Menu

Latar

Besok saya mau nonton bioskop. Dan saya butuh bilang begitu karena setiap rencana ke bioskop, apalagi setelah keluar darinya, selalu ada perasaan istimewa. Bukan “istimewa” yang istimewa-istimewa amat sebenarnya, atau setidaknya setinggi arti dengan atribut yang melengkapi kata itu. Mungkin perasaan yang khusus, lebih tepatnya.

Saya sebut khusus, karena pada dasarnya saya memang jarang pergi ke bioskop—mungkin boleh disebut langka jika dibandingkan setidaknya dengan cap penggila Film yang disematkan beberapa teman terhadap saya. Rasa khusus itu biasanya membuat ingatan tentang kapan dan film apa yang pernah saya tonton langsung segera saya bisa ingat.

Bahkan, seperti hari ini, memikirkan bioskop cukup untuk memanggil kembali ingatan hampir lengkap tentang hubungan saya dengan film, tapi lebih khusus lagi hubungan saya dengan bioskop.

**

Nonton film itu banyak mudaratnya dibanding bermanfaat. Saya kira itu dianut oleh kebanyakan kalangan santri di mana saja, termasuk di masyarakat desa saya. Tidak berfaedah, buang waktu, bikin malas ngaji, bahkan bisa lupa salat. Itu hanya sedikit saja alasan. (Kalau mau dideret lebih lengkap, mungkin hasil akhirnya bukan sebuah tulisan kenangan, melainkan sebuah novel baru.) Maka, seingat saya, kecuali untuk film-film Rhoma Irama (yang justru banyak diceritakan secara lisan oleh bapak saya), meminta izin untuk menonton film nyaris selalu ditanggapi dengan kecurigaan oleh orangtua saya.

Dan kecurigaan itu sama sekali tidak salah. Kami, bocah-bocah haus hiburan di puncak kejayaan Orde Baru, sekaligus di puncak ketertinggalan kami sebagai orang Indonesia udik pada Pelita V, tentu saja tidak menonton film yang cocok dengan usia kami, lebih-lebih film yang menginspirasi agar kami rajin masuk sekolah.

Cawat Sally Marcelina, sempak Yurike Prastica, atau kutang Eva Arnaz adalah sebagian dari motivasi kami menonton. Saya kira, kami sudah membicarakan hal-hal macam itu ketika saya belum lagi kelas lima MI. Itu waktu yang sama ketika kami juga sudah mulai berbagi bacaan Freddy S. dan Eddy D. Iskandar, di antara pembicaraan kisah cinta ganjil dan berbau paedofil ala Pangeran Purbaya dan embannya Cempaka dari serial drama radio Babat Tanah Leluhur.

Film jadi bagian hidup kami lewat program Film Cerita Akhir Pekan TVRI, yang diputar tiap Sabtu malam, sehabis Berita Terakhir jam 11.30 malam itu. Juga layar tancap, yang masuk desa secara sangat acak. Tapi, terutama dari pemutaran-pemutaran film video ketika ada orang kampung atau tetangga kampung punya hajatan. Jelas, rating dan parenting sama sekali tak terlintas di pikiran para juru putarnya.

Bioskop sebenarnya tak jauh-jauh amat. Hanya sekitar 25 kilometer ke arah barat. Tuban, kota terdekat dari desa kami, punya tiga bioskop yang sangat terkenal. Saya selalu menyimak jadwal tayang bioskop-bioskop itu dari Radio RKPD, tapi tak pernah berkesempatan nonton.

Tapi, tentu saja itu tak sesederhana kelihatannya. Pertama, 25 kilo meter bukanlah jarak yang dekat jika angkutan umum yang tersedia di desamu hanya cikar dan dokar. Beberapa orang punya sepeda pancal, tapi lebih sedikit yang cukup gila untuk ngontel 50 kilo meter PP demi sebuah film di bioskop. Dulu, dulu sekali, di kecamatan, 15-an kilo meter ke timur, katanya ada gedung pertunjukan yang sekaligus merangkap jadi gedung film. Sayangnya, bioskop itu hanya sampai di generasi bapak saya. Generasi kami cuma kebagian riwayatnya saja.

Bioskop biasanya hanya bisa dicapai oleh segerombolan remaja nekat. Ketika tersebar berita bahwa film Rhoma Irama Bunga Desa syuting di desa yang tak jauh dari desa kami, semua orang sangat penasaran ingin tahu macam mana film itu. Konon, beberapa orang keranjingan berjalan kaki untuk bisa sampai bioskop—mungkin jalan kaki dan menumpang truk atau kendaraan apa pun, lebih tepatnya. Tapi, remaja-remaja nekat ini, bagaimanapun jauh lebih tua dari kami. Kami waktu itu masih terlalu kecil untuk jadi bagian dari mereka. Dan itu adalah masalah kedua.

Masalah ketiga, dan ini yang paling penting dan ditegaskan berulang-ulang oleh para orangtua dan guru ngaji kami: bioskop itu lebih banyak mudaratnya dibanding manfaatnya, seperti juga film. Masalah ini menimbulkan masalah keempat: lalu dari mana kami dapat sangu untuk nonton?

Bioskop, oleh karena itu, memang sedikit identik dengan anak nakal. Teman saya yang saat itu sudah menempuh SMP di Tuban dan bisa berbual-bual tentang film bioskop dikenal karena kebengalannya. Meski begitu, bisa nonton bioskop adalah salah satu yang saya pikirkan ketika memutuskan melanjutkan sekolah menengah di Babat, kota kecil di selatan Bengawan Solo, yang punya sebuah bioskop tua yang legendaris. Tapi pikiran itu tak pernah terlaksana. Pertama, mungkin karena saya tak cukup bengal. Kedua, karena uang saku saya sangat cekak bahkan untuk sekadar berusaha jadi bengal. Ketiga, dan ini yang lebih penting, bioskop itu sudah keburu tumbang duluan, berbarengan dengan bertumbangannya bioskop-bioskop di kota-kota kecil di paroh akhir ‘90-an.

Ketika saya ke Jogja dan memutuskan jadi tukang azan agar dapat kamar gratisan, saya kira saya tidak berjodoh dengan bioskop. Tapi, saya salah duga.

Pengaruh Pergaulan Metropolis memang mustahil dilawan. Dan, Kenikmatan Terlarang itu tak pernah bisa diabaikan.

Hidup (baca: takdir—biar lebih terdengar religius) membawa saya ke sebuah kamar yang berbagi dinding dengan sebuah menara air di sebuah loteng masjid di Ratmakan. Itu adalah sebuah kampung padat di lereng sempit lembah Kali Code. Sebuah lorong kecil di bawah jembatan Jalan Senopati akan menghubungkan kampung itu dengan Sayidan, kampungnya band ska Shaggy Dog. Di lorong itu pula, sesekali, terutama di masa kampanye pemilu, orang Ratmakan yang PDI-P dan oknum Sayidan yang PPP akan terlibat saling ancam.

Mungkin terdengar gegabah, tapi bagi saya Ratmakan adalah sebuah limbo. Itu adalah neraka yang bernuansa surga, atau sebaliknya surga yang bercitarasa neraka, tergantung perasaan Anda. Di situ, saya melakukan hal yang akan diidealkan orangtua dan para guru ngaji saya di rumah: mengajari salat dan mengaji anak-anak, menyumbangkan suara sumbang saya untuk ikut bersahutan di udara Jogja yang sumpek, menuntun para ibu membetulkan hafalan doa dan bacaan Qurannya; singkatnya, saya belajar untuk jadi berguna bagi nusa-bangsa dan agama. Tapi, di situ juga saya untuk pertama kalinya mesti membiasakan diri bergaul dengan teman yang setengah mabuk atau sama sekali mabuk, menghadapi keragaman Jogja yang bagi saya waktu itu sangat ekstrem, dan— ironisnya—mulai menyadari (yang kemudian berujung jadi keyakinan) bahwa saya tampaknya tidak akan bisa berguna bagi agama saya, setidaknya dengan cara-cara yang biasa.

Tapi limbo itu mungkin lebih jelas terasa dalam arti geografis dibanding sosiologis. Masjid itu hanya 10 menit jalan kaki dari Malioboro yang kondang itu, 7 menit dari nasi goreng babi Jalan Mataram yang nauzubillah ramainya, 6 menit dari Papillon, diskotik paling tenar di Jogja waktu itu, yang kisah tentang turis-turis Arabnya yang menghambur-hamburkan uang di tempat parkir sampai ke beranda masjid kami.

Saya sih tak ambil pusing dengan yang macam itu, tapi coba yang berikut ini. Hanya 2 menit ke arah barat, saya bisa menemukan pasar buku Shopping dan dua bioskop yang bersandingan dengannya, Senopati dan Jogja. Ke timur, dengan jarak yang lebih dekat lagi, saya sudah bisa langsung ada di depan loket Bioskop Permata.

Masjid itu, bukannya membuat saya jadi muslim yang tambah kaffah dan lebih taat syariat, justru memperkenalkan saya dengan salah satu tempat paling profan dalam kehidupan dunia yang penuh tipu daya ini: bioskop.

**

Masalahnya, setan tak kurang cara untuk menggoda manusia, demikian K.H. Zainuddin MZ memperingatkan.

Jarak sedekat apapun (dan akses semudah apapun) sebenarnya tak akan berarti apa-apa jika saya tidak salah pergaulan.

Sejak kecil, bersama sepakbola dan musik, saya memang tak pernah menganggap film semata sebagai hiburan. Tapi, di Jogja, lebih tepatnya di sebuah rumah reot dan kumuh di lingkungan perum dosen di Bulaksumur, saya menemukan pembenarannya. Di rumah di mana pada akhir ‘90-an film porno ditonton bersama dan didiskusikan, film-film diputar dan beredar tak kalah kencangnya dengan fotokopian buku Tetralogi Buru-nya Pram. Acara nonton bareng, terutama di pusat-pusat kebudayaan asing, terkhusus di LIP Sagan (yang hanya lima menit jalan), jadi kerutinan macam pengajian mingguan ibu-ibu arisan.

Saya sebenarnya tak larut-larut amat dengan kesesatan dan penyesatan yang nyata itu. Saya cukup bisa jaga diri. Saya mesti ada di masjid terutama ketika manjing Maghrib, dan itu sebisa mungkin saya penuhi. Masalahnya, setan tak kurang cara untuk menggoda manusia, demikian K.H. Zainuddin MZ memperingatkan.

Terlalu miskin untuk beli buku, sementara tugas kuliah Sastra tak pernah jadi bagian dari masalah, dan pengajian ibu-ibu yang mesti saya urus hanya seminggu sekali, saya kekurangan cara untuk menghabiskan waktu luang. Biasanya, sehabis jamaah salat isya, saya melenggang ke Shopping. Saat itu, Shopping Center berada tepat di pinggir jalan besar, dengan gerbang masuk di sebelah selatan. Di belakangnya, berdiri bersebelahan dengan angker dan kumuh Bioskop Senopati dan Jogja Theater.

Niat awalnya tentu saja kios-kios buku dengan koleksi karya sastra (biar cuma UGM, kita ini mahasiswa Sastra Indonesia, begitu ‘kan, Bal?) Pura-pura pilih-pilih, siapa tahu bisa menyelesaikan sebiji-dua biji cerpen Putu Wijaya yang bukunya tebal-tebal dan harganya mahal itu. Tapi itu tak bisa dilakukan terlalu sering dan tak boleh terlalu lama. Karena itu, untuk tampak memantaskan diri, saya beredar ke kios-kios lain. Ujungnya, biasanya, saya akan nyantol di lapak-lapak majalah bekas, karena pengawasannya yang relatif lebih longgar. Dan seingat saya, dibanding lapak jenis lain, di lapak macam inilah saya lebih banyak menghabiskan waktu.

Majalah bekas jelas lebih murah dibanding buku bekas. Karena itu, di sini, pura-pura menawar jauh lebih kecil risikonya. Kalau terpaksa beli, dan kadang saya memang melakukannya (dengan tujuan utama untuk investasi tentunya), saya bisa beli selembar-dua lembar Matra bekas atau Horison lama seharga Rp1.000-15.000. Tapi, biasanya, saya sangat sedikit menghabiskan waktu untuk majalah-majalah berbudaya itu. Majalah-majalah macam Majalah Film, Ria Film, atau Vista TV adalah tujuan utama saya. (Liberty atau Popular, kalau sedang khilaf dan ada kesempatan, ya tentu saja ikut dibaca juga.)

Ria Film dan terutama Majalah Film (yang sebenarnya tabloid itu) adalah kemewahan yang jarang di masa remaja. Saya mungkin sudah membacanya ketika belum usia SMP, tapi itu perjumpaan yang langka. Dan di Jogja saya melihatnya bertumpuk-tumpuk, berdebu, dan tampak tak berguna. Menyentuhnya, lalu membongkarnya dalam tumpukan-tumpukan, benar-benar bikin gemetar.

Seingat saya, saya tak pernah membeli satu eksemplar pun Majalah Film, meskipun harganya pasti lebih murah dibanding Matra atau Horison. Tapi membacanya (kembali) adalah racun. Saya tak tahu persisnya, tapi Majalah Film tampaknya tutup bersama ambruk dan rusaknya industri film Indonesia di paroh akhir ‘90-an itu. Dan, karena itu, majalah yang punya tagline “Bacaan Bergengsi Penonton Film” itu relatif mendekati hal yang identik dengan film indonesia di masa itu: syur, semlohe, dan jauh dari bergengsi.

Dan racun itu segera terasa. Lebih cepat daya rusaknya, terutama karena saya hanya membutuhkan beberapa langkah saja ke arah belakang Shopping untuk mewujudkan diri menjadi “penonton film yang bergengsi”, sekaligus menemukan gambar Inneke Koesherawati atau Malvin Shaina yang statis di sampul majalah itu bergerak di layar putih.

Meski demikian, film pertama yang saya tonton di bioskop di Jogja adalah sebuah Film India.

**

Gair sebenarnya bukan film India idaman saya. Sama-sama dibintangi Ajay Devgan, saya jauh lebih ingin nonton Gundaraj, film yang lagu-lagunya sangat saya kenal. Tapi tak apalah. Belum pernah mendengar soal Soboharsono, bioskop dekat alun-alun utara yang identik dengan film India yang mungkin waktu itu sudah kukut, saya kira itu akan jadi kesempatan terakhir dan satu-satunya nonton film India di sebuah bioskop di Jogja.

Lagi pula, sebuah film India yang mainstream tampaknya pilihan bijak untuk seorang merbot masjid. Bandingkan, misalnya, kalau saya nonton film Amerika esek-esek Private Lessons, film awal ’80-an yang posternya menggilakan itu, film yang mungkin sudah berpuluh tahun diputar ulang di bioskop itu. Maka, setelah menyelesaikan pergulatan yang hebat, saya masuk—untuk pertama kalinya—ke gedung bioskop. Itu Bioskop Permata, bioskop kelas bawah paling legendaris di Jogja.

Sebelum dengan gemetar mengangsurkan uang untuk beli tiket masuk, saya tahu saya sudah melakukan kesalahan. Dan meskipun rasa berdosa karena menonton film bukanlah perasaan yang asing bagi saya, malam itu jelas saya mesti melewati rasa berdosa paling besar—dan berlapis-lapis—yang pernah saya rasakan.

Bagaimana perasaan saya setelah itu ketika kembali mengajar anak-anak TPA Tepuk Anak Soleh? Bagaimana saya mesti bilang ketika menceramahi mereka soal bersikap jujur dan taat kepada orangtua di akhir salat taraweh? Saya memang tak soleh-soleh amat: baca Freddy S. sejak kanak kanak; dulu sering keluar pondok untuk nonton bola; saat di Jogja masuk UKM persma dan senang nonton film Prancis yang tak dipahami dan hanya sedikit mengerti kalau ada adegan erotisnya; kalau ngendon di Perpus Sastra bukannya baca bacaan bergizi macam cerpenis Dwi Cipta, tapi malah menyantap novel-novel kodian punya Umar Nur Zain, La Rose, atau Motinggo Busye, juga menapis rubrik Jagading Lelembut di Djoko Lodang; kemudian nyandu Majalah Film bekas di Shopping. Tapi, setelah masuk bioskop, saya merasa kotor. Bagaimanapun, sampai di malam jahanam itu, saya tetaplah mahasiswa baik-baik, dengan nilai IPK tiga koma, penulis cerpen pemula yang sudah pernah dapat piala, juga pelajar sekaligus kakak teladan di desa saya. Coba bayangkan kalau Anda jadi saya.

Tapi bukan hanya itu. Bayangkan jika malam itu seseorang yang mengenal saya di masjid melihat saya masuk bioskop. Apapun yang saya tonton di dalam, entah film India ecek-ecek atau film Amerika esek-esek, jelas tak akan ada bedanya. Maka, boleh jadi, begitu saya balik dari bioskop, saya akan menemukan barang-barang saya yang tidak banyak itu sudah terlempar dari kamar saya di loteng masjid. Jadi, saya juga merasa berdosa secara ekonomi.

Rasa berdosa jenis lain menyusul begitu saya yakin saya aman. Tak usah njelimet berpikir, saya tahu saya akan mengulangi dosa itu lagi di lain waktu.

Dan sembari menunggu saya mengulanginya, saya mencoba meredam rasa berdoa itu. Dengan puasa Senin-Kamis, misalnya. Cukup manjur. Lagipula, lumayan ‘kan dapat kepala ayam gratis?

**

Saya tak ingat apakah malam itu saya menonton Gairah yang Nakal atau Perempuan dalam Gairah atau film Inneke yang lain. Tapi saya ingat betul, alih-alih merasa bersalah, saya justru merasa sangat konyol.

Dan saya memang nonton lagi.

Lalu bagaimana dengan rasa berdosa itu? Tentu saja tetap. Tapi, saya mulai belajar bahwa rasa berdosa berbeda dengan dosa.

Usai mengisi pengajian ibu-ibu yang ustadnya tidak datang—saya ingat saat itu saya bicara tentang waktu-waktu yang tak diperbolehkan untuk menunaikan salat—saya bergegas mengendap-endap ke Permata. Saya tak tahu hendak nonton film apa. Ujungnya, yang ada saja. Malam itu saya nonton Raped by An Angel, yang dibintangi Simon Yam.

Di lain waktu, saya akhirnya tak bisa menahan diri untuk tak melihat gambar Inneke Koesherawati versi layar lebar. Seperti biasa, setelah iseng-iseng baca Majalah Film bekas, saya akhirnya memutuskan menjajal bioskop kumuh di belakang Shopping itu (yang saat ini telah disulap jadi Taman Pintar itu). Kalau di siang hari, untuk masuk ke Bioskop Senopati, saya mesti melewati lapak lapak buku dengan sajian utama novel-novel bekas Freddy S. dan/atau Enny Arrow. Di malam hari, tempat itu bisa terasa seperti dunia yang berbeda.

Saya tak ingat apakah malam itu saya menonton Gairah yang Nakal atau Perempuan dalam Gairah atau film Inneke yang lain. Tapi saya ingat betul, alih-alih merasa bersalah, saya justru merasa sangat konyol. Sebabnya, film yang sama, tentu dengan judul dan adegan yang sudah disesuaikan, satu atau dua hari sebelumnya sudah saya tonton di RCTI. Untung, tiketnya cuma Rp1.000. Jadi, dosa ekonominya tak terlalu berat untuk ditanggung.

Untuk sedikit merasa bergengsi, saya biasanya pindah ke bioskop sebelah. Di Jogja Theater, yang kalau tak salah sekarang menjadi tempat relokasi Pasar Buku Shopping, semua filmnya impor. Setidaknya, judul filmnya pakai bahasa Inggris semua. Dan karena itu, saya mesti bayar dua kali lipat lebih mahal dibanding Senopati dan Permata.

Saya ingat dua film—dan mungkin karena hanya dua itu saja—yang pernah saya tonton di Jogja Theater. Keduanya adalah Sexual Arousal dan Tale of The Kama Sutra: The Perfumed Garden. Film pertama, dibintangi Francois Yip dan tak ketemu entrinya di Wikipedia, saya tonton karena tergoda judulnya, meskipun saat itu tak ngerti artinya. Film kedua, untuk orang yang baru sayup-sayup dengar nama Mira Nair, ditonton karena mengira itu film nyeni—padahal Kama Sutra: Tale of Love dan Tale of The Kama Sutra bukan saja dua film yang berbeda, tapi juga berbeda derajat.

**

Saya tak tahu apakah orang-orang Ratmakan tahu saya nonton bioskop—dengan film-film macam itu. Tapi, sampai saya pamit baik-baik di ujung tahun ketiga kuliah saya, saya hanya pernah ditegur oleh pengurus masjid untuk keteledoran yang sifatnya keseharian: lupa menyapu halaman, telat bangun subuh, tak mau cium tangan sama ustad yang kasih pengajian, atau semacam itu. Jika ada yang berulang-ulang dan membuat saya hampir diusir, itu adalah soal sepakbola (kapan-kapan cerita itu bisa saja keluar juga).

Ketika kemudian saya tak lagi memiliki jadwal azan, dan tak harus mengurusi pengajian anak-anak dan ibu-ibu, jadi anak kos yang bebas sebebas-bebasnya, rupanya layar bioskop tak terlalu menarik lagi untuk dijelajahi. Ya, mungkin karena saya lebih menyukai nonton film sendirian. Tapi, terutama, karena saya tetap tak pernah cukup punya uang—yang kemudian dilegalisir dengan tutupnya semua bioskop yang tadi saya sebut. (Meski begitu, saya tak akan melupakan malam menyebalkan saat, untuk pertama kalinya dan sekali-kalinya, saya masuk Bioskop Mataram, mengantri puluhan orang, agar bisa nonton sebuah film yang canggung dan banci berjudul Gie.) Saat menonton film sudah benar-benar jadi kebutuhan, saya lebih memilih lari ke rental film jika saya punya kelebihan uang makan.

Manakala saya mulai memburuh, dan merasa cukup sah untuk mencari kompensasi kepenatan sehabis kerja, bioskop sama sekali tak masuk dalam kepala saya. Saya membeli komputer bekas ber-CD ROM, dan membawa pulang 5-10 film setiap akhir pekan. Ketika bertahun-tahun kemudian saya mengumpulkan ratusan judul film dalam format kepingan, bahkan membuat sebuah blog khusus membahas film, judul yang bisa dimasukkan ke daftar film yang saya tonton di bioskop tetap tak banyak bertambah. Jika semua film itu saya jadikan file, saya rasa saya tak akan membutuhkan flash disk lebih dari 32 GB.

Karena itulah, setiap memikirkan bioskop, lebih-lebih setelah memasukinya, rasa khusus itu masih menyisa. Mungkin bukan lagi rasa berdosa, tapi debar yang sama, yang dulu saya alami ketika pertama kali mengulurkan uang membeli tiket di Bioskop Permata, 17 tahun lalu, biasanya masih berulang. Dan mungkin masih akan terus seperti itu.


*Ditulis dengan rasa bersalah yang masih sama terhadap warga Ratmakan, khususnya Mas Jun, Mas Dul, Pak Man, dan Bu Sri—semoga kalian memaafkan saya.


Suatu malam, aku masih bertahan di sebuah lobi hotel di Solo. Sebenarnya acara yang kuikuti sudah selesai. Aku hanya perlu memanggil ojek dan pulang ke kos. Tapi hujan menahanku untuk beranjak dari kursi empuk yang kududuki. Tentu saja aku bisa memanggil taksi kalau tidak ingin kehujanan, tapi aku lebih memilih kebetheng, terjebak hujan. Selain itu, aku masih ingin menikmati permainan rebab dan gender oleh dua orang pengrawit di depanku. Permainan rebab gendernya sungguh benar-benar menghipnotis telinga siapapun yang ada di situ. Rebab itu dimainkan oleh seorang gadis yang kutaksir usianya lebih muda di bawahku beberapa tahun, sedangkan gendernya dimainkan oleh seorang laki-laki yang sepertinya seusia bapakku. Aku tidak tahu gending apa yang mereka mainkan. Permainan berakhir ketika langit juga sudah selesai menuntaskan hajatnya. Sebelum pulang, aku memberanikan diri untuk bertanya pada bapak pemain gender, tadi gending apa yang dimainkannya.

Asmarandana Madenda,” jawab bapak itu sambil tersenyum. Aku mengucap terima kasih dan beranjak pergi tanpa paham apa maksud gending itu.

***

“Itu satu rangkaian judul gending. Asmaradana itu judulnya, Mbak. Madenda itu larasnya. Madenda itu salah satu jenis slendro miring, Mbak, alias minir,” dahiku berkerut karena tidak mengerti apa yang diomongkan Leny, temanku anak ISI, ketika aku bertanya Asmarandana Madenda itu nama gending atau apa.

Leny masih melanjutkan penjelasannya “Sebenarnya pengertian gending itu ada dua, Mbak. Gending dalam arti umum untuk menyebut lagu dalam karawitan Jawa, dan gending dalam arti khusus yang merupakan salah satu bentuk lagu dalam karawitan Jawa. Kalau Asmarandana Madenda itu bentuknya ladrang, Mbak. Mangga menyebutnya mau gending Asmarandana atau ladrang Asmarandana,

Aku bertambah bingung, karena tidak paham ladrang itu apa. Haha.

“Itu berkaitan dengan jumlah ketukan nada per gongnya, Mbak. Tabuhan beberapa instrumen yang disebut struktural. Sebut saja ladrang Asmarandana Madenda, Mbak,”

Tetap saja aku kurang bisa membayangkan apa yang dijelaskan oleh Leny. Tapi untuk orang awam, penyebutan gending sudah benar katanya. Entahlah aku memang buta musik. Aku hanya penikmat saja.

Tentang Gamelan, aku hanya sebatas tahu nama-nama instrumennya. Mana gender, mana bonang, mana kenong, demung, rebab, dan sebagainya. Sebatas itu saja, sebatas penikmat, tidak tahu cara memainkannya.

Suatu hari aku dan beberapa teman dari Buletin Sastra Pawon berkesempatan sowan ke rumah Mbah Kris alias Bu Pringgo alias Bu Sum alias Drigul. Beliau adalah salah satu pengrawit perempuan sepuh yang masih aktif menabuh gender. Tentang gender ini sebelumnya aku sudah pernah ngobrol dengan Diki, mahasiswa ISI yang juga seorang pengrawit aktif, siang itu dia ikut menemaniku ngobrol dengan Mbah Kris.

Mbah Kris perempuan yang rock n roll. Entah sudah berapa kali aku kena semprot beliau. Haha. Sambil merokok beliau menceritakan suka duka menjadi pengrawit, terutama penabuh gender. Kami juga ditemani oleh Pak Lumbini, putra Mbah Kris yang juga seorang pengrawit. Dari cerita beliau aku tahu bahwa beliau adalah orang bebas, tidak mau terikat oleh sanggar. Siapa yang membutuhkan beliau, ayo saja. Dalang-dalang kondang hampir sudah pernah beliau ikuti pentasnya. Sebut saja Ki Manteb Soedarsono atau Ki Purbo Asmoro, semua sudah pernah merasakan diiringi genderannya Mbah Kris.

Keluarga Mbah Kris adalah keluarga seniman. Ayahnya seorang dalang. Beliau belajar gender secara otodidak, seperti mendapat wahyu. Kisah beliau yang mengilhami diriku untuk menulis cerita pendek berjudul “Perempuan Penabuh Gender”, salah satu cerpen dalam antologi “Tabuh Tak Tabu” sebagai rangkaian acara dari International Gamelan Festival (IGF) Solo, 9-16 Agustus 2018 lalu. Dalam cerpen itu aku menceritakan tiga perempuan beda generasi yang berkelindan dengan gamelan, wayang, kesedihan dan pengkhianatan.

***

Seperti gender yang memiliki julukan pamangku gending, kendang pun punya julukan, yaitu pamurba irama atau pemimpin irama

Dari Diki, aku banyak mendapat hal menarik tentang gamelan. Diki adalah spesialis penabuh gender. Kadangkala juga menggesek rebab atau menabuh kendang. Kata Diki, gender adalah instrumen yang sulit. Biasanya seorang penggender bisa memainkan instrumen lainnya, tapi belum tentu pengrawit yang lain bisa menabuh gender. Karena itu penabuh gender harus selalu siap siaga di depan gendernya sampai pementasan wayang tancep kayon, karena belum tentu ada yang bisa menggantikannya nabuh.

“Memangnya nggak bisa izin ke belakang gitu, Dik?” tanyaku polos.

“Lha yen dhalang lagi sulukan piye, Mbak?” jawab Diki sambil tertawa. “Biasanya aku kalau pentas nggak terlalu resmi, aku pilih pakai sarung, tidak lupa membawa botol, jadi nek kebelet ya tinggal diwadahi saja, Mbak. Buang aja di kolong panggung, paling sesuk sing mbongkar ya misuh-misuh,” cara bercerita Diki yang lucu itu sampai membuatku keselek waktu minum.

Dari Diki juga aku tahu bahwa ada julukan untuk gender, yaitu pamangku gendhing. penggender harus hafal vokal, balungan gending. Bisa juga dikatakan sebagai “pasangan” dalang. Dengan keistimewaan yang dimiliki oleh gender atau penabuhnya, aku jadi paham kenapa Mbah Kris memilih menjadi penggender. Gender itu istimewa, menjadi penggender, apalagi perempuan, tentu menjadi kebanggan tersendiri bagi beliau, mungkin saja begitu.

Seperti gender yang memiliki julukan pamangku gending, kendang pun punya julukan, yaitu pamurba irama atau pemimpin irama, Aku belum banyak ngobrol tentang kendang dengan Diki. Aku langsung tanya tentang rebab. Ternyata rebab pun punya julukan, yaitu pamangku lagu. Pamangku lagu ini maksudnya yang mengatur irama, yang membuat laya. Laya itu dinamika atau keras lirih dan tebal tipisnya tabuhan. Jadi tugas pamangku lagu adalah mengatur dinamika agar karakter gending yang diinginkan bisa muncul. Bisa juga dikatakan kalau rebab adalah “pasangan” sinden.

“Kapan nanti tak ajak ke tempat guruku, Mbak. Kita ngobrol-ngobrol tentang rebab, ya,” ajak Diki yang langsung kuiyakan tanpa ragu.

***

Aku memandang laki-laki di hadapanku itu. Sorot matanya tajam, bibir hitamnya menyunggingkan senyum yang manis. Dia menyalamiku.

“Subroto,” katanya memperkenalkan diri.

Wajah Pak Broto ini tidak asing, batinku. Aku mencoba mengingat-ingat di mana aku berjumpa beliau. Oh iya, sepertinya beliau adalah orang yang kutemui di lobi hotel beberapa saat yang lalu.

“Pak Broto, sepertinya saya pernah berjumpa jenengan, di suatu lobi hotel di Solo?” tanyaku meyakinkan.

Oh nggih napa, Mbak? Ndak keingat saya, hehe,”

“Oh nggih, benar, Pak. Saya pernah tanya gending apa yang bapak mainkan, kata jenengan, yang jenengan mainkan itu Asmarandana Madenda. Waktu itu jenengan menabuh gender dan yang main rebab seorang gadis cantik,”

“Oh itu anak saya, Mbak. Sekar. Sekar itu temennya Diki pas sekolah di SMKI.”

Tak lama yang dipanggil Sekar muncul, menghidangkan minuman dan menyalami kami dengan ramah. Aku membatin, Pak Broto memberi nama anaknya dengan Sekar, sekar tidak hanya berarti bunga, tapi juga tembang. Ah dasar pengrawit.

Lalu kami ngobrol banyak hal tentang gamelan. Diki bercerita kalau genderannya banyak dipengaruhi oleh genderan Pak Broto. Tawa pun tak terhindarkan ketika menyinggung hal-hal yang lucu. Ternyata dulu Diki belajar rebab dari Sekar, dan sering kena omelannya.

“Lha Diki kuwi nggesek rebab jan ora nganggo perasaan kok, Mbak, grag greg kaya lawang sing engsele amoh,” cerita sekar. Katanya Diki kalau main rebab tanpa perasaan, seperti bunyi pintu yang engselnya rusak. Diki hanya tertawa mengingat masa lalunya.

Pak Broto dan Sekar bergantian menjelaskanku tentang rebab dari yang paling dasar. Mereka sungguh sabar menjelaskan padaku, seseorang yang buta musik ini.

“Ini yang namanya rebab, Mbak. Ricikan rebab ini bisa berbunyi bila digesek menggunakan senggreng.” Kata Pak Broto sembari menunjukan ricikan yang dimaksud.*

“Itu yang memberi jarak antara senar yang berwarna kuning dengan dengan membran berwarna putih itu apa, Pak?” tanyaku penasaran*

“Oh, itu namanya srenten, Mbak. Sengaja dipasang tidak di bagian bawah dari badan rebab dan tidak ditengah-tengah. Srenten dipasang berjarak dua jari dari atas, Mbak,” ucap Pak Broto kepadaku.*

Sekar mengajariku cara memegang rebab, mengakrabinya dulu.

“Rebab itu gambaran dari rasa kasih sayang, Mbak. Nggak bisa rebab itu dimainkan keras seperti ricikan-ricikan gamelan yang lain,” jelas Sekar kepadaku.*

Diki tertawa ketika aku mencoba menggesek rebab. Memang sungguh seperti membuka pintu yang engselnya sudah rusak dengan paksaan.

Bermain rebab itu harus dengan cinta kasih, sabar, dan telaten. Rebab itu gambaran dari pemainnya, begitu kata Sekar. Dalam setiap pidakan dan setiap gesekan senggreng merupakan gambaran dari sifat dan watak pemainnya.

Aku ingat kata-kata Diki dulu bahwa ricikan rebab itu bukan hanya sebagai alat yang bisa menghasilkan bunyi. Ricikan rebab sejatinya adalah gambaran sifat manusia yang nyata.

”Kalau kamu ingin cepat bisa mengakrabi ricikan ini, kamu harus belajar sabar, telaten, dan dan buang sifat egoismu. Yang paling penting, salurkan rasa cinta, kasih, kelembutan dan kedamaian di setiap gesekan senggreng dan pidakan tangan kirimu,” tutup Pak Broto siang itu. *

Ah begitulah. Semua memang butuh harmoni atau kesesuaian agar mendapatkan irama yang bagus. Tidak hanya dalam gamelan, tapi dalam lingkup yang lebih luas lagi, yaitu kehidupan.

***

*Dialog yang digambarkan Diki dalam cerpennya “Batok Kelapa dan Jari-Jari yang Manis.”

 

Solo, September 2018

Sore menjelang malam dan toko wallpaper saya di Gading Serpong menjadi sepi. Di luar gelap gulita: angin kenceng dan hujan lebat. Pikir pulang pada sore hari yang tidak bersahabat ini membuat saya resah. Langganan tidak ada. Rupanya sore ini akan saya tutup awal supaya anak buah saya bisa pulang tidak terlalu malam. Tapi Takdir tidak menghendak demikian! Baru pikir mau tutup awal, tiba-tiba datang seorang laki-laki berambut cepak memakai moto-cross (trail bike) yang 250 cc. “Kok aneh!” pikirku, Si lelaki bermotor gede ini tidak berminat membeli apa-apa! Ia tidak tertarik memilih wallpaper buatan Korea atau tegel buatan Italia, tapi datang untuk nongkrong saja di bawah bagian atap depan toko saya. Di sana ia cari tempat teduh untuk berlindung dari hujan yang semakin deras. Siapa sosok yang misterius ini?

Anak buah saya, Jaenal, menegor saya: “Ayo! Mr Peter, ajak masuk dong! Kasihan kalau dia tetap di luar! Pasti kehujanan dan terguyur basah!”

“OK, Jaenal, suruhlah masuk! Cepatlah!” Lelaki setengah baya masuk dengan kesan kikuk seperti sama sekali tidak merasa nyaman.

Waktu saya menatap muka dan cari tahu siapa tamu baru ini, Jaenal berbisik keras di telinga saya: “Mr Peter! Awas! Lihatlah di paha sang tamu ada pistol semi-otomatis!” Mata saya langsung bergeser kepada Glock 17 9x19mm buatan Austria isi standar untuk Pasukan Gegana yang diikat kepada kaki atas sang lelaki. Saya merinding! Mau memberi pelindungan, datang seorang polisi anti-teror! Seketika Gading Serpong beralih menjadi zona amat tidak nyaman di benih otak saya!

Apa yang sedang terjadi? Saya langsung membuka suara: “Maaf, Pak, tapi siapa dirimu? Mengapa berkeliaran dengan pistol begini?” Saya menoleh kepada Glock 17 yang bersandar di paha sang tamu. “Mungkin bagi orang Indonesia melihat polisi bersenjata lengkap masuk toko hal biasa-biasa saja tapi untuk seorang Inggris seperti saya amat tidak normal!” Saya panasaran sambil was-was. Lelaki dengan amat lelah menjawab: “Ya, begini, Pak, sekarang sudah dua hari dua malam saya tidak bisa tidur! Beronda terus untuk menjaga Polres Tangerang Selatan dan Kota Tangerang, dan melindung 100 vihara Budhis dari serangan teroris yang mau membela penderitaan bangsa Rohingya di Rakhine! Sungguh situasi yang gawat nih!”

Rohingya? Rakhine? Myanmar? Daerah perbatasan barat Myanmar yang dihuni keturunan orang Arab Islam sejak abad ke-7 yang disebut warga Rohingya? Apakah daerah ini yang dibela teroris Tangsel ini, yang menjadi biang keladi sang tamu bersenjata ini? Langsung saya merenung. Apakah semua ini tidak melibatkan temanku dari Oxford, Daw Aung San Suu Kyi, yang sejak 6 April 2016 menjadi State Counsellor (Penasihat Negara) Myanmar? Apakah nasib saya kena imbas teror Tangsel terkait langsung dengan penolakan Daw [Tante] Suu untuk membicara Truth to Power (Kebenaran kepada Kekuasaan)? Setiap langkah ada akibatnya! Tapi mana bisa seorang Daw Suu, yang telah saya kenal baik sejak tahun 1980-an, bertindak demikian?

**

Waktu saya kenal beliau dan keluarganya ia begitu gagah berani melawan Angkatan Bersenjata Myanmar – Tatmadaw – yang brutal itu! Ia sosok yang mengalami tahanan rumah berkepanjangan! Selama 16 tahun, ia hidup terkurung di rumahnya, 54 University Avenue, Yangon, jauh dari keluarga. Begitu kuat batin hingga ia memilih panggilan sebagai pembela masa depan bangsa daripada mendampingi suaminya – juga teman baikku – Michael Aris (1946-1999) – waktu ia menderita kanker prostat sampai meninggal tepat pada Hari Ulang Tahun ke-53 pada 27 Maret 1999!

Ini pejuang demokrasi yang mengumumkan bahwa perjuangannya adalah “perang kemerdekaan kedua” (Burma’s Second Struggle for Independence), yang pertama melawan kolonialis Inggris, yang kedua melawan tentara Myanmar! Ialah putri pendiri Myanmar, Bogyoke (Jenderal) Aung San (1915-1947), yang sempat membuat perjanjian Panglong (12 Februari 1947) yang dirayakan setiap tahun sebagai Union Day – Hari Berserikatan Myanmar. Hari itu tiga minoritas terkemuka Myanmar (Shan, Kachin dan Chin) diberi janji oleh pemerintah bahwa mereka akan meraih  “otonomi daerah penuh dalam administrasi intern sebagai daerah perbatasan” dan serangkaian ‘state’ (pemerintah daerah yang otonom) direncanakan akan disahkan oleh Konstituante (Constitutional Assembly).

Sejak mendirikan partai pro-demokrasi, National League for Democracy (NLD), pada 27 September 1988, Daw Suu menjadi searah dengan mantan Perdana Menteri U Nu (1907-1995; menjabat, 1948-1956/1957-58/1960-1962), pendiri League for Democracy and Peace (LDP), yang telah mengumumkan pada tahun 1948 – tahun kelahiran saya di Yangon (30 April) – bahwa Rohingya mempunyai hak penuh sebagai warga Myanmar dan bisa meraih otonomi daerah sama seperti etnis lain dalam Perserikatan Myanmar (Union of Burma). Demi menjaga bahwa daerah Myanmar yang dihuni mayoritas Islam selalu diwakili di Dewan Perwakilan Rakyat – sang perdana Menteri, yang terkenal seorang Budhis saleh, mengharuskan bahwa selalu ada paling sedikit dua anggota Muslim di Parlemen Myanmar. Kebijakan politik yang tercerah ini bertahan sampai Maret 1962 waktu terjadi coup d’etat oleh Jenderal Ne Win (menjabat 1962-1987) dan sebuah resim fasis militer mulai menindas semua minoritas di Myanmar, sampai Rohingya dan warga Myanmar Muslim yang lainnya dicabut kewarganegaraannya pada 1982!

Kalau perjuangan kedua Myanmar yang dipimpin Daw Suu adalah melawan tentara Myanmar yang bengis itu mengapa ia sekarang bisa sejoli dengan  jenderal-jenderal?  Apalagi, mengapa ia bisa membiarkan genosida di Rakhine yang dilancarkan dengan operasi bumi-hangus dan pembantaian besar-besaran sesudah 25 Agustus 2017 sebagai tindak balik kepada serangan ARSA (Arakan Rohingya Salvation Army)? Menurut laporan PBB operasi ini telah mengakibatkan lebih dari 7.000 anak dipaksa menyaksikan orang tua disembelih di muka mata mereka, 17.000 lebih perempuan diperkosa saling bergantian (gang rape), 34.000 warga dilempar ke api puing-puing rumahnya dan 750.000 terpaksa melarikan diri ke kamp-kamp pengungsi di Cox’s Bazaar di Bangladesh.

Kejahatan ini mirip yang dilakukan pemerintah Turki Ottoman pada bangsa Armenia pada Perang Dunia pertama  (1914-1918) waktu selama dua tahun (1915-1917) 1.5 juta warga minoritas imperium Ottoman dibantai secara sistematis oleh tentara Turki. Layak benar dijuluk genosida oleh komisi khusus PBB – yang salah satu anggota adalah mantan jaksa agung Indonesia, Marzuki Darusman (menjabat 1999-2001). Layak benar juga bahwa mantan Komisaris Tinggi (High Commissioner) Komisi Hak Azasi Manusia PBB, Pangeran Zeid bin Ra’ad al-Hussein (menjabat 2014-2018), seorang diplomat kawakan Jordania, mengarisbawahi bahwa Daw Suu juga terlibat dalam genosida tersebut berkat statusnya sebagai kepala pemerintah sipil Myanmar. Dan tanggung jawab tidak behenti di sana, menurut Sang Komisaris Tinggi, sebab ada tindakan kejahatan pribadi dari pihak Daw Suu yang telah menggelapkan secara sistematis bukti pemerintah yang terkait genosida dan membiarkan ‘hate speech’ disebarkan di medsos dan internet tentang partai NLD, yang nota bene sekarang menjadi partai yang tidak ada satu pun perwakilan bangsa Muslim Myanmar di barisnya.  Betapa beda situasi di bawah Perdana Menteri U Nu pra-1962!

Tugas seorang Daw Suu, menurut Pangeran Zeid, dengan status sebagai pemimpin bangsa dan pemenang Hadiah Nobel (1991) adalah memberi teladan kepada bangsa.  Seperti Mahatma Gandhi (1869-1948), yang selalu konsisten dalam perjuangan untuk persahabatan Hindu-Muslim dan hak dalit (orang yang di luar kasta) sehingga ia dengan senang hati mengumumkan akan menggulung bendera dan mengungsi ke pegunungan Himalaya kalau tidak ada warga yang mau mengindahkannya! Kalau contoh Gandhi terlalu tinggi bagi Daw Suu, menurut Pangeran Zeid, paling minim yang bisa dilakukan sang pemenang Hadiah Nobel Myanmar adalah untuk mengundurkan diri dari pemerintah dan kembali kepada tahanan rumah. Dengan demikian dia akan menjadi sebuah mercusuar (moral example) untuk bangsa.

Tapi kenyataan tidak demikian! Mengapa?

**

Kalau saya bisa panggil Daw Suu dan secara “ghaib” menatap muka dengan dia – apa yang kita bisa sharing? Dari pihak Daw Suu pasti dia akan bilang – “Tapi kamu, Peter, tidak pernah kenal saya dengan sesungguhnya! Saya bukan seorang Jeanne d’Arc versi Myanmar, atau seorang Mahatma Gandhi, Mandela, Martin Luther King atau pun seorang Gus Dur yang membela hak minoritas di negaramu pada zaman Reformasi! Saya sama sekali tidak hidup di cakrawala besar itu. Dunia saya kecil dan sangat terbatas! Bukan pejuang hak azasi manusia atau pemimpin moral dunia, cakrawala saya adalah Birma Budhis (Burman Buddhist)! Yang lain saya sama sekali tidak peduli! Saya boleh dikatakan “katak di bawah tempurung” versi Birma! Isu refoulement (bergeser kembali ke luar negara) orang-orang Benggala yang telah datang ke negaraku akibat kebijakan bangsamu, Inggris, pada zaman kolonial (1826-1948), menurutku layak! Dan gembar-gembor pembantaian massal oleh PBB, Amnesty Internasional dan Human Rights Watch itulah hoax news doang! Dua negara yang penting bagi kita (orang Myanmar) sekarang adalah India dan Tiongkok!

Yang lain kita tidak peduli – apalagi negara tetangga ASEAN beragama mayoritas Islam seperti Malaysia dan Indonesia. Mereka sama sekali tidak penting bagi kita! Saya tidak heran sama sekali bahwa Mas Peter berhadapan dengan tamu bersenjata di toko – itulah ciri khas negaramu baru-baru ini! Dan ingat benar, Peter, saya anak tangsi! Bapak saya adalah seorang jenderal yang dengan tangan dingin pernah membunuh seorang kepala desa berkebangsaan India waktu Burma Independence Army (BIA) masuk Myanmar dengan tentara kekaisaran Jepang pada bulan Februari-Maret 1942 dan lempar mayat ke kandang babi! Jadi insting saya adalah nasionalis Birma! Pun saya masih mewakili dapil yang sama dengan ayahku di parlemen Myanmar (Pyithu Hluttaw)– kacang ora ninggal lanjaran!

Dan jawaban saya?

“Daw Suu, setiap pagi saya bangun jam lima pagi untuk merenung sejam dan melatih meditasi. Setiap pagi saya memakai selimut Chin yang kamu telah memberi kepada saya waktu saya berkunjung ke rumahmu di Yangon pada 19 Juni 1996 untuk merayakan HUT ke-61 anda. Bagi saya, apa yang terjadi adalah kenyataan yang tidak akan merobah memori dari persahabatan kita berdua pada tahun-tahun penuh harapan di Oxford. Ini romantisisme-ku!

“Tapi dari sisi lain saya merasa anda telah memilih jalan yang serba salah! Dengan sengaja anda telah memberi pelindungan dan justifikasi untuk tindakan kejahatan tentaramu yang sama sekali tidak bisa diterima. Keselamatan dari begitu banyak orang ada di tanganmu dan anda telah menyia-nyiakan mereka. Alih-alih memberi pelindungan, anda dengan aktif telah menolong pihak militer dengan tindakan yang iblis itu. Semua keluhuran moralmu sudah menjadi berkeping-keping! Sirna seperti salju di siang  bolong! Dan ingatlah, walaupun anda dan sekutu anda di Tatmadaw (tentara Myanmar) mengakui mau melindungi Perserikatan Myanmar dan kedaulatan negaramu dari wong liyan, pada kenyataan tindakan anda telah merugikan negaramu dan menyerahkan Myanmar terikat kaki dan tangan kepada Tiongkok. Dari sekarang, Beijing akan menjadi pelindung utamamu! Dalam waktu singkat anda akan mengalami nasib sama dengan negara-negara Baltik di zaman Uni Soviet (1922-1991), dan negaramu akan menjadi jaringan kecil dalam proyek “One Belt, One Road” Tiongkok. Semua kedaulatanmu akan hilang! Inilah karmamu. Yang menyebar angin akan menuai topan! Adieu!”

 

 

RNg Ronggowarsito, dalam Wirid Hidayat Jati di awal pembukaan “Serat Wirid” menyebutkan bahwa ilmu kasampurnane Wong Jawa itu disebut “Ilmu Ma’ripat”. Sumbernya disebut begini: ”Bersumber dari riwayatnya wiradat, ajaran para wali pulau Jawa. Sesudah Sunan Ampel wafat, mereka mengajarkan segala jenis wirid, yang menjadi benih pelajaran ilmu kasampurnan bagi diri pribadi. Kesemuanya berasal dari Dalil (Al-Qur’an), Hadits, Ijmak, Qiyas, sebagaimana disebutkan dalam semua wirid.” Lalu disebutkan beberapa kekhususan para wali dalam menyampaikan jenis ilmunya itu.

Dalam hal doa-doa dan mantra menggunakan bahasa Arab dan Jawa. Mantra di situ maksudnya sebagaimana disebut Bausastra Djawa adalah “donga, tetembungan dianggo japani”. Dalam Kitab Wedha Mantra yang berisi 221 Wejangan, yang disebut “Dening Sang Indrajati” (tanpa tahun) disebutkan di bagian awal menyebutkan bahwa doa-doa yang berasal dari bahasa Jawa, yang bisa disalin dalam bahasa Arab dan yang tidak memungkinkan disalin dibiarkan, begini:

“Sakèhing mantra kang asalé saka basa Jawa supaya disalini basa Arab kabeh, mangkono pamanggihing panjeriengané para Wali, nanging Kangjeng Sunan Kalijaga ora rujuk, jalaran ora sathithik cacahing kaprawiran kang mantrané saka sasmitaning gaib (dhawuhing Pangéran) malah ana uga mantra kang kaseselan nylenèh ora ngre èkaké, mula saupama disalini, dikuwatiraké yèn suda sawabé, luwih manèh yèn nanggori tembung kang nylenèh banjur kapriyé, putusané mung sabisa-bisa disalini basa Arab, nanging kang ora bisa aja dipeksa.”

Dalam mempelajari Ilmu Kasampurnan, Wong Jawa disebut ketika akan menerima pengajaran Wirid Hidayat Jati harus di pandu oleh seorang guru, serta disyaratkan berwudhu. RNg Ronggowarsito menyebutkan: “Adapun tatacara pertama yang wajib dilakukan, guru dan murid mengambil air wudhu dan mengucapkan lafal niat seperti di bawah ini: nawaitu raf`al hadatsi shaghirata wal kabirata fardhan lillahi//ta`ala Allahu Akbar. Lalu keduanya berpakain yang serba suci, tidak boleh menggunakan pakaian yang ada emasnya, lebih baik kalau memakai kuluk (tutup kepala).”

Dalam Kitab Wedha Mantra, bahkan disebut kalau manusia Jawa hendak mencari Ilmu kasampurnan harus mandi tobat, disebut begini: “Yèn arep nampani wejangan utawa arep nglakoni, kudu adus tobat yaitu kramas, tegesé awaké diresiki, nanging iki lagi resik ing lair, déné supaya resik tekan batiné, kudu nganggo mantra kaya ing ngisor iki: “Nawetu ghuslal minhu taobati kokoiri lillahi ta’ala.”

Apa yang dikemukakan oleh RNg Ronggowarsito itu adalah penjelasan tentang Ilmu Kasampurnan yang harus dicapai dengan memasuki tarekat, sebagaimana RNg Ronggsowarsito, dan para leluhur Jawa melakukan itu. Katanya begini: “Orang yang diajari diberi penjelasan pengamalan satu persatu mengenai ilmu ma’ripat. Sesudah itu yang memberi pelajaran membaca doa istighfar dan doa qobul. Orang yang diajari disuruh berjanji, selama gurunya masih hidup, tidak boleh mengajarkan ilmunya, karena menurut pengalaman tidak baik akibatnya. Apabila terpaksa, ada saudara yang sakit berat, sedangkan dia belum punya ilmu, boleh mengajarkan soal Datullah saja.”

Ini adalah ajaran tarekat, dimana murid tidak boleh mengajarkan ilmu yang diajarkan kepada orang lain ketika gurunya masih hidup. Akan tetapi dalam tarekat, dikecualikan apabila murid mendapat idzin dari gurunya; atau meskipun sang guru sudah meninggal, tetapi murid belum memperoleh izin guru untuk mengajarkan, maka tidak dibenarkan mengajarkan, apalagi membai’at orang sebagai muridnya. Di masa lalu, tarekat yang banyak diamalkan adalah Syathariyah, Haqmaliyah, Naqsyabandiyah, Qadiriyah, dan Syadziliyah. Guru yang dianggap boleh mengajarkan itu, menurut RNg Ronggowaesito, bisa dari 8 kelompok: wirya (kelompok luhur yang punya derajat); ulama yang alim, ahli tapa dan riyadhah; sujana (yang punya kelebihan); aguna (yang puna kepandaian dan menekuni ilmu); perwira; orang berada, kaya; dan petani yang jujur. Delapan kelompok ini disebutkan di dalam Wirid Hidayat Jati.

Dalam tarekat, inti pengajaran dari seorang guru, harus memperoleh izin dari gurunya untuk mengajarkan ilmu ma’ripat beserta tahapan untuk mencapainya. Sumber dari pengajaran ilmu kasampurnan Wong Jawa yang dilakukan seorang guru, yang disebut Ilmu Ma’ripat itu harus mengacu pada empat hal seperti telah disebutkan di bagian awal di atas, berasal dari Al-Qur’an, hadits, ijma, dan qiyas, sebagaimana Ilmu Kasampurnane Wong Jawa yang didasarkan dari yang 4 itu. Al-Qur’an disebut sebagai firman Alloh; hadits Sabda Rasulullah; Ijma, kesepakatan para ulama; dan qiyas, ajaran para ahli atau pendeta (maksudnya ijtihad dengan metode qiyas yang dilakukan ulama yang ahli).

Khusus soal qiyas, itu adalah istilah teknis yang dikenal di dalam ushul fiqh yang digeluti para ulama dan ahli agama, dan digunakan oleh apara ahli hukum madzhab Sunni untuk merumuskan hukum. Maksudnya adalaah merumuskan sebuah konklusi hukum suatu perkara yang tidak disebutkan hukumnya dalam Al-Qur’an dan al-Hadits, dengan berpijak pada kesamaan illat (alasan) dari yang disebutkan Al-Qur’an atau hadits. Contoh untuk memudahkan memahaminya adalah, kalau Al-Qur’an mengharamkan berkata “Uh” dan “Cihh” kepada orang tua, maka menendang dan menghardik orang tua lebih haram lagi. Menghardik orang tua dilarang, diambil dengan cara qiyas tadi, diqiyaskan larangan berkata “Cihh” kepada orang tua.

Oleh karena itu seorang guru Ilmu kasampurnan bagi Wong Jawa, tidak boleh grusa-grusa, iso ngukur awake dewe, lan ngukur ilmune, dan itu adalah ilmu yang diwariskan para leluhur Jawa dalam menagajarkan Ilmu kasampurnan. Untuk masing-masing tarekat, tentu memiliki aturan masing-masing, cara baiat dan cara-cara mendaki, antara Syathariyah, Qadiriyah dan Sadziliyah, misalnya, meskipun intinya sama; di tambah adanya perbedaan guru, juga mempengaruhi terhadap cara-cara pengajaran dan pengetahuan yang diajarkan, karena menyangkut wawasan dan tingkat ma’rifat seorang guru yang berbeda. Akan tetapi bahwa mengambil sumber pengetahuannya dari Al-Qur’an, hadits, ijma dan qiyas, merupakan warisan Ilmu Kasampurnan Wong Jawa yang turun-temurun, yang kemudian diolah dalam laku dan berbagai sembah yang harus dilakukan agar memperoleh “Ilmu Kasampurnan”; dan kemudian diungkapkan pengalaman-pengalman itu dalam bahasa Jawa atau pegon, dengan tembang ataupun gancaran.

Sebagian Wong Jawa kemudian membaca Ilmu Kasampurnan itu dari serat dan suluk yang ditulis; dan mengambil kebijaksanaan dari situ. Sebagian yang lain cukup dengan jalan umum, karena itu yang tepat bagi dirinya, yaitu ngaji kuping di langgar atau di mesjid, golek ilmu srengat sekaligus ilmu laku, seperti sabar, lilo ing pandhum, ngerti Gusti Ora Sare, dan begitu seterusnya.

Lan Gusti Alloh ingkang Ngudaneni menungso.

Walisongo adalah nama yang sudah sangat akrab dan menyatu dengan Islam di tanah Jawa. Sosok dan warisannya sangat dihormati kalangan Islam Tradisi. Bagi Islam Tradisi, Walisongo bukanlah legenda, tapi kenyataan. Meski begitu, sebagian kecil kalangan Islam yang tidak menyukai Islam Kultural yang dikembangkannya mengkritik: pertama, walisongo itu dianggap mitos dan tidak ada, khayalan saja; dan kedua, sebagian mengkritik pengertian wali, sebagai orang muslim yang menjalankan perintah al-Quran dan sunnah, dan wali tidak benar kalau diberi pengertian majlis, dan akhirnya juga berujung Walisongo itu hanya khayalan.

Bagi kalangan Islam Tradisi, kenyataan Walisongo memang eksis berlandaskan pada argumentasi bahwa: Pertama, Makam para wali itu masih eksis hingga saat ini, Kedua, turun temurun diziarahi oleh umat Islam, dari mulai Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, dan lain-lain; Ketiga, keturunannya masih ada hingga hari ini, misalnya keturunan Sunan Drajat di Lamongan; Sunan Kalijaga di Kadilangu, Sunan Tembayat di bumi Mataram, dan lain-lain; Para kibar ulama dan auliya, di antaranya Gus Dur, sering bercerita, sering ditemui oleh Sunan Bonang, Pangeran Wa’dad, pengarang Suluk Wujil, dan pencipta beberapa jenis tembang macapat. Karya-karya para wali bahkan masih sering dirujuk hingga hari ini, seperti terdapat bebeberapa karya tulis yang ditulis salah satu Walisongo, di antaranya Serat Kaki Walaka yang hingga hari ini masih disimpan secara rapi oleh keluarga Kadilangu dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia; Kropak Ferrara yang dirampas-ditemukan para missionaris ke Italia, dan kemudian diterjemahkan ke Belanda dan bahasa Inggris oleh G.J.W. Drewes, lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, merupakan karya Maulana Malik Ibrahim yang menjadi penanda literatur (baca : eksistensi para wali di masa awal islam masuk ke nusantara); Suluk Wujil yang dikarang Sunan Bonang, dan masih banyak lagi.

Walisongo itu adalah para penjaga marwah ke-Islam-an di nusantara yang eksis dari generasi ke generasi, generasi pertama adalah: Maulana Malik Ibrahim (wafat 1419 M.), Maulana Ishaq, Maulana Ahmad Jumadil Kubro, Maulana Maghribi, Maulana Malik Israil, Maulana Muhammad Ali Akbar, Maulana Hasanuddin, Maulana Aliyudin, dan Syaikh Syubakir. Generasi kedua di antaranya adalah Ahmad Ali Rahmatullah yang mengajak Prabu Kertawijaya masuk Islam, sebagaimana tertulis dalam Kitab Walisono karya Sunan Giri, dengan langgam sinom, pupuh IV, bait 9-11, dan bait 12-14. Generasi-generasi berikutnya masih eksis hingga pendirian awal Mataram Islam, diantaranya Sunan Giri, Sunan Kalijaga dan Sunan Tembayat yang kala itu menjadi dewan penasehat kerajaan, dan masih banyak lagi para wali yang menyamar dimasa tersebut sehingga banyak yang tidak diketahui hingga hari ini.

Dakwah Islam Kultural/Islam Tradisi

Dakwah Islam kultural dilakukan oleh para wali (baca : auliya’ / kata jamak wali), yang dalam sejarah umat Islam mulai dilakukan oleh para wali setelah terjadi kekisruhan dan kekacauan pemerintahan militer Dinasti Umayyah yang sangat militeristik. Sejatinya fondasi kewaliyan memang telah diletakkan Nabi Muhammad di lingkaran Ahlussuffah di pojok serambi Masjid Nabi untuk mengimbangi kekuatan militer dan penegasan perlunya akhlak dan moral menjadi acuan hidup muslim kedepannya, oposisi kalangan sufi (baca : auliya’) berbentuk pendalaman batin dan pembersihan jiwa dengan mengajak orang masuk Islam secara damai dan membersihkan hati. Tradisi inilah yang sampai ke Jawa.

Di Jawa di dalam tradisi kitab-kitab kuno Jawa yang merujuk pada Jangka Jaya Baya, tradisi sufi (baca : para auliya’) yang muncul awal di nusantara di antaranya di bawa oleh Syaikh Syamsu Zain, dari negeri Ngerum, yang menjadi guru dari Prabu Aji Jayabaya (abad XI). Nama Syamsu Zain ini juga disebut bersamaan dengan Kitab Musarrar yang menjadi rujukan dari Jangka Jayabaya, dan masih dikutip-kutip hingga saat ini. Besar kemungkinan kitab ini adalah karangan beliau dan diajarkan di Kediri. Makamnya, oleh sebagian masyarakat disamakan dengan makam Maulana Syamsuddin al-Washil sebagai orang yang sama, di Setono Gedong, Kediri; tetapi juga ada yang menyebutkan di Tuban.

Tradisi Islam Kultural yang diajarkan oleh para wali menekankan pada kewaskitaan Islam dan kedalaman bathin Islam, dan nilai-nilai yang menjadi fondasi dalam membangun masyarakat Nusantara. Melihat pada karya Kropak Ferrara, aspek elementer syariat tidak ditinggalkan, tetapi nilai-nilai bathin Islam, pembersihan jiwa dan pengekangan hawa nafsu menjadi fondasi penting. Mencermati tradisi Islam Kultural para wali ini, di antaranya bisa dijelaskan:

Pertama, Islam datang dengan cara damai, hikmah, kebijaksanaan, dan menunjukkan keunggulan kewaskitaan Islam dan ilmu-ilmu bathin, baru kemudian diperkenalkan praktik elementer Islam.

Kedua, Islam datang dengan cara membikin fondasi-fondasi sosial dan membentuk cara berpikir masyarakat dengan ide-ide dinamis, sampai merata di seluruh penjuru nusantara.

Ketiga, Tradisi lama yang sudah ada dicoba dilanjutkan dan dikembangkan oleh para wali untuk membentuk manusia Jawa sebagai pribadi yang tuntas secara lahir bathin bahkan nilai-nilai itu lestari dan terjaga dalam bentuk tradisi yang masih eksis hingga hari ini seperti slametan, dan sejenisnya. Pada saat itu belum ada apa yang disebut abangan dan santri, semua orang jawa adalah orang Islam yang secara harfiah memiliki arti Selamat (baca : slamet / slam). Istilah abangan santri baru diperkenalkan belakangan untuk memecah kekuatan di kalangan Islam.

Keempat, Di kembangkan tatanan baru, istilah-istilah, dan kebudayaan baru yang lebih dinamis merespon gerak zaman. Di dalam karya-karya para wali kemudian muncul istilah suluk, menggantikan kakawin yang berkembang dari tradisi sebelumnya; kemudian muncul tembang yang menjadi fondasi dari tradisi macapat yang diciptakan para wali, sehingga muncul maskumambang, mijil, sinom, kinanthi, asmaradhana, gambuh, dandanggulo, dhurma, pangkur, megatruh, dan pucung. Sebagaimana disebutkan di dalam Serat Rama anggitanipun Rg. Josodipuro: “ Doek semana doeroeng ana Midjil, Pangkoer miwah Sinom, Dhandhanggoela Doerma Ian Kalanthe, Gambuh Megatroeh Maesa-langit, doeroeng ana lahir, kabeh tembang kidung” (Jasadipura, XXV: Mijil114); istilah-istilah kawula diimbangi dengan istilah masyarakat (dari bahasa Arab yang telah disadur ke Jawi), yang berarti gotong royong; diciptakan pula simbol-simbol pakaian Islam Jawa, dengan blangkon dan sorjan, sebagai baju takwa yang tidak ke-arab-arab-an; dan lain-lain. Baju sorjan dirancang dan dibuat Sunan Kalijaga. Berasal dari kata suraksa-janma, yang berarti menjadi manusia; dan berasal dari kata Arab sirajan, artinya pelita. Penggabungan ini menjadi Sorjan. Untuk baju sorjan yang umum bagi masyarakat dengan motif lurik, sebagai baju takwa pada masa itu, sebagai simbol kesederhanaan dan kemuliaan. Pada hari-hari ini, sorjan justru dipakai oleh para dhalang dan dilupakan kaum santri. Bentuk sorjan kedua, adalah motif batik, yang disebut Antakusuma, yang diperuntukan khusus untuk para bangsawan.

Tantangan-Tantangan

Islam Tradisi dan Islam Kultural menghadapi berbagai tantangan, di antaranya munculnya kolonialisme Belanda, dari sudut pengetahuan mulai di coba di netralisir satu sama lainnya, yaitu Islam dengan Jawa, dengan masifnya produksi karya-karya yang membiaskan dan memojokkan Islam oleh para sarjana-sarjana Belanda. Pemisahan Jawa dan Islam ini dilakukan dengan kajian-kajian intelektual yang serius, yang hasilnya masih eksis hingga hari ini yaitu terpisahnya antara santri dengan abangan sebagai sebuah identitas yang lain dan terbedakan. Kemudian diciptakan pula konsep-konsep lanjutan untuk memperuncing perbedaan tersebut, karya-karya intelektual sengaja dimunculkan dengan gencar sebagai kamuflase fondasi bagi orang Jawa tentang kajawaannya sebelum islam masuk, sehingga menjadi mudah untuk memisahkan Islam dari Jawa.

Munculnya dunia modern, yang dalam beberapa hal memusuhi aspek-aspek tradisi, dan gandrungnya generasi baru pada perkembangan modern dari Barat juga menjadi tantangan tersendiri bagi Islam Tradisi di Nusantara (baca : Indonesia hari ini). Kemudian munculnya Islam wahabi yang memusuhi tradisi dan menyerapah praktik-praktik umat Islam yang telah difondasikan para wali dalam bentuk tradisi yang merasuk dalam masyarakat (atau dengan kata lain bentuk islam yang tidak Arab), dengan maksud menghancurkan pertahanan kultural Islam Tradisi dari gempuran Pan Islamisme global kelewat batas, juga menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah bila dikerjakan sendiri oleh Islam Tradisi. Dan terakhir, munculnya generasi baru di kalangan Islam Tradisi yang lebih berorientasi ke Timur Tengah menyebabkan kehilangan kesinambungan dengan tradisi dan ilmu-ilmu dari para wali yang sebenarnya lebih aplikatif dari ilmu-ilmu impor tersebut. Demikianlah tantangan-tantangan yang harus dihadapi oleh Islam Tradisi hari ini yang bila dikatakan berat memang berat, namun ihwal tersebut merupakan tanggung jawab yang telah digariskan sejarah kepada Islam Tradisi yang sebenarnya ‘lestari’ di Nusantara (Indonesia) hingga hari ini, dan hal ini sebenarnya telah terbukti.

***