Cerita Tutur dan Sejarah Desa

Tempo bulan lalu, saya melaksanakan kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) bertajuk “Membangun Desa Berkelanjutan” yang bertempat di desa Jajar, Gandusari, Trenggalek, yang berlangsung selama 6 bulan. Salah satu program dari KKN tersebut adalah menarasikan cerita tutur sejarah desa dalam sebuah tulisan/buku. Hal itu tentunya berkaitan dengan urgensi menarasikan sejarah desa dalam bentuk teks. Karena di zaman modern ini, pengetahuan akan sejarah desa mulai luntur, beriringan dengan para sesepuh sebagai “penutur” cerita sejarah desa yang tidak sedikit sudah tutup usia. Maka, cerita lisan sejarah desa perlu dinarasikan dalam bentuk tulisan sebagai bentuk pendokumentasian sejarah desa, agar pengetahuan tentang sejarah desa tetap bisa dipelajari oleh generasi selanjutnya. Tentunya selain sebagai pengingat, juga sebagai penguat identitas dan jati diri masyarakat desa tersebut.

Lantas saya bersama teman-teman KKN  mulai menghimpun cerita demi cerita dari masyarakat desa Jajar. Dan akhirnya kami berhasil menarasikannya dalam sebuah buku dengan judul “Jajar Gumregah: Sejarah, Potensi Desa dan Kearifan lokal”. Itu adalah pengalaman pertama saya menulis tentang desa. Dari situ saya mulai tertarik dan berkenalan dengan literatur-literatur yang menyoal tentang desa, seperti bukunya Misbahus Surur berjudul Kronik Pedalaman (2020), Agus Ali Imron Al Akhyar berjudul Membingkai Tradisi Tutur Lisan di Daerah Tulungagung (2021), Saiful Mustofa berjudul Sambijajar Tempoe Doeloe (2021), dll.

Agus Ali Imron dalam bukunya mengungkapkan bahwa menarasikan cerita tutur sejarah desa melalui tiga istilah: ndhuduk, ndhudhah dan gugah. Ndhudhuk bermakna menggali sumber informasi dan potensi yang ada di desa. Kemudian ndhudhah yaitu memilah dan mengembangkan khazanah informasi dan potensi yang telah didhudhuk sebelumnya. Tentunya disertai dengan pembacaan terhadap literatur-literatur yang mendukung dalam penulisan sejarah desa. Setelah proses ndhudhuh dan ndhudhah, barulah gugah, yaitu akan tergugah untuk mentransformasikan tradisi lisan menjadi tradisi tulisan. Karena sampai hari ini, konten lokal masih kurang memiliki ruang dalam khazanah pengetahuan sejarah (Agus Ali Imron, 2021).

Berbicara tentang sejarah desa pasti tidak lepas dari cerita tutur masyarakat (folklore). Maka saya menyebutnya dengan istilah ‘cerita tutur sejarah desa’. Cerita tutur tersebut merupakan cerita yang sudah dituturkan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Berdasarkan pengalaman saya menuliskan cerita tutur sejarah desa dan pembacaan saya terhadap literatur tentang desa, ada hal yang unik dan berpola dari cerita tutur sejarah desa. Pola-pola yang unik tersebut hampir sering saya temui ketika mendengar atau membaca cerita tutur sejarah desa di tempat-tempat lain.

Pertama, yaitu adanya penokohan dalam sejarah desa. Sebagaimana ada tiga unsur penggerak sejarah, yaitu aktor, ruang dan waktu. Maka letak penokohan dalam cerita tutur sejarah desa menjadi aktor sejarahnya. Penokohan dalam sejarah tersebut biasanya digambarkan dengan seorang tokoh heroik, orang sakti, kiai, prajurit, atau bangsawan yang melarikan diri dari istananya. Penokohan menjadi kunci dari cerita tutur sejarah desa. Karena hal itu berkaitan dengan awal mula adanya sebuah desa. Dan cerita tutur sejarah desa di berbagai daerah di Jawa hampir memiliki pola yang sama seperti itu.

Cerita yang yang diyakini secara umum di masyarakat adalah konon suatu desa sebelum ditempati oleh penduduk mulanya adalah hutan belantara. Kemudian tokoh tersebut datang untuk membangun peradaban di wilayah tersebut, dengan membersihkannya (mbabad) baik secara fisik maupun membersihkan dari gangguan makhluk halus yang sebelumnya mendiami tempat tersebut. Setelah dibersihkan, kemudian tokoh pembabad tersebut akan membagi tanahnya dengan para pengikutnya dan membuat struktur pemerintahan yang dipimpin oleh tokoh pembabad sebagai lurah pertama. Adapun juga biasanya di daerah Jawa Timur-an melekat cerita bahwa tokoh pembabad desa adalah bekas prajurit pangeran Diponegoro. Prajurit tersebut melarikan diri dari Jawa Tengah ke arah timur, pasca perang Jawa yang ditandai penangkapan pangeran Diponegoro oleh kolonial. Kemudian bekas prajurit tersebut membabad desa untuk menata hidup yang baru.

Adapun juga biasanya di daerah Jawa Timur-an melekat cerita bahwa tokoh pembabad desa adalah bekas prajurit pangeran Diponegoro. Prajurit tersebut melarikan diri dari Jawa Tengah ke arah timur, pasca perang Jawa yang ditandai penangkapan pangeran Diponegoro oleh kolonial. Kemudian bekas prajurit tersebut membabad desa untuk menata hidup yang baru.

Kedua, yang melekat dari cerita tutur sejarah desa adalah toponimi atau penamaan dari desa tersebut. Toponimi atau nama-nama desa biasanya tidak lepas dari unsur alam, seperti tetumbuhan, pepohonan, bebatuan, dll. Misalnya desa Bawang dan Blimbing di Kediri, desa Ringinpitu di Tulungagung yang berarti pohon ringin yang berjumlah tujuh, atau desa Watulimo di Trenggalek yang berarti batu berjumlah lima, dan masih banyak yang lainnya. Hal itu menunjukkan bahwa masyarakat dahulu menjunjung tinggi sakralitas alam. Memang tidak bisa dipungkiri, peran alam tidak bisa lepas dari kehidupan manusia, bahwa alam telah memberikan banyak penghidupan bagi manusia.

Alam (bumi) sendiri secara filosofis disebut dengan ibu bumi. Sebagaimana sifat ibu yang merawat dan memberi, alam juga merawat dan memberi manusia apa-apa yang dibutuhkan, sampai-sampai orang terdahulu menghormati alam dengan cara mengabadikan alam sebagai nama desa. Maka sudah selayaknya manusia menjaga dan merawat alam, terlebih alam pedesaan yang masih sejuk dan asri. Sehingga dengan itu terbentuklah interaksi antara manusia dengan alam. Bukan malah mengeksploitasi alam sebagai komoditas dagang yang justru akan membuat marah ibu bumi (alam) dan merugikan generasi berikutnya.

Alam (bumi) sendiri secara filosofis disebut dengan ibu bumi. Sebagaimana sifat ibu yang merawat dan memberi, alam juga merawat dan memberi manusia apa-apa yang dibutuhkan, sampai-sampai orang terdahulu menghormati alam dengan cara mengabadikan alam sebagai nama desa.

Aspek ketiga, yaitu adanya pepunden/punden desa. Punden adalah tempat yang dihormati dan dijunjung tinggi sakralitasnya oleh masyarakat setempat. Punden diyakini masyarakat sebagai tempat persemayaman dari danyangan/danyang desa. Masyarakat meyakini danyangan dulunya adalah tokoh yang membabad desa tersebut. Kemudian ketika jasadnya meninggal, rohnya masih tinggal di punden desa untuk mengawasi desa. Punden desa biasanya berupa makam dari tokoh tersebut, petilasan, ataupun pepohonan/bebatuan yang cukup tua, bahkan bisa jadi lebih tua dari keberadaan desa tersebut. Maka untuk menghormati jasa dari tokoh pembabad desa dan sebagai wujud terima kasih, biasanya terdapat ritual yang bertempat di punden desa di waktu tertentu atau yang biasa disebut dengan bersih desa.

Bersih desa biasanya dilakukan dengan membawa uborampe yang telah ditentukan ke punden desa. Bersih desa juga merupakan bentuk syukur masyarakat desa atas nikmat, rahmat, kesehatan dan keamanan desa kepada Allah Swt. Bersih desa bisanya dibarengi dengan doa bersama masyarakat dengan membawa ambengan yang kemudian disantap bersama. Adapun juga, bersih desa diisi dengan pagelaran-pagelaran seni dan budaya serta hiburan masyarakat sebagai bentuk kegembiraan masyarakat atas desa sebagai tempat yang telah dihuninya.

Kembali ke persoalan, adanya cerita tutur sejarah desa memang tidak bisa lepas dari ketiga aspek tersebut: tokoh, nama desa dan punden. Ketiganya mempunyai pengaruh dalam melacak asal-usul dari suatu desa. Penokohan menginformasikan siapa yang membabad desa, nama desa menginformasikan bagaimana adanya desa dan punden sebagai pengingat/monumen lahirnya sebuah desa. Lebih-lebih jika bisa dilacak, punden bisa menginformasikan kapan adanya desa tersebut. Maka dari itu, dalam menarasikan cerita tutur sejarah desa haruslah menelusuri ketiganya, tentunya didukung dengan kajian terhadap literatur terkait.

Cerita tutur sejarah desa memiliki kelemahan dalam hal ingatan narasumber. Bisa jadi cerita yang dituturkan telah mengalami reduksi dari penutur kepada yang dituturkan. Lantas, dalam rangka menyimpan ingatan-ingatan masyarakat terhadap cerita tutur sejarah desa yang dituturkan dari para pendahulunya, perlu menarasikannya ke dalam bentuk tulisan. Tentunya agar narasi sejarah desa bukan hanya sebagai pengingat, tapi juga penguat identitas masyarakat desa, serta diambil nilai-nilainya sebagai jati diri yang mencerminkan masyarakat desa tersebut.


Ilustrasi : https://id.pinterest.com/pin/741053313654808548/