Menu

Kisah Campur Aduk Antara Banyumas- Purwokerto

Banyumas atau yang dahulu bernama Wirasaba, memiliki sejarah yang panjang. Penelusuran sejarahnya dapat ditelisik dari historiografi (Babad Banyumas). Pengkajian Babad Banyumas terbilang pekat berkat kerja-kerja riset dan penerjamahan oleh: Soegeng Priyadi dan Nassirun Purwokartun. Membincang perihal babad, ia merupakan karya sastra berbahasa Jawa yang mengisahkan peristiwa-peristiwa bersejarah, seperti peperangan dan kepahlawanan. Secara etimologis, babad bermakna “tebang, buka, riwayat, sejarah”. Isi cerita babad memang mengandung sejarah, tetapi tidak selalu mengandung fakta. Banyumas memiliki babad yang sangat melimpah. Dalam penelitian Soegeng Priyadi, sekiranya terdapat 62 naskah Babad Banyumas atau 12 versi (lihat Babad Banyumas dan Versi-Versinya, 2006). Beragamnya Babad Banyumas ditengarai adanya kecenderungan dari para keluarga penguasa (bupati) sebagai legitimasi kekuasaan. Bisa dibilang isi cerita babad memang mengandung sejarah, tetapi tidak selalu mengandung fakta. Sebab babad merupakan perpaduan antara fakta sejarah, kepercayaan, dan mitos. Demikianlah babad, “betapapun memang campuran data, dongeng, pelipur lara, dan pembenaran kekuasaan, pewarisan nilai-nilai,” kata Goenawan Mohamad.

Muasal Sebuah Kota: Banyumas

Dalam naskah Wirasaba diceritakan, sekira abad 15 berdiri sebuah kadipaten di bawah Kerajaan Pajang bernama Wirasaba. Kadipaten Wirasaba dipimpin oleh Adipati Warga Utama 1 atau Raden Bagus Swarga. Ia memiliki 4 anak: 1) Rara Kartimah; 2) Ki Ngabehi Warga Wijaya; 3) Ngabehi Wira Kusuma; 4) Rara Sukartiyah. Putri Sulung (Rara Kartimah menikah dengan Raden Joko Kahiman), sedang putri bungsu (Rara Sukartiyah). Muasal berdirinya Kabupaten Banyumas terjadi pada era Kerajaan Pajang. Kala itu, Sultan Pajang menginginkan putri Adipati Warga Utama (Wirasaba) untuk dijadikan pelara-lara (penari serimpi di keraton dan bisa diambil selir oleh raja). Setelah putri Adipati Warga Utama diserahkan, munculah pemberitaan dusta. Adalah putra Demang Toyareka yang melapor: putri Adipati Wirasaba merupakan perempuan yang telah beristri. Mendengar berita tersebut Sultan Pajang tersulut marah. Ia serta merta menyuruh utusan untuk membunuh Adipati Wirasaba (lihat Sejarah Kota Banyumas 1571 Hingga Kini, 2018:107).

 Sultan Pajang (Sultan Hadiwijaya) teramat menyesali perbuatannya. Ia kemudian mengundang para putra Adipati Wirasaba ke Pajang. Dari berbagai putra Adipati Wirasaba, hanya menantunya (Joko Kahiman) yang berani menghadap Sultan Pajang. Demi menebus kesalahannya, Sultan Pajang melantik Joko Kahiman sebagai Adipati Wirasaba. Ia kemudian membagi wilayah kadipaten menjadi empat yakni : Senon, Wirasaba, Toyareka, dan Pasir. Wirasaba inilah muasal Banyumas (lihat Menuju Keemasan Banyumas, 2015:126). Seiring berjalannya waktu, Banyumas yang semula diurus Kerajaan Pajang, beralih tangan ke kerajaan Kasunan Surakarta. Waktu itu wilayah Karisedenan Banyumas meliputi: Kabupaten Purbalingga; Kabupaten Banjarnegara; Kabupaten Banyumas; Kabupaten Cilacap; dan Kabupaten Purwokerto. Baru pada zaman kolonial Banyumas dijadikan kota Residente (Karisedenan) sekaligus Ibu Kota Kabupaten Banyumas. Segera pemerintah kolonial melakukan pembangunan di sekitar Ibu Kota Kabupaten Banyumas.

Untuk mencandra Banyumas di masa lalu, saya akan menceritakan kisah-kisah mainstream yang ada. Pasalnya, hal semacam itu sayup dalam sejarah. Perubahan status Banyumas, yang pada dasarnya merupakan akal-akalan administratif, yang tidak mengubah gaya pemerintahannya. Ujung-ujungnya Banyumas tetap diperintah sebagai daerah wilayah barat mengingat jaraknya yang jauh dari ibu kota dan susunan pemerintahannya. Banyumas yang asli sudah diperintah sebagai provinsi wilayah barat Surakarta sampai 1773, ketika kedudukannya diubah menjadi bagian Negara Agung demi melegakan perasaan Sultan Mangkubumi yang keberatan bahwa Yogya menguasai sedikit saja daerah di ujung barat wilayah Mataram lama.

Wilayah Banyumas dahulu merupakan daerah “Mancanegara Kulon” dari kerajaan-kerajaan Jawa sejak: Majapahit; Demak; Pajang; Mataram; Kartasura hingga Kasunanan Surakarta. Pasca Perang Jawa (1825-1830), Kadipaten Banyumas dilepaskan dari kekuasaan Kasunanan Surakarta dan menjadi wilayah kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda pada 1830. Bagi kolonial, menumpas Perang Jawa sama halnya melindungi kepentingan 2 kerajaan: Kerajaan Yogyakarta dan Kerajaan Surakarta dari pemberontakan oleh kerabat kerajaan (Pangeran Diponegoro). Kerugian besar diderita oleh pihak kolonial nyaris dibebankan kepada pihak kerajaan. Akhirnya, sebagai tebusan pihak kolonial meminta wilayah “Mancanegara Barat”: Banyumas dan Bagelen, dan “Mancanegara Timur: Kediri dan Madiun.

Wilayah Banyumas dahulu merupakan daerah “Mancanegara Kulon” dari kerajaan-kerajaan Jawa sejak: Majapahit; Demak; Pajang; Mataram; Kartasura hingga Kasunanan Surakarta. Pasca Perang Jawa (1825-1830), Kadipaten Banyumas dilepaskan dari kekuasaan Kasunanan Surakarta dan menjadi wilayah kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda pada 1830.

Banyumas dalam Cengkraman Kolonial

            Sebelum jatuh dalam cengkraman kolonial, Banyumas merupakan daerah yang sangat terisolasi. Beratus-ratus tahun, Kota Banyumas tak gampang diakses sebab terkungkung oleh pegunungan terjal yang terbelintang di sepanjang sisi utara dan selatan, diiris lembah Sungai Serayu. Kota Banyumas merupakan salah satu kota di lembah Sungai Serayu yang memiliki hulu di pegunungan Dieng serta bermuara di Samudera Hindia. Sungai Serayu membelah wilayah Banyumas. Selain itu, wilayah Banyumas juga merupakan wilayah dengan gunung-gunung dan bukit-bukit sehingga cukup merepotkan untuk dijangkau wilayah-wilayah tertentu. Posisi Banyumas strategis bagi daerah-daerah sekitar Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, dan Kebumen. Akan tetapi dengan kondisi geografis yang demikian, wilayah Banyumas yang berada di pinggiran Sungai Serayu diberkahi kesuburan tanah yang bagus dan subur. Karena itulah ada ungkapan yang galib terdengar: “cedak gunung, adoh ratu”. Artinya : dekat dengan gunung (kemakmuran), jauh dari pusat pemerintahan (Kerajaan Surakarta). Perihal Gunung Slamet dan Sungai Serayu, saya terngiang lagu keroncong yang menjadi bel kedatangan kereta di Stasiun Purwokerto, “Di Tepi Sungai Serayu” karya penyanyi Banyumas: Soetedja Poerwodibroto. Begini :

“Gunung Slamet nan Agung,

 Tampak jauh di sana, bagai sumber kemakmuran serta kencana,

Indah murni alam semesta,

Tepi Sungai Serayu,

Sungai pujaan bapak tani,

Penghibur hati rindu”.

Sungai Serayu turut memberikan berkah terhadap Kota Banyumas menjadi kota tepi sungai, meski tak sebesar sungai Bengawan Solo, tapi tercatat dalam sejarah transportasi Banyumas. Saya membayangkan, Banyumas yang konon berasal dari sungai kecil di perbatasan Desa Kalisube dan Desa Dawuhan. Sungai ini bernama Sungai Banyumas sebab menghanyutkan kayu berwarna tembaga. Pertemuan antara Sungai Banyumas dan Sungai Pasinggangan menjadi patokan awal letak Banyumas. Kemudian banyaknya sungai di sekitar Kota Banyumas saya amsalkan “Venesia di Mancanegeri Kilen”. Meski soal kemiripan dengan “Venesia yang sejati”, entahlah. Bukan hal yang tak mungkin jika zaman dahulu sungai menjadi lintasan transportasi. Ingatan saya melayang pada Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir) menaiki gethek di Sungai Bengawan untuk menemui Sutawijaya. Kota Banyumas, dikenal sebagai kota perdagangan. Dalam hal ini, Sungai Serayu yang memainkan denyut transportasi perdagangan.


       Peta Kota Banyumas tahun 1920-an (Sumber: troppenmuseum.nl)

Kompleks Kota Banyumas 1948 (Sumber : freisfotoarchief.nl)

Barangkali itulah salah satu pertimbangan Belanda menjadikan Kota Banyumas sebagai ibu kota. Bayangan Ibu Kota Banyumas oleh Kapten Godfrey Phipps Baker (1786-1850) : sebagai yang terpenting di antara kota-kota wilayah barat dalam hal penduduk dan sumber daya. Diperintah oleh dua bupati setempat yang berpengaruh, ibu kota ini sangat menderita akibat kesewenang-wenangan Bupati, Wedana, Kepala Pemerintahan provinsi wilayah barat terdahulu. Kepala pemerintahan ini, Raden Tumenggung Yudonegoro, yang kemudian dipecat dari jabatannya menyusul persekongkolan Sepoy di Jawa Tengah Selatan, September-Oktober 1815. Digambarkan sebagai tokoh paling hitam oleh Residen Inggris di Surakarta, Mayor Jeremiah Martin Johnson: Bila ia berada di Banyumas, waktunya dihabiskan untuk main judi atau main tandak (perempuan, penari, pelacur), sementara tugas memerintah kabupaten yang terluas di wilayah kekuasaan kaisar (sunan), sama sekali ditelantarkan atau diserahkan kepada putra-putra dan orang suruhan, yang semua sama borosnya bermewah-mewah, yang dipikirkannya hanya bagaimana menguras duit dari penduduk untuk membiayai kesenangannya. Akibatnya, pertanian dan perniagaan banyumas terlantar (lihat Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855, 2011: 24).

Pada paruh abad 18, Banyumas mengalami modernisasi melalui politik etis. Bermula dari buku Van Deventer berjudul “Utang Budi” yang mengkritik atas penderitaan negara jajahan Belanda, Ratu Wilhelmina lantas membuat sebuah kebijakan: politik Etis. Politik etis yakni sebuah politik balas budi (Trias Van Deventer): irigasi, emigrasi, dan edukasi. Setelah penerapan politik etis pembangunan di Banyumas semakin signifikan, di antaranya: infrastruktur transportasi; industri; irigasi perkebunan; fasilitas pendidikan; fasilitas kesehatan; hingga arsitektur kota Banyumas.

Suasana Kota Lama Banyumas. (Sumber : freisfotoarchief.nl)

Dalam pengembangan infrastruktur transportasi, pada pertengahan abad 19 dibangun jalan post (post weg) Banyumas-Buntu-Gombong-Rawalo. Kemudian jalan-jalan darat lain bermunculan dan bercabang serupa ranting pohon. Pihak kolonial juga membagun transportasi modern: rel keret api (Trem Serajoedal Stoomtram Maatschappij) pada Mei 1895. Proyek rel ini dipimpin oleh Ir. C. Groll, melintasi pada tiap-tiap pabrik gula yang merentang Banyumas-Banjarnegara-Cilacap-Purwokerto. Namun, rel ini tidak melintas di daerah Ibu Kota Banyumas, sebab pihak kolonial memproyeksikan sebagai kepentingan ekonomi, bukan pemerintah. Belanda membuat kota Banyumas menjadi menjauhi tepian sungai: memilih keramaian dengan banyak membangun jalur darat dan rel kereta api. Lagi pula, transportasi darat yang dibangun kolonial tetap menyusuri Sungai Serayu. Pengembangan Pendidikan: Pemerintah Kolonial membangun Holland-Indies School (HIS), di belakang HIS dibangun Kazerne Politie (tangsi polisi Belanda), di sebelah barat HIS dibangun gedung Inlander 2e School (Sekolah Ongko Loro). Pengembangan Kesehatan: pada 1925 Pemerintah kolonial membangun rumah sakit Julianna, yang sekarang dikenal RSUD Banyumas.

Pada 1836, Residen De Seriere membuka akses Kota Banyumas, membangun kanal yang kemudian dinamakan Kali Yasa. Jadilah Banyumas menjadi sebuah kota dalam rancang kolonial. Arsitektur: pemerintah kolonial Belanda berhasrat membangun Kota Banyumas dengan gaya arsitektur Eropa. Sebelum Kota Banyumas dalam kekuasaan Belanda, bangunan rumah warga ialah tradisional Jawa Banyumasan (tidak sama dengan bangunan Yogya dan Solo). Pasca kedatangan Belanda bangunan tradisional Jawa Banyumasan itu tereduksi bangunan berasitektur kolonial. Dalam esai di langgar.co “Bangunan Besar di Kampoeng Londo Gresik” (2023) karya Aji Ramadhan. Begini: “arsitektur kolonial merupakan proses adaptasi mereka agar mampu bertahan hidup di lingkungan yang jauh dari asalnya”. Dalam perkembangannya, mungkin saja seseorang yang bukan londo dan menginginkan berbagai kebutuhan ruang, lebih mendirikan bangunan berarsitektur Belanda daripada bangunan tradisional Jawa Banyumasan.

Kota Banyumas adalah kota lama yang masih memperlihatkan corak tata kota tradisional Jawa yang ditunjukan dengan keberadaan alun-alun, yakni lapangan terbuka yang pada bagian tengahnya ditanami dengan sepasang pohon beringin. Alun-alun lebih dari lapangan terbuka saja. Ia menjadi semacam pelataran sakral yang mengamsalkan keserasian antara langit yang disimbolkan dengan pohon beringin dan bumi yang disimbolkan dengan pasir halus (Handinoto, 2015). Sebagai sebuah kota yang memiliki sejarah panjang sejak zaman kerajaan-kerajaan nusantara, pola tata ruang pusat pemerintahan Kabupaten Banyumas menunjukan filosofi kuat antara manusia dan alam. Ada semacam garis lurus imajiner antara gunung (baca: Gunung Slamet); pusat pemerintahan (baca: Pendopo Kabupaten, Kantor Karesidenan) dan laut (baca: Pantai Selatan).  Pendopo Kabupaten menghadap ke arah selatan, berseberangan dengan alun-alun, di sebelah barat alun-alun terdapat Masjid Agung Banyumas dan Kampung Kauman Pemerintah  kolonial membangun gedung penjara di sebelah timur, antara alun-alun dan pendopo kabupaten.Di antara jalan yang menghubungkan pendopo kabupaten dan kantor residen dibangun gedung Societeit Harmonie, gedung tempat bersosialisasi dan rekreasi bagi kalangan elit di Kota Banyumas.

Dalam amatan Ronald. G Gill, Kota Banyumas adalah wujud tata kota tradisional Jawa yang masih terpelihara dengan baik, bahkan bila dibanding Yogyakarta atau Surakarta. Tata kota Banyumas benar-benar masih murni dan antik, belum ada sentuhan tata kolonial modern yang diperkenalkan oleh arsitek-arsitek pendatang dari Eropa seperti Kotabaru di Yogyakarta dan Villapark di Surakarta (Lihat De Indische Stad op Java en Madoera, 1994). Satu-satunya bangunan Eropa hanyalah rumah Residen dan itupun letaknya jauh di selatan kota, tidak mengganggu tata letak bangunan yang dibangun sebelum kekuasaan pemerintah kolonial. Dalam pada itu, Gill menggolongkan Banyumas ke dalam jenis kota Oud Indisiche Stad, kota indis lama. Kota Oud Indische Stad adalah kota yang memadukan unsur kota tradisional Jawa dengan kota kolonial. Jenis kota Oud Indische Stad muncul pasca pemerintahan kolonial memberlakukan tanam paksa pada tahun 1830an. Untuk mendukung kegiatan eksploitasi, pemerintah kolonial menempatkan pegawai-pegawai kolonial di kota-kota yang sudah lama menjadi kedudukan penguasa lokal.

Ciri dari kota Oud Indische Stad ditandai dengan adanya kediaman bupati dan residen yang letaknya terpisah. Terletak di sebelah utara alun-alun, terdapat kompleks yang disebut kabupaten. Berbeda di masa sekarang dimana sebutan kabupaten merujuk pada satuan wilayah di bawah provinsi, di masa lalu kabupaten juga menjadi sebutan untuk kediaman bupati. Pada era Jawa pra-kolonial, bupati merupakan kepala daerah di wilayahnya sekaligus seorang abdi kepada raja yang lebih senior. Kekuasaan seorang bupati tidak dihitung dari seberapa luas wilayah yang di milikinya, namun dari seberapa banyak rumah tangga atau cacah. Sebagai bentuk “penghormatan” terhadap masyarakat pribumi, pada masa kolonial kedudukan bupati masih dipelihara dengan memasukan mereka ke jajaran birokrasi kolonial. Para bupati diberi wewenang mengatur nasib rakyat kecil seperti halnya penguasa negeri, namun ketundukan mereka yang semula kepada Raja Jawa kini dialihkan kepada Ratu Belanda. Gengsi sebelum era kolonial juga dijaga sebagai cara agar mereka bergantung kepada pemerintah kolonial. Dapat dikatakan, mereka semacam berada di perbatasan antara kepala negeri dan pamong pemerintah (Lombard, 2018). Gemerlapnya jabatan bupati dapat dilihat dari mewahnya kediaman mereka yang menjadi bagian utama tata kota kolonial.

Sekelompok militer Belanda berdiri di sisa lantai Pendapa Si Panji menghadap bekas rumah Bupati Banyumas pada tahun 1947(Sumber : freisfotoarchief.nl)

Banyumas sebagai salah satu kota lama di Jawa menempatkan kediaman penguasa sebagai inti kota. Bangunan ini didirikan pada masa Tumenggung Yudanegara yang bertahta sekira (1708-1743). Perombakan yang senantiasa dilakukan oleh penerusnya menjadikan sulit untuk mengetahui bentuk asli dari bangunan kabupaten banyumas. Kini, bekas kediaman Bupati Banyumas dimanfaatkan sebagai kantor kecamatan Banyumas. Meskipun turun status, namun sisa keagungan Kabupaten Banyumas masih dipertahankan dengan baik. Secara umum, semua kota-kota kolonial memiliki persamaan, yakni fakta bahwa mereka terbagi menjadi dua bagian: pertama, bagian yang berasal dari penduduk/budaya lokal; kedua, bagian yang merupakan hasil dari cipta karya/budaya pendatang/orang asing, karena proses dari imposisi kota yang mereka hasilkan. Oposisi antara belahan campuran & asing ini berakar pada sifat komunitas kolonial yang menekankan, dan karena hal ini, kota-kota kolonial sering kali dikarakterisasikan sebagai duality atau kota ganda.

Lehman (2008) menjabarkan tiga elemen dari penyusunan kota: kraton; ruko; dan Benteng yang mengatur sebuah konfigurasi yang bisa dianggap umum bagi kota-kota kolonial di Indonesia. Kota Banyumas memiliki beberapa kelompok permukiman, antara lain: kauman; kepatihan; kepangeranan; pacinan; dan permukiman Eropa. Kawasan kauman berada di sebelah barat Masjid Nur Sulaiman, sementara kepatihan dan kepangeranan berada di sekitar tempat tinggal patih dan pangeran. Pacinan atau tempat tinggal kelompok masyarakat Tionghoa berada di dekat pasar Banyumas dan Sudagaran. Salah satu rumah bergaya Tionghoa di Sudagaran memperlihatkan serambi depan yang lumayan besar. Pada tahun 1850, jumlah penduduk Tionghoa di Banyumas sudah mencapai 200 jiwa. Dahulu selain berprofesi sebagai pedagang, orang Tionghoa di Banyumas juga menjalankan usaha batik. Sementara itu, orang-orang Eropa tinggal di sepanjang Jalan pengadilan lama mengarah ke Sungai Serayu.

Pemerintah kolonial juga turut memasang benteng-benteng kecil di Kota Banyumas. Pengisahan P. Bleeker (1846): benteng tersebut diperkuat sesudah Perang Jawa karena militer Belanda saat itu sedang menyiapkan strategi pertahanan Pulau Jawa untuk menahan serbuan bangsa asing. Pada 1846, benteng tersebut pernah menjadi markas untuk pasukan  Jayeng-Sekar , pasukan keamanan. Kota Banyumas pada 1846 memiliki 26 pasukan Jayeng Sekar. Tujuan pembentukan Jayeng Sekar adalah untuk menyerap penggangguran dari anak-anak elit pribumi yang tidak tertampung dalam birokrasi kolonial dan mengisi kekurangan tenaga keamanan. Mereka diberi pelatihan militer, senjata, dan kuda. Mereka inilah yang menjadi cikal bakal dari satuan kepolisian di masa kolonial. Institusi keamanan kemudian digantikan dengan datasemen velpolitie atau polisi lapangan yang menempati markas di tenggara kota (Verslag BOW 1921-1924).

Peralihan Pusat Pemerintahan: Kota Banyumas- Kota Purwokerto

            Pada 1937, di masa pemerintahan Bupati Banyumas, K.P.A.A Gandasoebrata, Ibu Kota Banyumas beralih ke Purwokerto. Peralihan ini berasal dari kebangkrutan pabrik-pabrik gula; lesunya komiditi ekspor perkebunan; geografis Banyumas. Tentang tenggelam dan munculnya kota, saya teringat dengan cerpen Raudal Tanjung Banua “(Hidup) Matinya Sebuah Kota” (Jawa Pos, 15 Juli 2012). Dalam cerpen tersebut Raudal menceritakan bagaimana kota-kota itu memilki biografi, ciri fisik, dan wataknya sendiri. Pendek kata kota itu seperti makhluk hidup, dan karena itu bisa mati. Kiranya pasang-surut, hidup-matinya kota, terjadi sebab beberapa siklus. Penyebabnya beragam. Mulai tangan panjang kekuasaan bertangan panjang yang mencomot setiap jengkal, apakah bedanya? Habisnya sumber daya alam, berubahnya peta dan jalur utama sampai keroposnya kebijakan lokal, mungkin juga bencana yang membuat karam.  Tepat 1861 kota Banyumas nyaris ditelan air banjir sungai Serayu. Peristiwa ini galib dikenal hikayat “Blabur Banyumas”.

Konon, kedahsyatan banjir sekira 3,5 meter, dan melibas kawasan Kabupaten dan Pendopo Sipanji. Karena itulah ungkapan yang lazim dalam cerita rakyat “besuk bakal ana bethik mangan manggar” (ikan bethik makan bunga kelapa) Pencandraan banjir Banyumas diabadikan melalui lukisan Raden Saleh berjudul “Eene overstrooming op Java” (suatu banjir di Jawa).

(Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:A_Flood_on_Java)

Ekses banjir Banyumas dicatat oleh William Barrington D’Almeida (1861), dalam safari ke Banyumas, Kedu, dan sekitarnya. Konon, banjir berselang pada 21-23 Februari 1861. Dalam lukisan kita melihat: wedana yang meminta bantuan; anak laki-laki dengan sorot mata yang ketakutan; perempuan tua yang memeluk erat leher putranya, dan beberapa orang yang berusaha berenang menyelamatkan diri. Lukisan ini menjadi bukti kedahsayatan banjir sekaligus penanda bahwa Banyumas rawan banjir.

Ibu Kota Banyumas (Kota Banyumas) terpaksa dipindah ke Kota Purwokerto. Kata Purwokerto berasal dari “purwo” yang artinya wiwitan atau asal muasal, dan “kerto” yang artinya kemakmuran, jadi purwokerto: awal; mula kemakmuran. Peralihan ini menjadikan Kota Banyumas menjadi ibu kota kecamatan Banyumas, sedangkan Purwokerto menjadi ibu kota Kabupaten Banyumas sekaligus kota penyanggah (hinterland) bagi Banyumas dengan beberapa alasan sejarah: industri; tempat wisata; sarana transportasi; pabrik dan sebagainya. Kota Banyumas Kota tanpa terminal? Lihatlah bus-bus dari Jawa maupun luar Jawa selalu mencantumkan Purwokerto sebagai trayek utama. Orang rantau akan tahu Purwokerto ketimbang Banyumas. Oleh karenanya, Banyumas menjadi kota kedua yang dirujuk setelah menyebut nama kota “induk”. Tersebutlah Banyumas, ingatan pembaca melayang ke Purwokerto, kota mungil dengan deretan kampus-kampus, yang berlari menjadi kota pelajar. Kampus (swasta dan negeri) banyak bercokol; Lembaga kursus (swasta dan negeri) kian bersemai; ruko-ruko berdesak-desakan. Kota Purwokerto mencipta banyak jalan dan persimpangan. Jalan purwokerto: jalan kecil yang punya hasrat terlalu besar, semua bernafsu tumbuh di sisinya, tak kenal ruang, tak kenal waktu. Meminjam istilah J.J, Helsdingen (1928) : masalah jalan adalah masalah hidup matinya kota.

Begitulah, ada begitu banyak kota yang dulu jaya, kini surut, hilang gema. Kota-kota kecil di Banyumas muncul berebut tumbuh, sebut saja: Ajibarang; Sokaraja; Baturraden; Kota Lama Banyumas. Ajibarang tumbuh dengan jalan-jalan membujur lapang. Kota ini memilki sumber daya alam berupa sawah yang luas, perkebunan, dan tanah yang subur. Kota ini mulai dicaplok industri: pabrik semen.  Sokaraja tumbuh manis dengan industri pangan dan sandang. Kota ini juga pernah menyandang kota lukis. Baturraden, kota kecil yang permai, dikelilingi sawah bertingkat, air terjun dan bukit biru. Destinasi wisata tumbuh mekar menghias lanskap Gunung Slamet. Baturraden terasa sejuk meski kerap saya merasa panas sendiri, sebab saya ketahui diam-diam banyak perempuan tebal bergincu berkeliaran. Dan kota lama Banyumas tak hendak menyerah, susah payah menjaga apa yang pantas dijaga. Kota Banyumas menjadi kota kebudayaan. Kota tua dan murung tengah mencari ruh untuk mewartakan diri pada dunia tentang jejak peradaban manusia. Kota Lama Banyumas menjelma kota nostalgia dan utopia. Banyak event kebudayaan dan gedung-gedung sisa kolonial. Inilah hikayat kota lama yang berbagi peran dengan kota kecil yang menjadi penyanggah. Bagaimanapun peran kota lama Banyumas tidak akan terganti, sebab kota lama telah menjadi cerita, legenda, bahkan kenangan. “Kota-kota, seperti halnya mimpi, terjadi karena hasrat dan ketakutan,” kata toko Marco Polo kepada Kublai Khan dalam salah satu kisah ajaib Italo Calvino.

Kota Banyumas menjadi kota kebudayaan. Kota tua dan murung tengah mencari ruh untuk mewartakan diri pada dunia tentang jejak peradaban manusia. Kota Lama Banyumas menjelma kota nostalgia dan utopia. Banyak event kebudayaan dan gedung-gedung sisa kolonial. Inilah hikayat kota lama yang berbagi peran dengan kota kecil yang menjadi penyanggah.

Saya tinggal di Purwokerto, di kota kecil ini semua jalan beraspal, jumlahnya terus bertambah, seperti labirin. Terbaru, terdapat simpangan di jalan kota: Jalan Bung Karno. Simpangan jalan memiliki porsfektif untuk berkembang deretan gedung-gedung, menara, restaurant, tempat publik. Kemudian sawah-sawah diratakan dan ditanam beton dan cor, lalu mencipta gudang kebutuhan dan pusat konsumsi. Saya merasa beruntung tinggal di Purwokerto. Tapi kadang ngelangut sedih teringat banyak area persawahan banyak tercaplok pembangunan.

Jalan Bung Karno dilihat dari Menara Teratai. Sumber: (suara merdeka banyumas.com)

Alun-Alun Purwokerto dan sebuah Mall yang berhadapan. Sumber: (suara merdeka banyumas.com)

Tata bangunan (arsitektur) kota purwokerto cukup indah. Dulu, alun-alun purwokerto terdapat dua beringin kurung yang akarnya terjela-jela. Ada jalan tengah yang membelah alun-alun menjadi: sisi timur dan sisi barat. Kini apa yang tinggal? Pohon beringin kurung sudah ditebang; pondasi alun-alun ditinggikan; jalan tengah alun-alun dihilangkan; dan sebuah mall yang menghadap alun-alun. Bangunan Mall ini, meminjam selarik puisi Chairil Anwar, ia seolah “iseng sendiri”. Kemegahan dan gemerlapnya menandingi gegap gempitanya suasana alun-alun.  Pembaruan, seperti biasa. Tapi terutama di zaman kiwari ini, Menyitir Goenawan Mohammad, kaum nouveaux riches (Orang Kaya Baru) telah mengambil alih arsitektur kota. Mereka yang baru saja memperoleh kekayaan; kekuasaan; dan kesempatan, telah merombak apa yang bagi mereka tak memikat lagi. Dan bila keindahan yang mereka coba utarakan itu tidak ada sangkut pautnya dengan keindahan lama, apa mau dikata?

Kota Purwokerto dan berbagai kota di Indonesia mengalami revolusi. Yakni perubahan-perubahan golongan yang berkuasa; ledakan penduduk; uang. Semuanya menghasilkan penjungkirbalikan. Alun-alun sekrang terasa ruang terbuka: sosial dan ekonomi. Sedangkan dulu, ketika saya kecil, alun-alun terasa akan makna spiritual, filosofis, politis, historis dan budaya. Dalam buku “Banyumas: fiksi & fakta sebuah kota” (2013) karya: Abdul Aziz Rasjid; Arif Hidayat; dan Teguh Trianton, kumpulan esai tentang Banyumas: sebagai kota kecil yang cukup unik dan sebagai subkultur Jawa, maka kontestasi penataan alun-alun Purwokerto ditengari sebagai lunturnya karakter wong Banyumas: Bawor. Ikonisitas Bawor mengejawantahkan : Cablaka (transparan); jujur, nrima ing pandum (apa adanya).

Makam Dawuhan : Kisah dan Hikmah

Kembali ke Banyumas,tidak jauh dari Kota Banyumas, di bukit kecil Desa Dawuhan, Kecamatan Banyumas, terdapat kumpulan makam tokoh elit Banyumas (Bupati dan Pejabat Banyumas). Kompleks ini semacam makam Imogiri. Bangunan makam tergolong terawat, mesti tetap rawan dengan pengikisan: iklim. Apa sebenarnya yang harus dipertahankan pada Makam Dawuhan Banyumas? Mungkin kenang-kenangan, sesuatu yang rupanya begitu penting. Manusia adalah makhluk khusus: ia mengingat-ingat. Dihadapannya, kematian menjadi sebuah paradoks: ajal berarti jalan ke keabadian, tapi sekaligus juga ancaman akan ambruknya kenangan. Sementara itu, kita tak mau lupa. Sebab itulah sejarah ditulis.

Foto penulis di Makam Dawuhan. Tepat di belakang Makam Raden Djaka Kahiman, Bupati Pertama Banyumas. Sumber: (Dokumentasi Pribadi)

Apa, misalnya, yang kita ketahui tentang riwayat Makam Dawuhan dan para elit Banyumas? Kita tak tahu apakah rakyat hidup sejahtera di tengah tren zaman dahulu yang feodal. Kita tak tahu bagaimana sehari-hari mereka hidup dan berpikir, bagaimana mereka bebas atau ditindas. Penulis sejarah sebagaimana para wartawan cenderung lebih memilih kejadian yang dramatis dan manusia yang tidak biasa. Pembaca sejarah, umumnya sebagaimana pembaca surat kabar memang lebih menyukai hal seperti itu. Perang dan kejatuhan; kekejaman dan perselisihan; kebejatan dan kesalahan. Lantas orang berkata bahwa dengan mudah sejarah akan bercampur baur dengan dongeng, dan tokoh menjadi mitos. Napoleon bahkan menganggap sejarah hanya sebuah fabel yang disepakati bersama.

Komplek makam bersuasana sepi dan wingit: kita dapat bertanya kepada kasepuhan dan juru kunci tentangnya. Bukan semacam makam yang keramat lagi sakral ; : “Sssst,” peziarah jangan keras-keras bicara. Dan semua diam. Oleh karenanya, jika kita ingin tergetar oleh kisah hidup para tokoh elit banyumas, kita mesti banyak membaca naskah babad; dan tak ketinggalan penuturan dari kasepuhan, kita tak sepatutnya membuat ceritanya berhenti. Jangan nobatkan mereka jadi orang keramat. Orang terkadang ingin menghentikannya tanpa tahu apa yang dilakukannya: orang tak sadar bahwa tokoh mati untuk kedua kalinya dan tak akan hidup lagi ketika ia jadi orang keramat.

Demikianlah asumsi ataukah pretensi saya yang merasa memiliki kota ini (Banyumas dan Purwokerto) karena menjadi bagian komplet dari biografi diri dan keluarga. Tulisan ini semacam sengatan agar pembaca sadar terhadap kota sebagai ruang hidup dan imajinatif. Pengisahan sejarah kota semacam ini memeberi kemungkinan penyelamatan biografi kota ketika tak tergarap dalam studi sejarah, sosiologi, politik, arsitektur atau ekonomi. Setiap tahun Banyumas berulang tahun, tepat di tanggal 22 Februari. Perayaan dihelat dengan meriah dan suka cita. Tapi sejauh mana kita (warga Banyumas) memaknai perayaan tersebut? Saya memaknai dengan beropini. Sebab saya tak ingin disiksa dengan kenangan. Persis yang diucapkan Montaigne:  “Orang tersiksa oleh opini mereka tentang hal ikhwal, bukan hal-ikhwal itu sendiri”.

0
601
Buku Langgar

Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru – Sebuah Pengantar

Izinkan pada awal tulisan ini, saya membuat disclaimer bahwa seluruh isi tulisan pengantar ini, anggap saja sejenis sendau-gurau juga sebuah racauan. Dan oleh karena itu, para pembaca tak perlu menganggapnya terlalu serius, apalagi membatinkannya dalam sebuah permenungan yang menyendiri.

Karena hal ini berkait dengan seorang sosok dan juga terkait sebuah ajaran yang begitu luhur, wingit, serta lungid, yakni sosok bernama Ki Ageng Suryomentaram dengan ajaran “Kawruh Jiwa”-nya, dimana dari sejak dini pada saripati-inti ajaran tokoh ini sendiri, mewanti-wanti para pembacanya untuk tak menjadikannya sebagai semata ‘diskursus’: bahan permenungan, alih-alih intellectual exercise yang tanpa ujung. Ia, Ki Ageng Suryomentaram, semata menyodorkan aksioma-aksioma [baca: sebuah ajakan] sebagai pelecut yang bisa membantu seseorang untuk segera masuk mengenali dan mengawasi realitas kediriannya sendiri. Tak lebih dari itu.

Karena, jika anda telah menyambut ajakannya ini, hati-hati, bukan saja Anda akan tergetar dan terkesima menyaksikan realitas diri Anda sendiri yang begitu mengagumkan, namun Anda juga akan mengalami transformasi diri yang tanpa terkatakan [tan kena kinira ngapa], yakni sebuah perubahan diri yang tidak memiliki capaian presedennya sebelumnya. Bagi Anda yang belum siap membaca tulisan ini, awas, urat Anda bisa putus.

****

Lepas dari kaidah “Kawruh Jiwa” [baca: ajaran Ki Ageng] yang akan segera diuraikan secara melimpah dalam buku ini, saya akan menyingggung sedikit terkait pijkan dasar spiritualitas [dasar bentangan ilmu ruhani], yang sayangnya bahkan sering dibaikan oleh para pelajar Kawruh Jiwa sendiri [baca: para pengikut Ki Ageng], yakni terutama persis seperti telah dijelaskan dalam dokumen surat-surat “pra-Kawruh Jiwanya” Ki Ageng yang berjudul “Buku Langgar 1920-1928” [belum diterbitkan].

Dengan menyinggung ulang dokumen awal tulisan Ki Ageng Suryomentaram ini, bukan saja kita bisa memblejeti dasar-pijakan spiritual macam apa yang membuat Ki Ageng bisa merumuskan Kawruh Jiwa-nya, melainkan juga kita bisa merunut cadangan kultural macam apa yang memungkinkan sosok agung ini muncul dan hadir, sekaligus bagaimana prasyarat cadangan-cadangan tersebut memungkinkan ajaran Kawruh Jiwa-nya bisa melampaui kelemahan ajaran spiritual-ruhani sebelumnya, serta pada saat bersamaan, juga sekaligus bisa menemukan signifikansi orisionalitas gagasannya sendiri.

Saking wingit dan sakralnya, Ki Ageng Suryomentaram berusaha memeras pijakan kawruhnya [rumusan pengetahuannya] dalam Buku Langgar—sebagaimana tertera dalam salah satu tulisan ‘surat’-nya yang berjudul “Pedagogie”—dengan rumusan yang agak berani sekaligus simbolik. Ia mengatakan bahwa basis pijakan pengetahuan yang ia rumuskan, adalah semata merupakan “pijakan atau bekal manusia untuk menjalankan unsur-unsur kedewataan dalam dirinya” [sanguning manungsa supados anetepi Kadewatanipun].

Rumusan ini berangkaat dari asumsi sederhana bahwa di dalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling berperang yakni,

[1] unsur ke-buto-an atau sifat raksasa [atau katakanlah unsur kehewanan dalam diri, diri kecil, dan nafsu], sedangkan yang kedua,

[2] unsur ke-dewa-an atau unsur ‘ketuhanan’ atau ‘kemalaikatan’ di dalam diri terdalam manusia. Ini adalah unsur fitrah jiwa terdalam manusia, hati nurani [pancaran cahaya Tuhan yang bersemayam dalam diri: Nur Muhammad].

Nah ilmu mengenali diri atau sering disebut ilmu ‘mawas diri’ ini sejatinya —sebagai langkah mendasar sekaligus puncak untuk mengenali hakikat kenyataan dan hidup ini—adalah ilmu untuk mengenali hakikat sejati terdalam dari diri, plus usaha mengeluarkan, merealisasikan, dan menegakkan pancaran unsur kedewataan yang bersemayam dalam diri manusia itu sendiri [baca: ilmu ruhani, khalifatullah}.

Kendaraan atau wahana untuk mencapai derajat pengenalan diri ini [plus realisasinya] oleh Ki Ageng dinamai dengan apa yang diistilahkannya sebagai Sih atau rasa welas asih atau cinta. Yakni sebuah daya yang sebenarnya berasal atau masih berada dalam area kuasa yang memancar dari Kraton Surga [inggih punika Sih ingkang kabawani Kraton Swarga]. Alias, sebuah daya untuk menundukkan dan ‘menguasai bumi seisinya’ [smarabumi]. Meminjam kalimat Suryomentaram sendiri,

“Apakah kalian sudah tahu, jika pada alam semesta-keseluruhan ini tidak ada daya yang bisa mengunguli ketinggian daya dibanding rasa cinta-sejati?”

[Punapa sampeyan sampun mangertos yen ing jagad sawegung punika mboten wonten daya ingkang nglangkungi luhuripun katimbang raos sih sejati?]

Karena, menurutnya, pada dasarnya kebutuhan manusia di dunia ini selain makan tak lain hanya rasa cinta. Berjuta-juta orang dengan susah payah mencari harta benda [semat], kehormatan-pangkat [drajat] dan kuasa-jabatan [pangkat] agar dikasihi dan mendapat cinta dari yang lain. Namun ternyata apa yang didapatinya justru sebaliknya: perselisihan, iri-hati, sombong, rasa benci atas jalan hidupnya sendiri, juga rasa benci terhadap orang lain karena tidak mencintai dan mengasihinya. Model pencarian kebahagian yang seperti inilah yang akan mengantarkannya kepada ‘neraka kesengsaraan’.   

Sungguh ini dikarenakan ketidakmengertian akan hakikat gerakan hidup, alias ketiadaan pengetahuan dan ilmu, dimana gerakan kodrati hidup tadi dipaksa tunduk pada keinginan dan kehendak sewenang pribadinya sendiri [kehendak-nafsu]; tanpa ilmu nyata. Oleh karenanya Ki Ageng menyarankan, untuk sampai kepada pengetahuan terkait hakikat hidup [meruhi dat-ing dumadi: Ilmu hakikat], seseorang harus mengambil jalan lurus siratalmustaqim bernama pengetahuan “mengenali dirinya sendiri” [ilmu ma’rifat], karena sumber segala kesengsaraan kita adalah ketidakmengertian akan realitas diri ini.

Dalam bahasa pasemon pewayangan, apa yang ingin dikerjakan oleh Ki Ageng Suryomentaram adalah mengajarkan ilmu kedewataan [baca: ilmu ruhani] supaya tergelar di alam dunia mayapada ini, alias alam semesta dunia ini. Atau dalam bahasa yang lebih simbolis, ia mendapat mandat dari Bathara Guru, yakni melalui penasehatnya Bathara Narada, penguasa kayangan Dewata, untuk mendirikan Univeritas Kagungan Dalem Bathara Guru, yakni sebuah universitas yang akan mengajarkan ilmu kedewataan atau ilmu ruhani, supaya tegak dan berdiri di alam mayapada dunia ini [angadekaken unipersitit kaagungan dalem jumeneng wonten ngarcapada].

Sebuah ilmu yang menuntun para mahasiswanya untuk mengenali realitas hakikat kediriannya sendiri [baca: man arafa nafsahu] yang belakangan akan dinamai oleh Ki Ageng Suryomentaram sendiri dengan nama “mawas diri” atau “pangawikan pribadi” [alias ilmu tentang mengawasi dan mengenali diri sendiri]. Siapa yang telah mengenali diri sejatinya akan sampai kepada unsur atau pancaran hakikat kedewataan yang bersemayam dalam diri ini [jumeneng pribadi]. Di belakang hari, penamaan ilmu ini berganti lagi menjadi bernama “Kawruh Jiwa” untuk mengeliminasi konotasi dan jebakan mistifikasinya.

Dalam konteks ini pula, perlu kita dicatat bahwa usaha Ki Ageng Suryomentaram menelurkan “Kawruh Jiwa” ini oleh karenanya juga harus dibaca dalam rentang rangkaian tradisi keilmuan ruhani sebelumnya [baca: surat wiridan], yakni sebagai sebentuk cadangan kultural ke-Jawa-an yang memungkinkan sosok ini menelurkan gagasan orisionalnya, yang secara bersamaan juga telah terolah secara matang bahkan melampaui tradisi spiritual sebelumnya sekaligus. Dalam hal ini, Ki Ageng Suryomentaram bisa juga kita anggap merupakan rantai kristalisasi puncak dari bentang rangkaian ajaran keruhanian Jawa sebelumnya tersebut.

Dan hanya di tangannya sematalah, yakni melalui metode rasional-objektifnya, ia bisa menepis aspek mistifikasi ajaran keruhanian maupun spiritualitas lama yang pekat dengan jebakan irrasionalitas dan normativitas sendiri yang melenakan. Pada Kawruh Jiwa-lah ajaran keruhanian lama mencapai kematangan rasional objektifnya, sebut saja begitu, sehingga bisa menjadi suguhan makanan ruhani [pengetahuan obyektif, alih-alih normatif] yang dapat diambil oleh siapapun tanpa membedakan baju tempelan identitas suku, kelompok, agama, maupun kebangsaan apapun. Alias telah menjangkau aspek universalitasnya bagi kemanusiaan seluruhnya.

Namun begitu, ajaran yang ditelurkannnya, sekali lagi tak boleh dilupa, masih merupakan rangkaian benang yang sama dari ajaran spiritual-ruhaniyah kemanusiaan sebelumnya [Jawa-Islam]. Dalam jalur pengatahuan “mawas diri” atau “pangawikan pribadi”-nya misalnya [baca: ilmu pengenalan akan dirinya sendiri], tema ini hampir ditemukan merata dalam tradisi spiritual-ruhani sebelumnya.

Bahkan dalam ulasan yang lebih eksplisit serta padat pada ajaran Bangkokan Kawruh Jiwa-nya bernama “Buku Langgar”, Ki Ageng sendiri dengan sadar berusaha menilik ulang dan me-review saripati ajaran-ajaran tradisi sebelumnya ini, yakni dimulai dari ajaran sejak zaman akhir Prabu Brawijaya, zaman Demak akhir, masa Sultan Agung beserta Sastra Gendhing-nya, masa Mataram Akhir, Kartasura Akhir, serta pada zaman Giyanti, hingga zaman Penjajahan Belanda pada masa ia hidup. Ia menunjukkan kelebihan ajaran-ajaran yang terselenggara pada setiap masa-masa tersebut, plus menunjukkan jebakan-jebakannya.

Bahkan tokoh agung ini juga mengulas secara terpisah saripati ajaran pada masa “Sekolahan Gaib Zaman Islam” [jaman kuwalen: zaman para wali], yang sering dikenal sebagai masa dimana para wali tanah Jawi menyebarkan ajaran ruhaninya, yang relatif ia beri porsi ulasan yang cukup padat, untuk sekali lagi menimbang kelebihan serta potensi jebakannya. Tak hanya itu, ia juga membandingkan dengan tradisi ajaran Budhisme, serta memberi tambahan ulasan kritik terkait kecenderungan kultifikasi benda-benda gaib [kultus benda] seperti dilakukan oleh para pelaku dan penganut Theosofi, yang memang pada saat itu, awal abad 20, mulai menyebar di tanah jajahan Hindia Belanda.

Hal ini, bagi saya, bukan sesuatu yang mencengangkan. Karena, dalam dokumen Primbon 9 jilid yang dikeluarkan Keraton Surakarta, bernama “Kitab Primbon seri-Adam Makna” yang telah banyak beredar, dimana dikatakan pada pengantar pendahuluannya, bahwa Ki Ageng Suryomentaram merupakan cucu dari seseroang pangeran pemilik berjubel-jubel kitab dan manuskrip kuno tinggalan warisan kesusateran Kraton Jawa Mataram Islam: Pangeran Harjo Tjakraningrat. Dan Suryomentaram, konon mendapat limpahan kepustakaan ini dari kakeknya tersebut. Juga dari koleksi manuskrip milik kakeknya ini pulalah, 9 jilid Kitab Primbon yang telah disebut, akhirnya bisa diterbitkan dalam edisi latin dan tersebar di kalangan masyarakat.

Signifikansi informasi barusan sebenarnya hanya ingin meletakkan kesadaraan terkait satu hal: Ki Ageng Suryomentaram bukan hidup dalam ruang vakum dalam menelurkan gagasan-gagasannya. Plus hal ini terkait ide mendasar, bahwa Ki Ageng benar-benar berinteraksi dengan gagasan dan ajaran ruhani zamannya.

Bahkan, dalam riwayat hidupnya, ia pernah terseret secara kuat dalam laku “lelana-brata” [baca: santri lelana], dalam pengelanaan ruhani dan tirakat ke makam dan petilasan-petilasan keramat di banyak tempat pada masanya [gua langse, dll]. Juga terkait keputusannya ‘keluar’ [melarikan diri] dari kenyamanan keraton dalam lelaku asketiknya: seperti menjadi penggali sumur, kuli angkut koper, berdagang kain keliling di daerah Banyumas, menanggalkan gelar resmi kepangeranannya, mendesak pemerintah kolonial untuk menuruti permintaan berhajinya ke Makkah, menyerahkan sebagian besar harta bendanya kepada pelayannya, hingga menjadi petani biasa sampai umur tuanya di Desa Bringin, Salatiga. Laku-laku inilah, latar penting yang memungkinkan sosok ini melahirkan gagasan-gagasan ‘orisionil’ Kawruh Jiwanya di belakang hari.

Dari cadangan kultural kejawaan inilah yang mumungkinkan sosok Ki Ageng bisa menyandingkan dan menukil secara enak pengetahuan-pengetahuan lama-lama tersebut. Juga dalam konteks ilmu pengenalan diri sendiri, Ki Ageng dengan enak bisa memeras dan mengambil saripati ajaran-ajaran lama Jawa-Islam dengan pengetahuan pangawikan pribadi-nya sendiri, yakni dengan cara mengeluarkan signifikansi mistis makna selubung ‘rahasia’ tokoh semacam Siti Jenar dengan kisah cacingnya, maupun Kanjeng Kyai Kopek sang sosok macan-nya Sultan Agung, maupun signifikansi mistik-simbolis jembatan kayu melintang [wot galinggang] yang dipakai Sunan Kalijaga saat bertapa di Pulau Upih.

Semua simbol ini mengacu pada perjalanan atau dalam bahasa lamanya disebut ‘lelaku’ ruhani dalam rangka mengenali dan menemui diri sejatinya sendiri. Persis seperti perjalanan ruhani sosok Bima dalam pewayangan dalam usahanya menemui ‘dirinya sendiri’ dalam wujud sosok kecilnya [baca: Dewa Ruci]. Sebuah perjalanan ruhani untuk menemui Diri-nya sendiri atau sering disebut ‘suluk’ [dimana istilah tasawuf ini telah diserap dalam bahasa Jawa untuk menamai genre tembang alit macapat dalam tradisi Jawa—baca kesusateraan Suluk].

Dan dalam galur bentangan keilmuan ruhani inilah Kawruh Jiwa ini harus ditempatkan sebagai masih dalam rangkaian kontinum keilmuan lama untuk mengenali jiwa terdalam diri manusia [baca: mulat sarira]. Yakni tentu dengan kebaruan sodoran metodologi obyektifnya, alias alih-alih normatif dan mistis seperti tradisi ruhani sebelumnya, dan oleh karenanya, Kawruh Jiwa dengan begitu bisa dikatakan merupakan pematangan gagasan-gagasan objektif dari tradisi ilmu ruhani sebelumnya.

Hal ini sekaligus memberi arti dan signifikansi baru kenapa Ki Ageng lebih memilih kata ‘kawruh’ yang lebih berkononotasi obyektif-empiris, daripada kata ‘ngilmu’ yang lebih berkonotasi mistik dan normatif misalnya. Alias secara ringkas ia berhasil menelurkan prinsip-prinsip objektif keilmuan, dengan maksud memperluas pengandaian cakupan universalitasnya, terkait perangkat pengetahuan akan pengenalan realitas diri yang bisa membantu manusia Jawa juga Indonesia atau bahkan dunia secara luas, dengan sodoran metode barunya.

Juga penting ditilik, bahkan sejak pertalian erat juga relasi persaudaranya dengan Ki Hajar Dewantara, yakni jauh sebelum pertemuan rutin “Selasa Kliwon” pada tahun-tahun yang mendahului dalam menelurkan pendirian Taman Siswa dimana ia terlibat, Ki Ageng Suryomentaram telah berinteraksi secara intens dengan gagasan-gagasan filsafat Barat zamannya. Dalam sebuah suratnya ia menyinggung hal ini secara implisit:

Aku kelingan dek Paman Ajar isih sekolah. Sok Bengkat barang, mungsuhe Nabi Kilir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kali. Nek Lud-ludan Pei karo Batara Narada lan Sidarta Kapilawastu. Jing Ngloco Pitagoras utawa Plato. Nek Bas-basan janji karo Prabu Brawijaya, betah sawengi. Nek mul-mulan adate mungsuhe Laose dibut loro karo Konghuchu. Jing tukang mungsuhake Aristoteles karo Kant.”

Artinya,

“Aku masih ingat saat paman Ajar [Ki Hajar Dewantara; pen.] masih sekolah, kadang bermain pedang-pedangan juga. Musuhnya Nabi Khidir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau bermain kartu bersama Bathara Narada dan Sidarta Kapilawastu. Yang mengocok Pitagoras dan Plato. Jika bermain bas-basan, janjian sama Prabu Brawijaya. Tahan semalaman. Kalau bermain gulat biasanya musuhnya Laotse, dikeroyok bareng Konfusius. Yang menjadi tukang adunya Aristoteles bersama Immanuel Kant.”

Kutipan di atas ingin menyodorkan keterangan implisit, bahwa Ki Ageng bukan saja tidak mengisolasi diri dari gagasan-gagasan besar dunia zamannya—seperti dugaan banyak orang—dan malah ia sebenarnya berada tepat pada pusaran aliraan deras gagasan-gagasan besar zamannya tersebut, namun ia memilih tak larut dan melarutkan diri. Bahkan ia malah membentuk pusarannya sendiri. Karena seturut perkataannya sendiri, jika hanya terseret arus dalam relasi perhubungan yang semakin meningkat antar-bangsa, bangsa yang tidak dapat memberi sumbangan gagasannya kepada dunia [alias cuma mengunyah teori dari luar] akan sirna tanpa guna [dene bangsa ingkan mboten saged urun bade sirna].

***

Buku Trilogi Ki Ageng Suryomentaram yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini adalah rangkaian panjang lelaku sang penulis dalam menyajikan suguhan makanan ruhani “Kawruh Jiwa”-nya Ki Ageng Suryomentaram, agar dapat dicicipi siapapun dalam merasakan buah penerapan Kawruh Jiwanya Ki Ageng. Konon Muhaji Fikriono katanya dalam usaha menuliskan karyanya ini perlu menunggu umur kematangan ruhani di usia 50. Juga, Trilogi buku ini juga semacam elaborasi terkait cadangan kultural ilmu ruhani ke-Jawa-an, seperti yang telah disebut, yang membentuk dan memungkinkan Ki Ageng Suryomentaram menelurkan Kawruh Jiwanya yang begitu orisinil, namun juga masih merupakan jejak bentangan benang tradisi keilmuan ruhani yang berturutan sebelumnya.

Pembacaan rentang tradisi pengetahuan ruhani kejawaan ini sangat diperlukan bukan semata untuk mendudukkan latar kultural yang memungkinkan sosok agung Suryomentaram lahir, namun juga dalam bahasa tokoh ini sendiri, agar bangsa Jawa pada khususnya, mampu, tentu dengan cadangan-cadangan kulturalnya yang kaya tersebut, untuk merumuskan tata-sosial baru yang lebih mulia [saged tata bebrayan enggal ingkang langkung mulyo].

Karena, bagaimanapun, usaha menyelenggarakan keilmuan ruhani dari mandat kayangan Dewata, punya kendala dan rintangannya sendiri, meski tradisi keilmuan ruhani ini merupakan warisan kaya yang dimiliki bangsa Jawa juga Indonesia secara umum. Namun begitu, bangunan Universitas Keilmuan Diri-Ruhani di masa yang lama, menurut Ki Ageng, atapnya sudah banyak yang retak, patah, dan rompal di sana-sini [unipersitit kina ingkang pager-payonipun sampun sami popol].

Banyak para maha-guru dan professornya yang ikut merawat dan menjaga universitas ruhani tersebut telah banyak yang terserang oleh ‘cacing kebencian’ [kremi gething], serta banyak papan dan dinding kayu universitasnya telah tergerogoti oleh rayap ‘merasa unggul sendiri’, serta telah dihinggapi kesombongan dan rasa jumawa [ama pambegan], sehingga urgensi pendirian universitas pengetahuan diri yang baru [baca: Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru] perlu disegerakan. Dan dalam latar seperti itulah Ki Ageng Suryomentaram hadir.

Karena, penghalang terbesar untuk mengenali kenyataan diri—yang akan membawa pada keadaan bahagia bersama [baca: zaman windukencana]—adalah sebuah rasa “merasa lebih dari yang lain”, rasa sombong, rasa ‘lebih unggul dari yang lain’, juga rasa iri. Rasa-rasa ini muncul dikarenakan sebagai penanda akan betapa tidak tahunya dia akan kenyataan dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Dan melihat diri melalui ‘pangawikan pribadi’-nya Ki Ageng berguna untuk membedol rasa-rasa ini sampai kepada akar-akarnya, yang akan mengantarkan seseorang masuk kepada surga ‘rasa-tentram’ dan kedamaian. Karena tercapainya rasa tentram diri ini pulalah yang membuatnya akan bisa menyaksikan dan rajin mengawasi rasanya orang lain, sehingga menemukan cermin ‘rasa yang sama’ terhadap yang lain.

Juga dari jalur pengenalan diri inilah, orang mulai bisa mendeteksi asal sumber kesengsaraan manusia, alias rasa tak pernah cukup dari keinginannya [karep/karsa]. Dikarenakan sifat keinginan ini memang memiliki kondisi kekukarangan, celaka, dan sengsara terus-menerus [dat-ing karep punika cilaka]. Setiap kali melihat orang miskin, orang kaya, orang rendahan, orang berpangkat, orang pandai, orang bodoh, seseorang bisa merasakan kesengsaraan yang sama yang diderita mereka, karena telah menyatu dengan keinginan yang membuatnya memasuki kondisi rasa kekurangan tanpa ujung.

Dalam penglihatan diri ini, ia mulai bisa menyaksikan bahwa terpenuhinya keinginaan tidak akan membuat orang bahagia, karena segera akan mengingini sesuatu yang lebih, tak puas [baca: mulur]. Dan memang begitulah keinginan. Namun, dari jalur ini pula, seseorang akan mulai bisa memilah antara “Aku” sebagai pengawas-keinginan dengan keinginan dan rasa-rasa yang ditimbulkannya sebagai objek awasannya. Aku yang mengawasi keinginan, ternyata mandiri dan terbebas dari kesengsaraan yang dimunculkannya [aku dudu karep].

Akhirnya sang-Aku bisa mengawasi keinginan [karep] se-enaaknya [tanpa perlu mengubahnya], alias tidak khawatir lagi, karena terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan tersebut, tidak akan menyebabkan kebahagian seterusnya maupun kesusasahan seterusnya: senang sebentar, lalu susah lagi [karena keinginannya mengembang; mulur], atau jika tidak terpenuhi susah, lalu senang kembali [karena keinginannya mengempis: mungkret].  

Kesadaran sang-Aku pengawas [Diri besar] yang tak lagi terbelit dengan gerakan keinginaan subyektifnya akhinya muncul ke permukaan. Ia sekarang bisa mengawasi keinginannya sendiri, yang secara alami memang memiliki sifat “sewenang-wenang” serta “tak mau bersusah payah” dalam pemenuhannya [alias tak bisa diubah], yang ini jelas melawan prinsip alamiah kenyataan hidup itu sendiri.

Ketika, sang rasa “Aku” telah muncul ke permukaan [sampun medal saking korining pikiran] ia bisa merasakan rasa tentram yang tanpa kira, yakni sejenis rasa damai yang bukan dikarenakan terpenuhinya keinginan, melainkan rasa Aku yang telah terbebas, dan telah bisa menerima sifat kinginaan yang ‘maha lucu’ itu [tanpa perlu lagi mengubahnya], yang pada dasarnya tidak bisa lagi membuat Aku sengsara [karena aku hanya mengawasi].

Pada saat inilah akan muncul rasa tangguh [raos tatag], serta telah bisa menerima keadaan dan kejadian yang telah terjadi di masa lalu [musnahnya rasa sesal—getun], serta telah siap menghadapi apa yang akan berlangsung di masa mendatang [rasa khawatir hilang—sumelang], karena baik terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan, tidak akan membuat kebahagiaan yang bersifat terus-menerus [dalam arti rasa senang terus-terusan] maupun kesengsaraan yang terus-menerus [sedih yang terus-terusan]: karena rasa senang dan susah ini pada dasarnya terus-menerus bergantian seiring gerakan keinginan yang bersifat mengembang-mengempis [mulur-mungkret].

Kondisi inilah yang akan mengantarkan kita pada terpilahnya watak-watak kehewanan atau ke-buto-an yang telah berpisah dengan watak kedewataannya [andadosaken sigaring pilahipun wateg-wateg kahewanan lan wateg-wateg kadewatan].

Seseorang akhirnya berdiri tegak dalam berpengetahuan sebagai pribadi [baca: madeg pribadi kawruh] dalam mengawasi kenyataan. Pengetahuan dan proses mengetahuinya tidak lagi digunakan semata sebagai perabot yang tunduk pada pemenuhan keinginannya [penilaian subyektifnya], yang sayangnya jika dibiarkan bisa menyuburkan pengetahuan “kata-katanya” [katanya kitab, katanya buku, katanya teori, katanya orang, dll] maupun pengetahuan “pantas-pantasnya’, alias pengetahuan berdasar kebiasaan dari yang apa dinyakininya [gugon-tuhon], melainkan telah bergerak kepada pengetahuan yang sudah terlepas dari unsur subyektivitas keinginan dan kehendaknya, alias Kawruh Nyata [Ilmu Nyata]. Yakni sejenis ilmu pengetahuan yang telah dimengerti, diketahui, dan dirasakannya sendiri berdasar prinsip obyektif kenyataan hidup yang telah teralami [baca: kasunyatan, hakikat, kahanan jati].

Dalam amsal pewayangan, orang yang telah menegakkan sang Aku ini akan manunggal dengan Batara Wisnu [tetep sarira Bethara Wisnu], memakai mahkota “merasa benar sendiri” [ngrasuk makutha rumaos leres], alias sudah mengerti, mengetahui, dan merasakan sendiri, karena telah duduk di singgasana Kawruh Nyata atau Ilmu Nyata [lenggah ing dampar kawruh nyata], serta kemudian menjadi sang Aku yang maha serba tahu [semuanya kuketahui, bahkan termasuk yang tidak kuketahuipun, aku tahu].

Namun setiap kali sang Aku melihat yang lain, ia ternyata melihat orang lain seperti bayangannya sendiri yang juga “merasa benar sendiri’ [tiap orang pasti begitu], meskipun dasar penyangga pengetahuan “merasa benar sendiri”-nya tersebut adalah pengetahuan yang “kata-katanya” [jare-jare] atau “menurut ini-menurut itu” [biridan], maupun “pengetahuan pantas-pantasnya berdasar semata kebiasaan yang dinyakininya” [gugon tuhon].

Ia melihat orang lain juga ‘merasa benar sendiri’ meskipun belepotan di sana-sini. Padahal, siapapun yang bersikeras memaksa orang lain untuk supaya “merasa keliru” tanpa didampingi suguhan sajen Dewi Sinta bernama ‘rasa welas asih’ yang sempurna, tentu pasti akan kwalat” [pramila tiyang ingkang ngogek-ngogek dating tiyang sanes, ingkang supados rumaos klentu mboten mawi Dewi Sinta, Sih ingkang sampurna, tamtu kwalat].

Rasa Aku-mengawasi yang telah muncul dalam diri seseorang inilah yang dikatakan oleh “Kawruh Jiwa” bisa menjadi pandu dalam mengawasi dan menimang gerak naik-turunnya rasa-rasa beragam dalam hati yang terus berseliweran, plus untuk membedol dan mencabuti rasa-rasa ruwet yang telah berurat akar di dalamnya. Rasa tentram akhirnya akan bersemayam, karena telah bisa menerima dan mengawasi rasa-rasa yang berwarna tadi, yang memang berlangsung seturut hukum kejadian dan sifat keinginan.

Jika rasa tentram ini semakin bertambah dan mengakar dalam diri, ia bisa berdiri sebagai pribadi [jumeneng pribadi], alias tidak membutuhkan ‘rasa-welas-asih’ dari orang lain, karena dalam hatinya telah berlimpah dan kelebihan rasa cinta [sugih sih-kaya cinta], yakni sebagai hasil buah tanaman pengetahuan yang tumbuh dari pengenalan kenyataan dirinya sendiri. Jika buah ini telah matang, ia bahkan bisa membagikannya sebagai suguhan makanan bagi setiap makhluk di bumi untuk memetiknya.

Sang Maha-Kaya-“Cinta” ini [orang yang telah berkecukupan cinta, karena saking melimpahnya di dalam hatinya] kemudian juga bisa mulai bertani, menanamkan benih pengetahuan [kawruh] ke dalam hati orang lain dengan cara membajaknya dengan simpati, melembutkan tanah pertaniannya dengan alat garu bernama sabar, dan menyiangi gulmanya dengan rasa welas-asih.

Sabar dikarenakan berasal dari terang penglihatannya, bahwa menanam padi pasti akan menumbuhkan padi. Sedangkan simpati adalah penglihatan jiwanya dalam memandang orang lain, tidak ada lagi sekat-pemisah yang tidak mungkin bisa ditembus oleh kekuatan simpati. Jika anak panah simpati telah dilepaskan, semua yang berkerlipan akan termurnikan; sebuah senjata prabu Niwatakawaca dalam pewayangan, dimana saat sang Arjuna telah bisa mengalahkan sosok ini, ia disebut “lelananing jagad’ [sang pria sejatinya jagad raya].

Mungkin dalam rangka menjelaskan ajaran mulya pengenalan diri-ruhani inilah, penulis buku Trilogi Suryomentaram ini: Muhaji fikriono, bertungkus-lumus menuliskannya dalam tiga jilid tebal yang serba melingkupi sehingga memudahkan para pembaca. Dan, seperti sering dikatakan penulis buku ini kepada saya, bahwa ‘sudah saatnya’ ajaran ini perlu diwedar dan dijelentrehkan tanpa harus ditutup-tutupi lagi karena kekhawatiran akan efek getarnya bagi tradisi pengetahuan normatif ruhani sebelumnya.

***

Pesan Seri Buku Ki Ageng Suryomentaram Karya Muhaji Fikriono [Klik Link]

Namun, sebelum beranjak mengatamkan rangkaian buku trilogi ini, saya ingin mengingatkan kepada para pembaca, bahwa rangkaian ajaran yang akan Anda dapatkan dari hasil ‘membaca’ buku Suryomentaram ini, pada akhirnya adalah baru semata ‘katanya’ Suryomentaram [ilmu jare-jare dan biridan]. Alias Anda belum mengetahui dan merasakannya sendiri [mengerti, mengetahui, atau merasakan sendiri—Kawruh Nyata].

Maka, setelah selesei, segeralah lupakan ‘katanya’ Suryomentaram, tepislah pengetahuan ‘menurut’ Suryomentaram. Segeralah, mulai saat ini, di sini, dan dalam keadaan seperti ini [saiki, kene, ngene] mengenali dan mengawasi realitas diri Anda sendiri. Karena tak ada siapapun, makhluk bumi manapun, yang bisa mengajari Anda–tidak guru manapun, tidak kitab, tidak buku, tidak tulisan, atau tidak siapapun—dalam usaha mengenali realitas diri anda sendiri.

Wejangan Suryomentaram di bawah ini barangkali tepat untuk memungkasi paragraf pengantar tulisan ini:

Saya mengingatkan kepada semua yang mendengar

[Kulo pepenget dateng sedaya ingkang mirengaken],

Jangan pernah menjalankan ajaran-ajaran di atas

[sampun ngantos anglampahi wulangan punika],

Malah akan mendapat kesusahan yang tak terkira

[mindak angsal kesusahan ingkang tanpa upami].

Ajaran-ajaran di atas hanya untuk tiang-sandaran saat duduk semata

[wulangan punika namung kangge cagak lenggahan kemawon],

Atau semata sebagai suguhan pengiring saat wedangan

[utawi pacitan wedangan],

Jangan sampai dibaca saat sendiri

[sampun dipun waos ijen-ijenan],

Sebab nanti kalau ada setan yang lewat, juga akan ikut tertarik untuk mengamalkannya

[sabab mangke yen wonten setan langkung lajeng kapingin nglampahi],

Akhirnya bisa membahayakan, rusak dunia-akhiratnya

[wasana kadrawasan, risak donya-ngakeratipun].

Akhir kata selamat membaca. Langeng bungah-susah!

Klandungan, Malang. 26 Januari 2024

Irfan Afifi

Pelajar Kawruh Jiwa, ngiras-ngirus Tukang Sapu Langgar.co

*** Tulisan pengantar ini ditulis untuk mengenang momen ‘kasendal-mayang’ rasa gemetar diri yang tak terkira karena membolak-balik “Buku Langgar 1920-1928” [belum terbit] selama masa tiga tahun.

Bocah Cilik Gambar Jagad – Catatan Etnografi Biografi Slamet Gundono

Rp 120.000

Jika Proses keberislaman adalah proses berkebudayaan itu sendiri dalam arti upaya peyempurnaan manusia dalam keempat fakultas dirinya yakni cipta, karsa, jiwa dan rasa, maka proses yang seperti itu dalam kenyataan konkrit dapat disimak dalam kisah hidup Slamet Gundono yang ditulis secara etnografis oleh Yusuf Efendi dalam buku ini.
Karya yang bercerita kisah perjalanan Ki Slamet Gundono ini, akan mengajak kita manyusuri lika-liku kehidupan seorang seniman dari latar belakangnya yang rinci dan pelik, hingga gagasan-gagasannya yang asik, renyah lagi dalam. Kompleksitas tersebut disusun dalam alur metrum macapat dalam kesusastraan Jawa yang saling terkait satu sama lain. Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung dan Sekar dijadikan penanda oleh penulis untuk menceritakan fase-fase perjalanan tokoh tersebut.
Penerbitan buku ini bagi kami adalah usaha untuk memotret suluk kehidupan seorang seniman yang mempunyai ciri khas kuat lagi berkarakter. karya-karya yang diciptakan berakar di jantung tradisi masyarakat bernafaskan spritualitas Islam, di sisi lain tak kehilangan relevansinya dengan sepirit zaman kontemporer. Dan menurut kami sosok ki Slamet Gundono adalah prototipe utama seorang seniman dalam galur Islam Berkebudayaan. Dan besar harapan kami kedepan dengan adanya buku ini bisa memberi gambaran sekaligus inspirasi bagi seniman-seniman lebih muda.

Penulis : Yusuf Efendi
Editor : Taufik Ahmad
Tata letak : Mugi Pengki
Penerbit : Buku Langgar
Tahun terbit : April, 2022

Spesifikasi Buku

Ukuran : 13 X 19 cm
Halaman : 420 hlm

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI

Rp 200000 Rp 175.000

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI – Nur Khalik Ridwan

Sinopsis:

Aspek penting yang menggerakkan para wali di Jawa abad XV-XVI adalah batin-tasawuf-tarekat, tetapi sering luput dalam analisis para Orientalis. Dengan aspek tasawuf-tarekat itu, para wali penyebar Islam di Jawa abad XV-XVI melakukan berbagai upaya pribumisasi islam, pembacaan atas Jawa, dan memformulasikan Jawa dengan tetap memelihara apa-apa yang yang diperlukan dari masa lalu.

Aspek batin itu diolah dari tarekat-tarekat mereka, yang buahnya adalah mendidik kader, menggerakkan perubahan, mengacu-menyusun karya-karya, menyuburkan amal-amal baik, mem-bangun jejaring dan mengolah dzikir-dzikir untuk ke-mashlahatan manusia Jawa.