Puncak dari Berlayar dan Singgah-nya Syarikat Idola Remaja (SIR) di Yogyakarta bertempat diMES 56, Sabtu 3 September 2022. Konser ini menjadi ‘perayaan’ penutup perjalanan selama di Yogyakarta. Sebelumnya, SIR adalah salah satu grub bend alternatif berasal dari Bandung. Mereka melanjutkan rangkaian tour di Yogyakarta, yang sebelumnya mereka mengawali tour nya dari Kedai Rukun, We Love Youht, Libspace, Jiwa Jawi dan terakir di MES 56. Rangkaian ini merupakan perjalanan album terbaru dari SIR yang berajuk “SAMARA” yang didukung oleh Greenpeace dan Kereta Api Indonesia (KAI).
Rangkaian konser tour malam itu, diawali dengan makan nasi goreng bersama dan bebakaran daging. Suasana malam di MES 56 terasa hangat layaknya kongkow teman-teman satu tongkrongan. Malam pukul 19.00, suasana semakin terlihat akrab dibuka dengan sepenggal lirik lagu karya Iwan Fals berjudul Do’a.
“Berjamaah, menyebut nama Allah”
…………………..
“Hidup berkah penuh Gairah, mudah-mudah Allah setuju”
SIR melantunkan dari lantai atas. Dengan kesadaran, lagu ini menandakan bahwa sebuah syarikat yang sedang berkumpul, bersuka cita dan penuh harapan. Mulailah lagu-lagu di dalam album SAMARA satu per satu dinyanyikan. Bak sebuah dongeng, anggota SIR bergantian saling mengisahkan tentang pelayaran dari satu lagu ke lagu lain. SIR mengajak penonton untuk singgah dan menikmati setiap lagu di dalam album SAMARA dengan berpindah-pindah latar tempat.
Bak sebuah dongeng, anggota SIR bergantian saling mengisahkan tentang pelayaran dari satu lagu ke lagu lain. SIR mengajak penonton untuk singgah dan menikmati setiap lagu di dalam album SAMARA dengan berpindah-pindah latar tempat.
Penonton diajak untuk menanyakan kembali tentang kekayaan sumber daya alam Nusantara. Penggalan lirik dari lagu “Silang Timur Jauh (Angin Barat)” seolah menjadi sebuah pertanyaan yang dilemparkan kepada penonton.
Gelombang laut ombaknya tinggi
Jauh terhempas sampai dermaga
Tuan pun datang di tanah ini
Ingin mahkota yang kami punya
…….
Selaksa kapal berlayar
Jauh menuju luas tanah harapan
Air mata, darahpun jatuh
Demi ambisi kaum bangsawan
Itulah oh mengapa?
Berlanjut dengan Lagu “Seribu Pulau”, SIR mulai bercerita tentang indahnya alam Nusantara. Tempat muara bagi para penjelajah dunia. Dengan liriknya “Seribu Pulau”, SIR semakin menegaskan bahwa tanah Nusantara memiliki kekayaan alam yang beragam.
Pulau yang masyhur
Teramat subur
Elok alamnya
Amboy cantiknya
Cengkeh dan pala
Jadi emasnya
Diburu dunia
Jadi angkara
Kita memiliki tanah yang subur dan air yang jernih. Ikan-ikan laut mudah didapat oleh nelayan, tanaman tumbuh berbuah lebat. Nusantara, sumber kehidupan bagi makhluk hidup penghuninya. Sumber pangan bagi berbagai flora dan fauna. Sejuk udara pegununganya, dan indah debur ombak pantai-pantainya.
Tentu kekayaan ini perlu disadari sebagai “titipan” bukan sebuah “warisan” oleh penghuninya. Pangan yang melimpah dari alam dapat langsung dikonsumsi. Kita merayakannya dengan panen hasil melimpah, bersuka cita melalui olahannya. Kita diajak menengok kembali melalui lirik “Masakan Nusantara”.
Dari seberang
Berlayar sebuah kapal
Yang membawa aneka hasil perkebunan
Dari tanah
Gemah ripah loh jinawi
Tuk diolah dijadikan aneka hidangan
Kunyit cengkeh lengkuas dan kapulaga
Tidak lupa kemiri dan lada
Rajik bumbu masak gulai sedap nikmat
Rahasia masakan nusantara
Aneka ragam kekayaan itu adalah rempah-rempah. Tidak hanya menjadi hasil perkebuanan, namun juga hasil olahannya berupa masakan khas Nusantara. Bukti bahwa masakan menjadi sebuah maha karya nenek moyang kita. Kehebatan mereka dalam menakhlukan alamnya, tentu sebagai ucap syukur menjadikan olahan pangannya menjadi berbagai bumbu pendamping masakan yang lezat.
Riang gembira mendengarkan alunan musik dari SIR, sama saja mempertanyakan kembali makna rasa syukur kita kepada alam Nusantara. Sebagai bangsa kepulauan, nenek moyang kita telah mengajarkan sifat kegotong royongan. Setiap pulau saling terhubung, bersyerikat dan bersatu mengolah dengan arif dan bijak. Pulau penghasil cengkeh saling bertukar dengan tanah seberang penghasil jagung. Tumbuhan kapas bertukar dengan papan kayu dari pohon Eboni sampai Jati.
Sandang, pangan dan papan sudah tercukupi. Kesehatan dan pendidikan ikut melengkapi. Ramuan dari tumbuhan dan rempah-rempah menjadi bumbu sekaligus jamu bagi kesehatan tubuh masyarakat Nusantara. Konsep “Among Tani” dan “Dagang Layar” diterapkan penuh kesadaran bersama. Berbagai peran pekerjaan disadari penuh oleh setiap lapisan masyarakat. Tak lain ialah wujud laku hidup dengan cara ucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Meski ribuan tahun berjalan, bangsa kita masih tetap kepulauan. Ribuan tradisi telah muncul sebagai wujud ucap syukur. Tentu kita perlu mengingat dan mengandeng “Among Tani” dan “Dagang Layar” secara bersamaan. Berjalan beriringan dan berimbang. Mempertemukan kekuatan dari keduanya. Berdiri di tanah sendiri, berjaya di laut sendiri hingga kita mengamini doa bala pada lagu “Kota Yang Masyhur” dengan penggalannya yang menghentak bangsa Indonesia sekarang:
Semoga kita tak gugur
Tenggelam di kota yang masyhur
Bengasur-angsur tinggalkan dapur
Merayakan barat di timur
Leave a Reply