Pertengahan tahun 90-an saya bergabung di Sanggar Minum Kopi (SMK), Bali, yang kemudian malih-rupa jadi Yayasan CAK. Meski berganti nama, anggotanya masih sama, aktivitas dan intensitas berkaryanya juga masih sama, sehingga tiada beda saat saya bergabung di penghujung usia SMK dan di awal usia CAK. Komunitas ini berbasis seni modern/kontemporer meski tidak menutup diri pada seni tradisi.
SMK/CAK tidak sendiri. Ada Posti, Sanggar Purbacaraka, Teater Agustus, Forum Apresiasi Kebudayaan, Studio Wianta, Teater Angin, Sanggar Cipta Budaya dan lain-lain. Mereka memantik kebergairahan seni modern di Denpasar dan sekitarnya. Sementara di kota-kota kabupaten yang disebut Umbu Landu Paranggi sebagai “delapan negara bagian”, kegiatan seni modern tak kalah hidup, tentu dengan komunitasnya masing-masing.
Namun di tengah kegairahan itu ada yang kurang. Yaitu, ketiadaan event bersama tempat pelaku seni modern menampilkan karya-karya mutakhirnya. Ia, event itu, semacam oase yang mempertemukan kreator, pengamat dan publik. Ruang berkompetisi secara sehat, berdialog, tukar gagasan, kolaborasi, sinergisitas karya dan regenerasi pelaku seni.
Apalagi Bali sangat kental dengan seni tradisi, sebagaimana ditampilkan dalam Pesta Kesenian Bali (PKB). Meski PKB mengagendakan juga seni modern, tapi porsinya kecil. Maka perlu penyeimbang: festival seni modern. Sebenarnya Bali, khususnya Denpasar, punya sejumlah festival seni modern. Hanya saja ruang lingkupnya terbatas dan sebagian digabung dengan seni tradisi sehingga bersifat umum, seperti Denpasar Festival (Denfest) dan Sanur Village Festival. Atau ada yang khusus, semisal Pekan Seni Remaja (PSR) dan Denpasar Documentary Film Festival. Bahkan jauh sebelumnya ada Warung Budaya (Warbud) sebagai “bale banjar budaya”. Sayang, tidak semua ruang itu bertahan.
Mimpi yang Terwujud
Akhirnya datanglah hari baik bagi mimpi yang baik. Momentumnya diraih ketika pasangan I Wayan Koster- Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati terpilih sebagai gubernur-wagub Bali, 2018. Pasangan ini memiliki visi memajukan semua potensi, tak terkecuali seni budaya yang dianggap “gen”-nya masyarakat Bali. Visi itu klop dengan sosok Putu Putri Suastini, istri sang gubernur, yang memiliki persentuhan cukup panjang dengan seni modern. Maka tidak sebatas sebagai ibu dhrama wanita di kantor-kantor pemerintah, Putu Suastini turun ke “habitat”-nya. Lahirlah Festival Seni Bali Jani (FSBJ) tahun 2019. Meski jelas ini buah pertemuan gagasan dan tindakan semua pihak.
Merujuk website Dinas Kebudayaan Bali, FSBJ adalah festival kesenian tahunan sebagai wadah aktivitas dan kreativitas para seniman dalam penggalian, pelestarian dan pengembangan nilai-nilai seni budaya Bali modern. Secara garis besar FSBJ mencakup lomba (pawimba), pagelaran (adilango), pameran (megarupa), sarasehan (timbang rasa), bursa buku (beranda pustaka) dan penghargaan Bali Jani Nugraha.
FSBJ mengusung tema-tema aktual yang digali dari lokalitas Bali. Tahun ini bertema Jaladhara Sasmita Danu Kherti (Air sebagai Sumber Peradaban). Tema ini penting di tengah perjuangan makhluk bumi melestarikan sumber air. Ia juga bisa bermakna mata air kearifan. Dalam masa pandemi covid-19, FSBJ terus berjalan, baik daring maupun luring. Maka kiranya perlu juga respon tematik atas gerubug (wabah) yang secara riil kita hadapi ini. Atau jika tidak, tema yang sekarang pun sebenarnya cukup aplikatif untuk melihat wabah dari pelbagai persfektif. Bukankah tirta (air) menawarkan kesejukan dan kesembuhan?
Maka kiranya perlu juga respon tematik atas gerubug (wabah) yang secara riil kita hadapi ini. Atau jika tidak, tema yang sekarang pun sebenarnya cukup aplikatif untuk melihat wabah dari pelbagai persfektif. Bukankah tirta (air) menawarkan kesejukan dan kesembuhan?
Selain menyelam ke dalam memaknai kearifan lokal, FSBJ membuka diri ke luar, sebagaimana sifat seni modern yang mengglobal. Dalam FSBJ ke-4 yang akan dilaksanakan tanggal 9-23 Oktober 2022, diadakan sejumlah lomba untuk peserta dari seluruh Tanah Air. Pengisi acara di timbang rasa dan adilango, termasuk beranda pustaka juga melibatkan sosok/kelompok/penerbit dari luar Bali, bahkan luar negeri. Tentu saja pengisi utama tetap pengamat/pelaku/komunitas Bali sendiri.
Keterbukaan seperti ini yang pernah saya harapkan dari FKY. Ketika saya sempat menangani Devisi Sastra (2005-2007), bersama kurator lain, kami mengundang penyair terpilih dari berapa kota di Indonesia. Penyair terbanyak tetap dari Yogyakarta. Sambutan publik menggembirakan. Sayang ada reaksi kurang setuju dari sejumlah pelaku seni Yogya, sehingga FKY terkesan kembali ke zona nyamannya.
Begitu pula Aruh Sastra, event tahunan di Kalimantan Selatan. Upaya membuka diri baru sebatas mengundang seorang pembicara kunci dari luar, tapi tidak ada penampil/materi acara dari luar Kalsel. Apakah bersifat eksebisi, lomba atau dipilih dalam kerja kuratorial. Sebaliknya, Festival Sastra Gunung Bintan, mengundang sebanyak-banyaknya peserta dari luar sehingga terkesan serimonial.
Ada pun Pekan Kebudayaan Daerah (PKD) Sumatera Barat, semua agenda diisi oleh penampil dari dalam Sumbar. Namun kurator/panitia mencoba merengkuh latar kultur selain Minangkabau, seperti Mentawai dan budaya Jawa dari Dharmasraya. Ini perlu untuk menampilkan keberagaman budaya di provinsi yang selama ini identik dengan Minangkabau semata. Seharusnya ada budaya Tionghoa, Nias, Batak, Aceh atau kreol (tangsi) Sawahlunto dan seni-budaya di perbatasan yang juga eksis di provinsi ini.
Di Bali sendiri ada Ubud Writers and Readers Festival yang lebih banyak melibatkan peserta nasional/internasional sesuai orientasinya. Di antara semua itu, FSBJ termasuk cepat beradaptasi dan luwes menjaga keseimbangan. Meski tentu mesti diuji waktu.
Tak kalah menarik dari FSBJ adalah ajang penghargaan kepada pelaku seni modern Bali. Selain piagam sebagai simbol pengakuan, ada sejumlah uang yang nominalnya cukup berarti. Sebagian dana tersebut merupakan subsidi untuk menerbitkan buku terbaru sastrawan dan kritikus terpilih (saya belum tahu apakah juga berlaku bagi seni rupa untuk pameran, misalnya). Bukanlah mengurangi komitmen jika sebuah festival menganggarkan dana untuk anugerah, sebagaimana anggaran masing-masing kegiatan. Ini justru membedakan event seni tajaan pemerintah dengan event swadaya yang pontang-panting cari sponsor.
Di atas semua itu, konsep Bali Jani Nugraha adalah “kesetaraan bagi yang berhak”. Tiada beda antara tua dan muda, yang penting sama-sama memiliki intensitas berkarya. Jika di banyak event, penghargaan seni biasanya diberikan kepada kalangan tua, katakanlah maestro (misalnya penghargaan Sanghyang Kamahayanikan dari Borobudur Writers and Cultural Festival), Bali Jani Nugraha mematahkan mitos tersebut. Juga tidak dipersoalkan tempat domisili penerima, apakah di Jakarta, Mataram atau Kupang, sepanjang punya keterhubungan (kreatif) dengan Bali. Ini juga bisa dibalik, tak peduli dari mana pun mereka berasal asal tinggal dan bertungkus-lumus berkarya di Bali.
Ke depan, apakah perlu kategori penerima penghargaan? Sebagai contoh Anugerah Kebudayaan Sumatera Barat. Ada kategori pencipta/pelopor/pembahru, kategori maestro seni, dan kategori pelestari kebudayaan. Atau mengikutsertakan komunitas/institusi seni dan karya terbaik (bisa buku, koreografi, album, teater) untuk dinilai. Contohnya Anugerah Sagang di Riau. Ada kategori seniman/budayawan pilihan, seniman/budayawan serantau, institusi/lembaga pilihan, buku dan karya seni pilihan. Lewat kategori ini, posisi penerima penghargaan relatif jelas, pilihan kurator/penilai pun lebih dapat dipertanggungjawabkan. Di samping itu, karya-karya terbaik dalam kurun waktu tertentu terakomodasi dan terakui.
Masa Depan Bali Jani
Sambil membenahi FSBJ dengan segala kekiniannya (teknis, menajemen, pengembangan konsep, kuratorial), tidak kalah penting mengulik masa depannya. Sampai di sini saya teringat buku Nancy K. Florida, Menyurat yang Silam, Menggurat yang Menjelang (2003). Buku ini merupakan hasil penelitian bertahun-tahun Nancy di kraton Surakarta atas naskah-naskah kuno, terutama Babad Jaka Tingkir. Ia berhasil mentransformasikan penelitiannya dalam melihat sejarah sebagai nubuat di Jawa masa kolonial.
Apa korelasinya dengan FSBJ? Jika pengajar Universitas Michigan itu melihat masa kini dan masa depan dengan menyusuri akar masa silam, maka konseptor FSBJ boleh dikata sedang memindai cabang-cabang seni masa depan dengan memaknai dan mengeksplorasi pertumbuhan pohon hayat kesenian era sekarang. Masa sekarang pun bukan ruang kosong. Ia terhubung dengan masa silam, sebagaimana dapat dilacak dalam karya mutakhir sastrawan/seniman Bali. Bukankah novel Oka Rusmini, puisi GM Sukawidana, teater Putu Satria, monolog Cok Sawitri, karya rupa Kun Adnyana, atau kartun Jango Paramartha tidak serta-merta melepaskan diri dari akar tradisi, bahkan menggali dan mengkritisinya?
Masa sekarang pun bukan ruang kosong. Ia terhubung dengan masa silam, sebagaimana dapat dilacak dalam karya mutakhir sastrawan/seniman Bali. Bukankah novel Oka Rusmini, puisi GM Sukawidana, teater Putu Satria, monolog Cok Sawitri, karya rupa Kun Adnyana, atau kartun Jango Paramartha tidak serta-merta melepaskan diri dari akar tradisi, bahkan menggali dan mengkritisinya?
Konsep modern/kontemporer itu sendiri terkandung dalam sebutan “Bali Jani” yang artinya “Bali Kini”. Dalam konteks seni, ini berarti seni masa kini, seni modern atau dalam istilah posmo disebut seni sezaman (kontemporer) maupun avant-garde. Artinya, FSBJ tidak punya persoalan teknis dengan tradisi-modern yang dalam sejumlah kasus bisa jadi perdebatan melingkar. FSBJ tinggal start, karena basis berpijaknya sudah jelas, sembari berbagi peran dengan PKB. Ini analog dengan kehidupan banjar: ada klien adat yang mengurusi hal-hal ritual/tradisi dan ada klien dinas menangani hal-hal kekinian.
Sementara itu, pelibatan pengamat dan pelaku seni dari luar Bali harus terpilih. Penampil setidaknya sedang berada di tengah capaian, gejala atau fenomena tertentu dari kecenderungan seni modern, dan layak dijadikan rujukan. Pembicara memiliki gagasan kuat dan pengamatan luas atas kondisi serta perkembangan seni terkini, baik regional maupun global, dan layak jadi acuan. Dari sinilah kita bisa memindai kecenderungan seni modern ke depan, dan bibitnya disemai dari sekarang. Gesit melacak sejak dini sosok maupun kelompok yang memiliki konsentrasi, orientasi, keriangan dan akhirnya reputasi dalam mengeksplorasi kecenderungan seni tertentu, semisal seni-seni media baru dari jagad virtual. Ini terkait dengan regenerasi dan perkembangan seni modern di Bali.
Tak dapat dipungkiri, seni modern di Bali sekarang dalam tantangan, baik kuantitas maupun kualitas. Tanpa mengabaikan capaian karya dan lahirnya para pelaku seni modern yang baru, Bali harus melihat bahwa daerah lain terus berpacu. Sebutlah perkembangan sastra modern di Lombok. Komunitas Akar Pohon melahirkan banyak sastrawan muda berbakat di tingkat nasional, sebagaimana Komunitas Flabomora Kupang atau Inninawa Makassar. Di Bali, tentu ada komunitas sejenis, sebutlah Jatijagat Kehidupan Puisi (JKP), Komunitas Sahaja dan Komunitas Mahima, yang juga banyak berkontribusi melahirkan pelaku seni modern. Hanya belakangan terkesan sebagai “penyelenggara seni” dan mungkin agak abai mengasah bakat seni anggota. Karena itulah diperlukan ruang perayaan baru, FSBJ, untuk penyegaran, merefleksi pencapaian dan mengevaluasi kekurangan.
Selanjutnya adalah soal keberlanjutan. Harus diakui FSBJ cukup lekat dengan sosok Putri Suastini, sehingga muncul pertanyaan: bagaimana jika gubernur berganti? FSBJ harus mengacu kepada sistem, bukan orang apalagi jabatan. Meski tentu nama Putri Suastini, Gubernur Koster dan mereka yang berperan dalam FSBJ, niscaya tetap diingat, sebagaimana IB Mantra dalam PKB. Beruntung, Bali punya Perda no. 4 tahun 2020 tentang penguatan dan pemajuan kebudayaan—yang kebetulan diundangkan dalam era kepemimpinan I Wayan Koster—sehingga siapa pun yang menjadi pemimpin seyogianya mengacu kepada “awig-awig” kultural tersebut. Artinya, di sisi lain, FSBJ dituntut terus berbenah dan para penyelenggaranya menyiapkan diri sepenuh hati menerima amanah kebudayaan ini. Rahayu!
Leave a Reply