Gerbang Bandar: Penciptaan, Penataan, serta Pertemuan 

1. Penciptaan

Kenapa seseorang ingin menjadi penyair? Pertanyaan ini sering muncul dalam pikiranku. Tidak mudah aku jawab. Toh, aku tidak tahu alasan pasti perihal apa daya penyair yang segera menciptakan puisi. Aku hanya merasa penyair begitu bergairah ketika imajinasinya berkembang, lalu penyair mengkongkretkan imajinasinya ke bentuk tulisan (baca: puisi). Terakhir, penyair ingin menunjukkan puisi yang selesai diciptakannya kepada pembaca.

Kalau aku menengok beberapa proses kreatif penyair, puisi terlahir lewat penentuan diksi, pengaturan tipografi, penyelarasan bunyi, hingga pengocokan emosi. Aku menelisik proses kreatif penyair adalah pengkristalan hasil tangkapan pancaindera dan pengalaman. Sebab itu, penyair bersusah payah mendekati bahasa dari buku, lisan, peristiwa, hingga mitos. Atau, penyair berupaya merespon bahasa yang hidup di lingkungannya.

Pertanyaan pada awal tulisan ini pernah muncul lagi dalam pikiranku ketika Mardi Luhung mempertanyakan arti puisi pada pembuka buku puisinya, yaitu: Gerbang Bandar (2023). Aku membaca pembuka tersebut, lalu sempat berpikir: Penciptaan puisi bisa menimbulkan keraguan bagi seorang penyair demi keberlangsungan kepenyairannya. Seolah, penciptaan puisi bagi seorang penyair bukanlah kerja yang saklek, melainkan pencarian yang capek.

Selain itu, dalam pembuka buku puisi Gerbang Bandar, aku menangkap Mardi Luhung yang keheranan mengetahui puisi-puisinya dianggap tak masuk akal, semau gue, dan fantastis. Barangkali, anggapan tersebut sangat dihindari Mardi Luhung agar tidak terjebak pada “stempel”. Dan, Mardi Luhung menulis: “…Yang jelas, ketika kalimat pertama terpilih, maka karya sastra yang akan aku tulis, adalah cermin yang menegak di hadapanku…”[1]

Keterangan: Buku puisi Gerbang Bandar yang diterbitkan Basabasi (Juli, 2023).   Dokumentasi: Aji (2023)

Kemudian, aku membaca catatan pendamping yang ditulis oleh A Muttaqin dalam buku puisi Gerbang Bandar. A Muttaqin mengungkapkan bahwa pembacaan puisi mirip menghitung angka “rajah” susunan Imam Ghazali yang selalu berjumlah lima belas.[2] Jadi, pelbagai pembacaan puisi yang dimulai dari arah mana saja, masing-masing pembaca akan berakhir mendapatkan ujung yang sama pada puisi yang dibacanya.

Apa yang diungkapkan A Muttaqin tiba-tiba mengingatkanku pada kisah Orang-Orang Buta dan Gajah dalam buku Kisah-Kisah Sufi (1984) yang dikumpulkan Idries Shah. Kisah itu membahas orang-orang buta yang menilai wujud gajah[3]. Sebab itu, wujud gajah mengalami penilaian yang berbeda dari sudut pandang setiap orang-orang buta. Dan, kisah itu mengandung hikmah perihal perberbedaan pendapat yang sebenarnya beresensi sama.

Aku merasa pembuka dari Mardi Luhung dengan catatan pendamping dari A Muttaqin (yang aku kutip di atas) sama-sama meluncurkan garis ke segumpal pemahaman, bahwa sejauh mana aneka makna yang dilayangkan pembaca tetap tidak dapat melepaskan puisi dari ikatan penciptanya (baca: penyair). Sehingga, jangan-jangan, anggapan tak masuk akal, semau gue, dan fantastis, merupakan tindakan jalan pintas dari pembacaan puisi yang tak utuh.

Dan, lewat ungkapan lain pada catatan pendamping dari A Muttaqin, aku mendapatkan perenungan, bahwa penyair menulis puisi tidak untuk saling mengalahkan satu sama lain.[4] Aku membayangkan penyair bersikeras menjaga ketenangan serta kerendahan hati demi berhasil menciptakan puisi. Aku jadi mengingat pertanyaan pada awal tulisan ini: “Kenapa seseorang ingin menjadi penyair?” Jawaban sementaraku: Usaha seseorang untuk mengalahkan dirinya sendiri.

2. Penataan

Mardi Luhung (Ayahku) memberikan sebuah naskah puisi berjudul Manuskrip Sumur Resapan kepadaku. “Tolong segera kamu layout (baca: tata) naskahku ke bentuk buku,” ucap Mardi Luhung. “Ukuran berapa bukunya, Yah. Apa aku sesuaikan ukuran buku puisi Tiga Kuda di Bulan Tiga dan Lampirannya (salah satu karya Mardi Luhung), Yah?” balasku. Mardi Luhung hanya meng-iya-kan, dan memintaku untuk cepat menyelesaikan naskahnya ke bentuk buku.

Kenapa Mardi Luhung meminta cepat? Sebab, Mardi Luhung ingin mempersembahkan buku puisi sebagai kado pernikahan bagi anak perempuannya, atau adikku. “Aku tidak punya apa-apa selain naskah puisi. Aku berharap buku puisi dapat menandakan kebahagiaan yang diberikan penyair untuk keluarganya,” ucap Mardi Luhung. Meski terdengar heroik, aku turut setuju bahwa harta penyair hanyalah puisi.

Lalu, ada keasyikan ketika bertugas menata naskah ke bentuk buku. Keasyikan itu adalah aku turut membaca puisi-puisi Mardi Luhung dalam naskah Manuskrip Sumur Resapan. Aku menyadari puisi-puisi yang aku tata merupakan bagian dari kesibukan Mardi Luhung selaku Ketua RT. Sehingga, aku menangkap bahwa Mardi Luhung—lewat pancaindera dan pengalaman, juga mendekati dan merespon bahasa, yang ditulisnya selaku Ketua RT—mengaduk puisi-puisinya dengan menuangkan sejarah lokal, spiritual, dan kondisi sosial tempat tinggal kami.

Penuangan sejarah lokal yang kental bisa aku ketahui, misal pembacaan penggalan puisi yang berjudul Polaman berikut ini: “Dan bagaimana bisa aku lupa pada sebatang pohon sono. Yang di sebelahnya, sang guru utusan menggali sumur. Sumur jadi telaga. Telaga jadi tempat mencuci diri. Mencuci hati. Dan mencuci sajadah. Yang tergelar demikian panjang sampai pada tempat bendera berkibar.” Aku mengetahui judul puisi dan meraba penggalan puisi itu, bahwa Mard Luhung memasuki kisah sumber mata air sebagai cikal bakal Desa Suci (Kabupaten Gresik).

Kemudian, penuangan spiritual dalam puisi-puisi Mardi Luhung bisa aku mulai pada penggalan penutup puisi Kepada Umur: “…Seperti keterlambatan duka, ketika merasa, bahwa apa-apa yang berguguran pasti akan kembali bertumbuhan. Berkembangan. Dan telah, telah, aku lewati malam-malam yang lebih malam daripada malam itu sendiri.”; lalu pembuka puisi Sajak Umur 60 Tahun: “Bianto telah pergi. Usman telah pergi. Juga Agus, Rustam, dan beberapa teman lain juga telah pergi. Kini, mungkin tinggal Tomo. Tomo seperti aku bergigi ompong…”

Jika aku menelisik tarikh (puisi Kepada Umur bertarikh 2019 dan puisi Sajak Umur 60 Tahun bertarikh 2022), seolah sekuen yang mengarahkan Mardi Luhung ke kesadaran makna kehidupan. Aku mengira hasil kesadaran itu bisa dihubungkan pada penggalan puisi Kulit Bawang berikut ini: “Salah satu dari 40 hikmah yang kau baca itu berbunyi:

‘Segala apa yang telah diusahakan telah dibayar di depan. Karenanya tak tersisa. Dan tak ada yang bisa menolong penitian itu.’”

Terakhir, penuangan kondisi sosial tempat tinggal kami, bisa aku tengok pada puisi-puisi dalam subbab Program yang Berkelanjutan, yang memasukkan imaji kegiatan RT, sepert: kerja bakti, jaga kampung, kebersihan, penghijauan, penerangan, hingga PKK. Semua imaji itu mengikat manfaat yang ditulis Mardi Luhung pada penggalan penutup puisi Si Penulis Puisi Mengurus Soal-Soal Kampung: “Berbaik-baiklah pada genting rumah, sebab melindungi diri dari hujan dan panas. Berbaik-baiklah pada got, sebab melancarkan bekas cucian kampung ke sungai lepas.”

Beberapa hari kemudian, Mardi Luhung bertanya: “Bagaimana menurutmu judul Manuskrip Sumur Resapan?” Aku menjawab kurang suka pemberian judul Manuskrip Sumur Resapan. Alasanku, terasa aneh andai pembaca mengetahui buku puisi yang dipegangnya masih terselip kata “manuskrip” pada bagian judul. Apalagi, sepengetahuanku, kata “manuskrip” merujuk tulisan atau ketikan yang bukan hasil cetakan.

Aku menyadari alasanku begitu lemah. Sebab, judul Manuskrip Sumur Resapan diambil oleh Mardi Luhung dari gabungan dua judul puisi yang termaktub dalam naskahnya, yaitu: puisi Manuskrip dan puisi Sumur Resapan. Kalau aku menengok puisi-puisi dalam naskah, judul Manuskrip Sumur Resapan bisa menjadi pintu terbuka bagi pembaca. Sehingga, di hadapan pembaca, puisi-puisi dalam naskah tidak berdiri sendiri.

“Bagaimana kalau judul Manuskrip Sumur Resapan berganti Pos Jaga, Gerbang Bandar, dan Program yang Berkelanjutan?” tanya Mardi Luhung suatu hari. Mendengar pertanyaan Mardi Luhung tersebut, aku langsung kaget. “Bagus itu. Terasa arkais, tapi bisa masuk di masa sekarang, Yah,” ucapku. Lalu, atas permintaan Mardi Luhung, aku mengganti judul lama ke judul baru. Meski begitu, judul baru itu tidak benar-benar final.

Memang tidak benar-benar final. Apalagi, aku baru menyadari judul Pos Jaga, Gerbang Bandar, dan Program yang Berkelanjutan terlalu panjang dan tidak cocok sebagai kado pernikahan. Setelah Mardi Luhung berdiskusi dengan A Muttaqin, judul Pos Jaga, Gerbang Bandar, dan Program yang Berkelanjutan mengalami pengeditan. Pada akhirnya, penataan puisi-puisi Mardi Luhung berakhir dengan judul final: Gerbang Bandar.

Setelah penataan puisi-puisi Mardi Luhung, aku mulai menata beberapa lukisan Gupuh Priyanto (calon besan Mardi Luhung, sekaligus pelukis asal Gondanglegi, Kabupaten Malang) dan catatan pendamping dari A Muttaqin. Buku Puisi Gerbang Bandar benar-benar terlahir setelah salah satu lukisan Gupuh Priyanto selesai menjadi kover. Dalam rasa kebahagiaan menyelesaikan tugas, aku membaca halaman persembahan buku puisi Gerbang Bandar yang ditulis oleh Mardi Luhung: “Buat Jalan yang telah dipilih oleh Bening Siti Aisyah & Saleksa Srengenge semoga diberkahi Tuhan”.

Keterangan: Enam lukisan yang menghiasi buku puisi Gerbang Bandar. Semua lukisan ini bermedia akrilik di atas kanvas dengan ukuran 30 x 30 cm.   Karya Lukisan: Gupuh Priyanto

Aku menelisik kata “Jalan“ yang dimiringkan dengan huruf “J” kapital. Artinya, kata “Jalan” yang ditulis oleh Mardi Luhung memiliki pengertian khusus. Sebab itu, aku mengangap buku puisi Gerbang Bandar sangat cocok sebagai kado pernikahan, minimal mengingatkan setiap kemana akan berlayar, bahtera rumah tangga tetap berakar, seperti penggalan pembuka puisi Tiga Puisi Nomor 58 berikut ini: “/1// Hidupmu adalah hidupmu. Seperti kuda belang atau kucing babon, itu pilihanmu. Yang pasti, bau lada, kunyit, dan jahe merah terus mengiringimu…”

3. Pertemuan

Di Manyar (Desa Suci, Kabupaten Gresik), Jumat, 7 Juli 2023, kira-kira pukul 07.30 WIB, orang-orang yang menghadiri ijab kabul telah sama-sama berucap sah, pertanda penghulu meresmikan Saleksa Srengenge dan Bening Siti Aisyah sebagai suami dan istri, sehingga keluarga Mardi Luhung berbesan dengan keluarga Gupuh Priyanto. Lalu, dari ijab kabul, acara pernikahan berlanjut ke walimah dan resepsi. Aku melihat para undangan disambut pengantin. Dan, aku merasa seharian rumah pengantin pihak perempuan memancarkan kebahagiaan meski hujan sempat lewat.

Dua hari kemudian (Minggu, 9 Juli 2023), acara pernikahan berpindah dari Manyar ke Gondanglegi (Kabupaten Malang). Kira-kira 11.30 WIB, keluarga Mardi Luhung bersilaturahmi ke Kopi Latar—rumah pihak laki-laki (keluarga Gupuh Priyanto). Lalu, setelah asar, keluarga Gupuh Priyanto dan keluarga Mardi Luhung didatangi teman-teman seniman yang tergabung dalam Komunitas Arepsego dan Dewan Kesenian Kabupaten Malang (DKKM). Kedatangan teman-teman seniman menjadi acara tersendiri dengan membuka diskusi.

Sebuah backdrop berukuran 3 x 2.5 meter terbentang. Dalam backdrop itu, aku membaca tajuk diskusi: Bincang Buku Gerbang Bandar Kumpulan Puisi. Di depan backdrop itu, Gupuh Priyanto dan Mardi Luhung duduk bersanding di sofa. Sebelum memulai diskusi, teman-teman seniman memperoleh suvenir berupa buku Gerbang Bandar. Mereka (teman-teman seniman) duduk secara acak di bangku sembari menikmati segelas kopi.

Marsam Hidayat, atau Cak Marsam, seniman macapat asal Kabupaten Malang, membuka diskusi dengan mengidungkan sebuah macapat (bentuk puisi Jawa tradisional). Setelah itu, Mardi Luhung bercerita perihal Cak Marsam yang mengingatkannya dengan almarhum Wak Nurul Huda (seniman tradisi macapat asal Gresik), bahwa seniman tradisi sebenarnya berpikiran modern. Lalu, Mardi Luhung menukil baris macapat yang dikidungkan Cak Marsam, “uwong ngesot ngideki jagat”. Terasa “ngeri” bagi Mardi Luhung yang mendengar “uwong ngesot ngideki jagat” dan menafsir sebagai kebaikan dan keburukan jadi satu.

Keterangan: Suasana diskusi buku puisi Gerbang Bandar dengan Cak Marsam—memegang mikrofon—sedang mengidungkan macapat.   Dokumentasi: Aji (2023)

Lewat Cak Marsam yang mengingatkannya dengan almarhum Wak Nurul Huda, Mardi Luhung membahas tidak ada kebetulan dalam kesenian, kecuali kebertemuan yang saling bertautan. Lalu, Mardi Luhung menghubungkan peristiwa pertama kali bertemu dengan Gupuh Priyanto di Kopi Latar. Akibat pertemuan itu, Mardi Luhung dapat menciptakan puisi—termaktub dalam buku puisi Gerbang Bandar—yang berjudul Gondanglegi.

Kemudian, Gupuh Priyanto mengisahkan bagaimana beberapa lukisannya menghiasi halaman di buku puisi Gerbang Bandar. Gupuh Priyanto mengaku baru mengetahui lukisan-yang-telah-jadi bisa sebagai ilustrasi. Padahal, Gupuh Priyanto membayangkan—ketika Mardi Luhung meminta lukisannya untuk buku puisi Gerbang Bandar—dirinya harus menciptakan lukisan baru. Lain itu, Gupuh Priyanto meminta kepada teman-teman seniman, setelah diskusi, dapat urun coretan di kanvas yang telah disiapkannya.

Pada seksi terakhir diskusi, Cak Marsam mengidungkan lagi beberapa macapat. “Kami ingin mengenalkan sebanyak-banyaknya tentang macapat Malangan,” ucap Cak Marsam yang sudah berpindah duduk di sebelah Mardi Luhung. Salah satu macapat yang dikidungkan Cak Marsam mengenai ajakan berdoa kepada Tuhan.

Dan, aku mendengar: “//ayo bareng ayo dungo/ nyuwun seng nang kuasa/ ayo ayo bareng dungo/ menenteramkan nusantara//”.

Sebelum teman-teman seniman undur diri dari diskusi di Kopi Latar, sebingkai kanvas—kira-kira berukuran 60 x 60 centimeter dan telah tersapu warna oranye dan kuning—dihadirkan Gupuh Priyanto. Lalu, sesuai nama yang dipanggil oleh Gupuh Priyanto, satu per satu dari teman-teman seniman membumbuhi warna pada bagian kanvas. Hanya Mardi Luhung yang menuliskan sebuah tulisan buat Cak Marsam. Tulisan yang merespon baris “uwong ngesot ngideki jagat”, yaitu: “//orang lumpuh mengitari jagat/ cinta tak pernah sekarat//”.

Beberapa hari kemudian, Mardi Luhung mengirimkan sebuah foto lukisan kepadaku. Lukisan itu adalah hasil final urun coretan setelah diskusi buku puisi Gerbang Bandar. Aku menelisik lukisan itu telah diselesaikan Gupuh Priyanto menjadi lukisan abstrak yang dinamis. Kedinamisan itu dapat aku rasakan dari beberapa goresan warna (merah, hitam, dan biru) yang membentuk garis diagonal. Dan, Gupuh Priyanto memberikan judul lukisan itu: Ikan-Ikan di dalam Angan.

Keterangan: Bagian A, Lukisan urun coretan yang belum diselesaikan Gupuh Priyanto; Bagian B, Lukisan urun coretan yang telah diselesaikan Gupuh Priyanto.   Dokumentasi: Aji—bagian A; dan Gupuh Priyanto—bagian B (2023)

Lukisan Ikan-Ikan di dalam Angan membetot diriku untuk memahami lagi apa maksud kebertemuan yang diucapkan Mardi Luhung. Aku mengira lukisan Ikan-Ikan di dalam Angan menjadi narasi lain, perihal pertemuan yang menggetarkan silang kreativitas, antara laut dan gunung, penyair dan pelukis, tradisi dan modern, hingga suami dan istri. Semua silang kreativitas itu adalah gerak dari pertemuan yang tak terduga. Pertemuan yang digariskan Tuhan. Sehingga, aku mengingat kembali kidungan Cak Marsam mengenai ajakan berdoa kepada Tuhan, yang bahasa Indonesia utuhnya begini: “//ayo bersama ayo berdoa/ Minta Yang Maha Kuasa/ ayo ayo bersama berdoa/ menenteramkan nusantara//”.**

Daftar Pustaka

Mardi Luhung (2023), Gerbang Bandar, Yogyakarta: Basabasi.

Idries Shah (1984), Kisah-Kisah Sufi, Jakarta: Pustaka Firdaus


[1] Mardi Luhung (2023), Gerbang Bandar, Basabasi: Yogyakarta. (Hal: 10-11).

[2] Dalam buku puisi Gerbang Bandar karya Mardi Luhung, A Muttaqin menulis catatan pendamping Bonsai, Kura-kura, dan “Rajah” Imam Ghazali, yaitu: “Dalam beberapa hal, tatkala membaca puisi kita kerap dihadapkan pada perkara seperti menghadapi angka-angka susunan Imam Ghazali. Kita dapat membaca dan mendekati puisi itu dari mana saja, dengan teori yang kita ambil dari kanan dan kiri, menghubungkan dengan pengalaman ini dan itu yang kita pungut dari atas atau bawah, dari samping atau tengah, tapi kita tetap akan dihibungkan denga—dalam puisi Mardi Luhung “Kulit Bawang” disebut—semacam tali, yakni semacam susunan, bunyi, atau imaji yang kita gambar di kepala dan di sana kita akan mendapati sesuatu, semacam pola , urutan, atau susunan yang kita sebut makna, mendapatkan angka 15 yang menjadi milik kita masing-masing.” (Hal: 99-100).

[3] Dalam buku Kisah-Kisah Sufi, kisah Orang-Orang Buta dan Gajah terkenal dalam versi Rumi dan hakim Sanai, dan Idries Shah memberikan catatan: “Kedua kisah itu merupakan penyampaian cara pemikiran yang sama, yang menurut tradisi, telah dipergunakan oleh guru-guru Sufi selama berabad-abad.” (Hal: 70).

[4] Dalam buku puisi Gerbang Bandar karya Mardi Luhung, A Muttaqin menulis catatan pendamping Bonsai, Kura-kura, dan “Rajah” Imam Ghazali, yaitu“…Dalam dunia kepenulisan, lantaran ukurannya bukan menjadi yang terdepan, tapi nila-nilai yang sangat longgar untuk diperdebatkan, yang utama bukan mengalahkan penulis lain, tetapi bagaimana seorang penulis mencapai kesadaran bahwa karya yang sekarang harus lebih baik dari karya sebelumnya…” (Hal: 93)

Aji Ramadhan
Aji Ramadhan lahir di Gresik, Jawa Timur, 22 Februari 1994. Tinggal dan bekerja di Gresik. Lulusan Desain Interior di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Puisinya termuat di Koran Tempo, Kompas, Bali Post, Suara Merdeka, majalah Kalimas, dan portal Buruan.Co. Buku puisi tunggalnya adalah Sang Perajut Sayap (Muhipress, 2011) dan Sepatu Kundang (Buku Bianglala, 2012). Sejak akhir 2021, dia mengasuh rubrik Sastra di portal Gresiksatu.com.