Banyumas atau yang dahulu bernama Wirasaba, memiliki sejarah yang panjang. Penelusuran sejarahnya dapat ditelisik dari historiografi (Babad Banyumas). Pengkajian Babad Banyumas terbilang pekat berkat kerja-kerja riset dan penerjamahan oleh: Soegeng Priyadi dan Nassirun Purwokartun. Membincang perihal babad, ia merupakan karya sastra berbahasa Jawa yang mengisahkan peristiwa-peristiwa bersejarah, seperti peperangan dan kepahlawanan. Secara etimologis, babad bermakna “tebang, buka, riwayat, sejarah”. Isi cerita babad memang mengandung sejarah, tetapi tidak selalu mengandung fakta. Banyumas memiliki babad yang sangat melimpah. Dalam penelitian Soegeng Priyadi, sekiranya terdapat 62 naskah Babad Banyumas atau 12 versi (lihat Babad Banyumas dan Versi-Versinya, 2006). Beragamnya Babad Banyumas ditengarai adanya kecenderungan dari para keluarga penguasa (bupati) sebagai legitimasi kekuasaan. Bisa dibilang isi cerita babad memang mengandung sejarah, tetapi tidak selalu mengandung fakta. Sebab babad merupakan perpaduan antara fakta sejarah, kepercayaan, dan mitos. Demikianlah babad, “betapapun memang campuran data, dongeng, pelipur lara, dan pembenaran kekuasaan, pewarisan nilai-nilai,” kata Goenawan Mohamad.
Muasal Sebuah Kota: Banyumas
Dalam naskah Wirasaba diceritakan, sekira abad 15 berdiri sebuah kadipaten di bawah Kerajaan Pajang bernama Wirasaba. Kadipaten Wirasaba dipimpin oleh Adipati Warga Utama 1 atau Raden Bagus Swarga. Ia memiliki 4 anak: 1) Rara Kartimah; 2) Ki Ngabehi Warga Wijaya; 3) Ngabehi Wira Kusuma; 4) Rara Sukartiyah. Putri Sulung (Rara Kartimah menikah dengan Raden Joko Kahiman), sedang putri bungsu (Rara Sukartiyah). Muasal berdirinya Kabupaten Banyumas terjadi pada era Kerajaan Pajang. Kala itu, Sultan Pajang menginginkan putri Adipati Warga Utama (Wirasaba) untuk dijadikan pelara-lara (penari serimpi di keraton dan bisa diambil selir oleh raja). Setelah putri Adipati Warga Utama diserahkan, munculah pemberitaan dusta. Adalah putra Demang Toyareka yang melapor: putri Adipati Wirasaba merupakan perempuan yang telah beristri. Mendengar berita tersebut Sultan Pajang tersulut marah. Ia serta merta menyuruh utusan untuk membunuh Adipati Wirasaba (lihat Sejarah Kota Banyumas 1571 Hingga Kini, 2018:107).
Sultan Pajang (Sultan Hadiwijaya) teramat menyesali perbuatannya. Ia kemudian mengundang para putra Adipati Wirasaba ke Pajang. Dari berbagai putra Adipati Wirasaba, hanya menantunya (Joko Kahiman) yang berani menghadap Sultan Pajang. Demi menebus kesalahannya, Sultan Pajang melantik Joko Kahiman sebagai Adipati Wirasaba. Ia kemudian membagi wilayah kadipaten menjadi empat yakni : Senon, Wirasaba, Toyareka, dan Pasir. Wirasaba inilah muasal Banyumas (lihat Menuju Keemasan Banyumas, 2015:126). Seiring berjalannya waktu, Banyumas yang semula diurus Kerajaan Pajang, beralih tangan ke kerajaan Kasunan Surakarta. Waktu itu wilayah Karisedenan Banyumas meliputi: Kabupaten Purbalingga; Kabupaten Banjarnegara; Kabupaten Banyumas; Kabupaten Cilacap; dan Kabupaten Purwokerto. Baru pada zaman kolonial Banyumas dijadikan kota Residente (Karisedenan) sekaligus Ibu Kota Kabupaten Banyumas. Segera pemerintah kolonial melakukan pembangunan di sekitar Ibu Kota Kabupaten Banyumas.
Untuk mencandra Banyumas di masa lalu, saya akan menceritakan kisah-kisah mainstream yang ada. Pasalnya, hal semacam itu sayup dalam sejarah. Perubahan status Banyumas, yang pada dasarnya merupakan akal-akalan administratif, yang tidak mengubah gaya pemerintahannya. Ujung-ujungnya Banyumas tetap diperintah sebagai daerah wilayah barat mengingat jaraknya yang jauh dari ibu kota dan susunan pemerintahannya. Banyumas yang asli sudah diperintah sebagai provinsi wilayah barat Surakarta sampai 1773, ketika kedudukannya diubah menjadi bagian Negara Agung demi melegakan perasaan Sultan Mangkubumi yang keberatan bahwa Yogya menguasai sedikit saja daerah di ujung barat wilayah Mataram lama.
Wilayah Banyumas dahulu merupakan daerah “Mancanegara Kulon” dari kerajaan-kerajaan Jawa sejak: Majapahit; Demak; Pajang; Mataram; Kartasura hingga Kasunanan Surakarta. Pasca Perang Jawa (1825-1830), Kadipaten Banyumas dilepaskan dari kekuasaan Kasunanan Surakarta dan menjadi wilayah kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda pada 1830. Bagi kolonial, menumpas Perang Jawa sama halnya melindungi kepentingan 2 kerajaan: Kerajaan Yogyakarta dan Kerajaan Surakarta dari pemberontakan oleh kerabat kerajaan (Pangeran Diponegoro). Kerugian besar diderita oleh pihak kolonial nyaris dibebankan kepada pihak kerajaan. Akhirnya, sebagai tebusan pihak kolonial meminta wilayah “Mancanegara Barat”: Banyumas dan Bagelen, dan “Mancanegara Timur: Kediri dan Madiun.
Wilayah Banyumas dahulu merupakan daerah “Mancanegara Kulon” dari kerajaan-kerajaan Jawa sejak: Majapahit; Demak; Pajang; Mataram; Kartasura hingga Kasunanan Surakarta. Pasca Perang Jawa (1825-1830), Kadipaten Banyumas dilepaskan dari kekuasaan Kasunanan Surakarta dan menjadi wilayah kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda pada 1830.
Banyumas dalam Cengkraman Kolonial
Sebelum jatuh dalam cengkraman kolonial, Banyumas merupakan daerah yang sangat terisolasi. Beratus-ratus tahun, Kota Banyumas tak gampang diakses sebab terkungkung oleh pegunungan terjal yang terbelintang di sepanjang sisi utara dan selatan, diiris lembah Sungai Serayu. Kota Banyumas merupakan salah satu kota di lembah Sungai Serayu yang memiliki hulu di pegunungan Dieng serta bermuara di Samudera Hindia. Sungai Serayu membelah wilayah Banyumas. Selain itu, wilayah Banyumas juga merupakan wilayah dengan gunung-gunung dan bukit-bukit sehingga cukup merepotkan untuk dijangkau wilayah-wilayah tertentu. Posisi Banyumas strategis bagi daerah-daerah sekitar Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, dan Kebumen. Akan tetapi dengan kondisi geografis yang demikian, wilayah Banyumas yang berada di pinggiran Sungai Serayu diberkahi kesuburan tanah yang bagus dan subur. Karena itulah ada ungkapan yang galib terdengar: “cedak gunung, adoh ratu”. Artinya : dekat dengan gunung (kemakmuran), jauh dari pusat pemerintahan (Kerajaan Surakarta). Perihal Gunung Slamet dan Sungai Serayu, saya terngiang lagu keroncong yang menjadi bel kedatangan kereta di Stasiun Purwokerto, “Di Tepi Sungai Serayu” karya penyanyi Banyumas: Soetedja Poerwodibroto. Begini :
“Gunung Slamet nan Agung,
Tampak jauh di sana, bagai sumber kemakmuran serta kencana,
Indah murni alam semesta,
Tepi Sungai Serayu,
Sungai pujaan bapak tani,
Penghibur hati rindu”.
Sungai Serayu turut memberikan berkah terhadap Kota Banyumas menjadi kota tepi sungai, meski tak sebesar sungai Bengawan Solo, tapi tercatat dalam sejarah transportasi Banyumas. Saya membayangkan, Banyumas yang konon berasal dari sungai kecil di perbatasan Desa Kalisube dan Desa Dawuhan. Sungai ini bernama Sungai Banyumas sebab menghanyutkan kayu berwarna tembaga. Pertemuan antara Sungai Banyumas dan Sungai Pasinggangan menjadi patokan awal letak Banyumas. Kemudian banyaknya sungai di sekitar Kota Banyumas saya amsalkan “Venesia di Mancanegeri Kilen”. Meski soal kemiripan dengan “Venesia yang sejati”, entahlah. Bukan hal yang tak mungkin jika zaman dahulu sungai menjadi lintasan transportasi. Ingatan saya melayang pada Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir) menaiki gethek di Sungai Bengawan untuk menemui Sutawijaya. Kota Banyumas, dikenal sebagai kota perdagangan. Dalam hal ini, Sungai Serayu yang memainkan denyut transportasi perdagangan.
Peta Kota Banyumas tahun 1920-an (Sumber: troppenmuseum.nl)
Kompleks Kota Banyumas 1948 (Sumber : freisfotoarchief.nl)
Barangkali itulah salah satu pertimbangan Belanda menjadikan Kota Banyumas sebagai ibu kota. Bayangan Ibu Kota Banyumas oleh Kapten Godfrey Phipps Baker (1786-1850) : sebagai yang terpenting di antara kota-kota wilayah barat dalam hal penduduk dan sumber daya. Diperintah oleh dua bupati setempat yang berpengaruh, ibu kota ini sangat menderita akibat kesewenang-wenangan Bupati, Wedana, Kepala Pemerintahan provinsi wilayah barat terdahulu. Kepala pemerintahan ini, Raden Tumenggung Yudonegoro, yang kemudian dipecat dari jabatannya menyusul persekongkolan Sepoy di Jawa Tengah Selatan, September-Oktober 1815. Digambarkan sebagai tokoh paling hitam oleh Residen Inggris di Surakarta, Mayor Jeremiah Martin Johnson: Bila ia berada di Banyumas, waktunya dihabiskan untuk main judi atau main tandak (perempuan, penari, pelacur), sementara tugas memerintah kabupaten yang terluas di wilayah kekuasaan kaisar (sunan), sama sekali ditelantarkan atau diserahkan kepada putra-putra dan orang suruhan, yang semua sama borosnya bermewah-mewah, yang dipikirkannya hanya bagaimana menguras duit dari penduduk untuk membiayai kesenangannya. Akibatnya, pertanian dan perniagaan banyumas terlantar (lihat Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855, 2011: 24).
Pada paruh abad 18, Banyumas mengalami modernisasi melalui politik etis. Bermula dari buku Van Deventer berjudul “Utang Budi” yang mengkritik atas penderitaan negara jajahan Belanda, Ratu Wilhelmina lantas membuat sebuah kebijakan: politik Etis. Politik etis yakni sebuah politik balas budi (Trias Van Deventer): irigasi, emigrasi, dan edukasi. Setelah penerapan politik etis pembangunan di Banyumas semakin signifikan, di antaranya: infrastruktur transportasi; industri; irigasi perkebunan; fasilitas pendidikan; fasilitas kesehatan; hingga arsitektur kota Banyumas.
Suasana Kota Lama Banyumas. (Sumber : freisfotoarchief.nl)
Dalam pengembangan infrastruktur transportasi, pada pertengahan abad 19 dibangun jalan post (post weg) Banyumas-Buntu-Gombong-Rawalo. Kemudian jalan-jalan darat lain bermunculan dan bercabang serupa ranting pohon. Pihak kolonial juga membagun transportasi modern: rel keret api (Trem Serajoedal Stoomtram Maatschappij) pada Mei 1895. Proyek rel ini dipimpin oleh Ir. C. Groll, melintasi pada tiap-tiap pabrik gula yang merentang Banyumas-Banjarnegara-Cilacap-Purwokerto. Namun, rel ini tidak melintas di daerah Ibu Kota Banyumas, sebab pihak kolonial memproyeksikan sebagai kepentingan ekonomi, bukan pemerintah. Belanda membuat kota Banyumas menjadi menjauhi tepian sungai: memilih keramaian dengan banyak membangun jalur darat dan rel kereta api. Lagi pula, transportasi darat yang dibangun kolonial tetap menyusuri Sungai Serayu. Pengembangan Pendidikan: Pemerintah Kolonial membangun Holland-Indies School (HIS), di belakang HIS dibangun Kazerne Politie (tangsi polisi Belanda), di sebelah barat HIS dibangun gedung Inlander 2e School (Sekolah Ongko Loro). Pengembangan Kesehatan: pada 1925 Pemerintah kolonial membangun rumah sakit Julianna, yang sekarang dikenal RSUD Banyumas.
Pada 1836, Residen De Seriere membuka akses Kota Banyumas, membangun kanal yang kemudian dinamakan Kali Yasa. Jadilah Banyumas menjadi sebuah kota dalam rancang kolonial. Arsitektur: pemerintah kolonial Belanda berhasrat membangun Kota Banyumas dengan gaya arsitektur Eropa. Sebelum Kota Banyumas dalam kekuasaan Belanda, bangunan rumah warga ialah tradisional Jawa Banyumasan (tidak sama dengan bangunan Yogya dan Solo). Pasca kedatangan Belanda bangunan tradisional Jawa Banyumasan itu tereduksi bangunan berasitektur kolonial. Dalam esai di langgar.co “Bangunan Besar di Kampoeng Londo Gresik” (2023) karya Aji Ramadhan. Begini: “arsitektur kolonial merupakan proses adaptasi mereka agar mampu bertahan hidup di lingkungan yang jauh dari asalnya”. Dalam perkembangannya, mungkin saja seseorang yang bukan londo dan menginginkan berbagai kebutuhan ruang, lebih mendirikan bangunan berarsitektur Belanda daripada bangunan tradisional Jawa Banyumasan.
Kota Banyumas adalah kota lama yang masih memperlihatkan corak tata kota tradisional Jawa yang ditunjukan dengan keberadaan alun-alun, yakni lapangan terbuka yang pada bagian tengahnya ditanami dengan sepasang pohon beringin. Alun-alun lebih dari lapangan terbuka saja. Ia menjadi semacam pelataran sakral yang mengamsalkan keserasian antara langit yang disimbolkan dengan pohon beringin dan bumi yang disimbolkan dengan pasir halus (Handinoto, 2015). Sebagai sebuah kota yang memiliki sejarah panjang sejak zaman kerajaan-kerajaan nusantara, pola tata ruang pusat pemerintahan Kabupaten Banyumas menunjukan filosofi kuat antara manusia dan alam. Ada semacam garis lurus imajiner antara gunung (baca: Gunung Slamet); pusat pemerintahan (baca: Pendopo Kabupaten, Kantor Karesidenan) dan laut (baca: Pantai Selatan). Pendopo Kabupaten menghadap ke arah selatan, berseberangan dengan alun-alun, di sebelah barat alun-alun terdapat Masjid Agung Banyumas dan Kampung Kauman Pemerintah kolonial membangun gedung penjara di sebelah timur, antara alun-alun dan pendopo kabupaten.Di antara jalan yang menghubungkan pendopo kabupaten dan kantor residen dibangun gedung Societeit Harmonie, gedung tempat bersosialisasi dan rekreasi bagi kalangan elit di Kota Banyumas.
Dalam amatan Ronald. G Gill, Kota Banyumas adalah wujud tata kota tradisional Jawa yang masih terpelihara dengan baik, bahkan bila dibanding Yogyakarta atau Surakarta. Tata kota Banyumas benar-benar masih murni dan antik, belum ada sentuhan tata kolonial modern yang diperkenalkan oleh arsitek-arsitek pendatang dari Eropa seperti Kotabaru di Yogyakarta dan Villapark di Surakarta (Lihat De Indische Stad op Java en Madoera, 1994). Satu-satunya bangunan Eropa hanyalah rumah Residen dan itupun letaknya jauh di selatan kota, tidak mengganggu tata letak bangunan yang dibangun sebelum kekuasaan pemerintah kolonial. Dalam pada itu, Gill menggolongkan Banyumas ke dalam jenis kota Oud Indisiche Stad, kota indis lama. Kota Oud Indische Stad adalah kota yang memadukan unsur kota tradisional Jawa dengan kota kolonial. Jenis kota Oud Indische Stad muncul pasca pemerintahan kolonial memberlakukan tanam paksa pada tahun 1830an. Untuk mendukung kegiatan eksploitasi, pemerintah kolonial menempatkan pegawai-pegawai kolonial di kota-kota yang sudah lama menjadi kedudukan penguasa lokal.
Ciri dari kota Oud Indische Stad ditandai dengan adanya kediaman bupati dan residen yang letaknya terpisah. Terletak di sebelah utara alun-alun, terdapat kompleks yang disebut kabupaten. Berbeda di masa sekarang dimana sebutan kabupaten merujuk pada satuan wilayah di bawah provinsi, di masa lalu kabupaten juga menjadi sebutan untuk kediaman bupati. Pada era Jawa pra-kolonial, bupati merupakan kepala daerah di wilayahnya sekaligus seorang abdi kepada raja yang lebih senior. Kekuasaan seorang bupati tidak dihitung dari seberapa luas wilayah yang di milikinya, namun dari seberapa banyak rumah tangga atau cacah. Sebagai bentuk “penghormatan” terhadap masyarakat pribumi, pada masa kolonial kedudukan bupati masih dipelihara dengan memasukan mereka ke jajaran birokrasi kolonial. Para bupati diberi wewenang mengatur nasib rakyat kecil seperti halnya penguasa negeri, namun ketundukan mereka yang semula kepada Raja Jawa kini dialihkan kepada Ratu Belanda. Gengsi sebelum era kolonial juga dijaga sebagai cara agar mereka bergantung kepada pemerintah kolonial. Dapat dikatakan, mereka semacam berada di perbatasan antara kepala negeri dan pamong pemerintah (Lombard, 2018). Gemerlapnya jabatan bupati dapat dilihat dari mewahnya kediaman mereka yang menjadi bagian utama tata kota kolonial.
Sekelompok militer Belanda berdiri di sisa lantai Pendapa Si Panji menghadap bekas rumah Bupati Banyumas pada tahun 1947(Sumber : freisfotoarchief.nl)
Banyumas sebagai salah satu kota lama di Jawa menempatkan kediaman penguasa sebagai inti kota. Bangunan ini didirikan pada masa Tumenggung Yudanegara yang bertahta sekira (1708-1743). Perombakan yang senantiasa dilakukan oleh penerusnya menjadikan sulit untuk mengetahui bentuk asli dari bangunan kabupaten banyumas. Kini, bekas kediaman Bupati Banyumas dimanfaatkan sebagai kantor kecamatan Banyumas. Meskipun turun status, namun sisa keagungan Kabupaten Banyumas masih dipertahankan dengan baik. Secara umum, semua kota-kota kolonial memiliki persamaan, yakni fakta bahwa mereka terbagi menjadi dua bagian: pertama, bagian yang berasal dari penduduk/budaya lokal; kedua, bagian yang merupakan hasil dari cipta karya/budaya pendatang/orang asing, karena proses dari imposisi kota yang mereka hasilkan. Oposisi antara belahan campuran & asing ini berakar pada sifat komunitas kolonial yang menekankan, dan karena hal ini, kota-kota kolonial sering kali dikarakterisasikan sebagai duality atau kota ganda.
Lehman (2008) menjabarkan tiga elemen dari penyusunan kota: kraton; ruko; dan Benteng yang mengatur sebuah konfigurasi yang bisa dianggap umum bagi kota-kota kolonial di Indonesia. Kota Banyumas memiliki beberapa kelompok permukiman, antara lain: kauman; kepatihan; kepangeranan; pacinan; dan permukiman Eropa. Kawasan kauman berada di sebelah barat Masjid Nur Sulaiman, sementara kepatihan dan kepangeranan berada di sekitar tempat tinggal patih dan pangeran. Pacinan atau tempat tinggal kelompok masyarakat Tionghoa berada di dekat pasar Banyumas dan Sudagaran. Salah satu rumah bergaya Tionghoa di Sudagaran memperlihatkan serambi depan yang lumayan besar. Pada tahun 1850, jumlah penduduk Tionghoa di Banyumas sudah mencapai 200 jiwa. Dahulu selain berprofesi sebagai pedagang, orang Tionghoa di Banyumas juga menjalankan usaha batik. Sementara itu, orang-orang Eropa tinggal di sepanjang Jalan pengadilan lama mengarah ke Sungai Serayu.
Pemerintah kolonial juga turut memasang benteng-benteng kecil di Kota Banyumas. Pengisahan P. Bleeker (1846): benteng tersebut diperkuat sesudah Perang Jawa karena militer Belanda saat itu sedang menyiapkan strategi pertahanan Pulau Jawa untuk menahan serbuan bangsa asing. Pada 1846, benteng tersebut pernah menjadi markas untuk pasukan Jayeng-Sekar , pasukan keamanan. Kota Banyumas pada 1846 memiliki 26 pasukan Jayeng Sekar. Tujuan pembentukan Jayeng Sekar adalah untuk menyerap penggangguran dari anak-anak elit pribumi yang tidak tertampung dalam birokrasi kolonial dan mengisi kekurangan tenaga keamanan. Mereka diberi pelatihan militer, senjata, dan kuda. Mereka inilah yang menjadi cikal bakal dari satuan kepolisian di masa kolonial. Institusi keamanan kemudian digantikan dengan datasemen velpolitie atau polisi lapangan yang menempati markas di tenggara kota (Verslag BOW 1921-1924).
Peralihan Pusat Pemerintahan: Kota Banyumas- Kota Purwokerto
Pada 1937, di masa pemerintahan Bupati Banyumas, K.P.A.A Gandasoebrata, Ibu Kota Banyumas beralih ke Purwokerto. Peralihan ini berasal dari kebangkrutan pabrik-pabrik gula; lesunya komiditi ekspor perkebunan; geografis Banyumas. Tentang tenggelam dan munculnya kota, saya teringat dengan cerpen Raudal Tanjung Banua “(Hidup) Matinya Sebuah Kota” (Jawa Pos, 15 Juli 2012). Dalam cerpen tersebut Raudal menceritakan bagaimana kota-kota itu memilki biografi, ciri fisik, dan wataknya sendiri. Pendek kata kota itu seperti makhluk hidup, dan karena itu bisa mati. Kiranya pasang-surut, hidup-matinya kota, terjadi sebab beberapa siklus. Penyebabnya beragam. Mulai tangan panjang kekuasaan bertangan panjang yang mencomot setiap jengkal, apakah bedanya? Habisnya sumber daya alam, berubahnya peta dan jalur utama sampai keroposnya kebijakan lokal, mungkin juga bencana yang membuat karam. Tepat 1861 kota Banyumas nyaris ditelan air banjir sungai Serayu. Peristiwa ini galib dikenal hikayat “Blabur Banyumas”.
Konon, kedahsyatan banjir sekira 3,5 meter, dan melibas kawasan Kabupaten dan Pendopo Sipanji. Karena itulah ungkapan yang lazim dalam cerita rakyat “besuk bakal ana bethik mangan manggar” (ikan bethik makan bunga kelapa) Pencandraan banjir Banyumas diabadikan melalui lukisan Raden Saleh berjudul “Eene overstrooming op Java” (suatu banjir di Jawa).
(Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:A_Flood_on_Java)
Ekses banjir Banyumas dicatat oleh William Barrington D’Almeida (1861), dalam safari ke Banyumas, Kedu, dan sekitarnya. Konon, banjir berselang pada 21-23 Februari 1861. Dalam lukisan kita melihat: wedana yang meminta bantuan; anak laki-laki dengan sorot mata yang ketakutan; perempuan tua yang memeluk erat leher putranya, dan beberapa orang yang berusaha berenang menyelamatkan diri. Lukisan ini menjadi bukti kedahsayatan banjir sekaligus penanda bahwa Banyumas rawan banjir.
Ibu Kota Banyumas (Kota Banyumas) terpaksa dipindah ke Kota Purwokerto. Kata Purwokerto berasal dari “purwo” yang artinya wiwitan atau asal muasal, dan “kerto” yang artinya kemakmuran, jadi purwokerto: awal; mula kemakmuran. Peralihan ini menjadikan Kota Banyumas menjadi ibu kota kecamatan Banyumas, sedangkan Purwokerto menjadi ibu kota Kabupaten Banyumas sekaligus kota penyanggah (hinterland) bagi Banyumas dengan beberapa alasan sejarah: industri; tempat wisata; sarana transportasi; pabrik dan sebagainya. Kota Banyumas Kota tanpa terminal? Lihatlah bus-bus dari Jawa maupun luar Jawa selalu mencantumkan Purwokerto sebagai trayek utama. Orang rantau akan tahu Purwokerto ketimbang Banyumas. Oleh karenanya, Banyumas menjadi kota kedua yang dirujuk setelah menyebut nama kota “induk”. Tersebutlah Banyumas, ingatan pembaca melayang ke Purwokerto, kota mungil dengan deretan kampus-kampus, yang berlari menjadi kota pelajar. Kampus (swasta dan negeri) banyak bercokol; Lembaga kursus (swasta dan negeri) kian bersemai; ruko-ruko berdesak-desakan. Kota Purwokerto mencipta banyak jalan dan persimpangan. Jalan purwokerto: jalan kecil yang punya hasrat terlalu besar, semua bernafsu tumbuh di sisinya, tak kenal ruang, tak kenal waktu. Meminjam istilah J.J, Helsdingen (1928) : masalah jalan adalah masalah hidup matinya kota.
Begitulah, ada begitu banyak kota yang dulu jaya, kini surut, hilang gema. Kota-kota kecil di Banyumas muncul berebut tumbuh, sebut saja: Ajibarang; Sokaraja; Baturraden; Kota Lama Banyumas. Ajibarang tumbuh dengan jalan-jalan membujur lapang. Kota ini memilki sumber daya alam berupa sawah yang luas, perkebunan, dan tanah yang subur. Kota ini mulai dicaplok industri: pabrik semen. Sokaraja tumbuh manis dengan industri pangan dan sandang. Kota ini juga pernah menyandang kota lukis. Baturraden, kota kecil yang permai, dikelilingi sawah bertingkat, air terjun dan bukit biru. Destinasi wisata tumbuh mekar menghias lanskap Gunung Slamet. Baturraden terasa sejuk meski kerap saya merasa panas sendiri, sebab saya ketahui diam-diam banyak perempuan tebal bergincu berkeliaran. Dan kota lama Banyumas tak hendak menyerah, susah payah menjaga apa yang pantas dijaga. Kota Banyumas menjadi kota kebudayaan. Kota tua dan murung tengah mencari ruh untuk mewartakan diri pada dunia tentang jejak peradaban manusia. Kota Lama Banyumas menjelma kota nostalgia dan utopia. Banyak event kebudayaan dan gedung-gedung sisa kolonial. Inilah hikayat kota lama yang berbagi peran dengan kota kecil yang menjadi penyanggah. Bagaimanapun peran kota lama Banyumas tidak akan terganti, sebab kota lama telah menjadi cerita, legenda, bahkan kenangan. “Kota-kota, seperti halnya mimpi, terjadi karena hasrat dan ketakutan,” kata toko Marco Polo kepada Kublai Khan dalam salah satu kisah ajaib Italo Calvino.
Kota Banyumas menjadi kota kebudayaan. Kota tua dan murung tengah mencari ruh untuk mewartakan diri pada dunia tentang jejak peradaban manusia. Kota Lama Banyumas menjelma kota nostalgia dan utopia. Banyak event kebudayaan dan gedung-gedung sisa kolonial. Inilah hikayat kota lama yang berbagi peran dengan kota kecil yang menjadi penyanggah.
Saya tinggal di Purwokerto, di kota kecil ini semua jalan beraspal, jumlahnya terus bertambah, seperti labirin. Terbaru, terdapat simpangan di jalan kota: Jalan Bung Karno. Simpangan jalan memiliki porsfektif untuk berkembang deretan gedung-gedung, menara, restaurant, tempat publik. Kemudian sawah-sawah diratakan dan ditanam beton dan cor, lalu mencipta gudang kebutuhan dan pusat konsumsi. Saya merasa beruntung tinggal di Purwokerto. Tapi kadang ngelangut sedih teringat banyak area persawahan banyak tercaplok pembangunan.
Jalan Bung Karno dilihat dari Menara Teratai. Sumber: (suara merdeka banyumas.com)
Alun-Alun Purwokerto dan sebuah Mall yang berhadapan. Sumber: (suara merdeka banyumas.com)
Tata bangunan (arsitektur) kota purwokerto cukup indah. Dulu, alun-alun purwokerto terdapat dua beringin kurung yang akarnya terjela-jela. Ada jalan tengah yang membelah alun-alun menjadi: sisi timur dan sisi barat. Kini apa yang tinggal? Pohon beringin kurung sudah ditebang; pondasi alun-alun ditinggikan; jalan tengah alun-alun dihilangkan; dan sebuah mall yang menghadap alun-alun. Bangunan Mall ini, meminjam selarik puisi Chairil Anwar, ia seolah “iseng sendiri”. Kemegahan dan gemerlapnya menandingi gegap gempitanya suasana alun-alun. Pembaruan, seperti biasa. Tapi terutama di zaman kiwari ini, Menyitir Goenawan Mohammad, kaum nouveaux riches (Orang Kaya Baru) telah mengambil alih arsitektur kota. Mereka yang baru saja memperoleh kekayaan; kekuasaan; dan kesempatan, telah merombak apa yang bagi mereka tak memikat lagi. Dan bila keindahan yang mereka coba utarakan itu tidak ada sangkut pautnya dengan keindahan lama, apa mau dikata?
Kota Purwokerto dan berbagai kota di Indonesia mengalami revolusi. Yakni perubahan-perubahan golongan yang berkuasa; ledakan penduduk; uang. Semuanya menghasilkan penjungkirbalikan. Alun-alun sekrang terasa ruang terbuka: sosial dan ekonomi. Sedangkan dulu, ketika saya kecil, alun-alun terasa akan makna spiritual, filosofis, politis, historis dan budaya. Dalam buku “Banyumas: fiksi & fakta sebuah kota” (2013) karya: Abdul Aziz Rasjid; Arif Hidayat; dan Teguh Trianton, kumpulan esai tentang Banyumas: sebagai kota kecil yang cukup unik dan sebagai subkultur Jawa, maka kontestasi penataan alun-alun Purwokerto ditengari sebagai lunturnya karakter wong Banyumas: Bawor. Ikonisitas Bawor mengejawantahkan : Cablaka (transparan); jujur, nrima ing pandum (apa adanya).
Makam Dawuhan : Kisah dan Hikmah
Kembali ke Banyumas,tidak jauh dari Kota Banyumas, di bukit kecil Desa Dawuhan, Kecamatan Banyumas, terdapat kumpulan makam tokoh elit Banyumas (Bupati dan Pejabat Banyumas). Kompleks ini semacam makam Imogiri. Bangunan makam tergolong terawat, mesti tetap rawan dengan pengikisan: iklim. Apa sebenarnya yang harus dipertahankan pada Makam Dawuhan Banyumas? Mungkin kenang-kenangan, sesuatu yang rupanya begitu penting. Manusia adalah makhluk khusus: ia mengingat-ingat. Dihadapannya, kematian menjadi sebuah paradoks: ajal berarti jalan ke keabadian, tapi sekaligus juga ancaman akan ambruknya kenangan. Sementara itu, kita tak mau lupa. Sebab itulah sejarah ditulis.
Foto penulis di Makam Dawuhan. Tepat di belakang Makam Raden Djaka Kahiman, Bupati Pertama Banyumas. Sumber: (Dokumentasi Pribadi)
Apa, misalnya, yang kita ketahui tentang riwayat Makam Dawuhan dan para elit Banyumas? Kita tak tahu apakah rakyat hidup sejahtera di tengah tren zaman dahulu yang feodal. Kita tak tahu bagaimana sehari-hari mereka hidup dan berpikir, bagaimana mereka bebas atau ditindas. Penulis sejarah sebagaimana para wartawan cenderung lebih memilih kejadian yang dramatis dan manusia yang tidak biasa. Pembaca sejarah, umumnya sebagaimana pembaca surat kabar memang lebih menyukai hal seperti itu. Perang dan kejatuhan; kekejaman dan perselisihan; kebejatan dan kesalahan. Lantas orang berkata bahwa dengan mudah sejarah akan bercampur baur dengan dongeng, dan tokoh menjadi mitos. Napoleon bahkan menganggap sejarah hanya sebuah fabel yang disepakati bersama.
Komplek makam bersuasana sepi dan wingit: kita dapat bertanya kepada kasepuhan dan juru kunci tentangnya. Bukan semacam makam yang keramat lagi sakral ; : “Sssst,” peziarah jangan keras-keras bicara. Dan semua diam. Oleh karenanya, jika kita ingin tergetar oleh kisah hidup para tokoh elit banyumas, kita mesti banyak membaca naskah babad; dan tak ketinggalan penuturan dari kasepuhan, kita tak sepatutnya membuat ceritanya berhenti. Jangan nobatkan mereka jadi orang keramat. Orang terkadang ingin menghentikannya tanpa tahu apa yang dilakukannya: orang tak sadar bahwa tokoh mati untuk kedua kalinya dan tak akan hidup lagi ketika ia jadi orang keramat.
Demikianlah asumsi ataukah pretensi saya yang merasa memiliki kota ini (Banyumas dan Purwokerto) karena menjadi bagian komplet dari biografi diri dan keluarga. Tulisan ini semacam sengatan agar pembaca sadar terhadap kota sebagai ruang hidup dan imajinatif. Pengisahan sejarah kota semacam ini memeberi kemungkinan penyelamatan biografi kota ketika tak tergarap dalam studi sejarah, sosiologi, politik, arsitektur atau ekonomi. Setiap tahun Banyumas berulang tahun, tepat di tanggal 22 Februari. Perayaan dihelat dengan meriah dan suka cita. Tapi sejauh mana kita (warga Banyumas) memaknai perayaan tersebut? Saya memaknai dengan beropini. Sebab saya tak ingin disiksa dengan kenangan. Persis yang diucapkan Montaigne: “Orang tersiksa oleh opini mereka tentang hal ikhwal, bukan hal-ikhwal itu sendiri”.