Suasana senja di kompleks pemakaman Rahmat Jati, Gambiran, Kotagede, (8/12/2024) tidak seperti biasanya. Tidak ada kabar kematian, apalagi hiruk pikuk para penggali kubur untuk menyiapkan pemakaman. Layaknya sebuah pemakaman, kesibukan paling dramatis adalah mengantarkan jenazah ke liang pemakaman. Namun, sore itu bukan iring-iringan para pelayat yang membuat sibuk pemakaman. Tetapi, gelaran pentas teater tampaknya akan menjadi pemandangan lain di kompleks pemakaman yang bersejarah itu.
Pada sisi Barat kompleks pemakaman yang cukup luas itu, tepat di pintu masuk sebelah Barat terdapat area makam keluarga salah satu tokoh pahlawan nasional. Adalah Soerjopranoto, seorang tokoh penting pergerakan nasional, pembela kaum buruh musuh utama kolonial bersemayam tenang di area makam itu. Lalu, di Area yang tidak begitu luas tersebut, beberapa orang mulai sibuk dengan berbagai persiapan pementasan. Sebuah tenda lengkap dengan panggung kecil berdiri menghadap ke Utara. Tidak lupa gelaran tikar memanjang seperti telah siap menyambut para tamu yang datang.
Kompleks pemakaman Rahmat Jati Gambiran, Kotagede memang diyakini sebagai kompleks pemakaman tua yang sudah ada sejak abad ke-16. Hal ini dibuktikan, di sebelah timur pemakaman ini, terdapat makam Ki Juru Kithing. Seorang arif sekaligus hakim di masa Panembahan Senopati, raja pertama yang membuka alas Mentaok menjadi pusat peradaban Mataram Islam pertama. Keberadaan pohon Nogosari, sebuah pohon yang pertumbuhannya melalui proses berabad-abad itu, bisa menjadi bukti lainnya yang menunjukan bahwa kompleks makam ini sudah memiliki sejarah panjang. Maka tidak salah, kenapa Soerjopranoto seorang pangeran dari Pakualaman itu memilih peristirahatan terakhirnya di kompleks makam ini.
Sore itu sebuah pertunjukan teater akan segera dimulai di area gerbang pintu masuk pemakaman Soerjopranoto. Iya, sebuah peristiwa pertunjukan teater akan mengambil setting tempat di halaman makam yang tidak begitu luas tersebut. Tentu, hal ini tidak seperti pertunjukan teater pada umumnya. Ketika pertunjukan teater biasa di sebuah gedung dengan tata cahaya yang memukau. Jelas dalam pertunjukan kali ini, anda tidak akan menemukan itu semua. Mengambil setting alam terbuka, menjadikan situs makam sebagai objek utamanya. Pertunjukan dengan judul “Merapal Piwulang Sampai Pulang,” yang disutradarai oleh Amalia Rizqi Fitriani ini akan segera berlangsung.
Pertunjukan tepat berada di pintu masuk Makam Rahmadjati, Gambiran, Kotagedhe (Foto Dokumentasi Tim Media Sakatoya)
Mengambil konsep bentuk teater “site-specific” yaitu bentuk teater yang dipentaskan dalam tempat lokasi yang unik, dan adaptasi khusus. Pertunjukan teater yang merupakan rangkaian dari 5 pertunjukan lainnya ini, bertajuk Soerjopranoto: 6 Tubuh Si Raja Mogok. Proyek teater ini, mencoba mengaktivasi biografi dan peristiwa Soerjopranoto di 6 situs di Yogyakarta dengan berbagai pendekatan artistik mulai dari partisipatoris, spekulasi fiksi, aktivasi arsip dan reenactment sejarah. Bentuk ini dipilih sebagai tawaran baru, untuk sebuah proyek teater kepahlawanan yang disponsori Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia. Karena melalui pendekatan inilah, jejak historis para tokoh pahlawan lebih bisa dirasakan. Penonton diajak secara lebih dekat untuk terlibat menyusuri situs-situs penting jejak sang tokoh pahlawan nasional itu ada. Lalu melalui peristiwa pertunjukan teater ini juga, tokoh pahlawan dengan segala nilai-nilainya dihidupkan dan diinterpretasikan ulang.
Pertunjukan teater yang merupakan rangkaian dari 5 pertunjukan lainnya ini, bertajuk Soerjopranoto: 6 Tubuh Si Raja Mogok. Proyek teater ini, mencoba mengaktivasi biografi dan peristiwa Soerjopranoto di 6 situs di Yogyakarta dengan berbagai pendekatan artistik mulai dari partisipatoris, spekulasi fiksi, aktivasi arsip dan reenactment sejarah.
Ziarah Dalam Ritus Pertunjukan
Dalam bayang-bayang langit yang mulai mendung, pertunjukan sore itu akan segera digelar. Para penonton yang sejak dari pagi berkeliling ke situs-situs sejarah hidup Soerjopranoto, sudah memasuki gang kecil arah makam Pahlawan Nasional RM Soerjopranoto. Beberapa pemain musik, dibawah penata musik Jenar Kidjing mulai memainkan satu instrumen, tembang kinanthi. Sebuah tembang dalam metrum macapat yang mempunyai 11 taembang dengan nada berbeda, mempunyai makna perjalanan sangkan paran dumadi: dari mana manusia berasal dan akan kemana ia berpulang. Tokoh juru kunci (Abdusshomad) berpakaian Jawa lengkap, menyambut para tamu penonton yang datang dengan ramah. Mereka dipersilahkan duduk di tikar yang sudah disediakan. Mengambil konsep ziarah sebagai bentuk pertunjukan dengan artistik gelaran pengajian di kampung-kampung, dengan penonton menghadap ke Selatan dan panggung kecil ke Utara, peristiwa teater sore itu dibuka.
Abdusshomad, berperan menjadi juru kunci, sedang memberi bingkisan berupa “ijazah” kepada penonton (Foto Dokumentasi Tim Media Sakatoya).
Juru kunci makam kemudian menjelaskan perihal tata cara dan adab ketika ziarah ke makam. Sambil terus diiringi suara sayu gamelan, juru kunci menekankan pentingnya tujuan dan maksud kita ziarah. Lalu ia menjelaskan bahwa niat pertama kita adalah, pertama untuk merefleksikan perjuangan eyang Soerjopranoto dan mendoakan beliau. Tidak hanya itu, sang juru kunci juga menitipkan beberapa pesan khusus bagi para peziarah (penonton) yang datang. Salah satunya adalah para peziarah dimohon menata niat yang baik, bersih, murni, dan tidak diperkenankan memohon selain kepada Allah. Peziarah juga diminta melepas alas kaki ketika masuk ke makam. Tidak membuat gaduh, dan mengucapkan kata-kata kotor. Serta bagi para perempuan yang datang bulan diminta tidak masuk ke dalam makam.
Tradisi ziarah sendiri sebenarnya sudah jauh ada dalam khasanah kebudayaan masyarakat Jawa lebih luas Nusantara. Bahkan hampir agama-agama di Indonesia mempunyai tradisi ziarah dengan berbagai variasi bentuknya. Sedangkan dalam kultur Jawa-Islam, ziarah menjadi ritus daur hidup sebagai upaya menyambung konektivitas seseorang dengan leluhurnya yang sudah meninggal. Tidak hanya itu, ziarah juga dinyakini sebagai upaya untuk ngalap berkah sekaligus untuk mengingat kematian. Karena hanya dengan mengingat kematian, manusia bisa punya kesadaran bahwa hidup di dunia ada limitasi-nya. Dari kesadaran itulah diharapkan timbul pemahaman untuk tidak berlebih-lebihan. Pepatah Jawa menyebutkan, “Urip mung mampir ngombe,” artinya hidup di dunia hanya mampir minum. Karena yang abadi adalah kehidupan setelah kematian itu sendiri. Sedangkan dalam keyakinan muslim Jawa-Islam, dengan kita berdoa ke makam orang-orang suci yang sudah meninggal, kita bisa berwasilah (menggunakan orang-orang suci sebagai perantara untuk mengabulkan doa-doa kita yang dipanjatkan kepada Gusti Allah SWT). Penting dicatat, bahwa dalam kesadaran muslim Jawa ziarah adalah upaya mengingat jasa para leluhur dan tidak diperkenankan meminta kepada arwah orang yang dikuburkan. Karena satu-satunya permintaan hanya bisa ditujukan kepada Tuhan, Allah SWT.
Lalu, selepas juru kunci menjelaskan tata cara ziarah, dan rangkaian peristiwa yang akan diadakan pada sore itu. Acara berlanjut pada performer lecture atau mudahnya kita bisa sebut sebagai ceramah oleh kiai muda Yogyakarta yaitu Gus Yaser Arafat. Layaknya ceramah agama pada umumnya, Gus Yaser yang juga seorang dosen di UIN Sunan Kalijaga sekaligus peneliti makam dan nisan-nisan ini, duduk bersila membelakangi pemain musik, dan menghadap penonton.
Gus Yaser Arafat memberi ceramah di panggung utama didampingi Gus Rendra Bagus Pamungkas (Foto Dokumentasi Tim Media Sakatoya).
Sore itu Gus Yaser menjelaskan banyak hal tentang kiprah semasa hidup Soerjopranoto. Tidak kurang hampir selama 15 menit, dalam ceramahnya, ia menjelaskan perihal keutamaan eyang Soerjopranoto. Membabar sejarah singkat, kemudian mengilustrasikan peran dan sikap kakak kandung Ki Hajar Dewantara itu semasa beliau masih ada. Ia menjelaskan bahwa Soerjopranoto adalah sosok yang memiliki rasa welas asih yang tinggi. Dengan keteguhan sikapnya, Soerjopranoto berupaya mengangkat harkat martabat wong cilik dalam belenggu kolonialisme Belanda pada saat itu. Hal itu dibuktikan dengan beberapa agenda sosial yang beliau dirikan melalui, koperasi Mardhi Kaskaya, sekolah Adhi Dharma dan peran sosialnya untuk menyuarakan protes terhadap hak-hak buruh di masa penjajahan.
Tidak hanya itu, masih dengan alunan gamelan tipis. Gus Yaser menjelaskan perihal makna “tapa mandita” yang dijalankan Soerjopranoto di masa tuanya. Layaknya orang Jawa yang arif pada umumnya, kehidupan masa tua selalu dipersiapkan dengan sebaik baiknya. Tapa mandita bisa dipahami sebagai upaya seseorang mengambil jarak dengan kenyataan dunia, dan berupaya mendekatkan diri kepada Tuhan. Biasanya seorang ketika sudah menginjak umur 50 tahun, dalam kesadaran orang Jawa, layaknya ia mempersiapkan diri untuk pulang kembali ke pangkuan Tuhan. Maka ungkapan yang muncul, jika kita mendengar siaran kematian di masjid-masjid di Jawa bahasa yang digunakan adalah “sowan marang Gusti Allah.” Dalam hal ini ungkapan “sowan” menandakan bahwa kematian seseorang bukanlah ujung dari perjalanan manusia. Namun manusia hanya melanjutkan perjalanan selanjutnya yaitu bertamu sekaligus bertamu kepada Gustinya, yaitu Allah SWT. Manusia berganti alam, dari alam jasmani menuju alam rohani (barzah), sebagai sumber keabadian.
Biasanya seorang ketika sudah menginjak umur 50 tahun, dalam kesadaran orang Jawa, layaknya ia mempersiapkan diri untuk pulang kembali ke pangkuan Tuhan. Maka ungkapan yang muncul, jika kita mendengar siaran kematian di masjid-masjid di Jawa bahasa yang digunakan adalah “sowan marang Gusti Allah.” Dalam hal ini ungkapan “sowan” menandakan bahwa kematian seseorang bukanlah ujung dari perjalanan manusia.
Dalam lanskap kesadaran seperti itulah, Soerjopranoto seperti dijelaskan oleh Gus Yaser menghabiskan masa tuanya. Selain lebih banyak mendekatkan diri kepada Tuhan. Soerjopranoto juga lebih banyak menghabiskan waktunya di masa itu untuk memperdalam ilmu agama. Menuliskan beberapa artikel yang bernuansa sufistik (Jawa-Islam).
Lalu tiba-tiba suasana menjadi hening. Gus Rendra Bagus Pamungkas yang berada di samping Gus Yaser, tiba-tiba melantunkan salah satu teks Soerjopranoto tentang makna eksistensialisme Tuhan. Dengan teknik pembacaan “sulukan” layaknya paradalang wayang kulit Jawa, aktor kenamaan Yogyakarta itu, mengajak penonton untuk merenungi kembali eksistensi Gusti Allah dalam kehidupan.
“Allah ana opo ora?
Ana kang celathu Allah ora ono. Ana kang celathu Allah ana.
Wong-wong kang celathu Allah ora ono lan wong kang celathu Allah iku ana pada ora ngerti apa kang dimaksud Allah iku.
Becike sadurunge anggunem prakara Allah ditakoni iku apa ta.”
Begitu teks yang dibacakan Gus Rendra, dinukil dari tulisan eyang Soerjopranoto.
Selepas Gus Rendra membacakan teks tersebut, Gus Yaser menyambungnya dengan salah satu teks ayat dari Al Quran. Dengan bacaan Al Quran langgam Jawa, suara merdu Gus Yaser mengheningkan suasana.
“Jaa ajjuhan-naasu ‘buduu Rabba Kum’
Wa laa tusjrikun bihii sjai-aa
Ud ‘uunii istadjib lakum
Wasjkuruu lii wa laa takfuruun
La illaha illallah.”
(Wahai manusia, sembahlah Tuhanmu).
(Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukannya).
(Berdoalah kepadaKu, niscaya aku perkenankan bagimu, “apa yang kamu harapkan”).
(Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepadaku dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku).
(Bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah).
Sosok boneke menyerupai Semar muncul mengiringi peziarah memasuki makam Soerjopranoto (Foto Dokumentasi Tim Media Sakatoya).
Dengan nada dan tensi yang mengguratkan emosi, suara tahlil menggema di area makam. Yang mengejutkan, dua sosok boneka semar muncul dari belakang panggung dan penonton. Bentuk boneka replika semar itu, berjalan ke arah panggung dengan membawa bunga setaman. Lalu dua sosok semar, membersamai Gus Yaser dan Gus Rendra diiringi para hadirin yang datang untuk berziarah ke Makam Soerjopranoto. Diiringi suara tahlil yang berbalut gamelan Jawa yang anggun, mereka mulai berjalan tanpa alas kaki menuju makam. Puluhan bunga dibungkus daun pisang sudah disiapkan. Para peserta ziarah yang lebih dari seratus orang mulai mengantri bergantian memasuki makam. Mereka diajak merasakan suasana haru mengunjungi makam eyang Soerjopranoto, lalu seketika doa-doa baik mulai dirapalkan.
Tidak lama berselang, saat para penonton bergantian memasuki makam, hujan mulai turun. Beberapa panitia mulai kelimpungan mengamankan suasana, jas hujan mulai disebar. Mendung yang sejak awal mengawal pertunjukan ini akhirnya menurunkan keberkahannya. Hebatnya tidak ada yang mengelak dari air hujan, semua tetap bertahan mengikuti pentas yang sudah memasuki adegan pungkasnya.
Selepas semua penonton memasuki makam untuk ziarah dan menabur bunga, pertunjukan usai. Tidak ada selebrasi yang mengesankan, hanya ada perkenalan kecil dan kru pertunjukan. BM Anggana sebagai produser rangkaian pertunjukan Soerjopranoto: 6 Tubuh si Raja Mogok dari Komunitas Sakatoya mengambil nafas panjang, lega. Ia memperkenalkan tim dibalik peristiwa teater kepahlawanan yang tidak biasa tersebut. “Semoga rangkaian pertunjukan selama 6 hari ini, dapat benar-benar kita ambil pelajaran dari sejarah perjuangan Soerjopranoto, hingga bisa kita teruskan kedepannya,” Tegas BM Anggana.
Secara perlahan, cakrawala sejarah Islam semakin luas. Kajian sejarah Islam tidak lagi terbatas pada wilayah dunia Arab-Persia klasik, melainkan juga merambah zona perbatasan seperti dunia Melayu-Jawa. Dimana ratusan juta umat Islam telah mengamalkan agama ini selama berabad-abad. Di kepulauan ini juga kita menemukan jejak para wali pengembara, para raja berdaulat, serta para ulama yang gigih menyebarkan ajaran agama Islam (misalnya dalam kajian mendalam Naquib al-Attas tentang sufi abad ke-16 dalam The Mysticism of Hamzah Fansuri, dan kajian A.L. Khan mengenai ratu-ratu Sumatera dalam Sovereign Women In A Muslim Kingdom: The Sultanahs of Aceh, 1641–1699).
Gambaran lebih komprehensif ditunjukan dalam karya monumental seorang sejarawan besar asal Amerika (1949) M.C Riclefts dalam bukunya Mystic Synthesis In Java: A History of Islamization from the Fourteenth to the early Nineteenth Centuries,. (EastBridge Norwalk, Connecticut, 2006). Dalam Karya ini, Ricklefs menyuguhkan tinjauan komprehensif tentang proses Islamisasi di Jawa. Sejak abad keempat belas hingga awal abad kesembilan belas, serta bagaimana identitas ke-Jawa-an dan Islam menjadi semakin selaras. Pada permulaan, Ricklefs menggambarkan kondisi Jawa pada tahun 1500-an, ketika identitas Islam dan Jawa masih tampak berlapis dan terpecah-pecah.
Sejak abad keempat belas hingga awal abad kesembilan belas, serta bagaimana identitas ke-Jawa-an dan Islam menjadi semakin selaras. Pada permulaan, Ricklefs menggambarkan kondisi Jawa pada tahun 1500-an, ketika identitas Islam dan Jawa masih tampak berlapis dan terpecah-pecah.
Pada masa itu, kerajaan Hindu-Budha Majapahit, meskipun ragu untuk sepenuhnya menerima agama baru, tetap mengizinkan pemakaman anggota keluarga kerajaan yang Muslim di sekitar wilayahnya, seperti yang terlihat di kompleks makam Troloyo di Jawa Timur. Bab pertama ini membahas bagaimana masyarakat Jawa secara bertahap mulai mengadopsi dan menerima Islam, seraya memisahkan antara doktrin Islam ortodoks dan pandangan dunia Hindu-Buddha tradisional. Penulisan tersebut mempersiapkan babak baru di Jawa, memungkinkan para penguasa untuk tidak hanya menerima Islam, tetapi juga menjadi pelopor utama Islamisasi di tanah Jawa.
Lalu Sultan Agung menyelaraskan pandangan bahwa menjadi Muslim dan Jawa bukanlah hal yang bertentangan, dan dia berperan sebagai pengharmoni kedua identitas tersebut. Tercatat sebagai raja sufi sepanjang pemerintahannya yang berlangsung tiga puluh tahun (1613-1646), Agung, menurut “seorang Eropa yang mengunjungi istana” (hlm. 32), dilihat sebagai Muslim yang taat. Pada saat yang sama, babad Jawa menampilkan Sultan Agung sebagai sosok yang mengikuti ritual-ritual tradisional, termasuk pernikahan mistik dengan Ratu Kidul (hlm. 35). Pada tahun 1633, Sultan Agung mengunjungi makam seorang sufi di Tembayat, Jawa Tengah, yang wilayahnya sempat menolak kedaulatan Sultan. Kunjungan ini menghasilkan penciptaan kalender baru yang menggabungkan kalender lunar Islam dengan kalender Saka Jawa, suatu langkah simbolis yang menunjukkan sinkretisme identitas Jawa dan Islam. Sultan Agung baru mengadopsi gelar ‘Sultan’ beberapa tahun sebelum wafatnya, tetapi warisannya tetap dikenang sebagai raja ideal yang menjadi panutan bagi raja-raja Jawa berikutnya. Semua itu digambarkan dengan cukup dan baik oleh Ricklefs pada bab kedua dalam buku ini.
Sedangkan dalam bab ketiga, Ricklefs mengeksplorasi pemerintahan Amangkurat I. Penguasa yang dikenal karena kekejamannya itu, membuat para duta Belanda bingung dengan caranya memerintah, di mana “orang tua dibunuh untuk memberi tempat kepada yang muda” (hlm. 55). Amangkurat I, setelah menghadapi upaya kudeta pada tahun 1647, memerintahkan pembunuhan massal terhadap sekitar dua ribu pemimpin agama Islam beserta keluarga mereka. Ricklefs berpendapat bahwa tindakan-tindakan tersebut menggambarkan keadaan mental yang tidak stabil pada diri Amangkurat I, yang bahkan meninggalkan mayat istrinya tanpa dikuburkan sementara membiarkan para pelayan kelaparan hingga mati (hlm. 58). Bab ini juga membahas Perang Saudara antara kaum Muslim dan non-Muslim pada tahun 1670-an, serta hubungan kompleks antara Amangkurat II dan VOC. Amangkurat II dituduh berpihak pada “kafir” Kristen karena dukungan VOC, yang memicu pemberontakan dari kaum Muslim Jawa yang menyerukan jihad terhadapnya.
Selanjutnya Ricklefs menguraikan ketegangan yang terus berlanjut antara kaum elit istana Jawa dan rakyat dalam menghadapi VOC. Pada bab empat ini, digambarkan para bangsawan dan masyarakat luas sepakat bahwa kehidupan yang religius tak mungkin berjalan selaras dengan kedekatan terhadap VOC Belanda (hlm. 72). Setelah kematian Amangkurat II, perselisihan antara Amangkurat III dan pamannya membawa kerajaan Kartasura dalam situasi krisis. Intervensi VOC memperpanjang konflik ini hingga puncaknya pada tahun 1705, ketika Pakubuwana I diangkat sebagai penguasa oleh dukungan VOC. Penerus Pakubuwana I, Amangkurat IV, yang melanjutkan kedekatan kerajaan dengan VOC, dicatat sebagai raja yang paling dibenci, bahkan disebut sebagai “maharaja yang telah ditinggalkan rakyatnya dan memiliki hampir seluruh Jawa sebagai musuhnya” (hlm. 93).
Sementara itu, ibunya, Ratu Pakubuwono, secara rahasia menentang kedekatan tersebut dan diawasi ketat oleh VOC. Peran Ratu Pakubuwana dalam upaya menyelaraskan identitas Jawa dan Islam sangatlah penting. Dalam bab lima ini, sang ratu mencoba membentuk cucunya menjadi seorang raja sufi yang saleh (hlm. 103). Melalui sastra sufi, ia berupaya menyebarkan Islam di kalangan istana. Namun, cita-citanya menjadikan cucunya sebagai Sultan Agung baru ternyata tidak berhasil. “Buku-buku karya Ratu Pakubuwana gagal mencapai tujuannya untuk menjadikan pemerintahan Pakubuwana II ideal” (hlm. 142). Lalu dalam bab enam menguraikan diskusi di Jawa tentang gaya Islam yang ideal untuk diikuti, dan berujung pada identitas sintesis yang menyatakan bahwa menjadi Jawa dan Muslim bukan lagi hal yang saling bertentangan.
Beberapa istilah penting dalam karya ini, seperti ‘Islamisasi’ dan ‘sintesis mistik’, seharusnya didefinisikan secara lebih jelas agar pembaca mendapatkan kejelasan mengenai proses Islamisasi yang dimaksud. Hal ini relevan karena proses tersebut dapat berbeda dengan konsep Islamisasi dalam pemahaman para sarjana Islam kontemporer (lihat Syed Naquib al-Attas Islam and Secularism, Ismail Faruqi Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan, dan Wan Mohd Nor Wan Daud The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas). Kendati demikian, buku ini tetap berhasil menggambarkan proses Islamisasi di Jawa dengan cermat dan mendalam. Bagi para mahasiswa sejarah Jawa dan kajian Islam, Mystic Synthesis karya Ricklefs adalah sumber yang amat berharga untuk memahami perkembangan sejarah Islam di Jawa. Dengan menggunakan manuskrip Jawa yang luas, Ricklefs telah berhasil mengangkat narasi sejarah ini dari sekadar cerita lama orientalis kolonial menjadi kisah yang hidup dan relevan untuk generasi sarjana sejarah yang akan datang.
Banyak pemahaman keliru yang berkembang di masyarakat Jawa, utamanya Jawa di Solo Raya dalam memahami makna dari pusaka-pusaka Keraton Kasunanan Surakarta. Sebagai contoh, Kebo Bule Kyai Slamet, sering digambarkan sebagai kerbau albino yang bernamaKyai Slamet. Kebo Bule Kyai Slamet juga dianggap dapat menjadi wasilah atas berkah dan keselamatan dari Allah SWT. Tak heran, saat kerbau itu lewat dalam Kirab Pusaka Malam 1 Suro di Keraton Surakarta, mereka saling berebutan hanya untuk memegang kerbau albino itu, ironisnya, mereka juga berebutan untuk mengambil tlethong dan kencingnya demi mendapat “berkah.”
Keraton Kasunanan yang sebagai entitas yang memiliki otoritas untuk mendidik dan memberi pemahaman kepada rakyat dengan Lembaga Adat-nya justru merawat tradisi jahiliyah ini. Gusti Moeng sebagai Ketua Lembaga Dewan Adat Keraton Kasunanan Solo saat wawancara dengan sebuah media, menjelaskan makna simbolik dari Kebo Bule Kyai Slamet sebagai sebuah harapan untuk bisa selamat di dunia maupun akhirat. Dan saat menjelaskan alasan kenapa Kebo Bule itu selalu menjadi cucuk lampah, baginya itu bukan berarti manusia yang ikut kerbau, tapi orang Jawa sangat “bergantung” pada kerbau yang bisa mengolah tanah sehingga bisa menghasilkan pangan. Sebuah pernyataan yang tentu saja ambigu.
Sejarah Kebo Bule dan Kyai Slamet
Dalam literasi Jawa, Kebo Bule adalah frasa dalam sebuah nubuatan akan kedatangan bangsa asing yang berkulit putih, dalam hal ini bangsa-bangsa Eropa, seperti Inggris, Belanda maupun Portugis. Ramalan itu bisa kita temukan dalam Babad Tanah Jawi I-IV. Bat. Gen. XXXIII, No. 312, 3120 -3l2c. Babon dari R. Panji Jayasubrata. Tembang XXVIII, hlm. 118. Pucung 21 bait.
Bedhahipun malih negeri Blambangan déning wadya-bala Mataram, tiang Bali sami lumajeng wangsul. Kacarios Jurutaman minda-minda sang Nata amota-mota garwanipun sang Nata, lajeng dipun-waos déning Nata, layon musna, sarta anyuanten: benjing yèn wonten maesa bule siwer mripatipun, ingriku pemalesipun.
Yang kira-kira artinya begini:
Karena hancurnya kerajaan Blambangan oleh tentara Mataram, orang-orang Bali kemudian pulang. Diceritakan oleh Jurutaman (tukang kebun) bahwa ia diminta Sang Raja agar merawat permaisurinya, sang Raja berlari pergi, hilang musnah sambil berucap: Besuk jika ada kerbau putih matanya biru, itulah balasannya.
Kisah serupa juga terdapat dalam De Heiligen Van Java, dalam catatan kakinya disebutkan tentang masyhurnya ramalan Syekh Bela-belu di kalangan Masyarakat Jawa. Ramalan yang sebenarnya berasal dari novel sejarah Majapahit karya Gramberg. Kutipan ini dapat ditemukan di Meded. Zend. Gen. vol. 35, hal. 107 yang dicatat sebagai berikut:
Orang-orang Jawa bercerita tentang ramalan Syeh Bela-belu saat ia akan dibunuh.
“Ingatlah dan tanamkanlah pada anak cucumu, bahwa suatu hari nanti seorang pangeran dari Sang Maha Penguasa akan memerintah Jawa, kulitnya putih dan matanya biru”.
Jadi, Kebo bule dari dua petikan cerita tersebut adalah “seseorang” atau “sosok” yang diramalkan akan muncul dan digunakan sebagai ancaman para korban yang kalah, dengan kata lain, untuk menubuatkan kedatangan bangsa Belanda (kebo bule = kerbau putih), yang akan membalaskan dendam mereka.
Kebo bule berikutnya adalah kerbau asli, kerbau albino hadiah dari Kyai Hasan Besari Tegalsari kepada Pakubuwono II sesaat setelah geger pecinan. Konon, kerbau-kerbau itulah yang menunjukkan (menjadi cucuk lampah) dimana lokasi istana baru akan dibangun oleh Pakubuwono II. Tak bisa disangkal, kembalinya kekuasaan Pakubuwono II tak lepas dari keterlibatan Kompeni yang diplokoto oleh Pakubuwono II untuk melenyapkan pemberontak Cina. Hadiah itu mungkin semacam sanepan dari sang Kyai kepada Raja yang dilindungi Belanda itu.
Lalu Siapa Kyai Slamet?
Dalam konteks Geger pecinan, Kyai Slamet tentu adalah sebuah peristiwa, bukan sebuah pusaka, apalagi sosok. Saat terdesak oleh Pasukan Garendri, Pakubuwono II menyelamatkan diri ke Madiun dan Ponorogo, disanalah dia meminta perlindungan kepada beberapa Kyai, diantaranya Kyai Basyariyah Sewulan dan Kyai Kasan Besari Tegalsari.
Entah siapa yang menyembunyikan sebuah peristiwa runtuhnya Mataram Kartasura ke dalam pesan alegoris Kebo Bule dan Kyai Slamet itu. Namun, tampaknya kebenaran ramalan Raja Blambangan dan Ramalan Syekh Bela-Belu itu, dikemudian hari terbukti.
Sebelum abad ke-20, nenek moyang kita menuliskan sejarah masa lalunya dengan cara menyesuaikannya dengan kondisi sosio-kultural dan teknologi yang berkembang pada saat itu. Jika pada waktu itu yang berkembang adalah penulisan karya sastra, maka tak heran jika mereka merekam sejarah menggunakan medium sastra. Medium yang kita pahami bersama sebagai ruang yang tidak memberikan penekanan penuh pada seluk beluk dan fakta kejadian sebenarnya, tetapi pada bentuk simbol dan makna-makna estetika lainnya.
Dari hasil penelitian Nancy K. Florida, seorang sarjana Amerika yang memfokuskan kajian pada naskah-naskah klasik Jawa, terutama yang ditulis oleh para pujangga Keraton Surakarta, setidaknya dari era Pujangga Yasadipura sampai Ranggawarsita mengungkapkan bahwa, babad-babad itu adalah tulisan sejarah yang dituangkan ke dalam struktur bahasa sastra (syair), dengan mempertimbangkan dimensi perkembangan sosial, kultural, politik dan agama sebagai subject matter-nya, diniatkan sebagai peringatan bagi orang Jawa saat itu, dan ramalan untuk kejadian di masa yang akan datang. Sebab, pujangga-pujangga keraton itu, memandang bahwa tulisan sejarah bukan berarti catatan masa silam, melainkan salinan dari masa lampau, dalam upaya mempersiapkan diri untuk menjangkau kejadian yang akan terjadi di masa yang akan datang.
Nancy mencontohkan argumentasinya ini dengan menunjukkan penulisan Babad Jaka Tingkir. Menurutnya, sejarah yang tertuang dalam Babad Jaka Tingkir, seolah-olah terlepas atau tidak memiliki hubungan langsung dengan peristiwa masa silam yang hendak dikisahkan penulisnya, yakni kisah hidup tokoh Jaka Tingkir. Alih-alih menceritakan kisah hidup tokoh utamanya, Babad Jaka Tingkir justru berisi kisah tentang 7 pahlawan pinggiran, yang ia sebut sebagai 7 tokoh persiapan, yang memungkinkan cerita Jaka Tingkir itu terwujud.
Rekonstruksi penulisan sejarah semacam ini, tentu sangat berbeda dengan wacana penulisan sejarah di masa sekarang, maupun penulisan sejarah dalam perspektif Barat setelah memasuki era “Pencerahan”, yang menghendaki sejarah atau kejadian di masa silam, ditulis dengan menggunakan kerangka ilmiah, disajikan dengan bahasa yang terang, jelas dan representatif. Namun betapapun juga, perbedaan ini menunjukkan kepada kita bahwa makna sejarah tiap-tiap zaman itu ternyata berbeda-beda. Setiap zaman, baik itu masyarakatnya maupun penulisnya menggarap masa lalunya sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Oleh sebab itu, sekiranya penulis sejarah yang baik menurut saya adalah penulis yang mampu memahami kebutuhan narasi sejarah pada zamannya, dan mampu mengurai persoalan keterbacaan sejarah yang ia tulis.
Oleh sebab itu, sekiranya penulis sejarah yang baik menurut saya adalah penulis yang mampu memahami kebutuhan narasi sejarah pada zamannya, dan mampu mengurai persolan keterbacaan sejarah yang ia tulis.
Sejarah Islam yang Terbaca dan Tak Terbaca dalam Babad Lombok
Berdasarkan gambaran singkat mengenai metode penanganan bukti sejarah berupa babad di atas, maka hal terpenting yang perlu diperhatikan oleh para peneliti atau siapa saja peminat kajian sejarah, sebelum melakukan penulisan sejarah adalah memahami betul kedudukan babad itu sebagai sebuah karya sastra, sebagai karya yang tidak berpretensi merekam secara presisi kejadian di masa lampau. Oleh sebab itu, babad mestilah disandingkan atau dikonfrontir dengan bukti-bukti lain yang relevan. Sayangnya, metode analisis sejarah yang menerapkan dialektika pengkajian semacam ini, masih sangat kurang di daerah saya, khususnya penulis sejarah yang mengkaji penyebaran Islam di Lombok. Para penulis sejarah penyebaran Islam di Lombok, cenderung hanya mengutip secara apa adanya, sejarah yang tertuang di babad Lombok saja, yang secara eksplisit menyebutkan aktor utamanya adalah Pangeran Prapen. Sementara, Sunan Giri yang jauh lebih awal berperan dalam syiar Islam ke Wilayah Indonesia Bagian Timur (Lombok), tidak mendapatkan porsi penjelasan yang memadai. Dalam Babad Lombok, Pupuh Dangdang bait ke-12 dan 13 ditulis:
Hana malih putra lor sangaji, kanging ngandel, wiweka digjaya, nama Pangeran Parapen, punika kang hing ngutus, hanglelana hing Lombok Hadi, Samabawa, Bali Blata, nyelami den luhung, yen nana bangga tan narsa den situtur, kalamullah hing hadil, kang sinelir hing kurngan.
Yen tan helem haunting janji, den serangi, lan wacana galak, tatanding helmi kasaten, yen maksih nora haranut, suma pala den lawan jurit, mati kalih ganjaran, haywa ge kundru ….
Adalagi putra sang Sunan, yang menjadi andalan, arif bijaksana sakti, bernama Pangeran Prapen, itulah yang diutus, berlayar ke Lombok Adi, Sumbawa, Bali Blata, mengislamkan agar tinggi suci. Bila ada yang ingkar membangkang, akan wahyu Allah yang adil, yang termaktub dalam Qur’an.
Bila tak mau ikuti titah, terangkanlah, dengan ucapan yang tegas, ajaklah ia mengadu ilmu kesaktian, bila belum mau ikut, apa boleh buat perangilah, bila engkau mati (terbunuh) mendapat ganjaran ….
Dari kutipan Babad Lombok di atas, peran dari Sunan Prapen yang ditugaskan untuk menyebarkan Agama Islam di wilayah Lombok, sangat jelas dan bahkan cukup dominan. Bahkan, kesannya, Sunan Prapen boleh memerangi raja atau masyarakat Lombok yang menolak masuk Islam. Tentu, tidak ada persoalan ketika seseorang terinspirasi oleh babad untuk menulis, tetapi jika tujuannya untuk menulis sejarah, maka pastilah ia mencari tambahan referensi yang lain, sebanyak-banyaknya. Karena, sekali lagi ini berhubungan dengan watak dari babad atau karya sastra yang lebih menekankan pada nilai estetika ketimbang fakta. Jika tidak demikian, maka hal tersebut beresiko membuat tulisan sejarah itu terkesan kurang proporsional, kurang mengakar dan barangkali tidak terkoneksi, sebagai sebuah rangkaian panjang dengan perjalanan sejarah yang lebih luas lagi.
Sunan Giri sebagai Pelopor Penyebar Islam di Pulau Lombok
Terdapat banyak sekali hasil studi sejarah Islam di Jawa, yang mengungkapkan bahwa Sunan Giri adalah sosok wali, bagian dari Wali Songo, yang tergolong paling awal merintis dakwah Islam ke kepulauan wilayah Indonesia Bagian Timur. Mulai dari Bali, Lombok, Sumbawa, Bima, Sulawesi bahkan sampai Maluku. Bahkan jauh sebelum Sunan Prapen. Keterangan tersebut setidaknya didukung oleh 3 alasan, yakni; Keberadaan Ibu angkat Sunan Giri yang berprofesi sebagai pedagang di jalur pelayaran kepulauan Indonesia Bagian Timur; Kedua, Sunan Giri juga membangun pesantren sebagai pusat transmisi pengajaran ilmu agama di daerah Gresik; Dan yang terakhir, posisi sentral Sunan Giri pada era Wali Songo sebagai ulama sekaligus umara (penguasa).
Dakwah yang dilakukan oleh Sunan Giri ke Lombok atau ke wilayah kepulauan Indonesia bagian Timur ini, dimungkinkan karena Sunan Giri dibesarkan oleh seorang janda bernama Nyai Gede Pinatih. Hoesein Djajadiningrat, menyebutkan bahwa Nyai Gede Pinatih adalah seorang janda kaya raya, bersuamikan Koja Mahmud Syahbandar. Ia merupakan salah satu dari anggota keluarga Kerajaan Majapahit yang awal sekali memeluk Agama Islam. Dakwah Sunan Giri ke wilayah Kepulauan Indonesia Bagian Timur diperkirakan dimulai, setelah Sunan Giri pulang dari Malaka (bertemu dan belajar ilmu agama dari ayahnya, Maulana Ishak), ia turut ambil bagian dalam usaha ibu angkatnya, yakni berdagang ke pulau-pulau, Indonesia Bagian Timur. Tentu misi utama Sunan Giri muda, ikut berdagang bukanlah untuk mengejar keuntungan material semata, namun ia ikut berdagang hanya sebagai sarana untuk menyebarkan Agama Islam di wilayah Indonesia Bagian Timur yang termasuk di dalamnya adalah Pulau Lombok.
Kedua, setelah dirasa bahwa syiar Islam melalui jalur perdagangan kurang maksimal, barulah kemudian Sunan Giri membangun pesantren sebagai pusat dakwahnya. Hanya saja jangan dibayangkan bahwa pesantren yang dimaksud di sini, adalah ruang belajar formal yang terlembaga dengan baik seperti umumnya pesantren saat ini. Martin van Bruinessen dalam studinya menyatakan, tidak ada bukti bahwa pada era Wali Sanga sudah ada pesantren dengan pola pengajaran formal seperti pesantren yang kita kenal hari ini. Boleh jadi, pesantren yang dimaksud pada waktu itu adalah, tempat-tempat belajar-mengajar ilmu agama yang dilaksanakan di padepokan, masjid, langgar, dan tempat-tempat lain di sekitar lingkungan kediaman gurunya. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan pesantren yang dimaksud adalah ruang sebagai pusat belajar-mengajar ilmu agama yang menjadi prototipe atau cikal bakal pengembangan pesantren modern saat ini.
Kiranya dapatlah dibayangkan bahwa pesantren yang dibangun oleh Sunan Giri itu ramai didatangi oleh santri-santri, tidak hanya datang dari Jawa saja, namun muridnya sangat mungkin datang dari wilayah Indonesia bagian lain, mengingat Gresik pada waktu itu adalah pelabuhan terbesar yang menjadi pusat persinggahan perdagangan, pelayaran antar pulau. Dan sangat dimungkinkan, bagi masyarakat di gugus kepulauan Indonesia Bagian Timur yang pernah menerima dakwah Sunan Giri itu, datang langsung atau mengutus keluarga kerabatnya untuk memperdalam ilmu agama, seperti yang pernah diterima sebelumnya. Dan pola Pendidikan semacam ini, barangkali adalah suatu hal yang wajar bagi masyarakat di manapun, tidak terkecuali masyarakat Lombok, dari dahulu bahkan hingga saat ini. Sudah menjadi suatu tradisi bagi masyarakat di daerah tertentu mengutus satu atau dua anak yang berpotensi untuk memperdalam ilmu agamanya ke daerah yang kuat tradisi keilmuannya, dengan tujuan jika kelak anak itu berhasil, ia akan diminta pulang untuk mengabdi, membimbing, membangun masyarakat sesuai dengan bidang ilmu yang dikuasainya.
Ketiga, kedudukan Sunan Giri sebagai bagian dari keluarga Kerajaan Majapahit dan sebagai pemimpin agama memungkinkan ia memiliki pengaruh besar dan luas, bukan hanya di daerah Jawa namun ia juga dapat menjangkau atau membentuk jaringan dengan daerah-daerah di luar pulau Jawa, melalui diplomasi politik antar sesama penguasanya. Penemuan bangsal Sri Menganti, Puri Kedaton dan gelar Prabu Satmata, menunjukkan bahwa salah satu anggota Wali Sanga ini, tidak hanya sebagai sosok yang berangkat dari golongan ulama yang berpengaruh saja, namun temuan itu menegaskan bahwa Sunan Giri juga dapat disebut sebagai seorang raja. Sebab, pada waktu itu tidak sembarang orang boleh memiliki bangunan bangsal, puri atau kedaton kecuali ia adalah seorang raja atau keluarga penguasa. Namun jangan dibayangkan bahwa kedaton atau kerajaan Sunan Giri itu, sama persis seperti konsep kerajaan yang dipimpin oleh raja dengan kekuasaan yang sungguh luar biasa besar dan kompleks seperti Majapahit. Kerajaan atau kedaton Sunan Giri itu adalah wilayah bagian dari kekuasaan di bawah Majapahit yang diizinkan mengatur atau mengelola wilayah kekuasaannya sendiri secara independen, karena Sunan Giri memiliki hubungan kekeluargaan dengan Kerajaan Majapahit. Demikian juga halnya dengan gelar Prabu Satmata yang disematkan kepada Sunan Giri, gelar “prabu” bagi orang Jawa adalah gelar kehormatan untuk menyebut “maha raja”, raja yang paling besar pengaruhnya di atas raja-raja kecil lainnya. Sedangkan istilah “satmata” adalah istilah yang diadopsi dari konsep pendewaan pada era Majapahit sebagai simbol dewa-dewa yang menjaga empat atau delapan penjuru mata angin, ditambah satu lagi dewa di tengahnya sebagai pemimpin atau tempat bersemayamnya dewa paling tinggi yakni, Dewa Siwa.
Kerajaan atau kedaton Sunan Giri itu adalah wilayah bagian dari kekuasaan di bawah Majapahit yang diizinkan mengatur atau mengelola wilayah kekuasaannya sendiri secara independen, karena Sunan Giri memiliki hubungan kekeluargaan dengan Kerajaan Majapahit. Demikian juga halnya dengan gelar Prabu Satmata yang disematkan kepada Sunan Giri, gelar “prabu” bagi orang Jawa adalah gelar kehormatan untuk menyebut “maha raja”, raja yang paling besar pengaruhnya di atas raja-raja kecil lainnya.
Di sisi lain, ketika Sunan Ampel (Maulana Malik Ibrahim) wafat, pada tahun 1478 Masehi, Sunan Kalijaga atau Raden Said, dalam rapat para wali mengambil inisiatif untuk mengusulkan Sunan Giri sebagai pengganti Sunan Ampel, menjadi penghulu dari para wali Tanah Jawa dan sebagai mufti atau pemimpin muslim di seluruh wilayah Jawa. Kedudukan ganda dan strategis inilah yang membuat Sunan Giri, boleh dibilang sangat besar pengaruhnya, yang memungkinkan ia melakukan dakwah baik melalui jalur ketokohannya sebagai pemimpin para wali Tanah Jawa maupun sebagai seorang raja, melalui jalur diplomasi dengan golongan penguasa baik di daerah Jawa maupun di luar Pulau Jawa. Kedudukan ganda inilah yang disebut oleh orang Jawa dengan istilah “Pandhita-Ratu”, yang bermakna pemimpin agama, rohaniawan (pandhita), sekaligusa raja atau penguasa (ratu).
Dengan posisi strategis inilah, sekiranya kita dapat membuat sebuah analisis mengenai pola transmisi ajaran Islam yang disampaikan oleh Sunan Giri, pola transmisi yang tidak mengandung unsur ancaman dan kekerasan, yakni secara langsung dan tidak langsung,. Pola yang pertama; dapat dipahami sebagai sebuah pola dakwah ketika masyarakat menerima pengajaran langsung dari Sunan Giri. Pola transimisi itu terjadi saat Sunan Giri berdagang ke pulau-pulau Indonesia bagian timur, kesempatan singgah dan berdagang itu dimanfaatkan oleh Sunan Giri untuk mendatangi masyarakat dan menyampaikan syiar Islam secara langsung. Di sisi lain, transmisi dengan cara langsung ini dapat pula dimengerti dengan adanya murid-murid Sunan Giri yang berasal dari berbagai daerah itu, datang untuk belajar ilmu agama langsung kepada Sunan Giri di pesantrennya.
Adapun transmisi ajaran Islam secara tidak langsung yang dilakukan oleh Sunan Giri, sekiranya dapat dibayangkan melalui dua cara, yakni dengan cara mengutus para mubalig ke daerah-daerah lain dan melalui diplomasi politik. Mubalig-mubalig yang diutus itu adalah murid-murid yang digembleng langsung oleh Sunan Giri, kemudian setelah ilmu agamanya dirasa cukup, mereka ditugaskan kembali mengabdi dan menyampaikan Syiar Islam kepada masyarakat di daerahnya masing-masing. Kemudian melalui diplomasi politik dengan para raja atau penguasa-penguasa daerah lain. Moh. Dahlan Mansur mengatakan, bahwa untuk penobatan raja atau sultan baik itu kerajaan di Jawa maupun kesultanan di daerah Maluku, mereka harus datang menghadap ke Sunan Giri terlebih dahulu untuk disahkan. Keterangan lain menyebutkan bahwa, Sunan Giri juga telah mengirim sepucuk surat dakwah ke Hitu (Halmahera) dimana penduduk setempat telah masuk Islam. Konon, kedatangan surat itu disambut dengan baik oleh Masyarakat dengan diselenggarakan sebuah acara penyambutan yang meriah sebagai bukti penerimaan masyarakat akan Islam dan sebagai bukti betapa Sunan Giri adalah ulama sekaligus umara yang memiliki pengaruh dan jasa sangat besar bagi mereka.
Penerus Dakwah Sunan Giri dan Pribumisasi Islam di Lombok
Tidak hanya berhenti sampai di situ, cetak biru kesuksesan dakwah Islam melalui jalur ketokohan Sunan Giri sebagai rohaniawan sekaligus penguasa, sehingga mampu bertahan, kurang lebih selama 200 tahun ini, didukung oleh banyak faktor, namun yang sekiranya penting untuk disinggung dalam kesempatan kali ini adalah faktor keluarga yang meneruskan perjuangan Sunan Giri dan faktor gerakan “Pribumisasi Islam”. Setelah Sunan Giri meninggal dunia pada tahun 1506. Dakwah dan pemerintahan Sunan Giri kemudian dilanjutkan oleh keturunanya, secara berturut-turut oleh; Pangeran Zainal Abidin atau Sunan Dalem (Putra Sunan Giri), kemudian dilanjutkan oleh Sunan Sedamargi (Putra pertama, Pangeran Zainal Abidin), lalu Sunan Giri Prapen (Putra ke-2, Pangeran Zainal Abidin) dan keturunannya yang lain. Dari sinilah, kiranya relevan untuk membicarakan Sunan Giri Prapen sebagai sosok yang memainkan peran, menyebarkan Islam di Lombok. Sebab, dalam catatan-catatan sejarah, pada masa Sunan Prapen lah dakwah Islam ke wilayah Indonesia Bagian Timur, disebut-sebut lebih digencarkan kembali, dan mencapai puncak kesuksesannya. Sunan Prapen, dikatakan menemui puncak kesuksesannya karena selain melakukan perluasan bangunan kedhaton, masjid dan perluasan makam Sunan Giri, ia juga menaikkan intensitas dakwah Islam ke wilayah Indonesia Bagian Timur termasuk di dalamnya adalah Pulau Lombok. Meski demikian, kesuksesan atau kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Sunan Prapen tersebut, keagungan, kemasyhuran dan kewibawaan rohani tetap diberikan kepada Sunan Giri atau Prabu Satmata.
Sunan Prapen, dikatakan menemui puncak kesuksesannya karena selain melakukan perluasan bangunan kedathon, masjid dan perluasan makam Sunan Giri, ia juga menaikkan intensitas dakwah Islam ke wilayah Indonesia Bagian Timur termasuk di dalamnya adalah Pulau Lombok.
Selanjutnya, istilah pribumisasi dalam konteks penyebaran Islam oleh para wali Tanah Jawa bermakna membenahi seluruh aspek kehidupan masyarakat Jawa. Menurut Nur Kholik Ridwan, pribumisasi Islam membawa pengertian pada gerak yang dilakukan oleh para sufi yang bermazhab Sunni, yang berusaha mempertemukan tradisi lama masyarakat Jawa dengan nilai-nilai Islam (baca: baru), hingga kemudian hasilnya menjadi produk kebudayaan yang kita kenal sampai hari ini sebagai tradisi Islam Jawa. Sebab, tradisi yang dimaksud telah disesuaikan dengan tujuan dan niat keislaman yang dikehendaki oleh para wali. Suatu kaidah ushul fiqh yang dijadikan dasar gerakan pribumisasi Islam oleh para wali adalah, mempertahankan hal lama yang dianggap perlu lagi maslahat, dan membuat hal baru yang bernilai lebih baik di tengah masyarakat lama, secara gradual. Gerakan pribumisasi Islam ini sedemikian kuat dan mengakarnya, sehingga masuk ke dalam semua pranata sosial masyarakat Jawa; mulai dari ritus kelahiran dan kematian, pernikahan, wawasan spiritual, nilai-nilai sastra, nilai-nilai sosial dan tata masyarakat Jawa lainnya.
Sehingga dapat dimengerti, bahwa muatan dakwah atau pribumisasi Islam seperti inilah yang mungkin sampai kepada masyarakat Lombok, mengingat Sunan Giri adalah sosok yang menjadi bagian terpenting dari gerak atau kerja bersama para wali Tanah Jawa itu. Namun, sangat penting untuk memahami bahwa, terdapat pertimbangan-pertimbangan tertentu dan atau penyesuaian-penyesuaian (penambahan atau pengurangan) tertentu terhadap, situasi dan kondisi sosial kultural masyarakat Lombok pada waktu itu, sehingga pribumisasi Islam itu bisa diterima dengan baik. Maka tak heran, jika hari ini kita mewarisi tradisi Islam kultural yang memiliki kemiripan dengan tradisi Islam kultural yang ada di Pulau Jawa. Sebut saja beberapa di antaranya; tradisi nembang membaca takepan (sastra), di bidang bahasa dan budaya, peringatan kematian, tahlilan, maulidan, rowah dan tradisi-tradisi Islam kultural lainnya, yang sangat mirip dengan tradisi Islam yang ada di Jawa.
***
Akhirnya setelah percobaan membuat analisis mengenai sejarah penyebaran Islam di Lombok ini, kiranya saya dapat membuat simpulan, bahwa; Amat sangat penting bagi penulis sejarah untuk memperhatikan kedudukan referensi yang dijadikan pegangan, jika kebetulan sumbernya berupa karya sastra seperti babad, maka keharusan baginya untuk mencari referensi tambahan yang relevan dengan topik atau pokok kajiannya. Mengingat watak dasar dari karya sastra dan karya sejarah cukup jauh berbeda. Jika salah satunya penekanannya pada aspek estetika, sedangkan yang lainnya, penekanannya pada aspek faktualnya.
Selanjutnya, sejarah mengenai masuknya agama Islam telah melewati rentang waktu yang cukup panjang, sementara kejadian di masa lalu tidak mungkin terulang kembali, sama persis. Oleh sebab itu, pada dasarnya penulisan sejarah berarti upaya manusia dengan kemampuan akalnya memikirkan masa lalu, karenanya nilai sejarah sangat bergantung dari sudut pandang penulisnya. Tidak mungkin saya dapat menentukan versi mana yang lebih benar mengenai sejarah masuknya Islam di Pulau Lombok. Tetapi setidaknya saya bisa menyatakan bahwa, tidak mungkin membayangkan Islam, dapat berkembang sebagai agama mayoritas di Pulau Lombok tanpa peranan Sunan Prapen. Dan lebih mustahil lagi membayangkan Islam diterima dengan baik oleh masyarakat Lombok, dengan meminggirkan atau mengesampingkan, peran Sunan Giri dan gerakan pribumisasi Islamnya.
Sumber Bacaan:
Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo. Tangerang Selatan, Pustaka IIMan dan LESBUMI PBNU, 2016.
Anonim, Babad Lombok, (diterjemahkan oleh Lalu Gde Suparman), Jakarta, Proyek Pembinaan Buku sastra Indonesia dan Daerah, 1994.
Bambang Suwondo, Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat, Jakarta, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978.
Irfan Afifi, Saya Jawa dan Islam, Yogyakarta: Tanda Baca, 2019.
M. Ishom El-Saha & Mastuki HS (editor). Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren, Yogyakarta, Diva Pustaka. 2023.
Nancy K. Florida, Menyurat yang Silam Menggurat yang Menjelang: Sejarah Sebagai Nubuat di Jawa Masa Kolonial. Yogyakarta. Mata Bangsa, 2020.
_________ Jawa-Islam di Masa Kolonial; Suluk, santri, dan Pujangga Jawa, Yogyakarta, Buku Langgar, 2020.
Nur Khalik Ridwan, Islam di Jawa Abad XII-XVI Para Wali, Pribumisasi Islam, dan Pergulatan Jati Diri Manusia Jawa. Yogyakarta, Buku Langgar, 2021
Solichin Salam, Sekitar Wali Sanga, Kudus, Menara Kudus, 1960
Umar Hasyim, Sunan Giri: Pemerintahan Ulama di Giri Kedaton, Kudus, Menara Kudus, 1999.
William H. Fredrick, Soeri Soeroto, Pemahaman Sejarah Indonesia: Sebelum dan Sesudah Revolusi. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia. 1984.
Udara sore sekitar makam Sunan Drajat terasa sejuk, meskipun suasananya tak jauh berbeda dengan pasar. Aku, seorang guru yang tak terlalu suka dengan hal-hal spiritual, mengamati sekeliling dengan skeptis. Kali ini, aku mengantar rombongan murid berziarah wali sembilan—ritual tahunan yang menurutku tak lebih dari acara jalan-jalan yang dibumbui takhayul dan mitos. Namun, sekolah memaksa, dan di sinilah aku, berdiri di tengah kerumunan orang yang datang dengan harapan kosong dan sia-sia.
“Kalian jangan terlalu percaya sama yang gaib-gaib. Ini cuma tradisi, tidak ilmiah,” pesanku kepada murid-murid menjelang turun dari bus.
Duduk malas di bangku kayu, menunggu mereka masuk ke makam, aku amati sekitar.
Makam Sunan Drajat berada di puncak bukit, dikelilingi pemandangan indah. Di bawah bukit hamparan sawah melandai jauh. Konon, dulu di bawah sana terdapat sungai purba yang membentang dari Surabaya, Demak, hingga Cirebon, yang digunakan wali sanga saling berkunjung. Tapi bagiku, cerita semacam itu tidak lebih dari legenda.
Nisan-nisan tua berserakan membawa kesan hampa dan purba. Warung-warung kecil berjajar di pinggir jalan, suara tawar-menawar terdengar samar. Aku melirik jam tangan. Bosan. Suasana di sekitar, meski ramai menjadi tak menarik.
Di tengah kebosanan seorang bapak tua duduk di sampingku. Tangannya menjinjing mainan anak-anak. Ada gasing, kitiran, kuda-kudaan dan sebagainya. Penampilannya sederhana mengenakan baju surjan, celana longgar, dan iket kepala batik. Perawakannya kurus tapi sehat.
“Mainan, Mas? Buat yang di rumah” suaranya parau.
Aku menatapnya heran. Tidak ada yang menjual mainan di sini.
Bapak tua tidak mendengarku, ia sibuk merapikan mainannya. Tiba-tiba sambil lalu dia berkata.
“Hidup itu permainan, Mas. Kenapa tidak mainan?”
Kalimatnya klise tapi membuatku terdiam.
“Kisanak darimana?”.
“Jogja. Kalau sampeyan?” Ia bergumam tidak jelas. Aku juga tak tertarik tahu asalnya.
“Yang nyaman, santai, tidak usah ngeden, Mas..” katanya. Yang tidak nyaman apalagi ngeden itu ya siapa. Enak saja. Sok tahu.
“Wong urip iku..”
“Nama Bapak siapa?” tenyaku memotong.
***
“Drajat,” jawabnya.
Aku tertawa kecil, geli campur sinis.
“Hahaha, namanya seperti wali. Sunan Drajat?” candaku.
Bapak tua diam tersenyum kecil. Ia menatapku sebentar, lalu beralih ke nisan-nisan di sekeliling kami. Sorot matanya teduh, seolah melihat sesuatu yang tak kasat mata. Ada keheningan dalam sikapnya yang membuatku merasa tak nyaman.
Menjelang magrib, suasana berubah. Langit jingga di ufuk barat meredup gelap, dan udara terasa lebih dingin. Warung-warung mulai sepi, satu per satu pedagang menutup kiosnya.
Aku memandang ke arah bukit. Di balik sana, tampak kilapan air mengalir perlahan. Hamparan sawah penuh genangan tiba-tiba berubah menjadi laut. Aku tertegun. Berkali mataku mengerjap tapi tidak juga hilang. Sekarang bahkan jelas: lampu jalan menerangi perahu-perahu yang tertambat dan orang-orang berjalan di tepian.
“Pak, apa itu? Kok ada kapal?” tanyaku menuding jauh dan bingung.
Bapak tua, yang kini berdiri menggendong mainannya, tersenyum lagi.
“Itu pelabuhan. Perahu ke Demak sudah datang, saya harus berangkat.”
Jantungku berdetak kencang.
“Ke… Demak?” tanyaku terbata-bata.
Tanpa menoleh, bapak itu berkata pelan. Suaranya berat dan dalam.
“Memangun resik, resiking ati, becik ketitik, ala ketara.“
Saya terpaku. Kata-katanya sederhana, namun menusuk hati.
Tanpa berkata lagi, bapak penjual mainan beranjak menuruni bukit menuju dermaga. Di sekelilingku orang-orang bermunculan, berdiri penuh hormat melepas kepergiannya. Aku heran memandangi mereka, yang seperti peziarah namun auranya berbeda.
“Siapa itu?” tanyaku pada sebelahku. Ia menatapku heran. “Kamu benar tidak tahu? Itu Kanjeng Sunan.”
“Sunan… Drajat?”
Tiba-tiba orang-orang di sekelilingku lenyap. Rombongan muridku, para peziarah, semuanya hilang. Yang tersisa hanyalah nisan-nisan tua dalam remang gelap.
THE Photograph (2007)[1]adalah film yang menghidupkan fotografi. Tetapi tidak seperti A Great Day in Harlem (1994)—film dokumenter Jean Bach yang berangkat dari foto jepretan Art Kane pada musim panas 1958 di Harlem, New York; film berdurasi 103 menit ini hanyalah menciptakan (baca: mereka) karya-karya fotografinya sendiri demi kebutuhan sinematografi yang seyogianya merupakan kelanjutan dari seni fotografi.
Adegannya dibuka dengan terpentangnya pintu sebuah rumah besar Hoakiau[2], menampakkan tembok kusam di sisi dalamnya yang dipenuhi oleh gantungan foto-foto hitam-putih terpigura yang tak kalah kusam: menguning dan penuh bercak.
Dan seiring terbukanya pintu, kamera pun bergerak perlahan mendekati dinding penuh foto itu, lalu mendadak berganti jadi close-up shot yang terfokus pada potret seorang lelaki Tionghoa sedang duduk di samping kamera besar berkaki tiga. Sebuah foto yang telah dimakan usia sebagaimana terlihat bukan hanya dari kondisi fisiknya saja, tetapi juga dari pigura yang membingkainya dan tulisan hànyŭ merah di atas kacanya yang buram berdebu.
Nama hànyŭ maupun alfabet latin (dalam ejaan Hokkien) lelaki dalam potret itu sudah (nyaris) tak terbaca, begitu pula dengan tahun masa hidupnya yang tercantum di bawah nama. Tetapi pada foto-foto berikutnya yang tertangkapoleh pergerakan kamera, nama dan angka yang tertera di atas potret sosok-sosok lelaki lain dengan pose serupa masihlah terbaca cukup jelas: 陳添來 – Tan Tham Lay[3] – 1895-1957 dan 陳連輝 – Tan Lian Hoei[4] – 1914-1965.
Jelas, ketiga sosok lelaki dalam foto-foto tua itu tak lain merupakan buyut, kakek, dan ayah dari karakter utama film ini yang diperankan oleh aktor Tionghoa Singapura Lim Kay Tong (林祺堂)[5], yakni 陳漢裕 – Tan Han Xi[6]/ Johan Tanujaya – 1956-[…]. Nama tokoh utama tersebut—dengan jenis huruf hànyŭ dan alfabet latin, juga warna yang sama—tampak tertulis pula di atas kaca pigura kosong yang perlahan digantungnya sendiri di sisi potret buyut-kakek-ayahnya setelah ia mencopot dua lembar dari sekian banyak foto tua hitam-putih ukuran 4R yang digantung dengan jepitan kayu di tembok.
Dalam gaze shot ini, kamera membidik secara dekat wajahnya yang dipantulkan kaca pigura kosong itu: wajah tua seorang lelaki Tionghoa dari golongan menengah ke bawah yang terlihat sudah lelah oleh kegetiran hidup, di mana sepasang matanya tengah menatap wajahnya sendiri di permukaan kaca dengan tatapan sayu. Momen screenplay opening ini juga disertai oleh monolog voice over suara Shanty yang memerankan tokoh Sita, seorang perempuan Jawa dari desa yang berprofesi sebagai penyanyi di bar karaoke dan sesekali sebagai pekerja seks komersial:
“Pada saat kita merenungkan masa lalu, akan ada saat-saat yang mengubah kita, diri kita, hidup kita, agar dapat melangkah lebih pasti ke depan. Ini sebuah cerita tentang seorang manusia yang telah menyentuh hidup ini, menyentuh saya.”
Dari monolog voice over itulah kita segera sadar bahwa Sita sesungguhnya adalah character-narrator dalam film ini, sehingga dengan demikian The Photograph boleh dibilang film dengan cerita berfokal internal yang—dalam kajian sastra—dikategorikan sebagai homodiegetic, di mana narator adalah seorang tokoh sentral yang berada dalam cerita.[7]
Adegan pembuka masih berlanjut dengan bidikan kamerayang berpindah ke frame tangan Johan Tan yang sedang membersihkan meja dari botol-botol obat dan membereskan kertas-kertas berserakan yang di antaranya bertuliskan “Asisten fotografi dicari dengan cepat”. Lalu segera bertukar dengan adegannya sedang memegang dupa dan menyusul sang tokoh utama diperlihatkan membuka sebuah peti kayu di bawah meja sembahyang, yang di dalamnya berisi lensa kamera tua, bungkusan kain, setelan jas terlipat rapi, dan sebuah kotak besi terkunci.
Dalam kotak besi terkunci yang dibukanya inilah kita kemudian menemukan foto-foto tua. Tiga lembar di antaranya dikeluarkan Johan untuk diletakkan di altar sembahyang keluarganya, yaitu foto rel kereta api, pemandangan pelabuhan, dan sebuah kamera tua tegak di samping kursi kosong dalam studio—yang mana ternyata juga tertempel di sisi pigura kosong yang baru digantung.
Tentu saja dalam momen ini kita belumlah memahami apa makna ketiga lembar foto itu bagi Johan yang memandangnya dengan nanar disertai gumam “saya akan mulai mati hari ini”. Namun dari perlakuan tokoh terhadap ketiga lembar foto, toh dengan gamblang kita dapat menduga bahwa obyek-obyek foto tersebut memang bukan sembarangan obyek, tetapi merupakan sesuatu yang amat bernilai bagi sang tokoh. Foto-foto Johan itu pun serta merta mengingatkan saya pada obsesi tokoh Antonio Paraggi memotret ketidakhadiran Bice sang kekasih yang pergi meninggalkannya dalam cerpen “Petualangan Seorang Fotografer” karya Italo Calvino, dengan obyek-obyek foto berupa asbak penuh puntung, tempat tidur berantakan, noda lembab di dinding, atau sudut ruangan yang sama sekali kosong.[8]
Berharganya foto-foto tua Johan beserta semua benda yang tersimpan dalam peti kayunya di bawah altar sembahyang itu, tampak semakin terang ketika pada satu adegan di pertengahan film, Johan dengan tegas melarang Sita yang hendak mengepel lantai menyentuh peti tersebut. Bahkan saking pentingnya ketiga lembar foto itu, dapat dikatakan bahwa jalan cerita film besutan Nan Achnas ini tak lain adalah sebuah perjalanan untuk menyibak rahasia hidup sang tokoh utama yang direpresentasikan oleh karya fotografi.
Dengan demikian The Photograph bukan saja dimulai dengan memperkenalkan kita kepada sang protagonis, tetapi juga pada hal-hal krusial yang langsung menukik ke jantung konflik cerita film—yang pada awalnya secara sepintas barangkali tampak sederhana, remeh, dan berpotensi luput dari konsentrasi kita tetapi sebenarnya begitu konkret sebagai obyek-obyek yang dibebani makna. Termasuk juga di sini potret-potret diri Sita dan putrinya, Yani, yang berulangkali diperlihatkan kepada kita sejak adegan perempuan itu mengemas barang untuk pindah dari rumah Rossi (Indy Barends) ke Roemah Photo Tan.
Karena itu tak bisa tidak, film ini menuntut kejelian mata penonton untuk menangkap berbagai detail kecil pada properti, seakan-akan memang tak ada bagian yang tidak berarti atau diletakkan sekadar untuk memenuhi setting. Dan keseriusan menangkap detail ini bukan hanya terkait dengan perihal foto atau yang berhubungan dengannya, melainkan juga menyangkut lanskap interior dan eksterior, bahkan seluruh mise-en-scene yang didominasi oleh cahaya redup dan warna suram untuk mendeksripsikan kemurungan hidup tokoh-tokohnya.
Perhatikan saja keadaan ruang depan Roemah Photo Tan[9] yang ditempati oleh seorang tukang wayang potehi (poo tay hie) bernama Tho Teng Be dan tukang servis jam “Eka Jaya Watch” saat Sita pertama kali tiba contohnya. Di antara orang-orang sedang membaca koran dan seorang nenek bersembahyang di depan altar, jika teliti kita bisa melihat adanya gambar Dewa Kwan Kong[10] yang menghitam di tembok pertanda tuanya gambar tersebut. Studio milik Johan juga di-set secara saksama sehingga memperlihatkan sebuah model studio foto yang barangkali telah menjadi memori kolektif orang Indonesia hingga tahun 90an dengan ragam lukisan pemandangan sebagai background-nya.
Begitu pula kondisi kamar loteng Sita yang begitu jorok dengan sampah kertas dan kantong plastik berserakan secara alami, atau betapa kotor berdebunya kain latar studio berupa lukisan Tembok Besar China yang dibersihkan oleh Johan dan Sita, dan terutama bekas-bekas gantungan pigura foto pada tembok di tepi jalan tempat Johan saban pagi mangkal sebagai tukang foto; di mana bekas-bekas itu bukan saja mengesankan suatu hal yang telah berlangsung lama, namun juga dapat dipergunakan untuk mengulang rutinitas serupa setiap saat ketika setiap pigura mesti digantungkan kembali pada tempatnya sediakala—layaknya momen-momen hidup yang seakan dapat diulang pada saat kita memandang sebuah foto.
Gambar 1: Sita dan Johan sedang membersihkan lukisan kain latar studio foto. Sumber: https://www.indonesianfilmcenter.com/filminfo/detail/839/the-photograph Gambar 2: Johan dan Sita sedang menggantung pigura-pigura foto di tembok tepi jalan tempat Johan mangkal sebagai tukang foto. Sumber: https://youtu.be/9MY_Nno2BRo?si=Jk0CNIKT4TdrOWb9
***
“FOTOGRAFI adalah cara memenjarakan realitas. Seseorang tak dapat memiliki realitas, seseorang dapat memiliki gambar—seseorang tidak dapat memiliki masa kini tetapi seseorang dapat memiliki masa lalu,”[11] demikian tulis Susan Sontag dalam bukunya On Photograph (1977).
Selama sekian dasawarsa setelah Joseph Nicepore Niepce berhasil memproyeksikan Point de vue du Gras pada 1816 yang dianggap sebagai karya fotografi pertama berupa gambaran kabur atap-atap rumah pada sebuah lempengan campuran timah yang dipekakan,[12] manusia mengira bahwa mereka telah melangkah lebih jauh dari seni lukis realis dalam usaha untuk mengawetkan momen. Sejak itulah teknologi kamera terus mengalami perkembangan dari masa ke masa hingga yang kita kenal sekarang. Namun apakah waktu memang sungguh-sungguh dapat dikerangkeng dalam selembar potret? Apakah manusia, benda-benda, dan peristiwa yang berhasrat kekal seyogianya bisa dibekukan dalam proses kiamiwi di kamar gelap atau cetak digital?
Nirwan Ahmad Arsuka dalam sebuah esainya tentang fotografi pernah mengingatkan kita akan sifat waktu ini dengan mencontohkan mitologi Batara Kala sang penimpa bala dan Dewa Kronos yang selalu menelan apa saja yang dilahirkannya. Menurut Arsuka, ada tiga aspek fisis waktu yang tercerap indra manusia. Pertama, waktu selalu mengalir, tak terbendung. Kedua, waktu hanya bergerak asimetris, selalu mengarah ke depan. Dan ketiga, aliran waktu akhirnya menelan dan menghancurkan apa saja yang ditempuhnya.[13] Karena itu pula dalam sejarah kita kenal mumi yang tersimpan dalam piramida penuh labirin yang dibuat untuk menahan dan menyesatkan instruksi waktu yang tak kenal ampun. Juga para prajurit terakota yang dibangun untuk menjaga makam Shih Huangdi, setelah sang kaisar sia-sia melawan usia dengan ramuan herbal dan alkimia.
Di sinilah, kata “mengabadikan” dalam fotografi—menurut Seno Gumira Ajidarma—boleh kita tafsirkan berasal dari kecemasan manusia akan ketakutannya pada kematian, pada akhir dari segala sesuatu.
Kekuatan teknologi kamera adalah kemampuannya yang seolah mampu menghentikan waktu. Dalam citra yang diabadikan oleh kamera, waktu seperti tampak membeku untuk selama-lamanya, juga apa pun yang berada di dalamnya: diri kita, pakaian yang kita kenakan, ruangan, dan cahaya ketika itu.
Sehingga—mengutip Arsuka—terhamparlah kenyataan obyektif yang bisa menyedot. Seakan aliran waktu yang selalu asimestris, bergerak ke depan itu, dapat ditaklukkan oleh kamera. Pada selembar foto, waktu seakan bergerak mundur ke masa silam tatkala kita melihatnya pada masa kini seraya membalik sekaligus mempertegas hukum kausalitas. Kemampuan mengendalikan arah dan kecepatan gerak waktu—mempercepat atau memperlambatnya—adalah penaklukan kedua kamera atas waktu.[14] Dengan begitu, realitas dalam fotografi pun bisa diandaikan sebagai “sesuatu yang kelak retak dan kita membikinnya abadi”.[15] Dalam waktu yang fana, dalam temporalitas, realitas senantiasa berubah. Karena itu memotret adalah upaya untuk mengabadikan kenyataan yang selalu saja retak akibat kefanaan sang waktu. Seperti diungkapkan Seno Gumira Ajidarma:
Setiap kali kita memandang sebuah foto, tentu momen dalam foto itu telah menjadi masa lalu. Namun sebuah foto selalu kontemporer, selalu berada di masa kini, karena sebuah foto berada dalam kekinian pemandangnya. Yang retak itu kita bikin abadi. Keabadian itu bukan suatu kebekuan, melainkan fiksasi, kehidupan itu tidak ke mana-mana, selalu terhidupkan kembali oleh pemandangan kepada citra foto tersebut. [16]
Sebab itu pula, apa yang terekam hanyalah separuh ilusi. Waktu, kita tahu, tidaklah pernah sungguh-sungguh dibekukan dalam sebuah foto tetapi hanya tampak seperti itu. Sebab pada dasarnya citra fotografis adalah irisan tipis dari realitas yang begitu besar dan kompleks. Selembar foto mungkin saja menjadi representasi realitas, namun sebagai citra ia tetaplah bukan realitas itu sendiri.
Maka fotografi, kata Seno lagi, adalah kalacitra, gambaran waktu. Sebuah foto hanya berusaha menangkap waktu, mencoba membekukan dan mengekalkannya, namun yang tertangkap hanyalah citra dari sebuah pemandangan di depan kamera. Waktu (yang sesungguhnya) selalu berada di luar foto-foto itu. Bahkan foto-foto tak lain hanyalah prasangka naif dalam ketidakberdayaan kita menghadapi laju waktu yang merusak dan terus meninggalkan manusia, benda-benda, dan peristiwa.
Oleh sebab itu fotografi juga cenderung terancam oleh keterbatasan informasi, tak mampu memberikan informasi memadai atas apa yang terjadi sebelum dan sesudah pemotretan. Bahkan tak jarang, menyuguhkan informasi menyesatkan.
Menurut Roland Barthes: Citra fotografi pada dasarnya adalah analogon sempurna dari kenyataan, a message without a code yang secara literal memustahilkan deskripsi, tapi secara paradoksal menjadi dasar dari pembentukan pesan mengandung kode yang pembacaannya sangat tergantung pada sejarah dan pengetahuan orang yang memandangnya.[17] Itulah kenapa makna sebuah foto ditentukan oleh pemandangnya, ketika disebut bahwa bagi orang lain foto-foto itu tak berjiwa.[18]
Tak heran apabila ketiga lembar foto Johan dalam film The Photograph tidaklah dipahami Sita dan orang lain yang tak memahami konteks sejarahnya; tak berarti apa-apa selain hanya menerbitkan penasaran. Mereka hanyalah bermakna sebagai “salinan realitas” bagi diri Johan pribadi sebagai pemilik sekaligus pemotretnya. Di sinilah letak sakralitas foto lama itu.
Dalam tradisi Tionghoa, foto sebagai representasi (sebelum foto ada, digunakan lukisan atau nama) memang sudah menjadi hal umum. Foto-foto itu—sebagaimana yang juga diperlihatkan dalam The Photograph (berupa foto anak-istri dan orang tua Johan)—lazim diletakkan di altar sembahyang sebagai pengganti orang-orang yang sudah mati.
Ya, foto menjadi sakral lantaran konteks waktu bukan karena mengulur usia manusia, meskipun cuma seakan-seakan atau secara ilusif. Lantaran kemampuannya mengada dalam waktu. [19]
***
SITA dan Johan adalah dua orang berbeda generasi, berbeda etnis, dan berbeda jenis kelamin yang dipersatukan oleh nasib: kegetiran hidup yang muram.
Pada Sita, kegetiran itu berupa kemiskinan. Sebagai seorang single mom yang mesti meninggalkan desanya untuk bekerja jadi penyanyi karaoke dan pekerja seks di kota, ia bukan hanya mesti menghidupi anaknya tetapi juga mencari biaya pengobatan untuk neneknya yang sakit. Karena itu cita-citanya adalah bisa membawa anak dan neneknya hidup bersamanya. Namun itu sungguh tak mudah lantaran ia juga terjerat hutang pada seorang germo bernama Suroso (Lukman Sardi) yang dulu membawanya ke kota, yang setiap saat mengancamnya akan membeberkan kepada anak dan neneknya serta orang-orang desa apa pekerjaannya di kota:
“Habis kamu! Biar seluruh kampung tahu, pelacur macam apa ibunya si Yani itu! Nenek kamu mati kena serangan jantung, kalau dia tahu kamu melakukan apa saja di kota!”
Sita sendiri selalu mengaku kepada nenek dan anaknya, juga Pak Rohim tetangganya yang menjadi tempat ia menelepon Yani, bahwa dirinya punya “pekerjaan baik-baik” di kota sebagai buruh di pabrik garmen. Karena itu secara rutin ia pun mengirimkan foto-foto dirinya dalam pose ceria mengenakan pakaian-pakaian modis yang dipinjamnya dari Rossi yang berprofesi sebagai penjahit. Semua foto itu, termasuk yang sejak awal diperlihatkan kepada kita, merupakan foto-foto yang dijepret di Roemah Photo Tan (tempat ia mengenal Johan). Ya, sampai di sinilah kita jadi tahu betapa pentingnya foto-foto itu bagi diri Sita. Sebab lewat foto-foto itulah ia seakan bisa menampilkan “dirinya yang lain” yang ia ingin orang lain lihat, terutama anaknya.
Tetapi tidaklah dalam semua foto ia ternyata sanggup “berakting” ceria. Pada selembar dari dua potretnya yang dicuci oleh Johan suatu kali tampaklah wajah aslinya yang sedih dan murung dengan mata sembab. Toh, seperti kata Johan, itulah salah satu esensi fotografi: “Foto bisa jujur, bisa menipu. Terserah mau pajang yang mana, dan yang mana yang mau disimpan.” Sehingga dalam hal ini kita pun kembali mempertanyakan apakah potret benar-benar dapat diterima sebagai representasi realitas atau seyogianya ia hanya sebuah salinan palsu?
Tetapi kejujuran wajahnya yang terekam kamera Johan itulah yang kemudian membuat Sita mencoba menanggalkan topeng yang selama ini ia kenakan (demi melindungi nama baik diri dan keluarganya) dengan mengaku di depan cermin: “Namaku Sariah, bukan Sita.” Bahkan pada akhir film, akhirnya ia membakar semua “potret bertopeng keceriaan”-nya itu bersama foto-foto tua Johan yang sudah meninggal.
Johan sendiri memiliki kegetiran hidup yang berbeda, sebagaimana yang terungkap lapis demi lapis sepanjang alur film ini. Sebelum kenal lebih dekat dengan Johan, Sita seperti Rossi dan orang-orang lain, hanya memandangnya sebagai lelaki tua aneh yang cuma bicara seperlunya, tak mau bertatapan, dan setiap pagi melakukan rutinitas membakar dupa dengan sesajen buah-buahan di atas rel kereta. Selain suka mengintip aktivitas Johan membuka peti besarnya saban malam dari celah papan kamar lotengnya, Sita juga beberapa kali tanpa segan memakan apel sesajen lelaki itu.
Barulah setelah pada suatu hari fotografer itu menyelamatkannya dari tangan Suroso yang membuat hubungan mereka jadi lebih dekat oleh rasa empati masing-masing, perlahan Sita mulai mengenal sosok Johan lebih jauh dan berusaha memahami lelaki tua itu. Sampai akhirnya sedikit demi sedikit ia pun mengetahui rahasia hidup Johan dan apa makna ketiga lembar foto di altar sembahyang yang tersangkut erat pada masa silam si tukang foto.
Perbedaan antara Sita dan Johan yang cukup kentara adalah apabila Johan seolah terperangkap dalam foto-foto masa silam; foto-foto Sita adalah masa depan lebih baik, sekali pun itu masih berupa harapan temporary yang diwujudkan secara manipulatif lewat pose dibuat-buat. Dan hal ini dengan tegas pernah dinyatakan Sita di hadapan Johan yang sedang membakar dupa untuk arwah anak-istrinya: “Aku melihat ke depan, Pak. Bukan ke masa lalu seperti Bapak. Aku mesti jaga nenekku, mesti jaga anakku. Yang hidup yang penting, Pak. Bukan yang mati.”
Tetapi apakah hidup Johan memang hanya melulu tertoleh ke masa lalu? Ketiga lembar foto di atas altar memang mengisyaratkan demikian: sebuah sakralitas masa silam pada potongan-potongan kertas yang menguning secara emosional. Namun sebagaimana Sita, kita akhirnya tahu betapa keramatnya ketiga lembar foto itu untuk Johan, yang mengikat hidupnya penuh seluruh dalam aktivitas penghidupannya sebagai fotografer, tanpa ia berdaya menolak. Dalam perkara inilah, Johan seolah tak kunjung beranjak, tak mampu beranjak, bahkan tak ingin beranjak dari masa lalu yang tercetak di atas foto. Usianya kian menua, masa berganti, tetapi waktu tetap saja (seakan) membeku dalam momen-momen tertentu yang terus menghantuinya dengan rasa bersalah: “Saya tidak pernah melakukan apa pun dalam hidup saya yang berarti.”
Sehingga di sini—di luar tuntutan tradisi China untuk mengenang mereka yang sudah tak ada—kata Seno, “yang sakral bukan cuma potret saja, tetapi juga yang lama”.[20]
Meskipun orang-orang seperti Rossi sedikit-banyak sebetulnya sudah tahu peristiwa seperti apa yang dialami Johan sehingga ia dianggap aneh, tetapi semua itu barulah benar-benar terungkap pada penghujung film ketika lelaki tua itu akhirnya berkenan membagi “duka abadinya” kepada Sita dengan menunjukkan seluruh isi peti kayunya yang penuh rahasia: Istri dan anak laki-lakinya mati tertabrak kereta api pada hari ketika ia memutuskan untuk menolak meneruskan profesi fotografer yang turun-temurun dalam keluarganya demi mewujudkan cita-citanya bepergian jauh, kembali ke China. Sebuah cita-cita yang kandas baginya bukan saja karena sebagai generasi keempat dari keluarga tukang foto ia telah berjanji untuk menjadi seorang penerus, namun tampaknya juga karena sebagai seorang lelaki Tionghoa ia memikul kewajiban untuk melanjutkan xing (marga) keluarganya dengan menikah.
Karena itu foto rel tempat anak-istrinya mati tertabrak (atau menabrakan diri pada) kereta api yang ditumpanginya menuju pelabuhan pun berlaku seperti mesin waktu bagi Johan: kapan saja ia memandang foto itu, ia seperti kembali ke momen paling menyakitkan dalam hidupnya. Walaupun bukan hanya foto itu saja yang dimiliki oleh Johan, tetapi juga foto-foto lainnya yang lebih mengiriskan dan mengerikan—yang selama ini tersimpan rapat dalam kotak besi terkunci dalam peti kayunya—yakni foto-foto potongan tubuh anak-istrinya.
Saya yang memotret ini. Saya ada, pada hari itu. Pagi itu, saya beri tahu Selly saya akan meninggalkan mereka. Saya benci semua dalam hidup saya. Saya benci menjadi penerus warisan keluarga. Benci menjadi orang yang menurut. Dan saya katakan ke Selly kalau saya tidak cinta dia. Saya tidak pernah cinta dia. Saya katakan semuanya pada hari itu.
Sejak tragedi itulah ia tak pernah lagi naik kereta api, tak pernah pergi ke pelabuhan yang ia rindukan; yang mestinya menjadi tempat ia bertolak meninggalkan semua hal yang tak ia sukai pada masa muda. Setidaknya sampai suatu hari ketika Sita bersedia menemaninya naik kereta pergi ke pelabuhan untuk terakhir kali dalam hidupnya.
Di sinilah kemudian terungkap makna foto kedua: pemandangan pelabuhan tempat di mana “Kapal-kapal dari China ada di sini. Saya ingat saya hampir jatuh waktu turun”, sebuah foto yang menjadi muasal kegetiran hidupnya, membuat ia merasa menjadi lelaki durhaka yang lalai pada tanggungjawab terhadap keluarga. Dan dalam foto pelabuhan ini seakan-akan tersimpanlah masa depan yang telah lama menjadi masa silam: sebuah past future continuous.
Namun foto ketiga (kamera yang tegak di sisi kursi kosong dalam studio) semestinya merupakan hal dari masa silam yang belum selesai. Karena hingga menjelang akhir hayatnya (yang telah sakit-sakitan), Johan belum juga berhasil mendapatkan pengganti untuk meneruskan profesi warisan keluarganya. Kendati ia telah menyebarkan dan menempel selebaran di mana-mana, tetapi yang datang melamar jadi fotografer magang hanyalah orang-orang tak berkompeten yang bahkan tidak paham cara memotret. Bahkan satu-satunya orang (pecatan tentara) yang akhirnya ia terima, ternyata memiliki kelainan mata.
Apabila foto pertama Johan merupakan foto menangkap kematian (dan membalsemnya), foto ketiga ini seolah-olah hendak menunda kematian. Yang sekilas-pintas mirip dengan apa yang hendak diutarakan oleh Goenawan Mohamad lewat puisi “Buat H.J. dan PG”, yakni tatkala sebuah foto lama diajukan seorang lelaki tua kepada malaikat maut (yang hanya tertawa) untuk menunda ajalnya lantaran anaknya akan tiba terlambat dari rumahnya yang jauh. Sebuah foto yang demikian sakral karena di sanalah berada “tempat yang kita kenal” dengan “saat-saat yang tak pernah baka”. Namun kita pun mafhum bahwa tak seorang pun bisa menunda kedatangan malaikat maut. Dalam kuasa waktu, kematian adalah sebuah keniscayaan.
Terungkap juga di sini ternyata Johan tak memiliki selembar pun potret dirinya sendiri. Sebab dalam keyakinan dan tradisi keluarganya turun-temurun, hanyalah seorang fotografer pengganti yang boleh memotret dirinya. Syarat lainnya, pengganti itu haruslah laki-laki. Karena itu, walaupun Sita tampak tertarik pada dunia fotografi, ia tetap saja tak diijinkan Johan untuk menjepret dirinya (karena bisa sial) dan menyentuh kameranya. Hal ini berarti Johan akan mati sebagai lelaki gagal yang tak mampu memenuhi janji bahkan sumpahnya kepada leluhurnya untuk menemukan penerus profesi keluarga. Profesi yang dulu ia tolak sehingga mendatangkan kesialan berupa kematian tragis anak-istrinya. Dan ini merupakan kegagalan keduanya (yang bakal mengakibatkan arwahnya kelak tak akan bertemu dengan keluarganya di akhirat) setelah ia gagal memenuhi janjinya untuk menjadi anak yang baik, suami yang baik, dan ayah yang baik. Itu sebabnya Johan merasa “Belum siap untuk pergi. Belum selesai tugas-tugas saya. Belum sekarang.”
The Photograph bukanlah kisah atau kajian yang “menggugat fotografi” seperti cerpen Italo Calvino “Petualangan Seorang Fotografer” dan buku On Photograph karya Susan Sontag, maupun film yang mempertanyakannya seperti Blow-Up (1966) karya Michelangelo Antonioni yang sempat dibicarakan Seno. Namun demikian kita pun seakan menemukan adanya semacam keserupaan yang tak sama antara Johan dan karakter Antonio Paraggi. Di mana keduanya adalah orang yang berkonfrontasi dengan fotografi.
Hanya saja, jika Antonio yang bukan seorang fotografer memotret sembari terus-menerus meralat kesimpulannya perihal fotografi demi membangun polemik “antifotografi”-nya, Johan adalah orang yang menjalani profesi itu dalam keterpaksaan dan penyesalan. Tetapi begitu, toh keduanya tampak begitu sungguh-sungguh melakoninya. Hal ini terlihat misalnya dari rasa penasaran Sita setiapkali Johan mengambil foto para pelanggan yang tak cukup hanya dengan sekali jepret saja tetapi mesti berkali-kali agar menghasilkan foto terbaik, meskipun hal itu terkesan memboroskan negatif film. Sementara Antonio akhirnya menyadari bahwa memotret yang ia tinggalkan adalah jalan sesungguhnya yang secara tidak jelas telah dicarinya selama ini.
***
“APA yang mendorong kalian untuk memotong kontinum aktif hari ini menjadi bagian-bagian temporal, ketebalan dari satu detik?” tanya Antonio Paraggi dalam ceramahnya tentang fotografi kepada Bice dan Lydia yang memintanya menjepret adegan mereka sedang bermain bola di pantai. “Dengan melemparkan bola itu ke sana-kemari, kalian hidup saat ini, tetapi ketika pandangan pada bingkai disisipkan di antara tindakan kalian, bukan lagi kesenangan dalam permainan bola itu yang memotivasi kalian, melainkan keinginan untuk melihat diri kalian lagi di waktu mendatang, keinginan untuk menemukan kembali diri kalian dua puluh tahun kemudian,”[21] begitulah ia menarik analisa yang menegaskan kembali temporalitas foto sebagai representasi realitas termaknakan.
Sebuah foto tak ada untuk dan demi momen yang direkamnya saja, tetapi kepada siapa pun yang akan memandangnya di masa depan. Memotret itu mengambil dan menciptakan kembali sebuah dunia, yang hanya dimungkinkan oleh temporalitasnya, sebuah foto ada lantaran waktu membuatnya terus-menerus ada.[22] Apa yang direpresentasikan sebuah foto hanya pernah ada, tetapi tak akan pernah selesai digambarkan seperti apa.[23]
Pada Johan, masa lalu yang tragis seolah-olah terbekukan dalam foto rel kereta yang menelan nyawa anak-istrinya. Namun bukan foto itu saja yang menjadi representasi rasa sakit dan penyesalan kekalnya yang ia jadikan sebagai pengingat kesalahan dirinya yang tak termaafkan, melainkan juga foto pelabuhan yang mewakili cita-citanya yang tak pernah terwujudkan dan foto kamera dengan kursi kosong yang mewakili pengharapannya untuk menebus dosa pada leluhur. Ketiga foto itu tak bisa dipisahkan, tetapi membentuk semacam kausalitas berkesinambungan secara bolak-balik: tanpa foto pelabuhan tak bakal ada foto rel kematian, dan tanpa janji kepada luluhur (foto kamera dengan kursi kosong) maka tak perlu ada foto pelabuhan idaman dan foto rel tragedi.
Kita (yang menonton film ini) tahu bahwa pada suatu malam menjelang detik-detik penghabisan hidupnya, Johan yang akhirnya menyerah pada kegagalannya menemukan seorang lelaki penerus profesi keluarganya itu pun mengenakan setelan jas terbaiknya yang selama ini tersimpan dalam peti dan meminta Sita untuk memotretnya. Apakah dengan demikian berarti ia akhirnya merestui Sita sebagai penggantinya?
Sayangnya, sebelum Sita berhasil menarik tuas kamera tuanya, Johan sudah keburu menghembuskan nafas terakhirnya di kursi. Sehingga jika buyut-kakek-ayahnya dijepret oleh para penerus masing-masing dengan penuh kebanggaan di samping kamera, satu-satunya potret diri Johan tak lain adalah sebuah post mortem photography. Meskipun Sita juga memotret dirinya bersama mayat lelaki yang abu jenazahnya kemudian ia tebarkan ke laut itu sambil menangis.
Foto terbingkai dalam pigura bertuliskan nama Johan yang bertahun-tahun tergantung kosong di Roemah Photo Tan inilah yang ditampakkan kepada kita sebagai penutup film disertai bergantinya suara narator dari Sita ke Yani (yang tak pernah hadir secara langsung dalam film): “Saya Yani, dan ini cerita ibu saya. Potret ini membawa Ibu dan saya untuk terus menjalani kehidupan dengan sebaik-baiknya. Kehidupan yang tertangkap pada dinding-dinding kenangan.”
***
SAYA kira The Photograph bukan hanya film terbaik Indonesia tentang fotografi, yang mencoba mengantar kita untuk memahami kompleksitas manusia dalam memaknai eksistensinya dalam waktu, tetapi juga salah satu film terbaik dalam upaya memahami Tionghoa—khususnya Hoakiau di Indonesia. Setidaknya film ini memang dibuat dengan pengetahuan tentang Tionghoa (identitas dan nama-nama, detail budaya-tradisi, sejarah, serta bahasa-aksara) yang jauh lebih memadai. Bukan dengan pandangan stereotipterhadapnya seperti yang kerap kita temukan dalam segelintir film Indonesia.
Karena itu di luar perkara keampuhan akting dan jam terbang Lim Kay Tong, pilihan untuk memasang aktor Tionghoa-Singapura yang berdarah Tionghoa asli, besar dalam komunitas Tionghoa, dan tak fasih berbahasa Indonesia seperti segelintir kaum Hoakiau Indonesia di daerah tertentu[24] ini sebagai pemeran Johan Tanujaya, saya rasa juga merupakan sebuah pilihan yang tepat demi mendapatkan potret yang lebih utuh dan realis.
Kekurangan film ini menurut saya adalah ia tidak berusaha menggunakan narasi sosial-politik untuk membangun latarnya. Padahal peristiwa kembalinya ratusan ribu Hoakiau dari berbagai daerah di Indonesia ke China Daratan pada tahun 1960-an akibat pemberlakuan PP 10/1959[25] misalnya, bisa saja menjadi latar yang kuat untuk menopang alasan logis Johan muda ingin kembali ke China. Bukan hanya sekadar hasrat seorang muda hendak memberontak terhadap kewajibannya menjadi penerus warisan keluarga yang tampak rada remeh. PP 10/1959 adalah sebuah potret diskriminasi rasial terhadap Tionghoa di Indonesia yang tak boleh kita lupakan begitu saja untuk merajut masa depan Indonesia.[]
.
[1] Film ini saya tonton ulang melalui platformNetflix pada Agustus 2024; ditonton pertama kali 6 Juni 2008 di Kompleks Sarkema, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta dalam bedah film “The Photograph” oleh Aparatur Temu Wicara KMSI 2008.
[2]Hoakiau (Mandarin: Huaqiao) artinya Tionghoa Perantauan (Overseas Chinese). Istilah ini awalnya dipakai untuk merujuk semua orang Tionghoa (apa pun warga negaranya; totok, keturunan, maupun peranakan) yang bermukim di luar China Daratan, Taiwan, Hongkong, dan Makau. Namun pada penggunaan belakangan, ia lebih dimaknai sebagai orang Tionghoa totok (kelahiran Mainland) yang tinggal di luar negeri saja.
[9] Rumah besar yang dihadirkan sebagai Roemah Photo Tan dalam film ini tampak memiliki corak interior cukup khas, baik dari tata letak ruangan, bentuk dan ornamen jendela, altar sembahyang keluarga, maupun keberadaan bagian rumah yang bolong di tengah atau yang dalam bahasa Hakka lazim disebut tian-chiang (harfiah: Sumur Langit). Rumah-rumah Tionghoa seperti ini—baik beton, setengah beton, maupun rumah papan—masih cukup banyak bertebaran di Bangka-Belitung dan Kalimantan Barat, umumnya dengan asistektur campuran China dan Belanda-Hindia.
[10] Selain Dewi Kwan Im, Dewa Kwan Kong merupakan dewa China yang paling banyak dipuja oleh kaum Tionghoa di Nusantara (Indonesia, Malaysia, Singapura).
[11] Susan Sontag, On Photograph (New York: RosettaBooks LLC, 2005), 127-128.
[13] Nirwan Ahmad Arsuka, “Susan Sontag, dll.: Citra—Waktu” dalam https;//arsuka.wordpress.com/2008/09/25/sontag-citrawaktu/, diakses 03/09/2024. Esai ini juga dapat ditemukan dalam buku kumpulan esai Nirwan Ahmad Arsuka, Semesta Manusia (Yogyakarta: Ombak, 2018)
[15] Dipetik dari puisi Goenawan Mohamad, “Kwatrin tentang Sebuah Poci”. Lihat Goenawan Mohamad, Asmaradana (Jakarta: Grasindo, 1992), 51. Puisi ini juga dikutip dan diinterpretasi oleh Seno Gumira Ajidarma pada esainya “Kalacitra” dalam JB Kristanto dan Nirwan Ahmad Arsuka (ed.), Bentara – Esei-esei 2002 (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), 201.
[16] JB Kristanto dan Nirwan Ahmad Arsuka (ed.), 201.
[17] Seperti yang dikutip Nirwan Ahmad Arsuka dalam “Susan Sontag, dll.: Citra—Waktu”. Periksa Roland Barthes, “The Photographic Message” dalam Image Music Text, terj. Stephen Heath (New York: Hill and Wang, 1977), 8-9.
[24] Sampai kini masih terdapat orang Tionghoa di Bangka-Belitung yang tidak fasih berbicara dalam bahasa Indonesia. Beberapa anggota keluarga besar penulis esai ini contohnya.
[25] PP 10/1959 adalah sebuah peraturan berisi larangan bagi orang-orang asing untuk berdagang eceran di luar ibukota tingkat I dan tingkat II, yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1960. Akibat PP ini, puluhan ribu orang Tionghoa dipaksa meninggalkan tempat usaha dan kediamannya. Meskipun isi peraturan ini hanya melarang mereka “berdagang eceran” di luar ibukota provinsi dan kabupaten, tetapi dalam pelaksanaannya di lapangan oleh militer, mereka dipaksa meninggalkan kediaman. Termasuk orang-orang Tionghoa bukan pedagang dan yang telah tercatat sebagai WNI. Tindakan paling brutal terjadi di Jawa Barat di bawah pimpinan Kolonel Kosasih. Tentara melemparkan ratusan keluarga Tionghoa ke atas truk dan membawa mereka ke kamp. Di Cimahi, Juli 1960, seorang perempuan Tionghoa mati tertembak ketika ia bersama keluarganya mencoba bertahan, tidak mau meninggalkan rumah. Apa yang dilakukan Kosasih begitu provokatifnya sehingga Kedutaan Besar RRC di Jakarta menentangnya dengan meminta agar orang-orang Tionghoa tunduk kepada komando kedutaan dan tetap tinggal di rumah sampai mereka menemukan solusi. Selain menyampaikan protes melalui Duta Besar Huang Chen, pada 10 Desember 1959 Radio Peking kemudian mengumumkan seruan kepada Hoakiau yang memilih kewarganegaraan RRC untuk “kembali ke kehangatan Ibu Pertiwi” (Guiguo). Mereka yang tertarik kepada seruan tersebut segera didaftarkan oleh Kedubes RRC. Selain mengirimkan kapal Guanghua, Peking juga menyewa beberapa kapal perusahaan Belanda seperti Tjiwangi, Tjiluwah, dan Tjitjalengka untuk mengangkut para Hoakiau yang hendak kembali ke China. Pada awalnya bukan hanya mereka yang menjadi korban PP saja yang tertarik untuk pulang ke China, tetapi juga banyak pemuda dan pelajar menyambut seruan Radio Peking ini dengan gembira dan penuh semangat. Tercatat kurang-lebih 130.000-an Hoakiau meninggalkan Indonesia untuk bermukim kembali di China Daratan, termasuk mereka yang mengenakan kebaya encim. (dari berbagai sumber). Perihal PP 10/1959 ini antara lain bisa dibaca dalam Benny G. Setiono, Tionghoa dalam Pusaran Politik (Jakarta: TransMedia, 2008), 811-815.