Kongres Kebudayaan: Teringat 1918 dan 2018

Pada, 5-9 Desember 2018, pemerintah telah mengadakan Kongres Kebudayaan Indonesia di Jakarta. Kongres di situasi politik pelik. Kita cuma mendapat berita-berita kecil, belum sampai ke ulasan atau perbincangan serius melibatkan para tokoh “penentu” nasib Indonesia. Orang-orang mungkin menganggap kongres akhir tahun itu selingan atau “bisikan” di politik berisik menjelang hajatan demokrasi 2019.

Politik sudah mengubah adab dan tata kebudayaan terbentuk sejak ribuan tahun silam, terwariskan di Indonesia.

Politik sudah mengubah adab dan tata kebudayaan terbentuk sejak ribuan tahun silam, terwariskan di Indonesia. Politik pamer aib dengan penggunaan bahasa buruk dan pengabaian simbol-simbol kultural di agenda persatuan. Penghancuran makna dan ejawantah kebudayaan terus terjadi tanpa sesalan atau tangisan. Keburukan politik seperti menempatkan sejarah kongres seabad lalu dan pelaksanaan Kongres Kebudayaan Indonesia di Jakarta. Kita mungkin di kejatuhan menanggungkan politik telanjur mencipta noda-noda dalam album kebudayaan Indonesia.

***

Seabad silam, 5-7 Juli 1918, berlangsung Congres voor Javaansche Cultuur Ontwikkeling di Solo. Peristiwa awal bagi pelaksanaan kongres-kongres pemajuan kebudayaan di Indonesia. Kongres diprakarsai oleh kaum muda di Boedi Oetomo dan kalangan sarjana Belanda dengan meminta restu para bangsawan. Solo dipilih menjadi ruang perdebatan mengenai bahasa, seni, pendidikan, dan adab Jawa saat sejarah berkecamuk sejak awal abad XX. Di Solo, sarekat dan perkumpulan dibentuk dalam semaian ideologi dan pemenuhan impian “kemadjoean.” Kaum revolusioner bermunculan mengganggu tatanan baku feodalisme dan kolonialisme. Peran kaum pengarang dan jurnalis semakin menjadikan Solo itu kota berkecamuk setiap hari.

Kecamuk sudah dimulai sejak akhir abad XIX saat para pejabat dan sarjana kolonial memilih melakukan studi Jawa di Solo. Para penerjemah dan peneliti menjadikan Jawa sasaran studi beraroma orientalisme. Jawa pun dipandang dengan mata politik-sastra untuk pematuhan di hadapan deru kolonialisme dan nalar keilmuan Barat. Penerjemahan babad dan serat dilakukan para sarjana Eropa, mengalihkan aksara Jawa ke aksara Latin. Penerjemahan ke bahasa Belanda digenapi pemberian pengantar kritis berlagak pamer otoritas keilmuan modern. Kerja keaksaraan itu diperlukan dalam perkuliahan di Belanda. Jawa memang sedang diperkarakan di ruang-ruang akademik Eropa berpamrih ilmu dan pemantapan kolonialisme, penguasaan negeri-negeri di Asia.

Pembuatan kamus-kamus pun memungkinkan pembakuan (bahasa) Jawa. Para sarjana dan pejabat kolonial bertugas menjadi menggarap kamus, meminta para pujangga dan cendekiawan Jawa menjadi kontributor tapi terkesan di posisi rendahan. Penggarapan kamus Jawa-Belanda, Jawa Kuno-Jawa, Jawa-Melayu terasa ditentukan nalar-nalar kesarjanaan kolonial. Ranggawarsita dan Padmasusastra melihat tatanan baru bentukan Eropa tanpa bisa melakukan perlawanan sengit. Jawa sedang mendapat “pembakuan”, tampil modern dan genit di arus kemajuan abad XX.

Peristiwa terpenting dari kerja membentuk Jawa diselenggarakan di Solo berbarengan pembesaran lakon Boedi Oetomo, Sarekat Islam, pers revolusioner (Marco Kartodikromo-Misbach), Volksraad, dan politik literasi bercap Balai Poestaka. Solo itu ruang perebutan, perdebatan, dan penguasaan. Di Congres voor Javaansche Cultuur Ontwikkeling bermaksud mengenang dan memajukan Jawa, bungai rampai ide diajukan dalam makalah-makalah buatan kaum cerdik-pandai: 5 asal Jawa dan 4 asal Belanda. Lakon kolonialisme mulai mengandung babak penentuan menjadikan Jawa itu studi bermatakan ilmu-ilmu Eropa ketimbang kebijaksanaan beradab tradisi. Nunus Supardi dalam buku berjudul Kongres Kebudayaan (1918-2003) justru menganggap kongres di Solo itu “manifes kebudayaan” saat Indonesia sedang dijajah. Anggapan agak berlebihan diacukan ke bentangan waktu sejarah: Congres voor Javaansche Cultuur Ontwikkeling berada di antara dua peristiwa penting kelahiran Boedi Oetomo (1908) dan Sumpah Pemuda (1928).

Orang-orang tentu abai dengan perdebatan besar bertokoh Soetatmo Soerjokoesoemo dan Tjipto Mangoenkoesoemo.

Kini, orang-orang mungkin sudah tak mengingat kongres di Solo dalam urusan Jawa. Masa lalu terasa jauh. Orang-orang tentu abai dengan perdebatan besar bertokoh Soetatmo Soerjokoesoemo dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Dua elite terpelajar Jawa bertengkar tentang kebermaknaan nasionalisme Jawa dan nasionalisme Hindia-Belanda. Debat  menguak alam pikir dan batin bumiputra mengacu penjajahan, pengaruh pendidikan modern, kapitalisme cetak, dan benih-benih pergerakan nasionalisme. Perdebatan memberi sengat di Congres voor Javaansche Cultuur Ontwikkeling. Debat sudah berlangsung sebelum kongres tapi mendapatkan “pengesahan” melalui sodoran makalah dan tanggapan-tanggapan selama kongres. Di mata Takashi Shiraishi (1986), debat itu pantas berjulukan pertempuran antara “ksatria” melawan “pandita”. Zaman “kemadjoean” mulai memiliki pertentangan kehendak merawat kekunoan atau mengubah tatanan dengan penerimaan ide-ide baru mengubah nasib Jawa atau Hindia Belanda.

Kita sengaja ingin mengingat peristiwa kongres di Solo setelah disepikan atau diremehkan dalam penulisan buku-buku mengenai Jawa dan Indonesia. Kita bakal sulit menemukan penjelasan Congres voor Javaansche Cultuur Ontwikkeling di buku Sejarah Nasional Indonesia buatan pemerintah di masa Orde Baru, Sejarah Indonesia Modern (Ricklefs), dan Kebudayaan Jawa (Koentjaraningrat). Di babak-babak sejarah, lupa itu terasa dimaklumi dan gampang terampuni. Congres voor Javaansche Cultuur Ontwikkeling dalam mengadakan landasan gagasan Jawa bertaut ke lakon Hindia Belanda memang tak semoncer pendirian pelbagai sarekat dan partai politik. Peristiwa itu tertinggal jauh pula dari ingatan atas catatan-catatan sejarah berjudul Indonesia Moeda (1930), Kongres Pendidikan (1935), dan Kongres Bahasa Indonesia (1938). Semua peristiwa itu berlangsung di Solo tapi berbeda perlakuan pemaknaan untuk mengetahui kerimbunan ide bahasa, seni, pendidikan, adat, sastra, dan politik kebangsaan.

Pada saat lupa dan peremehan terus melanda, pemerintah tetap berkepentingan dengan acara akbar dijuduli Kongres Kebudayaan Indonesia 2018. Sejak masa pemerintahan Soekarno sampai abad XXI, kongres demi kongres diselenggarakan dengan tema-tema besar menghasilkan rekomendasi tanpa semua wajib dipenuhi. Kongres perlahan mirip agenda surut pesona dalam selebrasi ide-ide mengenai Indonesia. Para pejabat, cendekiawan, ulama, seniman, pujangga, dosen, dan jurnalis berkumpul tapi mengalami seret perdebatan berpamrih memerkarakan Indonesia di pijakan-pijakan peradaban dulu dan sekarang.

***

Kongres agak terkenang mungkin saat berlangsung di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, 29 Oktober-3 November 1991. Situasi Indonesia sedang guncang dalam detik-detik kerapuhan rezim Orde Baru. Kongres memang semarak tapi belum sampai ke penentuan nasib Indonesia. Andre Hardjana menganggap kongres 1991 itu “peristiwa kebudayaan terbesar sepanjang masa.” Penilaian agak muluk tanpa mengabaikan kemunculan peristiwa-peristiwa tandingan di pelbagai kota untuk mengoreksi dan membantah segala perbincangan dalam kongres di Jakarta, 1991.

Pada 2018, kita berjarak jauh dari peristiwa Congres voor Javaansche Cultuur Ontwikkeling di Solo. Dulu, kongres itu melulu Jawa, belum bercorak atau berlagak Indonesia. Sejak 1948, kongres-kongres mulai bertema besar tapi kelimpungan dalam memberi penghormatan dan pemajuan pelbagai ide dan adab bagi ratusan komunitas etnis pemberi pengesahan keragaman Indonesia. Di Solo, perbincangan Jawa telah bermula tapi tak lekas disusul untuk pelbagai komunitas etnis di Indonesia. Kongres-kongres besar malah dianggap gagal mengerti Indonesia saat “terperintah” membuat rekomendasi bagi pemerintah.

Kita ingin 2018 tak mutlak dikenang sebagai tahun (sibuk) politik. Kemauan mengenang seabad Congres voor Javaansche Cultuur Ontwikkeling mungkin mengembalikan kesadaran pada pijakan-pijakan mendasar: berbangsa-bernegara itu memerlukan pengetahuan dan adab beragam etnis seantero Indonesia. Di Solo, kongres mengurusi Jawa menantikan sambungan kongres-kongres untuk pemuliaan pelbagai etnis di Indonesia bersua ke mufakat berindonesia. Janji memajukan Indonesia tak melulu bermula dari politik sering berduit dan koruptif tapi kearifan adab di Indonesia berbineka, sejak ribuan tahun silam. Begitu.

 

~ Bandung Mawardi

Bandung Mawardi
Kuncen Bilik Literasi, Solo. Ia rutin menulis esai-esai kebudayaan yang sering menghiasi di berbagai surat kabar. Beberapa buku yang telah diterbitkannya antara lain: Ralat: Sastra Bergelimang Makna (2017), Pemetik Cerita (2017), dan Sepah Sahaja (2018).