Menu

Mencandra Muhammad: Orang Jawa Melukiskan Nabinya

Syahdan. Suatu siang di bulan Maulud pertengahan 2019, seseorang kawan karib lama berkunjung di kediaman saya di Dusun Cepokojajar, Bantul, DIY. Kedatangannya kali ini sedikit berbeda. Ia banyak berkisah, tidak seperti sebelumnya. Ia berkisah apapun. Apa saja. Apapun remeh-temeh yang bisa dijadikan obrolan dan canda. Entah tentang kepindahan rumah kontrakannya yang baru, tentang awal pernikahannya di tahun ini, hingga cerita atau barangkali tepatnya, kisah kelakuan dan perilaku tetangga-tetangga barunya, yang kali ini, bisa sedikit membuatnya tersenyum kecil. Maklum, ia baru saja menikah. Dan saya kira, pernikahan, apalagi yang baru tentu saja, akan menyibak banyak kisah dan cerita. Cerita yang mulai keluar dari fokus dirinya, meluber ke orang terkasihnya, tetangga, sekelilingnya, atau bahkan orang-orang yang ditemuinya di jalan. Saya tak heran. Barangkali memang pernikahan, batin saya saat itu, sejenis fase yang mengajak orang “keluar” dari dirinya. Keluar sedikit demi sedikit dari kesenangan diri menuju seseorang di luar dirinya, terutama kepada “yang terkasih”. Atau bahkan semakin melecut seorang mengawasi hal-hal yang di luar “interest” dirinya. Mungkin.

Namun, ada satu cerita darinya yang barangkali tak ‘kan terlupa hingga hari ini. Suatu waktu, juga masih di bulan Maulud tahun yang sama, ia, teman saya itu, menceritakan bahwa ia terlibat perbincangan santai dengan tetangga barunya di Kota Gede. Ia bertanya dengan sedikit iseng kepada tetangganya. Ia menanyakan bagaimana pendapatnya terkait nabinya: Muhammad. Tetangganya itu menjawabnya dengan ringan, nyaris tanpa beban: “Nabi Muhammad itu, menurut saya lho mas, seseorang yang jiwanya, pikiran, perkataan, dan perbuatannya telah selaras dan manunggal.” Saya terhenyak mendengar kisahnya. Saya terperanjat pada jawaban tetangganya. Seumur-umur, saya tak pernah mendengar jawaban seperti ini. Seketika, tanpa benar-benar saya sadari, seingat saya, tiba-tiba dari mulut saya secara lirih terucap salawat, “Allahumma, shalli ‘ala Muhammad.” Setelahnya, saya tak lagi ingat lanjutan kisahnya. Saya hanya mengingat jawaban tetangganya itu. Saya nyaris lupa diri.

Tetangganya itu menjawabnya dengan ringan, nyaris tanpa beban: “Nabi Muhammad itu, menurut saya lho mas, seseorang yang jiwanya, pikiran, perkataan, dan perbuatannya telah selaras dan manunggal.” Saya terhenyak mendengar kisahnya. Saya terperanjat pada jawaban tetangganya. Seumur-umur, saya tak pernah mendengar jawaban seperti ini. Seketika, tanpa benar-benar saya sadari, seingat saya, tiba-tiba dari mulut saya secara lirih terucap salawat, “Allahumma, shalli ‘ala Muhammad.”

Jujur, ini jawaban orang Jawa-awam yang menampar kesadaran intelektual saya. Jawaban ini, saya bayangkan, tidak mungkin lahir dari refleksi seseorang sehabis mendengarkan pengajian tentang kisah dan riwayat Nabi misalnya, atau bahkan didapat dari membaca buku ringkasan sirah Nabi. Ia seolah lahir dari pergulatan intim batinnya yang tak terpisah dari laku-hidupnya. Ya laku hidup seorang awam yang berusaha menjangkau nabinya dalam keseharian laku-hidupnya sehari-sehari. Sesosok Nabi yang bukan pertama-tama muncul dari kisah-kisah dari luar yang dibacanya sehingga semata akan menjadi “diskursus kenabian”, melainkan sosok Nabi yang muncul “dari dalam”, yang intim dialaminya dalam kehidupan. Sesosok Nabi yang muncul dari “diri-batin”-nya dan pergulatannya sendiri. Seorang nabi yang tak lagi berjarak dalam diskursus. Seorang Nabi yang menjadi pandu “diri-batin”-nya sendiri dalam menapaki lelakon kehidupannya.

Jawaban ini benar-benar menghentak saya untuk waktu yang lama. Bahkan nyaris hingga hari ini. Dalam tanya sanya, lanskap kultural macam apa yang memungkinkan orang-orang ini, sebut saja seorang Jawa-awam dalam kasus cerita saya di atas, memiliki jawaban yang begitu “genuine” ini? Bagaimana orang Jawa membayangkan, sekaligus menjangkau nabinya yang begitu jauh? Atau tepatnya, bagimana orang Jawa memahami nabinya, serta melukiskannya? Atau dalam konteks yang lebih historis, cadangan dan khasanah kultural macam apa yang membentuk lapisan simbolik yang begitu dalam pada rentang sejarah masyarakat Jawa sehingga memungkinkan masyarakat ini, bahkan bagi orang yang paling awamnya sekalipun, mampu menjangkau nabinya, bukan semata hanya pada level lahir diskurusus, kisah, dan sosoknya saja yang begitu luaran, melainkan menghunjam kepada sosok batin yang intim dialaminya dalam kesadaran laku ruhaniah perjalanan kehidupannya. Sayangnya, saya harus bersabar menjawabnya.

***

Dalam sebuah kesempatan yang tak lagi saya ingat tanggalnya di tahun 2020, saya tiba-tiba berada di tengah-tengah keriuhan dan kegembiraan pembacaan “Salawat Emprak” di Pondok Pesantren Budaya Kaliopak, Dusun Klenggotan, di pinggiran timur Yogyakarta. Sebuah pembacaan shalawat kepada Nabi Muhammad dengan “cara Jawa” yang konon diajarkan oleh para wali tanah Jawi dan telah dimasifkan serta ditradisikan oleh masyarakat Jawa sejak zaman Sultan Agung, masa kesultanan Mataram empat abad yang silam. Barangkali “Salawat Emprak”, yang merupakan salah satu dari banyak kesenian salawat yang disebut di Serat Centhini yang masyhur itu, yang digelar di Pondok Budaya Kaliopak malam itu, telah mendapat banyak tambahan dan tambal-sulam di sana-sini. Namun aura pembacaannya, yang banyak didominasi bunyi-bunyi syi’iran berbahasa Jawa, gerakan tari-tarian para paraga laki-laki yang mengirinya, warna dan jenis pakaian lengkap Jawa tradisional yang dikenakan para pemainnya, juga komposisi bunyi dan alunan yang dikeluarkan dari alat-alat musiknya seperti kendang, kempul, gong, kentang, serta kentengnya, maupun liukan nyaring dan tinggi para penyenandungnya, atau bahkan model penceritaan dari seorang dhalang [seorang perawi] dalam mengkisahkan riwayat sang Nabi (baca: rawen) di sela-sela pembacaan tembang-tembang dan senandung salawatan, benar-benar menghentak dalam sebuah rangkaian pagelaran wingit yang tak terkatakan. Plus bau menusuk pengaharum dupa yang saya lihat telah menyala di pojok-pojoknya, sungguh membuat saya larut atau malah terserap seutuhnya.

Seingat saya, saya begitu larut malam itu. Larut dalam alunan tembang-tembang yang dilantunkan, yakni seturut ayunan musiknya yang menggerakkan juga menggetarkan hati itu. Beberapa kisah atau rawen yang dibacakan perihal kelahiran Nabi beserta “cahaya” yang menyertai dalam bahasa Jawa lamanya, lamat-lamat saya tangkap dengan keterbatasan pendengaran telinga beserta jangkauan arti yang menyertainya, secara tak utuh. Namun dari-nya, saya sempat tersedot agak kuat. Beberapa pendaran makna yang memancar dari pembacaan kisah kelahiran “Sang Cahaya” [Muhammad], memeranjat saya. Saya seolah terbawa, tersapa kehadiran Nabi dalam pengertian ruhani-batinnya yang tak berjarak. Diri-batin kenabian yang hadhir dalam relung kesadaran hati yang terpancar dari kisah serta kedalaman “rasa” alunan musiknya yang telah mangunggal dalam gerakan tarian para peraganya. Saya nyaris hilang.

Diri-batin kenabian yang hadhir dalam relung kesadaran hati yang terpancar dari kisah serta kedalaman “rasa” alunan musiknya yang telah mangunggal dalam gerakan tarian para peraganya. Saya nyaris hilang.

***

Di belakang hari, saya lamat-lamat bisa sedikit mengingat “kisah-kisah” yang menggetarkan yang menghunjam itu. Bahkan di waktu selanjutnya, saya mulai memburu manuskrip yang menjadi pandu “Salawat Emprak” ini dalam memandu pergelarannya. Tak lama, seorang teman, yang juga merupakan santri senior di Pesantren Kaliopak, bernama Munir, menyodori saya hasil karya skripsinya di UIN Sunan Kalijaga tentang “Salawat Emprak” [Misbachul Munir, Skripsi SKI, 2012]. Munir ternyata telah menyeleseikan research-nya perihal “salawat Emprak” yang menjadi tugas akhir S-1-nya di tahun 2012. Dengan bekal itulah, saya kemudian dipertemukan dengan Luthfi, santri senior lain di Kaliopak, yang menurut keterangan Kiai Jadul Maula, pengasuh dan muassis pondok ini, telah berhasil mengalih-aksarakan manuskrip pegon tinggalan leluhur, yang terus-menerus diwariskan pada “simbah-simbah” pelaku “Emprak” antar generasi.

Berkahnya, saya segera mendapat naskah latin alih aksara pegon plus salinan manuskrip aksara pegon-nya sekaligus dari Luthfi. Naskah ini samar-samar diingat para pelaku Emprak, bernama “Tladha” yang ditulis-ulang Gusti Yudanegara, seorang pangeran Kesultanan Yogyakarta di masa penjajahan Belanda dulu. Namun begitu, hasil alih-aksara latin dari manuskrip pegon ini, belum mendapat sentuhan editing yang cukup. Juga, yang tak kalah krusialnya, pengerjaan “terjemahan” setidaknya hingga saya mendapatkan manuskrip ini, belum dikerjakan sama sekali. Dari naskah yang belum terterjemahkan ini, saya kemudian mengambil alih tugas tersebut. Yakni dari sejak pembenahan ejaan dan bunyi, mengambil keputusan membenarkan kata-kata asing yang tak dikenali, hingga menerjemahkannya secara utuh arti tiap-tiap bait tetembangan, cerita-rawinya, hingga senandung arti kidung macapat dan bunyi salawatan-nya secara utuh. Dari hasil terjemahan ini, saya mulai sedikit bisa menduga serta bisa meraba syair-syairnya, tetembangan, juga kisah-kisah metaforisnya yang dulu sempat menghentakkan diri itu. Dan ternyata, sejak saat itu, naskah itu mulai lamat-lamat menyusun semesta simbolik makna tersendiri di dalam diri. Saya benar-benar sedang diterjang kegembiraan.

Poster pengajian rutin “Ngaji Dewa Ruci” di Pesantren Budaya Kaliopak dengan tema “Mencandra Muhammad”.

***

Sekira tiga tahun yang lalu, ketika saya merampungkan karya saya yang telah mendapat banyak apreseasi dan tanggapan, “Saya, Jawa, dan Islam”, [TandaBaca: 2019], saya dihantui sebuah pertanyaan yang akut. Seturut sodoran tesis yang saya kemukakan dalam buku di atas, jika sufisme dalam kasus Jawa telah mengubah secara menyeluruh bangun “aksioma kebudayaan” Jawa secara mendasar kepada alas Islam–dan bahkan telah menjadi penyatu identitas “pandangan dunia” Jawa yang berpaut dan tak lagi bisa dipisahkan dengan Islam setidaknya dari sejak abad 16 hingga 19–maka apa penanda utama kulturalnya? Pra-andainya, Jika tujuan puncak metafisika sufisme adalah maqam kecintaan memuncak pada “Kanjeng Nabi” beserta manifestasi “realitas” batin Nur Muhammad-nya, bagaimana orang Jawa menerjemahkan ini dalam praktik kulturalnya yang lebih spesifik?

Berberapa pertemuan dengan para sesepuh, sepertinya membantu saya menyibak lapisan simbolik ini. Perayaan Sekaten misalnya [baca: Syahadatain], yang oleh keraton Ngayogyakarta maupun Surakarta, atau bahkan hingga Kesultanan Cirebon yang sering dinamai sebagai “garebeg mulud” itu, dianggap merupakan perayaan yang terbesar–yakni sebuah perayaan agung menyambut kelahiran Nabi Muhammad. Di banding perayaan garebeg-garebeg lain, seperti “garebeg sawal” [Idul Fitri] atau “garebeg besar” [Idul Adha], “Garebeg Mulud” akan dirayakan begitu megah di pusat-pusat keraton-keraton Jawa–plus replikasinya di tiap kabupaten pada sekujur wilayah kadipaten di pulau Jawa–yakni sebagai perayaan paling besar dari seluruh ritus perayaan-perayaan lain di Keraton. Bahkan dipandang dari durasi waktu beserta jumlah gunungan makanan dan sayuran yang diperebutkan masyarakat di alun-alun kerajaan itu, ia boleh dipandang sebagai yang maha besar. Ia mirip “hari rayanya” orang Jawa, jauh lebih besar melebihi perayaan “garebeg sawal” atau yang kita kenal hari ini sebagai hari raya Idul Fitri itu.

Oleh karenanya perayaan kelahiran Kanjeng Nabi Muhammad melalui garebeg mulud-nya, setidaknya hingga abad 19, adalah siklus kosmologis “hari raya”-nya orang Jawa lama.

Oleh karenanya perayaan kelahiran Kanjeng Nabi Muhammad melalui garebeg mulud-nya, setidaknya hingga abad 19, adalah siklus kosmologis “hari raya”-nya orang Jawa lama. Saya kadang bertanya, dimanakah di belahan bumi ini peristiwa kelahiran Nabi dirayakan sebegitu megah, dengan durasi waktunya yang begitu lama [berhari-berhari], dengan segala atribut kemewahannya; saya kira tak berlebihan jika saya menyebut Jawa. Sebuah siklus kosmologis-ruhani “hari-raya”-nya Jawa yang berusaha menghubungkan masyarakatnya dengan realitas “cahaya kenabian” Muhammad. Nur cahya. Nur Rasa. Sang Hyang Nur Cahya. “Rasa iku rasul-ku,” kata primbon Jawa.

Namun saya tentu sangat sadar, sejak kolonialisme Belanda mencengkram secara utuh kekuasan politik kerajaan Jawa setidaknya pada awal abad 19, tradisi ini kian melentur. Subyek masyarakat Jawa yang dulu diikat tunggal dalam nafas “sufisme Jawa” akhirnya terpecah belah-dalam spektrum aliran [santri, abangan, priyayi] yakni dalam proses pengutuban menaik yang, menurut saya, by design diciptakan Belanda atas nama interest kelanggengan kekuasaannya [baca; Nancy K Florida, Jawa-Islam di Masa Kolonial, Langgar, 2021]. Dan, sayangnya, nalar benturan “politik pecah-belah” dan pengutuban aliran ini masih terawat bahkan dalam narasi akademik kita. Sehingga kita justeru abai terhadap warisan dan “keilmuan” megah ini.

***

Pembacaan “salawat Emprak” di Pesantren Kaliopak malam itu, setelah berusaha lamat-lamat saya susun-ulang, seolah sedang memendarkan makna dan lapis simbolik yang memberi jejak. Ia, salawat ini seolah ingin memendarkan kecintaan lahir-batin seperti yang dialami orang-orang Jawa lama, dan dengan segera berusaha memendarkan ‘cita-rasa’ terdalam itu dalam rumusan gubahan alunan tetembangan, se-syi’ir-an, beserta alunan tabuhan musiknya, yang tentu khas dengan “cara Jawa” agar pertemuan rasa intim itu memendar ke “ra[h]sa” terdalam orang Jawa kebanyakan [baca; Syirr]. Lihat bait-bait pembuka Salawat Emprak ini,

Dzikir Maulud Nabi cara
Mengenang Maulud Nabi cara Jawa

Sarèhipun dèrèng sumêrêp dhatêng basa Arab
Karena banyak yang belum mengenal bahasa Arab

Dados kadamêl basa Jawi kémawon
 
Sehingga dibuat berbahasa Jawa saja

Supados ènggal sumêrêp sarta mangêrtos 
Agar segera mengerti dan memahami

Kamirêngakên garwa putra wayah  
Diperdengarkan istri, anak, dan cucu

Utawi ingkang sami lêlênggahan sêdaya 
Atau yang sedang duduk sekalian

Cariyosipun Maulud Nabi     
Cerita kelahiran Nabi [Muhammad]

Ingkang mugi angsala  
Semoga mendapat

bêrkah syufa’atipun Kanjêng Gusti 
Berkah dan syafa’at-nya Kanjeng Nabi

Dados sêrat cahya kayuwanan 
Yakni menjadi sebuah tulisan dari pendar “Sang Cahaya keselamatan”

Pembuka awal cerita ini merupakan ungkapan lugas Salawat Emprak. Ia, saya bayangkan, sejenis ungkapan kerendahan hati untuk mendekatan subjek orang-orang Jawanya dengan cara ungkap relasi intim dengan Sang Nabi yang bukan semata pada kisah pribadinya yang masih berjarak, melainkan sang Nabi sebagai cahaya sejati [nur muhammad] yang bisa menerangi dengan syafa’at dan berkahnya kepada kalbu atau “rasa” terdalam para pengikut orang Jawa. Sang Cahaya Keselamatan.

Oleh karenanya, Salawat ini seolah ingin memancarkan dan memendarkan kisah Sang Nabi beserta pendar “cahya”-nya di dalam nafas pemahaman yang–mengutip bait rawen yang tertulis di dalamnya–diajarkan para wali tanah Jawi. Yakni pendaran cahya yang muncul pada malam kelahiran sang Nabi berdasar galur pembabaran keilmuan sejati para wali tanah Jawi yang telah mendapat cercah sejati Nur Muhammad-nya [Ing wênginé wiyosé Kanjeng Gusti Muhammad lan ababar ilmu kuwaliyan térang nyata séjatinira].

Ia juga bisa dikatakan, saya kira, sebagai cara ungkap Jawa menjangkau Nabinya sebagai cahaya yang semakin mendekat dalam realitas kedirian orang Jawa itu sendiri. Maka tak salah jika ia, salawat ini secara keseluruhan, bisa dipandang sebentuk persaksian ataupun wujud kekidungan atau nyayian yang digemakan semesta beserta seluruh isinya untuk menyambut kelahiran Sang Cahaya Nabi. Kekidungannya Semesta.

Mantra-mantra kidungane sabuwana
Doa-mantra, nyayiannya seluruh semesta

Sasi maulud, Turune cahya kang mulya
Bulan Maulud, Turunnya cahaya yang mulia

A Nur A Nur
Sang cahaya

Sorotanipun kang sasangka
Sorot cahaya Matahari

Kasorotan-kasorotan
[Kalah] Tertimpa sorotan

Wadanane sang Sudibya
Wajah Sang Mulya/Unggul [Muhammad]

Muncar-muncar amadangi sabuwana
Berpancaran menerangi seluruh semesta

Anyar-anyar anggenira
Serba baru dalam [pakaiannya]

Busanane nur kang mulya
Berbaju cahaya yang mulia

Sapa mulat-sapa mulat
Siapa yang menyaksikan

Ing Gustinya ilang akalnya
Kepada gustinya [Muhammad], hilang akalnya

Baskara ilang sunarnya
Sang surya kehilangan sinarnya

Pan kasoran-pan kasoran
Karena kalah

Ing warnane gusti kula
Dengan rupa baginda kami [Muhammad]

Saya benar-benar tertegun membaca bait-bait kisah awal rawen ‘Salawat Emprak’ ini, juga lukisan kekidungan beserta alunan suara-intonasi musiknya yang begitu khas. Ia dikatakan sejenis “kekidungannya semesta dalam menyambut kelahiran sang Nabi”. Sebuah Kidung yang menjadi persaksian, bahwa di malam kelahiran sang Nabi [bulan mulud], memancarlah seberkas cahaya yang menyebar, menerangi jagad semesta seluruhnya. Matahari seketika redup, diterpa cahayanya. Semesta, beserta seluruh makhluk yang mengisinya, menyambut gembira kedataangannya. Seberkas cahaya yang telah ditunggu-tunggu oleh alam semesta. Perhatikan bait-bait di bawah ini,

Cahyané nalèndra tama
Cahya sang raja utama [Muhammad yang baru-saja lahir]

Jumbuh lan soroté Baskara
Bertemu dengan sorot matahari

Campur lan sênêné ima-ima
yang bercampur dalam sorot mendung

Kawimbuhan sunaring Baskara
Yang tertimpa dari pancaran sorot matahari

Yèn tingalan sumundhul ngéndra buwana
[Cahya Nabi] jika dilihat, menerobos ke atas angkasa

Surêm sang hyang giwangkara
Reduplah cahaya matahari [seketika]

Kasorotan cahyané nalèndra tama
Tersorot cahanya Sang Raja Utama [Nabi]


Wondéné kutu-kutu
Sedangkan para binatang

sato kumelip sato dumadi
Baik kecil maupun besar

Yèn bisaha tata jalma
Jika bisa berbuat cara manusia

Samya asung salam sêdaya
Pada memberi salam semuanya

Hormat angluhurakên panjênênganira
Menghormat meluhurkan Beliau

Sang prabu ingkang misésa
Sang Raja yang berkuasa

Kanjêng Rosululloh
Baginda Rasulullah

Wondéné kayu watu sêgara
Adapun pohon, batu, dan samudera

Gunung angin mina myang tirta
Gunung, angin, ikan di air

Buron darat miwah samudra sak isiné
Amphibi, serta samudera besera seluruh isinya

Hormatira béda-béda datan padha
Salam-hormat mereka berbeda-beda, tak sama

Yèn rinungu sangking mandrawa
Jika didengar dari kejauhan [salam mereka]

Suwaranira arum
Suaranya begitu lirih nan manis

Dahat langênnya mawulêtan
Begitu indah, jalin-menjalin

Tansah mulêk kongasing asmara
Senantiasa padu menebarkan semerbak asmara

Asmaratapa miwah tantra
Asmara-kerinduan ber-bala pasukan

Miwah isèn-isèné bumi sapta

Seluruh makhluk [penghuni] bumi berlapis 7

Langit sapta samya hormat sêdaya
Tujuh langitnya [juga] memberi salam hormat semua

Tikbrasurya baskara rêkta
Pancaran cahaya merah sang surya

Myang kontha-kontha
Beserta bulatan bentuk wujudnya

Samya asung salam sêdaya
Memberi salam semua

Apadéné sato kèwan
Adapun semua hewan

Myang dêrbakan suku loro suku papat
Baik yang berkaki dua maupun empat

Jim miwah manungsa
Bangsa Jin beserta manusia

Samya asung salam sêdaya
Pada memberi salam semuanya

Mawarna-warna
Beraneka rupa

Yèn tiningalan ing mandrawa
Jika dilihat dari kejauhan

Lir puspita kasorotan sang hyang Rudétya
Bak bunga-bunga tersorot oleh “Sang Matahari” [Nabi]

Sungguh, ini lukisan yang menggetarkan. Dengan seluruh pralampita, pasemon, dan kedalaman metaforanya, saya tidak lagi bisa mengelak untuk memberi kesaksian akan kedalaman “Kidung Semesta” ini. Sebuah jalinan indah “doa-mantra” berbentuk tetembangan–seperti dibenarkan sendiri di dalam naskah ini–yang merupakan hasil gubahan para wali tanah Jawi yang telah diterpa “Cahaya Kenabian” di relung batin kalbunya. Yakni sebuah “zikir maulud cara Jawi” untuk memberi pujian dan salam-hormat atas kelahiran dan kemunculan sosok sang cahaya mulya, yang tak lain bernama–meminjam segenap aneka gelar yang disematkan dalam cerita rawen dalam salawatan ini–sang ”Kanjêng Gusti Nabi Muhammad”, atau “Sri Maha Raja Kanjêng Rosulullah shollallohu ‘alaihi wasallam“, atau “Sang Prabu Nabi Malikuningrat”, atau “ Sri Prabu Niyakaningrat”, atau juga ”Bêndara Radèn Mas Gusti Muhammad”. Yakni seorang nabi agung bergelar lengkap “Kanjêng Nabi Malikuningrat Muhammadinil Musthofa Khabibul Mukhtar Panatagama”.

Seorang manusia mulya yang akan menjadi pelita yang menerangi orang-orang yang sedang diselubungi kegelapan dan kebodohan [dadya diyan, Amadhangna ing atiné kawulaningsun]. Seorang manusia, yang dari sudut ruhani, “telah ada sejak 1000 tahun sebelum Nabi Adam terlahir” [anggèn manira sujud sèwu tahun], menyembah di hadapan hadirat-Nya sejak itu [Manira saweg dados ênur, sowan wontên pangayunan Dalêm], dan dari “cahaya sang Muhammad” inilah pendarannya menghidupkan Nabi Adam as [lan dawêk manira diparingakên manuksma wontên tapêlé èyang Adam]. Yakni Sang “pemula” sekaligus “penutup ruhaninya” para Nabi.

Adalah juga Dia sang sosok cahaya, dimana siapapun manusia yang tercerahi oleh sorot cahaya ini dalam kalbunya [Sintên-sintên ingkang katurunan nur dalêm], meski ia lahir dari seorang ayah-ibu yang jauh dari tercerahi [dêlah ibu utawi rama dipun uncati nur Dalêm], akan ditingkatkan derajat kemulyaannya [sami mulya sêdaya], yakni bagaikan kalbu-batin yang seketika terbersihkan [kadiya sinaponing tiyasira]. Alias, sosok yang telah dinubuatkan dan telah tertulis pada ketetapan di singgasana Arsy’-Nya Allah [angsal pawênang sangking ‘arsyi kursi kêncana], yakni yang akan membawa mandat-kuasa “syari’at yang ke-enam” [Ingkang ngasta kuasa saréngat ingkang kaping nêm]. Pembawa syari’at terakhir yang paripurna.

Bahkan lebih jauh, rawen-cerita salawat ini juga menaburi kisah kedahsyatan yang mengiringi kelahiran Sang Nabi dari sisi zahirnya. Lukisan yang juga berbalut lapis simbolik yang bisa menggetarkan para pendengarnya. Sebuah gambaran sakral yang mengiringi saat-saat genting ketika Aminah, sang ibunda Nabi, mulai merasakan sakit sebagai pertanda waktu kelahiran sang bayi yang sedang dikandungnya.

Wauta sang dyah rêtna Ratu Aminah
Tersebutlah kisah tentang Dyah retna Ratu Aminah

Kacarita nalika sampun kêraos gêrahipun
Diceritakan saat mulai merasakan sakit

Badhè kagungan putra
Hendak melahirkan putera

Wondéné ingkang nênggani

Adapun yang menunggui

Sang dyah Siti Aminah
Sang Dyah Siti Aminah [Ibunda Muhammad] adalah

Tilas garwanipun sang Raja Firngon
[almarhum] istrinya Raja Fir’aun [yakni Aisyah]

Kalian sang Siti Maryam
ditemani Siti Maryam [ibunda Nabi Isa]

Ingkang putra èstri bagé[n]dha Ngimêron
Yang merupakan putri Baginda Imron

Wondéné ingkang ngladosi
Adapun yang menjadi pembantunya

Ibu Maryam lan ibu Asiyah
Ibundanya Maryam dan Ibundanya Aisyah

Wondéné para widadari samya
Sedangkan para bidadari bersama-sama

Tumurun sangking suwarga sêdaya
Turun dari surga semuanya

Badhê têtulung dhumatêng
Hendak menolong kepada

Sang dyah Ratu Aminah
Dyah Ratu Aminah

Gandanira mulêk ngambar mulêk arum
Bau kuat semerbak harum segera menyebar

Sawêk kalêrêsan mbotên wontên dilah
Di saat bersamaan, juga tak ada lampu

Wondéné ingkang dados dilah
Adapun yang jadi lampunya

Cahyanipun para widadari
Cahaya yang memancar dari para bidadari

Ingkang samya têtulung punika
Yang bersama-sama memberi pertolongan

Lah ingriku sang Ratu Aminah
Di saat itulah Aminah

Lajêng bingar pênggalihira
Lega hatinya

Ical kuwatirira
Hilang rasa khawatirnya

Wondéné ingkang anyudhang ibu Asiyah
Sedangkan Ibundanya Aisyah yang menimangnya

Ingkang anjagèni ing pangayunan
Yang menjaga dari depan [yaitu]

Ibu Maryam
Ibundanya Maryam

Wondéné sêkathahé para warênggana
Adapun sekalian para anggota bidadari

Sami amuji mujèkakên sugêng
bersama menghatur salam-puji keselamatan

Ing wiyosipun Gusti Muhammad
Untuk kelahiran Kanjeng Nabi

Suwaranira têrus mara ngidêri buwana
Suara salam mereka bersahutan menyebar ke seluruh penjuru semesta

Tak sebatas itu. Bahkan terdapat pula lukisan yang lebih epik dan filmis ihwal bagaimana para malaikat dan bidadari semua, juga ikut merayakan kedatangan gustinya. Coba lihat di bawah ini,

Cinarita duk miyosipun
Diceritakan saat kelahiran

Pêrtapanipun Gusti Ratu Aminah
Di rahim ‘pertapaan’ kandungan Aminah

Brol saking marga ina
Yang segera keluar dari jalan gua-garbanya

Sampun ngagêm cêlak
[alis Sang Bayi] sudah terhiasi celak

Lan sampun sunat sampun pagas pusêr

Sudah disunat, usus pusarnya juga sudah tanggal

Lah ing ngriku lajêng
Saat itulah lalu

[...] êmban dhumatêng Malaikat Jabrail
Dimomong oleh malaikat Jibril

Dipun unjukakên
Dihaturkanlah

Wontên pangayunan Dalêm
Ke hadapan hadirat-Nya

Gusti kang Agung kang Maha Mulya
Allah yang Maha Agung nan Mulya

Ingkang punika dhawuh dalêm
Titah dari-Nya [Allah]

Dipun karsa akên
Diminta

Ngubêng-ubêngakên ibêjajahan
Dibawa berkeliling mengitari-menjelajahi

Pinggiripun bumi pitu langit
Pinggir seluruh bumi dan langit yang berlapis tujuh

Dharat miwah samudra

Di darat maupun samudera

Lan sak isènipun sêdaya
Serta ke bagian semua isi semestanya

Sarêng sampun têlas sêdaya
Setelah tuntas seluruh bagiannya

Lajêng dipun wangsulakên wontên
Lalu dikembalikan ke dalam

Wêngkang wê[n]tisipun sang dyah Ratu Aminah
Ke gua-garba Aminah melalui selangkangannya

Nalika badhé miyosipun Kanjêng Gusti Timur
Ketika hendak lahir sang Gusti Kecil kita

Lajêng miyos pangarsanipun tirta-paminta marga
Segera keluar air ketuban di depannya

Byar kumréwés gandanira
Seketika merebaklah bau harum

Ngambar manêrus ing suwarga angla
Menyeruak, terusan dari Surga A’la

Lah ingriku lajêng wontên
Di situlah lalu ada

Suwara magura-gura
Suara menggelegar

Kadiya manêngkêr buwana
Laksana membelah semesta

Ana déné sêtmitané suwara
Adapaun pertanda suaranya

Aih aih isiné bumi kabèh
Aih... aih... [mewakili suara] Seisi bumi semua

Ingsun ora nitahakên apa-apa
Aku [Allah] tak menitahkan apa-apa

Ambungaha isiné bumi kabèh
[selain] membahagiakan seisi bumi

Anging iya anitahakên ingsun
Tak lain sungguh aku [Allah] menitahkan

Ing kêkasih ingsun sawiji
Kekasihku satu-satunya

Kang bakal angêrayah
Yang bakal menjangkau

... ingsun ing ngalam kabèh
[para makhluk]-Ku Seluruh Alam

Lah ingriku sarêng badhé
Di situlah setelah [rasa] hendak

Gêrêngsêng wiyosipun Gusti Timur
berlangsung kelahiran Nabi terasa

Ingkang badhé mungkasi saréngat
[Nabi] yang hendak menutup seluruh syari’at

Lajêng kapang baris kubêng
Lalu berdiri berbaris melingkarlah

Pêryayi Malaikat ingkang agung-agung sêdaya
Para malaikat utama

Samya ambèbèr suwiwinira
Bersama-sama merentangkan sayapnya

Dipun karya wêran
Membentuk tameng melingkar

Supados sang dyah Ratu Aminah

Agar Dyah Ratu Aminah

Sampun katingal ing kathah
Jangan sampai terlihat oleh orang banyak

Malaikat Mikail
[dipimpin] Malaikat Mikail

Wondéné ingkang jumênêng
Adapun yang berdiri

Wontên pangayunan, Malaikat Jabaroil

di bagian depan Malaikat Jibril

Wondéné pêryayi agung Malaikat
Sedangkan para malaikat utama

Samya ramé a[ng]gènipun muji
Bersama-sama memuji [kepada Tuhan]

Wontên sawênèh Malaikat
Terdapat juga malaikat-malaikat lain

Maos dalil subêkhanalloh ai walkhamdulillah
Membaca bacaan “Subhanallah” dan “Alhamdulillah

Hu Allah hu akhêbar 3x
Allahu Akbar” tiga kali

Samya ramè anênuwunakên pangapura
Begitu riuh memintakan ampunan

Ingkang sifat Jalal Kamal
Kepada Yang maha Jalal nan Kamal

Wondéné ingkang ngrompaka
Adapun yang menyusun kidung

Kanjêng Ratu Aminah
Kanjeng Ratu Aminah

Para widadari ingkang samya rawuh
Para bidadari pada berdatangan

Ingkang ngambar gandanira
Dengan semerbak bau harumnya

Wondéné para wêrênggana wau sêdaya
Sedangkan anggota bidadari sekalian tadi

Samya amuji mujèkakên
Bersama menghaturkan doa-pujian

Wilujêngipun sang dyah Ratu Aminah sêdaya
Untuk keselamatan Aminah sekalian

Lan sami ngêréh-réh ing Ratu Aminah
Juga turut memberi pelipur-lara untuk Aminah

Lan samya ambawur ing
Serta bersama “menyilau-butakan”

Paningalira kang bangsa manungsa
Penglihatan mata para manusia

Lan angudang-kudang
Serta memberi pengharapan

Ing bêjané Ratu Aminah
Untuk keselamatan Aminah

Yèn badhé angsal bêja salaminipun
Bahwa Ia akan mendapat kebahagiaan selamanya

Lan amaringi priksa
Juga memberinya tahu

Yèn ingkang badhé miyos punika
Jika yang hendak lahir itu

Ingkang nama musthikaning wulan
Yang disebut sebagai “mustikanya sang rembulan”

Titisé Nur Muhammad
Ejawahtah “Nur Muhammad”

Lah ingriku suwaranira Malaikat
Di situlah suara para malaikat

Miwah para widadari
Serta para bidadari

Gumrê[ng]gêng
Berdengung [suaranya]

Kadya tawon gabu adon kèlang
Seperti lebah yang saling beradu berbagi madu

Lurahé widadari têtiga samya amuji
Ketiga kepala bidadari bersama melantunkan doa-puji

Ka[ya] mangkana pujènira mara-mara têka
Begitulah doa-puji mereka seketika hadir

Ga[m]pang olèha marga gampang
Semoga dimudahkannya jalan

Aja ana kang sikara-kara
Jangan sampai ada yang mencelakai

Sungguh peristiwa agung yang membuat hati kita gentar sekaligus terpesona. Sebuah peristiwa kelahiran yang menyentuh ihwal kedatangan “mustikanya sang rembulan”, ejawantah dari Nur Muhammad yang telah dinanti-nanti makhluk semesta. Namun begitu, lukisan ini baru separuh jalan. Cahayanya tak semata hanya disambut oleh para malaikat, para nabi, dan para bidadari, melainkah juga memberi berkah pada orang terdekatnya; sang ibunda, sang ayah, orang yang menyusuinya, serta orang-orang terdekat yang mengelilinginya.

Sang Ibunda misalnya, sejak ia membobot Sang Nabi sejak dari awal bulan umur kandungannya hingga waktu kelahiran, berganti-ganti ditemui para nabi utama dalam mimpinya, yang pertama Adam, Idris, Nuh, Ibrahim, Ismail, Musa, Hud, Dawud, dan Sulaiman, serta yang terakhir Isa as. Bahkan petanda kelahiran sang Nur Cahya ini sudah dirasakan sejak awal oleh sang Ibunda.

Diceritakan bahwa tiba-tiba perut kandungan Aminah diterpa cahaya [byar mêncorong wontên lambungé Ratu Aminah]; yakni seberkas cahaya yang memancar juga dari dahi sang Ibu [mêncorong

sumunar maya-maya kaya téja wontên larapanipun Ratu Aminah]. Inilah pertanda bahwa nur kenabiaan telah mengejawantah dalam kandungan Aminah [Nur Buat sampun tumètès manuskma marang sang Ratu Aminah]. Wajah sang ibunda seketika bercahaya laksana rembulan [sang retna ayu… cahyané maya-maya anglir sêsangka].

Tak hanya sang Ibunda, Sang Ayahanda, Abdullah, juga mendapati pendar cahaya Nur Nubuwwah yang sama [Radèn Ngabdulloh sarêng katurunan Nur Buat]. Ia menyaksikan sendiri saat masih berada di luar rumah, segebyar pancaran cahya yang memenuhi semesta [gumêbyar cahyanira angêbêki sabuwana], menyentuh batas terjauh semesta [sumundhul marang ngawiyat]. Seketika, ia menjadi penyaksi akan salam hormat kilat petir yang terlihat menggelegar, menyambar ujung barat dan timur [gêtêr mawaruhan jumêgur lor wètan kidul miwah kulon]. Seorang bapak pria agung, yang sebelumnya telah mendapat bisikan suara sejati [wontên jati suara dumêling], bahwa di dalam nutfah yang bersemanyam pada tubuhnya sedang berdiam cahaya mulia [sira iku kanggonan cahya Nur Buat], yakni benih yang akan menurunkan seorang bayi yang akan menjadi “mustikanya semesta” [bakal anurunakên sira Nabi musthikaning rat].

Tak berhenti di situ, berkah ini juga akan menimpa sosok beranama Halimah Sa’diyah, sang emban yang bertugas menyusui Sang Nabi sebelum Ibunda Aminah wafat. Halimah yang berasal dari Bani Sa’ad ini, yang saat itu klan sukunya dilanda kekeringan, paceklik, dan kemeleratan [dhahat saking langipira lan saking apês mlarat], benar-benar akan ditimpa kebahagiaan yang tanpa kira. Perempuan inilah, bersama suaminya Qais, sedikit dari banyak orang yang paling awal ikut menyaksikan pendar cahaya kenabian yang membuatnya pingsan berkali-kali [sêkala lajêng sumaput malih ilang ngakalira kamitênggêngên].

Ia jugalah yang membopong Sang Nabi, yang berada dalam situasi lemah, haus, dan letihnya karena kemiskinan klan-nya, menyaksikan betapa Sang Bayi yang digendongnya bisa menyebabkan pohon kering yang disinggahinya seketika tumbuh subur bersama buahnya [kayu aking, Ijo royo-royo pradapa ndadak sêkala] ; Onta kurus nan lemah yang sebelumnya ia tunggangi sekejap menjadi gemuk dan kuat [onta kuru siji, dadak rosa ndadak sakala]; Air susunya yang telah berhenti lama tiba-tiba mengalir deras; Hewan-hewan ternaknya yang kurus-kerontang seketika menjadi gemuk dan beranak pinak begitu cepat [wedhus kuru sawiji, gemblah-gemblah sanalika]. Seorang Bayi yang menjadikan Klan Bani Sa’ad seluruhnya mendapati hujan deras setelah sebelumnya dilanda kekeringan [Nêgara Bani Sangad, Larang udan, larang pangan, dadak sakala prepet, jawah bres]; hingga akhirnya keseluruhan anggota suku ini ditimpa kemulyaan, kesuburan, dan kesejahteraan.

Sebuah pen-candra-an sempurna, yang dilukiskan para manusia Jawa, ihwal datangnya kelahiran sang pembawa cahaya. Terutama teruntuk bagi manusia juga bagi segenap makhluk yang siap menyambut kedatangan kelahiran “sang pemukanya para Nabi” ini [pramugarining para nabi].

Sebuah pen-candra-an sempurna, yang dilukiskan para manusia Jawa, ihwal datangnya kelahiran sang pembawa cahaya. Terutama teruntuk bagi manusia juga bagi segenap makhluk yang siap menyambut kedatangan kelahiran “sang pemukanya para Nabi” ini [pramugarining para nabi]. Sebuah kelahiran yang membuat seluruh isi semesta terpesona. Namun begitu, sang cahaya ini tidak hanya semata memesonakan, ia juga menggetarkan sendi-sendi ajaran lama sebelumnya, termasuk orang-orang yang akan menyangkalnya. Lihat bait tembang Dhandang Gula seperti tertera naskah Salawat Emprak ini,

Sakala padhang tanpa damar…
Seketika muncul terang cahaya tanpa pelita

Rêtna di … Mirah yèn diluta…
[pancaran] Mutiara Yakut merah, menyusul

Byar pating palêncur…
Terang serba berpancaran

Kang tetirah sesotya
Jejak sorot intan beraneka warna

Lan nuli jungkêl kabèh
Lalu terjungkallah semua

Sêmbahané wong kafir
Batu sesembahan orang kafir

Bêrhala watu lan bêrhala kayu
Berhala batu maupun kayu

Lan amadhangi ing sakèhé
Juga [cahyanya] menerangi

Wong kang pada mupêt-mupêtan
Orang yang bersembunyi di kegelapan

Bisik-bisik kalingan dursila
Yang berbisik-bisik menutupi perbuatan nistanya

Sawusira miyos Kanjêng Gusti Muhammad
Setelah lahir Kanjeng Gusti Muhammad

Lajêng kapadhangan
Lalu tertimpa pancaran sorotnya

Byar anulya kawêlèh angêrasa yèn ina
Seketika terang, terlihat merasa hina

Lah ingriku gilapên Sètan ing paningalira
Di situlah setan tersentak penglihatannya

Tan bisa mabur marang akasa
Tak bisa terbang lagi ke angkasa

Dahat kasulapan déné cahya
Begitu tersilaukan matanya oleh Sang Cahya

Pating galu[n]dhung
Tergelepar [tanpa daya]

Kaya manuk ilang panjawaté
Bak burung kehilangan bulu sayapnya

Mabur-mabur tan bisa
Tak mampu terbang

Malah-malah kadya surya têngengé
Malah seperti kaku penglihatannya

Mabyur sunarira
Sorot sang Cahaya berterbangan [ke atas]

Tiningalan kadiya
Jika dilihat seperti [terjadi]

Gêrahana [gêrhana] ping pitu sêdina
Gerhana tujuh kali sehari

Wondéné isinéng rat kabèh
Adapun seisi semesta sekalian

Padha anêrka yèn dina kiyamat

Menerka kalau akan datang kiyamat

Ingkang punika gua pèrèng sungil-sungil
Di mana gua, lereng, jurang-jurang yang tersembunyi

Kapadhangan sêdaya
Tersorot cahayanya semua

Lan banjur pêcah dhamparé Ratu Kisra
Seketika hancurlah Kursi singgasana Ratu Kisra [Persia]

Gêniné sêmbahané wong Farsi
Juga api sesembahan orang Persia

Lan padha sigar brahalané kayu
Pecah terbelah dua berhala kayunya

Samya ta’lim sêdaya
Pada bersimpuh semua memberi hormat

Ing Gusti kang Mêksih timur
Kepada Sang Gusti Kecil [kita]

Lan nuli ngêrasa ina lan kawêlèh kabèh
Serta kemudian merasa rendah, tampak hina semua

Saithon olèhe maling pêngrungu
Setan dengan kebiasaannya mencuri dengar

Lan pangrasa angrasa
Serta Mencuri kabar

Tan bisa anggodha
Tak bisa lagi bisa menggoda

Sebuah gambaran yang membuat gentar para makhluk semesta, terutama makhluk yang masih dilimputi kegelapan dan kekafiran, beserta daya nista yang dibawanya. Lukisan indah tentang munculnya sosok Muhammad sang Nabi pilihan yang dilahirkan pada waktu yang mendahului fajar pagi [ngajêngakên fajar sidik], yakni pada malam senin tanggal 12 Rabiul Awwal [Ing malêm Isnèn tanggal kaping rolas ing sasi Robingul Awal], berbarengan dengan Tahun Gajah [marêngi tahun Fil], tepat pada musim Sinta dengan rasi bintang “Aturida” [ing mangsa Sinta ing buruj maqom

Ngatho Urida]. Alias berbarengan tanggal dengan Hijrahnya Nabi Ibrahim menuju Makkah bersama puteranya [amaréngi…hijrahipun Kanjêng Nabi Ibrohim wontên nêgara Mêkah]. Orang-orang Jawa menamai bulan ini dengan sebutan “Sasi Maulud” [Bulan Maulud], alias sebuah bulan maha penting. Bulan “hari raya”-nya orang-orang Jawa. Bulan datangnya sang Nur-Cahya. Bulan yang tepat untuk melantunkan serta melangitkan kekidungan semesta untuk menyambutnya.

***

Ingatan saya tetiba kembali ke pergelaran Salawat Emprak malam itu. Saya terseret. Saya seperti kembali ke waktu di Pesantren Kaliopak. Lamat-lamat saya mengingat cerita-rawen yang mengisahkan Sang Kakek sang bayi, saking girangnya, segera membopong Baginda Nabi memasuki Kakbah, sembari berdoa. Lalu ia keluar, membawa sang bayi ber-thawaf mengelilingi Ka’bah dengan menyenandungkan Kidung “Allahumma”. Sebuah kidung Jawa yang terhiasi dan bertaburan bahasa Melayu lama di dalamnya.

Alon-alon lumakumu ndak kesandung 2x
Pelankanlah jalanmu agar tak tersandung

Yèn kusandhung 2x
Karena jika tersandung

Badan alus mandhêg mayung
Diri sukmamu berhenti-berdiri seketika

Gusti Allah nyuwun ngapura
Gusti Allah [saya] meminta ampunan

Sarta saya liat cucu-cucu saya ini
Saya lihat cucu saya ini

Yang saya arêp jadi raja
Saya harapkan bisa menjadi Raja

Yang pêrtama baik mémang 2x
Cucu pertama yang begitu ganteng

Ambuk sukur yang puji
Saya mengajak bersukur memuji

Kêpadha tuan-tuan
Kepada Tuan-tuan sekalian

Allah kasih cucu saya
Allah menganugerahi cucu saya

Sukak mana ati lêbih goyang turun
Kegembiraan yang membuat hati menari

Lalu amat .... Bolé raja-raja
Karena begitu… Semoga raja-raja

Sukak minta tolong Allah
dengan senang hati memintakan tolong kepada Allah

Allah yang punya ..…
Allahlah sang pemilik…

Sarta orang meliat
Orang-orang yang sedang menyaksikan

Sukak atinya
2x
Bergembira hatinya

Dhilindhungkên jauh dari
Terlindungi jauh dari

Pêkêrjaan orang jahat
Perbutan orang-orang nista

Jauh dari musibat yang
Jauh dari musibah

Mata dua 2x
Dua bola mata ini [bersaksi]

Sunggu[h]-sunggu[h] Tuan
Sungguh telah Gusti

Allah mêngatakên dhalêm karaan [Qur’an]
Allah tuliskan di dalam Al Qur’an

Nama Akhmad disurat
Sesosok bernama Ahmad yang tercatat

Atas suwarga 2x
Di Surga

Tuan Allah punya rakhmat
Allah-lah yang berhak menurunkan rahmatnya

Dhikasihkên umur panjang
Diberikan umur panjang

Ala sujudana pagugahé badan sukma

Sujutilah sang penggugah hidup badan-suksmamu

Ana-ana tangis rayung-rayung
[seperti] Ada suara tangis mengalun

Wong ngalam donya
Tangisnya manusia seluruh alam semesta

Gusti Allah nyuwun ngapura
Ya Allah ampunilah [Kami]

Ada dhi dhang ading dhang dhi dha dhu lahing
Da di dang, ding, dang di da du lahing

Ala tua raja cucunya dhi ikêt
Sang Kekek Raja mengikat cucunya

Kain dhibawa
Dengan kain, lalu dibawanya

Putêr towaf tuju kali lantas .......…
Bertawaf tujuh kali mengelilingi [Kakbah. Lalu..

Hu ya Alloh ta’ala, Dat kang Maha Mulya

Hu ya Allah Ta’ala, Duhai Zat Maha Mulya

Mendengarkan kekidungan ini saya terbawa dalam barisan jalan di belakang sang Kakek Abdul Muthalib. Saya benar-benar membayangkan ada dalam barisan thawaf itu. Ikut serta mengiring kegembiraan sang Kakek. Namun tiba-tiba, suara musik Emprak mengambil jalur senggakan nada lain. Sekejap terdengarlah bunyi “Asraqal Badru ‘alaina’ min saniyatil wada’”. Orang-orang segera berdiri [baca: mahalul qiyam]. Melantunkan Salawat Badar, menyambut kedatangan “ruhani” Nabinya. “ Ya Nabi, Salam sejahtera untukmu.” “Ya Rasul salam Sejahtera untukmu”. “Telah terbit sang Rembulan.” “Andalah sang Rembulan.” “Andalah Sang Matahari.” Saya tak ingat lagi. Gerakan tarian para peraga laki-lakinya dengan liukan gerakan tangannya semakin menyedot saya. Tiba-tiba mata saya terpejam tanpa diminta. Seketika itu, bau harum menusuk hidung begitu kuat. Mata saya, tanpa benar-benar saya bisa kendalikan, menitikkan air-mata. “Marhaban, ya Marhaban” [Selamat Datang], “ya Nural Aini…”[Sang Cahaya yang menerangi mataku]. Saya menggeru. Sekuat tenaga. Memekik. Mengeraskan suara. Saya tergulung tangisan kegembiraan. Lautan Cahaya Batin Kenabian.

Shallallahu ‘ala Muhammad, Ya nabi salam ‘alaika, Ya rasul salam ‘alaika, Ya habib salam alaika. Ya Nabi salam ‘alaika, Shalawatullah ‘alaika.

Saya tersadar. Teringat perkatakan ibu saya di desa dulu. “Muhammad itu di sini, Le,” sambil menelangkupkan kelima jari tangan ke dadanya.

Klandungan, Malang, 5 Januari 2023

Daftar Pustaka

Anonim Manuskrips, Tlada [Salawat Emprak], Yogyakarta, Tanpa Tahun.

Anonim, Jawab Slawatan Jawi, dalam https://www.ꦤꦮꦏ꧀ꦱꦫ.id, Diakses 1 Januari 2021.

Irfan Afifi, Slawat Emprak: Terjemah dan Suntingan, Belum diterbitkan, Yogyakarta, 2023.

Irfan Afifi, Saya, Jawa, dan Islam, TandaBaca, Yogyakarta, 2019.

Nancy K. Florida, Jawa-Islam di Masa Kolonial: Suluk, Santri, dan Pujangga Jawa, Terj. Irfan Afifi, Buku Langgar, Yogyakarta, 2020.

Keterangan

Tulisan ini pernah diterbitkan dalam buku bunga rampai “Nyame Braya, Nyame Slam: Tradisi Islam Nusantara” oleh penerbit Buku Republika. Dimuat kembali di sini untuk tujuan pendidikan.

0
704
Buku Langgar

Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru – Sebuah Pengantar

Izinkan pada awal tulisan ini, saya membuat disclaimer bahwa seluruh isi tulisan pengantar ini, anggap saja sejenis sendau-gurau juga sebuah racauan. Dan oleh karena itu, para pembaca tak perlu menganggapnya terlalu serius, apalagi membatinkannya dalam sebuah permenungan yang menyendiri.

Karena hal ini berkait dengan seorang sosok dan juga terkait sebuah ajaran yang begitu luhur, wingit, serta lungid, yakni sosok bernama Ki Ageng Suryomentaram dengan ajaran “Kawruh Jiwa”-nya, dimana dari sejak dini pada saripati-inti ajaran tokoh ini sendiri, mewanti-wanti para pembacanya untuk tak menjadikannya sebagai semata ‘diskursus’: bahan permenungan, alih-alih intellectual exercise yang tanpa ujung. Ia, Ki Ageng Suryomentaram, semata menyodorkan aksioma-aksioma [baca: sebuah ajakan] sebagai pelecut yang bisa membantu seseorang untuk segera masuk mengenali dan mengawasi realitas kediriannya sendiri. Tak lebih dari itu.

Karena, jika anda telah menyambut ajakannya ini, hati-hati, bukan saja Anda akan tergetar dan terkesima menyaksikan realitas diri Anda sendiri yang begitu mengagumkan, namun Anda juga akan mengalami transformasi diri yang tanpa terkatakan [tan kena kinira ngapa], yakni sebuah perubahan diri yang tidak memiliki capaian presedennya sebelumnya. Bagi Anda yang belum siap membaca tulisan ini, awas, urat Anda bisa putus.

****

Lepas dari kaidah “Kawruh Jiwa” [baca: ajaran Ki Ageng] yang akan segera diuraikan secara melimpah dalam buku ini, saya akan menyingggung sedikit terkait pijkan dasar spiritualitas [dasar bentangan ilmu ruhani], yang sayangnya bahkan sering dibaikan oleh para pelajar Kawruh Jiwa sendiri [baca: para pengikut Ki Ageng], yakni terutama persis seperti telah dijelaskan dalam dokumen surat-surat “pra-Kawruh Jiwanya” Ki Ageng yang berjudul “Buku Langgar 1920-1928” [belum diterbitkan].

Dengan menyinggung ulang dokumen awal tulisan Ki Ageng Suryomentaram ini, bukan saja kita bisa memblejeti dasar-pijakan spiritual macam apa yang membuat Ki Ageng bisa merumuskan Kawruh Jiwa-nya, melainkan juga kita bisa merunut cadangan kultural macam apa yang memungkinkan sosok agung ini muncul dan hadir, sekaligus bagaimana prasyarat cadangan-cadangan tersebut memungkinkan ajaran Kawruh Jiwa-nya bisa melampaui kelemahan ajaran spiritual-ruhani sebelumnya, serta pada saat bersamaan, juga sekaligus bisa menemukan signifikansi orisionalitas gagasannya sendiri.

Saking wingit dan sakralnya, Ki Ageng Suryomentaram berusaha memeras pijakan kawruhnya [rumusan pengetahuannya] dalam Buku Langgar—sebagaimana tertera dalam salah satu tulisan ‘surat’-nya yang berjudul “Pedagogie”—dengan rumusan yang agak berani sekaligus simbolik. Ia mengatakan bahwa basis pijakan pengetahuan yang ia rumuskan, adalah semata merupakan “pijakan atau bekal manusia untuk menjalankan unsur-unsur kedewataan dalam dirinya” [sanguning manungsa supados anetepi Kadewatanipun].

Rumusan ini berangkaat dari asumsi sederhana bahwa di dalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling berperang yakni,

[1] unsur ke-buto-an atau sifat raksasa [atau katakanlah unsur kehewanan dalam diri, diri kecil, dan nafsu], sedangkan yang kedua,

[2] unsur ke-dewa-an atau unsur ‘ketuhanan’ atau ‘kemalaikatan’ di dalam diri terdalam manusia. Ini adalah unsur fitrah jiwa terdalam manusia, hati nurani [pancaran cahaya Tuhan yang bersemayam dalam diri: Nur Muhammad].

Nah ilmu mengenali diri atau sering disebut ilmu ‘mawas diri’ ini sejatinya —sebagai langkah mendasar sekaligus puncak untuk mengenali hakikat kenyataan dan hidup ini—adalah ilmu untuk mengenali hakikat sejati terdalam dari diri, plus usaha mengeluarkan, merealisasikan, dan menegakkan pancaran unsur kedewataan yang bersemayam dalam diri manusia itu sendiri [baca: ilmu ruhani, khalifatullah}.

Kendaraan atau wahana untuk mencapai derajat pengenalan diri ini [plus realisasinya] oleh Ki Ageng dinamai dengan apa yang diistilahkannya sebagai Sih atau rasa welas asih atau cinta. Yakni sebuah daya yang sebenarnya berasal atau masih berada dalam area kuasa yang memancar dari Kraton Surga [inggih punika Sih ingkang kabawani Kraton Swarga]. Alias, sebuah daya untuk menundukkan dan ‘menguasai bumi seisinya’ [smarabumi]. Meminjam kalimat Suryomentaram sendiri,

“Apakah kalian sudah tahu, jika pada alam semesta-keseluruhan ini tidak ada daya yang bisa mengunguli ketinggian daya dibanding rasa cinta-sejati?”

[Punapa sampeyan sampun mangertos yen ing jagad sawegung punika mboten wonten daya ingkang nglangkungi luhuripun katimbang raos sih sejati?]

Karena, menurutnya, pada dasarnya kebutuhan manusia di dunia ini selain makan tak lain hanya rasa cinta. Berjuta-juta orang dengan susah payah mencari harta benda [semat], kehormatan-pangkat [drajat] dan kuasa-jabatan [pangkat] agar dikasihi dan mendapat cinta dari yang lain. Namun ternyata apa yang didapatinya justru sebaliknya: perselisihan, iri-hati, sombong, rasa benci atas jalan hidupnya sendiri, juga rasa benci terhadap orang lain karena tidak mencintai dan mengasihinya. Model pencarian kebahagian yang seperti inilah yang akan mengantarkannya kepada ‘neraka kesengsaraan’.   

Sungguh ini dikarenakan ketidakmengertian akan hakikat gerakan hidup, alias ketiadaan pengetahuan dan ilmu, dimana gerakan kodrati hidup tadi dipaksa tunduk pada keinginan dan kehendak sewenang pribadinya sendiri [kehendak-nafsu]; tanpa ilmu nyata. Oleh karenanya Ki Ageng menyarankan, untuk sampai kepada pengetahuan terkait hakikat hidup [meruhi dat-ing dumadi: Ilmu hakikat], seseorang harus mengambil jalan lurus siratalmustaqim bernama pengetahuan “mengenali dirinya sendiri” [ilmu ma’rifat], karena sumber segala kesengsaraan kita adalah ketidakmengertian akan realitas diri ini.

Dalam bahasa pasemon pewayangan, apa yang ingin dikerjakan oleh Ki Ageng Suryomentaram adalah mengajarkan ilmu kedewataan [baca: ilmu ruhani] supaya tergelar di alam dunia mayapada ini, alias alam semesta dunia ini. Atau dalam bahasa yang lebih simbolis, ia mendapat mandat dari Bathara Guru, yakni melalui penasehatnya Bathara Narada, penguasa kayangan Dewata, untuk mendirikan Univeritas Kagungan Dalem Bathara Guru, yakni sebuah universitas yang akan mengajarkan ilmu kedewataan atau ilmu ruhani, supaya tegak dan berdiri di alam mayapada dunia ini [angadekaken unipersitit kaagungan dalem jumeneng wonten ngarcapada].

Sebuah ilmu yang menuntun para mahasiswanya untuk mengenali realitas hakikat kediriannya sendiri [baca: man arafa nafsahu] yang belakangan akan dinamai oleh Ki Ageng Suryomentaram sendiri dengan nama “mawas diri” atau “pangawikan pribadi” [alias ilmu tentang mengawasi dan mengenali diri sendiri]. Siapa yang telah mengenali diri sejatinya akan sampai kepada unsur atau pancaran hakikat kedewataan yang bersemayam dalam diri ini [jumeneng pribadi]. Di belakang hari, penamaan ilmu ini berganti lagi menjadi bernama “Kawruh Jiwa” untuk mengeliminasi konotasi dan jebakan mistifikasinya.

Dalam konteks ini pula, perlu kita dicatat bahwa usaha Ki Ageng Suryomentaram menelurkan “Kawruh Jiwa” ini oleh karenanya juga harus dibaca dalam rentang rangkaian tradisi keilmuan ruhani sebelumnya [baca: surat wiridan], yakni sebagai sebentuk cadangan kultural ke-Jawa-an yang memungkinkan sosok ini menelurkan gagasan orisionalnya, yang secara bersamaan juga telah terolah secara matang bahkan melampaui tradisi spiritual sebelumnya sekaligus. Dalam hal ini, Ki Ageng Suryomentaram bisa juga kita anggap merupakan rantai kristalisasi puncak dari bentang rangkaian ajaran keruhanian Jawa sebelumnya tersebut.

Dan hanya di tangannya sematalah, yakni melalui metode rasional-objektifnya, ia bisa menepis aspek mistifikasi ajaran keruhanian maupun spiritualitas lama yang pekat dengan jebakan irrasionalitas dan normativitas sendiri yang melenakan. Pada Kawruh Jiwa-lah ajaran keruhanian lama mencapai kematangan rasional objektifnya, sebut saja begitu, sehingga bisa menjadi suguhan makanan ruhani [pengetahuan obyektif, alih-alih normatif] yang dapat diambil oleh siapapun tanpa membedakan baju tempelan identitas suku, kelompok, agama, maupun kebangsaan apapun. Alias telah menjangkau aspek universalitasnya bagi kemanusiaan seluruhnya.

Namun begitu, ajaran yang ditelurkannnya, sekali lagi tak boleh dilupa, masih merupakan rangkaian benang yang sama dari ajaran spiritual-ruhaniyah kemanusiaan sebelumnya [Jawa-Islam]. Dalam jalur pengatahuan “mawas diri” atau “pangawikan pribadi”-nya misalnya [baca: ilmu pengenalan akan dirinya sendiri], tema ini hampir ditemukan merata dalam tradisi spiritual-ruhani sebelumnya.

Bahkan dalam ulasan yang lebih eksplisit serta padat pada ajaran Bangkokan Kawruh Jiwa-nya bernama “Buku Langgar”, Ki Ageng sendiri dengan sadar berusaha menilik ulang dan me-review saripati ajaran-ajaran tradisi sebelumnya ini, yakni dimulai dari ajaran sejak zaman akhir Prabu Brawijaya, zaman Demak akhir, masa Sultan Agung beserta Sastra Gendhing-nya, masa Mataram Akhir, Kartasura Akhir, serta pada zaman Giyanti, hingga zaman Penjajahan Belanda pada masa ia hidup. Ia menunjukkan kelebihan ajaran-ajaran yang terselenggara pada setiap masa-masa tersebut, plus menunjukkan jebakan-jebakannya.

Bahkan tokoh agung ini juga mengulas secara terpisah saripati ajaran pada masa “Sekolahan Gaib Zaman Islam” [jaman kuwalen: zaman para wali], yang sering dikenal sebagai masa dimana para wali tanah Jawi menyebarkan ajaran ruhaninya, yang relatif ia beri porsi ulasan yang cukup padat, untuk sekali lagi menimbang kelebihan serta potensi jebakannya. Tak hanya itu, ia juga membandingkan dengan tradisi ajaran Budhisme, serta memberi tambahan ulasan kritik terkait kecenderungan kultifikasi benda-benda gaib [kultus benda] seperti dilakukan oleh para pelaku dan penganut Theosofi, yang memang pada saat itu, awal abad 20, mulai menyebar di tanah jajahan Hindia Belanda.

Hal ini, bagi saya, bukan sesuatu yang mencengangkan. Karena, dalam dokumen Primbon 9 jilid yang dikeluarkan Keraton Surakarta, bernama “Kitab Primbon seri-Adam Makna” yang telah banyak beredar, dimana dikatakan pada pengantar pendahuluannya, bahwa Ki Ageng Suryomentaram merupakan cucu dari seseroang pangeran pemilik berjubel-jubel kitab dan manuskrip kuno tinggalan warisan kesusateran Kraton Jawa Mataram Islam: Pangeran Harjo Tjakraningrat. Dan Suryomentaram, konon mendapat limpahan kepustakaan ini dari kakeknya tersebut. Juga dari koleksi manuskrip milik kakeknya ini pulalah, 9 jilid Kitab Primbon yang telah disebut, akhirnya bisa diterbitkan dalam edisi latin dan tersebar di kalangan masyarakat.

Signifikansi informasi barusan sebenarnya hanya ingin meletakkan kesadaraan terkait satu hal: Ki Ageng Suryomentaram bukan hidup dalam ruang vakum dalam menelurkan gagasan-gagasannya. Plus hal ini terkait ide mendasar, bahwa Ki Ageng benar-benar berinteraksi dengan gagasan dan ajaran ruhani zamannya.

Bahkan, dalam riwayat hidupnya, ia pernah terseret secara kuat dalam laku “lelana-brata” [baca: santri lelana], dalam pengelanaan ruhani dan tirakat ke makam dan petilasan-petilasan keramat di banyak tempat pada masanya [gua langse, dll]. Juga terkait keputusannya ‘keluar’ [melarikan diri] dari kenyamanan keraton dalam lelaku asketiknya: seperti menjadi penggali sumur, kuli angkut koper, berdagang kain keliling di daerah Banyumas, menanggalkan gelar resmi kepangeranannya, mendesak pemerintah kolonial untuk menuruti permintaan berhajinya ke Makkah, menyerahkan sebagian besar harta bendanya kepada pelayannya, hingga menjadi petani biasa sampai umur tuanya di Desa Bringin, Salatiga. Laku-laku inilah, latar penting yang memungkinkan sosok ini melahirkan gagasan-gagasan ‘orisionil’ Kawruh Jiwanya di belakang hari.

Dari cadangan kultural kejawaan inilah yang mumungkinkan sosok Ki Ageng bisa menyandingkan dan menukil secara enak pengetahuan-pengetahuan lama-lama tersebut. Juga dalam konteks ilmu pengenalan diri sendiri, Ki Ageng dengan enak bisa memeras dan mengambil saripati ajaran-ajaran lama Jawa-Islam dengan pengetahuan pangawikan pribadi-nya sendiri, yakni dengan cara mengeluarkan signifikansi mistis makna selubung ‘rahasia’ tokoh semacam Siti Jenar dengan kisah cacingnya, maupun Kanjeng Kyai Kopek sang sosok macan-nya Sultan Agung, maupun signifikansi mistik-simbolis jembatan kayu melintang [wot galinggang] yang dipakai Sunan Kalijaga saat bertapa di Pulau Upih.

Semua simbol ini mengacu pada perjalanan atau dalam bahasa lamanya disebut ‘lelaku’ ruhani dalam rangka mengenali dan menemui diri sejatinya sendiri. Persis seperti perjalanan ruhani sosok Bima dalam pewayangan dalam usahanya menemui ‘dirinya sendiri’ dalam wujud sosok kecilnya [baca: Dewa Ruci]. Sebuah perjalanan ruhani untuk menemui Diri-nya sendiri atau sering disebut ‘suluk’ [dimana istilah tasawuf ini telah diserap dalam bahasa Jawa untuk menamai genre tembang alit macapat dalam tradisi Jawa—baca kesusateraan Suluk].

Dan dalam galur bentangan keilmuan ruhani inilah Kawruh Jiwa ini harus ditempatkan sebagai masih dalam rangkaian kontinum keilmuan lama untuk mengenali jiwa terdalam diri manusia [baca: mulat sarira]. Yakni tentu dengan kebaruan sodoran metodologi obyektifnya, alias alih-alih normatif dan mistis seperti tradisi ruhani sebelumnya, dan oleh karenanya, Kawruh Jiwa dengan begitu bisa dikatakan merupakan pematangan gagasan-gagasan objektif dari tradisi ilmu ruhani sebelumnya.

Hal ini sekaligus memberi arti dan signifikansi baru kenapa Ki Ageng lebih memilih kata ‘kawruh’ yang lebih berkononotasi obyektif-empiris, daripada kata ‘ngilmu’ yang lebih berkonotasi mistik dan normatif misalnya. Alias secara ringkas ia berhasil menelurkan prinsip-prinsip objektif keilmuan, dengan maksud memperluas pengandaian cakupan universalitasnya, terkait perangkat pengetahuan akan pengenalan realitas diri yang bisa membantu manusia Jawa juga Indonesia atau bahkan dunia secara luas, dengan sodoran metode barunya.

Juga penting ditilik, bahkan sejak pertalian erat juga relasi persaudaranya dengan Ki Hajar Dewantara, yakni jauh sebelum pertemuan rutin “Selasa Kliwon” pada tahun-tahun yang mendahului dalam menelurkan pendirian Taman Siswa dimana ia terlibat, Ki Ageng Suryomentaram telah berinteraksi secara intens dengan gagasan-gagasan filsafat Barat zamannya. Dalam sebuah suratnya ia menyinggung hal ini secara implisit:

Aku kelingan dek Paman Ajar isih sekolah. Sok Bengkat barang, mungsuhe Nabi Kilir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kali. Nek Lud-ludan Pei karo Batara Narada lan Sidarta Kapilawastu. Jing Ngloco Pitagoras utawa Plato. Nek Bas-basan janji karo Prabu Brawijaya, betah sawengi. Nek mul-mulan adate mungsuhe Laose dibut loro karo Konghuchu. Jing tukang mungsuhake Aristoteles karo Kant.”

Artinya,

“Aku masih ingat saat paman Ajar [Ki Hajar Dewantara; pen.] masih sekolah, kadang bermain pedang-pedangan juga. Musuhnya Nabi Khidir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau bermain kartu bersama Bathara Narada dan Sidarta Kapilawastu. Yang mengocok Pitagoras dan Plato. Jika bermain bas-basan, janjian sama Prabu Brawijaya. Tahan semalaman. Kalau bermain gulat biasanya musuhnya Laotse, dikeroyok bareng Konfusius. Yang menjadi tukang adunya Aristoteles bersama Immanuel Kant.”

Kutipan di atas ingin menyodorkan keterangan implisit, bahwa Ki Ageng bukan saja tidak mengisolasi diri dari gagasan-gagasan besar dunia zamannya—seperti dugaan banyak orang—dan malah ia sebenarnya berada tepat pada pusaran aliraan deras gagasan-gagasan besar zamannya tersebut, namun ia memilih tak larut dan melarutkan diri. Bahkan ia malah membentuk pusarannya sendiri. Karena seturut perkataannya sendiri, jika hanya terseret arus dalam relasi perhubungan yang semakin meningkat antar-bangsa, bangsa yang tidak dapat memberi sumbangan gagasannya kepada dunia [alias cuma mengunyah teori dari luar] akan sirna tanpa guna [dene bangsa ingkan mboten saged urun bade sirna].

***

Buku Trilogi Ki Ageng Suryomentaram yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini adalah rangkaian panjang lelaku sang penulis dalam menyajikan suguhan makanan ruhani “Kawruh Jiwa”-nya Ki Ageng Suryomentaram, agar dapat dicicipi siapapun dalam merasakan buah penerapan Kawruh Jiwanya Ki Ageng. Konon Muhaji Fikriono katanya dalam usaha menuliskan karyanya ini perlu menunggu umur kematangan ruhani di usia 50. Juga, Trilogi buku ini juga semacam elaborasi terkait cadangan kultural ilmu ruhani ke-Jawa-an, seperti yang telah disebut, yang membentuk dan memungkinkan Ki Ageng Suryomentaram menelurkan Kawruh Jiwanya yang begitu orisinil, namun juga masih merupakan jejak bentangan benang tradisi keilmuan ruhani yang berturutan sebelumnya.

Pembacaan rentang tradisi pengetahuan ruhani kejawaan ini sangat diperlukan bukan semata untuk mendudukkan latar kultural yang memungkinkan sosok agung Suryomentaram lahir, namun juga dalam bahasa tokoh ini sendiri, agar bangsa Jawa pada khususnya, mampu, tentu dengan cadangan-cadangan kulturalnya yang kaya tersebut, untuk merumuskan tata-sosial baru yang lebih mulia [saged tata bebrayan enggal ingkang langkung mulyo].

Karena, bagaimanapun, usaha menyelenggarakan keilmuan ruhani dari mandat kayangan Dewata, punya kendala dan rintangannya sendiri, meski tradisi keilmuan ruhani ini merupakan warisan kaya yang dimiliki bangsa Jawa juga Indonesia secara umum. Namun begitu, bangunan Universitas Keilmuan Diri-Ruhani di masa yang lama, menurut Ki Ageng, atapnya sudah banyak yang retak, patah, dan rompal di sana-sini [unipersitit kina ingkang pager-payonipun sampun sami popol].

Banyak para maha-guru dan professornya yang ikut merawat dan menjaga universitas ruhani tersebut telah banyak yang terserang oleh ‘cacing kebencian’ [kremi gething], serta banyak papan dan dinding kayu universitasnya telah tergerogoti oleh rayap ‘merasa unggul sendiri’, serta telah dihinggapi kesombongan dan rasa jumawa [ama pambegan], sehingga urgensi pendirian universitas pengetahuan diri yang baru [baca: Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru] perlu disegerakan. Dan dalam latar seperti itulah Ki Ageng Suryomentaram hadir.

Karena, penghalang terbesar untuk mengenali kenyataan diri—yang akan membawa pada keadaan bahagia bersama [baca: zaman windukencana]—adalah sebuah rasa “merasa lebih dari yang lain”, rasa sombong, rasa ‘lebih unggul dari yang lain’, juga rasa iri. Rasa-rasa ini muncul dikarenakan sebagai penanda akan betapa tidak tahunya dia akan kenyataan dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Dan melihat diri melalui ‘pangawikan pribadi’-nya Ki Ageng berguna untuk membedol rasa-rasa ini sampai kepada akar-akarnya, yang akan mengantarkan seseorang masuk kepada surga ‘rasa-tentram’ dan kedamaian. Karena tercapainya rasa tentram diri ini pulalah yang membuatnya akan bisa menyaksikan dan rajin mengawasi rasanya orang lain, sehingga menemukan cermin ‘rasa yang sama’ terhadap yang lain.

Juga dari jalur pengenalan diri inilah, orang mulai bisa mendeteksi asal sumber kesengsaraan manusia, alias rasa tak pernah cukup dari keinginannya [karep/karsa]. Dikarenakan sifat keinginan ini memang memiliki kondisi kekukarangan, celaka, dan sengsara terus-menerus [dat-ing karep punika cilaka]. Setiap kali melihat orang miskin, orang kaya, orang rendahan, orang berpangkat, orang pandai, orang bodoh, seseorang bisa merasakan kesengsaraan yang sama yang diderita mereka, karena telah menyatu dengan keinginan yang membuatnya memasuki kondisi rasa kekurangan tanpa ujung.

Dalam penglihatan diri ini, ia mulai bisa menyaksikan bahwa terpenuhinya keinginaan tidak akan membuat orang bahagia, karena segera akan mengingini sesuatu yang lebih, tak puas [baca: mulur]. Dan memang begitulah keinginan. Namun, dari jalur ini pula, seseorang akan mulai bisa memilah antara “Aku” sebagai pengawas-keinginan dengan keinginan dan rasa-rasa yang ditimbulkannya sebagai objek awasannya. Aku yang mengawasi keinginan, ternyata mandiri dan terbebas dari kesengsaraan yang dimunculkannya [aku dudu karep].

Akhirnya sang-Aku bisa mengawasi keinginan [karep] se-enaaknya [tanpa perlu mengubahnya], alias tidak khawatir lagi, karena terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan tersebut, tidak akan menyebabkan kebahagian seterusnya maupun kesusasahan seterusnya: senang sebentar, lalu susah lagi [karena keinginannya mengembang; mulur], atau jika tidak terpenuhi susah, lalu senang kembali [karena keinginannya mengempis: mungkret].  

Kesadaran sang-Aku pengawas [Diri besar] yang tak lagi terbelit dengan gerakan keinginaan subyektifnya akhinya muncul ke permukaan. Ia sekarang bisa mengawasi keinginannya sendiri, yang secara alami memang memiliki sifat “sewenang-wenang” serta “tak mau bersusah payah” dalam pemenuhannya [alias tak bisa diubah], yang ini jelas melawan prinsip alamiah kenyataan hidup itu sendiri.

Ketika, sang rasa “Aku” telah muncul ke permukaan [sampun medal saking korining pikiran] ia bisa merasakan rasa tentram yang tanpa kira, yakni sejenis rasa damai yang bukan dikarenakan terpenuhinya keinginan, melainkan rasa Aku yang telah terbebas, dan telah bisa menerima sifat kinginaan yang ‘maha lucu’ itu [tanpa perlu lagi mengubahnya], yang pada dasarnya tidak bisa lagi membuat Aku sengsara [karena aku hanya mengawasi].

Pada saat inilah akan muncul rasa tangguh [raos tatag], serta telah bisa menerima keadaan dan kejadian yang telah terjadi di masa lalu [musnahnya rasa sesal—getun], serta telah siap menghadapi apa yang akan berlangsung di masa mendatang [rasa khawatir hilang—sumelang], karena baik terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan, tidak akan membuat kebahagiaan yang bersifat terus-menerus [dalam arti rasa senang terus-terusan] maupun kesengsaraan yang terus-menerus [sedih yang terus-terusan]: karena rasa senang dan susah ini pada dasarnya terus-menerus bergantian seiring gerakan keinginan yang bersifat mengembang-mengempis [mulur-mungkret].

Kondisi inilah yang akan mengantarkan kita pada terpilahnya watak-watak kehewanan atau ke-buto-an yang telah berpisah dengan watak kedewataannya [andadosaken sigaring pilahipun wateg-wateg kahewanan lan wateg-wateg kadewatan].

Seseorang akhirnya berdiri tegak dalam berpengetahuan sebagai pribadi [baca: madeg pribadi kawruh] dalam mengawasi kenyataan. Pengetahuan dan proses mengetahuinya tidak lagi digunakan semata sebagai perabot yang tunduk pada pemenuhan keinginannya [penilaian subyektifnya], yang sayangnya jika dibiarkan bisa menyuburkan pengetahuan “kata-katanya” [katanya kitab, katanya buku, katanya teori, katanya orang, dll] maupun pengetahuan “pantas-pantasnya’, alias pengetahuan berdasar kebiasaan dari yang apa dinyakininya [gugon-tuhon], melainkan telah bergerak kepada pengetahuan yang sudah terlepas dari unsur subyektivitas keinginan dan kehendaknya, alias Kawruh Nyata [Ilmu Nyata]. Yakni sejenis ilmu pengetahuan yang telah dimengerti, diketahui, dan dirasakannya sendiri berdasar prinsip obyektif kenyataan hidup yang telah teralami [baca: kasunyatan, hakikat, kahanan jati].

Dalam amsal pewayangan, orang yang telah menegakkan sang Aku ini akan manunggal dengan Batara Wisnu [tetep sarira Bethara Wisnu], memakai mahkota “merasa benar sendiri” [ngrasuk makutha rumaos leres], alias sudah mengerti, mengetahui, dan merasakan sendiri, karena telah duduk di singgasana Kawruh Nyata atau Ilmu Nyata [lenggah ing dampar kawruh nyata], serta kemudian menjadi sang Aku yang maha serba tahu [semuanya kuketahui, bahkan termasuk yang tidak kuketahuipun, aku tahu].

Namun setiap kali sang Aku melihat yang lain, ia ternyata melihat orang lain seperti bayangannya sendiri yang juga “merasa benar sendiri’ [tiap orang pasti begitu], meskipun dasar penyangga pengetahuan “merasa benar sendiri”-nya tersebut adalah pengetahuan yang “kata-katanya” [jare-jare] atau “menurut ini-menurut itu” [biridan], maupun “pengetahuan pantas-pantasnya berdasar semata kebiasaan yang dinyakininya” [gugon tuhon].

Ia melihat orang lain juga ‘merasa benar sendiri’ meskipun belepotan di sana-sini. Padahal, siapapun yang bersikeras memaksa orang lain untuk supaya “merasa keliru” tanpa didampingi suguhan sajen Dewi Sinta bernama ‘rasa welas asih’ yang sempurna, tentu pasti akan kwalat” [pramila tiyang ingkang ngogek-ngogek dating tiyang sanes, ingkang supados rumaos klentu mboten mawi Dewi Sinta, Sih ingkang sampurna, tamtu kwalat].

Rasa Aku-mengawasi yang telah muncul dalam diri seseorang inilah yang dikatakan oleh “Kawruh Jiwa” bisa menjadi pandu dalam mengawasi dan menimang gerak naik-turunnya rasa-rasa beragam dalam hati yang terus berseliweran, plus untuk membedol dan mencabuti rasa-rasa ruwet yang telah berurat akar di dalamnya. Rasa tentram akhirnya akan bersemayam, karena telah bisa menerima dan mengawasi rasa-rasa yang berwarna tadi, yang memang berlangsung seturut hukum kejadian dan sifat keinginan.

Jika rasa tentram ini semakin bertambah dan mengakar dalam diri, ia bisa berdiri sebagai pribadi [jumeneng pribadi], alias tidak membutuhkan ‘rasa-welas-asih’ dari orang lain, karena dalam hatinya telah berlimpah dan kelebihan rasa cinta [sugih sih-kaya cinta], yakni sebagai hasil buah tanaman pengetahuan yang tumbuh dari pengenalan kenyataan dirinya sendiri. Jika buah ini telah matang, ia bahkan bisa membagikannya sebagai suguhan makanan bagi setiap makhluk di bumi untuk memetiknya.

Sang Maha-Kaya-“Cinta” ini [orang yang telah berkecukupan cinta, karena saking melimpahnya di dalam hatinya] kemudian juga bisa mulai bertani, menanamkan benih pengetahuan [kawruh] ke dalam hati orang lain dengan cara membajaknya dengan simpati, melembutkan tanah pertaniannya dengan alat garu bernama sabar, dan menyiangi gulmanya dengan rasa welas-asih.

Sabar dikarenakan berasal dari terang penglihatannya, bahwa menanam padi pasti akan menumbuhkan padi. Sedangkan simpati adalah penglihatan jiwanya dalam memandang orang lain, tidak ada lagi sekat-pemisah yang tidak mungkin bisa ditembus oleh kekuatan simpati. Jika anak panah simpati telah dilepaskan, semua yang berkerlipan akan termurnikan; sebuah senjata prabu Niwatakawaca dalam pewayangan, dimana saat sang Arjuna telah bisa mengalahkan sosok ini, ia disebut “lelananing jagad’ [sang pria sejatinya jagad raya].

Mungkin dalam rangka menjelaskan ajaran mulya pengenalan diri-ruhani inilah, penulis buku Trilogi Suryomentaram ini: Muhaji fikriono, bertungkus-lumus menuliskannya dalam tiga jilid tebal yang serba melingkupi sehingga memudahkan para pembaca. Dan, seperti sering dikatakan penulis buku ini kepada saya, bahwa ‘sudah saatnya’ ajaran ini perlu diwedar dan dijelentrehkan tanpa harus ditutup-tutupi lagi karena kekhawatiran akan efek getarnya bagi tradisi pengetahuan normatif ruhani sebelumnya.

***

Pesan Seri Buku Ki Ageng Suryomentaram Karya Muhaji Fikriono [Klik Link]

Namun, sebelum beranjak mengatamkan rangkaian buku trilogi ini, saya ingin mengingatkan kepada para pembaca, bahwa rangkaian ajaran yang akan Anda dapatkan dari hasil ‘membaca’ buku Suryomentaram ini, pada akhirnya adalah baru semata ‘katanya’ Suryomentaram [ilmu jare-jare dan biridan]. Alias Anda belum mengetahui dan merasakannya sendiri [mengerti, mengetahui, atau merasakan sendiri—Kawruh Nyata].

Maka, setelah selesei, segeralah lupakan ‘katanya’ Suryomentaram, tepislah pengetahuan ‘menurut’ Suryomentaram. Segeralah, mulai saat ini, di sini, dan dalam keadaan seperti ini [saiki, kene, ngene] mengenali dan mengawasi realitas diri Anda sendiri. Karena tak ada siapapun, makhluk bumi manapun, yang bisa mengajari Anda–tidak guru manapun, tidak kitab, tidak buku, tidak tulisan, atau tidak siapapun—dalam usaha mengenali realitas diri anda sendiri.

Wejangan Suryomentaram di bawah ini barangkali tepat untuk memungkasi paragraf pengantar tulisan ini:

Saya mengingatkan kepada semua yang mendengar

[Kulo pepenget dateng sedaya ingkang mirengaken],

Jangan pernah menjalankan ajaran-ajaran di atas

[sampun ngantos anglampahi wulangan punika],

Malah akan mendapat kesusahan yang tak terkira

[mindak angsal kesusahan ingkang tanpa upami].

Ajaran-ajaran di atas hanya untuk tiang-sandaran saat duduk semata

[wulangan punika namung kangge cagak lenggahan kemawon],

Atau semata sebagai suguhan pengiring saat wedangan

[utawi pacitan wedangan],

Jangan sampai dibaca saat sendiri

[sampun dipun waos ijen-ijenan],

Sebab nanti kalau ada setan yang lewat, juga akan ikut tertarik untuk mengamalkannya

[sabab mangke yen wonten setan langkung lajeng kapingin nglampahi],

Akhirnya bisa membahayakan, rusak dunia-akhiratnya

[wasana kadrawasan, risak donya-ngakeratipun].

Akhir kata selamat membaca. Langeng bungah-susah!

Klandungan, Malang. 26 Januari 2024

Irfan Afifi

Pelajar Kawruh Jiwa, ngiras-ngirus Tukang Sapu Langgar.co

*** Tulisan pengantar ini ditulis untuk mengenang momen ‘kasendal-mayang’ rasa gemetar diri yang tak terkira karena membolak-balik “Buku Langgar 1920-1928” [belum terbit] selama masa tiga tahun.

Bocah Cilik Gambar Jagad – Catatan Etnografi Biografi Slamet Gundono

Rp 120.000

Jika Proses keberislaman adalah proses berkebudayaan itu sendiri dalam arti upaya peyempurnaan manusia dalam keempat fakultas dirinya yakni cipta, karsa, jiwa dan rasa, maka proses yang seperti itu dalam kenyataan konkrit dapat disimak dalam kisah hidup Slamet Gundono yang ditulis secara etnografis oleh Yusuf Efendi dalam buku ini.
Karya yang bercerita kisah perjalanan Ki Slamet Gundono ini, akan mengajak kita manyusuri lika-liku kehidupan seorang seniman dari latar belakangnya yang rinci dan pelik, hingga gagasan-gagasannya yang asik, renyah lagi dalam. Kompleksitas tersebut disusun dalam alur metrum macapat dalam kesusastraan Jawa yang saling terkait satu sama lain. Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung dan Sekar dijadikan penanda oleh penulis untuk menceritakan fase-fase perjalanan tokoh tersebut.
Penerbitan buku ini bagi kami adalah usaha untuk memotret suluk kehidupan seorang seniman yang mempunyai ciri khas kuat lagi berkarakter. karya-karya yang diciptakan berakar di jantung tradisi masyarakat bernafaskan spritualitas Islam, di sisi lain tak kehilangan relevansinya dengan sepirit zaman kontemporer. Dan menurut kami sosok ki Slamet Gundono adalah prototipe utama seorang seniman dalam galur Islam Berkebudayaan. Dan besar harapan kami kedepan dengan adanya buku ini bisa memberi gambaran sekaligus inspirasi bagi seniman-seniman lebih muda.

Penulis : Yusuf Efendi
Editor : Taufik Ahmad
Tata letak : Mugi Pengki
Penerbit : Buku Langgar
Tahun terbit : April, 2022

Spesifikasi Buku

Ukuran : 13 X 19 cm
Halaman : 420 hlm

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI

Rp 200000 Rp 175.000

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI – Nur Khalik Ridwan

Sinopsis:

Aspek penting yang menggerakkan para wali di Jawa abad XV-XVI adalah batin-tasawuf-tarekat, tetapi sering luput dalam analisis para Orientalis. Dengan aspek tasawuf-tarekat itu, para wali penyebar Islam di Jawa abad XV-XVI melakukan berbagai upaya pribumisasi islam, pembacaan atas Jawa, dan memformulasikan Jawa dengan tetap memelihara apa-apa yang yang diperlukan dari masa lalu.

Aspek batin itu diolah dari tarekat-tarekat mereka, yang buahnya adalah mendidik kader, menggerakkan perubahan, mengacu-menyusun karya-karya, menyuburkan amal-amal baik, mem-bangun jejaring dan mengolah dzikir-dzikir untuk ke-mashlahatan manusia Jawa.