Menu

Kosmopolitanisme Pesantren: Arab Digarap, Jawa Digawa

Pelayaran, Perdagangan, dan Silang Budaya

Ada sebuah sabda yang sangat terkenal dari Nabi Muhammad SAW kepada para sahabatnya di Tanah Hejaz (Semenanjung Arabia) pada abad VII M: “Carilah ilmu walau sampai di Negeri Cina”. Kalau sabda ini kita tempatkan dalam konteks sejarah geopolitik dan ekonomi, di mana jalur pelayaran dan perdagangan kuno yang menghubungkan antara daerah semenanjung Arabia, Persia, India, Cina dan Nusantara telah dikenal sejak lama, bahkan menurut sejarawan Brandell (Habib Moestopo, 2001: 126) telah berlangsung sejak tahun 700 SM, maka kita menemukan banyak makna menarik di luar makna normatif sabda tersebut sebagai kewajiban mencari ilmu. Dari sudut pandang kita yang sedang mempelajari dinamika lokalitas di dalam relasi budaya antara kawasan Nusantara dengan kawasan Arab, maka kita akan seperti mendengar suatu respon kawasan Nusantara terhadap sabda tersebut, “Kalau pergi ke Negeri Cina, pastikan singgah dan mampirlah juga di Tanah Jawa, di Nusantara. Semoga ada hikmah untuk kita bersama“. Kelak respon ini terbukti efektif, ketika kita lihat fakta hari ini yang menunjukkan bahwa jumlah para Habaib (keturunan Nabi Muhammad) yang tinggal di wilayah Nusantara merupakan yang terbesar dibanding dengan kawasan-kawasan lain di dunia.

Sebagaimana ditulis Agus Sunyoto dalam “Islam di Indonesia” (naskah buku yang tidak diterbitkan), orang-orang Jawa Kuno sejak masa Mataram Kuno sampai Majapahit telah mengenal satuan mata uang seperti Picis (terbuat dari bahan tembaga, dengan nilai terendah), yang merupakan mata uang Cina. Hal ini menunjukkan bahwa perniagaan antar bangsa melalui jalur laut sudah dikenal masyarakat Jawa Kuno. Sejak Dinasti Han berkuasa sekitar abad ke-3 Masehi, catatan-catatan tentang Asia Tenggara mulai ditulis dalam teks-teks Cina (Wang Gungwu, 1958). Pulau-pulau di Nusantara yang awal sekali disebut pada tahun 132 Masehi oleh berita Dinasti Han dengan sebutan Ye-tiao adalah Jawa (Ferrand, 1916), kemudian pendeta-pendeta Buddha pada abad ke-5 Masehi yang berlayar dengan kapal niaga yang berdagang dari Cina ke India dan dari India ke Cina pernah singgah di Jawa (Wolters, 1967). Ditemukannya tembikar Cina dan benda-benda perunggu dari zaman Dinasti Han dan zaman-zaman sesudahnya di Sumatera selatan dan Jawa Timur, adalah bukti dari berkembangnya jalur perdagangan di Nusantara pada jaman kuno (Bellwood, 2000).

Sebagai lintasan jalur laut dari Cina ke India dan dari India ke Cina, perkembangan perdagangan di Nusantara terjalin pula dengan India. Menurut Wolters (1967) perkembangan perdagangan India ke Asia Tenggara didukung oleh pelayaran yang dilakukan para penutur Bahasa Austronesia yang pergi ke India (dan kemudian ke Madagaskar), yang kiranya telah dimulai sejak beberapa abad pertama Masehi dengan dikuasainya cara pelayaran mengikuti angin muson untuk menyeberangi Teluk Bengal. Ditemukannya sejumlah tembikar India di Sembiran, Bali, membuktikan keberadaan jalur perdagangan tersebut (Bellwood, 2000).

Jalur perdagangan laut yang menjadikan Nusantara sebagai satu-satunya “pintu” bagi kapal-kapal dagang Basrah, Siraf, Oman, Persia, India, dan Srilangka yang akan ke Cina dan sebaliknya, telah melimpahkan bermacam-macam keuntungan bagi masyarakat Nusantara atau setidaknya bagi penguasa-penguasa di Nusantara, baik dalam kaitan dengan pajak yang dipungut dari kapal-kapal dagang yang singgah maupun dari perdagangan antara bangsa dengan komoditas yang menguntungkan. Cina yang menjadi produsen utama sutera dan keramik maupun India yang produsen utama kain katun, membutuhkan hasil hutan, pertanian, tambang, rempah-rempah, dan hasil-hasil produksi yang hanya bisa diperoleh di Nusantara seperti lada, pala, gading, kayu gaharu, kayu cendana, kapur barus, timah, emas, permata, malam, mutiara, dan kulit penyu. Keberadaan keramik Cina dari zaman Dinasti Han, Tang dan Song yang banyak ditemukan di candi Ratu Baka dan candi Sewu (Woodward, 1977), dan keramik dari Dinasti Ming yang banyak ditemukan di sepanjang pantai utara Jawa dan Sulawesi selatan (Lombard, 1972) menunjukkan bukti betapa besar alur perdagangan laut di Nusantara dari abad ke-9 sampai abad ke-17. Demikianlah, kerajaan maritim Srivijaya yang dilanjutkan Majapahit, menuai keuntungan ekonomi sebagai penguasa ‘jalur perdagangan laut’ dari utara (Cina) ke selatan (India, Persia, Basrah, Oman, Madagaskar) dan sebaliknya.

Perdagangan melalui jalur laut di Nusantara tersebut, yang juga sudah dicatat oleh Claudius Ptolemeus dalam Geographike Hyphegesis pada tahun 150 Masehi, berkembang menjadi perdagangan antar bangsa seiring perubahan waktu yang diikuti berkembangnya teknologi kelautan yang dikembangkan penduduk Nusantara. Demikian pula al-Mas’udi, seorang sejarawan Arab yang hidup pada abad ke-9 sewaktu di Kanton melihat kapal-kapal dagang yang berasal dari Basrah, Siraf, Oman, kota-kota India, kepulauan Javaga, Campa dan kerajaan-kerajaan lain (Meynard, 1962). Akibat perdagangan antara bangsa itu, mentalitas penguasa-penguasa yang mengandalkan perdagangan melalui jalur laut ikut berkembang menjadi Kosmopolit, terutama dalam menyikapi perbedaan ras, bahasa, agama, dan adat kebiasaan penduduk yang tinggal di wilayah kekuasaannya. Prasasti-prasasti yang berasal dari abad ke-9 dan ke-10 seperti Prasasti Kuti yang berasal dari tahun 762 Saka (840 M) yang menyebutkan asal negeri kelompok hamba raja (warga dalem): Cempa (Campa), Kling (Keling), Haryya (India utara), Singha (Srilangka), Gola (Bengali, Cwalika, Tamil), Malayala (Malayalam), Karnnake (Karnataka), Reman (Pegu), Kmir (Khmer), menunjuk pada indikasi kebanggaan raja-raja Jawa memiliki hamba sahaya orang asing, bahkan pada abad-abad berikut  para pedagang asing banyak yang menjadi penduduk di kota-kota pelabuhan dan memperoleh kepercayaan raja sebagaimana isi Prasasti Taji dari tahun 823 Saka (901 M), prasasti Kaladi tahun 831 Saka (909 M), prasasti Palebuhan tahun 849 Saka (927 M) tentang para banyaga (pedagang) yang berasal dari India utara (Haryya), India selatan (kling, pandikidya, pandikira), Srilangka (singha), Pegu (Ramman), yang sebagian diberi kepercayaan raja menjadi kilalan (mangilala drwya haji), yakni hamba raja yang ditugasi memungut pajak (Sarkar, 1971-1972).

Melalui mobilitas dan migrasi orang-orang antara bangsa, termasuk para pedagang dari Arab di dalam hubungan perdagangan itu pada gilirannya juga melahirkan pertukaran budaya. Terjadinya kontak budaya melalui perdagangan itu dapat ditunjukkan oleh adanya kosa kata bahasa Arab yang diserap ke dalam bahasa Jawa kuna pada masa Kerajaan Kediri sekitar abad XII. Dalam disertasinya, Soetjipta Wirjosoeparto (1960: 259) mengemukakan bahwa paling tidak tiga kosa kata bahasa Jawa Kuna yaitu gedah, gajih dan kaluwa yang terdapat dalam karya Kakawin dan epigrafi zaman Kadiri, berasal dari bahasa Arab. Kata gedah diserap dari bahasa Arab qadah, yaitu gelas minum yang besar. Kata itu akhirnya berubah menjadi gedah karena huruf “Q” diucapkan menjadi “G” menurut ucapan logat bahasa Arab Selatan. Kata gedah tersebut terdapat di dalam kekawin Gatotkacasraya karangan Empu Panuluh. Gedah yang berarti gelas minum merupakan barang perdagangan dari Timur Tengah (Arab). Kata kedua, gajih terdapat dalam Kekawin Bharatayudha, pupuh XIII bait 18, dalam konteks kalimat: ramya n wira sapandawanayuh aghosti pinigajihana n arames musuh. Artinya: “meriahlah di antara orang-orang pahlawan Pandawa; mereka mengadakan tarian tayub sambil bersorak-sorak, sedangkan kepada mereka yang telah membinasakan musuh diberi upah/gajih”. Gajih, dalam arti upah, merupakan serapan dari bahasa Arab jaza’, yang berarti balasan/upah/penghasilan. Sementara itu kosa kata bahasa Arab lainnya yang juga diserap dalam bahasa Jawa kuna zaman Kadiri adalah Kaluwa. Kata itu terdapat dalam prasasti Plumbangan di Wlingi, Blitar (Brandes, 1913 no. LXIX: 160 baris 18). Dalam prasasti tersebut terdapat kalimat: wnanamanana salwirni kaluwa, artinya: akan mendapat hak untuk makan segala macam kaluwa. Kaluwa adalah makanan yang manis, semacam manisan, yang di dalam bahasa Arab disebut dengan hulwa atau hal(u)wa. Di Langkat, Sumatera Utara, saya mendapati sampai sekarang masih banyak jenis makanan tradisional yang juga dinamakan haluwa ini. Berupa ragam buah-buahan, seperti mangga, kedondong, pepaya, cerme dan sebagainya yang diolah menjadi manisan.

Silang Budaya, Silang Agama

Wahyu-wahyu Islam yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW pada awal abad VII M, tentu saja membawa motivasi baru di dalam hubungan antara kawasan Arab dengan Nusantara, yaitu dakwah atau penyampaian ajaran. Ini digerakkan oleh sabda Nabi yang juga sangat terkenal, “Sampaikan ajaran-ajaran dariku, walau hanya satu ayat”. Catatan sejarah memberitakan para pedagang Persia dan golongan Alawiyin (keturunan Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi) sudah singgah di kota-kota pelabuhan Sumatera dan Semenanjung Malaya dalam perjalanan ke Cina sejak pertengahan abad ke-7. Cerita-cerita rakyat di Buton, Sulawesi Tenggara, juga mengisahkan kedatangan dua orang sahabat Nabi yang datang dan menetap di sana, sehingga tempat mereka mendarat dan tinggal diabadikan dengan nama mereka, Batauga.

Sebuah cerita kehadiran saudagar Arab (tazhi) pada masa kekuasaan Ratu Simha di Kerajaan Kalingga pada awal abad VIII, diberitakan sumber-sumber Cina dari Dinasti Tang yang mencatat suatu peristiwa di mana akibat ulah seorang saudagar Arab yang tidak memercayai bahwa di wilayah Kalingga tidak ada penduduk yang melakukan tindak kejahatan – kemudian saudagar Arab itu menguji penduduk dengan menaruh emas satu peti di jalan yang ternyata tidak disentuh siapa pun sampai dua tahun – telah mengakibatkan putera mahkota Kalingga dipotong kakinya gara-gara menendang peti emas tersebut (Groeneveldt, 1960). Sebuah spekulasi juga pernah dilontarkan, bahwa fakta Ratu Simha menerapkan hukuman potong tangan atau kaki untuk para pencuri menunjukkan suatu pengaruh dari Arab.

Prof A.Hasjmi (1979) yang mengulas naskah tua berjudul Idharul Hak Fi Mamlakatil Peureulak karangan Syekh Ishak Makarani Al-Pasi mengungkapkan bahwa Islam masuk ke Peureulak sekitar tahun 173 H (800 M) bersama datangnya sebuah kapal yang dipimpin Nahkoda Khalifah yang membawa 100 orang juru dakwah asal Arab Kuraisy, Palestina, Persi dan India. Mereka itu menikahi perempuan setempat dan beranak-pinak. Seorang pemuda Arab Kuraisy keturunan Ali Bin Abi Thalib yang bernama Sayid Ali menikahi adik kandung Raja Peureulak, Meurah Syahir Nuwi. Dari pernikahan itu lahir Sayid Abdul Aziz yang menikah dengan putri Makhdum Khudawi, putri sulung Raja Meurah Syahir Nuwi. Pada 1 Muharram 225 H (840 M), Sayid Abdul Azis dinobatkan menjadi sultan Kerajaan Islam Peureulak pertama dengan gelar Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Azis Syah.

Betapa sangat intensifnya perjumpaan bangsa Arab dengan wilayah Nusantara, terutama wilayah Sumatera, sehingga di dalam Sajarah Melayu disebut: “Hatta maka tersebutlah perkataan sayyidi Ali Ghiyatsuddin muwafakat di negeri Samudera Pasai, [awal abad ke 14] dengan segala menteri yang tua-tua; ia berbuat sebuah kapal dan membeli dagangan Arab, karena segala orang Samudera pada zaman itu semuanya tahu bahasa Arab.” Nama Pasai sendiri menurut J.L.Moens berasal dari istilah Parsi yang diucapkan menurut logat setempat sebagai Pa’se (Hasjmi, 1989).

S.Q. Fatimy (1963) mencatat bahwa pada abad ke-9 Masehi, terdapat migrasi suku-suku dari Persia ke Indonesia yaitu suku Lor, Yawani dan Sabangkara. Orang-orang Lor mendirikan pemukiman-pemukiman di pantai utara Pulau Jawa yang disebut Loram dan Leran. Terdapatnya makam Fatimah binti Maimun bin Hibatallah di Leran, Gresik, yang menunjuk kronogram abad ke-10 Masehi adalah petunjuk yang mengarah kepada kebenaran berita tersebut. Dalam Kitab Musarar Babon Saka ing Rum yang dikutip dalam Primbon Ramal Jayabaya susunan R Tanaya (1956), diungkapkan bahwa dalam usaha mengisi Pulau Jawa yang masih dihuni jin, siluman, brekasakan, dan berjenis-jenis makhluk halus, Sultan Al-Gabah, penguasa negeri Rum (istilah orang Jawa untuk menyebut Persia-pen) mengirim 20.000 keluarga muslim Rum ke Pulau Jawa di bawah pimpinan Patih Amirul Syamsu dan Jaka Sengkala. Mereka tinggal di Gunung Kendheng di pantai utara Jawa. Dikisahkan bahwa ke-20.000 keluarga muslim itu diserang makhluk-makhluk halus, banyak yang mati dan tersisa hanya 200 keluarga. Mendapat laporan itu, Sultan al-Gabah marah dan mengirim ulama, orang sakti dan syuhada ke Jawa untuk memasang “tumbal” guna mengusir makhluk-makhluk halus. Akibat keampuhan “tumbal” para ulama, orang sakti dan syuhada, terjadi pralaya (kebinasaan besar) di Jawa.

Di dalam babad-babad lain juga diceritakan bahwa Prabu Jayabaya, raja Kediri yang besar, mempunyai seorang guru spiritual dari Persia yang dalam lidah Jawa disebut Syekh Samsujjen, yang makamnya diyakini masyarakat Kediri sekarang ada di Setono Gedong Kediri dengan nama (aslinya) Syekh Syamsudin al-Washil. Jejak pertukaran budaya dari hubungan tersebut ditunjukkan pada ilmu meramal yang dimiliki oleh Sang Prabu Jayabaya, yang sangat terkenal dan masih dipercayai hingga hari ini, dalam berbagai serat “Ramalan Jayabaya”. Menurut sejarawan Prancis, Denys Lombard, kata “ramalan” berasal dari bahasa Arab “ar-ramal” yang berarti “pasir”. Jejak lain dari peninggalan Prabu Jayabaya juga dapat dilihat dari rajah-rajah kesaktian dalam kultur Jawa yang masih “dipakai” hingga hari ini, juga menggunakan angka-angka dan huruf hijaiyah Arab. Kehadiran dan pengaruh para syekh ini juga terekam dalam kitab yang lebih tua zaman Prabu Airlangga, Kakawin Arjunawiwaha karya Mpu Sedah, di mana seperti terjemahan kutipan Ir. Sri Mulyono dalam buku “Asal-Usul Wayang” terdapat ungkapan metaforik yang menggambarkan rumpun pohon bambu yang merunduk menyentuh sungai digambarkan seperti orang berkopiah sedang merunduk menghirup dan berkumur mengambil air (untuk wudlu).

Demikianlah, sekalipun dakwah Islam di Nusantara sudah dilakukan sejak pertengahan abad ke-7, namun Islam sebetulnya berkembang lambat sekali di kalangan penduduk bumi putera. Islam masih dianut oleh pedagang-pedagang dan pendatang dari Arab, Persia, India, dan Cina. Dalam tujuh kali muhibahnya, Cheng Ho yang menjadi legenda bagi penduduk Nusantara dalam sejumlah historiografi lokal, dikisahkan meninggalkan mubaligh-mubaligh untuk berdakwah di Jawa dan Sumatera. Namun para mubaligh tersebut belum bisa menyebarkan secara luas ajaran Islam di kalangan penduduk pribumi. Haji Ma Huan yang mengikuti perjalanan ketujuh Cheng Ho ke Jawa yang berlangsung antara tahun 1431-1433 Masehi, menuturkan bahwa di Jawa ketika itu terdapat tiga golongan penduduk. Golongan pertama, adalah penduduk Islam dari barat yang telah menjadi penduduk setempat. Pakaian dan makanan mereka bersih dan pantas. Golongan kedua, adalah orang-orang Cina yang lari dari negerinya dan menetap di Jawa. Pakaian dan makanan mereka baik, dan banyak di antara mereka yang memeluk Islam serta taat melaksanakan ibadah agamanya itu. Sedang golongan ketiga, adalah penduduk asli yang sangat jorok dan hampir tidak berpakaian. Rambut mereka tidak disisir, kaki telanjang, dan mereka sangat memuja roh (Arnold, 1913; Budiman, 1978; Hirth,196).

“Arab Digarap, Jawa Digawa”

Ketika Kerajaan Majapahit dengan peradaban Hindu-Budha-nya mengalami kemerosotan karena perang saudara yang berlarut-larut, di antara para bangsawan dalam memperebutkan tahta kerajaan sepeninggal Prabu Hayam Wuruk, yang menyebabkan demoralisasi dan krisis tatanan nilai besar-besaran di semua sektor kehidupan,  berdirinya Kerajaan Islam pertama di Jawa, Demak pada akhir abad XV, merupakan momentum penting dalam konteks pertemuan budaya antara kawasan Arab dengan Jawa. Kerajaan Demak yang disangga oleh para tokoh-tokoh spiritual yang sangat mumpuni, yang dikenal dengan Walisanga, segera mengambil langkah-langkah strategis untuk mengembangkan agama sekaligus membangun kembali secara baru Peradaban Jawa yang sedang runtuh tersebut. Prinsip terpenting yang dikembangkan dalam proses transvaluasi nilai-nilai lama dan melahirkan nilai-nilai baru itu adalah “keselarasan” dan keseimbangan. Sebagaimana diungkapkan oleh Sunan Kalijaga, tokoh penting Walisanga dalam proses transvaluasi ini, di dalam suluk Syekh Melaya: “anglaras ilining banyu, angeli tan keli” (menyelaraskan berbagai aliran air di dalam sungai, ikut mengalir tapi tidak terbawa arus).

Prinsip keselarasan ini menjadi sangat signifikan, karena rupanya, bersamaan dengan merosotnya Hindu-Budha di lingkungan brahmana dan ksatria Majapahit, dibarengi dengan kemunculan kembali agama-agama rakyat kuno pemujaan leluhur Jawa di satu sisi dan di sisi lain oleh gerak pasang Peradaban Islam di berbagai kawasan dunia seperti Imperium Turki Utsmani di Timur Tengah, Imperium Moghul di India dan Imperium Shafawiyah di Persia, yang gelombang ekspansinya juga melanda kawasan-kawasan pesisir Nusantara.

Kisah simbolik mengenai peralihan damai dan kesinambungan serta keselarasan ruhani antara Peradaban (Hindu-Budha) Jawa ke Peradaban (Islam) Jawa, dikisahkan oleh Elizabeth Inandiak melalui adaptasi dari tembang-tembang dalam Serat Centini, dalam dialog antara Sunan Kalijaga dengan Prabu Yudhistira:

~~

Kalijaga berupaya menemukan kiblat di kerimbunan hutan, menghadap ke Mekah, selesai menyebut nama Allah, Bismillahirrahmanirrahim, lalu menggurat di tanah sepenuh empat deret kali empat baris, ke enam belas bilangan empat angka surat Al-Fatiha yang ia baca dalam hati dan ia tebarkan di hembusan napasnya. Mantra angka itu menggetarkan nyanyian serupa di dada Yudhistira dan tangan kanannya tiba-tiba membuka, melepaskan jimatnya. Itulah sebuah daun pandan halus dan digulung dan diikat benang sutera. Kalijaga membuka simpul benang itu dan membaca: Kalimasaada.

Yudhistira masih terpana:

Itu nama buku wasiat yang berkekuatan menghidupkan kembali para pahlawan yang mati belum waktunya. Tapi kematianku sebaliknya tak kunjung tiba. Kecuali barangkali bila membaca kelima usaada, kelima obat sang buddha untuk melewati kehidupan tanpa terlalu duka.”

Kalijaga berbicara, hati-hati tetapi pasti:

Oh, raja Yudhistira, masing-masing membaca melalui mata keyakinannya. Melalui mata baru Islam, aku membaca kalimah syahadat, pernyataan orang-orang Islam bahwa tiada tuhan selain Allah, dan Muhammad SAW adalah utusan Allah. Adapun paduka tidak menemukan jalan kematian, itu karena terikat pada jimat, tiada lain adalah agama bentuk, agama paduka, agamaku dan agama lain–lain yang bahkan kita belum kenal. Mesti agama adalah pedoman mutlak manusia di dunia, ia bisa menjadi rintangan saat waktu tiba untuk meninggalkan raga demi kemanunggalan kawula gusti. Untuk mati dalam kemanuggalan, kita harus bisa melupakan rupa dan tak menyebut lagi. Kita harus naik menuju niat tunggal yang memancarkan kebhinekaan rupa dalam sebutan. Oh raja Yudhistira, begitulah paduka telah terbebaskan dari segala rintangan.

Yudhistira membuka kotak itu dan dari dalamnya mengeluarkan daun lontar yang diatasnya tergurat lima sosok: dirinya dan keempat saudara pandawanya. Ia membeberkan sisilah marga bharata, sejak malam perkawinan Shantanu dengan Dewi Gangga serta mengisahkan Bharatayudha kepada Kalijaga:

“Semoga saudara bisa menceritakan kisah ini sebagai renungan kenangan wajib. Untuk itu, dandanilah sosok-sosok itu dengan kulit seekor kerbau, hiasilah dengan tulangnya yang ditumbuk halus dengan bubuk berwarna dan gerakkanlah mereka dengan tanduk kerbau tadi yang dihaluskan menjadi tongkat tangkas. Namailah pagelaran wayang karena, lihatlah saudaraku, baru saja rupa sirna, bayangannya berkilau sudah.’’

Raja Yudhistira lalu langsung redup dalam pancaran aram temaram, ia berhasil naik ke surgaloka. Kalijaga mengubur jenasahnya di kaki beringin secara Islam dan pergi menyusuri jalan–jalan di Tanah Jawa untuk menyiarkan Nur Muhammad berbekal Quran serta kotak wayang.’’

~~

 

Tampak, medium peralihan damai dan kesinambungan yang selaras itu ditandai dengan digunakannya seni pertunjukan wayang. Memang, pertunjukan wayang sebagai ritual pemujaan leluhur sudah dikenal orang-orang Jawa sejak zaman pra-sejarahnya. Namun, para wali kemudian melakukan pembaharuan format pertunjukan wayang secara dinamis, estetis dan fungsional sebagai medium pendidikan masyarakat. Sebagaimana diakui oleh Th.G.Pigeaud dalam Javaansche volkvertoningen. Bijdrage tot de beschrijving van land en volk (1938). Ia menegaskan bahwa dugaan pertunjukan boneka wayang sebagai permainan yang terpisah sudah ada sejak dulu dan kemudian diisi dengan mistik Islam adalah tidak benar, karena semua orang tahu bahwa berita-berita mengenai wali-wali penyebar Islam, mereka itulah yang memberi peranan penting pada tujuan pertunjukan wayang dalam bentuknya yang sekarang. Itu berarti, pertunjukan wayang purwa adalah benar-benar hasil kreasi para Walisanga terutama Sunan Kalijaga dalam mereformasi secara menyeluruh seni pertunjukan wayang.

Para wali di dalam Dewan Walisanga banyak bermusyawarah untuk mengembangkan rumusan-rumusan ajaran dasar Islam secara tepat untuk diselaraskan dengan berbagai kecenderungan keagamaan, budaya dan kesadaran yang sedang saling bersaing silang sengkarut di tengah-tengah masyarakat. Demikianlah, sambil memasukkan nilai-nilai baru yang dibutuhkan masyarakat, seperti sabar, lilo, ngalah, iklas, musyawarah, mufakat, adil, akal, nalar, dan sebagainya, pada saat bersamaan beberapa ajaran Islam dipribumisasikan ke dalam istilah yang sudah dikenal masyarakat seperti kalimat syahadat dikenalkan sebagai kalimasada, shalat disebut dengan sembahyang, shaum/shiyam dikenalkan sebagai puasa (upawasa) dan sebagainya. Demikian juga, mulai diselaraskan pula sistem penanggalan antara kalender Hijriyah dari Arab dengan kalender Saka dan Jawa, yang nanti baru efektif diberlakukan pada masa Sultan Agung di Mataram.

Tidak lupa, para Walisanga juga menggali khazanah kuno Jawa yang tertulis dalam naskah-naskah berbahasa Kawi peninggalan kerajaan-kerajaan sebelumnya, dari Mataram Kuno sampai zaman Majapahit. Kitab-kitab tersebut, dibaca ulang, ditafsirkan kembali, diselaraskan dengan ajaran-ajaran (terutama tasawuf) Islam untuk kemudian diajarkan kembali ke tengah-tengah masyarakat. Hasil dari kajian dan kerja para wali dan komunitas keilmuan yang mereka bentuk saat itu, menghasilkan suatu model “perpaduan” yang khas, yang kelak mudah disalahpahami sebagai sinkretis. Seperti termuat dalam Serat Centini, ada kisah mengenai “Pêrmusyawarataning para dewa”, yang secara ringkas:

~~

Hyang Basuki nêranakên wêjanganipun Peksi Rukmawati bab cahyaning gêsang, anasir latu, bumi, angin, toya//Bhatara Basuki (Sriyana) bab pralambanging aksara Jawi, pasangan, sandhangan tuwin rekan//Hyang Endra bab ênêng-êning//Bhatara Wisnu bab lênggahipun aksara Arab ing awakipun manungsa, sarta minangka pralambanging ngèlmu agami. Dumadakan gègèr, jagad horêg, para jawata sami dhawah kantu, wungu sami kêsupèn ing sadaya ingkang winêdhar, kajawi Bhatara Wisnu ingkang têtêp èngêt.//Miturut Ngusmanajid, gurunipun Wisnu, dununging bumi, dahana, maruta, tirta ing badaning manungsa awujud jasat, napsu, napas, rokyat.//Hyang Guru ngêmpalakên sakathahing kawruhipun para dewa, kaimpun dados “Sastra Jendra Yuningrat” ingkang kajlèntrèhakên, ananging têtêp dados kêkêraning dewa”.

~~

 

Rumusan-rumusan ajaran dan nilai-nilai baru di atas, yang dilakukan dengan prinsip kerja penyelarasan “Arab Digarap, Jawa Digawa”, ditulis dalam bentuk popular cerita-cerita dan tembang-tembang, suluk serta serat-serat. Di samping penyebaran melalui media cetak (para Walisanga juga membawa teknik produksi kertas ke Jawa), ajaran dan nilai-nilai baru di atas disebarkan melalui medium-medium seni musik, suara, gambar, tari dan lain-lain, yang puncak dari kolaborasi berbagai seni itu diwujudkan dalam bentuk pagelaran wayang kulit. Pertunjukan seni dan pagelaran wayang, di samping untuk keperluan pendidikan masyarakat, juga menghibur dan menjadi sarana memakmurkan desa.

Bubukane dennya nedhak/ nukil Srat Kalimasada/ pan katedhak ing dalancang/ dados ringgit beber nama// Kalampahan jaman purwa/ kang dados kalangenannya/ ingkang amengku nagara/ ila-ilane punika// Anggemahaken ing desa/ barekat mupakat barkat/ ing ratu tumrah sapraja//

(Pembukaan lakon wayang ini dinukil dari Serat Kalimasada, yang dipindah di atas kertas, sehingga menjadi wayang beber. Ini adalah cerita dari zaman purwa, menjadi kegiatan menghibur milik negeri, untuk memakmurkan desa, dengan penuh keberkahan dan mufakat dari sang raja dan seluruh rakyat negeri).

 

Kebanyakan Walisanga adalah seniman, pendakwah dan ulama sekaligus. Mereka pandai memainkan wayang, gamelan dan menciptakan tembang-tembang. Salah satu yang terkenal adalah Sunan Kalijaga. Beliau dikenal dan dikenang oleh seantero penduduk Jawa sebagai seniman dan pendakwah yang berkeliling ke berbagai penjuru tanah Jawa menyebarkan agama Islam melalui berbagai kesenian. Sebagaimana dikisahkan oleh Babad Cirebon berikut ini:

Dadi dadalang kekembung/ anama Ki Seda Brangti/ apahe yen ababarang/ ika kalimah kakalih/ singa gelem ngucapena/ ya dadi tanggane nyuling// Sakedap dadalang pantun/ sang pajajaran dumadi/ akeh Islam dening tanggapan/ katelah dalang pakuning/ sakedap dadalang wayang/ maring Majapait dumadi// Akeh Islam dening iku/ katelah dalang kang nami/ sang Koanchara konjara purba/ tanggape bari gampil/ mung muni Kalimah Sahadat/ dadi akeh sami Muslim//

Keragaman Bahasa, Kemampuan Menafsir, dan Kosmopolitanisme Bangsa Jawa

Alexander Sudewa, dalam kajiannya terhadap mengenai fungsi Kawi dan pujangga dalam kasus Serat Dewa Ruci, menemukan bahwa sejak masuknya Islam ke Nusantara, berbahasa Arab membantu orang-orang Nusantara memaknai bahasa secara berbeda dari cara orang-orang Hindu-Budha dulu. Sebelumnya, bahasa lebih merupakan mantra atau yantra. Setelah kedatangan Islam, bahasa mulai bertransformasi. Berkat pengaruh bahasa Arab, berbahasa mulai identik dengan cara menafsirkan yang tepat dan ‘membebaskan’. Para Walisanga dan generasi pelanjutnya mengangkat istilah “patitis kang mardikani”, yang semakna dengan tafsir dan ta’wil dalam literatur Islam (Ahmad Baso: Pesantren Studies, 2012, hal 22-23). Konsep “patitis kang mardikani” dan bagaimana itu membantu orang Jawa membaca teks secara dinamis dan transformatif, kita temukan dalam satu bait dalam Serat Cebolek:

Punapa malih rasaning kawi/ Bima Suci kalawan Wiwaha/ Pan sami keh sasmitane/ Ngenting rasaning ngelmu/ Yen patitis kang mardikani/ Kadyangga Kawi Rama/ Punika tesawuf//

(Makna serat-serat kawi seperti serat Bima Suci dan [Arjuna] Wiwaha diungkap dalam bahasa-bahasa kiasan yang menguasainya bisa mendalami ngelmu asalkan menafsirkannya dengan titis dan mardika, demikian pula serat Rama dalam bahasa Kawi, semua itulah [ajaran] tasawuf)

 

Demikianlah, tampak bahwa para Walisanga di samping menyampaikan materi ajaran-ajaran secara sederhana dan popular melalui berbagai medium teks, mereka melalui berbagai teks itu ternyata juga mendidik masyarakat untuk mengembangkan kemampuan mereka dalam menggunakan akal mereka untuk menafsirkan teks, bahasa-bahasa kiasan, sehingga mereka tidak terikat kepada “agama bentuk” tetapi dapat membebaskan diri dari “agama bentuk” itu untuk tujuan-tujuan mengenal dan manunggal dengan Tuhan secara lebih baik. Dengan kata lain, dalam kutipan di atas, tasawuf.

Dalam jangka panjang, kemampuan dalam menafsirkan teks, membebaskan diri dari “agama bentuk” serta dan meningkatnya pengenalan dan kemanunggalannya dengan Tuhan akan mendewasakan keberagamaan orang-orang Jawa dan mendidik mereka untuk mempunyai sikap toleran. Tentang toleransi orang Jawa ini, ada termuat dalam  Serat Centini:

Sampun tamat cariyosing para nabi// kang mêngku sarengat// jêjêripun nênêm nabi// mirib kang kasêbat Kitab.// Mèsêm-mèsêm Ki Ajar ngandika aris// kulup ingsun rasa// laku-lakuning agami// Buddha lawan kanabeyan.// Amung gèsèh laku nanging jogge sami// andhêku rahadyan.

(Terjemah bebas: Sudah selesai uraian ceritera tentang para Nabi yang memegang syariat seperti disampaikan oleh Jayengsari dari Kitab Bayanudayan. Dengan tersenyum bijak, Ki Ajar berujar, ‘Kulup [Anakku], kurasa perbedaan antara tata-cara agama Budha [agama pra-Islam yang dianut komunitas Tengger] dan tradisi para Nabi itu sungguh hanya terletak pada soal cara dan laku; sedangkan tujuannya sendiri adalah sama’. Jayengsari tunduk mengiyakan …)

 

Berkembangnya Kebudayaan melalui baik teks maupun seni pertunjukan, menyebarnya pengetahuan melalui penggunaan bahasa yang beragam dan dengan pikiran yang terbuka serta jiwa yang toleran, pada gilirannya akan membangun peradaban Jawa tumbuh menjadi kosmopolitan. Suatu kutipan fragmen “Gatholoco Bantah Kalihan Guru Tiga” dari Suluk Gatholoco (Sastradipura, 1905) menunjukkan bagaimana kosmopolitanisme semacam itu ditunjukkan oleh santri-santri Pesantren yang merupakan hasil dari pengembangan strategi kebudayaan para Walisanga di atas:

Kawruh Landa, Jawa, Cina// Myang Bênggala Koja Turki lan Kêling// Kabeh iku wus kacakup// Sun simpen aneng kasang// Kawruh Arab ajar timur kongsi lamur// Ngelmu Jawa nora kurang// Dhasar ingsun bangsa Jawi

(Pengetahuan tentang bahasa-bahasa Belanda, Jawa, Cina, Bengali [Persia], Koja [Arab], Turki dan Keling [India, Sansekerta]. Kami santri bertiga [Mat Ngarip, Ngabdul Jabar, Ngabdul Manap dari Pesantren Arjasari] sudah menguasai semuanya, kami punya semua [kamusnya] di dalam tas kami, kami mempelajari bahasa Arab dari masa muda hingga di masa tua. Demikian pula Ngelmu Jawa [kami sudah kuasai], tiada satupun yang kurang karena kami sendiri adalah orang-orang Jawa …)

***


Sumber Gambar:

Lukisan karya Hardi berjudul “Guru Bangsa Kanjeng Gusti Abdurrahman Wahid, Senopati Kalifatulah, Panotosomo ing Nusantara”, 2018.

 

 

0
98
Buku Langgar

Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru – Sebuah Pengantar

Izinkan pada awal tulisan ini, saya membuat disclaimer bahwa seluruh isi tulisan pengantar ini, anggap saja sejenis sendau-gurau juga sebuah racauan. Dan oleh karena itu, para pembaca tak perlu menganggapnya terlalu serius, apalagi membatinkannya dalam sebuah permenungan yang menyendiri.

Karena hal ini berkait dengan seorang sosok dan juga terkait sebuah ajaran yang begitu luhur, wingit, serta lungid, yakni sosok bernama Ki Ageng Suryomentaram dengan ajaran “Kawruh Jiwa”-nya, dimana dari sejak dini pada saripati-inti ajaran tokoh ini sendiri, mewanti-wanti para pembacanya untuk tak menjadikannya sebagai semata ‘diskursus’: bahan permenungan, alih-alih intellectual exercise yang tanpa ujung. Ia, Ki Ageng Suryomentaram, semata menyodorkan aksioma-aksioma [baca: sebuah ajakan] sebagai pelecut yang bisa membantu seseorang untuk segera masuk mengenali dan mengawasi realitas kediriannya sendiri. Tak lebih dari itu.

Karena, jika anda telah menyambut ajakannya ini, hati-hati, bukan saja Anda akan tergetar dan terkesima menyaksikan realitas diri Anda sendiri yang begitu mengagumkan, namun Anda juga akan mengalami transformasi diri yang tanpa terkatakan [tan kena kinira ngapa], yakni sebuah perubahan diri yang tidak memiliki capaian presedennya sebelumnya. Bagi Anda yang belum siap membaca tulisan ini, awas, urat Anda bisa putus.

****

Lepas dari kaidah “Kawruh Jiwa” [baca: ajaran Ki Ageng] yang akan segera diuraikan secara melimpah dalam buku ini, saya akan menyingggung sedikit terkait pijkan dasar spiritualitas [dasar bentangan ilmu ruhani], yang sayangnya bahkan sering dibaikan oleh para pelajar Kawruh Jiwa sendiri [baca: para pengikut Ki Ageng], yakni terutama persis seperti telah dijelaskan dalam dokumen surat-surat “pra-Kawruh Jiwanya” Ki Ageng yang berjudul “Buku Langgar 1920-1928” [belum diterbitkan].

Dengan menyinggung ulang dokumen awal tulisan Ki Ageng Suryomentaram ini, bukan saja kita bisa memblejeti dasar-pijakan spiritual macam apa yang membuat Ki Ageng bisa merumuskan Kawruh Jiwa-nya, melainkan juga kita bisa merunut cadangan kultural macam apa yang memungkinkan sosok agung ini muncul dan hadir, sekaligus bagaimana prasyarat cadangan-cadangan tersebut memungkinkan ajaran Kawruh Jiwa-nya bisa melampaui kelemahan ajaran spiritual-ruhani sebelumnya, serta pada saat bersamaan, juga sekaligus bisa menemukan signifikansi orisionalitas gagasannya sendiri.

Saking wingit dan sakralnya, Ki Ageng Suryomentaram berusaha memeras pijakan kawruhnya [rumusan pengetahuannya] dalam Buku Langgar—sebagaimana tertera dalam salah satu tulisan ‘surat’-nya yang berjudul “Pedagogie”—dengan rumusan yang agak berani sekaligus simbolik. Ia mengatakan bahwa basis pijakan pengetahuan yang ia rumuskan, adalah semata merupakan “pijakan atau bekal manusia untuk menjalankan unsur-unsur kedewataan dalam dirinya” [sanguning manungsa supados anetepi Kadewatanipun].

Rumusan ini berangkaat dari asumsi sederhana bahwa di dalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling berperang yakni,

[1] unsur ke-buto-an atau sifat raksasa [atau katakanlah unsur kehewanan dalam diri, diri kecil, dan nafsu], sedangkan yang kedua,

[2] unsur ke-dewa-an atau unsur ‘ketuhanan’ atau ‘kemalaikatan’ di dalam diri terdalam manusia. Ini adalah unsur fitrah jiwa terdalam manusia, hati nurani [pancaran cahaya Tuhan yang bersemayam dalam diri: Nur Muhammad].

Nah ilmu mengenali diri atau sering disebut ilmu ‘mawas diri’ ini sejatinya —sebagai langkah mendasar sekaligus puncak untuk mengenali hakikat kenyataan dan hidup ini—adalah ilmu untuk mengenali hakikat sejati terdalam dari diri, plus usaha mengeluarkan, merealisasikan, dan menegakkan pancaran unsur kedewataan yang bersemayam dalam diri manusia itu sendiri [baca: ilmu ruhani, khalifatullah}.

Kendaraan atau wahana untuk mencapai derajat pengenalan diri ini [plus realisasinya] oleh Ki Ageng dinamai dengan apa yang diistilahkannya sebagai Sih atau rasa welas asih atau cinta. Yakni sebuah daya yang sebenarnya berasal atau masih berada dalam area kuasa yang memancar dari Kraton Surga [inggih punika Sih ingkang kabawani Kraton Swarga]. Alias, sebuah daya untuk menundukkan dan ‘menguasai bumi seisinya’ [smarabumi]. Meminjam kalimat Suryomentaram sendiri,

“Apakah kalian sudah tahu, jika pada alam semesta-keseluruhan ini tidak ada daya yang bisa mengunguli ketinggian daya dibanding rasa cinta-sejati?”

[Punapa sampeyan sampun mangertos yen ing jagad sawegung punika mboten wonten daya ingkang nglangkungi luhuripun katimbang raos sih sejati?]

Karena, menurutnya, pada dasarnya kebutuhan manusia di dunia ini selain makan tak lain hanya rasa cinta. Berjuta-juta orang dengan susah payah mencari harta benda [semat], kehormatan-pangkat [drajat] dan kuasa-jabatan [pangkat] agar dikasihi dan mendapat cinta dari yang lain. Namun ternyata apa yang didapatinya justru sebaliknya: perselisihan, iri-hati, sombong, rasa benci atas jalan hidupnya sendiri, juga rasa benci terhadap orang lain karena tidak mencintai dan mengasihinya. Model pencarian kebahagian yang seperti inilah yang akan mengantarkannya kepada ‘neraka kesengsaraan’.   

Sungguh ini dikarenakan ketidakmengertian akan hakikat gerakan hidup, alias ketiadaan pengetahuan dan ilmu, dimana gerakan kodrati hidup tadi dipaksa tunduk pada keinginan dan kehendak sewenang pribadinya sendiri [kehendak-nafsu]; tanpa ilmu nyata. Oleh karenanya Ki Ageng menyarankan, untuk sampai kepada pengetahuan terkait hakikat hidup [meruhi dat-ing dumadi: Ilmu hakikat], seseorang harus mengambil jalan lurus siratalmustaqim bernama pengetahuan “mengenali dirinya sendiri” [ilmu ma’rifat], karena sumber segala kesengsaraan kita adalah ketidakmengertian akan realitas diri ini.

Dalam bahasa pasemon pewayangan, apa yang ingin dikerjakan oleh Ki Ageng Suryomentaram adalah mengajarkan ilmu kedewataan [baca: ilmu ruhani] supaya tergelar di alam dunia mayapada ini, alias alam semesta dunia ini. Atau dalam bahasa yang lebih simbolis, ia mendapat mandat dari Bathara Guru, yakni melalui penasehatnya Bathara Narada, penguasa kayangan Dewata, untuk mendirikan Univeritas Kagungan Dalem Bathara Guru, yakni sebuah universitas yang akan mengajarkan ilmu kedewataan atau ilmu ruhani, supaya tegak dan berdiri di alam mayapada dunia ini [angadekaken unipersitit kaagungan dalem jumeneng wonten ngarcapada].

Sebuah ilmu yang menuntun para mahasiswanya untuk mengenali realitas hakikat kediriannya sendiri [baca: man arafa nafsahu] yang belakangan akan dinamai oleh Ki Ageng Suryomentaram sendiri dengan nama “mawas diri” atau “pangawikan pribadi” [alias ilmu tentang mengawasi dan mengenali diri sendiri]. Siapa yang telah mengenali diri sejatinya akan sampai kepada unsur atau pancaran hakikat kedewataan yang bersemayam dalam diri ini [jumeneng pribadi]. Di belakang hari, penamaan ilmu ini berganti lagi menjadi bernama “Kawruh Jiwa” untuk mengeliminasi konotasi dan jebakan mistifikasinya.

Dalam konteks ini pula, perlu kita dicatat bahwa usaha Ki Ageng Suryomentaram menelurkan “Kawruh Jiwa” ini oleh karenanya juga harus dibaca dalam rentang rangkaian tradisi keilmuan ruhani sebelumnya [baca: surat wiridan], yakni sebagai sebentuk cadangan kultural ke-Jawa-an yang memungkinkan sosok ini menelurkan gagasan orisionalnya, yang secara bersamaan juga telah terolah secara matang bahkan melampaui tradisi spiritual sebelumnya sekaligus. Dalam hal ini, Ki Ageng Suryomentaram bisa juga kita anggap merupakan rantai kristalisasi puncak dari bentang rangkaian ajaran keruhanian Jawa sebelumnya tersebut.

Dan hanya di tangannya sematalah, yakni melalui metode rasional-objektifnya, ia bisa menepis aspek mistifikasi ajaran keruhanian maupun spiritualitas lama yang pekat dengan jebakan irrasionalitas dan normativitas sendiri yang melenakan. Pada Kawruh Jiwa-lah ajaran keruhanian lama mencapai kematangan rasional objektifnya, sebut saja begitu, sehingga bisa menjadi suguhan makanan ruhani [pengetahuan obyektif, alih-alih normatif] yang dapat diambil oleh siapapun tanpa membedakan baju tempelan identitas suku, kelompok, agama, maupun kebangsaan apapun. Alias telah menjangkau aspek universalitasnya bagi kemanusiaan seluruhnya.

Namun begitu, ajaran yang ditelurkannnya, sekali lagi tak boleh dilupa, masih merupakan rangkaian benang yang sama dari ajaran spiritual-ruhaniyah kemanusiaan sebelumnya [Jawa-Islam]. Dalam jalur pengatahuan “mawas diri” atau “pangawikan pribadi”-nya misalnya [baca: ilmu pengenalan akan dirinya sendiri], tema ini hampir ditemukan merata dalam tradisi spiritual-ruhani sebelumnya.

Bahkan dalam ulasan yang lebih eksplisit serta padat pada ajaran Bangkokan Kawruh Jiwa-nya bernama “Buku Langgar”, Ki Ageng sendiri dengan sadar berusaha menilik ulang dan me-review saripati ajaran-ajaran tradisi sebelumnya ini, yakni dimulai dari ajaran sejak zaman akhir Prabu Brawijaya, zaman Demak akhir, masa Sultan Agung beserta Sastra Gendhing-nya, masa Mataram Akhir, Kartasura Akhir, serta pada zaman Giyanti, hingga zaman Penjajahan Belanda pada masa ia hidup. Ia menunjukkan kelebihan ajaran-ajaran yang terselenggara pada setiap masa-masa tersebut, plus menunjukkan jebakan-jebakannya.

Bahkan tokoh agung ini juga mengulas secara terpisah saripati ajaran pada masa “Sekolahan Gaib Zaman Islam” [jaman kuwalen: zaman para wali], yang sering dikenal sebagai masa dimana para wali tanah Jawi menyebarkan ajaran ruhaninya, yang relatif ia beri porsi ulasan yang cukup padat, untuk sekali lagi menimbang kelebihan serta potensi jebakannya. Tak hanya itu, ia juga membandingkan dengan tradisi ajaran Budhisme, serta memberi tambahan ulasan kritik terkait kecenderungan kultifikasi benda-benda gaib [kultus benda] seperti dilakukan oleh para pelaku dan penganut Theosofi, yang memang pada saat itu, awal abad 20, mulai menyebar di tanah jajahan Hindia Belanda.

Hal ini, bagi saya, bukan sesuatu yang mencengangkan. Karena, dalam dokumen Primbon 9 jilid yang dikeluarkan Keraton Surakarta, bernama “Kitab Primbon seri-Adam Makna” yang telah banyak beredar, dimana dikatakan pada pengantar pendahuluannya, bahwa Ki Ageng Suryomentaram merupakan cucu dari seseroang pangeran pemilik berjubel-jubel kitab dan manuskrip kuno tinggalan warisan kesusateran Kraton Jawa Mataram Islam: Pangeran Harjo Tjakraningrat. Dan Suryomentaram, konon mendapat limpahan kepustakaan ini dari kakeknya tersebut. Juga dari koleksi manuskrip milik kakeknya ini pulalah, 9 jilid Kitab Primbon yang telah disebut, akhirnya bisa diterbitkan dalam edisi latin dan tersebar di kalangan masyarakat.

Signifikansi informasi barusan sebenarnya hanya ingin meletakkan kesadaraan terkait satu hal: Ki Ageng Suryomentaram bukan hidup dalam ruang vakum dalam menelurkan gagasan-gagasannya. Plus hal ini terkait ide mendasar, bahwa Ki Ageng benar-benar berinteraksi dengan gagasan dan ajaran ruhani zamannya.

Bahkan, dalam riwayat hidupnya, ia pernah terseret secara kuat dalam laku “lelana-brata” [baca: santri lelana], dalam pengelanaan ruhani dan tirakat ke makam dan petilasan-petilasan keramat di banyak tempat pada masanya [gua langse, dll]. Juga terkait keputusannya ‘keluar’ [melarikan diri] dari kenyamanan keraton dalam lelaku asketiknya: seperti menjadi penggali sumur, kuli angkut koper, berdagang kain keliling di daerah Banyumas, menanggalkan gelar resmi kepangeranannya, mendesak pemerintah kolonial untuk menuruti permintaan berhajinya ke Makkah, menyerahkan sebagian besar harta bendanya kepada pelayannya, hingga menjadi petani biasa sampai umur tuanya di Desa Bringin, Salatiga. Laku-laku inilah, latar penting yang memungkinkan sosok ini melahirkan gagasan-gagasan ‘orisionil’ Kawruh Jiwanya di belakang hari.

Dari cadangan kultural kejawaan inilah yang mumungkinkan sosok Ki Ageng bisa menyandingkan dan menukil secara enak pengetahuan-pengetahuan lama-lama tersebut. Juga dalam konteks ilmu pengenalan diri sendiri, Ki Ageng dengan enak bisa memeras dan mengambil saripati ajaran-ajaran lama Jawa-Islam dengan pengetahuan pangawikan pribadi-nya sendiri, yakni dengan cara mengeluarkan signifikansi mistis makna selubung ‘rahasia’ tokoh semacam Siti Jenar dengan kisah cacingnya, maupun Kanjeng Kyai Kopek sang sosok macan-nya Sultan Agung, maupun signifikansi mistik-simbolis jembatan kayu melintang [wot galinggang] yang dipakai Sunan Kalijaga saat bertapa di Pulau Upih.

Semua simbol ini mengacu pada perjalanan atau dalam bahasa lamanya disebut ‘lelaku’ ruhani dalam rangka mengenali dan menemui diri sejatinya sendiri. Persis seperti perjalanan ruhani sosok Bima dalam pewayangan dalam usahanya menemui ‘dirinya sendiri’ dalam wujud sosok kecilnya [baca: Dewa Ruci]. Sebuah perjalanan ruhani untuk menemui Diri-nya sendiri atau sering disebut ‘suluk’ [dimana istilah tasawuf ini telah diserap dalam bahasa Jawa untuk menamai genre tembang alit macapat dalam tradisi Jawa—baca kesusateraan Suluk].

Dan dalam galur bentangan keilmuan ruhani inilah Kawruh Jiwa ini harus ditempatkan sebagai masih dalam rangkaian kontinum keilmuan lama untuk mengenali jiwa terdalam diri manusia [baca: mulat sarira]. Yakni tentu dengan kebaruan sodoran metodologi obyektifnya, alias alih-alih normatif dan mistis seperti tradisi ruhani sebelumnya, dan oleh karenanya, Kawruh Jiwa dengan begitu bisa dikatakan merupakan pematangan gagasan-gagasan objektif dari tradisi ilmu ruhani sebelumnya.

Hal ini sekaligus memberi arti dan signifikansi baru kenapa Ki Ageng lebih memilih kata ‘kawruh’ yang lebih berkononotasi obyektif-empiris, daripada kata ‘ngilmu’ yang lebih berkonotasi mistik dan normatif misalnya. Alias secara ringkas ia berhasil menelurkan prinsip-prinsip objektif keilmuan, dengan maksud memperluas pengandaian cakupan universalitasnya, terkait perangkat pengetahuan akan pengenalan realitas diri yang bisa membantu manusia Jawa juga Indonesia atau bahkan dunia secara luas, dengan sodoran metode barunya.

Juga penting ditilik, bahkan sejak pertalian erat juga relasi persaudaranya dengan Ki Hajar Dewantara, yakni jauh sebelum pertemuan rutin “Selasa Kliwon” pada tahun-tahun yang mendahului dalam menelurkan pendirian Taman Siswa dimana ia terlibat, Ki Ageng Suryomentaram telah berinteraksi secara intens dengan gagasan-gagasan filsafat Barat zamannya. Dalam sebuah suratnya ia menyinggung hal ini secara implisit:

Aku kelingan dek Paman Ajar isih sekolah. Sok Bengkat barang, mungsuhe Nabi Kilir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kali. Nek Lud-ludan Pei karo Batara Narada lan Sidarta Kapilawastu. Jing Ngloco Pitagoras utawa Plato. Nek Bas-basan janji karo Prabu Brawijaya, betah sawengi. Nek mul-mulan adate mungsuhe Laose dibut loro karo Konghuchu. Jing tukang mungsuhake Aristoteles karo Kant.”

Artinya,

“Aku masih ingat saat paman Ajar [Ki Hajar Dewantara; pen.] masih sekolah, kadang bermain pedang-pedangan juga. Musuhnya Nabi Khidir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau bermain kartu bersama Bathara Narada dan Sidarta Kapilawastu. Yang mengocok Pitagoras dan Plato. Jika bermain bas-basan, janjian sama Prabu Brawijaya. Tahan semalaman. Kalau bermain gulat biasanya musuhnya Laotse, dikeroyok bareng Konfusius. Yang menjadi tukang adunya Aristoteles bersama Immanuel Kant.”

Kutipan di atas ingin menyodorkan keterangan implisit, bahwa Ki Ageng bukan saja tidak mengisolasi diri dari gagasan-gagasan besar dunia zamannya—seperti dugaan banyak orang—dan malah ia sebenarnya berada tepat pada pusaran aliraan deras gagasan-gagasan besar zamannya tersebut, namun ia memilih tak larut dan melarutkan diri. Bahkan ia malah membentuk pusarannya sendiri. Karena seturut perkataannya sendiri, jika hanya terseret arus dalam relasi perhubungan yang semakin meningkat antar-bangsa, bangsa yang tidak dapat memberi sumbangan gagasannya kepada dunia [alias cuma mengunyah teori dari luar] akan sirna tanpa guna [dene bangsa ingkan mboten saged urun bade sirna].

***

Buku Trilogi Ki Ageng Suryomentaram yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini adalah rangkaian panjang lelaku sang penulis dalam menyajikan suguhan makanan ruhani “Kawruh Jiwa”-nya Ki Ageng Suryomentaram, agar dapat dicicipi siapapun dalam merasakan buah penerapan Kawruh Jiwanya Ki Ageng. Konon Muhaji Fikriono katanya dalam usaha menuliskan karyanya ini perlu menunggu umur kematangan ruhani di usia 50. Juga, Trilogi buku ini juga semacam elaborasi terkait cadangan kultural ilmu ruhani ke-Jawa-an, seperti yang telah disebut, yang membentuk dan memungkinkan Ki Ageng Suryomentaram menelurkan Kawruh Jiwanya yang begitu orisinil, namun juga masih merupakan jejak bentangan benang tradisi keilmuan ruhani yang berturutan sebelumnya.

Pembacaan rentang tradisi pengetahuan ruhani kejawaan ini sangat diperlukan bukan semata untuk mendudukkan latar kultural yang memungkinkan sosok agung Suryomentaram lahir, namun juga dalam bahasa tokoh ini sendiri, agar bangsa Jawa pada khususnya, mampu, tentu dengan cadangan-cadangan kulturalnya yang kaya tersebut, untuk merumuskan tata-sosial baru yang lebih mulia [saged tata bebrayan enggal ingkang langkung mulyo].

Karena, bagaimanapun, usaha menyelenggarakan keilmuan ruhani dari mandat kayangan Dewata, punya kendala dan rintangannya sendiri, meski tradisi keilmuan ruhani ini merupakan warisan kaya yang dimiliki bangsa Jawa juga Indonesia secara umum. Namun begitu, bangunan Universitas Keilmuan Diri-Ruhani di masa yang lama, menurut Ki Ageng, atapnya sudah banyak yang retak, patah, dan rompal di sana-sini [unipersitit kina ingkang pager-payonipun sampun sami popol].

Banyak para maha-guru dan professornya yang ikut merawat dan menjaga universitas ruhani tersebut telah banyak yang terserang oleh ‘cacing kebencian’ [kremi gething], serta banyak papan dan dinding kayu universitasnya telah tergerogoti oleh rayap ‘merasa unggul sendiri’, serta telah dihinggapi kesombongan dan rasa jumawa [ama pambegan], sehingga urgensi pendirian universitas pengetahuan diri yang baru [baca: Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru] perlu disegerakan. Dan dalam latar seperti itulah Ki Ageng Suryomentaram hadir.

Karena, penghalang terbesar untuk mengenali kenyataan diri—yang akan membawa pada keadaan bahagia bersama [baca: zaman windukencana]—adalah sebuah rasa “merasa lebih dari yang lain”, rasa sombong, rasa ‘lebih unggul dari yang lain’, juga rasa iri. Rasa-rasa ini muncul dikarenakan sebagai penanda akan betapa tidak tahunya dia akan kenyataan dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Dan melihat diri melalui ‘pangawikan pribadi’-nya Ki Ageng berguna untuk membedol rasa-rasa ini sampai kepada akar-akarnya, yang akan mengantarkan seseorang masuk kepada surga ‘rasa-tentram’ dan kedamaian. Karena tercapainya rasa tentram diri ini pulalah yang membuatnya akan bisa menyaksikan dan rajin mengawasi rasanya orang lain, sehingga menemukan cermin ‘rasa yang sama’ terhadap yang lain.

Juga dari jalur pengenalan diri inilah, orang mulai bisa mendeteksi asal sumber kesengsaraan manusia, alias rasa tak pernah cukup dari keinginannya [karep/karsa]. Dikarenakan sifat keinginan ini memang memiliki kondisi kekukarangan, celaka, dan sengsara terus-menerus [dat-ing karep punika cilaka]. Setiap kali melihat orang miskin, orang kaya, orang rendahan, orang berpangkat, orang pandai, orang bodoh, seseorang bisa merasakan kesengsaraan yang sama yang diderita mereka, karena telah menyatu dengan keinginan yang membuatnya memasuki kondisi rasa kekurangan tanpa ujung.

Dalam penglihatan diri ini, ia mulai bisa menyaksikan bahwa terpenuhinya keinginaan tidak akan membuat orang bahagia, karena segera akan mengingini sesuatu yang lebih, tak puas [baca: mulur]. Dan memang begitulah keinginan. Namun, dari jalur ini pula, seseorang akan mulai bisa memilah antara “Aku” sebagai pengawas-keinginan dengan keinginan dan rasa-rasa yang ditimbulkannya sebagai objek awasannya. Aku yang mengawasi keinginan, ternyata mandiri dan terbebas dari kesengsaraan yang dimunculkannya [aku dudu karep].

Akhirnya sang-Aku bisa mengawasi keinginan [karep] se-enaaknya [tanpa perlu mengubahnya], alias tidak khawatir lagi, karena terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan tersebut, tidak akan menyebabkan kebahagian seterusnya maupun kesusasahan seterusnya: senang sebentar, lalu susah lagi [karena keinginannya mengembang; mulur], atau jika tidak terpenuhi susah, lalu senang kembali [karena keinginannya mengempis: mungkret].  

Kesadaran sang-Aku pengawas [Diri besar] yang tak lagi terbelit dengan gerakan keinginaan subyektifnya akhinya muncul ke permukaan. Ia sekarang bisa mengawasi keinginannya sendiri, yang secara alami memang memiliki sifat “sewenang-wenang” serta “tak mau bersusah payah” dalam pemenuhannya [alias tak bisa diubah], yang ini jelas melawan prinsip alamiah kenyataan hidup itu sendiri.

Ketika, sang rasa “Aku” telah muncul ke permukaan [sampun medal saking korining pikiran] ia bisa merasakan rasa tentram yang tanpa kira, yakni sejenis rasa damai yang bukan dikarenakan terpenuhinya keinginan, melainkan rasa Aku yang telah terbebas, dan telah bisa menerima sifat kinginaan yang ‘maha lucu’ itu [tanpa perlu lagi mengubahnya], yang pada dasarnya tidak bisa lagi membuat Aku sengsara [karena aku hanya mengawasi].

Pada saat inilah akan muncul rasa tangguh [raos tatag], serta telah bisa menerima keadaan dan kejadian yang telah terjadi di masa lalu [musnahnya rasa sesal—getun], serta telah siap menghadapi apa yang akan berlangsung di masa mendatang [rasa khawatir hilang—sumelang], karena baik terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan, tidak akan membuat kebahagiaan yang bersifat terus-menerus [dalam arti rasa senang terus-terusan] maupun kesengsaraan yang terus-menerus [sedih yang terus-terusan]: karena rasa senang dan susah ini pada dasarnya terus-menerus bergantian seiring gerakan keinginan yang bersifat mengembang-mengempis [mulur-mungkret].

Kondisi inilah yang akan mengantarkan kita pada terpilahnya watak-watak kehewanan atau ke-buto-an yang telah berpisah dengan watak kedewataannya [andadosaken sigaring pilahipun wateg-wateg kahewanan lan wateg-wateg kadewatan].

Seseorang akhirnya berdiri tegak dalam berpengetahuan sebagai pribadi [baca: madeg pribadi kawruh] dalam mengawasi kenyataan. Pengetahuan dan proses mengetahuinya tidak lagi digunakan semata sebagai perabot yang tunduk pada pemenuhan keinginannya [penilaian subyektifnya], yang sayangnya jika dibiarkan bisa menyuburkan pengetahuan “kata-katanya” [katanya kitab, katanya buku, katanya teori, katanya orang, dll] maupun pengetahuan “pantas-pantasnya’, alias pengetahuan berdasar kebiasaan dari yang apa dinyakininya [gugon-tuhon], melainkan telah bergerak kepada pengetahuan yang sudah terlepas dari unsur subyektivitas keinginan dan kehendaknya, alias Kawruh Nyata [Ilmu Nyata]. Yakni sejenis ilmu pengetahuan yang telah dimengerti, diketahui, dan dirasakannya sendiri berdasar prinsip obyektif kenyataan hidup yang telah teralami [baca: kasunyatan, hakikat, kahanan jati].

Dalam amsal pewayangan, orang yang telah menegakkan sang Aku ini akan manunggal dengan Batara Wisnu [tetep sarira Bethara Wisnu], memakai mahkota “merasa benar sendiri” [ngrasuk makutha rumaos leres], alias sudah mengerti, mengetahui, dan merasakan sendiri, karena telah duduk di singgasana Kawruh Nyata atau Ilmu Nyata [lenggah ing dampar kawruh nyata], serta kemudian menjadi sang Aku yang maha serba tahu [semuanya kuketahui, bahkan termasuk yang tidak kuketahuipun, aku tahu].

Namun setiap kali sang Aku melihat yang lain, ia ternyata melihat orang lain seperti bayangannya sendiri yang juga “merasa benar sendiri’ [tiap orang pasti begitu], meskipun dasar penyangga pengetahuan “merasa benar sendiri”-nya tersebut adalah pengetahuan yang “kata-katanya” [jare-jare] atau “menurut ini-menurut itu” [biridan], maupun “pengetahuan pantas-pantasnya berdasar semata kebiasaan yang dinyakininya” [gugon tuhon].

Ia melihat orang lain juga ‘merasa benar sendiri’ meskipun belepotan di sana-sini. Padahal, siapapun yang bersikeras memaksa orang lain untuk supaya “merasa keliru” tanpa didampingi suguhan sajen Dewi Sinta bernama ‘rasa welas asih’ yang sempurna, tentu pasti akan kwalat” [pramila tiyang ingkang ngogek-ngogek dating tiyang sanes, ingkang supados rumaos klentu mboten mawi Dewi Sinta, Sih ingkang sampurna, tamtu kwalat].

Rasa Aku-mengawasi yang telah muncul dalam diri seseorang inilah yang dikatakan oleh “Kawruh Jiwa” bisa menjadi pandu dalam mengawasi dan menimang gerak naik-turunnya rasa-rasa beragam dalam hati yang terus berseliweran, plus untuk membedol dan mencabuti rasa-rasa ruwet yang telah berurat akar di dalamnya. Rasa tentram akhirnya akan bersemayam, karena telah bisa menerima dan mengawasi rasa-rasa yang berwarna tadi, yang memang berlangsung seturut hukum kejadian dan sifat keinginan.

Jika rasa tentram ini semakin bertambah dan mengakar dalam diri, ia bisa berdiri sebagai pribadi [jumeneng pribadi], alias tidak membutuhkan ‘rasa-welas-asih’ dari orang lain, karena dalam hatinya telah berlimpah dan kelebihan rasa cinta [sugih sih-kaya cinta], yakni sebagai hasil buah tanaman pengetahuan yang tumbuh dari pengenalan kenyataan dirinya sendiri. Jika buah ini telah matang, ia bahkan bisa membagikannya sebagai suguhan makanan bagi setiap makhluk di bumi untuk memetiknya.

Sang Maha-Kaya-“Cinta” ini [orang yang telah berkecukupan cinta, karena saking melimpahnya di dalam hatinya] kemudian juga bisa mulai bertani, menanamkan benih pengetahuan [kawruh] ke dalam hati orang lain dengan cara membajaknya dengan simpati, melembutkan tanah pertaniannya dengan alat garu bernama sabar, dan menyiangi gulmanya dengan rasa welas-asih.

Sabar dikarenakan berasal dari terang penglihatannya, bahwa menanam padi pasti akan menumbuhkan padi. Sedangkan simpati adalah penglihatan jiwanya dalam memandang orang lain, tidak ada lagi sekat-pemisah yang tidak mungkin bisa ditembus oleh kekuatan simpati. Jika anak panah simpati telah dilepaskan, semua yang berkerlipan akan termurnikan; sebuah senjata prabu Niwatakawaca dalam pewayangan, dimana saat sang Arjuna telah bisa mengalahkan sosok ini, ia disebut “lelananing jagad’ [sang pria sejatinya jagad raya].

Mungkin dalam rangka menjelaskan ajaran mulya pengenalan diri-ruhani inilah, penulis buku Trilogi Suryomentaram ini: Muhaji fikriono, bertungkus-lumus menuliskannya dalam tiga jilid tebal yang serba melingkupi sehingga memudahkan para pembaca. Dan, seperti sering dikatakan penulis buku ini kepada saya, bahwa ‘sudah saatnya’ ajaran ini perlu diwedar dan dijelentrehkan tanpa harus ditutup-tutupi lagi karena kekhawatiran akan efek getarnya bagi tradisi pengetahuan normatif ruhani sebelumnya.

***

Pesan Seri Buku Ki Ageng Suryomentaram Karya Muhaji Fikriono [Klik Link]

Namun, sebelum beranjak mengatamkan rangkaian buku trilogi ini, saya ingin mengingatkan kepada para pembaca, bahwa rangkaian ajaran yang akan Anda dapatkan dari hasil ‘membaca’ buku Suryomentaram ini, pada akhirnya adalah baru semata ‘katanya’ Suryomentaram [ilmu jare-jare dan biridan]. Alias Anda belum mengetahui dan merasakannya sendiri [mengerti, mengetahui, atau merasakan sendiri—Kawruh Nyata].

Maka, setelah selesei, segeralah lupakan ‘katanya’ Suryomentaram, tepislah pengetahuan ‘menurut’ Suryomentaram. Segeralah, mulai saat ini, di sini, dan dalam keadaan seperti ini [saiki, kene, ngene] mengenali dan mengawasi realitas diri Anda sendiri. Karena tak ada siapapun, makhluk bumi manapun, yang bisa mengajari Anda–tidak guru manapun, tidak kitab, tidak buku, tidak tulisan, atau tidak siapapun—dalam usaha mengenali realitas diri anda sendiri.

Wejangan Suryomentaram di bawah ini barangkali tepat untuk memungkasi paragraf pengantar tulisan ini:

Saya mengingatkan kepada semua yang mendengar

[Kulo pepenget dateng sedaya ingkang mirengaken],

Jangan pernah menjalankan ajaran-ajaran di atas

[sampun ngantos anglampahi wulangan punika],

Malah akan mendapat kesusahan yang tak terkira

[mindak angsal kesusahan ingkang tanpa upami].

Ajaran-ajaran di atas hanya untuk tiang-sandaran saat duduk semata

[wulangan punika namung kangge cagak lenggahan kemawon],

Atau semata sebagai suguhan pengiring saat wedangan

[utawi pacitan wedangan],

Jangan sampai dibaca saat sendiri

[sampun dipun waos ijen-ijenan],

Sebab nanti kalau ada setan yang lewat, juga akan ikut tertarik untuk mengamalkannya

[sabab mangke yen wonten setan langkung lajeng kapingin nglampahi],

Akhirnya bisa membahayakan, rusak dunia-akhiratnya

[wasana kadrawasan, risak donya-ngakeratipun].

Akhir kata selamat membaca. Langeng bungah-susah!

Klandungan, Malang. 26 Januari 2024

Irfan Afifi

Pelajar Kawruh Jiwa, ngiras-ngirus Tukang Sapu Langgar.co

*** Tulisan pengantar ini ditulis untuk mengenang momen ‘kasendal-mayang’ rasa gemetar diri yang tak terkira karena membolak-balik “Buku Langgar 1920-1928” [belum terbit] selama masa tiga tahun.

Bocah Cilik Gambar Jagad – Catatan Etnografi Biografi Slamet Gundono

Rp 120.000

Jika Proses keberislaman adalah proses berkebudayaan itu sendiri dalam arti upaya peyempurnaan manusia dalam keempat fakultas dirinya yakni cipta, karsa, jiwa dan rasa, maka proses yang seperti itu dalam kenyataan konkrit dapat disimak dalam kisah hidup Slamet Gundono yang ditulis secara etnografis oleh Yusuf Efendi dalam buku ini.
Karya yang bercerita kisah perjalanan Ki Slamet Gundono ini, akan mengajak kita manyusuri lika-liku kehidupan seorang seniman dari latar belakangnya yang rinci dan pelik, hingga gagasan-gagasannya yang asik, renyah lagi dalam. Kompleksitas tersebut disusun dalam alur metrum macapat dalam kesusastraan Jawa yang saling terkait satu sama lain. Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung dan Sekar dijadikan penanda oleh penulis untuk menceritakan fase-fase perjalanan tokoh tersebut.
Penerbitan buku ini bagi kami adalah usaha untuk memotret suluk kehidupan seorang seniman yang mempunyai ciri khas kuat lagi berkarakter. karya-karya yang diciptakan berakar di jantung tradisi masyarakat bernafaskan spritualitas Islam, di sisi lain tak kehilangan relevansinya dengan sepirit zaman kontemporer. Dan menurut kami sosok ki Slamet Gundono adalah prototipe utama seorang seniman dalam galur Islam Berkebudayaan. Dan besar harapan kami kedepan dengan adanya buku ini bisa memberi gambaran sekaligus inspirasi bagi seniman-seniman lebih muda.

Penulis : Yusuf Efendi
Editor : Taufik Ahmad
Tata letak : Mugi Pengki
Penerbit : Buku Langgar
Tahun terbit : April, 2022

Spesifikasi Buku

Ukuran : 13 X 19 cm
Halaman : 420 hlm

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI

Rp 200000 Rp 175.000

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI – Nur Khalik Ridwan

Sinopsis:

Aspek penting yang menggerakkan para wali di Jawa abad XV-XVI adalah batin-tasawuf-tarekat, tetapi sering luput dalam analisis para Orientalis. Dengan aspek tasawuf-tarekat itu, para wali penyebar Islam di Jawa abad XV-XVI melakukan berbagai upaya pribumisasi islam, pembacaan atas Jawa, dan memformulasikan Jawa dengan tetap memelihara apa-apa yang yang diperlukan dari masa lalu.

Aspek batin itu diolah dari tarekat-tarekat mereka, yang buahnya adalah mendidik kader, menggerakkan perubahan, mengacu-menyusun karya-karya, menyuburkan amal-amal baik, mem-bangun jejaring dan mengolah dzikir-dzikir untuk ke-mashlahatan manusia Jawa.