Menu

Latar

Di Indonesia, ada sekelompok umat Islam yang sangat anti dengan tradisi ziarah kubur. Tak jarang kelompok ini memberikanlabeling “bid’ah” bahkan “musyrik” kepada saudara seimannya sendiri. Dalam bingkai pemikirannya, mereka menganggap bahwa ritual-ritual ziarah kubur semacam sholat, baca yasin, tahlil dan tawasul yang dilakukan para peziarah itu dianggap perilaku TBC (takhayul, bid’ah & khurafat) dan tentu saja harus diperangi. Ustadz-ustadz mereka menjadikan kaum kuburiyyun menjadi first target, sasaran tembak dalam fatwa sehari-hari. Dalam bayangan mereka, tak ada yang lebih urgen selain mendengungkan “dakwah Tauhid.”

Sepintas, fatwa seperti itu tak ada masalah. Mereka mengajak menuju jalan yang haq sesuai petunjuk Allah dan Rasul. Namun secara sosial, metode yang mereka lakukan, jelas meresahkan dan dapat merusak harmoni kerukunan diantara umat Islam. Apalagi fatwa itu seringkali dialamatkan kepada orang yang sebenarnya mempunyai dasar pemahaman dan berislam secara berbeda. Akibatnya hal itu menunjukan sikap yang justru kontraproduktif dengan misi awal, karena metode dakwah semacam itu menyebabkan bibit-bibit permusuhan diantara sesama umat Muslim. Jika kita melihat media sosial hari ini, entah itu grup-grup Facebook , Whatsapp, Youtube, Tik Tok, FB dan semacamnya, beranda kita akan dipenuhi perang konten hingga perang komentar antara dua kelompok ini.

Dan yang paling menggelikan, sesungguhnya mereka tak paham benar akan pokok permasalahan sesungguhnya. Bisa jadi hal itu hanya membuang-buang waktu untuk menumbuhkan ego “siapa paling benar” dan menyuburkan sikap ashobiyah, menganggap kelompoknya paling mulia. Bahayanya lagi, perilaku seperti itu jika terus dipelihara akan menyebabkan konflik di tengah masyarakat.

Mengapa tradisi ziarah kubur begitu mengkhawatirkan?

Mari kita mundur jauh ke belakang, sekitar pertengahan abad 17,  Istana Mataram yang kala itu dipimpin oleh Amangkurat I harus luluh lantak oleh serbuan pasukan Trunojoyo. Amangkurat terpaksa meninggalkan istananya kemudian kabur menuju Batavia untuk meminta bantuan VOC Belanda. Sayangnya, setelah perjalanan berat selama berhari-hari melintasi kerasnya medan lereng Gunung Slamet, ia jatuh sakit lalu meninggal dunia. Amangkurat gugur, lalu dimakamkan di Tegalarum, sebuah tempat yang jauh dari istananya. Akibat gugurnya sang raja, istana Mataram yang saat itu berada di Plered, akhirnya dikuasai oleh Raden Trunojoyo.

Jauh sebelum peperangan itu terjadi, tradisi ziarah kubur dan bertapa marak di seluruh Mataram. Panembahan Rama, tokoh agama sekaligus mertua dari Trunojoyo, berusaha untuk menggerakkan  kesadaran beragama bagi orang-orang Islam melalui ziarah kubur ke makam-makam orang suci semacam makam Giri dan makam Tembayat, Sukuh, dll. Di makam-makam itu, selain menekankan pentingnya, khalwat (tapa), berdoa dan bertawassul, ia juga berusaha membangkitkan romantisme masa lalu akan kejayaan para leluhur.

Di sela-sela dakwahnya itu, ia juga mengkhotbahkan betapa telah rusaknya penguasa Mataram yang telah berani bersekutu dengan Belanda, sangat jauh dengan nilai-nilai yang dianut  ayahnya, Sultan Agung. Ia juga mengkhawatirkan masa depan Jawa jika kekuasaan Mataram masih ditangan Amangkurat.

Ziarah kubur menjadi media bagi Panembahan Rama dan orang-orang Islam saat itu untuk berkumpul memperbincangkan nasib, ideologi, hasrat akan keadaan yang ideal tentang negara Mataram Islam. Pada akhirnya, ziarah kubur juga menjadi alat bagi Panembahan Rama untuk membangkitkan semangat kaum muslimin untuk melawan Mataram yang telah menyimpang.

Pada tahun 1674, Panembahan Rama bersama menantunya Raden Trunojoyo memimpin pemberontakan terhadap  Mataram. Penyerbuan aliansi Panembahan Rama-Trunojoyo ke Plered pun berhasil. Pada tahun 1677 akhirnya kekuatan dari ziarah kubur itu mampu meruntuhkan kerajaan Mataram yang didukung oleh VOC Belanda.

Roda Bumi pun Terus Berputar.

Di Semenanjung Arabia, jauh sekali dari tlatah Mataram, hampir seabad kemudian, tepat di tahun 1727, Negara Arab Saudi yang pertama didirikan. Negara itu didirikan oleh duo Muhammad yang berbesanan, yang satu tokoh agama, satunya lagi kepala suku, mereka adalah Muhammad bin Abdul Wahhab dan Muhammad bin Saud.

Untuk mencapai kekuasaan, mereka memerlukan sebuah ideologi yang bisa digunakan untuk merebut pengaruh bangsa arab. Alhasil, terciptalah sebuah ideologi hasil kawin campur antara politik dan agama.  Kolaborasi mereka dimulai dengan melakukan gerakan reformasi sosial-keagamaan dengan cara menentang ritual-ritual yang berkaitan dengan pemujaan wali dan ziarah kubur yang saat itu tersebar luas di antara orang-orang Arab. Setelah gerakan itu dirasa memiliki cukup pengaruh, mulailah mereka melakukan protes terhadap kekuasaan Turki Usmani. Akhirnya, pada tahun 1802 gerakan ini berhasil merebut kota suci Islam yaitu Mekah dan Madinah dari tangan Turki Usmani.

Empat tahun setelah menguasai Mekah dan Madinah, “reformasi akidah” dilakukan.  Makam Baqi (makam dimana Rasulullah dan keluarganya dimakamkan) dihancurkan, kecuali makam nabi Muhammad oleh Dinasti Saud karena dianggap menjadi sarana praktek syirik. Namun, alasan sebenarnya adalah Dinasti Saud kemungkinan hendak menghapus jejak keluarga Bani Hasyim yang telah turun-temurun menguasai Mekah dan Madinah. Penghancuran makam ini otomatis memutus hubungan antara para peziarah dengan Bani Hasyim.

Marah dengan tindakan extrim itu, Turki Usmani yang saat itu dipimpin oleh Sultan Mahmud II segera meminta Gubernur Mesir Muhammad Ali Pasha untuk merebut kembali Mekah dan Madinah dari tangan Abdullah bin Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud. Akhir cerita, Abdullah bisa dikalahkan, ia menyerah pada tanggal 9 September 1818Sultan Najd itu lalu dikirim ke Istanbul untuk dieksekusi mati, kepalanya dibuang ke Selat Bosphorus. Dinasti Saud yang pertama itupun akhirnya bubar.

Meskipun telah bubar, namun Dinasti Saud  berhasil menanamkan ideologi dari aliansi politik-agama itu ke dalam benak bangsa arab. Mereka terus bergerilya membangun kekuatan untuk berusaha kembali merebut kekuasaan yang pernah dimiliki oleh leluhurnya.

Pada tahun 1925, sesaat setelah Turki Usmani runtuh, pasukan Dinasti Saud menyerbu Mekah dan Madinah sehingga berhasil merebut kedua kota suci itu dari Syarif Husein, Raja Hijaz saat itu.  Syarif Husein bin Ali adalah keturunan dari Bani Hasyim yang masih memiliki garis keturunan dengan Rasulullah SAW. Ia mendeklarasikan diri sebagai Raja Hijaz setelah Turki Usmani runtuh. Sebelumnya, ia adalah Gubernur Mekah di bawah kekuasaan Turki Usmani. Pada tahun 1932, setelah 150 tahun sejak keruntuhannya, seolah terlahir kembali, anak-cucu Saud mendirikan Dinasti Saudi yang baru sehingga mengakhiri 700 tahun kekuasaan Bani Hasyim.

Dinasti Saud masih kokoh berdiri hingga saat ini, kerajaan yang sekarang menjadi negara Saudi Arabia ini adalah buah dari pemberontakan sebuah ideologi yang tercipta dari kawin silang antara politik dan agama. Sayangnya, atas nama Rasul yang mulia, ideologi  itu terus disebarkan ke seluruh dunia, tak jarang mereka menggelontorkan dana  yang begitu besar dari hasil petrodollar. Ya, sebuah dinasti tentu ingin terus berkuasa, tak ingin kehilangan nikmatnya berkuasa.

Jika kita rajin berfatwa tentang syirik dan bid’ahnya ziarah kubur, sesungguhnya kita  telah masuk dalam bagian proyek pelanggengan kekuasaan hampir 100 tahun Dinasti Saud menguasai Mekah dan Madinah. Faktanya, jihad mereka tak lebih dari perjuangan naluri untuk bertahan hidup dan nafsu untuk mencari kekuasaan dibandingkan motivasi agama.

Dan Fatwa-fatwa tersebut jika terus kita pelihara, pada saatnya nanti, jika memiliki kesempatan akan menjadi tunggangan kendaraan politik untuk mencapai kekuasaan. Fatwa yang kita kutip sehari-hari bisa jadi adalah fatwa dari hasil gerakan sosial melawan status quo, kesepakatan duo muhammad untuk melakukan jihad guna menyebarkan ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab yang lebih berkaitan dengan praktik penyerangan terhadap kaum tradisional di Najd yang memihak Turki Usmani.

Mungkin, kekhawatiran akan tradisi Ziarah Kubur, adalah ketakutan traumatik akan hilangnya kekuasaan yang sanadnya kita diperoleh dari Muhammad bin Abdul Wahab dan Muhammad bin Saud.

Wallahu A’lam Bisshowab

Senin lalu sekitar pukul setengah dua dini hari, notifikasi hp saya berbunyi, tanda ada pesan masuk. Ternyata dari salah seorang guru saya membagikan link berita berjudul “Lima Intelektual Nahdliyin sowan Presiden Israel di Tengah Genosida.” Sontak saya terkaget ketika membaca berita tersebut. Dalam benak saya kemudian berfikir kok bisa ya, lima orang lucu dengan mentalitas inlander bergaya seleb itu datang ke suatu negara yang lagi dikecam banyak orang di seluruh dunia. Kemudian kami berdiskusi dengan guru saya tersebut, yang memang dalam beberapa waktu belakangan kami sering mendiskusikan perihal persoalan ini.

Dalam pidato pendek yang disampaikan dalam kunjungannya di Israel, Zainul Maarif, salah seorang dari lima tersebut mengatakan kedatangan mereka berkat menjadi peserta program ITREK (Israel Trek). Zainul memperkenalkan diri sebagai dosen di perguruan tinggi di bawah Nahdlatul Ulama (NU) yang mana adalah organisasi muslim terbesar di Indonesia bahkan dunia dengan nilai-nilai moderat. Ia mengaku hendak melanjutkan legasi Gus Dur (Abdurrahman Wahid) yang memiliki hubungan dengan Shimon Peres. Ia berharap bisa menormalisasi hubungan, bekerjasama yang saling menguntungkan berbasis kesamaan tradisi agama-agama Ibrahim. Ketika saya mendengar pernyataan tersebut seketika saya mengerutkan dahi, dalam batin saya bergumam, emang nya antum siapa ingin menormalisasi hubungan yang mana Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) sebagai Lembaga tertinggi dunia saja angkat tangan untuk menghentikan agresi militer Israil tersebut.

Lalu berita-berita yang berseliweran dengan narasi serupa disambut oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sebagai organisasi yang terkena getah dari ulah beberapa jamaahnya ini. Ketua PBNU, Savic Ali menyayangkan keberangkatan orang-orang itu dan mengklarifikasi bahwa kunjungan mereka sama sekali tidak mewakili NU meskipun ia mengakui bahwa mereka memang nahdliyin dan beberapa diantaranya adalah pengurus NU. Savic juga menambahkan hal itu adalah tindakan atas ketidakpahaman geopolitik dan melukai perasaan warga NU. Kemudian dalam sebuah konferensi pers, Gus Yahya menyampaikan permohonan maaf.

Dalam hal ini tentu posisi saya adalah mengecam tindakan konyol dan tidak tahu malu ini. Saya sepakat dengan Savic Ali bahwa tindakan orang-orang ini menampilkan kedunguan geopolitik. Sebab persoalan Palestina-Israel tidak bisa diselesaikan hanya dengan forum seremonial atau diskusi bina damai. Persoalan di Palestina perlu dipahami sebagai mendalam seturut sejarah dan dinamika geopolitik kiwari.

Saya pikir, peristiwa tersebut tidak seharusnya menguras energi kita dengan sekadar mengolok-olok dan misuhi lima orang lucu ini. Bagi saya hal semacam ini bisa saja terjadi pada siapa saja jika mentalitas inlander bergaya seleb terus dilanggengkan. Sebaliknya  mari mengedukasi diri dengan menilik lebih jauh tentang persoalan genosida yang dilakukan Israel di tanah Palestina. Kemudian bagaimana hendaknya kita perlu bersikap atasnya.

Saya pikir, peristiwa tersebut tidak seharusnya menguras energi kita dengan sekadar mengolok-olok dan misuhi lima orang lucu ini. Bagi saya hal semacam ini bisa saja terjadi pada siapa saja jika mentalitas inlander bergaya seleb terus dilanggengkan.

Memahami Genosida Israel atas Palestina

Sebagaimana dijelaskan Nur Masalha (2012), apa yang terjadi di Palestina harus dilihat sebagai Nakba yang terus menerus dengan level kebrutalan yang berbeda-beda. Mendudukan pengusiran orang Palestina dari Nakba pada 1948 dalam setiap pembicaraan terkait Palestina sangat penting untuk memahami konteks sejarah yang menjadi alasan mengapa Israel disebut melakukan pembersihan etnis dan genosida sebagaimana sejarawan Ilan Pappe (2011) menyebutnya demikian. 

Masalha menambahkan bahwa penyebutan genosida ini berdasar ketimpangan relasi kuasa antara Palestina dengan Israel dalam hal militer, politik, bahkan diskursus pengetahuan. Sebab bila kita lacak ke belakang, penggunaan perangkat diskursif sudah dilakukan sejak kedatangan Ben-Yehuda pada 1881. Ben-Yehuda yang terinspirasi dari nasionalisme linguistik Prancis untuk membangkitkan proyek nasionalismenya dengan mempraktikkan bahasa Hebrew dalam percakapan sehari-hari. Kemudian anaknya, Ben-Zion menerbitkan koran berbahasa Hebrew, Ha-Tzvi, yang pada gilirannya dibredel otoritas Turki Usmani atas desakan komunitas Yahudi Ortodoks Yerusalem. Dari sini dapat kita lihat bahkan peristiwa Nakba dan British Mandate yang menjadi pembenaran genosida bukanlah episode paling pertama. 

 Selain tentu hari ini banyak negara-negara kuat yang menjadi penyokong kekuatan Israel terutama Amerika Serikat. Sokongan inilah yang membuat resolusi organisasi-organisasi besar seperti PBB dan International Court of Justice (ICJ) seakan lumpuh. Bila organisasi kelas kakap saja gagap, menyelesaikan genosida melalui forum seremonial jelas bagai pungguk merindukan bulan.

Salah Arah Meneladani Gus Dur dan Tidak Bermoralnya Sikap Netral

Gus Dur adalah salah satu tokoh yang sering menjadi legitimasi normalisasi hubungan dengan Israel. Memang sekitar tahun 1994 Gus Dur pernah mengunjungi Israel juga Palestina. Tetapi seperti apa konteks kunjungan itu dan bagaimana posisi Gus Dur perlu kita telaah lebih dalam, sebelum berbusa-busa seolah-olah ingin melanjutkan legasi Gus Dur.

Saat kunjungan Gus Dur itu, Israel dipimpin perdana menteri Yitzhak Rabin dari partai Buruh yang sebelumnya telah berhasil menyepakati Perjanjian Oslo I (Oslo Accord I) bersama Shimon Peres dengan Yasser Arafat, presiden Palestina waktu itu. Ketiga tokoh ini yang nantinya mendapat nobel perdamaian sebab progresifitas bina damai antara Palestina-Israel. Kondisi ini sangat berbeda dengan hari ini dimana Israel dipimpin Benjamin Netanyahu dari partai Likud yang dulu melakukan demonstrasi atas kesepakatan Oslo tersebut. Kesepakatan Oslo semakin rumit setelah pada 1995 Yitzhak Rabin tewas ditembak oleh seorang ultanasionalis bernama Yigal Amir. Setali tiga uang dengan kematian mendadak Yasser Arafat pada 2004.

Selain perbedaan kepemimpinan Israel yang di waktu kunjungan Gus Dur tampak lebih akomodatif terhadap perdamaian. Strategi two state solution yang ia sodorkan dipertegas dengan ucapannya “tegakkan keadilan dan berikan hak-hak Palestina kepada mereka, baru bicarakan perdamaian” ketika ditanya pejabat kementerian luar negeri Amerika Serikat tentang apa yang harus dilakukan untuk mencapai perdamaian Israel-Palestina.

“tegakkan keadilan dan berikan hak-hak Palestina kepada mereka, baru bicarakan perdamaian”

Gus Dur

Posisi tegas ini sangat penting sebab dalam kondisi perang tak seimbang posisi netral artinya kemunduran dan sikap tak bermoral. Seamus Murphy dalam artikel yang berjudul Neutrality: An Immoral Option? menandaskan bahwa posisi netral hanya bisa ditegakkan dalam situasi damai. Ia menganalogikan seperti supir yang berpikir bahwa mobil bisa terus melaju dalam posisi netral, sebaliknya sopir tidak menyadari bahwa laju mobil itu disebabkan posisi jalan yang menurun.

Senada dengan Mohammed Abu-Nimer, profesor bidang perdamaian dan resolusi konflik American University mengatakan dalam tulisannya yang berjudul Interfaith Peacemakers Cannot Remain Neutral on Gaza. “Banyak pemuka agama dan institusinya terjebak dalam polarisasi dan tidak mampu mengambil posisi etis dan moral yang jelas, tidak ada usaha bina damai yang dapat dipercaya tanpa melibatkan dengan serius tragedi yang dialami orang Palestina. Juru damai harus berdiri menentang pembersihan etnis dan kampanye genosida di Gaza.” 

Bila kita mampu memahami yang terjadi di Palestina adalah penjajahan dan genosida. Maka pengalaman kita sebagai warga negara bekas jajahan seharusnya memupuk solidaritas yang kuat. Lupa sudahkah betapa pedihnya pengalaman nenek moyang kita di masa penjajahan? Sependek itukah ingatan kita tentang betapa pilunya martabat mereka diinjak-injak dan tidak dimanusiakan? Sudah sepatutnya  undang-undang dasar negara kita menjadi pedoman bahwa “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan”. Apalagi posisi Indonesia sering dianggap sebagai pemimpin negara-negara muslim sebagaimana disebut Grand Syeikh Al-Azhar Ahmad Ath-Thayib. 

Saya berharap argumen-argumen ini tidak disimpulkan bahwa genosida di Palestina adalah persoalan agama, etnis, atau ras tertentu, tetapi harus didudukkan sebagai persoalan kemanusiaan secara luas. Sebab kengerian penjajahan bisa terjadi kepada siapa saja, sebagaimana mentalitas inlander bergaya seleb yang bisa menjangkiti siapa saja. Sebaliknya kita perlu menggalang gerakan kolektif dengan berbagai macam cara untuk melawan penjajahan dimanapun. Sebagai penutup, saya pikir sudah saatnya kita mengoreksi pandangan dan langkah kita supaya tidak mudah terkooptasi dan dimanfaatkan untuk melegitimasi genosida dan penjajahan, tulisan ini salah satu bentuk koreksi awal.


Bacaan lebih lanjut:

Abu-Nimer, Mohammad. (2024). Interfaith Peacemakers Cannot Remain Neutral on Gaza. America Magazine. Available on: Interfaith peacemakers cannot remain neutral on Gaza | America Magazine diakses pada: 17/07/2024.

Masalha, Nur. (2012). The Palestine Nakba: Decolonizing History, Narrating the Subaltern, Reclaiming Memory. London: Zed Books.

Murphy, Seamus. (1992). Studies: An Irish Quarterly Review , Summer, 1992, Vol. 81, No. 322, pp. 158-162.

Makdisi, Saree. (2022). Tolerance is Wasteland. California: University of California Press.

Pappe, Ilan. (2011). The Ethnic Cleansing Of Palestine. Oxford: Oneworld Publication.

Wahid, Abdurrahman. (2003). Arti Sebuah Kunjungan.  tersedia di Kisah Kunjungan Gus Dur ke Palestina – Alif.ID diakses pada: 17/07/2024

“Banser! Selamat datang di abad ke-2 Nahdlatul Ulama.” Begitu kira-kira sepenggal ungkapan Gus Ketum NU dengan pidatonya yang menggelegar di resepsi 100 Abad NU.

Wahai kader-kader PBNU, di abad kedua NU ini kelak di setiap acara-acara PBNU bukan hanya asap udud atau asap dupa saja yang bakal mengepul di udara tapi bakal ada pendatang baru yang ikut serta membumbung ke langit; yakni, selamat datang di keluarga besar PBNU, wahai asap batubara!

Di abad ke-2 Nahdlatul Ulama ini PBNU telah memastikan untuk mengajukan izin tambang. Alasan utama pengajuan ini adalah karena PBNU sedang BU (butuh uang). Untuk menjalankan organisasi sebesar ini tentu saja membutuhkan uang. Wong butuh, gimana lagi?

Ketua Umum PBNU, Gus Yahya, bilang “Masa imajinasi kembangkan sumber daya NU kok iuran warga. Ini gara-gara kelamaan melarat ini.” Ya, kok iuran warga, sih, uang dari tambang batu bara, lah.

Hal ini bermula dari pemerintah Presiden Jokowi yang ingin mencari jalan supaya distribusi pengelolaan sumber daya alam dapat terbagi secara merata. Seperti kita ketahui bersama ada ketimpangan distribusi dalam pengelolaan sumber daya alam Indonesia ini. Perusahaan-perusahaan tambang besar telah menguasai jutaan hektare, kalau dilelang lagi nanti akan jatuh ke perusahaan tambang besar itu lagi, dan enggak akan terjadi distribusi. Pemerintah melakukan ini dengan itikad yang baik.

Dari kenyataan demikian Gus Yahya menjelaskan “maka dijadikan lah ormas-ormas agama itu dijadikan sasaran, tapi sasaran masuk akal. Ormas dipakai urusan agama dan sampai pada umatnya” ucapnya dalam pidatonya di acara ‘Halaqah Ulama’ di Kantor PBNU, Jakarta, Selasa (11/6) seperti dikutip CNN Indonesia.

Tapi apakah Pemerintah sampai hati untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah yang memberikan kesempatan bagi ormas dan komunitas keagamaan saja. Bagaimana dengan perasaan aktivis-aktivis di organisasi non-keagamaan, semisal teman-teman di komunitas pecinta reptil. Kenapa pemerintah tidak memberikan kebijakan afirmasi untuk mereka, misal dengan memberikan konsesi lahan hutan untuk suaka dan pengembang-biakan reptil-reptil yang dicintai oleh komunitas tersebut.

Atau bila memang usulan tersebut terlalu muluk-muluk dan berlebihan, kenapa Pemerintah harus membagi-bagikan sumber daya alam tersebut kepada ormas-ormas pusat yang ada di Jakarta, kenapa tidak membiarkan warga setempat untuk mengelola ruang hidupnya sendiri? Tentu mereka akan menjaga kekayaan tersebut, ruang hidup yang menopangnya, dengan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.

Bahaya Melaratnya Semangat Khidmah

Sebelum ini semangat khidmat Nahdliyin dalam kegiatan-kegiatan yang dilangsungkan oleh NU begitu luar biasa. Gotong royong, patungan, dan iuran, menjadi oli yang menggerakan roda organisasi.

Salah-satunya adalah karena ada kesadaran kolektif bahwa NU tidak mempunyai banyak dana, maka warga tidak keberatan untuk turut serta membantu, mempertebal solidaritas. Dari kita, oleh kita, untuk kita.

Namun, apa yang akan terjadi bila Nahdliyin tahu bahwa PBNU telah memiliki dana dari hasil tambang? Apakah akan tetap semangat untuk berkhidmat secara cuma-cuma? Membayangkan ini menjadi mengerikan.

Lalu bagaimanakah uang dari tambang tersebut akan didistribusikan dalam program-program PBNU, apabila distribusi kelak tidak adil, hal tersebut akan mengikis kepercayaan sosial, kohesi antar Nahdliyin dan bahkan para pengurusnya, serta melemahkan solidaritas. Lebih jauh dari itu akan melemahkan kebahagian dalam ber-NU.

Tentu Para Kiai Tahu Mana yang Lebih Penting

Tentu saja yang terhormat para pengurus PBNU telah mengetahui dampak krisis ekologis yang terjadi akibat dari aktivitas ekonomi ekstraktif.

Toh, sebelumnya, di tahun 2015 PBNU telah mengeluarkan rekomendasi hasil dari putusan bahtsul masail yang tidak memperkenankan eksploitasi berlebihan kekayaan alam, yang menimbulkan mudharat lebih besar.

Para kiai dengan empati yang penuh dan rasa hormat yang tinggi atas batas-batas planet, atas masyarakat di sekitar lokasi penambangan dan bagi generasi yang akan datang, telah bersikap untuk menjunjung tinggi kemaslahatan yang utama. Tentu telah mengetahui apa yang lebih penting.

Apakah kita akan ikut berlari-lari dalam treadmill tak berkesudahan untuk menopang terus pertumbuhan ekonomi, untuk terus membakar fosil, dengan ongkos mahal yang harus dibebankan pada Bumi, masyarakat-masyarakat di pinggiran, generasi yang akan datang, dan lebih umum stabilitas kosmis. Atau kita bergerak menjadi agen utama yang menarik tuas rem darurat krisis ekologis ini.

Di abad ke-2 Nahdlatul Ulama ini, tentu para pengurus PBNU lebih tahu mana yang lebih penting untuk dunia, untuk O Universe dan Ayyuhal’alam. Sebagaimana pidato berapi-api Gus Yahya di resepsi 1 abad NU silam.

“Engkau mengirim surat kepada kami namun tak ada keterangan waktu di dalamnya,” Sayyidina Abu Musa Al-‘Asy’ari menulis kalimat itu dalam sepucuk surat kepada Sayyidina Umar ibn Khattab yang saat itu menjabat sebagai Amirul Mukminin.

Membaca surat balasan sahabat Rasulullah yang juga sahabatnya itu, Sayyidina Umar langsung mengumpulkan para sahabat yang lain. Mereka berembuk untuk merumuskan almanak guna melengkapi administasi kenegaraan dan mempermudah urusan waktu dalam ritual keagamaan. Singkat cerita, pada masa kekhalifahan sahabat bergelar Singa Padang Pasir inilah Kalender Hijriah resmi diterapkan di kalangan umat Islam.

Tahun Hijriah dimulai sejak hijrah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dari Mekkah ke Madinah. Di Mekkah, Nabi mengajarkan dasar-dasar ketauhidan kepada kerabat dan sahabatnya. Setelah berpindah ke Madinah, Nabi mengajarkan ketauhidan itu diwujudkan dalam sistem-sistem sosial.

Pada periode Madinah, tauhid tidak hanya menjadi pemahaman yang membeku dalam diri, tapi menjadi gerakan sosial dalam berbagai sektor kehidupan manusia. Di Madinah pula Nabi kemudian mengorganisasi masyarakat, menjaga teritorialnya, hingga terbentuklah satu kedaulatan yang hari ini kita istilahkan sebagai negara. Setelah negara terbentuk dan berdaulat, Nabi tidak hanya mengajarkan tata cara bersembahyang, tapi juga menyusun pertahanan militer, menerapkan hukum, serta menjaga stabilitas sosial dan ekonomi rakyatnya.

Suku dan klan-klan yang semula hidup sendiri berdasarkan geneologi kekerabatan, jaringan perdagangan, atau koneksi-koneksi kultural dirangkul dan disatukan oleh Nabi dalam satu panji kemanusiaan berdasarkan ajaran-ajaran Islam. Di Madinah, Islam kemudian menjadi pemersatu bagi apa dan siapa pun yang semula tercerai-berai karena stratifikasi sosial, konflik ekonomi-politik, maupun perbedaan iman. Di Madinah pula lahirlah konsensus, kanun, atau regulasi-regulasi yang disepakati bersama demi terbentuknya harmoni antarmanusia apa pun latar belakangnya.

Hijrah memang hanya terjadi di zaman Nabi, tapi Hijriah terjadi setiap saat. Apabila hijrah bermakna pindah, maka hijriah bermakna kepindahan atau perpindahan. Falsafah yang dapat kita ambil dari peristiwa hijrah adalah hijriah: suatu proses perpindahan dari fase kebaikan yang satu fase ke kebaikan yang lain. Dalam perpindahan ini, kita belajar dari strategi Nabi dan para sahabatnya dalam memproduksi kebaikan demi kebaikan untuk menciptakan keselarasan dan keindahan di muka bumi.

Memproduksi kebaikan, keselarasan, dan keindahan adalah tugas kemanusiaan dan kehambaan. Tiga nilai inilah yang mestinya kita perjuangkan kapan pun, di mana pun, melalui profesi apa pun. Wama khalaqtul jinna wal insa illa liya’budun, demikianAllah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an.“Sungguh tidak kuciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaku.” Ibadah, jangan dipahami hanya sembahyang di atas sajadah. Ibadah juga kebaikan, keselarasan, dan keindahan apa pun yang kita serap dari hadirat-Nya, lalu kita perjuangkan di lingkungan sosial masing-masing demi menjaga alam dan kehidupan.

Karena Alam dan kehidupan amanah Tuhan yang mesti kita jaga bersama, maka menjadi manusia-manusia hijriah sungguh keniscayaan. Sebagai manusia, kita bukanlah makhluk yang tercipta kebetulan. Kita bukan entitas yang diciptakan sebatas perangkat-perangkat materi demi mencari kepuasan materi belaka. Kita, ciptaan yang diciptakan dengan ruh, dengan jiwa, dengan spiritualitas, yang dengannya pula kita diminta membangun peradaban keindahan di dunia ini.

Membangun peradaban keindahan bisa kita mulai dari institusi kebudayaan paling kecil tapi sekaligus paling utama: keluarga. Dari keluarga kemudian kampung, desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga negara serta antarnegara dan antarbangsa. Proses hijriah inilah yang dilakukan Nabi dalam hijrahnya ke Madinah. Sebuah upaya yang terus-menerus dalam membangun peradaban yang berkeadaban dari struktur sosial yang paling dasar.

Proses hijriah inilah yang dilakukan Nabi dalam hijrahnya ke Madinah. Sebuah upaya yang terus-menerus dalam membangun peradaban yang berkeadaban dari struktur sosial yang paling dasar.

Penamaan hijriah sebagai tahun tidak hanya menandai hijrah Nabi dan kaum Muhajirin dari Mekkah saja, tidak pula sebatas mengingat kemuliaan jiwa sahabat-sahabat Anshar di Madinah saat menerima mereka. Hijriah, proses yang tak kunjung usai dalam memperjuangkan kebaikan, keselarasan, dan keindahan. Hijriah adalah upaya terus-menerus untuk menata alam dan kehidupan dengan nilai-nilai profetik.

Sepanjang tahun Hijriah, selama rembulan masih mengitari alam raya, perpindahan-perpindahan menuju tatanan keindahan sepantasnya terus kita upayakan. Dari yang semula memperjuangkan kepentingan personal, berpindah memperjuangkan kepentingan sosial. Yang menjadi pejabat negara dengan niat memakmurkan diri dan keluarga, berpindah orientasinya demi memakmurkan rakyat dan menjaga negara dari rongrongan bandit dan mafia. Dengan begitu, hijriah tidak hanya beku sebagai nama bagi waktu, tapi menjelma gerakan kemuliaan dalam diri yang berdampak bagi seluruh makhluk di bentala ini.

Pemaknaan tentang hijrah dan hijriah semacam ini perlu kita sadari, kita jiwai, dan kita resapi, karena hijrah Nabi dari Mekkah ke Madinah bukan hanya transmigrasi melainkan transformasi. Dan manusia hijriah adalah manusia yang tak hanya bertransmigrasi dari keburukan ke kebaikan, tapi manusia yang terus bertransformasi dengan cara melakukan kebaikan dan terus menyebarkan kebaikan kepada apa dan siapa pun sebagaimana tuntunan Nabi.

Akhirnya, mengucapkan “Selamat Tahun Baru Hijriah” penting, tapi menjadi manusia-manusia hijriah sungguh jauh lebih penting.

Angin semilir berhembus menerpa lautan pasir yang luas membentang. Butiran pasir pun tak ayal berterbangan mengenai permukaan badan. Untungnya, cuaca di pagi hari yang sejuk cenderung dingin seakan menihilkan keringnya lautan pasir.

Tapi, mungkin tidak ada yang terganggu dengan butiran pasir yang tidak henti mengenai pakaian atau anggota badan. Panorama lautan pasir dan kokohnya Gunung Buthak di seberangnya, serta keinginan untuk mendaki Gunung Bromo pasti jauh lebih mendominasi pikiran.

Sembari berjalan dan menatap ke arah Gunung Buthak, tetiba saya teringat penggalan novel Sabda Palon yang pernah saya baca beberapa waktu silam. Damar Shashangka, penulis novel tersebut, menggambarkan perjalanan Bhre Kertabhumi untuk bersemadi di Pertapaan Gunung Semeru yang melintasi daerah Bromo beserta lautan pasirnya.

Saya memang agak lupa detailnya, tapi sekelabat ingatan itu menyentil saya. Ah, betapa laku tirakat begitu akrab dengan keseharian orang Jawa. Jangankan rakyat jelata, para raja pun, yang biasanya hidup bergelimang harta, sering kali diceritakan melakukan semadi setiap akan mengambil keputusan penting dalam pemerintahannya.

Sepemahaman saya, kata tirakat identik dengan menahan hawa nafsu yang dilakukan untuk mewujudkan sesuatu yang diinginkan. Bentuk tirakat bisa berupa banyak hal, bisa puasa, bisa zikir ataupun ibadah-ibadah lain. Sepengetahuan saya lho ya. Dulu, Ibu saya sering sekali berpuasa ketika saya atau adik-adik sedang mau ujian sekolah. Atau Embah saya. Tapi sayangnya, itu terhenti begitu saja. Di titik saya.

Itulah mengapa di awal saya menyebut tersentil. Sesuatu yang dulunya merupakan keseharian, kok sekarang terasa begitu asing ya. Jangankan berlaku tirakat dengan melakukan puasa berhari-hari, mengganti puasa Ramadhan pun seringkali dilakukan ketika mendekati waktu puasa Ramadhan tahun berikutnya.

Mungkin beberapa orang ada yang berkomentar tentang kesesuaian laku tirakat dengan ajaran agama. Mungkin itu ada benarnya. Tapi, dari kacamata awam saya, ada hal menarik berkaitan dengan kebiasaan tirakat jika dibandingkan dengan saya atau generasi saat ini.

Kalau kita browsing atau baca-baca singkat tentang tirakat, yang muncul adalah tentang berbagai upaya spiritual menahan hawa nafsu demi mencapai sesuatu yang diinginkan. Dari titik ini saja, rasanya sudah kurang relevan jika dikaitkan dengan masa sekarang. Ya iyalah Buk, masak kepingin punya uang harus puasa? Kalau kepingin punya uang ya bekerjalah!

Mungkin semacam itu komentar yang akan muncul pada generasi kita saat ini. Komentar itu tidak salah. Tapi, sepertinya ada sedikit yang terlupa. Bahwa simbah-simbah kita dulu juga kuat berpuasa di tengah-tengah keseharian dan pekerjaan mereka.

Bagi simbah-simbah dulu, mungkin berpuasa adalah salah satu laku tirakat yang demikian erat dengan keseharian dan sudah biasa dilakukan. Ya, memang, bahan pangan waktu itu juga bukan sesuatu yang mudah didapatkan seperti sekarang ini. Tapi, kemampuan para simbah dalam menerima dan mengelola keadaan mereka saat itu dan menjalaninya sebagai bentuk tirakat merupakan hal bagus yang seharusnya tidak kita lupakan.

Tapi, kemampuan para simbah dalam menerima dan mengelola keadaan mereka saat itu dan menjalaninya sebagai bentuk tirakat merupakan hal bagus yang seharusnya tidak kita lupakan.

Di era kemudahan informasi seperti sekarang, rasanya mudah sekali bagi kita untuk berganti keinginan. Atau bahkan menambah daftar keinginan. Ada postingan makanan viral misalnya, tiba-tiba kepingin ikut mencoba. Ada war ticket, tiba-tiba ingin ikut-ikutan. Belum lagi kalau pingin jalan-jalan alias healing tipis-tipis. Hal yang pada awalnya bukan keinginan kita, tiba-tiba bisa menjadi sesuatu yang kita idam-idamkan.

Punya keinginan tentu bukan hal yang salah. Itu wajar-wajar saja sebagai seorang manusia. Tapi, mungkin di sinilah kita perlu belajar kepada para simbah kita tentang tirakat itu. Kita mungkin kesulitan untuk melakukan laku tirakat seperti mereka. Tapi setidaknya kita belajar dulu untuk menahan dan mengelola keinginan kita .

Tentu tidak semua keinginan kita harus dituruti. Dan tentu kita perlu berusaha untuk mengelola emosi ketika tidak bisa memperoleh hal yang kita inginkan. Sepertinya teknik mengelola emosi inilah yang berbeda antara kita dengan simbah kita. Kalau mereka mungkin berusaha untuk menerima dengan lapang tetapi juga berusaha, baik spiritual maupun lahiriah, kalau kita, yaaa denial dulu lah sedikit. Kalau tidak yaa, healing dulu lah, biar ndak sumpek!

Akhir-akhir ini kita akrab sekali dengan istilah inner child, love yourself, reward untuk diri sendiri dan sebagainya. Kita akrab dengan berbagai hal yang dialamatkan untuk menyenangkan diri kita, semacam healing, hadiah karena telah melakukan sesuatu dan semacamnya. Tapi, tanpa disadari, kita lupa bahwa kadangkala diri kita membutuhkan semacam situasi yang ‘tidak enak’ agar bisa mengeluarkan potensi terbaiknya.

Kita akrab dengan berbagai hal yang dialamatkan untuk menyenangkan diri kita, semacam healing, hadiah karena telah melakukan sesuatu dan semacamnya. Tapi, tanpa disadari, kita lupa bahwa kadangkala diri kita membutuhkan semacam situasi yang ‘tidak enak’ agar bisa mengeluarkan potensi terbaiknya.

Keakraban kita dengan berbagai hal untuk menyenangkan diri membuat kita langsung menolak semua hal yang terlihat menyusahkan diri kita. Sebenarnya ini sifat alami juga sih. Mana ada orang yang ingin bersusah-susah?

Dan agaknya, banyak orang lupa bahwa suatu ketika, di suatu masa dalam hidup kita kemungkinan untuk berada pada posisi yang tidak menyenangkan itu.

Pada kondisi itulah, ada baiknya kita mengingat kembali simbah kita dengan laku tirakatnya. Simbah kita dengan pengelolaan hawa nafsunya dalam melewati kondisi yang tidak menyenangkan itu.

Mungkin saja, dengan mempelajari cara manajemen emosi lewat lelaku tirakat para simbah, kita bisa menemukan solusi atas permasalahan mental yang sering kita temui akhir-akhir ini. Atau mungkinkah kita sudah demikian tercerabut dari akar kita, sehingga sangat jauh bagi kita untuk mempelajarinya kembali?

Pikiran dan perasaan saya terasa tenang dan senang saat menyaksikan pementasan drama berjudul “Kampung Jahe”. Tak ada sesuatu pun yang saya permasalahkan selama pertunjukan berlangsung yang berdurasi satu jam penuh. Rasanya seperti sedang nongkrong di gang kampung sambil minum es teh dan menghisap sebatang rokok. Bahkan, saya sempat tiga kali berpindah tempat duduk untuk menontonnya. Pertama, ikut serta duduk melingkar, lesehan di panggung. Kedua, di kursi depan penonton, dan ketiga, di kursi penonton paling belakang. Perpindahan tempat duduk itu hanya untuk mengubah sudut pandang saya agar mendapatkan pandangan yang berbeda-beda.

Saya menikmati dengan senyum-senyum sendiri lantaran teater garapan Aik Vela ini mengingatkan kehidupan saya pada masa lampau di sebuah kampung dekat dengan pusat kota, tetapi masyarakatnya tidak mencerminkan warga kota yang identik dengan hedonis, konsumeris, induvidualis, dan egois. Masyarakat kampung di kota masih menjaga hidup bergotong-royong, kebersamaan, saling merawat, hemat, dan jauh dari gemerlap kehidupan kota. Sebagaimana tercermin dalam pertunjukan drama yang disuguhkan oleh Institut Hidup.

Pertunjukan “Kampung Jahe” dimulai pukul 21.00 WIB, sebagai penyaji kedua dalam program Linimasa Teater yang diselenggarakan oleh Taman Budaya Yogyakarta. Sebagai penonton, saya merasa cukup senang dan tidak bosan mengikuti alur ceritanya. Tidak sedikit pun rasa gelisah menghampiri saya seperti biasanya saat menonton pertunjukan lantaran melihat banyak ketidakjelasan, baik secara teknis maupun konseptual. Pertunjukan “Kampung Jahe” malam itu berhasil membuat ketenangan dalam diri. Saya sendiri merasa heran karena tidak biasanya saya membiarkan pertunjukan berjalan lancar. Banyak interupsi dalam kepala yang tentu saja tidak bisa saya utarakan langsung pada saat itu. Biasanya saya akan menulis atau mendatangi sang Sutradara untuk sedikit berdiskusi. Kali ini saya merasakan kemalasan yang berat saat hendak menuliskannya. Mungkin karena tidak ada masalah dan penuh pengertian dalam mengapresiasi pertunjukan. 

Maka saya putuskan untuk tak menulis pertunjukan “Kampung Jahe” terutama secara bentuk, estetika, dan teknisnya. Lalu apa? Baiklah, saya akan sedikit mengurai apa yang terbayangkan dalam pikiran saat berhadapan dengan drama sesi kedua di Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta, 19 Oktober 2023.

Dinamika Pikiran

Membayangkan kemunculan sebuah gagasan rasanya lebih menarik bagi saya setelah beberapa hari usai pertunjukan. Bagaimana awal mula gagasan teater itu tercetus dalam benak sang pengkarya. Saya lebih mempercayai bahwa gagasan itu muncul bukan lantaran wahyu yang jatuh dari langit. Namun lebih bersifat manusiawi, yaitu dari jalinan atau rangkaian pengamatan, perjumpaan, komunikasi, renungan, pikiran dan hal-hal lain (waktu, pengalaman, bahasa, tubuh, dan lain-lain) yang menyertainya. Dari jalinan itulah terjadi dinamika pemikiran yang awal mulanya masih silang sengkarut, kemudian muncul usaha untuk menjumput beberapa hal yang dianggap berkesan, menarik, penting atau kontekstual. Dari titik itu Sang Pengkarya mulai berani untuk mencetuskan gagasannya.

Saya lebih mempercayai bahwa gagasan itu muncul bukan lantaran wahyu yang jatuh dari langit. Namun lebih bersifat manusiawi, yaitu dari jalinan atau rangkaian pengamatan, perjumpaan, komunikasi, renungan, pikiran dan hal-hal lain (waktu, pengalaman, bahasa, tubuh, dan lain-lain) yang menyertainya

Gambaran di atas saya tuliskan sesuai apa yang selama ini saya alami dalam proses berkesenian. Meskipun terkadang saya juga mengalami kekuatan lain dalam diri yang tak terbaca secara nalar. Kekuatan itu saya sadari beberapa bulan atau tahun, setelah mencipta sebuah karya. Terkadang muncul pertanyaan: masak sih saya bisa membuat karya seperti ini? yang membuat terheran sendiri. Saya memaknai kekuatan lain itu juga tidak serta-merta jatuh gratis dari langit, namun dari sensitivitas yang terus menerus terlatih dengan sendirinya.

Proses kemunculan gagasan Institut Hidup (IH) saya rasa proses kerjanya amatlah dinamis karena tidak bekerja secara soliter. Sebagai sebuah kelompok tentu saja ada beberapa pemikiran yang bergelut untuk menyempurnakan gagasan. Kelompok seni pertunjukan yang digawangi Aik Vela dan Ficky Tri Sanjaya telah melewati proses kerja dalam diri masing-masing yang kemudian saling berbenturan satu sama lain. Sebuah kerja yang butuh intensitas dan energi ekstra. Kemudian menggulirkan proses kerja kreatif selanjutnya yang melibatkan banyak orang.

Pergulatan menuju gagasan kali ini tidak dapat disepelekan apalagi dibiarkan lewat begitu saja. Mengapa demikian? Karena gagasan tersebut bagi saya bukan semata kerja untuk membuat pementasan drama. Drama menjadi salah satu kanal atau saluran yang telah mewujud, sebab gagasan tersebut tak hanya melibatkan satu komunitas saja, tetapi mengalami pertemuan dengan elemen masyarakat lainnya. Dalam hal ini ibu-ibu dan dunianya juga para anak-anak muda. Karena tak hanya seniman yang menjadi pelaku dan mewujudkan gagasan. Tentu menjadi nilai lebih yang tidak dapat disepelekan. Pertemuan itu akan membuahkan banyak gagasan dan konsep jika terus disirami dengan imajinasi dan wacana. Di sini komunikasi yang setara menjadi kunci penting untuk membuka pemikiran. Segala sesuatu yang bersentuhan dengan masyarakat akan menjadi nilai yang akan terus berjalan.

Bayangan Proses

Terwujudnya pementasan drama “Kampung Jahe” merupakan keberhasilan dari sebuah pertemuan dan komunikasi. Selama menonton pertunjukan saya turut membayangkan proses kerja kreatif yang sarat akan perhitungan. Tidaklah mudah menjalani sebuah proses di luar lingkaran pergaulan. Pengaturan waktu, ruang kerja, emosi, psikologi, komunikasi, ekonomi, dan mungkin masih ada yang lainnya. Semuanya dijalani secara bersamaan dalam setiap pertemuan. Memang melelahkan, tapi senyatanya membuahkan manfaat yang menyebar dalam diri setiap pribadi di dalamnya.

Tidak semua ibu-ibu memahami apa itu seni teater apalagi pernah mengalami atau melakoni proses produksi. Secara teknis harus membimbing dan mengarahkan dengan energi ekstra. Secara emosi musti terjaga agar tak menimbulkan prasangka yang membuat kurang nyaman. Bagaimana agar para ibu pelaku semakin tambah semangat dan lebih percaya diri di atas panggung nantinya. Proses kerja ini tampaknya sederhana dan biasa saja, memang jika dilihat dari sudut pandang pelaku profesional, berbeda dengan ibu-ibu yang notabenenya warga kampung biasa. Saya meyakini IH mempunyai metode-metode tertentu untuk mengatasinya.

Sebagai penonton, saya hanya dapat membayangkan bagaimana proses kerja kreatif tersebut bergulir. Dan bagaimana perasaan, pikiran, juga kesan dari para pelakunya terutama ibu-ibu. Rasa penasaran itu membuat saya tersenyum sendirian di atas bangku penonton. Terasa berat tapi indah dalam bayangan dan tak akan hanya menjadi kenangan, namun menjadi pengalaman berharga. Tidak sekadar kesan dan kesulitan, juga jalinan peristiwa menjadi catatan penting untuk melangsungkan proses selanjutnya. Sebuah kesederhanaan yang menawarkan nilai yang begitu berharga, meskipun tidak menjanjikan hal yang muluk-muluk, yaitu sebuah laku bersahaja dan sepanjang masa.

Kehadiran Teater

Hadirnya sebentuk teater di atas panggung pertunjukan saya maknai bukan hanya peristiwa seni. Namun, sebuah kelahiran ruang dan wacana baru di tengah masyarakat yang layak untuk diapresiasi bersama. Sebab peristiwa pementasan akan menjadi ingatan bersama yang tak lekang oleh waktu. Menjadi gaung dalam kehidupan sosial lintas generasi tanpa membedakan kelas dan usia.

Teater menjadi sebuah kesadaran bagi masyarakat untuk merenungi keberadaannya sebagai warga. Menjadi bahasa baru dalam mengkomunikasikan tema-tema yang sedang berlangsung dan memuat sejarah kecil sehari-hari. Tak banyak yang menyadari bahwa laku kreativitas dapat menularkan energi yang membangun banyak lini kehidupan masyarakat. Maka, sangatlah disayangkan jika proses kreatif tersebut berhenti pada satu titik pementasan.

Teater menjadi sebuah kesadaran bagi masyarakat untuk merenungi keberadaannya sebagai warga. Menjadi bahasa baru dalam mengkomunikasikan tema-tema yang sedang berlangsung dan memuat sejarah kecil sehari-hari

Dalam proses kreatif perlu juga keberhati-hatian saat menjalani dan mewujudkan karya bersama, karena jika tidak berhati-hati akan banyak kepentingan yang tak tersaring dan mengotori proses kreatif. Akibatnya, hanya akan menjadi corong untuk kepentingan tertentu dan menjadi proses yang tak sehat serta membosankan.

Tirto, 9 November 2023

Editor: Mohammad Hagie