“Because a hero isn’t someone who lives above us, keeping us safe. A hero is not a god or an idea. A hero lives here… on the street, among us, with us. Always here but rarely recognized. Look in the mirror and see yourself for what you truly are.”
(Karakter Karen Page dalam “DareDevil”, season 2, Marvel Television – Netflix, 2016)
KARAKTER Sancaka dalam film Gundala: Negeri Ini Butuh Patriot (Bumilangit Studios, Screenplay Films, dll., 2019) besutan Joko Anwar adalah sekuriti perusahaan percetakan surat kabar, bukan lagi seorang insinyur kimia seperti dalam kisah orisinalnya pada komik karya Hasmi (Harya Suraminata). Peristiwa yang melatari asal usul kekuatan supernya pun tak lagi sama.
Apabila dalam versi aslinya di komik (1969) kekuatan super Sancaka bersumber pada sebuah kalung liontin ajaib pemberian Kaisar Crons (atau Kronz)[1] dari Kerajaan Petir yang menculik dan mengangkatnya menjadi Panglima Tentara Kerajaan Petir, Sancaka versi Joko Anwar adalah seorang yang selalu diincar oleh sambaran petir sejak kanak-kanak.
Karena itu Sancaka pun digambarkan kerap ketakutan setiapkali turun hujan, apalagi jika hujan itu disertai dengan gemuruh geledek. Ia akan bergegas lari mencari tempat perlindungan begitu mendengar suara guntur lalu meringkuk panik sambil menutupi kedua telinganya rapat-rapat. Rasa takut Sancaka pada petir ini terbawa hingga ia dewasa.
Sampai suatu hari ia terlibat perkelahian dengan dua preman pasar lantaran membela sesama penghuni rusun tempat tinggalnya, yaitu Sedha Esti Wulan (cikal bakal karakter Merpati) dan adiknya Teddy[2], yang mendapatkan intimidasi verbal maupun fisik. Kedua preman bersenjata tajam itu dengan mudah dikalahkan oleh Sancaka, namun persoalan tentu tak selesai sampai di situ. Seperti umumnya cerita film, alurnya dengan mudah sudah dapat ditebak: Kedua preman itu kemudian membawa kawan-kawannya mencari Sancaka ke percetakan untuk “membuat perhitungan”. Sancaka mencoba melakukan perlawanan tetapi akhirnya ia kewalahan menghadapi keroyokan rombongan preman itu sendirian.
Di sinilah, setelah Sancaka yang dalam keadaan babak belur dan pingsan dilemparkan oleh para preman dari atap gedung, diperlihatkan kepada kita bagaimana petir menyambar tubuhnya yang tergeletak tak berdaya di atas jalanan basah dan membuatnya tersentak bangun. Sambaran petir itu seakan datang sebagai penyelamat, yang bukan saja menyadarkannya dari pingsan tetapi juga menyembuhkan luka-lukanya dengan cepat dan memberinya kekuatan melebihi manusia normal. Itulah sebabnya Sancaka kemudian bisa mengalahkan 30 orang preman di pasar, sesuatu yang sulit dipercayai oleh orang-orang maupun dirinya sendiri.
“Kalau normal nggak mungkin saya bisa melawan 30 orang, Pak!” demikian kata Sancaka kepada Pak Agung, temannya sesama sekuriti percetakan. Ia baru menyadari jika petir bisa memberinya kekuatan (termasuk kemampuan melepaskan energi petir dari kedua belah telapak tangannya) saat mendengar kata-kata Wulan kepada Teddy bahwa, “Nggak ada yang perlu ditakuti dari petir.” Karena itu ia pun melangkah ke tengah guyuran hujan deras dan membiarkan petir menyambar tubuhnya.
Sementara dalam komik karya Hasmi, kendati diceritakan bahwa Sancaka disambar secara beruntun oleh petir yang dikirim oleh Kaisar Crons, petir itu tidaklah memberinya kekuatan tetapi hanyalah berfungsi untuk melontarkan tubuhnya menuju Kerajaan Petir yang terletak di atas awan.
Tak ada penjelasan dalam film yang menjadi pembuka waralaba Jagat Sinema Bumilangit ini bagaimana sambaran petir itu bisa menyalurkan kekuatan super kepada Sancaka atau kenapa petir senantiasa mengincar dirinya. Juga, apakah Sancaka memang selalu membutuhkan sambaran petir untuk mengisi tubuhnya dengan kekuatan? Karena sebagaimana terlihat dalam beberapa adegan, kekuatan super yang diperoleh Sancaka dari sambaran petir itu tampaknya tidaklah bersifat permanen, tetapi harus terus-menerus diisi ulang seperti baterai cas. Berbeda dengan The Flash, superhero DC, yang mendapatkan kekuatan supernya hanya melalui satu kali sambaran petir saja.[3]
Ini tampak kentara dari adegan di mana Sancaka begitu mudahnya jatuh pingsan ketika dipukul (diuji) oleh Nemo,[4] temannya Wulan, menggunakan sebatang balok kayu. Begitu pula ketika ia pertama kali menghadang para penjarah toko. Pada adegan ini ia bukan saja kembali kewalahan melawan orang banyak, namun juga dengan gampangnya ditusuk oleh seorang pesuruh Ghazul yang hendak mengambil darahnya. Perhatikan kata-kata Pak Agung berikut ini kepada Sancaka yang luka tusuknya sedang diobati oleh Wulan:
“Sancaka, jangan kuatir. Katanya malam ini turun hujan. Jadi kamu tidak harus babak belur seperti itu.”
Adakah penjelasan soal ini baru akan kita peroleh pada film-film Jagat Sinema Bumilangit berikutnya, terutama sekuel film Gundala yang konon akan dibuat dengan judul Gundala Putra Petir? Kita belum tahu. Meskipun pada sebuah adegan lain di bagian awal film, yakni ketika Sancaka kecil meraung marah sambil memegangi perisai polisi di hadapan bapaknya yang terkapar tewas akibat ditusuk oleh seorang pembokong, kita seolah-olah hendak diberitahu bahwa sejak Sancaka masih kecil sesungguhnya kekuatan petir telah bersemayam dalam tubuhnya. Dalam adegan dramatis ini, digambarkan bagaimana kilatan petir memancar keluar dari tubuh Sancaka yang berteriak keras hingga meretakkan perisai yang dipegangnya disusul perisai-perisai lain di tangan para polisi. Setelah itu barulah datang sebuah sambaran kilat dari langit yang membuat tubuh Sancaka terpental.
Selain dapat berfungsi sebagai alasan untuk menerangkan kenapa sebagai manusia Sancaka tidak mati disambar petir (hanya merasa amat kesakitan saja), peristiwa ini sekaligus menjadi semacam petunjuk dari Joko Anwar mengenai “resonansi guruh”[5] bagi adegan di akhir film yakni ketika Sancaka memakai kekuatan petirnya untuk menghancurkan botol-botol obat penawar yang sebetulnya adalah racun perusak janin.
Tentu saja cerita masa kanak-kanak Sancaka sebagai anak buruh pabrik maupun anak jalanan ini tak bakal kita temukan dalam komik klasiknya. Ini adalah bagian dari upaya Joko Anwar menambal rumpang alur dalam komik Hasmi.
Kehadiran Sancaka kecil ini selain merupakan sebuah usaha dalam pengembangan karakter, seyogianya juga bertujuan untuk membuat cerita menjadi lebih kekinian, rasional, dan realistis (dalam realitas fiksinya). Contohnya, dari kehidupan Sancaka kecil di jalanan kita jadi tahu bahwa kepandaiannya bertarung bukanlah keahlian yang ada begitu saja, melainkan berasal dari jerih-payahnya berlatih silat di bawah bimbingan Awang kecil (kelak bakal menjadi Godam) yang menyelamatkannya dari pengeroyokan oleh sesama anak jalanan. Hal ini pun ingatkan kita pada karakter Bruce Wayne dalam Batman Begins (Warner Bros. Pictures & DC Comics, 2005)—origin movie dari The Dark Knight Trilogy arahan Christopher Nolan—yang terlebih dahulu mesti berguru kepada supervillain Ra’s al Ghul sebelum ia menjadi vigilanteberkostum kelelawar di kota Gotham. Di bawah bimbingan pemimpin League of Shadows (versi komik DC: League of Assassins) inilah, selain berlatih beladiri Ninjitsu, Bruce juga belajar melawan ketakutan dan trauma masa kecilnya.
Ya, cergam Gundala Putra Petir karya Hasmi memang bukanlah sebuah karya yang didasarkan pada logika pengkisahan dan alur cerita yang dapat disebut matang, malah Gundala bisa dibilang sebagai karakter yang diciptakan rada asal-asalan tanpa dukungan riset memadai.[6] Bahkan dibandingkan dengan karakter dan kisah Godam karya rekannya Wid NS[7], alur maupun logika cerita Gundala tampak lebih kedodoran, terlebih pada kisah asal-usul ke-superhero-annya yang mencoba mengajak pembaca memasuki kisah fiksi-ilmiah tanpa sedikit pun referensi yang dapat dipertanggungjawabkan secara teori saintifik, seraya pada saat yang sama juga menghadirkan dongeng negeri antahberantah.
Karena itu, di luar perkara besarnya budget yang bakal dibutuhkan untuk menggarap tema fiksi-ilmiah (seperti banyaknya penerapan Computer-Generated Imagery [CGI]) maupun alasan yang terkesan sarat dengan nasionalisme,[8]pilihan reboot yang dilakukan oleh Joko Anwar terhadap origin story Gundala ini saya kira sudah tepat. Sebab berbagai kerancuan unsur fiksi-ilmiah yang kita temukan dalam komik karya Hasmi itu sendiri memang akan sulit untuk dirasionalkan. Coba perhatikan narasi dalam balon pikiran Sancaka ketika ia sedang meneliti serum anoda anti petir di laboratoriumnya pada halaman komik Gundala Putra Petir: Asal Usul Gundala yang saya sertakan di bawah ini:


Gambar 1: Halaman komik Gundala Putra Petir karya Hasmi. (Jakarta: Penerbit Bumi Langit, 2005; remaster), hlm 4-5.
Ketika menggarap tema sci-fi dalam film-film mereka seperti teori big-bang, teori relativitas umum dan mekanika quantum, perjalanan waktu, nano-technology, atau teori multiverse (yang belakangan ini jadi tema populer di dunia perfilman pasca Spider-Man: No Way Home [2021] dan Doctor Strange: The Multiverse of Madness [2002]), para sineas Marvel Cinematic Universe (MCU) didukung oleh banyak pendalaman terhadap teori-teori sains yang melibatkan kaum scientist. Mereka juga tak segan-segan melakukan perluasan dan pengembangan terhadap origin story komik apabila asal usul para karakter dinilai kurang logis dan realistis untuk penonton muktahir.
Contoh dalam hal ini antara lain asal usul karakter Hulk. Jika dalam origin story-nya di komik Marvel, Dr. Bruce Banner berubah menjadi raksasa hijau semata-mata akibat radiasi gamma yang disebabkan oleh kecelakaan dalam eksperimental bom gamma yang ia lakukan; tetapi dalam film-film Hulk produksi Marvel belakangan, pengaruh radiasi gamma pada tubuh Banner ini dibuat lebih logis dengan ditambahkannya unsur ujicoba DNA terhadap Bruce kecil oleh ayahnya David Banner (Hulk, Universal Pictures & Marvel Enterprises, 2003) dan penelitian terhadap serum super soldier yang dilakukan Banner dan Betty Ross di Universitas Culver, Virginia (The Incredible Hulk, Marvel Studios, 2008).
Namun bagaimana caranya merasionalkan pseudo-science dalam cerita asal usul Gundala di komik Hasmi, misalnya penelitian Insinyur Sancaka terhadap serum anti petir?
Pada era akhir 60an hingga awal 80an, pseudo-science seperti ini tampaknya memang tak begitu dipersoalkan oleh para pembaca komik maupun penonton filmnya, karena kala itu kisah superhero (termasuk dalam komik DC maupun Marvel serta film-film produksi studio-studio Hollywood) masih dianggap sebagai cerita anak-anak. Tetapi tidak begitu halnya dengan pembaca maupun penonton masa kini yang jauh lebih kritis dan majemuk dengan beragam usia dan latar belakang. Bahkan sejak Batman Begins (2005), dunia superhero dalam film yang dulunya berwarna-warni perlahan bergeser menjadi kelabu dan gelap dengan banyak adegan aksi brutal yang berdarah-darah serta dibangun dalam jalinanplot yang lebih rumit, sehingga tak lagi cocok untuk penonton usia 13 tahun ke bawah.
Upaya Joko Anwar untuk membuat cerita Gundala menjadi lebih realistis dan rasional juga tampak dari desain dan asal usul kostum sang adisatria. Apabila dalam komik klasiknya, kostum Gundala merupakan kostum sakti pemberian Kaisar Crons yang tersimpan dalam sebuah liontin; dalam film karya Joko, kostum itu ada dua yaitu kostum buatan tangan Sancaka sendiri dan kostum “sumbangan rakyat” lewat anggota DPR Ridwan Bahri.
Perubahan kostum ini, dari sisi asal usul maupun desainnya, tentu saja merupakan hal yang umum dalam film-film superhero terkini. Selain karena teknologi masa kini memang amat memungkinkan para sineas untuk merancang kostum yang lebih bagus secara visual lewat pengerjaan fisik maupun manipulasi komputer, desain ulang kostum-kostum para jagoan super itu juga bertujuan memberinya landasan yang lebih masuk akal. Tak lagi seganjil kostum-kostum klasiknya yang mencolok dan kurang mengacuhkan aspek-aspek fungsional.
Contoh paling kentara dari perubahan desain kostum superhero ini tentu saja dengan gamblang bisa kita temukan pada kostum karakter-karakter DC Extended Universe (DCEU) maupun MCU. Para sutradara DCEU bahkan tak segan-segan melenyapkan bagian-bagian dari kostum yang telah dianggap identik dan ikonik dengan sang superhero, misalnya “celana dalam di sisi luar” pada kostum Superman dan Batman yang terkesan norak dan tak jelas fungsinya. Begitu pun dengan kostum Captain America dalam film MCU. Sejak film solo pertamanya Captain America: The First Avenger (Marvel Studios, 2011), kostum klasik sang kapten dalam komik telah digantikan suit yang lebih modern dan membumi, yang lebih mirip seragam militer sesuai dengan identitasnya sebagai seorang tentara.
Dalam komik klasik karya Hasmi maupun film Gundala Putra Petir versi 1981, kostum Gundala adalah suit hitam ketat dengan penutup kepala bertopeng yang menampakkan bagian mata, hidung, dan mulut serta aksesoris seperti sayap burung berwarna putih di sisi kedua telinga. Apa fungsi dari sayap burung itu? Tak jelas. Hasmi tampaknya mendesain sepasang sayap berbulu putih itu hanya untuk keren-kerenan saja, sebatas menjiplak desain kostum The Flash. Padahal sayap yang lebih dikenal sebagai Hermes Wings[9] pada kedua sisi penutup kepala The Flash bukanlah sekadar aksesoris tetapi memiliki fungsi sebagai earphone yang membantu Barry Allen untuk berkomunikasi serta mendengarkan angin dan Speed Force.

Untuk itulah, Joko Anwar selaku penulis dan sutradara kemudian mencoba memberikan fungsi terhadap aksesoris sayap di kedua sisi telinga Gundala tersebut yakni sebagai alat penghantar petir dari bahan logam. Bahkan asal usul dan alasan keberadaan kedua sayap metal ini dikisahkan cukup rinci dan dikaitkan dengan momen-momen lain dalam film.
Seperti yang digambarkan dalam sejumlah adegan oleh Joko, kekuatan petir masuk ke dalam tubuh Sancaka melalui kedua telinganya. Itulah sebabnya dipertontonkan peristiwa kedua daun kuping Sancaka diiris. Pertama, saat ia dikeroyok oleh anak-anak jalanan semasa bocah, dan kedua, ketika ia kalah bertarung dengan para preman di atap gedung. Dengan demikian, kedua daun telinga Sancaka yang somplak itu seolah-olah untuk mempermudah energi petir mengalir masuk ke dalam tubuhnya.
Namun Sancaka baru menyadari kalau ia membutuhkan semacam “antena” agar ia tidak kesakitan saat disambar petir pada adegan ketika ia bersandar ke tembok percetakan dan tanpa sadar sebelah telinganya menempel pada batang besi. Belum terang bagi kita kenapa antena penghantar itu bisa membuat ia tidak kesakitan, tetapi batang besi di tembok percetakan itulah yang menginspirasinya untuk menggunakan aksesoris metal di bagian helm pada kostum buatan tangannya. Maka jadilah Sayap Hermes ala Gundala yang terbuat dari besi logo percetakan.
Gagasan Joko untuk memberi sayap ini fungsi sebagai alat penangkap petir, saya kira memang sebuah ide yang cukup segar. Lihat saja bagaimana MCU pun sepertinya tampak kebingungan ketika mesti menginterpretasi ulang Sayap Hermes pada helm Captain America dari desain orisinalnya di komik, yang—dalam cerita film—awalnya merupakan bagian dari kostum panggung Steve Rogers sebagai penjual obligasi perang. Alhasil dalam film Captain America: The First Avenger, Sayap Hermes itu hanya berupa cetakan putih di atas kulit helm berwarna biru yang tak punya fungsi apa pun.


Dari sisi rancangan visual maupun aspek fungsional, kostum handmade yang dibuat oleh Sancaka secara sederhana dengan memanfaatkan bahan-bahan di sekitarnya (jaket kulit, rubber belt mesin, kulit tas perempuan, goggle glass, celana dan sepatu sekuriti, pelindung siku dan lutut motor, dan lain-lain) memang tampak cukup bagus sekaligus realistis.


Sayangnya, tidak demikian halnya dengan “kostum pemberian rakyat” yang dikenakan oleh Sancaka dalam post-credit scene. Kostum yang didominasi oleh warna perak itu di samping terkesan kaku, juga tampak kurang membumi. Ia lebih mirip dengan armor karakter-karakter Metal Hero[10] Jepang serta membuat saya serta merta terbayang pada armor Bima Satria Garuda[11]. Padahal kostum hitam orisinal Gundala barangkali bakal lebih menarik jika digarap ulang dalam rancangan modern seperti yang dilakukan DC-Warner Bros terhadap suit Batman sejak film Batman versi Michael Keaton (Warner Bros.,1989) hingga The Batman versi Robert Pattinson (Warner Bros. Pictures, 2022).
The Hero’s Journey: Kisah Tragis Anak Yatim
SEBAGAI film pertama Jagat Sinema Bumilangit dan kisah mula pahlawan super, Gundala: Negeri Ini Butuh Patriotmemiliki alur cerita dan pengembangan karakter protagonis yang lebih baik ketimbang Sri Asih (2022) besutan Upi Avianto yang hadir sebagai film kedua.
Ia, boleh dibilang hampir memenuhi semua kriteria dasar origin movie yang secara bertahap memperkenalkan asal usul seorang karakter pahlawan super, mulai dari pemaparan latar belakang tokoh, perjalanan hidup sang adisatria, sampai pada akhirnya ia mulai berkenan menerima siapa dirinya, berdamai dengan masa lalunya, lalu memahami apa tujuan dari hidupnya (takdirnya). Ini adalah hal umum tetapi sekaligus merupakan pokok-pokok penting yang nyaris selalu kita temukan dalam origin movie banyak film superhero DC dan Marvel. Bahkan untuk karakter-karakter superhero setenar Superman, Batman, dan Spider-Man pun origin story-nya masih terus diceritakan kembali dalam berbagai versi film dan serial televisi. Tercatat hanya Spider-Man versi Tom Holland[12] saja yang tak lagi dikisahkan asal usulnya oleh Marvel Studios.
Jalan hidup para superhero modern ini tak ubahnya para pahlawan dalam berbagai mitologi dan dongeng-dongeng tradisional, bahkan para pendekar dalam cerita silat/wuxia. Hal ini persis seperti yang dikatakan oleh John Campbell mengenai the hero’s journey atau monomyth dalam bukunya The Hero With a Thousand Faces (1949). Menurut kajian naratologi dan mitologi komparatif Campbell yang didasarkan pada konsep archetypes Carl Gustav Jung itu, konstruksi perjalanan kepahlawanan dalam berbagai mitos, ritual keagamaan, cerita, drama, dan perkembangan psikologis pada dasarnya memiliki pola naratif yang umum dalam tahapan struktur narasinya, yang disebutnya nuclear units of the monomyth. Di mana menurut Campbell, langkah-langkah atau tahapan dalam perjalanan para pahlawan ini dimulai dari dunia biasa, yang dideskripsikannya secara singkat sebagai berikut:
Seorang pahlawan bertualang dari dunia biasa (kehidupan kesehariannya) menuju wilayah yang dipenuhi oleh keajaiban supranatural: Kekuatan luar biasa muncul di sana dan kemenangan yang menentukan pun diraih: sang pahlawan kemudian kembali dari petualangan misterius ini dengan kemampuan untuk melimpahkan anugerah kepada masyarakatnya. [13]
Dalam kajian monomyth-nya yang sepintas membuat kita teringat pada studi genre coming of age ini, setidaknya ada tujuh belas fase perjalanan pahlawan yang diuraikan oleh Campbell.[14] Sementara itu dalam bukunya The Writer’s Journey: Mythic Structure for Writers, Christopher Vogler meringkas tahap-tahap perjalanan pahlawan Campbell itu menjadi dua belas fase perjalanan yang terdiri dari: [1] The Ordinary World (Dunia Biasa); [2] The Call to Adventure(Panggilan untuk Berpetualang); [3] Refusal of The Call (Penolakan Panggilan); [4] Meeting with the Mentor (Perjumpaan dengan Pembimbing); [5] Crossing the Threshold (Melewati Ambang Batas); [6] Tests, Allies and Enemis(Ujian, Sekutu, dan Musuh); [7] Approach (Pendekatan); The Ordeal (Cobaan Berat); [9] The Reward (Penghargaan); [10] The Road Back (Jalan Kembali); [11] The Resurrection (Kebangkitan); [12] Return with The Elixir (Kembali dengan Obat Mujarab).[15]
Kendati tidaklah seluruhnya, tahap-tahap perjalanan pahlawan seperti yang diuraikan oleh Campbell maupun yang disederhanakan Vogler, saya kira dapat kita temukan pada pengembangan karakter Sancaka dalam film Gundala. Mulai dari tanda-tanda panggilannya di masa kanak-kanak sampai kita mengetahui alasan Sancaka memutuskan untuk ikut campur urusan orang lain sebagai Gundala.
Panggilan untuk berpetualang itu sudah terlihat dalam kehidupan Sancaka kecil dari figur Sangaji sang bapak yang dianggap “tukang cari masalah” karena suka membela sesama buruh dan menggelar demo menentang kesewenang-wenangan kaum pengusaha yang berkongkalikong dengan penguasa. Sebelum tewas terbunuh dalam aksi unjuk rasa jebakan karena dikhianati oleh teman seperjuangannya sendiri yang terbujuk tawaran uang, bapaknya sempat mengingatkan Sancaka kecil agar tidak diam saja melihat ketidakadilan, karena menurut sang bapak, “[…] kalau kita diam saja melihat ketidakadilan di depan mata kita, itu tandanya kita bukan manusia lagi”.[16]
Kata-kata (dan pengorbanan) sang bapak ini tampaknya selalu tertanam dalam diri Sancaka. Itulah kenapa ia merasa tergerak untuk menolong seorang anak perempuan pengamen hingga membuat ia dikeroyok oleh anak-anak jalanan lain. Namun dari Awang kecil yang menyelamatkannya, ia kemudian mendapatkan nasehat agar tidak mencampuri urusan orang lain. Simaklah dialog yang saya kutip ini:
Awang kecil: “Belajar buat urus hidup elo sendiri. Karena kalau elo ikut campur urusan orang lain, hidup elo bakal susah.”
Sancaka kecil: “Kok elo tolongin gue?”
Awang kecil: “Ya, makanya hidup gue bakal susah.”
Di sini kehadiran karakter Awang kecil—yang mengajarinya silat dengan tujuan “supaya elo bisa bela diri sendiri” dan memberinya nasehat—boleh disebut sebagai pembimbing (mentor) bagi Sancaka. Meskipun di sisi lain, nasehat dari Awang tersebut juga menimbulkan semacam keraguan atau rasa takut (refusal of the call) dalam diri Sancaka untuk memenuhi panggilannya sebagai hero. Karena itu kendati sesekali merasa tergerak untuk menolong orang saat menjumpai kesewenang-wenangan, namun Sancaka selalu mengurungkan niatnya.
Ya, peristiwa ia menolong Wulan dan Teddy dari ancaman preman pasar di rusun notabene adalah peristiwa pertama ia mendengarkan panggilan kepahlawanannya karena tak tahan lagi melihat ketidakadilan. Hingga akhirnya ia terjebak dalam situasi pelik ketika hendak mengantar Teddy yang dititipkan Wulan kepadanya ke pasar. Di situlah ia terpaksa beraksi lagi untuk membela diri dari keroyokan rombongan preman yang sedang berkonflik dengan sejumlah pedagang—yang dalam hal ini dapat dibilang sebagai awal aksi ke-superheroan-nya (mengalahkan 30 orang dan memancarkan petir dari kedua telapak tangannya).
Namun Sancaka belumlah serta merta menerima “takdir”-nya begitu saja. Ia mencoba menolak (“Aku bukan jagoan. Aku juga nggak tahu gimana caranya tadi aku melawan mereka.”) tatkala Wulan bersama Teddy, Nemo, dan para pedagang pasar lain datang ke percetakan untuk meminta bantuannya menghadapi para preman yang akan kembali dalam jumlah lebih besar.
Apa konsekuensi dari penolakannya itu? Pasar luluh-lantak dibakar oleh para preman sehingga banyak pedagang mengalami kerugian. Sehingga hal ini pun membuat Sancaka menyesal karena tak berkenan membantu walaupun ia tetap merasa ia tak bisa berbuat banyak. Tetapi kata-kata Wulan bahwa “kalau kita nggak mau melawan ketidakadilan di depan mata, itu artinya kita sudah kehilangan kemanusiaan,” yang hampir sama persis dengan kata-kata mendiang bapaknya seketika membuat Sancaka tegak terpana.
Tampaknya bagi seorang Sancaka dalam film Gundala, kata-kata ini berperan sebagai semacam cambuk moral yang melandasi keputusannya untuk bertindak—sebagaimana halnya kata-kata termashyur Paman Ben, “Seiring dengan kekuatan besar, datang pula tanggungjawab besar” bagi karakter Peter Parker dalam cerita komik maupun film-film Spider-Man.[17]
Kata-kata bapaknya yang diingatkan kembali oleh Wulan inilah yang akhirnya membuat Sancaka mengenakan kostum Gundala untuk menanggapi “the call to adventure”-nya membela orang-orang tertindas. Kata-kata itu adalah semacam warisan yang mengingatkannya kembali pada figur bapaknya yang mati membela orang lain; dan menyadarkannya bahwa ia tak boleh bersikap acuh melihat ketidakadilan. Dari titik inilah transformasi Sancaka menjadi Gundala—sebuah jatidiri dan nama yang belum ia ketahui kala itu—dimulai, dengan kostum buatan tangan dan terutama sambaran petir yang dapat kita tafsirkan sebagai supernatural aid—yang terus mengikutinya seakan-akan ada sesosok dewa (Kaisar Crons?) yang selalu ingin memberinya energi kekuatan listrik.
Seperti yang diungkapkan oleh Matthew J. Pustz dalam Comic Book Culture: Fanboys and True Believers, para pahlawan Marvel mungkin dipenuhi dengan kecemasan dan keraguan diri, tetapi mereka tahu bahwa mereka memiliki kewajiban untuk melawan kejahatan dan mencoba memperbaiki kesalahan dunia. Para pahlawan super ini tampaknya sama-sama menyadari akan tugas mereka melalui contoh Spider-Man, yang setelah kematian Paman Bennya tercinta, telah belajar bahwa yang kuat mestinya memikul kewajiban untuk membantu yang tak berdaya.[18] Sebab ketidakpedulian Peter Parker terhadap orang lain itulah yang telah merenggut nyawa Paman Ben-nya.
Pergumulan diri yang tidak mudah inilah; kebimbangan Sancaka dalam menerima takdir kewiraan, yang tidak kita jumpai dalam perjalanan karakter protagonis Alana dalam film Sri Asih, yang tampaknya menerima begitu saja tugas dari Eyang Mariani tanpa sangsi.
Gundala bukan tipe vigilante sejati seperti Batman atau DareDevil yang saban malam mengawasi kotanya dari ketinggian gedung dan menghajar orang-orang jahat di gang. Tetapi sebagai karakter pahlawan super, mereka—hampir semua—pada dasarnya sama. Yaitu, orang-orang yang “terpilih” atau “memilih” untuk bertindak, untuk menjadi sesuatu yang lain. Orang-orang yang sebetulnya hanya ingin membuat dunianya jadi sedikit lebih baik dengan caranya sendiri—utamanya lewat aksi fisik. Atau, meminjam ungkapan khas karakter Oliver Queen alias Green Arrow dalam serial televisi Arrow produksi DC Entertainment dan Warner Bros. Television (Season 1, 2012):
“Aku tidak tahu betapa menyakitkannya menyimpan rahasiaku. Kau memintaku untuk menyelamatkan kota, untuk memperbaiki kesalahan. Akan aku lakukan, aku bersumpah, tetapi untuk melakukan itu, aku tak bisa menjadi Oliver yang diinginkan semua orang.”
Para superhero ini—terlebih yang berjenis hakim jalanan—umumnya juga merupakan sosok-sosok traumatis dengan masa lalu yang kelam. Dan sebagian di antaranya adalah anak yatim piatu seperti Sancaka. Kebanyakan mereka ditempa oleh pengalaman hidup yang tragis, yang kemudian membentuk kepribadiannya.
Oliver Queen mengalami transformasi ekstrim dari seorang anak konglomerat manja yang gemar berpesta pora menjadi sosok petarung tangguh Green Arrow setelah ditempa oleh para pembunuh dan kondisi di pulau Lian Yu tempatnya terdampar selepas kematian tragis ayahnya. Peter Parker mungkin tak pernah menjadi Spider-Man sampai ia didorong atau setidaknya sampai rasa tanggung jawabnya terpicu oleh kematian pamannya. Sementara itu Batman mengambil jalan serupa lantaran kebutuhan obsesif untuk menghilangkan rasa bersalahnya atas kematian kedua orangtuanya.
Karena itu menurut Richard Reynolds, apa yang membuat Batman sangat berbeda dari Superman adalah karakternya yang dibentuk dengan menghadapi dunia yang menolak untuk masuk akal. Pengalamannya telah mengajarinya untuk bersikap sinis sepenuhnya—namun ia terus mempertaruhkan nyawanya dalam perang seorang diri melawan kejahatan.[19] Sebuah kondisi psikis sang kelelawar yang tersampaikan oleh Zack Snyder dengan cukup terang dalam kata-kata Batman kepada Superman dalam Batman v Superman: Dawn of Justice (2016):
“Kau bukanlah pemberani. Manusialah yang pemberani. Kurasa orangtuamu mengajarimu, bahwa kau berarti sesuatu. Bahwa kau memiliki tujuan di sini. Orangtuaku mengajariku hal berbeda. Mati dalam selokan. Tanpa alasan sama sekali. Mereka mengajariku, dunia menjadi masuk akal, jika kau menempanya.”
Para komikus dan penulis kisah (juga sutradara film-film) Batman tampaknya mafhum bahwa “kegilaan” ini adalah bagian dari identitas khusus Batman, dan bahwa karakter obsesif sang protagonis menghubungkannya dengan musuh-musuhnya dengan cara yang lebih pribadi ketimbang Superman yang meskipun juga anak yatim piatu tetapi dibesarkan dalam kasih sayang oleh kedua orangtua angkatnya.
Karena itu dari semua pahlawan super yatim piatu, Batman—menurut Danny Fingeroth—adalah yang paling traumatis terpengaruh oleh status yatim piatunya. Sehingga ketika Batman meninju musuh, ia melihat wajah orang yang membunuh orangtuanya dan dengan kejam meninggalkan dirinya sebagai bocah tujuh tahun yang meratap pada kehampaan malam Kota Gotham yang tak mempedulikannya.[20] Hal ini senada dengan apa yang sempat diungkapkan oleh Bob Kane, pencipta Batman, sebagaimana dikutip dalam Batman: The Complete History oleh Les Daniels:
“Bill dan aku telah membahasnya, dan menurut kami tidak ada yang lebih traumatis daripada pembunuhan orangtuamu di depan matamu.”[21]
Dalam film Batman (1989), peristiwa yang menjadi asal usul sang Ksatria Kelam ini bahkan terkait langsung dengan sang villain utama, yakni Joker yang terungkap sebagai pembunuh Thomas dan Martha Wayne. Dan dalam Batman Begins, terkait dengan Falcon.
Kematian seperti itu akan membuat seorang bocah lelaki merasa bertanggungjawab lantaran merasa tak mampu melindungi mereka, bahkan mungkin menganggap kematian mereka adalah kesalahannya. Itu juga terjadi pada Spider-Man si anak yatim dua kali, yang telah kehilangan orangtuanya semasa kecil sehingga dititipkan kepada Paman Ben dan Bibi May. Tetapi yang paling menyakitkan bagi Peter dalam kasus pembunuhan pamannya adalah fakta bahwa secara tak langsung tragedi itu terjadi akibat perbuatannya.
Agaknya kunci popularitas karakter-karakter superhero dengan pengalaman traumatis semacam ini adalah kemampuannya dalam mengundang simpati dan empati publik pembaca dan penonton.
Apalagi pada kasus Batman, di luar unsur kekayaan yang menjadi bagian penting dari karakteristik kewiraannya, juga terdapat aspek “ia bisa saja menjadi aku” lantaran kondisi “manusia normal” sang pahlawan.
Formula “anak yatim piatu yang kehilangan orangtua secara tragis” ini dianggap amat penting bagi Batman, sehingga Robin pun kemudian diperkenalkan dengan nasib yang serupa: anak korban kejahatan. Kedua orangtuanya dibunuh oleh penjahat yang memeras pemilik sirkus tempat keluarganya tampil sebagai seniman trapeze “Flying Graysons”.
Sejarah kelam para karakter superhero ini adalah hal amat penting yang menentukan siapa mereka di masa depan. Karena itu dalam The Flash (2023)[22] besutan Andy Muchietti, Bruce Wayne versi Ben Affleck pun sempat ingatkan Barry Allen versi Ezra Miller bahwa niatnya berlari ke masa lalu untuk mencegah pembunuh ibunya merupakan hal berbahaya yang bakal membawa konsekuensi tidak diinginkan, sebab menurut Batman: “Derita kitalah yang membentuk jatidiri kita. Kita tak bisa kembali dan memperbaikinya.”
Tanpa kematian ayahnya dan kepergian ibunya yang tak kunjung kembali, Sancaka takkan menjadi Gundala. Ini merupakan sebuah takdir fiksional yang (seolah) tak terelakkan dalam cerita—semacam Titik Mutlak yang diperkenalkan MCU dalam serial What If [23] ketika varian Doctor Strange berkali-kali gagal menghapus kecelakaan tragis Christine Palmer sang kekasih dengan time stone. Karena itulah dalam mimpinya, Sancaka pun terus-menerus dihantui oleh kerinduan kepada orangtuanya (terutama sang ibu) dalam warna distopia yang cenderung hangat (warm light) namun redup.
***
PARA villain juga kerap digambarkan sebagai karakter dengan masa silam yang tak kalah tragis dan memilukan—yang kemudian menjadi alasan rasional bagi mereka untuk menebarkan kekacauan dan kejahatan. Bahkan sering terjadi, traumatis masa kecil para karakter antagonis ini jauh lebih mendalam ketimbang yang dialami oleh para hero protagonis.
Dalam film Batman Returns (Warner Bros. Pictures, 1992) contohnya, karakter Penguin (Oswald Cobblepot) dihadirkan ke layar lebar oleh Tim Burton sebagai sosok ganjil yang dibuang oleh kedua orangtuanya sendiri ke selokan saat bayi karena merasa malu memiliki anak cacat![24]—sebuah pergeseran drastis dalam karakterisasi Penguin dari seorang bos mafia yang elegan pada origin story-nya menjadi politisi psikopat dengan penampilan seperti binatang.
Karena itu, apabila pembalasan dendam vigilante hero seperti Batman kepada kriminalitas kotanya merupakan pewujudan dari reaksi masa kanak-kanaknya terhadap—meminjam kata-kata Fingeroth—dunia yang tak peduli, atau lebih buruk lagi dunia bermusuhan, yang telah merampas pelindung dan pengasuh dirinya dengan cara kejam dan tiba-tiba[25]; alasan yang melandasi aksi-aksi Penguin Tim Burton jauh lebih kompleks.
Di mana dalam hal ini, rencana penculikan dan pembunuhannya terhadap semua bayi lelaki sulung (firstborn sons) Gotham misalnya, tak lain merupakan katarsis dari kebencian dan dendamnya terhadap orangtuanya sendiri yang telah menolak kehadirannya di dunia.
Sehingga di sini pembalasan dendam terhadap orangtuanya itu dapat pula sekaligus dipahami sebagai sebuah pembalasan bagi masyarakat kaya Gotham yang munafik dan bersembunyi di balik topeng moralitas, sebagaimana kerap tercermin dalam pidato para politikus dan pejabat busuk. Atau dengan kata lain, Penguin sebetulnya adalah korban dari tatanan masyarakat Gotham yang membusuk itu sendiri, yang diwakili oleh orangtuanya yang mencampakkannya secara semena-mena maupun karakter seperti Max Shreck—pengusaha korup yang meracuni sungai dengan limbah beracun pabrik tekstil tapi mengibaratkan dirinya sebagai sinterklas dalam pencalonan walikota.
Maka Penguin pun bertekad muncul ke permukaan untuk merebut kembali “sebuah pengakuan kemanusiaan dasarku” dan “mempelajari nama manusia”, sekalian untuk memberi pelajaran kepada masyarakat hipokrit yang telah menciptakan dirinya.
Ya, dalam realitas fiksi para superhero, kerapkali pahlawan dan penjahat tidak datang begitu saja dari negeri antahberantah, tetapi mereka seyogianya dilahirkan atau dibentuk oleh kebusukan kota dan masyarakatnya itu sendiri. Tokoh-tokoh villain psikopat maniak yang lahir dari kebobrokan tatanan masyarakat seperti ini memang memenuhi seluruh cerita Batman dalam komik maupun film-filmnya, mulai dari Joker the Clown Prince of Crime, Two Face, sampai The Riddler versi akuntan forensik Edward Nashton dalam The Batman (2022).
“Orang jahat adalah orang baik yang tersakiti,” begitulah bunyi ungkapan empatik yang begitu ramai dikumandangkan oleh warganet Indonesia selepas mereka menyaksikan penderitaan demi penderitaan yang harus dialami karakter Arthur Fleck akibat perlakuan masyarakat Gotham maupun institusi sosial terhadapnya dalam film Joker garapan Todd Phillips pada tahun 2019 lalu.
Toh, dalam Batman Returns kita tahu, monster tak hanya berwujud sosok psikopat aneh pelahap ikan mentah seperti Penguin tetapi juga karakter-karakter dari lapisan masyarakat terpandang seperti Max Shreck dan pasangan suami-istri Cobblepot. Hal ini bahkan secara lugas dikatakan oleh Penguin kepada Shreck yang ia culik:
“… kau dan aku memiliki sesuatu yang sama: Kita berdua dianggap sebagai monster. Tapi entah kenapa kau monster yang disegani dan aku, sampai saat ini bukan!”
Lantas bagaimana dengan para karakter antagonis dalam film Gundala 2019?
Seperti halnya para villain dalam cerita Batman, Pengkor alias Haidar Subandi[26] sang antagonis utama dalam film Gundala garapan Joko Anwar juga memiliki sejarah hidup yang tak kalah tragis dari Sancaka. Ayah dan ibunya mati dibakar hidup-hidup dalam rumah oleh para pekerja pekebunan yang mengganas. Bukan saja karena permintaan pengurangan jam kerja mereka tak dipenuhi oleh ayah Pengkor si pemilik perkebunan (terbesar di Jawa), tetapi juga lantaran sang ayah telah difitnah oleh seorang pekerja yang berzinah dengan istri pekerja lain lalu membunuh suami perempuan itu.
Seperti yang dikisahkan lewat penuturan Ridwan Bahri—karakter anggota DPR yang baik itu—kepada para anggota legislatif lainnya, peristiwa itu juga membuat Pengkor kecil yang bersembunyi dalam lemari hampir mati terbakar—separuh tubuhnya bagian kanan, wajah dan tangannya, rusak oleh jilatan api, begitu pula kakinya yang jadi timpang. Itulah sebabnya ia dipanggil Pengkor yang berarti pincang. Dengan maksud hendak menguasai harta warisannya, adik ayahnya kemudian memasukkannya ke dalam sebuah panti asuhan yang dikelola oleh para pengurus yang sadis agar ia mati di sana. Tetapi alih-alih mati disiksa atau dijual oleh para pengelola panti seperti sebagian anak-anak lain, dari sinilah cerita Pengkor sebagai otak kejahatan justru dimulai.
Ia tampil sebagai pemimpin anak-anak yatim itu, mengorganisasi mereka dan merencanakan pembunuhan terhadap para pengurus panti. Para pengurus itu diikat pada saat sedang terlelap di tengah malam, digorok dan dibakar hidup-hidup beramai-ramai. Tak lama setelah itu, Pengkor pun berhasil memperoleh harta warisan ayahnya lalu menyekolahkan anak-anak yatim teman senasibnya sekaligus menjadikan mereka sebagai tentara pribadi. Dalam film Gundala ini, setidaknya kita diperkenalkan dengan lima “anak-anak” Pengkor dengan keahlian dan profesi masing-masing yang dipanggil untuk menghadapi Gundala.
Karena itu, Pengkor yang memiliki ratusan panti asuhan di seluruh Indonesia, kata Ridwan Bahri, “Bukanlah mafia. Buat sebagian orang, dia adalah Tuhan.” Satu hal yang membuat saya jadi teringat pada karakter Kingpin, tokoh bos mafia Marvel di New York yang tak ubahnya seorang Godfather di mata orang-orang yang ia bantu. Tentu, seorang Kingpin—terutama yang diceritakan dalam serial “DareDevil” di Netflix (2015-2018)—juga punya masa lalu teramat muram: Ia menghabisi nyawa ayahnya sendiri dengan palu karena tak tahan melihat sang ibu terus dipukuli sang ayah. Ia juga selalu dirundung oleh anak-anak lain dengan ejekan “gendut”.
Serupa Penguin dalam Batman Returns melancarkan teror penculikan bayi sebagai usaha pembalasan dendamnya, Pengkor melampiaskan kemarahan pada peristiwa tragis di masa kecilnya dengan menyebarkan racun yang dapat menyebabkan kecacatan janin, yang ia samarkan sebagai obat penawar serum amoral. Apa tujuannya? Tak lain adalah membuat masyarakat jadi chaos seperti yang dikatakannya kepada Gundala saat ia terkapar oleh tembakan Ridwan Bahri:
“Adikarya saya sudah dimulai. Nanti ketika bayi-bayi ini lahir, orang-orang itu akan saling menyalahkan, saling bunuh. Dan setiap mereka berhasil melupakan, mereka akan lihat anak-anak seperti saya. Dan mereka akan saling menyalahkan lagi.”
Dalam dialog ini yang menarik bagi saya adalah pernyataan polos “rakyat tidak sebodoh yang anda kira” yang diucapkan oleh Gundala setelah kata-kata Pengkor di atas. Apakah pernyataan klise itu benar adanya? Saya kira narasi film ini justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Sebab dalam peristiwa penyebaran serum perusak moral, kita dapat melihat bagaimana rakyat ternyata dapat dengan gampangnya diperdaya oleh Pengkor lewat isu serum amoral yang telah disuntikkan ke dalam beras. Begitu pula halnya dengan mayoritas anggota DPR yang kemudian meloloskan obat penawarnya dalam sidang.
Padahal serum amoral itu tidak ada. Cairan hijau (yang warnanya ingatkan kita pada serum antipetir Sancaka dalam film Gundala 1981) yang dimasukkan ke dalam beras itu sebenarnya bukanlah serum yang akan mempengaruhi moral janin, tetapi hanyalah semacam racun ringan yang bereaksi pada perempuan hamil. Itulah taktik Pengkor untuk menciptakan kepanikan massal sehingga ia dapat menekan pemerintah untuk mendistribusikan racun perusak janin melalui suara para anggota legislatif yang ia kuasai. Dan ia berhasil. Bukan saja karena cuma ada segelintir anggota dewan yang jujur dan berpikiran lebih logis, tetapi juga lantaran isu beras terkontaminasi itu segera tersebar luas lewat berbagai media, yang di antaranya menayangkan pendapat Anggara Sasmi, anggota dewan bayaran Pengkor, bahwa:
“Penjelasan ilmiahnya adalah serum yang disuntikkan ke dalam beras akan merusak bagian otak janin dan melumpuhkan kemampuan mereka membedakan antara baik dan buruk. Apa akibatnya? Satu generasi, semua bayi yang lahir dari ibu yang mengkonsumsi beras yang terkontaminasi akan lahir menjadi satu generasi yang tidak bermoral.”
Apa yang hendak disampaikan sutradara dan penulis skenario lewat peristiwa fiktif ini? Sederhana saja, yaitu bahwa rakyat (baca: orang Indonesia) itu gampang dipengaruhi karena kurang mampu berpikir kritis. Akibatnya mereka begitu mudahnya mempercayai hoax dan teori konspirasi serta gampang panik. Dalam kasus ini tak ada yang mempertanyakan kenapa moralitas manusia bisa dipengaruhi oleh suatu zat, termasuk para “wakil rakyat jujur” yang tergabung di Rumah Perdamaian. Hanya seorang Ferry Dani—si anggota legislatif paling vokal—saja yang dengan sinis mempertanyakan apa itu amoral dan moral.
“Apa itu amoral? konten pornografi? Jadi LGBT? Apa amoral itu termasuk korupsi? Kalau termasuk korupsi, gue baru khawatir. […] Biarin saja bayi-bayi itu lahir tanpa moral. Moral itu apa sih? Yang penting ada logika, ada hati nurani. That’s it.”
Selain Pengkor, dalam film ini masih ada beberapa karakter antagonis. Namun yang paling menonjol adalah Ghani Zhulham alias Ghazul. Belum banyak yang kita ketahui mengenai karakter ini di luar komik (klasik maupun karya-karya baru yang diterbitkan oleh Jagat Bumilangit).[27] Lantaran latar belakang maupun identitas lebih jelas dari tokoh yang tampaknya bakal terus hadir dalam semua film Jagat Sinema Bumilangit ini memang belum banyak diceritakan, baik dalam Gundala maupun Sri Asih.
Tetapi jelas Ghazul adalah karakter yang amat penting dalam Jagat Sinema Bumilangit. Ia boleh dikatakan sebagai salah satu big villain yang berperan sebagai mastermind atau dalang di balik layar sejumlah peristiwa besar, mulai dari kasus peredaran obat anti serum amoral dalam Gundala sampai pengusuran rumah susun Kembangan (Jakarta Barat?) dalam Sri Asih. Tugas Ghazul—seperti yang diungkapkannya kepada Ganda Hamdan, kepala preman dan anggota legislatif pengikut setianya—adalah mempersiapkan perang akbar bagi Dewi Api junjungannya yang masih terkurung di gunung berapi. Karena itulah ia berencana untuk membangkitkan kelima panglima sang dewi, yaitu Ki Wilawuk, Kelelawar Hitam, Bocah Atlantis, Dewi Lanjar, dan Roh Setan.[28] Dua dari kelima panglima ini sudah muncul dalam Jagat Sinema Bumilangit. Ki Wilawuk sang pendekar sesat yang menguasai ajian Pancasona telah berhasil dibangkitkan oleh Ghazul di penghujung film Gundala, sementara si pemakai kalung Roh Setan bahkan telah bertarung dengan Alana dalam film Sri Asih.
Kehadiran Ghazul sebagai dalang di balik layar inilah yang menciptakan pola penceritaan serupa dalam strategi naratif film Gundala dan Sri Asih. Jika dalam kisah Gundala, Ghazul memanfaatkan Pengkor untuk melaksanakan skenarionya membangkitkan Ki Wilawuk; maka dalam Sri Asih, ia memanfaatkan karakter Prayogo Adinegara yang hendak menggusur rusun untuk melaksanakan ritual “tumbal seribu jiwa”-nya.
“Skenario” yang dimainkan Ghazul ini boleh dibilang semacam rencana tersembunyi yang tak diketahui oleh Pengkor maupun Prayogo. Pada film Gundala, tujuan utama Pengkor adalah membuat cacat satu generasi demi melampiaskan kemarahan dan dendam kesumatnya kepada tatanan sosial, karena itu ia dan anak buahnya pun berusaha keras mencegah Sancaka dan Ridwan Bahri menghentikan distribusi serum perusak janin. Sementara tujuan Ghazul adalah membangkitkan Ki Wilawuk. Dan itu hanya bisa tercapai jika Sancaka menghancurkan botol-botol serum yang bermaterial sama dengan kaca kurungan kepala dan tubuh Ki Wilawuk.
Tentu skenario besar dan perannya ini barulah ketahuan oleh penonton menjelang akhir film, di mana kita bukan saja diperlihatkan tulisan “Ghapharma” (Ghazul Pharmacy) pada badan mobil-mobil distributor yang menunjukkan bahwa Ghazul-lah sebetulnya pemilik perusahaan farmasi yang membuat dan mendistribusikan serum perusak janin itu, tetapi juga pada adegan Ghazul memegang sebuah botol yang serupa dengan botol serum berikut dialognya dengan Ganda Hamdani:
Ganda: “Biar saya tebak, Pak. Botol itu berasal dari material kaca yang selalu Bapak bawa, kan? Saya kan nggak bodoh, Pak.”
[…]
Ghazul: “Apa kamu juga bisa tebak? Kalau material kaca di hadapan kamu, juga sama seperti kaca yang aku selalu bawa?”
Ganda: “Saya masih ngancurin itu juga, Pak?”
Ghazul: “Nggak bisa. Hanya satu orang yang bisa.”
Ya, hanya Gundala-lah satu-satunya orang yang sanggup menghancurkan kaca kurungan Ki Wilawuk dengan kekuatan resonansi petirnya. Tetapi pertanyaan bagi kita adalah dari mana Ghazul tahu bahwa Gundala bisa dan akan menggunakan kekuatan resonansi guruh itu untuk menghancurkan botol-botol serum?
Pertanyaan ini lebih sukar dijawab ketimbang pertanyaan dari mana Hasbi sekretaris Ridwan Bahri mendapatkan nomor telepon percetakan tempat Sancaka bekerja—yang dalam hal ini juga berarti ia dan Ridwan seyogianya telah mengetahui Sancaka adalah Gundala. Apakah Ghazul yang memberikan nomor tersebut kepada Hasbi? Apakah Ghazul juga yang memberitahu Pengkor di mana Sancaka berada? Untuk pertanyaan-pertanyaan susulan ini jawabannya kemungkinan “iya”. Tampaknya Ghazul pula yang telah menyelipkan amplop berisi hasil tes serum penawar ke dalam tas Ridwan Bahri agar Sancaka mengetahui tentang kepalsuan serum penawar yang sudah terdistribusi.
“Musuhmu sudah tiba,” demikianlah kata Ghazul kepada Ki Wilawuk yang baru saja dibangkitkan. “Yang mana?” tanya karakter dari era legenda Jagat Bumilangit yang dimunculkan oleh Hasmi pertama kalinya dalam komik episode Gundala putra petir: Dr. Jaka dan Ki Wilawuk itu. Ghazul kemudian menjawab: “Gundala. Tetapi dia belum tahu siapa dirinya.”
Namun dari mana Ghazul mengetahui kalau Sancaka adalah Gundala? Dari mana pula ia memperoleh informasi-informasi tentang Sancaka, termasuk nomor telepon tempat Sancaka bekerja tersebut? Apakah ia telah melakukan penyelidikan secara mendalam terhadap Sancaka termasuk berbagai peristiwa di masa kecilnya atau dari bisikan gaib?
Tak ada sedikit pun penjelasan akan hal ini bagi penonton. Hanya saja kepada Ganda Hamdan ketika sedang menggali kuburan kepala Ki Wilawuk, Ghazul sempat mengatakan bahwa keluarganya memang tidak kaya raya tetapi selalu diwarisi ilmu turun-temurun. Selebihnya kita hanya bisa menerka-nerka. Kita justru mendapatkan sedikit informasi tambahan yang tampaknya mengarah kepada karakter Ghazul di luar film, yaitu dari kicauan Joko Anwar di akun Twitter-nya bertanggal 8 September 2019, bahwa, “Bahkan sebelum pakai kostum saja sudah ada yang tau identitasnya. Darahnya diambil. Seseorang sejak lama mengikuti suara di angkasa. Seseorang yang tau semua, apalagi cuma sekadar menyelipkan amplop, atau nomor telepon. Seseorang yang tau rahasia yang paling berbahaya.”
Apakah minimnya penjabaran mengenai sosok Ghazul dalam film ini memang sengaja disimpan dan baru akan dipecahkan sedikit demi sedikit pada film-film Jagat Sinema Bumilangit selanjutnya? Boleh jadi demikian, meskipun perkara ini cenderung menjadi plot hole.
Pertanyaan lainnya yang juga tak kalah penting di sini adalah apakah sebelumnya Ki Wilawuk sudah mengenal Gundala bahkan pernah bertarung dengan Gundala? Sebab bukankah ekspresi wajah seram Ki Wilawuk diperlihatkan kaget saat Ghazul menyebutkan nama Gundala? Sehingga dalam bahasa Jawa Kawi ia pun menitahkan Ghazul untuk mengumpulkan pasukan lantaran perang besar bakal segera terjadi. Kalau betul Ki Wilawuk telah mengenal dan bertarung dengan Gundala sebelumnya, kapan dan di mana peristiwa itu terjadi, dan dengan Gundala yang mana? Apakah pertarungan itu merujuk ke cerita-cerita komik klasik Hasmi, sehingga dengan begitu sekaligus menyiratkan bahwa Jagat Sinema Bumilangit bakal mengadopsi gagasan multiverse dan mengakui eksisnya Insinyur Sancaka versi komik Hasmi?
Bisa saja ya, bisa juga tidak. Tetapi dengan hadirnya adegan pasangan kaya bermobil yang menyelamatkan Sancaka kecil dari kejaran anak-anak jalanan lalu menawari dirinya untuk diadopsi sebagai anak angkat, Joko Anwar tampaknya memang menyediakan kemungkinan adanya dunia paralel atau garis waktu alternatif ketika ia mencoba memainkan semacam “What If” ala Marvel: Bagaimana seandainya Sancaka memilih tawaran adopsi pasangan kaya itu? Ya, barangkali ia bakal menjadi seorang insinyur seperti karakter Sancaka dalam komik Hasmi yang memang dikisahkan sebagai anak adopsi.
Toh demi kepentingan cerita, Joko membuat Sancaka—yang mungkin teringat pada cerita Awang tentang kejamnya orang kaya yang mengadopsinya—memilih untuk menolak tawaran itu dan berlari keluar dari mobil mencari hidupnya sendiri. Maka jadilah ia Sancaka si sekuriti percetakan, yang meskipun tidak pernah membuat serum anti petir dan tak pernah mendapatkan liontin sakti dari Kaisar Crons, tetap saja diincar oleh petir yang hendak memberinya kekuatan untuk memenuhi takdirnya.
Dari Percuma Lapor Polisi sampai Mitos Pribumi Malas
HAL lain yang menurut saya cukup layak mendapatkan apresiasi positif dari film Gundala dan Sri Asih adalah kesadaran penulis naskah dan sutradara untuk membawa film bergenre superhero memasuki wilayah kritik sosial dan ranah politik—atau meminjam kata-kata Joko Anwar sendiri: menyuarakan apa yang terjadi di Indonesia.[29] Dan saya kira ini merupakan sebuah pilihan yang tepat apabila Jagat Sinema Bumilangit memang ingin menghadirkan para karakter pahlawan super yang lebih membumi dalam konteks kekinian—bukan film anak-anak yang sekadar menampilkan manusia berjubah bisa terbang dan gemar membantu para bocah menurunkan kucing dari atas pohon. Sebab dalam settingyang realistis, kondisi sosial politik memang hal yang tak mungkin diacuhkan atau dihindari.
“Di bumi ini, setiap tindakan merupakan tindakan politik,” demikian kata seorang pembicara dalam debat di televisi dalam film Batman v Superman: Dawn of Justice.
Lihat saja bagaimana film-film MCU (juga komik-komik Marvel) yang selalu kuyup menghadirkan beragam peristiwa politik nasional dan global, dengan terang menyampaikan berbagai kritik pedas terhadap tatanan sosial masyarakat maupun kebijakan pemerintahan Amerika Serikat. Sebagai contoh, sebut saja kasus perdagangan senjata ilegal di pasar gelap dan penciptaan teroris di kawasan Timur Tengah oleh Amerika Serikat dalam film-film Iron Man 1,2,3 (2008, 2010, 2013), perlakuan rasial terhadap warga kulit hitam oleh negara dan masyarakat kulit putih dalam The Falcon and the Winter Soldier (2012), atau adegan yang menampilkan keangkuhan dan sikap semena-mena aparat pemerintah (DODC Agents) terhadap minoritas Muslim (masuk masjid tanpa membuka sepatu) dalam Ms. Marvel (2022).
Selain menampilkan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat dengan kesenjangan menganga lebar yang begitu gampang diprovokasi dan main hakim sendiri serta begitu mudah percaya kepada hoax, baik Gundala maupun Sri Asihjuga sama-sama menjadi medium untuk melayangkan kritik cukup tajam terhadap lembaga legislatif maupun institusi kepolisian yang digambarkan sebagai lembaga korup.
Dalam film Gundala, hal ini sudah terlihat sejak awal ketika kerusuhan pecah antara para buruh pimpinan Sangaji ayah Sancaka dengan aparat kepolisian yang dibayar untuk menjaga pabrik. Hanya dengan sebuah lemparan batu saja bisa terjadi kekacauan yang diinginkan oleh pemilik pabrik—sehingga ia pun memperoleh alasan untuk membungkam suara protes kaum buruh lewat tangan para aparat. Bahkan tak cukup sampai di situ, untuk mematahkan gerakan para buruh hingga ke akarnya, si pemilik pabrik juga mencari cara yang lebih jitu, yakni dalam hal ini melenyapkan aktivis buruh yang vokal seperti Sangaji. Di sinilah kita kemudian menemukan para aktivis buruh yang ternyata begitu mudah disogok dengan alibi “kami butuh uang” sehingga rela mengkhianati teman sendiri.
Apakah memang begitu buruknya moralitas kaum pekerja ini sehingga tak bisa dipercaya seperti halnya mayoritas wakil rakyat yang menganggap korupsi dan praktek suap sudah merupakan suatu hal lumrah?
“Orang Indonesia itu sekarang dari top sampai bottom sangat mementingkan diri sendiri, orang kaya merasa bisa melanggar hukum karena bisa lepas dari itu, punya uang segala macem. Di bawah juga seperti itu, mereka boleh melanggar hukum karena mereka mencari uang. Misalnya kayak mencuri. Jadi patriot sangat jarang di Indonesia, makanya negeri ini butuh patriot,” demikian ungkap Joko Anwar.[30]
Toh terlepas dari benar tidaknya asumsi pribadi Joko ini, kehadiran dan tampilnya seorang patriot atau wira di tengah tatanan dunia yang terancam chaos kiranya memang sejalan dengan apa yang didefinisikan oleh John Shelton Lawrence dan Robert Jewett sebagai “Monomyth Amerika” yang bertolak dari monomyth klasik John Campbell. Di mana berdasarkan analisa mereka terhadap berbagai buku, program TV, film, komik, video game, Lawrence dan Jewett kemudian menyimpulkan bahwa cerita aksi para pahlawan super Amerika memiliki formula archetypes yang cukup mudah untuk dikenali, yakni ketika:
“Sebuah komunitas dalam firdaus yang harmonis terancam oleh kejahatan; institusi normal gagal menghadapi ancaman ini; seorang pahlawan super tanpa pamrih muncul meninggalkan godaan dan melaksanakan tugas penebusan; dibantu oleh takdir, kemenangannya yang menentukan mengembalikan komunitas tersebut kepada kondisi surgawinya: kemudian pahlawan super itu menghilang ke dalam kekaburan.”[31]
Karena itu Lawrence dan Jewett pun mengajukan pertanyaan, “Mengapa, di negara yang meneriakkan dirinya sebagai model demokrasi tertinggi di dunia (baca: Amerika Serikat), kita begitu sering menikmati penggambaran institusi demokrasi impoten yang hanya dapat diselamatkan oleh pahlawan super di luar hukum? Apakah kisah-kisah ini merupakan katup pengaman bagi tekanan demokrasi, atau apakah kisah-kisah tersebut mewakili kerinduan akan sesuatu selain demokrasi?”[32]
Saya tidak akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan terkesan bias di atas. Tetapi seperti yang ditulis Bertolt Brecht dalam The Life of Galileo (1939), jelas hanya “negeri sial-lah yang membutuhkan pahlawan” yang datang membawakan harapan.
Ya, harapan inilah makna dari huruf Krytonian di dada kostum Superman.[33] Harapan inilah yang dihadirkan oleh Sancaka kepada para pedagang kecil di pasar yang terus dipalak oleh para preman dalam film Gundala, sehingga kata Wulan: “Mereka-mereka ini nggak punya harapan sebelumnya. Kemarin, tiba-tiba mereka punya. Karena kamu datang. Cuma itu yang mereka butuh.” Bahkan diceritakan lebih lanjut, aksi Sancaka bertarung dengan para penjarah yang terekam dan tersiar luas di media sosial kemudian menginspirasi orang banyak untuk berani mempertahankan haknya yang terancam.
Selain itu Joko Anwar tampaknya juga masih menyisakan sedikit pengharapan pada lembaga legislatif dengan ditampilkannya segelintir oknum wakil rakyat jujur seperti Ferry Dani, Ridwan Bahri, dan Dirga Utama (yang kecuali Ridwan, semuanya akhirnya dihabisi oleh anak buah Pengkor). Hal mana yang tidak diberikannya kepada institusi kepolisian.
Baik dalam Gundala maupun Sri Asih, polisi bukan saja tampak tak berguna dalam menghadapi kasus-kasus yang terjadi sepanjang film tetapi juga dengan gamblang digambarkan sebagai pihak yang turut serta menjadi bagian dari pembusukan negara. Tak lagi sekadar telat datang ke TKP seperti yang kerap digambarkan dalam sinetron televisi. Karena itulah tak mengherankan jika Wulan pun menjawab sinis “Lantas apa polisi akan bisa ganti rugi?” ketika Sancaka bertanya kenapa para preman yang membakar pasar tidak dilaporkan. Satu hal yang mana mengingatkan kita kepada keluhan “percuma lapor polisi” yang sempat dijadikan tagar oleh warganet Indonesia di media sosial beberapa waktu silam.[34] Bahkan dalam cerita Sri Asih, satu-satunya polisi yang kita kira jujur dan tak bisa disuap yakni Jatmiko ternyata justru merupakan big villain yang paling jahat: Pemilik kalung Roh Setan, salah satu panglima dari Dewi Api.
Seperti halnya plot twist Joko dalam Gundala yang membuat penonton tak menduga bahwa Ghazul-lah sebetulnya otak besar di balik penyebaran hoax serum amoral, dalam Sri Asih Upi Avianto juga mencoba mengecoh penonton lewat karakter Jatmiko ini. Karena itu sejak mula ia pun seolah digambarkan dari adegan ke adegan sebagai seorang polisi muda yang idealis dan jujur, yang tampak gusar dengan atasannya dan merasa prihatin dengan imej buruk polisi di mata masyarakat. Dengan demikian sebagai sutradara, di sini Upi dapat dikategorikan sebagai unreliable narrator yang berusaha menyesatkan penonton dalam motifnya mengkritisi institusi kepolisian.
Lihat saja betapa tampak tertekannya ekspresi wajah Jatmiko ketika sebagai seorang polisi berpandang rendah ia harus menuruti perintah-perintah kepala polisi Ratna Kumala yang telah disuap oleh karakter Prayogo Adinegara untuk menutupi berbagai jejak kejahatan yang dilakukan oleh si pengusaha dan putra kesayangannya yang kolokan—seakan-akan hal itu bertentang dengan hati nuraninya. Ia juga seperti terlihat malu saat seorang anak tetangganya diminta oleh sang bapak untuk membuang pemberiannya yang disebut sebagai uang haram. Bahkan ia diceritakan mencoba membantu Alana dan Tangguh dengan informasi tentang Prayogo dan memperingati mereka agar berhati-hati sembari menyakinkan Alana kalau dirinya berada di pihak yang sama.
“Tidak semua orang bisa dibeli dengan uang, Nona,” ujarnya kepada Sri Asih.
“Kepiawaian” Jatmiko menutup identitasnya ini bahkan membuat Eyang Mariani sesepuh kelompok Jagabumi tertipu dan mengira bahwa Prayogo Adinegara-lah si pemegang kalung Roh Setan. Karena memang diceritakan bahwa Prayogo juga memiliki sebuah kalung dengan liontin yang serupa. Dengan demikian, penonton yang disuguhi adegan-adegan di mana Prayoga sedang memakai kalungnya, bahkan memandikan kalung tersebut dengan khidmat dalam suatu ritual, pun berusaha diyakinkan bahwa sosok kapitalis rakus itulah villain utama film. Hingga akhirnya baru ketahuan jika kalungnya ternyata kalung yang berbeda, yang tampaknya tak memiliki kekuatan magis apa-apa. Lantas, untuk apa Prayogo mengenakan kalung itu? Apakah ia juga mengira bahwa kalungnya itu adalah kalung Roh Setan asli? Dari mana ia memperolehnya? Dari Ghazul? Tampaknya demikian.
Hanya saja plot twist semacam ini terlalu mudah untuk ditebak, apalagi jika diterapkan dalam film yang beralur maju. Belum lagi karakter Jatmiko ini terlampau banyak mendapatkan sorotan. Sehingga tanpa peristiwa ketika ia dihampiri oleh gagak hitam bermata merah yang berfungsi sebagai clue sekali pun, sosok ini sudah mencuri perhatian penonton dan membuat kita menduga kalau ia memang merupakan karakter penting.
Di samping itu, jika dibandingkan dengan Pengkor dalam Gundala, pengembangan karakter Jatmiko ini juga kurang mampu mengundang simpati dan empati penonton akibat latar belakangnya yang samar dan motifnya yang kurang jelas. Padahal salah satu kunci sukses dalam film adalah pengembangan karakter yang kuat, baik untuk antagonis maupun protagonis. Tengok saja Thanos sebagai big villain dalam MCU fase pertama contohnya. Kekuatan perwatakannya telah membuat para fans Marvel sulit untuk move on dan terus mengenang motifnya memusnahkan separuh populasi di alam semesta, sehingga ungkapan “Maybe Thanos was right” pun akhirnya berkembang jadi meme serius di kalangan penggemar. Dan alhasil, status sang Mad Titan pun seakan bergeser dari villain menjadi karakter antihero. Hal ini bisa terjadi lantaran meski terdengar kejam tetapi tujuan Thanos mengurangi populasi di jagat raya itu boleh jadi memang terdengar rasional dalam konteks dunia hari ini, di mana bumi yang semakin padat dengan sumber daya alam terbatas telah membuat kehidupan orang-orang jadi kian pelik.
Maka, dibandingkan dengan “tujuan mulia” Thanos agar “anak-anak yang lahir cuma tahu perut kenyang dan langit cerah” itu, tak heran jika motif Roh Setan membunuh para penghuni Rusun Kembangan dalam ritual Tumbal Seribu Jiwa yang semata-mata untuk membangkitkan Pasukan Seribu Iblis pun terdengar konyol dan sulit menarik empati para penonton. Begitu pula dengan pandangan Prayogo Adinegara tentang orang-orang miskin dalam ambisinya membangun tatanan kota dengan satu kelas sosial:
“Populasi manusia di bumi ini sudah semakin banyak. Kita harus berbagi. Tanah… air… bahan makanan… tempat tinggal. Apakah itu adil… kita harus berbagi dengan orang-orang miskin? Dan pemalas? Mereka itu sekumpulan kecoak yang harus dibasmi supaya negeri ini lebih baik. Jangan anggap saya kejam. Saya hanya membantu program pemerintah memerangi kemiskinan.”
Pandangan ini bukan saja sama sekali tak logis serta terdengar sangat picik dan jahat, tetapi notabene juga mengingatkan kita kepada “mitos pribumi malas” yang dikembangkan oleh para penjajah Eropa di era kolonial sebagai bagian dari “colonial imagination” mereka tentang wilayah, orang dan budaya terjajah.
Mitos atau citra ini—menurut Syed Hussein Alatas—merupakan persepsi yang sengaja diciptakan oleh para orientalis Barat sebagai unsur utama ideologi kolonial dan pembenaran buat mengeksloitasi sumber daya pribumi di Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Karena itu di Hindia Belanda, pandangan tentang orang Jawa yang malas ini pun berkembang semakin luas setelah diterapkannya sistem Tanam Paksa khususnya oleh van den Bosch pada 1830 untuk memaksa rakyat Jawa menanam tanaman-tanaman niaga yang hanya menguntungkan penguasa kolonial.[35]
Sebagai contoh, perhatikan citra tentang masyarakat Jawa yang pemalas dari catatan ahli sejarah ekonomi Clive Day di bawah ini:
[…] Tingkat hidup rata-rata petani kelihatan rendah sekali jika diukur menurut standard Barat; seluruh kekayaan peribadi keluarga, termasuk rumah, perabot rumah, pakaian, dan berbagai-bagai peralatan lain mungkin bernilai hanya beberapa doolar sahaja, katakanlah lima atau sepuluh ringgit dalam mata wang kita. Namun, kerana keperluannya kecil, maka tingkat hidup yang rendah pun mencukupi, dan pada hakikatnya di kalangan masyarakat Jawa makin rendah tingkat kehidupan, maka lebih memungkinkan mereka mencapai kepuasan dalam jangka panjang kerana mereka benar-benar tidak menderita kelaparan. Pada praktisnya tidak mungkin memantapkan berbagai-bagai pekerjaan yang berguna dari penduduk peribumi, sesuai dengan sebarang seruan bagi memenuhi cita-cita memperbaiki diri sendiri dan meningkatkan standard mereka. Tidak kurang daripada kesenangan kebendaan yang cukup akan menggerakkan mereka daripada kebiasaan malas mereka.[…][36]
Pandangan Prayogo di atas yang kemudian dijawab oleh Ghazul dengan pendapat bahwa “orang miskin hanyalah sekumpulan orang bodoh tidak berguna yang cuma mengotori negeri yang kaya seperti Indonesia ini” juga mengingatkan saya kepada pendapat karakter Batavus Droogstoppel, seorang makelar kopi di Amsterdam dalam novel Max Havelaarkarya Multatuli alias Eduard Douwes Dekker yang menganggap bahwa kemiskinan adalah akibat dari ketidaktaatan beragama dan sifat seseorang yang kurang baik. Karena itu, baginya orang-orang miskin seperti orang Jawa dan karakter Sjaalman tak lain merupakan kaum pemalas dan pendosa yang jauh dari karunia Tuhan. Sementara orang-orang Belanda yang baik dan rajin seperti seorang mantan residen kaya-raya yang menjamunya pasti akan berhasil di tanah Hindia. Simaklah kata-kata Droogstoppel dalam dua kutipan dari novel Max Havelaar di bawah ini:
Saya ceritakan, bahkan kami tiga belas orang di kantor, dan bahwa kami sibuk. Lalu saya tanyakan dia, apa kabarnya; kemudian saya menyesal telah memajukan pertanyaan itu, sebab ia rupanya dalam keadaan tidak begitu baik, dan saya tidak suka kepada orang miskin, sebab biasanya kemiskinan itu karena salah sendiri; Tuhan tidak akan meninggalkan orang yang mengabdi kepadanya dengan setia.[37]
Bukankah Injil barang yang paling mulia? Adakah yang lebih tinggi dari pada kebahagiaan? Maka bukankah kewajiban kita untuk membahagiakan manusia? Dan jika untuk itu diperlukan kerja,—saya sendiri dua puluh tahun mengunjungi bursa,—bolehkah kita melarang orang Jawa bekerja, pekerjaan yang diperlukan untuk kebahagiaan jiwanya, supaya nanti tidak akan dibakar dalam api neraka? Itulah ketamakan, ketamakan yang keji, jika kita tidak melakukan segala usaha supaya orang-orang malang yang sesat itu jangan mengalami masa depan yang dashyat, yang digambarkan oleh Pendeta Wawelaar dengan begitu fasih. Seorang perempuan jatuh pingsan, ketika ia bercerita tentang seorang anak kecil berkulit hitam; barangkali ia mempunyai anak yang kulitnya agak hitam; memang perempuan begitu. [38]
Seperti halnya Droogstoppel yang tak pernah berpikir bahwa kekayaan yang diperoleh bekas residen itu selain berasal dari eksploitasi atas tanah jajahan dan para penduduknya, bisa jadi pula merupakan hasil penyalahgunaan kekuasaan jabatan di Hindia Belanda; Prayogo dan Ghazul tentunya juga tak memikirkan bahkan tak mau tahu dari mana asal kekayaan orang-orang seperti mereka. Sebab dalam sistem kapitalisme liberal yang tamak, yang mereka pedulikan hanyalah bagaimana memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dengan cara apa pun, termasuk yang paling culas dan mengorbankan orang lain.
***
YA, seperti yang telah saya katakan sebelumnya, film Sri Asih besutan Upi Avianto dan film Gundala garapan Joko Anwar seyogianya memiliki pola pengisahan yang hampir sama dalam jahitan alur yang bergerak maju. Namun pengembangan karakter dalam film Gundala masih sedikit lebih kuat ketimbangan pengembangan karakter dalam Sri Asih, baik untuk tokoh protagonis maupun karakter-karakter antagonisnya.
Kendati dalam Sri Asih, Alana juga diperlihatkan mesti bergumul habis-habisan dengan dirinya sendiri yang terus-menerus dihantui oleh bayangan Dewi Api yang hendak menguasainya dengan membangkitkan amarahnya, tetapi pergumulan dirinya ini tampaknya tidak sedalam pergumulan diri seorang Sancaka dalam menghadapi kebimbangannya untuk bertindak.
Alana memang sudah digambarkan sebagai sesosok gadis yang berani dan tangkas juga temperamental dan tak sungkan menggunakan kekerasan untuk membela teman yang tertindas semenjak kanak-kanak. Karena itulah Sarita Hamzah ibu angkatnya yang memiliki sasana latihan muaythai kemudian mencoba membimbingnya mengontrol emosinya yang meledak-ledak itu dengan memperkenalkannya kepada seni beladiri dan dunia pertarungan profesional sebagai metode pengendalian diri sekaligus untuk mengasah bakat terpendamnya. Sayangnya, Ibu Sarita tidak selalu berhasil.
Contohnya ketika harus berhadapan dengan Mateo Adinegara anak tunggal Prayogo yang sombong, semena-mena, dan misoginis, Alana nyatanya tak mampu menaklukkan temperamen buruknya dan bisikan Dewi Api. Jika Sancaka senantiasa bermimpi bertemu dengan sang ibu yang hilang dan bapaknya yang mati, mimpi Alana adalah kemurkaan sang dewi yang terus mencoba untuk menguasai kelabilan emosinya. Ini agak berlainan dengan mimpi tentang kelelawar yang menghantui Bruce Wayne, yang secara tak langsung berkolerasi dengan peristiwa penembakan terhadap kedua orangtuanya pada malam hari. Sebab jika pada Bruce Wayne, rasa takutnya pada kelelawar itu mengalami pembalikan menjadi simbol kekuatannya,[39] rasa takut Alana terhadap mimpinya justru menjadi kelemahannya.
Hal ini nyaris membuatnya luluh lantak. Pembalasan dendam Mateo yang dikalahkannya secara telak bukan saja membuat tempat latihan ibunya dihancurkan tetapi juga membuat ibu angkatnya itu mesti masuk rumah sakit dalam keadaan koma. Untunglah ia dan Sarita yang diincar oleh Prayogo setelah kematian Mateo (yang sesungguhnya dibunuh oleh Jatmiko) kemudian berhasil diselamatkan oleh Kala dan Eyang Mariani dari kelompok Jagabumi yang telah mengetahui jatidirinya sebagai titisan Dewi Asih dan selalu mengawasinya.
Dari mana Eyang Mariani mengetahui bahwa Alana adalah Sri Asih generasi terbaru? Apakah berdasarkan petunjuk dari kitab kuno warisan kelompok Jagabumi seperti halnya Kala memperoleh lokasi pelaksanaan Tumbal Seribu Jiwa? Apakah Ghazul juga memiliki kitab petunjuk serupa sehingga ia bisa mengetahui bahwa Sancaka adalah Gundala? Perhatikan kata-kata Eyang Mariani kepada Alana dalam film Sri Asih berikut:
“Jagabumi. Itu nama kelompok kami. Yang mencatat, yang terus menelusuri, dan menjaga garis keturunan Dewi Asih. Karena kami yakin Dewi Asih akan bangkit kembali… melalui garis keturunannya. Sampai kami mendapatkan berita kematian kedua orangtuamu dan bayinya yang hilang. Bahkan sebelum kamu lahir, Dewi Api sudah mengetahui bahwa kamu adalah titisan Dewi Asih. Dia mau merebut kamu, memengaruhi kamu supaya kamu tidak melanjutkan perjuangan Dewi Asih.”
Ya, Dewi Api yang terkurung dalam gunung berapi (Merapi di Yogyakarta?) dari awal memang telah diperlihatkan mengetahui bahwa Alana merupakan titisan Dewi Asih musuh besarnya. Karena itu sang dewi angkara murka itu pun membuat ibu Alana (yang sedang hamil) ngidam melihat gunung berapi hingga kedua orangtuanya terbunuh dalam erupsi. Tetapi toh Alana berhasil selamat, ia (dalam usia kandung yang baru lima bulan) berhasil dilahirkan dalam mobil di tengah hujan abu vulkanik berkat bantuan dari seorang perempuan desa.
Fase-fase dalam film ini, sayangnya, bergerak terlalu cepat. Sehingga membuat pergantian dan perpindahan antar scene terasa kurang halus serta membuat pengembangan karakter Alana terlihat kedodoran. Selain tampaknya tak memiliki keraguan sedikit pun untuk menerima takdirnya sebagai titisan Dewi Asih, Alana juga tampak terlalu cepat menguasai kemampuan super yang diperolehnya dalam ritual peleburannya dengan Dewi Asih, sang dewi segala kekuatan baik. Seakan-akan semua kemampuan super yang menjadi supernatural aid-nya itu (seperti bergerak cepat, terbang, menggunakan selendang sakti, dan melipatgandakan diri) adalah sesuatu yang begitu mudah untuk dikuasai.
Hal lain yang menurut saya cukup menganggu dalam film ini adalah terdapat setidaknya dua adegan aksi Sri Asih yang terlampau mirip dengan aksi Wonder Woman dalam film Justice League, baik versi Joss Whedon (2017) maupun versi Snyder Cut (2021), yaitu: Pertama, adegan Sri Asih menangkis peluru para anak buah Prayogo dengan sepasang gelang sakti di pergelangan tangannya dalam gerak cepat ketika menyerbu kediaman penguasa lalim itu. Siapa pun yang pernah menonton Justice League saya kira bakal serta merta menghubungkan adegan ini dengan adegan Diana Prince menangkis rentetan tembakan senapan mesin yang dilepaskan oleh gembong teroris dengan the Bracelets of Submissiondi kedua tangannya untuk menyelamatkan orang-orang dalam gedung. Kedua, adegan ketika Sri Asih menyingkir bom waktu yang dipasang oleh anak buah Jatmiko di pintu kurungan para penghuni rusun yang hendak ditumbalkan dengan cara menerbangkan bom itu lalu melemparkannya ke langit hingga meledak. Adegan ini juga persis dengan apa yang dilakukan oleh Wonder Woman ketika menyingkirkan bom waktu yang dihidupkan oleh gembong teroris tadi dalam gedung.
Apa yang menjadi pertimbangan bagi Upi untuk memasukkan adegan-adegan yang terasa “begitu Wonder Woman” ini? Entahlah. Karena meskipun karakter Sri Asih ciptaan R.A.Kosasih itu sendiri memang terinspirasi oleh karakter Wonder Woman dari DC, tetapi tampaknya pihak waralaba Jagat Bumilangit, sutradara, dan para aktor pendukung juga tak menginginkan karakter dan film mereka selalu dibanding-bandingkan dengan superhero DC atau Marvel. Bukankah Upi sendiri dengan kesal sempat menjawab para warganet agar tidak membandingkan Sri Asih dengan Black Panther: Wakanda Forever ketika kedua film ini dirilis secara berdekatan?[40] Bahkan Pevita Pearce dengan tegas menolak tokoh yang diperankannya itu dianggap mirip dengan Wonder Woman.[41]
Film ini, menurut saya, tampaknya juga berusaha menghindari berbagai resiko, baik itu menyangkut lambang institusi kepolisian maupun simbol keagamaan. Lambang kepolisian misalnya sengaja dibuat sebeda mungkin dengan lambang kepolisian Republik Indonesia. Agaknya hal ini untuk menghindari ketersinggungan institusi Polri, lantaran dalam Sri Asih polisi selalu digambarkan sebagai aparat tak berguna yang suka menerima suap. Begitu pun dengan busana para pengelola panti asuhan tempat Alana dititipkan.
Busana yang dikenakan oleh para pengasuh itu, baik dari bentuk kerudung maupun jubah, sangat identik dengan pakaian biarawati Katolik (Nun/Suster), tetapi tanpa embel-embel kalung salib sebagaimana lazimnya. Apakah penghilangan simbol keagamaan ini memang disengaja untuk menghindari isu Kristenisasi setelah politik identitas berbasis agama kian marak di Indonesia? Padahal serial televisi MCU seperti Ms. Marvel tidak segan-segan menampilkan karakter superhero Muslim berdarah Pakistan lengkap dengan semua atribut Islam di tengah fenomena Islamphobia yang melanda Amerika Serikat.
Kekurangan yang cukup terasa pada film Gundala maupun Sri Asih juga terdapat dalam aksi-aksi laganya yang terlihat kaku, di mana para pemain terkesan menghafal instruksi gerak dari koreografer. Padahal adegan perkelahian boleh dibilang nyawa dari film-film bergenre superhero dan dapat dimaksimalkan untuk menutupi budget yang kurang dalam penerapan teknologi CGI. Bukankah perfilman Indonesia mampu menghasilkan film-film aksi laga yang telah mendapatkan begitu banyak pujian dan perhatian secara global seperti The Raid (PT Merantau Films, 2011) dan sekuelnya The Raid 2: Berandal (2014).***
[1] Dalam komik klasik Gundala karya Hasmi, nama ini ditulis “Crons”, tetapi dalam situs resmi Jagat Bumilangit, nama ini ditulis “Kronz”. Lihat https://bumilangit.com/id/characterspods/gundala-2/, diakses 15/04/2023.
[2] Nama Teddy ini tampaknya merupakan sebuah penghormatan untuk Teddy Purba, aktor pemeran Gundala dalam film Gundala Putra Petir (PPFN, 1981) garapan Lilki Sudjio.
[3] Baik dalam origin story-nya di komik maupun serial televisi seperti The Flash (Pet Fly Productions & Warner Bros. Television, 1990-1991) dan The Flash (DC Entertainment, Warnet Bros. Television, dll, 2014-2023), Barry Allen diceritakan memperoleh kekuatan supernya setelah disambar petir ketika sedang bekerja di laboratoriumnya sebagai ilmuwan forensik polisi.
[4] Dalam komik klasiknya, Nemo adalah alter ego dari Hasmi sang komikus yang sering membantu Gundala dalam menyelidiki berbagai kasus.
[5] Dalam film Gundala (2019), hal ini juga dijelaskan secara langsung oleh karakter Sancaka sendiri kepada Wulan dan Teddy, yang kemudian dipertegas lagi pada adegan penghujung film tatkala Sancana mengalirkan energi petirnya pada salah satu pedang milik Tanto Ginanjar yang berhasil direbutnya sehingga pedang itu hancur berkeping-keping diikuti oleh hancurnya bilah pedang lain yang masih dipegang oleh Tanto.
[6] Hal ini pernah diakui oleh Hasmi sendiri sebagaimana dikutip oleh Fajar Sungging putra Wid NS (pencipta Godam) kepada Merahputih.com: “Pak Hasmi pernah bilang, ‘aku asal membuat, tapi pada suka.’ Jadi sejak kecil, Hasmi diperkaya dengan cerita wayang, cerita apa saja. Ketika kecil banyak peristiwa dalam hidupnya dan selalu terekam dengan baik, di situlah muncul ide.” Lihat Yudi Anugrah Nugroho, “Selisik Cerita Hasmi Menelurkan Komik Gundala, Apakah Sancaka Anak Buruh” dalam https://merahputih.com/post/read/selisik-cerita-hasmi-menelurkan-komik-gundala-apakah-sancaka-anak-buruh, diakses 16/04/2023.
[7] Dalam cerita aslinya di komik (terbit pertama pada 1969), sosok Godam diceritakan Wid NS sebagai makhluk dari negeri di dimensi lain yang bernama Kerajaan Godam. Ia putra seorang panglima perang kerajaan berbana Gandari. Sang ayah dianggap melakukan pemberontakan dan menjadi buronan kerajaan. Setelah dewasa, Godam, bertekad melanjutkan perjuangan ayahnya melawan kejahatan. Dalam petualangannya, ia kemudian memperoleh Zirah Sakti dari Dewi Pengasuh Sukma dan jubah sakti dari bendera pusaka suku Zelu yang membuatnya bisa terbang. Karena melanggar sumpah tidak boleh membunuh kepada Dewi Pengasuh Sukma, Godam kemudian dikurung dalam sebuah cincin yang diserahkan kepada Bapa Kebenaran untuk dibawa ke dimensi manusia. Bapa Kebenaran kemudian memilih seorang manusia bernama Awang sebagai pengguna cincin itu. Pada akhirnya Godam hanyalah roh hidup berkekuatan super yang bersemayam dalam sebuah cincin. Dengan mengenakan cincin itu, Awang bisa menjelma jadi sosok superhero yang berbagi satu jasad dengan Godam. Lihat https://bumilangit.fandom.com/wiki/Godam_(Pusaka), diakses 17/04/2023.
[8] Sebagai creative producer Jagat Sinema Bumilangit, Joko Anwar sendiri sejak awal sudah mengungkapkan bahwa film-film Jagat Sinema Bumilangit tidak ingin menyentuh ranah fiksi ilmiah. Sebab menurutnya, sumber kekuatan para superhero Indonesia itu berasal dari sesuatu yang ada di nusantara, berbeda dengan kekuatan para superhero film Hollywood yang disebabkan oleh sihir, teknologi, atau radiasi. Baca DN. Mustika Sari, Alexander Vito Edward Kukuh, dan Andrian Gilang Khrisnanda, “Joko Anwar Bocorkan soal Sumber Kekuatan Para Jagoan di Jagat Sinema Bumilangit” dalam https://m.kumpuran.com/kumparanhits/joko-anwar-bocorkan-soal-sumber-kekuatan-para-jagoan-di-jagat-sinema-bumilangit-1zvamNW81kp, diakses 16/04/2023.
[9] Sayap Hermes adalah bagian dari Helm Hermes, salah satu jenis helm bersayap (winged helmet) yang dikenal luas dalam khasanah kuno. Dalam berbagai penggambaran kuno dewa Hermes, Mercury, dan dewa-dewa Romawi, mereka dideskripsikan mengenakan helm bersayap. Meskipun menurut Wikipedia, sayap yang ada di helm atau bagian kostum berbagai versi The Flash, Captain America, dan Thor lebih mengacu kepada penggambaran kuno dewa Merkurius yang melambangkan kecepatan, tetapi umumnya sayap di sisi kiri-kanan kepala mereka tersebut lebih dikenal sebagai Sayap Hermes. Karakter The Flash yang pertama, yakni dalam versi Jay Garrick (1940) bahkan mengenakan helm bersayap yang persis dengan helm bersayap dewa Hermes. Dalam ilustrasi-ilustrasi mengenai para dewa dan pahlawan legendaris Norwegia, helm bersayap ini juga digambarkan sebagai simbol prajurit Utara. Baca https://en.wikiepdia.org/wiki/Winged-helmet; https://screenrant.com/flash-barry-allen-costume-facts-trivia/; https://en.wikipedia.org/wiki/Flash_(Jay_Garrick);https://id.m.wikibooks.org/wiki/Mitologi_Yunani/Dewa_Olimpus/Hermes, diakses 20/04/2023.
[10] Metal Hero (Jepang: Metaru Hiro) adalah sebutan untuk superhero tokusatsu Jepang dengan beragam jenis serial Space Sheriff, Rescue Police, dan Super Sentai-nya. Karakter-karakter Metal Hero yang paling terkenal (termasuk di Indonesia) antara lain Ksatria Baja Hitam atau Kamen Rider Black (Toei Company & Ishimori Productions, 1987-1988), Ultraman (TBS, 1966-1967), Uchuu Keiji Gavan atau Space Sherrif Gavan (1982-1983), Uchuu Keiji Sharivan (1983-1984), Dai Sentai Goggle V (TV Asahi & Toei Company, 1982-1983), dan Kamen Rider (1971-1973). Karakter superhero jenis Super Sentai ini juga diadopsi oleh stasiun televisi Amerika Serikat dengan serialnya yang paling terkemuka: Power Rangers (Lionsgate, Saban Entertainment, dll, 2017). Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Metal_Hero_Series, https://id.wikipedia.org/wiki/Ksatria_Baja_Hitam, https://en.wikipedia.org/wiki/Power_Rangers_(film), https://id.wikipedia.org/wiki/Super_Sentai, https://id.wikipedia.org/wiki/Ultraman, https://id.wikipedia.org/wiki/Uchu_Keiji_Gavan:_The_Movie, https://id.wikipedia.org/wiki/Dai_Sentai_Goggle_V, https://id.wikipedia.org/wiki/Kamen_Rider, diakses 19/04/2023.
[11] BIMA Satria Garuda adalah sebuah serial tokusatsu dan serial komik Indonesia yang merupakan kerja sama MNC Media dengan Ishimori Productions (Jepang). Film serial televisinya disutradarai oleh Teruyoshi Ishi, Hideki Oka, Arnandha Wyanto, dan Raesaka Yunus dengan Christian Loho sebagai pemeran Bima. Serial ini ditayangkan di RCTI pada 30 Juni 2013-22 Desember 2013, yang dilanjutkan dengan Satria Garuda BIMA-X. Karakter Bima sang Satria Garuda adalah alter ego Ray Bramasakti yang mendapatkan kekuatan supernya dari Powerstone Merah pemberian seorang pemuda misterius bernama Mikhail. Batu itu membuatnya dapat berubah wujud jadi Bumia untuk menghadapi ambisi jahat Rasputin penguasa Kerajaan VUDO. Lihat https://id.wikipedia.org/wiki/BIMA_Satria_Garuda, diakses 21/04/2023.
[12] Spider-Man: Homecoming (Marvel Studios, 2017) disutradarai oleh Jon Watts. Spider-Man yang diperankan oleh Tom Holland ini hadir pertama kali dalam film MCU pada Captain America: Civil War (Marvel Studios, 2016).
[13] “A hero ventures forth from the world of common day into a region of supernatural wonder: fabulous forces are the encountered and a decisive victory is won: the hero comes back from this myterious adventure with the power to bestow boons on his fellow man.” Lihat Joseph Campbell, The Hero With a Thousand Faces (Princeton & Oxford: Princeton University Press, 2004), hlm. 28.
[14] Ketujuh belas fase itu itu adalah: [1] The Call to Adventure (Panggilan untuk Berpetualang) atau tanda-tanda panggilan pahlawan; [2] Refusal of the Call (Penolakan Panggilan); [3] Supernatural Aid (Bantuan Supranatural) atau bantuan tak terduga; [4] The Crossing of the first Threshold (Melintasi Ujian Pertama); [5] The Belly of the Whale (Dalam Perut Ikan Paus) atau jalan masuk ke alam gelap; [6] The Road of Trials (Jalan Uji Coba); [7] The Meeting with the Goddess/Magna Mater (Pertemuan dengan Dewi) [8] Woman as the Temptress (Wanita sebagai Godaan) atau realisasi dan penderitaan Oedipus; [9] Atonement with the Father (Penebusan dengan Bapak); [10] Apotheosis (Manusia Setengah Dewa); [11] The Ultimate Boon (Anugerah Sesungguhnya); [12] Refusal of the Return(Penolakan untuk Kembali); [13] The Magic Flight (Penerbangan Ajaib) atau pelarian Prometheus; [14] Rescue from With-out(Penyelamatan dari Luar); [15] The Crossing of the Return Threshold (Melintasi Ujian Kembali) atau kembalinya dunia biasa; [16] Master of the Two Worlds (Penguasa Dua Dunia); dan [17] Freedom to Live (Kebebasan untuk Hidup),” atau sifat dan fungsi anugerah sesungguhnya. Ibid, hlm. 34-35.
[15] Christopher Vogler, The Writer’s Journey: Mythic Structure for Writers (3rd ed.) (California: Michael Wiese Productions, 2007), hlm. 83-227.
[16] Dalam adegan percakapan antara Sancaka dan bapaknya tersebut, sang bapak juga mengatakan bahwa, “[…] kalau orang lain nggak mau memperjuangkan keadilan, bukan berarti kita harus begitu kan?”
[17] Kata-kata “With great power comes great responsibility” atau “With great power there must also come-great responsibility” ini terakhir kali diucapkan oleh karakter Spider-Man (atau tepatnya para Spider-Man) dalam film Spider-Man: No Way Home (Marvel Studios, 2021).
[18] Matthew J. Pustz, Comic Book Culture: Fanboys and True Believers, hlm. 49-50, seperti yang dikutip oleh Danny Fingeroth dalam Superman on the Couch: What Superheroes Really Tell Us about Ourselves and Our Society (New York: The Continuum International Publishing Group Inc., 2004), hlm. 150.
[19] Danny Fingeroth dalam Superman on the Couch: What Superheroes Really Tell Us about Ourselves and Our Society, hlm. 65.
[20] Ibid, hlm. 64.
[21] Ibid, hlm. 63.
[22] The Flash (DC Films & Warner Bros. Pictures, 2023) besutan Andres Muschietti adalah film terakhir DCEU sebelum berganti menjadi DC Universe (DCU).
[23] What If adalah serial animasi pertama dari Marvel Studios yang menceritakan kembali peristiwa epik dari jagat utama MCU melalui sudut pandang berbeda, di mana sudut pandang berbeda ini kemudian menjadi kasus percabangan waktu dan realitas tanpa ujung yang membentuk “dunia-dunia seandainya”. Season pertama What If ditayangkan pada 11 Agustus 2021. Cerita alternatif Doctor Strange hadir dalam episode ke-4.
[24] Kendati pergeseran karakteristik Penguin mendapatkan beragam reaksi dari para penggemar dan kritikus, namun penampilan Danny DeVito yang memerakan sosok ini mendapatkan banyak pujian. Penguin versi Tim Burton ini juga menginspirasi penggambaran karakter tersebut dalam karya-karya Warner Bros. Animation, seperti Batman: The Animated Series (1992-1997) dan The Batman(2004-2008), sebagian besar dari sisi penampilan. Lihat https://en.wikipedia.org/wiki/Oswald_Cobbleport_(Batman_Returns), diakses 21/05/2023.
[25] Danny Fingeroth, hlm 64.
[26] Dalam komik Gundala karya Hasmi, nama asli Pengkor adalah Wisnu Atmaja. Di sini cacat fisiknya bukanlah berasal dari pembakaran rumahnya oleh para pekerja perkebunan ayahnya, tetapi merupakan cacat bawaan lahir. Ia diceritakan memiliki kecerdasan luar biasa. Perlakuan buruk yang ia alami selama bertahun-tahun membuatnya berambisi untuk menaklukkan dunia dengan segala cara. Pengkor juga dikenal sebagai pencinta seni dengan cita rasa tinggi. Baca https//bumilangit.com/id/characterspods/pengkor-2/, diakses 22/05/2023.
[27] Di komik klasik Gundala Putra Petir karya Hasmi, Ghazul adalah seorang pimpinan kelompok kriminal dengan teknologi canggih yang mengincar harta karun temuan Profesor Kusuma dalam edisi Dokumen Candi Hantu. Sementara dalam film Gundala 1981, ia digambarkan oleh Lilik Sudjio sebagai gembong narkoba yang cacat tangan akibat terkenal radiasi nuklir ketika orangtuanya membawanya ke Jepang pada tahun 1945.
[28] Dalam film Sri Asih, kelima panglima ini dijelaskan oleh Eyang Mariani pemimpin kelompok Jaga Bumi sebagai: (1) Pendekar Maha Sakti yang memiliki kemampuan sihir, (2) Manusia Setengah Siluman yang haus darah, (3) Siluman Bocah yang cerdas dan sakti, (4) Siluman Perempuan yang menguasai samudera, (5) Roh Jahat yang masuk ke tubuh manusia.
[29] Lihat https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20190829234611-220-425954/potret-nyata-ketimpangan-sosial-dalam-film-gundala, diakses 14/05/2023.
[30] Ibid.
[31] John Shelton Lawrence and Robert Jewett, The Myth of the American Superhero, Michigan and Cambridge: William B. Eerdmans Publishing, 2002), hlm.6.
[32] Ibid, hlm. 8.
[33] Dalam film Man of Steel (DC Entertainment & Warnet Bros. Pictures, 2013), makna huruf S dalam segitiga terbalik di dada kostum Superman dalam bahasa Krypton ini pernah dijelaskan oleh karakter Clark Kent alias Kal El (Superman) sendiri kepada Lois Lane.
[34] Lihat https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211014165320-12-707927/keluh-warga-ramai-percumalaporpolisi-memang-percuma, diakses 12/05/2023.
[35] Syed Husain Alatas, Mitos Pribumi Malas, terj. Zainab Kassim (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, 1989), hlm.34.
[36] Ibid, hlm. 33
[37] Multatuli, Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda, terj. H.B .Jassin, cet. 8 (Jakarta: Djambatan, 2000), hlm. 12-13.
[38] Ibid, hlm. 144.
[39]“Kelelawar menakutkanku. Inilah saatnya aku berbagi ketakutan dengan musuhku,” demikian ucap Bruce Wayne menjawab pembantunya Alfred Pennyworth mengenai pilihan simbolnya dalam film Batman Begins (2005)
[40] “Gue tau film Sri Asih muncul seminggu setelah Wakanda Forever. But plis stop mentioning gue dengan kata2 yang pesimis dan membanding2kan. Gue, kita semua di team Sri Asih sedang berjuang berusaha memberikan yang terbaik. Jangan dipatahin dulu dong semangat kita. Bikin film superhero di Indonesia itu gak mudah Guys. Gue yakin sutradara Wakanda Forever gak menghadapi apa yang gue hadapi,” demikian tulis Upi Avianto pada story Instagram akun pribadinya @upirocks (28/10/2022).
[41] Seperti yang dikutip oleh detik.com, Pevita Pearce sempat menegaskan bahwa Sri Asih bukanlah Wonder Woman ala Indonesia. Menurutnya: “Sri Asih itu punya Indonesia, dan Sri Asih adalah Sri Asih, nggak bisa disamakan. Menurutku Sri Asih memiliki background yang sangat dekat dengan Indonesia.” Lihat https://hot.detik.com/movie/d-4716350/pevita-tegaskan-sri-asih-bukan-wonder-woman-ala-Indonesia.
Leave a Reply