Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu
sekali berarti
sudah itu mati
Maju
Penggalan puisi itu adalah sebuah semangat yang dihadirkan oleh Chairil Anwar untuk menjaga asa semangat dalam menjaga kemerdekaan. Chairil yang memilih jalan puisi sebagai bentuk perjuangannya, tentu sadar bahwa jalan ini memang bukan jalan populer seperti pejuang lain yang angkat senjata. Namun berkat puisi-puisi ini, jutaan pemuda turun dalam barisan yang rapi, siap mengangkat senjata. Sajak “Diponegoro” pertama kali diterbitkan oleh harian Asia Raya. Hal ini dianggap sebagai karya yang bersemangat sehingga ia lolos sensor dari militer Jepang.
Sajak ini merupakan sebuah sajak yang menjadi representasi pemuda Indonesia. Menurut Ernst, Ulrich Kratz, sajak Diponegoro kembali dicetak dan pernah terbit di beberapa majalah seperti Budaya (1954), Zaman Baru (1957), Widjaja (1960), Gelora (1961). Maka sejatinya “Diponegoro” adalah puisi fundamental dalam pembangunan jiwa bangsa dan kesusasteraan Indonesia. Chairil sebagai pelopor angkatan 45 telah berhasil mendudukkan semangat dan jiwa patriotisme lewat puisi.
Chairil yang dikenal urakan, flamboyan dan tentunya tidak mau dikekang, berpindah dari satu rumah ke rumah lain, suka meminjam buku Jassin, serta suka menghilang beberapa hari. Ia adalah sosok yang selalu mengantarkan pesan dari para pejuang. Tubuhnya yang kurus, kontras dengan sosok-sosok penerjemah dan pengantar pesan lain, ia pernah pula ditahan oleh militer jepang karena dianggap sebagai sosok anti Nippon.
Chairil bukanlah sastrawan biasa, ia adalah candradimuka dari sebuah kemerdekaan. Corong yang ia pilih adalah tinta dan cermin masyarakat yang ia rekam dalam puisi-puisi penuh gelora dan taburan kepedihan. Lantas tinta, itu juga tertulis dalam puisi yang konon merekam sebuah tragedi kemanusiaan Rawagede di Bekasi pada tahun 1947 oleh Belanda.
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi,
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati?
Bukankah hakikat sebuah puisi mampu menerangi ruang-ruang gelap, merekam memori sejarah serta mengawal agar itu kegelapan itu tidak lagi terulang. Ilustrasi dengan tubuh-tubuh yang terbaring antara Karawang dan Bekasi seolah menunjukkan bahwa bangsa ini punya sejarah yang kelam, tentang pembantaian Imperialisme, penjajahan yang mestinya dimusnahkan. Ada orang tua yang kehilangan anaknya dan sebaliknya anak yang menjadi yatim piatu. Kata “Merdeka” adalah jargon yang harus dikobarkan, mengangkat senjata melawan penjajah harus terus digaungkan. Puisi ini menjadikan mereka yang terbaring tanpa nisan, dikenang abadi. Mereka yang mati muda, ikut bersimbah darah dalam gerilya, di malam yang sepi, penuh dengan intaian moncong senjata. Sungguh, puisi Karawang Bekasi adalah momen merenung anak muda, bahwa penjajahan adalah kejahatan kemanusiaan.
Kata “Merdeka” adalah jargon yang harus dikobarkan, mengangkat senjata melawan penjajah harus terus digaungkan. Puisi ini menjadikan mereka yang terbaring tanpa nisan, dikenang abadi. Mereka yang mati muda, ikut bersimbah darah dalam gerilya, di malam yang sepi, penuh dengan intaian moncong senjata.
Merdeka dalam Penjual Bendera Wisran Hadi
Lain halnya dengan Chairil, Wisran Hadi dalam menuliskan naskah drama sebagai corongnya. Naskah penjual bendera adalah prahara yang terjadi di sebuah rumah pinggiran kota. Rumah yang dikepalai seorang intel kebangsaan dan juga sebagai penjual bendera. Ia adalah Gareng dan istrinya bernama Sompeng, berdebat hebat tentang pesanan dari sekjen mengenai filosofis bendera, bahan bakunya, sementara istrinya terganggu dengan racauan itu. Belum selesai dialektika dengan istrinya, Jondul yang merupakan anak mereka datang. Ia pun mendapat pesanan bendera dari Dirjen kebangsaan untuk membuat bendera dari plastik. Perdebatan panjang semakin menjadi, bendera yang dijahit tidak sesuai dengan bahan untuk bendera itu sendiri sebagai lambang negara. Gareng dan Jondul semakin menjadi-jadi mempermasalahkan bahan baku bendera pesanan, lalu muncul anak dari Jondul yaitu Barcep. Ia merupakan cucu dari Gareng. Ia adalah sosok kesayangan dari Gareng. Ia pun membawa kabar mendapat pesanan dari Irjen untuk membuat pesanan bendera dari bahan baku berupa cahaya. Sesuatu yang sudah lari dari jauh dari filosofis bendera, namun perdebatan terus terjadi, setiap pertanyaan selalu ada jawaban. Prahara itu berlanjut terus hingga bendera yang berkibar di kebangsaan bukan satu pun dari pesanan yang sedang mereka kerjakan.
Gareng Sosok yang digambarkan sebagai seorang yang memiliki idealisme falsafah kenegaraan, menjadi intel kebangsaan dan paham betul apa arti sebuah bendera. Penggalan kata-kata ini menjadi penguatan dalam legasi nasionalisme yang digaungkan Wisran Hadi dalam teksnya, “Bendera itu harus terbuat dari kain, kain terbuat dari benang, benang dari kapas, kapas dari buah kapas, buah kapas dari bunga kapas, bunga kapas dari putik kapas, putik dari pucuk, pucuk dari daun, daun dari ranting, ranting dari dahan, dahan dari pohon, maka jadilah pohon kapas.”
Kemerdekaan suatu bangsa yang didengung-dengungkan mesti seiring dengan hadirnya simbol negara. Bendera sebagai benda sakral wajib dijaga dan dihormati oleh setiap rakyat negara tersebut. Merdeka dan bendera seperti dua sejoli yang sedang jatuh cinta. Tidak bisa dilepas dan dijauhkan. Maka sejatinya bendera harus berada pada titik suci dalam sebuah bangsa. Namun, Wisran Hadi menaruh sebuah polemik besar yang masih terjadi hingga kini. Negara yang disimbolkan dengan hidup dari “proyek” dan dimiliki oleh kartel picik yang hidup dalam pemerintahan kebangsaan. Ia pun menaruh rasa pedih dari luka yang menganga pada teks ini, ketika bendera yang mestinya dijahit oleh tangan-tangan anak negeri, malah diimpor dari luar negeri.
Negara ini dibangun oleh founding father yang jatuh bangun, berkeringat darah, serta dikuburkan atas nama merdeka. Namun, mimpi dan harapan itu jauh panggang dari api, pinang tidak pulang ke tampuknya. Merdeka yang dimiliki saat ini adalah proses bebas yang pragmatis. Tidak peka pada kondisi bangsa yang terseok-seok pasca kemerdekaan. Merdeka yang ambisius, brutal dan rakus. Nasionalisme yang berpihak pada cukong. Itu yang kritik yang disampaikan Wisran Hadi, bahwa bendera itu adalah sebuah marwah bukan barang dagangan. Marwah yang tidak bisa dibeli dengan uang sebanyak apapun itu. Marwah itu tetap dan nilainya akan terus ada meski mereka yang memperjuangkannya telah tiada.
Mengutip ucapan Hatta, “Tidak ada pergerakan kemerdekaan yang terlepas dari semangat kebangsaan.”
Ilustrasi: Foto dokumentasi Tempo
Leave a Reply