Lembar
“Yang fana adalah waktu. Kita Abadi:”
(Sapardi Djoko Damono, “Yang Fana adalah Waktu”)
THE Photograph (2007)[1]adalah film yang menghidupkan fotografi. Tetapi tidak seperti A Great Day in Harlem (1994)—film dokumenter Jean Bach yang berangkat dari foto jepretan Art Kane pada musim panas 1958 di Harlem, New York; film berdurasi 103 menit ini hanyalah menciptakan (baca: mereka) karya-karya fotografinya sendiri demi kebutuhan sinematografi yang seyogianya merupakan kelanjutan dari seni fotografi.
Adegannya dibuka dengan terpentangnya pintu sebuah rumah besar Hoakiau[2], menampakkan tembok kusam di sisi dalamnya yang dipenuhi oleh gantungan foto-foto hitam-putih terpigura yang tak kalah kusam: menguning dan penuh bercak.
Dan seiring terbukanya pintu, kamera pun bergerak perlahan mendekati dinding penuh foto itu, lalu mendadak berganti jadi close-up shot yang terfokus pada potret seorang lelaki Tionghoa sedang duduk di samping kamera besar berkaki tiga. Sebuah foto yang telah dimakan usia sebagaimana terlihat bukan hanya dari kondisi fisiknya saja, tetapi juga dari pigura yang membingkainya dan tulisan hànyŭ merah di atas kacanya yang buram berdebu.
Nama hànyŭ maupun alfabet latin (dalam ejaan Hokkien) lelaki dalam potret itu sudah (nyaris) tak terbaca, begitu pula dengan tahun masa hidupnya yang tercantum di bawah nama. Tetapi pada foto-foto berikutnya yang tertangkapoleh pergerakan kamera, nama dan angka yang tertera di atas potret sosok-sosok lelaki lain dengan pose serupa masihlah terbaca cukup jelas: 陳添來 – Tan Tham Lay[3] – 1895-1957 dan 陳連輝 – Tan Lian Hoei[4] – 1914-1965.
Jelas, ketiga sosok lelaki dalam foto-foto tua itu tak lain merupakan buyut, kakek, dan ayah dari karakter utama film ini yang diperankan oleh aktor Tionghoa Singapura Lim Kay Tong (林祺堂)[5], yakni 陳漢裕 – Tan Han Xi[6]/ Johan Tanujaya – 1956-[…]. Nama tokoh utama tersebut—dengan jenis huruf hànyŭ dan alfabet latin, juga warna yang sama—tampak tertulis pula di atas kaca pigura kosong yang perlahan digantungnya sendiri di sisi potret buyut-kakek-ayahnya setelah ia mencopot dua lembar dari sekian banyak foto tua hitam-putih ukuran 4R yang digantung dengan jepitan kayu di tembok.
Dalam gaze shot ini, kamera membidik secara dekat wajahnya yang dipantulkan kaca pigura kosong itu: wajah tua seorang lelaki Tionghoa dari golongan menengah ke bawah yang terlihat sudah lelah oleh kegetiran hidup, di mana sepasang matanya tengah menatap wajahnya sendiri di permukaan kaca dengan tatapan sayu. Momen screenplay opening ini juga disertai oleh monolog voice over suara Shanty yang memerankan tokoh Sita, seorang perempuan Jawa dari desa yang berprofesi sebagai penyanyi di bar karaoke dan sesekali sebagai pekerja seks komersial:
“Pada saat kita merenungkan masa lalu, akan ada saat-saat yang mengubah kita, diri kita, hidup kita, agar dapat melangkah lebih pasti ke depan. Ini sebuah cerita tentang seorang manusia yang telah menyentuh hidup ini, menyentuh saya.”
Dari monolog voice over itulah kita segera sadar bahwa Sita sesungguhnya adalah character-narrator dalam film ini, sehingga dengan demikian The Photograph boleh dibilang film dengan cerita berfokal internal yang—dalam kajian sastra—dikategorikan sebagai homodiegetic, di mana narator adalah seorang tokoh sentral yang berada dalam cerita.[7]
Adegan pembuka masih berlanjut dengan bidikan kamerayang berpindah ke frame tangan Johan Tan yang sedang membersihkan meja dari botol-botol obat dan membereskan kertas-kertas berserakan yang di antaranya bertuliskan “Asisten fotografi dicari dengan cepat”. Lalu segera bertukar dengan adegannya sedang memegang dupa dan menyusul sang tokoh utama diperlihatkan membuka sebuah peti kayu di bawah meja sembahyang, yang di dalamnya berisi lensa kamera tua, bungkusan kain, setelan jas terlipat rapi, dan sebuah kotak besi terkunci.
Dalam kotak besi terkunci yang dibukanya inilah kita kemudian menemukan foto-foto tua. Tiga lembar di antaranya dikeluarkan Johan untuk diletakkan di altar sembahyang keluarganya, yaitu foto rel kereta api, pemandangan pelabuhan, dan sebuah kamera tua tegak di samping kursi kosong dalam studio—yang mana ternyata juga tertempel di sisi pigura kosong yang baru digantung.
Tentu saja dalam momen ini kita belumlah memahami apa makna ketiga lembar foto itu bagi Johan yang memandangnya dengan nanar disertai gumam “saya akan mulai mati hari ini”. Namun dari perlakuan tokoh terhadap ketiga lembar foto, toh dengan gamblang kita dapat menduga bahwa obyek-obyek foto tersebut memang bukan sembarangan obyek, tetapi merupakan sesuatu yang amat bernilai bagi sang tokoh. Foto-foto Johan itu pun serta merta mengingatkan saya pada obsesi tokoh Antonio Paraggi memotret ketidakhadiran Bice sang kekasih yang pergi meninggalkannya dalam cerpen “Petualangan Seorang Fotografer” karya Italo Calvino, dengan obyek-obyek foto berupa asbak penuh puntung, tempat tidur berantakan, noda lembab di dinding, atau sudut ruangan yang sama sekali kosong.[8]
Berharganya foto-foto tua Johan beserta semua benda yang tersimpan dalam peti kayunya di bawah altar sembahyang itu, tampak semakin terang ketika pada satu adegan di pertengahan film, Johan dengan tegas melarang Sita yang hendak mengepel lantai menyentuh peti tersebut. Bahkan saking pentingnya ketiga lembar foto itu, dapat dikatakan bahwa jalan cerita film besutan Nan Achnas ini tak lain adalah sebuah perjalanan untuk menyibak rahasia hidup sang tokoh utama yang direpresentasikan oleh karya fotografi.
Dengan demikian The Photograph bukan saja dimulai dengan memperkenalkan kita kepada sang protagonis, tetapi juga pada hal-hal krusial yang langsung menukik ke jantung konflik cerita film—yang pada awalnya secara sepintas barangkali tampak sederhana, remeh, dan berpotensi luput dari konsentrasi kita tetapi sebenarnya begitu konkret sebagai obyek-obyek yang dibebani makna. Termasuk juga di sini potret-potret diri Sita dan putrinya, Yani, yang berulangkali diperlihatkan kepada kita sejak adegan perempuan itu mengemas barang untuk pindah dari rumah Rossi (Indy Barends) ke Roemah Photo Tan.
Karena itu tak bisa tidak, film ini menuntut kejelian mata penonton untuk menangkap berbagai detail kecil pada properti, seakan-akan memang tak ada bagian yang tidak berarti atau diletakkan sekadar untuk memenuhi setting. Dan keseriusan menangkap detail ini bukan hanya terkait dengan perihal foto atau yang berhubungan dengannya, melainkan juga menyangkut lanskap interior dan eksterior, bahkan seluruh mise-en-scene yang didominasi oleh cahaya redup dan warna suram untuk mendeksripsikan kemurungan hidup tokoh-tokohnya.
Perhatikan saja keadaan ruang depan Roemah Photo Tan[9] yang ditempati oleh seorang tukang wayang potehi (poo tay hie) bernama Tho Teng Be dan tukang servis jam “Eka Jaya Watch” saat Sita pertama kali tiba contohnya. Di antara orang-orang sedang membaca koran dan seorang nenek bersembahyang di depan altar, jika teliti kita bisa melihat adanya gambar Dewa Kwan Kong[10] yang menghitam di tembok pertanda tuanya gambar tersebut. Studio milik Johan juga di-set secara saksama sehingga memperlihatkan sebuah model studio foto yang barangkali telah menjadi memori kolektif orang Indonesia hingga tahun 90an dengan ragam lukisan pemandangan sebagai background-nya.
Begitu pula kondisi kamar loteng Sita yang begitu jorok dengan sampah kertas dan kantong plastik berserakan secara alami, atau betapa kotor berdebunya kain latar studio berupa lukisan Tembok Besar China yang dibersihkan oleh Johan dan Sita, dan terutama bekas-bekas gantungan pigura foto pada tembok di tepi jalan tempat Johan saban pagi mangkal sebagai tukang foto; di mana bekas-bekas itu bukan saja mengesankan suatu hal yang telah berlangsung lama, namun juga dapat dipergunakan untuk mengulang rutinitas serupa setiap saat ketika setiap pigura mesti digantungkan kembali pada tempatnya sediakala—layaknya momen-momen hidup yang seakan dapat diulang pada saat kita memandang sebuah foto.
***
“FOTOGRAFI adalah cara memenjarakan realitas. Seseorang tak dapat memiliki realitas, seseorang dapat memiliki gambar—seseorang tidak dapat memiliki masa kini tetapi seseorang dapat memiliki masa lalu,”[11] demikian tulis Susan Sontag dalam bukunya On Photograph (1977).
Selama sekian dasawarsa setelah Joseph Nicepore Niepce berhasil memproyeksikan Point de vue du Gras pada 1816 yang dianggap sebagai karya fotografi pertama berupa gambaran kabur atap-atap rumah pada sebuah lempengan campuran timah yang dipekakan,[12] manusia mengira bahwa mereka telah melangkah lebih jauh dari seni lukis realis dalam usaha untuk mengawetkan momen. Sejak itulah teknologi kamera terus mengalami perkembangan dari masa ke masa hingga yang kita kenal sekarang. Namun apakah waktu memang sungguh-sungguh dapat dikerangkeng dalam selembar potret? Apakah manusia, benda-benda, dan peristiwa yang berhasrat kekal seyogianya bisa dibekukan dalam proses kiamiwi di kamar gelap atau cetak digital?
Nirwan Ahmad Arsuka dalam sebuah esainya tentang fotografi pernah mengingatkan kita akan sifat waktu ini dengan mencontohkan mitologi Batara Kala sang penimpa bala dan Dewa Kronos yang selalu menelan apa saja yang dilahirkannya. Menurut Arsuka, ada tiga aspek fisis waktu yang tercerap indra manusia. Pertama, waktu selalu mengalir, tak terbendung. Kedua, waktu hanya bergerak asimetris, selalu mengarah ke depan. Dan ketiga, aliran waktu akhirnya menelan dan menghancurkan apa saja yang ditempuhnya.[13] Karena itu pula dalam sejarah kita kenal mumi yang tersimpan dalam piramida penuh labirin yang dibuat untuk menahan dan menyesatkan instruksi waktu yang tak kenal ampun. Juga para prajurit terakota yang dibangun untuk menjaga makam Shih Huangdi, setelah sang kaisar sia-sia melawan usia dengan ramuan herbal dan alkimia.
Kekuatan teknologi kamera adalah kemampuannya yang seolah mampu menghentikan waktu. Dalam citra yang diabadikan oleh kamera, waktu seperti tampak membeku untuk selama-lamanya, juga apa pun yang berada di dalamnya: diri kita, pakaian yang kita kenakan, ruangan, dan cahaya ketika itu.
Sehingga—mengutip Arsuka—terhamparlah kenyataan obyektif yang bisa menyedot. Seakan aliran waktu yang selalu asimestris, bergerak ke depan itu, dapat ditaklukkan oleh kamera. Pada selembar foto, waktu seakan bergerak mundur ke masa silam tatkala kita melihatnya pada masa kini seraya membalik sekaligus mempertegas hukum kausalitas. Kemampuan mengendalikan arah dan kecepatan gerak waktu—mempercepat atau memperlambatnya—adalah penaklukan kedua kamera atas waktu.[14] Dengan begitu, realitas dalam fotografi pun bisa diandaikan sebagai “sesuatu yang kelak retak dan kita membikinnya abadi”.[15] Dalam waktu yang fana, dalam temporalitas, realitas senantiasa berubah. Karena itu memotret adalah upaya untuk mengabadikan kenyataan yang selalu saja retak akibat kefanaan sang waktu. Seperti diungkapkan Seno Gumira Ajidarma:
Setiap kali kita memandang sebuah foto, tentu momen dalam foto itu telah menjadi masa lalu. Namun sebuah foto selalu kontemporer, selalu berada di masa kini, karena sebuah foto berada dalam kekinian pemandangnya. Yang retak itu kita bikin abadi. Keabadian itu bukan suatu kebekuan, melainkan fiksasi, kehidupan itu tidak ke mana-mana, selalu terhidupkan kembali oleh pemandangan kepada citra foto tersebut. [16]
Sebab itu pula, apa yang terekam hanyalah separuh ilusi. Waktu, kita tahu, tidaklah pernah sungguh-sungguh dibekukan dalam sebuah foto tetapi hanya tampak seperti itu. Sebab pada dasarnya citra fotografis adalah irisan tipis dari realitas yang begitu besar dan kompleks. Selembar foto mungkin saja menjadi representasi realitas, namun sebagai citra ia tetaplah bukan realitas itu sendiri.
Maka fotografi, kata Seno lagi, adalah kalacitra, gambaran waktu. Sebuah foto hanya berusaha menangkap waktu, mencoba membekukan dan mengekalkannya, namun yang tertangkap hanyalah citra dari sebuah pemandangan di depan kamera. Waktu (yang sesungguhnya) selalu berada di luar foto-foto itu. Bahkan foto-foto tak lain hanyalah prasangka naif dalam ketidakberdayaan kita menghadapi laju waktu yang merusak dan terus meninggalkan manusia, benda-benda, dan peristiwa.
Oleh sebab itu fotografi juga cenderung terancam oleh keterbatasan informasi, tak mampu memberikan informasi memadai atas apa yang terjadi sebelum dan sesudah pemotretan. Bahkan tak jarang, menyuguhkan informasi menyesatkan.
Menurut Roland Barthes: Citra fotografi pada dasarnya adalah analogon sempurna dari kenyataan, a message without a code yang secara literal memustahilkan deskripsi, tapi secara paradoksal menjadi dasar dari pembentukan pesan mengandung kode yang pembacaannya sangat tergantung pada sejarah dan pengetahuan orang yang memandangnya.[17] Itulah kenapa makna sebuah foto ditentukan oleh pemandangnya, ketika disebut bahwa bagi orang lain foto-foto itu tak berjiwa.[18]
Tak heran apabila ketiga lembar foto Johan dalam film The Photograph tidaklah dipahami Sita dan orang lain yang tak memahami konteks sejarahnya; tak berarti apa-apa selain hanya menerbitkan penasaran. Mereka hanyalah bermakna sebagai “salinan realitas” bagi diri Johan pribadi sebagai pemilik sekaligus pemotretnya. Di sinilah letak sakralitas foto lama itu.
Dalam tradisi Tionghoa, foto sebagai representasi (sebelum foto ada, digunakan lukisan atau nama) memang sudah menjadi hal umum. Foto-foto itu—sebagaimana yang juga diperlihatkan dalam The Photograph (berupa foto anak-istri dan orang tua Johan)—lazim diletakkan di altar sembahyang sebagai pengganti orang-orang yang sudah mati.
Ya, foto menjadi sakral lantaran konteks waktu bukan karena mengulur usia manusia, meskipun cuma seakan-seakan atau secara ilusif. Lantaran kemampuannya mengada dalam waktu. [19]
***
SITA dan Johan adalah dua orang berbeda generasi, berbeda etnis, dan berbeda jenis kelamin yang dipersatukan oleh nasib: kegetiran hidup yang muram.
Pada Sita, kegetiran itu berupa kemiskinan. Sebagai seorang single mom yang mesti meninggalkan desanya untuk bekerja jadi penyanyi karaoke dan pekerja seks di kota, ia bukan hanya mesti menghidupi anaknya tetapi juga mencari biaya pengobatan untuk neneknya yang sakit. Karena itu cita-citanya adalah bisa membawa anak dan neneknya hidup bersamanya. Namun itu sungguh tak mudah lantaran ia juga terjerat hutang pada seorang germo bernama Suroso (Lukman Sardi) yang dulu membawanya ke kota, yang setiap saat mengancamnya akan membeberkan kepada anak dan neneknya serta orang-orang desa apa pekerjaannya di kota:
Sita sendiri selalu mengaku kepada nenek dan anaknya, juga Pak Rohim tetangganya yang menjadi tempat ia menelepon Yani, bahwa dirinya punya “pekerjaan baik-baik” di kota sebagai buruh di pabrik garmen. Karena itu secara rutin ia pun mengirimkan foto-foto dirinya dalam pose ceria mengenakan pakaian-pakaian modis yang dipinjamnya dari Rossi yang berprofesi sebagai penjahit. Semua foto itu, termasuk yang sejak awal diperlihatkan kepada kita, merupakan foto-foto yang dijepret di Roemah Photo Tan (tempat ia mengenal Johan). Ya, sampai di sinilah kita jadi tahu betapa pentingnya foto-foto itu bagi diri Sita. Sebab lewat foto-foto itulah ia seakan bisa menampilkan “dirinya yang lain” yang ia ingin orang lain lihat, terutama anaknya.
Tetapi tidaklah dalam semua foto ia ternyata sanggup “berakting” ceria. Pada selembar dari dua potretnya yang dicuci oleh Johan suatu kali tampaklah wajah aslinya yang sedih dan murung dengan mata sembab. Toh, seperti kata Johan, itulah salah satu esensi fotografi: “Foto bisa jujur, bisa menipu. Terserah mau pajang yang mana, dan yang mana yang mau disimpan.” Sehingga dalam hal ini kita pun kembali mempertanyakan apakah potret benar-benar dapat diterima sebagai representasi realitas atau seyogianya ia hanya sebuah salinan palsu?
Tetapi kejujuran wajahnya yang terekam kamera Johan itulah yang kemudian membuat Sita mencoba menanggalkan topeng yang selama ini ia kenakan (demi melindungi nama baik diri dan keluarganya) dengan mengaku di depan cermin: “Namaku Sariah, bukan Sita.” Bahkan pada akhir film, akhirnya ia membakar semua “potret bertopeng keceriaan”-nya itu bersama foto-foto tua Johan yang sudah meninggal.
Johan sendiri memiliki kegetiran hidup yang berbeda, sebagaimana yang terungkap lapis demi lapis sepanjang alur film ini. Sebelum kenal lebih dekat dengan Johan, Sita seperti Rossi dan orang-orang lain, hanya memandangnya sebagai lelaki tua aneh yang cuma bicara seperlunya, tak mau bertatapan, dan setiap pagi melakukan rutinitas membakar dupa dengan sesajen buah-buahan di atas rel kereta. Selain suka mengintip aktivitas Johan membuka peti besarnya saban malam dari celah papan kamar lotengnya, Sita juga beberapa kali tanpa segan memakan apel sesajen lelaki itu.
Barulah setelah pada suatu hari fotografer itu menyelamatkannya dari tangan Suroso yang membuat hubungan mereka jadi lebih dekat oleh rasa empati masing-masing, perlahan Sita mulai mengenal sosok Johan lebih jauh dan berusaha memahami lelaki tua itu. Sampai akhirnya sedikit demi sedikit ia pun mengetahui rahasia hidup Johan dan apa makna ketiga lembar foto di altar sembahyang yang tersangkut erat pada masa silam si tukang foto.
Perbedaan antara Sita dan Johan yang cukup kentara adalah apabila Johan seolah terperangkap dalam foto-foto masa silam; foto-foto Sita adalah masa depan lebih baik, sekali pun itu masih berupa harapan temporary yang diwujudkan secara manipulatif lewat pose dibuat-buat. Dan hal ini dengan tegas pernah dinyatakan Sita di hadapan Johan yang sedang membakar dupa untuk arwah anak-istrinya: “Aku melihat ke depan, Pak. Bukan ke masa lalu seperti Bapak. Aku mesti jaga nenekku, mesti jaga anakku. Yang hidup yang penting, Pak. Bukan yang mati.”
Tetapi apakah hidup Johan memang hanya melulu tertoleh ke masa lalu? Ketiga lembar foto di atas altar memang mengisyaratkan demikian: sebuah sakralitas masa silam pada potongan-potongan kertas yang menguning secara emosional. Namun sebagaimana Sita, kita akhirnya tahu betapa keramatnya ketiga lembar foto itu untuk Johan, yang mengikat hidupnya penuh seluruh dalam aktivitas penghidupannya sebagai fotografer, tanpa ia berdaya menolak. Dalam perkara inilah, Johan seolah tak kunjung beranjak, tak mampu beranjak, bahkan tak ingin beranjak dari masa lalu yang tercetak di atas foto. Usianya kian menua, masa berganti, tetapi waktu tetap saja (seakan) membeku dalam momen-momen tertentu yang terus menghantuinya dengan rasa bersalah: “Saya tidak pernah melakukan apa pun dalam hidup saya yang berarti.”
Sehingga di sini—di luar tuntutan tradisi China untuk mengenang mereka yang sudah tak ada—kata Seno, “yang sakral bukan cuma potret saja, tetapi juga yang lama”.[20]
Meskipun orang-orang seperti Rossi sedikit-banyak sebetulnya sudah tahu peristiwa seperti apa yang dialami Johan sehingga ia dianggap aneh, tetapi semua itu barulah benar-benar terungkap pada penghujung film ketika lelaki tua itu akhirnya berkenan membagi “duka abadinya” kepada Sita dengan menunjukkan seluruh isi peti kayunya yang penuh rahasia: Istri dan anak laki-lakinya mati tertabrak kereta api pada hari ketika ia memutuskan untuk menolak meneruskan profesi fotografer yang turun-temurun dalam keluarganya demi mewujudkan cita-citanya bepergian jauh, kembali ke China. Sebuah cita-cita yang kandas baginya bukan saja karena sebagai generasi keempat dari keluarga tukang foto ia telah berjanji untuk menjadi seorang penerus, namun tampaknya juga karena sebagai seorang lelaki Tionghoa ia memikul kewajiban untuk melanjutkan xing (marga) keluarganya dengan menikah.
Karena itu foto rel tempat anak-istrinya mati tertabrak (atau menabrakan diri pada) kereta api yang ditumpanginya menuju pelabuhan pun berlaku seperti mesin waktu bagi Johan: kapan saja ia memandang foto itu, ia seperti kembali ke momen paling menyakitkan dalam hidupnya. Walaupun bukan hanya foto itu saja yang dimiliki oleh Johan, tetapi juga foto-foto lainnya yang lebih mengiriskan dan mengerikan—yang selama ini tersimpan rapat dalam kotak besi terkunci dalam peti kayunya—yakni foto-foto potongan tubuh anak-istrinya.
Saya yang memotret ini. Saya ada, pada hari itu. Pagi itu, saya beri tahu Selly saya akan meninggalkan mereka. Saya benci semua dalam hidup saya. Saya benci menjadi penerus warisan keluarga. Benci menjadi orang yang menurut. Dan saya katakan ke Selly kalau saya tidak cinta dia. Saya tidak pernah cinta dia. Saya katakan semuanya pada hari itu.
Sejak tragedi itulah ia tak pernah lagi naik kereta api, tak pernah pergi ke pelabuhan yang ia rindukan; yang mestinya menjadi tempat ia bertolak meninggalkan semua hal yang tak ia sukai pada masa muda. Setidaknya sampai suatu hari ketika Sita bersedia menemaninya naik kereta pergi ke pelabuhan untuk terakhir kali dalam hidupnya.
Di sinilah kemudian terungkap makna foto kedua: pemandangan pelabuhan tempat di mana “Kapal-kapal dari China ada di sini. Saya ingat saya hampir jatuh waktu turun”, sebuah foto yang menjadi muasal kegetiran hidupnya, membuat ia merasa menjadi lelaki durhaka yang lalai pada tanggungjawab terhadap keluarga. Dan dalam foto pelabuhan ini seakan-akan tersimpanlah masa depan yang telah lama menjadi masa silam: sebuah past future continuous.
Namun foto ketiga (kamera yang tegak di sisi kursi kosong dalam studio) semestinya merupakan hal dari masa silam yang belum selesai. Karena hingga menjelang akhir hayatnya (yang telah sakit-sakitan), Johan belum juga berhasil mendapatkan pengganti untuk meneruskan profesi warisan keluarganya. Kendati ia telah menyebarkan dan menempel selebaran di mana-mana, tetapi yang datang melamar jadi fotografer magang hanyalah orang-orang tak berkompeten yang bahkan tidak paham cara memotret. Bahkan satu-satunya orang (pecatan tentara) yang akhirnya ia terima, ternyata memiliki kelainan mata.
Apabila foto pertama Johan merupakan foto menangkap kematian (dan membalsemnya), foto ketiga ini seolah-olah hendak menunda kematian. Yang sekilas-pintas mirip dengan apa yang hendak diutarakan oleh Goenawan Mohamad lewat puisi “Buat H.J. dan PG”, yakni tatkala sebuah foto lama diajukan seorang lelaki tua kepada malaikat maut (yang hanya tertawa) untuk menunda ajalnya lantaran anaknya akan tiba terlambat dari rumahnya yang jauh. Sebuah foto yang demikian sakral karena di sanalah berada “tempat yang kita kenal” dengan “saat-saat yang tak pernah baka”. Namun kita pun mafhum bahwa tak seorang pun bisa menunda kedatangan malaikat maut. Dalam kuasa waktu, kematian adalah sebuah keniscayaan.
Terungkap juga di sini ternyata Johan tak memiliki selembar pun potret dirinya sendiri. Sebab dalam keyakinan dan tradisi keluarganya turun-temurun, hanyalah seorang fotografer pengganti yang boleh memotret dirinya. Syarat lainnya, pengganti itu haruslah laki-laki. Karena itu, walaupun Sita tampak tertarik pada dunia fotografi, ia tetap saja tak diijinkan Johan untuk menjepret dirinya (karena bisa sial) dan menyentuh kameranya. Hal ini berarti Johan akan mati sebagai lelaki gagal yang tak mampu memenuhi janji bahkan sumpahnya kepada leluhurnya untuk menemukan penerus profesi keluarga. Profesi yang dulu ia tolak sehingga mendatangkan kesialan berupa kematian tragis anak-istrinya. Dan ini merupakan kegagalan keduanya (yang bakal mengakibatkan arwahnya kelak tak akan bertemu dengan keluarganya di akhirat) setelah ia gagal memenuhi janjinya untuk menjadi anak yang baik, suami yang baik, dan ayah yang baik. Itu sebabnya Johan merasa “Belum siap untuk pergi. Belum selesai tugas-tugas saya. Belum sekarang.”
The Photograph bukanlah kisah atau kajian yang “menggugat fotografi” seperti cerpen Italo Calvino “Petualangan Seorang Fotografer” dan buku On Photograph karya Susan Sontag, maupun film yang mempertanyakannya seperti Blow-Up (1966) karya Michelangelo Antonioni yang sempat dibicarakan Seno. Namun demikian kita pun seakan menemukan adanya semacam keserupaan yang tak sama antara Johan dan karakter Antonio Paraggi. Di mana keduanya adalah orang yang berkonfrontasi dengan fotografi.
Hanya saja, jika Antonio yang bukan seorang fotografer memotret sembari terus-menerus meralat kesimpulannya perihal fotografi demi membangun polemik “antifotografi”-nya, Johan adalah orang yang menjalani profesi itu dalam keterpaksaan dan penyesalan. Tetapi begitu, toh keduanya tampak begitu sungguh-sungguh melakoninya. Hal ini terlihat misalnya dari rasa penasaran Sita setiapkali Johan mengambil foto para pelanggan yang tak cukup hanya dengan sekali jepret saja tetapi mesti berkali-kali agar menghasilkan foto terbaik, meskipun hal itu terkesan memboroskan negatif film. Sementara Antonio akhirnya menyadari bahwa memotret yang ia tinggalkan adalah jalan sesungguhnya yang secara tidak jelas telah dicarinya selama ini.
***
“APA yang mendorong kalian untuk memotong kontinum aktif hari ini menjadi bagian-bagian temporal, ketebalan dari satu detik?” tanya Antonio Paraggi dalam ceramahnya tentang fotografi kepada Bice dan Lydia yang memintanya menjepret adegan mereka sedang bermain bola di pantai. “Dengan melemparkan bola itu ke sana-kemari, kalian hidup saat ini, tetapi ketika pandangan pada bingkai disisipkan di antara tindakan kalian, bukan lagi kesenangan dalam permainan bola itu yang memotivasi kalian, melainkan keinginan untuk melihat diri kalian lagi di waktu mendatang, keinginan untuk menemukan kembali diri kalian dua puluh tahun kemudian,”[21] begitulah ia menarik analisa yang menegaskan kembali temporalitas foto sebagai representasi realitas termaknakan.
Sebuah foto tak ada untuk dan demi momen yang direkamnya saja, tetapi kepada siapa pun yang akan memandangnya di masa depan. Memotret itu mengambil dan menciptakan kembali sebuah dunia, yang hanya dimungkinkan oleh temporalitasnya, sebuah foto ada lantaran waktu membuatnya terus-menerus ada.[22] Apa yang direpresentasikan sebuah foto hanya pernah ada, tetapi tak akan pernah selesai digambarkan seperti apa.[23]
Pada Johan, masa lalu yang tragis seolah-olah terbekukan dalam foto rel kereta yang menelan nyawa anak-istrinya. Namun bukan foto itu saja yang menjadi representasi rasa sakit dan penyesalan kekalnya yang ia jadikan sebagai pengingat kesalahan dirinya yang tak termaafkan, melainkan juga foto pelabuhan yang mewakili cita-citanya yang tak pernah terwujudkan dan foto kamera dengan kursi kosong yang mewakili pengharapannya untuk menebus dosa pada leluhur. Ketiga foto itu tak bisa dipisahkan, tetapi membentuk semacam kausalitas berkesinambungan secara bolak-balik: tanpa foto pelabuhan tak bakal ada foto rel kematian, dan tanpa janji kepada luluhur (foto kamera dengan kursi kosong) maka tak perlu ada foto pelabuhan idaman dan foto rel tragedi.
Kita (yang menonton film ini) tahu bahwa pada suatu malam menjelang detik-detik penghabisan hidupnya, Johan yang akhirnya menyerah pada kegagalannya menemukan seorang lelaki penerus profesi keluarganya itu pun mengenakan setelan jas terbaiknya yang selama ini tersimpan dalam peti dan meminta Sita untuk memotretnya. Apakah dengan demikian berarti ia akhirnya merestui Sita sebagai penggantinya?
Sayangnya, sebelum Sita berhasil menarik tuas kamera tuanya, Johan sudah keburu menghembuskan nafas terakhirnya di kursi. Sehingga jika buyut-kakek-ayahnya dijepret oleh para penerus masing-masing dengan penuh kebanggaan di samping kamera, satu-satunya potret diri Johan tak lain adalah sebuah post mortem photography. Meskipun Sita juga memotret dirinya bersama mayat lelaki yang abu jenazahnya kemudian ia tebarkan ke laut itu sambil menangis.
Foto terbingkai dalam pigura bertuliskan nama Johan yang bertahun-tahun tergantung kosong di Roemah Photo Tan inilah yang ditampakkan kepada kita sebagai penutup film disertai bergantinya suara narator dari Sita ke Yani (yang tak pernah hadir secara langsung dalam film): “Saya Yani, dan ini cerita ibu saya. Potret ini membawa Ibu dan saya untuk terus menjalani kehidupan dengan sebaik-baiknya. Kehidupan yang tertangkap pada dinding-dinding kenangan.”
***
SAYA kira The Photograph bukan hanya film terbaik Indonesia tentang fotografi, yang mencoba mengantar kita untuk memahami kompleksitas manusia dalam memaknai eksistensinya dalam waktu, tetapi juga salah satu film terbaik dalam upaya memahami Tionghoa—khususnya Hoakiau di Indonesia. Setidaknya film ini memang dibuat dengan pengetahuan tentang Tionghoa (identitas dan nama-nama, detail budaya-tradisi, sejarah, serta bahasa-aksara) yang jauh lebih memadai. Bukan dengan pandangan stereotipterhadapnya seperti yang kerap kita temukan dalam segelintir film Indonesia.
Karena itu di luar perkara keampuhan akting dan jam terbang Lim Kay Tong, pilihan untuk memasang aktor Tionghoa-Singapura yang berdarah Tionghoa asli, besar dalam komunitas Tionghoa, dan tak fasih berbahasa Indonesia seperti segelintir kaum Hoakiau Indonesia di daerah tertentu[24] ini sebagai pemeran Johan Tanujaya, saya rasa juga merupakan sebuah pilihan yang tepat demi mendapatkan potret yang lebih utuh dan realis.
Kekurangan film ini menurut saya adalah ia tidak berusaha menggunakan narasi sosial-politik untuk membangun latarnya. Padahal peristiwa kembalinya ratusan ribu Hoakiau dari berbagai daerah di Indonesia ke China Daratan pada tahun 1960-an akibat pemberlakuan PP 10/1959[25] misalnya, bisa saja menjadi latar yang kuat untuk menopang alasan logis Johan muda ingin kembali ke China. Bukan hanya sekadar hasrat seorang muda hendak memberontak terhadap kewajibannya menjadi penerus warisan keluarga yang tampak rada remeh. PP 10/1959 adalah sebuah potret diskriminasi rasial terhadap Tionghoa di Indonesia yang tak boleh kita lupakan begitu saja untuk merajut masa depan Indonesia.[]
.
[1] Film ini saya tonton ulang melalui platform Netflix pada Agustus 2024; ditonton pertama kali 6 Juni 2008 di Kompleks Sarkema, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta dalam bedah film “The Photograph” oleh Aparatur Temu Wicara KMSI 2008.
[2] Hoakiau (Mandarin: Huaqiao) artinya Tionghoa Perantauan (Overseas Chinese). Istilah ini awalnya dipakai untuk merujuk semua orang Tionghoa (apa pun warga negaranya; totok, keturunan, maupun peranakan) yang bermukim di luar China Daratan, Taiwan, Hongkong, dan Makau. Namun pada penggunaan belakangan, ia lebih dimaknai sebagai orang Tionghoa totok (kelahiran Mainland) yang tinggal di luar negeri saja.
[3] Dalam ejaan Mandarin dibaca Chen Tian Lai.
[4] Mandarin: Chen Lian Hui.
[5] Mandarin: Lin Qi Tang.
[6] Mandarin: Chen Han Yu.
[7] Lihat Gerard Genette, Narrative Discourse: An Essay in Method, trans. Jane E. Lewin (New York: Cornell University Press, 1980).
[8] Italo Calvino, Gli Amori Difficuli (Kecamuk Cinta), terj. Intan Fitriana Suwandi (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), 77.
[9] Rumah besar yang dihadirkan sebagai Roemah Photo Tan dalam film ini tampak memiliki corak interior cukup khas, baik dari tata letak ruangan, bentuk dan ornamen jendela, altar sembahyang keluarga, maupun keberadaan bagian rumah yang bolong di tengah atau yang dalam bahasa Hakka lazim disebut tian-chiang (harfiah: Sumur Langit). Rumah-rumah Tionghoa seperti ini—baik beton, setengah beton, maupun rumah papan—masih cukup banyak bertebaran di Bangka-Belitung dan Kalimantan Barat, umumnya dengan asistektur campuran China dan Belanda-Hindia.
[10] Selain Dewi Kwan Im, Dewa Kwan Kong merupakan dewa China yang paling banyak dipuja oleh kaum Tionghoa di Nusantara (Indonesia, Malaysia, Singapura).
[11] Susan Sontag, On Photograph (New York: RosettaBooks LLC, 2005), 127-128.
[12] Lihat https://id.m.wikipedia.org/wiki/kamera, diakses 03/09/2024.
[13] Nirwan Ahmad Arsuka, “Susan Sontag, dll.: Citra—Waktu” dalam https;//arsuka.wordpress.com/2008/09/25/sontag-citrawaktu/, diakses 03/09/2024. Esai ini juga dapat ditemukan dalam buku kumpulan esai Nirwan Ahmad Arsuka, Semesta Manusia (Yogyakarta: Ombak, 2018)
[14] Ibid.
[15] Dipetik dari puisi Goenawan Mohamad, “Kwatrin tentang Sebuah Poci”. Lihat Goenawan Mohamad, Asmaradana (Jakarta: Grasindo, 1992), 51. Puisi ini juga dikutip dan diinterpretasi oleh Seno Gumira Ajidarma pada esainya “Kalacitra” dalam JB Kristanto dan Nirwan Ahmad Arsuka (ed.), Bentara – Esei-esei 2002 (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), 201.
[16] JB Kristanto dan Nirwan Ahmad Arsuka (ed.), 201.
[17] Seperti yang dikutip Nirwan Ahmad Arsuka dalam “Susan Sontag, dll.: Citra—Waktu”. Periksa Roland Barthes, “The Photographic Message” dalam Image Music Text, terj. Stephen Heath (New York: Hill and Wang, 1977), 8-9.
[18] JB Kristanto dan Nirwan Ahmad Arsuka, 211.
[19] Ibid, 207.
[20] Ibid.
[21] Italo Calvino, Gli Amori Difficuli (Kecamuk Cinta), 69.
[22] Seno Gumira Ajidarma, 202.
[23] Ibid, 207.
[24] Sampai kini masih terdapat orang Tionghoa di Bangka-Belitung yang tidak fasih berbicara dalam bahasa Indonesia. Beberapa anggota keluarga besar penulis esai ini contohnya.
[25] PP 10/1959 adalah sebuah peraturan berisi larangan bagi orang-orang asing untuk berdagang eceran di luar ibukota tingkat I dan tingkat II, yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1960. Akibat PP ini, puluhan ribu orang Tionghoa dipaksa meninggalkan tempat usaha dan kediamannya. Meskipun isi peraturan ini hanya melarang mereka “berdagang eceran” di luar ibukota provinsi dan kabupaten, tetapi dalam pelaksanaannya di lapangan oleh militer, mereka dipaksa meninggalkan kediaman. Termasuk orang-orang Tionghoa bukan pedagang dan yang telah tercatat sebagai WNI. Tindakan paling brutal terjadi di Jawa Barat di bawah pimpinan Kolonel Kosasih. Tentara melemparkan ratusan keluarga Tionghoa ke atas truk dan membawa mereka ke kamp. Di Cimahi, Juli 1960, seorang perempuan Tionghoa mati tertembak ketika ia bersama keluarganya mencoba bertahan, tidak mau meninggalkan rumah. Apa yang dilakukan Kosasih begitu provokatifnya sehingga Kedutaan Besar RRC di Jakarta menentangnya dengan meminta agar orang-orang Tionghoa tunduk kepada komando kedutaan dan tetap tinggal di rumah sampai mereka menemukan solusi. Selain menyampaikan protes melalui Duta Besar Huang Chen, pada 10 Desember 1959 Radio Peking kemudian mengumumkan seruan kepada Hoakiau yang memilih kewarganegaraan RRC untuk “kembali ke kehangatan Ibu Pertiwi” (Guiguo). Mereka yang tertarik kepada seruan tersebut segera didaftarkan oleh Kedubes RRC. Selain mengirimkan kapal Guanghua, Peking juga menyewa beberapa kapal perusahaan Belanda seperti Tjiwangi, Tjiluwah, dan Tjitjalengka untuk mengangkut para Hoakiau yang hendak kembali ke China. Pada awalnya bukan hanya mereka yang menjadi korban PP saja yang tertarik untuk pulang ke China, tetapi juga banyak pemuda dan pelajar menyambut seruan Radio Peking ini dengan gembira dan penuh semangat. Tercatat kurang-lebih 130.000-an Hoakiau meninggalkan Indonesia untuk bermukim kembali di China Daratan, termasuk mereka yang mengenakan kebaya encim. (dari berbagai sumber). Perihal PP 10/1959 ini antara lain bisa dibaca dalam Benny G. Setiono, Tionghoa dalam Pusaran Politik (Jakarta: TransMedia, 2008), 811-815.
Saya percaya bahwa, karya sastra sufistik adalah karya yang lahir dari getaran batin yang kuat, akibat merasakan kehadiran Tuhan (Sang Pencipta Alam). Dan oleh karena pengungkapan ekspresi keagamaan seperti inilah, pembacaan lirik dengan langgam (tembang) atau perangkat bahasa lokal tertentu, sepertinya dapat dinilai sebagai amal ibadah. Tentu, ibadah yang dimaksud adalah ibadah dalam arti lain, yakni ibadah di luar kewajiban Syariat Islam yang telah ditetapkan.
Di sisi lain, dari syair-syair sufistik itu, kita juga bisa memahami bagaimana hubungan antara sastra dan agama yang begitu erat. Agama nampak sebagai inspirasi, sedangkan sastra sebagai wahana yang tepat untuk mengaktualisasikan pengalaman batin yang mustahil dijelaskan dengan bahasa-bahasa normatif atau bahasa rasional lainnya. Sebab, sandaran utama sastra adalah rasa. Dan barangkali di sinilah letak nilai estetika dari syair-syair yang bertema sufistik itu.
Saya juga percaya, kesan-kesan keakraban dengan Sang Maha Pencipta, yang dituangkan kedalam syair-syair sufistik itu, tidak mesti datang dari orang-orang Arab. Wahananya juga tidak harus menggunakan aksara maupun Bahasa Arab. Getaran batin akibat merasakan kehadiran Tuhan yang dituangkan kedalam karya sastra itu, sekiranya juga dapat lahir dari insan-insan arifin di manapun jua, dan dari karya-karya di daerah manapun juga. Tidak terkecuali dari naskah-naskah klasik lokal yang nyaris tersebar di seluruh penjuru wilayah Nusantara. Seperti naskah-naskah takepan yang ada di Pulau Lombok, misalnya.
Takepan merupakan istilah lain untuk menyebutkan naskah-naskah kalsik masyarakat Suku Sasak yang ada di Pulau Lombok. Asal kata takepan adalah “takep”, takep bermakna barang yang tersimpan dan tersembunyi (Ihsani, Utari, & Mandala, 2021). Jadi, takepan merupakan semacam perbendaharaan masyarakat Suku Sasak yang memiliki nilai estetika dan etika tinggi, yang tidak boleh dibaca oleh sembarang orang dan sembarang waktu. Tema-tema utama yang sering dibahas dalam takepan adalah tema-tema seputar, konsep ajaran tasawuf yang mendalam, wiracarita (cerita kepahlawanan Islam), kisah-kisah alegoris, dan tema-tema sejarah lainnya.
Hanya saja, karena di Lombok tidak memiliki semacam pusat kajian naskah-naskah kelasik. Sehingga relasi antara takepan dan Agama Islam semakin tersamarkan. Dan keberadaan takepan, rentan untuk disalah artikan. Bahkan, tidak sedikit masyarakat Sasak menganggap takepan sebagai naskah klasik yang menyesatkan. Sebab isinya dinilai sudah bercampur dengan ajaran-ajaran Hindhu dari Bali. Mengingat Pulau Lombok memiliki latar belakang sejarah, sebagai pulau yang pernah ditaklukkan oleh Kerajaan Karang Asem, kerajaan bercorak Hindhu dari Bali.
Kemungkinan lainnya, bisa jadi karena di tengah-tengah masyarakat Hindu di Bali, juga berkembang tradisi kepenulisan sastra berlatar agama, yang produknya dikenal dengan istilah cakepan. Dimana cakepan merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut sejumlah lempir naskah lontar, yang digabungkan menjadi satu bagian utuh. Cakepan ini juga diasosiasikan dengan Pandawa Lima (tokoh utama Epos Mahabarata), oleh karenanya cakepan haruslah terdiri dari 5 unsur matrial penyusunnya. Daun lontar yang diibaratkan sebagai Arjuna, teks sebagai Yudistira, tali benang dan kepeng bolong sebagai Bima dan dua penggapit naskah diibaratkan sebagai Nakula dan Sahadewa (Sedyawati, dkk, 2021). Maka tak heran jika takepan diidentikkan dengan cakepan yang berkembang di “Pulau Dewata” itu, karena kemiripan istilah yang dipergunakan untuk menyebut naskah-naskah kelasiknya masing-masing.
Namun, di luar dari kemungkinan tersebut, tidak sedikit dari masyarakat Sasak yang masih dan lebih percaya bahwa, takepan memiliki hubungan yang erat dengan suluk di Jawa. Saya pribadi lebih cenderung menerima tesis ini ketimbang pendapat-pendapat yang lain. Sebab, dengan sangat mudah indikasi-indikasinya bisa terlihat dari aksara, bahasa dan format pengungkapan yang dipergunakan dalam takepan, lebih kurang, memiliki kesamaan dengan aksara, bahasa dan format pengungkapan dalam karya-karya suluk di Jawa.
Bedanya jangkauan pembahasan takepan-takepan Lombok relatif lebih sempit, tidak seluas jangkauan pembahasan suluk di Jawa yang juga menggubah anasir-anasir sastra kuno dari Hindhu-Budha, menjadi karya sastra yang punya spirit ajaran tasawuf. Misalnya seperti Serat Paramayoga, Serat Kanda, Ramayana, Mahabarata, Serat Dewa Ruci, Wedatama dan seterusnya. Nasakah yang saya sebutkan itu, nyaris tidak dikenal oleh masyarakat Sasak. Paling jauh adalah naskah-naskah klasik yang masih berhubungan dengan Kidung Panji. Semisal Serat Rengganis dan Serat Menak, yang tentunya telah digubah agar kedua naskah klasik tersebut juga menjiwai spirit ajaran-ajaran tasawuf.
***
Di Jawa, nampaknya semua pengkaji naskah klasik, bersepakat bahwa suluk merupakan istilah untuk menyebutkan kazanah kesusastraan dan atau kepustakaan Jawa yang bercorak sufistik. Suluk mulai berkembang pada era berdirinya Kesultanan Demak. Sebab, istilah “suluk” memang merupakan kata serapan, yang diadopsi dari Bahasa Arab (Islam) yakni “salaka”, yang bearti “perjalanan spiritual”.
Menurut pendapat Simuh, suluk, babad, serat, wirid dan karya sastra Islami lainnya itu, mulai berkembang setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit, dan di saat yang bersamaan muncul Kesultanan Demak yang dikelilingi oleh para wali Tanah Jawa sebagai penasehat spiritualnya. Dengan berdirinya Kesultanan Demak, maka orientasi keagamaan maupun kesusastraan masyarakat Jawa menjadi berubah, dari yang tadinya beragama Hindhu-Budha menjadi Islam. Dari sinilah pihak Kesultanan Demak mulai mempelajari dan menyerap unsur-unsur kebudayaan dari tradisi pesantren sebagai subjek matter karya-karya kepustakaan Islam Jawa pada waktu itu (Simuh, 1995).
Lebih jauh, Irfan Afifi mencoba melakukan pembacaan ulang tentang makna suluk. Irfan Afifi, mendasari pembacaannya dengan merujuk falsafah hidup orang Jawa yang paling utama yakni, “Sangken Paraning Dumadhi”. Sebuah ungkapan khas Jawa yang memberi makna akan kesejatian perjalanan hidup, sehubungan dengan asal usul kehidupan dan tujuan akhir perjalanan hidup manusia Jawa yang kembali ke Sang Maha Hidup. Dalam istilah lain, perjalanan hidup ini disebut: laku, mlaku, atau lelakon. Oleh sebab itu, tak heran jika Kepustakaan Jawa di era Demak hingga Mataram Islam diintrodusir oleh para wali Tanah Jawa dengan neologi baru yakni suluk yang sama-sama bermakna “sebuha perjalanan”. Dan secara otomatis membedakannya dengan dengan genre sastra pada era Majapahit atau masa pra-Islam, yakni Parwa, Kakawin dan Kidung (Afifi, 2019).
Namun, oleh karena, perjalanan yang dimaksud tidak hanya perjalanan yang bersifat ragawi semata, tetapi sebuah perjalanan yang melingkupi seluruh kehidupan manusia baik perjalanan yang bersifat lahiriah maupun perjalanan batin yang bisa menjebak. Oleh sebab itu dalam lakon atau “perjalanan besar” ini, manusia Jawa mestinya selalu awas terhadap emapt warna atau simbol nafsu dalam dirinya, agar ia bisa selamat sampai tujuan. Empat warna itu adalah hitam, merah, kuning dan putih. Keempat simbol warna inilah yang dihubungkan dengan empat konsep pembagian nafsu menurut Imam Ghazali yakni lawwamah, amarah, supiah, dan mutmainnah (Afifi, 2019). Sikap kewaspadaan orang Jawa terhadap empat warna ini kemudian termanifestasikan kedalam pagelaran lirik suluk, yang lebih popular dengan istilah “tembang macapat atau macapatan”.
Demikian juga halnya dengan nama-nama langgam utama dalam karya sastra suluk yang tidak terlepas dari konsep perjalanan hidup, oleh karena itu para wali Tanah Jawa, menciptakan nama dan jenis-jenis tembang yang menggambarkan siklus perjalanan hidup manusia secara utuh, mulai dari awal sampai akhir perjalanan hidupnya. Tembang-tembang itu adalah tembang maskumambang (dalam kandungan), mijil (lahir), kinanti (masa penantian), sinom (muda), asmarandana (mulai tumbuh perasaan cinta kepada lawan jenis), gambuh (menikah), durma (berkaya), dandanggula (merasakan pahit manis kehidupan), pangkur (mulai mengambil jarak terhadap dunia), megatruh (meninggal dunia), dan pucong (dibungkus dengan kain kafan) (Purwadi, 2005).
Dari uraian di atas nampak jelas ada relasi yang kuat antara sastra dan agama Islam. Agama dan perasaan haru manusia (baca: sastra) di hadapan Sang Khalik seakan berkelindan membentuk satu kesatuan. Bersamaan dengan itu, nampak jelas bagaimana cara orang-orang terdahulu baik di Jawa maupun di Lombok menjangkau dan mengamalkan ajaran agamanya, dengan caranya sendiri yang kemudian diaktualisasikan kedalam bentuk karya sastra, yang selanjutnya mengejawantah menjadi tradisi budaya (lokal). Maka tak heran jika dalam satu lirik Suluk Sontrang ditulis demikian: “Liring suluk ika, Sesinden para wali” kurang lebih maknanya; “suluk itu adalah nyanyian para wali”. Dan sepertinya tidak berlebihan juga jika saya mendevinisikan takepan itu, sebagai nyanyian para wali Tanah Sasak. Wallahualam!
Daftar Refrensi:
Afifi, I. (2019). Saya, Jawa, dan Islam. Yogyakarta: Tanda Baca.
Ihsani, B. Y., Utari, T., & Mandala, H. (2021). Leksikon yang Digunakan dalam Ritual Pepaosan Takepan Masyarakat Suku Sasak: Sebuah Kajian Etnolinguistik. Jurnal Ilmiah Telaah, 172.
Poerbatjaraka, & Hadidjaya, T. (1957). Kepustakaan Djawa. Djakarta: Djembatan.
Purwadi. (2005). Sejarah Sastra Jawa. Yogyakarta: Gelombang Pasang.
Sedyawati, E, dkk. (2021). Sastra Jawa Suatu Tinjauan Umum. In T. Pudjiastuti, Media Sastra (pp. 187-188). Jakarta: Balai Pustaka.
Simuh. (1995). Sufisme Jawa Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Foto: Wati Nichols
Selama bertahun-tahun, saya melewati dan mencerap situasi kehidupan sosial, budaya, dan agama di sekitar saya. Tidak pernah tahu dan mempertanyakan situasi apa yang sebenarnya mengitari kehidupan saya di dusun. Baru saat masuk perkuliahan, persoalan-persoalan itu muncul kembali, dan saya merasa membutuhkan suatu penjelasan yang terang. Perlu rasanya, saya menginterogasi masa lalu yang membentuk lingkungan saya tumbuh itu.
Salah satu jawaban datang dari bukunya M.C. Ricklefs yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 Sampai Sekarang. Buku ini merupakan buku ketiga dari penelusuran Ricklefs soal Islamisasi di Jawa. Dua buku sebelumnya, Mystic Synthesis in Java: A History of Islamization from the Fourteenth to the Early Nineteenth Centuries dan Polarizing Javanese Society, Islamic and other Visions (c. 1830-1930). Jadi, buku ketiga itu merupakan kelanjutan dari penelitian yang panjang, mengikuti proses Islamisasi sejak abad ke-14.
Beruntungnya di Bab 1 buku Mengislamkan Jawa, Ricklefs memberikan ringkasan yang memadai tentang isi dua buku sebelumnya. Sehingga pembaca, tidak kehilangan konteks dari keberlanjutan yang akan dibahas. Bab 1 penting karena mengulas bagaimana proses menjadi Jawa sekaligus Islam dimungkinkan, dan bagaimana polarisasi masyarakat Jawa pasca Perang Jawa yang dikobarkan oleh Pangeran Diponegoro.
Saya mencoba menuturkan secara ringkas, meski tetap akan panjang, perjalanan dari Islamisasi masyarakat Jawa untuk menemukan simpul-simpul dari masa lalu. Simpul-simpul yang masih mengikat orang-orang di sekitar saya sampai hari ini.
Sisa-Sisa Sintetis Mistis?
Islam datang pada abad ke-14, dan menyebar di antara masyarakat Jawa. Perlahan-lahan, masyarakat Jawa beralih ke agama Islam dan menanggalkan agama lama. Namun, tidak semua bagian dari kepercayaan dan ritual lama dapat ditanggalkan begitu saja. Di sinilah sebentuk ‘negosiasi’ berlangsung terus-menerus, untuk mendapati puncak dari geseran-geseran antara keduanya (Islam dan Jawa) itu didamaikan oleh Kerajaan Mataram dan penerusnya. Dengan muara keyakinan Islam dengan gaya Jawa menjadi sebuah sufisme dengan batasan yang longgar, disebut Ricklefs sebagai “Sintetis Mistis.”
Sintetis Mistis diuraikan Ricklefs memiliki tiga pilar utama: kesadaran menjadi orang Jawa berarti menjadi Muslim, melaksanakan lima rukun Islam dengan baik, dan menerima kekuatan spiritual pra-Islam seperti Ratu Kidul, Sunan Lawu, dan makhluk lainnya yang dianggap ada. Selain itu, harmonisasi Islam dan Jawa ditunjukkan dengan kitab-kitab gubahan pujangga keraton seperti, yang terkenal, Serat Centhini.
Sintetis Mistis dianggap mengalami kemunduran setelah kekalahan Perang Jawa (1925—1830). Dengan Kolonial Belanda sebagai pemenang, serta tunduknya keraton-keraton warisan Kerajaan Mataram, kolonialisme yang intensif makin tak terbendung. Membenamkan perpecahan identitas Islam-Jawa demi menghilangkan potensi ‘revolusinernya’, seturut menjauhkan Sintetis Mistis.
Selama hampir menyentuh dua abad, dalam periode yang sangat panjang dari 1830 hingga sekarang (2024), Sintetis Mistis terus mengalami tentangan dari pelbagai arus yang datang dan gejolak yang timbul di Jawa. Membuatnya kian terpinggirkan, dan hampir sulit dijumpai. Dalam keadaan yang demikian, saya melihat, sejauh yang saya pahami, sisa-sisa dari Sintetis Mistis yang sederhana ala orang-orang dusun berdasar tiga pilar yang sudah disebutkan di atas, yang masih bertahan dan terasa di sekitar saya.
Seperti cerita Nabi Muhammad menggunakan mahkota Majapahit dalam Kitab Usulbiyah. Simbol ini juga yang muncul dalam cerita yang beredar di dusun saya, ketika sebuah keris tertancap di halaman masjid dan hanya bisa dicabut dengan Al Quran yang ditangkupkan ke wilahnya oleh orang yang spiritualitasnya matang. Jelas, keris mewakili Jawa, dan Al Quran mewakili Islam. Kalau mau menafsirkan lebih jauh, keris sebagai lambang kekuatan Jawa hanya dapat dikuasai/dikendalikan oleh orang yang memahami wahyu Allah yang tertuang dalam Al Quran.
Sementara dalam berdoa, bahasa Arab (untuk ayat Al Quran) dan Jawa (untuk terjemah ayat Al Quran, dan memanjatkan keinginan) masih sering digunakan di dusun-dusun. Untuk menyebut Nabi Muhammad beriringan dengan Kanjeng Amangkurat, ratu penguasa laut selatan, dan dewi-dewi dalam cerita-cerita Jawa hampir mustahil dijumpai. Saya beruntung, simbah adalah orang pintar andalan keluarga besar saya sering mengucapkannya.
Pernah saya bertanya kepada simbah, apa yang dimaksud dengan Kanjeng Amangkurat adalah raja Mataram? Jawabannya, benar. Namun, apakah yang dimaksud raja Mataram yang bergelar Amangkurat atau yang lain, saya tidak menemukan jawaban pastinya. Yang jelas, Kanjeng Amangkurat, ratu penguasa laut selatan, dan dewi-dewi yang disebut dalam kepercayaan simbah/orang pintar memang ada secara roh. Dan, roh-roh mereka inilah yang menjadi perantara. Yakni, menghampiri Nabi Muhammad untuk meminta ‘nasihat’, dan kemudian kembali disampaikan kepada siapa pun yang datang ke tempat simbah untuk menyembuhkan kesulitannya. Ini kemungkinan bermaksud mengatakan, kurang lebih, hubungan masyarakat Jawa ke Tuhan harus melewati raja kemudian Nabi terlebih dahulu.
Sisa-Sisa Hasil Polarisasi dan Islamisasi?
Pasca Perang Jawa (1830) hingga kejatuhan Demokrasi Terpimpin (1966) terjadi polarisasi yang hebat di masyarakat Jawa. Polarisasi atau keterbelahan ini bermakna, identitas Jawa yang sama dengan seorang Muslim menjadi terpisahkan. Varian religius yang beragam selanjutnya bermunculan.
Sebagai catatan, sepanjang hampir satu abad itu, ada proses polarisasi yang cukup besar. Pertama, program Tanam Paksa (1830-1970) diterapkan dan membelah masyarakat Jawa menjadi tiga golongan besar: abangan, priayi, dan putihan. Di samping itu, dalam perkembangannya muncul kelompok tarekat, kekristenan, dan pondok pesantren sebagai institusi tradisional.
Kedua, pada awal abad ke-20 kebijakan Politik Etis memunculkan kalangan atas terpelajar yang sadar organisasi. Pada dekade-dekade ini, organisasi menjadi identitas penting daripada polarisasi yang terjadi. Varian-varian religius yang dominan memperoleh bentuk institusionalnya, baik yang berupa partai politik yang konstituennya berasal dari varian religius tertentu, atau organisasi keagamaan sesuai varian religiusnya. Hal ini bertahan hingga memasuki era Pendudukan Jepang (1942-1945), Revolusi Kemerdekaan (1945-1949), Demokrasi Parlementer (1950-1959) dan Demokrasi Terpimpin (1959-1966) yang ditandai politik aliran.
Pada 1966, keterbelahan atau permusuhan antara dua varian religius besar, kaum santri dengan abangan berakhir. Kehancuran institusi kaum abangan, yakni Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta konstituennya (dipenjara dan dibunuh), melapangkan Islamisasi yang mendalam. Era Orde Baru (1966-1998) meneruskan Islamisasi yang selama satu abad lebih sebelumnya terinterupsi dan terpolitisasi.
Islamisasi tidak berjalan lancar begitu saja. Sebagai gambaran, sekutu santri dalam proses kehancuran PKI, yakni militer tidak membiarkan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) sebagai institusi politik Islam Modernis bangkit kembali. Di satu sisi, dominasi diri Soeharto dalam perpolitikan juga menjadi penghalang tersendiri dengan spiritualitasnya yang jauh dari ortodoksi Islam. Spiritualitasnya yang dimaksud simpati terhadap kebatinan Jawa dan gaya abangan. Hal yang tidak bisa diterima kalangan Islam Modernis. Sementara dengan kalangan Islam Tradisional NU, hubungannya pelik, karena persaingan pengaruh ke level akar rumput pedesaan.
Gaya spiritualitas Soeharto bagaimanapun seharusnya terakomodasi dalam bentuk-bentuk budaya dan kesenian lokal Jawa. Namun, karena bertahun-tahun sebelumnya dimanfaatkan oleh PKI, kebudayaan dan kesenian itu menjadi ‘tercemar’. Begitu pun dengan kelompok-kelompok kebatinan yang ada juga dicurigai bersimpati terhadap PKI. Tidak hanya oleh pemerintah, tetapi kalangan santri juga menolak dan memberikan tekanan terhadap kelompok ini.
Kekerasan dalam Peristiwa 1965-1966, telah membuat banyak aktivis PKI yang abangan berkonversi dari Islam nominal ke agama seperti Hindu, Buddha, dan yang paling banyak Kristen. Hal ini dilakukan oleh aktivis Kiri yang selamat karena untuk memperoleh rasa aman, bantuan para pemuka agama Kristen terhadap kesulitan yang dihadapi pasca 65, dan ketidaksukaan terhadap kaum santri karena keterlibatannya dalam Peristiwa 1965-1966. Pertumbuhan umat Kristen juga terjadi di tahun-tahun berikutnya dengan pelbagai faktornya, terutama di perkotaan. Hal ini kemudian tidak disukai dan mengusik kaum Islam Modern yang memang basisnya di kota besar.
Meski demikian, di satu wilayah di desa saya, hidup umat Kristen dengan institusi pendidikannya, SD Bopkri. Satu-satunya SD di desa saya yang menjadi tujuan anak-anak bersekolah di sana, termasuk ayah, ibu, dan paman-paman saya. Tak lama kemudian, menyusul berdiri Gereja Kristen Jawa (GKJ), sebagai sarana ibadah pada 1980-an. Dengan demikian, dalam masyarakat desa saya, ada komunitas Kristen dan Islam yang saling menciptakan pengaruh dan persepsi, walau tidak langsung. Semisal, paman saya yang berkonversi menjadi Kristen karena pernikahan; atau ayah saya yang sudah dewasa melihat Kristenisasi sedang terjadi, bergerak membendungnya dengan mengajak mendirikan masjid dan TK ABA Muhammadiyah. Bagaimana pun apa yang dilakukan ayah saya, mencerminkan salah satu alasan pendirian Muhammadiyah pada 1912.
Islam Tradisional di sisi lain tidak terlalu khawatir dengan konversi abangan ke agama lain. Ancaman mereka datang dari rezim Orba yang berusaha mengontrol setiap aspek dari masyarakat ke tingkat bawah. Melalui Majelis Dakwah Islamiyah (MDI) yang berafiliasi dengan Golkar, rezim Orba mencoba menukik mempromosikan Islam di pedesaan untuk menyaingi NU.
Pada 1971, Pemilu pertama Orba dilaksanakan dan menjadi lonceng kematian politik aliran. Kehancuran PKI membuat konstituen abangannya yang tersisa tidak ada tempat berpijak kecuali beralih ke Golkar yang menjadi pemenang. Hasil Pemilu itu dijadikan dasar untuk memaksakan fusi-fusi partai politik yang tersisa pada 1973 dan mengubur politik aliran. Setelah itu, kaum Muslim yang sudah dikerdilkan sedemikian rupa tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan kekuasaan politik, sehingga mereka sepenuhnya fokus dengan islamisasi dari bawah.
Kaum abangan di pedesaan yang tidak memiliki institusi lagi, dan menghadapi islamisasi yang gencar, derajat keislamannya menjadi lebih tinggi. Sembari, di satu sisi tetap mempraktikkan ritual slametan yang sangat penting sebagai solidaritas masyarakat. Identitas abangan mereka tidak lagi kuat, dan menjadi seperti yang bisa saya lihat dalam kehidupan beragama nenek-nenek saya. Orang yang rajin mengamalkan salat (salah satu rukun Islam) dengan baik, tetapi sekaligus gemar membuat sajen dan slametan untuk kejadian-kejadian tertentu. Hal inilah yang kemudian diturunkan kepada ibu saya.
Memasuki dasawarsa 1980-an, masyarakat Jawa dan Indonesia pada umumnya bertransformasi menjadi lebih religius. Pemerintah mendominasi proses islamisasi dengan pelbagai program seperti pendirian sekolah dengan pelajaran agama Islam dalam bentuk ortodoks; jumlah masjid bertambah dan yang rusak diperbaiki, serta dilengkapi pengeras suara; kelas menengah memperlihatkan tingkat kesalahan yang tinggi.
Ayah saya, berkat persentuhannya dengan perkotaan dan pendidikan kampus dapat dikatakan derajat keislamannya menjadi tinggi. Dia merangkul Islam Modern ala Muhammadiyah dalam kehidupan religiusnya. Artinya meninggalkan upacara seperti slametan dan kepercayaan terhadap roh-roh penunggu yang dihormati warisan orang tuanya. Bahkan setelah menikah, melarang ibu saya untuk membuat sajen.
Perubahan penting yang layak dicatat adalah sikap NU terhadap rezim Orde Baru pada paruh awal 1980-an. Organisasi Islam Tradisional ini tidak lagi ambil peran politik dengan menarik diri dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), menerima asas tunggal Pancasila yang dicanangkan pemerintah. Keputusan ini mengurangi kecurigaan pemerintah terhadap NU, dan menggerakkan keduanya dalam kerja sama Islamisasi. Lalu pada awal 1990-an, Soeharto dan keluarganya naik haji, serta merangkul Islam sebagai penyokong politiknya dengan diikuti pendirian Ikatan Cendekian Muslim Indonesia (ICMI). Kemudian, jilbab atau kerudung menjadi tren untuk pertanda kesalehan bagi perempuan diizinkan secara resmi.
Menjelang masa akhir Orde Baru, gerakan Islam yang ekstrem atau puritan bertahan dan tumbuh. Ini mengikuti apa yang sudah ada pada 1970-an di Surakarta, di mana muncul gerakan Islam yang membawa napas pemurnian. Dakwah Islam dijalankan dengan aktif, di mana kaum Modernis dan Revivalis terlibat di dalamnya. Gerakan lain yang patut dicatat, Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) yang menganggap semua bentuk Islam selain ajarannya salah; Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Bahasa Arab (LIPIA) yang didirikan oleh Arab Saudi dengan ajaran Islam Wahhabi-nya; dan, Dewan Dawah Islamiyah Indonesia (DDII) yang didirikan oleh Natsir (eks Masyumi) dan ingin “memurnikan Islam dari pembusukan lokal”.
Era Orde Baru telah menunjukkan Islamisasi yang mendalam di masyarakat. Sebuah laju yang tidak mungkin dikembalikan arahnya. Dengan Islam yang sudah dianut sebagian besar masyarakat Jawa, persoalannya bukan lagi upaya mengislamkan. Pada era Reformasi pasca 1998, dinamika terjadi antara para pengikut versi Islam yang saling bertentangan dengan pelbagai keragamannya di dalam masyarakat yang ter-Islam-kan.
Berada dalam konteks era yang terbuka, gerakan-gerakan Islam biasanya secara simplifikasi digolongkan berada dalam dua garis edar besar, moderat dan garis keras dalam ajaran religius dan aksinya. Gerakan-gerakan ini pada dasarnya saling bersaing merebutkan umat. Namun, terkadang mereka juga berangkulan untuk menangkis serangan kelompok lain. Terutama kelompok-kelompok yang moderat dalam menghalau serangan garis keras. Sementara itu, apa yang dianggap serangan adalah upaya kelompok-kelompok garis keras dalam menyelaraskan kesepahaman umat tentang Islam yang benar versi mereka. Kelompok-kelompok ini kadang melakukan aksinya dengan tindakan ekstrem dan kekerasan, bahkan bom bunuh diri. Namun, ada satu pengecualian yang rasanya perlu saya singgung, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
PKS ini awalnya merupakan gerakan tarbiyah di kampus-kampus negeri dengan praktik religiusnya modernis dan cenderung tanpa kompromi. Partai ini memilih aksi pragmatis dan bertahap melalui pemilihan elektoral. Mendeklarasikan dirinya sebagai partai dakwah, partai ini berusaha mendorong Islamisasi yang mendalam di masyarakat. Kader partai ini sudah terkenal militansinya dalam gerakan dakwah. Mayoritas pengikutnya adalah kaum Muslim kelas menengah di kota-kota besar yang sibuk.
Namun, dewasa ini, kader PKS mampu menembus dusun di kabupaten/kota kecil. Sebagai contoh, selama beberapa tahun terakhir (sebelum Pemilu 2019 hingga menjelang Pemilu 2024, dan hanya terjeda pandemi), seorang Caleg dari PKS aktif mengisi pengajian bulanan di masjid dusun saya. Kegiatan rutin itu disebut Pengajian Salimah, yang mana nama Salimah merupakan kependekan dari Persaudaraan Muslimah. Sebuah organisasi perempuan muslim yang aspirasi politiknya sejalan dengan PKS. Ibu saya hampir secara ajeg mengikuti pengajian itu. Saya hampir tidak tahu apa materi pengajian itu, yang jelas, dalam soal keagamaan, ibu saya tidak berubah sama sekali. Dia seperti yang saya kenal, sepeninggalnya suaminya atau ayah saya, kembali membuat sajen atau melakukan puasa di saat-saat tertentu sebagai srono atau sarana agar hal-hal yang akan dilakukan berjalan lancar dan sesuai keinginan.
Pertanyaannya, setelah melalui fase tidak menjalankan ritual slametan dan membuat sajen selama menikah dengan ayah saya, dan mengikuti pengajian yang digawangi kader PKS, mengapa ibu saya tetap saja kembali ke praktik peribadahan lamanya? Jawabannya mungkin berkaitan dengan masyarakat tempat dia tumbuh, yakni di dusun saya yang akan saya bahas di bawah.
Kehidupan Beragama Orang-Orang Dusun
Gerak sejarah Islam-Jawa yang sudah dipaparkan di atas, membawa sempalan ragam bentuk beragama yang ‘tersendiri’, tetapi sekaligus bukan khas orang-orang di dusun saya. Sangat mungkin bentuk-bentuk religius yang akan saya paparkan dapat dijumpai di tempat lain yang dihuni masyarakat Jawa—dan memang demikian adanya yang pernah saya dapati.
Di dusun tempat saya tumbuh, ada sebuah masjid dan punden yang berdekatan. Punden itu letaknya berada di sebuah bukit atau tanah dataran tinggi dan berdiri sendiri. Baru-baru ini, saya ke punden itu untuk mengamatinya lebih dekat. Ada satu batu kijing besar di sana yang membujur dari utara-selatan. Di bagian salah satu sisi kijing tercetak informasi dalam aksara Jawa dalam lima baris. Dengan batuan kawan yang bisa membaca aksara Jawa, informasi itu bila diurutkan berbunyi: Kyai Wayarata Pindagar 26-08-1985 (Martana). Kita bisa menduga, jika tiga baris awal merupakan nama yang dikuburkan di punden itu, sementara angka yang di baris keempat ada merupakan tanggal wafatnya dan yang di dalam tanda kurung mungkin sapaan akrabnya. Saya mencoba menanyakannya pada ibu saya, tetapi beliau tidak mengetahui apa-apa tentang sosok yang terkubur di punden itu.
Di sebelah barat laut punden atau arah ke Kaabah yang ada di Makkah, masjid dusun berdiri. Orang-orang dusun menjalankan ibadah di masjid itu selayaknya orang Muslim umumnya. Salat berjamaah saat hari Jumat atau Jumatan (bagi laki-laki), Idul Fitri dan Idul Adha. Pada hari-hari biasa, orang yang datang untuk salat lima waktu dapat dihitung dengan jari di satu tangan. Kebanyakan memilih salat di rumah. Masjid juga tidak memiliki kegiatan. Kontras dengan itu, saat bulan Ramadhan—biasanya mengikuti jadwal NU maupun pemerintah—kegiatan pendidikan baca Iqra dan Al Quran dilaksanakan setiap sore menjelang berbuka, jamaah yang salat lima waktu makin banyak—tetapi tidak signifikan, kecuali waktu sholat Isya’ yang disambung tarawih, mengadakan pengajian khusus memperingati turunnya Al Quran atau Nuzulul Quran, dan salat tarawih sebelas rakaat.
Di samping ibadah yang dikerjakan di masjid, orang-orang dusun juga mengadakan slametan maupun tahlilan yang rutin dilakukan dan bahkan ada jadwalnya, termasuk slametan di punden. Dalam setiap proses ritual yang dilakukan itu, selalu dipimpin oleh kaum yang kurang lebih mirip dengan modin, bukan ustadz. Dengan dipimpin oleh kaum, hal ini menunjukkan bahwa yang dilakukan masyarakat merangkul ibadah Islam baku dengan tradisi Jawa menjadi satu.
Hal itu diperkuat dengan hubungan antara masjid dan punden, yang mengikut George Quinn dalam Wali Berandal Tanah Jawa, menunjukkan poros varian religius lama yang sudah dibahas di atas, santri dan abangan. Saya curiga masyarakat di dusun saya berasal-usul, “Muslim Jawa yang pernah berbudaya abangan telah meninggalkan kecenderungan abangan mereka dan berbondong-bondong memeluk budaya santri” (h. 460). Prosesnya sendiri, saya kira, melalui pendalaman Islam selama era Orba, dibantu oleh seorang kiai yang kini makamnya dikeramatkan menjadi punden. Perlu dicatat juga, titimangsa wafatnya kiai itu masih tergolong baru—walau harus tetap dicurigai, serta proses mengeramatkan kuburan seseorang menjadi punden sendiri menunjukkan sisi abangan yang masih tersisa.
Sisi-sisi dari tradisi lama yang biasa dikatakan juga bisa dilihat dari beberapa hal yang pernah terjadi. Pada suatu ketika, ada peringatan hari besar Islam—saya lupa pastinya—dan masjid dusun menyelenggarakan pengajian serta pentas seni. Salah satu pengisi pentas seni yang tampil menghadirkan waria yang menyanyi. Bila hal itu, dilakukan pada akhir-akhir ini dan disebar melalui sosial media, saya cukup yakin kegemparan akan melanda. Namun, itu terjadi bertahun-tahun lalu saat saya masih kecil, penampilan waria di acara pengajian tidak pernah dilihat sebagai masalah. Kegemaran akan tonton ini juga diperlihatkan oleh orang-orang dusun yang doyan menonton jatilan. Mereka bahkan selalu rela menunggu bagian puncak pementasan, yakni ketika para penarinya kesurupan.
Sisa-sisa tindak-tanduk dari tradisi lama yang dianut masyarakat di dusun saya memberi wilayah toleransi longgar bagi ritual dan kepercayaan di luar ragam baku Islam yang wajib diamalkan. Sesuatu yang hari-hari ini mungkin dianggap bidah bahkan syirik oleh sebagian kalangan. Namun, berkat kelonggaran itulah, tidak ada keraguan di antara orang-orang di dusun saya yang merasa kurang dalam ibadahnya. Usaha terus untuk menyeimbangkan, jika boleh dikatakan, yang dari kultural dan spiritual secara bersama, tidak membiarkan salah satunya bergerak mandiri, tetapi bersama-sama, malah memantapkan keyakinan dari yang dijalani. Membuat masyarakat tidak merasa canggung harus melepaskan salah satunya.
Cerita tentang kehidupan beragama masyarakat dusun saya merupakan irisan kecil dari sejarah Islam-Jawa yang tergelar. Sewaktu-waktu kondisi umum yang besar dapat berubah. Dan memang, putaran roda sejarah Islam-Jawa sedang dan masih menggilas, kita yang hidup hari ini akan menjadi saksi sekaligus pelaku dalam proses itu. Semarang, 21 Februari 2024
Tampak api dari lampu teplok menghasilkan kepulan asap yang seolah naik perlahan secara spiral. Tampak kepulan asap membentuk empat figur, yaitu: petani, tentara kolonial, penguasa Jawa, dan putri Jawa. Sayang, pancar cahaya api dari lampu teplok tidak memberikan penerangan yang cukup sehingga sekeliling masih tampak gelap. Penampakan semua itu merupakan gambaran kover buku Kisah-kisah yang Terpendam dalam Pelita (2024) karya sepuluh peserta workshop program Mencari #7 (kelas menulis fiksi sejarah yang diampu oleh Yudhi Herwibowo dan digagas oleh Maysanie Foundation). Gambaran kover buku tersebut meletupkan kepenasaranku terhadap bagaimana sajian setiap api dari lampu teplok yang dimiliki sepuluh peserta.
Dalam buku Kisah-kisah yang Terpendam dalam Pelita, aku mengutip penggalan pengantar pertama, Berbagi Sinau, Sinau Berbagi, dari Sanie B. Kuncoro (pendiri Maysanie Foundation), yaitu: “Materi dalam buku ini adalah cerita pendek bertema sejarah. Kiranya akan menjadi sebuah cara mengulik sejarah dengan beragam misterinya dan menghadirkannya sebagai cerita pendek yang menarik sekaligus menumbuhkan kenangan masa silam.”[1] Lalu, aku mengutip penggalan pengantar kedua, Memendam untuk Menulis Fiksi Sejarah, dari Yudhi Herwibowo, yaitu: “Sejarah yang kita tahu sangatlah luas. Tapi menjadi semakin mengerucut saat kita mulai menentukannya dalam tema yang akan digarap. Para peserta memang masih terpaku pada daerahnya, atau yang terkait dengan daerahnya…”[2]
Aku menghubungkan pembacaan kutipan penggalan pengantar Sanie B. Kuncoro dan Yudhi Herwibowo dengan gambaran kover buku Kisah-kisah yang Terpendam dalam Pelita. Penghubungan tersebut menarik diriku untuk mengibaratkan api dari lampu teplok sebagai cerpen bertema sejarah. Dan aku membayangkan api dari lampu teplok berbahan bakar fakta dan fiksi. Aku memahami bahwa fakta dan fiksi harus tepat diramu oleh setiap peserta agar cerpen bertema sejarah dapat selalu menyala di hadapanku. Juga, aku memahami bahwa fakta dan fiksi dapat memengaruhi pancaran cahaya cerpen bertema sejarah. Dua hal yang aku pahami itu berdasarkan kesadaran pembaca yang menyikapi ketegangan antara fakta dan fiksi dengan menitikberatkan acuan.
Ketegangan antara fakta dan fiksi dalam cerpen bertema sejarah disebabkan kemungkinan aku yang berjarak terhadap peristiwa masa lalu. Apalagi terlalu kental fakta memungkinkan tidak ada kesempatan bagiku untuk urun mengimajinasikan fiksi. Atau, justru terlalu kental fiksi sehingga aku—selaku pembaca—merasa fakta yang disodorkan penciptanya terasa tidak berguna. Sebab itu, titik berat acuan dapat meluweskan diriku agar selalu sadar mana bagian fakta dan fiksi. Perihal titik berat acuan, aku mengingat tulisan Acuan (2) karya Sapardi Djoko Damono yang membahas empat larik puisi Krawang—Bekasi karya Chairil Anwar: “//Teruskan, teruskan jiwa kami/ Menjaga Bung Karno/ Menjaga Bung Hatta/ Menjaga Bung Sjahrir//”. Berikut aku mengutip salah satu paragraf dari tulisan Acuan (2), yaitu:
Dengan demikian, pada hakikatnya dalam karya sastra fakta harus menyesuaikan diri pada dunianya yang baru, yakni fiksi—agar bisa dimanfaatkan sebagai pegangan dalam penafsiran. Fakta harus sudah menjadi pengertian yang ditafsirkan kurang lebih sama oleh anggota masyarakat sehingga tidak merupakan “benda asing” dalam karya sastra. Jadi, acuan dalam Krawang—Bekasi itu sebenarnya tidak berbeda dari yang dipergunakan penyair yang sama dalam sajak-sajaknya yang lain; Eros, Ahasveros, Romeo dan Juliet, adalah mitos, yang fungsinya sama dengan Bung Karno dan Bung Sjahrir. Dalam sastra, nama-nama itu hanya bisa ditafsirkan sebagai mitos; hanya dengan begitu ia bisa diacu dan dipahami.[3]
Kutipan paragraf dari tulisan Acuan (2) di atas telah menginformasikan bahwa nama-nama tokoh (Bung Karno; Bung Hatta; dan Bung Sjahrir) dalam puisi Krawang—Bekasi adalah fakta yang diketahui pembaca. Fakta yang mengandung latar belakang bagi pembaca agar tidak buta menelusuri puisi Krawang—Bekasi. Lalu pembaca menyadari nama-nama tokoh telah berada dalam dunia puisi sehingga mengalami perubahan dari fakta ke fiksi. Meski begitu, aku sempat berpikir apakah ada pembaca yang menolak perubahan itu dan mengembalikan ke awal mula (dari fiksi kembali ke fakta). Atau ada pembaca yang mempertahankan fakta tanpa mengubah ke fiksi. Kalau ada pembaca begitu, aku membayangkan fakta dan fiksi seperti sepasang anjing yang sama-sama lehernya terjerat dan saling menggonggongi.
Apa yang dibahas Sapardi Djoko Damono mengenai acuan pembacaan puisi Krawang—Bekasi bisa aku terapkan pada pembacaan cerpen bertema sejarah. Aku menganggap penerapan bisa terjadi karena cerpen bertema sejarah mengandung fakta dan fiksi. Sekarang, aku memasuki buku Kisah-kisah yang Terpendam dalam Pelita dengan mengambil tiga cerpen dari sepuluh cerpen karya peserta. Tiga cerpen itu hanya perwakilan untuk membahas sinau acuan cerpen bertema sejarah. Aku ingin mengetahui bagaimana tiga cerpen itu menampilkan fakta dan fiksi dengan menitikberatkan acuan. Tiga cerpen itu adalah cerpen Diana Sari, Dia dan Reformasi karya Angelina Enny; cerpen Seorang Penyair Bertandang karya Artie Ahmad; dan cerpen Lukisan Merah Daun Jati karya Puitri Hati Ningsih.
Cerpen Diana Sari, Dia dan Reformasi
Cerpen Diana Sari, Dia dan Reformasi menceritakan Diana Sari—seorang lady companion—yang berakhir mati dibunuh oleh prajurit ninja, anak buah bos perusahaan minyak, di ruang karaoke. Lalu, mayat Diana Sari dibuang prajurit ninja di bioskop yang keesokannya dibakar oleh kerusuhan pada era reformasi. Alasan Diana Sari dibunuh oleh prajurit ninja adalah dia dianggap wartawan investigasi yang menyamar sebagai lady companion untuk memata-matai kegiatan nepotisme yang dilakukan bos perusahaan minyak. Padahal wartawan investigasi yang menyamar sebagai lady companion adalah Dian Rani, kolega Diana Sari yang baru kerja beberapa minggu. Beruntung penyamaran Dian Rani tidak pernah terbongkar. Artinya, pembunuhan Diana Sari salah sasaran.
Sesuai judul cerpen Diana Sari, Dia dan Reformasi, tema sejarah yang diambil adalah era reformasi di Indonesia, atau tahun 1998. Beberapa isu pada era reformasi diceritakan, seperti isu nepotisme: “…Konon, susah sekali menembus kerja sama dengan perusahaan yang sudah dimonopoli oleh keluarga presiden….”[4] Atau, isu kebebasan pers: “Dian Rani bergidik ngeri. Dia mendengar selentingan kabar beberapa kawan wartawannya ditahan, ada pula yang tak pulang…”[5] Juga suasana pada era reformasi lewat diskripsi ini: “Layar televisi di ruang karaoke itu berganti menayangkan berita. Rupanya, si bos sudah bosan bernyanyi. Tertangkap oleh mata Diana yang lentik, beberapa kelompok masyarakat sudah ramai berdemonstrasi siang tadi. Reformasi bergaung di sana sini karena bapak presiden terpilih kembali.”[6]
Beberapa isu dan suasana pada era reformasi membuat cerpen Diana Sari, Dia dan Reformasi bukan sekadar pembunuhan salah sasaran yang diterima Diana Sari. Era reformasi sebagai fakta dalam cerpen tersebut menjadi bumbu yang berefek sensasi bagiku. Sensasi yang menebalkan rasa kasihan terhadap ketidakberuntungan Diana Sari, kesebalan terhadap kelakuan Dian Rani, kemarahan terhadap kejahatan bos perusahaan minyak, serta kengerian terhadap suasana di luar tokoh-tokoh (Diana Sari; Dian Rani; dan bos perusahaan minyak). Ketegangan antara fakta dan fiksi membikin aku bertanya: “Apakah tokoh-tokoh dalam cerpen tersebut memang nyata pada era reformasi?” Entahlah. Tapi aku enggan mengetahui jawabannya agar tidak mengganggu imajinasi terhadap tokoh-tokoh dalam cerpen tersebut.
Cerpen Seorang Penyair Bertandang
Sebaris puisi bahasa Prancis membuka cerpen Seorang Penyair Bertandang. Di bawahnya, ada sebaris puisi bahasa Indonesia, hasil alihbahasa dari sebaris puisi bahasa Prancis, begini: “Ke negeri rempah-rempah pedas dan basah.…”[7] Dan, sebaris puisi (bahasa Prancis dan hasil alihbahasa ke bahasa Indonesia) memiliki catatan, yaitu: “Sebaris puisi milik Arthur Rimbaud, tertulis di plakat rumah dinas walikota Salatiga ditanda tangani oleh duta besar Prancis tertanggal 6 Mei 1997: ‘Arthur Rimbaud datang dan tinggal di Salatiga selama dua pekan, tertanggal 2 sampai 15 Agustus 1876.’”[8] Lewat catatan sebaris puisi, aku mengetahui sosok yang tersurat judul cerpen adalah Arthur Rimbaud. Setelah membaca cerpen tersebut, aku menangkap cerita utama bukan perihal Arthur Rimbaud di Salatiga, melainkan tokoh-aku.
Tokoh-aku, seorang pribumi, dalam cerpen Seorang Penyair Bertandang menginformasikan bagaimana kehidupan sebagai serdadu KNIL di barak, seperti: “…Di sini, kami memanglah membutuhkan asupan tenaga. Hutan-hutan kecil di sebelah selatan harus segera dibuka, gundukan-gundukan tanah harus digali dan diratakan untuk membuka jalan baru….”[9]; “…Sebagai seorang serdadu kami ditempa untuk kuat dan tegar dalam segala macam keadaan, tapi itu tak kulihat di wajah seorang serdadu muda…”[10]; “…Seorang serdadu muda yang baru datang meninggal dunia karena sakit setibanya di barak….”[11] hingga “Tak jauh dari tempat Isaac, aku membuka pintu sebuah bilik. Asap langsung menyapa wajahku. Walter, Hong, dan beberapa teman lainnya telah terlebih dahulu mengisap candu….”[12]
Aku mencatat bahwa tokoh-aku mengaku tidak begitu akrab dengan orang Prancis. Tapi, mungkin gara-gara perilaku Arthur Rimbaud yang terlihat tak bersemangat telah membuat tokoh-aku tertarik. Setelah bertanya kepada Walter, tokoh-aku mengetahui masa lalu Arthur Rimbaud yang seorang penyair. Lain itu, tokoh-aku mendapatkan informasi kepenyairan Arthur Rimbaud setelah berbincang dengan Louis Durant, orang Prancis yang mahir berbahasa Belanda dan sedikit Melayu. Pelarian diri yang dilakukan Arthur Rimbaud pada 15 Agustus 1876 seolah menginspirasi tokoh-aku untuk berbuat serupa. Pada akhirnya, tokoh-aku melarikan diri demi menemui Charlotte, perempuan yang dicintainya. Sayang, tokoh-aku gagal melarikan diri setelah pelor dari tembakan pengejar menghantam kepala belakang.
Cerpen Lukisan Merah Daun Jati
Gusti Saloka—salah satu putra Sinuhun dari garwa ampil—suka melukis lanskap taman. Ada satu tempat yang ingin dilukis oleh Gusti Saloka, yaitu: Keadaan di dalam taman Balekambang. Gusti Saloka tahu bahwa dirinya tidak bisa masuk karena keadaan di dalam taman Balekambang yang sangat tertutup dan terbatas untuk keluarga Mangkunegaran. Kesempatan memasuki taman Balekambang muncul ketika Gusti Saloka ikut Gati—abdi dalem—untuk mengantarkan buntalan kain. Sebelum masuk atau masih di gerbang taman Balekambang, Gusti Saloka meminjam alat lukis kepada Surya—teman sesama pelukis—yang entah kenapa berada di situ. Dan, setelah memasuki dalam taman Balekambang, Gusti Saloka meminta izin kepada Kabul—penjaga taman—untuk melukis.
Putri bertopi beludru sedang duduk di atas perahu dengan tukang pendayung dan mbok pengasuh, serta kijang di pinggir danau, juga sakura Jawa dan bunga flamboyan yang diwarnai merah dari pupus daun jati merupakan hasil lukisan Gusti Saloka. Keesokannya, Gusti Saloka terkejut mengetahui putri bertopi beludru menghilang dari lukisan itu. Gati menenangkan Gusti Saloka agar lukisan itu ditambahkan lagi putri bertopi beludru. Lalu, Gusti Saloka menambahkan lagi putri bertopi beludru di lukisan itu. Gati meminta Gusti Saloka untuk menyimpan lukisan itu di rumahnya. Tapi, Gusti Saloka terperangah mengetahui lukisan itu berada di dalem Kepanjen. Gusti Panji—pengrajin batik tulis—menerangkan bahwa lukisan itu karya pelukis Yogya yang telah dipesan oleh kerajaan Belanda.
Dalam cerpen Lukisan Merah Daun Jati, Gusti Saloka tidak pernah mengetahui lukisannya telah dilaporkan Gati kepada pengageng. Gusti Saloka tidak pernah mengetahui pesuruh dari Raden Mas Lahab—pedagang barang kuno dan kolektor lukisan yang bekerja sama dengan pengageng—mencuri lukisannya dan mengganti dengan lukisan duplikat tanpa putri bertopi beludru. Penduplikat lukisan itu dilakukan Surya. Juga, selain mencuri dan menduplikat, Surya bersama Jahal telah menjalankan tugas dari Raden Mas Lahab untuk plagiasi lukisan-lukisan karya Gusti Saloka. Semua lukisan (curian dan plagiasi) dijual oleh Raden Mas Lahab di pasar gelap. Jadi, aku memahami bahwa Gusti Saloka terlalu lugu untuk menyadari bakat lukisnya selama ini telah dimanfaatkan orang-orang terdekatnya.
Fakta Sejarah dan Cerita untuk Cerpen
Aku membaca esai Sejarah, Cerita, dan Fiksi karya Aprinus Salam yang dimuat di rubrik Halte, Jawa Pos (Sabtu, 16 Maret 2024). Aku merangkum salah satu bagian esai itu, kurang lebih begini: “Sejarah—peristiwa yang pernah terjadi di masa lalu—mengandung cerita dari sudut pandang atau kepentingan tertentu. Karena itu, cerita (narasi subjektif) tidak bisa menghindari kemungkinan fiksi (imajinasi subjektif). Tapi, fiksi memungkinkan ada cerita yang dinarasikan secara imajinatif-subjektif. Juga, cerita dalam fiksi tetap berhenti sebagai cerita meski terkait fakta sejarah. Bagi penulis sejarah, fiksi pada cerita harus diminimalkan lewat teori dan metodologi agar peristiwa masa lalu bisa ‘dibakukan’.” Lalu, contoh yang diberikan Aprinus Salam dalam esai itu memudahkan aku untuk memahami di mana letak sejarah, cerita, dan fiksi, yaitu:
Sebagai misal, “Arya Penangsang adalah seorang sakti.” Arya Penangsang adalah sejarahnya. Sakti adalah ceritanya, secara sejarah masih bisa dilacak walaupun tidak perlu sesuai dengan kenyataan. Akan tetapi, jika “Arya Penangsang adalah seorang sakti yang tidak ada tandingannya.” Pernyataan “yang tak ada tandingannya” adalah fiksi karena tidak bisa diacu kecuali dalam pernyataan ceritanya itu sendiri.[13]
Apa hubungan antara rangkuman salah satu bagian dan contoh yang diberikan Aprinus Salam pada esai Sejarah, Cerita, dan Fiksi dengan tiga cerpen (cerpen Diana Sari, Dia dan Reformasi; cerpen Seorang Penyair Bertandang; dan cerpen Lukisan Merah Daun Jati) dalam buku Kisah-kisah yang Terpendam dalam Pelita? Hubungan itu adalah ekspektasiku—sebelum membaca tiga cerpen tersebut—akan menghadapi fiksi yang kemungkinan ada pada cerita. Fiksi yang belum diminimalkan pada peristiwa yang hendak “dibakukan” demi kepentingan sejarah. Ternyata, ekspektasiku salah. Setelah membaca tiga cerpen tersebut, aku menemukan cerita dalam fiksi yang dinarasikan secara imajinatif-subjektif dengan pengambilan fakta sejarah. Jadi, tema sejarah dalam tiga cerpen tersebut tetaplah berhenti sebagai cerita tanpa menyinggungnya sebagai sejarah.
Pengambilan fakta sejarah pada tiga cerpen tersebut seolah hanya berkepentingan membentuk latar. Sehingga, aku mengganggap tiga cerpen tersebut dapat berlatar yang sama-rasa-beda-bentuk apabila pengambilan fakta sejarah berganti, misal: era reformasi berganti revolusi Prancis; Arthur Rimbaud berganti Herman Willem Daendels; dan keadaan di dalam taman Balekambang berganti keadaan di dalam kebun binatang Sriwedari. Andai tanpa pengambilan fakta sejarah, latar tidak memengaruhi cerita pada tiga cerpen tersebut. Alasannya, aku masih dapat berimajinasi tanpa pengambilan fakta sejarah, bahwa pembunuhan Diana Sari tetap terjadi karena ketakutan bos perusahaan minyak; tokoh-aku yang hanya butuh alasan kuat untuk melarikan diri; dan penipuan terhadap Gusti Saloka tetap terjadi karena keluguannya.
Tapi, aku tidak menganggap pengambilan fakta sejarah pada tiga cerpen tersebut adalah sesuatu yang buruk. Meski hanya berkepentingan membentuk latar, pengambilan fakta sejarah justru bikin aku dapat menikmati dramatisasi pada tiga cerpen tersebut. Dramatisasi yang mengacu pembunuhan Diana Sari dengan mengetahui situasi era reformasi; keberanian tokoh-aku melarikan diri akibat mengenal Arthur Rimbaud dan situasi Hindia Belanda pada tahun 1876; dan keluguan Gusti Saloka dengan situasi Mangkunegaran sekitar tahun 1921-an. Dramatisasi semakin kental ketika tiga cerpen tersebut menyelipkan cerita, seperti: beberapa isu di era reformasi; kegiatan serdadu KNIL di Salatiga; dan taman Balekambang sebagai hadiah tanda cinta dari Gusti Mangkunegara VII kepada dua putrinya, yaitu: Partini dan Partinah.
Aku menikmati dramatisasi pada tiga cerpen tersebut bukan hanya gara-gara pengambilan fakta sejarah. Tapi, aku turut mengacu pengambilan fakta sejarah dengan keterkaitan latar belakang tokoh pada tiga cerpen tersebut. Memang, secara kebetulan, tiga cerpen tersebut sama-sama menarasikan latar belakang tokoh. Sehingga, aku mengetahui pengalaman buruk yang dialami Diana Sari sewaktu SMP yang pernah dilecehkan pacar dan guru olah raga; tokoh-aku yang patah hati setelah tidak direstui oleh orang tua kekasihnya karena perbedaan status sosial; dan alasan Gusti Saloka dapat lebih akrab dengan Gati daripada saudara-saudara sesama anak Sinuhun dari garwa ampil. Di bawah ini, aku mengutip narasi perihal latar belakang tokoh (Diana Sari; tokoh-aku; dan Gusti Saloka), yaitu:
“Pelan-pelan, dong, Sayang,” kata si bos minyak. Tangannya masih meremas bokong Diana yang sedang duduk di pangkuannya. Diana Sari tidak suka bokongnya diremas, mengingatkannya pada pacarnya yang kurang ajar di SMP dulu. Guru olah raganya, Pak Agus diam-diam juga ikut meremas bokong Diana yang tubuhnya sudah melebihi keranuman teman-teman seusianya. Diana remaja diam saja, apalagi nilai volinya selalu bagus dan jadi kebanggaan tersendiri di antara mata pelajaran lain di rapornya. (cerpen Diana Sari, Dia dan Reformasi)[14]
…Aku sendiri tak begitu akrab dengan orang Prancis, selama ini aku lebih sering dekat dengan orang Belanda, Inggris atau seringnya dekat dengan kaum Indo-Eropa seperti Lottie Dekker. Perempuan nan manis itu, begitu baik perangainya, namun harus kutinggalkan lantaran hubungan kami tak bisa diteruskan. Orang Tua Lottie tak pernah menghendaki putri mereka bersuami seorang pribumi, meski ibunya dulu seorang gundik namun konon derajatnya telah diangkat selepas James Dekker menikahi gundiknya secara sah. Kutinggalkan Lottie seorang diri dan tenggelam di barak tentara, bagiku kisah dengan Lottie telah berakhir sore itu. (cerpen Seorang Penyair Bertandang)[15]
…Sal adalah salah satu putra dari banyaknya putra Sinuhun dari garwa ampil. Meski putra dalem Sinuhun tapi ia bisa akrab dengan semua abdi dalem termasuk Gati. Mungkin justru karena tidak bisa dekat dengan saudara-saudara lain ibu tersebut sehingga Sal lebih suka menyendiri di setiap acara, seperti pisowanan ageng atau jumenengan yang ramai saat semua keluarga keraton hadir. Gusti Sal ada tapi menepi. Lebih memilih menjadi pengamat dan mengambil yang menggoda hati untuk dipenjara pada kanvasnya. (cerpen Lukisan Merah Daun Jati)[16]
Barangkali bermain cerita dalam fiksi dengan pengambilan fakta sejarah dan penyelipan cerita pada tiga cerpen tersebut adalah materi yang diperoleh peserta workshop program Mencari #7. Materi yang diperoleh itu telah menyajikan tiga cerpen tersebut perihal dunia alternatif untuk melihat sejarah lewat simulasi meng-ada-kan tokoh. Dan, materi yang diperoleh itu turut menjadi pembelajaran bagiku—selaku pembaca—untuk menengok hal yang tidak dicatat oleh sejarah. Hal yang berasal dari manusia kalah (cerpen Diana Sari, Dia dan Reformasi), manusia biasa (cerpen Seorang Penyair Bertandang), dan manusia pinggiran (cerpen Lukisan Merah Daun Jati). Begitulah, aku membaca tiga cerpen tersebut yang termaktub dalam buku Kisah-kisah yang Terpendam dalam Pelita.**
Daftar Pustaka
Angelina Enny, Faridhatun Nafiah, Dkk (2024), Kisah-kisah yang Terpendam dalam Pelita, Surakarta: Maysanie Foundation.
Aprinus Salam (Rubrik Halte, Jawa Pos, 16 Maret 2024), Sejarah, Cerita, dan Fiksi, Hal: 4.
Sapardi Joko Damono (Rubrik Apresiasi, Majalah Sastra Horison Nomor 10 Tahun XXI September 1986), Acuan (2). Hal: 349.
- [1] Angelina Enny, Faridhatun Nafiah, DKK (2024), Kisah-kisah yang Terpendam dalam Pelita, Surakarta: Maysanie Foundation. Hal: 7.
- [2] Ibid. Hal: 9.
- [3] Sapardi Joko Damono (Rubrik Apresiasi, Majalah Sastra Horison Nomor 10 Tahun XXI September 1986), Acuan (2), Hal: 349.
- [4] Angelina Enny, Faridhatun Nafiah, DKK (2024), Kisah-kisah yang Terpendam dalam Pelita, Surakarta: Maysanie Foundation. Hal: 12.
- [5] Ibid. Hal: 16.
- [6] Ibid. Hal: 13.
- [7] Ibid. Hal: 29.
- [8] Ibid. Hal: 46-47.
- [9] Ibid. Hal: 29.
- [10] Ibid. Hal: 31.
- [11] Ibid. Hal: 32.
- [12] Ibid. Hal: 38.
- [13] Aprinus Salam (Rubrik Halte, Jawa Pos, 16 Maret 2024), Sejarah, Cerita, dan Fiksi, Hal: 4.
- [14] Angelina Enny, Faridhatun Nafiah, DKK (2024), Kisah-kisah yang Terpendam dalam Pelita, Surakarta: Maysanie Foundation. Hal: 14.
- [15] Ibid. Hal: 32.
- [16] Ibid. Hal: 86-87.
Makrifat berasal dari kata ‘arafa’ (عرف) yang berarti mengetahui atau mengenal, makrifat menjadi pengetahuan tertinggi hasil penyaksian dan penyingkapan keberadaan Allah, yang bukan saja melibatkan pengetahuan teoritis dan intelektual, namun mencakup keseluruhan potensi akal dan rohani. Seorang yang mencapai maqam makrifat memiliki pemahaman mendalam tentang Tuhan, alam semesta, sekaligus dirinya sendiri. Makrifat adalah puncak perjalanan spiritual seorang Muslim berupa pemahaman mendalam tentang Tuhan beserta sifat-sifat-Nya.
Pencapaian makrifat membutuhkan latihan spiritual intens, seperti: zikir, tafakkur, dan muraqabah (pendekatan ke Tuhan). Hal itu bertujuan semata-mata untuk mengenal Allah melalui tahapan taubat, zuhud (asketis, pemurnian hati), sabar, tawakal, ridha (penerimaan), dan puncaknya ialah makrifat.
Beberapa tokoh besar Islam mengalami makrifat. Contohnya Rabi’ah Al-Adawiyah (713-801 M), yang sangat mencintai Allah menggunakan istilah hubb (cinta) dalam pengalaman makrifatnya. Abu Yazid al-Bustami (804–874 M) dengan ittihad (penyatuan), Mansur Al-Hallaj (858 – 922 M) yang masyhur dengan pernyataan “Ana al-Haq” (Akulah Kebenaran) menggunakan hulul (Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia yang telah fana, dan lenyap sifat kemanusiaannya). Imam Al-Ghazali (1058-1111 M), mencapai makrifat dengan istilah kasyaf dan menuliskannya dalam karya magnum opus “Ihya Ulumuddin”, Ibnu Arabi (1165 -1240 M) dengan wahdat al-wujud, makrifat Jalaluddin Rumi (1207 -1273 M) sebagaimana tertulis dalam kitab Matsnawi, dan Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani (1077- 1166 M) dalam kitab Manaqib.
Tokoh-tokoh tersebut menggambarkan kisah bagaimana para sufi mencapai maqam makrifat melalui perjuangan spiritual yang panjang dan berat. Meskipun menggunakan istilah yang berbeda, semua merujuk pada pencapaian pengetahuan mendalam tentang Tuhan (makrifat).
Mengalami Makrifat dalam Keseharian
Beberapa kejadian sehari-hari dapat menggambarkan konsep makrifat. Misal memandang alam, matahari terbit, lautan luas, gunung yang megah, dapat menumbuhkan rasa kagum, syukur, dan merasakan kebesaran Tuhan. Seseorang yang merenungi dirinya, asal-usulnya, keunikannya, potensinya, juga dapat melahirkan kecintaan pada Allah. Sebagian yang lain menyadari kehadiran Allah melalui pengalaman religius (Religious experience) dari peristiwa harian biasa. Begitu pula merenungi nasihat agama dan melakukan ibadah salat, zikir, atau membaca Al-Quran dengan penuh kekhusyukan, bisa mengantarkan pada kesadaran Allah hadir dalam hidupnya. Hal ini menggambarkan bahwa makrifat bisa terjadi dan dialami dalam kehidupan sehari-hari melalui refleksi, pengalaman spiritual, dan praktik keagamaan yang dilakukan dengan khusyuk.
Beberapa kejadian sehari-hari dapat menggambarkan konsep makrifat. Misal memandang alam, matahari terbit, lautan luas, gunung yang megah, dapat menumbuhkan rasa kagum, syukur, dan merasakan kebesaran Tuhan.
Para Sufi mencapai Makrifat
Apa yang dapat kukatakan tentang-Mu?
Bagiku, Engkau adalah Segalanya.
Apa yang dapat kulihat selain Diri-Mu?
Bagiku, Engkaulah yang Maha Ada.
Dalam puisi singkat ini Syaikh Abu Sa’id Abu al-Khayr mengungkapkan puncak pengalaman spiritualnya. Ia menyatakan bahwa tidak ada yang dapat ia katakan tentang Tuhan, karena Tuhan adalah segalanya. Ia juga tidak dapat melihat apa pun selain-Nya, karena baginya hanya Dia yang ada. Ungkapan padat mendalam ini menggambarkan pencapaian makrifat atau pengalaman spiritual yang intim dengan Tuhan, sehingga segala yang ada hanyalah manifestasi (tajalli) Tuhan.
Maulana Jalaluddin Rumi menggunakan berbagai simbol dan metafora untuk menggambarkan kesatuan diri manusia dengan Tuhan:
Dunia ini adalah cermin,
Di dalamnya terpancar Wajah Tuhan.
Jika kau memandang dengan mata hati yang bersih,
Maka kau akan melihat Keindahan-Nya.
Aku adalah angin, Engkau adalah daun.
Aku adalah hujan, Engkau adalah bunga.
Aku adalah laut, Engkau adalah ombak.
Aku adalah siang, Engkau adalah terang.
Aku mengenal diriku, maka aku mengenal Tuhanku.
Aku melihat Tuhan dalam setiap yang Ia ciptakan.
Tiada yang lain selain Dia, di mana pun aku menatap.
Dia adalah Satu-satunya, yang Maha Tunggal.
Di sini Rumi menyatakan bahwa barang siapa mengenal dirinya, maka seseorang itu dapat mengenal Tuhannya. Tuhan hadir di setiap ciptaan dan hanya Dialah satu-satunya yang layak disembah dan dicintai. Abu Yazid Al-Busthami menggambarkan pengalaman ittihad (penyatuan) dengan Tuhan-Nya:
Para sufi mencapai makrifat yang menjadi puncak pengalaman spiritual mereka, merasakan penyatuan dengan Tuhan, kemudian mendapat kebebasan dari segala keterikatan yang membelenggunya.
Makrifat Tidak Hanya untuk Sufi
Makrifat tidak hanya terdapat dalam tradisi sufi. Meskipun dalam khazanah sufisme pembahasan makrifat lebih dominan, namun konsep ini juga dibahas oleh para ulama dan cendekiawan Islam pada umumnya.
Dalam Ilmu Kalam misalnya, para teolog (mutakallimun) membahas konsep makrifatullah (pengenalan Allah) sebagai bagian dari pembahasan sifat dan zat Tuhan. Dalam hermeneutika Al-Qur’an, para mufasir menekankan pentingnya makrifat kepada Allah untuk bekal komprehensif memahami ayat. Selain itu, ulama fikih juga membahas makrifatullah sebagai fondasi pelaksanaan ibadah dan hukum-hukum syariat. Jadi, konsep makrifat bukan hanya terbatas pada tradisi sufisme, melainkan menjadi bagian integral dari pemikiran dan praktik keagamaan Islam secara menyeluruh.
Makrifat dan Pencerahan
Pencerahan merujuk pada kondisi seseorang yang mencapai pemahaman mendalam tentang suatu hal, yang bisa dicapai dengan berbagai cara. Dalam konteks ini makrifat berbeda dengan pencerahan (terutama yang mengacu pada perkembangan ilmu pengetahuan di Eropa. Pencerahan (aufklärung, enlightenment) seperti pada gerakan intelektual Eropa pada abad ke-17, yang menekankan akal rasio untuk memperoleh pengetahuan ilmiah. Sementara, makrifat berfokuskan pada pengetahuan rohani, bersifat intuitif, melalui pembersihan jiwa, sehingga bukan saja melahirkan transformasi intelektual tetapi juga spiritual. Jadi meskipun sama-sama pemahaman mendalam, namun akar dan tujuannya berbeda. Pencerahan terfokus rasio dan intelektual, sementara makrifat transformasi spiritual.
Makrifat juga berbeda dengan hidayah, namun berkaitan. Hidayah petunjuk dan bimbingan Allah, sementara makrifat pemahaman mendalam tentang Allah dan sifat-sifat-Nya melalui perjuangan spiritual.
Makrifat juga berbeda dengan hidayah, namun berkaitan. Hidayah petunjuk dan bimbingan Allah, sementara makrifat pemahaman mendalam tentang Allah dan sifat-sifat-Nya melalui perjuangan spiritual. Hidayah bisa menjadi pintu seseorang mencapai makrifat, dan sebaliknya makrifat juga dapat memperdalam hidayah. Jadi, hidayah adalah bimbingan Allah dan makrifat adalah pencapaian pengetahuan spiritual tentang-Nya.
Mungkinkah Makrifat di Luar Agama?
Di luar agama ditemukan konsep yang mirip makrifat tetapi dengan istilah berbeda. Misalnya dalam filsafat. Aliran filsafat, seperti platonisme, idealisme, dan fenomenologi, membahas pencapaian pemahaman esensial terhadap realitas, kebenaran, atau hakikat. Dalam sains, para ilmuwan mencapai pemahaman mendalam tentang alam. Mereka mengalami semacam “makrifat” sains. Dalam psikologi, terutama psikologi transpersonal, terdapat konsep pencapaian kesadaran diri yang searti makrifat. Pun dalam bidang seni, seniman menyingkap dan mengungkap keindahan di balik realitas. Mereka menggapai semacam “makrifat” seni.
Di sini makrifat mengalami perluasan arti dari mengenal Allah menjadi pemahaman mendalam (deep understanding), wawasan intuitif (intuitive insight), pencerahan (enlightenment), penyingkapan kebenaran (unveiling of truth), dan pengenalan esensial (essential knowing). Istilah yang terakhir mengacu pada pemahaman hakikat suatu hal melampaui pengetahuan konvensional. Meskipun istilah-istilah ini berbeda dengan “makrifat”, namun pada dasarnya merujuk ide serupa, yaitu pencapaian pemahaman mendalam melampaui pengetahuan biasa.
Makrifat Seni
Seni telah lama dianggap sebagai media menggapai dan mengungkapkan pengalaman spiritual. Dalam konteks ini, seni tidak hanya menjadi produk mimesis alam, namun juga mengandung pesan keberadaan Tuhan. Sebagaimana dilakukan para seniman besar, Tuhan menjadi sumber inspirasi dan kekuatan terbesar dalam proses pengkaryaan. Seni menjadi sarana menghadirkan ketenangan, ketenteraman, dan kedamaian batin, sehingga manusia mencapai pemahaman tentang Tuhan melalui pengalaman artistik. Spiritualitas seni kemudian melahirkan getaran religius yang menjadi sumber kebaikan, kesalehan dan kebijaksanaan.
Melalui seni, manusia memperoleh pandangan holistik tentang keajaiban dunia. Seniman memadukan kontemplasi ketuhanan dengan keterampilan artistik mereka, membantu mereka memahami prinsip-prinsip esensial dari keberadaan Allah SWT. Dalam kunjungan ke museum seni, galeri, atau seni pertunjukan seni, orang bukan saja menyelami langit estetika, tetapi juga lebih dalam lagi mengalami keindahan spiritualitas.
Makrifat seni merupakan pencerahan spiritual seniman yang terilhami agama, alam, dan peristiwa. Sumber agama melahirkan karya tokoh agama, kisah suci, dan simbol spiritual. Keindahan alam menginspirasi lukisan alam lahir batin yang menakjubkan. Sementara peristiwa atau pengalaman marah, sedih, dan gembira mengilhami tema cinta, kehilangan, harapan, dan rasa sakit dalam celupan pencerahan spiritual. Para seniman menyampaikan pengalaman spiritual mereka dalam karya seni, menginspirasi orang berefleksi dan berpikir tentang hakikat kehidupan, serta hubungan antara manusia, Tuhan dan alam semesta.
Makrifat dalam seni merupakan ekspresi spiritual yang indah. Karya seni makrifat memiliki potensi transformatif yang dapat membangkitkan spiritualitas, inspirasi, kedamaian dan ketenangan penikmatnya. Seniman yang mendedikasikan karyanya untuk mengungkapkan pengalaman batin berperan mempromosikan nilai-nilai universal seperti cinta, kasih sayang, perdamaian, serta penghormatan.
Bukit Makrifat adalah metafora perjalanan spiritual menggapai pencerahan batin. Setiap langkah diwarnai rintangan yang menimbulkan keraguan dan ketakutan. Sebuah perjalanan yang penuh rintangan sekaligus keajaiban dan keindahan. Semakin tinggi mendaki semakin tipis kabut menyelimuti. Pada puncak pendakian, terhampar panorama luar biasa: luasnya samudra pengetahuan, kilauan bintang kebijaksanaan, dan kehangatan cinta Ilahi:
Pada kedalaman tafakurnya, tiba-tiba segala sesuatu terlihat sebagai Allah.
Apa pun Allah. Segalanya Allah, Allah segalanya.
Kebebasan dan ketenangan meliputinya.
Tak lagi terikat ruang waktu, keinginan dan kecemasan.
Ia fana, lebur, menyatu dengan-Nya.
Editor: Mohammad hagie
Ilustrator by Emad Rizk
Banyumas atau yang dahulu bernama Wirasaba, memiliki sejarah yang panjang. Penelusuran sejarahnya dapat ditelisik dari historiografi (Babad Banyumas). Pengkajian Babad Banyumas terbilang pekat berkat kerja-kerja riset dan penerjamahan oleh: Soegeng Priyadi dan Nassirun Purwokartun. Membincang perihal babad, ia merupakan karya sastra berbahasa Jawa yang mengisahkan peristiwa-peristiwa bersejarah, seperti peperangan dan kepahlawanan. Secara etimologis, babad bermakna “tebang, buka, riwayat, sejarah”. Isi cerita babad memang mengandung sejarah, tetapi tidak selalu mengandung fakta. Banyumas memiliki babad yang sangat melimpah. Dalam penelitian Soegeng Priyadi, sekiranya terdapat 62 naskah Babad Banyumas atau 12 versi (lihat Babad Banyumas dan Versi-Versinya, 2006). Beragamnya Babad Banyumas ditengarai adanya kecenderungan dari para keluarga penguasa (bupati) sebagai legitimasi kekuasaan. Bisa dibilang isi cerita babad memang mengandung sejarah, tetapi tidak selalu mengandung fakta. Sebab babad merupakan perpaduan antara fakta sejarah, kepercayaan, dan mitos. Demikianlah babad, “betapapun memang campuran data, dongeng, pelipur lara, dan pembenaran kekuasaan, pewarisan nilai-nilai,” kata Goenawan Mohamad.
Muasal Sebuah Kota: Banyumas
Dalam naskah Wirasaba diceritakan, sekira abad 15 berdiri sebuah kadipaten di bawah Kerajaan Pajang bernama Wirasaba. Kadipaten Wirasaba dipimpin oleh Adipati Warga Utama 1 atau Raden Bagus Swarga. Ia memiliki 4 anak: 1) Rara Kartimah; 2) Ki Ngabehi Warga Wijaya; 3) Ngabehi Wira Kusuma; 4) Rara Sukartiyah. Putri Sulung (Rara Kartimah menikah dengan Raden Joko Kahiman), sedang putri bungsu (Rara Sukartiyah). Muasal berdirinya Kabupaten Banyumas terjadi pada era Kerajaan Pajang. Kala itu, Sultan Pajang menginginkan putri Adipati Warga Utama (Wirasaba) untuk dijadikan pelara-lara (penari serimpi di keraton dan bisa diambil selir oleh raja). Setelah putri Adipati Warga Utama diserahkan, munculah pemberitaan dusta. Adalah putra Demang Toyareka yang melapor: putri Adipati Wirasaba merupakan perempuan yang telah beristri. Mendengar berita tersebut Sultan Pajang tersulut marah. Ia serta merta menyuruh utusan untuk membunuh Adipati Wirasaba (lihat Sejarah Kota Banyumas 1571 Hingga Kini, 2018:107).
Sultan Pajang (Sultan Hadiwijaya) teramat menyesali perbuatannya. Ia kemudian mengundang para putra Adipati Wirasaba ke Pajang. Dari berbagai putra Adipati Wirasaba, hanya menantunya (Joko Kahiman) yang berani menghadap Sultan Pajang. Demi menebus kesalahannya, Sultan Pajang melantik Joko Kahiman sebagai Adipati Wirasaba. Ia kemudian membagi wilayah kadipaten menjadi empat yakni : Senon, Wirasaba, Toyareka, dan Pasir. Wirasaba inilah muasal Banyumas (lihat Menuju Keemasan Banyumas, 2015:126). Seiring berjalannya waktu, Banyumas yang semula diurus Kerajaan Pajang, beralih tangan ke kerajaan Kasunan Surakarta. Waktu itu wilayah Karisedenan Banyumas meliputi: Kabupaten Purbalingga; Kabupaten Banjarnegara; Kabupaten Banyumas; Kabupaten Cilacap; dan Kabupaten Purwokerto. Baru pada zaman kolonial Banyumas dijadikan kota Residente (Karisedenan) sekaligus Ibu Kota Kabupaten Banyumas. Segera pemerintah kolonial melakukan pembangunan di sekitar Ibu Kota Kabupaten Banyumas.
Untuk mencandra Banyumas di masa lalu, saya akan menceritakan kisah-kisah mainstream yang ada. Pasalnya, hal semacam itu sayup dalam sejarah. Perubahan status Banyumas, yang pada dasarnya merupakan akal-akalan administratif, yang tidak mengubah gaya pemerintahannya. Ujung-ujungnya Banyumas tetap diperintah sebagai daerah wilayah barat mengingat jaraknya yang jauh dari ibu kota dan susunan pemerintahannya. Banyumas yang asli sudah diperintah sebagai provinsi wilayah barat Surakarta sampai 1773, ketika kedudukannya diubah menjadi bagian Negara Agung demi melegakan perasaan Sultan Mangkubumi yang keberatan bahwa Yogya menguasai sedikit saja daerah di ujung barat wilayah Mataram lama.
Wilayah Banyumas dahulu merupakan daerah “Mancanegara Kulon” dari kerajaan-kerajaan Jawa sejak: Majapahit; Demak; Pajang; Mataram; Kartasura hingga Kasunanan Surakarta. Pasca Perang Jawa (1825-1830), Kadipaten Banyumas dilepaskan dari kekuasaan Kasunanan Surakarta dan menjadi wilayah kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda pada 1830. Bagi kolonial, menumpas Perang Jawa sama halnya melindungi kepentingan 2 kerajaan: Kerajaan Yogyakarta dan Kerajaan Surakarta dari pemberontakan oleh kerabat kerajaan (Pangeran Diponegoro). Kerugian besar diderita oleh pihak kolonial nyaris dibebankan kepada pihak kerajaan. Akhirnya, sebagai tebusan pihak kolonial meminta wilayah “Mancanegara Barat”: Banyumas dan Bagelen, dan “Mancanegara Timur: Kediri dan Madiun.
Wilayah Banyumas dahulu merupakan daerah “Mancanegara Kulon” dari kerajaan-kerajaan Jawa sejak: Majapahit; Demak; Pajang; Mataram; Kartasura hingga Kasunanan Surakarta. Pasca Perang Jawa (1825-1830), Kadipaten Banyumas dilepaskan dari kekuasaan Kasunanan Surakarta dan menjadi wilayah kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda pada 1830.
Banyumas dalam Cengkraman Kolonial
Sebelum jatuh dalam cengkraman kolonial, Banyumas merupakan daerah yang sangat terisolasi. Beratus-ratus tahun, Kota Banyumas tak gampang diakses sebab terkungkung oleh pegunungan terjal yang terbelintang di sepanjang sisi utara dan selatan, diiris lembah Sungai Serayu. Kota Banyumas merupakan salah satu kota di lembah Sungai Serayu yang memiliki hulu di pegunungan Dieng serta bermuara di Samudera Hindia. Sungai Serayu membelah wilayah Banyumas. Selain itu, wilayah Banyumas juga merupakan wilayah dengan gunung-gunung dan bukit-bukit sehingga cukup merepotkan untuk dijangkau wilayah-wilayah tertentu. Posisi Banyumas strategis bagi daerah-daerah sekitar Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, dan Kebumen. Akan tetapi dengan kondisi geografis yang demikian, wilayah Banyumas yang berada di pinggiran Sungai Serayu diberkahi kesuburan tanah yang bagus dan subur. Karena itulah ada ungkapan yang galib terdengar: “cedak gunung, adoh ratu”. Artinya : dekat dengan gunung (kemakmuran), jauh dari pusat pemerintahan (Kerajaan Surakarta). Perihal Gunung Slamet dan Sungai Serayu, saya terngiang lagu keroncong yang menjadi bel kedatangan kereta di Stasiun Purwokerto, “Di Tepi Sungai Serayu” karya penyanyi Banyumas: Soetedja Poerwodibroto. Begini :
“Gunung Slamet nan Agung,
Tampak jauh di sana, bagai sumber kemakmuran serta kencana,
Indah murni alam semesta,
Tepi Sungai Serayu,
Sungai pujaan bapak tani,
Penghibur hati rindu”.
Sungai Serayu turut memberikan berkah terhadap Kota Banyumas menjadi kota tepi sungai, meski tak sebesar sungai Bengawan Solo, tapi tercatat dalam sejarah transportasi Banyumas. Saya membayangkan, Banyumas yang konon berasal dari sungai kecil di perbatasan Desa Kalisube dan Desa Dawuhan. Sungai ini bernama Sungai Banyumas sebab menghanyutkan kayu berwarna tembaga. Pertemuan antara Sungai Banyumas dan Sungai Pasinggangan menjadi patokan awal letak Banyumas. Kemudian banyaknya sungai di sekitar Kota Banyumas saya amsalkan “Venesia di Mancanegeri Kilen”. Meski soal kemiripan dengan “Venesia yang sejati”, entahlah. Bukan hal yang tak mungkin jika zaman dahulu sungai menjadi lintasan transportasi. Ingatan saya melayang pada Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir) menaiki gethek di Sungai Bengawan untuk menemui Sutawijaya. Kota Banyumas, dikenal sebagai kota perdagangan. Dalam hal ini, Sungai Serayu yang memainkan denyut transportasi perdagangan.
Peta Kota Banyumas tahun 1920-an (Sumber: troppenmuseum.nl)
Kompleks Kota Banyumas 1948 (Sumber : freisfotoarchief.nl)
Barangkali itulah salah satu pertimbangan Belanda menjadikan Kota Banyumas sebagai ibu kota. Bayangan Ibu Kota Banyumas oleh Kapten Godfrey Phipps Baker (1786-1850) : sebagai yang terpenting di antara kota-kota wilayah barat dalam hal penduduk dan sumber daya. Diperintah oleh dua bupati setempat yang berpengaruh, ibu kota ini sangat menderita akibat kesewenang-wenangan Bupati, Wedana, Kepala Pemerintahan provinsi wilayah barat terdahulu. Kepala pemerintahan ini, Raden Tumenggung Yudonegoro, yang kemudian dipecat dari jabatannya menyusul persekongkolan Sepoy di Jawa Tengah Selatan, September-Oktober 1815. Digambarkan sebagai tokoh paling hitam oleh Residen Inggris di Surakarta, Mayor Jeremiah Martin Johnson: Bila ia berada di Banyumas, waktunya dihabiskan untuk main judi atau main tandak (perempuan, penari, pelacur), sementara tugas memerintah kabupaten yang terluas di wilayah kekuasaan kaisar (sunan), sama sekali ditelantarkan atau diserahkan kepada putra-putra dan orang suruhan, yang semua sama borosnya bermewah-mewah, yang dipikirkannya hanya bagaimana menguras duit dari penduduk untuk membiayai kesenangannya. Akibatnya, pertanian dan perniagaan banyumas terlantar (lihat Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855, 2011: 24).
Pada paruh abad 18, Banyumas mengalami modernisasi melalui politik etis. Bermula dari buku Van Deventer berjudul “Utang Budi” yang mengkritik atas penderitaan negara jajahan Belanda, Ratu Wilhelmina lantas membuat sebuah kebijakan: politik Etis. Politik etis yakni sebuah politik balas budi (Trias Van Deventer): irigasi, emigrasi, dan edukasi. Setelah penerapan politik etis pembangunan di Banyumas semakin signifikan, di antaranya: infrastruktur transportasi; industri; irigasi perkebunan; fasilitas pendidikan; fasilitas kesehatan; hingga arsitektur kota Banyumas.
Suasana Kota Lama Banyumas. (Sumber : freisfotoarchief.nl)
Dalam pengembangan infrastruktur transportasi, pada pertengahan abad 19 dibangun jalan post (post weg) Banyumas-Buntu-Gombong-Rawalo. Kemudian jalan-jalan darat lain bermunculan dan bercabang serupa ranting pohon. Pihak kolonial juga membagun transportasi modern: rel keret api (Trem Serajoedal Stoomtram Maatschappij) pada Mei 1895. Proyek rel ini dipimpin oleh Ir. C. Groll, melintasi pada tiap-tiap pabrik gula yang merentang Banyumas-Banjarnegara-Cilacap-Purwokerto. Namun, rel ini tidak melintas di daerah Ibu Kota Banyumas, sebab pihak kolonial memproyeksikan sebagai kepentingan ekonomi, bukan pemerintah. Belanda membuat kota Banyumas menjadi menjauhi tepian sungai: memilih keramaian dengan banyak membangun jalur darat dan rel kereta api. Lagi pula, transportasi darat yang dibangun kolonial tetap menyusuri Sungai Serayu. Pengembangan Pendidikan: Pemerintah Kolonial membangun Holland-Indies School (HIS), di belakang HIS dibangun Kazerne Politie (tangsi polisi Belanda), di sebelah barat HIS dibangun gedung Inlander 2e School (Sekolah Ongko Loro). Pengembangan Kesehatan: pada 1925 Pemerintah kolonial membangun rumah sakit Julianna, yang sekarang dikenal RSUD Banyumas.
Pada 1836, Residen De Seriere membuka akses Kota Banyumas, membangun kanal yang kemudian dinamakan Kali Yasa. Jadilah Banyumas menjadi sebuah kota dalam rancang kolonial. Arsitektur: pemerintah kolonial Belanda berhasrat membangun Kota Banyumas dengan gaya arsitektur Eropa. Sebelum Kota Banyumas dalam kekuasaan Belanda, bangunan rumah warga ialah tradisional Jawa Banyumasan (tidak sama dengan bangunan Yogya dan Solo). Pasca kedatangan Belanda bangunan tradisional Jawa Banyumasan itu tereduksi bangunan berasitektur kolonial. Dalam esai di langgar.co “Bangunan Besar di Kampoeng Londo Gresik” (2023) karya Aji Ramadhan. Begini: “arsitektur kolonial merupakan proses adaptasi mereka agar mampu bertahan hidup di lingkungan yang jauh dari asalnya”. Dalam perkembangannya, mungkin saja seseorang yang bukan londo dan menginginkan berbagai kebutuhan ruang, lebih mendirikan bangunan berarsitektur Belanda daripada bangunan tradisional Jawa Banyumasan.
Kota Banyumas adalah kota lama yang masih memperlihatkan corak tata kota tradisional Jawa yang ditunjukan dengan keberadaan alun-alun, yakni lapangan terbuka yang pada bagian tengahnya ditanami dengan sepasang pohon beringin. Alun-alun lebih dari lapangan terbuka saja. Ia menjadi semacam pelataran sakral yang mengamsalkan keserasian antara langit yang disimbolkan dengan pohon beringin dan bumi yang disimbolkan dengan pasir halus (Handinoto, 2015). Sebagai sebuah kota yang memiliki sejarah panjang sejak zaman kerajaan-kerajaan nusantara, pola tata ruang pusat pemerintahan Kabupaten Banyumas menunjukan filosofi kuat antara manusia dan alam. Ada semacam garis lurus imajiner antara gunung (baca: Gunung Slamet); pusat pemerintahan (baca: Pendopo Kabupaten, Kantor Karesidenan) dan laut (baca: Pantai Selatan). Pendopo Kabupaten menghadap ke arah selatan, berseberangan dengan alun-alun, di sebelah barat alun-alun terdapat Masjid Agung Banyumas dan Kampung Kauman Pemerintah kolonial membangun gedung penjara di sebelah timur, antara alun-alun dan pendopo kabupaten.Di antara jalan yang menghubungkan pendopo kabupaten dan kantor residen dibangun gedung Societeit Harmonie, gedung tempat bersosialisasi dan rekreasi bagi kalangan elit di Kota Banyumas.
Dalam amatan Ronald. G Gill, Kota Banyumas adalah wujud tata kota tradisional Jawa yang masih terpelihara dengan baik, bahkan bila dibanding Yogyakarta atau Surakarta. Tata kota Banyumas benar-benar masih murni dan antik, belum ada sentuhan tata kolonial modern yang diperkenalkan oleh arsitek-arsitek pendatang dari Eropa seperti Kotabaru di Yogyakarta dan Villapark di Surakarta (Lihat De Indische Stad op Java en Madoera, 1994). Satu-satunya bangunan Eropa hanyalah rumah Residen dan itupun letaknya jauh di selatan kota, tidak mengganggu tata letak bangunan yang dibangun sebelum kekuasaan pemerintah kolonial. Dalam pada itu, Gill menggolongkan Banyumas ke dalam jenis kota Oud Indisiche Stad, kota indis lama. Kota Oud Indische Stad adalah kota yang memadukan unsur kota tradisional Jawa dengan kota kolonial. Jenis kota Oud Indische Stad muncul pasca pemerintahan kolonial memberlakukan tanam paksa pada tahun 1830an. Untuk mendukung kegiatan eksploitasi, pemerintah kolonial menempatkan pegawai-pegawai kolonial di kota-kota yang sudah lama menjadi kedudukan penguasa lokal.
Ciri dari kota Oud Indische Stad ditandai dengan adanya kediaman bupati dan residen yang letaknya terpisah. Terletak di sebelah utara alun-alun, terdapat kompleks yang disebut kabupaten. Berbeda di masa sekarang dimana sebutan kabupaten merujuk pada satuan wilayah di bawah provinsi, di masa lalu kabupaten juga menjadi sebutan untuk kediaman bupati. Pada era Jawa pra-kolonial, bupati merupakan kepala daerah di wilayahnya sekaligus seorang abdi kepada raja yang lebih senior. Kekuasaan seorang bupati tidak dihitung dari seberapa luas wilayah yang di milikinya, namun dari seberapa banyak rumah tangga atau cacah. Sebagai bentuk “penghormatan” terhadap masyarakat pribumi, pada masa kolonial kedudukan bupati masih dipelihara dengan memasukan mereka ke jajaran birokrasi kolonial. Para bupati diberi wewenang mengatur nasib rakyat kecil seperti halnya penguasa negeri, namun ketundukan mereka yang semula kepada Raja Jawa kini dialihkan kepada Ratu Belanda. Gengsi sebelum era kolonial juga dijaga sebagai cara agar mereka bergantung kepada pemerintah kolonial. Dapat dikatakan, mereka semacam berada di perbatasan antara kepala negeri dan pamong pemerintah (Lombard, 2018). Gemerlapnya jabatan bupati dapat dilihat dari mewahnya kediaman mereka yang menjadi bagian utama tata kota kolonial.
Sekelompok militer Belanda berdiri di sisa lantai Pendapa Si Panji menghadap bekas rumah Bupati Banyumas pada tahun 1947(Sumber : freisfotoarchief.nl)
Banyumas sebagai salah satu kota lama di Jawa menempatkan kediaman penguasa sebagai inti kota. Bangunan ini didirikan pada masa Tumenggung Yudanegara yang bertahta sekira (1708-1743). Perombakan yang senantiasa dilakukan oleh penerusnya menjadikan sulit untuk mengetahui bentuk asli dari bangunan kabupaten banyumas. Kini, bekas kediaman Bupati Banyumas dimanfaatkan sebagai kantor kecamatan Banyumas. Meskipun turun status, namun sisa keagungan Kabupaten Banyumas masih dipertahankan dengan baik. Secara umum, semua kota-kota kolonial memiliki persamaan, yakni fakta bahwa mereka terbagi menjadi dua bagian: pertama, bagian yang berasal dari penduduk/budaya lokal; kedua, bagian yang merupakan hasil dari cipta karya/budaya pendatang/orang asing, karena proses dari imposisi kota yang mereka hasilkan. Oposisi antara belahan campuran & asing ini berakar pada sifat komunitas kolonial yang menekankan, dan karena hal ini, kota-kota kolonial sering kali dikarakterisasikan sebagai duality atau kota ganda.
Lehman (2008) menjabarkan tiga elemen dari penyusunan kota: kraton; ruko; dan Benteng yang mengatur sebuah konfigurasi yang bisa dianggap umum bagi kota-kota kolonial di Indonesia. Kota Banyumas memiliki beberapa kelompok permukiman, antara lain: kauman; kepatihan; kepangeranan; pacinan; dan permukiman Eropa. Kawasan kauman berada di sebelah barat Masjid Nur Sulaiman, sementara kepatihan dan kepangeranan berada di sekitar tempat tinggal patih dan pangeran. Pacinan atau tempat tinggal kelompok masyarakat Tionghoa berada di dekat pasar Banyumas dan Sudagaran. Salah satu rumah bergaya Tionghoa di Sudagaran memperlihatkan serambi depan yang lumayan besar. Pada tahun 1850, jumlah penduduk Tionghoa di Banyumas sudah mencapai 200 jiwa. Dahulu selain berprofesi sebagai pedagang, orang Tionghoa di Banyumas juga menjalankan usaha batik. Sementara itu, orang-orang Eropa tinggal di sepanjang Jalan pengadilan lama mengarah ke Sungai Serayu.
Pemerintah kolonial juga turut memasang benteng-benteng kecil di Kota Banyumas. Pengisahan P. Bleeker (1846): benteng tersebut diperkuat sesudah Perang Jawa karena militer Belanda saat itu sedang menyiapkan strategi pertahanan Pulau Jawa untuk menahan serbuan bangsa asing. Pada 1846, benteng tersebut pernah menjadi markas untuk pasukan Jayeng-Sekar , pasukan keamanan. Kota Banyumas pada 1846 memiliki 26 pasukan Jayeng Sekar. Tujuan pembentukan Jayeng Sekar adalah untuk menyerap penggangguran dari anak-anak elit pribumi yang tidak tertampung dalam birokrasi kolonial dan mengisi kekurangan tenaga keamanan. Mereka diberi pelatihan militer, senjata, dan kuda. Mereka inilah yang menjadi cikal bakal dari satuan kepolisian di masa kolonial. Institusi keamanan kemudian digantikan dengan datasemen velpolitie atau polisi lapangan yang menempati markas di tenggara kota (Verslag BOW 1921-1924).
Peralihan Pusat Pemerintahan: Kota Banyumas- Kota Purwokerto
Pada 1937, di masa pemerintahan Bupati Banyumas, K.P.A.A Gandasoebrata, Ibu Kota Banyumas beralih ke Purwokerto. Peralihan ini berasal dari kebangkrutan pabrik-pabrik gula; lesunya komiditi ekspor perkebunan; geografis Banyumas. Tentang tenggelam dan munculnya kota, saya teringat dengan cerpen Raudal Tanjung Banua “(Hidup) Matinya Sebuah Kota” (Jawa Pos, 15 Juli 2012). Dalam cerpen tersebut Raudal menceritakan bagaimana kota-kota itu memilki biografi, ciri fisik, dan wataknya sendiri. Pendek kata kota itu seperti makhluk hidup, dan karena itu bisa mati. Kiranya pasang-surut, hidup-matinya kota, terjadi sebab beberapa siklus. Penyebabnya beragam. Mulai tangan panjang kekuasaan bertangan panjang yang mencomot setiap jengkal, apakah bedanya? Habisnya sumber daya alam, berubahnya peta dan jalur utama sampai keroposnya kebijakan lokal, mungkin juga bencana yang membuat karam. Tepat 1861 kota Banyumas nyaris ditelan air banjir sungai Serayu. Peristiwa ini galib dikenal hikayat “Blabur Banyumas”.
Konon, kedahsyatan banjir sekira 3,5 meter, dan melibas kawasan Kabupaten dan Pendopo Sipanji. Karena itulah ungkapan yang lazim dalam cerita rakyat “besuk bakal ana bethik mangan manggar” (ikan bethik makan bunga kelapa) Pencandraan banjir Banyumas diabadikan melalui lukisan Raden Saleh berjudul “Eene overstrooming op Java” (suatu banjir di Jawa).
(Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:A_Flood_on_Java)
Ekses banjir Banyumas dicatat oleh William Barrington D’Almeida (1861), dalam safari ke Banyumas, Kedu, dan sekitarnya. Konon, banjir berselang pada 21-23 Februari 1861. Dalam lukisan kita melihat: wedana yang meminta bantuan; anak laki-laki dengan sorot mata yang ketakutan; perempuan tua yang memeluk erat leher putranya, dan beberapa orang yang berusaha berenang menyelamatkan diri. Lukisan ini menjadi bukti kedahsayatan banjir sekaligus penanda bahwa Banyumas rawan banjir.
Ibu Kota Banyumas (Kota Banyumas) terpaksa dipindah ke Kota Purwokerto. Kata Purwokerto berasal dari “purwo” yang artinya wiwitan atau asal muasal, dan “kerto” yang artinya kemakmuran, jadi purwokerto: awal; mula kemakmuran. Peralihan ini menjadikan Kota Banyumas menjadi ibu kota kecamatan Banyumas, sedangkan Purwokerto menjadi ibu kota Kabupaten Banyumas sekaligus kota penyanggah (hinterland) bagi Banyumas dengan beberapa alasan sejarah: industri; tempat wisata; sarana transportasi; pabrik dan sebagainya. Kota Banyumas Kota tanpa terminal? Lihatlah bus-bus dari Jawa maupun luar Jawa selalu mencantumkan Purwokerto sebagai trayek utama. Orang rantau akan tahu Purwokerto ketimbang Banyumas. Oleh karenanya, Banyumas menjadi kota kedua yang dirujuk setelah menyebut nama kota “induk”. Tersebutlah Banyumas, ingatan pembaca melayang ke Purwokerto, kota mungil dengan deretan kampus-kampus, yang berlari menjadi kota pelajar. Kampus (swasta dan negeri) banyak bercokol; Lembaga kursus (swasta dan negeri) kian bersemai; ruko-ruko berdesak-desakan. Kota Purwokerto mencipta banyak jalan dan persimpangan. Jalan purwokerto: jalan kecil yang punya hasrat terlalu besar, semua bernafsu tumbuh di sisinya, tak kenal ruang, tak kenal waktu. Meminjam istilah J.J, Helsdingen (1928) : masalah jalan adalah masalah hidup matinya kota.
Begitulah, ada begitu banyak kota yang dulu jaya, kini surut, hilang gema. Kota-kota kecil di Banyumas muncul berebut tumbuh, sebut saja: Ajibarang; Sokaraja; Baturraden; Kota Lama Banyumas. Ajibarang tumbuh dengan jalan-jalan membujur lapang. Kota ini memilki sumber daya alam berupa sawah yang luas, perkebunan, dan tanah yang subur. Kota ini mulai dicaplok industri: pabrik semen. Sokaraja tumbuh manis dengan industri pangan dan sandang. Kota ini juga pernah menyandang kota lukis. Baturraden, kota kecil yang permai, dikelilingi sawah bertingkat, air terjun dan bukit biru. Destinasi wisata tumbuh mekar menghias lanskap Gunung Slamet. Baturraden terasa sejuk meski kerap saya merasa panas sendiri, sebab saya ketahui diam-diam banyak perempuan tebal bergincu berkeliaran. Dan kota lama Banyumas tak hendak menyerah, susah payah menjaga apa yang pantas dijaga. Kota Banyumas menjadi kota kebudayaan. Kota tua dan murung tengah mencari ruh untuk mewartakan diri pada dunia tentang jejak peradaban manusia. Kota Lama Banyumas menjelma kota nostalgia dan utopia. Banyak event kebudayaan dan gedung-gedung sisa kolonial. Inilah hikayat kota lama yang berbagi peran dengan kota kecil yang menjadi penyanggah. Bagaimanapun peran kota lama Banyumas tidak akan terganti, sebab kota lama telah menjadi cerita, legenda, bahkan kenangan. “Kota-kota, seperti halnya mimpi, terjadi karena hasrat dan ketakutan,” kata toko Marco Polo kepada Kublai Khan dalam salah satu kisah ajaib Italo Calvino.
Kota Banyumas menjadi kota kebudayaan. Kota tua dan murung tengah mencari ruh untuk mewartakan diri pada dunia tentang jejak peradaban manusia. Kota Lama Banyumas menjelma kota nostalgia dan utopia. Banyak event kebudayaan dan gedung-gedung sisa kolonial. Inilah hikayat kota lama yang berbagi peran dengan kota kecil yang menjadi penyanggah.
Saya tinggal di Purwokerto, di kota kecil ini semua jalan beraspal, jumlahnya terus bertambah, seperti labirin. Terbaru, terdapat simpangan di jalan kota: Jalan Bung Karno. Simpangan jalan memiliki porsfektif untuk berkembang deretan gedung-gedung, menara, restaurant, tempat publik. Kemudian sawah-sawah diratakan dan ditanam beton dan cor, lalu mencipta gudang kebutuhan dan pusat konsumsi. Saya merasa beruntung tinggal di Purwokerto. Tapi kadang ngelangut sedih teringat banyak area persawahan banyak tercaplok pembangunan.
Jalan Bung Karno dilihat dari Menara Teratai. Sumber: (suara merdeka banyumas.com)
Alun-Alun Purwokerto dan sebuah Mall yang berhadapan. Sumber: (suara merdeka banyumas.com)
Tata bangunan (arsitektur) kota purwokerto cukup indah. Dulu, alun-alun purwokerto terdapat dua beringin kurung yang akarnya terjela-jela. Ada jalan tengah yang membelah alun-alun menjadi: sisi timur dan sisi barat. Kini apa yang tinggal? Pohon beringin kurung sudah ditebang; pondasi alun-alun ditinggikan; jalan tengah alun-alun dihilangkan; dan sebuah mall yang menghadap alun-alun. Bangunan Mall ini, meminjam selarik puisi Chairil Anwar, ia seolah “iseng sendiri”. Kemegahan dan gemerlapnya menandingi gegap gempitanya suasana alun-alun. Pembaruan, seperti biasa. Tapi terutama di zaman kiwari ini, Menyitir Goenawan Mohammad, kaum nouveaux riches (Orang Kaya Baru) telah mengambil alih arsitektur kota. Mereka yang baru saja memperoleh kekayaan; kekuasaan; dan kesempatan, telah merombak apa yang bagi mereka tak memikat lagi. Dan bila keindahan yang mereka coba utarakan itu tidak ada sangkut pautnya dengan keindahan lama, apa mau dikata?
Kota Purwokerto dan berbagai kota di Indonesia mengalami revolusi. Yakni perubahan-perubahan golongan yang berkuasa; ledakan penduduk; uang. Semuanya menghasilkan penjungkirbalikan. Alun-alun sekrang terasa ruang terbuka: sosial dan ekonomi. Sedangkan dulu, ketika saya kecil, alun-alun terasa akan makna spiritual, filosofis, politis, historis dan budaya. Dalam buku “Banyumas: fiksi & fakta sebuah kota” (2013) karya: Abdul Aziz Rasjid; Arif Hidayat; dan Teguh Trianton, kumpulan esai tentang Banyumas: sebagai kota kecil yang cukup unik dan sebagai subkultur Jawa, maka kontestasi penataan alun-alun Purwokerto ditengari sebagai lunturnya karakter wong Banyumas: Bawor. Ikonisitas Bawor mengejawantahkan : Cablaka (transparan); jujur, nrima ing pandum (apa adanya).
Makam Dawuhan : Kisah dan Hikmah
Kembali ke Banyumas,tidak jauh dari Kota Banyumas, di bukit kecil Desa Dawuhan, Kecamatan Banyumas, terdapat kumpulan makam tokoh elit Banyumas (Bupati dan Pejabat Banyumas). Kompleks ini semacam makam Imogiri. Bangunan makam tergolong terawat, mesti tetap rawan dengan pengikisan: iklim. Apa sebenarnya yang harus dipertahankan pada Makam Dawuhan Banyumas? Mungkin kenang-kenangan, sesuatu yang rupanya begitu penting. Manusia adalah makhluk khusus: ia mengingat-ingat. Dihadapannya, kematian menjadi sebuah paradoks: ajal berarti jalan ke keabadian, tapi sekaligus juga ancaman akan ambruknya kenangan. Sementara itu, kita tak mau lupa. Sebab itulah sejarah ditulis.
Foto penulis di Makam Dawuhan. Tepat di belakang Makam Raden Djaka Kahiman, Bupati Pertama Banyumas. Sumber: (Dokumentasi Pribadi)
Apa, misalnya, yang kita ketahui tentang riwayat Makam Dawuhan dan para elit Banyumas? Kita tak tahu apakah rakyat hidup sejahtera di tengah tren zaman dahulu yang feodal. Kita tak tahu bagaimana sehari-hari mereka hidup dan berpikir, bagaimana mereka bebas atau ditindas. Penulis sejarah sebagaimana para wartawan cenderung lebih memilih kejadian yang dramatis dan manusia yang tidak biasa. Pembaca sejarah, umumnya sebagaimana pembaca surat kabar memang lebih menyukai hal seperti itu. Perang dan kejatuhan; kekejaman dan perselisihan; kebejatan dan kesalahan. Lantas orang berkata bahwa dengan mudah sejarah akan bercampur baur dengan dongeng, dan tokoh menjadi mitos. Napoleon bahkan menganggap sejarah hanya sebuah fabel yang disepakati bersama.
Komplek makam bersuasana sepi dan wingit: kita dapat bertanya kepada kasepuhan dan juru kunci tentangnya. Bukan semacam makam yang keramat lagi sakral ; : “Sssst,” peziarah jangan keras-keras bicara. Dan semua diam. Oleh karenanya, jika kita ingin tergetar oleh kisah hidup para tokoh elit banyumas, kita mesti banyak membaca naskah babad; dan tak ketinggalan penuturan dari kasepuhan, kita tak sepatutnya membuat ceritanya berhenti. Jangan nobatkan mereka jadi orang keramat. Orang terkadang ingin menghentikannya tanpa tahu apa yang dilakukannya: orang tak sadar bahwa tokoh mati untuk kedua kalinya dan tak akan hidup lagi ketika ia jadi orang keramat.
Demikianlah asumsi ataukah pretensi saya yang merasa memiliki kota ini (Banyumas dan Purwokerto) karena menjadi bagian komplet dari biografi diri dan keluarga. Tulisan ini semacam sengatan agar pembaca sadar terhadap kota sebagai ruang hidup dan imajinatif. Pengisahan sejarah kota semacam ini memeberi kemungkinan penyelamatan biografi kota ketika tak tergarap dalam studi sejarah, sosiologi, politik, arsitektur atau ekonomi. Setiap tahun Banyumas berulang tahun, tepat di tanggal 22 Februari. Perayaan dihelat dengan meriah dan suka cita. Tapi sejauh mana kita (warga Banyumas) memaknai perayaan tersebut? Saya memaknai dengan beropini. Sebab saya tak ingin disiksa dengan kenangan. Persis yang diucapkan Montaigne: “Orang tersiksa oleh opini mereka tentang hal ikhwal, bukan hal-ikhwal itu sendiri”.