Lembar
Barangkali hal yang paling umum dipahami oleh masyarakat mengenai sejarah awal perkembangan Islam di Indonesia adalah, keterangan yang menjelaskan tentang kedatangan Islam dengan cara damai. Sebab, sebagai pengetahuan bersama, Islam selalu dikisahkan tiba dan diterima oleh masyarakat Indonesia tidak dengan jalan penaklukan militer, kekerasan, apalagi paksaan. Melainkan, masuk dengan cara yang lebih halus, yakni dengan menggunakan pendekatan kultural. Pendekatan yang melibatkan dialog intensif antara doktrin-doktrin Islam dengan tradisi budaya lokal di tanah air.
Pendekatan atau dialog semacam ini, bukan hanya sebagai alasan mengapa Islam dapat diterima dengan mudah, tetapi juga menjadi semacam bentuk penyesuaian Islam terhadap tradisi kultural, di mana Islam hendak disemai, sehingga melahirkan produk kebudayaan baru yang dijiwai oleh spirit tauhid dan ajaran kemanusiaan. Yang mana dalam terminologi Almarhum K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur disebut dengan istilah “Pribumisasi Islam”.
Pribumisasi Islam dalam Pandangan Gus Dur
Istilah pribumisasi Islam pertama kali dipopulerkan oleh Gus Dur di awal tahun 80-an. Gagasan pribumisasi Islam ini muncul sebagai bentuk respon Gus Dur terhadap, menguatnya kecenderungan purifikasi agama, sebuah gerakan yang lebih cenderung mengarah ke bentuk “arabisasi” ketimbang islamisasi. Gerakan ini bertujuan untuk menyeragamkan atau memformalisasikan agama dalam segala aspek, baik dalam aspek kehidupan sosial budaya masyarakat yang ingin digantikan dengan “Tradisi Budaya Arab”, maupun dalam aspek hukum ketata negaraan, yang berusaha memaksakan Quran-Hadis sebagai landasan formil dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kecenderungan inilah, yang dinilai oleh Gus Dur, berpotensi mengancam masyarakat Indonesia, tercerabut dari akar-akar kulturalnya.
Gagasan pribumisasi Islam Gus Dur ini, boleh dibilang merupakan bentuk sintesis dari perjumpaan Islam yang mengusung nilai-nilai universal, dengan tradisi budaya lokal yang bersifat partikular. Perjumpaan ini sekiranya juga dapat dibaca, sebagai hasil rekonsiliasi dan atau akomodasi Islam terhadap tradisi budaya yang dijumpai Islam di wilayah persemaian (di luar daerah Arab, asalnya).
Kendati demikian, Gus Dur menekankan bahwa, sasaran wilayah kajian pribumisasi Islam adalah wilayah yang menyangkut manifestasi kehidupan sosial kultural masyarakat belaka, bukan wilayah ajaran yang menyangkut inti keimanan dan kewajiban syariat Islam. Sehingga dengan tegas Gus Dur menolak, jika pribumisasi Islam, disalah pahami sebagai bentuk sinkretisme, karena pribumisasi Islam tujuannya bukanlah untuk memadukan teologi Islam dengan sistem kepercayaan lain. Melainkan, mempertimbangkan kebutuhan-kebuthan lokal untuk merumuskan hukum agama, tanpa harus merubah agama. Demikian juga sebaliknya, bukan untuk meninggalkan norma agama demi mengukuhkan tradisi budaya, tetapi mengakomodir kebutuhan-kebutuhan tradisi budaya, menggunakan ruang dialog yang disediakan oleh nash agama melalui regulasi kaidah usul fiqh (Wahid, 2021).
Secara singkat, Gus Dur mengilustrasikan pribumisasi Islam itu sebagai bagian dari sejarah, baik di tempat asalnya maupun di wilayah-wilayah persemaian lainnya, termasuk di Indonesia. Yang mana, kedua sejarah tersebut membentuk sebuah “sungai besar”. Sungai yang terus mengalir dan terus dimasuki kali-kali kecil lainnya. Kendati secara kualitas, airnya bisa berubah, namun sungai itu, teteap “sungai” yang sama (Wahid, 2021). Kurang lebih maksud dari perumpamaan Gus Dur tersebut adalah, pergulatan Islam dengan realitas sejarah tidak lantas mengubah Islam, melainkan hanya mengubah manifestasi kehidupan beragama dari pemeluknya saja.
Berangkat dari pandangan Gus Dur di atas, sekiranya dapatlah dimengerti bahwa pada dasarnya Islam yang kita warisi hari ini, merupakan hasil dari peroses panjang, penetrasi Islam terhadap budaya lokal kita di masa lalu. Suatu peroses yang melibatkan dialog intensif antara doktrin-doktrin Islam dengan beragam tradisi, tata nilai lokal yang lebih dulu hidup di tengah-tegah masyarakat Indonesia.
Problem Pribumisasi Islam di Lombok
Dalam konteks Lombok, sejarah Islam belum menunjukkan perkembangannya yang signifikan. Rekonstruksinya masih terfokus pada narasi islamisasi pada abad ke-16, yang dipelopori oleh Sunan Prapen, keturunan Sunan Giri dari Gersik, Jawa Timur. Kajian-kajian tersebut, saya kira belum bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai proses Islamisasi di masa lalu. Dinamikanya pun tidak banyak berubah, sehingga belum dapat menawarkan gambaran yang lebih utuh, tentang bagaimana proses penubuhan Islam di Tanah Sasak ini.
Hal ini dapat dimengerti, dari minimnya kajian sejarah yang berfokus pada telaah, mengenai proses dialog antara Islam dan tradisi pra-Islam yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Sasak-Lombok, baik sebelum maupun setelah kedatangan Sunan Prapen. Padahal, di tempat lain, pengkajian bentuk-bentuk dialog awal semacam ini, merupakan bagian terpenting yang dapat dijadikan rujukan untuk menggali dan memahami proses pembentukan identitas keberislaman masyarakat lokal mereka. Oleh karena itu, pembahasan tentang pribumisasi Islam, khususnya dalam konteks Lombok, masih sangat relevan, untuk membangun perspektif yang lebih kosmopolitan dan matang dalam menyikapi realitas keberagaman mengenai cara hidup berislam sekaligus berbudaya masyarakat, yang sejatinya selalu plural atau tidak pernah tunggal.
Di samping itu, pemahaman tentang Pribumisasi Islam Sasak ini sangat penting untuk mengatasi kecenderungan diskriminiasi terhadap manifestasi Islam kultural yang ada di Lombok. Sebab, seperti keterangan yang dikemukakan oleh M. Jadul Maula, bahwa bentuk-bentuk tradisi Islam kultural di Indonesia, sering digunakan sebagai dalih atau alasan untuk meminggirkan Komunitas Islam tertentu dengan sebutan Islam Lokal, Islam Adat, Islam Tradisional atau Islam Sinkretik. Bahkan tak jarang diberi streotip tanpa alasan yang jelas, sebagai praktik penyimpangan terhadap kemurnian Islam (Maula, 2019). Sehingga tak heran, beberapa dekade ini, daerah-daerah Lombok yang teridentifikasi atau diperkirakan sebagai titik awal pertumbuhan Islam, sebut saja di antaranya seperti; Daerah Bayan, Pejanggik, Pujut, Jerowaru, Sekotong, dan daerah pinggiran Lombok lainnya, kerap kali dilabeli stigma negatif sebagai daerah-daerah yang masih mengamalkan paraktik-praktik “sampar” (baca; Islam Sinkretis), karena dianggap sesat, memadukan syariat Islam dengan tradisi budaya lama (pra-Islam) dalam penyelenggaraan upacara-upacara adat maupun tradisi keagamaan lainnya.
Bentuk-bentuk Pribumisasi Islam di Lombok
Diskriminasi terhadap manifestasi Islam kultural yang ada di Lombok tersebut, boleh jadi disebabkan oleh cara pandang masyarakat yang kurang tuntas, kemungkinan karena mereka memperoleh kajian agam hanya dari satu sumber otoritas saja. Sehingga, ketika melihat praktik-praktik Islam kultural di luar dari pemahaman yang mereka dapatkan selama ini, dengan segera mereka menganggap hal tersebut sebagai bentuk-bentuk penyimpangan.
Oleh karena itu, sangat penting bagi otoritas-otoritas keagamaan, membangun perspektif yang lebih holistik, untuk menyikapi masalah ini. Caranya, dengan melakukan kajian yang mendalam mengenai pribumisasi Islam, dan berupaya melakukan pengembangan terhadap nash agama. Hasil kajian mereka inilah, yang perlu difatwakan, sebagai dasar hukum atau pegangan bagi masyarakat untuk menilai praktik-praktik keberislaman di sekitar mereka. Sebab, bentuk-bentuk diskriminasi seperti yang telah saya kemukakan sebelumnya, tidak akan terjadi andai kata, masyarakat memiliki wawasan yang luas untuk memaknai arti perbedaan, dan menerima kemestian akulturasi Islam dengan tradisi budaya lokal sebagai proses yang wajar (alamiah).
Sebagai contoh, pola pembangunan masjid kuno di Lombok, seperti Masjid Kuno Gunung Pujut, Masjid Kuno Rembitan, Masjid Kuno Bayan dan masjid kuno lainnya, menunjukkan hal ini. Masjid-masjid tersebut tidak hanya, secara arsitektur memiliki kemiripan dengan masjid-masjid kuno di Jawa, seperti Masjid Demak misalnya, tetapi juga memiliki ciri khas yang menarik; karena hampir semunya dibangun di atas bukit atau setidaknya di dataran tinggi.
Tentang kecenderungan ini mengingatkan saya pada konsep kepercayaan dalam agama Hindhu-Buddha (mungkin agama masyarakat Suku Sasak sebelum Islam masuk). Dalam kepercayaan Hindhu-Buddha gunung atau meru merupakan tempat yang paling agung dan mulia, karena gunung diyakini merupakan tempat bersemayamnya para dewa (Poesponegoro & Notosusanto, 1984). Dugaan saya, pola pembangunan tempat ibadah seperti ini sengaja diadopsi oleh penyebar Islam awal di Lombok, sebagai bagian dari strategi untuk mendekati masyarakat agar mereka tertarik dengan Islam. Seraya, secara gradual mubalig-mubalig itu, meluruskan niat keimanan masyarakat ke arah tauhid yang benar, sesuai dengan ajaran Islam.
Pola hubungan yang sehat antara Islam dan budaya lokal masyarakat Sasak ini sepertinya juga tercermin dalam tradisi roah. Kendati pola tradisi ini merupakan pola umum dalam praktik pelaksanaan Islam kultural di daerah lain. Namun tradisi roah tetap perlu saya kemukakan sebagai pembeda, antara tradisi Islam kultural yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Sasak-Lombok dengan tradisi Islam kultural di tempat lain.
Istilah “roah” kemungkinan besar merupakan hasil adopsi dari nama bulan dalam sistem penanggalan Hijriyah, yakni bulan Sya’ban, yang berlaku bagi masyarakat Sasak. Dalam prakteknya, secara simplisitis roah dihubungkan dengan tradisi mengirim doa kepada arwah keluarga yang telah meninggal dunia, namun seiring waktu istilah ini berkembang menjadi tradisi sosial-keagaman untuk mengekspresikan banyak hal, seperti perasan haru, harap, maupun rasa syukur yang mendalam masyarakat atas limpahan karunia Ilahi.
Kini, roah telah menjadi tema besar dalam setiap acara hajatan di kalangan masyarakat Sasak. Segala bentuk kegiatan sosial, yang berkaitan dengan acara hajatan hidup (urip) maupun kematian (pati), seringkali diaktualisasikan dengan menyelenggarakan roah. Tata pelaksanaannya cukup sederhana, yakni dengan menyelenggarakan acara dzikiran dan pembacaan doa yang dipimpin oleh seorang kiai kemudian ditutup dengan jamuan makan oleh tuan rumah. Perjamuan ini diniatkan sebagai sedekah atau amal jariyah, ragam makanan yang disajikan, disesuaikan dengan kemampuan tuan rumah, konsep acaranya dan kuliner khas setempat.
Rekonsiliasi dan akomodasi Islam terhadap adat kebiasaan masyarakat Suku Sasak ini juga dapat dicermati dalam tradisi pernikahan. Dalam realitas kehidupan masyarakat Suku Sasak, secara umum berkembang suatu pemahaman bahwa jodoh, rizki dan kematian adalah Hak Tuhan yang tidak seorang pun manusia boleh mengatur atau mengintervensinya. Implikasi logis dari pandangan ini, terutama dalam konteks pernikahan adalah, pembicaraan apa pun mengenai persiapan pernikahan, seperti lamaran, jumlah mahar dan lain sebagainya, kurang bisa diterima oleh masyarakat yang masih ketat mempertahankan adat. Hingga solusi yang ditawarkan adalah, calon pengantin perempuan harus dibawa lari, pergi dari rumah orang tuanya oleh calon pengantin laki-laki. Tentu, perginya perempuan dari rumah dengan tujuan menikah ini, telah lebih dahulu direncanakan atau telah disepakati bersama oleh kedua mempelai (calon laki-laki dan perempuan), bukan meninggalkan rumah karena paksaan dari pihak lain.
Meskipun, pola adat atau kebiasaan seperti ini dapat dihubungkan dengan kaidah; al-adah muhakkamah (adat istiadat sebagai dasar hukum). Namun, kenyataannya masih banyak masyarakat Sasak yang kurang setuju dengan cara membawa lari pengantin perempuan ini, bahkan mereka tak segan-segan menyebutnya sebagai cara pra-nikah yang tak islami. Padahal, saya kira pola tradisi atau kebiasaan masyarakat ini, memiliki peranan yang sangat penting sebagai ruang untuk menampung aspirasi lokal mengenai pemahaman tentang nilai kebijaksanaan yang mereka pegang teguh, atau kearifan lokal yang sejatinya juga berpijak pada pandangan agama. Sebab, bagaimanapun juga, penyelenggaraan acara pernikahan ke tahap selanjutnya, kedua mempelai wajib dinikahkan sesuai dengan ketentuan agama (Islam) yang berlaku. Adapun praktik membawa lari calon pengantin perempuan, hanyalah merupakan bagian dari tradisi pra-nikah yang tidak diatur oleh agama, sehingga tidak diwajibkan diberlakukan untuk masyarakat Sasak-Lombok, melainkan hanya sebagai alternatif atau cara lain yang telah dianggap wajar sebagai norma adat.
Demikianlah beberapa bentuk-bentuk pribumisasi Islam yang dapat saya kemukakan dalam kesempatan kali ini. Kendati masih banyak tradisi-tradisi lain yang belum sempat saya singgung seperti misalnya; maulid adat, mi’rat, lebaran topat, ngayu-ayu, ngerantok, doyan nade, nyoyang, rebo bontong dan tradisi-tradisi lainnya. Namun saya kira, beberapa contoh yang telah saya singgung sebelumnya, telah cukup memberikan gambaran mengenai persoalan pribumisasi Islam dalam konteks masyarakat Sasak-Lombok. Sepertinya, pribumisasi Islam di Lombok tidak hanya berfokus pada penereimaan ajaran agama semata, tetapi juga mengarah pada upaya untuk menemukan titik temu antara tradisi lokal dan ajaran Islam, tanpa mengorbankan esensi dari keduanya. Dengan demikian, dapatlah dimengerti bahwa agama dan budaya lokal, sejatinya tidak pernah saling menegasi, melainkan saling memperkaya dan membentuk identitas keagamaan yang lebih berakar pada konteks sosial kultural masyarakat setempat. Wallahua’lam!
Bahan Bacaan:
Bizawi, Z. M. (2003). Dialektika Tradisi Kultural: Pijakan Historis dan Antropologis Pribumisasi Islam. Afkar, 33-67.
Maula, M. J. (2019). Islam Berkebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Kaliopak.
Poesponegoro, M. D., & Notosusanto, N. (1984). Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Wahid, A. (2021). Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan. Depok: Desantara.
Wahid, A. (2024). Tuhan Akrab Dengan Mereka. DKI Jakarta: YBAW.
Secara perlahan, cakrawala sejarah Islam semakin luas. Kajian sejarah Islam tidak lagi terbatas pada wilayah dunia Arab-Persia klasik, melainkan juga merambah zona perbatasan seperti dunia Melayu-Jawa. Dimana ratusan juta umat Islam telah mengamalkan agama ini selama berabad-abad. Di kepulauan ini juga kita menemukan jejak para wali pengembara, para raja berdaulat, serta para ulama yang gigih menyebarkan ajaran agama Islam (misalnya dalam kajian mendalam Naquib al-Attas tentang sufi abad ke-16 dalam The Mysticism of Hamzah Fansuri, dan kajian A.L. Khan mengenai ratu-ratu Sumatera dalam Sovereign Women In A Muslim Kingdom: The Sultanahs of Aceh, 1641–1699).
Gambaran lebih komprehensif ditunjukan dalam karya monumental seorang sejarawan besar asal Amerika (1949) M.C Riclefts dalam bukunya Mystic Synthesis In Java: A History of Islamization from the Fourteenth to the early Nineteenth Centuries,. (EastBridge Norwalk, Connecticut, 2006). Dalam Karya ini, Ricklefs menyuguhkan tinjauan komprehensif tentang proses Islamisasi di Jawa. Sejak abad keempat belas hingga awal abad kesembilan belas, serta bagaimana identitas ke-Jawa-an dan Islam menjadi semakin selaras. Pada permulaan, Ricklefs menggambarkan kondisi Jawa pada tahun 1500-an, ketika identitas Islam dan Jawa masih tampak berlapis dan terpecah-pecah.
Pada masa itu, kerajaan Hindu-Budha Majapahit, meskipun ragu untuk sepenuhnya menerima agama baru, tetap mengizinkan pemakaman anggota keluarga kerajaan yang Muslim di sekitar wilayahnya, seperti yang terlihat di kompleks makam Troloyo di Jawa Timur. Bab pertama ini membahas bagaimana masyarakat Jawa secara bertahap mulai mengadopsi dan menerima Islam, seraya memisahkan antara doktrin Islam ortodoks dan pandangan dunia Hindu-Buddha tradisional. Penulisan tersebut mempersiapkan babak baru di Jawa, memungkinkan para penguasa untuk tidak hanya menerima Islam, tetapi juga menjadi pelopor utama Islamisasi di tanah Jawa.
Lalu Sultan Agung menyelaraskan pandangan bahwa menjadi Muslim dan Jawa bukanlah hal yang bertentangan, dan dia berperan sebagai pengharmoni kedua identitas tersebut. Tercatat sebagai raja sufi sepanjang pemerintahannya yang berlangsung tiga puluh tahun (1613-1646), Agung, menurut “seorang Eropa yang mengunjungi istana” (hlm. 32), dilihat sebagai Muslim yang taat. Pada saat yang sama, babad Jawa menampilkan Sultan Agung sebagai sosok yang mengikuti ritual-ritual tradisional, termasuk pernikahan mistik dengan Ratu Kidul (hlm. 35). Pada tahun 1633, Sultan Agung mengunjungi makam seorang sufi di Tembayat, Jawa Tengah, yang wilayahnya sempat menolak kedaulatan Sultan. Kunjungan ini menghasilkan penciptaan kalender baru yang menggabungkan kalender lunar Islam dengan kalender Saka Jawa, suatu langkah simbolis yang menunjukkan sinkretisme identitas Jawa dan Islam. Sultan Agung baru mengadopsi gelar ‘Sultan’ beberapa tahun sebelum wafatnya, tetapi warisannya tetap dikenang sebagai raja ideal yang menjadi panutan bagi raja-raja Jawa berikutnya. Semua itu digambarkan dengan cukup dan baik oleh Ricklefs pada bab kedua dalam buku ini.
Sedangkan dalam bab ketiga, Ricklefs mengeksplorasi pemerintahan Amangkurat I. Penguasa yang dikenal karena kekejamannya itu, membuat para duta Belanda bingung dengan caranya memerintah, di mana “orang tua dibunuh untuk memberi tempat kepada yang muda” (hlm. 55). Amangkurat I, setelah menghadapi upaya kudeta pada tahun 1647, memerintahkan pembunuhan massal terhadap sekitar dua ribu pemimpin agama Islam beserta keluarga mereka. Ricklefs berpendapat bahwa tindakan-tindakan tersebut menggambarkan keadaan mental yang tidak stabil pada diri Amangkurat I, yang bahkan meninggalkan mayat istrinya tanpa dikuburkan sementara membiarkan para pelayan kelaparan hingga mati (hlm. 58). Bab ini juga membahas Perang Saudara antara kaum Muslim dan non-Muslim pada tahun 1670-an, serta hubungan kompleks antara Amangkurat II dan VOC. Amangkurat II dituduh berpihak pada “kafir” Kristen karena dukungan VOC, yang memicu pemberontakan dari kaum Muslim Jawa yang menyerukan jihad terhadapnya.
Selanjutnya Ricklefs menguraikan ketegangan yang terus berlanjut antara kaum elit istana Jawa dan rakyat dalam menghadapi VOC. Pada bab empat ini, digambarkan para bangsawan dan masyarakat luas sepakat bahwa kehidupan yang religius tak mungkin berjalan selaras dengan kedekatan terhadap VOC Belanda (hlm. 72). Setelah kematian Amangkurat II, perselisihan antara Amangkurat III dan pamannya membawa kerajaan Kartasura dalam situasi krisis. Intervensi VOC memperpanjang konflik ini hingga puncaknya pada tahun 1705, ketika Pakubuwana I diangkat sebagai penguasa oleh dukungan VOC. Penerus Pakubuwana I, Amangkurat IV, yang melanjutkan kedekatan kerajaan dengan VOC, dicatat sebagai raja yang paling dibenci, bahkan disebut sebagai “maharaja yang telah ditinggalkan rakyatnya dan memiliki hampir seluruh Jawa sebagai musuhnya” (hlm. 93).
Sementara itu, ibunya, Ratu Pakubuwono, secara rahasia menentang kedekatan tersebut dan diawasi ketat oleh VOC. Peran Ratu Pakubuwana dalam upaya menyelaraskan identitas Jawa dan Islam sangatlah penting. Dalam bab lima ini, sang ratu mencoba membentuk cucunya menjadi seorang raja sufi yang saleh (hlm. 103). Melalui sastra sufi, ia berupaya menyebarkan Islam di kalangan istana. Namun, cita-citanya menjadikan cucunya sebagai Sultan Agung baru ternyata tidak berhasil. “Buku-buku karya Ratu Pakubuwana gagal mencapai tujuannya untuk menjadikan pemerintahan Pakubuwana II ideal” (hlm. 142). Lalu dalam bab enam menguraikan diskusi di Jawa tentang gaya Islam yang ideal untuk diikuti, dan berujung pada identitas sintesis yang menyatakan bahwa menjadi Jawa dan Muslim bukan lagi hal yang saling bertentangan.
Beberapa istilah penting dalam karya ini, seperti ‘Islamisasi’ dan ‘sintesis mistik’, seharusnya didefinisikan secara lebih jelas agar pembaca mendapatkan kejelasan mengenai proses Islamisasi yang dimaksud. Hal ini relevan karena proses tersebut dapat berbeda dengan konsep Islamisasi dalam pemahaman para sarjana Islam kontemporer (lihat Syed Naquib al-Attas Islam and Secularism, Ismail Faruqi Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan, dan Wan Mohd Nor Wan Daud The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas). Kendati demikian, buku ini tetap berhasil menggambarkan proses Islamisasi di Jawa dengan cermat dan mendalam. Bagi para mahasiswa sejarah Jawa dan kajian Islam, Mystic Synthesis karya Ricklefs adalah sumber yang amat berharga untuk memahami perkembangan sejarah Islam di Jawa. Dengan menggunakan manuskrip Jawa yang luas, Ricklefs telah berhasil mengangkat narasi sejarah ini dari sekadar cerita lama orientalis kolonial menjadi kisah yang hidup dan relevan untuk generasi sarjana sejarah yang akan datang.
Sebelum abad ke-20, nenek moyang kita menuliskan sejarah masa lalunya dengan cara menyesuaikannya dengan kondisi sosio-kultural dan teknologi yang berkembang pada saat itu. Jika pada waktu itu yang berkembang adalah penulisan karya sastra, maka tak heran jika mereka merekam sejarah menggunakan medium sastra. Medium yang kita pahami bersama sebagai ruang yang tidak memberikan penekanan penuh pada seluk beluk dan fakta kejadian sebenarnya, tetapi pada bentuk simbol dan makna-makna estetika lainnya.
Dari hasil penelitian Nancy K. Florida, seorang sarjana Amerika yang memfokuskan kajian pada naskah-naskah klasik Jawa, terutama yang ditulis oleh para pujangga Keraton Surakarta, setidaknya dari era Pujangga Yasadipura sampai Ranggawarsita mengungkapkan bahwa, babad-babad itu adalah tulisan sejarah yang dituangkan ke dalam struktur bahasa sastra (syair), dengan mempertimbangkan dimensi perkembangan sosial, kultural, politik dan agama sebagai subject matter-nya, diniatkan sebagai peringatan bagi orang Jawa saat itu, dan ramalan untuk kejadian di masa yang akan datang. Sebab, pujangga-pujangga keraton itu, memandang bahwa tulisan sejarah bukan berarti catatan masa silam, melainkan salinan dari masa lampau, dalam upaya mempersiapkan diri untuk menjangkau kejadian yang akan terjadi di masa yang akan datang.
Nancy mencontohkan argumentasinya ini dengan menunjukkan penulisan Babad Jaka Tingkir. Menurutnya, sejarah yang tertuang dalam Babad Jaka Tingkir, seolah-olah terlepas atau tidak memiliki hubungan langsung dengan peristiwa masa silam yang hendak dikisahkan penulisnya, yakni kisah hidup tokoh Jaka Tingkir. Alih-alih menceritakan kisah hidup tokoh utamanya, Babad Jaka Tingkir justru berisi kisah tentang 7 pahlawan pinggiran, yang ia sebut sebagai 7 tokoh persiapan, yang memungkinkan cerita Jaka Tingkir itu terwujud.
Rekonstruksi penulisan sejarah semacam ini, tentu sangat berbeda dengan wacana penulisan sejarah di masa sekarang, maupun penulisan sejarah dalam perspektif Barat setelah memasuki era “Pencerahan”, yang menghendaki sejarah atau kejadian di masa silam, ditulis dengan menggunakan kerangka ilmiah, disajikan dengan bahasa yang terang, jelas dan representatif. Namun betapapun juga, perbedaan ini menunjukkan kepada kita bahwa makna sejarah tiap-tiap zaman itu ternyata berbeda-beda. Setiap zaman, baik itu masyarakatnya maupun penulisnya menggarap masa lalunya sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Oleh sebab itu, sekiranya penulis sejarah yang baik menurut saya adalah penulis yang mampu memahami kebutuhan narasi sejarah pada zamannya, dan mampu mengurai persoalan keterbacaan sejarah yang ia tulis.
Sejarah Islam yang Terbaca dan Tak Terbaca dalam Babad Lombok
Berdasarkan gambaran singkat mengenai metode penanganan bukti sejarah berupa babad di atas, maka hal terpenting yang perlu diperhatikan oleh para peneliti atau siapa saja peminat kajian sejarah, sebelum melakukan penulisan sejarah adalah memahami betul kedudukan babad itu sebagai sebuah karya sastra, sebagai karya yang tidak berpretensi merekam secara presisi kejadian di masa lampau. Oleh sebab itu, babad mestilah disandingkan atau dikonfrontir dengan bukti-bukti lain yang relevan. Sayangnya, metode analisis sejarah yang menerapkan dialektika pengkajian semacam ini, masih sangat kurang di daerah saya, khususnya penulis sejarah yang mengkaji penyebaran Islam di Lombok. Para penulis sejarah penyebaran Islam di Lombok, cenderung hanya mengutip secara apa adanya, sejarah yang tertuang di babad Lombok saja, yang secara eksplisit menyebutkan aktor utamanya adalah Pangeran Prapen. Sementara, Sunan Giri yang jauh lebih awal berperan dalam syiar Islam ke Wilayah Indonesia Bagian Timur (Lombok), tidak mendapatkan porsi penjelasan yang memadai. Dalam Babad Lombok, Pupuh Dangdang bait ke-12 dan 13 ditulis:
Hana malih putra lor sangaji, kanging ngandel, wiweka digjaya, nama Pangeran Parapen, punika kang hing ngutus, hanglelana hing Lombok Hadi, Samabawa, Bali Blata, nyelami den luhung, yen nana bangga tan narsa den situtur, kalamullah hing hadil, kang sinelir hing kurngan.
Yen tan helem haunting janji, den serangi, lan wacana galak, tatanding helmi kasaten, yen maksih nora haranut, suma pala den lawan jurit, mati kalih ganjaran, haywa ge kundru ….
Adalagi putra sang Sunan, yang menjadi andalan, arif bijaksana sakti, bernama Pangeran Prapen, itulah yang diutus, berlayar ke Lombok Adi, Sumbawa, Bali Blata, mengislamkan agar tinggi suci. Bila ada yang ingkar membangkang, akan wahyu Allah yang adil, yang termaktub dalam Qur’an.
Bila tak mau ikuti titah, terangkanlah, dengan ucapan yang tegas, ajaklah ia mengadu ilmu kesaktian, bila belum mau ikut, apa boleh buat perangilah, bila engkau mati (terbunuh) mendapat ganjaran ….
Dari kutipan Babad Lombok di atas, peran dari Sunan Prapen yang ditugaskan untuk menyebarkan Agama Islam di wilayah Lombok, sangat jelas dan bahkan cukup dominan. Bahkan, kesannya, Sunan Prapen boleh memerangi raja atau masyarakat Lombok yang menolak masuk Islam. Tentu, tidak ada persoalan ketika seseorang terinspirasi oleh babad untuk menulis, tetapi jika tujuannya untuk menulis sejarah, maka pastilah ia mencari tambahan referensi yang lain, sebanyak-banyaknya. Karena, sekali lagi ini berhubungan dengan watak dari babad atau karya sastra yang lebih menekankan pada nilai estetika ketimbang fakta. Jika tidak demikian, maka hal tersebut beresiko membuat tulisan sejarah itu terkesan kurang proporsional, kurang mengakar dan barangkali tidak terkoneksi, sebagai sebuah rangkaian panjang dengan perjalanan sejarah yang lebih luas lagi.
Sunan Giri sebagai Pelopor Penyebar Islam di Pulau Lombok
Terdapat banyak sekali hasil studi sejarah Islam di Jawa, yang mengungkapkan bahwa Sunan Giri adalah sosok wali, bagian dari Wali Songo, yang tergolong paling awal merintis dakwah Islam ke kepulauan wilayah Indonesia Bagian Timur. Mulai dari Bali, Lombok, Sumbawa, Bima, Sulawesi bahkan sampai Maluku. Bahkan jauh sebelum Sunan Prapen. Keterangan tersebut setidaknya didukung oleh 3 alasan, yakni; Keberadaan Ibu angkat Sunan Giri yang berprofesi sebagai pedagang di jalur pelayaran kepulauan Indonesia Bagian Timur; Kedua, Sunan Giri juga membangun pesantren sebagai pusat transmisi pengajaran ilmu agama di daerah Gresik; Dan yang terakhir, posisi sentral Sunan Giri pada era Wali Songo sebagai ulama sekaligus umara (penguasa).
Dakwah yang dilakukan oleh Sunan Giri ke Lombok atau ke wilayah kepulauan Indonesia bagian Timur ini, dimungkinkan karena Sunan Giri dibesarkan oleh seorang janda bernama Nyai Gede Pinatih. Hoesein Djajadiningrat, menyebutkan bahwa Nyai Gede Pinatih adalah seorang janda kaya raya, bersuamikan Koja Mahmud Syahbandar. Ia merupakan salah satu dari anggota keluarga Kerajaan Majapahit yang awal sekali memeluk Agama Islam. Dakwah Sunan Giri ke wilayah Kepulauan Indonesia Bagian Timur diperkirakan dimulai, setelah Sunan Giri pulang dari Malaka (bertemu dan belajar ilmu agama dari ayahnya, Maulana Ishak), ia turut ambil bagian dalam usaha ibu angkatnya, yakni berdagang ke pulau-pulau, Indonesia Bagian Timur. Tentu misi utama Sunan Giri muda, ikut berdagang bukanlah untuk mengejar keuntungan material semata, namun ia ikut berdagang hanya sebagai sarana untuk menyebarkan Agama Islam di wilayah Indonesia Bagian Timur yang termasuk di dalamnya adalah Pulau Lombok.
Kedua, setelah dirasa bahwa syiar Islam melalui jalur perdagangan kurang maksimal, barulah kemudian Sunan Giri membangun pesantren sebagai pusat dakwahnya. Hanya saja jangan dibayangkan bahwa pesantren yang dimaksud di sini, adalah ruang belajar formal yang terlembaga dengan baik seperti umumnya pesantren saat ini. Martin van Bruinessen dalam studinya menyatakan, tidak ada bukti bahwa pada era Wali Sanga sudah ada pesantren dengan pola pengajaran formal seperti pesantren yang kita kenal hari ini. Boleh jadi, pesantren yang dimaksud pada waktu itu adalah, tempat-tempat belajar-mengajar ilmu agama yang dilaksanakan di padepokan, masjid, langgar, dan tempat-tempat lain di sekitar lingkungan kediaman gurunya. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan pesantren yang dimaksud adalah ruang sebagai pusat belajar-mengajar ilmu agama yang menjadi prototipe atau cikal bakal pengembangan pesantren modern saat ini.
Kiranya dapatlah dibayangkan bahwa pesantren yang dibangun oleh Sunan Giri itu ramai didatangi oleh santri-santri, tidak hanya datang dari Jawa saja, namun muridnya sangat mungkin datang dari wilayah Indonesia bagian lain, mengingat Gresik pada waktu itu adalah pelabuhan terbesar yang menjadi pusat persinggahan perdagangan, pelayaran antar pulau. Dan sangat dimungkinkan, bagi masyarakat di gugus kepulauan Indonesia Bagian Timur yang pernah menerima dakwah Sunan Giri itu, datang langsung atau mengutus keluarga kerabatnya untuk memperdalam ilmu agama, seperti yang pernah diterima sebelumnya. Dan pola Pendidikan semacam ini, barangkali adalah suatu hal yang wajar bagi masyarakat di manapun, tidak terkecuali masyarakat Lombok, dari dahulu bahkan hingga saat ini. Sudah menjadi suatu tradisi bagi masyarakat di daerah tertentu mengutus satu atau dua anak yang berpotensi untuk memperdalam ilmu agamanya ke daerah yang kuat tradisi keilmuannya, dengan tujuan jika kelak anak itu berhasil, ia akan diminta pulang untuk mengabdi, membimbing, membangun masyarakat sesuai dengan bidang ilmu yang dikuasainya.
Ketiga, kedudukan Sunan Giri sebagai bagian dari keluarga Kerajaan Majapahit dan sebagai pemimpin agama memungkinkan ia memiliki pengaruh besar dan luas, bukan hanya di daerah Jawa namun ia juga dapat menjangkau atau membentuk jaringan dengan daerah-daerah di luar pulau Jawa, melalui diplomasi politik antar sesama penguasanya. Penemuan bangsal Sri Menganti, Puri Kedaton dan gelar Prabu Satmata, menunjukkan bahwa salah satu anggota Wali Sanga ini, tidak hanya sebagai sosok yang berangkat dari golongan ulama yang berpengaruh saja, namun temuan itu menegaskan bahwa Sunan Giri juga dapat disebut sebagai seorang raja. Sebab, pada waktu itu tidak sembarang orang boleh memiliki bangunan bangsal, puri atau kedaton kecuali ia adalah seorang raja atau keluarga penguasa. Namun jangan dibayangkan bahwa kedaton atau kerajaan Sunan Giri itu, sama persis seperti konsep kerajaan yang dipimpin oleh raja dengan kekuasaan yang sungguh luar biasa besar dan kompleks seperti Majapahit. Kerajaan atau kedaton Sunan Giri itu adalah wilayah bagian dari kekuasaan di bawah Majapahit yang diizinkan mengatur atau mengelola wilayah kekuasaannya sendiri secara independen, karena Sunan Giri memiliki hubungan kekeluargaan dengan Kerajaan Majapahit. Demikian juga halnya dengan gelar Prabu Satmata yang disematkan kepada Sunan Giri, gelar “prabu” bagi orang Jawa adalah gelar kehormatan untuk menyebut “maha raja”, raja yang paling besar pengaruhnya di atas raja-raja kecil lainnya. Sedangkan istilah “satmata” adalah istilah yang diadopsi dari konsep pendewaan pada era Majapahit sebagai simbol dewa-dewa yang menjaga empat atau delapan penjuru mata angin, ditambah satu lagi dewa di tengahnya sebagai pemimpin atau tempat bersemayamnya dewa paling tinggi yakni, Dewa Siwa.
Di sisi lain, ketika Sunan Ampel (Maulana Malik Ibrahim) wafat, pada tahun 1478 Masehi, Sunan Kalijaga atau Raden Said, dalam rapat para wali mengambil inisiatif untuk mengusulkan Sunan Giri sebagai pengganti Sunan Ampel, menjadi penghulu dari para wali Tanah Jawa dan sebagai mufti atau pemimpin muslim di seluruh wilayah Jawa. Kedudukan ganda dan strategis inilah yang membuat Sunan Giri, boleh dibilang sangat besar pengaruhnya, yang memungkinkan ia melakukan dakwah baik melalui jalur ketokohannya sebagai pemimpin para wali Tanah Jawa maupun sebagai seorang raja, melalui jalur diplomasi dengan golongan penguasa baik di daerah Jawa maupun di luar Pulau Jawa. Kedudukan ganda inilah yang disebut oleh orang Jawa dengan istilah “Pandhita-Ratu”, yang bermakna pemimpin agama, rohaniawan (pandhita), sekaligusa raja atau penguasa (ratu).
Dengan posisi strategis inilah, sekiranya kita dapat membuat sebuah analisis mengenai pola transmisi ajaran Islam yang disampaikan oleh Sunan Giri, pola transmisi yang tidak mengandung unsur ancaman dan kekerasan, yakni secara langsung dan tidak langsung,. Pola yang pertama; dapat dipahami sebagai sebuah pola dakwah ketika masyarakat menerima pengajaran langsung dari Sunan Giri. Pola transimisi itu terjadi saat Sunan Giri berdagang ke pulau-pulau Indonesia bagian timur, kesempatan singgah dan berdagang itu dimanfaatkan oleh Sunan Giri untuk mendatangi masyarakat dan menyampaikan syiar Islam secara langsung. Di sisi lain, transmisi dengan cara langsung ini dapat pula dimengerti dengan adanya murid-murid Sunan Giri yang berasal dari berbagai daerah itu, datang untuk belajar ilmu agama langsung kepada Sunan Giri di pesantrennya.
Adapun transmisi ajaran Islam secara tidak langsung yang dilakukan oleh Sunan Giri, sekiranya dapat dibayangkan melalui dua cara, yakni dengan cara mengutus para mubalig ke daerah-daerah lain dan melalui diplomasi politik. Mubalig-mubalig yang diutus itu adalah murid-murid yang digembleng langsung oleh Sunan Giri, kemudian setelah ilmu agamanya dirasa cukup, mereka ditugaskan kembali mengabdi dan menyampaikan Syiar Islam kepada masyarakat di daerahnya masing-masing. Kemudian melalui diplomasi politik dengan para raja atau penguasa-penguasa daerah lain. Moh. Dahlan Mansur mengatakan, bahwa untuk penobatan raja atau sultan baik itu kerajaan di Jawa maupun kesultanan di daerah Maluku, mereka harus datang menghadap ke Sunan Giri terlebih dahulu untuk disahkan. Keterangan lain menyebutkan bahwa, Sunan Giri juga telah mengirim sepucuk surat dakwah ke Hitu (Halmahera) dimana penduduk setempat telah masuk Islam. Konon, kedatangan surat itu disambut dengan baik oleh Masyarakat dengan diselenggarakan sebuah acara penyambutan yang meriah sebagai bukti penerimaan masyarakat akan Islam dan sebagai bukti betapa Sunan Giri adalah ulama sekaligus umara yang memiliki pengaruh dan jasa sangat besar bagi mereka.
Penerus Dakwah Sunan Giri dan Pribumisasi Islam di Lombok
Tidak hanya berhenti sampai di situ, cetak biru kesuksesan dakwah Islam melalui jalur ketokohan Sunan Giri sebagai rohaniawan sekaligus penguasa, sehingga mampu bertahan, kurang lebih selama 200 tahun ini, didukung oleh banyak faktor, namun yang sekiranya penting untuk disinggung dalam kesempatan kali ini adalah faktor keluarga yang meneruskan perjuangan Sunan Giri dan faktor gerakan “Pribumisasi Islam”. Setelah Sunan Giri meninggal dunia pada tahun 1506. Dakwah dan pemerintahan Sunan Giri kemudian dilanjutkan oleh keturunanya, secara berturut-turut oleh; Pangeran Zainal Abidin atau Sunan Dalem (Putra Sunan Giri), kemudian dilanjutkan oleh Sunan Sedamargi (Putra pertama, Pangeran Zainal Abidin), lalu Sunan Giri Prapen (Putra ke-2, Pangeran Zainal Abidin) dan keturunannya yang lain. Dari sinilah, kiranya relevan untuk membicarakan Sunan Giri Prapen sebagai sosok yang memainkan peran, menyebarkan Islam di Lombok. Sebab, dalam catatan-catatan sejarah, pada masa Sunan Prapen lah dakwah Islam ke wilayah Indonesia Bagian Timur, disebut-sebut lebih digencarkan kembali, dan mencapai puncak kesuksesannya. Sunan Prapen, dikatakan menemui puncak kesuksesannya karena selain melakukan perluasan bangunan kedhaton, masjid dan perluasan makam Sunan Giri, ia juga menaikkan intensitas dakwah Islam ke wilayah Indonesia Bagian Timur termasuk di dalamnya adalah Pulau Lombok. Meski demikian, kesuksesan atau kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Sunan Prapen tersebut, keagungan, kemasyhuran dan kewibawaan rohani tetap diberikan kepada Sunan Giri atau Prabu Satmata.
Selanjutnya, istilah pribumisasi dalam konteks penyebaran Islam oleh para wali Tanah Jawa bermakna membenahi seluruh aspek kehidupan masyarakat Jawa. Menurut Nur Kholik Ridwan, pribumisasi Islam membawa pengertian pada gerak yang dilakukan oleh para sufi yang bermazhab Sunni, yang berusaha mempertemukan tradisi lama masyarakat Jawa dengan nilai-nilai Islam (baca: baru), hingga kemudian hasilnya menjadi produk kebudayaan yang kita kenal sampai hari ini sebagai tradisi Islam Jawa. Sebab, tradisi yang dimaksud telah disesuaikan dengan tujuan dan niat keislaman yang dikehendaki oleh para wali. Suatu kaidah ushul fiqh yang dijadikan dasar gerakan pribumisasi Islam oleh para wali adalah, mempertahankan hal lama yang dianggap perlu lagi maslahat, dan membuat hal baru yang bernilai lebih baik di tengah masyarakat lama, secara gradual. Gerakan pribumisasi Islam ini sedemikian kuat dan mengakarnya, sehingga masuk ke dalam semua pranata sosial masyarakat Jawa; mulai dari ritus kelahiran dan kematian, pernikahan, wawasan spiritual, nilai-nilai sastra, nilai-nilai sosial dan tata masyarakat Jawa lainnya.
Sehingga dapat dimengerti, bahwa muatan dakwah atau pribumisasi Islam seperti inilah yang mungkin sampai kepada masyarakat Lombok, mengingat Sunan Giri adalah sosok yang menjadi bagian terpenting dari gerak atau kerja bersama para wali Tanah Jawa itu. Namun, sangat penting untuk memahami bahwa, terdapat pertimbangan-pertimbangan tertentu dan atau penyesuaian-penyesuaian (penambahan atau pengurangan) tertentu terhadap, situasi dan kondisi sosial kultural masyarakat Lombok pada waktu itu, sehingga pribumisasi Islam itu bisa diterima dengan baik. Maka tak heran, jika hari ini kita mewarisi tradisi Islam kultural yang memiliki kemiripan dengan tradisi Islam kultural yang ada di Pulau Jawa. Sebut saja beberapa di antaranya; tradisi nembang membaca takepan (sastra), di bidang bahasa dan budaya, peringatan kematian, tahlilan, maulidan, rowah dan tradisi-tradisi Islam kultural lainnya, yang sangat mirip dengan tradisi Islam yang ada di Jawa.
***
Akhirnya setelah percobaan membuat analisis mengenai sejarah penyebaran Islam di Lombok ini, kiranya saya dapat membuat simpulan, bahwa; Amat sangat penting bagi penulis sejarah untuk memperhatikan kedudukan referensi yang dijadikan pegangan, jika kebetulan sumbernya berupa karya sastra seperti babad, maka keharusan baginya untuk mencari referensi tambahan yang relevan dengan topik atau pokok kajiannya. Mengingat watak dasar dari karya sastra dan karya sejarah cukup jauh berbeda. Jika salah satunya penekanannya pada aspek estetika, sedangkan yang lainnya, penekanannya pada aspek faktualnya.
Selanjutnya, sejarah mengenai masuknya agama Islam telah melewati rentang waktu yang cukup panjang, sementara kejadian di masa lalu tidak mungkin terulang kembali, sama persis. Oleh sebab itu, pada dasarnya penulisan sejarah berarti upaya manusia dengan kemampuan akalnya memikirkan masa lalu, karenanya nilai sejarah sangat bergantung dari sudut pandang penulisnya. Tidak mungkin saya dapat menentukan versi mana yang lebih benar mengenai sejarah masuknya Islam di Pulau Lombok. Tetapi setidaknya saya bisa menyatakan bahwa, tidak mungkin membayangkan Islam, dapat berkembang sebagai agama mayoritas di Pulau Lombok tanpa peranan Sunan Prapen. Dan lebih mustahil lagi membayangkan Islam diterima dengan baik oleh masyarakat Lombok, dengan meminggirkan atau mengesampingkan, peran Sunan Giri dan gerakan pribumisasi Islamnya.
Sumber Bacaan:
Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo. Tangerang Selatan, Pustaka IIMan dan LESBUMI PBNU, 2016.
Anonim, Babad Lombok, (diterjemahkan oleh Lalu Gde Suparman), Jakarta, Proyek Pembinaan Buku sastra Indonesia dan Daerah, 1994.
Bambang Suwondo, Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat, Jakarta, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978.
Irfan Afifi, Saya Jawa dan Islam, Yogyakarta: Tanda Baca, 2019.
M. Ishom El-Saha & Mastuki HS (editor). Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren, Yogyakarta, Diva Pustaka. 2023.
Nancy K. Florida, Menyurat yang Silam Menggurat yang Menjelang: Sejarah Sebagai Nubuat di Jawa Masa Kolonial. Yogyakarta. Mata Bangsa, 2020.
_________ Jawa-Islam di Masa Kolonial; Suluk, santri, dan Pujangga Jawa, Yogyakarta, Buku Langgar, 2020.
Nur Khalik Ridwan, Islam di Jawa Abad XII-XVI Para Wali, Pribumisasi Islam, dan Pergulatan Jati Diri Manusia Jawa. Yogyakarta, Buku Langgar, 2021
Solichin Salam, Sekitar Wali Sanga, Kudus, Menara Kudus, 1960
Umar Hasyim, Sunan Giri: Pemerintahan Ulama di Giri Kedaton, Kudus, Menara Kudus, 1999.
William H. Fredrick, Soeri Soeroto, Pemahaman Sejarah Indonesia: Sebelum dan Sesudah Revolusi. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia. 1984.
“Yang fana adalah waktu. Kita Abadi:”
(Sapardi Djoko Damono, “Yang Fana adalah Waktu”)
THE Photograph (2007)[1]adalah film yang menghidupkan fotografi. Tetapi tidak seperti A Great Day in Harlem (1994)—film dokumenter Jean Bach yang berangkat dari foto jepretan Art Kane pada musim panas 1958 di Harlem, New York; film berdurasi 103 menit ini hanyalah menciptakan (baca: mereka) karya-karya fotografinya sendiri demi kebutuhan sinematografi yang seyogianya merupakan kelanjutan dari seni fotografi.
Adegannya dibuka dengan terpentangnya pintu sebuah rumah besar Hoakiau[2], menampakkan tembok kusam di sisi dalamnya yang dipenuhi oleh gantungan foto-foto hitam-putih terpigura yang tak kalah kusam: menguning dan penuh bercak.
Dan seiring terbukanya pintu, kamera pun bergerak perlahan mendekati dinding penuh foto itu, lalu mendadak berganti jadi close-up shot yang terfokus pada potret seorang lelaki Tionghoa sedang duduk di samping kamera besar berkaki tiga. Sebuah foto yang telah dimakan usia sebagaimana terlihat bukan hanya dari kondisi fisiknya saja, tetapi juga dari pigura yang membingkainya dan tulisan hànyŭ merah di atas kacanya yang buram berdebu.
Nama hànyŭ maupun alfabet latin (dalam ejaan Hokkien) lelaki dalam potret itu sudah (nyaris) tak terbaca, begitu pula dengan tahun masa hidupnya yang tercantum di bawah nama. Tetapi pada foto-foto berikutnya yang tertangkapoleh pergerakan kamera, nama dan angka yang tertera di atas potret sosok-sosok lelaki lain dengan pose serupa masihlah terbaca cukup jelas: 陳添來 – Tan Tham Lay[3] – 1895-1957 dan 陳連輝 – Tan Lian Hoei[4] – 1914-1965.
Jelas, ketiga sosok lelaki dalam foto-foto tua itu tak lain merupakan buyut, kakek, dan ayah dari karakter utama film ini yang diperankan oleh aktor Tionghoa Singapura Lim Kay Tong (林祺堂)[5], yakni 陳漢裕 – Tan Han Xi[6]/ Johan Tanujaya – 1956-[…]. Nama tokoh utama tersebut—dengan jenis huruf hànyŭ dan alfabet latin, juga warna yang sama—tampak tertulis pula di atas kaca pigura kosong yang perlahan digantungnya sendiri di sisi potret buyut-kakek-ayahnya setelah ia mencopot dua lembar dari sekian banyak foto tua hitam-putih ukuran 4R yang digantung dengan jepitan kayu di tembok.
Dalam gaze shot ini, kamera membidik secara dekat wajahnya yang dipantulkan kaca pigura kosong itu: wajah tua seorang lelaki Tionghoa dari golongan menengah ke bawah yang terlihat sudah lelah oleh kegetiran hidup, di mana sepasang matanya tengah menatap wajahnya sendiri di permukaan kaca dengan tatapan sayu. Momen screenplay opening ini juga disertai oleh monolog voice over suara Shanty yang memerankan tokoh Sita, seorang perempuan Jawa dari desa yang berprofesi sebagai penyanyi di bar karaoke dan sesekali sebagai pekerja seks komersial:
“Pada saat kita merenungkan masa lalu, akan ada saat-saat yang mengubah kita, diri kita, hidup kita, agar dapat melangkah lebih pasti ke depan. Ini sebuah cerita tentang seorang manusia yang telah menyentuh hidup ini, menyentuh saya.”
Dari monolog voice over itulah kita segera sadar bahwa Sita sesungguhnya adalah character-narrator dalam film ini, sehingga dengan demikian The Photograph boleh dibilang film dengan cerita berfokal internal yang—dalam kajian sastra—dikategorikan sebagai homodiegetic, di mana narator adalah seorang tokoh sentral yang berada dalam cerita.[7]
Adegan pembuka masih berlanjut dengan bidikan kamerayang berpindah ke frame tangan Johan Tan yang sedang membersihkan meja dari botol-botol obat dan membereskan kertas-kertas berserakan yang di antaranya bertuliskan “Asisten fotografi dicari dengan cepat”. Lalu segera bertukar dengan adegannya sedang memegang dupa dan menyusul sang tokoh utama diperlihatkan membuka sebuah peti kayu di bawah meja sembahyang, yang di dalamnya berisi lensa kamera tua, bungkusan kain, setelan jas terlipat rapi, dan sebuah kotak besi terkunci.
Dalam kotak besi terkunci yang dibukanya inilah kita kemudian menemukan foto-foto tua. Tiga lembar di antaranya dikeluarkan Johan untuk diletakkan di altar sembahyang keluarganya, yaitu foto rel kereta api, pemandangan pelabuhan, dan sebuah kamera tua tegak di samping kursi kosong dalam studio—yang mana ternyata juga tertempel di sisi pigura kosong yang baru digantung.
Tentu saja dalam momen ini kita belumlah memahami apa makna ketiga lembar foto itu bagi Johan yang memandangnya dengan nanar disertai gumam “saya akan mulai mati hari ini”. Namun dari perlakuan tokoh terhadap ketiga lembar foto, toh dengan gamblang kita dapat menduga bahwa obyek-obyek foto tersebut memang bukan sembarangan obyek, tetapi merupakan sesuatu yang amat bernilai bagi sang tokoh. Foto-foto Johan itu pun serta merta mengingatkan saya pada obsesi tokoh Antonio Paraggi memotret ketidakhadiran Bice sang kekasih yang pergi meninggalkannya dalam cerpen “Petualangan Seorang Fotografer” karya Italo Calvino, dengan obyek-obyek foto berupa asbak penuh puntung, tempat tidur berantakan, noda lembab di dinding, atau sudut ruangan yang sama sekali kosong.[8]
Berharganya foto-foto tua Johan beserta semua benda yang tersimpan dalam peti kayunya di bawah altar sembahyang itu, tampak semakin terang ketika pada satu adegan di pertengahan film, Johan dengan tegas melarang Sita yang hendak mengepel lantai menyentuh peti tersebut. Bahkan saking pentingnya ketiga lembar foto itu, dapat dikatakan bahwa jalan cerita film besutan Nan Achnas ini tak lain adalah sebuah perjalanan untuk menyibak rahasia hidup sang tokoh utama yang direpresentasikan oleh karya fotografi.
Dengan demikian The Photograph bukan saja dimulai dengan memperkenalkan kita kepada sang protagonis, tetapi juga pada hal-hal krusial yang langsung menukik ke jantung konflik cerita film—yang pada awalnya secara sepintas barangkali tampak sederhana, remeh, dan berpotensi luput dari konsentrasi kita tetapi sebenarnya begitu konkret sebagai obyek-obyek yang dibebani makna. Termasuk juga di sini potret-potret diri Sita dan putrinya, Yani, yang berulangkali diperlihatkan kepada kita sejak adegan perempuan itu mengemas barang untuk pindah dari rumah Rossi (Indy Barends) ke Roemah Photo Tan.
Karena itu tak bisa tidak, film ini menuntut kejelian mata penonton untuk menangkap berbagai detail kecil pada properti, seakan-akan memang tak ada bagian yang tidak berarti atau diletakkan sekadar untuk memenuhi setting. Dan keseriusan menangkap detail ini bukan hanya terkait dengan perihal foto atau yang berhubungan dengannya, melainkan juga menyangkut lanskap interior dan eksterior, bahkan seluruh mise-en-scene yang didominasi oleh cahaya redup dan warna suram untuk mendeksripsikan kemurungan hidup tokoh-tokohnya.
Perhatikan saja keadaan ruang depan Roemah Photo Tan[9] yang ditempati oleh seorang tukang wayang potehi (poo tay hie) bernama Tho Teng Be dan tukang servis jam “Eka Jaya Watch” saat Sita pertama kali tiba contohnya. Di antara orang-orang sedang membaca koran dan seorang nenek bersembahyang di depan altar, jika teliti kita bisa melihat adanya gambar Dewa Kwan Kong[10] yang menghitam di tembok pertanda tuanya gambar tersebut. Studio milik Johan juga di-set secara saksama sehingga memperlihatkan sebuah model studio foto yang barangkali telah menjadi memori kolektif orang Indonesia hingga tahun 90an dengan ragam lukisan pemandangan sebagai background-nya.
Begitu pula kondisi kamar loteng Sita yang begitu jorok dengan sampah kertas dan kantong plastik berserakan secara alami, atau betapa kotor berdebunya kain latar studio berupa lukisan Tembok Besar China yang dibersihkan oleh Johan dan Sita, dan terutama bekas-bekas gantungan pigura foto pada tembok di tepi jalan tempat Johan saban pagi mangkal sebagai tukang foto; di mana bekas-bekas itu bukan saja mengesankan suatu hal yang telah berlangsung lama, namun juga dapat dipergunakan untuk mengulang rutinitas serupa setiap saat ketika setiap pigura mesti digantungkan kembali pada tempatnya sediakala—layaknya momen-momen hidup yang seakan dapat diulang pada saat kita memandang sebuah foto.
***
“FOTOGRAFI adalah cara memenjarakan realitas. Seseorang tak dapat memiliki realitas, seseorang dapat memiliki gambar—seseorang tidak dapat memiliki masa kini tetapi seseorang dapat memiliki masa lalu,”[11] demikian tulis Susan Sontag dalam bukunya On Photograph (1977).
Selama sekian dasawarsa setelah Joseph Nicepore Niepce berhasil memproyeksikan Point de vue du Gras pada 1816 yang dianggap sebagai karya fotografi pertama berupa gambaran kabur atap-atap rumah pada sebuah lempengan campuran timah yang dipekakan,[12] manusia mengira bahwa mereka telah melangkah lebih jauh dari seni lukis realis dalam usaha untuk mengawetkan momen. Sejak itulah teknologi kamera terus mengalami perkembangan dari masa ke masa hingga yang kita kenal sekarang. Namun apakah waktu memang sungguh-sungguh dapat dikerangkeng dalam selembar potret? Apakah manusia, benda-benda, dan peristiwa yang berhasrat kekal seyogianya bisa dibekukan dalam proses kiamiwi di kamar gelap atau cetak digital?
Nirwan Ahmad Arsuka dalam sebuah esainya tentang fotografi pernah mengingatkan kita akan sifat waktu ini dengan mencontohkan mitologi Batara Kala sang penimpa bala dan Dewa Kronos yang selalu menelan apa saja yang dilahirkannya. Menurut Arsuka, ada tiga aspek fisis waktu yang tercerap indra manusia. Pertama, waktu selalu mengalir, tak terbendung. Kedua, waktu hanya bergerak asimetris, selalu mengarah ke depan. Dan ketiga, aliran waktu akhirnya menelan dan menghancurkan apa saja yang ditempuhnya.[13] Karena itu pula dalam sejarah kita kenal mumi yang tersimpan dalam piramida penuh labirin yang dibuat untuk menahan dan menyesatkan instruksi waktu yang tak kenal ampun. Juga para prajurit terakota yang dibangun untuk menjaga makam Shih Huangdi, setelah sang kaisar sia-sia melawan usia dengan ramuan herbal dan alkimia.
Kekuatan teknologi kamera adalah kemampuannya yang seolah mampu menghentikan waktu. Dalam citra yang diabadikan oleh kamera, waktu seperti tampak membeku untuk selama-lamanya, juga apa pun yang berada di dalamnya: diri kita, pakaian yang kita kenakan, ruangan, dan cahaya ketika itu.
Sehingga—mengutip Arsuka—terhamparlah kenyataan obyektif yang bisa menyedot. Seakan aliran waktu yang selalu asimestris, bergerak ke depan itu, dapat ditaklukkan oleh kamera. Pada selembar foto, waktu seakan bergerak mundur ke masa silam tatkala kita melihatnya pada masa kini seraya membalik sekaligus mempertegas hukum kausalitas. Kemampuan mengendalikan arah dan kecepatan gerak waktu—mempercepat atau memperlambatnya—adalah penaklukan kedua kamera atas waktu.[14] Dengan begitu, realitas dalam fotografi pun bisa diandaikan sebagai “sesuatu yang kelak retak dan kita membikinnya abadi”.[15] Dalam waktu yang fana, dalam temporalitas, realitas senantiasa berubah. Karena itu memotret adalah upaya untuk mengabadikan kenyataan yang selalu saja retak akibat kefanaan sang waktu. Seperti diungkapkan Seno Gumira Ajidarma:
Setiap kali kita memandang sebuah foto, tentu momen dalam foto itu telah menjadi masa lalu. Namun sebuah foto selalu kontemporer, selalu berada di masa kini, karena sebuah foto berada dalam kekinian pemandangnya. Yang retak itu kita bikin abadi. Keabadian itu bukan suatu kebekuan, melainkan fiksasi, kehidupan itu tidak ke mana-mana, selalu terhidupkan kembali oleh pemandangan kepada citra foto tersebut. [16]
Sebab itu pula, apa yang terekam hanyalah separuh ilusi. Waktu, kita tahu, tidaklah pernah sungguh-sungguh dibekukan dalam sebuah foto tetapi hanya tampak seperti itu. Sebab pada dasarnya citra fotografis adalah irisan tipis dari realitas yang begitu besar dan kompleks. Selembar foto mungkin saja menjadi representasi realitas, namun sebagai citra ia tetaplah bukan realitas itu sendiri.
Maka fotografi, kata Seno lagi, adalah kalacitra, gambaran waktu. Sebuah foto hanya berusaha menangkap waktu, mencoba membekukan dan mengekalkannya, namun yang tertangkap hanyalah citra dari sebuah pemandangan di depan kamera. Waktu (yang sesungguhnya) selalu berada di luar foto-foto itu. Bahkan foto-foto tak lain hanyalah prasangka naif dalam ketidakberdayaan kita menghadapi laju waktu yang merusak dan terus meninggalkan manusia, benda-benda, dan peristiwa.
Oleh sebab itu fotografi juga cenderung terancam oleh keterbatasan informasi, tak mampu memberikan informasi memadai atas apa yang terjadi sebelum dan sesudah pemotretan. Bahkan tak jarang, menyuguhkan informasi menyesatkan.
Menurut Roland Barthes: Citra fotografi pada dasarnya adalah analogon sempurna dari kenyataan, a message without a code yang secara literal memustahilkan deskripsi, tapi secara paradoksal menjadi dasar dari pembentukan pesan mengandung kode yang pembacaannya sangat tergantung pada sejarah dan pengetahuan orang yang memandangnya.[17] Itulah kenapa makna sebuah foto ditentukan oleh pemandangnya, ketika disebut bahwa bagi orang lain foto-foto itu tak berjiwa.[18]
Tak heran apabila ketiga lembar foto Johan dalam film The Photograph tidaklah dipahami Sita dan orang lain yang tak memahami konteks sejarahnya; tak berarti apa-apa selain hanya menerbitkan penasaran. Mereka hanyalah bermakna sebagai “salinan realitas” bagi diri Johan pribadi sebagai pemilik sekaligus pemotretnya. Di sinilah letak sakralitas foto lama itu.
Dalam tradisi Tionghoa, foto sebagai representasi (sebelum foto ada, digunakan lukisan atau nama) memang sudah menjadi hal umum. Foto-foto itu—sebagaimana yang juga diperlihatkan dalam The Photograph (berupa foto anak-istri dan orang tua Johan)—lazim diletakkan di altar sembahyang sebagai pengganti orang-orang yang sudah mati.
Ya, foto menjadi sakral lantaran konteks waktu bukan karena mengulur usia manusia, meskipun cuma seakan-seakan atau secara ilusif. Lantaran kemampuannya mengada dalam waktu. [19]
***
SITA dan Johan adalah dua orang berbeda generasi, berbeda etnis, dan berbeda jenis kelamin yang dipersatukan oleh nasib: kegetiran hidup yang muram.
Pada Sita, kegetiran itu berupa kemiskinan. Sebagai seorang single mom yang mesti meninggalkan desanya untuk bekerja jadi penyanyi karaoke dan pekerja seks di kota, ia bukan hanya mesti menghidupi anaknya tetapi juga mencari biaya pengobatan untuk neneknya yang sakit. Karena itu cita-citanya adalah bisa membawa anak dan neneknya hidup bersamanya. Namun itu sungguh tak mudah lantaran ia juga terjerat hutang pada seorang germo bernama Suroso (Lukman Sardi) yang dulu membawanya ke kota, yang setiap saat mengancamnya akan membeberkan kepada anak dan neneknya serta orang-orang desa apa pekerjaannya di kota:
Sita sendiri selalu mengaku kepada nenek dan anaknya, juga Pak Rohim tetangganya yang menjadi tempat ia menelepon Yani, bahwa dirinya punya “pekerjaan baik-baik” di kota sebagai buruh di pabrik garmen. Karena itu secara rutin ia pun mengirimkan foto-foto dirinya dalam pose ceria mengenakan pakaian-pakaian modis yang dipinjamnya dari Rossi yang berprofesi sebagai penjahit. Semua foto itu, termasuk yang sejak awal diperlihatkan kepada kita, merupakan foto-foto yang dijepret di Roemah Photo Tan (tempat ia mengenal Johan). Ya, sampai di sinilah kita jadi tahu betapa pentingnya foto-foto itu bagi diri Sita. Sebab lewat foto-foto itulah ia seakan bisa menampilkan “dirinya yang lain” yang ia ingin orang lain lihat, terutama anaknya.
Tetapi tidaklah dalam semua foto ia ternyata sanggup “berakting” ceria. Pada selembar dari dua potretnya yang dicuci oleh Johan suatu kali tampaklah wajah aslinya yang sedih dan murung dengan mata sembab. Toh, seperti kata Johan, itulah salah satu esensi fotografi: “Foto bisa jujur, bisa menipu. Terserah mau pajang yang mana, dan yang mana yang mau disimpan.” Sehingga dalam hal ini kita pun kembali mempertanyakan apakah potret benar-benar dapat diterima sebagai representasi realitas atau seyogianya ia hanya sebuah salinan palsu?
Tetapi kejujuran wajahnya yang terekam kamera Johan itulah yang kemudian membuat Sita mencoba menanggalkan topeng yang selama ini ia kenakan (demi melindungi nama baik diri dan keluarganya) dengan mengaku di depan cermin: “Namaku Sariah, bukan Sita.” Bahkan pada akhir film, akhirnya ia membakar semua “potret bertopeng keceriaan”-nya itu bersama foto-foto tua Johan yang sudah meninggal.
Johan sendiri memiliki kegetiran hidup yang berbeda, sebagaimana yang terungkap lapis demi lapis sepanjang alur film ini. Sebelum kenal lebih dekat dengan Johan, Sita seperti Rossi dan orang-orang lain, hanya memandangnya sebagai lelaki tua aneh yang cuma bicara seperlunya, tak mau bertatapan, dan setiap pagi melakukan rutinitas membakar dupa dengan sesajen buah-buahan di atas rel kereta. Selain suka mengintip aktivitas Johan membuka peti besarnya saban malam dari celah papan kamar lotengnya, Sita juga beberapa kali tanpa segan memakan apel sesajen lelaki itu.
Barulah setelah pada suatu hari fotografer itu menyelamatkannya dari tangan Suroso yang membuat hubungan mereka jadi lebih dekat oleh rasa empati masing-masing, perlahan Sita mulai mengenal sosok Johan lebih jauh dan berusaha memahami lelaki tua itu. Sampai akhirnya sedikit demi sedikit ia pun mengetahui rahasia hidup Johan dan apa makna ketiga lembar foto di altar sembahyang yang tersangkut erat pada masa silam si tukang foto.
Perbedaan antara Sita dan Johan yang cukup kentara adalah apabila Johan seolah terperangkap dalam foto-foto masa silam; foto-foto Sita adalah masa depan lebih baik, sekali pun itu masih berupa harapan temporary yang diwujudkan secara manipulatif lewat pose dibuat-buat. Dan hal ini dengan tegas pernah dinyatakan Sita di hadapan Johan yang sedang membakar dupa untuk arwah anak-istrinya: “Aku melihat ke depan, Pak. Bukan ke masa lalu seperti Bapak. Aku mesti jaga nenekku, mesti jaga anakku. Yang hidup yang penting, Pak. Bukan yang mati.”
Tetapi apakah hidup Johan memang hanya melulu tertoleh ke masa lalu? Ketiga lembar foto di atas altar memang mengisyaratkan demikian: sebuah sakralitas masa silam pada potongan-potongan kertas yang menguning secara emosional. Namun sebagaimana Sita, kita akhirnya tahu betapa keramatnya ketiga lembar foto itu untuk Johan, yang mengikat hidupnya penuh seluruh dalam aktivitas penghidupannya sebagai fotografer, tanpa ia berdaya menolak. Dalam perkara inilah, Johan seolah tak kunjung beranjak, tak mampu beranjak, bahkan tak ingin beranjak dari masa lalu yang tercetak di atas foto. Usianya kian menua, masa berganti, tetapi waktu tetap saja (seakan) membeku dalam momen-momen tertentu yang terus menghantuinya dengan rasa bersalah: “Saya tidak pernah melakukan apa pun dalam hidup saya yang berarti.”
Sehingga di sini—di luar tuntutan tradisi China untuk mengenang mereka yang sudah tak ada—kata Seno, “yang sakral bukan cuma potret saja, tetapi juga yang lama”.[20]
Meskipun orang-orang seperti Rossi sedikit-banyak sebetulnya sudah tahu peristiwa seperti apa yang dialami Johan sehingga ia dianggap aneh, tetapi semua itu barulah benar-benar terungkap pada penghujung film ketika lelaki tua itu akhirnya berkenan membagi “duka abadinya” kepada Sita dengan menunjukkan seluruh isi peti kayunya yang penuh rahasia: Istri dan anak laki-lakinya mati tertabrak kereta api pada hari ketika ia memutuskan untuk menolak meneruskan profesi fotografer yang turun-temurun dalam keluarganya demi mewujudkan cita-citanya bepergian jauh, kembali ke China. Sebuah cita-cita yang kandas baginya bukan saja karena sebagai generasi keempat dari keluarga tukang foto ia telah berjanji untuk menjadi seorang penerus, namun tampaknya juga karena sebagai seorang lelaki Tionghoa ia memikul kewajiban untuk melanjutkan xing (marga) keluarganya dengan menikah.
Karena itu foto rel tempat anak-istrinya mati tertabrak (atau menabrakan diri pada) kereta api yang ditumpanginya menuju pelabuhan pun berlaku seperti mesin waktu bagi Johan: kapan saja ia memandang foto itu, ia seperti kembali ke momen paling menyakitkan dalam hidupnya. Walaupun bukan hanya foto itu saja yang dimiliki oleh Johan, tetapi juga foto-foto lainnya yang lebih mengiriskan dan mengerikan—yang selama ini tersimpan rapat dalam kotak besi terkunci dalam peti kayunya—yakni foto-foto potongan tubuh anak-istrinya.
Saya yang memotret ini. Saya ada, pada hari itu. Pagi itu, saya beri tahu Selly saya akan meninggalkan mereka. Saya benci semua dalam hidup saya. Saya benci menjadi penerus warisan keluarga. Benci menjadi orang yang menurut. Dan saya katakan ke Selly kalau saya tidak cinta dia. Saya tidak pernah cinta dia. Saya katakan semuanya pada hari itu.
Sejak tragedi itulah ia tak pernah lagi naik kereta api, tak pernah pergi ke pelabuhan yang ia rindukan; yang mestinya menjadi tempat ia bertolak meninggalkan semua hal yang tak ia sukai pada masa muda. Setidaknya sampai suatu hari ketika Sita bersedia menemaninya naik kereta pergi ke pelabuhan untuk terakhir kali dalam hidupnya.
Di sinilah kemudian terungkap makna foto kedua: pemandangan pelabuhan tempat di mana “Kapal-kapal dari China ada di sini. Saya ingat saya hampir jatuh waktu turun”, sebuah foto yang menjadi muasal kegetiran hidupnya, membuat ia merasa menjadi lelaki durhaka yang lalai pada tanggungjawab terhadap keluarga. Dan dalam foto pelabuhan ini seakan-akan tersimpanlah masa depan yang telah lama menjadi masa silam: sebuah past future continuous.
Namun foto ketiga (kamera yang tegak di sisi kursi kosong dalam studio) semestinya merupakan hal dari masa silam yang belum selesai. Karena hingga menjelang akhir hayatnya (yang telah sakit-sakitan), Johan belum juga berhasil mendapatkan pengganti untuk meneruskan profesi warisan keluarganya. Kendati ia telah menyebarkan dan menempel selebaran di mana-mana, tetapi yang datang melamar jadi fotografer magang hanyalah orang-orang tak berkompeten yang bahkan tidak paham cara memotret. Bahkan satu-satunya orang (pecatan tentara) yang akhirnya ia terima, ternyata memiliki kelainan mata.
Apabila foto pertama Johan merupakan foto menangkap kematian (dan membalsemnya), foto ketiga ini seolah-olah hendak menunda kematian. Yang sekilas-pintas mirip dengan apa yang hendak diutarakan oleh Goenawan Mohamad lewat puisi “Buat H.J. dan PG”, yakni tatkala sebuah foto lama diajukan seorang lelaki tua kepada malaikat maut (yang hanya tertawa) untuk menunda ajalnya lantaran anaknya akan tiba terlambat dari rumahnya yang jauh. Sebuah foto yang demikian sakral karena di sanalah berada “tempat yang kita kenal” dengan “saat-saat yang tak pernah baka”. Namun kita pun mafhum bahwa tak seorang pun bisa menunda kedatangan malaikat maut. Dalam kuasa waktu, kematian adalah sebuah keniscayaan.
Terungkap juga di sini ternyata Johan tak memiliki selembar pun potret dirinya sendiri. Sebab dalam keyakinan dan tradisi keluarganya turun-temurun, hanyalah seorang fotografer pengganti yang boleh memotret dirinya. Syarat lainnya, pengganti itu haruslah laki-laki. Karena itu, walaupun Sita tampak tertarik pada dunia fotografi, ia tetap saja tak diijinkan Johan untuk menjepret dirinya (karena bisa sial) dan menyentuh kameranya. Hal ini berarti Johan akan mati sebagai lelaki gagal yang tak mampu memenuhi janji bahkan sumpahnya kepada leluhurnya untuk menemukan penerus profesi keluarga. Profesi yang dulu ia tolak sehingga mendatangkan kesialan berupa kematian tragis anak-istrinya. Dan ini merupakan kegagalan keduanya (yang bakal mengakibatkan arwahnya kelak tak akan bertemu dengan keluarganya di akhirat) setelah ia gagal memenuhi janjinya untuk menjadi anak yang baik, suami yang baik, dan ayah yang baik. Itu sebabnya Johan merasa “Belum siap untuk pergi. Belum selesai tugas-tugas saya. Belum sekarang.”
The Photograph bukanlah kisah atau kajian yang “menggugat fotografi” seperti cerpen Italo Calvino “Petualangan Seorang Fotografer” dan buku On Photograph karya Susan Sontag, maupun film yang mempertanyakannya seperti Blow-Up (1966) karya Michelangelo Antonioni yang sempat dibicarakan Seno. Namun demikian kita pun seakan menemukan adanya semacam keserupaan yang tak sama antara Johan dan karakter Antonio Paraggi. Di mana keduanya adalah orang yang berkonfrontasi dengan fotografi.
Hanya saja, jika Antonio yang bukan seorang fotografer memotret sembari terus-menerus meralat kesimpulannya perihal fotografi demi membangun polemik “antifotografi”-nya, Johan adalah orang yang menjalani profesi itu dalam keterpaksaan dan penyesalan. Tetapi begitu, toh keduanya tampak begitu sungguh-sungguh melakoninya. Hal ini terlihat misalnya dari rasa penasaran Sita setiapkali Johan mengambil foto para pelanggan yang tak cukup hanya dengan sekali jepret saja tetapi mesti berkali-kali agar menghasilkan foto terbaik, meskipun hal itu terkesan memboroskan negatif film. Sementara Antonio akhirnya menyadari bahwa memotret yang ia tinggalkan adalah jalan sesungguhnya yang secara tidak jelas telah dicarinya selama ini.
***
“APA yang mendorong kalian untuk memotong kontinum aktif hari ini menjadi bagian-bagian temporal, ketebalan dari satu detik?” tanya Antonio Paraggi dalam ceramahnya tentang fotografi kepada Bice dan Lydia yang memintanya menjepret adegan mereka sedang bermain bola di pantai. “Dengan melemparkan bola itu ke sana-kemari, kalian hidup saat ini, tetapi ketika pandangan pada bingkai disisipkan di antara tindakan kalian, bukan lagi kesenangan dalam permainan bola itu yang memotivasi kalian, melainkan keinginan untuk melihat diri kalian lagi di waktu mendatang, keinginan untuk menemukan kembali diri kalian dua puluh tahun kemudian,”[21] begitulah ia menarik analisa yang menegaskan kembali temporalitas foto sebagai representasi realitas termaknakan.
Sebuah foto tak ada untuk dan demi momen yang direkamnya saja, tetapi kepada siapa pun yang akan memandangnya di masa depan. Memotret itu mengambil dan menciptakan kembali sebuah dunia, yang hanya dimungkinkan oleh temporalitasnya, sebuah foto ada lantaran waktu membuatnya terus-menerus ada.[22] Apa yang direpresentasikan sebuah foto hanya pernah ada, tetapi tak akan pernah selesai digambarkan seperti apa.[23]
Pada Johan, masa lalu yang tragis seolah-olah terbekukan dalam foto rel kereta yang menelan nyawa anak-istrinya. Namun bukan foto itu saja yang menjadi representasi rasa sakit dan penyesalan kekalnya yang ia jadikan sebagai pengingat kesalahan dirinya yang tak termaafkan, melainkan juga foto pelabuhan yang mewakili cita-citanya yang tak pernah terwujudkan dan foto kamera dengan kursi kosong yang mewakili pengharapannya untuk menebus dosa pada leluhur. Ketiga foto itu tak bisa dipisahkan, tetapi membentuk semacam kausalitas berkesinambungan secara bolak-balik: tanpa foto pelabuhan tak bakal ada foto rel kematian, dan tanpa janji kepada luluhur (foto kamera dengan kursi kosong) maka tak perlu ada foto pelabuhan idaman dan foto rel tragedi.
Kita (yang menonton film ini) tahu bahwa pada suatu malam menjelang detik-detik penghabisan hidupnya, Johan yang akhirnya menyerah pada kegagalannya menemukan seorang lelaki penerus profesi keluarganya itu pun mengenakan setelan jas terbaiknya yang selama ini tersimpan dalam peti dan meminta Sita untuk memotretnya. Apakah dengan demikian berarti ia akhirnya merestui Sita sebagai penggantinya?
Sayangnya, sebelum Sita berhasil menarik tuas kamera tuanya, Johan sudah keburu menghembuskan nafas terakhirnya di kursi. Sehingga jika buyut-kakek-ayahnya dijepret oleh para penerus masing-masing dengan penuh kebanggaan di samping kamera, satu-satunya potret diri Johan tak lain adalah sebuah post mortem photography. Meskipun Sita juga memotret dirinya bersama mayat lelaki yang abu jenazahnya kemudian ia tebarkan ke laut itu sambil menangis.
Foto terbingkai dalam pigura bertuliskan nama Johan yang bertahun-tahun tergantung kosong di Roemah Photo Tan inilah yang ditampakkan kepada kita sebagai penutup film disertai bergantinya suara narator dari Sita ke Yani (yang tak pernah hadir secara langsung dalam film): “Saya Yani, dan ini cerita ibu saya. Potret ini membawa Ibu dan saya untuk terus menjalani kehidupan dengan sebaik-baiknya. Kehidupan yang tertangkap pada dinding-dinding kenangan.”
***
SAYA kira The Photograph bukan hanya film terbaik Indonesia tentang fotografi, yang mencoba mengantar kita untuk memahami kompleksitas manusia dalam memaknai eksistensinya dalam waktu, tetapi juga salah satu film terbaik dalam upaya memahami Tionghoa—khususnya Hoakiau di Indonesia. Setidaknya film ini memang dibuat dengan pengetahuan tentang Tionghoa (identitas dan nama-nama, detail budaya-tradisi, sejarah, serta bahasa-aksara) yang jauh lebih memadai. Bukan dengan pandangan stereotipterhadapnya seperti yang kerap kita temukan dalam segelintir film Indonesia.
Karena itu di luar perkara keampuhan akting dan jam terbang Lim Kay Tong, pilihan untuk memasang aktor Tionghoa-Singapura yang berdarah Tionghoa asli, besar dalam komunitas Tionghoa, dan tak fasih berbahasa Indonesia seperti segelintir kaum Hoakiau Indonesia di daerah tertentu[24] ini sebagai pemeran Johan Tanujaya, saya rasa juga merupakan sebuah pilihan yang tepat demi mendapatkan potret yang lebih utuh dan realis.
Kekurangan film ini menurut saya adalah ia tidak berusaha menggunakan narasi sosial-politik untuk membangun latarnya. Padahal peristiwa kembalinya ratusan ribu Hoakiau dari berbagai daerah di Indonesia ke China Daratan pada tahun 1960-an akibat pemberlakuan PP 10/1959[25] misalnya, bisa saja menjadi latar yang kuat untuk menopang alasan logis Johan muda ingin kembali ke China. Bukan hanya sekadar hasrat seorang muda hendak memberontak terhadap kewajibannya menjadi penerus warisan keluarga yang tampak rada remeh. PP 10/1959 adalah sebuah potret diskriminasi rasial terhadap Tionghoa di Indonesia yang tak boleh kita lupakan begitu saja untuk merajut masa depan Indonesia.[]
.
[1] Film ini saya tonton ulang melalui platform Netflix pada Agustus 2024; ditonton pertama kali 6 Juni 2008 di Kompleks Sarkema, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta dalam bedah film “The Photograph” oleh Aparatur Temu Wicara KMSI 2008.
[2] Hoakiau (Mandarin: Huaqiao) artinya Tionghoa Perantauan (Overseas Chinese). Istilah ini awalnya dipakai untuk merujuk semua orang Tionghoa (apa pun warga negaranya; totok, keturunan, maupun peranakan) yang bermukim di luar China Daratan, Taiwan, Hongkong, dan Makau. Namun pada penggunaan belakangan, ia lebih dimaknai sebagai orang Tionghoa totok (kelahiran Mainland) yang tinggal di luar negeri saja.
[3] Dalam ejaan Mandarin dibaca Chen Tian Lai.
[4] Mandarin: Chen Lian Hui.
[5] Mandarin: Lin Qi Tang.
[6] Mandarin: Chen Han Yu.
[7] Lihat Gerard Genette, Narrative Discourse: An Essay in Method, trans. Jane E. Lewin (New York: Cornell University Press, 1980).
[8] Italo Calvino, Gli Amori Difficuli (Kecamuk Cinta), terj. Intan Fitriana Suwandi (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), 77.
[9] Rumah besar yang dihadirkan sebagai Roemah Photo Tan dalam film ini tampak memiliki corak interior cukup khas, baik dari tata letak ruangan, bentuk dan ornamen jendela, altar sembahyang keluarga, maupun keberadaan bagian rumah yang bolong di tengah atau yang dalam bahasa Hakka lazim disebut tian-chiang (harfiah: Sumur Langit). Rumah-rumah Tionghoa seperti ini—baik beton, setengah beton, maupun rumah papan—masih cukup banyak bertebaran di Bangka-Belitung dan Kalimantan Barat, umumnya dengan asistektur campuran China dan Belanda-Hindia.
[10] Selain Dewi Kwan Im, Dewa Kwan Kong merupakan dewa China yang paling banyak dipuja oleh kaum Tionghoa di Nusantara (Indonesia, Malaysia, Singapura).
[11] Susan Sontag, On Photograph (New York: RosettaBooks LLC, 2005), 127-128.
[12] Lihat https://id.m.wikipedia.org/wiki/kamera, diakses 03/09/2024.
[13] Nirwan Ahmad Arsuka, “Susan Sontag, dll.: Citra—Waktu” dalam https;//arsuka.wordpress.com/2008/09/25/sontag-citrawaktu/, diakses 03/09/2024. Esai ini juga dapat ditemukan dalam buku kumpulan esai Nirwan Ahmad Arsuka, Semesta Manusia (Yogyakarta: Ombak, 2018)
[14] Ibid.
[15] Dipetik dari puisi Goenawan Mohamad, “Kwatrin tentang Sebuah Poci”. Lihat Goenawan Mohamad, Asmaradana (Jakarta: Grasindo, 1992), 51. Puisi ini juga dikutip dan diinterpretasi oleh Seno Gumira Ajidarma pada esainya “Kalacitra” dalam JB Kristanto dan Nirwan Ahmad Arsuka (ed.), Bentara – Esei-esei 2002 (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), 201.
[16] JB Kristanto dan Nirwan Ahmad Arsuka (ed.), 201.
[17] Seperti yang dikutip Nirwan Ahmad Arsuka dalam “Susan Sontag, dll.: Citra—Waktu”. Periksa Roland Barthes, “The Photographic Message” dalam Image Music Text, terj. Stephen Heath (New York: Hill and Wang, 1977), 8-9.
[18] JB Kristanto dan Nirwan Ahmad Arsuka, 211.
[19] Ibid, 207.
[20] Ibid.
[21] Italo Calvino, Gli Amori Difficuli (Kecamuk Cinta), 69.
[22] Seno Gumira Ajidarma, 202.
[23] Ibid, 207.
[24] Sampai kini masih terdapat orang Tionghoa di Bangka-Belitung yang tidak fasih berbicara dalam bahasa Indonesia. Beberapa anggota keluarga besar penulis esai ini contohnya.
[25] PP 10/1959 adalah sebuah peraturan berisi larangan bagi orang-orang asing untuk berdagang eceran di luar ibukota tingkat I dan tingkat II, yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1960. Akibat PP ini, puluhan ribu orang Tionghoa dipaksa meninggalkan tempat usaha dan kediamannya. Meskipun isi peraturan ini hanya melarang mereka “berdagang eceran” di luar ibukota provinsi dan kabupaten, tetapi dalam pelaksanaannya di lapangan oleh militer, mereka dipaksa meninggalkan kediaman. Termasuk orang-orang Tionghoa bukan pedagang dan yang telah tercatat sebagai WNI. Tindakan paling brutal terjadi di Jawa Barat di bawah pimpinan Kolonel Kosasih. Tentara melemparkan ratusan keluarga Tionghoa ke atas truk dan membawa mereka ke kamp. Di Cimahi, Juli 1960, seorang perempuan Tionghoa mati tertembak ketika ia bersama keluarganya mencoba bertahan, tidak mau meninggalkan rumah. Apa yang dilakukan Kosasih begitu provokatifnya sehingga Kedutaan Besar RRC di Jakarta menentangnya dengan meminta agar orang-orang Tionghoa tunduk kepada komando kedutaan dan tetap tinggal di rumah sampai mereka menemukan solusi. Selain menyampaikan protes melalui Duta Besar Huang Chen, pada 10 Desember 1959 Radio Peking kemudian mengumumkan seruan kepada Hoakiau yang memilih kewarganegaraan RRC untuk “kembali ke kehangatan Ibu Pertiwi” (Guiguo). Mereka yang tertarik kepada seruan tersebut segera didaftarkan oleh Kedubes RRC. Selain mengirimkan kapal Guanghua, Peking juga menyewa beberapa kapal perusahaan Belanda seperti Tjiwangi, Tjiluwah, dan Tjitjalengka untuk mengangkut para Hoakiau yang hendak kembali ke China. Pada awalnya bukan hanya mereka yang menjadi korban PP saja yang tertarik untuk pulang ke China, tetapi juga banyak pemuda dan pelajar menyambut seruan Radio Peking ini dengan gembira dan penuh semangat. Tercatat kurang-lebih 130.000-an Hoakiau meninggalkan Indonesia untuk bermukim kembali di China Daratan, termasuk mereka yang mengenakan kebaya encim. (dari berbagai sumber). Perihal PP 10/1959 ini antara lain bisa dibaca dalam Benny G. Setiono, Tionghoa dalam Pusaran Politik (Jakarta: TransMedia, 2008), 811-815.
Saya percaya bahwa, karya sastra sufistik adalah karya yang lahir dari getaran batin yang kuat, akibat merasakan kehadiran Tuhan (Sang Pencipta Alam). Dan oleh karena pengungkapan ekspresi keagamaan seperti inilah, pembacaan lirik dengan langgam (tembang) atau perangkat bahasa lokal tertentu, sepertinya dapat dinilai sebagai amal ibadah. Tentu, ibadah yang dimaksud adalah ibadah dalam arti lain, yakni ibadah di luar kewajiban Syariat Islam yang telah ditetapkan.
Di sisi lain, dari syair-syair sufistik itu, kita juga bisa memahami bagaimana hubungan antara sastra dan agama yang begitu erat. Agama nampak sebagai inspirasi, sedangkan sastra sebagai wahana yang tepat untuk mengaktualisasikan pengalaman batin yang mustahil dijelaskan dengan bahasa-bahasa normatif atau bahasa rasional lainnya. Sebab, sandaran utama sastra adalah rasa. Dan barangkali di sinilah letak nilai estetika dari syair-syair yang bertema sufistik itu.
Saya juga percaya, kesan-kesan keakraban dengan Sang Maha Pencipta, yang dituangkan kedalam syair-syair sufistik itu, tidak mesti datang dari orang-orang Arab. Wahananya juga tidak harus menggunakan aksara maupun Bahasa Arab. Getaran batin akibat merasakan kehadiran Tuhan yang dituangkan kedalam karya sastra itu, sekiranya juga dapat lahir dari insan-insan arifin di manapun jua, dan dari karya-karya di daerah manapun juga. Tidak terkecuali dari naskah-naskah klasik lokal yang nyaris tersebar di seluruh penjuru wilayah Nusantara. Seperti naskah-naskah takepan yang ada di Pulau Lombok, misalnya.
Takepan merupakan istilah lain untuk menyebutkan naskah-naskah kalsik masyarakat Suku Sasak yang ada di Pulau Lombok. Asal kata takepan adalah “takep”, takep bermakna barang yang tersimpan dan tersembunyi (Ihsani, Utari, & Mandala, 2021). Jadi, takepan merupakan semacam perbendaharaan masyarakat Suku Sasak yang memiliki nilai estetika dan etika tinggi, yang tidak boleh dibaca oleh sembarang orang dan sembarang waktu. Tema-tema utama yang sering dibahas dalam takepan adalah tema-tema seputar, konsep ajaran tasawuf yang mendalam, wiracarita (cerita kepahlawanan Islam), kisah-kisah alegoris, dan tema-tema sejarah lainnya.
Hanya saja, karena di Lombok tidak memiliki semacam pusat kajian naskah-naskah kelasik. Sehingga relasi antara takepan dan Agama Islam semakin tersamarkan. Dan keberadaan takepan, rentan untuk disalah artikan. Bahkan, tidak sedikit masyarakat Sasak menganggap takepan sebagai naskah klasik yang menyesatkan. Sebab isinya dinilai sudah bercampur dengan ajaran-ajaran Hindhu dari Bali. Mengingat Pulau Lombok memiliki latar belakang sejarah, sebagai pulau yang pernah ditaklukkan oleh Kerajaan Karang Asem, kerajaan bercorak Hindhu dari Bali.
Kemungkinan lainnya, bisa jadi karena di tengah-tengah masyarakat Hindu di Bali, juga berkembang tradisi kepenulisan sastra berlatar agama, yang produknya dikenal dengan istilah cakepan. Dimana cakepan merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut sejumlah lempir naskah lontar, yang digabungkan menjadi satu bagian utuh. Cakepan ini juga diasosiasikan dengan Pandawa Lima (tokoh utama Epos Mahabarata), oleh karenanya cakepan haruslah terdiri dari 5 unsur matrial penyusunnya. Daun lontar yang diibaratkan sebagai Arjuna, teks sebagai Yudistira, tali benang dan kepeng bolong sebagai Bima dan dua penggapit naskah diibaratkan sebagai Nakula dan Sahadewa (Sedyawati, dkk, 2021). Maka tak heran jika takepan diidentikkan dengan cakepan yang berkembang di “Pulau Dewata” itu, karena kemiripan istilah yang dipergunakan untuk menyebut naskah-naskah kelasiknya masing-masing.
Namun, di luar dari kemungkinan tersebut, tidak sedikit dari masyarakat Sasak yang masih dan lebih percaya bahwa, takepan memiliki hubungan yang erat dengan suluk di Jawa. Saya pribadi lebih cenderung menerima tesis ini ketimbang pendapat-pendapat yang lain. Sebab, dengan sangat mudah indikasi-indikasinya bisa terlihat dari aksara, bahasa dan format pengungkapan yang dipergunakan dalam takepan, lebih kurang, memiliki kesamaan dengan aksara, bahasa dan format pengungkapan dalam karya-karya suluk di Jawa.
Bedanya jangkauan pembahasan takepan-takepan Lombok relatif lebih sempit, tidak seluas jangkauan pembahasan suluk di Jawa yang juga menggubah anasir-anasir sastra kuno dari Hindhu-Budha, menjadi karya sastra yang punya spirit ajaran tasawuf. Misalnya seperti Serat Paramayoga, Serat Kanda, Ramayana, Mahabarata, Serat Dewa Ruci, Wedatama dan seterusnya. Nasakah yang saya sebutkan itu, nyaris tidak dikenal oleh masyarakat Sasak. Paling jauh adalah naskah-naskah klasik yang masih berhubungan dengan Kidung Panji. Semisal Serat Rengganis dan Serat Menak, yang tentunya telah digubah agar kedua naskah klasik tersebut juga menjiwai spirit ajaran-ajaran tasawuf.
***
Di Jawa, nampaknya semua pengkaji naskah klasik, bersepakat bahwa suluk merupakan istilah untuk menyebutkan kazanah kesusastraan dan atau kepustakaan Jawa yang bercorak sufistik. Suluk mulai berkembang pada era berdirinya Kesultanan Demak. Sebab, istilah “suluk” memang merupakan kata serapan, yang diadopsi dari Bahasa Arab (Islam) yakni “salaka”, yang bearti “perjalanan spiritual”.
Menurut pendapat Simuh, suluk, babad, serat, wirid dan karya sastra Islami lainnya itu, mulai berkembang setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit, dan di saat yang bersamaan muncul Kesultanan Demak yang dikelilingi oleh para wali Tanah Jawa sebagai penasehat spiritualnya. Dengan berdirinya Kesultanan Demak, maka orientasi keagamaan maupun kesusastraan masyarakat Jawa menjadi berubah, dari yang tadinya beragama Hindhu-Budha menjadi Islam. Dari sinilah pihak Kesultanan Demak mulai mempelajari dan menyerap unsur-unsur kebudayaan dari tradisi pesantren sebagai subjek matter karya-karya kepustakaan Islam Jawa pada waktu itu (Simuh, 1995).
Lebih jauh, Irfan Afifi mencoba melakukan pembacaan ulang tentang makna suluk. Irfan Afifi, mendasari pembacaannya dengan merujuk falsafah hidup orang Jawa yang paling utama yakni, “Sangken Paraning Dumadhi”. Sebuah ungkapan khas Jawa yang memberi makna akan kesejatian perjalanan hidup, sehubungan dengan asal usul kehidupan dan tujuan akhir perjalanan hidup manusia Jawa yang kembali ke Sang Maha Hidup. Dalam istilah lain, perjalanan hidup ini disebut: laku, mlaku, atau lelakon. Oleh sebab itu, tak heran jika Kepustakaan Jawa di era Demak hingga Mataram Islam diintrodusir oleh para wali Tanah Jawa dengan neologi baru yakni suluk yang sama-sama bermakna “sebuha perjalanan”. Dan secara otomatis membedakannya dengan dengan genre sastra pada era Majapahit atau masa pra-Islam, yakni Parwa, Kakawin dan Kidung (Afifi, 2019).
Namun, oleh karena, perjalanan yang dimaksud tidak hanya perjalanan yang bersifat ragawi semata, tetapi sebuah perjalanan yang melingkupi seluruh kehidupan manusia baik perjalanan yang bersifat lahiriah maupun perjalanan batin yang bisa menjebak. Oleh sebab itu dalam lakon atau “perjalanan besar” ini, manusia Jawa mestinya selalu awas terhadap emapt warna atau simbol nafsu dalam dirinya, agar ia bisa selamat sampai tujuan. Empat warna itu adalah hitam, merah, kuning dan putih. Keempat simbol warna inilah yang dihubungkan dengan empat konsep pembagian nafsu menurut Imam Ghazali yakni lawwamah, amarah, supiah, dan mutmainnah (Afifi, 2019). Sikap kewaspadaan orang Jawa terhadap empat warna ini kemudian termanifestasikan kedalam pagelaran lirik suluk, yang lebih popular dengan istilah “tembang macapat atau macapatan”.
Demikian juga halnya dengan nama-nama langgam utama dalam karya sastra suluk yang tidak terlepas dari konsep perjalanan hidup, oleh karena itu para wali Tanah Jawa, menciptakan nama dan jenis-jenis tembang yang menggambarkan siklus perjalanan hidup manusia secara utuh, mulai dari awal sampai akhir perjalanan hidupnya. Tembang-tembang itu adalah tembang maskumambang (dalam kandungan), mijil (lahir), kinanti (masa penantian), sinom (muda), asmarandana (mulai tumbuh perasaan cinta kepada lawan jenis), gambuh (menikah), durma (berkaya), dandanggula (merasakan pahit manis kehidupan), pangkur (mulai mengambil jarak terhadap dunia), megatruh (meninggal dunia), dan pucong (dibungkus dengan kain kafan) (Purwadi, 2005).
Dari uraian di atas nampak jelas ada relasi yang kuat antara sastra dan agama Islam. Agama dan perasaan haru manusia (baca: sastra) di hadapan Sang Khalik seakan berkelindan membentuk satu kesatuan. Bersamaan dengan itu, nampak jelas bagaimana cara orang-orang terdahulu baik di Jawa maupun di Lombok menjangkau dan mengamalkan ajaran agamanya, dengan caranya sendiri yang kemudian diaktualisasikan kedalam bentuk karya sastra, yang selanjutnya mengejawantah menjadi tradisi budaya (lokal). Maka tak heran jika dalam satu lirik Suluk Sontrang ditulis demikian: “Liring suluk ika, Sesinden para wali” kurang lebih maknanya; “suluk itu adalah nyanyian para wali”. Dan sepertinya tidak berlebihan juga jika saya mendevinisikan takepan itu, sebagai nyanyian para wali Tanah Sasak. Wallahualam!
Daftar Refrensi:
Afifi, I. (2019). Saya, Jawa, dan Islam. Yogyakarta: Tanda Baca.
Ihsani, B. Y., Utari, T., & Mandala, H. (2021). Leksikon yang Digunakan dalam Ritual Pepaosan Takepan Masyarakat Suku Sasak: Sebuah Kajian Etnolinguistik. Jurnal Ilmiah Telaah, 172.
Poerbatjaraka, & Hadidjaya, T. (1957). Kepustakaan Djawa. Djakarta: Djembatan.
Purwadi. (2005). Sejarah Sastra Jawa. Yogyakarta: Gelombang Pasang.
Sedyawati, E, dkk. (2021). Sastra Jawa Suatu Tinjauan Umum. In T. Pudjiastuti, Media Sastra (pp. 187-188). Jakarta: Balai Pustaka.
Simuh. (1995). Sufisme Jawa Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Foto: Wati Nichols
Selama bertahun-tahun, saya melewati dan mencerap situasi kehidupan sosial, budaya, dan agama di sekitar saya. Tidak pernah tahu dan mempertanyakan situasi apa yang sebenarnya mengitari kehidupan saya di dusun. Baru saat masuk perkuliahan, persoalan-persoalan itu muncul kembali, dan saya merasa membutuhkan suatu penjelasan yang terang. Perlu rasanya, saya menginterogasi masa lalu yang membentuk lingkungan saya tumbuh itu.
Salah satu jawaban datang dari bukunya M.C. Ricklefs yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 Sampai Sekarang. Buku ini merupakan buku ketiga dari penelusuran Ricklefs soal Islamisasi di Jawa. Dua buku sebelumnya, Mystic Synthesis in Java: A History of Islamization from the Fourteenth to the Early Nineteenth Centuries dan Polarizing Javanese Society, Islamic and other Visions (c. 1830-1930). Jadi, buku ketiga itu merupakan kelanjutan dari penelitian yang panjang, mengikuti proses Islamisasi sejak abad ke-14.
Beruntungnya di Bab 1 buku Mengislamkan Jawa, Ricklefs memberikan ringkasan yang memadai tentang isi dua buku sebelumnya. Sehingga pembaca, tidak kehilangan konteks dari keberlanjutan yang akan dibahas. Bab 1 penting karena mengulas bagaimana proses menjadi Jawa sekaligus Islam dimungkinkan, dan bagaimana polarisasi masyarakat Jawa pasca Perang Jawa yang dikobarkan oleh Pangeran Diponegoro.
Saya mencoba menuturkan secara ringkas, meski tetap akan panjang, perjalanan dari Islamisasi masyarakat Jawa untuk menemukan simpul-simpul dari masa lalu. Simpul-simpul yang masih mengikat orang-orang di sekitar saya sampai hari ini.
Sisa-Sisa Sintetis Mistis?
Islam datang pada abad ke-14, dan menyebar di antara masyarakat Jawa. Perlahan-lahan, masyarakat Jawa beralih ke agama Islam dan menanggalkan agama lama. Namun, tidak semua bagian dari kepercayaan dan ritual lama dapat ditanggalkan begitu saja. Di sinilah sebentuk ‘negosiasi’ berlangsung terus-menerus, untuk mendapati puncak dari geseran-geseran antara keduanya (Islam dan Jawa) itu didamaikan oleh Kerajaan Mataram dan penerusnya. Dengan muara keyakinan Islam dengan gaya Jawa menjadi sebuah sufisme dengan batasan yang longgar, disebut Ricklefs sebagai “Sintetis Mistis.”
Sintetis Mistis diuraikan Ricklefs memiliki tiga pilar utama: kesadaran menjadi orang Jawa berarti menjadi Muslim, melaksanakan lima rukun Islam dengan baik, dan menerima kekuatan spiritual pra-Islam seperti Ratu Kidul, Sunan Lawu, dan makhluk lainnya yang dianggap ada. Selain itu, harmonisasi Islam dan Jawa ditunjukkan dengan kitab-kitab gubahan pujangga keraton seperti, yang terkenal, Serat Centhini.
Sintetis Mistis dianggap mengalami kemunduran setelah kekalahan Perang Jawa (1925—1830). Dengan Kolonial Belanda sebagai pemenang, serta tunduknya keraton-keraton warisan Kerajaan Mataram, kolonialisme yang intensif makin tak terbendung. Membenamkan perpecahan identitas Islam-Jawa demi menghilangkan potensi ‘revolusinernya’, seturut menjauhkan Sintetis Mistis.
Selama hampir menyentuh dua abad, dalam periode yang sangat panjang dari 1830 hingga sekarang (2024), Sintetis Mistis terus mengalami tentangan dari pelbagai arus yang datang dan gejolak yang timbul di Jawa. Membuatnya kian terpinggirkan, dan hampir sulit dijumpai. Dalam keadaan yang demikian, saya melihat, sejauh yang saya pahami, sisa-sisa dari Sintetis Mistis yang sederhana ala orang-orang dusun berdasar tiga pilar yang sudah disebutkan di atas, yang masih bertahan dan terasa di sekitar saya.
Seperti cerita Nabi Muhammad menggunakan mahkota Majapahit dalam Kitab Usulbiyah. Simbol ini juga yang muncul dalam cerita yang beredar di dusun saya, ketika sebuah keris tertancap di halaman masjid dan hanya bisa dicabut dengan Al Quran yang ditangkupkan ke wilahnya oleh orang yang spiritualitasnya matang. Jelas, keris mewakili Jawa, dan Al Quran mewakili Islam. Kalau mau menafsirkan lebih jauh, keris sebagai lambang kekuatan Jawa hanya dapat dikuasai/dikendalikan oleh orang yang memahami wahyu Allah yang tertuang dalam Al Quran.
Sementara dalam berdoa, bahasa Arab (untuk ayat Al Quran) dan Jawa (untuk terjemah ayat Al Quran, dan memanjatkan keinginan) masih sering digunakan di dusun-dusun. Untuk menyebut Nabi Muhammad beriringan dengan Kanjeng Amangkurat, ratu penguasa laut selatan, dan dewi-dewi dalam cerita-cerita Jawa hampir mustahil dijumpai. Saya beruntung, simbah adalah orang pintar andalan keluarga besar saya sering mengucapkannya.
Pernah saya bertanya kepada simbah, apa yang dimaksud dengan Kanjeng Amangkurat adalah raja Mataram? Jawabannya, benar. Namun, apakah yang dimaksud raja Mataram yang bergelar Amangkurat atau yang lain, saya tidak menemukan jawaban pastinya. Yang jelas, Kanjeng Amangkurat, ratu penguasa laut selatan, dan dewi-dewi yang disebut dalam kepercayaan simbah/orang pintar memang ada secara roh. Dan, roh-roh mereka inilah yang menjadi perantara. Yakni, menghampiri Nabi Muhammad untuk meminta ‘nasihat’, dan kemudian kembali disampaikan kepada siapa pun yang datang ke tempat simbah untuk menyembuhkan kesulitannya. Ini kemungkinan bermaksud mengatakan, kurang lebih, hubungan masyarakat Jawa ke Tuhan harus melewati raja kemudian Nabi terlebih dahulu.
Sisa-Sisa Hasil Polarisasi dan Islamisasi?
Pasca Perang Jawa (1830) hingga kejatuhan Demokrasi Terpimpin (1966) terjadi polarisasi yang hebat di masyarakat Jawa. Polarisasi atau keterbelahan ini bermakna, identitas Jawa yang sama dengan seorang Muslim menjadi terpisahkan. Varian religius yang beragam selanjutnya bermunculan.
Sebagai catatan, sepanjang hampir satu abad itu, ada proses polarisasi yang cukup besar. Pertama, program Tanam Paksa (1830-1970) diterapkan dan membelah masyarakat Jawa menjadi tiga golongan besar: abangan, priayi, dan putihan. Di samping itu, dalam perkembangannya muncul kelompok tarekat, kekristenan, dan pondok pesantren sebagai institusi tradisional.
Kedua, pada awal abad ke-20 kebijakan Politik Etis memunculkan kalangan atas terpelajar yang sadar organisasi. Pada dekade-dekade ini, organisasi menjadi identitas penting daripada polarisasi yang terjadi. Varian-varian religius yang dominan memperoleh bentuk institusionalnya, baik yang berupa partai politik yang konstituennya berasal dari varian religius tertentu, atau organisasi keagamaan sesuai varian religiusnya. Hal ini bertahan hingga memasuki era Pendudukan Jepang (1942-1945), Revolusi Kemerdekaan (1945-1949), Demokrasi Parlementer (1950-1959) dan Demokrasi Terpimpin (1959-1966) yang ditandai politik aliran.
Pada 1966, keterbelahan atau permusuhan antara dua varian religius besar, kaum santri dengan abangan berakhir. Kehancuran institusi kaum abangan, yakni Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta konstituennya (dipenjara dan dibunuh), melapangkan Islamisasi yang mendalam. Era Orde Baru (1966-1998) meneruskan Islamisasi yang selama satu abad lebih sebelumnya terinterupsi dan terpolitisasi.
Islamisasi tidak berjalan lancar begitu saja. Sebagai gambaran, sekutu santri dalam proses kehancuran PKI, yakni militer tidak membiarkan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) sebagai institusi politik Islam Modernis bangkit kembali. Di satu sisi, dominasi diri Soeharto dalam perpolitikan juga menjadi penghalang tersendiri dengan spiritualitasnya yang jauh dari ortodoksi Islam. Spiritualitasnya yang dimaksud simpati terhadap kebatinan Jawa dan gaya abangan. Hal yang tidak bisa diterima kalangan Islam Modernis. Sementara dengan kalangan Islam Tradisional NU, hubungannya pelik, karena persaingan pengaruh ke level akar rumput pedesaan.
Gaya spiritualitas Soeharto bagaimanapun seharusnya terakomodasi dalam bentuk-bentuk budaya dan kesenian lokal Jawa. Namun, karena bertahun-tahun sebelumnya dimanfaatkan oleh PKI, kebudayaan dan kesenian itu menjadi ‘tercemar’. Begitu pun dengan kelompok-kelompok kebatinan yang ada juga dicurigai bersimpati terhadap PKI. Tidak hanya oleh pemerintah, tetapi kalangan santri juga menolak dan memberikan tekanan terhadap kelompok ini.
Kekerasan dalam Peristiwa 1965-1966, telah membuat banyak aktivis PKI yang abangan berkonversi dari Islam nominal ke agama seperti Hindu, Buddha, dan yang paling banyak Kristen. Hal ini dilakukan oleh aktivis Kiri yang selamat karena untuk memperoleh rasa aman, bantuan para pemuka agama Kristen terhadap kesulitan yang dihadapi pasca 65, dan ketidaksukaan terhadap kaum santri karena keterlibatannya dalam Peristiwa 1965-1966. Pertumbuhan umat Kristen juga terjadi di tahun-tahun berikutnya dengan pelbagai faktornya, terutama di perkotaan. Hal ini kemudian tidak disukai dan mengusik kaum Islam Modern yang memang basisnya di kota besar.
Meski demikian, di satu wilayah di desa saya, hidup umat Kristen dengan institusi pendidikannya, SD Bopkri. Satu-satunya SD di desa saya yang menjadi tujuan anak-anak bersekolah di sana, termasuk ayah, ibu, dan paman-paman saya. Tak lama kemudian, menyusul berdiri Gereja Kristen Jawa (GKJ), sebagai sarana ibadah pada 1980-an. Dengan demikian, dalam masyarakat desa saya, ada komunitas Kristen dan Islam yang saling menciptakan pengaruh dan persepsi, walau tidak langsung. Semisal, paman saya yang berkonversi menjadi Kristen karena pernikahan; atau ayah saya yang sudah dewasa melihat Kristenisasi sedang terjadi, bergerak membendungnya dengan mengajak mendirikan masjid dan TK ABA Muhammadiyah. Bagaimana pun apa yang dilakukan ayah saya, mencerminkan salah satu alasan pendirian Muhammadiyah pada 1912.
Islam Tradisional di sisi lain tidak terlalu khawatir dengan konversi abangan ke agama lain. Ancaman mereka datang dari rezim Orba yang berusaha mengontrol setiap aspek dari masyarakat ke tingkat bawah. Melalui Majelis Dakwah Islamiyah (MDI) yang berafiliasi dengan Golkar, rezim Orba mencoba menukik mempromosikan Islam di pedesaan untuk menyaingi NU.
Pada 1971, Pemilu pertama Orba dilaksanakan dan menjadi lonceng kematian politik aliran. Kehancuran PKI membuat konstituen abangannya yang tersisa tidak ada tempat berpijak kecuali beralih ke Golkar yang menjadi pemenang. Hasil Pemilu itu dijadikan dasar untuk memaksakan fusi-fusi partai politik yang tersisa pada 1973 dan mengubur politik aliran. Setelah itu, kaum Muslim yang sudah dikerdilkan sedemikian rupa tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan kekuasaan politik, sehingga mereka sepenuhnya fokus dengan islamisasi dari bawah.
Kaum abangan di pedesaan yang tidak memiliki institusi lagi, dan menghadapi islamisasi yang gencar, derajat keislamannya menjadi lebih tinggi. Sembari, di satu sisi tetap mempraktikkan ritual slametan yang sangat penting sebagai solidaritas masyarakat. Identitas abangan mereka tidak lagi kuat, dan menjadi seperti yang bisa saya lihat dalam kehidupan beragama nenek-nenek saya. Orang yang rajin mengamalkan salat (salah satu rukun Islam) dengan baik, tetapi sekaligus gemar membuat sajen dan slametan untuk kejadian-kejadian tertentu. Hal inilah yang kemudian diturunkan kepada ibu saya.
Memasuki dasawarsa 1980-an, masyarakat Jawa dan Indonesia pada umumnya bertransformasi menjadi lebih religius. Pemerintah mendominasi proses islamisasi dengan pelbagai program seperti pendirian sekolah dengan pelajaran agama Islam dalam bentuk ortodoks; jumlah masjid bertambah dan yang rusak diperbaiki, serta dilengkapi pengeras suara; kelas menengah memperlihatkan tingkat kesalahan yang tinggi.
Ayah saya, berkat persentuhannya dengan perkotaan dan pendidikan kampus dapat dikatakan derajat keislamannya menjadi tinggi. Dia merangkul Islam Modern ala Muhammadiyah dalam kehidupan religiusnya. Artinya meninggalkan upacara seperti slametan dan kepercayaan terhadap roh-roh penunggu yang dihormati warisan orang tuanya. Bahkan setelah menikah, melarang ibu saya untuk membuat sajen.
Perubahan penting yang layak dicatat adalah sikap NU terhadap rezim Orde Baru pada paruh awal 1980-an. Organisasi Islam Tradisional ini tidak lagi ambil peran politik dengan menarik diri dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), menerima asas tunggal Pancasila yang dicanangkan pemerintah. Keputusan ini mengurangi kecurigaan pemerintah terhadap NU, dan menggerakkan keduanya dalam kerja sama Islamisasi. Lalu pada awal 1990-an, Soeharto dan keluarganya naik haji, serta merangkul Islam sebagai penyokong politiknya dengan diikuti pendirian Ikatan Cendekian Muslim Indonesia (ICMI). Kemudian, jilbab atau kerudung menjadi tren untuk pertanda kesalehan bagi perempuan diizinkan secara resmi.
Menjelang masa akhir Orde Baru, gerakan Islam yang ekstrem atau puritan bertahan dan tumbuh. Ini mengikuti apa yang sudah ada pada 1970-an di Surakarta, di mana muncul gerakan Islam yang membawa napas pemurnian. Dakwah Islam dijalankan dengan aktif, di mana kaum Modernis dan Revivalis terlibat di dalamnya. Gerakan lain yang patut dicatat, Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) yang menganggap semua bentuk Islam selain ajarannya salah; Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Bahasa Arab (LIPIA) yang didirikan oleh Arab Saudi dengan ajaran Islam Wahhabi-nya; dan, Dewan Dawah Islamiyah Indonesia (DDII) yang didirikan oleh Natsir (eks Masyumi) dan ingin “memurnikan Islam dari pembusukan lokal”.
Era Orde Baru telah menunjukkan Islamisasi yang mendalam di masyarakat. Sebuah laju yang tidak mungkin dikembalikan arahnya. Dengan Islam yang sudah dianut sebagian besar masyarakat Jawa, persoalannya bukan lagi upaya mengislamkan. Pada era Reformasi pasca 1998, dinamika terjadi antara para pengikut versi Islam yang saling bertentangan dengan pelbagai keragamannya di dalam masyarakat yang ter-Islam-kan.
Berada dalam konteks era yang terbuka, gerakan-gerakan Islam biasanya secara simplifikasi digolongkan berada dalam dua garis edar besar, moderat dan garis keras dalam ajaran religius dan aksinya. Gerakan-gerakan ini pada dasarnya saling bersaing merebutkan umat. Namun, terkadang mereka juga berangkulan untuk menangkis serangan kelompok lain. Terutama kelompok-kelompok yang moderat dalam menghalau serangan garis keras. Sementara itu, apa yang dianggap serangan adalah upaya kelompok-kelompok garis keras dalam menyelaraskan kesepahaman umat tentang Islam yang benar versi mereka. Kelompok-kelompok ini kadang melakukan aksinya dengan tindakan ekstrem dan kekerasan, bahkan bom bunuh diri. Namun, ada satu pengecualian yang rasanya perlu saya singgung, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
PKS ini awalnya merupakan gerakan tarbiyah di kampus-kampus negeri dengan praktik religiusnya modernis dan cenderung tanpa kompromi. Partai ini memilih aksi pragmatis dan bertahap melalui pemilihan elektoral. Mendeklarasikan dirinya sebagai partai dakwah, partai ini berusaha mendorong Islamisasi yang mendalam di masyarakat. Kader partai ini sudah terkenal militansinya dalam gerakan dakwah. Mayoritas pengikutnya adalah kaum Muslim kelas menengah di kota-kota besar yang sibuk.
Namun, dewasa ini, kader PKS mampu menembus dusun di kabupaten/kota kecil. Sebagai contoh, selama beberapa tahun terakhir (sebelum Pemilu 2019 hingga menjelang Pemilu 2024, dan hanya terjeda pandemi), seorang Caleg dari PKS aktif mengisi pengajian bulanan di masjid dusun saya. Kegiatan rutin itu disebut Pengajian Salimah, yang mana nama Salimah merupakan kependekan dari Persaudaraan Muslimah. Sebuah organisasi perempuan muslim yang aspirasi politiknya sejalan dengan PKS. Ibu saya hampir secara ajeg mengikuti pengajian itu. Saya hampir tidak tahu apa materi pengajian itu, yang jelas, dalam soal keagamaan, ibu saya tidak berubah sama sekali. Dia seperti yang saya kenal, sepeninggalnya suaminya atau ayah saya, kembali membuat sajen atau melakukan puasa di saat-saat tertentu sebagai srono atau sarana agar hal-hal yang akan dilakukan berjalan lancar dan sesuai keinginan.
Pertanyaannya, setelah melalui fase tidak menjalankan ritual slametan dan membuat sajen selama menikah dengan ayah saya, dan mengikuti pengajian yang digawangi kader PKS, mengapa ibu saya tetap saja kembali ke praktik peribadahan lamanya? Jawabannya mungkin berkaitan dengan masyarakat tempat dia tumbuh, yakni di dusun saya yang akan saya bahas di bawah.
Kehidupan Beragama Orang-Orang Dusun
Gerak sejarah Islam-Jawa yang sudah dipaparkan di atas, membawa sempalan ragam bentuk beragama yang ‘tersendiri’, tetapi sekaligus bukan khas orang-orang di dusun saya. Sangat mungkin bentuk-bentuk religius yang akan saya paparkan dapat dijumpai di tempat lain yang dihuni masyarakat Jawa—dan memang demikian adanya yang pernah saya dapati.
Di dusun tempat saya tumbuh, ada sebuah masjid dan punden yang berdekatan. Punden itu letaknya berada di sebuah bukit atau tanah dataran tinggi dan berdiri sendiri. Baru-baru ini, saya ke punden itu untuk mengamatinya lebih dekat. Ada satu batu kijing besar di sana yang membujur dari utara-selatan. Di bagian salah satu sisi kijing tercetak informasi dalam aksara Jawa dalam lima baris. Dengan batuan kawan yang bisa membaca aksara Jawa, informasi itu bila diurutkan berbunyi: Kyai Wayarata Pindagar 26-08-1985 (Martana). Kita bisa menduga, jika tiga baris awal merupakan nama yang dikuburkan di punden itu, sementara angka yang di baris keempat ada merupakan tanggal wafatnya dan yang di dalam tanda kurung mungkin sapaan akrabnya. Saya mencoba menanyakannya pada ibu saya, tetapi beliau tidak mengetahui apa-apa tentang sosok yang terkubur di punden itu.
Di sebelah barat laut punden atau arah ke Kaabah yang ada di Makkah, masjid dusun berdiri. Orang-orang dusun menjalankan ibadah di masjid itu selayaknya orang Muslim umumnya. Salat berjamaah saat hari Jumat atau Jumatan (bagi laki-laki), Idul Fitri dan Idul Adha. Pada hari-hari biasa, orang yang datang untuk salat lima waktu dapat dihitung dengan jari di satu tangan. Kebanyakan memilih salat di rumah. Masjid juga tidak memiliki kegiatan. Kontras dengan itu, saat bulan Ramadhan—biasanya mengikuti jadwal NU maupun pemerintah—kegiatan pendidikan baca Iqra dan Al Quran dilaksanakan setiap sore menjelang berbuka, jamaah yang salat lima waktu makin banyak—tetapi tidak signifikan, kecuali waktu sholat Isya’ yang disambung tarawih, mengadakan pengajian khusus memperingati turunnya Al Quran atau Nuzulul Quran, dan salat tarawih sebelas rakaat.
Di samping ibadah yang dikerjakan di masjid, orang-orang dusun juga mengadakan slametan maupun tahlilan yang rutin dilakukan dan bahkan ada jadwalnya, termasuk slametan di punden. Dalam setiap proses ritual yang dilakukan itu, selalu dipimpin oleh kaum yang kurang lebih mirip dengan modin, bukan ustadz. Dengan dipimpin oleh kaum, hal ini menunjukkan bahwa yang dilakukan masyarakat merangkul ibadah Islam baku dengan tradisi Jawa menjadi satu.
Hal itu diperkuat dengan hubungan antara masjid dan punden, yang mengikut George Quinn dalam Wali Berandal Tanah Jawa, menunjukkan poros varian religius lama yang sudah dibahas di atas, santri dan abangan. Saya curiga masyarakat di dusun saya berasal-usul, “Muslim Jawa yang pernah berbudaya abangan telah meninggalkan kecenderungan abangan mereka dan berbondong-bondong memeluk budaya santri” (h. 460). Prosesnya sendiri, saya kira, melalui pendalaman Islam selama era Orba, dibantu oleh seorang kiai yang kini makamnya dikeramatkan menjadi punden. Perlu dicatat juga, titimangsa wafatnya kiai itu masih tergolong baru—walau harus tetap dicurigai, serta proses mengeramatkan kuburan seseorang menjadi punden sendiri menunjukkan sisi abangan yang masih tersisa.
Sisi-sisi dari tradisi lama yang biasa dikatakan juga bisa dilihat dari beberapa hal yang pernah terjadi. Pada suatu ketika, ada peringatan hari besar Islam—saya lupa pastinya—dan masjid dusun menyelenggarakan pengajian serta pentas seni. Salah satu pengisi pentas seni yang tampil menghadirkan waria yang menyanyi. Bila hal itu, dilakukan pada akhir-akhir ini dan disebar melalui sosial media, saya cukup yakin kegemparan akan melanda. Namun, itu terjadi bertahun-tahun lalu saat saya masih kecil, penampilan waria di acara pengajian tidak pernah dilihat sebagai masalah. Kegemaran akan tonton ini juga diperlihatkan oleh orang-orang dusun yang doyan menonton jatilan. Mereka bahkan selalu rela menunggu bagian puncak pementasan, yakni ketika para penarinya kesurupan.
Sisa-sisa tindak-tanduk dari tradisi lama yang dianut masyarakat di dusun saya memberi wilayah toleransi longgar bagi ritual dan kepercayaan di luar ragam baku Islam yang wajib diamalkan. Sesuatu yang hari-hari ini mungkin dianggap bidah bahkan syirik oleh sebagian kalangan. Namun, berkat kelonggaran itulah, tidak ada keraguan di antara orang-orang di dusun saya yang merasa kurang dalam ibadahnya. Usaha terus untuk menyeimbangkan, jika boleh dikatakan, yang dari kultural dan spiritual secara bersama, tidak membiarkan salah satunya bergerak mandiri, tetapi bersama-sama, malah memantapkan keyakinan dari yang dijalani. Membuat masyarakat tidak merasa canggung harus melepaskan salah satunya.
Cerita tentang kehidupan beragama masyarakat dusun saya merupakan irisan kecil dari sejarah Islam-Jawa yang tergelar. Sewaktu-waktu kondisi umum yang besar dapat berubah. Dan memang, putaran roda sejarah Islam-Jawa sedang dan masih menggilas, kita yang hidup hari ini akan menjadi saksi sekaligus pelaku dalam proses itu. Semarang, 21 Februari 2024