Menu

Latar

Kembang api tiba-tiba meluncur dari atas melewati penonton menuju ke atas panggung. Penonton dibuat terkaget-kaget ketika sebuah lingkaran besi terjatuh kemudian terbelah pas di tengah. Dibarengi dengan kilatan lampu, dengan efek visual yang memukau, suara tawa anak-anak dari tujuh aktor membuat fragmen pertama dari pertunjukan “Pancering Penjuru” dari Teater Eska dimulai bertempat di Gelangang Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga malam (25/11).

Fragmen pertama dari pentas ini saya seperti masuk ke dalam dimensi penciptaan manusia ketika nyala cahaya kembang api ibarat Tuhan memberikan ruh kepada jasad manusia. Jatuhnya lingkaran tadi dengan terbelah seperti halnya manusia ketika dilahirkan ke bumi terbelah di antara kebingungan, ketidaktahuan dengan tanggung jawab yang diberikan Tuhan kepada manusia. Tangis tak bisa dihindarkan dari seorang yang baru dilahirkan karena di sana sebenarnya ada beban. Begitu pun tawa menjadi sebuah harapan dari seorang yang diberi mandat sebuah keturunan.
Setidaknya begitulah fragmen pertama yang saya pahami dari pertunjukan tersebut. Kemudian muncul seorang tokoh dengan gaya monolog dengan gerak lincah mempresentasikan kerusakan yang dibuat manusia atas realitas sekitarnya. Namun sayang dengan bahasa puitis yang dalam saya gagal menangkap pesan lugas yang ingin disampaikan. Kemudian juga muncul tokoh selanjutnya dari sebuah lingkaran di belakang, dengan gaya reportoar, sang tokoh mengunakan bahasa-bahasa langit, sepenangkap pemahaman saya tokoh tersebut sedang megalami kebingungan dengan kerusakan alam yang dibuat oleh manusia.

Sampai fragmen kedua ini dahi saya mulai mengerut. Saya mulai kehilangan fokus dan konsentrasi. Beberapa dialog menjadi terkesan sangat lama. Mungkin karena saya lagi-lagi gagal mencerna apa dialog yang ingin disampaikan. Tapi dengan pelan-pelan saya memulai memahami pentas ini menurut tafsiran saya membicarakan pergulatan manusia dengan kerusakan alam yang sedang terjadi.

Di fragmen ketiga, mungkin sampai akhir pementasan saya benar-benar kehilangan fokus. Saya mulai tidak nyaman dengan dialog-dialog puitis yang gagal saya pahami maknanya. Kemudian saya hanya berusaha menikmati koreografi dan lighting yang disuguhkan pada pementasan ini.

Sedulur Papat Lima Pancer

Terlepas dari pertunjukan yang saya gagal pahami, saya mencoba mencerna gagasan wacana yang ditawarkan dalam pertunjukan ini. Karena bagaimanapun bagi saya sebuah pertunjukan tanpa ada konsep yang matang dan dapat dipertagungjawabkan secara teoritik dan konseptual secara tidak langsung akan mengeliminir pertunjukan yang disuguhkan. Hal ini juga bukan berarti saya menihilkan teknis pemanggungan yang sebenarnya dasar dari sebuah pertunjukan seni, tapi keduanya antara konsep/gagasan dan teknis pertunjukan merupakan satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan. Sehingga nantinya pertunjukan tidak hanya semata memperlihatkan keindahan artistik panggung tapi juga memiliki nilai hiburan dan juga tuntunan. Mungkin juga tidak seideal itu, tapi setidaknya itu menjadi standar dimana pertunjukan dapat dinikmati.

Kembali pada sedulur papat lima pancer yang menjadi basis epistemik dari pementasan “Pancering Penjuru” kali ini, saya melihat ada sebuah kebuntuan di hari ini dalam menyikapi problem sosial masyarakat terutama terkait isu lingkungan, sehingga pengetahuan tradisi masyarakat terutama Jawa di eskavasi kembali.

Kembali pada sedulur papat lima pancer yang menjadi basis epistemik dari pementasan “Pancering Penjuru” kali ini, saya melihat ada sebuah kebuntuan di hari ini dalam menyikapi problem sosial masyarakat terutama terkait isu lingkungan, sehingga pengetahuan tradisi masyarakat terutama Jawa di eskavasi kembali. Hal ini juga menunjukan bahwa “Barat” dengan idiologi moderitasnya tidak semata-mata membawa kemajuan tetapi juga membawa kerusakan hampir di semua sisi kehidupan termasuk yang mendesak kerusakan alam. Payahnya, problem kerusakan alam ini tidak kunjung menemukan jawaban seperti apa seharusnya disikapi, ketika banyak kesepakatan dunia yang sudah dirancang oleh PBB tidak membuahkan hasil karena laju ekonomi kapital merangsek menjadi kepentingan dari negara-negara yang memegang status quo dari organisasi dunia ini.

Kondisi ini mengakibatkan banyak orang putar balik mencari jawaban atas problem kemanusiaan ini ke dalam tradisi lokal masyarakat dimana kita berpijak. Gerakan ini biasanya dinarasikan dengan kata back to nature mendorong manusia untuk kembali ke alam, walaupun gerakan ini juga masih sarat dengan kepentingan kapital. Hal ini yang juga mungkin menjadi spirit dari Teater Eska untuk mengambil konsep sedulur papat lima pancer untuk kemudian dipentasakan.

Konsep ini sebenarnya bukan hal baru di kalangan masyarakat Jawa secara umum. Bahkan konsep ini sudah menjadi pengetahuan umum di ruang kesadaran terdalam (episteme), menjadi laku keseharian, menjadi repertoire di tengah-tengah masyarakat, sehingga melekat di alam fikir masyarakat Jawa sejak ratusan tahun yang lalu.

Namun seiring berjalannya waktu, pengetahuan ini seperti diredam, dikubur dalam-dalam di ruang sunyi batin masyarakat kita. Arus perubahan zaman dibarengi dengan perkembangan filsafat Barat yang menuhankan akal (rasionalitas), sampai-sampai membunuh Tuhan, yang akhirnya menjadikan alam sebagai obyek material panca indra (sains), tidak membuat lebih baik kehidupan namun sebaliknya. Hingga pengetahuan lama kita tak memiliki tempat, hanya menjadi serpihan-serpihan di ruang pengajaran pendidikan kita selama ini.

Kemudian secara letterlijk sampai saat ini saya belum menemukan siapa yang membawa ajaran ini, namun yang jelas ajaran ini seperti ditunjukan oleh Irfan Afifi dalam buku (saya, jawa, dan Islam, 2019), diajarkan oleh para wali (penyebar agama islam) Jawa di tengah masyarakat. Ajaran sedulur papat lima pancer ini tak ubahnya konsep diri yang memiliki makna cukup dalam untuk mendefinisikan kecenderungan psikologis dari perjalanan hidup manusia. Kalau kita ingin lebih dalam menelisik gagasan mendasar dari ajaran ini sebenarnya disandarkan pada pemaknaan tentang keberadaan hidup masyarakat Jawa yang sebenarnya terkumpul dalam ungkapan “sangkan paraning dumadi”. Sebuah ungkapan yang sebenarnya ingin mengingatkan keberadaan etis manusia serta tujuan teleologis akhirnya selama ia hidup atau ber”ada” di dunia ini, (Irfan Afifi, 2019). Dan itu semua sebenarnya didasarkan pada sebuah ayat dalam Al Quran “Inalillahi wainna ilahi rojiun”.

Dari sana bisa dipahami bahwa konsep sedulur papat lima pancer itu adalah konsep pengenalan diri untuk menjadi pengingat, bahwa tujuan penciptaan manusia itu tidak lain hanya untuk kembali pada pencipta-Nya. Ketika manusia tahu dari mana ia diciptakan dan untuk apa tujuan penciptaan sampai tahu akan ke mana akhir kehidupan, manusia jadi mengerti apa saja persiapan/bekal atau bahkan siasat untuk mencapai itu semua. Namun manusia termasuk kita sering kali lupa, bahkan tidak tahu tujuan akhir kehidupan ini semua, sehingga kebingungan dan ketidaktahuan mengakibatkan kerusakan pada diri dan lingkungan sekitar kita.

Pada akhirnya konsep perjalanan mulai dari kelahiran menuju kematian atau dari Allah menuju Allah ini oleh para wali Jawa disebut laku, mlaku, lelaku, lelakon yang artinya “berjalan” dalam kredo pemahaman orang Jawa disebut suluk perjalanan yang dalam kopsep tasawuf merupakan kata kunci dari perjalanan spiritual seseorang. Disisi lain penamaan suluk (perjalanan) sebagai genre tembang Macapat yang merupakan genre utama menulis kesustraan serat maupun wirid terkofirmasi dari makna yang terkandung disetiap tembang yang berjumlah 11. Ada Maskumambang (dalam kandungan), Mijil (lahir), Sinom (anak muda), Kinanthi (ditemani perkembangan ilmu dan moralnya), Asmaradhana (asmara/cinta), Gambuh (menikah), Dhandhanggula (mengalami pasang-surut, jatuh bangunnya kehidupan), Durma (medermakan diri pada masyarakat), Pangkur (mundur dan mengambil jarak pada gemerlapnya dunia), Megatruh, (terlepasnya roh kita wafat), dan yang terahir Pocung (jasad kita terbungkus kain kafan). Begitulah rangkaian sebuah perjalanan suluk manusia mulai sejak lahir sampai menuju kematian, atau bisa disebut suluk untuk menuju sangkan paraning dumadi.

Dari hal di atas kita perlu mengenal, dan mengawasi unsur empat nafsu dalam diri kita (Macapat/membaca empat), agar bisa terbebas dalam rangka kembali kepada-Nya. Hal ini dilakukan agar diri sejatinya menjadi pancer, pengendali dalam mengatur laku perjalanannya (sedulur papat, lima pancer). Sedangkan dalam konsep tasawuf apa yang sedang dilakukan bagian dari proses untuk mendirikan dan memanunggalkan sifat/asma Tuhan dalam dirinya untuk menjadi Insal Kamil (manusia yang utuh kemanusianya).

Maka setelah manusia bisa mengendalikan kecenderungan buruk yang dasarnya berangkat dalam dirinya, ia baru bisa menghalau kerusakan pada alam, lingkungan dan membawa kebaikan kepada yang liyan. Bukan alam yang menjadi obyek tapi diri sendiri transformasi perubahan itu dapat dilakukan.

Seni dan Tantanganya

Setelah panjang saya uraikan di atas bagaimana gagasan yang diusung oleh Teater Eska menurut saya nilai plus, di tengah kekeringan banyak aktivitas kesenian terutama teater kampus di Yogyakarta yang terjebak pada kerangka pengetahuan Barat untuk mendiskripsikan persoalan. Begitu pun tidak dibarengi dengan riset yang matang dan mendalam mengakibatkan obyek persoalan tidak pernah tuntas terdefinisikan, apalagi alternatif jawaban yang diberikan.

Dalam konteks ini, Teater Eska dengan pentas “Pancering Penjuru” sudah berani memulai untuk menengok kembali khazanah pengetahuan tradisi dan masyarakat kita untuk dijadikan titik pijak di dalam proses kreatif berkesenian terutama teater. Walaupun seperti itu, bukan berarti Teater Eska berhasil mengkomunikasikan gagasannya dengan penonton yang datang. Seperti saya singgung di awal tadi, masih banyak beberapa hal mendasar seperti tingkat pemahaman pada isu, konteks, dan kerangka konseptual gagasan yang di angkat tidak benar-benar tuntas dipahami oleh setiap pelaku proses terutama aktor yang terlibat mengakibatkan energi, rasa, dan gairah pesan tidak bisa diterima oleh penonton.

Mengapa hal itu penting, jika kita masih sepakat mengatakan bahwa seni meupakan media komunikasi, untuk berefleksi dan membaca diri, apapun jenisnya itu teater, musik, seni rupa dan banyak ragam yang lainya. Yang tidak bisa ditinggalkan adalah “ketersampaian pesan” kepada penonton dan penikmat seni. Di sanalah kesenian menjadi ruh penting dari kehidupan di tengah absurditas kehidupan dan tarik ulur kepentingan. Ruang kesenian adalah ruang imajinal yang paling merdeka untuk menyuarakan berbagai kegelisahan untuk menjadi titik pijak trasformasi sosial.

Dalam konteks ini Teater Eska dengan pentas “Pancering Penjuru” ini sudah berani memulai untuk menengok kembali khazanah pengetahuan tradisi dan masyarakat kita untuk dijadikan titik pijak di dalam proses kreatif berkesenian terutama teater.

Begitupun sebaliknya, jika ruang kesenian ini hanya sebagai panggung dengan gemerlap lampu warna-warni terpasang, kemudian setelah pentas riuh selfie penunjang eksistensi bertebaran, apa bedanya proses kesenian dengan riuh pasar ditengah ramainya kota. Padahal melalui medium inilah relung sunyi keresahan, ketidakberdayaan, keterasingan, diberi ruang untuk menjadi bahan perenungan dan refleksi personal. Di sana juga kita bisa mengatakan bahwa hidup tidak semata-mata terkait kapital. Bahwa hidup tidak hanya terkait salah dan benar, kalah dan menang, tapi ada kedamaian dan cinta yang melekat di setiap insan, jika itu terkomunikasikan tingkat terjauh seni menjadi media penebar kasih sayang dan perekat diantara friksi sosial. Semoga.

 

Keterangan:

Semua foto adalah dokumentasi Zahid Asmara.

Beberapa hari ini kami berada di bukit ini, tepatnya di bukit Syarok, Darmacaang, Cikoneng, Ciamis, Jawa Barat. Sebelumnya, tentu saja kemelut di hati telah kumenangkan, antara keinginan untuk mendalami kehidupan “nyantri kembali” yang jelas memuat konsekuensi-konsekuensi baru atau tidak.

Adalah kawan Soerjo, yang tiba-tiba mengatakan: aku ikut. Lho, padahal tidak ada rembuk apa-apa sebelumnya. Rupanya ia merasa tertarik dan secara diam-diam mempersiapkan diri, packing pakaian dalam tas ransel dan tentu saja dengan kesiapan mental yang sudah dibungkusnya dengan niat rapi.

Udara terasa begitu segar di sini. Maklum, ini daerah perbukitan yang masih asli. Belum banyak di jamah oleh manusia. Beberapa tahun yang lalu, Kiai memutuskan untuk membuka lahan ini dengan diawali menanam salak, disamping memang  banyak tanaman jangka panjang yang sudah ada. Banyak pohon mahoni dan sengon, juga tanaman kebun lainnya. Kelak, Kiai akan menetap di sini dan setiap riyadhoh, Suluk Ilahiyah dilaksanakan di sini. Tak lagi di jogja, Ploso Kuning.

Selang tiga harian kami di sini, berbaur dengan para jamaah yang lain dari seluruh pelosok tanah air, suatu pagi, kita santai sembari ngopi. Kawan Soerjo sambil senyum-senyum berkata, “Hebat ya… Siang kerja, malam dzikir”, “orang-orang ini seperti memiliki kekuatan super, hutan yang selebat itu bisa bersih dan rapi dengan kerja yang hebat dan kompak kayak tentara”.

Entahlah bagaimanapun kami juga merasakan bahwa kami seperti memiliki kekuatan berlipat ganda, bekerja dengan riang gembira walau fisik terasa pegal-pegal.

Dalam kegiatan Suluk Ilahiyah ini memang diisi dengan aktivitas fisik yakni kerja, seperti yang diperintahkan Guru pada siang hari kemudian, sholat, dzikir, tawajjuh dan angkat senjata lagi, pacul, parang, shin-saw, golok, kapak, dan lainnya. Di pondok ini, kata-kata “ngaji ngelmu alat”, diplesetkan dengan mengacu pada “alat kerja beneran” bukan ilmu Nahwu-Shorof seperti di pesantren-pesantren pada umumnya. Pada malam harinya lebih banyak diisi dengan dzikir-dzikir seperti yang dibebankan pada masing-masing Santri sesuai “kelasnya”.

Di pondok ini, kata-kata “ngaji ngelmu alat”, diplesetkan dengan mengacu pada “alat kerja beneran” bukan ilmu Nahwu-Shorof seperti di pesantren-pesantren pada umumnya.

Tiba-tiba obrolan itu sampai juga pada kebiasaan kami untuk main-main analisis, seperti biasanya aktivis di kampus. “Padahal kerja ini tanpa upah lho, ini penindasan kalau menurut Marx”, imbuhnya. “hahaha”, kita tertawa.

Secara sosiologis memang bisa terbaca demikian. Mengapa demikian, lihatlah, seorang kiai hanya dengan dawuh-nya saja bisa menggerakkan ratusan orang untuk mengerjakan seperti apa yang ia inginkan. Ini menandai sebuah superioritas tersendiri. Dalam struktur sosial, hanya kelas yang lebih tinggi posisinya yang memiliki kekuasaan ini, kekuasaan untuk dipatuhi. Menurut teori, ini lebih dekat dengan tradisi feodalisme –dari sisi kepatuhannya pada yang memberi perintah, walau hubungan yang terbentuk bukan berdasar pada kepemilikan terhadap alat produksi dan fungsi sosial-ekonominya. Namun, di sini lebih pada kepatuhan yang berdasar pada istiadat “adab murid pada Guru”, bukan berdasar pada hasil dari alat produksi.

Sekonyong-konyong pula, pikiranku dipenuhi ingatan tentang beberapa konsep epistemologi Islam yang pernah kubaca. Di dalamnya dijelaskan tentang tiga sumber/cara ilmu pengetahuan diperoleh dalam islam: 1) Bayani: adalah ilmu yang bersumber pada Teks-teks suci yaitu, Alquran dan Hadits. Ilmu ini bersifat dogmatis, kebenarannya tidak boleh di otak-atik, hanya yakini saja dan perkembangannya adalah melalui metode penafsiran yang sesuai dengan kaedah-kaedah yang ketat. 2) Burhani: ilmu ini bersumber pada hasil analisa atas data yang diteliti dengan metode-metode yang ilmiah. Artinya saja sudah argumentatif, maka kebenaran ilmu ini tergantung kekuatannya bertahan terhadap argumen-argumen yang menentangnya. Cara berpikir ini melingkupi ilmu-ilmu sosial dan eksakta juga ilmu alam. Karena berbasis penelitian ia adalah ilmu yang sangat berkembang dan kasat mata. 3) Irfani: Cara memperoleh ilmu dengan metode “pencahayaan” secara spiritual. Alat pencerapnya adalah hati. Pendekatannya adalah dengan “mengalami” langsung dan dilakukan dengan cara-cara yang ketat di bawah bimbingan syeikh yang telah memiliki wewenang untuk membimbing.

Dengan kesadaran yang terakhir inilah, kita mencoba meyakinkan diri bahwa apa yang sedang dijalani ini bukanlah hal sia-sia. Berat nian, di hati ini bila menggunakan cara berpikir yang dua pertama itu di sini. Hampir semua seratus delapan puluh derajat bertentangan dengan tradisi-tradisi “memberontak” yang selalu menjadi sifat kami. Kini harus berhadapan dengan fakta bahwa kepatuhan untuk melakukan perintah Kiai yang tentu saja langsung menghantam Ego kami. Menghancurkan “aku” yang selalu bangga pada dirinya ini. Pikiran ini semakin menguat memprovokasi apabila kondisi badan sedang lelah-lelahnya, badan sakit dan harap di ketahui suhu di sini begitu dingin! Lengkaplah penderitaan fisik ini. Ngapain kamu bercapek-capek di sini? Sepertinya memang sulit untuk melewati situasi ini. Seperti hendak menyeberangi dua pulau yang lautnya berapi.

Sebagian ilmu yang kita pegangi adalah yang berasal dari dua metode epistemologis di atas. Di sinilah letak tantangan untuk pelaksanaan Adab, “Saat di hadapan Gurumu bakarlah Kitab-kitabmu”. Lakukan saja apa yang diperintahnya, “Dirimu laiknya sesosok mayat di hadapan tukang memandikan mayat”. Seperti Nabiyullah Musa AS di hadapan Sayyidina Khidir AS yang pasrah tanpa syarat. Demikian pula seperti yang syairkan Maulana Rumi. “Bakarlah kitab-kitabmu saat kau bersama kekasih yang membawa pengetahuan di hatinya, untuk dituangkan di hatimu”.

Bersama dengan raungan nafsu dan gemuruh pikiran yang terus berusaha menyajikan argumentasi pelan-pelan, perjalanan suluk ini membuktikan bahwa ada satu cara berilmu pengetahuan yang sangat orisinal dalam islam yang selama ini kita jauhi.

Ya inilah bentuknya. Dunia dalam kita (Bathin) dibakar dengan dizikir-dzikir dan fisik kita digerakkan dengan perintah yang bukan maunya kita, metode Khidmah. Inilah tirakat yang sejati. Tirakat yang benar. Tirakat yang terbimbing. Bukan waton tirakat yang seperti kita dengar dari dongeng-dongen itu, yang melakukannya dengan menyepi di goa-goa dan tanpa petunjuk dari ahlinya. Memasuki dunia spiritual yang serba halus sangatlah penuh bahaya ketergelinciran, jika tanpa pembimbing bisa saja kita berlabuh pada alam jin yang menyerupai alam syurga yang menyesatkan. Bukan ridho-Nya yang kita dapatkan tapi laknat-Nya yang kita tuai.

Saat begini, lepaslah ilmu akalmu. Ikuti hatimu, kalau hatimu masih remang-remang, percayakan pada ahlinya. Ahlillah yang telah melewati ribuan jarak cahaya perjalanan spiritual. Biarkan berbagai jenis ilmu itu berfungsi pada tempat dan waktunya masing-masing. Aku masih ingat, satu prinsip kawan-kawan: jangan pernah mengharamkan sebuah ilmu pengetahuan! Saat menyelam dalam samudra hakikat kita tanggalkan ilmu-ilmu duniawi dan hening di bawah telunjuk pimpinan sang Mursyid tapi saat di dunia fisik ini kita bergabung dengan aneka unsur sosiologis dan hukum alam. Aktifkan segenap perangkat ilmu akal kita. Biarlah dunia di tangan kita serta Cahaya Cintanya di hati kita.

Begitulah, selama sepuluh hari akhirnya bisa dilewati. Suluk dikhatami oleh Kiai dan kami pulang kembali ke rumah masing-masing.

Apakah outputnya? Tentu saja ini adalah tahap awal yang tidak mudah menilai apa yang telah berubah, karena ini adalah proses pendidikan seumur hidup maka keistiqomahan, kesetiaan dan pemebelajaran sampai mati. Minal mahdi ilal lahdi.

Di Jogja, kita ngopi lagi, diskusi lagi, sesekali ngopi lagi. Hati butuh kopinya sendiri, fisik juga.

*Catatan ini ditulis penulisnya pada penghujung tahun 2013. Dimuat kembali di sini dengan tujuan pendidikan.

Saya mengenal Langgar ketika kecil, bahkan sebelum sekolah TK. Bapak atau ibu sering mengajak saya ke langgar ketika bunyi Kentongan ditabuh. Magrib.

Jumlah langgar di desa saya sekitar tigapuluhan, sementara masjid cuma ada dua, itu pun karena beda kampung. Sebagian langgar sudah tembok, sebagian masih gladag kayu. Sebagian besar sudah ber-toa, yang akan bersahut-sahutan suaranya di kala Magrib, Isya, atau Subuh. Kebetulan di langgar saya sudah ber-toa. Jadi ikut meramaikan sahut-menyahut itu.

Di langgar itulah saya bertemu teman-teman. Biasanya kami ikut bermain salat-salatan ketika orang-orang dewasa salat. Tak jarang kami berlari-larian diantara orang-orang salat. Biasanya pula orang-orang dewasa memarahi kami.

Lama-lama saya diikutkan bapak atau ibu mengaji habis Magrib, yang diajar oleh kiai langgar. Anak kecil mengaji Turutan. Tahap awal sebelum Qur’an. Saya ingat, ibu saya membelikan Turutan yang baru di pasar, dengan gambar sampul yang saya sukai. Ngaji Turutan pertama mulai dari Alip ba’ ta’, sesuatu yang sudah hapal sebelumnya, karena orang tua atau tetangga sudah mengenalkan itu.

Lambat laun saya terbiasa sendiri ke langgar jelang Magrib. Sore sebelum Magrib di langgar adalah waktu kami bermain. Ada banyak jenis permainannya, mulai dari petak umpet, kelereng, atau tinju-tinjuan. Dan ketika mendengar bedug masjid ditabuh, kami akan rebutan kentongan langgar untuk ditabuh. Tapi seringnya kentongan dikuasai anak yang lebih besar.

Berbeda dengan azan. Kami belum berani rebutan. Biasanya anak yang lebih besar yang mengumandangkan, anak Qur’an atau orang dewasa. Baru ketika azan usai, saatnya pujian. Nah, waktu pujian inilah saya ikut rebutan mik. Urun suara cempreng saya untuk bisa masuk speaker.

Seringnya kami pujian bersama-sama, dengan mik digilir. Saya masih ingat beberapa lagu lagu pujian, seperti “Cilik-cilik diulang Ngaji, gedhe-gedhe supaya aji…,” atau “Aja sira banget-banget, olehmu bungah ana dunya…,” lagu-lagu pujian yang saya sampai saat ini tidak tahu itu karangan siapa. Mungkin pengarangnya merasa tak penting lagi namanya dikenang. Selain puji-pujian lagu Jawa, kadang-kadang kami juga pujian Arab seperti “Robbana atina…,” atau “Astagfirullah robbal baroya….” Kalau kemarau panjang, pujian yang paling sering adalah “Allahummasqina gaisa mugitsa…”.

Ketika salat, kami yang masih kecil-kecil itu biasanya menempati shaf paling belakang. Biar tidak mengganggu orang dewasa. Atau juga biar tidak dimarahi karena kelihatan bermain ketika salat. Salat kami awal-awal tentu sekedar rubuh-rubuh gedhang, karena belum tahu doa-doanya. Kadang dalam salat itu, kami masih suka senggol-senggolan, injek-injekan kaki, atau lempar-lemparan kopyah.

Karena belum tahu doanya itulah, ada teman saya yang mengaku mengisi salatnya dengan komat-kamit pelan-pelan dengan berhitung. Misalnya ketika sujud atau ruku’ ia menghitung angka 1-10, sementara duduk tahiyat menghitung 1-10 tiga kali. Saya sendiri lebih sering berkomat-kamit berbisik wesuwesuwesss… dengan pelan. Biar dikira baca do’anya.

Saya baru bisa hapal bacaan-bacaan salat ketika ada pelajaran Pasolatan, alias praktik salat, sekali dalam seminggu. Dan lebih lancar lagi hapalannya berkat ibu-ibu guru TK ketika saya mulai sekolah. Saat itu saya juga baru belajar wudhu, mulai doanya hingga apa yang membatalkannya.

Salah satu yang paling saya sukai dari mengaji adalah ketika kiai mendongeng, kebanyakan dongeng kisah nabi-nabi. Saya paling suka cerita Nabi Ibrahim yang menghancurkan berhala, tetapi ketika dihukum dengan dibakar malah kedinginan. Cerita itu yang membuat saya kadang ingin menghancurkan sesuatu yang saya anggap patung, seperti orang-orangan untuk jualan baju ketika saya diajak ke pasar malam. Tapi saya tidak berani menghancurkan, karena ketika kulit saya kena bara api sedikit saja masih kepanasan.

Malam Jum’at ngaji libur. Wiridan habis Magrib diganti Tahlilan. Kadang-kadang habis tahlilan ada yang brokohan, berkatan atau bancakan. Apakah bancakan weton, syukuran atau selametan. Biasanya sohibul Bancakan membawa ambeng nasi tumpeng, dengan jajanan. Ketika pak kiai mendoakan, kami akan suka teriak “Amin” dengan kencang dan bersahut-sahutan. Semangat sekali. Sehabis itu makan bersama, yang kadang juga rebutan dalam satu tampah. Saya tidak tahu mengapa makan nasi berkat di langgar dengan rebutan itu begitu enak. Padahal kalau dilihat lauknya biasa-biasa saja. paling-paling sayur, bumbu kelapa, mie, tempe, dan suwiran telor goreng yang ditabur.

Orang bancakan tidak harus malam Jumat. Saya justru suka kalau malam-malam yang lain, karena ngajinya diliburkan. Artinya, sehabis salat Magrib langsung makan-makan, setelah itu bisa langsung bermain entah kemana.

Di langgar, kadang-kadang lomba-lomba diadakan. Waktu itu setiap anak membayar iuran lima puluh atau seratus rupiah. Ada juga yang memberi lebih. Tergantung orang tua. Lomba yang paling sering diadakan adalah cedas cermat. Dengan soal-soal seperti tajwid, nama-nama Nabi berikut kisahnya, matematika dasar, bahasa krama inggil atau nama-nama anak hewan. Saya paling suka nama-nama anak hewan, dan paling tidak bisa bahasa krama.

Grup saya, yang terdiri dari dua anak, pernah memenangi lomba cerdas cermat itu. Seingat saya, kami mendapat hadiah bungkusan besar. Setelah dibuka kalau tidak salah isinya buku dan kerupuk. Kerupuk itu juga jadi rebutan teman-teman.

Ketika Ramadhan tiba, langgar jadi lebih ramai karena salat tarawih. Waktu remaja, saya seringkali memilih mencari langgar lain yang salat tarawihnya lebih cepat. Di langgar saya masih kurang cepat. Langgar sebelah lebih cepat. Saya sudah menghitung selisih waktunya, yakni hampir sepuluh menit. Di langgar yang salat tarawihnya lebih cepat itulah biasanya ramai anak-anak remaja.

Sehabis tarawih ada tadarus. Orang-orang dewasa yang tadarus, atau anak-anak yang sudah Qur’an. Anak-anak turutan belum ikut. Kalaupun ikut andil, paling-paling sekedar menghabiskan makanan atau camilan yang diberikan warga sekitar langgar untuk suguhan tadarus.

Ketika Ramadhan juga, siang hari langgar ramai anak-anak atau remaja. Langgar jadi ramai permainan. Para remaja itu biasanya sibuk latihan tongklek untuk keliling waktu sahur. Kadang mereka mereka sibuk membuat mercon. Kiai langgar tidak melarang itu.

Hari-hari jelang lebaran kampung kami jadi lebih ramai karena banyak pra perantau yang pulang kampung. Dengan sendirinya langgar jadi lebih ramai. Dan puncak keramainan adalah malah lebaran. Langgar akan ramai sekali dengan anak-anak takbiran. Bunyi mercon juga meledak dimana-mana. Mercon bikinan sendiri, karena mercon yang beli jadi terlalu kecil, kurang keras ledakannya. Maka, di sepanjang jalan bertebaran kertas-kertas sisa ledakan. Pelataran langgar termasuk titik paling sering orang meledakkan mercon, sehingga banyak juga kertas bertebaran.

Di langgar, para remaja takbiran sampai pagi. Malam lebaran memang terasa meriah sekali. Dan, langgar-langgar menjelma titik-titik kemeriahan, dengan masjid sebagai pusatnya. Merenungkan hal itu, saya jadi berkesimpulan bahwa langgar adalah salah satu bentuk pengejawantahan dari Islam berkebudayaan yang paripurna.

Bersambung

Malam itu saya harus turun dari bus. Rasanya tidak sanggup melanjutkan Perjalanan dari Yogyakarta menuju Rembang karena mual. Saya cari sebuah halaman di samping sebuah masjid. Di situ, saya muntah. Saat itu, sepertinya orang-orang sedang melaksanakan salat. Belakangan saya tahu, tanah yang saya muntahi adalah tanah Pesantren. Dan tempat orang-orang yang melakukan Salawat Diba’ sesudah Isya adalah masjid hibah atas nama seseorang yang beberapa tahun lalu dipenjara karena menikahi anak di bawah umur. Di dalam masjid itu, di Kecamatan Jambu, saya merebahkan diri setelah berbincang dengan seorang kakek bermata galak. Dingin, dua sarung saya ambil dari lemari di samping. Di luar, suara kendaraan berat terus lewat. Suara yang hanya bisa dikalahkan oleh lelapnya seorang hamba atau azan Subuh.

Entah kenapa setelah subuh saya tak jadi kembali ke Yogyakarta seperti keinginan saya sebelumnya setelah muntah, tapi malah melanjutkan perjalanan ke Semarang, kemudian berganti bus menuju Rembang. Demak, Kudus, Pati tentu saya lewati. Lasem dan pantai yang ada di sebelah kiri memberi desir akan masa kecil saat saya tumbuh di lingkungan nelayan dan syiar Islam.

Seingat saya, saya belum pernah ke Rembang sebelumnya. Ke pertigaan Pandangan, Kabupaten Rembang lah, saya harus turun dari bus yang terus menuju Surabaya.

Saya kemudian membeli buah dan bertanya ke ibu pedagang tentang arah tujuan yang ingin saya datangi. Debu-debu pembangunan harus saya lewati untuk mendapatkan kendaraan umum demi bisa melanjutkan perjalanan. Bau ikan yang menyebar di dalam angkutan kecil bukanlah hal yang asing bagi saya sebagai orang yang bersahabat dengan laut. Yang asing, yang selalu terjadi di tempat baru adalah saat komunikasi dimulai. Tak peduli seberapa besar penguasaan kita pada sebuah bahasa, jika kita tak bisa mengikuti “gelombang bahasa” yang ditawarkan, maka kita akan tenggelam dalam kebingungan.

Ke sebuah pesantren adalah tujuan saya. Hanya sekitar 7 menit dari pertigaan ke arah selatan. Saya waktu itu agak kebablasan. Turun, bertanya, berjalan, bertanya lagi dan lagi, itu yang saya lakukan sampai menemukan tujuan.

Di sana: saya ungkapkan tujuan kedatangan saya kepada seorang santri, saya serahkan sedikit oleh-oleh buah pir—buah yang kelak saya saksikan masih terbungkus di ruang tamu tempat saya duduk bersila, berhadap-hadapan sekitar dua jengkal dengan seseorang yang kemudian memberikan saya sarung saat pulang. Adegan di ruang tamu itu, mungkin hanya tiga orang yang menyaksikan: saya, beliau, dan seorang tua yang mungkin bagian dari keluarga beliau.

Dengan sarung itu, saya kemudian berziarah ke makam ayahnda beliau yang terletak di sebelah utara rumah, di timur masjid yang berdinding putih. Setelah itu, saya kembali bercelana denim murahan, sebelum diantar seorang santri menggunakan motor menuju pertigaan Pandangan.

Dari pertigaan itu, saya sedikit berjalan ke arah timur. Ada dua warung mangut berhadap-hadapan. Saya pilih menu “ikan iris” sebelum melanjutkan perjalanan ke Sarang. Di Sarang, di timur Masjid Jami’ nya, para santri bergerombol di sebuah papan. Dempet-dempetan seperti orang yang haus akan. Itu adalah papan koran. Mungkin mereka sekedar ingin tahu keadaan dunia luar setelah bosan belajar, belajar, dan belajar.

Ke dalam, saya masuk ke dalam. Bukan ke dalam asrama yang berada di belakang papan, tapi ke dalam gang yang ada di barat masjid. Di sana ada rumah sederhana almarhum Mbah Maimun, berhadap-hadapan dengan mushola yang tak kalah sederhananya, yang di atasnya terdapat apartemen mewah para santri yang di balkoninya bergelantungan kemeja, sarung, dan mungkin sedikit celana dalam. Jika Anda pernah berjalan di lorong kota New York pada abad ke-19, mungkin kira-kira begitulah gambarannya.

Masuklah sebentar ke dalam mushola, cobalah berwudhu di belakang. Tips: 1. Jangan sekali-kali Anda berniat menutup mata ketika berjalan agar terhindar dari ludah para santri. 2. Jangan sekali-kali melompati kolam tempat cuci kaki meski warna airnya telah hitam. 3. Jangan sekali-kali berharap jika Anda terluka, maka yang akan menolong adalah santriwati.

Di utara mushola ini juga ada papan. Tak seperti di papan sebelumnya, mungkin hanya ada satu dua santri yang sambil lalu membacanya setelah usai makan siang atau jika bosan di kamar–seperti burung-burung dalam sangkar yang banyak terdapat di Sarang. Kala itu isinya petuah-petuah agama dan sedikit pojokan untuk tidak menonton film “The Santri”. Ajakan tidak—meski ada salah satu kyai yang memuji film ini—adalah juga berarti tak mungkin film ini diputar untuk ditonton bareng di atas pasir pantai yang hanya berjarak setengah rokooan dari papan itu.

Dari Sarang, saya pulang. Mampir makan sebentar di warung mangut yang telah saya ceritakan. Kali ini lauknya iwak pe. Ikan parinya dilebihin sama penjualnya. Antara toko sudah mau tutup, daging pari yang akan mengeluarkan bau menyengat jika terlalu lama disimpan, atau rasa kasihan? Mungkin campuran semuanya.

Ke arah pulang, kulihat laut bermesra sore di sebelah kanan, seorang ibu muslimah yang mengayuh malam, melewati rumah-rumah tionghoa di Lasem, jamaah haul Mbah Santri di bawah pohon jati yang dipasangi lampion merah putih di Rembang, pedagang ikan asap yang memberi harga sangat rendah di pasar Tayu, serta keambyaran pembangunan di pinggiran jalan Pati, Kudus, Demak, apalagi Semarang.

Ke arah pulang kubawa kenangan dan sarung pemberian salah satu murid Mbah Maimun.

Bantu aku jawab, kenapa sarung?

Bulan separo, langit cerah, bintang-bintang bertaburan. Indah. Malam itu Wisagenit kebetulan mendapat undangan untuk menyaksikan sebuah pergelaran Sendratari yang mengangkat legenda Jonggrang, seorang putri Prabu Boko. Konon kabarnya, karena tidak cinta kepada Bandung, kemudian sapata, bersumpah. Dia tidak akan mau melayani sebagai istri. Lalu dikutuklah ia menjadi Arca. Demikin kira-kira singkat kisahnya. Sebuah kisah tak tertulis yang hadir lewat lisan para leluhur akan dipanggungkan.

Dingin angin di halaman panggung terbuka semakin terasa. Bintang-bintang masih saja setia, semakin malam kerlap kelipnya nampak semakin indah. Wisagenit duduk di pojok belakang. Kisah Jonggrang akan dimulai.

Tiba-tiba saja, duduk di sampingnya seorang lelaki setengah baya. Wajahnya tampak begitu akrab di mata Wisagenit. Wisagenit tersenyum. Tegur sapa dimulai. Seperti biasa, Wisagenit menyapa dengan bahasa Jawa ala kadarnya. Dan diketahui orang separo baya di sampingnya itu bernama kang Sanak. Berdandan rapi, bersepatu. Rambutnya tertata rapi. Wisagenit terpaku, melihat dirinya sendiri: sandal jepit, jaket mbladus dan kaos oblong. Hmm. Batinnya.

Di panggung, di sisi belakang sebuah kelir tergelar. Tampak bayangan gunungan. Sebuah kayon sedang digerakkan sang dalang. Tampak meliuk-liuk, tatah ukiran di kulit gunungan begitu nyata. Mistis

Di panggung, di sisi belakang sebuah kelir tergelar. Tampak bayangan gunungan. Sebuah kayon sedang digerakkan sang dalang. Tampak meliuk-liuk, tatah ukiran di kulit gunungan begitu nyata. Mistis. Wisagenit begitu menikmati adegan itu, penari-penari di panggung tak begitu ia hiraukan. Liukan gunungan yang disorot lampu baginya tampak sangat indah, lebih imajinatif dan menakjubkan.

“Kenapa itu bernama gunungan mas?”

Sambil melirik, tiba-tiba Kang Sanak melemparkan pertanyaan.

“Bentuknya seperti gunung mas,” Wisagnenit menjawab sekilas.

Ia masih terpukau dengan bayangan gunungan yang dimainkan sang dalang. Pada sulur-sulurnya, pada bayangan hiasan-hiasannya. Kemudian, ia menata duduknya. Hadir di hadapannya semesta gunung, pohon kehidupan. Wisagenit teringat buku yang pernah dibacanya, Suta Naya Dhadhap Waru : Manusia Jawa dan Tumbuhan.

“Gunungan adalah penanda, penegas tentang manusia Jawa mas, mereka yang senantiasa bersidekat, selibat  dengan hutan dan gunung, pun mungkin tergantung dengan tumbuhan,” Wisagenit menyambung jawaban.

Gunungan adalah penanda, penegas tentang manusia Jawa mas, mereka yang senantiasa bersidekat, selibat  dengan hutan dan gunung. Dalam gunungan ada rumah, gapura, sulur-sulur, binatang hutan, binatang piaran dan banyak lainnya.

“Panjenengan perhatikan Mas, dalam gunungan ada rumah, gapura, sulur-sulur, binatang hutan, binatang piaran dan banyak lainnya. Gunungan, disebut demikian karena bukan gunung betulan kan Mas? Tapi, bukankah ketika leluhur kita menggambarkan itu, melukiskan dengan begitu detail seperti itu, menandakan ada hal di baliknya? Bukankah kemudian bisa disepakati bila mereka sudah punya pengalaman, empirisme terkait keberadaan mereka yang ada dalam Gunungan itu?” sambung kang Sanak.

Wisagenit terdiam. Membayangkan siapa sebenaranya pencipta pertama gunungan, Kayon itu. Jan elok tenan je. Ya, bisa jadi itu empirisme. Batinnya.

“Jawa itu jawata mas, dewa. Jadi kita memiliki kekayaan karya yang tak terperi, yang bisa menjadi referensi bagi bangsa lain. Orang mesir, mereka pernah ke sini, mereka ingin sekali memiliki gunung-gunung seperti di Jawa. Maka mereka kemudian membuat piramid.”

Wisagenit masih tertegun, kaget mendengar pernyataan dari kang Sanak. Apa iya. Batinnya lagi.

“Anda tahu Mas, di Jawa, setiap makhluk, memiliki dimensi dan bisa diajak untuk berkomunikasi. Semisal tentang awan. Anda tahu, bahwa ada sosok yang bisa diajak bekerjasama untuk menggiring awan agar tidak hujan untuk sementara? Sosok itu, badannya manusia, namun kepalanya berujud sapi Mas. Dialah yang mampu menggiring mendung untuk pindah sementara agar tidak hujan di suatu tempat. Dialah yang bernama Aldaka, sosok yang bisa kita ajak dialog untuk ‘nyang-nyangan’ terkait hujan itu.

Anda tahu, bahwa ada sosok yang bisa diajak bekerjasama untuk menggiring awan agar tidak hujan untuk sementara? Dialah yang bernama Aldaka, sosok yang bisa kita ajak dialog untuk ‘nyang-nyangan’ terkait hujan itu.

Wisaganit terus saja diam, menyimak dan tidak banyak paham. Batinya bergolak, penuh tanya. Bukankah Aldaka itu nama lain dari Gunung, sebagaimana Ardi, Giri? Batinnya.

“Dan Aldaka itu bersemayam di utara sana Mas… “ lanjut kang Sanak sambil menunjuk ke arah Gunung Merapi.

Wisagenit mengerenyutkan keningnya. Baru pertama kali ia mendengar dongeng yang ini.

“Jadi, Jawa itu mempunyai kekayan sejarah Mas. Banyak kisah sejarah yang tidak tercatat di buku-buku yang ditulis oleh para cendekia, Doktor,  Pofesor, di Kampus-kampus. Saya sering terlibat bersama beberapa orang, mengulas kisah-kisah dari sejarah yang itu Mas. Tentang Borobudur misalnya, bagaiamana dibangun, cara membuat siku bangunan candi, arahnya yang pas dan susunan batu-batunya. Dari mana mereka memulai membangunnya. Semua kami diskusikan dan cermati mas. Dan sejarah itu, kami tidak menyebutnya sebagai Purbakala mas, kami menyebutnya Purbaraya…”

**

Kang Sanak tampak antusias mendongengkan pengalaman-pengalamannya. Termasuk ketika menyoal koleksi dan riwayat keris-kerisnya. Tentang keris Buntel Mayit, Nyi Brojol dan lainnya, dan lainnya, yang membuat wisagenit tambah ndomblong. Termasuk tentang riwayat bahwa Sleman, kabupaten tempat di mana Wisagenit numpang tinggal sekarang.

“Sleman itu selo dan liman mas, batu dan gajah, jadi apa batu dan gajah itu?

Wisagenit  menahan jawabannya.

“Ganesha Mas” sambil tersenyum Kang Sanak menegaskan.

Wisagenit masih saja diam. Di panggung terbuka Sendratari Jonggrang telah tiba pada adegan perang antara Bandung dengan Prabu Boko. Berlanjut dengan kekalahan Boko. Dan puncaknya pada adegan sumpah Jonggrang. Selesai. Lampu padam sebentar, lalu kembali terang. Penonton berfotoria, hilir-mudik para pemangku acara. Kursi-kursi, panggung, gamelan, dibereskan.

Di panggung terbuka Sendratari Jonggrang telah tiba pada adegan perang antara Bandung dengan Prabu Boko. Berlanjut dengan kekalahan Boko. Dan puncaknya pada adegan sumpah Jonggrang. Selesai.

Wisagenit baru menyat dari duduknya ketika kursinya harus segera diambil oleh petugas.

“Terima kasih Kang, untuk kisah dan dongengya.” Katanya sambil menyalami kang Sanak.

Mereka pun berpisah, saling mendoakan dan berjanji bisa omong-omong bersama lagi.

Di sepanjang jalan, kepala Wisagenit dipenuhi kisah sekaligus pertanyaan-pertanyaan. Terbentur ingatannya pada berita di media sosial tentang riuh rendah perbincangan sejarah maha patih Gadjah Mada, dongeng Majapahit dan lainnya.

Sampai di rumah, Wisagenit diam sejenak, dibukanya sebuah buku perihal Jawa, tertulis dan terbaca di sana : “Sing ngati-ati, aja nganti kesandhung ing rata kebentus ing tawang. Bener durung mesti pener, salah durung mesti kalah, becik bisa kuwalik. Awit dalane ora mung Siji…”

Hmm. Ya, kebenaran ada di mana-mana dan bisa datang dari mana pun. Dan kebenaran dan kesalahan yang hidup di sini tak pernah tunggal adanya.

Matur nuwun kang, matur nuwun untuk dongengnya. Gumam Wisagenit sambil mancal sarung.

 

***

1

Desa Plosokuning memiliki akses yang tergolong mudah. Menuju ke tempat ini hanya membutuhkan 5 menit masuk menjamah jalan desa dari jalan Kaliurang. Tepatnya sekitar tiga setengah kilometer dari perempatan Ringroad utara (Kentungan) kita akan menemukan jalan desa sempit nan-sepi setelah belok ke arah timur, sangat kontras dengan keramaian sebelumnya.

Adem banget ya…,” kata Arip teman perjalanan sekaligus bertugas sebagai pembonceng atas kemauannya sendiri. Malam itu memang lebih dingin dari biasanya. Bulan bulat keemasan mengintip samar di atas langit mengiringi keberangkatan kami menaiki motor. Sepanjang jalan Kaliurang sampai tiba di Masjid Plosokuning sarung kami berkibar-kibar.

Sampai di Desa Plosokuning, tepat pada sebuah belokan yang agak curam kami sudah bisa melihat mustaka dan atap tajuk dua tingkat masjid kuno ini. Kami harus mengambil jalan memutar masuk permukiman untuk menuju gapura depan masjid di sisi timur.

Monggo mas…,” sapaan balasan bapak-bapak  yang sedang sibuk di bangunan semi permanen yang difungsikan sebagai dapur masjid setelah kami memberikan isyarat nyuwunsewu. Melewati gapura dengan ornamen buah labu (waluh dalam bahasa Jawa) pada bagian atasnya, kami berada di halaman dengan empat pohon sawo kecik berukuran sedang berpagar bambu. Bagi yang peka, pohon sawo kecik ini juga lazim dijumpai di nDalem pangeran, keraton, atau makam lama.

Melewati gapura dengan ornamen buah labu (waluh dalam bahasa Jawa) pada bagian atasnya, kami berada di halaman dengan empat pohon sawo kecik berukuran sedang berpagar bambu. Bagi yang peka, pohon sawo kecik ini juga lazim dijumpai di nDalem pangeran, keraton, atau makam lama.

Suasana masjid masih sepi. Kami melihat beberapa orang menggelar tikar pandan di serambi masjid, sementara kami memanfaatkan waktu untuk foto-foto dari halaman. Jam menunjukkan belum manjing waktu isyak, kami memang sengaja datang lebih awal, selepas berbuka puasa tadi tanpa mengubah “dresscode” yang memang begini-begini saja sejak sore hari.

Kira-kira tujuh menit menunggu, kentongan menyusul bedug ditabuh. Azan berkumandang disusul satu demi satu jamaah menuju masjid. Seorang jamaah yang agak sepuh menghampiri dan menyalami kami yang masih berada di bawah pohon sawo kecik menikmati azan. “Sinten niki? Monggo mas mlebet,” sapanya. Kami mengangguk sejurus kemudian menuju tempat wudhu di samping serambi. Kami sempat berpapasan dengan beberapa jamaah. Sepertinya memberi senyum dan saling menyalami menjadi pemandangan biasa di tempat ini.

Beruntung sempat belajar Arkeologi di UGM dan hidup di Jogja, lumayan banyak masjid kuno yang saya ketahui sekaligus beberapa sempat saya datangi. Termasuk keberadaan masjid yang disebut sebagai “Pathok Negara” kepunyaan Keraton Yogya ini. Ya, pathok adalah tanda, batas dan pedoman, sedangkan negara di situ adalah keraton Yogya. Selain di Plosokuning, ada tiga masjid lain di tiga penjuru mata angin batas keraton Yogya. Sebelah timur adalah Masjid Babadan, Masjid Dongkelan di batas selatan, dan sebelah timur adalah Masjid Mlangi.

2

Masjid Pathok Negara Plosokuning diyakini hadir sejak tahun 1724, 21 tahun sebelum perjanjian Giyanti yang menjadi tonggak berdirinya Keraton Yogyakarta. Masjid ini hadir lebih dulu daripada masjid pathok negara lan, bahkan sebelum keraton berdiri. Masyarakat meyakini pembangunannya dirintis oleh keberadaan tokoh Kyai Mursodo, putra dari Kyai Nur Iman yang mengembangkan dakwah di kampung Mlangi. Kyai Nur Iman adalah saudara lain ibu dari pangeran Mangkubumi (HB I).

Baru di masa kemudian masjid ini mendapatkan posisi sebagai bagian dari keraton Yogyakarta dengan fungsinya sebagai tanda atau batas wilayah pusat pemerintahan berada (kuthanegara) dengan wilayah yang disebut negaragung, inti atau daerah penyangga. Pangeran Mangkubumi (HB I)-lah yang merancang “grand desain” keruangan negara Yogyakarta itu, sesuatu yang tidak mengherankan karena beliau juga terkenal sebagai seorang yang cakap dalam bidang rancang-bangun. Kemampuan beliau terbukti melalui perannya mendesain dan membangun keraton Surakarta pada masa sebelumnya.

Nyaris tidak ditemukan bukti sejarah yang memberikan gambaran bentuk masjid awal. Abdi dalem yang sempat kami temui sebelumnya meyakini cerita bahwa masjid lama berdiri lebih ke selatan dari posisi masjid sekarang. Baru pada 1757 saat pembangunan Masjid Gedhe, keraton memindahkannya ke posisi yang ada sekarang dan mengubah bentuk arsitekturnya. Arsitektur masjid Pathok Negara memang sama dengan Masjid Gedhe, perbedaan mencolok hanya pada jumlah atap tajuk dan dimensinya. Jika Masjid Gedhe bersusun tiga, keempat masjid Pathok Negara hanya bersusun dua.

Azan sudah selesai, dilanjut dengan puji-pujian dengan nada slendro yang indah. Sementara jamaah sudah tampak ramai, suara puji-pujian semakin meriah. Selepas mengambil air wudhu, kami melangkahkan kaki menaiki serambi yang lumayan tinggi, mirip batur lebar seperti pada bagian dasar bangunan candi. Batur yang sebenarnya menjadi bagian dasar masjid secara keseluruhan ini dikelilingi oleh kolam. Pikiran saya tiba-tiba terlontar jauh, merangkai imajinasi suasana masjid-masjid masa lampau di Jawa.

Pujian dengan bahasa Arab bernada slendro itu menguasai diri saya, melihat seorang jamaah yang sedang berwudhu di kolam keliling dari atas serambi, saya membayangkan menikmati teater indah di Taman Budaya.

Pujian dengan bahasa Arab bernada slendro itu menguasai diri saya, melihat seorang jamaah yang sedang berwudhu di kolam keliling dari atas serambi, saya membayangkan menikmati teater indah di Taman Budaya. Masuk ruang utama masjid yang disangga empat soko guru kayu, terdapat mihrab sempit, mimbar tandu kayu berwarna coklat tua, wadah lampu gantung logam di tengah dengan lampu-lampu putih hemat energinya, kami dengan tertib duduk bersila sebagaimana jamaah lain.

“Ruang utama inilah yang menjadi fokus renovasi oleh pemerintah pada tahun 2016.” Saya mendapatkan informasi dari Umaira, teman satu alumni yang sempat menjadi asisten tenaga ahli untuk renovasi Masjid Plosokuning. Saya menghubunginya sebelum berangkat menuju masjid. Memang, ruang utama yang di kanan-kirinya terdapat tempat sholat untuk jamaah perempuan (pawestren)  itu tampak “baru” untuk konstruksi atap kayunya. Mungkin kalau siang hari akan lebih jelas lagi untuk mengkonfirmasi bahwa genteng-genteng di keseluruhan bangunan masjid terlihat sudah mengalami penggantian.

Soko guru-nya itu tidak diganti, termasuk beberapa konstruksi atap kayu ada yang ditambah, kalau dindingnya dan pagar hanya mengalami peremajaan. Nah, kalau pawestrennya itu baru.” Umaira menjelaskan lebih lanjut via pesan pendek. Sebagai sebuah warisan budaya, bangunan masjid kuno ini sudah selayaknya mendapatkan perhatian untuk memperpanjang usianya. Agar bentuk dan “kehidupan” di dalamnya selalu menjadi pelajaran lintas generasi.

3

Menunggu sholat isyak dan tarawih kami berusaha mengikuti lantunan puji-pujian yang tampak semakin semarak. Lebih tepatnya semarak dan khusyu’, saya sangat kesulitan  mendefinisikannya. Ruangan yang tidak terlalu besar membuat gema suara memenuhi ruang. Suasana seperti ini mengingatkan saya pada langgar sebelah rumah di desa. Besar dan mengenal Islam yang semarak dengan tradisinya saat bulan Ramadhan seperti di tempat ini melempar ingatan saya akan hal-hal mengasyikkan saat “menginap” selama sebulan penuh di Langgar saya di desa.

Tidak berselang lama muncullah lelaki sepuh menuju barisan paling depan sejurus kemudian melaksanakan sholat sunnah dua raka’at. Beliaulah Kyai Baedowi, imam masjid Plosokuning yang malam itu bertugas memimpin jamaah isyak dan tentu saja dilanjut sholat tarawih. Iqomah segera dilantunkan, disusul dengan shaf-shaf rapi yang telah terbentuk, kami sholat isyak dilanjut membaca zikir dan tahlil mengikuti Kyai Baedowi. Puji-pujian menjelang sang imam melantunkan do’a hadir kembali mengisi memori kami yang baru pertama kali jamaah di masjid ini. Ya, pujian dengan lagu Jawa sekali lagi yang disambung dengan sahutan jamaah mangamini do’a sang imam.

Sholat Tarawih dilaksanakan 20 rokaat dilanjut tiga rokaat shalat witir. Dengan intonasi yang masih jelas dan gerakan imam yang lumayan cepat menjadikan kami berdua, saya dan Arip, menyelesaikan semua rangkaian isyak, tarawih dan witir dengan kaos dalam basah keringat. Tapi inilah yang sebenarnya kami cari. Selepas witir dan do’a jamaah membubarkan diri diiringi tabuhan bedug yang ada di serambi. Iramanya sangat cepat seperti bedug takbiran.

Kami mengamati para jamaah yang lepas dari shaf-shaf mereka menuju serambi dan bersegera mengambil tempat melingkar. “Sepertinya ngaji iki, rip..,” saya membisikkan kalimat tersebut sambil mencolek punggung Arip yang sudah tergopoh-gopoh ingin mencari udara segar ke luar. Benar sekali. Kami dipersilahkan untuk duduk karena akan diadakan ngaji pasan (ngaji kitab tertentu selama bulan puasa) yang menjadi tradisi di Masjid Plosokuning selepas jamaah tarawih.

4

Saya bersebelahan dengan Pak Jaenudin Ahsan, warga Plosokuning asli yang sejak kecil hidup dengan tradisi Islam di sini. Kehadiran masjid pathok negara  di empat penjuru mata angin keraton Yogyakarta selain menjadi pedoman batas eksistensi geopolitik keraton, juga sebagai pusat syiar Islam. Selain itu Fungsi pathok negara pada masanya adalah sebagai pusat pengadilan hukum syariat Islam di luar peraturan hukum kolonial yang ada waktu itu. Seperti hukum hak waris, pernikahan, perceraian, dll. Menurut saya ini adalah bentuk “pemberontakan” yang luar biasa terhadap dominasi kolonial pada masa itu. Posisinya yang berada di empat penjuru mata angin mengingatkan pada falsafah kiblat papat yang harus selalu diingat setiap insan dalam menjalani kehidupan di dunia agar selamat menuju janma utama atau manusia paripurna.

Atmosfer Islam tradisi dengan kehidupan santrinya sudah pasti tidak terlepaskan dari keberadaan masjid pathok negara.

Atmosfer Islam tradisi dengan kehidupan santrinya sudah pasti tidak terlepaskan dari keberadaan masjid pathok negara. Seperti Pak Jaenudin, “Saya dulu ngajinya juga di sini mas, sejak Kyai Mursodo yang merintis pendidikan di sini, keturunannya-lah yang mengajar kami ngaji.” Tentu yang dimaksud beliau selain ngaji Al Qur’an, masyarakat Plosokuning juga sangat akrab dengan ngaji kitab kuning karangan para ulama terdahulu. Seperti malam ini, jamaah mengaji kitab Riyadhus Shalihin, karangan Imam Nawawi yang akrab di pondok-pondok pesantren tradisional.

“Di Desa Plosokuning sekarang ada tiga pondok pesantren,” Kata Pak Jaenudin melanjutkan. Ngaji pasan malam itu dibawakan oleh seorang Kyai muda, putera Kyai yang sebelumnya mengisi pengajian serupa. “Itu masnya baru pulang dari Mesir, mas…,” Lanjut Pak Jaenudin yang biasa dipanggil Pak Jae atau Pak Ahsan setelah saya bertanya siapa nama kyainya. Beliau masih sangat muda, suaranya jelas dan enerjik bak ustaz-ustaz di TV. Namun masih tampak dengan pembawaan tenang dan bahasa kromo yang lembut.

Pengajian diikuti oleh mayoritas jamaah, termasuk jamaah perempuan. Saya melihat serambi masjid tidak muat untuk menampung jamaah, hingga ada beberapa jamaah yang menggelar tikar yang tadinya berada di serambi ke luar halaman. Ada dua baris memanjang tikar yang dipakai sebagai alas jamaah mendengarkan pengajian sang kyai. Selain duduk santai dan menyalakan rokok, ada juga yang sambil klekaran. Saya tergoda untuk keluar, tetapi karena sebelumnya sudah nyaman bercakap-cakap dengan Pak Jaenudin, saya urungkan niat tersebut.

Nggih…salam niku mboten kedah assalamu’alaikum kemawon, menawi ten mriki legane niku, biasanae ngagem nyuwun sewu..utawi monggo… memang beda, tetapi kita lihat esensinya sama. Nggih mboten?,” Saya mencuplik sedikit tafsiran dari sang kyai setelah membacakan sebuah ayat dalam kitab yang sedang dibaca. Sebagai orang yang tidak pernah mengenyam pendidikan lama di pesantren, bagi saya ngaji-ngaji seperti ini adalah oase.

5

Tidak berselang lama, muncul beberapa pemuda bersama nampan dengan gelas-gelas berisi teh panas. Menyusul kemudian kardus-kardus berisi makanan ringan diedarkan. “Mantap,” sambut Arip yang daritadi sepertinya kehausan. Pak kyai dengan microphone-nya pun mempersilahkan jamaah untuk nyambi menikmati hidangan yang ada. Keringat kami sudah agak kering, perut yang mulai sedikit lapar tertolong oleh tahu isi, roti dan pastel jatah kami masing-masing.

Pengajian berlangsung sekitar 30 menit. Saya melihat suasana yang khidmat penuh senyum. Tak jarang, sang kyai membuat para jamaah melemparkan tawa dengan sindiran-sindiran dan sedikit plesetannya. “Nanti sahur di sini saja mas, ada, dimasakkan kok,” tiba-tiba Pak Jae membisikkan kalimat tersebut sambil memegang lutut saya. “Wah, yang benar pak?,” Saya menukas. “Lho, di sini dari mana-mana yang ikut ngaji, pada nginep juga, ada yang dari Jawa Timur juga. Ini masnya rumahnya di Benteng,” lanjut Pak Jae sambil menuding seseorang di depannya. “Itu yang dari desa sebelah juga tiap subuh kesini,” lanjutnya. Saya tak kuasa menolak tawaran Pak Jae.

Saya sempat memperhatikan rombongan penginap di Masjid Plosokuning. “Ya..mencari berkah bulan Ramadhan, mas,” jawab seseorang dari mereka. Ternyata ada beberapa orang yang mencari keheningan agar khusyuk beribadah selama bulan Ramadhan di sini.

Sebelum bubar jamaah saling bersalaman. Saya sempat memperhatikan rombongan penginap di Masjid Plosokuning. “Ya..mencari berkah bulan Ramadhan, mas,” jawab seseorang dari mereka. Ternyata ada beberapa orang yang mencari keheningan agar khusyuk beribadah selama bulan Ramadhan di sini. Saya memang pernah mendengar di pengajian-pengajian bulan Ramadhan yang sudah terkenal memang ramai orang yang bermukim untuk ikut ngaji. Tapi itu ada di pondok pesantren, antara lain di Pasuruan dan Rembang.

Pada akhirnya kami berdua tidak sempat sampai menunggu sahur di Plosokuning karena Arip akan mengerjakan sesuatu malam itu. Tidak mungkin ia meninggalkan saya di sini atau saya menahan motor biar ia pulang sendiri. Kami berdua berpamitan dengan jamaah yang tersisa membawa banyak sekali kesan dan oleh-oleh.

“Kalau orang tidak tahu ngaji yang benar akan rugi. Apalagi di zaman seperti ini, mas,” tukas Pak Jaenudin di akhir obrolan.

^^^  

Saya dan Arip berjalan keluar masjid melewati gapura mengharap ampunan Yang Maha Kuasa. Wallahua’lam, Wallahu, saya melihat ornamen buah waluh samar-samar di ketinggian atap gapura, bersanding dengan bulan bulat keemasan, mesra!

***