnalistik yang dilakukan Parada Harahap. Parada merupakan seorang wartawan yang naluri jurnalistiknya terlatih mendalami hal-hal kecil yang terluputkan. Itulah sebabnya catatan perjalanan Parada dianggap sangat detail dan kritis, misalnya tentang dunia bahari Sumatera; perkapalan, perlakuan terhadap penumpang, rute, dan nasib kota pelabuhan setelah pelayaran berpindah jalur. Hal-hal ini menjadi rujukan para sejarawan untuk menuliskan perkembangan suatu kawasan, termasuk Gusti Asnan sendiri yang menulis buku Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera (2007).
Jika Parada Harahap menceritakan perjalanannya di dalam negeri, maka Adinegoro (Djamaludin Datuk Maradjo Sutan) menceritakan lawatannya ke Eropa tahun 1926-1929 dalam buku Melawat ke Barat (1930)—yang dianggap sebagai tonggak perjalanan jurnalistik Tanah Air; meski apa yang disebut “tanah air” waktu itu belum lagi lahir. Pasca dibukanya Terusan Suez (1869), perjalanan laut antar benua menjadi lebih singkat dan kapal laut juga secara teratur menghubungkan dunia timur dan barat. Adinogoro yang berangkat dengan kapal “Tambora”, tidak hanya menceritakan pengalamannya selama di Jerman, Belgia, Prancis atau Italia, tetapi sejak ia bertolak dari Tanjungpriok, Selat Bangka, Singapura, Belawan sampai Sabang. Hal ini memperkuat spirit travelogues yang diembannya. Sekaligus menunjukkan bahwa travelogues di Nusantara tak hanya tentang Nusantara, namun juga tentang orang Nusantara yang terpercik hasrat yang sama dan menulis tentang negeri seberang dengan mata Nusantara.
Muhammad Radjab dalam Catatan Perjalanan di Sumatera (terbit pertama kali 1949) menuliskan pengalamannya selama menyusuri pulau yang juga punya nama Pulau Perca, Pulau Emas dan Andalas itu; mulai dari Kutaraja (Aceh) sampai Teluk Betung (Lampung). Waktu itu ia wartawan Kantor Berita Antara. Bersama Suwardi Tasrif (Harian Berita Indonesia) dan Rinto Alwi (Harian Merdeka), Radjab diundang menyertai kunjungan kerja Kementerian Penerangan RI yang menterinya tidak lain wartawan kawakan, Parada Harahap. Radjab terutama berhasil merekam situasi daerah pasca agresi pertama Belanda, 1947, baik kondisi yang memprihatinkan maupun semangat rakyat untuk bangkit mempertahankan kemerdekaan. Tak ketinggalan adat-istiadat, watak dan budaya setempat.
Setelah kunjungan kerja sang menteri selesai, Radjab tetap tinggal dan memutuskan menyusuri Sumatera sendirian. Namun agresi polisional Belanda yang kedua membuatnya batal berkunjung ke sejumlah daerah yang direncanakan, seperti Sungai Dareh dan Sijunjuang, bahkan ia terkepung selama enam bulan di Bukittinggi. Selama “terkurung” di kota ini, ia mengaku tersiksa lahir batin karena hawa dingin. Tapi saya duga ia lebih tersiksa secara batin.
Keadaan dan posisinya terasa dramatik; berada di kampung sendiri, tapi berjarak—dan mesti membuat jarak—sebab ia orang yang sedang berkunjung. Radjab sendiri lahir di kampung Sumpur, tepi Danau Singkarak. Jaraknya hanya sepelemparan batu dari Bukittinggi,“kota kultural urang awak” yang dalam kisaran tahun itu kemudian didapuk jadi Ibukota Darurat Republik. Sebagai “orang yang berkunjung” ia harus menjaga jarak supaya tetap “terkurung di luar” demi menjaga sikap kritis dan keras kepalanya. Apalagi gaya penulisan Radjab bukan jenis mengharu-biru, melainkan melantak-mempiuh bagai limbubu, menghantam tiap situasi buruk yang ia jumpai, meski jelas bukan hantam-kromo.
Karakter tulisan Radjab sarkas, jika bukan kritis, sinis jika bukan mengejek. Karakter itu mengingatkan saya pada tulisan Navis atau Abrar Yusra. Mereka memang generasi yang mencoba mengambil-alih spirit “cimeeh” ala Minang—lebih dari sekedar cemohoan; tapi perpaduan kecerdikan dan kecerdasan, ketangkasan menyemprotkan isi dan “sampiran”. Karena itu cimeeh, jika saudara tak gampang beriba hati, lebih terasa sebagai tamparan pembangkit semangat (baca: pembangkit batang tarandam), kecuali jika saudara lemah hati bisa ambyar dan berniat bunuh diri.
Adapun kecintaan Radjab pada kemajuan teknologi dan fajar modernitas, dapat dibandingkan dengan pandangan STA dan Pramoedya Ananta Toer. Ia menghajar watak-watak fasis para pemuda yang terbakar heroisme kemerdekaan, dan jauh-jauh hari ia ingatkan bahaya pungli dan korupsi—saat republik baru seumur sawi. Tak ketinggalan satu hal kecil tapi masih jadi penyakit sampai kini: kebersihan toilet. Sebagaimana ia tulis di Tarutung, 16 Juli:
Selama Republik berdiri, di setiap kota yang saya kunjungi di seluruh Jawa dan Sumatera, sedikit sekali saya lihat kantor yang bersih, teratur dan rapi. Baik kantor pembesar maupun kantor biasa saja. Bila kita memasuki kantor itu kita mendapat kesan bahwa kerapian tidak sama sekali. Halaman kantornya tidak dibersihkan, kapur dindingnya coreng-coreng dan berlumut, kursi dan meja di dalamnya tidak teratur sepantas mungkin hingga tidak sedap mata melihatnya. (………) Bila kita pergi ke kamar kecil dan kakus, jijik dan hendak muntah kita melihat kotoran yang tidak diluangkan. Mereka yang bekerja di kantor itu tidak punya ingatan hendak menyuruh bersihkan dua tempat yang sebentar-sebentar dikunjunginya. (2018: 93).
Sebagaimana Adinegoro, Radjab mencatat sejak mula perjalanannya saat kapal bertolak di Priok (14 Juni 1947), sampai di Selat Bangka dan Selat Malaka. Karena rute kapal harus lebih dulu ke Singapura dan Penang, maka tak terelakkan ia juga mencatat keadaan di dua pulau negeri jiran itu, hal yang menerbitkan tanya pada diri Farida Indriastuti, wartawan yang menulis riwayat Radjab dalam buku cetakan ketiga (Balai Pustaka, September 2018),”Mengapa judulnya Catatan di Sumatera? Bukankah ia juga menulis Penang dan Singapura?”
Saya tidak bisa menjelaskan hal ini, kecuali menganggapnya sebagai adat yang detail dari seorang Radjab sehingga ia tak perlu mengindahkan batas-batas administratif. Ia fokus pada kesatuan geografis, di mana Singapura dan Penang memang satu kawasan dengan pantai timur Sumatera atau Selat Malaka. Sejurus dengan itu saya sendiri menyimpan pertanyaan mengapa buku yang ditulis Marsden maupun Raffles harus memakai kata “History”, History Sumatera atau The History of Java? Jika itu catatan ekspedisi, tentu saja apa yang tercatat tidak otomatis menjadi sejarah atau merupakan hal-ihwal sejarah, sekalipun mereka juga merujuk khazanah dan unsur sejarah. Sementara ini saya menganggap hal tersebut lebih menyiratkan cara kerja orientalis dengan klaim-klaimnya, sekaligus menunjukkan superioritas puak kolonial.
Situasi “terkurung” Radjab, si wartawan rantau itu di Bukittinggi, mengingatkan kita pada wartawan rantauan lain dari Sumatera: Sitor Situmorang. Meskipun tidak menuliskan situasi perjalanannya dalam semacam travelogue, namun dalam buku otobiografinya, Seorang Sastrawan 45 Penyair Danau Toba (Sinar Harapan, 1981: 169), saya merasakan nuansa kental travelogue. Di sini kita tersadarkan dua hal, pertama, travelogue bisa muncul menguatkan jenis tulisan apapun, lebih dari sekedar “suplemen”, seperti otobiografi atau biografi. Kedua, travelogue bukan hanya berisi hal-hal indah, juga hal-hal pahit, mendebarkan dan mencekam—anda sudah tahu.
Pada masa agresi Belanda ke Ibukota Yogyakarta, Sitor Situmorang merupakan koresponden surat kabar Waspada yang terbit di Medan. Dalam situasi sulit, Sitor bermaksud ke Jakarta, namun “terkurung” di Gombong. Ketika itu Gombong menjadi garis demarkasi Republik Indonesia-Belanda berdasarkan Perjanjian Renville (1948). Di barat Sungai Kemit adalah wilayah Belanda, bagian timur wilayah RI yang hanya “setelapak tangan”, dari Bagelan hingga Madiun, dan “sejengkal” dari sana, terletak Yogya (150 km ke timur) sebagai kantong perjuangan. Garis demarkasi itu dikenal sebagai Garis Van Mook atau Garis Status Quo yang situasinya seperti Tembok Berlin pada masa Perang Dingin.
Sitor harus melewati pos perlintasan Sungai Kemit yang dijaga ketat. Tak semua orang diizinkan lewat, sebagian menyusup, tertangkap atau tertembak. Sitor menggambarkan perasaannya ketika melalui malam yang sepi di Gombong. Debur ombak pantai selatan terdengar di kejauhan, menyusup ke ruang tidurnya di losmen. Bahkan penyair yang wafat di Apeldoorn Belanda itu mengaku ditimpa perasaan getir, seolah hidup tanpa kepastian dan tanpa tujuan yang terang.
“Sembari termangu menikmati suara laut itu, saya mendadak diliputi rasa tak berada di mana-mana”, tulis Sitor sebelum akhirnya ia kembali ke Yogya karena “paspor” wartawannya ditolak tentara Belanda. Selanjutnya, Sitor menulis:
[….] Sesampai di Gombong hati saya makin kecut membayangkan kesulitan menerobos penjagaan pihak Belanda di seberang kali. Saya memutuskan menginap dulu di sebuah losmen dan tidak segera ikut rombongan-rombongan kecil yang dengan bantuan penunjuk jalan akan menyeberang. [….] Gombong, dekat garis pertempuran, bertambah sepi, bersuasana desa seakan-akan tak dilanda perubahan yang dibawa oleh kejadian. Terbayang anak-anak Siliwangi dengan topi-topi pandan barunya dalam khayal menyusup ke seberang kali dimalam gelap…
Selanjutnya, catatan (perjalanan) jurnalistik bisa dilihat dari laporan Gerson Poyk di Harian Sinar Harapan. Catatan ini juga sudah dibukukan dalam Keliling Indonesia dari Era Bung Karno sampai SBY: Catatan Perjalanan Wartawan Nekad (2011), sebagaimana Rosihan Anwar yang menerbitkan Perkisahan Nusa (1986). Tak kalah menarik adalah catatan “Dari Pelosok Indonesia” Seno Gumira Ajidarma yang dimuat berseri di majalah Intisari sepanjang tahun 2000-an. Setahu saya tulisan ini belum diterbitkan menjadi buku.

Benteng Marlborough (dokumen penulis)
“Sastra Perjalanan”, Genre atau Tema?
Sementara itu, bagi sebagian sastrawan, perjalanan ke suatu tempat bisa memberinya stimulan penciptaan. Perjalanan tidak saja membuatnya merasakan langsung “rasa air dan bau tanah”, namun juga membuka kemungkinan tak terduga. Karena itu, dari khazanah sastra dunia kita menemukan banyak karya yang bertolak dari sebuah perlawatan. Atau karya sastra yang memiliki tema dan nuansa perjalanan, meski tentu sebagai karya sastra, yang harus bertaruh dengan konvensinya sendiri, penyajiannya tidak terlalu terbuka sebagaimana dalam “konvensi” catatan perjalanan (travelogue).
… Perjalanan tidak saja membuatnya (sastrawan-red) merasakan langsung “rasa air dan bau tanah”, namun juga membuka kemungkinan tak terduga. Karena itu, dari khazanah sastra dunia kita menemukan banyak karya yang bertolak dari sebuah perlawatan.
Dan Damai di Bumi, Karl May, merupakan kisah perjalanan ke berbagai kawasan di dunia, memadukan petualangan, karakter dan plot cerita yang mengasyikkan. Begitu pula Petualangan Don Quixote Miguel de Carvantes yang ceritanya sama mendebarkan dengan asal-usul naskahnya yang konon merupakan karya seorang Arab, Cid Hamet!
Petualangan Tom Sawyer yang haru dan menegangkan di Sungai Mississipi karya Mark Twain, kental unsur petualangan yang identik dengan perjalanan. Sebagian besar novel Amien Maalouf seperti Samarkand atau The Leon African, jelas mengandalkan rangkaian “peta perjalanan” berlatar sejarah. Tokoh utamanya membawa kita menjelajah kawasan tak bertara Timur Tengah dan abad-abad lewat. Ernest Hemingway banyak menulis karyanya di perjalanan, misalnya Lelaki Tua dan Laut lahir di Kuba.
Margurite Yourcenar menulis Cerita-Cerita Timur, khazanah cerita oriental yang ia kumpulkan selama lawatannya ke Asia. Novel Gunung Jiwa karya Gao Xiangjain, pemenang Nobel 2000, merefleksikan perjalanannya ke pedalaman Cina mencari “gunung jiwa simbolik”, senada dengan Perjalanan ke Timur dan Sidharta Herman Hesse, pemenang Nobel 1946.
Sementara itu, novel Salju karya pemenang Nobel 2006, Orhan Pamuk, menjalin plotnya yang rapat dari perjalanan tokoh penyair Ka ke kota Kars yang merana dalam timbunan salju beku. Di sanalah ia bertemu dengan tokoh-tokoh pelbagai latar belakang yang merepresentasikan historiografi Turki yang panjang. Perjalananlah yang membuka keseluruhan simpul novel menawan sekaligus mencekam ini.
Di dalam negeri tak kalah banyak karya sastra bertolak dari perjalanan. Paling awal bisa dirujuk Syair Perjalanan Abdul Kadir Munsyi ke Mekkah dan “Syair Haji” karya Syekh Daud dari Sunur, Pariaman. Tentu sebagai sebuah karya sastra, perjalanan diolah sedemikian rupa sehingga tidak tersaji seperti laporan atau catatan perjalanan yang biasa. Seorang sastrawan mungkin akan mengambil suatu tempat sebagai latar, sudut menarik sebagai perspektif, orang yang ditemui sebagai tokoh yang diciptakan kembali, berbagai hal menarik yang ditemui sebagai plot, termasuk gayanya bercerita.
Dalam kesusateraan modern Indonesia, sastra perjalanan lumayan dapat tempat. Cerpen-cerpen Triyanto Triwikromo misalnya, banyak lahir berkat stimulan perjalanan, terutama ketika ia ke luar negeri, misalnya “Lumpur Kuala Lumpur” (Malaysia) dan “Mata Sunyi Perempuan Takroni” (Madinah). Seno Gumira Ajidarma menulis cerpen (di) perjalanan, seperti “Tempat Terindah untuk Mati” (Nepal), “Monotogari” (Jepang) dan “Ketika Gong Ditabuh” (Kalteng). Bre Redana dalam kumpulan Urban Sensastion menulis cerita tentang penari gandrung Banyuwangi dan gadis Bali yang kental nuansa perjalanannya. Ketika Kongres Cerpen II/2002 di Negara, Bali, sejumlah cerpenis pulang membawa oleh-oleh berupa cerpen berlatar Loloan, tanah diaspora di kota Negara, setelah mereka diajak berkeliling ke sana.
Ada pula jenis perjalanan dengan cara menetap cukup lama (meski ini bisa diperdebatkan) misalnya studi di luar negeri, residensi atau tuntutan pekerjaan. Orang-Orang Bloomington Budi Darma, bagaimanapun lahir ketika pengarangnya menetap di Bloomington untuk studi doktoral, namun nuansa pengamatan seorang pejalan tak dapat dinafikan. Begitu pula Impian Amerika Kuntowojoyo lahir ketika ia studi di Amerika. Kumpulan puisi Buku Harian Subagio Sastrowardoyo lahir saat ia mengajar di Eropa, cerpen Salju di Paris Sitor lahir di Prancis, dan seterusnya.

Bangunan sepanjang Jalan Pabean Ampenan (dokumen penulis)
Spirit Puisi Perjalanan
Dalam puisi, aroma perjalanan lebih kental lagi. Ini dapat diketahui, baik karena secara langsung menceritakan tempat yang dikunjungi, maupun secara tersirat memungut satu simbol pada sebuah tempat, atau dari data teknis semisal catatan titimangsa di bawah puisi. Berdasarkan itulah kita dengan mudah menerka puisi “Dari Besakih” Sanento Yuliman sebagai respon puitik atas kunjungannya ke Pura Besakih di Bali.
Begitu pula puisi “Ubud” dan “Pantai Utara” Isma Sawitri, “Ngarai Sianok” Warih Wisatsana, “Sungai Musi” atau “Moskow” Rendra, “Sungai Mississipi” Frans Nadjira “Sungai Kahayan” Ahmad Nurullah, “Columbia” Tardji, “Di Banjar Tunjuk” Sapardi, “Dalam Gereja Munster” Afrizal Malna, “Fantasia Gunung Tangkuban Perahu” Micky Hidayat, “Tanjung Tangis” dan “Lamahala” Riki Dhamparan Putra, “Pesisir Selatan” dan “Wonosari” Nur Wahida Idris, dan seterusnya. Ini tidak terhitung sajak Sitor Situmorang yang banyak lahir di berbagai tempat yang ia singgahi.
Ada pula buku puisi yang seluruhnya bertolak dari perjalanan. Di Atas Umbria Acep Zamzam Noor merupakan sajak-sajak perjalanan di dalam dan luar negeri, terutama Italia dan Bali. D. Zawawi Imron bahkan punya tiga buku puisi perjalanan ke tiga tempat, yakni Berlayar di Pamor Badik (kemudian terbit ulang menjadi Mata Badik, Mata Puisi) yang memuat sajak-sajak kunjungannya ke Sulawesi Selatan; Refrein di Sudut Dam buah kunjungannya ke Belanda dan Mengaji Bukit, Mengeja Danau hasil kunjungannya ke Sumatera Barat.
Perjalanan tidak selalu jauh sebagaimana ditunjukkan Iwan Konawe, penyair Kendari yang menerbitkan buku puisi Ritus Konawe. Buku ini memuat sajak-sajak perjalanannya keliling bumi anoa, Sulawesi Tenggara, tempat ia tinggal. Begitu pula Buwun, buku puisi Mardi Luhung tentang perjalanannya ke Pulau Bawean, yang terletak di lepas pantai Gresik, tempat mukimnya.
Para penyair Bali bahkan memiliki tradisi cukup unik, yakni merespon berbagai tempat yang ada di sekitar Bali dalam perjalanan singkat yang dilakukan ke sejumlah titik seperti Candidasa, Tanah Lot, Kuta, Sanur, Kintamani, Pelabuhan Buleleng, Nusa Dua, Sungai Ijogading, dan seterusnya. Berani bertaruh, hampir semua penyair Bali memiliki lebih selusin puisi tentang destinasi yang ada di Pulau Dewata!
Belakangan ada program residensi Kemendikbud dan Pusat Bahasa, baik dengan mengirim sastrawan ke luar negeri maupun ke sejumlah daerah di tanah air. Selain berupa catatan perjalanan (pihak Pusat Bahasa menyebut jurnalisme sastrawi), program itu juga melahirkan karya sastra, misalnya puisi-puisi Wayan Jengki Sunarta selama residensi ke Sabang atau puisi Kurnia Effendi ke Belanda.
Mutu sajak-sajak perjalanan tidak kalah bagus, meskipun juga ada yang tidak terlalu kuat. Tergantung cara mengolah, memang. Yang bagus tentu tidak hanya menampilkan yang fisik, yang terlihat secara wadag, namun juga memuat spirit, gagasan dan nilai-nilai pergulatan suatu tempat. Dalam sebuah diskusi di Kedai Kebun Yogyakarta sekitar tahun 1999, Dr. Faruk mendedah amatannya tentang sajak perjalanan Acep. Draf diskusi tersebut kemudian dijadikan Catatan Penutup buku puisi Acep Zamzam Noor, Di Atas Umbria. Dr. Faruk antara lain menulis demikian:
Puisi-puisi dalam kumpulan ini bercerita tentang pengembaraan ke berbagai wilayah baru yang tidak dikenal, yang tidak umum, yang unik, yang dapat membangkitkan birahi untuk sebuah persetubuhan sebagai pengalaman. Ada banyak kota, ada banyak bukit, gunung dan hutan-hutan, ada banyak bangunan masjid dan gereja. Tapi, alangkah sulitnya menemukan kekhasan pada setiap daerah pengembaraan itu. Semuanya seakan sama, menyuarakan diri sang pengembara sendiri yang tak pernah berubah: sendiri, sepi, terpencil, dibakar oleh api rindu dendam pada sesuatu yang ada di luarnya. Bila demikian halnya, pengembaraan itu menjadi sia-sia. Sang pengembara pada hakikatnya tidak pernah keluar dari apa yang sudah dikenalnya, yang akrab denganya, yang sudah menjadi rutin. Ia tak melihat, mendengar, menyentuh, mengalami apapun selain dirinya sendiri. (2001: 79)
Strategi literer bisa digunakan dalam mencipta karya perjalanan, memadukannya dengan imajinasi serta mengaduknya dengan referensi. Pola ini dengan bagus dapat dilihat dalam buku Tempat-Tempat Imajiner Michael Pearson yang merupakan perpaduan imajinasi, referensi dan perjalanan langsung. Atau Kota-Kota Imajiner Italo Calvino yang mengeksplorasi petualangan Marcopolo. Begitu pula Jalan Raya Pos Pramoedya Ananta Toer merupakan perpaduan pengalaman, imajinasi dan referensinya atas jalan Anyer-Panarukan.
Meskipun imajinasi, referensi dan strategi literer lainnya dibutuhkan dalam proses kreatif karya perjalanan, syarat utama mesti terpenuhi: perjalanan itu sendiri!
Meskipun imajinasi, referensi dan strategi literer lainnya dibutuhkan dalam proses kreatif karya perjalanan, syarat utama mesti terpenuhi: perjalanan itu sendiri! Terlepas apakah direncanakan sejak awal untuk dituliskan, atau muncul dorongan dan gagasan kemudian, tidak masalah. Tentu Anda akan kembali teringat apa yang saya sebutkan di bagian awal tulisan ini bahwa travelogue atau travel writer bisa saja ditulis tanpa melakukan perjalanan sepenuhnya. Contohnya Williem Marsden yang menulis Sumatera dari Bengkulu. Jangan keliru. Marsden melakukan perjalanan sangat jauh, dalam masa di mana bumi belum “dilipat”, dari London ke pantai barat Sumatera, dan itu merepresentasikan perjalanan yang menghabiskan waktu di laut, jadwal kapal yang tak segera dapat, dan kapal itu sendiri yang masih tergantung pada cuaca. Adapun sisi perjalanan yang lain ia pungut dari perjalanan orang-orang yang datang berurusan ke Benteng Marlborough, Bengkulu, di mana pertemuan “orang asing” dan “pribumi” berlangsung setelah ruang dan waktu susah-payah ditundukkan.
Berdasarkan inilah—kecuali puisi Joseph Conrad tentang bajak laut di Nusantara, sebagaimana dirujuk Andrian B. Lapian (2009)—sajak epik Os Lusiadas (1572) karya Luiz de Camoens tentang emas Gunung Ophir di Sumatera, puisi J.J. Sluerhoeff tentang Tanjungpriok, atau puisi sejumlah penyair Eropa tentang Bantam (Banten), belum berani saya sebut sebagai sastra perjalanan karena sependek ini, saya belum dapat membuktikan apakah mereka pernah ke tempat yang dituliskan itu, dan mengambil bahan lain secara referensial. Apa yang saya lakukan ini lebih kurang sama dengan pandangan sebagian orang yang menganggap Dan Damai di Bumi tak semua bagiannya dapat dianggap sebagai kisah perjalanan karena ada tempat yang sebenarnya belum pernah Karl May singgahi.
Sebaliknya, saya juga belum bisa mengatakan puisi-puisi Rimbaud memiliki korelasi dengan perjalanannya ke Padang dan Semarang, sebagaimana Neruda yang lama tinggal di Batavia, karena belum ditemukan puisi mereka menyinggung kota dimaksud, baik langsung maupun tersirat.
Perayaan dan Renungan untuk tak Sia-sia
Travelogue atau yang sekarang lebih populer disebut travel writers, memiliki varian yang kaya. Selain perjalanan jurnalistik, juga bisa berupa catatan harian di suatu lokasi, catatan pada minat utama (misalnya tentang kuliner atau destinasi wisata), catatan observasi, catatan ziarah, korespondensi (surat-menyurat) atau mengolahnya dalam bentuk karya sastra. Gaya dan penyajiannya beragam pula, mulai gaya popular, konvensional maupun berbentuk feature, esei-foto atau observasi.
H.O.K. Tanzil merupakan seorang pejalan yang melakukan perjalanan terencana ke berbagai negara serta dalam negeri. Ia menuliskan pengalamannya di majalah Intisari. Tulisan tersebut kemudian dikumpulkan ke dalam sejumlah buku yang sangat menarik dan informatif. Pada tahun 1982, catatan perjalanan tersebut terbit sekaligus dalam tiga buku, Catatan Perjalanan dalam Negeri, Catatan Perjalanan Asia & Afrika dan Catatan Perjalanan Pasifik, Australia, Amerika Latin.
Tanzil menyopir sendiri kendaraan VW kodoknya, sekalipun ia tidak berbakat montir sama sekali sehingga sering memunculkan rasa miris sekaligus lucu jika kendaraan itu bermasalah di jalan. Di Panama misalnya, roda kendaraan itu rusak di tengah hujan badai, dan ia mencoba mencongkel (untuk membukanya) dengan sendok! Tanzil mengajak istrinya yang terkesan pasif dalam perjalanan, namun omelan dan pertengkaran kecil menghidupkan suasana dalam catatan. Tanzil cermat mencatat data dan angka, mulai luas wilayah, garis lintang suatu daerah, jumlah penduduk, bahkan jumlah kamar hotel yang ia masuki, termasuk harga-harga barang yang ia beli. Ketimbang sebagai data matematis yang teknis, angka-angka itu lebih terasa empiris dan estetis sebab disajikan apa adanya dan dalam bahasa bersahaja. Tak kalah menarik, Tanzil mendonasikan semua honorarium dari Intisari untuk panti-panti sosial yang administrasinya langsung diurus majalah bersangkutan.
Tak jarang perjalanan mewarnai gagasan dan spritual sebagaimana tampak dalam buku Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran. Pengalamannya ketika berkunjung ke Amerika mewarnai catatannya dalam buku itu. Para penulis yang naik haji melahirkan buku antara lain Orang Jawa Naik Haji (Danarto), Aku Datang Memenuhi PanggilanMu, Ya Allah (Hendra Esmara), Orang Batak Naik Haji (Aritonang) atau Haji Backpekcer Aguk Irawan MN.
Generasi travel writers terus lahir, bahkan semakin subur, seiring banyaknya media yang menampung tulisan tentang perjalanan.
Generasi travel writers terus lahir, bahkan semakin subur, seiring banyaknya media yang menampung tulisan tentang perjalanan. Majalah, surat kabar, dan media online memiliki rubrik dan segmen pembaca fanatik untuk perjalanan. Maka deretan penulis catatan perjalanan lahir di tanah air, mulai generasi Maria Hartiningsih di Kompas, Eugline Paulina dan Yatie Asfan Lubis yang banyak menuliskan laporannya di majalah wanita, Gola Gong yang menerbitkan catatan keliling Asia di majalah remaja, sampai Fatris M. Faiz yang banyak menulis untuk Destin Asia, sebagian diterbitkan dalam buku Merobek Sumatera, Kabar dari Timur dan Lara Tawa Nusantara.
Syafrizaldi menulis perjalanannya di The Jakarta Post, Koran Tempo dan National Geography, Faustinus Hadi, Anton Kurnia, Tary Lestari, Ardi Winangun dan Febriyanti (untuk menyebut beberapa nama) menulis di Koran Tempo, Republika dan media lain. Buku perjalanan juga diminati, sehingga seringkali terbit berseri. Untuk menyebut beberapa ada seri Lorong-Lorong Dunia karya Sigit Susanto, seri The Naked Travelling Trinity dan seri perjalanan Asia Tengah Agustinus Wibowo. Afifah Ahmad menerbitkan The Road To Persia (2013), catatan kunjungannya ke pelosok Iran. Tidak kalah menarik adalah M. Faizi, seorang kyai muda dari tlatah Annuqayah, Sumenep, menulis catatan perjalanan sembari menunaikan hobinya naik bis. Faizi memang dikenal sebagai sesepuh “Bismania” (komunitas pecinta bis).
Moda dan pola perjalanan juga beragam, mulai transportasi konvensional dan pola backpacker, juga sepeda motor, sepeda dayung, bahkan jalan kaki atau perahu ekspedisi. Ahmad Yunus, misalnya, bersama Farid Gaban keliling Indonesia naik motor. Hasilnya sebuah buku yang menarik dan gokil: Meraba Indonesia-Ekspedisi “Gila” Keliling Nusantara (2011).
Upaya-upaya kreatif-kolektif juga tumbuh dalam dunia traveling. Di media sosial grup-grup traveling banyak peminat di mana anggotanya saling berbagi informasi, saling bantu saat berkunjung ke suatu tempat dan “jumpa darat”. Ada pula upaya partikelir seperti dilakukan Fatris bersama M. Fadli membuat proyek The Banda Journal, tempat mereka meng-up date segala hal tentang Banda dan mendokumentasikannya.
Syafrizaldi membuat “proyek keluarga” melibatkan anak-istrinya dalam perjalanan ke sejumlah titik, seperti ke Gunung Kerinci, Komunitas Anak Dalam dan Suaka Alam Rimbo Baling. Puthut Ea dkk mengadakan “Ekspedisi Cengkeh” dengan merancang perjalanan ke pusat-pusat cengkeh Nusantara, lalu menuliskannya dalam buku yang representatif. Ini belum tercatat dunia pertelevisian dan film dokumenter yang mengangkat perjalanan sebagai garapan.
Dari sini kita tahu bahwa potensi, khazanah dan peluang perjalanan dalam dunia literasi sangat menantang. Sejarahnya pun merentang panjang sejak era rempah-rempah di Nusantara, bangkitnya kesadaran berbangsa, dan masa awal kemerdekaan. Ini semua merupakan modal dalam menempatkan travelogue sebagai genre yang mandiri, tapi sekaligus membuka kemungkinan dieksplorasi genre lain. Begitu pula sebaliknya, travelogues bisa memperkaya diri dengan mengeksplorasi khazanah sastra, jurnalistik, atau antropologi dalam teks yang dianggitnya. Persandingan kedua hal ini setidaknya membuka dua alur “ideal” dunia travelling: menggurat sejarah, menggubah sastra.
Untuk melihat tantangan sekaligus peluang travelogue, saya ingin merujuk kembali uraian Faruk dalam buku Acep, meski itu dituliskannya dalam konteks puisi, tapi dapat kita pinjam untuk mewakili perjalanan dalam arti luas. Ketua Program Studi Magister Budaya UGM yang pernah memasukkan travel writers dalam materi studinya itu, berkata demikian:
Masih terbuka peluang bagi puisi-puisi (baca: travelogues–RTB) yang akan datang. Salah satunya adalah meninggalkan dirinya sendiri, si pengembara, dan masuk lebih dalam ke wilayah kehidupan yang ada di luar dirinya. Pada saat itulah pengembaraan sungguh tak sia-sia. (2001: 80)
(Esei ini ditulis ulang dari draf sarasehan “Sastra (dan) Perjalanan” di aula Perpusda Kalimantan Selatan, Banjarmasin, diadakan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kalsel, 2018).
Ditorehkan melalui hapalan batas-batas klasik “alam” Minangkabau yang imajinatif, bertahun-tahun lamanya nama Air Bangis lekat dan hidup dalam ingatan saya. Bersama beberapa nama lain, Air Bangis disebut dalam patok-patok unik, jika bukan ganjil—campuran yang “imajiner” dengan yang nyata, yang riil dan simbolik, dengan pengucapan mendekati pepatah, sebagaimana disitir A.A. Navis: dari sikilang aie bangih sampai ke taratak aia itam, dari sipisok-pisok pisau hanyuik sampai ka sialang balantak besi, dari riak nan badabua sampai ka durian ditakuak rajo. Artinya: dari sikilang air bangis sampai ke taratak air itam dari sipisok-pisok pisau hanyut sampai ke sialang bersengat besi, dari riak yang berdebur sampai ke durian ditekuk raja (Navis, 1984: 53-54).
Mungkin lantaran merujuk kepada tambo, Navis sengaja tidak membedakan penulisan nama tempat dalam kalimat, misal mengawalinya dengan huruf kapital. Padahal di dunia nyata, tempat tersebut memang ada, tentu saja lengkap dengan letak geografisnya. Hal tersebut diakui Navis di catatan kakinya kemudian, dengan menuliskan nama tempat secara “benar”—memakai huruf kapital. Batas Minangkabau dahulu, demikian Navis, kira-kira di sebelah barat daya ialah Air Bangis, di sebelah tenggara Desa Taratak dekat Teluk Kuantan, di sebelah utara dekat Sipisok-pisok sampai ke Sialang dekat perbatasan Riau, dan di selatan dari Pesisir sampai desa Durian dekat perbatasan Jambi. Itulah yang dikenal sebagai Provinsi Sumatera Barat sekarang (ibid, 54).
Dua nama tempat yang dinukilkan tambo tersebut, Sikilang dan Air Bangis, secara administratif merupakan bagian Kabupaten Pasaman Barat (yang dimekarkan dari Kabupaten Pasaman), beribukota Simpang Empat. Sikilang masuk Kecamatan Sasak Ranah Pasisie sedangkan Air Bangis masuk Kecamatan Sungai Beremas.
Penghujung November 2019, saya menyusuri daerah-daerah di seputaran Pasaman Barat ini, khususnya Air Bangis yang entah kenapa meninggalkan jejak mendalam pada diri saya. Saya duga, selain kuatnya rujukan batas-batas, nama ini juga dikekalkan nelayan kampung saya di pesisir bagian selatan, dikenal sebagai Bandar Sepuluh. Dalam musim-musim tertentu, bila ikan sedang mengena di utara, nelayan kampung saya melabuhkan bagan (kapal ikan) mereka di pelabuhan Air Bangis.
Dulu, seingat saya, tidak ada batas-batas teritori menangkap ikan di laut. Nelayan dari pesisir mana saja bebas melaut di samudera yang menjadi halaman depan mereka, tak ada pertengkaran atau konflik berarti di antara nelayan; mereka saling menyediakan tempat berlabuh.
Paman saya, Paman Untung, sebagaimana pernah saya ceritakan dalam sebuah cerpen “Cerita Campur-Aduk dari Pamanku” (Koran Tempo, 12 Februari 2012) termasuk salah seorang yang rutin berlabuh di sana. Ia selalu membawa cerita-cerita mengesankan, buah interaksinya dengan orang-orang etnik lain seperti Mandailiang, Nias, Sunda dan Jawa. Ini terkait posisi Air Bangis sebagai daerah perbatasan, keterhubungannya dengan sejumlah pulau lepas pantai serta Pasaman yang menjadi sentra transmigrasi nasional.
Nisbinya Batas-Batas
Dalam bayangan saya paling awal, nama Air Bangis diambil dari fenomena pusaran air yang ganas. Saya kira “bangis” itu berasal dari kata “bengis” dalam bahasa Indonesia yang di-Minang-kan. Ternyata Air Bangis, menurut Zusneli Zubir (2007), peneliti dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat, berasal dari nama pohon bangei, yang justru di-Indonesia-kan. Pohon ini (saya tidak menemukan nama latinnya) banyak terdapat di tepi air dekat muara sungai yang semula dikenal sebagai wilayah Patibubua dan Ujung Biang.
Sungguh pun begitu, bayangan saya tentang air yang ganas tidaklah terlalu meleset. Ketika saya datang, hujan baru saja reda, tapi sejumlah sungai yang saya lewati sejak dari Simpang Empat, seperti Sungai Aie Gadang, benar-benar dihala aie gadang (banjir). Begitu juga muara Air Bangis terlihat keruh dan gelombang laut sedang bergemuruh. Sebagai wilayah pesisir yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia—sekalipun di depannya ada Pulau Panjang, dan di lepas pantainya ada gugus Kepulauan Batu—tentu saja air di sini terbilang ganas, apalagi saat datang angin munson yang berpengaruh pada pelayaran. Ini bertolak belakang dengan wilayah darek (pedalaman) Minangkabau, utamanya tiga luhak “induk”. Luhak Agam disebutkan “buminya hangat, airnya keruh ikannya liar”; Tanah Datar “buminya nyaman airnya tawar ikannya banyak,” dan luhak Limo Puluh Koto “airnya jernih ikannya jinak” (Navis, 1984: 48).
Perbandingan dengan darek ini saya rasa menarik jika kita lihat lagi cara tambo menggambarkan batas-batas; ia tidak menyatakan “ke” melainkan “dari”. “Ke” bisa berarti ke luar, misalnya, batas alam Minangkabau itu: ke utara Sikilang-Air Bangis, ke selatan Taratak Air Hitam, dan seterusnya—dan itu artinya ada titik awal yang merentang tangan ke arah mata angin. Namun yang tersua adalah: “dari Sikilang-Air-Bangis” sampai Taratak Air Hitam. Posisi ini menunjukkan “pusat” (katakanlah Pagaruyung) merengkuh yang tepi-tepi ke dalam, semacam hubungan sentrifetal (menuju pusat), bukan sentrifugal (menjauhi pusat), terlebih dihubungkan oleh kata “sampai” sehingga batas-batas itu juga terhubung satu sama lain.
Tapi apakah upaya “merengkuh” itu meninggalkan jejak kemajuan pada tapal batas, atau hanya sekedar simbol dan kias, secara faktual dapat kita bandingkan kondisi “desa pesisir” dengan “desa dataran” dan “desa bukit” ala Dobbin (1983). “Desa dataran” di kawasan lembah Agam, 50 Koto, Tanah Datar, dan sebagian Solok, digambarkan Dobbin serba tertata, dengan sawah hijau, kebun kelapa dan buah-buahan. Desa-desanya berdempetan, lebih besar, dan beberapa di antaranya berpenduduk beberapa ribu orang. Raffles yang pernah melakukan ekspedisi ke pedalaman Minangkabau, menyebut kampung-kampung yang ia lalui sebagai “kota”, seperti Simawang, Saruaso dan Pagaruyung. “Seluruh negeri dan Pagerruyung, sejauh mata memandang merupakan pemandangan budi daya yang berkesinambungan. Daerah ini disela dengan kota dan desa yang tak terhingga banyaknya serta dinaungi oleh pepohonan kelapa dan bebuahan lainnya.” (Dobbin, 1983: 21). Dalam sebuah referensi lain, Sungai Tarab bahkan pernah disebut sebagai “kota besar”.
Begitu pula “desa bukit” di Minangkabau Tengah, di antara bukit Barisan dan Gunung Singgalang, Merapi, Talang dan Sago. Penduduknya hidup dengan kerajinan besi, emas dan perak, tenun, perkebunan dan pertambangan. Desa Taram misalnya, digambarkan sebagai “distrik kecil yang sangat makmur. Rumah-rumahnya kelihatan bagus dengan lukisan bunga-bunga. Ada cukup banyak kebun kopi, sawah yang berlimpah dan tambak penuh ikan. Air Terbit, menyajikan sawah-sawah yang melandai dengan indahnya (…) taji-taji gunung di antara lembah-lembah ditanami dengan pohon kopi yang memberikan si penanam keuntungan yang cukup banyak. (Dobbin, 1983: 63, 64)
Air Bangis tidak. Ia, lebih tepat orang-orangnya, jauh dari “induk” sebab ia termasuk wilayah rantau. Sudah rantau, pesisir pula. Apalagi jika benar Air Bangis didirikan rombongan Indrapura, Tuan Lanang Bisai, tentu saja rantau dan pesisir itu jadi berganda. Indrapura, kita tahu merupakan rantau Minangkabau di pesisir bagian selatan, dan si perantau selatan itu lalu merantau lagi ke pesisir utara.
Proses ini membuat rantau pesisir begitu setia dengan tetap merasa sebagai bagian Pagaruyung, sehingga saya bayangkan bukan “pusat” yang merengkuh rantau, tapi (orang) rantaulah yang membawa (pusat) Minangkabau ke mana-mana! Apakah itu berarti ungkapan tambo hanya sekedar simbol dan basa-basi dalam batas-batas yang nisbi?
Saya tak sampai mengatakannya begitu. Tapi situasi rantau pesisir yang berbeda jauh dengan darek, terutama dengan tigo luhak nan tuo, menunjukkan bahwa rantau pesisir adalah wilayah yang belum selesai diteruka. Status dan posisi tersebut sangat mungkin membuat rantau pesisir seperti Air Bangis berhadapan dengan segala yang “bengis”. Mulai alam yang ganas dengan ombak-gelombang, seringai badai dan amuk muara. Juga hidup sehari-hari yang keras. Kehidupan di pantai, sebagaimana digambarkan Dobbin (1983: 125), menghadapi ekonomi naik-turun secara fluktuatif. Keluarga pendatang yang paling awal seringkali bertentangan dengan pendatang kemudian. Kekayaan bisa didapat dan lenyap lagi dengan cepat. Tingkat persaingan sangat tinggi. Meskipun Dobbin merujuk Padang, namun merepresentasikan pelabuhan lain, termasuk Air Bangis, yang berada di garis pantai yang sama (biasanya orang menyebut semuanya dengan “Pantai Pariaman”).
Dalam perkembangannya, sebagai daerah terbuka di tengah lintasan samudera, Air Bangis memang berhadapan dengan rupa-rupa kebengisan segala yang datang: kapal-kapal dengan lambung yang lapar, senjata dan meriam ditembakkan!
Itulah yang terjadi ketika orang-orang kulit putih datang, mula-mula dengan niat berdagang, lalu dihantui hasrat menguasai. Upaya menguasai itu bukan saja dengan cara memonopoli jalur niaga dan harga barang, namun juga menentukan secara paksa tanaman apa yang harus ditanam, yakni komoditi yang laku di pasaran. Daerah pedalaman tentu juga merasakan hal yang sama, terutama saat tanam paksa kopi diterapkan pada tahun 1847. Namun kawasan pesisir lebih mengenaskan. Lahan pertaniannya yang tidak terlalu luas, karena diapit laut dan Bukit Barisan, juga sungai-sungai, mula-mula ditanami lada. Tanaman yang disebut “lado kabun” ini pada awal atau pertengahan abad ke-16 mendapat sambutan pasar dunia. Segera Belanda memonopoli perdagangan lada dengan menyingkirkan panglima-panglima Aceh yang sekaligus berfungsi sebagai pialang, khususnya dengan mitra India mereka. Ketika pialang Aceh ternyata diam-diam masih bekerjasama dengan penguasa bandar, Belanda segera memberlakukan bea pelabuhan yang besar. Hasilnya sama saja. Pelabuhan sepi, perdagangan gelap terjadi di mana-mana, yang hanya menguntungkan pialang gelap pula. Rakyat tetap menderita.
Namun ketika permintaan lada mulai lesu, lahan yang sempit itu dipaksa ditanami kapas untuk memenuhi kebutuhan tenun di pedalaman. Komoditi kapas termasuk unik, sebab ia menyuplai kebutuhan orang di hinterlands, berbeda dengan komoditi lain yang biasanya turun dari gunung ke pantai. Lada juga termasuk unik. Meski bukan tanaman endemik, terbukti pertumbuhannya di pesisir paling baik terutama antara Sungai Masang dengan Tiku, atau Indrapura di selatan. Tahun 1710 harga lada kembali naik, sementara stok menipis akibat lada diganti kapas. Tanpa tedeng aling-aling, petani diperintah lagi bertanam lada, bahkan Panglima Raja Padang yang diangkat Belanda dengan satu kompensasi bahwa ia akan melarang penanaman kapas. Celakanya tambang garam pun sempat dilarang karena Belanda menginginkan hanya garam “ekspor” dari Jawa dan sebagian garam Siam yang boleh dipasarkan. Padahal Air Bangis dan Naras di Pariaman termasuk yang bisa memproduksi garam sendiri. Seiring dengan itu, perdagangan candu dibuka leluasa, terutama menyasar para penghulu dan pembesar nagari; salah satu bom waktu yang memicu gerakan Padri.
Dengan demikian, kawasan pantai yang diasumsikan bebas, justru tidak bebas bahkan untuk menentukan komoditi yang hendak mereka tanam atau usahakan sendiri!
Resisten dalam Peran dan Jaringan
Kebengisan alam dan rupa-rupa paksaan kolonial membuat pantai barat, juga Air Bangis, dibangun dan ditegakkan dengan resistensi yang cukup. Pelabuhan, menurut Dobbin, tak hanya sebagai tempat penyaluran atau distribusi barang dagang, tapi juga penyaluran gagasan. Istilah terakhir ini menarik, mengingat kawasan pesisir terbiasa berhubungan dengan orang asing atau dunia luar. Tapi gagasan itu saya kira juga menyangkut cara bertahan. Strategi dan diplomasi. Kekuatan untuk menghadapi situasi, jatuh-bangun dalam pusaran arus kekuasaan, menjadi modal bagi Air Bangis untuk terus tegak. Dan mungkin karena teruji oleh berbagai tempaan itu, maka ia merepresentasikan resistensi pelabuhan pantai barat dengan segala peran dan jaringannya.
Alhasil Air Bangis tercatat dalam sejarah sebagai salah satu pelabuhan penting di pantai barat Sumatera bagian utara, bersama Singkil, Barus, Sibolga dan Natal. Agak ke selatan ada Sasak, Tiku dan Pariaman, dan terus ke selatan ada Pulau Cingkuak, Bandar Sepuluh dan Indrapura. Selain itu juga ada pelabuhan transit yang lebih kecil seperti Susoh, Sorkam, Batumundam, Singkuang, Tabuyung, Sikilang, Mandiangin, Katilagan, Bayang, dan Salido. Terkait dengan posisi bandar, Gusti Asnan (2013) menyebut ada tiga bentuk jaringan perdagangan di pantai barat dan setelah saya periksa ketiganya ternyata dimiliki Air Bangis.
Pertama, jaringan perdagangan pantai dengan daerah pedalaman (hinterlands). Dalam hal ini posisi Air Bangis strategis, karena merupakan muara perdagangan daerah-daerah hinterlands yang luas bukan hanya Pasaman, juga Agam bahkan Potjan (Tapanuli). Terlebih ketika pelabuhan Padang, Pariaman dan Tiku jatuh sepenuhnya dalam kontrol Belanda. Kedua, jaringan perdagangan antar bandar. Posisi Air Bangis yang dikelilingi sejumlah pelabuhan transit membuatnya muncul sebagai pelabuhan utama, setelah pelabuhan transit berfungsi sebagai pengumpul. Ketiga, jaringan perdagangan dengan dunia luar. Dalam hal ini, Air Bangis telah menjalin perdagangan bebas dengan anak benua India, Jazirah Arab dan Eropa. Dobbin (1983: 139), merujuk Laporan Residen Belanda, menyebut bahwa pada tahun 1760 paling sedikit ada 200 perahu (kapal?) Inggris merapat di Air Bangis. Kapal itu menjalani rute Madras, Benggali dan Bombay. Mereka menguasai perdagangan lebih besar daripada Belanda yang masif dengan sistem dagang VOC mereka—birokratis, ruwet, penuh intrik dan korupsi. Sedangkan rute India-Air Bangis digerakkan oleh swasta dan pensiunan karyawan East India Company (Kongsi dagang Inggris) yang lebih luwes dan partikelir.
Karenap serta mitra dagangnya yang kuat, Air Bangis tak tersentuh Belanda, setidaknya sampai akhir abad ke-16. Pergerakan Belanda praktis hanya di selatan (Indrapura, Bandar Sepuluh, Painan atau Padang), itu pun tak signifikan. Pedagang Bandar Sepuluh misalnya, sebagaimana diceritakan Rusli Amran (1981:128), diam-diam tetap berdagang dengan Aceh. Namun ketika diselidik VOC, mereka menyatakan menolak panglima sekaligus pialang Aceh. Inilah yang melahirkan “Sandiwara Batangkapas”; sebuah pertemuan diam-diam penguasa Batangkapas, Rajo Lele dan Kende Marajo, dengan petinggi VOC, Groenewegen. Mereka membahas hubungan kedua belah pihak. Perwakilan Bandar Sepuluh berpura-pura bekerjasama dengan Belanda untuk menolak Aceh. Di sisi lain, jangan lupakan betapa berabe-nya apa yang disebut “Tipu Aceh”!
Akhirnya secara administratif Belanda mengikat pantai barat dengan memasukkannya dalam Afdeeling Sumateras Weskuts. Tapi tak pernah efektif, tulis Asnan (2007). Sama tidak efektifnya Afdelling Tapanoelli ketika Belanda memasukkan Singkel sebagai wilayah administratifnya. Bahkan tahun 1792, Belanda sudah tak berarti banyak dalam perdagangan pantai barat karena didominasi Inggris. Tahun 1792, Belanda menutup posnya di Air Bangis dan Tiku, dan hanya mempertahankan pos militer kecil di Pariaman, Pulau Cingkuak dan Air Haji. Tahun 1795, Padang bahkan jatuh ke tangan Inggris (Dobbin, 1983: 142).
Karena situasi politik di Eropalah maka pada tahun 1824 berdasarkan Traktat London, Inggris harus meninggalkan pantai barat Sumatera. Inggris terutama harus rela meninggalkan Bengkulen (Bengkulu) yang sudah seratus tahun lebih didudukinya, “tukar-guling” dengan Tumasik di timur. Hindia Belanda juga diwajibkan mengambil-alih dua pelabuhan yang masih dikuasai Inggris di utara, yang dilaksanakan Belanda dengan bahagia: Natal dan Air Bangis, termasuk Potjan.
Akan tetapi pengambil-alihan itu tidak menjamin tenangnya Air Bangis. Pelabuhan ini tetap bergolak dalam dinamika tak terduga. Pecahnya Perang Padri membuat pelabuhan di utara jadi tumpuan perdagangan orang-orang Padri yang sudah menguasai wilayah Minangkabau dan sebagian kawasan Batak. Praktis segala kepentingan dagang kaum Padri berpindah ke utara setelah pelabuhan utama mereka di daerah tengah mulai dikuasai Belanda. Bahkan, meskipun Perang Padri bisa dikatakan selesai tahun 1838, tapi jalur perdagangan di utara, masih berada di tangan kaum Padri, meskipun berpindah secara sporadis ke pelabuhan transit seperti Tabuyung dan Singkuang.
Air Bangis sendiri berhasil ditundukkan Belanda dalam perang sengit tanggal 29 Januari 1833. Tuanku Rao, pemimpin Padri yang disebut keponakan Sisingamangaraja X (meski ia justru membunuh sang paman) terluka parah dan berhasil ditangkap Belanda. Dari pelabuhan Air Bangis ia dinaikkan ke atas kapal, seperti biasa hendak dijadikan orang buangan. Namun Tuanku Rao keburu meninggal dan jasadnya konon dibuang ke laut. Sebagian sumber menyebut, ia dikuburkan di Pulau Panjang.
Meski jatuh, sebagaimana jatuhnya seluruh pantai barat, bahkan Kesultanan Aceh yang kuat, peran Air Bangis telah menjadi kunci gerbang yang menghidupkan daerah-daerah lain di Pasaman: Ujung Gading, Silaping, Batahan, Lubuk Sikaping, Simpang Empat, Kinali, hingga pedalaman Bonjol dan Rao. Mereka saling topang dalam perdagangan antara pantai dan pedalaman, atau sebaliknya. Proses itu tak hanya memunculkan daerah penghasil komoditi, tetapi juga daerah yang tumbuh sebagai daerah lintasan (transit). Ujung Gading misalnya, merupakan persinggahan lalu-lintas orang dan barang dari pedalaman Rao ke pelabuhan Air Bangis. Simpang Empat jadi daerah transit jalur emas dari Gunung Ophir dan Talamau ke Sasak dan seterusnya. Itulah sebabnya, bersama nama Air Bangis, kita juga akan ikut melafalkan nama-nama lain yang tumbuh bersama di kawasan Pasaman.
Posisi Air Bangis sebagai “daerah perbatasan” sedikit banyak pastilah memberi warna, baik kultural maupun pertahanan. Pedagang Minangkabau akan memilih perbatasan daerahnya sendiri untuk berdagang daripada daerah yang dikuasai Belanda. Secara kultural, ia juga terbuka pada pembauran bukan hanya adat dan tradisi Minang, pun menyerap unsur-unsur budaya di perbatasan, dalam hal ini, yang terdekat bisa Nias, Angkola, Mandailiang atau Batak. Sebagai entropot pantai, Air Bangis tidak homogen. Ia terbuka untuk lebih kosmopolit.
Begitulah, Air Bangis terus tumbuh dan runtuh juga. Silvia Devi (2013), dengan mengutip M. Nur, menyebut pada tahun 1906 bandar Air Bangis dipisahkan dari Karesidenan Tapanuli. Ini menyebabkan pusat perdagangan berpindah dari Air Bangis ke Sibolga. Kenapa bisa begitu? Saya duga karena posisinya di perbatasan Minangkabau dan Batak, maka komoditi yang dihasilkan orang Batak mereka alirkan ke pelabuhan mereka sendiri, di samping memang hasil bumi bergeser ke kawasan lebih utara di sekitar Danau Toba. Tapi boleh jadi juga dendam dan trauma Batak dengan Padri masih bersisa. Maka, kelanjutan dari itu, masih menurut Silvia, pada tahun 1912 kondisi Air Bangis semakin memburuk karena tidak teraturnya perkembangan kota, planologi yang buruk dan berjangkitnya penyakit malaria. Tahun 1939 keadaan ekonomi semakin mundur ditambah kondisi jalan rusak parah dan tak kunjung diperbaiki meski masyarakat membayar pajak yang tinggi (Silvia Devi, 2013, mengutip M. Nur, 2013).
Turunnya peran pelabuhan bahkan cenderung menjadi wilayah terbelakang, dilihat Asnan masih dalam konteks klasik seperti jatuhnya harga kopi dunia dan berubahnya peta politik ekonomi kawasan serta kebijakan pemerintah Hindia. Namun Silvia melihat dalam konteks kekinian bahwa status pelabuhan antara Tipe A dan Tipe B, ikut mempengaruhi peran pelabuhan. Satu hal, menyangkut fasilitas dan infrastruktur. Pelabuhan Tipe A jelas lebih lengkap dibanding tipe B, dan status pelabuhan Tipe A hanya disandang Padang yang itu pun, dalam kehidupan mutakhir boleh dikatakan minus kapal-kapal.
Lalu apa yang kemudian disebut “pedalaman”, menurut saya bukan hanya daerah yang harfiah berada di pegunungan, lembah atau perbukitan. Pengertiannya pun berubah menjadi daerah “terkurung” atau terisolasi.
Padahal merujuk kondisi pedalaman Minangkabau sebagaimana diceritakan panjang-lebar di atas, pedalaman bukanlah kategori yang berhubungan dengan akses atau isolasi, kecuali hanya letak dan posisi (di pegunungan). Itulah sebabnya pedalaman Minangkabau tumbuh dengan kota-kotanya, beberapa disebut sebagai “kota besar”.
Kini, pengertian pedalaman beralih. Meski tak bisa dikatakan terisolasi, Air Bangis bersama Sasak dan Sikilang, tak berlebihan disebut “daerah buntu”, yang bahkan lebih mengenaskan dibanding sebutan “pedalaman”. Begitu kita memasukinya kita harus kembali putar haluan untuk ke luar. Tak ada jalan lain, semacam jalan lingkar yang akan mempertemukan kita dengan kota tujuan. Sementara ke arah laut, ke “riak yang berdebur”, juga tak mungkin sebab tak ada lagi kapal ke Padang, kecuali sebatas menyeberang ke Pulau Panjang. Jalur laut surut dan tutup usia.
Dalam kemundurannya yang dramatis, gambaran romantik-nostalgik Air Bangis sekilas dapat kita napak-tilasi lewat cerpen Wildan Yatim, “Di Lingkung Gunung” dalam buku Pertengkaran (1976). Kita pinjam kacamata tokoh Abd. Sukur, seorang bendahara kantor pemerintah yang pernah bertugas di sana:
(…..) Dulu ia berkantor di tepi pantai Air Bangis. Saban pagi dan siang ia lewat perkampungan nelayan, dan melihatkan ombak berdebur dan mendesir berbuih di pasir. Sambil mengiangkan bunyi ombak itu ia membayangkan para pencalang yang bergantian menepi, layar mereka yang putih bentuk trapezium miring, lalu layar itu cepat digulung dan didayung sekejap, sebelum seseorang turun untuk menarik perahu ke darat. Anak-anak yang datang merubung perahu, kaki yang disemburi ombak, onggokan ikan, udara yang berbau anyir dan ikan pari berbentuk seperti pesawat pemburu jet. Lalat yang merubung kucing yang menunggu sisa ikan dan angin yang meliukkan semua dahan kelapa ke satu arah, rambut kita juga begitu….(Yatim, 1977: 57-58)
Lompatan Simpang Empat
Perjalanan saya ke Air Bangis menyusuri jalur darat dari Pariaman, melewati Tiku—pelabuhan haru-biru itu—dan sampai terlebih dulu di Simpang Empat. Simpang Empat merupakan kota kabupaten daerah pemekaran baru, Pasaman Barat, berdasarkan UU No. 38/2003. Sesuai namanya, pusat kota ini memang terletak di simpang empat. Ke barat menuju Lubuk Landua terus ke Talu dan Lubuksikaping; ke barat menuju Sasak dan Sikilang, melewati Bandara Pusako Anak Nagari. Ke utara menuju Ujung Gading, Air Bangis, Silapiang, dan daerah-daerah di perbatasan Mandailiang. Ke selatan (arah saya datang) menuju Pariaman, Padang dan Lubukbasung (terus ke Bukittinggi). Simpang ini mengingatkan saya pada kota bernama sama yang menjadi ibukota Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan, meski lebih dikenal nama lamanya, Batulicin.
Untuk ukuran kota kecil, Simpang Empat termasuk hidup, ramai dan penuh aktivitas. Malam hari, lampu-lampu menyala dan tugu perempatan memperlihatkan sepasang penari Minang menyambut siapa pun yang datang. Patung penari itu menghadap utara, bukan ke selatan yang notabene arah ke Padang, ibukota Propinsi. Itu artinya—andaian saya—Simpang Empat lebih siap menyambut mereka yang datang dari luar, dari arah perbatasan (Sumut-Sumbar), sebagai simbol investor. Menurut anggota DPD Sumbar, Emma Yohana, ada sedikitnya 18 perusahaan perkebunan sawit di Pasaman Barat (Klikpositif, 27 Desember 2019).
Sejumlah hotel atau penginapan terdapat di jalan lintas atau ke kawasan pinggir kota. Penginapan dan wisma itu penuh oleh mobil-mobil box (kanvas) yang membawa berbagai barang untuk didistribusikan. Entah kenapa saya membayangkan wisma dan penginapan itu seperti gudang di pelabuhan. Saya cukup lama berputar mencari penginapan yang cocok, baik karena harga maupun fasilitas. Ada satu tempat yang cukup bagus, “Wisma Amanah”; berpendingin udara dan bersih, tapi anehnya pintu akan ditutup pada pukul 23.00 sebab kamar itu terletak di dalam rumah induk. Saya keberatan, meski akhirnya terpaksa menerima. Tak ada pilihan. Kamar di luar rumah induk tanpa ac, dan agak sempit. Sementara penginapan lain yang sempat membuat saya berputar mencarinya, pada akhir pekan, penuh dengan pelanggan tetap—sopir dan karyawan mobil kanvas—ujung tombak pemasaran produk!
Tak banyak yang saya tahu tentang Simpang Empat, bahkan jujur namanya seperti muncul tiba-tiba menyeruak geografi kawasan Pasaman yang selama ini lebih identik dengan nama-nama lokal klasik familiar. Sebutlah Rao, tanah kelahiran Asrul Sani dan kubu Tuanku Rao. Lalu ada Talu yang cukup dikenal dalam lagu Minang lama, “Urang Talu”, Panti dengan hutan lindungnya, Bonjol dengan Tuanku Imam Bonjol, dan seterusnya. Simpang Empat saya rasa muncul bersamaan dengan booming kelapa sawit tahun 80-an. Meski harganya tak selalu stabil di pasar dunia, tapi “ketabahan” dan konsistensi Pasaman dengan komoditi yang satu ini lambat-laun tetap membuahkan hasil. Pemekaran Kabupaten Pasaman Barat, pastilah mempertimbangkan potensi perkebunan sawit ini sebagai sentra perekonomian daerah.
Ya, sawit dan Pasaman bagai sekeping mata uang di tengah pusaran komoditi nasional dan regional. Meski pada era sekarang daratan memiliki kebebasan menanam komoditi apa saja, tapi yang dipilih tetap tanaman pengincar pasar dunia. Dan itu adalah kelapa sawit yang ditanam secara massal, merentang dari Malaya, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi hingga Papua. Untuk mewujudkannya dalam skala besar, lahan tanam mengorbankan hutan dan lahan-lahan peruntukan lainnya. Tangan kedua atau ketiga bernama investor mesti dilibatkan. Kelapa sawit tumbuh sebagai tanaman dominan abad mutakhir, menggeser cengkeh, kulit manis, gambir, apalagi kelapa (kopra). Bandingannya hanyalah tambang, emas atau batubara. Akibatnya daratan Tanah Air dipenuhi tanaman yang homogen dan juga dominasi dua bidang usaha: perkebunan dan pertambangan. Efek lebih lanjut, dalam kasus kelapa sawit, penentuan harga CPO dunia sangat tergantung pada aturan main Eropa. Dalam arti ada yang tetap menyetir. Berbeda dengan era karet, ketika petani ramai-ramai menanam komoditas pilihan mereka dalam ladang atau kebun milik sendiri di tanah ulayat. Dengan itu mereka banyak yang naik haji ke Makkah tanpa ribet dengan tata cara penanaman modal.
Tapi begitulah, saya mengenal Pasaman ketika dulu orang-orang menyebut kelapa sawit, dan sebaliknya. Saya tahu nama tanaman itu ketika orang mengucapkan nama Pasaman. Itu terjadi jauh sebelum kelapa sawit merajalela di mana-mana, termasuk di kampung saya di selatan, dari Pancung Soal hingga Bengkulu. Dalam era kelapa sawit inilah, pusat pertumbuhan Pasaman bergeser ke Simpang Empat. Boleh dikatakan semaraknya Simpang Empat dan meredupnya Air Bangis, mencerminkan pergeseran orientasi dari laut ke darat. Dari hasil kebun dan hutan rakyat, ke tanaman industri milik korporasi. Sistem kerja ala korporasi kita tahu mematok keuntungan sebesar-besarnya untuk perusahaan, kadang dengan mengabaikan tanggung jawab moral pada lingkungan sekitar. Sebuah berita misalnya menyebut, “21 Perusahaan Sawit dan Perbankan di Pasbar Tak Realisasikan CSR” (Info Sawit, 20 Februari 2019).
Apapun, sebagai kota yang terus tumbuh, posisi Simpang Empat sangat strategis. Bukan saja keterhubungannya dengan kota-kota utama yang dapat dicapai dengan mudah dari titik persimpangannya itu—Lubuk Basung, Pariaman, Padang, atau Lubuk Sikaping—juga hubungannya dengan wilayah perkebunan di semua kawasan. Ini berkat pembukaan jalan baru sekitar tahun 90-an yang menurut informasi seorang kawan dikerjakan oleh kontraktor Filipina. “Jadi jangan heran kalau ada beberapa anak mirip orang Filipina, sebab dulu ada kawin kontrak segala,” kata kawan tersebut. Ia juga menceritakan pengalamannya naik bis Patra jurusan Padang-Simpang Empat, termasuk naik kapal laut Air Bangis-Padang karena jalan lintas barat belum dibangun. Naik kapal laut seperti itu pernah pula dilakukan penyair Hartojo Andangdjaja atau para toke karet dengan getahnya.
Perkembangan Simpang Empat yang pesat, dengan infrastruktur jalan yang mulus dan lebar, mengingatkan saya pada Pangkalan Bun di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Saya menyebutnya kota di tengah kebun. Kotawaringin termasuk kota kecil yang punya bandara sendiri, Bandara Iskandar dan Pelabuhan Laut di tepian Sungai Kumai. Simpang Empat juga demikian, tumbuh di tengah kebun, punya Bandara Pusako Anak Nagari dan pelabuhan laut Sasak atau Air Bangis.
Setiap masa punya komoditinya sendiri, dan setiap komoditas memunculkan kotanya sendiri pula. Pasaman punya keterlibatan yang intens dengan hal ini.
Pada zaman kolonial, Pasaman dengan sejumlah titik wilayahnya adalah penghasil lada yang sangat diincar pasar, lalu gaharu, kamfer, rotan dan damar, tak ketinggalan emas yang disimbolkan dengan Gunung Ophir. Ophir disebut salah satu sumber emas Nabi Sulaiman dan tercantum dalam peta Yunani kuno. Pada tahun 60-an, karet menjadi primadona sumber daya alam. Pasaman pun tercatat paling banyak menghasilkan komoditi ini, meski disaat bersamaan situasi sosial-politik kurang menguntungkan. Jalan pada rusak sehingga truk-truk pengangkut getah karet sering tertahan di “jalur-jalur yang membenam”. Hal ini banyak diceritakan Wildan Yatim dalam karya sastranya.
Salah satu karya Wildan yang menarik perhatian adalah cerpen “Jalur Membenam” (1977), bercerita tentang jauhnya jarak antar kota karena jalan remuk-redam. Ini dapat disimak dari percakapan pemilik warung nasi dengan tokoh “aku” (Idris). Idris adalah orang Talu yang merantau ke Bandung, dan pada saat itu pulang kampung. Dari Bandung, ia naik bis lewat Bukittinggi dan Bonjol. Ia akan melanjutkan perjalanan ke kampung halamannya di Talu. Tapi jalur ke Talu (berada di luar Jalan Lintas Tengah Sumatera) tidak punya angkutan umum karena jalannya rusak parah. Maka “aku” harus menunggu tumpangan truk atau pra-oto pembawa getah ke Sasak. Celakanya, truk yang ditunggu itu pun belum pasti kapan datangnya—ibarat menunggu godod:
“Anak mau makan sekarang?”
“Ya! Siapa tahu sebentar lagi ada mobil.”
“Kukira belum. Biasanya mobil si Murad yang ke sana hari ini. Tapi ia sedang ke Bonjol. Kemarin dia pergi, kalau tak ada halangan nanti siang baru kembali.”
“Apakah tak mungkin mobil lain yang datang, umpamanya dari arah Rao?”
“Ya! Sebuah lagi kesempatan anak untuk dapat mobil hari ini. Ialah mobil si Bidin, yang sewaktu lewat sini untuk mengangkut getah ke Sasak. Anak tahu, sejak jalan-jalan raya di daerah ini hancur, banyak saudagar yang mengangkut getahnya ke Padang lewat laut.” (Wildan Yatim, 1977: 13)
Atau bisa disimak pengakuan tokoh Hasnah, mantan kekasih “aku” waktu masih di kampung. Mereka secara tak sengaja bertemu di kampung simpang jalan ke Talu itu. Dalam pertemuan itu, Hasnah mengaku juga tak leluasa pulang ke Talu.
Jalan-jalan kita kini sudah hancur, Ris. Nanti akan kau lihat lagi yang jauh lebih seram dari itu. Jalan yang tak bisa disebut jalan lagi. Aku sendiri sudah setahun tak pulang ke Talu. Sejak kami menetap lagi di sini aku belum pernah balik ke sana. Karena apa? Karena aku ngeri melihat jalan. (…) (Yatim, 1977: 16).
Saat itu, Sasak disebut sebagai pelabuhan yang digunakan mengangkut karet ke Padang. Jalan darat yang hancur sudah tak memungkinkan jadi jalur pembawa hasil bumi. Hubungan laut ini sebenarnya bisa dikelola dengan baik, bahkan layak dipertahankan sampai sekarang. Kalau dulu karena ketiadaan jalan, maka kini demi keselamatan jalan-jalan yang baru dibangun supaya tidak keburu hancur oleh truk-truk pengangkut sawit atau CPO. Sampai di sini saya teringat Hartojo Andangdjaja. Jika tak salah ingat, ia pernah menceritakan proses kreatifnya melahirkan sajak “Rakyat” dalam buku Dari Sunyi ke Bunyi (1992). Ia bercerita pernah naik kapal ke Padang, dan di tengah pelayaran kapal yang ia tumpangi dihala badai, sehingga harus menepi di sebuah pulau. Saat itulah ia mengantongi sejumlah bibit kata yang kelak ia olah menjadi sajak “Rakyat” yang fenomenal tersebut.
Hartojo memang pernah tinggal di Pasaman, 1957-1962. Ia mengajar di sebuah sekolah menengah pertama dan SMA Negeri Simpang Empat. Karena itulah sajak “Rakyat” dipersembahkannya sebagai “hadiah di hari krida buat siswa-siswa SMA Negeri Simpang Empat, Pasaman”. Sajak ini, sebagaimana sajak Hartojo yang lain, sangat kental dengan nuansa pedalaman, khas renungan yang terbit dari desa, tidak bisa lain merupakan pengaruh tempat ia bermukim: Simpang Empat tahun 60-an. Masa ketika simpangnya masih membentang lengang, sawit belum mengubahnya jadi pusat pertumbuhan.
Namun jangan bayangkan suasana kampung adem-tenteram yang membuatnya bisa melahirkan sajak demikian, melainkan pedalaman yang penuh pergolakan. Betapa tidak. Pasaman, atau Simpang Empat khususnya, adalah kota persimpangan yang menanggung beban dari persimpangannya; semua zaman lintas dan berganti. Bukan saja pada zaman Belanda ketika kolonialisme menghisapnya, juga pada masa berkecamuknya perang Padri, lalu zaman Jepang, juga masa PRRI, wilayah ini terus-menerus jadi arena pergolakan. Sampai akhirnya, pada pertengahan atau akhir masa Orde Baru, Pasaman tumbuh menjadi sentra perkebunan sawit. Saya kira bukan hal mudah. Rakyat penuh pengorbanan karena perkebunan skala besar menyentuh juga lahan ulayat dengan segepok persoalan agraria.
Di Pasaman Barat pula ada sebuah kampung yang menampung eks warga negara Surniame keturunan Jawa. Hal ini dapat dibaca sebagai kisah perjalanan hidup anak manusia. Mereka dipulangkan dalam program repatrian (1953) dan ditempatkan di Jorong Tongar Nagari Aia Gadang, Kecamatan Pasaman. Namun baru beberapa gelombang kedatangan, proyek kemanusiaan itu terhenti sebab pecahnya perang saudara. Alhasil, sejumlah orang yang datang terpisah dengan anggota keluarga lain yang direncanakan berangkat dalam rombongan belakangan. Kisah sedih ini bisa dibaca dalam cerpen Khairul Jasmi, “Bila Julies Sedang Rindu” (1999). Juga skripsi Hary B. Koriun, mahasiswa sejarah Universitas Andalas yang sayangnya tidak diterbitkan. Hartojo Andangdjaja juga mengabadikannya dalam dua puisi, “Orang-Orang dari Surinam” dan “Surinam di Pedalaman Pasaman” (Buku Puisi, 1973).
Otonomi tiba. Proyek pemekaran kabupaten/kota muncul di mana-mana, tak terkecuali di Pasaman. Kabupaten baru terbentuk, Pasaman Barat, dengan kota Simpang Empat, dengan simpang-simpangnya datang mengetuk, mula-mula lambat lalu mulai menggedor-gedor keramaian. Kemunculannya sebagai pusat pemerintahan (dan seperti biasa diikuti perdagangan dan jasa, baca: pusat ekonomi) menunjukkan bahwa daerah pelintasan (transit) di masa lalu juga bisa tegak jaya—pasca kejayaan kota yang lebih ke pedalaman, seperti Rao dengan emasnya atau Talu dengan karetnya, juga kota pesisir seperti Sasak dan Air Bangis dengan pelabuhannya. Kini saatnya kota transit tumbuh sebagai lokomotif, dengan mengandalkan simpang-simpangnya yang prosfektif!
Sekaligus dengan itu, kita tahu, sekali lagi, telah terjadi pergeseran orientasi, dari laut ke darat, sesuatu yang tidak mengejutkan sebab sejak kolonialisme hengkang, pantai barat memang tak lagi menjanjikan. Bahkan sebelum itu, masyarakat pedalaman Pasaman perlahan telah mengalihkan perdagangannya ke pantai timur melalui aliran Sungai Rokan, dalam apa yang disebut Gusti Asnan (2013) sebagai “gerakan ke timur”. Yakni, pergerakan alamiah masyarakat atau kebijakan sistem politik pantai barat yang melihat pantai timur sebagai jalur baru yang bisa diandalkan, baik dalam perdagangan, pertahanan maupun hubungan dengan dunia luar.
Hal itu sebenarnya berlangsung sudah sangat lama, seolah tak kasat mata. Bukan saja ditandai pindahnya jalur dagang Minangkabau via sungai ke timur, tetapi bahkan serangan-serangan Belanda ke pedalaman serta perjalanan Raffles yang secara harfiah memang mengarah dari pantai ke pegunungan Bukit Barisan, semua dimaknai Asnan sebagai bagian “gerakan ke timur” itu. Maka dapat dimaklumi, sisa laskar Imam Bonjol membangun kubu terakhirnya di timur Pasaman, Dalu-Dalu. Kubu yang dipimpin Tuanku Tambusai itu pun lantas ditinggalkan. Tuanku Tambusai bersama sejumlah pengikutnya menyeberangi Selat Malaka dan menetap sampai akhir hayat di semenanjung Malaya.
Praktis pantai Barat tak lagi dijenguk. Jalan ke Sasak masih sempit, tapi tidak sesak karena jalanan itu sendiri memang sepi. Sejumlah kampung dalam Kecamatan Sasak Ranah Pasisie masih terisolasi, sehingga melahirkan kisah pilu. Misalnya kisah seorang bayi yang lahir di tengah jalan berpasir, dari seorang ibu, Rani (26), warga Nagari Persiapan Maligi, karena jalan yang rusak parah (lihat Klikpositif, 27 Desember 2019).
Sementara Sikilang-Air Bangis tetap buntu. Tak ada jalan darat yang menyatukannya. Jika kita berada di Sasak dan hendak ke Air Bangis dan sebaliknya, harus jalan memutar ke Simpang Empat dan Ujung Gading sejauh lebih kurang 70-an km, sebagian menyusuri jalan sempit di tengah kebun sawit. Padahal di pantai, kedua daerah itu sudah berhadap muka. Begitu pula hubungan ke Katilagan. Harus menyebarang pakai ponton atau memutar ke arah Tiku. Batas-batas Minangkabau, “dari Sikilang-Air Bangis” hanya dihubungkan jalan imajinatif, dan jika pun di masa lalu itu terhubung, mungkin jalur lautlah penghubungnya, jalan yang sekarang justru ditinggalkan. Ironis.
Merenung di Air Bangis
Di Air Bangis, masih saya temukan sisa-sisa kejayaan dengan pelabuhan muaranya yang lebar. Sekitar 12 mil dari pintu muara terdapat Pulau Panjang, satu-satunya pulau berpenghuni di perairan Pasaman. Lebih jauh ke tengah, ada gugusan Kepulauan Batu, Nias Selatan, dengan pulau-pulaunya yang kaya, antara lain: Pulau Pini, Tanabala, Tanamasa dan Pulau Telo. Boleh dikatakan ini “kepulauan seribu”-nya pantai barat. Pada masa lalu pulau-pulau itu menjalin perdagangan dengan Air Bangis. Tapi sejak tahun 1730 dilaporkan perdagangan kopra dan minyak kelapa dengan pulau-pulau di seberang Air Bangis telah dialihkan ke Padang yang membuat Tiku juga ikut mati suri (Dobbin, 131).
Di muara Air Bangis, saya bersua kapal-kapal ikan yang menua. Sisanya kapal-kapal kayu yang membawa orang-orang menyeberang dan berwisata ke Pulau Panjang. Pengunjung lain bermain di pantai Air Bangis yang hamparannya tidak terlalu lebar, tapi memanjang sejauh mata memandang. Taman Lanang Bisai yang baru dibangun tampak lengang dan gersang. Dermaga wisata terulur jauh ke air, dengan sepasang landmark di pantai bertulisan Air Bangis berwarna oranye dan Lanang Bisai berwarna merah.
Kabarnya, setiap hari libur dan hari raya, para pengunjung membludak, dan sempat ada protes tentang mahalnya harga tiket. Sebuah gejala betapa orang-orang pedalaman merindukan pantai, kerinduan yang tak akan pernah selesai karena sejatinya mereka memang orang-orang pesisir barat Sumatera yang akrab dengan “ombak yang berdebur”. Dan di tengah upaya pariwisata lokal itu, kampung nelayan tampak tetap menyedihkan. Rumah-rumah kayu sederhana, dengan sampah kiriman laut memenuhi pantai. Di pasar, los-los tua berderet dengan kedai nasi dan rumah makan yang kurang gairah.
Di sisi lain, pelabuhan Teluk Tapang dibangun cukup megah agak ke utara. Pelabuhan ini untuk mengangkut CPO sawit, biji besi dan juga semen jika pabriknya jadi dibangun. Upaya ini boleh jadi untuk mengembalikan jalur laut sebagai lalu-lintas yang penting. Tapi sampai saat ini pelabuhan Teluk Tapang belum berfungsi karena tak kunjung selesai. Termasuk jalan utama yang menghubungkan Air Bangis dengan “hinterlands modern”-nya: kebun sawit di sepanjang Simpang Empat, Batahan, Silaping, Talu atau Kinali. Namun jika suatu saat pelabuhan resmi beroperasi, apakah ada garansi bagi masyarakat lokal Air Bangis untuk meningkatkan taraf hidupnya? Apakah mereka hanya akan jadi penonton truk-truk lewat, peti kemas dan kapal-kapal melenguh membawa CPO, biji besi, dan semen pergi?
Duduk merenung di muara Air Bangis, saya teringat puisi “Rakyat” (1973) Hartojo Andangdjaja. Puisi penuh pergulatan, tapi tetap rendah hati menjaga keharmonisan. Goenawan Mohammad pernah mengatakan bahwa puisi “Rakyat” bersifat penegasan, bukan pengakuan. Ia menegaskan secara pasti, “Rakyat ialah kita”, bukan pengakuan apalagi minta diakui,”Kita ialah rakyat.” Potongan-potongan puisi itu, sejauh yang saya hapal, saya gumamkan dengan lirih tapi optimis, berulang-ulang, di tepian Air Bangis menjelang petang. Kini perkenankan saya tampilkan secara utuh untuk menutup tulisan ini:
Rakyat ialah kita
jutaan tangan yang mengayun dalam kerja
di bumi di tanah tercinta
jutaan tangan mengayun bersama
membuka hutan-hutan lalang jadi ladang-ladang berbunga
mengepulkan asap dari cerobong pabrik-pabrik di kota
menaikkan layar menebar jala
meraba kelam di tambang logam dan batubara
Rakyat ialah tangan yang bekerjaRakyat ialah kita
otak yang menapak sepanjang jemaring angka-angka
yang selalu berkata dua adalah dua
yang bergerak di simpang-siur garis niaga
Rakyat ialah otak yang menulis angka-angkaRakyat ialah kita
beragam suara di langit tanah tercinta
suara bangsi di rumah berjenjang bertangga
suara kecapi di pegunungan jelita
suara bonang mengambang di pendapa
suara kecak di muka pura
suara tifa di hutan kebun pala
Rakyat ialah suara beranekaRakyat ialah kita
puisi kaya makna di wajah semesta
di darat
hari yang berkeringat
gunung batu berwarna coklat
di laut
angin yang menyapu kabut
awan menyimpan topan
Rakyat ialah puisi di wajah semestaRakyat ialah kita
darah di tubuh bangsa
debar sepanjang masa
Dari Jalan Bypass yang belum bernama di Kota Padang, saya salah jalan. Seharusnya saya pilih jalan menurun di jembatan layang Simpang Kasang. Sebab arah Pariaman yang akan saya tuju, November lalu, melewati bagian bawah jembatan itu. Namun saya terus menyusuri bagian atas sehingga saya nyasar ke Bandara Internasional Minangkabau (BIM). Dalam tersesat, saya masih ingat buku Wisran Hadi, Anak Dipangku, Kemenakan di BIM (2013) yang merupakan plesetan dari pepatah idealis Minang, “Anak dipangku, kemenakan dibimbing”. Jalan ke bandara memang lumayan sesak, dan saya duga bukan hanya dipenuhi anak-kemenakan yang datang dan pergi, tapi mungkin juga pihak mamak yang tak ketinggalan wara-wiri.
Beruntung, ujung jalan itu bukan menuju satu-satunya ke bandara, namun ada simpang ke kanan, ke arah Pariaman. Lega, saya ikuti simpangnya yang penuh papan iklan, meninggalkan bandara yang dulu diusulkan bernama Bandara Tan Malaka itu—dan kita tahu, ditolak.
Jadilah saya ke Pariaman, tepatnya Kota Pariaman, melewati “pintu belakang”, jika jalan Padang-Bukittinggi diibaratkan “pintu depan”. Bila lewat depan, saya tentu akan menempuh pertigaan Lubuk Alung, kota kelahiran cendikiawan Azyumardi Azra. Atau bisa juga lewat pertigaan Sicincin yang kemacetannya mulai meniru Jakarta, sementara jalan tol sebagai solusinya masih dalam proses panjang (entah kenapa tidak semulus dan secepat proses di Jawa).
Tapi tak jauh dari situ ada sebuah tempat bersejarah, Indonesisch Nederlansche School (INS) Kayu Tanam, sebuah lembaga pendidikan yang menyebut dirinya sebagai “Ruang Pendidik”, sama inspiratifnya dengan sebutan “Taman Siswa”.
INS didirikan tahun 1926 oleh Muhammad Syafei, jauh sebelum ia diangkat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI dalam Kabinet Syahrir II. Sekolah alternatif ini juga pernah diasuh sastrawan A.A. Navis pada akhir tahun 90-an.
Ah, karena lewat jalur belakang, rindu saya melihat gedung-gedung bersejarah INS ditunda dulu. Jalur ini tak selapang jalan utama, tapi tak kalah mulus dan relatif sepi, melewati kampung-kampung pantai dan deretan pohon kelapa yang alhamdulillah belum berganti kelapa sawit. Adem. Tanpa terasa, tak lebih setengah jam, saya sudah masuk kawasan Kecamatan Ulakan-Tapakis di perbatasan Kota Pariaman.
Ingat Ulakan (tapi jarang ingat Tapakis), saya segera ingat Makam Syekh Burhanuddin dan Tarekat Syattariyah. Ya, makam dan sosok yang terkubur di situ tidak akan dilupakan orang ketika merujuk pusat pengembangan agama Islam di Minangkabau. Ingatan itu masih langgeng hingga sekarang, terbukti banyak peziarah yang datang. Saya dan keluarga pun ingin menjadi “barang bukti”, lengkap dengan jasad dan niat hati.
Ulakan, nagari di selatan Kota Pariaman (secara administratif masuk Kabupaten Padang Pariaman), dikenal sejak lama ketika Syekh Burhanuddin memulai dakwah dan kajian tasawufnya di Surau Tanjung Gadang. Setelah Sang Syekh wafat, makamnya di Padang Sigulandi, jadi magnet para peziarah. Di makam itulah kini saya berada.
Kompleks makam sedang dipugar sehingga kian luas dan besar seolah berpacu dengan sebuah kotak besi yang ditaruh di pintu makam. Lengkap dengan dua tulisan yang juga besar: “Kotak Imfak”. Ukuran dan warna kuning mencolok serta penempatannya yang persis di bagian kaki makam Sang Syekh, di pintu yang sempit, terasa sesak dan, terus-terang, “kurang indah”. Saya kira perlu penempatan yang pas.

Bagian depan areal makam Syekh Burhanuddin

Suasana sekitar kompleks makam Syekh Burhanuddin

Lantai papan dalam areal makam Syekh Burhanuddin

Makam Syekh Burhanuddin
Teringat Nenek
Apapun, kompleks makam Syekh Burhanuddin sekarang terasa sangat luas. Meliputi Masjid Agung, gedung-gedung madrasah, kantor, dan pelataran parkir. Sebuah pasar cendera mata berdiri di luar pagar, dengan deretan kios pedagang sebagaimana lazimnya kawasan makam wali atau tempat Ziarah lainnya di Pulau Jawa. Istri saya bahkan mendapatkan kain perca khas Minang (bersulam dan berhias pecahan kaca) yang sejak lama diinginkannya, di pedagang kaki lima Ulakan, bukan di Bukittinggi atau Payakumbuh sebagai pusat kerajinan.
Masjid yang lebih kecil juga masih berdiri di dekat pasar, tampaknya masjid lama dengan banyak kubah. Sebatang pohon beringin rimbun dibiarkan berdiri di antara pagar dan pusat makam, memunculkan kesan “mistis” dan suasana Minangkabau tempoe doeloe. Areal makam Burhanuddin berarsitektur rumah gadang gaya Koto Piliang memperkuat nuansa itu. Dindingnya bersepuh cat merah-kuning-hitam seperti warna marawah (bendera, umbul-umbul) Pagaruyung, mencuatkan kesan “ortodoks” ala Syattariyah.
Ada pun pusat makam dibuat menyerupai surau tua, beratap warna hitam, sekilas mirip atap ijuk. Area itu berlantai papan yang, uniknya, di celahnya yang terbuka terdapat deretan nisan. Saya tak tahu siapa saja dimakamkan di dalam sini, tapi salah satunya terbaca nama dan alamat: Karia Datuk Bandaharo Ambung Kapur, Sungai Sarik.
Di lantai papan itu orang sembahyang dan berzikir pada musim basapa, sebuah ritual khas di makam tersebut. Hal ini telah memancing perdebatan dari pihak yang tak setuju. Mereka menganggap itu bertentangan dengan hadis Nabi yang tak membolehkan orang berada di atas kuburan, apalagi untuk bersembahyang. Hal lain yang dikritik adalah praktek meminum air dalam wadah cangkang karang yang berserak di lokasi makam dan dipercaya ampuh mengobati penyakit. Peziarah juga biasa membawa tanah atau pasir dari makam untuk disebarkan di sawah pengusir hama pianggang (wereng).
Namun boleh dikata perdebatan semacam ini lumrah dalam tradisi ziarah makam, sebagaimana sering dialamatkan kepada kalangan NU di Jawa. Fenomena ziarah kubur yang tidak terkait langsung dengan Al-Quran dan pelaksanaannya kadang demikian khas, menurut Henri Chambert-Loir dan Claude Guillot dalam Ziarah dan Wali di Dunia Islam (2007), membuat para penantangnya tak kekurangan alasan mencapnya sebagai praktek yang menyimpang. Padahal, lanjut Loir dan Guillot, jika amal sembahyang di masjid mencerminkan kesatuan dan keseragaman dunia Islam, maka amal ziarah ke makam wali mencerminkan budaya-budaya yang tercakup dalam dunia Islam (2007: 15).
Di samping bersetuju dengan Loir dan Guillot, saya juga melihat bahkan merasakan sendiri ketakziman saat berada di makam orang suci. Karena itulah saya menempatkan perdebatan di seputar ritual ziarah makam Ulakan sebagai “pergolakan kecil” yang tak perlu diperbesar. Semua tergantung iman dan niat masing-masing.
Saya lebih tertarik berbagi suasana makam melalui foto yang saya kirim via WA kepada seorang kawan yang suka ziarah. Ia tinggal di Buleleng, Bali, merintis sebuah pondok yang melibatkan anak-anak muda kampung. Kawan tersebut lalu meng-upload di akun facebook miliknya, dan Jumadil Alfi, perupa asal Lintau Buo yang bermastautin di Bantul, Yogyakarta, mengomentari,”Jauh berubah sekarang, ya.”
Ya, kompleks makam Syekh Burhanuddin jauh berubah, meski di kampung saya gema perubahannya justru melemah. Dulu, pada masa kanak dan remaja saya ingat betul bagaimana bersemangatnya Nenek saya (Al-Fathihah untuk beliau) bila menyebut nama Ulakan. Padahal kampung kami terletak lebih 200 km di selatan. Bukan hanya semangat menyebut, Nenek saya juga semangat untuk datang ke Ulakan menjalani ritual basapa.
Merujuk Oman Fathurahman (2008), basapa merupakan ziarah serentak dengan segala ritualnya, diadakan rutin setiap hari Rabu setelah tanggal 10 bulan Safar. Tujuannya memperingati wafatnya Syekh Burhanuddin, 10 Safar 1111 H/1691 M. Lebih dari itu, tradisi ini melebur batas kawula dan segala aliran. Maklum, yang hadir bukan hanya penganut Syattariyah melainkan masyarakat luas yang dikoordinir langsung oleh Pemkab Padang Pariaman. Di kalangan pengikut Tarekat Syattariyah sendiri, “pesauman agung” itu dijadikan momen membicarakan berbagai persoalan keagamaan. Itulah yang melandasi ikhtiar dua orang murid Syekh Burhanuddin, Syekh Kapalo Koto Pauh Kambar dan Syekh Tuanku Katapiang Tujuh Koto menetapkan “pakem” waktu ziarah: Rabu pasca 10 Safar.
Dalam basapa, peziarah akan berzikir sepanjang waktu, kadang diikuti tarian dan nyanyian (apakah yang dimaksud ratib tegak dan salawat dulang?), sehingga Hamka pernah menuding ritual di pusara mendiang sebagai praktek-praktek keagamaan aneh (Azra, 1994: 289). Mungkin itu tidaklah kelewat aneh, tak jauh beda dengan haul di makam-makam kyai Jawa atau sholawatan di makam-makam tuan guru Banjar.
Yang jelas, “pakem” dan tradisi ritual itu telah menggerakkan Nenek saya datang ke Ulakan bersama rombongannya mencarter kendaraan, dan sebagian berangkat dalam kelompok-kelompok kecil menumpang angkutan umum. Karena waktunya sudah ditentukan, maka sejak awal Nenek mengumpulkan uang beserta keperluan lainnya, saya bayangkan persis orang mau umroh atau naik haji.
Nenekku jelas pelakon Tarekat Syattariyah yang taat, dan orang-orang yang sesurau dengan beliau (Surau Ambacang Pasar Taratak) sering bilang bahwa Ulakan adalah Makkah kedua. Ibaratnya (ibaratnya lho ya!) jika tak bisa menunaikan rukun Islam yang kelima ke Makkah, minimal ke Ulakan tujuh kali cukuplah. Tapi saya sendiri tak pernah mendengar ungkapan itu langsung dari Nenek. Sebagaimana kini saya tak pernah lagi mendengar nama Ulakan diucapkan orang kampungku setakjub waktu dulu.
Adakah mereka tahu bahwa makam itu sudah jauh berubah atau pertanda lenyapnya para pewaris tasawuf “ortodoks” di kampungku?

Masjid lama Ulakan
Sekilas Syekh Burhanuddin
Syekh Burhanuddin atau Burhan Al-Din (1056-1104) yang kemudian dikenal sebagai Syekh atau Tuanku Ulakan merupakan ulama penyebar Islam di Minangkabau pada awal abad ke-17, utamanya melalui praktek Tarekat Syattariyah. Beliau berguru kepada seorang mujaddid terpenting di Nusantara sebagaimana disebut Azyumardi Azra dalam buku babon-nya, Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVIII (1994). Sang guru mujaddid itu adalah ‘Abd Al Ra’uf Al Sinkili (1024-1105 H), yang namanya merujuk kota kelahirannya sekaligus tempat ia berkubur: Singkil. Masih menurut Azra, Al Sinkili memiliki koneksi jaringan inti ke Haramayn melebihi Al-Raniri.
Singkil berada di pinggiran Kesultanan Aceh, tapi merupakan pusat Islam penting dan titik penghubung antara orang Melayu dengan muslim Asia Barat dan Asia Selatan. Letak Singkil, jika ditarik garis pantai dari Pariaman atau Ulakan, sejajar dengan sejumlah tempat penting lainnya di pantai barat Sumatera: Tiku, Air Bangis, Natal dan Barus di bagian utara; Bayang, Bandar Sepuluh dan Indrapura di bagian selatan.
Setelah berguru hampir 10 tahun kepada Al-Sinkili, Burhanudin kembali ke Pariaman dengan mendirikan sejenis ribat atau dayah, surau atau pesantren di Ulakan. Surau Ulakan segera menjadi pusat Islamisasi kuat di tengah masyarakat Minangkabau, melalui murid-murid sang syekh yang menyebar dari pesisir hingga darek dan rantau—seolah membenarkan pola sebuah bidal Minangkabau bahwa “syara’ mandaki, adat manurun”.
Artinya, orang Minangkabau meyakini bahwa agama berasal dari pesisir (dataran rendah) dibawa ke pedalaman (dataran tinggi, darek); sedangkan adat diturunkan dari darek ke pesisir dan rantau. Pertemuan keduanya itulah yang menguatkan konsepsi alam Minangkabau,”Adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah”.
Meskipun Burhanudin bukan penyebar Islam pertama di Minangkabau sebagaimana dinyatakan sejumlah pihak, tapi jelas ia berperan memperkuat Islamisasi di pantai barat. Ia dikenal penyebar Tarekat Syattariyah yang berhasil sebagaimana diinisiasi sang guru, Al-Sinkili. Meski begitu, Syattariyah yang berkembang di kawasan Melayu-Nusantara, menurut Azra bukanlah jenis yang awal seperti di India, atau yang berkembang di Arab, Turki, dan Iran. Al-Sinkili telah memperbaruinya sedemikian rupa. Kawan seperguruan Burhanuddin yang dianggap berhasil menyebarluaskan Tarekat Syatariah yang diperbaruhi itu di wilayahnya masing-masing, adalah ‘Abd Al Muhyi asal Pamijahan, Tasikmalaya dan Abd Al Malik atau Tok Pulau Manis di Trengganu. (Azra, 1995: 209).
Syattariyah (dan) Pembaharuan
Tarekat Syattariyah bersama Tarekat Qadariah dan Naqsabandiyah menyumbang pembaharuan kehidupan keagamaan di Minangkabau, meskipun menghadapi sejumlah pergolakan. Tapi pergolakan di kalangan Syattariyah lebih soft. Kesadaran untuk memperkuat praktek tasawuf dengan syariat—sebagaimana dasar yang dikembangkan Al Sinkili—misalnya, muncul di tengah mengendornya unsur syariat di Ulakan tapi tanpa mengencangkan urat saraf. Juga tak harus dengan embel-embel neo-sufisme.
Suryadi (2001: 195) mencatat bahwa praktek tasawuf di Ulakan sangat kompromistis pada adat. Akibatnya ada celah untuk diserang para pembaharu yang lebih progresif dan modernis. Golongan “saudara tua” mereka dari Tarekat Naqsabandiyah misalnya, menolak konsep Martabat Tujuh yang dianut kalangan Syattariyah.
Salah satu pembaharu adalah Tuanku Nan Tuo. Namun, sekeras-kerasnya Tuanku Nan Tuo, ia masih berperan jadi rem bagi pola pembaharuan yang keras lagi “revolusioner”. Sikap ini bisa saja dianggap merujuk Al Sinkili, Sang Guru Besar Tarekat Syattariyah Nusantara, yang disebut Azra memiliki suatu ciri yang mencolok: toleransi pribadinya sangat tinggi. Dalam kasus silang-pendapat tentang kekuasaan Sultanah (sultan perempuan) di Aceh, misalnya, Al-Sinkili tidak memberi penjelasan gamblang apakah perempuan boleh menjadi penguasa atau tidak. Di satu pihak, itu tidak memecahkan masalah secara layak, bahkan terkesan mengkompromikan integritas intelektualnya karena ia hidup dalam lindungan Sultanah, tapi di pihak lain, alih-alih itulah “toleransi” pribadinya, tulis Azra.
Sikap semacam ini, saya duga menitis ke Burhanuddin, yang mempunyai murid Tuanku Mansiangan, dan Tuanku Mansiangan “menitiskan” pula ke muridnya, Tuanku Nan Tuo. Tak ada yang meragukan sikap reformis Tuanku Nan Tuo—di mana suraunya sendiri, Surau Cangkiang, dianggap bertolak-belakang dengan Surau Ulakan. Tapi tak pelak tetap membuat rasa tak puas dari salah seorang muridnya, Tuanku Nan Renceh.
Nan Renceh ingin Tuanku Nan Tuo lebih keras lagi menghadapi praktek-praktek adat yang dianggap tak sesuai ajaran Islam. Kelak Renceh dapat kawan sepadan atas kepulangan tiga orang haji dari Makkah (Haji Miskin dkk) yang memuncak pada Gerakan Paderi. Awal abad ke-20 pergolakan muncul kembali setelah kepulangan empat orang haji (Haji Rasul cs), yang mempersempit ruang gerak tarekat Syattariyah. Itu pun memuncak pada perdebatan panjang “Kaum Muda” vs “Kaum Tua” sebagaimana dicatat Burhanuddin Daya dalam Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus Sumatera Thawalib (1990).
Pergesekan kaum Syattariyah dengan kaum adat di pantai barat tidak terlalu terasa, bahkan menurut catatan Suryadi, sebuah surau di Pariaman dinamakan “Surau Gelanggang” karena masih memberi ruang bagi tempat adu ayam. Tapi kita juga bisa menilai bahwa posisi “Surau Gelanggang” tidak persis seperti ditafsirkan Ajo Suryadi. Boleh jadi apa yang disebut “Surau Gelanggang” itu merupakan surau yang didirikan “di atas bekas” gelanggang adu ayam, bukan dalam pengertian,”selesai mengaji orang masih boleh mengadu ayam”.
Tugu Tabuik di Kota PariamanApapun, unsur adat memang mewarnai praktek keagamaan di Pariaman, karena itu pula kita melihat kompleks makam Syekh Burhanuddin kental bernuansa lokal Minang, termasuk membangun pasar dan mempertahankan pohon beringin besar. Namun demikian, pelan dan pasti ajaran-ajaran syekh dijamin oleh keilmuan yang mumpuni oleh penerus beliau, salah satunya Ungku Kali atau Syekh Lubuk Ipuh yang terbukti memiliki keluasan pengetahuan dalam sebuah perdebatan yang akan kita lihat sebentar lagi.

Gerbang Kota Pariaman
Syekh Ipuh vs Syekh Daud
Alkisah, sikap kompromistis, kata lain dari sinkretis, ala Syattariyah Ulakan, mendapat serangan telak dari Syekh Daud, seorang ulama putra Sunur. Sunur merupakan kampung di sebelah utara Ulakan, jadi dua kampung yang bertetangga dekat. Tapi Syekh Daud memilih berguru ke Surau Cangkiang di darek (Luhak Agam). Surau ini didirikan Tuanku Nan Tuo yang tadi kita singgung. Serangan Syekh Daud atas Ulakan menciptakan plot dan narasi menarik, dan saya pikir perlu dieksplorasi dalam sebuah karya sastra mutakhir, hmmm….
Konon, setelah lama berguru di Cangkiang, Syekh Daud pulang kampung ke Sunur. Ia segera membuka ruang “pergolakan” di jantung Ulakan, dengan menyerang praktek keberagamaan kaum Syattariyah. Selain menyerang ritual yang dianggap bid’ah, ia juga menilik kehidupan sosial jemaah. Ia misalnya menyerang Sutan Bandaharo, tokoh adat setempat yang punya istri lima orang.
Semua cerita dan perdebatan itu dicatat cukup lengkap oleh Suryadi, putra Sunur, yang kini sebagai staf pengajar di Leiden Universitet—karena itu ia kadang menulis namanya jadi Suryadi Sunuri. Catatan Suryadi tersebut saya temukan dalam sebuah kertas kerja “Yang Pergi dengan Dendam dan Kembali dengan Cerita: Sekilas tentang Latar Belakang Sejarah dan Isi Syair Makah dan Madinah” dalam buku Penelitian Naskah Nusantara dari Sudut Pandang Kebudayaan Nusantara (Masyarakat Pernaskahan Sumbar, 2001).
Untuk kebutuhan bagian ini, saya menukil semuanya dari Suryadi. Ia menceritakan bahwa Syekh Lubuk Ipuh, murid Burhanuddin, akhirnya mengajak Syekh Daud berdebat. Syekh Ipuh sudah tak tahan melihat orang-orangnya yang “berkiblat” ke Ulakan diserang Syekh Daud terus-menerus. Syekh Daud menerima tantangan itu. Perdebatan pun dilangsungkan di tengah gelanggang orang banyak.
Alhasil, perdebatan dimenangkan Syekh Ipuh. Syekh Daud merasa malu. Pamornya jatuh. Ia kemudian memutuskan pergi dari kampung halaman meninggalkan istri dan seorang anak perempuan yang disayanginya. Kekalahan positif itu membuatnya bukan hanya memperdalam ilmu agama, tapi juga belajar sastra, khususnya syair. Ia berkelana di beberapa pelabuhan transit Aceh untuk akhirnya pergi ke Makkah. Di jazirah Arabia selain berhaji, ia menulis “Syair Mekkah dan Madinah” yang segera populer di kalangan orang yang datang atau pulang dari tanah suci. Syair itu bahkan dikenal sebagai “Syair Rukun Haji”.
Setelah bertahun-tahun pergi, Syekh Daud pulang ke Pariaman untuk kembali berdakwah. Boleh jadi ia akan berhadapan lagi dengan Syekh Ipuh. Jika itu terjadi, tentu Syekh Ipuh akan mendapat lawan yang lebih sebanding, sebab orang yang dulu ia kalahkan sudah menambah ilmunya sampai ke Mekkah.
Tapi pergolakan di lapangan tak terjadi. Yang terjadi adalah pergolakan dalam diri Syekh Daud sendiri—tentu saja tak kalah besar—ketika mengetahui bekas “lawan beratnya”, Syekh Ipuh, telah menikahi anak perempuannya, Umi Salamah!
Syekh Daud merasa kecewa dan tak lama kemudian ia pun putar haluan. Ia berniat kembali ke Tanah Suci. Namun dalam perjalanan melalui pelabuhan transit Aceh, tepatnya di Trumon, sebuah kerajaan lokal dekat Singkil, ia jatuh sakit. Beruntung, setelah sembuh, ia diterima di istana Trumon. Syekh Daud menikah di situ, punya seorang putra, Syekh Muhammad Adam namanya, anak yang kelak punya hubungan baik dengan guru-guru tarekat di Minangkabau. Di Trumon pula Syekh Daud berhasil menggubah karyanya yang lain “Syair Sunur” yang antara lain berisi kerinduannya pada putri semata wayangnya yang ia tinggalkan di kampung. Syair ini sudah dialihbahasakan oleh Suryadi dan terbit dalam sebuah buku sekitar tahun 2000-an.
Syekh Daud meninggal di Singkil dan dimakamkan tak jauh dari kompleks makam Al-Singkili, guru Syekh Burhanuddin yang punya murid Syekh Ipuh, yang pernah dilawannya. Inilah takdir sejarah.

Daerah Sunur, kampung Syekh Daud
Aru Palaka, Kota dan Ziarah yang Berubah
Di luar pergolakan keagamaan, termasuk pergolakan batin seorang ulama plus “tukang syair”, pergolakan tak henti Pariaman tempat Ulakan dan Sunur berada, juga dalam bentuk politik dan peperangan. Maklumlah, Kota Pariaman merupakan bandar penting pengumpul rempah, budak dan kuda. Menurut Rusli Amran (1981), kalau Pariaman punya teluk atau muara sungai yang lebih menguntungkan, pastilah ia tak kalah, jika bukan lebih besar, dibanding Padang. Amran bahkan memuji Pariaman sebagai “kota cendekia”.
Kolonial Belanda, Inggris dan Kesultanan Aceh berebut menguasai Pariaman. Aceh kuat di sebuah kota agak ke utara, Tiku, namun sekali-dua merangsek juga ke Pariaman kota. Inggris membawa pasukan dari Kerala, India, yang meninggalkan tradisi Tabuik di Pariaman, atau Tabot di Bengkulu, sebagai ritual mengenang wafatnya cucu Baginda Nabi, Hussein, di Karbala. Sejauh ini tak ada yang mempersoalkan ritual itu “berbau” Syiah, sebab mungkin berhubungan dengan pariwisata bahkan identitas daerah (lihatlah Tugu Tabuik di perempatan Kota Pariaman).
Ada pun Belanda hilir-mudik di Pariaman setelah dapat dukungan para orang kaya, lalu mereka mulai menggergoti Pariaman dari dalam. Menilik kajian Elizabeth E. Graves (2007), boleh jadi itu salah satu strategi Belanda untuk menciptakan pusat orientasi baru orang Minangkabau, dengan membesarkan Padang di selatan dan (sengaja) meninggalkan kota lain seperti Indrapura, Painan dan Pariaman. Dengan begitu kaum elit Minangkabau modern cepat terbentuk, terlokalisir, dan mudah dikendalikan.
Tapi itu bukan tanpa resiko. Berkali-kali pertempuran pecah di Pariaman dan sekitarnya. Pertempuran paling diingat adalah ketika VOC mengirim pasukan dari Batavia. Komandannya Komisaris Verspreet. Ikut dalam pasukan itu 400-an “tentara” Bugis yang dikomando Aru Palaka dan 200-an “tentara” Ambon yang dikomando Kapten Jonker. Setelah sukses menggempur Pauh, Koto Tangah dan tempat-tempat “militan” lain di Kota Padang, tanggal 28 September 1666, Verspreet menggempur Pariaman. Maklum daerah ini termasuk juga basis “garis keras” tempat “kaum radikal” Padang bersembunyi. Ulakan diduduki pasukan Bugis dan Arung Palaka diberi gelar “Raja Ulakan”, sedangkan Kapten Jonker sukses menjadi “Panglima Pariaman” melalui perjanjian sepihak yang dipaksakan (Rusli Amran, 1981: 180).
Demikianlah Ulakan dan Pariaman, dulu dan kini. Jika dulu ia dikenal dalam selarik lagu indang “Pariaman tadanga langang” (Pariaman terdengar lengang)—mungkinkah efek dikalahkan Aru Palaka?—kini Pariaman menggeliat ramai. Sejak otonomi daerah diberlakukan, Pariaman naik status menjadi kota sendiri. Pada era Orde Baru, Pariaman pernah berstatus Kota Administratif, bersama Klaten, Batu dan Purwokerto. Kini Klaten, Batu dan Pariaman “sukses” jadi kota baru, Purwokerto tidak (sekadar membandingkan bahwa kota pantai di Sumatera ini “mengalahkan” sebuah kota di pusat Pulau Jawa!).
Tahun 90-an ketika masih berseragam putih abu-abu, sebagai koresponden Harian Semangat, Padang, saya pernah menyusup dalam rombongan atlet Kabupaten Pesisir Selatan yang berlaga di Pekan Olahraga Daerah (Porda), entah yang keberapa. Pariaman waktu itu jadi tuan rumahnya. Kesempatan tersebut saya gunakan menyusuri Pariaman (kota ketiga yang saya lihat setelah Painan dan Padang). Jalanan dan simpang-simpangnya masih sepi, meski saya akui lebih hidup dibanding kota kabupaten saya sendiri, Painan, di selatan. Pariaman juga selalu banyak mendapat liputan media, baik RRI Padang maupun koran-koran yang terbit di Padang, dan bagi saya selalu menarik perhatian. Misalnya tentang tokohnya yang visioner, Anas Malik, yang berhasil mentransformasikan spirit badoncek (menyumbang bersama) dalam membangun nagari.
Selain ritual basapa dan tabuik, Pariaman punya cerita lain yang bikin penasaran: kawin bajapuik. Sementara kesenian indang dan salawat dulang, tak usah lagi dibilang, sudah mendarah-daging. Sampai juga pada cime’eh (cemooh) tentang “jamban terpanjang di dunia”. Adapun kesenian rabab dan beruk (monyet terlatih pemetik kelapa) kabupaten saya juga punya. Rabab pasisie dan rabab piaman, satu rumpun kesenian tapi beda style. Hanya beruk di Kabupaten Pesisir Selatan mulai langka karena kurangnya peremajaan kelapa dan kelapa sawit merajalela; di Pariaman malah ada sekolah beruk!
Ya, Pariaman kini jauh berkembang. Kota tertata, bersih dengan trotoarisasi, Tugu Tabuik di perempatan dan papan iklan. Meski tak ada toko swalayan berjejaring besar, tapi toko sejenis ada di tiap sudut kota. Hanya namanya yang beda. Wisata Pariaman juga terbilang maju, didukung moda kereta api dari Padang (satu-satunya jalur kereta yang masih bersisa di Ranah Minang). Menariknya, seolah tak mau kalah dengan Ulakan, kota ini juga punya titik ziarah di Pulau Angso Duo. Itulah makam Syekh Katik Sangko, sahabat Syekh Burhanuddin. Pulau kecil ini hidup dalam pantun klasik Minang: Pulau Pandan jauh di tangah/ Di balik Pulau Angso Duo/ Hancur badan dikandung tanah/ Budi baik dikenang juo.
Sementara itu, Kabupaten Padang Pariaman, meski ditinggal Kepulauan Mentawai yang memisahkan diri jadi kabupaten sendiri, tapi rasanya tak mengurangi julukannya yang klasik itu, yakni “Piaman laweh” (Pariaman luas)!
Sebelum ditutup, kita kembali ke Ulakan. Sebelum merantau ke Bali dan Jawa, setidaknya dua kali saya pernah “mampir” ke kompleks Makam Syekh Burhanuddin. Waktu itu kompleks makam masih kecil dan sederhana (saya juga belum mengenal istilah “ziarah” seperti di Jawa). Situasi saat saya “mampir” dulu dibanding berkunjung akhir November lalu (saat saya sudah mengenal kata “ziarah” ala Jawa) memang pas dengan ungkapan Alfi, ”Jauh berubah.”
Lalu apakah perubahan itu mempengaruhi makna “mampir” dan “ziarah” dalam diri saya? Semoga suatu saat nanti bisa saya jawab, mungkin lewat puisi, sebagaimana Syekh Daud menulis pergolakan batinnya dalam syair-syair rindu-dendamnya. Wallahu’allam bissawab.