Menu

Author Archives: Yuthika J

Awal bulan Juni lalu, saya berkesempatan untuk menghadiri acara Kirab Budaya di Universitas Indonesia. Acara yang mengusung tema “Upaya Pelestarian Lingkungan melalui Kearifan Lokal,” tersebut cukup berkesan bagi saya. Karena harus saya akui, tampaknya baru pertama kali saya mengikuti Kirab Budaya dengan model tradisional semacam ini. Acaranya sederhana, tetapi entah kenapa acara ini cukup menggugah rasa dan kesadaran saya akan model kehidupan (bukan hanya sekedar wacana teoritis) yang selaras antara manusia, alam dengan Tuhan.

Sebelum jauh pada poin yang ingin saya sampaikan. Sebelumnya saya ingin menceritakan sekilas mengenai alur kegiatan Kirab Budaya UI. Dalam acara ini, ada serangkaian acara mulai dari talkshow, workshop, dan Sedekah Bumi (penamanan pohon, pelepasan burung dan bibit ikan) hingga akhirnya ditutup dengan berbagai macam pertunjukkan seni dan musik. Awalnya acara Sedekah Bumi dilaksanakan di pagi hari, kemudian dilanjutkan siang harinya  dengan Sarasehan Budaya dengan narasumber perwakilan adat Suku Badui yaitu Ambu Misna, Pak Yoyo Yogasmana selaku Jambatan Cipta Gelar, Pak Eko Wirid Arengga dan Abah Asep Santana budayawan dari Kabupaten Garut.

Masih dalam suasana asri pagi hari di kampus UI. Acara Kirab Budaya menjadi acara pertama untuk membuka acara Sedekah Bumi dengan berjalan iring-iringan ke hutan UI. Iring-iringan ini, ditemani dengan alunan musik dog dog lajor dari kelompok Ciptagelar. Menurut Pak Yoyo selaku Jambatan Ciptagelar, musik tradisional ini memang biasa mengiringi berbagai macam kegiatan di desa seperti saat musim panen atau saat ada hajatan. Iring-iringan pun akhirnya tiba di hutan UI. Lalu dilanjutkan dengan pentas musik dari Ciptagelar, yang menyuguhkan penampilan musik dengan instrument tradisional (salah satunya yaitu karinding). Dengan lirik berbahasa Sunda, samar-samar saya pahami liriknya seperti puji-pujian untuk Nabi dan rasa terima kasih kepada Tuhan karena sudah memberikan limpahan anugerah.

Pentas musik terus berjalan, perwakilan adat berdiri satu per satu menari mengikuti alunan musik bersama dengan penari lain. Bagi saya yang baru pertama kali ikut acara Kirab budaya semacam ini, awalnya agak kaget dengan model acara semacam ini. Bagaimana tidak, acara penanaman pohon dan talkshow diiringi dengan tarian, musik tradisional lengkap dengan bau dupa disekitar area. Membuat saya menganggap acara ini tidak sekedar formalitas semata, karena saya merasakan ada nuansa spiritual yang dibangun dari suasana ini. Saya bisa merasakannya, terutama dari para perwakilan masyarakat adat yang memainkan alat musik dan menari dengan khidmat dalam acara itu.

Setelah berbagai rangkaian acara iring-iringan dan penanaman pohon selesai, acara dilanjutkan dengan “Sarasehan Budaya” yaitu bincang-bincang di Makara UI dengan para perwakilan masyarakat adat. Sebelum bincang-bincang dimulai, Pak Ngatawi direktur UI memberikan sambutan terlebih dahulu. Ia menyampaikan bahwa Tradisi dan Kearifan lokal adalah sumber mata air jernih yang bisa menjadi jawaban bagi persoalan kerusakan lingkungan yang terjadi sekarang ini. Namun selama ini banyak sumbatan-sumbatan yang menghalangi mata air ini untuk mengalir, sumbatan-sumbatan berupa sampah-sampah peradaban sehingga masyarakat tidak bisa lagi mandi dan bersuci dengan mata air yang bersih. Maka ia berharap acara sedekah hutan UI ini dapat menjadi gorong-gorong yang mengalirkan air jernih berupa nilai-nilai tradisi dan kearifan lokal.

Budayawan yang tidak pernah lepas dari blangkonnya itu juga menambahkan bahwa ia bersuudzon karena ada insiden pohon hilang pada acara penanaman pohon yang lalu. Bila yang dicuri adalah tulisan UI yang terbuat dari tembaga itu memang pantas dicuri karena akan laku dijual, namun pohon tidak akan bernilai bila dijual kembali. Maka ia bersuudzon ada orang yang menganggap acara seperti ini adalah bidah. Karena sepertinya Pak Ngatawi lelah menghadapi tuduhan bahwa acara model seperti ini dianggab bidah.

“Daripada dituduh terus-menerus akhirnya ya mengaku saja bahwa memang acara sedekah hutan UI adalah acara yang bertujuan untuk mensyiarkan bidah. Karena dengan bidah-lah masyarakat Indonesia mendapat hidayah di abad saat ajaran dari walisongo berkembang. Maka acara sedekah UI juga adalah upaya untuk mensyiarkan bidah syariah agar kita mendapat hidayah.” Ungkap Pak Ngatawi memancing gemuruh tawa dari para peserta talkshow.

Acara talkshow dilanjutkan bincang-bincang dengan para wakil masyarakat adat. Abah Asep Santana dari Kabupaten Garut menceritakan bahwa semua kampung adat yang ada di Garut selalu ada rasa santun kepada alam. Karena alam sudah memberikan sumber-sumber kehidupan bagi mereka. Masyarakat adat tidak pernah menganggap pohon dan air adalah benda mati, namun bagian dari mahluk Tuhan yang senantiasa bertasbih memujiNya.

“Mari kita sama-sama, kita bina lagi, kita tanamkan lagi bahwa semua ini makhluk, tanah yang kita pijakpun ini makhluk. Jangan dianggap benda mati, maka leluhur kita setiap melangkah ia akan selalu bertasbih subhanallah walhamdulillah walailahaillallah Wallahu Akbar La haula wala quwwata illa billahil. Tanah pun bahagia ketika dipijak dengan orang-orang yang selalu bertasbih.”

Abah Asep juga menceritakan bahwa orangtua jaman dahulu bila mengambil buah tidak berani membunuh pohonnya, maka ketika panen dia akan memakai etem (ani-ani) karena merasa tidak enak mengganggu pohon yang sedang asyik bertasbih kepada Allah SWT.

Acara bincang-bincang dilanjutkan oleh Pak Yoyo Yogasmana dari kampung Cipta Gelar. Pak Yoyo panggilan akrabnya mengatakan bahwa ia selama ini hanya menjalani tugas sebagai penerus leluhur yang memang sudah menemukan Kesejatian. Titipan leluhur tidak boleh bercampur dengan ilmu dan perangkat modern, semua harus dijalani secara manual dan tradisional. Misalnya pada prosesi ngunjal yaitu memindahkan padi dari gelumbung padi ke lumbung. Padi harus dipikul dengan orang satu per satu meski di desanya juga ada mobil truk atau kendaraan bermotor. Semuanya itu adalah titipan tradisi yang memang harus dilakukan secara manual. Semua bangunan yang dibangun juga harus berbahan alam beserta dengan tatanan pembagian ruang, struktur bangunan semuanya adalah aturan dari leluhur. Semua memiliki nilai tersembunyi dan filosofi yang terkandung, generasi penerus hanyalah meneruskan titipan dari leluhur dan menggali nilai-nilai keluhuran yang ada di dalamnya.

Saresehan budaya siang itu semakin menarik dan membuat saya semakin penasaran. Abu Misna selaku perwakilan dari Badui juga turut menjelaskan filosofi Badui, melengkapi Abah Asep dan Pak Yoyo. Ambu Misna ditemani oleh anaknya Kang Marno yang kebetulan sedang berkuliah di UI untuk ikut mengisi talkshow. Ambu Misna bilang bahwa ada filosofi adat dari Sunda Wiwitan yaitu “Gunung teu Meunang dilebur, Lebak teu Meunang diruksak” artinya “Gunung tidak boleh dihancurkan, Lebak tak boleh dirusak”. Filosofi ini dipahami oleh suku Badui untuk senantiasa menjaga keseimbangan alam. Ambu Misna memberikan contohnya bahwa kita harus menanam pohon untuk menyuburkan gunung-gunung biar nggak kena longsor. Kang Marno juga turut menjelaskan contoh penerapan dari filosofi tersebut adalah agar kita tidak sembarangan membangun rumah dan berladang di sembarang tempat. Lebih lanjut Kang Marno menguraikan hikmah dari salah satu aturan “Badui Dalam” dalam bermasyarakat dan menjaga alam, yaitu ada aturan tidak boleh mandi menggunakan sabun karena suku Badui Dalam ada di Hulu sehingga bila mandi memakai sabun, orang yang tinggal dibawah hilir sungai akan memakai air yang tercemar.

Ambu Misna bilang bahwa ada filosofi adat dari Sunda Wiwitan yaitu “Gunung teu Meunang dilebur, Lebak teu Meunang diruksak” artinya “Gunung tidak boleh dihancurkan, Lebak tak boleh dirusak”. Filosofi ini dipahami oleh suku Badui untuk senantiasa menjaga keseimbangan alam.

Yuthika J

Kang Marno menjawab dengan lugas bahwa saat ini ia belum ada rencana apa-apa namun ia tidak berniat untuk mendorong orang-orang Badui bersekolah ke luar, karena ia menganggap pelajaran di kampus bisa kontradiktif dengan apa yang menjadi filosofi budaya Badui. Dan juga belum tentu orangtua dari anak-anak yang bersekolah bisa bersikap seperti orangtuanya. Orangtua Kang Marno selalu menegaskan untuk tetap memegang nilai-nilai tradisi meski belajar di luar. Bapaknya berpesan “Jangan lupa dengan apa yang harus kita jalankan di Badui”. Maka Kang Marno dituntut untuk selalu pulang setiap minggunya dan mendahulukan acara adat meskipun ada UAS. Kang Marno juga turut menyayangkan ada anak-anak Badui yang suka gaya-gayaan ketika balik ke kampung halaman seperti pakai tindik atau rambutnya dicat pirang. Ia mengakui memang banyak godaan ketika bersekolah diluar untuk keluar dari aturan-aturan Badui. Ia tidak mau teman-temannya tidak lagi menjalani adat istiadat dari Badui.

Pak Kyai Jadul Maula ketua Lesbumi PBNU yang baru turun dari kereta kemudian langsung hadir di acara akhirnya menjadi penutup dari acara diskusi siang itu. Beliau mengatakan bahwa penampilannya hari itu kurang rapih bila dibandingkan dengan peserta dan pembicara. Beliau menyatakan bahwa penampilannya agak kacau karena mengambil baju dan ikat kepala tanpa bercermin dahulu. Sambil berkelakar, bahwa penampilannya saat itu, mungkin mewakili makna Sarasehan Budaya hari ini yang menunjukkan kebingungan masyarakat modern dalam segala carut-marut pikiran-nya. Orang modern hidup dalam kebingungan-kebingungan dan pertikaian tanpa ada contoh bagaimana menjalani kehidupan.

Orang modern hidup dalam kebingungan-kebingungan dan pertikaian tanpa ada contoh bagaimana menjalani kehidupan.

Yuthika J

Dalam kesempatan ini, Pak Kyai Jadul berterima kasih pada para perwakilan adat yang sudah memberikan contoh pada generasi sekarang. Generasi yang saat ini belum kunjung selesai dari segi pikiran, ideologi dan kedaulatan alamnya, masih bingung, meraba-raba dan terangsur-angsur. Pak Kyai merasa beruntung karena akhirnya kita bisa merasakan dari mereka hidup yang sebegitu rupa dalam keutuhan, manunggal dalam kesatuan, tentram dan berdaulat dalam kehidupan. Beliau juga menyatakan apresiasi yang luar biasa karena masyarakat adat masih konsisten, menekuni apa yang mereka yakini dalam menjalani kehidupan hingga terus diwariskan sampai turun temurun.

Masyarakat saat ini  juga ada kerinduan-kerinduan untuk mencari makna kehidupan ke dalam tradisi. Karena melalui tradisilah ternyata kita punya jalan hidup yang lebih utuh dibandingkan situasi sekarang yang justru membuat banyak gejala depresi pada anak muda hari ini. Beliau berharap acara sarasehan ini menjadi awalan, sebagai sebuah strategi kebudayaan dalam menjaga keseimbangan ekologi dalam kerangka menjaga nilai-nilai keindonesiaan.