Pertemanan saya dengan Nurel terbentuk sebagaimana pertemanan dengan kawan penulis satu angkatan di Yogyakarta akhir 90-an. Hanya jika dengan kawan-kawan lain semacam Satmoko Budi Santoso, Binhad Nurrohmat, Asa Jatmiko, Akhmad Muhaimin Azzet, Ahmad Sekhu, dan seterusnya kami awalnya dipertemukan oleh tulisan di media, lalu sebagian bertemu di kios koran, dan ngumpul di satu tempat dan beraktivitas di even bikinan komunitas, dengan Nurel agak lain.
Ia tak pernah antri di kios koran, membuka-buka lipatan yang kadang disteples oleh si pemilik kios, sebab ia memang tak mengirim karya ke koran (atau mengirim diam-diam saya tak tahu), setidaknya karyanya tak banyak dipublikasikan di koran.
Dalam buku Tamansari, Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) X/1998 yang memuat puisi, cerpen dan esei penulis yang pernah dimuat media terbitan Yogya (MP, KR, Bernas, Yogya Post dan Suara Muhamadiyah) tidak ada nama Nurla Gautama atau Nur Laili Rahmat (nama awal Nurel). Namanya baru ada dalam buku FKY XII/2000 Embun Tajalli.
Ini sekedar menunjukkan bahwa sejak awal, Nurel sebenarnya punya jalan berbeda. Perjumpaan kami lebih banyak saat ngumpul di rumah kawan, misalnya di tempat Teguh Winarsho di Warungboto, Umbulharjo, atau sesekali di tempat Amien Wangsitalaja yang tinggal satu kompleks di situ. Kadang di kostnya Nurel sendiri di Ngasem, atau ia main ke tempat saya.
Dalam amatan saya, Nurel seperti punya dunia sendiri, dan kadang-kadang itu tercermin dari caranya yang khas: mesem-mesem sendiri, ngguyu jika bukan cengengesan, pada saat kita bicara ini-itu tentang sastra. Ia akan terus merokok tanpa banyak tanggapan. Namun ia selalu tampak punya rencana lain yang tak sempat juga kita selidik.
Ia, misalnya, biasa datang ke tempat yang kadang tak terpikirkan oleh kami sebagai referensi dunia kepenulisan. Salah satunya, ke kediaman Suryanto Sastroatmojo, seorang ahli Jawa yang bekerja sebagai redaktur di Harian Bernas. Ia sering bolak-balik ke sana, dan bahkan seperti menjadi pelanjut gagasannya. Termasuk meniru “lompat jendela” untuk masuk kamar.
Ia pernah cerita Mas Sur itu masuk dan keluar rumah selalu lewat jendela, pintunya sudah tak bisa dibuka karena penuh buku. Nurel pun memalang pintu kamar kostnya, dan memilih lewat jendela. Meski beberapa waktu lalu ia bilang itu caranya merasakan orang yang hidup dalam penjara, namun saya duga itu hal yang ia tiru bulat-bulat dari prilaku Mas Sur.
Sementara kawan-kawan lain masih melihat sosok mainstream Iman Budhi Santoso sebagai sosok tua untuk didatangi dan bicara ngalor-ngidul. Nurel juga cukup responsif dengan Otto Sukatno Cr, yang kita tahu juga punya basis di sastra dan kebudayaan Jawa. Tampaknya jagad Jawa menjadi minat Nurel.
Tapi sebagai orang yang pernah nyantri di sebuah pesantren di Jombang, ia juga rajin datang ke Komunitas Kutub pimpinan Zainal Arifin Thoha. Jika saya pernah menyebut silaturahmi sebagai nafas pergaulan sastra di Yogya, maka Nurel boleh dijadikan simbol dalam jagad silaturahmi itu (itu pun jika ia setuju), sebab dialah yang paling selalu laju dan siap ada di mana-mana.
Jika saya pernah menyebut silaturahmi sebagai nafas pergaulan sastra di Yogya, maka Nurel boleh dijadikan simbol dalam jagad silaturahmi itu (itu pun jika ia setuju), sebab dialah yang paling selalu laju dan siap ada di mana-mana.
Mobilitasnya sangat ditunjang oleh sebuah sepeda motor besar, Tiger, kalo tak salah, yang waktu itu masih kemewahan bagi sebagian besar penulis di Yogya, terutama angkatan saya yang ke mana-mana masih menggunakan sepeda onthel atau motor bebek bekas. Itu lengkap dengan gaya tongkrongannya. Jika sekarang banyak penulis ibukota memakai topi laken, Nurel sudah memakainya sejak dulu, genap dengan sepatu bot Harly Davidson dan mantel kulit hitam atau coklat.
Saya sendiri kadang menunjukkan rasa sinis pada semangat Nurel yang terlalu menggebu-gebu itu, sehingga terasa tak masuk akal. Ia misalnya, antara guyon dan serius bilang akan mengejar Hadiah Nobel Kesusasteraan. Bahkan di kamarnya ia pasang semacam spanduk Geger Wong Ngoyak Nobel, yang ia pelesetkan dari naskah Teater Dinasti-Emha: Geger Wong Ngoyak Macan.
Saya berterus-terang saja sama dia, “Rel, mimpimu dibuat riil dong! Itu terlalu bernafsu, tak ketulungan. Ntar kau bisa sakit lho! Ingat kau tesis Mas Iman bahwa di Yogya banyak orang senewen beneran karena ingin terkenal jadi sastrawan?” kataku mengingatkan apa yang pernah dikatakan Mas Iman. Jika saya pikir sekarang, ucapan itu terasa lugu.
Tapi jawabannya juga tak kalah lugu, atau mungkin lucu,”Ojo, Nobel itu hak segala bangsa kok…”
Saya juga tahu ia kadang tersenyum sinis kepadaku yang selalu bilang padanya untuk lebih serius. Hal-hal ini justru saya rasakan membuat kami saling paham dan mengerti dan malah menguatkan persahabatan. Saya tak akan membicarakan hal-hal yang sekiranya membuatnya tak nyaman, dan begitu pula sebaliknya, ia akan “sadar diri” menyingkir jika ia melakukan hal-hal yang sekiranya membuat saya tak nyaman.
Ia juga pernah mendirikan Komunitas Sastrawan Tugu Indonesia (KSTI), bersama Asa Jatmiko, Yatno Wibowo dan Devisi Teaternya: Si Thenk Dwi Arti. Ia hanya mengundang saya untuk hadir di peresmiannya, tapi tidak menawarkan saya untuk ikut bergabung.
***
UNTUK mimpi besarnya tersebut, satu hari ia membuat kami semua tercengang: ia menjual motor besarnya, simbol kemakmuran penulis Yogya itu! Konon untuk modal menerbitkan karya-karyanya sendiri.
Dan benar, ia mulai menerbitkan buku-bukunya dengan penerbitnya sendiri, Pustaka Pujangga. Bahkan ia sempat menerbitkan jurnal sastra/budaya dua sekaligus: The Sandour dan satu lagi saya lupa.
Saya diminta menulis di jurnalnya dan sejumlah bukunya ia berikan padaku meski masih dengan cengengesan seolah tahu saya masih menyinisinya. Karena itu, dari sekian banyak buku yang ia tulis dan terbitkan, ia memilihkan dua-tiga judul saja yang kira-kira membuat saya nyaman. Ia juga tak pernah meminta saya membuatkan semacam endrosment untuk bukunya, namun ia mau meminta saya menulis di jurnal kebudayaan yang ia terbitkan dan saya mengirimkan untuknya. Jelas sekali ia tahu porsi menempatkan saya, dan saya menghormatinya soal itu.
Saat banyak kawan penulis seangkatan saya mulai meninggalkan Yogya, dan sebaliknya tak kalah banyak juga yang memutuskan menetap di Yogya, termasuk saya, Nurel saya lihat punya sikap mendua. Ia seperti tak bisa lepas dari Yogya meski juga seperti merasa sudah kehilangan sudut petualangannya. Akhirnya ia bolak-balik Lamongan-Yogya.
Suatu ketika ia mengundang saya dan istri saya, Nur Wahida Idris, untuk mengisi diskusi sastra di Lamongan. Setelah mencari waktu yang tepat, akhirnya kami putuskan ke Lamongan saat sekalian pulang ke Bali. Ia menuntun kami lewat SMS perihal angkutan ke alamatnya dan tempat berhenti untuk ke Kendal-Kemlangi, Karangeneng, kampungnya. Dari Yogya, kami naik bus Eka sampai Ngawi. Dari Ngawi naik bus mini ke Bojonegoro melewati hutan jati dan keluar di Kalatidu. Dari Bojonegero naik bus arah Surabaya, dan kami diminta turun selepas Pasar Babat.
Kami dijemput di tepi jalan Babat-Surabaya, dan waktu itu ia punya semacam “markas” di samping kampus Universitas Islam Darul Ulum (Unisda), yakni di kios Alang Kahirudin. Di kios itu, tak jauh dari palang rel kereta api, Alang dan Nurel membuat sejumlah kegiatan literasi, selain juga difungsikan sebagai toko buku kecil. Toko buku Nurel sendiri terletak di pasar rakyat, di arah jalan ke rumahnya, sehingga saya geleng-geleng kepala bagaimana di sebuah pasar pagi ia menyewa kios dan meletakkan buku-buku di sana.
Rumahnya masuk ke dalam, dari jalan besar, melewati pasar tempatnya membuka toko buku tadi, dan hamparan tambak yang luas dan sebagian sawah. Dia juga mengajak kami makan di sebuah warung yang dipenuhi petambak dan petani. Dari suasana inilah kemudian saya membuat sebuah puisi, “Tanah Tambak” yang saya persembahkan buat Nurel.
Rumah Nurel adem, dan kami tambah nyaman terutama karena ruang Nurel terpisah dari ruang keluarga besarnya (ayah-ibu dan adik-adiknya). Ruangnya sendiri di belakang. Waktu itu ia sudah punya istri dan seorang anak. Si istri membuka warung kelontong yang cukup lengkap di kios depan rumah. Tampaknya dari perputaran kios inilah ia bisa jalan-jalan atau mungkin juga subsidi silang menerbitkan buku-buku.
Yang paling saya ingat dari kunjungan itu adalah setiap kali pergi ke luar mengajak kami jalan-jalan, istrinya akan memanggilnya memberi bekal: rokok dan uang. Ia terima dengan ngguyu dan cengengesan. Tapi di sisi lain saya juga menangkap mata Bapak Nurel yang tampak sinis melihat aktivitas anaknya itu. Sang bapak tampaknya seorang PNS. Mungkin tatapan semacam itu membuat Nurel tetap tak nyaman di rumah. Entahlah.
Kami mengisi acara di dua tempat, di kampus Unisda dan sebuah pondok pesantren. Kami didampingi kalau tak salah oleh kawan-kawan penulis Lamongan seperti AS Sumbawi, Imamudin, Alang dan Haris. Setelah itu kami lebih banyak jalan-jalan. Kami bahkan sempat mampir ke Gresik, ke rumah penyair Mardiluhung.
Saya dipinjami motor bebek oleh Nurel, dan dengan itu saya membonceng Ida, dan Nurel mengiringi naik motor besarnya, uniknya dengan sandal refleksi yang terbuat dari kayu runcing-runcing itu. Saya sempat menegurnya nanti membuat kakinya bengkak, tapi lagi-lagi ia jawab nyeleneh,”Kalau di rumah saya pakai ini, tapi kalau ke luar kota siap dengan sepatu bot.” Dan ia benar, setiap datang ke Yogya selalu dengan sepatu botnya yang besar tinggi seperti sepatu tentara itu.
Saat itu baru terjadi bom Bali dan nama Amrozi ramai diperbincangkan. Saya kemudian minta diajak ke Tenggulun, kampung Amrozi. Kami ke sana ditemani seorang anak yang super-hati-hati sehingga kami tak dibolehkan ngapa-ngapain. Suasana ia buat tegang dan mencekam. Namun membuat Nurel senyum-senyum. Kami melewati sawah, hutan dan sebuah telaga untuk sampai ke sana. Di kompleks pondok Amrozi sendiri aktivitas berjalan seperti biasa dengan para santri. Kami ngopi di sebuah warung, dan berfoto beberapa kali. Kami akan lanjut ke Tanjung Kodok, yang di lepas pantainya Kapal Vander Wijk dulu tenggelam, tapi batal karena waktu mepet. Begitu pula rencana ziarah ke makam Sunan Dradjad. Kapan-kapan ke sini lagi, kata Nurel. Dan kami mengiyakan.
Ada cerita agak nyeleneh setelah itu. Besoknya kami langsung ke Surabaya dan lanjut pulang ke Bali. Karena naik bus nyambung, Surabaya-Banyuwangi, maka setelah menyeberang Ketapang-Gilimanuk, kami siap mencari angkutan umum melanjutkan perjalanan ke Negara. Sengaja kami tak masuk terminal supaya tak lama ngetem. Kami jalan kaki sampai ke arah simpang Cekik (pertigaan ke Buleleng). Saat itulah kami didekati seorang intel tentara yang bertanya macam-macam. Dan kami menjawab akan pulang ke Negara. Ternyata, hari itu memang ada operasi besar-besaran sehubungan dengan adanya isu ditemukannya bom di Singaraja. Untung saja kamera kami tak diperiksa, bisa panjang ceritanya…
Rasanya itulah terakhir kalinya saya mengajak Nurel bicara sastra dengan “serius”, terutama soal-soal penciptaan yang tidak instan, dan bla-bla lain soal idealisme dan sikap berkesenian. Dalam diskusi hampir semalam suntuk itu makin terasa bahwa pertemuan kami dengan Nurel tampaknya bukan pada wilayah sikap yang gampang dirumuskan, namun ada jalan berbeda yang dipilih. Monggo, kata kami sama-sama. Sejak itu semakin jelas bahwa pertemuan dan hubungan kami bukan lagi pada soal-soal contens kesenian dan sebangsanya, namun sebagai sahabat penulis yang sama-sama ikhlas atas apa pun jalan yang dipilih.
Sejak itu semakin jelas bahwa pertemuan dan hubungan kami bukan lagi pada soal-soal contens kesenian dan sebangsanya, namun sebagai sahabat penulis yang sama-sama ikhlas atas apa pun jalan yang dipilih.
Ia memberi saya hadiah buku Padang Riwayatmu Dulu, buku langka karangan Rusli Amran. Untuk soal beri-memberi, bantu-membantu, semua kawan tahu Nurel sangat ringan tangan untuk itu.
***
SETELAHNYA, untuk masa agak lama hubungan saya sempat terputus, sampai ia kemudian meluncurkan atau mendiskusikan sejumlah bukunya di IAIN Sunan Kalijaga. Saya datang bersama Fahrudin Nasurollah (juga almarhum), dan bertemu dengannya yang masih dengan gaya yang dulu. Ngguyu, cengengesan.
Fahrudin yang saya kenalkan tak kalah merasa aneh dengan buku-buku Nurel. Membacanya kadang agak ribet, dengan kalimat-kalimat ala pujangga lawas, menyebut “aku penulis” dengan “diri ini”, persis seperti gaya tulisan Mas Sur.
Sementara ISBN bukunya bukan dari Perpusnas, melainkan bikinannya sendiri. Akronim ISBN ia artikan sendiri: Insyaallah Selamat Berkah Nama (atau saya lupa persisnya).
Fahrudin tipe orang yang menulis agak ketat, sementara Nurel sebaliknya, sangat longgar. Saya tak dapat bayangkan bahwa beberapa waktu kemudian sejak pertemuan di IAIN itu kedua “manusia langka” tersebut ternyata bisa akrab dan malah seiring jalan. Pernah waktu saya launching Jurnal Puisi Rumahlebah dan Jurnal Cerpen Edisi Khusus di Komunitas Lembah Pring Jombang asuhan Fahrudin, Nurel datang dari Lamongan. Waktu itu datang juga Mashuri dari Surabaya. Nurel menemani kami sampai besoknya kami pulang ke Yogya naik bus.
Pada periode di Lamongan, Nurel sering bolak-balik ke Yogya dengan motor besarnya yang lain (ia sudah mengganti motornya dengan motor terbaru), itulah periode ia sering ke Lampung. Kadang langsung dari Ponorogo, dari mana saya dengar ia membuka toko buku alternatif di sana.
Saat saya tanya ada kegiatan apa di Lampung, ia bilang membangun jaringan. Apakah juga mendekati muli (gadis) Lampung? Ia tertawa.
Untuk jaringan saya tahu ia punya beberapa kawan di Lampung, salah satunya Yatno Wibowo yang dulu satu kampus dengannya di Widyamataram. Tapi soal gadis itu (jika memang ada), kami mengingatkan betapa baik istrimu, Rel. Rokok dan sangu, ingat itu. Lagi-lagi ia tertawa.
Periode ini juga ia gunakan main ke Jakarta. Waktu itu Teguh Winarsho, Akhmad Sekhu dan Binhad sudah tinggal di Jakarta, jadi kepada mereka ini ia terhubung, meski dari ceritanya ia tampak paling sering ke tempat Teguh.
Dari sini pula ia cukup dekat dengan Maman Mahayana. Tapi menariknya, meski dekat dengan Pak Maman, ia tak pernah sungkan mengkritik “sajak-sajak sufi Sutardji”– padahal kita tahu Maman dekat dengan Tardji. Ini dapat dibaca sikap profesional seorang “gerilyawan sastra” ini…
Saat itu ia sudah mengganti namanya dengan Nurel Javisarqi dan ia jelaskan artinya pada Ida bahwa itu cahaya dari timur, sesuai statusnya yang orang Jawa Timur.
Setiap kali hendak ke Lampung ia selalu menyempatkan diri singgah dan kadang bermalam di rumah kami di Sewon.
Suatu kali saya mendapat undangan komunitas sastra/teater Purwokerto untuk menonton dan mengulas sebuah pertunjukan teater di auditorium RRI Purwokerto. Kalau tak salah Komunitas Hujan tak Pernah Padam, atau sejenis-jenis itu, tapi koordinatornya saya ingat Ryan Rachman. Nurel menawarkan diri untuk ikut. Saya yang sudah berencana naik bus bersama Tsabit, akhirnya dibonceng Nurel naik motor. Kami lewat jalur selatan, Jalan Deandles, yang dalam periode sebelumnya pernah juga saya lalui bersama Mas Joni Ariadinata, Satmoko, dan Ida naik motor (motor pinjaman bos Bentang, Mas Buldanul Khuri), saat ke rumah Pak Ahmad Tohari untuk urusan Jurnal Cerpen.
Jadi saya hapal jalannya, termasuk tempat berhenti yang enak. Kami berhenti di beberapa titik, makan sate berkuah tempe di Ambal dan berhenti di Karangbolong, tempat Seno Gumira menulis cerpen Sepotong Senja untuk Pacarku.
Selesai acara kami juga main ke Baturaden. Pulangnya kami cukup lama berkeliling Gua Jatijajar. Di sini Nurel bercerita tentang sejumlah falsafah Jawa, dan ia mengkritik pembuatan patung cerita rakyat yang memapas beberapa bagian gua.
Sayang, baik foto-foto saya di Lamongan maupun ke Purwokerto sudah tak ditemukan. Dulu masih menggunakan kamera saku, dan pernah saya pindah ke laptop, dan laptop itu sekarang rusak.
Setelah periode ke Lampung ini selesai, kami jarang bertemu Nurel. Saya bahkan lupa kapan terakhir bertemu dengannya. Meski saya dengar ia masih beberapa kali bolak-balik Lamongan-Yogya, tapi urusannya lebih banyak ke percetakan. Saya juga dengar dari seorang kawan bahwa ia sudah kembali ke Lamongan (pasca Ponorogo), dan ia berpisah dengan istri pertamanya yang dulu pernah kami jumpai di Karangeneng itu. Tapi tak lama setelah itu ia menikah lagi.
Meski lama tak bertemu fisik, namun kontak via WA dan inbox justru kian intens. Saya kemudian tahu bahwa tulisan saya di media sudah terhimpun dengan baik di media online yang ia buatkan. Kami juga sudah sepakat akan jalan-jalan dan diskusi di Ponorogo, tapi keburu pandemi.
Belakangan ia aktif di Apsas dan super giat memposting tulisan-tulisan lepas di media. Sebelum memosting, ia akan mengedit kata typo atau melengkapi tulisan “yg”, misalnya, jadi “yang”. Dan siap mengedit jika diminta penulisnya. Jadi ia tak asal posting.
Kini tulisan tersebut terbuhul dalam satu pumpunan di Apsas yang sangat membantu dokumentasi semua orang. Setiap saya menulis esei kecil-kecilan di facebook seperti ini, ia akan mengontak saya untuk mempostingnya. Dan saya jawab oke, sip, atau monggo, Lur!
Seharusnya, tulisan ini juga akan atau sudah dipostingnya. Namun, Selasa 7 September 2021 ia sudah mendahului kita semua. Kami sempat kaget, sebab setahu kami ia masih segar-bugar dan baru beberapa hari membalas inbox saya untuk merevisi sebuah tulisan di facebook yang dipostingnya. Namun ajal dan kepulangan milik Tuhan Semesta Alam. Dan takdirnya telah ditentukan, yang, seperti judul sebuah bukunya, Takdir Terlalu Dini…
Selamat jalan, Kawan, ngguyu dan cengengesanmu pertanda ikhlas….