Monolog Inggit, Cinta, dan Emansipasi Perempuan

Tangis Inggit pecah saat mendengar kabar suaminya Kusno (Soekarno) ingin menikahi Fatma murid suaminya dari Bengkulu.

“Kurang apalagi aku mendampingimu selama ini Khusno, setelah jiwa dan ragaku kuserahkan kepadamu, apa itu kurang. Hanya karena alasan anak kamu ingin menikah dengan perempuan lainnya. Jika hal itu sudah menjadi keputusanmu, biarkan aku merdeka dengan pilihanku. Mungkin tugasku mendampingimu dalam cita-cita kemerdekaan ini sudah selesai, “ Tegas Lely Mei pemeran Inggit Garnasih dalam pentas monolog di Pondok Pesantren Budaya Kaliopak Piyungan Bantul (23/01).

Malam sebelum pementasan di mulai, gerimis tipis mulai turun. Suara petir menyambar memberi isyarat bahwa pentas yang diiringi isak tangis ini akan segera dimulai. Penonton mulai memenuhi pendapa Kaliopak dengan sorot lampu remang menambah magis malam itu. Beberapa penonton tampak antusias, Ferdi salah satu penonton dari Seleman menyatakan sebelum pentas dimulai, bahwa pentas monolog ini menjadi obat kerinduan yang mana hampir dua tahunan ini tidak ada panggung pertunjukan live seperti ini.

Pentas monolog yang hampir dua jam ini memang benar-benar menyedot perhatian penonton. Terlihat hampir dua jam tidak ada penonton yang bergeser dari tempat duduknya. Kisah hidup Inggit Garnasih dan kisah cintanya dengan Soekarno dibawakan dengan apik oleh Lely Mai, sehingga membius penonton yang datang pada malam itu.

Dalam narasi sejarah kita selama ini, kisah hidup Inggit selalu dikesampingkan bahkan tidak diperhatikan. Padahal Inggit pernah menjadi seorang istri yang mendampingi masa pertumbuhan sosok penting dalam berdirinya negara Indonesia hingga menjadi presiden pertama kita yaitu Soekarno. Nama Inggit hampir tidak banyak diketahui oleh generasi kita hari ini. Melalui pentas ini, kita dapat melihat bagaimana sosok Inggit yang mendampingi Soekarno hampir 20 tahun semenjak ia kuliah di Technische Hogeschool (THS) di Bandung. Begitu penting dan signifikan dalam membackup perjuangan Soekarno.

Melalui pentas ini, kita dapat melihat bagaimana sosok Inggit yang mendampingi Soekarno hampir 20 tahun semenjak ia kuliah di Technische Hogeschool (THS) di Bandung. Begitu penting dan signifikan dalam membackup perjuangan Soekarno.

Dikisahkan bahwa percintaan Inggit dimulai saat Soekarno muda menyewa salah satu kamar di rumahnya. Saat itu Inggit menjadi induk semangnya. Padahal waktu itu Inggit masih berstatus istri dari Sanusi yang mana hubungan keluarga mereka sudah mulai tidak harmonis. Dalam kondisi keluarga yang sedang tidak baik-baik saja seperti itu, Soekarno muncul sebagai pemuda yang bertalenta, cerdas, tokoh pergerakan nasional yang gigih memperjuangkan bangsanya dari kemerdekaan. Hal tersebut membuat benih-benih cinta mulai muncul dalam diri Inggit dan Soekarno.

Foto Dokumentasi Prima Abadi Sulistyo

Karena pesona Inggit yang begitu perhatian pada Soekarno, akhirnya ia meminta izin pada Sanusi suami Inggit, untuk dapat mempersunting istrinya. Dan meminta Sanusi untuk menjadi walinya saat pernikahannya dengan Inggit. Kemudian mereka berduapun menikah, dan akhirnya Inggit dan Soekarno resmi menjadi suami istri.

Dalam pentas monolog ini Inggit dikisahkan sebagai seorang perempuan yang penuh dengan cinta kasih tapi juga memiliki pendirian yang tegas dan berkarakter teguh. Inggit begitu mencintai suaminya, bahkan ia hampir selalu mendukung keputusan-keputusan penting yang dipilih oleh sang proklamator itu. Saat suaminya dikenai hukuman dipenjara Sukamiskin, Inggit dengan berani menyelundupkan secarik kertas ke dalam penjara agar digunakan oleh suaminya menulis pledoi (pembelaan) yang cukup terkenal itu yaitu Indonesia Menggugat.

Dalam pentas monolog ini Inggit dikisahkan sebagai seorang perempuan yang penuh dengan cinta kasih tapi juga memiliki pendirian yang tegas dan berkarakter teguh.

Hingga akhirnya saat tekanan pemerintah Belanda semakin kuat, Soekarno di tangkap kemudian di asingkan ke Ende Flores, Nusa tenggara Timur pada tahun 1933. Hal tersebut tidak membuat rasa cinta Inggit terhadap suaminya luntur, Inggit sadar pembuangan dan pengasingan memang tidak bisa dihindarkan sebagai sosok pejuang kemerdekaan seperti suaminya tersebut. Hingga akhirnya ia mendampingi suaminya ke pulau Ende yang entah di mana itu. Inggit tidak pernah membayangkan tempat itu sebelumnya, beserta ibunya Amsi dan kedua anak angkatnya, Ratna Juami dan kartika selama emat tahun ia tinggal di Ende Flores.

Babak baru kisah Inggit kemudian dimulai saat keluarganya di pindah asingkan ke Bengkulu. Di kota tersebut suaminya disambut sebagai tokoh pergerakan, ia menempati rumah Tjang Tjeng kwai tokoh Tionghoa yang menyuplai kebutuhan pemerintah Belanda. Di rumah itu aktivitas politik dan kesenian dilakukan oleh keluarga Inggit terutama oleh Soekarno.

Tetapi cerita menjadi berbeda, setelah kedatangan anak didik Soekarno Fatmawati. Gadis yang akan mengubah cita-cita Inggit untuk menjadi seorang ibu negara menjadi pupus. Fatma ternyata mengusik hati Soekarno, ia mulai jatuh cinta dengan gadis kelahiran Bengkulu tersebut. Hingga akhirnya, Soekarno meminta izin pada Inggit untuk mempersunting Fatmawati. Pernyataan tersebut menyentak Inggit, tangisnya pecah, ia tak kuasa menahan air matanya. Inggit berusaha meminta penjelasan Kusno suaminya.

Tetapi cerita menjadi berbeda, setelah kedatangan anak didik Soekarno Fatmawati. Gadis yang akan mengubah cita-cita Inggit untuk menjadi seorang ibu negara menjadi pupus.

“Apa hanya karena alasan seorang anak, kamu bisa memaduku, Kusno. Tidak, jika alasanmu adalah cinta, aku sangat mencintaimu. Tapi cinta yang kuberikan kepadamu bukan hanya cinta pada sosokmu tetapi cintaku kepada tanah airku dan Tuhanku. Dan bila kamu lebih memilih Fatma, biarkan aku menikmati kemerdekaanku. Mungkin tugasku sudah selesai untuk mendampingimu ke depan pintu kemerdekaan yang kita cita-citakan,” Tegas Inggit yang diperankan Lely May yang membuat penonton menjadi haru.

Hingga akhirnya Inggit memilih berpisah dengan Soekarno, Inggit meminta Kusno untuk menceraikannya. Karena Inggit tidak ingin menjadi beban Kusno karena ia tidak ingin di madu. Biarkan cintanya, sampai di sini saja. Bukan berarti Inggit kalah tapi ia menyadari bahwa mungkin darmanya hanya sampai di sini. Dan perjuangannya telah usai menjadi ibu dari para pendiri bangsa menghantarkan pada kemerdekaan bangsanya..

Lampu temaram dengan tangis Inggit memberi pesan cinta untuk seluruh anak negeri agar tidak saling bertengkar. Bahwa apa yang telah di perjuangkan melalui cinta, darah, dan doa tidak sia-sia dengan adanya perpecahan di antara kita. Lagu Indonesia pusaka berkumandang, tepuk tangan bergemuruh menandakan pertunjukan monolog tersebut telah usai.

***

Setelah pertunjukan monolog selesai kemudian diadakan diskusi bersama pemeran utama monolog Inggit Garnasih yaitu Lely Mei.  Teh Lely panggilan akrabnya, adalah aktor kawakan kelahiran Bogor, namun sering kali beraktivitas kesenian di Bandung Jawa Barat. Melalui pementasan Inggit Garnasih ini, ia menjalani hidupnya dari satu panggung ke panggung lainnya. Terhitung sudah beberapa kota pernah disambangi untuk mementaskan monolog ini, mulai dari Jakarta, Purwakarta, Bojonegoro, Blitar, dan kota Yogya pentas malam itu, menjadi yang pertama kali.

Foto Dokumentasi Prima Abadi Sulistyo

Ditemani oleh Sarah Monica selaku moderator, diskusi malam itu semakin menarik. Menurut pemaparan Lely Mei bahwa naskah monolog Inggit Garnasih ini merupakan naskah yang dihasilkan melalui proses hasil riset dari kehidupan nyata Ibu Inggit, memalui proses wawancara dari sahabat dan orang-orang dekat ibu Inggit. Walaupun banyak sejarawan menyatakan kisah Inggit dan Soekarno merupakan sebuah tragedi, tetapi menurut Lely Mei hal ini hanya soal perbedaan perspektif saja, dan siapapun berhak mempunyai tafsir yang berbeda pada sosok ibu Inggit ini.

Menurut pemaparan Lely May bahwa naskah monolog Inggit Garnasih ini merupakan naskah yang dihasilkan melalui proses hasil riset dari kehidupan nyata Ibu Inggit, memalui proses wawancara dari sahabat dan orang-orang dekat ibu Inggit.

“Kalau saya sendiri melalui monolog ini hanya ingin mengatakan pada anak-anak muda, untuk melihat balik sejarah kita sendiri, sejarah bangsamu. Kalau tanggal 14 Februari ada kisah cinta valentine kita juga punya kisah cinta romantis nasionalis kok ya, kisah cinta ibu dan bapak kita yang melahirkan kemerdekaan kita sebagai bangsa,” Tutur Lely Mei yang juga aktif sebagai aktivis perempuan itu. 

Selain itu Lely Mei juga memberi gambaran bahwa yang terjadi dalam kisah cinta Inggit atau kisah cinta orang tua kita dulu secara umum adalah kisah cinta yang lahir dalam situasi kegentingan dan penuh ancaman. Mereka harus bisa mengalahkan egonya, keinginannya, untuk sebuah cita-cita bersama. Dalam hal ini, kisah cinta ini bukan hanya bicara soal aku dan kamu, tetapi bicara atas nasib dan cita-cita banyak orang. Dan hal itu diperlukan keluasan hati yang luar biasa untuk sebuah kemerdekaan.

“Melalui hal itu, saya hanya ingin berpesan pada adik-adik semua yang hadir, bawalah cintamu itu menghantarkan pasanganmu kepada kebaikan. Cinta itu bukan menghancurkan salah satu mimpi dari seorang pasangan tersebut, tetapi membawa sama-sama meraih mimpi itu sendiri,” Tegas Lely Mai.

Foto Dokumentasi Prima Abadi Sulistyo

“Melalui hal itu, saya hanya ingin berpesan pada adik-adik semua yang hadir, bawalah cintamu itu menghantarkan pasanganmu kepada kebaikan. Cinta itu bukan menghancurkan salah satu mimpi dari seorang pasangan tersebut, tetapi membawa sama-sama meraih mimpi itu sendiri,” Tegas Lely Mai.

Sementara itu berbicara soal perempuan, sebenarnya yang bisa menghidupkan dan menghancurkan peradaban adalah perempuan. Menurut Lely hari ini kita dituntut untuk menuntut emansipasi, tetapi emansipasi yang seperti apa, dan dari kaca mata yang mana kita mesti melihatnya. Dalam hal ini kita punya sosok Inggit, yang patut kita contoh perjuangan emansipasi dari kita sendiri. Dimana Inggit berjuang dengan caranya, walaupun ia tidak bisa baca tulis dan tidak bisa membopong senjata, tapi ia mempunyai taktik dan strategi. Hal ini bisa dilihat saat suaminya Soekarno di dalam penjara ia menyelundupkan kertas, membuat sandi bahasa melalui suntikan jarum yang ia tusukan pada ayat-ayat Al Quran untuk menggambarkan situasi di luar penjara, dan masih banyak lagi yang lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa Inggit mempunyai siasat perjuangan untuk membela suaminya dan bangsanya.

Kisah tersebut menunjukkan bahwa jika perempuan benar-benar dalam porsinya yang sudah digariskan, tanpa merangsek ke wilayah laki-laki. Perempuan itu bisa menguasai dunia. Karena gerakan emansipasi dan feminisme yang digadang-gadang hari ini, menurut Lely itu kaca mata barat. Bukan berarti perempuan tidak boleh belajar feminisme dalam kaca mata barat, dan seorang perempuan yang cerdas harus juga belajar itu semua. Tetapi yang terpenting dari itu adalah keseimbangan, bahwa kita jangan sampai lupa kalau kita punya sejarah dan cara pandang sendiri, dan yang terpenting juga kita harus bangga dengan apa yang kita miliki tersebut.

“Nah di sini melalui pentas monolog ini perempuan bisa berperan, bukan ‘baperan’ lo teman-teman. Menjaga harga dirinya, emansipasinya agar tidak bablas. Mohon maaf jika boleh kita kritisi emansipasi hari ini suka kebablasen. Banyak menuntut perempuan untuk bisa setara seperti laki-laki, padahal banyak aktivitas perempuan yang tidak bisa dilakukan oleh laki-laki. Dan kita jangan sampai dibutakan oleh hal itu,” tutur Lely Mei di akhir acara diskusi.