Nancy Florida Jatuh Cinta pada Kebudayaan Jawa

Cinta gadis Amerika ini pada naskah-naskah Jawa Kuna, mampu membuatnya bekerja 18 jam sehari selama 2 tahun.

Hari itu Nancy sebenarnya masih mendapat cuti sakit dari dokter. “Kata dokter, paru-paru saya kotor kerena terkena debu buku,” ujarnya tersenyum tanpa terbesit sedikit pun. Tapi, seminggu tidak melihat pekerjaan, cukup membuat Nancy gelisah. Tanpa peduli nasihat dokter. Nancy pun mencoba “masuk kerja” hari itu. “Lagipula, saya sudah berjanji dengan seseorang yang akan menggarap naskah-naskah kuna tersebut, “begitu alasannya.

Tanggung jawab semacam itulah yang jarang ditemui. Selain itu, jasa-jasanya dalam melestarikan naskah-naskah kuna Jawa, memang patut dihargai. Sehingga tak heran jika kalangan Kraton Surakarta menganugrahinya bintang Sri Kedadyo kelas II bulan Mei lalu.

Buku-buku tua dan berdebu dalam ruangan perpustakaan pengap mengakibatkan paru-paru nancy kotor.

Kerja seperti Nancy memang memerlukan tanggung jawab dan kecintaan besar. Selama dua tahun belakangan ini, Nancy menggumuli naskah-naskah Jawa kuna, menelitinya halaman demi halaman, membaca, mencatat, menyusunnya menurut klasifikasinya atau kronologinya, membuat katalognya, dan merekam naskah-naskah tersebut ke dalam film mikro. Setidaknya jumlah 4000 judul buku atau sekitar 700.000 halaman naskah yang ditelitinya.

Tak jarang ia harus memebenahi sedikit-sedikit naskah kuna tersebut di sana-sini, agar bisa dibaca. Padahal, tulisan-tulisan tersebut berhuruf Jawa, huruf yang kini semakin jarang diminati oleh anak-anak muda kita karena dianggap ruwet dan tidak komersial, Nancy sendiri belum lama belajar huruf tersebut tanpa bimbingan orang lain. “Saya belajar sendiri dari buku Sekolah Dasar; honocoroco, “ begitu diakuinya. Tentu saja dimulai dengan mengeja-eja kalimat-kalimat yang dibacanya, sambal digabungkan dengan pengetahuan bahasa Jawa yang lebih dahulu telah dikuasinya.

“Saya belajar sendiri dari buku Sekolah Dasar; honocoroco, “ begitu diakuinya. Tentu saja dimulai dengan mengeja-eja kalimat-kalimat yang dibacanya, sambal digabungkan dengan pengetahuan bahasa Jawa yang lebih dahulu telah dikuasinya.

Dengan segala kerepotannya itu, Nancy masih bersemangat untuk berkerja dalam tempo tinggi dan waktu panjang. “Setiap harinya saya harus mengerjakan seribu sampai seribu lima ratus halaman serat-serat tersebut.” Dan jam kerjanya dimulai sejak pukul tiga dini hari, “Dengan istirahat dua kali untuk makan.”

Oleh karena itu, tempat kerjanya bukan saja di Perpustakaan Kraton Surakarta, Perpustakaan Mangkunegaran, atau Perpustakaan Radya Pustaka saja, tapi juga di tempat tinggalnya. Sore hari, ketika karyawan musium telah pulang, Nancy melanjutkan kerjanya di rumah, di tempat kerjanya yang khas duduk di lantai, beralasan tikar dengan meja kecil dan proyektor di hadapannya. “Saya senang lesehan begini,” katanya sambil memperlihatkan tempat kerjanya. Kelihatannya memang lebih santai.

Tapi tak semua tempat kerjanya bisa membuatnya santai. Di Perpustakaan Mangkunegara misalnya, ia harus membenahi buku-buku tua dan berdebu yang terletak di dalam ruangan perpustakaan yang pengap. Tak heran jika paru-paru Nancy kotor karena itu.

Dalam keadaan masih buruk inilah, ia menyelamatkan untuk datang juga ke tempat yang pengap itu untuk mengawasi dan memberikan pengarahan dalam pelestarian naskah-naskah kuno di tempat itu. Meskipun Ketika sampai di sana ia agak kecewa, tak seorang pun kerabat kerjanya di tempat itu yang terlihat. Hanya beberapa petugas perpustakaan yang menegurnya, “lho, ngendikane mbak Nancy gerah?” (lho, ngendikane mbak Nancy sakit?) Dengan senyum-senyum Nancy hanya menjawab pendek, “Inggih, pak.” Ia membuka-buka beberapa naskah sebentar, kemudian segara kembali ke perpustakaan Kraton Surakarta, melanjutkan pekerjaanya. Memberi pengarahan dan kadang-kdang mengerjakan sendiri proyek pelestarian naskah kuno tersebut. “Proyek pembuatan film mikro dari naskah-naskah ini memang sudah selesai. Sekarang kami mulai menggarap pengawetan dan perbaikan naskah ini.”

Cara kerjanya memperlihatkan tanggung jawabnya yang besar. Dengan teliti ia menanyakan apa saja yang telah dikerjakan kerabat kerjanya selama ia sakit, proses demi proses. Diperiksanya hasil pekerjaan kerabat kerjanya dan tak segan-segan ia menegur jika ada sesuatu yang kurang benar, atau bahkan yang menggunakan untuk pengawetan mutunya kurang baik. “Lain kali beritahu dulu pada saya kalau kertas yang dibutuhkan tidak ada, “ ujarnya tegas, meskipun masih bahasa Jawa yang halus.

Selasa Kliwon dan malam Jumat, Nancy membakar kemenyan dan menyediakan sesajinyan bunga.

Di luar urusan pekerjaanya, ketegasan dan kediisiplinan Nancy menjadi lentur. Bahkan dengan luwesnya ia bisa bertindak sebagai gadis Jawa dalam kehidupan sehari-harinya kini.

Ketika masuk halaman Kraton, ia mengajak femina membuka alas kaki. “karena sudah terbiasa setiap hari, ke mana-mana saya jadi pakai alas kaki begini”, ujarnya sambil melirik ke sandalnya. Di halaman Kraton, ia langsung lewat jalur terluar dari jajaran pohon-pohon sawo kecik yang ada di halaman itu. “Jalur-jalur ini untuk lewat para abdi dalem sesuai dengan pangkatnya. Untuk pangkat yang tinggi atau Putra Dalem (maksudnya para pangeran), diperbolehkan lewat di jalur yang paling dalam. Kita lewat sini saja” ajaknya. Padahal Nancy bisa saja memintas di jalur paling dalam, tapa ada yang menegur. Namun dengan kesadarannya sendiri, Nancy menyesuaikan diri pada peraturan yang ada di situ tanpa ada rasa terpakasa. Seperti Ketika sampai di teras bawah perpustakaan Kraton, ia lalu menghadap ke pintu tengah Keraton dan langsung menyembah, baru menyapa kerabat kerjanya. Juga Ketika naik di tangga perpustakaan, ia melakukan sembah seperti itu tanpa canggung.

Aku percaya tenan, lho!” ujarnya menegaskan hal-hal seperti itu.

Tak heran jika pintu kamar tidurnya juga tergantung seuntai melati yang sudah kering. “Oh, itu kembang bekas pakai penari bedaya beberapa waktu yang lalu, “ katanya menerangkan. Ditambahkannya, jika Anggara Kasih (Selasa Kliwon) dan malam Jumat, ia selalu menyempatkan membakar kemenyan dan menyediakan sesajian bunga.

Gadis berusia tiga puluhan ini memang sudah lekat dengan kehidupan di sekitarnya, dari mulai makan sampai mandi. Nancy sudah terbiasa makan makanan Jawa, seperti nasi dengan lauk tampe atau tahu seperti yang tersedia di lemari makanannya hari itu. Ia juga biasa disapa dengan Mbak Nancy oleh kerabat kerjanya, tukang soto ayam langganannya di Nonongan.

Lucunya, karena selama ini ia terbiasa berbicara dalam bahasa Jawa dengan hampir setiap orang disekitarnya, maka ketika dosennya dari Amerika datang ke Solo, ia pernah keseleo menjawab pertanyaaan dosennya dalam bahasa Jawa. Di samping bahasa Inggris, Nancy tampaknya memang lebih fasih bahasa Jawa daripada bahasa Indonesia. Ia tampaknya begitu menikmati hidup dalam kebudayaan Jawa dengan sepenuh hati.

Bahkan setelah membaca tentang watak-watak yang ditentukan oleh hari kelahiran pada kepercayaan Jawa, ia seperti diingatkan pada persoalannya pribadinya. “ternyata selama ini pacar-pacar saya wetonnya wage, pantes mereka tak pernah cocok dengan saya yang lahir weton pahing…”

Falsafah Jawa dengan Arti berbagi sisi menggerakan Nancy untuk mengikuti pusarannya lebih dalam dan lebih jauh

Nancy, putri bungsu dan satu-satunya anak perempuan dari keluarga Edwin L. Florida ini memang sejak kecil mempunyai kebiasaan “lain” dari saudara-saudaranya. Ia lebih banyak tenggelam dalam bacaan daripada bermain, dan sejak kecil ia merasa mempunyai kpribadian yang agak berbeda dengan orang-orang di lingkungannya.

Ia mula-mula tertarik pada kesenian Jawa ketika melihat pergelaran karawitan Jawa di Connecticut College tahun tujuh puluhan.”Sesudah itu hidup saya hanya ada di antara karawitan Jawa,” kata Nancy yang sempat meraih gelar BA dalam bidang filsafat dengan predikat summa cum luude. Dan memang, sejak itu setiap ada kesempatan Nancy selalu tampil untuk memainkan gamelan, atau mengajar teman-temannya. Kesempatan untuk lebih mendalami karawitan didapatnya di Solo, Ketika ia memperoleh bea siswa dari Center For Word Music Berkley pada tahun 1975-1977.

Sepulangnya dari Solo, Nancy lalu memutuskan untuk masuk ke Universitas Cornell jurusan Sejarah Asia Tenggara. Lewat progam Asia Tenggara (South Asia Progam) dari Universitas Cornell, Amerika serikat dan bantuan dari National Egowment for the Humanities inilah Nancy dikirim kembali ke Solo untuk mengerjakan Surakarta Manuscript Project. Proyek untuk membuat mikro film Jawa kuna yang ada di Solo, atas bantuan Ford Foundation.

“yah, kalau orang-orang dapat menyumbangkan tenaganya sebagi dokter atau insinyur, saya juga ingin menyumbangkan tenaga saya dalam bidang ini,” katanya. Disamping itu, ia sendiri kini sedang mempersiapkan disertasinya mengenai pandangan masa lalu dalam sastra sejarah Jawa yang ditulis pada pertengahan abad ke-19, untuk meraih doktornya.

Sebagai mahasiswa Amerika yang masuk dalam kebudayaan Jawa, Nancy melihat adanya kebiasaan tradisional yang unik pada perempuan Jawa. “Dari pelajaran yang saya terima  di bangku kuliah dulu, saya telah membaca bahwa sejak dulu di Jawa sudah ada Wanita-wanita yang cukup menonjol peranannya dalam masyarakat. Misalnya Ratu Pembayun, Putra Dalem VII (Putra Paku Buwono VII), atau Nyai Adisara, seorang pujangga Wanita dari Surakarta. Dan sekarang, coba lihat di pasar, banyak wanita yang berdagang di pasar. Siapa yang memegang uang kalau bukan Wanita! Kedudukan Wanita di Jawa secara tradisional lebih maju daripada kedudukan Wanita secara tradisional di Barat. Kalau pun di kalangan tertentu ada tradisi yang merendahkan kedudukan Wanita, itu mungkin tradisi Barat yang ditiru oleh kalangan tertentu sehingga menjadi kebiasaan di sini.”

Dan sekarang, coba lihat di pasar, banyak wanita yang berdagang di pasar. Siapa yang memegang uang kalau bukan Wanita! Kedudukan Wanita di Jawa secara tradisional kebih maju daripada kedudukan Wanita secara tradisional di Barat.

Dasar falsafah yang dimilikinya, ditambah dengan pelajaran mengenai sejarah Asia Tenggara, terhadap pengelanaannya terhadap kebudayaan Jawa menjadi lebih kental ketimbang orang-orang di sekitarnya. “Falsafah Jawa itu tidak bisa diterjemahkan dalam suatu bungkusan yang jelas, kerena hal itu berkembang dan dapat diartikan dalam berbagai sisi,” tuturnya. “Mungkin dari suatu falsafah dapat saya artikan sesuatu hal, sedang bagi orang lain dapat diartikan lain. Satu sama lainnya memang berbeda, tapi tidak ada yang salah,” Lanjut Nancy.

Keunikan-keunikan tersebut rupanya menarik Nancy untuk mendalaminya dan ikut dalam pusarannya lebih jauh. Dan kini, dalam keunikan-keunikan tersebut ia seperti menemukan sesuatu yang cocok darinya. Dengan mengumam ia mengaku, bahwa dalam hal-hal tertentu, “Aku angel srawung karo bangsaku dewe” ( Saya sulit bergaul dengan bangsaku sendiri).

Hai, sudah menjadi orang Jawakah Nancy?

“Saya rasa tidak. Saya seperti hidup dalam dua dunia. Saya beruntung mendapat kesempatan untuk mengalami hal ini, dan saya ingin menikmatinya, “katanya. Namun diakuinya jika segala “tugasnya” di Jawa ini sudah usai, ia begitu sulit menentukan masa depannya. “yang, saya sudah terlanjur jatuh cinta dengan kebudayaan Jawa, sehingga kalau ada yang bertanya mengenai masa depan, saya sendiri tak tahu jawabannya. Tak berani membayangkannya, “ucapnya pelan sambal menerawang.

Cinta memang tak selamanya ditandai dengan harus selalu berdampingan dengan apa yang dicintai. Begitu pula mungkin Nancy terhadap kebudayaan Jawa dan ribuan naskah kuno Jawa yang pernah dibelainya.

Liputan ini sebelumnya pernah dimuat dalam Majalah Famina, 9 Agustus 1983. Tulisan ini dimuat ulang untuk kepentingan pendidikan dan kebudayaan oleh Redaksi langgar.co

Admin Langgar
Suhaiymah Manzoor-Khan merupakan penulis Inggris keturunan Pakistan. Lahir di Bradford dari orang tua generasi kedua Inggris-Pakistan. Ia diundang dalam The Last Word Festival Roundhouse Poetry Slam London. Karya-karyanya banyak mempersoalkan relasi kuasa global, islamofobia, serta permasalahan gender dalam konteks pascakolonial, dengan warna spiritualitas Islam yang kental. Ia menempuh pendidikan S1 di bidang sejarah di Cambridge University dan S2 di bidang Kajian Pascakolonial di School of Oriental and African Studies (SOAS), University of London. Kedua puisi yang diterjemahkan ini diambil dari bukunya Postcolonial Banter (2019).