Menu

Latar

“Korjooo! Korjoooo! Korjoooooooooooooo!”

Kernet berpeci hitam nasional itu memekik seraya membenturkan cincinnya ke besi pegangan penumpang. Sopir melepas gas, menginjak rem. Bus Akas trayek Muncar-Surabaya-Kalianget yang saya tumpangi sejak 1,5 jam lalu dari Terminal Sritanjung, Banyuwangi, berhenti.

Saya gendong ransel, saya angkat bokong dari kursi di kabin tengah, saya turun dari bus kelas ekonomi ber-AC itu. Azan isya berkumandang. Kendaraan begitu ramai berlalu-lalang seperti koruptor yang tak henti-henti menggelembungkan anggaran. Dari gapura berlogo lintangan huruf Arab di seberang jalan, pemuda bersarung juga berjaket dan berkopiah hitam nasional muncul menyorong motor.

“Saifir Rohman, Mas,” ucapnya, mengenalkan diri. Tangan saya menjabat tangannya. Kami memang berbalas pesan sejak saya masih di kapal feri, bahkan sejak beberapa hari sebelumnya, karena Ustadz Syaifir-lah yang menghubungi saya untuk datang. Ke motor yang kata dia milik pesantren itu saya berbonceng. Malam itu, saya diinapkan di wisma dosen yang mewah untuk ukuran pesantren. Ranjangnya besar dan sandaran kursinya tinggi khas perabot rumah di Timur Tengah. “Sebelumnya, wisma ini ditempati seorang syaikh dari Al-Azhar, Mesir,” Ustadz Syaifir menjelaskan.

Esok harinya, pukul 9 pagi, saya sudah berada di kampus Ma’had ‘Aly Pondok Pesantren Salafiyah-Syafi’iyah, Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur. Di pesantren ini, Senin 9 Juni 2025, bersama Kiai Muhammad Faizi dari Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, pengurus perpustakaan Ma’had ‘Aly meminta kami untuk menemani para mahasantri belajar menulis esai.

Mahasantri adalah sebutan untuk para santri lulusan madrasah aliyah yang melanjutkan belajarnya di Ma’had ‘Aly. Adapun Ma’had ‘Aly merupakan lembaga pendidikan tinggi di beberapa pesantren di Indonesia yang menekuni keilmuan khusus seperti fiqih dan ushul fiqih, sejarah dan peradaban Islam, hadits dan ilmu hadits, Al-Qur’an dan ilmu Al-Qur’an, tasawuf dan tarekat, aqidah dan filsafat Islam, bahasa dan sastra Arab, juga ilmu falak. Ma’had ‘Aly Sukorejo menekuni hukum Islam (fiqih) dan filsafat hukum Islam (ushul fiqih).

Ada dua puluhan peserta dalam pelatihan itu: sepuluh santri putra dan sepuluh santri putri. “Kami sengaja tidak melibatkan banyak peserta agar kelas lebih intensif,” jawab Ustadz Syaifir saat saya bertanya kenapa hanya dua puluh peserta. Namun saat acara berlangsung, sepertinya ada tambahan sepuluh atau belasan santri lagi termasuk panitia yang ikut dalam pelatihan.

Pelatihan dibagi menjadi tiga sesi: pagi, siang, lalu malam. Di kelas pagi, Kiai Faizi diberi waktu bicara tentang tata bahasa dan kesalahan-kesalahan umum dalam penulisan. Saya ditugaskan mengurai apa itu esai dan bagaimana menulis esai dengan baik. Frasa “menulis esai dengan baik” sebenarnya mengkederkan saya karena saya sebenarnya belum benar-benar mampu menulis esai, apalagi, dengan baik. Di kelas siang, saya dipersilakan bicara tentang memilih angle sedangkan Kiai Faizi diminta mengulas penyelesaian dan penyuntingan tulisan. Terakhir, kelas malam, panitia menugaskan saya dan Kiai Faizi untuk mengoreksi sekaligus membahas esai-esai peserta yang dikumpulkan menjelang petang.

Kiai Faizi yang saban hari mengajar kitab Risalatul Mu’awanah kepada santri-santrinya di Pesantren Annuqayah, pada malam-malam tertentu memimpin sarwah dan tahlil di tengah masyarakat Desa Guluk-Guluk, hari itu telaten mengurai diksi, titik, koma, dan tetek bengek kebahasaan lainnya. Sebagai seorang kiai, penyair, esais, juga bismania, berkali-kali dia memberi trik menciptakan cerita dan unsur puitik dalam esai dengan contoh esai yang dia tulis dan telah dia terbitkan.

Saya lebih banyak berbagi pengalaman dalam menulis, mencari atau mendapatkan ide, cara mengirim esai serta momen agar esai tersebut berpeluang terbit di media massa. Untuk menyemangati peserta pelatihan, saya berkisah tentang honorarium yang didapat esais ketika esainya dimuat di koran atau majalah.

Agar peserta tidak menjadikan honorarium sebagai satu-satunya alasan menulis esai, saya sampaikan juga betapa banyak media massa yang kini menurunkan nominal uang lelah itu bahkan meniadakannya sama sekali dengan alasan efisiensi perusahaan atau berdalih zakat kebudayaan. Ah, efisiensi, betapa kata ini kini menjadi momok yang menakutkan. Dengan kata itu penyelenggara negara memangkas anggaran kesehatan dan pendidikan meski di sektor lain yang tak penting mereka menggunakannya ugal-ugalan.

Esok paginya, setelah sarapan nasi sodu khas Asembagus suguhan Ustadz Adnan, saya minta antar ke kompleks pekuburan masyayikh Pesantren Sukorejo di belakang masjid. Di depan kuburan Kiai Haji Raden As’ad Syamsul Arifin saya bertawasul dengan membaca Surah Al-Fatihah untuk Kanjeng Nabi juga keluarga dan sahabatnya berikut para ulama dan tentu saja Kiai As’ad serta para kiai dan para nyai pesantren ini. Saya teruskan dengan membaca Shalawat Nariyah sebelas kali kemudian saya bertahlil dan berdoa.

Saat membaca Al-Fatihah, saya teringat sampul berlukis sosok Kiai As’ad di Majalah Tempo edisi “Rame-Rame ke Situbondo” yang terbit 15 Desember 1984. Saya juga terkenang Majalah Tempo edisi 2 September 1989 yang di rubrik memoar-nya memuat sebelas halaman wawancara Mohammad Baharun dengan Kiai As’ad berjudul “Pemimpin di Balik Layar”. Tahun-tahun itu, Kiai As’ad memang ulama incaran media massa, terutama sejak Musyawarah Nasional Alim Ulama di Pesantren Sukorejo 21 Desember 1983, waktu Nahdlatul Ulama menerima Pancasila sebagai asas tunggal.

Kiai As’ad berwibawa karena meski dekat dengan penguasa dia tak pernah tertarik dengan kekuasaan. Dia menolak ketika Soekarno menawarinya menjadi Menteri Agama. Andai Kiai As’ad masih hidup pada tahun 2016, saya hakulyakin, Kiai As’ad pasti emoh bahkan mungkin marah ketika negara menganugerahinya gelar pahlawan nasional. “Aku tak ingin terkenal di bumi, Nak, aku ingin terkenal di langit,” tegas Kiai As’ad kepada Kiai Imam Qusyairi Syam, seorang kerabatnya, beberapa tahun setelah Muktamar ke-27 NU sukses digelar di Pesantren Sukorejo yang saat itu diasuhnya.

Ketika membaca Shalawat Nariyah terlintas dalam pikiran saya Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang menerima konsesi tambang dari negara. Saat itu pula saya teringat anggota PBNU yang menjadi komisaris perusahaan nikel di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat. Setelah itu, terbayang wajah salah satu ketuanya yang memakai teori fiqih dalam membela industri ekstraktif lalu menyebut aktivis peduli kelestarian alam sebagai wahabi lingkungan dalam gelar wicara di satu stasiun televisi.

Sambil bertahlil, saya bertanya-tanya: andai masih hidup, apa yang akan dilakukan Kiai As’ad, saat NU, organisasi yang ikut beliau dirikan bersama Kiai Haji Hasyim Asy’ari dan Syaikhona Khalil Bangkalan juga para ulama lain, kini mirip juru bicara istana atau bagian humas kementerian? Andai bisa berjumpa langsung dengan Kiai As’ad, saya ingin bertanya: apa yang perlu dilakukan hari-hari ini ketika Indonesia sedang menderita penyakit kronis dalam ranah politik, ekonomi, dan budaya?

Angin menyapu wajah yang masih basah oleh air wudu. Nama Allah dan Rasulullah menyejukkan batin yang sebelumnya hangat oleh kesangsian. Tak ada jawaban, namun setidaknya, kemusykilan telah diungkapkan.

Setelah bertawasul, bershalawat, juga bertahlil, saya berdoa untuk diri, keluarga, tetangga, teman-teman, juga negara dan bangsa yang sedang krisis keteladanan. Saya juga berdoa semoga ke depan NU diurus oleh ulama, tidak diurus oleh broker politik apalagi oleh tengkulak tambang. Saya pun bermunajat, semoga santri-santri yang kemarin belajar menulis esai di Ma’had ‘Aly Sukorejo kelak tidak menggunakan esai dan ilmu agamanya untuk mencuci tangan rezim zalim dengan kelihaian berbahasa dan kedalaman teori fiqih-nya.

Saya tinggalkan pekuburan Kiai As’ad yang saat itu juga menjelma kuburan bagi pertanyaan-pertanyaan saya tentang NU, tentang Indonesia, tentang segala tentang yang terbentang. Ustadz Wafi mengantar saya ke jalan raya pantura di selatan pesantren. Di jalan Surabaya-Banyuwangi tempat belalu lalangnya truk-truk besar menuju Bali itu saya menunggu bus menuju Terminal Sritanjung lalu menyeberang dari Pelabuhan Ketapang.

Saya menunggu bus besar dan panjang seperti Akas, Mila, atau Indonesia Abadi namun tak kunjung tiba. Yang datang justru bus Ujang Jaya dan Minto yang kecil dan pendek. Selama dan semenjenuhkan inilah rasanya menunggu pemimpin bercita-cita besar dan berpikiran panjang namun yang datang justru pemimpin berjiwa kerdil dan berpikiran pendek.

Setelah dua jam menunggu, dengan lunglai saya naik Minto. Dalam bus yang berjalan bagai siput itu saya kebagian bangku paling belakang dan karenanya tengkuk saya tertimpa terik matahari. Tengkuk yang terpanggang, bus yang berjalan tersengal-sengal, obrolan antarpenumpang dari kongkalikong para elite politik nasional hingga anak-anak mereka yang butuh biaya banyak untuk masuk sekolah di awal tahun ajaran, membuat pertanyaan-pertanyaan ini menyerbu pikiran.

Kenapa mahasantri Ma’had ‘Aly Sukorejo ingin menulis esai? Kenapa mereka rela mengundang Kiai Faizi yang jauh-jauh datang dari Madura, juga saya yang berangkat dari Bali hanya untuk menekuni sejenis tulisan yang kini tak dihargai dengan honorarium yang layak? Apakah karena mereka ingin terbebas dari penjara tulisan  ilmiah rezim scopus yang sesak dengan latar belakang dan rumusan masalah, tinjauan pustaka, teori dan metodologi, daftar pustaka, berikut catatan kaki yang melelahkan pembacaan sekaligus membonsai pemikiran? Kenapa santri-santri itu ingin jadi esais? Bukankah lebih enak jadi komisaris? Jangan-jangan, mereka ingin jadi komisaris sekaligus esais, seperti mantan jurnalis dan aktivis yang sedang menikmati hari-harinya di kursi komisaris perusahaan pelat merah sambil menulis esai-esai kebudayaan di beranda media sosialnya maupun di media massa?

Ketika bus Minto yang saya tumpangi melaju di tengah-tengah Taman Nasional Baluran, saat saya memandang rimbun hijau daunan pohon-pohon jati serta sekawanan monyet yang mencari makan di pinggir jalan, saya membatin: semoga hutan ini tidak ditambang oleh yang bergelantungan di pohon-pohon lembaga kenegaraan lalu dicarikan ayat pembenarnya oleh yang mendesis di semak-semak organisasi keagamaan.

Bagaimana ketika cerita tentang ninja yang sempat membawa teror dan ketakutan itu muncul lagi di hari ini. Bukan melalui cerita lisan yang dulu sering kita dengar, atau ulasan curasel media sosial, atau bahkan video dokumenter yang tersedia di ponsel kalian. Namun Ninja dengan segenap cerita gelapnya itu, dihadirkan kembali dalam seni pertunjukan kontemporer, teater.

Seni pertunjukan atau bentuk seni lainnya barangkali memang medium untuk menyampaikan pesan. Namun pesan yang seperti apa, yang sering kali menjadi pertanyaan. Tak jarang, pesan itu hanya berupa letupan bahkan hanya buih dari realitas yang tidak beraturan. Bagaimanapun itu pesan tetaplah pesan, di mana di balik setiap pesan pasti ada makna yang tersimpan. Dalam konteks inilah kerja-kerja artististik diperlukan untuk membongkar makna yang mungkin disembunyikan di balik tragedi dan peristiwa.

Kisah ninja yang meretas panjang di ingatan banyak orang di daerah Tapal Kuda Jawa Timur mungkin salah satu objek yang perlu dibongkar. Sebuah tragedi pembunuhan “dukun santet” yang menyelinap di balik topeng ninja. Yang sialnya hari ini tak banyak orang sadar bahwa ninja dengan segala tragedi di belakangnya adalah pola. Di mana pola yang diciptakan sewaktu-waktu bisa terulang. 

Dari hal itulah pertunjukan yang digawangi oleh Rokateater, di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, Kasihan, Bantul (19/07/2005), menjadi relevan untuk diceritakan. Melalui medium pertunjukan dengan pilihan dramaturgi, yang ingin saya sebut seperti esai sejarah, kisah itu direka ulang. Shohifur Ridho’i sutradara pada malam itu berupaya mendekonstruksi cerita yang mungkin hinggap di kepalanya. Sebagai orang yang tumbuh besar di Madura, yang tak asing dengan kisah ninja dan kisah pilunya itu, ia tampak ingin bersuara dengan lantang. Bahwa ninja adalah jelmaan dari otoritas yang gemar menciptakan ketakutan.

Meminjam ingatan seorang anak generasi milenial. Enam aktor muda dihadirkan di atas panggung. Bentuk artistik dengan layar tonil Ludruk Jawa Timuran dengan berbagai gambar yang silih berganti, kisah di atas panggung itu dijahit dengan lincah oleh sang sutradara. Pilihan artistik semacam itu menunjukan, bahwa pertunjukan ini tidak ingin melepas akarnya. Bagaimana seni tradisi dengan sentuhan estetika vernakular menjadi identitas di mana cerita itu mereka artikulasikan. Bentuk pengeras suara TOA dengan suara yang khas menjadi menarik ketika dihadirkan. Medium yang sempat menjadi primadona di era 90-an itu, tampak menjadi instrumen penting untuk mengarahkan adegan pertunjukan. 

Saat Ninja Masuk di Kampungnya 

Adegan pertama, para aktor tampak sibuk dengan perabotan rumah tangga. Mereka hilir mudik. Sebuah gambaran kehidupan yang biasa bagi orang Madura. Namun dentuman teror itu datang. Lampu sorot panggung tampak redup. Para aktor terdiam, mereka bergegas menyelinap dalam kebingungan. Lalu kabar dari Toa itu datang. Ternyata ninja telah mengepung kampung mereka. Kabar itu disebarluaskan. Dan salah satu aktor berdiri di depan menceritakan; ketika ninja datang di kampungnya, ia masih di perut ibunya.

Teror memang selalu berkorelasi dengan trauma. Keduanya seperti sulit dipisahkan. Bahkan ketika teror diciptakan tujuan utamanya adalah menitipkan trauma untuk siapapun yang mengalami atau sekadar mendengar ceritanya. Pada anak-anak cerita ninja hampir seperti fiksi. Mereka tentu tidak mengalaminya. Namun ketika tokoh ninja direka ulang di setiap obrolan sudut rumahnya, mereka menjadi penasaran pada siapa sosok ninja itu. Alih-alih melupakan peristiwa berdarah itu. Mereka generasi transisi milenium 2000-an, justru merasa penting untuk lebih tahu banyak apa yang sebenarnya terjadi pada masa kelam itu. Pada sebuah masa di mana gejolak sosial politik Indonesia lagi panas-panasnya, bukan tidak mungkin kondisi panas itu dapat terulang kembali. Dan melalui gagasan itulah, patahan-patahan kisah dalam panggung itu ramu.

Bahkan ketika teror diciptakan tujuan utamanya adalah menitipkan trauma untuk siapapun yang mengalami atau sekadar mendengar ceritanya. Pada anak-anak cerita ninja hampir seperti fiksi. Mereka tentu tidak mengalaminya. Namun ketika tokoh ninja direka ulang di setiap obrolan sudut rumahnya, mereka menjadi penasaran pada siapa sosok ninja itu.

Pada bagian ini, seorang aktor masih setia dengan gaya monolog untuk menceritakan masa kecilnya. Gaya bahasanya yang runtut, lebih mirip seperti umpatan berdialek sastra memaksa saya atau mungkin penonton lainnya untuk konsentrasi memperhatikan setiap larik kalimat yang diucapkan. Kata, “maksudnya” sering kali terselip pada setiap kalimat yang diucapkan sang aktor. Mungkin itu upaya untuk mempertebal tujuan agar pesan lebih mudah diterima penonton, tetapi apapun maksudnya, hal itu cukup memberi sentuhan yang berbeda kalau tidak malah mengganjal di telinga.

Dari ninja yang membawa teror menuju ninja yang muncul di televisinya. Tahun 90-an televisi masih barang langka di rumah-rumah warga. Tidak setiap keluarga memilikinya, biasanya dalam satu kampung hanya ada satu atau dua orang memiliki barang tersebut. Biasanya hanya Pegawai Negeri Sipil (PNS) orang yang mampu membeli barang semacam itu. Kalian tahu, zaman itu cita-cita tertinggi orang tua di kampung adalah menjadikan anaknya berseragam coklat tua. Aktor dalam pertunjukan itu masih bercerita. Ia mengenal ninja yang berbeda dari televisi tetangganya yang menjadi PNS di kampungnya. Dalam cerita, PNS dari Jawa itu, memiliki anak. Saat ia berusia tujuh tahun itulah ia menjadi teman anak PNS tersebut. Persinggungan semacam itu memungkin orang Madura terbiasa berdialog dengan bahasa Indonesia. Dari persahabatan itu juga, ia mengenal serial film kartun Ninja Hattori yang selalu muncul di hari Minggu.

Perwujudan ninja dalam serial film “Ninja Hattori” yang populer di layar TV pada waktu itu memang berbeda dengan cerita ninja mereka kenal di kampungnya. Ninja Hattori adalah sosok kecil memakai kostum berwarna biru, dengan karakter suka menolong, cerdik, dan lucu. Hal itu tampak kontras dengan karakter ninja yang anak-anak tahu di zaman itu. Bahwa ninja adalah penculik dan pembunuh guru ngaji dan para dukun santet di kampung-kampung daerah Tapal Kuda. Itulah cerita lain yang terpaksa mereka terima.

Dalam hal ini, tampak praktik artikulasi dilakukan Ridho’i untuk membongkar relasi kuasa yang terekam dalam fenomena budaya pada waktu itu. Ia mencoba berspekulasi untuk menghubungkan dua hal yang mungkin secara faktual tidak berkorelasi; antara cerita ninja yang menebar teror itu dengan film kartun Ninja Hattori. Namun di sisi yang lain, hal itu menunjukan kejelian Ridho’i dalam memotret fenomena budaya yang tidak bisa dilepaskan dengan kondisi sosial politik yang mengitarinya. Karena dengan nada curiga adanya film Ninja Hattori yang menghiasi layar tv adalah strategi budaya untuk mengaburkan makna dari ninja yang menebar ketakutan tersebut.

Dalam hal ini, tampak praktik artikulasi dilakukan Ridho’i untuk membongkar relasi kuasa yang terekam dalam fenomena budaya pada waktu itu. Ia mencoba berspekulasi untuk menghubungkan dua hal yang mungkin secara faktual tidak berkorelasi; antara cerita ninja yang menebar teror itu dengan film kartun Ninja Hattori.

Barangkali pertunjukan ini memang ditujukan untuk melihat sisi paling privat dari peristiwa besar yang terjadi pada waktu itu. Sehingga simbol-simbol ringan seperti peralatan rumah tangga menjadi medium artistik untuk menunjukan bahwa cerita-cerita teror itu terekam dalam setiap sudut paling personal orang-orang di sana. Anak-anak yang bercerita, menunjukan kepolosan narasi sejarah yang mereka terima melalui bangku sekolah yang tidak benar-benar mampu menjawab siapa ninja sesungguhnya. Dari sisi gelap sejarah itulah, pertunjukan ini disusun. Dari pertanyaan-pertanyaan yang dilemparkan oleh para aktor, penonton seperti diajak untuk menjawab bersama. Siapakah sebenarnya ninja yang pernah mengitari masa kecilmu itu?

Laporan-Laporan di Balik Operasi Berdarah

Tahun 1998 bulan Februari, pembunuhan seorang yang diduga “dukun santet” di Banyuwangi terjadi. Hampir 100 orang lebih korban terbunuh. Peristiwa itu kemudian menyebar luas sampai Situbondo, Pasuruan, Malang hingga Pulau Madura. Peristiwa itu dalam catatan Komnas HAM mencapai korban hingga 160-an orang. Tidak ada keterangan resmi dari negara siapa pelakunya. Namun masyarakat mengenal “ninja” lah yang menjadi dalang utama.

Istilah ninja muncul ketika pola pembunuhan yang terjadi hampir sama. Mereka menutup kepala, menggunakan senjata tajam seperti samurai dan mereka bergerak cepat, lincah, dan dalam beberapa kejadian mereka bisa menghilang. Tidak hanya itu, mereka juga meninggalkan jejak dengan tanda silang menggunakan senjata tajam di rumah para korban. Namun, tidak ada kepastian benarkah pelakunya adalah para ninja yang sering kita lihat di layar tv dari negeri samurai itu. Karena ninja sebenarnya adalah bahasa yang disematkan oleh masyarakat untuk mengidentifikasi para pelaku. Dalam suatu kejadian ada salah satu pelaku pembunuhan itu tertangkap, ketika dimasukan ke dalam sel saat mau diintrogasi pelaku itu menghilang. Mungkin karena itulah nama ninja disematkan kepada pelaku.

Kemudian para korban dilabeli “dukun santet”. Entah dari mana label itu muncul. Padahal faktanya dari pengakuan keluarga korban, Edy Sumardi (52) anak seorang korban dalam liputan BBC (22, Mei, 2023), menceritakan bahwa ayahnya adalah orang biasa, bahkan ayahnya adalah orang yang sering berangkat ke masjid dan taat beragama. Maka ketika ayahnya dikatakan sebagai dukun santet, ia tidak terima, karena faktanya tidak begitu. Lambatnya penangan dari pihak keamanan, membuat masyarakat mengambil inisiatif untuk berjaga dan mengambil tindakan ekstrem sendiri. Bahkan beberapa kejadian, ada ODGJ yang tak lepas dari amukan massa. Mereka terbakar amarah, membabat orang-orang yang mencurigakan di kampungnya.

Tidak hanya orang yang dilabeli dukun santet, para guru ngaji dan kiai kemudian juga banyak menjadi korban. Konflik horizontal kemudian terjadi di antara masyarakat. Mereka terbelah, saling curiga satu dengan lainnya. Wacana siapa dalang pembunuhan menjadi liar di tengah masyarakat. Identitas di antara keduanya mengental, benturan di antara kaum santri dan abangan terulang. Lagi-lagi sebuah pola lama terjadi, seperti membangkitkan luka lama yang lama tersimpan, konflik  di antara mereka seperti diharapkan oleh pihak yang punya kepentingan. Kalian mesti ingat bagaimana peristiwa 65 yang menjatuhkan ribuah orang terbunuh itu. Tampaknya pola itu direplikasi kembali dalam peristiwa ninja untuk menciptakan kerusuhan yang akhirnya sulit dikendalikan. 

Praktik itu sebenarnya sudah lama dilakukan sejak zaman kolonial, pemisahan antara agama dan budaya merupakan strategi untuk menggembosi perlawanan rakyat pada waktu itu. Dengan berbagai pendekatan klasterisasi yang dilakukan para orientalis berhasil membuat kedua identitas itu semakin mengental. Hingga kita mengenal golongan abangan-putihan (santri). Berbagai penelitian dilakukan untuk menjarakkan kedua identitas itu. Hingga puncaknya penelitian Clifford Geertz yang mengkategorikan masyarakat jawa menjadi tiga bagian. Santri, abangan, dan priyayi. Berdasarkan pemilahan itulah negara dengan alat kekuasaanya membuat segregasi sosial untuk melakukan taktik pecah belah untuk melemahkan kekuatan masyarakat sipil.

Akibat pembunuhan berantai tersebut, kondisi sosial di daerah Tapal Kuda menjadi mencekam. Menurut tim pencari fakta dari NU Banyuwangi dalam laporan yang diterbitkan LAKPESDAM PBNU menyebutkan peristiwa tersebut tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial politik nasional pada saat itu. Masa transisi yang bergejolak, di tengah kencangnya tuntutan turunnya Soeharto sebagai Presiden RI yang sudah 32 tahun. Negara seperti bersiasat agar kekuasaan Soeharto tetap bisa dipertahankan. Maka banyak kerusuhan terjadi, seperti di Bondowoso dan Tasikmalaya yang notabennya menjadi basis terkuat NU sebagai barisan politik Islam tradisional di bawah komando KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang waktu itu menjadi lawan terkuat Soeharto. 

Gus Dur yang waktu itu menjadi ketua PBNU memang menjadi aktor politik penting dan menjadi lawan politik utama Orde baru pada saat itu. Di tengah represi dan intimidasi yang dilakukan oleh negara dengan berbagai kerusuhan di pusat-pusat kekuatan politik NU pada waktu itu. Maka Gus Dur mengambil langkah berani untuk mengacaukan perhatian lawan politiknya menggelontorkan isu adanya operasi “Naga Hijau”. Bahwa dalang dari beberapa kerusuhan dan penculikan yang terjadi di Jawa Timur dan Jawa Barat tersebut dilakukan secara sistematis dan terorganisir di bawah komando ABRI berinisial ES (nama yang diidentifikasi sebagai Edi Sudrajat panglima ABRI pada waktu itu). Langkah itu cukup efektif untuk meredam dan menghindari benturan di kalangan masyarakat, karena mereka tahu siapa dalang di balik peristiwa berdarah itu.  

Maka Gus Dur mengambil langkah berani untuk mengacaukan perhatian lawan politiknya menggelontorkan isu adanya operasi “Naga Hijau”. Bahwa dalang dari beberapa kerusuhan dan penculikan yang terjadi di Jawa Timur dan Jawa Barat tersebut dilakukan secara sistematis dan terorganisir di bawah komando ABRI berinisial ES (nama yang diidentifikasi sebagai Edi Sudrajat panglima ABRI pada waktu itu).

Semua ulasan fakta tragedi yang disebutkan di atas terekam baik dalam sekuel adegan yang berjudul laporan-laporan dalam pertunjukan. Walaupun tidak dijelaskan detail, namun praktik repertoar yang dijalankan dengan membaca laporan penelitian itu cukup membuat penonton paham konteks peristiwa yang menjadi objek dari pertunjukan. Sehingga saat kamu memperhatikan dengan sungguh-sungguh kepalamu akan penuh.

Tiga Babak Terakhir dan Upaya Mencari Jalan Ninja

Sejarah memang milik penguasa, begitu diktum yang sering kita dengar. Sehingga tampak sulit kita berharap kisah ninja dapat tercatat dalam dokumen sejarah yang diterbitkan oleh kementerian pendidikan apalagi kementerian kebudayaan. Justru kabarnya kementerian yang baru dibentuk itu, akan merevisi sejarah yang selama ini remang-remang kita kenal itu. Yang lebih menghebohkan lagi, sang menteri akan menghapuskan cerita gelap kerusuhan 98 yang mana kisah ninja ada di dalamnya. Entahlah kita memang tidak bisa berharap kepada negara untuk mendapat sejarah versi kita. 

Maka kerja kesenian tampaknya jalan lain yang mesti ditempuh untuk mengartikulasikan sejarah kita sendiri. Karena kerja kesenian memungkinkan untuk memuat narasi-narasi yang terpinggirkan dan teks akademik yang biasanya bias kepentingan. Melalui kerja kesenian kita bisa membongkar sekat-sekat yang diciptakan oleh sejarah sekaligus membuka fragmen-fragmen ingatan untuk dibincangkan. Kemudian bentuk artistik yang direncanakan dengan matang dapat menjadi pesan bahwa kejadian kelam tidak untuk diulang. Begitulah pesan yang saya tangkap ketika pertunjukan memasuki babak ketiga.

Bagian terakhir dari pertunjukan ini tampaknya ingin mempertegas posisi strategis kesenian dalam upaya meretas peristiwa kelam yang selama ini ditutup-tutupi. Hal ini terlihat jelas dari sekuel cerita di beberapa adegan pada tiga babak terakhir ini. Lagi-lagi, meminjam suara aktor yang lahir pasca kerusuhan yang mengakibatkan ketakutan kolektif itu. Aktor itu mencoba membagikan pengetahuannya tentang ninja dari pazel sejarah yang selama ini ia cari tahu. Mulai sekuel cerita anime Ninja Hattori hingga game Basara di PS2 dan pelajaran IPS di waktu SMP. Disebutkan juga bahwa Ninja Hattori Hanzo adalah abdi dari daimyo Tokugawa Ieyasu yang nantinya akan mengakhiri Era Sengoku dengan mengalahkan Keshogunan Toyotomi Hideyoshi. Sebuah cerita peralihan kekuasaan Jepang di Era Sengoku (1467-1603). Kekuasaan Tokugawa bertahan selama dua setengah abad, hingga nantinya dilengserkan oleh Restorasi Meiji tahun 1868.

Menariknya praktik spekulatif dilakukan lagi dalam sekuel ini. Dalam narasinya ia mencoba menyandingkan peristiwa Restorasi Meiji 1868 itu dengan apa yang terjadi di Indonesia dengan Reformasi 1998. Mereka mengibaratkan Tokugawa Ieyasu sebagai Soeharto, maka kejatuhan rezim tersebut membuka jalan untuk restrukturisasi kekuasaan di masa itu. Dari perbandingan spekulatif tersebut, dalam pertunjukan diungkapkan bahwa mereka mulai paham kenapa ninja muncul ditengah gejolak reformasi 1998. Karena ninja menjadi intrumen “ketakutan” yang dirancang agar masyarakat tetap tunduk meskipun sang shogun telah dilengserkan. 

Dari perbandingan spekulatif tersebut, dalam pertunjukan diungkapkan bahwa mereka mulai paham kenapa ninja muncul ditengah gejolak reformasi 1998. Karena ninja menjadi intrumen “ketakutan” yang dirancang agar masyarakat tetap tunduk meskipun sang shogun telah dilengserkan.

Sebagai penikmat sejarah saya tentu ragu dengan argumen yang dilontarkan yang cenderung otak-atik itu. Namun dalam pertunjukan dijelaskan bahwa inspirasi itu didasari oleh pengalaman Indonesia ketika dijajah pemerintah Jepang. Ketika negeri Tirai Bambu itu masuk Indonesia tahun 1942, mereka memang membawa janji kemerdekaan. Maka dibentuklah badan persiapan kemerdekaan dengan nama Jepang yang tentu tidak asing ditelinga kita Dokuritsu Junbi Cosakai dan Inkai. Bahkan untuk menyongsong peristiwa penting itu para pimpinan politik kita juga diinkubasi melalui Dai Nippon. Tidak hanya itu cikal bakal tentara nasional juga disiapkan melalui PETA (Pembela “sukarela” Tanah Air). Nama seperti Soekarno, Soedirman, Soeharto hingga Ahmad Yani adalah didikan PETA. Setelah kemerdekaan dominasi lulusan PETA semakin menguat dengan dipilihnya Soedirman sebagai Panglima Besar.  Kita tahu pasca kemerdekaan juga militer nasional kita terbagi menjadi dua blok besar antara PETA dan KNIL yang warisan Belanda itu. Mereka bersaing hingga akhirnya Soeharto menjadi penguasa selanjutnya. Sebenarnya dalam pertunjukan masih banyak ulasan tentang bagaimana ideologi Jepang meresap dalam sistem militer Indonesia. Tetapi tampaknya saya cukupkan di sini saja. 

Tetapi yang jelas, melalui narasi yang berlarat-larat itu kita menjadi tahu korelasi kenapa istilah ninja dengan segenap resonansi peristiwa di belakangnya dapat kita lihat dengan cara yang berbeda melalui pertunjukan ini. Suguhan data-data yang dibaca bak laporan penelitian seperti membawa penonton dicekoki materi kuliah sejarah 6 SKS sekaligus. Kepala terasa penuh dan hebatnya saya cukup menikmatinya. Ketertarikan pada sejarah mungkin membuat saya bertahan untuk saksama memperhatikan setiap repertoar yang sedang dibacakan. Tetapi saya tidak bisa membayangkan jika ada penonton yang mengharapkan hal lain seperti apa yang dipaparkan dalam pertunjukan. 

Lalu kehadiran tarian jamet yang cukup tiba-tiba di sela-sela laporan yang padat dibayangkan bisa memberi ruang jeda. Tarian yang lagi booming di media sosial yang menjadi identitas baru anak Muda Madura itu terasa seperti pelarian dari kegetiran peristiwa yang sedang dibacakan. Sekilas kehadiran tarian itu terkesan seperti dipaksakan. Apalagi kehadiran dua penari aslinya seperti tidak nyambung dari 6 aktor yang sudah ada sebelumnya. Tetapi apapun itu, kehadiran tarian Jamet ini telah menunjukan bagaimana generasi Madura hari ini telah berbeda dengan generasi sebelumnya. Bahwa di tengah tarian ada tubuh yang merekam peristiwa kelam di masa sebelumnya.

Akhirnya, pertunjukan ini telah berhasil membongkar sejarah yang selama ini jarang dibicarakan. “Curriculum Vitae” sebagai judul pertunjukan, yang membuat saya bertanya sebelumnya, tentang apa hubunganya dengan peristiwa ninja akhirnya terjawab juga. Bahwa identitas personal tidak lain adalah upaya negara untuk mengontrol rakyatnya. Dalam kasus ninja di Tapal Kuda, identitas itu justru digunakan oleh “negara” untuk membasmi lawan politiknya. Selain itu pertunjukan ini seperti memberi warning kepada kita semua; bahwa teror dan ketakutan adalah instrumen paling efektif untuk mengatur rakyat. Karena politik ketakutan mampu menjangkau ruang-ruang paling privat dalam diri kita. Melalui hal ini rakyat dididik untuk tunduk dan bungkam karena mereka selalu dalam pengawasan. Dari hal ini kita bisa belajar, bahwa pola ini selalu digunakan oleh elit militer kita sekalipun Soeharto telah lama tiada. Namun mantan menantunya sekarang berkuasa. Apakah pola ini akan digunakan juga. Wallahualam bishowab.

Selama bertahun-tahun, beredar sebuah narasi yang diyakini sebagai asal-usul Perdikan Desa Sewulan. Cerita yang diwariskan secara lisan ini menyebut bahwa tanah perdikan diberikan oleh Pakubuwono II sebagai bentuk balas jasa atas partisipasi Raden Mas Bagus Harun yang ikut nderekne, atau mengantarkan Pakubuwono II menuju Kartasura. Bahkan, menurut versi yang beredar, ia bersama santri Tegalsari juga turut membantu mengusir gerombolan Sunan Kuning dari Istana Kartasura. Cerita tutur ini kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan—mulai dari naskah stensil lokal, buku sejarah populer, hingga karya ilmiah berupa skripsi. Salah satu yang meyakini cerita itu adalah saya sendiri, hingga saya menulis buku Babad Sewulan: Jejak dan Ajaran Bagus Harun pada tahun 2021 lalu.


Meski kisah tersebut telah mengakar kuat dalam ingatan kolektif masyarakat di sana—dan pernah pula saya yakini secara pribadi—keraguan mulai muncul saat saya menelusuri sumber-sumber sejarah yang lebih awal dan mendalam. Pengalaman itu membuka mata saya bahwa apa yang kita anggap sebagai kebenaran sejarah kadang perlu diuji kembali. Kita sering merasa sudah mengerti segalanya tentang tempat asal kita—dalam hal ini Sewulan, sebuah desa yang selama ini dibanggakan lewat berbagai cerita heroiknya, termasuk kisah tentang Ki Ageng Basyariyah yang diwariskan turun-temurun. Tapi bagaimana jika sebagian dari yang kita yakini itu tak sepenuhnya benar? Bagaimana jika sumber-sumber sejarah primer justru menyimpan cerita yang sedikit berbeda, dan Sewulan ternyata menyimpan jejak sejarah yang lebih dalam daripada yang selama ini diketahui?


Pertanyaan itu membawa saya pada salah satu fragmen sejarah yang kerap luput dari perhatian: kisah perlawanan Pangeran Mangkubumi terhadap kakaknya sendiri, Sunan Pakubuwono II. Perlawanan ini memaksanya menjadi pelarian berbulan-bulan di pedalaman Monconegoro Timur, termasuk wilayah Sukowati dan Madiun. Sejumlah sumber, baik naskah babad maupun catatan kolonial abad ke-18, menyebut bahwa Mangkubumi sempat bergerak di kawasan timur Mataram—dari Grobogan, Ngawi, hingga Madiun—untuk mencari dukungan dan menyusun kekuatan. Jejak peristiwa ini memperlihatkan bagaimana sejarah lokal seperti Sewulan selalu terselip di antara narasi besar yang selama ini dianggap sebagai kebenaran tunggal.


Dalam masa pelariannya, Sewulan menjadi tempat penting yang kerap terlupakan. Di sana, Mangkubumi berguru kepada seorang ulama kharismatik bernama Kyai Muhammad Santri. Tak banyak catatan sejarah tentang Kyai Muhammad Santri ini, namun menurut sumber lokal, ia pernah menjabat sebagai Tumenggung Alap-alap. Ia mendalami ajaran-ajaran agama: memahami makna puasa sebagai laku pengendalian diri, memperdalam ilmu tauhid dan adab, serta merenungi keutamaan malam Lailatul Qadar. Salah satu pengalaman spiritual yang paling membekas adalah saat Mangkubumi menjalani ibadah secara khusyuk pada sepuluh malam terakhir Ramadhan, khususnya malam-malam ganjil seperti malam selikur, malam telu likur, malam selawe, malam pitu likur, dan malam songo likur. Dalam suasana sunyi pesantren dan kesederhanaan Desa Sewulan, ia menemukan ketenangan yang tak ia dapatkan di istana yang penuh gejolak—ketenangan yang kemudian membentuk dasar batin seorang raja.


Akhirnya, pengembaraan panjang itu mencapai puncaknya ketika pada tahun 1755, melalui Perjanjian Giyanti, Pangeran Mangkubumi diakui sebagai raja dan mendirikan Kesultanan Yogyakarta dengan gelar Hamengkubuwono I. Menariknya, yang membedakan Mangkubumi dari penguasa lain bukan saja kemenangan politik yang diraihnya, melainkan pengalaman spiritual yang ia dapat di Sewulan kemudian ia bawa dalam memimpin Kesultanan Yogyakarta. Pengalaman spiritual selama di Sewulan tidak berlalu begitu saja; nilai-nilai yang ia serap selama nyantri pada masa perlawanan menjiwai langkah-langkahnya dalam membentuk karakter Kesultanan Yogyakarta yang berakar pada budaya Jawa dan berjiwa Islam.


Salah satu warisan rohani yang dibawanya ke dalam keraton adalah tradisi maleman—malam-malam menjelang Lailatul Qadar yang diisi dengan doa, tirakat, dan laku batin. Tradisi ini berakar dari pengalaman nyantri di Sewulan, lalu dihidupkan dalam lingkungan keraton sebagai bentuk penguatan spiritual menjelang hari penyucian diri. Lambat laun, praktik ini menyebar ke masyarakat luas di wilayah Kesultanan Yogyakarta, menjadi bagian dari kebudayaan Islam-Jawa yang sarat makna. Maleman bukan sekadar ritual malam ganjil, tetapi penanda bahwa kekuasaan pun membutuhkan keheningan dan ketundukan kepada Allah Sang Maha Kuasa.

Tradisi ini berakar dari pengalaman nyantri di Sewulan, lalu dihidupkan dalam lingkungan keraton sebagai bentuk penguatan spiritual menjelang hari penyucian diri. Lambat laun, praktik ini menyebar ke masyarakat luas di wilayah Kesultanan Yogyakarta, menjadi bagian dari kebudayaan Islam-Jawa yang sarat makna.


Oleh karena Mangkubumi merasa bahwa ia mendapatkan kekayaan spiritual dari gurunya, maka sebagai bentuk penghormatan dan rasa terima kasih kepada Kyai Muhammad Santri, Sultan Hamengkubuwono I menghadiahkan tanah perdikan Sewulan—wilayah yang dibebaskan dari kewajiban pajak dan diberi hak otonom untuk mengembangkan pendidikan dan kehidupan keagamaan. Dengan itu, Sewulan diabadikan bukan hanya sebagai tempat persinggahan seorang pangeran yang terusir, melainkan sebagai pusat ilmu dan kebudayaan Islam yang diwariskan hingga generasi kini—sebuah pengingat bahwa sejarah besar sering berakar dari tempat-tempat yang tak dikenal.


Ironisnya, tradisi spiritual yang baik itu kini perlahan mulai memudar di wilayah Yogyakarta—tergerus zaman, ditinggalkan generasi muda, dan hanya bertahan di beberapa lingkungan tertentu. Jejak yang dulu begitu kuat kini nyaris menjadi kenangan. Namun di tempat asalnya, di Sewulan, tradisi maleman atau tirakat sewu wulan yang kini menyebar di seluruh penjuru Jawa, masih dijalankan dengan semarak hingga kini.

Sanggar Lentera—sebuah komunitas perupa asal Gresik yang berdiri sejak tahun 1980—menyelenggarakan pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi di Gedung DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Kabupaten Gresik pada 14-16 Mei 2025. Tajuk Lentera Bersinar Lagi mengesankan kehadiran kembali Sanggar Lentera yang lama tidak berpameran sejak terakhir kali menyelenggarakan Pameran Lukisan 3 Kota (Yogyakarta, Gresik, dan Surabaya) pada tahun 1994.

Para anggota Sanggar Lentera yang memamerkan lukisannya, yaitu: Kris Adji AW, M. Syarifuddin, Achmad Feri, M. Mas’udi Khoiri, Yayak Achmad Hidayat, Achmad Safi’i, Didik Hadi, Erfi Sulistyanto, Achmad Husaeni, dan Riyanto.

Meski tiga puluh satu tahun (dari tahun 1994 hingga tahun 2025) tidak menyelenggarakan pameran, para anggota Sanggar Lentera tetap eksis bekarya atas nama sendiri atau bergabung dengan komunitas lain. Akhirnya, tahun 2025, para anggota—setelah “bertualang”—kembali ke Sanggar Lentera lewat pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi.

Begitulah, aku membaca perihal para anggota Sanggar Lentera dalam tulisan Kris Adji AW dalam katalog Lentera Bersinar Lagi. Begini nukilan tulisannya: “Jika Sanggar Lentera pada tahun 2025 ini kembali mewarnai dunia seni rupa di Indonesia, sesungguhnya ini hanya atas nama komunitas saja. Toh selama ini para pribadinya tak pernah berhenti bekarya dan berpameran di pelbagai kota Indonesia. Bahkan bermukim di kota-kota luar Gresik”.”

Keterangan: Suasana pembukaan pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi di gedung DPRD Kabupaten Gresik.
Sumber: Dok. Aji (2025)

Pilihan Sanggar Lentera menyelenggarakan pameran lukisan di gedung DPRD Kabupaten Gresik bikin aku merasa ganjil. Maksud rasa ganjil bukan hal negatif. Tapi, rasa ganjil tersebab kewajaranku pada tempat pameran lukisan—khususnya di Kabupaten Gresik—yang terbiasa diselenggarakan di kafe, mall, gedung serba guna milik perusahaan, atau gedung serba guna milik pemerintah daerah. Rasa ganjil memperluas pengetahuanku, bahwa penyelenggaraan pameran lukisan tidak membatasi tempat di mana saja, termasuk gedung DPRD Kabupaten Gresik sebagai ruang alternatif bagi seniman untuk berekspresi.

Lewat tulisan Muhammad Syahrul Munir (Ketua DPRD Kabupaten Gresik) dalam katalog Lentera Bersinar Lagi, aku mengetahui alasan Sanggar Lentera menyelenggarakan pameran lukisan di gedung DPRD Kabupaten Gresik. Begini nukilan tulisannya: “Gedung DPRD sebagai rumah rakyat sudah sepatutnya menjadi ruang ekspresi dan dialog bagi semua elemen masyarakat, termasuk para seniman. Inilah bentuk keterbukaan kami dalam mendukung pengembangan kesenian dan kebudayaan lokal secara inklusif dan berkelanjutan. Lebih dari itu, kami juga mengajak seluruh elemen masyarakat, khususnya komunitas seni dan budaya, untuk terus mengawal dan memberi masukan terhadap kebijakan daerah, terutama dalam implementasi Peraturan Daerah no. 9 tahun 2019 tentang Pemajuan Kebudayaan Daerah….”

Pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi tidak menampilkan tema khusus. Aku menikmati lukisan yang menampilkan interaksi antar manusia. Atau, aku menikmati lukisan yang menampilkan permainan unsur rupa (titik, garis, bidang, hingga warna) yang menghasilkan emosi. Atau, aku menikmati kecenderungan figur hewan (ayam jago, merpati, bebek, ikan tawar, ikan laut, penyu, kuda, dan naga) pada lukisan yang dipamerkan, seperti: Kris Adji AW (Jago 1 dan Jago 2), M. Syarifuddin (Harmoni Air dan Ksatria dan 9 Naga), Achmad Safi’I (Keluarga Kecil Bahagia dan Berangkat Lelang), hingga Erfi Sulistyanto (Momong dan Dunia Bawah Air).

Pengalaman Berkunjung

Gedung DPRD Kabupaten Gresik (selanjutnya aku tulis: rumah rakyat) adalah bangunan berarsitektur kolonial Belanda. Cirinya: beberapa pilar lingkaran di serambi, dinding bangunan yang tebal, serta desain yang simetri. Rumah rakyat tidak terlalu antik, justru megah. Kemegahannya terlihat pada penggunaan panel kayu dan cermin untuk menutup dinding, serta penggunaan bahan marmer untuk lantai. Lain itu, pada serambi dan lorong di rumah rakyat, terpajang potret-potret yang menghiasi dinding. Potret-potret itu berfungsi menambah suasana, serta mengingat sejarah rumah rakyat.

Di rumah rakyat, pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi menggunakan serambi dan lorong. Sebagai tempat berpameran, para anggota Sanggar Lentera tidak menstrerilkan potret-potret itu dari dua ruang tersebut (serambi dan lorong). Ketidaksterilan dari potret-potret itu berakibat dua ruang tersebut mengalami polusi visual. Maksud polusi visual adalah wilayah yang tercemar oleh benda yang tidak diinginkan dan mengganggu keindahan selama berlangsungnya pameran. Secara tidak sadar, selama berlangsungnya pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi, potret-potret itu menjadi polusi visual.

Barangkali para anggota Sanggar Lentera tidak menstrerilkan potret-potret itu karena menggunakan alat penyanggah. Memang alat penyanggah menjadi solusi terbaik untuk mengganti pemajangan lukisan-lukisan pada dinding di dua ruang tersebut. Tapi, polusi visual menimbulkan masalah. Sebab, potret-potret itu—mau tidak mau—ikut terlibat sebagai bagian pameran. Jadi, di dua ruang tersebut, potret-potret itu sama nilainya dengan lukisan-lukisan itu. Bagi pengunjung yang sedang menikmati pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi, keberadaan potret-potret itu dapat mengecohkan pandangan.

Aku turut terpapar polusi visual pada pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi. Paparan polusi visual bikin mataku lebih dulu mengarah ke potret-potret itu daripada lukisan-lukisan itu. Meski begitu, berkat terpapar polusi visual, pada sebuah momen di serambi, aku tidak sengaja mendapatkan pengalaman baru, yaitu: dua potret yang ada dan dua lukisan yang dipajang saling berikatan. Aku tersadar tidak perlu membedakan potret-potret itu dengan lukisan-lukisan itu. Aku harus menganggap polusi visual tidak ada di dua ruang tersebut. Biarkan segala visual saling menyempal dan menyempil di mataku.

Serambi

Di serambi bagian kanan atas dinding, aku memandang potret Giri Kedaton Gresik dan potret Dermaga Nelayan Masyarakat Lumpur-Gresik. Dua potret tersebut merupakan karya Syafiq Noer, juga termasuk potret-potret yang tidak disterilkan para anggota Sanggar Lentera. Pada potret Giri Kedaton Gresik, aku mengenal situs bersejarah yang berkaitan dengan kerajaan Islam dan pesantren di Gresik. Aku pernah beberapa kali ke sana (Giri Kedaton) bersama kawan. Sedangkan, pada potret Dermaga Nelayan Masyarakat Lumpur-Gresik, aku mengetahui rekaman tempat di Kelurahan Lumpur. Aku mengetahui karena pernah tinggal di Kelurahan Lumpur pada masa kecil.

Di depan bawah potret Giri Kedaton Gresik dan potret Dermaga Nelayan Masyarakat Lumpur-Gresik, berdiri dua alat penyanggah yang masing-masingnya memajang lukisan Ksatria dan 9 Naga karya Muhammad Syarifuddin dan lukisan Keluarga Kecil Bahagia karya Achmad Safi’i. Aku memandang dua lukisan tersebut. Lalu, aku tidak sengaja membagi pandangan terhadap dua lukisan dan dua potret tersebut. Lama-kelamaan, aku merasa dua potret dan dua lukisan tersebut saling berikatan. Benang merah ikatan itu hanyalah citra yang aku rasakan, seperti semangat perjuangan (potret Giri Kedaton Gresik terikat lukisan Ksatria dan 9 Naga) serta ingatan asal mula (potret Dermaga Nelayan Masyarakat Lumpur-Gresik terikat lukisan Keluarga Kecil Bahagia).

Keterangan: potret Giri Kedaton Gresik dan potret Dermaga Nelayan Masyarakat Lumpur-Gresik (dinding atas); lukisan Ksatria dan 9 Naga, dan lukisan Keluarga Kecil Bahagia (depan bawah) di serambi.Sumber: Dok. Aji (2025)  

Pada lukisan Ksatria dan 9 Naga, aku lebih memperhatikan figur laki-laki berpakaian putih dan hijau, dengan tangan kanan mengangkat keris dan tangan kiri memegang tali kekang, sedang menunggangi kuda putih. Aku meyakini bahwa figur laki-laki yang berpakaian putih dan hijau adalah ksatria. Lalu, kuda yang mengangkat sepasang kaki depannya—meminjam simbol patung kuda—menandakan ksatria telah gugur di medan perang. Aku bertanya sendiri: “Medan perang macam apa yang membuat ksatria gugur?”

Kalau menengok di bawah kuda adalah kepulauan Indonesia, aku mengimajinasikan medan perang berada di daerah Giri (Gresik). Kemunculan imajinasiku perihal daerah Giri akibat memandang potret Giri Kedaton Gresik. Juga, kecocokan imajinasiku terhadap ciri berpakaian ksatria yang begitu mirip dengan model seorang tokoh di poster Walisongo. Setelah memandang lukisan Ksatria dan 9 Naga, aku turut mengimajinasikan apa yang tampak pada potret Giri Kedaton Gresik sebagai situs medan perang.

Lalu, siapa musuhnya? Bisa sembilan naga—atau aku menganggap naga berkepala sembilan—yang mengitari ksatria. Aku beranggapan naga berkepala sembilan karena semua figur naga pada lukisan Ksatria dan 9 Naga tidak utuh memperlihatkan badannya. Jadi, aku menunjuk Hydra (naga berkepala banyak dalam mitologi Yunani) daripada Shenlong (dewa naga dalam mitologi Cina). Apalagi Hydra sangat destruktif karena memiliki racun yang mematikan. Sedangkan Shenlong berkemampuan mengontrol alam.

Meski masing-masing kepala naga terlihat garang dan hidup (tidak sekarat), aku menangkap suasana kemenangan. Tangkapan itu merupakan hasil tafsir bebas terhadap gambaran sinar matahari—membuat awan di sekelilingnya berkilauan—di bagian atas lukisan Ksatria dan 9 Naga. Padahal ksatria telah gugur di medan perang. Tersisa kepala-kepala Hydra yang mengeliling kepulauan Indonesia. Atau, aku menduga, Hydra masih harus hidup agar selalu memunculkan ksatria-ksatria baru meski gugur melulu.

Keterangan: lukisan Ksatria dan 9 Naga (kiri) dan potret Giri Kedaton Gresik (kanan).Sumber: Dok. Aji (2025)  

Pada lukisan Keluarga Kecil Bahagia, aku memperhatikan figur tiga makhluk yang hidup pada tiga dunia. Pertama, dunia laut dengan makhluk ikan, penyu, dan koral. Kedua, dunia darat dengan makhluk tiga manusia (sepasang suami dan istri yang menggendong anak). Ketiga, dunia langit dengan makhluk tiga merpati. Entah kenapa figur tiga makhluk yang hidup pada tiga dunia selaras dengan penampakan potret Dermaga Nelayan Masyarakat Lumpur-Gresik, yaitu: langit, laut, dan sepasang nelayan.

Citra yang aku tangkap pada lukisan Keluarga Kecil Bahagia sangat religius, sangat tegak lurus di jalan Tuhan. Sebab, suami dan anak mengenakan peci dan istri mengenakan jilbab. Pakaian mereka (suami, ibu, dan anak) sangat sopan. Kemudian aku tersadar bahwa kaki anak berbentuk ekor ikan. Akhirnya, aku menduga anak yang digendong ibu bukanlah anak sebenarnya. Tapi, anak dalam pengertian harapan bagi suami dan istri. Harapan itu diperkuat oleh tiga merpati di atas mereka (suami dan istri) yang bisa menyimbolkan kesetiaan dan cinta.

Jadi, tafsir bebasku terhadap lukisan Keluarga Kecil Bahagia adalah kesabaran suami dan istri untuk mendapatkan anak. Aku menganggap suami dan istri begitu sabar, tanpa pernah goyah dan tetap enggan bersedih. Padahal suami dan istri berada di dasar laut. Atau, jangan-jangan, suami dan istri telah aman karena tirai misteri terbuka di kedalaman laut. Sebab itu, suami dan istri dikelilingi ikan, penyu, dan koral. Apalagi makhluk laut itu (ikan, penyu, dan koral) mengilaukan warnanya masing-masing.

Pada bagian atas lukisan Keluarga Kecil Bahagia, tampak pantulan cahaya di permukaan air. Aku menganggap pantulan cahaya di permukaan air adalah simbol perlindungan Tuhan. Simbol itu makin membulat setelah aku menelisik detail pandangan suami ke arah wajah ibu, lalu pandangan ibu mengarah ke arah wajah anak. Sedangkan anak membalas pandangan ke arah wajah ibu. Detail tersebut menyiratkan hubungan kasih sayang. Dan, aku menyukai mereka yang sama-sama tersenyum.

Keterangan: lukisan Keluarga Kecil Bahagia (kiri) dan potret Dermaga Nelayan Masyarakat Lumpur-Gresik (kanan).Sumber: Dok. Aji (2025)  

Setelah lukisan Keluarga Kecil Bahagia, aku kembali memandang potret Dermaga Nelayan Masyarakat Lumpur-Gresik. Tiba-tiba aku mengingat masa kecil di dekat tempat yang direkam. Waktu itu, siang di tepi pantai. Aku, sepupu, dan paman sama-sama duduk menghadap laut. Beberapa menit kemudian, paman mengeluarkan gunting kuku, lalu satu per satu memotong kuku jariku dan kuku jari sepupu. Pada bakda asar, kami (aku, sepupu, dan paman) sudah berada di teras rumah emak (ibunya ibuku).

Lalu, aku kembali lagi ke lukisan Keluarga Kecil Bahagia setelah memandang potret Dermaga Nelayan Masyarakat Lumpur-Gresik. Memang ingatan masa kecilku sangat berbeda dengan apa yang tampak pada lukisan Keluarga Kecil Bahagia. Sebab, ingatan masa kecilku tetaplah sebatas masa lalu, sedangkan ayah dan ibu (figur dalam lukisan Keluarga Kecil Bahagia) mengharapkan anak dengan penuh kebahagiaan. Meski begitu, muncul sedikit kesamaannya, yaitu: kehangatan yang memendar di keluarga.

Lorong

Di lorong, potret-potret yang tidak disterilkan oleh para anggota Sanggar Lentera adalah potret-potret Ketua DPRD Kabupaten Gresik dari pelbagai periode. Potret-potret itu (potret-potret Ketua DPRD Kabupaten Gresik) dipajang di dinding bagian atas (warna dasar putih). Barangkali, potret-potret itu memang sengaja dipajang di lorong. Sebab, lorong menghubungkan ke ruang Ketua DPRD Kabupaten Gresik, beberapa Ruang Wakil Ketua DPRD Kabupaten Gresik, resepsionis, hingga ruang rapat.

Masing-masing alat penyanggah telah memajang lukisan-lukisan karya para anggota Sanggar Lentera di depan dinding lorong. Ketika masuk di lorong, aku menganggap pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi tidak hanya lukisan-lukisan itu, juga termasuk potret-potret itu. Jadi, secara tidak langsung, aku menikmati pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi dengan dua cara pandang: pertama, pandangan sejajar ke arah lukisan-lukisan itu; kedua, pandangan mendongak ke potret-potret itu.

Keterangan: Suasana pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi pada lorong di gedung DPRD Kabupaten Gresik.Sumber: Dok. Aji (2025)  

Potret-potret itu memiliki nama masing-masing. Sayang, ukuran tulisan yang kecil dan pemajangan potret-potret itu terlalu tinggi membuat pandanganku kesusahan untuk membaca namanya. Jadi, aku lebih fokus memandang setiap wajah pada potret-potret itu. Aku sempat berpikir di ruang lorong, betapa banyak jumlah potret itu, yang bisa sebagai penanda betapa panjang jalan tugas DPRD Kabupaten Gresik. Apalagi tugas DPRD Kabupaten Gresik begitu penting, yaitu: legislasi, anggaran, dan pengawasan.

Aku merasa aneh, setelah memandang potret-potret itu, lalu berpindah pandangan ke beberapa lukisan yang menarasikan profesi. Keanehan akibat tercipta jarak ketika aku melakukan dua cara pandang terhadap lukisan-lukisan itu dan potret-potret itu. Jadi, potret-potret itu seolah tinggal di langit, sedangkan lukisan-lukisan itu seolah tinggal di bumi. Aku mengimajinasikan bahwa potret-potret itu menerima suara yang diterbangkan dari bumi. Tapi, aku tidak yakin apakah potret-potret itu mengenal siapa pemilik wajah yang menerbangkan suara.

Karena langit terlalu tinggi, potret-potret itu harus menengok ke bawah bumi. Kalau sudah menengok, potret-potret itu dapat mengenal dua perempuan sedang bekerja. Perempuan pertama, duduk menggarap songkok. Perempuan kedua, berkeliling membopong bakul rujak di kepalanya. Dan, dua perempuan itu diabadikan di lukisan Kampung Songkok Kemuteran karya Didik S. Hadi (perempuan pertama) dan lukisan Bok Tingen (Jual Rujak Keliling) karya Achmad Husaeni (perempuan kedua).

Berikutnya, dari bumi, potret-potret itu dapat mengetahui keberkahan ikan bandeng. Keberkahan ikan bandeng yang menggerakkan orang-orang untuk bertambak. Hasil tambak itu pun menjadi perayaan orang-orang untuk melelang ikan bandeng terbesar setiap akhir bulan Ramadan. Pada hari raya Idul Fitri, orang-orang memakan olahan ikan bandeng. Keberkahan ikan bandeng diabadikan di lukisan Teko Buri (Usai Kerja Mirik Tambak) karya Achmad Husaeni dan lukisan Berangkat Lelang karya Achmad Safi’i.

Imajinasiku sebatas imajinasi. Sehingga potret-potret itu yang ditempatkan di atas dinding dan lukisan-lukisan itu yang ditempatkan di bawah bukanlah persoalan keberjarakan antara lembaga pemerintah (tidak hanya DPRD Kabupaten Gresik) dengan masyarakat. Toh, lembaga pemerintah memiliki peran penting dalam menyelenggarakan pemerintahan, menjalankan kebijakan publik, serta mencapai tujuan negara. Juga, lewat masyarakat pula, terlahir para pemimpin untuk mengisi lembaga pemerintah.

Keterangan: Lima lukisan yang aku pandang di lorong.Sumber: Dok. Aji (2025)  

Terakhir, aku memandang lukisan Damar Kurung 4.0 karya Yayak Achmad Hidayat. Aku menangkap figur orang-orang: melambaikan tangan, menyapa, duduk, naik vespa, naik skuter, berkumpul, hingga berbicara. Aku merasakan keguyuban. Seperti keguyuban para anggota Sanggar Lentera setelah lama tidak pameran bersama, keguyuban para pengunjung yang menikmati pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi, serta keguyuban rumah rakyat sebagai ruang alternatif bagi seniman untuk berekspresi. (*)

Secara khusus saya tidak pernah diajar oleh guru yang kami banggakan itu, Prof. Dr. Kuntowijoyo, MA. Mulanya, saya mengenalnya secara lamat-lamat sewaktu Aliyah dulu melalui bukunya, Identitas Politik Umat Islam. Sebagai mahasiswa Sejarah ndadakan, karena sebelumnya saya menekuni pelajaran-pelajaran agama langsung dalam bahasa arabnya, nama Kuntowijoyo lebih saya kenal sebagai budayawan, tepatnya pemikir Islam dan sastrawan ketimbang sejarawan.

Tanggal 19 September 2000, sembilan hari setelah saya masuk ke kampus Sastra Universitas Gadjah Mada, saya menghadiahi diri dengan buku beliau berjudul Khotbah di atas Bukit. Tokoh Barman dan Popi, mewakili dua dunia yang sangat berbeda pada awalnya, menginspirasi saya menulis semacam cerpen yang dimaksudkan sebagai surat lamaran menjadi anggota redaksi Balairung. Sayangnya, saya tidak diterima oleh lembaga tersebut. Entah alasan apa. Barman dengan realitas kotanya bagi saya adalah masa lalu, seperti halnya yang saya bayangkan dengan masa Aliyah saya, dan pengembaraan bersama Popi menuju puncak bukit dengan lilitan birahinya adalah for the college soul.

Lantas “perkenalan” saya dengan beliau semakin intens, baik secara literer berhadapan dengan teks-teks beliau, maupun kenal dalam ruang-ruang pergunjingan, antara mitos dan pencitraan, di pembicaraan-pembicaraan ringan mahasiswa. Kadangkala membahas tulisan beliau, mengkroscekkan cerita tentang AOI di novel Lingkar Tanah Lingkar Air-nya Ahmad Tohari dengan tulisan beliau di Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi, dan menggunjingkan bahwa konon Pak Kunto sakit gara-gara diracun oleh Amerika setelah kunjungan beliau ke luar negeri. Yang terakhir ini, tidak bisa dipercaya kebenarannya.

Pada semester 1 saya dibekali matakuliah Pengantar Ilmu Sejarah. Pengetahuan ini yang segera saya rasakan membedakan antara sejarah di sekolah dengan sejarah di kuliahan. Buku beliau Pengantar Ilmu Sejarah terbitan Bentang Yogyakarta itulah yang kami pelajari. Pada gilirannya, buku ini tidak saja menemani saya pada semester itu saja, namun semester-semester berikutnya sampai ketika saya menyusun skripsi, meski saya tidak menggunakannya sebaga referensi, namun satu bukunya yang lain yakni Metodologi Sejarah. (Saya jadi teringat, bahwa Prof. Dr. Bambang Purwanto sewaktu mengajar matakuliah Seminar Sejarah selalu menekankan untuk tidak malu membaca buku pengantar ilmu sejarah tersebut. Bahkan ia mengaku sampai 3 kali membacanya sewaktu menulis disertasi—mungkin saya yang lupa, apakah benar disertasi. Sebab buku tersebut baru diterbitkan pada tahun 1995).

Praktis, sampai dengan semester 5 saya tidak berkesempatan diajar oleh Pak Kunto. Pada semester 6, jurusan Sejarah menawarkan matakuliah Kapita Selekta Sejarah Sosial Politik yang dikoordinatori oleh beliau. Saya segera mengambilnya, berharap setidaknya sekali pertemuan saya bisa diajar oleh beliau. Namun, lagi-lagi beliau berhalangan. Sebab kesehatannya sangat tidak memungkinkan untuk mengajar. Saya mendengar bahwa beliau secara rutin berobat pada hari rabu, hari—seperti yang pernah saya pelajari dari ta’limul muta’allim—adalah hari baik untuk memulai kegiatan belajar-mengajar. Meski demikian, beliau sangat serius membuat silabus matakuliah tersebut, menunjukkan buku-buku referensi, memberi saran-saran praktis, dan kesediaan untuk melakukan komunikasi melalui surat-menyurat tentang perkuliahan itu. Meski sangat singkat, saya merasa tidak kehilangan “rasa tulisan” yang khas beliau itu. Yakni suatu tulisan yang direktif, memberi pemetaan, namun sangat hati-hati.

Setelah membaca silabus itu, pada pertemuan kedua saya masih berharap beliau bisa mengajar. Saya telah mempersiapkan sekitar lima pertanyaan yang berhubungan dengan sejarah sosial, tepatnya sejarah “orang kecil”, dan prosophography. Seperti yang diumumkan bahwa beliau berusaha menerima pertanyaan-pertanyaan mahasiswa pada hari Sabtu, dan jawabannya sudah akan tersedia pada hari Sabtu berikutnya yang akan diantar oleh istrinya ke jurusan Sejarah. Namun itulah, hanya menjadi saksi dari niat baik Pak Kunto. Meski sangat antusias, kami sadar bahwa beliau dalam keadaan sakit dan tidak mungkin dibebani dengan pertanyaan-pertanyaan yang barangkali jawabannya sudah bisa ditemukan di buku-buku beliau. Matakuliah itu dalam prakteknya tidak berjalan sama sekali. Sampai dengan ujian akhir, kami tidak mendapatkan kejelasan apakah matakuliah tersebut dianggap ada, artinya diujikan, ataukah tidak. Sampai saat ini, di final transkripsi nilai saya, matakuliah tersebut masih terpampang tanpa ada nilai!

**********

Tepatnya kapan kami tidak ingat pasti. Yang jelas terjadi pada bulan-bulan awal tahun 2004. Saya, Anna Mariana (2000), Uji Nugroho dan Husni Thamrin (2001), dan Mohammad (2003) sowan ke rumah Prof. Dr. Kuntowijoyo MA. Selain untuk mengurus peluncuran buku beliau yang berjudul Raja, Priyayi, dan Kawula, niat utama kami adalah bersilaturrahmi. Pada pagi harinya Husni telah menelpon Bu Susilaningsih untuk memohon izin kedatangan kami. Ba’da Isya kami menuju rumah beliau, pelan-pelan menelusuri jalan Lingkar Utara, untuk menemukan papan nama bertuliskan Apotik di dekat UPN Veteran. Rumah beliau di samping toko obat itu.

Di depan rumah, kami dibukakan pintu oleh anak beliau yang alumni Fakultas Teknik. Kami dipersilahkan masuk oleh Bu Susilaningsih, dan kemudian menyusul Pak Kunto yang dipapah oleh istrinya itu. Kami berempat memperkenalkan diri dan sekadar berbasa-basi. Pembicaraan lantas berkisar tentang beliau semasa mahasiswa, beberapa kawan beliau, Prof. Dr. Djoko Suryo salah satunya, dan lain-lain.

Kami sebagaimana layaknya seorang anak didik, berkeluh kesah tentang dunia perkuliahan. Beliau menimpali bahwa kondisinya sangat jauh lebih baik dibanding dahulu, masa beliau. Saya juga sempat curhat kepada beliau; bahwa di tengah jalan saat mengerjakan skripsi, timbul krisis eksistensi menyangkut studi sejarah (capturing the past, apa yang sedang ditangkap?), dan—seperti umumnya—masa depan lulusan Sejarah. Dalam puncak krisis terbersit pikiran untuk mutung, tidak melanjutkan kuliah.

Pak Kunto lebih tertarik memberi komentar (tepatnya menasehati) untuk persoalan pertama. Sambil bercerita (meski suaranya seperti tertelan kembali, beliau memaksakan untuk berbicara sendiri, tidak melalui penjelasan istrinya) beliau menasehati; bahwa mereka berdua (Pak Kunto dan istrinya) dulu mempunyai seorang kawan yang sangat idealis, tidak setuju dengan sistem-sistem yang ada, dan akhirnya memutuskan diri untuk tidak lulus. Kawannya yang sangat pintar itu bernama Taufik Rahzen. Kebetulan saya pernah mendengar dan membaca nama itu sebagai moderator dalam acara “Pram dan Kita” di UC Universitas Gadjah Mada pada 14-02-2003, dan di buku Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia karya Claire Holt, sebagai editor buku tersebut. Saya mencoba mengingat-ingat wajahnya pada acara yang saya ikuti itu. Tidak berhasil.

Namun bukan itu yang penting. Pak Kunto ingin menunjukkan bahwa kawannya itu sempat lama kesulitan mencari tempat. Meski pintar dan banyak pergaulan, kesempatan untuk mendapatkan peluang yang lebih baik sering terganjal karena persoalan kesarjanaan. “Tapi sekarang dia sudah mapan”, demikian jelas beliau.

Pak Kunto lebih lanjut menasehati kami: “Bagaimanapun dan apapun hasilnya, baik atau buruk, kalian harus lulus”. Kalian harus lulus. Ini yang masih terngingang di telinga saya. Apapun hasilnya, saya harus lulus.

Tidak terasa bagi kami bahwa pembicaraan telah berlangsung sekitar satu setengah jam. Sebelumnya, berkali-kali istrinya mengingatkan Pak Kunto untuk istirahat. “Bapak kalau mau istirahat”, “belum, belum”, tahan beliau sambil geleng-geleng kepala. Kami yakin bahwa Pak Kunto adalah orang yang tidak enakan, untuk segera masuk kamar meninggalkan kami yang waktu itu jarum jam belum menunjuk angka 9. Dan sebaliknya, kami agak keras kepala untuk cepat-cepat mohon diri. Bukan karena apa-apa, kami masih ingin berbincang lebih lama. Untunglah, masih setengah gelas teh di atas meja. Segera kami menghabiskannya untuk memberi tanda kekalahan, dan akhirnya kami segera undur diri.

Mengenai bukunya yang diterbitkan penerbit Ombak itu, beliau menyerahkan royaltinya kepada BKMS (Badan Keluarga Mahasiswa Sejarah). Kami kaget karena beliau masih ingat BKMS. Kami, di BKMS, bukan lagi “adik angkatan” yang sedang mendapat sumbangan dari “kakak angkatan” yang jaraknya kurang lebih 35 tahun itu. Tetapi kami adalah mahasiswa-mahasiswa beliau (yang konon mewakili BKMS), mahasiswa-mahasiswa yang tidak dikenal dan mengenal baik beliau. Barangkali, selain untuk masa depannya, sumbangan itu lebih untuk masa lalunya, demikian pikir kami. Oleh penerbit Ombak, BKMS diberi royalti beliau dalam bentuk buku cetakan yang harus dijual sendiri.

Kami merasa mendapat tiga karunia sekaligus; bisa bertemu dan berbincang dengan beliau, mendapat pengetahuan baru dengan terbitnya buku tersebut, dan mendapat royalti yang seharusnya beliau terima. Oleh kawan Husni dan Uji Nugroho, buku-buku tersebut digunakan untuk mengongkosi sebagian biaya perjalanan ke Medan dalam pertemuan Munas IKAHIMSI (Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah se-Indonesia) di Universitas Sumatera Utara.

Pak Kunto, yang sekilas saya kenal dan tentu saja tidak mengenal saya itu kini telah tiada. Pak Kunto, yang setiap kali kami mahasiswa sejarah keluar kota selalu ada yang menanyakan kabarnya itu, kini telah pergi. Pergi, untuk perjalanan yang lebih jauh. Pak Kunto, yang pernah saya sesalkan dalam melakukan periodisasi kesadaran keagamaan umat; dari periode mitos, periode ideologi, dan terakhir periode ilmu itu kini telah secara ikhlas masuk pada periode yang diinginkannya.

Saya pernah menganggap bahwa periodisasi itu bias modernisme Pak Kunto, atau bahkan secara naif saya menyangka itu bias muhammadiyah Pak Kunto. Kini beliau memasuki alam yang tidak mengenal Muhammadiyah-NU, mitos, ideologi, ataukah ilmu. Yang ada adalah alam keabadian. Dan bagi saya, yang abadi adalah pahala yang beliau dapatkan dari ilmu yang beliau amalkan.

Selamat jalan Pak Kunto…

Klebengan, 23 Februari 2005 (beberapa jam sepulang dari takziah meninggalnya beliau)


*Tulisan ini pernah dimuat pada laman Facebook Ahmad Nashih Luthfi pada 20 Juli 2011

Awal tahun 2025, Rick Steves, presenter acara-acara wisata dari Amerika merilis sebuah buku bertajuk On the Hippie Trail: Istanbul to Kathmandu and the Making of a Travel Writer [1]. Saya sempat membaca buku itu secara cepat, meski baru di bab pengantarnya saja di google book secara gratisan. Secara garis besar buku ini berisi kisah perjalanannya sewaktu masih muda, saat ia masih menjadi seorang penganut hippie[s]. Hippies adalah semacam gerakan kontra budaya di tahun 1960-1970an yang menyuarakan anjuran perdamaian, anti perang, dan kebebasan. Gerakan semacam ini menjamur di Eropa dan Amerika kala itu. Uniknya para penganjurnya kebanyakan merupakan anak-anak dari pensiunan tantara yang terlibat perang.

Komunitas hippies menyuarakan kritiknya terhadap operasi-operasi militer negara-negara adikuasa seperti Amerika, Rusia dan anggota-anggota NATO dengan cara traveling keliling dunia dengan bus sekolah (Thomas Bus) atau minibus Volkswagen yang dicorat-coret dengan graffiti bertemakan bunga dan alam. Selain menyuarakan aspirasi perdamaian, perjalanan yang dilakukan para hippies ini juga mereka maknai sebagai pencarian spiritualnya, sebab banyak hippies yang tertarik dengan ajaran hindhu, buddha, dan sufism (Islam). Mereka tertarik dengan praktik meditasi atau yoga dari agama-agama tersebut yang secara gamblang, jelas, benar-benar menawarkan makna kedamaian hidup yang tidak dimiliki negara-negara barat.

Selain menyuarakan aspirasi perdamaian, perjalanan yang dilakukan para hippies ini juga mereka maknai sebagai pencarian spiritualnya, sebab banyak hippies yang tertarik dengan ajaran hindhu, buddha, dan sufism (Islam).

Di Eropa titik awal perjalanan komunitas hippies ini dimulai dari Berlin di Jerman dan Amsterdan di Belanda, sementara di Amerika hijrah rombongan hippies biasanya ini dimulai dari San Fransisco dan New York. Sementara kota-kota yang menjadi tujuan para peziarah hippies ini adalah kota-kota yang memiliki akar spiritual yang kuat di ketiga agama ini, yakni Kathmandu (Nepal), Lahore (Pakistan), Varanasi/Delhi (India), dan destinasi akhirnya biasanya adalah Pantai Malabar di Selatan India. Kadang para peziarah ini ada yang mengambil perjalanan lanjutan hingga ke Chiang Mai (Thailand) bahkan Bali (Indonesia). Masifnya perjalanan para peziarah hippies di tahun 1960-1970an ke kota-kota suci di Asia kemudian membuat kota-kota di kawasan timur dunia ini terkenal dengan julukan Hippie Trail atau Jalur Hippie.

Tidak main-main dampaknya, gelombang gerakan ke timur ala hippies ini bahkan mampu menyeret nama-nama besar, salah satunya adalah The Beatles yang memulai perjalanan ke India di tahun 1968, bahkan George Harrison sang gitaris pun sempat dibuat terpukau oleh permainan gitar Ravi Shankar. Ada juga Steve Jobs sang pendiri Apple, yang mendapat ijazah spiritual dari Neem Karoli baba atau Maharaj-Ji. Selain itu, konon katanya orang-orang yang terlibat dalam perjalanan hippies di tahun 60-70an inilah yang kemudian kini seringkali disebut sebagai bule pelopor, yang membuka destinasi wisata di Nepal, India, Thailand, dan Indonesia (Bali).

Inspirasi Gerakan Hippies

Kembali ke buku Rick Steves, dalam buku tersebut ia berkisah tentang perjalanan “hijrah”nya melintasi Hippie Trail dari Istanbul (Turki) ke Kathmandu (Nepal) melintasi 6 negara yakni Turki, Iran, Afganistan, Pakistan, India dan Nepal. Saat memulai perjalanan ziarahnya ke timur, ia berusia 23 tahun, dan ia mengaku terinspirasi melakukan perjalanan tersebut dari Islam. Islam, menurut Rick Steves, dalam salah satu rukunnya menyarankan pemeluknya dari berbagai belahan dunia untuk menunaikan Haji sekali seumur hidup, yaitu melakukan perjalanan ke rumah Allah di kota suci Mekah, guna napak-tilas nabi-nabi terdahulu dalam menegakkan keimanannya. Sekali seumur hidup.

Melakukan perjalanan menjadi term kunci yang diletakkan Muhammad SAW dalam ajarannya, Islam. Bahkan saking utamanya makna perjalanan dalam ajaran Islam, Muhammad SAW pun memberikan umatnya teladan dengan melakukan perjalanan dari Mekah ke Madinah yang ia sebut Hijrah. Tak hanya itu ia pun menempatkan waktu pertama dimulainya perjalanan tersebut sebagai awal dimulainya perhitungan dalam kalender Hijriah.

Dalam ajaran Islam, haji dan hijrah tak semata hanya menjadi sebuah perjalanan traveling belaka, ia seharusnya menjadi perjalanan spiritual, perjalanan keimanan, perjalanan untuk mencari Allah, Tuhan-nya.

Di titik ini, Rick Steves dan para peziarah hippies terinspirasi dari Islam. Di level eksoteris (lahiriyah) memang benar perjalanan kaum hippies ke kota-kota di Timur jauh menjadi sebuah perjalanan pembuktian untuk melawan narasi negatif dari Barat, yang ditanamkan oleh orang tua-orang tua mereka, tentang kebengisan bangsa Timur, ketidak-beradaban orang-orang Timur yang layak untuk dibumi hanguskan, dibunuh, dan diperangi. Di sini dengan mereka melakukan perjalanan ke timur, mereka ingin membuktikan bahwa propaganda yang itu tidak benar, bohong, dan hanya dibuat-buat.

Dan, benar saja, tak hanya sisi kemanusiaan yang para peziarah hippies ini dapat dalam perjalanannya ke timur, banyak diantara mereka yang juga mendapatkan pencerahan spiritual. Tak hanya manusia yang mereka temui, ndilalah-nya mereka juga ketemu Tuhan pada level Esoteris (batiniyah)-nya.

Perjalanan Agung

Setelah mengulik beberapa video bedah buku Rick Steves di Youtube, saya kemudian teringat film lawas dari Perancis tentang Haji, yaitu Le Grand Voyage (2004). Film ini mengisahkan seorang pemuda keturunan Perancis-Maroko bernama Reda yang dimintai oleh ayahnya untuk mengantar sang ayah menunaikan ibadah haji. Mereka berangkat dari Perancis ke Arab Saudi tidak naik pesawat, melainkan dengan mengendarai mobil. Melintasi jarak 5.000 km lebih, melewati sembilan negara yakni Perancis, Itali, Slovenia, Kroasia, Serbia, Bulgaria, Turki, Yordania hingga akhirnya sampai ke Arab Saudi.

Dikisahkan selama perjalanan itu, mobilnya sempat di tumpangi orang asing, ayahnya sempat masuk rumah sakit karena kedinginan, ditahan diperbatasan karena visanya bermasalah, hingga uang sakunya sempat dicuri orang yang menjadi barengannya. Pokoknya banyak hal yang terjadi selama perjalanan itu. Hingga akhirnya ketika mereka memasuki perbatasan antara Yordania dan Arab Saudi, mereka bisa tenang karena ternyata banyak rombongan yang sama dengan mereka, pergi haji dengan menggunakan mobil. Setelah bergabung dengan beberapa rombongan kafilah yang juga ingin berhaji, beberapa orang dari rombongan sempat kagum saat mendengar kisah perjalanan Reda dan ayahnya yang menempuh jarak 5.000 km hanya demi berhaji.

Ada satu penjelasan menarik dari film lawas ini, saat adegan ayah Reda menerangkan padanya alasan mengapa ia memilih berhaji dengan mengendari mobil.  Kurang lebih apa yang ayah Reda jelaskan adalah perihal esensi dari ibadah haji yang kini sudah banyak mengalami pergeseran, seiring dengan perkembangan teknologi transportasi. Dulu orang berhaji bisa memakan waktu berbulan-bulan lamanya, selama perjalanan itu mereka bertemu orang-orang baru, lingkungan baru, dan masalah-masalah baru, yang besar kemungkinan bisa menggoyahkan niat dan perhitungannya untuk sampai ke Mekah di bulan Dzulhidjah. Sebelum akhirnya bertamu ke rumah Allah, ujian jarak ratusan atau bahkan hingga ribuan kilometer akan menempa hatinya para peziarah haji terlebih dulu.

Namun kini semuanya bisa diselesaikan dalam hitungan jam, dengan naik pesawat para rombongan haji pun dapat langsung menuju ke kota Mekah dengan cepat, praktis, dan efisien. Namun disitulah letak masalahnya menurut ayah Reda, kini haji yang menjadi rukun terakhir dalam ajaran Islam telah menjadi semacam kegiatan wisata rohani semata, yang menekankan pada aspek tujuan, hanya sekedar sampai ke tanah suci semata. Menegasikan aspek transformasi keimanan yang di masa lalu terwadahi dalam ujian yang dinamakan “perjalanan”. Pesan ini cukup jelas ditekankan oleh tokoh ayah Reda dalam film Le Grand Voyage bahwa baginya perjalanan agung haji merupakan sebuah ritual transformasi keimanan yang harus ditempuh dengan melakukan perjalanan, setiap kesulitan yang dihadapi dan orang-orang baru yang ditemui sepanjang perjalanan adalah ujian keimanan yang menyati dalam ibadah haji ini.

Namun kini semuanya bisa diselesaikan dalam hitungan jam, dengan naik pesawat para rombongan haji pun dapat langsung menuju ke kota Mekah dengan cepat, praktis, dan efisien. Namun disitulah letak masalahnya menurut ayah Reda, kini haji yang menjadi rukun terakhir dalam ajaran Islam telah menjadi semacam kegiatan wisata rohani semata, yang menekankan pada aspek tujuan, hanya sekedar sampai ke tanah suci semata.

Pada titik ini, saya merasa ada satu benang merah antara gerakan perjalanan hippies dengan ibadah haji yang dikatakan sebagai ibadah penyempurna dalam rukun Islam, di mana dua-duanya sama-sama memaknai perjalanannya sebagai transformasi spiritual.

Pertanyaan sekarang, bagaimana kita selaku umat muslim hari ini memaknai perjalanan agung (red: Haji) dalam diri kita, yang kini telah disimplifikasi oleh pemerintah dengan sistem kredit ONH yang harus dibayar tiap tahun?

[1] Steves, R. (2025). On the hippie trail: Istanbul to Kathmandu and the making of a travel writer. Avalon Travel.