Menu

Latar

Logistik! Sekolah anak-anak! Terpal! Pohon bodhi! Sejarah desa! Naskah buku yang belum selesai! Manajemen posko! Rindu Lala! Semua mendesak masuk resahkan pikiran. Pikiran saya kalut. Kepala saya menolak. Memaksa mendorong jauh-jauh semua itu. Semakin disingkirkan. Pikiran-pikiran itu semakin kuat mendesak masuk.

Angin malam berhembus. Dingin selimuti desa. Kami duduk-duduk di atas traktor yang diparkir di tepi jalan sebelah barat posko. Saya, Papa Awal, Papa Din, Bang Deki, dan Solah. Sebelumnya, Awal, sembilan tahun, ikut bergabung dengan kami. Malam semakin larut ketika Papa Awal meminta Awal masuk ke dalam tenda yang didirikan di halaman rumah, “Awal! Tidur, Nak. Besok pagi sekolah.” Ujar Papa Awal meminta Awal lekas tidur.

Semasa bujang, orang-orang menyapanya Fadlin. Ia menikah tak lama setelah menyelesaikan studi psikologinya di salah satu universitas di Palu. Setahun setelah menikah, Awal Akbar Ramadhan lahir. Sejak itu pula Ia disapa Papa Awal. Usianya setahun lebih tua dari saya.

Selepas menikah, Papa Awal fokus menggarap sawah untuk ditanami padi. Di masa awal saya tinggal di Posko Desa Karawana, sore hari saya mendapati Papa Awal dan istrinya memasukkan gabah-gabah–yang seharian dijemur–ke dalam karung. Bencana Gempa, tsunami dan likuifaksi yang datangkan sedih, kecewa dan duka tak menghalangi keluarganya untuk terus bekerja. Kadang Awal ikut membantu memasukkan gabah ke dalam karung.

Keluarga inilah yang mula-mula saya kenal di Desa Karawana. Mama Awal, suaranya keras menggelegar. Begitu berkarakter. Ibu-Ibu di desa, bermufakat bahwasanya suara Mama Awal menjadi suara perempuan terkeras di desa. Ketika Ia memarahi Awal, atau Citra, 7 tahun, adik dari Awal, atau anak-anak lain yang berulah dan mengganggu kinerja keposkoan, saya pun gentar. Lebih lagi jika Ia marah-marah sembari menggenggam gagang sapu di tangan kanannya.

Mama Awal satu dari empat orang pengelola dapur umum Dusun Dua. Selama tiga pekan di Desa Karawana, setiap hari saya menyantap masakan Mama Awal dan tim. Masakan yang dimasak dengan bumbu utama cinta dan kerelaan, selalu nikmat terasa. Begitulah citarasa masakan dapur umum Dusun Dua.

Masakan yang dimasak dengan bumbu utama cinta dan kerelaan, selalu nikmat terasa. Begitulah citarasa masakan dapur umum Dusun Dua.

Jika diminta memilih beberapa anak untuk dibawa ke Yogya, Awal satu dari beberapa anak yang akan saya pilih. Awal sempat menjadi pemandu saya keliling desa ketika saya mengerjakan transek Desa Karawana. Selain pemandu, Ia dan beberapa anak usia SD lainnya menjadi narasumber awal saya.

Bang Deki tiga tahun lebih muda dari Papa Awal. Ia pernah merantau keluar desa cukup lama untuk bekerja di perkebunan sawit. Dua tahun Ia mengumpulkan uang untuk membangun rumah di desa usai menikah, dan baru satu tahun rumah pertamanya Ia dan keluarga tempati, rumah itu rusak parah diguncang gempa.

Bang Deki menjadi salah satu pemain kunci tim sepakbola desa. Kesehariannya ceria dan selalu berusaha menghibur orang lain. Usahanya itu hampir selalu berhasil. Di desa, Bang Deki menjadi ahli elektronika. Mulai dari mesin air, televisi, hingga telepon seluler yang rusak, sekuat tenaga Ia perbaiki.

“Kalau malam dingin macam begini, langit cerah, bintang banyak, besok siang akan panas. Panas sekali.” Ujar Papa Din memberi informasi.

Papa Din berkulit gelap, tinggi badannya tak lebih dari 160 sentimeter, Ia bertubuh gempal. Dari Papa Din kali pertama saya mendapat informasi mengenai ragam rupa Bahasa Kaili. Mulai dari Ledo hingga Da’a, dari Rai hingga Inja, dan banyak lainnya. “Puluhan, bisa jadi bahkan ratusan.” Ujar Papa Din terkait bahasa-bahasa yang digunakan Suku Kaili.

***

Bencana, betul-betul menguji kolektivitas dan kekompakan warga. Jika rapuh ia, hancur berantakan sudah. Jika kuat, arus deras pelajaran berharga menjebol bendungan kebodohan di kepala kita. Desa Karawana, manjadi satu dari banyak desa yang berhasil melalui cobaan dari sebuah bencana. Kolektivitas mereka tetap terjaga di tengah kelumpuhan pemerintahan provinsi hingga kabupaten.

Guncangan di awal yang merusak kolektivitas tentu tetap ada. Namun dengan cepat semua itu bisa diperbaiki. Solid. Malah semakin solid. Saya akan ceritakan sedikit di sini. Bagaimana kolektivitas begitu berguna sebagai alat untuk bangkit bersama dari keterpurukan akibat bencana.

Di Dusun Empat, tempat pendatang dari Suku Bugis dan Jawa banyak tinggal menetap, berdiri banyak kandang Ayam. Satu kadang berisi ribuan ekor ayam. Ada dua jenis ayam. Ayam petelur, dan ayam potong.

Ketika gempa merusak rumah dan kandang ayam mereka, kebanyakan pendatang dari Bugis pemilik kandang ayam itu, mengungsi ke kampung halaman mereka. Sisanya mengungsi jauh ke perbukitan di timur desa. Beberapa pemilik kandang ayam, memberikan pengumuman bahwa ayam dan Telur milik mereka, boleh diambil untuk dimanfaatkan sebagai lauk oleh seluruh warga desa, bahkan juga untuk warga di desa-desa tetangga.

Bang Deki, dalam sehari membawa lebih dari seratus ekor ayam. Banyak warga lainnya, membawa puluhan ekor ayam dan berkarton-karton telur. Mereka kemudian mendistribusikan ayam dan telur itu ke tetangga. Ada yang di antar langsung ke rumahnya, ada pula yang mengambil sendiri ke rumah Bang Deki dan warga lainnya.

Hibah dari beberapa pemilik kandang membikin warga Desa Karawana aman dari kekurangan sumber lauk. Mereka bahkan bisa menyubsidi desa-desa tetangga.

Hibah dari beberapa pemilik kandang membikin warga Desa Karawana aman dari kekurangan sumber lauk. Mereka bahkan bisa menyubsidi desa-desa tetangga. Dalam hal ini, desa betul-betul berdaulat.

Lebih 80 persen penduduk desa berprofesi sebagai petani sawah. Air yang digunakan untuk mengairi sawah didapat dari saluran irigasi yang bersumber dari Danau Lindu. Saluran Irigasi Gumbasa. Gempa merusak saluran irigasi. Saluran irigasi desa, kering kerontang. Beberapa sawah yang ditanami padi terancam gagal panen. Selain merusak saluran irigasi, gempa juga mengubah kontur tanah sawah. Dari yang sebelumnya landai, di beberapa tempat jadi bergelombang. Di tempat lain timbul retakan-retakan lebar menganga. Yang tetap seperti semula, ada juga.

Selain Papa Awal, Papa Din, dan Bang Deki, beberapa orang lain yang saya temui, menjawab dengan nada hampir serupa untuk satu pertanyaan saya, “Jika diberi sebuah pilihan dari dua kemungkinan, mana yang akan dipilih lebih dahulu, bantaun rumah atau perbaikan saluran irigasi?”

“Irigasi!” Semua memilih ini. Beberapa warga menambahkan, “jika saluran irigasi pulih, kami bisa kembali bekerja. Sekira empat bulan berikutnya, kami sudah bisa memanen padi dan beberapa komoditas lain yang kami tanam. Kami bisa dapat uang dari situ. Uangnya bisa kami gunakan untuk memperbaiki rumah kami. Beras yang kami hasilkan, bisa untuk menambah stok beras di kota Palu. Dengan kata lain, kami bisa menyubsidi kota dengan hasil sawah kami.” (Fwz)

Mari saya ceritakan tentang cara Berpakaian nenek, ibu dan saya di tahun 80-an. Waktu itu, setiap awal bulan baru, nenek dari kampung Bojong, Garut, akan datang ke rumah keluarga saya yang berada di kota Bandung. Nenek rutin datang untuk mengambil uang pensiun. Sepulang dari sekolah, saya terbiasa menemukan nenek tengah beristirahat sambil mengobrol dengan ibu. Nenek selalu duduk dengan santai di atas sofa mengenakan kebaya berbahan tipis dengan corak bunga-bunga. Untuk melengkapinya, kain samping digunakan sebagai bawahan. Rambutnya yang panjang disanggul secara sederhana. Bagian dada kebayanya berpotongan agak rendah sehingga kalung emas yang dikenakannya akan tampak dengan jelas berkilauan. Tak jauh dari tempatnya duduk, sehelai kain persegi panjang atau selendang dari jenis bahan tipis tersampir di leher kursi. Sebagai orang Sunda, kami menyebut kain yang disampirkan di kepala tersebut sebagai tiyung. Saat dikenakan, kami akan berkata ditiyungkeun atau artinya “disampirkan” di kepala untuk menutupi rambut seperlunya saja. Lekukan dada tetap terlihat yang sesekali tertutup tiyung yang tergerakkan oleh angin atau gerak tubuh.

Sebagai orang Sunda, kami menyebut kain yang disampirkan di kepala tersebut sebagai tiyung.

Kedatangan nenek yang berpenampilan sangat berbeda dengan ibu dan saya menjadi ingatan yang tak lekang oleh waktu. Penampilan nenek bahkan sering menjadi inspirasi bermain peran atau sandiwara.  Saya dan kakak perempuan akan membuat semacam panggung lalu di atasnya kami bergantian mengenakan Tiyung dadakan yang diambil dari bahan apa saja yang tersedia di rumah. Setelah dikenakan, kami akan berlenggak-lenggok seperti nenek. Lantas kami akan tertawa berderai-derai jika merasa puas memeragakan tokoh nenek yang bertiyung. Kami juga akan memeragakan cara menggunakan tiyung santai yaitu dengan cara melilit tiyung di kepala agar lebih praktis. Walau sebenarnya praktis, tetapi lilitan tiyung ini bagaikan mahkota di kepala yang harus dijaga agar tidak terjatuh.

Sementara itu, nenek dari pihak bapak yang tinggal di Bandung pun mempunyai tata cara berpakaian yang kurang lebih sama dengan nenek dari Garut. Tetapi saat bertandang ke rumahnya, saya kerap menyaksikan nenek berpakaian “tidak lengkap” yaitu hanya mengenakan baju dalam bernama kemben saat memasak. Saya tidak diberi pengertian tertentu oleh ibu jika kebetulan menyaksikan nenek hanya mengenakan Kemben. Tetapi saya paham bahwa nenek adalah seorang ibu yang dihormati baik oleh keluarga maupun lingkungannya. Tetapi nenek tidak pernah mengenakan kemben untuk kegiatan di luar rumah.

Saya kerap menyaksikan nenek berpakaian “tidak lengkap” yaitu hanya mengenakan baju dalam bernama kemben saat memasak.

Pada masa itu, cara berpakaian belum menjadi bahan pembicaraan yang aktif. Cara berpakaian cukup “diketahui” lalu dilaksanakan. Apalagi sebagai aturan tertulis, di keluarga saya setidaknya belum terjadi. Dengan demikian, saya belum mengenal tata cara berpakaian yang dilabeli “Islami” di keluarga maupun di lingkungan rumah meski saya seorang muslim sejak lahir serta tinggal di lingkungan yang dominan muslim. Baik saya, maupun kakak perempuan yang berusia lima tahun lebih tua dari saya akan berpakaian dengan rasa “apa adanya”. Ibu yang berperan sangat penting dalam urusan Pakaian lebih sering memillih atau menjahit sendiri pakaian cantik untuk kami.

Sementara, ibu saya berpakaian tidak jauh berbeda seperti anak-anak perempuannya. Baik ibu maupun saya, sama-sama memakai pakaian yang masuk kategori pakaian barat. Disebut pakaian barat karena diidentifikasi mendapat pengaruh dari pakaian perempuan kulit putih di masa kolonial. Pakaian barat ini berarti menggunakan atasan (blouse), rok, atau gaun (dress). Ibu tidak pernah menggunakan rok di atas lutut atau blus jika keluar rumah. Ibu memakai pakaian santai jika tengah bekerja rumah tangga.

Disebut pakaian barat karena diidentifikasi mendapat pengaruh dari pakaian perempuan kulit putih di masa kolonial.

Meski cara berpakaian antara saya, ibu dan nenek berbeda, saya tidak mengenal label moralitas yang mengikutinya. Misalnya, karena pakaian nenek dilengkapi dengan tiyung, tidak menandakan bahwa nenek lebih shaleh daripada ibu yang memakai pakaian barat dengan potongan yang sama sekali tidak dilengkapi penutup kepala. Walaupun demikian, nenek dan ibu sama-sama orang yang tekun beribadah setiap harinya. Kesamaan pakaian antara kami adalah ketika sama-sama melakukan ibadah shalat. Kami akan menggunakan pakaian shalat bernama mukena. Bahkan ibu saya merupakan guru mengaji pertama di rumah bagi anak-anaknya sebelum kemudian masuk ke madrasah. Saya tidak pernah didorong untuk mengetahui ciri kesalehan dari pakaian. Saat ia mengajari kami mengaji, terkadang hanya mengenakan pakaian biasa saja. Sekali lagi, saya tidak diperkenalkan ukuran kesalehan dilihat dari pakaian yang dikenakan.

Cara berpakaian di masa itu umumnya berjalan tanpa banyak dibahasakan secara verbal, baik tertulis maupun oral. Kesepakatan tata cara berpakaian seakan mengendap dalam pikiran dan menjadi bagian dari perilaku sehari-hari. Kesepakatan tata cara berpakaian tersebut kemudian menyatu dengan selera yang diolah secara personal. Misalnya, sempat ada tren menggunakan rok mini yang terbuat dari bahan jeans. Tren rok mini saat itu merasuk melintasi batas usia. Saya yang masih duduk di sekolah dasar ikut-ikutan meminta dibelikan rok mini tersebut. Ibu saya pun mengabulkan permintaan saya tanpa memberikan penjelasan apa pun mengenai  kode moral dalam rok mini. Saat dikenakan untuk sehari-hari, ternyata saya merasa risih sendiri. Saya tidak nyaman ketika paha mungil saya tak tertutupi pakaian karena rok yang kependekan.

Cara berpakaian di masa itu umumnya berjalan tanpa banyak dibahasakan secara verbal, baik tertulis maupun oral.

Rasa tidak nyaman saat mengenakan rok mini, selain karena faktor udara Bandung yang dingin, juga karena kebiasaan. Saya memang tidak terbiasa mengenakan pakaian minim. Kemungkinan besar saya merasa sedang memaksakan diri untuk ikut tren, padahal sebenarnya saya tidak suka. Meskipun tidak ada seorang pun yang menegur apalagi menghukum saya karenanya. Norma ada dalam level sosial yang mengatur masyarakat di sekitar saya dengan cara yang sunyi. Norma berjalan seperti superego di dalam diri seorang manusia. Memang jarang sekali perempuan di lingkungan saya yang mengenakan pakaian minim. Pakaian yang dikenakan lebih bersifat menengah, yaitu tidak terlampau mini dan tidak juga terlampau longgar atau panjang.

Lingkungan religius seperti masjid pun tidak memberlakukan tata cara berpakaian secara tertulis. Tetapi masjid tetap dihormati dengan tata cara berpakaian yang sopan menurut ukuran waktu itu. Sementara, jika hendak melakukan aktivitas ibadah seperti shalat maka para perempuan akan mengenakan Mukena, yaitu pakaian shalat yang hanya memperlihatkan wajah dan telapak tangan serta tidak memperlihatkan lekuk tubuh. Sedangkan jika aktivitas mengaji, setidak-tidaknya selendang dikenakan dengan disampirkan secara longgar di kepala. Pada masa itu, saya masih dapat menyaksikan para perempuan yang berada di muka umum tidak dibedakan agamanya melalui penampilan. Ketika mereka sudah berada di masjid, barulah jelas agama yang dipeluknya. Perempuan Muslim pada waktu itu belum diidentikkan dengan penutup kepala rapat (jilbab) atau pakaian panjang. Kini hal tersebut sebatas kenangan. Zaman sudah berubah. Cara berpakaian perempuan muslim sudah menjadi urusan banyak orang, mulai dari pedagang hingga politisi.

***

Desa Bonde di Pambuang Kabupaten Majene ini makmur. Mungkin karena akses terhadap jalan raya yang menghubungkan antar kota sangat dekat. Terletak di timur jalan Poros Makassar-Mamuju yang jaraknya 10 kilometer dari Majene ke arah ibukota Provinsi Sulawesi Barat. Semula saya membayangkan sebuah desa yang permai dengan penduduk bersahaja dan peri kehidupan yang sederhana. Seperti gambar-gambar menawan yang ditampilkan di film Athirah karya Riri Riza tahun 2016. Ternyata saya salah. Lepas dari jalan raya lalu memasuki permukiman, jalan terbuat dari beton yang lebar dan mulus. Rumah di kanan-kirinya berselang-seling antara rumah batu dan rumah panggung kayu, atau modifikasi dari kedua material tersebut. Tak terlihat sawah dan ladang yang subur-makmur. Apalagi lambaian sarung tenun warnawarni yang tengah dijemur dikacaukan oleh angin, seperti di film itu yang dibuat di Pare-pare, Sengkang dan Makassar. Film tentang sarung tenun itu sangat memikat dan membuat saya mendekat.

Baiklah, saya memang datang dari jauh, tetapi saya harus menghentikan khayalan-khayalan a la mooi indie. Agar tidak seperti para pendatang di zaman kolonial memandang Nusantara. Meskipun sulit, saya perlu juga mengubah cara memandang warga desa yang saya temui bukan sebagai objek amatan. Saya ingin hadir menjadi perempuan yang datang sebagai teman bercerita, tertawa dan bergembira.

Saya memang datang dari jauh, tetapi saya harus menghentikan khayalan-khayalan a la mooi indie.

Karena saya tiba di sore hari, maka saya menyaksikan perayaan atas sore yang cerah dan penuh gairah. Anak-anak sudah mandi dan bermain di jalanan dengan coreng-moreng bedak di wajahnya. Para perempuan telah berdandan, duduk bergerombol di beberapa muka rumah di pinggir jalan untuk saling mengurai beban dan meng-update situasi di lingkungan. Semua tampak elok. Begitu juga perempuan muda beranak satu yang saya temui, Zulmi, dan ibunya, Supiati, serta dua orang gadis kepokanakannya. Percayalah, cuma saya yang paling bersahaja –untuk tidak mengatakan kusam, kusut, kucel. Keringetan pula! Maklum saja, sebelumnya, saya berlama-lama duduk di bawah terik matahari, di pinggir pantai melihat pembuatan kapal Sandeq yang tersohor itu di Desa Nelayan Tanjung Rangas. Bisa dibilang saya mencari ilmu hitam hingga ke tanah Sulawesi, yang sungguh tua usianya dan konon menurut legenda, muncul sendiri dari dasar bumi, terpisah dari daratan mana pun. Benar saja, setelah dari sana, kulit saya menjadi gelap.

Ruang Kerja Zulmi di Kolong Rumah Panggung

Saya menemui Zulmi -perempuan ayu yang ramah dan menenun Sarung Sutra atau Lipaq Saqbe di kolong rumah panggungnya sejak remaja. Supiati, ibunya, mewariskan hal yang paling berharga bagi perempuan: kemandirian. Iya, ia menikah, dan suami bertanggungjawab penuh padanya. Namun dengan ketrampilannya itu ia lebih siap secara finansial jika di tengah perkawinannya terjadi sesuatu yang buruk. Ia juga bisa mengurangi dependensi terhadap suami dan bisa berkontribusi pada keluarga kecilnya. Saya tak tahu seberapa banyak ia membagi penghasilannya untuk keluarga, seberapa besar ia bisa menggunakannya untuk kebutuhan pribadi, seperti dandan, sandang dan jalan-jalan, ehh. Namun yang jelas, ia memiliki posisi tawar atas nasibnya sebagai perempuan, sebagai ibu, sebagai istri.

Hari itu, Zulmi sedang tak punya sarung tenun sutra khas Mandar yang biasa ia buat. Setiap menyelesaikan satu lembar, selalu langsung ada yang membeli.

Hari itu, Zulmi sedang tak punya sarung tenun sutra khas Mandar yang biasa ia buat. Setiap menyelesaikan satu lembar, selalu langsung ada yang membeli. Sementara kini ia tak bisa menenun secepat sebelum anaknya lahir. Biasanya ia bisa menyelesaikan selembar panjang kain dengan lebar 60 cm dalam tempo 4 hari saja. Kini bisa sampai semingu-dua minggu bahkan sebulan. Saya patah hati. Saya datang dari sangat jauh, tapi tidak mendapatkan yang saya inginkan. Sungguh sulit saya menghapus kekecewaan yang khas dan sering dialami pelancong ini. Namun, tampaknya ia mengerti. Kemudian ia menawarkan diri untuk menunjukkan caranya menenun. Bahkan mengajak saya untuk mencoba ATBM (gedokan) itu dan melanjutkan pekerjaannya, memasukkan benang pakan di sela-sela benang lungsi berwarna hijau. Merasa bahwa itu saja tak cukup, ia mengambil dua buah sarung tenun sutra yang aduhai cantiknya. Salah satu berwarna merah dan hitam, dan satunya lagi berwarna merah saja yang dipakainya saat menikah. Sungguh menawan. Ia meminta saya mencoba memakainya dan berpose di tangga rumah. Ohh, betapa ia sangat pandai menghibur saya!

Sarung Khas Upacara Pernikahan, yang Juga Dipakai Zulmi Saat Menikah.

Memang, selain harga yang biasanya mahal, kelambatan dalam membuat juga menjadi perkara klasik bagi produk-produk tradisional. Apalagi jika permintaan tidak hanya untuk memenuhi konsumsi sendiri tetapi misalnya untuk wisatawan juga. Di tempat lain, kemudian perajin membuat dua macam model sebagai respons terhadap permintaan turis yang ingin harga murah dan banyak pilihan. Mereka tetap membuat kain sesuai pakem untuk acara-acara perayaan dan ritual keagamaan, dan satu jenis lainnya sebagai souvenir, dengan menyederhanakam motif dan material yang lebih murah. Sehingga bisa menghemat biaya produksi dan mempercepat tempo pembuatannya.

Mereka tetap membuat kain sesuai pakem untuk acara-acara perayaan dan ritual keagamaan, dan satu jenis lainnya sebagai souvenir, dengan menyederhanakam motif dan material yang lebih murah.

Bagi beberapa pemerhati heritage, hal ini merupakan ancaman. Tetapi pihak lain berpendapat bahwa fenomena demikian justru memungkinkan untuk mengembangkan motif-motif baru. Bukankan motif-motif klasik (kuno) yang ada sekarang juga merupakan hasil kreativitas yang terus berubah dan berkembang dari generasi-generasi sebelumnya?

Seperti yang ia bilang pada saya, “Kalau harganya dua ratus ribu, berarti itu tenun dari benang biasa, bukan sutra.”

“Sama-sama indah, tapi jangan sampai keliru ketika membeli,” demikian ia berpesan.

Dua Karya Sarung Tenun Sutra Milik Zulmi

“Dua ratus ribu itu baru harga benang sutra yang saya beli dari Polman. Benangnya itu putih, saya masih harus memberinya warna,” tambahnya. Polman –Polewali Mandar adalah satu-satunya penghasil benang sutra terbesar kerena memiliki perkebunan murbei yang baik dan luas, tempat ulat sutra berkembang biak. Letaknya jauh dari Bonde. Maka ketika berinteraksi langsung dengan pembuatnya,kita bisa tahu tantangan untuk mempertahankan sebuah nilai. Rasanya tak mungkin lagi menawar harga untuk itu.

Polewali Mandar adalah satu-satunya penghasil benang sutra terbesar kerena memiliki perkebunan murbei yang baik dan luas, tempat ulat sutra berkembang biak.

Ibunya, Supiati, muncul belakangan. Beliau masih memiliki satu sarung untuk dijual. Berwarna kuning, bermotif Sure Padada Saripa, yaitu garis-garis (sure) horizontal dan vertikal yang membentuk kotak-kotak dan ornamen bunga (saripa) warnawarni. Jujur saja, meskipun sarung itu cantik bukan kepalang, tetapi kuning bukan warna yang sering saya pilih jika tersedia warna lain. Sebenarnya saya jatuh hati pada sarung warna merah-hitam milik Zulmi. Sayangnya tak bisa dibeli. Baiklah, sekali lagi saya perlu memurnikan niat, agar tidak terlalu kaku mengikuti selera. Saya perlu berdamai dengan situasi apa pun. Karena hal yang paling menghantui bagi saya adalah sesuatu yang kita sukai tapi tak jadi dibeli, maka saya adopsi kain tenun karya ibu Supiati.

Mengadopsi Sarung Warna Kuning Karya Bu Supiati.

Ia, perempuan istimewa yang tanpa sadar mengajarkan kepada anaknya bahwa menenun bukan sekedar saluran ekspresi individu, tapi juga membuka pemahaman tentang kosmologi. Ibu itu meneruskan seperangkat nilai kehidupan orang Mandar yang dimaterialkan dalam bentuk sarung: mengenai garis vertikal dan horizontal sebagai metafor hubungan manusia dengan Tuhan dan dengan manusia lainnya. Juga tentang garis-garis yang membentuk pagar sebagai simbol bahwa hidup perlu selaras dengan tradisi dan aturan semesta.

Tabik!


Sumber bacaan:
Elita Wethey, Creative Commodification of Handicraft, Lambda Alpha Journal, Vol. 35/2005
Dede Mahmud, Mengenal Motif Sarung Tenun Mandar, http://tradisikita.my.id diakses 12 Maret 2019

Yogyakarta, 12 Maret 2019

S. Tijab dan Tutur Tinular: Diam-diam tanpa banyak yang memperhatikan, penulis Sandiwara Radio, S. Tijab meninggal dunia. Dia adalah seorang yang tidak mau tampil didepan. Dia orang dibalik layar. Tidak heran, tidak banyak yang mengenalnya.

Namun satu generasi Indonesia pasti pernah mendengar sandiwara radio Tutur Tinular. Sandiwara yang berlatar belakang sejarah tanah Jawa ini menampilkan tokoh sentral yakni, Arya Kamandanu.

Sandiwara ini mengambil latar belakang runtuhnya kerajaan Singasari dan mulai berdirinya kerajaan Majapahit. Sandiwara ini sesungguhnya adalah kisah petualangan dan percintaan.

Saya masih ingat betapa saya terlekat dengan banyak tokoh sandiwara ini. Tokoh-tokoh seperti Mei Shin, Mpu Tong Bajil, Raden Dwipangga, dan lain sebagainya.

Tidak ada pagi yang saya lewatkan tanpa menunggu kelanjutan tayangan serial ini di radio. Daya pesonanya luar biasa. Imajinasi yang dimunculkannya juga memukau.

Ketika itu, radio memang sedang dalam masa kejayaannya.

Ketika itu, radio memang sedang dalam masa kejayaannya. Sandiwara produksi Sanggar Cerita ini menjadi populer luar biasa.

Jaman itu sudah hilang. Sekarang hampir tidak mungkin untuk memiliki cerita hanya berupa audio. Sama seperti jaman sebelumnya dimana imajinasi orang dibentuk oleh media cetak, yang saat ini juga semakin pudar.

Saat ini, orang hidup nyaris sepenuhnya dalam dunia audio visual yang terdigitalisasi. Teknologi memberi kemudahan orang untuk merekam dalam resolusi yang tinggi. Hampir semuanya bisa dilihat sekaligus didengar. Hanya satu yang belum bisa dilakukan, yakni membaui.

Foto: S.Tjab (Hariadi Saptono/Kompas)

Sekarang ini, orang bisa ‘hadir’ dalam satu peristiwa tanpa ‘ada’ didalamnya secara fisik. Anda bisa menangis karena melihat Luna Maya umrah setelah ditinggal kawin kekasihnya misalnya. Sebaliknya, Anda ikut merasa hadir dan bergembira dalam perkawinan Syahrini dengan mantannya Luna Maya.

Saya tidak mengatakan bahwa jaman ini lebih buruk. Atau kita sedang mengalami kemunduran. Saya juga tidak sedang meromantisasi masa lalu.

Namun saya menangkap ada yang hilang dari jaman ‘hadir tanpa ada’ ini. Yang hilang itu adalah imajinasi.

Itulah sebabnya kenangan saya terpatri amat kuat dengan Tutur Tinular karena ia mengijinkan saya berimajinasi.

Jika Anda mendengarkan Tutur Tinular saat itu, Anda memiliki imajinasi Anda sendiri, yang tentu tidak sama dengan imajinasi saya.

Mengapa hal ini menjadi penting? Karena imajinasi itu milik saya. Jika Anda mendengarkan Tutur Tinular saat itu, Anda memiliki imajinasi Anda sendiri, yang tentu tidak sama dengan imajinasi saya.

Bagaimanakah Anda membayangkan Mei Shin? Anda dipersilahkan untuk memiliki imajinasi sendiri tentangnya. Hal itu tidak ada jika Anda mendengar dongeng modern seorang yang mengaku princess yang bernama Syahrini, misalnya. Dia sudah ada dan semua tentangnya sudah terbentuk lengkap, dengan bentuk pipinya, bulu mata palsunya, contact lens-nya yang biru, dan lain sebagainya.

Syahrini adalah sesuatu yang sudah ‘fix’ yang sudah tetap. Anda tidak boleh memiliki imajinasi atasnya. Syahrini memiliki otoritas untuk menentukan bentuknya — dan citra itulah yang disodorkan kepada Anda dan (umumnya) Anda telan mentah-mentah.

Dia juga bebas memanipulasi citra itu menurut kehendaknya. Anda menerima begitu saja (seperti media mainstream di Indonesia!) bahwa dia adalah princess, bukan? Dengan pipinya … ah sudahlah. Saya tidak mau terlalu jauh.

Tapi Mei Shin? Andalah otoritas dari imajinasi Anda sendiri. Citranya Mei Shin adalah bentukan Anda sendiri.

Tapi Mei Shin? Andalah otoritas dari imajinasi Anda sendiri. Citranya Mei Shin adalah bentukan Anda sendiri. Mei Shin Anda boleh pipinya tembam selayak bakpao, boleh tirus, boleh sedikit kotak, atau jajaran genjang. Terserah Anda. Dia milik Anda.

Dengan kebebasan itulah, saya memiliki Mei Shin. Untuk itu, saya berterima kasih pada S. Tijab yang memberikan kesempatan saya untuk berimajinasi.

Saya tidak pernah menonton film atau sinetron Tutur Tinular. Saya tidak mau kehilangan imajinasi saya.

Selamat jalan Om S. Tijab!

 

Route: Dakar – Jeddah

Saturday, 7 June

Position: North Atlantic off Liberia

Weather: warm and humid, 30 degrees Celcius (85˚ Fahrenheit)

Sea: very slight

 

Get up after an adventurous and epic evening in Dakar [see above]. Work well [with Alatas on my Dutch] during the morning. [We have] a discussion about French colonial possessions and the [current] state of Senegal. Like Europe before the [French] Revolution? I am on deck to see a large pod of dolphins (ikan lumba-lumba) playing around the boat. One is a very bad jumper and always falls on his side! Very low swell and surface of the sea hardly ruffled by the wind. [African] swallows playing on the wake of the ship so must be near land. Everyone seems slightly hung over after Dakar and the Chief Electrician especially after a contretemps with the captain [who swears at him in Dutch]: ‘hoe je mond, God verdommen! [Shut up! God damn you]’. Decides to eat by himself – nasi goreng [fried rice]. There are long stories about various people’s exploits [in the bars and brothels of Dakar], especially David [a crew member] who had been so drunk at the harbour gates [on our return]. I work [on deck] during the afternoon. Talk to the purser about marijuana and drunkenness as prevalent aspects of a seaman’s life. Marijuana is roundly condemned by the purser as likely to lead to trouble with the authorities: [cites] Hans [one of the crew members] who was trailed by the FBI during his time in New York [to check he was not peddling drugs]. Take tea in the crew mess and there is much laughter about orang hitam (‘blacks’) and trouble with the kafir (unbelievers). [Stories of Dakar] will obviously regale people for some time to come, at least until our next stop in Jeddah.

During the evening, talk with the third engineer and one of the sea cadets [as well as] the chief electrician and second quartermaster in my cabin. But I get very tired of talking so have to make up an excuse to make an exit. The chief electrician attacks my motives for going to Java: he is probably right and they are in fact only selfish and will not be of much use to Indonesia in her present condition. [I am] very tired, so to bed early. Thinking a lot about Stephanie and the twenty-five more days before I receive [my next] letter from her.  I hope the time goes quickly: I have so much to do before [I get to] Djakarta. I am still wondering whether I should stay for one year or just a month to five weeks. It is a difficult decision. I think now that I am out [there], one year would be best.

 

Route: Dakar – Jeddah

Monday, 8 June

Position: off the coast of West Africa

Weather: fine and sunny around 31 degrees Celsius, equator passed at midnight

Sea: moderate to slight

 

 

Diary entry entitled: “Peter as Communist menace number One”

 

This day must remain memorable for my interview with the captain (a misogynist Minangkabau) which went rather as follows.

After dinner, which was very good – steak, potatoes and vegetables, of which I ate a considerable amount, I wandered down to the officers’ mess to watch the football. Rather boring [match] really, but quite pleasant to sit [under] one of the air-conditioners and let one’s mind wander amongst the shouts and concentration of the players. Agus wandered in [like] a black shadow in his dark-blue shirt. [He] smiled in my direction, but I felt uncomfortable as I did not know whether to go over to him and talk or whether this would be regarded as non-U by the officers. Discretion is the better part of valour I thought, so I went outside on deck to smoke a cigarette. It was a beautiful evening with a warm tropical breeze, slight white caps on the waves and the sunset tinting the clouds a warm pink. The [Javanese] chief engineer appeared and we started talking about the disgraceful condition of the metalwork on the aft deck. I had always felt slightly shy about speaking to him before, but now I really feel he is a very charming and ingenuous person. We have had many long talks about Djogja [Yogyakarta] and the Javanese. Indeed, if he is at all representative of the Javanese people then I feel sure that my time in Java will be tremendously interesting and pleasant. The laundry man [then] appeared on the deck below and looked up with a half-amused expression. I was about to ask him how things were going when a white-clad figure came slopping out of the door with a slightly hurried step.

We have had many long talks about Djogja [Yogyakarta] and the Javanese. Indeed, if he is at all representative of the Javanese people then I feel sure that my time in Java will be tremendously interesting and pleasant.

“Peter, the captain wants to see you.”

Why me? I thought. The captain [a taciturn man] had never addressed a word to me since I had boarded the ship at Staten Island and indeed I had found his cold stare slightly perplexing as if I was guilty of some heinous crime which only he knew the truth about. Only that morning before lunch I had wandered up to the bridge in my swimming trunks and old sun hat to be suddenly confronted by the captain himself. He looked coldly at me and I could hardly splutter out a ‘good morning [selamat pagi]’. Instead, I effaced myself and went to lean over the side of the ship at the back of the bridge area.

Well, anyway, so now the captain wanted to see me!

Anticipation, gnawing questions and doubts much as I felt before seeing old Podge [Brodhurst, my house master in Kingsgate House/Beloes] at Winchester [College]. Like a lettre de cachet [Royal judicial orders in pre-1789 France permitting immediate arrest and imprisonment of someone – usually a family member – one wishes to put behind bars indefinitely], the terrible news was brought: “Housemaster wants to see you, Carey!”

Fellow students turn and gaze indifferently out of their ‘Toyes [cubby-hole desks or carrols]: “Carey’s in for a rocket” they smirk. The tumbrel [vehicle for carrying condemned prisoners during the French Revolution] rolls down to the guillotine. Authority as a group of black-clothed avocats and public prosecutors.

I fumble slightly before I reach the door of the captain’s cabin, hurriedly stuffing a half-finished cigarette in my breast pocket. The steward waves me in impatiently: ‘masuk, masuk!’ Look around at the captain’s cabin – green rug; pictures of Mecca on the wall and a faint smell of orange juice.

“Ah yes, sit down [silahkan duduk]’

Silky voice from the sofa, a smooth face with thinning hair smoothed back and small eyes fixed too close to the bridge of the nose with a slightly pouting expression of the mouth. General appearance very suave. [The captain] comes straight to the point:

“Ahahm, when you were in America, did you ever take part in what do they call it there  – Students for a Democratic Society?’

A short – slightly nervous – laugh accompanies this opening salvo.

‘Oh, so that’s it’, I thought, ‘politics – easy’. Thank God it was not about the Dakar Affair [when we all got so drunk in bars and brothels]. But it was annoying though. Who told the captain about my political views? What concern are they to him? Anyway, I decide to adopt an attitude of composure, concern, mild surprise and serious attention.

If I had been an American [US] citizen, maybe I would have [joined the Students for a Democratic Society movement]’ ….. I know what they want – or at least some of the things they are demanding such as an end to the war in Vietnam.

‘No, actually one of my principles is that a foreigner should not get involved in the domestic politics of another country. But, if I had been an American [US] citizen, maybe I would have [joined the Students for a Democratic Society movement]’.

No reaction, hardly a nod of the head even to indicate that I had been understood. [The captain then launched] straight into a discussion about America.

‘There is something wrong with America – a lack of spiritual values. The youth are dismayed, but they don’t know what they want!’

I know what they want – or at least some of the things they are demanding such as an end to the war in Vietnam, and a complete restructuring of economic opportunities to give Black African Americans a fair share, an end to the military-industrial domination of government posts, greater control of Universities and curricula [the Kent State shootings which killed four students and wounded nine others had just occurred on 4 May 1970, the very month I sailed from New York].

Oh well, this not the time to go into all that here, he would not understand and indeed would not want to understand. ‘La Royale [the old nickname for the ever so royalist French navy during the post-Revolutionary era]’, I thought. Conservatism and royalism, so traditional in the navy – the most reactionary of all the armed forces since the French Revolution. I decide to put forward a non-sequitur.

“Of course, the country’s too big. People feel frustrated. There is not enough direct democracy [and] not enough scope for change!”

Change subject to Bobby Kennedy (JFK’s younger brother who had been assassinated in the Ambassador Hotel, Los Angeles, on 6 June 1968) as I see that the captain has a book about him open on his desk.

“A great shame about Kennedy’s death. [He was] a real hope for the youth of America. Would have matured into a great politician. Also Martin Luther King [assassinated in the same year, 4 April 1968]….”

My sentence was cut short by a slight shrug of the captain’s shoulders.

In Indonesia we have had a terrible time now with the Communists: they stabbed us in the back at Madiun in September 1948 and again in 1965.

“Of course, in Indonesia we have had a terrible time now with the Communists: they stabbed us in the back at Madiun in September 1948 and again in 1965. That man! [Sukarno I presume] gave them far too much influence. The country was about to be taken over by them. Stupid economic policies!”

The captain explained how he had been recalled from London where he was serving as the Indonesian naval attaché because of his criticism of Sukarno. He was content with General Suharto’s ‘New Order’ government:

“Suharto knows what’s good for the people. But those Communists – We still haven’t caught all of them. A veritable witch-hunt is going on – a bad business, the country is controlled by the Army.”

Insinuation here that extreme caution required with political viewpoints. I pretend an attitude of shock and great interest:

“I never realized this … I am just an historian, of course, … no interest or experience in politics. I feel bad about it sometimes – [my] irrelevance, you know!”

“But historians must be interested in politics. When you reach Indonesia, you will know the truth – the truth, that is, about the Gestok (30 September 1965) coup I mean”.

Conversation then changes to my plans for my stay in Djakarta, the role of the UK Embassy and visa issues.

“Of course, I won’t have any difficulty renewing my [visitor’s] visa?”

“No, as long as you don’t make trouble for us! Don’t go joining any student organizations or engage in politics: we don’t want that kind of person in Indonesia!”

The conversation changes again to talk about the captain’s son who is studying in London.

“Of course the captain continues] I am not a narrow Indonesian nationalist, I want my children to have a broad education and see the world!”

A slight silence falls.

“Well, that’s all. You can go now. And try and mix with the others a bit more: bicara sedikit ya [talk a bit more, yes]?”

A close-clipped naval tone of voice; headmaster dismissing you after a beating – “okay, okay, Carey, go away now!”

~~~


This was my last entry in my diary – at least what remains of it. But it was certainly not the last of my experiences on the SS Sam Ratulangie. I append below what I said much later about the dramatic denouement of this voyage when I eventually reached Sumatra in early July 1970 and was operated on in Palembang for a burst appendix on 7 July.

The reason this came to pass was as follows: my downfall was the ship’s cook, a middle-aged East Javanese of vast Semar-like proportions who used to lie down for his afternoon for his afternoon siesta on the metal slats of his galley while his jiggery – chopped nuts in palm sugar- cooled in the open baking dishes on the galley table.

The reason this came to pass was as follows: my downfall was the ship’s cook, a middle-aged East Javanese of vast Semar-like proportions who used to lie down for his afternoon for his afternoon siesta on the metal slats of his galley while his jiggery – chopped nuts in palm sugar- cooled in the open baking dishes on the galley table. I used to slip in while he was asleep to stock up on these delicious Javanese sweets, only to discover that by the time I reached Indonesia I had developed acute peritonitis as the indigestible parts of the jaggery became lodged in my appendix (even rounding the Cape of Good Hope in late June I had felt the early pangs of peritonitis coming on and I worried what would happen to me if I fell ill on the high seas).

Luckily I was able to hold out until we sailed through the Sunda Straits in mid-July and received an urgent telex from the Djakarta Lloyd head office in Jakarta telling us not to go direct to Tanjung Priok, but to make first for Teluk Betung (where the second engineer gave me that fantastic Chinese meal) and then Palembang to pick up rubber. We had no ship’s doctor aboard, only a male nurse Oxandrolone buy in UK legally who had seen service with the Indonesian army during the Mandala Campaign (1961-1963) to regain West Irian (Papua Barat).

When he learnt that I was having stomach pains from my over-indulgence in Teluk Betung, he prescribed a laxative—precisely the wrong diagnosis because no sooner had I taken it than my appendix promptly burst. At the time, we were lying off Palembang in the middle of the Musi River, a picturesque enough spot from which to contemplate this cradle of the Srivijayan empire (shades of Oliver Wolters!), but not one I could enjoy on that morning of our arrival as I lay writhing in agony on my bunk. Dulled with morphine, I was helped down the gangway of the tall vessel to a small passenger lighter with benches under a wooden roof which gave only partial shade. It was a painful journey as the small boat pitched and heaved its passage across the powerful ebb current to the riverside customs shed where a few indifferent officials were eating lunch with their hands from palm-leaf covers.

Eventually I was directed to the Catholic Caritas hospital where a solitary Dutch-trained surgeon looked after over sixty patients. Since he himself had a serious heart condition he didn’t come in every day. Summoned from his home, he agreed to operate for a 150,000 Rupiah fee (USD50—this was 1970 Indonesia) saving my life by extracting a lump of jaggery the size of a compacted blunderbuss ball from my wrecked appendix. But there his medical skills ended. He failed to leave the peritoneal cavity open so the wound could drain, relying instead on powerful Australian manufactured antibiotics to contain the sepsis after he had sown me back up again. Disaster. Within a few days my acute peritonitis had returned and my face had begun to turn green.

Every step around the ward was an agony and I could no longer excrete the food I was given to eat. At the time I was reading Kurt Vonnegut’s Catch22, an appropriate piece of literature given my circumstances, but every page was a purgatory because as I laughed the pains in my stomach grew more unbearable. Had it not been for a good friend from Cornell days, Simon Head, who was waiting for me in Jakarta and flew up to Palembang at his own expense to see what had happened to me, I would have died. Luckily, Simon was not the sort of person who took no for an answer. He was also someone who knew how to use the proverbial “old boy net”—that privileged self-help “guild” of the English public school elite—to great effect (truly the one time in my life when I was thankful for it!).

Son of Lord Head—former British High Commissioner in Malaysia and Nigeria, and a friend of the recently appointed foreign secretary, Sir Alec Douglas Home [in office, 1970-74] —Simon was able to threaten to have his father raise a question in the House of Lords if the then British ambassador in Jakarta, Henry C. Hainworth [in office, 1969-71], did not act. Hainworth was on a visit to Maluku, but he instructed the duty officer in the British Embassy in Jakarta to arrange an evacuation procedure for me. This involved the British military attaché in Jakarta obtaining special clearance with the deputy head of the Indonesian Air Force for a New Zealand Air Force Bristol Freighter transport aircraft to land at Palembang airport with a medical team on board to take me to the RAF hospital at Changi in Singapore, then still a major British military base.

There were some difficult moments as the doctor in charge of the Caritas Hospital seemed reluctant to release me. He clearly saw the arrival of the NZ Air Force team as a direct challenge to his medical competence. But eventually an exit was negotiated and I was taken by stretcher to the awaiting ambulance. I vividly remember the bright orange of the flame trees along the Palembang military runway streak past the windows of the Freighter’s cavernous hold as we picked up speed for take-off. It was a wonderful moment. I knew I was going to live even though ahead of me lay a further operation (which re-opened my original wound and allowed two pints of pus to drain from my stomach) and many more weeks of painful convalescence at Changi and then evacuation via the Princess Alexandra RAF hospital in Wroughton in Wiltshire. I eventually arrived home at my parent’s home in Surrey in early September 1970, two and a half stone lighter and covered in sores from the places where the needles had gone in to administer the antibiotics in Palembang. It was a narrow escape. But my parents were not so lucky. Just two months after I arrived back, in early November, my father died of a massive stroke brought on by the worry of my near death experience in Sumatra. He had just turned sixty. It was a terrible blow from which my mother never really recovered.”

 

Peter Carey

4 May 2014

Tanggal 12 Februari 2019, seorang antropolog berkebangsaan Jerman, Verena Meyer, berkunjung ke kantor kami Langgar.co. Ia sempat mewawancarai kami seputar tema ziarah dan silsilah darah dan sanad keilmuan dalam spektrum perspekstif Islam tradisional dan modern di Jawa untuk keperluan disertasi Ph.D-nya di Columbia University, Amerika Serikat. Di sela-sela kunjungannya, kami, Langgar, juga balik mewawancarainya secara ringan dalam suasana ngobrol-ngobrol berkait tema Islam Indonesia yang juga merupakan tema yang digelutinya. Berikut hasil wawancara ringan dengan peneliti berumur 35 tahun ini, yang saat ini, seperti diceritakannya, telah resmi menetap dan tinggal di Amerika.


Langgar: Pertanyaannya, dalam kajian Anda, Anda mengkaji Jawa, ziarah, silsilah, dan lain-lain. Sepenting apakah Jawa, atau Indonesia secara umum, bagi orang Eropa pada hari ini?

Verena Meyer: Yang menarik menurut saya, kuliah dalam bidang studi agama Islam di negara Barat, di akademi Barat, Jawa atau Indonesia pada umumnya masih sangat dimuliakan. Islam di Indonesia biasanya. Hal itu ada misalnya di pusat studi Asia Tenggara. Tapi di pusat studi Asia Tenggara biasanya tidak ada ahli agama Islam. Jadi masih terpisah antara Islam dan Indonesia. Dan oleh karena itu masih ada kecenderungan menganggap Islam di Indonesia (atau Jawa khususnya) sebagai kejawen atau sinkretisme. Kepentingan saya itu, Islam di Jawa harus dikuliahkan, harus dipelajari dalam bidang studi agama Islam di negara Barat. Karena kalau tidak, tidak bisa dimengerti.

Langgar: Berarti mulai ada kemajuan?

Verena Meyer: Ya sedikit demi sedikit.

Langgar: Kemajuan dalam pengertian bahwa kajian Islam Jawa di dalam studi Islam, yang sebelumnya dilihat sebagai isu sinkretis?

Verena Meyer: Iya isu sinkretis. (Tidak hanya) ahli, misalnya, dari orientalis-orientalis Belanda (saja), tapi juga dari Amerika belajar bahasa sansekerta. Lalu pergi ke Jawa untuk kuliah Islam tapi dengan bahasa sansekerta dan sastra sansekerta, tidak bisa mengerti, (oleh karenanya) seharusnya belajar bahasa Arab.

Langgar: Terus selama ini apakah sudah ada para peneliti pioner yang bergerak ke sana?

Verena Meyer: Ya ada. Ibu Nancy (maksudnya Nancy K. Florida, seorang Antrolopog yang menyadari peran penting Islam dalam studi Jawa–red) salah satunya.

Langgar: Anda muridnya?

Verena Meyer: Tidak secara formal.

Langgar: Pernah membaca bukunya Nancy?

Verena Meyer: Iya. Pernah. Dan saya ada kerjasama juga. Saya sering bicara dengan ibu Nancy.

Langgar: Dari rintisan itu bagaimana perkembangan di sana melihat Jawa, Islam Jawa?

Verena Meyer: Masih jarang sebenarnya. Kalau di jurusan saya, saya sendiri yang fokus pada Asia Tenggara. Tapi sedikit demi sedikit, mahasiswa di negara Barat mulai belajar bahasa Arab, dan ada pendidikan yang sama. Ada Qur’an, tradisi, (alias) harus mengerti (secara utuh) sejarah Islam di Indonesia. Lalu memang (ada) juga terfokus pada tradisi lokal, tapi tidak boleh hanya itu, karena ada transmisi lain dari bahasa Arab, bahasa Persia ke bahasa Jawa. Sedikit demi sedikit ada perubahan.

Langgar: Terus yang kedua, ini juga penting mungkin bagi generasi di Indonesia, khususnya di Jawa. Kenapa orang Barat melihat Islam Jawa sebagai kejawen dalam pengertian dia dipisahkan dari Islam. Dan Kemudian kesimpulannya hanya terbatas pada sinkretisme? Itu dipengaruhi oleh apa kira-kira?

Verena Meyer: Saya kira oleh kolonialisme. Karena pada zaman Kolonial ada peneliti-peneliti kolonial memang sangat terpengaruhi oleh pandangan budaya. Mereka masih pikir Islam itu bukan agama universal, tapi agama Arab. Dan oleh karena (mereka) itu tidak bisa membayangkan Islam yang sudah menyebar ke seluruh dunia. Dan oleh karena itu, mereka pikir, “O ya, itu bukan Islam yang sebenarnya.” Tapi mereka telah salah. Salah mengerti.

Langgar: Selain ke Jawa pernah berkunjung ke daerah mana? Kira-kira yang menjadi representasi persentuhan Islam dengan sebuah negara, misalnya di Afrika?

Verena Meyer: Ya saya sudah ke Maroko. Dulu saya belajar bahasa Arab di Maroko. Dan saya sudah ke Palestina juga.

Langgar: Ada gak fenomena ke-khasan mereka? Yakni terkait Islam, seperti kita, yang membentuk dan dipeluk di Jawa, tapi tentu menurut ke-khasan mereka?

Verena Meyer: Ada ya. Misalnya, di Maroko ada tradisi musik yang sangat kuat yang juga termasuk tradisi sufisme di situ, yang sangat berbeda dengan sufisme di sini. Tapi juga ada orang yang menolak, yang bilang itu bukan Islam.

Langgar: Termasuk di Maroko ada juga yang menolak bahwa itu bagian dari islam?

Verena Meyer: Iya.

Langgar: Terus selanjutnya. Adakah perubahan orientasi paradigma di dalam melihat kebudayaan (terutama perihal relasi Islam dan Indonesia) di Jawa atau di Maroko tadi. Itu dimulai dari mana menemukan kesadaran seperti itu?

Verena Meyer: (maksudnya) menemukan apa?

Langgar: Menemukan bahwa ternyata ini memang bagian dari Islam. Itu maksud saya. Apa itu merupakan kegelisahan  semata atau memang pencarian atau bagaimana?

Verena Meyer: Saya juga (kurang) belum paham, tapi saya kira yang penting itu bahwa budaya dan agama tidak bisa dipisahkan. Tidak pernah bisa. Kalau Islam murni tanpa budaya sama sekali, tidak ada, sudah (pasti) tercampur dengan kebudayaan.

Langgar: Lalu bagaimana kondisi kajian studi Indonesia sekarang semenjak perkembangan tradisi orientalisme Tasawuf Eropa itu berkembang. Apakah hal itu memengaruhi perkembangan kajian pemikiran Islam Indonesia di sana? Sejauh apa itu dampaknya di Eropa? Apakah itu mengubah cara pandang para orientalis dalam melihat ke-Islaman di indonesia?

Verena Meyer: Ya mungkin. Kalau sufisme di Eropa. Menurut kaum muslim atau kaum biasa?

Langgar: ‘Kan sekarang ada banyak sekali buku-buku tasawuf yang sudah dikerjakan, diedit, dianotasi oleh para sarjana orientalis Barat. Yang itu tentu membuat para sarjana (kajian Asia Tenggara) semakin tahu apa itu tasawuf. Nah apakah ini berpengaruh terhadap kajian-kajian Asia Tenggara, terutama Indonesia? Karena yang selalu dibayangkan Islam itu, ya Islamnya Arab saat ini. Semacam acuan untuk menilai. Padahal dulu yang masuk ke sini Islam tasawuf. Nah, apa kajian-kajian keislaman tasawuf oleh para sarjana Barat itu membantu menyuplai gagasan tentang tasawuf, sehingga pemahaman mereka menjadi lebih baik terhadap perkembangan setidaknya terkait studi Islam awal di Indonesia?

Verena Meyer: Ya mungkin ada. Ada juga istilah-istilah sufisme di dalam sejarah Islam, misalnya Rumi (maksdunya jalaluddin rumi-red). Rumi (juga sangat digemari) dan dibaca di negara Barat. Tapi banyak orang tidak paham Rumi seorang muslim. Jadi tasawuf itu (dianggap) terpisah dari Islam. Campur semua. Ya (di Eropa) sedikit Budhisme, ya sedikit Rumi, dan ini semua (dianggap) sama. Seperti itu.

Langgar: Jadi Rumi pun dibaca sebagai Rumi, bukan sebagai muslim?

Verena Meyer: Iya. Hehehe. Rumi itu tentang cinta, tentang apa ya, keindahan dunia, ya begitu.

Langgar: Sebenarnya kalau di Amerika atau di Eropa, Islam tradisinya seperti apa? Maksudnya penduduk Islam tradisi di sana itu bagaimana?

Verena Meyer: Ya ada. Kalau di Amerika berbeda sedikit, karena kaum muslim pertama di Amerika, kaum hitam. Dan (itu) Nation of Islam.

Langgar: Malcolm-X itu ya?

Verena Meyer: Ya, ya. Itu juga campur dengan budaya kaum itu. Dan ada kecenderungan sufisitik.

Langgar: Cara pandang mereka terhadap sufisme yang dibedakan atau terpisah dari Islam itu kenapa? Apakah karena belum utuh melihat sejarah Rumi atau memang orang-orang Eropa dan Amerika memang tidak terlalu paham Islam?

Verena Meyer: Ya pasti tidak terlalu paham Islam. Apalagi sekarang dalam media, Islam itu selalu digambarkan sebagai ancaman politik. Ya kalau orang yang terpelajar mungkin sedikit mengerti. Tapi dalam persepsi umum yang paling kuat itu ya apa yang ditampakkan di media.

Langgar: Islam itu terorisme, begitu?

Verena Meyer: Iya.

Langgar: Nah sejauh mana, teman-teman Anda, misalnya Bu Nancy, memandang tasawuf. Bagaimana pandangan mereka atau Anda tentang tasawuf?

Verena Meyer: Kalau menurut saya tasawuf tidak bisa terpisah dari Islam, juga tidak bisa terpisah dari Islam syar’i. Itu hanya ada dua yang (merupakan) satu (dalam) kesatuan. Mungkin tasawuf itu dimensi batin dan ada dimensi lahir yang bukan dimensi batin. Ya tasawuf tidak bisa terpisah dari syariat. Dan tasawuf itu sebenarnya satu paket. Menurut semua tokoh-tokoh Islam klasik, mereka semua setuju (bahwa tasawuf tak terpisahkan dari Islam). Bahkan Ibnu Arabi (seorang sufi besar dari Andalusia–red), dia juga sangat terfokus pada syariat.

Langgar: Soalnya di banyak kasus, misalnya di Jawa, kalau Anda juga mencermati, banyak sekali pengaruh pemikiran tasawuf ini. Misalnya yang paling dirasakan adalah Ibnu Arabi di sini (Indonesia) daripada misalnya Rumi. Jadi ada banyak misalnya Junaid, juga masih terasa. Nah, Sejauh mana bacaan Anda, bagaimana orang-orang Belanda dulu, penjajah kolonial mendefinisikan ke-Islaman orang Jawa atau Indonesia secara umum?

Verena Meyer: Sinkretisme. Ada juga definisi sinkretisme, tapi selain itu juga sudah ada  ide “ancaman” (terhadap penjajah kolonial Belanda–red). Oleh karena itu mereka sudah, apa ya, coba membatasi orang, seperti naik haji, karena ada ketakutan kalau naik haji mereka ada radikalis. Jadi ada ide: “Islam Jawa itu bukan Islam, dan itu baik karena kalau ada sinkretisme itu bukan ancaman”.

Langgar: Jadi jinak kira-kira.

Verena Meyer: Iya. Hehe.

Langgar: Kalau sudah murni malah berontak.

Verena Meyer: Iya. Hehehe.

Langgar: Yang murni siapa kalau menurut orang Eropa?

Verena Meyer: Arab.

Langgar: Di Indonesia golongan apa?

Verena Meyer: Ya kaum putihan.

Langgar: ‘Kan pembagiannya jadi gitu, akhirnya. Umat Islam yang banyak, dianggap abangan. Kira-kira gitu. Nah, kalau Anda memandang, sejauh apa kajian-kajian akademis Barat memengaruhi para sarjana-sarjana Indonesia, apakah mereka hanya membebek, menjadi catatan kaki, atau gimana menurut Anda?

Verena Meyer: Yang lama atau yang baru? Kalau yang lama, saya kira ada perubahan, tidak selalu, tapi ada. Hal itu sangat memengaruhi persepsi orang Jawa sendiri juga. Kayak (Clifford) Geertz, memisahkan santri, abangan, dan priyayi. Tapi sebenarnya tidak ada tiga golongan kelompok yang selalu terpisah di Jawa. Dan priyayi ada yang sangat santri juga. Dan santri itu orang yang mondok di pesantren, juga bukan Islam Arab.

Tapi saya kira, sudah ada beberapa murid Ibu Nancy, satu orang Indonesia sendiri, Habib Aji Alatas (maksudnya Ismail Fajri Al-Atttas–red). Dan temannya, (namanya) Daniel, dia juga fokus. O ya, saya kira Michael Laffans juga bagus karena dia menggambarkan bagaimana persepsi kolonial tentang Islam di Jawa, dan bagaimana itu juga berdasarkan kepentingan-kepentingan ekonomi orang Belanda. Bukan (semata) kepentingan karena mau pertahankan koloni. (yakni) Tentang bagaimana keilmuan Islam di Indonesia membentuk politik kolonial. O ya, ada beberapa artikel Ibu Nancy yang sangat menarik tentang bagaimana penelitian-penelitian meminggirkan Islam.

Langgar: Ya semoga arah baru ini bersambut. Jadi kami hampir mengumpulkan semua tulisan-tulisan Nancy Florida yang di luar disertasinya. Dan Kami juga ingin menerbitkan buku Bu Nancy. Beberapa sudah saya terjemahkan. Saya juga sudah mendapatkan tulisannya terkait Ronggawarsita meski itu sebuah paper yang belum boleh dikutip. Beberapa yang lain belum kami miliki.

Verena Meyer: Mungkin saya punya, nanti saya bisa cek.

Langgar: Kalau misalnya, dari tulisan-tulisan itu tersedia kami berencana menerbitkan buku Ibu Nancy dalam satu karya utuh. Itu sangat diperlukan. Terutama kegelisahan kami, bagaimana Islam di Jawa itu disingkirkan terus-menerus sampai hari ini. Bahkan oleh sarjana Indonesia sendiri.

Verena Meyer: Ya, ya, ya. Nanti saya cek kalau ada artikel lain.

Langgar: Terus mungkin ini tanggapan terakhir. Kira-kira “gerakan” ini, sebut saja begitu. Maksud kami menempatkan secara jujur peran Islam dalam pembentukan identitas bangsa ini sungguh kami sangat mendukung. Dan kita berharap kita bisa saling sering bekerjasama. Soalnya kalau kita-kita yang ngomong, nggak dipercaya sama orang sini. Orang Indonesia banyak yang inferior. Jadi kalau yang ngomong bule, itu selalu diagung-agungkan. Kami punya sedikit kerja kebudayaan yang kira-kira akan berguna untuk membantu masyarakat untuk kembali menggali khazanah itu, di mana orang mulai harus jujur tentang Islam. Karena bagaimanapun, untuk mengkaji ke-Indonesiaan, Islam punya sumbangsih begitu besar atas pembentukan identitas sejarah bangsa ini.

Verena Meyer: Ya, ya, ya.

Langgar: Terima kasih atas wawancaranya ini. Kapan-kapan Anda kalau mau main lagi ke sini, mangga, lho. Hehe.

Verena Meyer: Iya. Mauuu. Hehehe.


Verena Meyer merupakan antropolog yang concern mendalami studi Indonesia, khususnya Jawa. Ia adalah kandidat Ph.D di Columbia University, Manhattan, Amerika Serikat. Verena, demikian Ia minta dipanggil, sedang mengkaji Islam Jawa terutama konsep ziarah dan silsilah dalam spektrum kalangan Islam tradisionalis dan modernis di Jawa, untuk kepentingan disertasinya. Tesis masternya yang berjudul “Why Shinta had to Die: Human Rights and Javanese Ethics” tuntas pada 2012 di jurusan Study of Religion, Oxford University, Inggris.