Menu

Menemukan Kembali Islam Dalam Sejarah Jawa | M.C. Ricklefs

 

Tulisan ini diterjemahkan oleh Muhammad Haikal dan Irfan Afifi dari tulisan M.C. Ricklefs, “Rediscovering Islam in Javanese History”, Storied Island: New Explorations in Javanese Literature, (edited by: Ronit Ricci), Published by Koninklijke Brill NV, Leiden, The Netherlands, Volume 316, 2023. Tulisan ini diterjemahkan dan disebarkan untuk tujuan pendidikan (non-commercial use). Pada bagian abstrak serta penomoran sengaja dihilangkan untuk penyesuaian pada jenis tulisan web serta perulangan paragraf. Penerjemahnya Muhammad Haikal adalah seorang mahasiswa yang sedang menyelesaikan sarjana di University of Malaya dengan fokus studi Sastra Melayu, sedangkan Irfan Afifi adalah penulis, budayawan, penerjemah, dan pengelola, serta pendiri media kebudayaan Langgar.co.

***

Kajian sejarah Jawa menyuguhkan (banyak) contoh-contoh penting baik terkait tafsiran-tafsiran baru maupun warisan-warisan yang telah mengubah bagaimana cara kita melihat masa lalu maupun masa kini orang Jawa sepanjang abad-abad Islamisasi, serta, sebagai akibatnya, (mengubah) bagaimana cara kita membayangkan masa depan mereka. Belum lama ini, Islam cenderung dilihat sebagai aspek pinggiran (marginal) bagi budaya Jawa ‘arus utama’: Ini warisannya. (Dan) sekarang, kita bisa menyaksikan Islam sebagai topik yang memiliki signifikansi utama dalam sejarah orang Jawa: Ini tafsiran barunya. Dalam bab ini, kita (juga) akan memeriksa baik atas warisan maupun tafsiran barunya, untuk mengetahui bagaimana kita akan dituntun pada pandangan-pandangan baru terkait sejarah, masyarakat, dan budaya Jawa, maupun kepada pemahaman yang lebih jernih (terkait) bagaimana realitas Islam dipahami serta dijalani dalam kehidupan nyata.

Pemeriksaan ulang, baik atas warisan-warisan maupun tafsiran-tafsiran barunya dari sejarah Jawa ini menyuguhkan pada kita sebuah contoh, bagaimana pandangan-pandangan kita terhadap masa lalu sering kali dibentuk oleh pengalaman akan situasi kekinian. Hal ini juga mengingatkan kita betapa bisa menipunya, menyesatkan, dan berbahaya secara analitis stereotipe-stereotipe tersebut, serta betapa pentingnya secara aktual untuk melakukan penelitian lebih lanjut untuk menguji ide-ide semacam itu. Tentu saja, ini sama sekali bukanlah pengamatan baru: namun cukup mengherankan, begitu tegarnya stereotipe-stereotipe itu hinggap dalam kasus sejarah orang-orang Jawa.

Warisan

Di dalam beberapa literatur lama, kita dapat menemukan sebuah gagasan bahwa terdapat dua ranah kebudayaan yang cukup berbeda, yang bisa dibedakan antara satu dengan lainnya. Salah satunya adalah ranah keislaman, yang didefinisikan dengan membaku-standarkan stereotipe-stereotipe yang akan kita lihat contohnya di bawah ini. Penggambaran akan praktik-praktik masyarakat Islam sejak paruh pertama abad ke-20 lebih banyak dipengaruhi oleh gambaran Islam Wahabi di Arab Saudi, sedangkan gambaran teologinya cenderung didominasi oleh pandangan para cendekiawan modernis yang terdidik. Jika kebanyakan orang Jawa tidak sesuai dengan gambaran-gambaran tersebut, maka tampaknya mereka tidak layak dikatakan Muslim (sejati).

Pada sisi mereka, orang Jawa juga sering dilihat melalui kacamata-kacamata berlensa esensialis. Gaya hidup Muslim nominal atau Muslim abangan dipandang asli (dari) Jawa—dijadikan norma. Ada sebuah pernyataan yang mengungkapkan bahwa seorang abangan hanya menaati kewajiban Islam sebanyak empat kali dalam hidupnya: Saat lahir, saat sunatan, saat pernikahan, dan saat kematian. Untuk yang pertama, kedua, dan terakhir, orang lain harus melakukannya untuk mereka. Adat-gaya keraton diambil sebagai paradigma yang menentukan keaslian ini, namun budaya dan masyarakat Islaminya hanya (dianggap) sekadar nominal. Para priyayi (dipandang) mewakili kelas-atas yang terpandang dari corak kejawaan asli masyarakat Jawa tersebut.

Kita mesti berhati-hati untuk tidak membesar-besarkan bahasan kita terkait pandangan-pandangan yang telah terwarisi ini. Sudah tersedia beberapa hasil karya kesarjanaan yang telah dikerjakan di periode sebelumnya yang kita semua berhutang budi atasnya. Namun terdapat pula (secara merata) sebuah paradigma yang serba-mencakup (overarching paradigm) yang nyata-nyata ada di sebagian besar paradigma kesarjanaan tersebut. Hal inilah yang kini ditantang oleh penelitian-penelitian terbaru maupun oleh perubahan-perubahan kontemporer yang sedang terjadi.

Contoh menonjol tentang stereotipe-stereotipe warisan ini terdapat dalam esai terkenal berjudul, “The world of Southeast Asia: 1500–1650,” tulisan J.C. van Leur. Seorang sarjana muda cerdas dari Belanda yang tertarik pada sejarah, serta cukup banyak dipengaruhi oleh pemikiran sosiolog Max Weber. Karirnya terhenti secara tragis ketika terbunuh dalam peperangan laut Jawa pada Februari 1942, (yakni) pada usia yang baru saja 34 tahun. Esai ini ditulis sebelum terjadinya peperangan tersebut, serta diterbitkan secara utuh di tahun 1947 dengan terjemahan Bahasa Inggris yang muncul pada tahun 1955.

Penting dicatat bahwa pandangan-pandangan Van Leur terbentuk di tahun 1930-an, (yakni) di tengah masa genting polarisasi sosial, budaya, agama, dan politik di Jawa (Ricklefs: 2007), yang sudah secara wajar mempengaruhi pandangannya terhadap sejarah. Dalam esainya ditemukan sebuah pernyataan yang sekarang terlihat sedikit tak biasa (aneh), namun pada saat itu, dianggap secara definitif:

“Ekspansi agama baru ini [yang dia maksud Islam] tidak menghasilkan perubahan revolusioner apa pun, maupun (menjadikan) kolonis asing yang baru saja tiba ini meraih kuasa (penuhnya)—rezim Indonesia tidak mengalami satu pun perubahan, karenanya… juga tak perlu ditanyakan lagi mengenai pengaruh yang lebih dalam terhadap aspek-aspek kebudayaannya. Islam tidak membawa satu pun inovasi “tingkat tinggi dalam pengembangannya” untuk Indonesia, secara sosial maupun ekonomi, baik dalam tata kenegaraan maupun dalam perdagangan. Kedua agama ini [yaitu, Hindu dan Islam] hanyalah lapisan tipis yang mudah mengelupas pada tubuh besar peradaban pribumi (indigenous). (Van Leur 1955:168-9)”

Pada tahun 1953 hingga 1954, sebuah tim peneliti antropolog Amerika dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) menghabiskan beberapa bulan di Kota Pare, dekat Kediri di Jawa Timur yang mereka juluki “Modjokuto.” Peneliti paling terkenal dari tim ini adalah Clifford Geertz (1926-2006), bukunya The Religion of Java diterbitkan tahun 1960. Sejak awal, sudah ada orang Indonesia dan Belanda (e.g., Koentjaraningrat 1963) yang mengkritik buku ini dan terbebani keteledoran Bahasa Jawa yang memalukan dalam dedikasinya.[1] Kendati pun demikian, karya ini tetap saja dianggap secara luas sebagai sebuah catatan otoritatif terkait kehidupan beragama orang Jawa. Pengaruhnya di Indonesia juga mendalam, sampai-sampai istilah yang lazim digunakan untuk kaum muslim saleh serta pejabat keagamaan di kalangan orang Jawa: (seperti) muslimin, putihan, kaum, dll. — tergantikan dalam penggunaan hariannya dengan istilah santri yang digunakan Geertz, meski biasanya diterapkan secara lebih khusus kepada murid-murid sekolah agama (pesantren). [2]

Momentum penelitian MIT sangatlah penting karena Geertz dan timnya berada di Jawa Timur pada periode meningkatnya eskalasi ketegangan sosial, politik, dan agama. Peristiwa ganas pada masa Revolusi (Kemerdekaan) dan lingkungan yang telah terpolitisi pada tahun 1950-an memicu meningkatnya polarisasi di Jawa. Akhirnya, ketegangan tersebut mengakibatkan munculnya pembantaian massal pada pertengahan tahun 1960-an. (Ricklefs 2012: bab 4).

Dalam Religion of Java karya Geertz kita menemui (kategori) trikotomi terkenal: santri, abangan, dan priyayi. Yang pertama ia kaitkan dengan dunia para pedagang kecil, yang kedua dengan kaum petani, dan yang ketiga dengan birokrasi, yang Koentjaraningrat sebut (sebagai) “terlalu menyederhanakan (Koentjaraningrat 1963: 188). Trikotomi ini menjadi cara umum dalam menggambarkan pemilahan di dalam masyarakat Jawa, walaupun ini jelas-jelas merupakan kebingungan terkait varian agama (santri vs abangan) dengan kelas-kelas sosial (priyayi vs orang biasa, wong cilik, yang terlewatkan dari kerangka Geertz). Sekali lagi, kita bisa menemukan sebuah pernyataan yang cukup mengherankan untuk saat ini:

“Adalah sangat sulit, dengan tradisi dan struktur sosialnya yang terberi, bagi seorang Jawa menjadi “muslim sejati”… (dengan) karakter asingnya, keagungan, serta kemuliaan Tuhannya, (sifat) moralnya yang begitu pekat, keketatannya dalam soal ajaran, maupun eksklusivisme-nya yang bersifat intoleran, yang menjadi bagian kuat dari Islam, adalah begitu asing bagi pandangan tradisional orang-orang Jawa. (Geertz 1960:160)”

Dalam Religion of Java karya Geertz kita menemui (kategori) trikotomi terkenal: santri, abangan, dan priyayi. Yang pertama ia kaitkan dengan dunia para pedagang kecil, yang kedua dengan kaum petani, dan yang ketiga dengan birokrasi, yang Koentjaraningrat sebut (sebagai) “terlalu menyederhanakan (Koentjaraningrat 1963: 188).

Perhatikan stereotipe-stereotipe ini. Terdapat (a) “tradisi” Jawa—warisan dari masa lampau— (b) “struktur sosial”—yakni santri, abangan, dan priyayi— dan (c) “pandangan tradisional” yang sedikit mendapat pengaruh Islam, keseluruhan gabungan dari tiga hal ini menjadikan “sangat sulit… bagi orang Jawa untuk menjadi ‘muslim sejati’.” Sehingga didapatilah Islam (bertentangan dengan tradisi, struktur sosial, dan pandangan Jawa yang melekat padanya) yang secara ketat berfokus pada ajaran, sifat intoleran, serta karakter eksklusifnya. Dengan menengok kembali sejarah pada tahun 1950-an, seseorang mungkin akan dimaklumi karena mengira bahwa hal ini lebih tepat untuk menggambarkan Gereja Katolik dibanding berbagai penampakan wajah Islam di seluruh dunia. Tentu saja tidak ada pengamat serius yang berani membuat klaim tersebut sampai hari ini. Namun perlu diingat, bahwa Geertz sedang mengamati dan menulis di saat polarisasi semakin menukik, di saat batas-batas antara santri dan abangan semakin mengeras secara parah. Publikasi tim MIT tetap sangat berharga untuk pemotretan polarisasi ini. Robert Jay, anggota tim lainnya, merangkum kejadian ini sebagai “sebuah perpecahan keagamaan yang membelah masyarakat lokal” (Jay 1969: 4-5) serta mengamati bagaimana perpecahan itu semakin mengeras selama bulan-bulan penelitiannya di Pare.

 Jay menerbitkan sebuah monograf dengan judul terkenalnya, Religion and Politics in Rural Central Java — terkenal dikarenakan penelitian itu dilakukan di daerah Jawa Timur, bukan Jawa Tengah —daerah tempat ia berusaha memproyeksikan ketegangan abangan-santri dengan menariknya jauh ke masa lalu sejarah Jawa, dengan hasilnya yang tidak (terlalu) meyakinkan. Dia jelas melihat sejarah (Jawa) ini sebagai pertarungan antara Islam—sebuah kekuatan invasi baru—dengan kekuatan pra-Islam dan tradisi kebudayaan Jawanya yang secara implisit (dianggap) lebih asli. Pada abad ke-17, dia menulis, “Para penguasa pesisir dalam perlawanannya terhadap Mataram menyerukan Islam yang secara religius lebih murni sebagai standar menyatukan, terutama melawan Sultan Agung (1613-1646) dan penerusnya” (Jay 1963:10). Ada sebuah ironi tersendiri di sini, karena sebagaimana akan kita lihat di bawah, pemerintahan Sultan Agung merupakan masa penting bagi proses Islamisasi yang dipimpin oleh keraton. Lebih luas lagi, Jay mengemukakan skenario sejarah yang penuh stereotipe dari abad ke-14 atau ke-15 hingga seterusnya:

“Dimulai sekitar lima abad atau jika tidak enam abad yang lalu, Islam yang sedang menyebar, dengan perlengkapan falsafah keesaan maupun sifat eksklusifnya, serta kemampuannya memberi penganutnya rasa (persaudaraan) kuat akan komunitas, melibatkan dirinya dengan falsafah intelektual-adiluhung masyarakat Jawa yang didasarkan pada kepercayaan kuno dan ikatan sosial serta loyalitas yang menuntut luas.… Sementara unsur-unsur keagamaan yang lebih formal dari posisi tradisionalnya, yang mencakup bentuk ritual penyembahan dewa-dewa kuno Hindu-Jawa telah musnah, keutuhan ideologi corak tradisional Jawanya tetap saja bertahan. Di sisi yang lain, Muslim ortodoks yang lebih ekstrim telah berhasil menolak banyak bentuk-bentuk kebudayaan yang tersisa, terutama dalam estetika dan teologi. Akan tetapi, di antara kedua ekstrim ini jalan tengah luas akan proses akomodasi sungguh dapat berkembang, meskipun bukan tanpa gesekan. (Jay 1963: 101)”

Kita perlu mencatat lagi di sini bahwa stereotipe-stereotipe yang dibaku-standarkan. Islam (dianggap) memiliki sebuah “falsafah keesaan dan sifat eksklusif” serta termasuk memiliki jenis (kaum) “ortodoks yang lebih ekstrim.” Orang Jawa, sebaliknya, (dipandang) memiliki “falsafah intelektual yang adiluhung” beserta “bentuk-bentuk tradisionalnya.” Dalam pengantar untuk karya monografnya, sejarawan Harry Benda mengungkapkan kritisisme yang pasti membuat Dr. Jay yang masih junior akan (merasa) tak nyaman saat membacanya: “(sungguh) berharga serta sangat diperlukannya penelitian Dr. Jay ini… namun proyeksinya tentang perpecahan sejarah masyarakat Jawa pada masa lebih awal mungkin (akan) tumbang oleh beberapa kesangsian” dan catatannya terkait tahun 1930-an “saya pikir adalah keliru dan menyesatkan” (Jay 1963: iv). Hari ini mungkin kita akan mendukung kritik Harry J. Benda, karena saat ini kita memiliki banyak penelitian substantif untuk mendukungnya ketimbang yang dia miliki pada saat itu.

Pembedaan antara apa yang disebut Islam dengan apa yang asli Jawa tidak hanya ditemukan dalam publikasi sosiologis dan antropologis saja. Karya G.W.J Drewes (1899-1992) juga mencerminkan pandangan-pandangan demikian. Drewes tinggal di Indonesia dari tahun 1925 hingga tahun 1938, serta pada tahun 1946-7, jadi sekali lagi, dia merupakan seseorang yang jejak personalnya berasal dari era sebelum Perang Dunia II dan Era Revolusi (Kemerdekaan) Indonesia. Setelah Perang Dunia II dia menduduki jabatan professorial di Universitas Leiden dalam kajian Bahasa Jawa, Bahasa Melayu, Studi Islam, dan Bahasa Arab. Mungkin seseorang akan berpikir bahwa ia memenuhi syarat untuk menjembatani sekat-sekat konvensional budaya. Pada tahun 1954, dia menerbitkan edisi baru karya primbon Jawa tentang ajaran-ajaran Islam yang jelas berasal dari abad ke-16. Karya ini sebelumnya telah diedit pada tahun 1921 oleh B.J.O Schrieke (1890-1945), yang menemukan terdapatnya bukti bahwa Islam telah diadaptasikan ke dalam latar masyarakat Jawa. Drewes menolak semua itu: “Hasil penelitian ini mengecewakan sejauh ini, karena tampak tidak terdapat bukti mengenai ‘proses adaptasi tersebut ke dalam lingkungan kebudayaan Jawa’ yang Schrieke pikir telah ia temukan indikasinya di dalam teks.” (Drewes 1954: 3). Selanjutnya, “Sosok guru yang di dalam pengajaran-pengajarannya, keseluruhan isu-isu ini muncul (di dalam teks), tidak diragukan lagi adalah seorang penganut mistisisme ortodoks,” tulis Drewes (1954: 4), yang jelas-jelas menyiratkan bahwa “proses adaptasi ke dalam lingkungan Jawa” akan sama saja dengan heterodoksi.

Kesimpulan Drewes dalam hal ini cukup mengherankan (aneh), yakni dengan menimbang istilah yang ditemukan di dalam teks primbon ini. Di sana, kita temukan (istilah) Allah digunakan dalam ungkapan perbendaharaan bahasa Arabnya, namun selain itu juga (ditemukan) istilah untuk Tuhan dalam Bahasa Jawanya pangeran (penguasa, dalam Bahasa Jawa dimaksudkan untuk penguasa dunia-sementara maupun penguasa yang mengatasi alam). Untuk surga, kita temukan kata swarga atau syarga, untuk jiwa ditemukan kata sukma dan untuk asketisme ditemukan kata tapa. Ini merupakan semua kosa-kata bahasa Jawa yang berakar dalam bahasa Jawa kuno dan/atau Sansekerta yang memuat konotasi pra-Islamnya. Kasus yang paling mencolok adalah penggunaan kata Jawa sembah dan sembahyang untuk (mengganti kata) salat. Sĕmbah adalah sikap badan untuk menghormat atau menyembah dengan cara meletakkan telapak tangan secara bersamaan tepat di depan hidung. Dalam kasus kata sembahyang, ini adalah sembah terhadap hyang, alias para dewa-dewa. Bagaimanapun, Drewes menerjemahkan sembah atau sembahyang tidak dengan kata Belanda untuk menunjuk ritus kebaktian tertentu, namun lebih memilih istilah Arab salat (Drewes 1954: 54-5) yang dengan demikian (justru) memperteguh di dalam terjemahannya (sendiri) kesan ortodoksi Islam tanpa “proses adaptasinya ke dalam lingkungan kejawaan.”

Dalam beberapa keadaan memang dapat ditemukan konflik antara Islam dan Jawa dalam pengertian identitas, corak budaya, maupun sistem kepercayaan. Hal ini bisa dilihat pada teks Jawa lain yang juga diedit oleh Drewes (1978), yang jelas berasal dari tahap awal proses Islamisasi di beberapa tempat di Jawa. Penanggalan atas teks ini yang merujuk pada abad ke-16 atau abad ke-17 adalah sepenuhnya spekulatif: teks ini bisa jadi berasal, katakanlah, dari Blambangan yang sekurang-kurangnya (baru) pada abad ke-18. Alhasil, ini jelas merefleksikan fase awal proses Islamisasi di masyarakat transisi. Satu kutipan terkenalnya agama Selam lawan gama Jawa, yakni, agama Islam vs agama Jawa, sementara kutipan lain mengecam pemakaian “busana kafir” (wong kapir…. pangganggone) (Drewes 1978:36-7).

Jadi, kita bisa simpulkan bahwa memang ada keadaan bahwa penganut Islam dan penganut agama pra-Islam menganggap diri mereka menempati dunia yang berbeda. Namun terdapat juga kompromi, akomodasi, dan sintesis. Dengan kata lain, ini merupakan rentang masa dinamis serta kompleks dari perubahan sosial, namun tampaknya Drewes buta terhadap kompleksitas tersebut.

Jadi, kita bisa simpulkan bahwa memang ada keadaan bahwa penganut Islam dan penganut agama pra-Islam menganggap diri mereka menempati dunia yang berbeda. Namun terdapat juga kompromi, akomodasi, dan sintesis. Dengan kata lain, ini merupakan rentang masa dinamis serta kompleks dari perubahan sosial, namun tampaknya Drewes buta terhadap kompleksitas tersebut.

Contoh lain warisan-warisan paradigmatik ini bisa dilihat dalam (buku) sejarah umum Indonesia karya B.H.M Vlekke (1899-1970). Sementara para sarjana yang telah dibahas di atas meyakini pandangan tentang Indonesia yang dipengaruhi oleh pengalaman pribadi mereka sebelum Perang Dunia II, Vlekke sendiri tidak pernah menginjakkan kakinya di Indonesia. Dia dididik sebagai sejarawan Eropa dan akhirnya menjadi Profesor Hubungan Politik Internasional di Leiden. Selama perang berlangsung dia berada di Amerika Serikat. Di sanalah dia menuliskan bukunya, khususnya ditujukan untuk memperkenalkan Indonesia kepada orang-orang Amerika, yang sedang menjadi isu kebijakan penting dikarenakan pendudukan Jepang atasnya. Edisi pertamanya muncul di tahun 1943. Meskipun kurangnya pengalaman pribadi, namun sejarah Indonesia karya Vlekke ini sangat bagus dan selama bertahun-tahun menjadi rujukan standar bagi para pembaca berbahasa Inggris. Kendatipun demikian, kita (masih) menemukan refleksinya di sana terkait pemilahan yang penuh stereotipe antara apa yang (dianggap) asli Jawa dengan apa yang asli Islam. Sebagai contoh, dia menulis bahwa bagi sebagian besar penguasa Jawa di abad ke-16, “penerimaan Islam hanyalah sarana untuk mencapai tujuan, dan untuk masa yang lama, banyak dari mereka enggan mengenal Islam sebagaimana seharusnya ia dikenali, yakni, sebagai ajaran tertutup (exclusive) bagi semua ajaran kepercayaan lainnya” (Vlekke 1965; 97). Sekali lagi, kita bisa melihat Islam sejati sebagai berkarakter tertutup/eksklusif dan dalam versi (penerapan) Jawanya sebagai sejenis (bentuk) pengelakan oportunistik atas karakter selayaknya ekslusifitas Islam.

Dalam karya-karya kesarjanaan seperti yang telah dibahas sebelumnya, kita melihat sebuah paradigma tersirat yang menempatkan budaya Jawa “tradisional” asli yang berbeda dari pemahaman Islam yang benar. Budaya Jawa tersebut pada dasarnya adalah bercorak pra-Islam, masa kunonya adalah kerajaan Majapahit pada puncaknya di abad ke-14. Budaya ini didatangkan dari “falsafah adiluhung intelektual” masa lalunya (tulis Jay). Pada budaya Jawa asli ini datanglah Islam —sebuah kekuatan invasi asing yang (lebih) dibawa oleh para pedagang atau Sufi dibanding para prajurit/ksatria. Hal inilah yang menyebabkan konflik dengan budaya Jawa asli yang menolak perubahan. Hasilnya, dalam paradigma ini, adalah pertumbuhan Islam yang begitu lambat dan sangat terbatas pada kebudayaan Jawa. Maka Islam, mengulangi amatan Van Leur, “hanyalah lapisan tipis yang mudah mengelupas.” Dalam istilah Geertz, abangan dan priyayi dipandang sebagai perwakilan yang masih hidup dari kebudayaan Jawa asli. Para santri mewakili sifat invasif dengan kepercayaan Islam terbatasnya, dari budaya identitas baru Islam.

Perlu dicatat bahwa terdapat sarjana-sarjana yang berbeda pendapat dari paradigma di atas. Pandangan Vlekke mungkin saja tidak lepas dari gagasan-gagasan penuh stereotipe, namun dia juga melihat kompleksitasnya. Tulisnya, “Apapun motif Sultan Agung, penerimaannya yang sungguh-sungguh atas keyakinan Islam tak diragukan lagi [menghasilkan] ketaatan yang lebih dekat pada aturan-aturan agama ini di dalam kerajaannya” (Vlekke 1965:150). Jadi Vlekke (tidak seperti Jay) memiliki gagasan terkait peran Sultan Agung dalam mendamaikan tradisi Jawa dan Islam, meskipun pada waktu itu belum ada penelitian yang signifikan mengenai pemerintahan Sultan Agung.

Sejarawan Jawa paling terkemuka pada masanya tidak diragukan lagi adalah H.J. de Graaf (1899-1984). Ketika menyelesaikan doktoralnya di tahun 1935, dia merupakan sarjana pertama yang dilatih baik sebagai sejarawan (dia merupakan murid dari Johan Huizinga di Leiden) maupun sebagai sarjana yang menguasai Bahasa Jawa. Dia menghabiskan waktunya bertahun-tahun di Jawa, termasuk masa penahanannya di kamp penjara Jepang selama Perang Dunia II. De Graaf banyak dipengaruhi oleh sarjana Jawa terkemuka, yaitu Poerbatjaraka. Karyanya Geschiedenis van Indonesia memiliki otoritas yang tak akan pernah dicapai oleh karya Vlekke. Di dalamnya dia menulis proses akomodasi kultural antara Islam dengan masyarakat sekitar: “Islam hanya bisa berjaya jika memenuhi dalam beberapa takaran keinginan-keinginan orang Jawa. Maka bagian penting dari agama Hindu serta apa yang mendahuluinya dapat diselamatkan. Tradisi mempertahankan kesepakatan ini,” tulisnya (de Graaf 1949: 84). Selama tahun 1935 hingga 1942, De Graaf mengajar di Gereformeerd Belanda-Cina dan sekolah pelatihan guru untuk Belanda-Pribumi di daerah Surakarta. Dia memberitahukan saya bagaimana ia membawa murid-murid kelas sejarahnya berkeliling ke situs-situs bersejarah Jawa, yang sering dikaitkan dengan Islam, seperti Demak dan Kudus. Ini membuatnya mendapat masalah dengan otoritas Kristen ultra-ortodoks di sekolah itu, namun ia tetap bersikeras. Pada tahun 1958 De Graaf menerbitkan karya monografnya tentang pemerintahan Sultan Agung dan pendahulunya Panembahan Seda ing Krapyak. Dia menulis (terkait) ketergantungan nyata Sultan Agung atas penasihat Muslim yang dihormatinya, kehadiran regularnya di masjid, dan para pejabatnya diwajibkan untuk mengikutinya, pemaksaan pindah agama bagi tawanan perang Eropa ke Islam, serta (rekaman) tradisi saat setelah Sultan Agung wafat (Ia) dianggap sebagai orang suci [waliullah] (De Graaf 1958: 103-4). Saya tidak berpikir jika De Graaf—dia sendiri seorang penganut taat Calvinist konservatif —pernah tertarik dengan gagasan bahwa menjadi orang Jawa dan pada saat bersamaan seorang Muslim adalah (seperti diklaim Geertz) “sangat sulit.”

De Graaf bergabung dengan temannya Th.G.Th. Pigeaud (1899-1988) untuk menulis sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Jawa masa awal-awal pada abad ke-15 dan ke-16. Mereka bekerja dengan sumber-sumber sulit dan pelik untuk memberi makna sebaik mungkin yang mereka bisa mengenai sejarah periode tersebut. Hasilnya mau tak mau bersifat spekulatif di banyak tempat. Berkait dengan jurang pemisah antara apa yang disebut Jawa dengan apa yang disebut Islam, mereka memiliki pendapat ini:

“Salah satu keberatan paling penting atas pandangan sejarah Jawa mutakhir hingga baru-baru ini adalah terkait gagasan bahwa terdapat jurang perbedaan antara apa yang disebut-sebut Jawa-Hindu, periode ‘pagan’, dan (masa) Islam” (De Graaf dan Pigeaud 1974: 3). Spekulasi mereka dalam masalah ini, bagaimana pun, kerapkali melampaui bukti-bukti remeh yang bisa mendukung. Satu contohnya adalah komentar mereka bahwa “Pada periode ini… Kehidupan rumah tangga dan masyarakat Jawa di luar lingkungan keraton dipengaruhi oleh Islam dengan kecenderungan egaliternya, yang dalam hal ini berbeda secara kontras dengan masyarakat pra-Islam yang sarat (hierarki) kelas yang sakral serta aristokratik.”

(De Graaf dan Pigeaud 1974: 6). Sumber-sumber yang ada tidak bisa mendukung analisis pembedaan kelas macam itu.

Salah satu keberatan paling penting atas pandangan sejarah Jawa mutakhir hingga baru-baru ini adalah terkait gagasan bahwa terdapat jurang perbedaan antara apa yang disebut-sebut Jawa-Hindu, periode ‘pagan’, dan (masa) Islam” (De Graaf dan Pigeaud 1974: 3)

Walhasil, gagasan mengenai identitas Jawa dan identitas Muslim yang mustahil didamaikan dalam takarannya yang lebih luas adalah tidak diterima oleh semua sarjana. Tidak lebih hal itu hanya satu tafsiran semata, meski sangat luar biasa pengaruhnya. Pengaruhnya merentang melintasi studi politik, masyarakat, budaya, sejarah, dan agama. Dan itu merupakan sebuah paradigma yang saat ini lekas mati, atau malah sudah mati. Jadi, sekarang saatnya kita bisa menimbang bagaimana transformasi tersebut akan berlangsung.

Tafsiran Baru

Dalam pandangan saya, ada dua alasan utama untuk meninggalkan paradigma lama serta menerima paradigma baru, yakni bergerak meninggalkan gagasan bahwa Islam adalah bersifat pinggiran (marginal) bagi sejarah Jawa mainstream menuju kepada gagasan bahwa Islam merupakan aspek utama di antaranya. Alasan pertama adalah peran Islam dalam masyarakat Jawa berubah secara tiba-tiba dari sekitar pertengahan 1960-an hingga seterusnya. Kedua adalah penelitian baru yang telah dikerjakan.

Perubahan sosial itu (begitu) signifikan, karena dari sejak pertengahan tahun 1960-an, Islam telah menjadi ciri yang lebih menonjol dalam kehidupan masyarakat Jawa. Panggilan salat (azan) mulai terdengar secara reguler, dikarenakan pemasangan listrik yang menyebar beserta keuntungan sistem alamat publiknya. Gaya hidup abangan menyusut di bawah pengaruh Islam yang lebih luas. Sangat penting untuk diperhatikan bahwa lembaga-lembaga utama yang menyokong dan menguatkan identitas abangan menghilang atau secara dramatis melemah di bawah rezim Orde Baru Suharto. Penduduk desa abangan dalam banyak kasus, umumnya cenderung tidak simpatik terhadap otoritas dan lembaga yang terstruktur dan hirarkis. Ekspresi utama identitas abangan yang terlembagakan adalah partai-partai politik, khususnya Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI). PKI dibumihanguskan dalam pembantaian tahun 1965-6. PNI secara dramatis dilemahkan dan menghilang lalu “melebur” ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di tahun 1973. Partai-partai politik di pihak santri juga dikebiri, namun para santri mempunyai lembaga lain yang mendukung dan menghidupkan gaya hidup dan aspirasi kesalehannya, utamanya masjid-masjid: sekolah-sekolah agama: organisasi-organisasi besar, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan Persis; jaringan luas lembaga kesejahteraan sosial maupun tokoh-tokoh besar nasionalnya. Tidak ada yang sebanding ini di pihak abangan.

Rezim Orde Baru juga mempunyai agenda Islamisasinya sendiri. Hal ini diungkapkan melalui diwajibkannya pendidikan agama di sekolah-sekolah, proyek-proyek dakwah seperti PTDI (Perguruan Tinggi Dakwah Islam) dan P2A (Pembinaan Pengamalan Agama), pengembangan sistem IAIN (Institut Agama Islam Negeri), pembangunan masjid, kewajiban pengumpulan zakat bagi pegawai negeri, dan berdirinya MUI (Majelis Ulama Indonesia). Rezim ini tidak mentolerir persaingan politik dari organisasi keagamaan. Malah sebaliknya, ia mau mengatur dan mengarahkan Islam berdasarkan kepentingan prinsipnya sendiri untuk kontrol masyarakat dan penghancuran komunisme. Walhasil, salah satu buah dari pendekatan ini adalah (semakin) mendalamnya Islamisasi, yang sejalan dengan aspirasi para aktivis Islam. Ketika masyarakat Jawa menjadi terlihat lebih Islami dalam gaya tampilannya, para sarjana mulai sadar bahwa toh tidak “sangat sulit… bagi orang Jawa untuk menjadi ‘muslim sejati’,” seperti yang diandaikan oleh Geertz.

Berkenaan dengan penelitian mutakhir yang menuntun kepada pemahaman berbeda terkait peran Islam dalam sejarah Jawa, akan lebih baik jika saya menguraikan pengalaman saya sendiri. Sejak dari masa awal-awal karier saya, saya sudah penasaran akan dikotomi santri-abangan. Saya meniti sebagai sejarawan muda pada tahun 1960-an, dengan harapan bisa menemukan (fenomena) abangan di Jawa pada abad ke-17 dan ke-18 serta sangat penasaran untuk melihat peran apa yang mereka mainkan. Tetapi abangan tidak pernah muncul, baik dalam sumber-sumber Belanda maupun Jawa. Oleh karena itu, pertanyaan segera muncul di benak saya terkait kapan dan bagaimana pemilahan sosial tersebut tampil. Saat saya untuk pertama kalinya tinggal di Jawa di tahun 1969, dikotomi tersebut jelas terlihat bagi saya, namun selama tahun-tahun setelahnya tampaknya kelihatan menyusut secara signifikan. Keingintahuan historis saya terus saja mengusik.

Di tahun 1990-an saya melakukan penelitian yang akhirnya akan menjadi (buku) The Seen and Unseen Worlds in Java (Ricklefs 1998), yakni mengenai masa pemerintahan Pakubuwana II (1726-49). Sumber-sumber primer Bahasa Jawa yang tersisa dari periode itu lebih sedikit daripada periode selanjutnya, terutama dikarenakan keraton dijarah sebanyak dua kali pada tahun 1742, pertama oleh para pemberontak Cina beserta sekutu Jawanya, dan yang kedua oleh orang-orang Madura. Sehingga, saya kira saya sendiri bisa memulai tugas saya untuk memeriksa semua dokumen-dokumen asli yang tersisa dari masa pemerintan itu yang dapat diakses di koleksi MSS (manuscript and special collections) di Indonesia maupun di Eropa. Ahli sejarah Jawa, dalam memprioritaskan sumber-sumber primer yang perlu dirujuk, umumnya cenderung memilih babad, dokumen kontrak, surat-surat atau semacamnya, dibanding karya sastra (belles-lettres). Ini mungkin telah menyebabkan sikap meremehkan terkait pentingnya masalah-masalah agama, karena tampaknya telah menjadi konvensi sastra bahwa babad sudah semestinya menceritakan intrik-intrik keraton, konspirasi, peperangan, dan perselingkuhan, namun hanya memberi perhatian terbatas pada agama. Pada saat itu saya membaca semua sumber yang tersedia, termasuk karya-karya yang akan dikategorikan sebagai karya sastra (belles-lettres) serta mistisisme Islam. Dan oleh karenanya, saya menemukan diri saya—secara tidak terduga—berada di tengah-tengah episode utama proses Islamisasi yang dipimpin oleh keraton di dalam sejarah Jawa.

Saya membaca roman-roman memikat yang didasarkan pada tokoh-tokoh dari sejarah Islam, yang dipenuhi dengan ajaran-ajaran keagamaan. Carita Sultan Iskandar adalah versi yang lebih panjang dari kisah perjalanan sosok Iskandar Agung (Alexander the Great) atau Zulkarnain (seperti yang dapat) ditemukan di dalam al-Quran (18: 82-98). (Juga) Serat Yusuf yang didasarkan dari cerita (Nabi) Yusuf di Mesir sebagaimana bisa ditemukan di dalam al-Quran surat ke-12. Tidak seperti Carita Iskandar, kisah Yusuf juga menjadi cerita popular di masyarakat dengan versi yang berkaitan meski lebih ringkas dibandingkan dengan versi keraton dari masa Pakubuwana II (Ricklefs 1998: 60-1). Dalam versi Jawanya, kisah Al-Quran tentang Nabi Yusuf telah menjadi cerita panjang tentang kesalehan serta keindahan (paras). Yang paling memukau dari semua karya-karya ini adalah Kitab Usulbiyah. Sebuah judul yang dimaksudkan untuk menggemakan cerita-cerita Nabi-Nabi Arab sebagaimana ditemukan dalam qisas al-anbiya [kisah para nabi], meskipun [episode] pertemuan Nabi Isa dengan Nabi Muhammad yang terjadi di bumi— sebuah item sentral dari cerita Uulbiyah—(sejauh yang saya tahu) tidak memiliki kesamaannya dalam qisas al-anbiya. Bagaimanapun juga, bisa kita anggap jika penulis Usulbiyah mengetahui kisah kenaikan Nabi Muhammad ke langit (Ar. mi’raj), di mana saat itu ia bertemu Ibrahim, Musa, dan Isa di Yerusalem. Karya-karya utama sastra ini jelas ditulis dalam konteks latar Jawa. Karya-karya ini juga semuanya sama-sama ditulis pada tahun 1729, pada awal pemerintahan Pakubuwana II, (yakni) atas perintah neneknya yang tangguh yang merupakan seorang Sufi saleh, Ratu Pakubuwana (lhr. 1657, m. 1732). Semua karya ini digambarkan memiliki kekuatan-kekuatan supranatural (daya kekeramatan), yang (sengaja) dikerahkan oleh Ratu Pakubuwana untuk menyempurnakan pemerintahan cucu laki-lakinya Pakubuwana II, seseorang yang telah menaiki tahta pada usia 16 dan sekurang-kurangnya bisa dikatakan, telah menunjukkan beberapa tanda-tanda kepiawaiannya. Sang ratu telah berhasil dalam tujuannya, setidaknya sampai rentang waktu itu, yakni pada tahun 1741, (menjadikan) sang raja menampilkan dirinya sendiri sebagai sosok pemimpin model Sufi dalam sebuah Perang Jihad (holy war) di saat dia berhasil menyerang bala tantara VOC di keratonnya sendiri.

Terdapat juga karya-karya pendek yang minat bahasannya bisa ditemukan dalam karya-karya yang telah disebut di atas, utamanya adalah Suluk Garwa Kancana: karya ini menggambarkan sosok raja ideal sebagai seorang ksatria-sufi saleh, yang ini barangkali mewakili sebuah visi kerajaan Jawa yang merujuk kembali kepada (sosok) Sultan Agung (untuk hal ini, lebih lanjut akan diurai di bawah). Masa pemerintahan ini pulalah sumber alamat asal sebuah karya wejangan moral dan agama yang dikatakan disusun sendiri oleh Pakubawana II, yakni Wulang-dalem Pakubuwana II. (Juga) Serat Cabolek meski hanya dikenal dalam MSS di kemudian hari, tetapi menceritakan kontroversi keagamaan di keraton pada tahun 1731, yaitu dalam rangkaian ceritanya, salah seorang tokoh protagonis secara mengesankan mencontohkan (model) sintesis Islam-Jawanya dengan menyatakan bahwa “makna dari kitab kawi Bima Suci dan Arjunawiwaha… seperti halnya kawi Ramayana, semuanya adalah (karya) tasawwuf (tesawup, Ar. tasawwuf)” (Ricklefs 1998: 149).

Semua karya-karya sufisme yang dikarang di lingkaran keraton ini mengkonfirmasikan (sesuatu) dalam benak saya bahwa Islam (perannya) begitu sentral untuk memahami pemerintahan Pakubuwana II yang dramatis dan berakhir secara mengenaskan itu. Karya-karya ini juga menuntun saya untuk melihat kembali pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-46), ketika ‘daya keramat’ karya-karya Carita Iskandar, Serat Yusuf, maupun Kitab Usulbiya-nya Ratu Pakubuwana ini, kesemuanya jelas mewakili versi baru dari karya-karya yang sebelumnya pernah disusun pada masa Sultan Agung. Dikatakan sendiri di dalam Suluk Garwa Kencana-nya bahwa ini merupakan sebuah karya “dari Susunan Ratu” (salah satu gelar yang dipakai oleh Sultan Agung di tahun 1630 sebelum mengadopsi gelar Sultan), karya ini, juga, mungkin didasarkan pada acuan dari masa Sultan Agung. Menjadi jelas bagi saya jika pemerintahan masa Sultan Agunglah yang mewakili denyut utama proses Islamisasi yang dipimpin keraton. Juga, masa pemerintahan inilah yang berusaha dicipta-kembali oleh Ratu Pakubuwana beserta para pengikutnya dalam denyut Islamisasi kedua seabad setelahnya. Jelas masih banyak yang perlu dimengerti terkait peran Islam dalam masyarakat Jawa selama berabad-abad lalu.

Dan hal inilah yang menuntun saya kepada keputusan untuk mencoba menuliskan sejarah keseluruhan proses Islamisasi di kalangan masyarakat Jawa, (yakni) dari sejak bukti permulaannya pada abad ke-14 hingga hari ini. Hasilnya adalah tiga buku yang telah diterbitkan pada tahun 2006, 2007, dan 2012. Buku-buku tersebut menentang paradigma warisan yang telah dijelaskan di bagian pertama tulisan ini dan juga malah mengajukan sebuah sodoran pemahaman baru, yang mengakui peran sentral Islam dalam sejarah Jawa.

Buku pertama, Mystic Synthesis in Java: A History of Islamization from the fourteenth to the Early Nineteenth centuries (Ricklefs 2006) berusaha untuk memahami arti dari bukti-bukti yang berlimpah, namun remeh yang kerapkali gagal hanya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan utama yang muncul dalam pikiran kita. Dari abad ke-14 bukti-bukti tersebut menyarankan (akan) sebuah masa ketika identitas dan keyakinan agama saling bersaing, sebagaimana orang menduganya. Terdapat bukti-bukti terkait proses akomodasi antara identitas Jawa dan Muslim, maupun terkait konflik pada masa-masa awal ini. Sultan Agung muncul sebagai sosok rekonsiliator agung dari dua tradisi dan identitas tersebut pada awal abad ke-17. Setelah itu, datang lagi sebuah masa kontestasi, tantangan, dan peperangan, di saat para penantang dinasti Mataram mengibarkan panji Islam terhadap keraton yang, selama beberapa waktu setelah tahun 1670-an, telah banyak beraliansi dengan kafir-kafir VOC. Semakin keraton kehilangan legitimasi, maka semakin dibutuhkan dukungan militer VOC, dengan demikian, semakin berkobarlah rasa kesadaran Islam terhadap musuh-musuhnya. Pertempuran tersebut berakhir sekitar 1720-an dengan kemenangan dinasti keraton. Situasi inilah yang menciptakan adegan bagi pemerintahan Pakubuwana II beserta usaha rekonsiliasi keduanya atas identitas Jawa dan Islam di bawah pengaruh Ratu Pakubuwana.

Hasilnya adalah, menjelang akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, apa yang saya namai sebagai “mistik sintesis” Jawa yang bertumpu pada tiga ciri khusus dalam (bingkai) batasan-batasan tasawuf yang bersifat longgar. Yang pertama adalah perasaan kuat akan identitas, bahwa menjadi Jawa adalah berarti menjadi muslim. Seperti yang telah dikatakan seorang tokoh utama dalam Serat Centhini, “telah menganut agama suci ini/ setiap helai rumput di tanah Jawa,/ mengikuti Nabi yang terpilih” (Ricklefs 2006: 202).

Karakteristik kedua mistik sintesis adalah tersebarluasnya ketaatan pengamalan lima rukun Islam: syahadat, salat, zakat, puasa selama bulan Ramadan, dan penunaian ibadah haji ke Mekah bagi yang mampu. Bukti praktik-praktik keagamaan ini di tingkat masyarakat Jawa rendahan sayangnya begitu terbatas, sehingga unsur kehati-hatian senantiasa sangat diperlukan. Tetapi bukti yang kami miliki menunjukkan adanya ketaatan yang meluas. Pada tahun 1822 Cornets de Groot melaporkan dari wilayah Gresik di Jawa Timur bahwa “pokok utama kepercayaan Islam”—yang dia maksud khususnya adalah lima rukun Islam— “dikerjakan oleh orang banyak… puasa dijalani oleh kebanyakan orang-orang Jawa dari semua kalangan” (Cornets de Groot 1852: 271-2; Ricklefs 2006:204-5). Raflles mengira bahwa Islam di Jawa “tampaknya hanya menembus lapisan permukaannya saja,” namun meski demikian tetap saja teramati (olehnya) bahwa “semua orang memandangnya sebagai simpul penghormatan (penting) baik untuk menyokong maupun menghormati ajaran-ajarannya.” “Ziarah ke Mekah adalah hal lumrah,” tulisnya, dan “setiap desa memiliki pendetanya [pemimpin Islam] masing-masing, serta… di setiap desa yang penting terdapat sebuah masjid maupun sebuah bangunan terpisah yang disesuaikan sebagai tempat ibadah keagamaan.” Raffles menganggap masyarakat Jawa, bagaimanapun juga, sebagai “Mohamedans yang tidak begitu sempurna” karena mereka gagal membenci orang-orang Eropa (Raflles 1830: 11, 3-5; Ricklefs 2006: 215-16). John Crawfurd, sebaliknya, secara keras mengingkari orang-orang Jawa, yang dia nilai sebagai “semi-barbar” dengan pemahaman dangkalnya mengenai Islam: hal ini barangkali justru memberi tahu kita lebih banyak tentang gagasan (aliran agama) Presbiterian Skotlandia yang dipeluk oleh Crawfurd terkait bagaimana agama-agama seharusnya dijalani daripada tentang (Islamnya) orang-orang Jawa (Ricklefs 2006: 216).

Karakteristik ketiga dari sintesis mistik adalah penerimaan kekuatan-kekuatan spiritual lokal. Ratu Kidul: Sunan Lawu; dhanyang desa; demit atau jin penunggu gua, gunung, serta hutan; memedi atau hantu yang mencuri anak-anak di malam hari, maupun yang (bisa) mengubah diri mereka menjadi harimau; kekuatan gaib lainnya yang secara tebal mengisi kesadaran mental orang-orang Jawa yang telah berkembang dalam pementasan wayang kulit dan bentuk-bentuk pentas lainnya—semua ini diterima sebagai nyata. Jika standar kepekaan modern (kita) mengira ini tidak konsisten dengan dua karakteristik sebelumnya, kita mesti sadar bahwa kombinasi gagasan-gagasan demikian ini bisa ditemukan secara merata di dunia Islam, sebelum (munculnya) gerakan reformasi (Islam) yang dimulai pada abad ke-18 dan ke-19, sebagaimana juga, memang, kompromi sejenis ini (juga) bisa ditemukan pada agama-agama dunia lainnya.

Sintesis mistik ini tampaknya telah menjadi corak dominan religiusitas Islam di kalangan masyarakat Jawa pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Ia terdokumentasikan secara baik di kalangan elit melek huruf, namun (sejauh kita bisa ketahui melalui bukti yang berserakan) juga tampaknya telah teramati secara luas pada masyarakat Jawa. Dalam rentang abad ke-19 dan awal abad ke-20, tiap-tiap karakteristik sintesis mistik di atas akan mendapatkan tantangannya.

Sintesis mistik ini tampaknya telah menjadi corak dominan religiusitas Islam di kalangan masyarakat Jawa pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Ia terdokumentasikan secara baik di kalangan elit melek huruf, namun (sejauh kita bisa ketahui melalui bukti yang remeh) juga tampaknya telah teramati secara luas pada masyarakat Jawa. Dalam rentang abad ke-19 dan awal abad ke-20, tiap-tiap karakteristik sintesis mistik di atas akan mendapatkan tantangannya

Buku berikutnya dalam seri Islamisasi Jawa (Ricklefs 2007) meninjau periode tahun 1830-1930 serta, sesuai judulnya, tentang Polarisasi Masyarakat Jawa: Polarising Javanese Society: Islamic and Other Visions. Setelah penaklukan definitif Belanda atas Jawa di tahun 1830, yang menjerumuskan masyarakat Jawa ke dalam pengalaman penjajahan sesungguhnya, di periode sekitar pertengahan abad, gerakan reformis Islam mulai menyebar. Kegiatan ini dipimpin serta didukung oleh kelas menengah yang baru lahir di Jawa yang utamanya berbasis di kota-kota Jawa yang seringkali memiliki hubungan bisnis dengan pedagang Arab. Mereka mengadopsi gaya hidup muslim yang lebih saleh, dan, ketika kekayaan mereka bertumbuh, semakin bertambah jumlah orang-orang yang menunaikan ibadah haji, dengan demikian mencipta mata rantai hubungan dengan pusat tersuci Islam serta dengan gerakan-gerakan reformis di Timur Tengah. Ada juga pertumbuhan tiba-tiba dalam jumlah pesantren di Jawa. Orang-orang Jawa saleh ini menyebut diri mereka sebagai kaum putihan, yang membedakan diri mereka dari yang kurang saleh, kurang terdidik, kurang berpengalaman, dan dari kerumunan miskin. Dari para reformis putihanlah muncul penolakan terhadap kepercayaan pada kekuatan spiritual lokal Jawa yang merupakan bagian dari mistik sintesis.

Meskipun begitu, terdapat juga reaksi negatif terhadap versi Islam yang lebih saleh dan ortodoks ini. Di antara penduduk desa biasa, tampaknya banyak yang menolak tuntutan para reformis tersebut. Jika memang benar ini Islam, mereka akan mengatakan bahwa itu bukanlah untuk mereka. Para putihan merendahkan mereka sebagai abangan—yang coklat atau merah, sebuah istilah yang pada waktunya akan mereka gunakan sendiri, (dengan) menghilangkan konotasi negatifnya. Istilah ‘abangan‘ tidak dapat ditemukan di sumber manapun sebelum pertengahan abad ke-19 maupun berbagai pemunculan gagasan terkait ciri ketidaksalehannya, yakni gagasan Muslim nominal atau abangan sebagai kategori sosial terpisah juga tidak ditemukan. Baik pengertian abangan sebagai kelompok sosial yang berbeda maupun sebagai istilah yang dipakai untuk menggambarkan mereka, dengan demikian, jelas baru muncul pada pertengahan abad ke-19. Setelah beberapa abad berlalu, istilah dan pemunculan gagasan abangan sebagai kategori sosial yang terpisah tersebar (luas) di seluruh pedalaman Jawa, sebuah proses yang hanya bisa kita lihat secara samar-samar karena tidak memadainya bukti. Maka tidak diragukan lagi bahwa abangan merupakan kelompok mayoritas di kalangan masyarakat Jawa. Tampaknya mereka (segera) menarik diri dari dua karakteristik awal sintesis mistik lamanya, dengan melemahnya (1) kekuatan komitmen atas identitas Islam serta menurunnya (2) ketaatan terhadap lima rukun Islam. Meskipun bukti untuk masyarakat kalangan rendah lebih baik pada abad ke-19 daripada sebelumnya, kita mesti harus akui bahwa itu semua masih terbatas. Namun tampaknya Carel Poensen—seorang misionaris-sarjana yang tinggal di Kediri selama tiga dasawarsa—sungguh tepat ketika dia mengamati bahwa “di antara mayoritas besarnya terdapat aliran arus lain yang… menyebabkan arus sebelumnya—yang dalam banyak hal terjadi begitu saja —agama akhirnya lambat laun menghilang di masyarakat. Pada dasarnya, orang-orang mulai menjadi kurang religius dan saleh. [3]

Penting untuk ditekankan di sini, dengan menimbang bukti tersedia yang ditemukan, bahwa abangan bukanlah perwujudan budaya asli Jawa yang masih saja bertahan yang menolak Islamisasi dari sejak awal kemunculnya. Sebaliknya, ia adalah fenomena sosial baru di abad ke-19, (yakni sebagai) sebuah reaksi terhadap gerakan reformasi Islam. Pada awal abad ke-20, partai-partai politik muncul di Jawa dan perbedaan antara putihan dan abangan menjadi terpolitisasi dan terlembagakan. Maka lahirlah apa yang dikenal sebagai politik ‘aliran‘ di Indonesia, yaitu kesetiaan sosial dan keagamaan lebih penting daripada kelas sosial. Pada akhir abad ke-19 kita bahkan (bisa) menemukan orang Jawa yang menolak Islam secara total sebagai sebuah kesalahan peradaban (civilizational mistake). Juga, untuk yang pertama kalinya, sebuah komuntias kecil Jawa Kristen muncul.

Penting untuk ditekankan di sini, dengan menimbang bukti tersedia yang ditemukan, bahwa abangan bukanlah perwujudan budaya asli Jawa yang masih saja bertahan yang menolak Islamisasi dari sejak awal kemunculnya. Sebaliknya, ia adalah fenomena sosial baru di abad ke-19, (yakni sebagai) sebuah reaksi terhadap gerakan reformasi Islam.

Kelas sosial sangatlah penting dalam masyarakat Jawa dan pada kalangan kelas atasnya tantangan lain proses Islamisasi yang lebih dalam, (segera) muncul. Para elit birokrat, para priyayi, tertarik dengan modernitas yang dibawa oleh kolonialisme Belanda, yang dengan perkembangan ilmu saintifiknya, menghubungkan (mereka) dengan peristiwa dunia serta kecurigaan terhadap “fanatisme” Islam. Acara-acara sosial bergaya Eropa, klub membaca, perabotan rumah, dan gaya pakaian juga menarik perhatian para priyayi. Dengan demikian mereka menjadi lebih berjarak dari masyarakatnya sendiri, khusunya dari kalangan putihan yang saleh.

Demikianlah, bahwa menjelang tahun 1930 masyarakat Jawa secara gawat telah terpolarisasi pada garis-batas identitas keagamaan, kelompok sosial, maupun politiknya. Lokasi juga penting, dengan perbedaan signifikan antara penduduk pedesaan dan perkotaan serta bahkan beberapa perpindahan penduduk di kalangan masyarakat pedesaan yang sejalan dengan garis aliran. Menjadi jelas bagi saya bahwa ini bukanlah situasi yang “sudah ada sejak mulanya” yang berakar jauh ke masa lalu, seperti yang Dr. Jay bayangkan, maupun secara jelas-jelas diasumsikan oleh para sarjana lain. Sebaliknya, ini adalah fenomena historis yang tak menentu (terus berubah), tanpa kedalaman temporal yang relevan. Pada tahun 1930 fenomena ini kurang lebih berusia satu abad di manapun di Jawa, maupun di banyak tempat tidak lebih dari satu atau dua generasi (saja).

Buku terakhir dari seri ini (Ricklefs 2012) berusaha (sebagaimana judulnya) untuk memotret kisah [Islamisasi dan Para Penentangnya di Jawa]: Islamisation and its Opponents in Java from c.1930 to the present, yakni melalui “sejarah politik, budaya, sosial, dan keagamaan.” Selama periode tersebut, polarisasi masyarakat Jawa yang telah terpolitisasi meningkat menjadi kekerasan selama masa Revolusi (Kemerdekaan) Indonesia—terutama di Madiun pada tahun 1948. Hal ini menyediakan nutrisi bagi kekacauan politik dan gejolak sosial pada tahun 1950-an dan awal 1960-an, yang memuncak dengan pembantaian mengerikan pada 1965-1966. Seperti yang telah dicatat sebelumnya, PKI hancur dalam pembantaian ini. PNI melemah dan selanjutnya lebih jauh bubar melalui “peleburannya” ke dalam PDI pada tahun 1973. Seluruh partai politik dilarang melalui kebijakan “massa mengambang”-nya untuk memiliki struktur organisasi di bawah tingkat kabupaten, terkecuali selama masa kampanye pemilu. Dengan demikian, lembaga-lembaga utama yang mengungkapkan serta menguatkan identitas abangan —yakni para penentang Islamisasi yang disebut dalam judul—sekarang dianggap telah impoten. Dari sisi masyarakat santri Jawa, sebaliknya, memiliki lembaga-lembaga yang masih bertahan yang bertumbuh menguat dan semakin menguat dalam masyarakat, meskipun dicegah untuk mempunyai ekspresi politik yang efektif.

Ketika Islamisasi berkembang dari akhir 1960-an, maka kalangan abangan menjadi impoten secara politik dan berkurang secara sosial, padahal jelas-jelas mayoritas. Walaupun bukti statistik pada masalah rumit ini umumnya tidak terlalu kuat, sangat memungkinkan bahwa (jumlah) presentase populasi orang Jawa yang dianggap sebagai abangan akan menjadi minoritas sebelum akhir periode kekuasaan Orde Baru di tahun 1998. Usaha saya untuk menilai perimbangan antara santri dan abangan di awal tahun 1950-an berdasar bukti yang kurang sempurna menunjukkan (bahwa) sekira antara 10 hingga 40 persen orang Jawa adalah saleh, alias santri taat pada sekitar pertengahan 1950-an, dan sekira 60 hingga 90 persennya adalah abangan (Ricklefs 2012: 81-5). Boland mengutip survei yang menunjukkan rendahnya tingkat ketaatan atas lima rukun Islam di tahun 1960-an. Pada periode tersebut, di desa-desa Jawa Tengah sekitar 0 sampai 15 persen responden Jawa melaksanakan ritual ibadah sholat, dan pada tahun 1967 hanya 14 persen dari warga Yogyakarta membayar zakat, sementara hanya 2 persen saja yang menjalankan ibadah puasa (Boland 1971: 186). Angka-angka tersebut konsisten dengan gagasan bahwa abangan adalah mayoritas pada saat itu. Sebuah gambaran kontras muncul dari survei sosial yang diadakan sepanjang periode 2006-2010. Pada waktu itu, sekitar 90% responden Jawa mengaku bahwa mereka selalu melaksanakan sholat dan ibadah puasa, atau secara rutin ataupun “cukup sering.” Ini tidak harus membuktikan bahwa orang-orang tersebut (sungguh-sungguh) berperilaku seperti itu dalam praktiknya, namun hal demikian benar-benar memberi tahu kita terkait respon apa yang telah bisa diterima secara sosial. Permintaan besar di kalangan masyarakat Jawa untuk menunaikan ibadah haji—dengan daftar tunggu bertahun-tahunnya (waiting list) untuk mendapatkan tempat—juga mencerminkan betapa dominannya baik identitas (Jawanya) yang telah terislamisasi maupun wacananya dalam masyarakat Jawa kontemporer (Ricklefs 2012: 268-72).

Komentar Penutup

Sangat krusial bagi pemahaman kita berkait paradigma historis—yakni sebuah gagasan tentang adanya jurang pemisah dalam antara apa yang disebut Jawa dengan Islam—yang telah mengawali pembahasan-pembahasan kita, untuk mencatat kembali penentuan kelahiran paradigma tersebut. Ia muncul dalam diskusi-diskusi kesarjanaan pada periode berkembangnya polarisasi pemilahan yang berbahaya dalam masyarakat Jawa dari awal abad ke-20 selama tahun 1950-an. Apa yang diamati Geertz dan rekan-rekannya adalah benar memang sebuah rasa permusuhan serius antara santri-abangan yang terus meningkat. Tempat mungkin penting sebagaimana pentingnya penentuan waktu, karenanya sangat berharga untuk mencatat (apa) yang dikerjakan Geertz dkk. di daerah Pare, Kediri. Bukti historis menunjukkan (jelas tak diketahui oleh tim MIT) bahwa dari sejak akhir abad ke-19, inilah daerah dengan polarisasi sosial, budaya, dan keagamaan yang kuat. Buku-buku anti-Islam yang mengolok-olok Islam serta yang menggambarkan Islamisasi Jawa sebagai kesalahan peradaban ditulis di sana pada tahun 1870-an: Babad Kedhiri, Suluk Gatholoco, dan Serat Darmogandul (Ricklefs 2007: 181-211). Di sana Partai Komunis Indonesia sudah cukup kuat sebelum tahun 1965. Jadi Geertz dan rekan-rekannya tidak salah dalam pengamatan mereka, namun mereka salah dalam asumsi bahwa situasinya sudah lama seperti ini. Oleh karena itu mereka memeluk, menyokong, dan mempromosikan paradigma tersebut, yang sekarang bisa kita katakan terbukti salah sebagai sebuah pandangan atas sejarah Jawa. Apa yang mereka amati bukanlah manifestasi kontemporer dari konflik lama yang merujuk ke masa belakang pada permulaan perkembangan Islam di Jawa. Alih-alih mereka melihat sebuah keadaan sejarah yang terus berubah, mereka malah (memilih) fase jeda atau terhentinya sesuatu seperti rentang abad dalam sejarah panjang Islamisasi masayarakat dan kebudayaan Jawa. Mereka salah berasumsi—sebagaimana yang diusulkan Jay dalam monografnya—bahwa ketegangan dan rasa permusuhan santri-abangan sudah lama berlangsung. Belum ada yang berhasil (sebelum ini) membuktikan lewat penelitian sejarah bahwa gagasan-gagasan mereka tersebut adalah salah.

Penggulingan paradigma lama yang berpengaruh tersebut adalah penting, dan tidak hanya untuk pemahaman kita mengenai masa lalu. Ia juga memberi kita pemahaman yang lebih baik tentang situasi kontemporer akan perubahan agama di Indonesia dan bahkan bisa membantu kita untuk berpikir lebih jernih tentang kemungkinan masa depannya.

Sangat menyenangkan bisa mengatakan bahwa banyak penelitian untuk (kemunculan) perspektif-perspektif baru kita, telah dikerjakan oleh para sarjana Indonesia. Telah lama menjadi pandangan saya bahwa kepemimpinan internasional untuk studi Islam Indonesia harus muncul dari Indonesia sendiri. Dalam penelitian saya sendiri, saya mengandalkan baik dari karya-karya sarjana-sarjana mapan maupun dari sarjana Indonesia yang lebih muda.[4] Di sanalah, menurut pandangan saya, terdapat masa depan studi Islam bagi keseluruhan masyarakat Jawa.

 


Tulisan ini merupakan publikasi ulang, dengan sedikit variasi, dari makalah yang diterbitkan dengan judul yang sama di Studia Islamika 21.3 (2014): 399-418. Ia didasarkan pada paparan utama (keynote lecture) pada Agustus 2014 dalam sebuah konferensi di Jakarta dalam perayaan ulang tahun ke 20 Studia Islamika, yang mempunyai tema khusus “South Asian Islam: Legacy and New Interpretation.”

[1] Buku ini didedikasikan untuk “Wedono, Modin, dan tuan rumah abangan saya: “Nuwun Pangestunipun Sedaya Kalepatan Kula,” yang memohon orang-orang ini untuk memberkati semua kesalahan-kesalahan Geertz. Apa yang dimaksudkannya adalah nuwun pangapunten: mohon dimaafkan.

[2]Penggunaan istilah santri untuk kelompok sosial yang lebih luas sama sekali belum pernah terjadi sebelumnya. Lihat Ota 2006: 183 n. 47; Ricklefs 2007:49, 248.

[3] Diskusi dan terjemahan yang lebih lengkap dari pengamatan Poensen dari tahun 1880-an dapat ditemukan di Ricklef 2007: 96-102.

[4] Pembaca akan menemukan karya-karya penulis Indonesia berikut (antara lainnya) yang dikutip dalam tiga buku Islamisasi di Jawa: Azyumardi Azra, Jamhari Makruf, Sartono Kartodirdjo, Djoko Suryo, Kuntowijoyo, Onghokham, Hermawan Sulistyo, Najib Burhani, Muhamad Hisyam, Irwan Abdullah, Arbi Sanit, Zamakhsyari Dhofier, Bachtiar Effendy, Fauzan Saleh, Amelia Fauzia, Noorhaidi Hasan, Masdar Hilmy, Luthfi Assyaukanie, Fajar Riza Ul Haq, Ihsan Al-Fauzi, Himawan Soetanto, Muhaimin, Abdul Munir Mulkhan, Raharjo Suwandi and Soegijanto Padmo.

 

Sumber Pustaka

Boland, B.J. 1971. The Struggle of Islam in Modern Indonesia. VKI 59. The Hague: Martinus Nijhoff.

Cornets de Groot, A.B. 1852. “Bijdrage tot de kennis van de zeden en gewoonten der Javanen.” Tijdschrift voor Nederlandsch Indië 14. 2: 257–80, 346–67, 393–422.

Drewes, G.W.J., ed. and transl. 1954. Een Javaanse primbon uit de zestiende eeuw, opnieuwuitgegeven en vertaald. Leiden: E.J. Brill.

Drewes, G.W.J., ed. and transl. 1978. An Early Javanese Code of Muslim Ethics. Bibliotheca Indonesica 18. The Hague: Martinus Nijhoff.

Geertz, Clifford. 1960. The Religion of Java. London: The Free Press.

Graaf, H.J. de. 1949. Geschiedenis van Indonesië. ’s Gravenhage and Bandung: N.V. Uitgeverij W. van Hoeve.

Graaf, H.J. de. 1958. De regering van Sultan Agung, vorst van Mataram 1613–1645, en die van zijn voorganger Panembahan Séda-ing-Krapjak 1601–1613. VKI 23. ’s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.

Graaf, H.J. de, and Th.G.Th. Pigeaud. 1974. De eerste Moslimse vorstendommen op Java: Studiën over de staatkundige geschiedenis van de 15de en 16de eeuw. VKI 69. ’s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.

Jay, Robert R. 1963. Religion and Politics in Rural Central Java. [New Haven:] Cultural Report Series no. 12, Southeast Asian Studies, Yale University.

Jay, Robert R. 1969. Javanese Villagers: Social Relations in Rural Modjokuto. Cambridge MA, and London: The MIT Press.

Koentjaraningrat. 1963. “Review of Geertz, The Religion of Java.” Madjalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia 1.2: 188–91.

Leur, J.C. van. 1955. Indonesian Trade and Society: Essays in Social and Economic Histor the Hague and Bandung: W. van Hoeve Ltd.

Ota Atsushi. 2006. Changes of Regime and Social Dynamics in West Java: Society, State and the Outer World of Banten, 1750–1830. Leiden and Boston: E.J. Brill.

Raffles, Thomas Stamford. 1830. The History of Java. 2 vols. 2nd ed. London: John Murray.

Ricklefs, M.C. 1998. The Seen and Unseen Worlds in Java, 1726–1749: History, Literature and Islam in the Court of Pakubuwana II. St. Leonards, New South Wales: Allen Unwin; Honolulu: University of Hawai’i Press.

Ricklefs, M.C. 2006. Mystic Synthesis in Java: A History of Islamisation from the Fourteenth to the Early Nineteenth Centuries. Norwalk: EastBridge.

Ricklefs, M.C. 2007. Polarising Javanese Society: Islamic and Other Visions c. 1830–1930. Singapore: Singapore University Press; Honolulu: University of Hawai’i Press; Leiden: KITLV Press.

Ricklefs, M.C. 2012. Islamisation and its Opponents in Java: A Political, Social, Cultural and Religious History, c. 1930 to the Present. Singapore: National University of Singapore Press; Honolulu: University of Hawai’i Press.

Vlekke, Bernard H.M. 1965. Nusantara: A History of Indonesia. The Hague: W. van Hoeve Ltd.

 

Sumber ilustrasi: Winged horse in a Javanese manuscript of Serat Sela Rasa, 1804. British Library, MSS Jav 28, f. 68r.

Editor: Mohammad Hagie

0
668
Buku Langgar

Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru – Sebuah Pengantar

Izinkan pada awal tulisan ini, saya membuat disclaimer bahwa seluruh isi tulisan pengantar ini, anggap saja sejenis sendau-gurau juga sebuah racauan. Dan oleh karena itu, para pembaca tak perlu menganggapnya terlalu serius, apalagi membatinkannya dalam sebuah permenungan yang menyendiri.

Karena hal ini berkait dengan seorang sosok dan juga terkait sebuah ajaran yang begitu luhur, wingit, serta lungid, yakni sosok bernama Ki Ageng Suryomentaram dengan ajaran “Kawruh Jiwa”-nya, dimana dari sejak dini pada saripati-inti ajaran tokoh ini sendiri, mewanti-wanti para pembacanya untuk tak menjadikannya sebagai semata ‘diskursus’: bahan permenungan, alih-alih intellectual exercise yang tanpa ujung. Ia, Ki Ageng Suryomentaram, semata menyodorkan aksioma-aksioma [baca: sebuah ajakan] sebagai pelecut yang bisa membantu seseorang untuk segera masuk mengenali dan mengawasi realitas kediriannya sendiri. Tak lebih dari itu.

Karena, jika anda telah menyambut ajakannya ini, hati-hati, bukan saja Anda akan tergetar dan terkesima menyaksikan realitas diri Anda sendiri yang begitu mengagumkan, namun Anda juga akan mengalami transformasi diri yang tanpa terkatakan [tan kena kinira ngapa], yakni sebuah perubahan diri yang tidak memiliki capaian presedennya sebelumnya. Bagi Anda yang belum siap membaca tulisan ini, awas, urat Anda bisa putus.

****

Lepas dari kaidah “Kawruh Jiwa” [baca: ajaran Ki Ageng] yang akan segera diuraikan secara melimpah dalam buku ini, saya akan menyingggung sedikit terkait pijkan dasar spiritualitas [dasar bentangan ilmu ruhani], yang sayangnya bahkan sering dibaikan oleh para pelajar Kawruh Jiwa sendiri [baca: para pengikut Ki Ageng], yakni terutama persis seperti telah dijelaskan dalam dokumen surat-surat “pra-Kawruh Jiwanya” Ki Ageng yang berjudul “Buku Langgar 1920-1928” [belum diterbitkan].

Dengan menyinggung ulang dokumen awal tulisan Ki Ageng Suryomentaram ini, bukan saja kita bisa memblejeti dasar-pijakan spiritual macam apa yang membuat Ki Ageng bisa merumuskan Kawruh Jiwa-nya, melainkan juga kita bisa merunut cadangan kultural macam apa yang memungkinkan sosok agung ini muncul dan hadir, sekaligus bagaimana prasyarat cadangan-cadangan tersebut memungkinkan ajaran Kawruh Jiwa-nya bisa melampaui kelemahan ajaran spiritual-ruhani sebelumnya, serta pada saat bersamaan, juga sekaligus bisa menemukan signifikansi orisionalitas gagasannya sendiri.

Saking wingit dan sakralnya, Ki Ageng Suryomentaram berusaha memeras pijakan kawruhnya [rumusan pengetahuannya] dalam Buku Langgar—sebagaimana tertera dalam salah satu tulisan ‘surat’-nya yang berjudul “Pedagogie”—dengan rumusan yang agak berani sekaligus simbolik. Ia mengatakan bahwa basis pijakan pengetahuan yang ia rumuskan, adalah semata merupakan “pijakan atau bekal manusia untuk menjalankan unsur-unsur kedewataan dalam dirinya” [sanguning manungsa supados anetepi Kadewatanipun].

Rumusan ini berangkaat dari asumsi sederhana bahwa di dalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling berperang yakni,

[1] unsur ke-buto-an atau sifat raksasa [atau katakanlah unsur kehewanan dalam diri, diri kecil, dan nafsu], sedangkan yang kedua,

[2] unsur ke-dewa-an atau unsur ‘ketuhanan’ atau ‘kemalaikatan’ di dalam diri terdalam manusia. Ini adalah unsur fitrah jiwa terdalam manusia, hati nurani [pancaran cahaya Tuhan yang bersemayam dalam diri: Nur Muhammad].

Nah ilmu mengenali diri atau sering disebut ilmu ‘mawas diri’ ini sejatinya —sebagai langkah mendasar sekaligus puncak untuk mengenali hakikat kenyataan dan hidup ini—adalah ilmu untuk mengenali hakikat sejati terdalam dari diri, plus usaha mengeluarkan, merealisasikan, dan menegakkan pancaran unsur kedewataan yang bersemayam dalam diri manusia itu sendiri [baca: ilmu ruhani, khalifatullah}.

Kendaraan atau wahana untuk mencapai derajat pengenalan diri ini [plus realisasinya] oleh Ki Ageng dinamai dengan apa yang diistilahkannya sebagai Sih atau rasa welas asih atau cinta. Yakni sebuah daya yang sebenarnya berasal atau masih berada dalam area kuasa yang memancar dari Kraton Surga [inggih punika Sih ingkang kabawani Kraton Swarga]. Alias, sebuah daya untuk menundukkan dan ‘menguasai bumi seisinya’ [smarabumi]. Meminjam kalimat Suryomentaram sendiri,

“Apakah kalian sudah tahu, jika pada alam semesta-keseluruhan ini tidak ada daya yang bisa mengunguli ketinggian daya dibanding rasa cinta-sejati?”

[Punapa sampeyan sampun mangertos yen ing jagad sawegung punika mboten wonten daya ingkang nglangkungi luhuripun katimbang raos sih sejati?]

Karena, menurutnya, pada dasarnya kebutuhan manusia di dunia ini selain makan tak lain hanya rasa cinta. Berjuta-juta orang dengan susah payah mencari harta benda [semat], kehormatan-pangkat [drajat] dan kuasa-jabatan [pangkat] agar dikasihi dan mendapat cinta dari yang lain. Namun ternyata apa yang didapatinya justru sebaliknya: perselisihan, iri-hati, sombong, rasa benci atas jalan hidupnya sendiri, juga rasa benci terhadap orang lain karena tidak mencintai dan mengasihinya. Model pencarian kebahagian yang seperti inilah yang akan mengantarkannya kepada ‘neraka kesengsaraan’.   

Sungguh ini dikarenakan ketidakmengertian akan hakikat gerakan hidup, alias ketiadaan pengetahuan dan ilmu, dimana gerakan kodrati hidup tadi dipaksa tunduk pada keinginan dan kehendak sewenang pribadinya sendiri [kehendak-nafsu]; tanpa ilmu nyata. Oleh karenanya Ki Ageng menyarankan, untuk sampai kepada pengetahuan terkait hakikat hidup [meruhi dat-ing dumadi: Ilmu hakikat], seseorang harus mengambil jalan lurus siratalmustaqim bernama pengetahuan “mengenali dirinya sendiri” [ilmu ma’rifat], karena sumber segala kesengsaraan kita adalah ketidakmengertian akan realitas diri ini.

Dalam bahasa pasemon pewayangan, apa yang ingin dikerjakan oleh Ki Ageng Suryomentaram adalah mengajarkan ilmu kedewataan [baca: ilmu ruhani] supaya tergelar di alam dunia mayapada ini, alias alam semesta dunia ini. Atau dalam bahasa yang lebih simbolis, ia mendapat mandat dari Bathara Guru, yakni melalui penasehatnya Bathara Narada, penguasa kayangan Dewata, untuk mendirikan Univeritas Kagungan Dalem Bathara Guru, yakni sebuah universitas yang akan mengajarkan ilmu kedewataan atau ilmu ruhani, supaya tegak dan berdiri di alam mayapada dunia ini [angadekaken unipersitit kaagungan dalem jumeneng wonten ngarcapada].

Sebuah ilmu yang menuntun para mahasiswanya untuk mengenali realitas hakikat kediriannya sendiri [baca: man arafa nafsahu] yang belakangan akan dinamai oleh Ki Ageng Suryomentaram sendiri dengan nama “mawas diri” atau “pangawikan pribadi” [alias ilmu tentang mengawasi dan mengenali diri sendiri]. Siapa yang telah mengenali diri sejatinya akan sampai kepada unsur atau pancaran hakikat kedewataan yang bersemayam dalam diri ini [jumeneng pribadi]. Di belakang hari, penamaan ilmu ini berganti lagi menjadi bernama “Kawruh Jiwa” untuk mengeliminasi konotasi dan jebakan mistifikasinya.

Dalam konteks ini pula, perlu kita dicatat bahwa usaha Ki Ageng Suryomentaram menelurkan “Kawruh Jiwa” ini oleh karenanya juga harus dibaca dalam rentang rangkaian tradisi keilmuan ruhani sebelumnya [baca: surat wiridan], yakni sebagai sebentuk cadangan kultural ke-Jawa-an yang memungkinkan sosok ini menelurkan gagasan orisionalnya, yang secara bersamaan juga telah terolah secara matang bahkan melampaui tradisi spiritual sebelumnya sekaligus. Dalam hal ini, Ki Ageng Suryomentaram bisa juga kita anggap merupakan rantai kristalisasi puncak dari bentang rangkaian ajaran keruhanian Jawa sebelumnya tersebut.

Dan hanya di tangannya sematalah, yakni melalui metode rasional-objektifnya, ia bisa menepis aspek mistifikasi ajaran keruhanian maupun spiritualitas lama yang pekat dengan jebakan irrasionalitas dan normativitas sendiri yang melenakan. Pada Kawruh Jiwa-lah ajaran keruhanian lama mencapai kematangan rasional objektifnya, sebut saja begitu, sehingga bisa menjadi suguhan makanan ruhani [pengetahuan obyektif, alih-alih normatif] yang dapat diambil oleh siapapun tanpa membedakan baju tempelan identitas suku, kelompok, agama, maupun kebangsaan apapun. Alias telah menjangkau aspek universalitasnya bagi kemanusiaan seluruhnya.

Namun begitu, ajaran yang ditelurkannnya, sekali lagi tak boleh dilupa, masih merupakan rangkaian benang yang sama dari ajaran spiritual-ruhaniyah kemanusiaan sebelumnya [Jawa-Islam]. Dalam jalur pengatahuan “mawas diri” atau “pangawikan pribadi”-nya misalnya [baca: ilmu pengenalan akan dirinya sendiri], tema ini hampir ditemukan merata dalam tradisi spiritual-ruhani sebelumnya.

Bahkan dalam ulasan yang lebih eksplisit serta padat pada ajaran Bangkokan Kawruh Jiwa-nya bernama “Buku Langgar”, Ki Ageng sendiri dengan sadar berusaha menilik ulang dan me-review saripati ajaran-ajaran tradisi sebelumnya ini, yakni dimulai dari ajaran sejak zaman akhir Prabu Brawijaya, zaman Demak akhir, masa Sultan Agung beserta Sastra Gendhing-nya, masa Mataram Akhir, Kartasura Akhir, serta pada zaman Giyanti, hingga zaman Penjajahan Belanda pada masa ia hidup. Ia menunjukkan kelebihan ajaran-ajaran yang terselenggara pada setiap masa-masa tersebut, plus menunjukkan jebakan-jebakannya.

Bahkan tokoh agung ini juga mengulas secara terpisah saripati ajaran pada masa “Sekolahan Gaib Zaman Islam” [jaman kuwalen: zaman para wali], yang sering dikenal sebagai masa dimana para wali tanah Jawi menyebarkan ajaran ruhaninya, yang relatif ia beri porsi ulasan yang cukup padat, untuk sekali lagi menimbang kelebihan serta potensi jebakannya. Tak hanya itu, ia juga membandingkan dengan tradisi ajaran Budhisme, serta memberi tambahan ulasan kritik terkait kecenderungan kultifikasi benda-benda gaib [kultus benda] seperti dilakukan oleh para pelaku dan penganut Theosofi, yang memang pada saat itu, awal abad 20, mulai menyebar di tanah jajahan Hindia Belanda.

Hal ini, bagi saya, bukan sesuatu yang mencengangkan. Karena, dalam dokumen Primbon 9 jilid yang dikeluarkan Keraton Surakarta, bernama “Kitab Primbon seri-Adam Makna” yang telah banyak beredar, dimana dikatakan pada pengantar pendahuluannya, bahwa Ki Ageng Suryomentaram merupakan cucu dari seseroang pangeran pemilik berjubel-jubel kitab dan manuskrip kuno tinggalan warisan kesusateran Kraton Jawa Mataram Islam: Pangeran Harjo Tjakraningrat. Dan Suryomentaram, konon mendapat limpahan kepustakaan ini dari kakeknya tersebut. Juga dari koleksi manuskrip milik kakeknya ini pulalah, 9 jilid Kitab Primbon yang telah disebut, akhirnya bisa diterbitkan dalam edisi latin dan tersebar di kalangan masyarakat.

Signifikansi informasi barusan sebenarnya hanya ingin meletakkan kesadaraan terkait satu hal: Ki Ageng Suryomentaram bukan hidup dalam ruang vakum dalam menelurkan gagasan-gagasannya. Plus hal ini terkait ide mendasar, bahwa Ki Ageng benar-benar berinteraksi dengan gagasan dan ajaran ruhani zamannya.

Bahkan, dalam riwayat hidupnya, ia pernah terseret secara kuat dalam laku “lelana-brata” [baca: santri lelana], dalam pengelanaan ruhani dan tirakat ke makam dan petilasan-petilasan keramat di banyak tempat pada masanya [gua langse, dll]. Juga terkait keputusannya ‘keluar’ [melarikan diri] dari kenyamanan keraton dalam lelaku asketiknya: seperti menjadi penggali sumur, kuli angkut koper, berdagang kain keliling di daerah Banyumas, menanggalkan gelar resmi kepangeranannya, mendesak pemerintah kolonial untuk menuruti permintaan berhajinya ke Makkah, menyerahkan sebagian besar harta bendanya kepada pelayannya, hingga menjadi petani biasa sampai umur tuanya di Desa Bringin, Salatiga. Laku-laku inilah, latar penting yang memungkinkan sosok ini melahirkan gagasan-gagasan ‘orisionil’ Kawruh Jiwanya di belakang hari.

Dari cadangan kultural kejawaan inilah yang mumungkinkan sosok Ki Ageng bisa menyandingkan dan menukil secara enak pengetahuan-pengetahuan lama-lama tersebut. Juga dalam konteks ilmu pengenalan diri sendiri, Ki Ageng dengan enak bisa memeras dan mengambil saripati ajaran-ajaran lama Jawa-Islam dengan pengetahuan pangawikan pribadi-nya sendiri, yakni dengan cara mengeluarkan signifikansi mistis makna selubung ‘rahasia’ tokoh semacam Siti Jenar dengan kisah cacingnya, maupun Kanjeng Kyai Kopek sang sosok macan-nya Sultan Agung, maupun signifikansi mistik-simbolis jembatan kayu melintang [wot galinggang] yang dipakai Sunan Kalijaga saat bertapa di Pulau Upih.

Semua simbol ini mengacu pada perjalanan atau dalam bahasa lamanya disebut ‘lelaku’ ruhani dalam rangka mengenali dan menemui diri sejatinya sendiri. Persis seperti perjalanan ruhani sosok Bima dalam pewayangan dalam usahanya menemui ‘dirinya sendiri’ dalam wujud sosok kecilnya [baca: Dewa Ruci]. Sebuah perjalanan ruhani untuk menemui Diri-nya sendiri atau sering disebut ‘suluk’ [dimana istilah tasawuf ini telah diserap dalam bahasa Jawa untuk menamai genre tembang alit macapat dalam tradisi Jawa—baca kesusateraan Suluk].

Dan dalam galur bentangan keilmuan ruhani inilah Kawruh Jiwa ini harus ditempatkan sebagai masih dalam rangkaian kontinum keilmuan lama untuk mengenali jiwa terdalam diri manusia [baca: mulat sarira]. Yakni tentu dengan kebaruan sodoran metodologi obyektifnya, alias alih-alih normatif dan mistis seperti tradisi ruhani sebelumnya, dan oleh karenanya, Kawruh Jiwa dengan begitu bisa dikatakan merupakan pematangan gagasan-gagasan objektif dari tradisi ilmu ruhani sebelumnya.

Hal ini sekaligus memberi arti dan signifikansi baru kenapa Ki Ageng lebih memilih kata ‘kawruh’ yang lebih berkononotasi obyektif-empiris, daripada kata ‘ngilmu’ yang lebih berkonotasi mistik dan normatif misalnya. Alias secara ringkas ia berhasil menelurkan prinsip-prinsip objektif keilmuan, dengan maksud memperluas pengandaian cakupan universalitasnya, terkait perangkat pengetahuan akan pengenalan realitas diri yang bisa membantu manusia Jawa juga Indonesia atau bahkan dunia secara luas, dengan sodoran metode barunya.

Juga penting ditilik, bahkan sejak pertalian erat juga relasi persaudaranya dengan Ki Hajar Dewantara, yakni jauh sebelum pertemuan rutin “Selasa Kliwon” pada tahun-tahun yang mendahului dalam menelurkan pendirian Taman Siswa dimana ia terlibat, Ki Ageng Suryomentaram telah berinteraksi secara intens dengan gagasan-gagasan filsafat Barat zamannya. Dalam sebuah suratnya ia menyinggung hal ini secara implisit:

Aku kelingan dek Paman Ajar isih sekolah. Sok Bengkat barang, mungsuhe Nabi Kilir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kali. Nek Lud-ludan Pei karo Batara Narada lan Sidarta Kapilawastu. Jing Ngloco Pitagoras utawa Plato. Nek Bas-basan janji karo Prabu Brawijaya, betah sawengi. Nek mul-mulan adate mungsuhe Laose dibut loro karo Konghuchu. Jing tukang mungsuhake Aristoteles karo Kant.”

Artinya,

“Aku masih ingat saat paman Ajar [Ki Hajar Dewantara; pen.] masih sekolah, kadang bermain pedang-pedangan juga. Musuhnya Nabi Khidir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau bermain kartu bersama Bathara Narada dan Sidarta Kapilawastu. Yang mengocok Pitagoras dan Plato. Jika bermain bas-basan, janjian sama Prabu Brawijaya. Tahan semalaman. Kalau bermain gulat biasanya musuhnya Laotse, dikeroyok bareng Konfusius. Yang menjadi tukang adunya Aristoteles bersama Immanuel Kant.”

Kutipan di atas ingin menyodorkan keterangan implisit, bahwa Ki Ageng bukan saja tidak mengisolasi diri dari gagasan-gagasan besar dunia zamannya—seperti dugaan banyak orang—dan malah ia sebenarnya berada tepat pada pusaran aliraan deras gagasan-gagasan besar zamannya tersebut, namun ia memilih tak larut dan melarutkan diri. Bahkan ia malah membentuk pusarannya sendiri. Karena seturut perkataannya sendiri, jika hanya terseret arus dalam relasi perhubungan yang semakin meningkat antar-bangsa, bangsa yang tidak dapat memberi sumbangan gagasannya kepada dunia [alias cuma mengunyah teori dari luar] akan sirna tanpa guna [dene bangsa ingkan mboten saged urun bade sirna].

***

Buku Trilogi Ki Ageng Suryomentaram yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini adalah rangkaian panjang lelaku sang penulis dalam menyajikan suguhan makanan ruhani “Kawruh Jiwa”-nya Ki Ageng Suryomentaram, agar dapat dicicipi siapapun dalam merasakan buah penerapan Kawruh Jiwanya Ki Ageng. Konon Muhaji Fikriono katanya dalam usaha menuliskan karyanya ini perlu menunggu umur kematangan ruhani di usia 50. Juga, Trilogi buku ini juga semacam elaborasi terkait cadangan kultural ilmu ruhani ke-Jawa-an, seperti yang telah disebut, yang membentuk dan memungkinkan Ki Ageng Suryomentaram menelurkan Kawruh Jiwanya yang begitu orisinil, namun juga masih merupakan jejak bentangan benang tradisi keilmuan ruhani yang berturutan sebelumnya.

Pembacaan rentang tradisi pengetahuan ruhani kejawaan ini sangat diperlukan bukan semata untuk mendudukkan latar kultural yang memungkinkan sosok agung Suryomentaram lahir, namun juga dalam bahasa tokoh ini sendiri, agar bangsa Jawa pada khususnya, mampu, tentu dengan cadangan-cadangan kulturalnya yang kaya tersebut, untuk merumuskan tata-sosial baru yang lebih mulia [saged tata bebrayan enggal ingkang langkung mulyo].

Karena, bagaimanapun, usaha menyelenggarakan keilmuan ruhani dari mandat kayangan Dewata, punya kendala dan rintangannya sendiri, meski tradisi keilmuan ruhani ini merupakan warisan kaya yang dimiliki bangsa Jawa juga Indonesia secara umum. Namun begitu, bangunan Universitas Keilmuan Diri-Ruhani di masa yang lama, menurut Ki Ageng, atapnya sudah banyak yang retak, patah, dan rompal di sana-sini [unipersitit kina ingkang pager-payonipun sampun sami popol].

Banyak para maha-guru dan professornya yang ikut merawat dan menjaga universitas ruhani tersebut telah banyak yang terserang oleh ‘cacing kebencian’ [kremi gething], serta banyak papan dan dinding kayu universitasnya telah tergerogoti oleh rayap ‘merasa unggul sendiri’, serta telah dihinggapi kesombongan dan rasa jumawa [ama pambegan], sehingga urgensi pendirian universitas pengetahuan diri yang baru [baca: Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru] perlu disegerakan. Dan dalam latar seperti itulah Ki Ageng Suryomentaram hadir.

Karena, penghalang terbesar untuk mengenali kenyataan diri—yang akan membawa pada keadaan bahagia bersama [baca: zaman windukencana]—adalah sebuah rasa “merasa lebih dari yang lain”, rasa sombong, rasa ‘lebih unggul dari yang lain’, juga rasa iri. Rasa-rasa ini muncul dikarenakan sebagai penanda akan betapa tidak tahunya dia akan kenyataan dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Dan melihat diri melalui ‘pangawikan pribadi’-nya Ki Ageng berguna untuk membedol rasa-rasa ini sampai kepada akar-akarnya, yang akan mengantarkan seseorang masuk kepada surga ‘rasa-tentram’ dan kedamaian. Karena tercapainya rasa tentram diri ini pulalah yang membuatnya akan bisa menyaksikan dan rajin mengawasi rasanya orang lain, sehingga menemukan cermin ‘rasa yang sama’ terhadap yang lain.

Juga dari jalur pengenalan diri inilah, orang mulai bisa mendeteksi asal sumber kesengsaraan manusia, alias rasa tak pernah cukup dari keinginannya [karep/karsa]. Dikarenakan sifat keinginan ini memang memiliki kondisi kekukarangan, celaka, dan sengsara terus-menerus [dat-ing karep punika cilaka]. Setiap kali melihat orang miskin, orang kaya, orang rendahan, orang berpangkat, orang pandai, orang bodoh, seseorang bisa merasakan kesengsaraan yang sama yang diderita mereka, karena telah menyatu dengan keinginan yang membuatnya memasuki kondisi rasa kekurangan tanpa ujung.

Dalam penglihatan diri ini, ia mulai bisa menyaksikan bahwa terpenuhinya keinginaan tidak akan membuat orang bahagia, karena segera akan mengingini sesuatu yang lebih, tak puas [baca: mulur]. Dan memang begitulah keinginan. Namun, dari jalur ini pula, seseorang akan mulai bisa memilah antara “Aku” sebagai pengawas-keinginan dengan keinginan dan rasa-rasa yang ditimbulkannya sebagai objek awasannya. Aku yang mengawasi keinginan, ternyata mandiri dan terbebas dari kesengsaraan yang dimunculkannya [aku dudu karep].

Akhirnya sang-Aku bisa mengawasi keinginan [karep] se-enaaknya [tanpa perlu mengubahnya], alias tidak khawatir lagi, karena terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan tersebut, tidak akan menyebabkan kebahagian seterusnya maupun kesusasahan seterusnya: senang sebentar, lalu susah lagi [karena keinginannya mengembang; mulur], atau jika tidak terpenuhi susah, lalu senang kembali [karena keinginannya mengempis: mungkret].  

Kesadaran sang-Aku pengawas [Diri besar] yang tak lagi terbelit dengan gerakan keinginaan subyektifnya akhinya muncul ke permukaan. Ia sekarang bisa mengawasi keinginannya sendiri, yang secara alami memang memiliki sifat “sewenang-wenang” serta “tak mau bersusah payah” dalam pemenuhannya [alias tak bisa diubah], yang ini jelas melawan prinsip alamiah kenyataan hidup itu sendiri.

Ketika, sang rasa “Aku” telah muncul ke permukaan [sampun medal saking korining pikiran] ia bisa merasakan rasa tentram yang tanpa kira, yakni sejenis rasa damai yang bukan dikarenakan terpenuhinya keinginan, melainkan rasa Aku yang telah terbebas, dan telah bisa menerima sifat kinginaan yang ‘maha lucu’ itu [tanpa perlu lagi mengubahnya], yang pada dasarnya tidak bisa lagi membuat Aku sengsara [karena aku hanya mengawasi].

Pada saat inilah akan muncul rasa tangguh [raos tatag], serta telah bisa menerima keadaan dan kejadian yang telah terjadi di masa lalu [musnahnya rasa sesal—getun], serta telah siap menghadapi apa yang akan berlangsung di masa mendatang [rasa khawatir hilang—sumelang], karena baik terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan, tidak akan membuat kebahagiaan yang bersifat terus-menerus [dalam arti rasa senang terus-terusan] maupun kesengsaraan yang terus-menerus [sedih yang terus-terusan]: karena rasa senang dan susah ini pada dasarnya terus-menerus bergantian seiring gerakan keinginan yang bersifat mengembang-mengempis [mulur-mungkret].

Kondisi inilah yang akan mengantarkan kita pada terpilahnya watak-watak kehewanan atau ke-buto-an yang telah berpisah dengan watak kedewataannya [andadosaken sigaring pilahipun wateg-wateg kahewanan lan wateg-wateg kadewatan].

Seseorang akhirnya berdiri tegak dalam berpengetahuan sebagai pribadi [baca: madeg pribadi kawruh] dalam mengawasi kenyataan. Pengetahuan dan proses mengetahuinya tidak lagi digunakan semata sebagai perabot yang tunduk pada pemenuhan keinginannya [penilaian subyektifnya], yang sayangnya jika dibiarkan bisa menyuburkan pengetahuan “kata-katanya” [katanya kitab, katanya buku, katanya teori, katanya orang, dll] maupun pengetahuan “pantas-pantasnya’, alias pengetahuan berdasar kebiasaan dari yang apa dinyakininya [gugon-tuhon], melainkan telah bergerak kepada pengetahuan yang sudah terlepas dari unsur subyektivitas keinginan dan kehendaknya, alias Kawruh Nyata [Ilmu Nyata]. Yakni sejenis ilmu pengetahuan yang telah dimengerti, diketahui, dan dirasakannya sendiri berdasar prinsip obyektif kenyataan hidup yang telah teralami [baca: kasunyatan, hakikat, kahanan jati].

Dalam amsal pewayangan, orang yang telah menegakkan sang Aku ini akan manunggal dengan Batara Wisnu [tetep sarira Bethara Wisnu], memakai mahkota “merasa benar sendiri” [ngrasuk makutha rumaos leres], alias sudah mengerti, mengetahui, dan merasakan sendiri, karena telah duduk di singgasana Kawruh Nyata atau Ilmu Nyata [lenggah ing dampar kawruh nyata], serta kemudian menjadi sang Aku yang maha serba tahu [semuanya kuketahui, bahkan termasuk yang tidak kuketahuipun, aku tahu].

Namun setiap kali sang Aku melihat yang lain, ia ternyata melihat orang lain seperti bayangannya sendiri yang juga “merasa benar sendiri’ [tiap orang pasti begitu], meskipun dasar penyangga pengetahuan “merasa benar sendiri”-nya tersebut adalah pengetahuan yang “kata-katanya” [jare-jare] atau “menurut ini-menurut itu” [biridan], maupun “pengetahuan pantas-pantasnya berdasar semata kebiasaan yang dinyakininya” [gugon tuhon].

Ia melihat orang lain juga ‘merasa benar sendiri’ meskipun belepotan di sana-sini. Padahal, siapapun yang bersikeras memaksa orang lain untuk supaya “merasa keliru” tanpa didampingi suguhan sajen Dewi Sinta bernama ‘rasa welas asih’ yang sempurna, tentu pasti akan kwalat” [pramila tiyang ingkang ngogek-ngogek dating tiyang sanes, ingkang supados rumaos klentu mboten mawi Dewi Sinta, Sih ingkang sampurna, tamtu kwalat].

Rasa Aku-mengawasi yang telah muncul dalam diri seseorang inilah yang dikatakan oleh “Kawruh Jiwa” bisa menjadi pandu dalam mengawasi dan menimang gerak naik-turunnya rasa-rasa beragam dalam hati yang terus berseliweran, plus untuk membedol dan mencabuti rasa-rasa ruwet yang telah berurat akar di dalamnya. Rasa tentram akhirnya akan bersemayam, karena telah bisa menerima dan mengawasi rasa-rasa yang berwarna tadi, yang memang berlangsung seturut hukum kejadian dan sifat keinginan.

Jika rasa tentram ini semakin bertambah dan mengakar dalam diri, ia bisa berdiri sebagai pribadi [jumeneng pribadi], alias tidak membutuhkan ‘rasa-welas-asih’ dari orang lain, karena dalam hatinya telah berlimpah dan kelebihan rasa cinta [sugih sih-kaya cinta], yakni sebagai hasil buah tanaman pengetahuan yang tumbuh dari pengenalan kenyataan dirinya sendiri. Jika buah ini telah matang, ia bahkan bisa membagikannya sebagai suguhan makanan bagi setiap makhluk di bumi untuk memetiknya.

Sang Maha-Kaya-“Cinta” ini [orang yang telah berkecukupan cinta, karena saking melimpahnya di dalam hatinya] kemudian juga bisa mulai bertani, menanamkan benih pengetahuan [kawruh] ke dalam hati orang lain dengan cara membajaknya dengan simpati, melembutkan tanah pertaniannya dengan alat garu bernama sabar, dan menyiangi gulmanya dengan rasa welas-asih.

Sabar dikarenakan berasal dari terang penglihatannya, bahwa menanam padi pasti akan menumbuhkan padi. Sedangkan simpati adalah penglihatan jiwanya dalam memandang orang lain, tidak ada lagi sekat-pemisah yang tidak mungkin bisa ditembus oleh kekuatan simpati. Jika anak panah simpati telah dilepaskan, semua yang berkerlipan akan termurnikan; sebuah senjata prabu Niwatakawaca dalam pewayangan, dimana saat sang Arjuna telah bisa mengalahkan sosok ini, ia disebut “lelananing jagad’ [sang pria sejatinya jagad raya].

Mungkin dalam rangka menjelaskan ajaran mulya pengenalan diri-ruhani inilah, penulis buku Trilogi Suryomentaram ini: Muhaji fikriono, bertungkus-lumus menuliskannya dalam tiga jilid tebal yang serba melingkupi sehingga memudahkan para pembaca. Dan, seperti sering dikatakan penulis buku ini kepada saya, bahwa ‘sudah saatnya’ ajaran ini perlu diwedar dan dijelentrehkan tanpa harus ditutup-tutupi lagi karena kekhawatiran akan efek getarnya bagi tradisi pengetahuan normatif ruhani sebelumnya.

***

Pesan Seri Buku Ki Ageng Suryomentaram Karya Muhaji Fikriono [Klik Link]

Namun, sebelum beranjak mengatamkan rangkaian buku trilogi ini, saya ingin mengingatkan kepada para pembaca, bahwa rangkaian ajaran yang akan Anda dapatkan dari hasil ‘membaca’ buku Suryomentaram ini, pada akhirnya adalah baru semata ‘katanya’ Suryomentaram [ilmu jare-jare dan biridan]. Alias Anda belum mengetahui dan merasakannya sendiri [mengerti, mengetahui, atau merasakan sendiri—Kawruh Nyata].

Maka, setelah selesei, segeralah lupakan ‘katanya’ Suryomentaram, tepislah pengetahuan ‘menurut’ Suryomentaram. Segeralah, mulai saat ini, di sini, dan dalam keadaan seperti ini [saiki, kene, ngene] mengenali dan mengawasi realitas diri Anda sendiri. Karena tak ada siapapun, makhluk bumi manapun, yang bisa mengajari Anda–tidak guru manapun, tidak kitab, tidak buku, tidak tulisan, atau tidak siapapun—dalam usaha mengenali realitas diri anda sendiri.

Wejangan Suryomentaram di bawah ini barangkali tepat untuk memungkasi paragraf pengantar tulisan ini:

Saya mengingatkan kepada semua yang mendengar

[Kulo pepenget dateng sedaya ingkang mirengaken],

Jangan pernah menjalankan ajaran-ajaran di atas

[sampun ngantos anglampahi wulangan punika],

Malah akan mendapat kesusahan yang tak terkira

[mindak angsal kesusahan ingkang tanpa upami].

Ajaran-ajaran di atas hanya untuk tiang-sandaran saat duduk semata

[wulangan punika namung kangge cagak lenggahan kemawon],

Atau semata sebagai suguhan pengiring saat wedangan

[utawi pacitan wedangan],

Jangan sampai dibaca saat sendiri

[sampun dipun waos ijen-ijenan],

Sebab nanti kalau ada setan yang lewat, juga akan ikut tertarik untuk mengamalkannya

[sabab mangke yen wonten setan langkung lajeng kapingin nglampahi],

Akhirnya bisa membahayakan, rusak dunia-akhiratnya

[wasana kadrawasan, risak donya-ngakeratipun].

Akhir kata selamat membaca. Langeng bungah-susah!

Klandungan, Malang. 26 Januari 2024

Irfan Afifi

Pelajar Kawruh Jiwa, ngiras-ngirus Tukang Sapu Langgar.co

*** Tulisan pengantar ini ditulis untuk mengenang momen ‘kasendal-mayang’ rasa gemetar diri yang tak terkira karena membolak-balik “Buku Langgar 1920-1928” [belum terbit] selama masa tiga tahun.

Bocah Cilik Gambar Jagad – Catatan Etnografi Biografi Slamet Gundono

Rp 120.000

Jika Proses keberislaman adalah proses berkebudayaan itu sendiri dalam arti upaya peyempurnaan manusia dalam keempat fakultas dirinya yakni cipta, karsa, jiwa dan rasa, maka proses yang seperti itu dalam kenyataan konkrit dapat disimak dalam kisah hidup Slamet Gundono yang ditulis secara etnografis oleh Yusuf Efendi dalam buku ini.
Karya yang bercerita kisah perjalanan Ki Slamet Gundono ini, akan mengajak kita manyusuri lika-liku kehidupan seorang seniman dari latar belakangnya yang rinci dan pelik, hingga gagasan-gagasannya yang asik, renyah lagi dalam. Kompleksitas tersebut disusun dalam alur metrum macapat dalam kesusastraan Jawa yang saling terkait satu sama lain. Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung dan Sekar dijadikan penanda oleh penulis untuk menceritakan fase-fase perjalanan tokoh tersebut.
Penerbitan buku ini bagi kami adalah usaha untuk memotret suluk kehidupan seorang seniman yang mempunyai ciri khas kuat lagi berkarakter. karya-karya yang diciptakan berakar di jantung tradisi masyarakat bernafaskan spritualitas Islam, di sisi lain tak kehilangan relevansinya dengan sepirit zaman kontemporer. Dan menurut kami sosok ki Slamet Gundono adalah prototipe utama seorang seniman dalam galur Islam Berkebudayaan. Dan besar harapan kami kedepan dengan adanya buku ini bisa memberi gambaran sekaligus inspirasi bagi seniman-seniman lebih muda.

Penulis : Yusuf Efendi
Editor : Taufik Ahmad
Tata letak : Mugi Pengki
Penerbit : Buku Langgar
Tahun terbit : April, 2022

Spesifikasi Buku

Ukuran : 13 X 19 cm
Halaman : 420 hlm

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI

Rp 200000 Rp 175.000

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI – Nur Khalik Ridwan

Sinopsis:

Aspek penting yang menggerakkan para wali di Jawa abad XV-XVI adalah batin-tasawuf-tarekat, tetapi sering luput dalam analisis para Orientalis. Dengan aspek tasawuf-tarekat itu, para wali penyebar Islam di Jawa abad XV-XVI melakukan berbagai upaya pribumisasi islam, pembacaan atas Jawa, dan memformulasikan Jawa dengan tetap memelihara apa-apa yang yang diperlukan dari masa lalu.

Aspek batin itu diolah dari tarekat-tarekat mereka, yang buahnya adalah mendidik kader, menggerakkan perubahan, mengacu-menyusun karya-karya, menyuburkan amal-amal baik, mem-bangun jejaring dan mengolah dzikir-dzikir untuk ke-mashlahatan manusia Jawa.