Jemek Supardi (22 Mei 1957-16 Juli 2022) pantas disebut pantomimer sejati. Ia melakoni seni mime secara total. Bahkan keseharian hidupnya tak jauh beda dengan permainannya di atas panggung atau jalanan: mengandalkan isyarat tubuh dan wajah, tak banyak berkata-kata.
Mimik-ekspresinya selalu tampak seperti orang tersenyum. Geraknya luwes alih-alih karikatural. Memandang sosoknya saja seolah kita sedang nonton sang pendekar pantomim itu main mime.
Kita akan gampang bertemu sosok laki-laki bertubuh kecil itu berputar-putar dengan sepeda jengkinya di Taman Budaya Yogyakarta. Melongokkan wajah sebentar di jendela suatu ruangan, sekadar menyapa kru atau panitia acara yang sedang rapat. Melambaikan tangan. Lalu pergi ke titik lain: ke ruang pameran atau ke tempat anak-anak latihan teater. Puas berkeliling seperti orang “sidak”, ia akan menyandarkan sepedanya di ngisor ringin, dan ia melipir ke kantin bergabung dengan rekan-rekan seniman lain.
Kita juga dapat bertemu dia di Kedai Kebun, Bentara, JNM, Sangkring, Sarang, atau ruang-ruang kebudayaan lain di Yogya. Lain waktu ia nongol di warung Bu Ageng milik Butet Kartaredjasa atau di rumah Cak Nun gang Barokah. Mobilitasnya terbilang tinggi.
Tapi tak selalu sosoknya muncul di pusat-pusat kesenian adiluhung. Ketika alun-alun belum berpagar seperti sekarang, di situ ia sering nongkrong. Dan tempat paling gampang menjumpainya adalah di toko penjual peti mati di sebelah rumahnya Jalan Katamso. Itu saat ia nyambi jadi penjaga toko peti mati dengan sistem komisi. Pada masa warnet marak di Yogya, saya biasa menjumpainya sebagai tukang parkir 24 jam di sebuah warnet tak jauh dari rumahnya.
Kawasan Katamso seputar rumahnya itu memang telah menjadi panggung kehidupan Jemek yang riil, darimana ia beroleh nama kondang seantero kota: Kampret. Ketika Purawisata masih berupa terminal bus, lalu jadi pusat Taman Hiburan Rakyat (THR) dengan dangdutnya yang semanak, Jemek sudah berkisar di sana. Begitu pula di kuburan sebelah THR, yang dikenal sebagai kerkop (Belanda: kherkoff). Ia biasa dapat jatah rokok dari peziarah, sembari latihan mime di antara nisan. Di terminal ia jago jadi calo dan di THR ia punya banyak teman.
Kelak, peti mati dan kuburan serta hingar-bingar ruang urban, menyatu jadi simbol-isyarat dalam nomor-nomor pantomimnya yang fenomenal. Ia misalnya, dengan naik becak, menggotong peti mati ke makam Kintelan dalam lakon Bedah Bumi (1998). Sementara kehidupan terminal dan THR bersekutu dalam karya-karya khas akar rumput yang tak jarang berisi gugatan pada kekuasaan seperti Terminal-Terminal (1986), Balada Tukang Beca (1988) dan Kuasa Maha Kuasa (1997). Sebagai rasa syukur berkesenian, ia kerap bilang bahwa seni menyelamatkannya dari dunia “per-kampret-an”.
Kelak, peti mati dan kuburan serta hingar-bingar ruang urban, menyatu jadi simbol-isyarat dalam nomor-nomor pantomimnya yang fenomenal.
Istrinya, Threeda Mayrayanti, seorang pelukis, kesehariannya di rumah pun tanpa banyak berkata-kata. Putri satu-satunya, Kinanti Sekar Rahina, juga tumbuh dengan disiplin gerak: tari. Jemek hanya dua bulan di Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) Yogyakarta. Tapi ia sukses men-sarjana-kan istri dan anaknya di ISI Yogyakarta.
Pada hari tertentu, kemunculan Jemek intensif ke rumah kawan atau ke tempat ngumpul. Itu adalah hari deadline pasang angka yang digemarinya. Ia selalu berhasil menggaet kawan-kawannya untuk ikut“berderma”. Dan angka cesplengnya selalu tak kena. Tapi besoknya kawan-kawannya kena “derma” lagi, dan semua tertawa. Persis saat nonton dia main pantomim yang memang sarat humor dan karikatural. Semua sayang Jemek.
Panggung Tanpa Batas
Jemek Supardi, sebagaimana dicatat Dr. Nur Iswantara (2007), bergabung di Teater Alam tahun 1974. Ia giat mengikuti olah tubuh. Malangnya, ia selalu dapat peran cameo. Itu pun tanpa kata. Kadang hanya muncul gerak tangan, atau sekadar lewat saja. Penyebabnya: ia sulit hapal naskah.
Kepalang basah, Jemek kian intens mengolah gerak. Ia tertarik “eksplorasi tubuh” ala Merit Hendra. Kemudian berlanjut pada “gerak indah” Moortri Poernomo yang bersumber dari tari Jawa. Saat berkunjung ke Jepang, Moortri berhasil merespon huruf kanji dalam gerak stakato. Semua itu memperkaya eksplorasi gerak Teater Alam.
Namun Jemek baru ngeh (paham) seni pantomim saat Wisnu Wardhana mementaskan mime Manusia dan Kursi di Seni Sono (1975). Potensi diri Jemek meronta. Kesulitannya menghapal naskah mencuatkan secelah jalan keluar yang siap ia lakoni. Sejak itulah ia giat berlatih dan berpentas pantomim.
“Tak tahu bagaimana jadinya jika saya tak ketemu mime,” kata Jemek, jauh di tahun 2000 ketika saya pertama kali mewawancarainya untuk tabloid TaFeril, ISI Yogyakarta.
“Tak tahu bagaimana jadinya jika saya tak ketemu mime,” kata Jemek, jauh di tahun 2000 ketika saya pertama kali mewawancarainya untuk tabloid TaFeril, ISI Yogyakarta.
Jemek ikut mendirikan Teater Dipo bersama Fajar Suharno yang kelak berubah jadi Teater Dinasti. Ia juga terlibat mendirikan GAPY (Gabungan Aktor Pantomim Yogyakarta) bersama antara lain, Moortri dan Deddy Ratmoyo. Banyak pantomimer bergabung seperti Ende Reza, Broto, Nur Is, Yayat Surya, Ahmad Jusmar, Yusi, Dyan Dwinita, Jamaludin Latif dan lain-lain.
Meski kerap pentas kolektif bareng GAPY sepanjang 1994-1998, Jemek tetap lebih kuat dengan karya personalnya. Bahkan menurut Dr. Nur Iswantara, dosen teater ISI Yogyakarta dan sejawat Jemek di GAPY, ini merupakan pembeda aktor mime Yogya dengan Jakarta. Di Jakarta, mime digarap jadi pentas bersama secara utuh. Naskah, aktor, tata panggung, semua lengkap. Tak jarang diselipkan kata-kata verbal. Sebagaimana karya Seno A. Utoyo dan Didi Petet (Seno-Didi Mime). Basis aktor mimenya terutama di IKJ.
Sementara di Yogya, aktor mime lebih kuat pentas personal. Sepenuhnya mengandalkan gerak tubuh hingga bagian-bagian terkecil seperti leher, telapak tangan dan kaki beserta jari-jemari. Tanpa bicara, hanya gerak dan mimik-ekpresi semata, sebagaimana diperlihatkan Jemek. Basis aktornya terutama di ASDRAFI dan ISI.
Pentas personal tak lantas sukar merebut panggung atau terbatas pada “pertunjukan intim”. Panggung Jemek terbukti meluas ke ruang-ruang publik dengan properti “raksasa” seperti forklift, kereta bahkan Monas. Ia bermain di Benteng Verdeburg, Malioboro, stasiun dan di atas kereta api yang melaju dari Yogya ke Jakarta.
Karyanya Badut-Badut Republik atawa Badut-Badut Politik (1998), tepat saat tuntutan Reformasi bergelora, sukses mengumpulkan massa penonton dalam kondisi seolah siap aksi di sepanjang jalan yang ia lalui. Ia bertolak dari Bundaran UGM, simbol perjuangan mahasiswa, berlanjut ke Malioboro dengan naik forklift pinjaman seorang kontraktor. Di atasnya Jemek beraksi sebagai politikus berjas dan berdasi penuh janji– hal yang berlaku hingga kini. Pentas itu sendiri berlangsung di tengah pengawasan ketat aparat kepolisian.
Sebelumnya, 1997, Jemek memprotes panitia Festival Kesenian Yogya yang tak mengagendakan pantomim. Ia terobos barisan satpam Benteng Verdeburg tempat festival berlangsung, dan ia segera merebut perhatian dengan mementaskan ”Pak Jemek Pamit Pensiun”. Itu parodi acara Umar Kayam di UGM,”Pak Kayam Pamit Pensiun.”
Melihat bahwa sampai sejauh ini seni pantomim masih belum mendapat tempat yang layak, tak terkecuali dalam ekologi teater sendiri, maka protes itu saya kira tetap relevan. Terasa kurang tepat jika Yogya sebagai salah satu kiblat teater nasional sampai hari ini terkesan menganggap sepi seni pantomim. Meski kota ini pernah punya basis aktor mime di ASDRAFI, kampus akting yang didirikan Srimoertono dan tempat Putu Wijaya mengasah bakat teaternya. Sekarang pun terus lahir aktor mime handal, seperti generasi Andi Sri Wahyudi dan kawan-kawan. Namun secara umum kehidupan seni mime terasa kurang gayeng.
Padahal mime punya sejarah yang panjang, sepanjang sejarah teater yang menjadi ekologinya. Mime berkembang sejak masa Mesir kuno dan India kuno, Yunani dan Romawi. Di Romawi, selain jenis teater tragedi dan komedi, ada bentuk lain berupa face, mime atau pantomim (Jakob Sumardjo, 1986 via Iswantara, 2007). Dalam karya Aristhopanes, pantomim jadi bagian pesta Dewa Dyonisus. Aristoteles bahkan mencatatnya dalam risalah Poetics.
Para mime pun moncer sebagai aktor kelas dunia, mulai era klasik sampai modern seperti Angelo Beoclo, Lope de Ruede, Jhon Rich, Jhon Weaver, George Noverre, Deburau, Joseph Grimaldi, George Fox, Max Linder. Termasuk Charlie Chaplin, aktor “film bisu” yang sebenarnya kata lain dari aktor mime itu.
Indonesia, lanjut Iswantara, beruntung didatangi tokoh-tokoh mime kelas dunia, mulai Charlie Chaplin sendiri yang jatuh cinta pada Garut, Marcel Marceu, pencipta tokoh Bip Prancis, yang membawakan lakon-lakon Bip di TIM Jakarta dan Gedung Seni Sono Yogyakarta, akhir 80-an. Milan Sladek, pantomimer Jerman sepanjang tahun 1980-1988 pentas dan memberi lokakarya di Jakarta. Begitu pula David Glass dari Inggris, tahun 1985 pentas di Karangmalang, Yogya.
Namun jejak pantomim senyap seolah “sampiran” dalam teater. Tak jarang pemainnya dianggap badut belaka. Belakangan malah muncul fenomena “manusia silver” yang mengambil model seni pantomim. Pelakunya menjajal “panggung” di perempatan lampu merah, untuk mencari nafkah. Ini tentu kemungkinan lain dari seni pantomim, namun sayangnya sisi “ngamen”-nya jauh lebih mengemuka, nyaris tak bersentuhan lagi dengan kompleksitas dunia pantomim.
Namun jejak pantomim senyap seolah “sampiran” dalam teater. Tak jarang pemainnya dianggap badut belaka. Belakangan malah muncul fenomena “manusia silver” yang mengambil model seni pantomim. Pelakunya menjajal “panggung” di perempatan lampu merah, untuk mencari nafkah.
Padahal, selain ciri karikatural-humoral, pantomim merengkuh hal-hal serius. Jemek mengakui, “Begini-begini, saya ini harus merenung jika mau pentas. Mikir sampai ke toilet. Merancang properti dan bikin oret-oret,” kata Jemek suatu kali. Ia membuktikan melalui cara kreatif mewujudkan tema-tema yang ia usung, mulai politik yang gaduh hingga kehidupan rakyat kecil yang meng-aduh, seperti Perahu Nabi Nuh (1984), Sedia Payung Sesudah Hujan (1986), Balada Tukang Becak (1988), Menanti di Stasiun (1992), Pisowanan (1997) dan Kesaksian Udin (1997).
Nomor-nomor itu bukan hanya memuat daya kritis Jemek sebagai aktor sekaligus kreator, juga mensyaratkan olah estetis yang tinggi. Karena itulah, meski pentasnya sering tanpa naskah atau cukup merujuk draf, Jemek tetap harus melewati tahapan latihan yang ketat. Jika tidak, hasilnya kurang maksimal. Pentasnya Adam-Hawa tahun 1992 di Purna Budaya, sebagai misal, ia anggap gagal karena persiapan terbatas dan latihannya singkat. Menariknya, di sisi lain, Jemek juga dikenal kuat dalam nomor-nomor improvisasi (misalnya respon spontan atas seorang penyair yang sedang baca puisi, atau pembukaan sebuah pameran). Ketahuilah, itu lantaran laku mime telah menyatu dengan naluri dan geraknya, sehingga improvisasi dalam waktu yang tepat, merupakan letupan energi kreatifnya yang mengendap.
Tahun 1998, Jemek mencatat rekor—meski tak ada dalam MURI—dengan panggung terpanjang dan waktu terlama di Indonesia, yakni Pantomim Yogya-Jakarta: Siapa Suruh Datang Jakarta. Sejak keberangkatan di Stasiun Tugu, di kereta selama lebih 8 jam, hingga berlanjut di Lapangan Monas. Itu mengisyaratkan nafas panjang sang pendekar pantomim, sekaligus bukti mime melintasi kompleksitas ruang-waktu.
Panggung yang Canggung
Di tengah bisingnya adu bicara di mimbar, ruang kampanye hingga di platform media sosial seperti sekarang, laku mime Jemek sungguh layak diaktualkan. Tak banyak berkata-kata, hening menghayati isyarat semesta.
Tapi bukan berarti Jemek bersih dari sisi keriuhan ini. Jika ada hal yang saya kenang relatif gaduh dari sosok Jemek adalah ketika di facebook ia cukup gencar mengomentari kasus penembakan empat tahanan rutan Cebongan, Sleman, oleh oknum militer, 23 Maret 2013. Tahanan tersebut merupakan pelaku tindak kekerasan beberapa hari sebelumnya yang menewaskan seorang tentara di sebuah kafe. Atas nama jiwa korsa, rekan korban menyerbu masuk ke Cebongan dan menghabisi para pelaku. Sebanyak 12 orang oknum militer yang terlibat berhasil ditangkap dan dihadapkan ke pengadilan militer.
Di statusnya, Jemek menganggap tindakan itu efek emosional dari lapangan, mengingat tindakan kekerasan di kafe sebelumnya dianggap dapat meresahkan keamanan dan kenyamanan Yogya. Jadi perlu shock therapy dengan legitimasi keamanan dan kenyamanan? Seorang kawan dari Kupang berkomentar, tak kalah emosional, sebab secara kebetulan empat orang pelaku yang lalu jadi korban di Cebongan itu, berasal dari Timor. Saya tak ingat bagaimana persisnya Jemek menjawab, tapi yang jelas kawan yang marah tersebut merasa tidak puas dan kecewa dengan Jemek yang dikenal sebagai orang kesenian.
Apalagi dalam persidangan 12 anggota Kopassus tersebut, Jemek datang ke gedung pengadilan Militer Yogya membawakan sebuah lakon pantomim, lengkap dengan kostum dan tata riasnya. Ia membagikan bunga dan melepas burung merpati. Hal itu membuat terdakwa yang mendapat persembahan bunga mawar dari Jemek, mengucapkan terima kasih (Detik, Selasa, 2 Juli 2013).
Saya sendiri jujur merasa “shock” dengan status-status dan “pentas” Jemek tentang peristiwa itu karena seperti bertolak belakang dengan sosok kesenimanannya yang “tak banyak berkata-kata”. “Panggung” di halaman belakang gedung militer itu tampak bukan seperti dunianya, terasa canggung dan jauh dari sublimitas.
Namun, kekecewaan saya sedikit terobati ketika akhirnya kawan dari Kupang tersebut memberi tahu saya bahwa akun facebook Jemek hanya menggunakan namanya. Konon pengendalinya bukan dia, melainkan seseorang semacam admin! Saya tidak tahu apakah Jemek tahu. Saya juga tidak tahu dari mana kawan Kupang itu tahu. Sekalipun “pentas” Jemek di gedung militer tetap membuat saya kurang sreg. Tapi itulah realitas yang telah digariskan jalan hidupnya.
Kembali ke mime. Tentu tak tertutup mime dikontestasikan secara luas, tak terkecuali di ruang “profan”. Iklan-iklan visual misalnya, bisa bertolak dari kreasi pantomimer. Aksi-aksi dalam pelbagai isu seperti lingkungan atau pelecehan seksual bisa diekspresikan secara kuat lewat mime. Bahkan sejumlah platform medsos yang kini banyak berbasis gerak semisal di Tik-tok, bisa diolah mime secara lebih unik, segar dan juga “sakral”. Mime pun bisa sangat instagrabel di instagram.
Kini, Jemek Supardi, Sang Pendekar Pantomim itu telah berpulang, ketika ruang-ruang mime terbuka untuk segala kemungkinan. Sungguh sayang jika para pantomimer muda tak mengisi dan meresponnya.