Menu
Jika ditanya, tradisi atau budaya apa yang paling tepat untuk menyampaikan koreksi atas jalannya suatu kepemimpinan, menyampaikan nilai-nilai luhur suatu suku bangsa, petuah-petuah atau pelajaran hidup yang berbasis kesenian dan hiburan masyarakat Sasak? Tanpa ragu-ragu saya akan menjawab, “Pementasan wayang.” Sebab wayang merupakan salah satu hiburan yang mampu menjangkau nyaris seluruh lapisan masyarakat. Mulai kalangan anak-anak hingga dewasa. Baik golongan awam maupun golongan serius, seperti kalangan cerdik pandai maupun para bijak bestari.
Anak-anak misalnya. Mereka tidak hanya dapat menikmati suguhan gerak dari pendar bayangan wayang yang menari-nari dari balik kelir. Tetapi juga dapat menikmati sajian kisah-kisah kepahlawanan (wiracarita) yang bersifat heroik dari tokoh-tokoh pewayangan yang dipentaskan.
Sementara itu, kalangan remaja yang sedang dalam masa-masa “pubertas” menikmati sajian kisah roman picisan yang romantis, ironis atau bahkan dramatis dari lakon-lakon yang dimainkan. Tak terkecuali bagi masyarakat awam, mereka juga dapat menikmati banyolan atau lawakan segar yang ditampilkan oleh tokoh-tokoh lokal semisal Amaq Keseq, Alek Perjek, Beko, Amaq Baok, Inaq Itet dan lainnya.
Sedangkan kalangan cerdik pandai atau para bijak bestari yang sudah dapat berpikir mendalam dapat menjadikan pertunjukan wayang sebagai medium untuk memetik hikmah atau pelajaran hidup. Sebab, menonton pertunjukan wayang, bagi mereka, sejatinya bukan hanya sekadar menyaksikan gerak gerik bayangan wayang yang dimainkan oleh seorang dalang dari balik kelir belaka, seperti anak kecil tadi.
Bagi mereka (orang arif), menikmati pertunjukan wayang bak menyaksikan sketsa perjalanan hidup mereka sendiri. Mereka menyadari bahwa lakon-lakon dan atau bayangan wayang yang diproyeksikan itu, pada hakikatnya, merupakan pendar bayangan atau citraan dari pergulatan ruhani mereka (manusia) sendiri di atas panggung kehidupan. Maka tak ayal mereka dapat memaknai pertunjukan wayang sebagai bentuk refleksi, pengenalan jati diri, serta jalan kembali (pulang) menuju Tuhan.
Dengan pemaknaan yang cukup mendalam seperti inilah, menonton pertunjukkan wayang menjadi sebuah aktivitas yang amat luhur, berbudaya, dan memiliki nilai seni tinggi. Wayang tidak hanya dinilai sebagai hiburan semata, namun, wayang juga dianggap dapat menghadirkan perenungan yang mendasar dan mendalam, mengenai hakikat diri, dari mana, dan hendak kemana “diri” itu akan kembali pulang.
Ngaji Wayang Sasak
Berangkat dari pandangan di atas, maka tidak mengherankan, jika masyarakat Jawa, kerap mensejajarkan arti menonton wayang dengan istilah “Ngaji Wayang” dimana “ngaji” dimaknai sebagai, “ngangsu kawruh marang Kang Sawiji” kurang lebih berarti, “menggali pengetahuan menuju ke Tuhan Yang Maha Esa”. Sedangkan istilah “wayang” dimaknai sebagai “wewayanganing agesang” yang artinya, “pagelaran lakon kehidupan secara utuh”.
Jadi secara singkat istilah ngaji wayang dapat dimaknai sebagai bagian dari aktivitas manusia untuk mengenali jati diri kemanusiaanya dan secara bersamaan bertujuan untuk mengenal Tuhannya, dengan cara memetik setiap hikmah yang lahir dari sasmita (perlambang), yang ditampilkan oleh permainan gerak bayangan wayang.
Wayang Purwa di Jawa menggunakan pakem Epos Ramayana dan Mahabarata. Ini berbeda dengan Wayang Sasak yang menggunakan pakem atau babon dari Serat Menak. Tokoh utama Jayengrana dinilai sebagai perlambang manusia utama (Janma Utama) dalam wayang sasak. Ia adalah manusia yang selaras perkataan dan perbuatannya. Manusia yang mampu memenangkan banyak pertempuran dalam perjalanan hidupnya, terutama pertempuran melawan diri sendiri (baca: nafsu). Oleh sebab itu kendati Jayengrana merupakan seorang sultan atau raja (Sultan Kuparman Hamidil Alam), ia masih dapat tampil sederhana (tidak berlebihan) dalam segala hal, dan selalu mengutamakan kepentingan rakyatnya.
Tipologi kepemimpinan Jayengrana juga kerap dirujuk oleh sebagian penikmat Wayang Sasak sebagai tipe pemimpin yang paling ideal. Hingga pemberian legitimasi kepada Jayengrana ini, secara tidak langsung dapat berlaku sebagai koreksi atau kritik terhadap penguasa daerah, apabila sang penguasa bertindak dan berlaku menyimpang dari tugas kepemimpinan yang telah diamanatkan kepadanya.
Selain itu, pada wayang Jawa, panakawan merupakan pamomong bagi Pandawa atau Kurawa. Pamomong berarti pengasuh sekaligus pembimbing para kesatria, yang setia mendampingi mereka dari sejak kecil hingga dewasa. Contohnya seperti Semar, Petruk, Gareng dan Bagong di pihak Pandawa. Serta Togok di pihak Kurawa.
Pada Wayang Sasak, sosok panakawan, cenderung ‘agak’ sedikit berbeda. Panakawan dalam konteks Wayang Sasak adalah sahabat-sahabat terdekat Jayengrana (kira-kira usia mereka sebaya dengan Jayengrana), bukan pamomong atau pengasuh seperti dalam pewayangan Jawa. Mereka senantiasa mendampingi Jayengrana berjuang (berperang) untuk mengalahkan musuh-musuhnya.
Panakawan yang paling utama dalam Wayang Sasak adalah Umar Maya, Arya Maktal, Umar Madi, Saptanus, Taptanus dan Selandir (Alam Daur) di sisi Jayengrana, serta Pendeta Betaljemur di sisi Prabu Nusirwan. Tokoh-tokoh tersebut, boleh dibilang merupakan perlambang dari unsur-unsur terpenting yang melekat dalam diri seseorang, dan selalu menyertai perjalanan hidup manusia.
Umar Maya misalnya, putra dari Tembi Jumarim (seorang kelana dari India dan menetap di Makkah, setelah menikahi seorang putri dari Bani Hasyim) ini memiliki karakter cerdik, jenaka dan sangat kuat. Umar Maya boleh jadi merupakan unsur yang mewakili kecerdasan pikiran yang dapat menuntun manusia agar bisa mengatasi setiap persoalan dalam hidupnya dengan cara yang paling arif.
Kemudian ada Arya Maktal, merupakan tokoh Panakawan dalam Wayang Sasak yang digambarkan dengan sifat ketenangan dan memiliki wajah yang tampan (mirip dengan Jayengrana). Boleh jadi ia merupakan perlambang dari wibawa atau karisma manusia yang berjalan di atas kebenaran. Sebab, manusia sejati yang mampu menjernihkan pikirannya dan berjalan di atas kebenaran tidak perlu takut atau ragu dalam mengambil keputusan apapun.
Sementara Umar Madi adalah salah satu panakawan, yang digambarkan sebagai sosok yang berbadan besar, perut buncit dan memiliki sifat rakus dengan makanan. Kendati, ia dicitrakan negatif (sebagai perlambang hawa nafsu atau ambisi) akan tetapi nafsu tetap menjadi bagian inheren dari diri manusia. Nafsu atau ambisi manusia tidak boleh dimatikan, tetapi ia harus bisa dikendalikan dan diarahkan ke hal-hal yang positif. Dan upaya pengendalian nafsu (diri) manusia ini adalah seruan jihad paling besar, setidaknya dalam perspektif Islam.
Sama halnya dengan Selandir atau Alam Daur, tokoh Panakawan yang satu ini merupakan sosok yang digambarkan bertubuh besar, kuat dan gampang marah. Selandir boleh jadi merupakan prototipe manusia yang memiliki kekuatan besar dan gampang meluapkan emosinya atau amarahnya. Layaknya Umar Madi dengan sifat rakusnya, nafsu amarah juga mestinya dapat dikendalikan atau diolah menjadi semacam sikap tegas dalam mengambil setiap keputusan, berpendirian kuat dan jelas arah tujuan hidupnya.
Kemudian ada Saptanus dan Taptanus merupakan, kesatria kembar yang juga sangat setia kepada Jayengrana. Kesatria kembar ini boleh jadi merupakan simbol dari entitas yang saling berpasang-pasangan satu sama lain, dan simbol dari keharmonisan hidup. Simbol atau representasi dari dwi-tunggal, kesatuan gerak hati dan pikiran manusia, kesatuan lahir dan batin manusia, serta simbol keselarasan perbuatan manusia dengan kehendak alam.
Sementara itu, dari pihak yang berseberangan (antagonis) terdapat tokoh bernama Prabu Nusirwan (mertua Jayengrana) yang digambarkan dengan sosok raja yang paling berkuasa namun tidak memiliki pendirian yang kuat sehingga mudah dipengaruhi oleh bisikan-bisikan yang menyesatkan.
Saya membayangkan bahwa Prabu Nusirwan ini adalah gambaran dari hati manusia. Hati, boleh dibilang merupakan simbol dari raja yang paling berpengaruh dalam “kerajaan diri”.
Seperti sebuah dalil yang menyebutkan bahwa “baik buruknya seseorang ditentukan oleh hati nuraninya atau kalbunya”. Oleh sebab itu ia selalu disertai oleh dua potensi, yakni energi baik dan energi jahat (perusak) di sampingnya.
Energi baik itu dalam Wayang Sasak disimbolkan dengan Pendeta Betaljemur, Pendeta Betaljemur selalu diidentikkan sebagai sosok penasehat raja yang arif dan bijaksana. Ia selalu berusaha menuntun Prabu Nusirwan ke jalan yang benar dengan nasehat-nasehatnya. Sedangkan Patih Bestak/Baktak mewakili sisi sebaliknya. Ia selalu memberi saran-saran yang menjerumuskan Prabu Nusirwan ke arah kesesatan, seperti hasutan-hasutan liciknya kepada Prabu untuk mencelakakan Jayengrana.
Sayangnya, dalam cerita Pewayangan Sasak, Prabu Nusirwan digambarkan sebagai raja yang lebih cenderung mengikuti bisikan-bisikan dari Patih Bestak ketimbang Pendeta Betaljemur. Sehingga perjalanan hidupnya selalu dirundung kesengsaraan yang berkepanjangan. Kendati demikian, dari kisah Prabu Nusirwan inilah kita bisa mengambil pelajaran, bahwa kesengsaraan hidup yang dialami manusia terkadang disebabkan oleh kecenderungan manusia itu sendiri, yang suka menuruti bisikan hati yang kurang baik.
Akhirnya, lebih dari sekedar interpretasi singkat mengenai tokoh-tokoh pewayangan, dalam pementasan Wayang Sasak, sekiranya, dari tulisan ini juga kita dapat memahami bahwa, masyarakat Sasak telah mampu mengolah sistem nilai dan falsafah hidup mereka melalui simbolisasi karakter tokoh-tokoh pewayangan. Sehingga kehadiran tokoh-tokoh tersebut, bukan hanya memperkaya cerita, tetapi juga menjadi ruang reflektif untuk menilai dan memahami diri mereka sendiri. Dengan demikian, pementasan Wayang Sasak, tidak hanya bermanfaat sebagai tontonan belaka, tetapi juga sebagai tuntunan batin. Simbol spiritualitas untuk menyelami makna kehidupan, sekaligus sarana untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Wallahua’alam!
Bahan Bacaan:
Maula, M. (2019). Islam Berkebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Kaliopak.
Mulyono, I. (1978). Wayang Asal-Usul, Filsafat dan Masa Depannya. Jakarta: Gunung Agung .
Qodri, M. S. (2018). Konsep Kesempurnaan Tokoh Wong Menak dalam Wayang Sasak. Panggung, 317-330.
Wahid, A. (2021). Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan. Depok: Desantra.
Wijanarko. (1991). Selayang Pandang Wayang Menak. Solo: Amigo.
Sejak tahun 2021, tradisi malamang yang dipraktikkan oleh masyarakat Minangkabau, khususnya wilayah Padang Pariaman, Sumatra Barat telah diakui secara resmi sebagai warisan budaya tak benda Indonesia (WBTbI) dalam kategori adat istiadat masyarakat, ritus, dan perayaan-perayaan. Secara historis, tradisi malamang diyakini pertama kali diperkenalkan oleh Syekh Burhanuddin, seorang ulama sufi yang membawa Tarekat Syattariyah ke Sumatra Barat pada abad ke-17.
Secara teknis, malamang adalah proses memasak beras ketan menggunakan media bambu (lamang) yang dibakar di atas bara api. Namun, nilai dan makna dari tradisi ini jauh melampaui aspek kuliner semata. Malamang merupakan representasi konkrit dari harmoni antara budaya lokal Minangkabau, ajaran Islam sufistik, dan semangat kebersamaan komunitas. Ia adalah sebuah ritus sosial-keagamaan yang menggabungkan aspek spiritualitas, kolektivitas, dan identitas lokal dalam satu ruang ekspresi budaya yang hidup.
Hingga kini, malamang masih dilestarikan, terutama dalam komunitas tarekat Syattariyah Pariaman. Tradisi ini acap kali hadir dalam momen-momen religius seperti maulid nabi, peringatan haul Syekh Burhanuddin, upacara kematian, dan pada bulan-bulan khusus dalam kalender hijriah lokal seperti Rabiul Awal, Rabiul Akhir, Jumadil Awal, dan Sya’ban. Bahkan bulan-bulan tersebut mendapat sebutan baru kalangan masyarakat, yaitu sebagai “bulan lamang”.
Penting untuk dicatat bahwa dalam masyarakat Minangkabau, adat dan agama tidak dipandang sebagai dua entitas yang bertentangan, melainkan saling berkelindan dalam semangat adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Melalui kerangka ini, persiapan malamang bukan semata tradisi adat, tetapi juga bagian dari ekspresi religiusitas yang khas.
Ritus Komunal
Dalam karyanya The Ritual Process (1969), Victor Turner menegaskan bahwa ritual adalah mekanisme sosial dan kultural yang berfungsi sebagai sarana transformasi, bukan hanya ekspresi budaya yang bersifat repetitif. Menurutnya, ritual terdiri dari tiga tahap utama: separation (pemisahan), liminality (ambang transisi), dan reaggregation (penggabungan kembali). Selain itu, konsep communitas, yakni perasaan persaudaraan mendalam yang muncul ketika struktur sosial formal dilepaskan dalam suatu ruang ritual, juga menjadi sentral dalam analisis Turner.
Tahap pertama dari proses ritual menurut Victor Turner adalah separation, yaitu pemisahan ritus dari dunia sehari-hari atau profan sebagai syarat untuk memasuki wilayah sakral. Dalam konteks tradisi malamang, tahap ini diwujudkan melalui serangkaian kegiatan persiapan yang tak hanya bersifat teknis, tetapi juga mengandung makna simbolik dan sosial. Aktivitas seperti memotong dan membersihkan batang bambu, mencuci beras ketan, memarut kelapa, serta mengumpulkan dan menyusun kayu bakar dilakukan secara kolektif oleh seluruh anggota komunitas, baik laki-laki, perempuan, orang tua, pemuda, bahkan anak-anak, dalam sebuah mekanisme gotong royong yang mencerminkan nilai egalitarian dalam masyarakat Minangkabau.
Tempat berlangsungnya kegiatan persiapan ini juga sarat makna. Surau, rumah gadang, atau halaman rumah yang dipilih secara kolektif menjadi titik awal transformasi ruang sosial. Surau tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga menjadi pusat pendidikan, spiritualitas, dan budaya dalam masyarakat Minangkabau. Ketika persiapan malamang dilakukan di surau, ini menandakan bahwa kegiatan tersebut telah masuk dalam wilayah yang bukan semata-mata domestik, tetapi sudah memasuki ruang transenden yang diatur oleh norma dan nilai agama. Dalam istilah Emile Durkheim (1995), terjadi sacralization of space, yakni perubahan status ruang menjadi sakral karena fungsinya dalam aktivitas kolektif yang bermuatan spiritual.
Rangkaian kegiatan ini juga memiliki dimensi ritualisasi, sebagaimana dijelaskan oleh Catherine Bell (1997), yaitu proses di mana tindakan-tindakan biasa disusun dan ditata secara khusus untuk menghasilkan pengalaman simbolik yang berbeda dari aktivitas harian. Menurut Bell, ritualisasi bukan hanya tentang apa yang dilakukan, tetapi juga bagaimana dan di mana sesuatu dilakukan. Dalam hal ini, kegiatan seperti mencuci beras atau memotong bambu bukan hanya kegiatan praktis, melainkan tindakan yang sarat intensi simbolik, yakni mempersiapkan diri secara spiritual dan sosial untuk memasuki dunia sakral yang lebih tinggi.
Lebih lanjut, proses ini juga dapat dipahami sebagai bentuk penyucian kolektif (collective purification). Melalui keterlibatan aktif semua pihak, terjadi semacam disolusi sementara terhadap struktur sosial formal. Mereka yang dalam keseharian mungkin terpisah oleh status ekonomi, usia, atau pendidikan, kini menyatu dalam kegiatan yang sama dengan tujuan yang sama: mempersiapkan ritus keagamaan dan budaya. Hal ini sejalan dengan gagasan Turner bahwa tahap separation mengawali momen peralihan menuju status atau kondisi baru, baik secara individu maupun kolektif. Dalam konteks ini, komunitas tidak hanya bersiap memasak lamang, tetapi juga sedang membentuk ulang dirinya melalui interaksi sosial yang berakar pada nilai kebersamaan dan spiritualitas.
Dari sisi spiritualitas Islam lokal, terutama yang dipengaruhi oleh Tarekat Syattariyah, kegiatan ini juga mencerminkan kesiapan batin untuk menyambut momen-momen sakral seperti peringatan Maulid Nabi atau haul ulama. Dalam ajaran tasawuf, kesiapan batin (taharah qalb) seringkali dimulai dari kesiapan lahir, yakni membersihkan tubuh, pakaian, dan lingkungan. Oleh karena itu, proses mencuci beras dan membersihkan bambu juga dapat dibaca sebagai bentuk simbolik dari pembersihan diri, baik secara fisik maupun spiritual, sebelum memasuki fase liminality dalam ritual.
Tahap kedua, liminality, adalah momen inti dari pengalaman ritual. Pada tahap ini, aktivitas Tahap liminality merupakan inti dari seluruh proses ritual menurut Victor Turner. Ia menandai kondisi ambang, di mana individu atau kelompok berada di luar struktur sosial formal, dalam keadaan “tidak di sini dan tidak di sana”, yakni di antara keadaan lama yang ditinggalkan (profane) dan keadaan baru yang belum sepenuhnya dicapai (sacred). Dalam konteks malamang, liminality terjadi ketika proses memasak lamang sedang berlangsung. Inilah momen ketika dimensi simbolik, sosial, dan spiritual berpadu secara konkrit dalam tindakan kolektif yang intens.
Aktivitas memasak lamang bukan sekadar proses teknis memasukkan beras ketan bercampur santan ke dalam bambu dan membakarnya di atas bara. Ia adalah titik kulminasi dari transformasi sosial. Pada tahap ini, seluruh elemen masyarakat terlibat aktif dalam peran-peran yang tidak terikat oleh hirarki atau status sosial formal. Anak-anak membantu mengangkut kayu dan air, para pemuda menjaga api dan mengatur posisi bambu, sementara para ibu dan nenek menyiapkan bahan serta memberikan arahan, dan para lelaki dewasa memastikan nyala api stabil dan aman. Tidak ada pembagian kerja yang ketat berdasarkan kelas, usia, maupun gender. Semua orang berpartisipasi dalam suatu ruang kolaboratif yang cair, setara, dan terbuka.
Inilah yang oleh Turner disebut sebagai communitas: suatu bentuk kohesi sosial yang bersifat spontan, egaliter, dan tidak terstruktur secara hierarkis. Communitas muncul bukan karena norma formal atau sistem sosial yang mapan, melainkan dari pengalaman bersama yang mendalam dan transformatif.
Dalam suasana ini, masyarakat berada bersama dalam arti yang paling esensial yang tidak sekadar berdampingan secara fisik, tetapi juga menyatu dalam tujuan, kerja, dan nilai. Kesetaraan ini bukanlah kesetaraan simbolik semata, melainkan diwujudkan secara praktis dalam tindakan-tindakan kolektif yang penuh makna.
Ruang liminal dalam malamang juga merupakan arena di mana nilai-nilai spiritual dan budaya diwariskan secara hidup. Tradisi ini bukan hanya soal menghasilkan makanan khas, tetapi juga sarana pembelajaran intergenerasional. Anak-anak dan generasi muda tidak hanya menyaksikan, tetapi turut mengalami secara langsung bagaimana nilai gotong royong, kesabaran, ketelitian, dan kesucian niat diterapkan. Mereka belajar dari orang tua dan tokoh masyarakat bukan melalui kuliah atau ceramah, tetapi dari kebersamaan dalam kerja yang menyatu dengan makna sakral. Dengan demikian, tradisi ini berfungsi sebagai institusi pendidikan nonformal yang sangat kuat dalam mentransmisikan etika, spiritualitas, dan identitas budaya.
Momen liminal juga memungkinkan terjadinya refleksi kolektif. Saat menunggu lamang matang, seringkali terjadi percakapan santai di antara para peserta. Namun, percakapan ini seringkali membawa nilai-nilai moral, kisah-kisah leluhur, dan pengalaman spiritual. Dalam kerangka sufisme lokal, khususnya tradisi Tarekat Syattariyah yang mewarnai praktik malamang, di mana kegiatan ini tidak lepas dari penghayatan terhadap waktu sebagai momen spiritual (waqt), di mana setiap detik mengandung peluang untuk dzikrullah dan refleksi batin. Bahkan ada komunitas yang mengiringi kegiatan ini dengan bacaan shalawat, zikir bersama, atau pengajian singkat sambil menjaga api tetap menyala. Ini menunjukkan bahwa malamang bukan semata kerja fisik, melainkan bentuk amal ibadah kolektif yang menyatukan dunia jasmani dan rohani.
Dalam pandangan antropologi simbolik, momen liminality dalam tradisi malamang juga memperlihatkan multivokalitas simbolik. Lambang seperti api, bambu, dan ketan tidak hanya bermakna material, tetapi sarat dengan tafsir spiritual dan kultural. Api bisa dimaknai sebagai semangat dan purifikasi, bambu sebagai simbol keteguhan dan kesabaran, dan ketan sebagai lambang keterikatan serta kebersamaan (karena sifatnya yang lengket dan menyatu). Ketiganya bersatu dalam proses memasak lamang sebagai representasi dari perjuangan spiritual dan sosial masyarakat untuk menjaga kesinambungan tradisi dan iman mereka.
Tak kalah penting, liminality dalam malamang membuka ruang rekonstruksi identitas kolektif. Identitas yang dibangun di sini bukan identitas eksklusif berbasis primordialisme, melainkan identitas inklusif yang menekankan peran aktif individu dalam proses sosial-keagamaan. Seseorang dianggap bagian dari komunitas bukan karena garis keturunan atau status sosial, tetapi karena keterlibatan dan kontribusinya dalam praktik budaya dan spiritual. Dalam dunia yang makin terdiferensiasi dan terfragmentasi oleh individualisme modern, malamang menawarkan alternatif model identitas yang partisipatif, kontekstual, dan berakar pada pengalaman bersama.
Tahap ketiga dalam kerangka ritual menurut Victor Turner adalah reaggregation, atau reintegrasi, yaitu fase di mana individu atau kelompok yang telah melalui pengalaman transformatif dalam ruang liminal kembali masuk ke dalam struktur sosial, tetapi dengan identitas dan nilai-nilai yang diperbarui. Dalam konteks tradisi malamang, fase ini dimulai ketika lamang yang telah matang diangkat dari bara api, didinginkan sebentar, dan baru kemudian dibagikan kepada masyarakat, baik kepada keluarga, tetangga, jamaah tarekat Syattariyah, hingga tamu-tamu yang hadir.
Makna Simbolik
Pembagian lamang ini memiliki makna simbolik yang dalam. Secara kasatmata, ia mungkin tampak hanya sebagai bentuk kedermawanan atau sedekah (sadaqah). Namun dalam bingkai ritual dan kultural, tindakan ini merepresentasikan proses ritual re-entry sebagaimana dijelaskan oleh Ronald Grimes (2014), yakni kembalinya individu ke dalam tatanan sosial dengan membawa pengalaman spiritual, emosional, dan sosial yang baru. Proses ini bukan hanya menandai berakhirnya ritus, tetapi lebih penting lagi, menegaskan peran individu sebagai bagian integral dari komunitas yang kini telah diperkuat melalui pengalaman kebersamaan yang intens.
Lamang yang dibagikan bukan sekadar makanan, melainkan simbol dari nilai-nilai yang telah diperkuat selama proses ritual: kebersamaan, ketulusan, pengabdian, serta kesalehan kolektif. Dalam setiap potong lamang terkandung makna hasil kerja sama, pengorbanan waktu dan tenaga, serta doa-doa yang terpanjat selama proses pembuatannya. Dengan menerima lamang, setiap anggota komunitas menjadi bagian dari lingkaran makna tersebut. Inilah yang memperkuat kohesi sosial dan memperbarui solidaritas kultural.
Lebih jauh lagi, pembagian lamang juga mengandung makna redistribusi sosial yang inklusif. Dalam masyarakat Minangkabau, di mana prinsip gotong royong dan musyawarah sangat dijunjung tinggi, malamang berfungsi sebagai medium aktualisasi nilai-nilai adat tersebut. Tidak ada yang dipinggirkan dalam proses ini. Bahkan masyarakat yang tidak terlibat langsung pun tetap mendapatkan bagian, sebagai wujud dari prinsip inklusivitas budaya dan spiritual. Ini mencerminkan semangat “berbagi berkah” yang tidak terbatas pada garis keterlibatan praktis, tetapi berbasis pada nilai kesamaan derajat sebagai sesama insan dalam satu komunitas.
Dalam konteks tarekat Syattariyah, yang menjadi akar spiritual dari praktik malamang, reaggregation juga menandai integrasi kembali individu dalam jalan spiritual (thariqah) dengan membawa semangat tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) yang lebih tinggi.
Lamang yang dibagikan bukan hanya makanan jasmani, tetapi juga simbol keberhasilan dalam menjaga adab, kesabaran, dan keikhlasan selama proses bersama. Dengan demikian, reaggregation juga menjadi bentuk afirmasi bahwa nilai-nilai sufistik telah diinternalisasi dalam bentuk praktik sosial.
Tahap reaggregation juga berfungsi sebagai momen reproduksi budaya. Melalui tindakan pembagian lamang, nilai-nilai budaya dan spiritual diwariskan dari generasi ke generasi. Anak-anak yang melihat proses ini secara langsung belajar bahwa dalam komunitas mereka, kehidupan bukan tentang mengambil, tetapi tentang memberi; bukan tentang prestise, tetapi tentang partisipasi; bukan tentang individualisme, tetapi tentang keterikatan sosial dan spiritual. Dengan kata lain, malamang dalam tahap ini memainkan peran pedagogis yang kuat dalam membentuk karakter kolektif dan etika sosial komunitas.
Di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang seringkali mendorong disintegrasi nilai-nilai tradisional, malamang tampil sebagai bentuk resistensi budaya yang cerdas. Ia tidak menolak modernitas secara membabi buta, tetapi menawarkan model alternatif bagi kehidupan sosial, yakni model yang berbasis pada spiritualitas, kebersamaan, dan kesadaran historis. Reaggregation dalam hal ini bukan hanya reintegrasi sosial biasa, melainkan juga pembaruan makna dalam struktur sosial yang sedang terus berubah. Tradisi ini menjadi ruang di mana identitas kolektif Minangkabau-Islami dipertegas ulang dengan cara yang hidup dan dinamis.
Tak kalah penting, pembagian lamang juga menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini. Ia menghubungkan nilai-nilai yang diwariskan oleh ulama-ulama terdahulu seperti Syekh Burhanuddin dengan kebutuhan sosial masa kini. Oleh karena itu, tradisi ini tidak hanya mempertahankan warisan, tetapi juga memodernisasinya secara kontekstual. Dalam istilah Turner, reaggregation bukan hanya mengembalikan individu ke struktur lama, tetapi memasukkannya ke dalam struktur baru yang lebih kaya secara pengalaman dan makna.
Di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang seringkali membawa homogenisasi budaya, malamang berfungsi sebagai benteng ketahanan budaya dan spiritual. Ia menghidupkan kembali kesadaran akan pentingnya akar budaya dan spiritualitas lokal sebagai fondasi identitas kolektif. Selain itu, malamang juga menunjukkan bahwa Islam di Nusantara, khususnya di Minangkabau, tumbuh dalam semangat inklusivitas dan kearifan lokal yang tinggi.Praktik seperti ini perlu didokumentasikan, diteliti, dan difasilitasi agar tetap lestari. Pemerintah daerah, lembaga pendidikan, dan komunitas adat memiliki tanggung jawab besar untuk merawat tradisi ini bukan sebagai warisan mati, tetapi sebagai “warisan hidup” yang terus bertransformasi dan relevan dalam konteks zaman. Penelitian lintas disiplin yang menggabungkan antropologi, studi agama, sosiologi budaya, dan pendidikan Islam juga sangat penting untuk menggali lebih dalam potensi transformatif dari tradisi seperti malamang.
Dengan demikian, dalam hemat penulis tradisi malamang bukan sekadar ritual memasak atau warisan kuliner tradisional. Ia adalah bentuk ritus transformatif yang menjembatani masa lalu dan masa kini, individu dan komunitas, dunia profan dan sakral. Dalam kerangka Victor Turner, malamang mencerminkan esensi dari ritual yang tidak hanya memperingati, tetapi juga menghidupkan nilai-nilai spiritual, sosial, dan budaya secara kolektif. Tradisi ini adalah bukti nyata bahwa di balik aktivitas yang tampak sederhana, tersimpan kekuatan besar dalam membentuk kohesi sosial, menginternalisasi nilai-nilai agama, dan melestarikan identitas budaya secara berkelanjutan.
Sanggar Lentera—sebuah komunitas perupa asal Gresik yang berdiri sejak tahun 1980—menyelenggarakan pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi di Gedung DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Kabupaten Gresik pada 14-16 Mei 2025. Tajuk Lentera Bersinar Lagi mengesankan kehadiran kembali Sanggar Lentera yang lama tidak berpameran sejak terakhir kali menyelenggarakan Pameran Lukisan 3 Kota (Yogyakarta, Gresik, dan Surabaya) pada tahun 1994.
Para anggota Sanggar Lentera yang memamerkan lukisannya, yaitu: Kris Adji AW, M. Syarifuddin, Achmad Feri, M. Mas’udi Khoiri, Yayak Achmad Hidayat, Achmad Safi’i, Didik Hadi, Erfi Sulistyanto, Achmad Husaeni, dan Riyanto.
Meski tiga puluh satu tahun (dari tahun 1994 hingga tahun 2025) tidak menyelenggarakan pameran, para anggota Sanggar Lentera tetap eksis bekarya atas nama sendiri atau bergabung dengan komunitas lain. Akhirnya, tahun 2025, para anggota—setelah “bertualang”—kembali ke Sanggar Lentera lewat pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi.
Begitulah, aku membaca perihal para anggota Sanggar Lentera dalam tulisan Kris Adji AW dalam katalog Lentera Bersinar Lagi. Begini nukilan tulisannya: “Jika Sanggar Lentera pada tahun 2025 ini kembali mewarnai dunia seni rupa di Indonesia, sesungguhnya ini hanya atas nama komunitas saja. Toh selama ini para pribadinya tak pernah berhenti bekarya dan berpameran di pelbagai kota Indonesia. Bahkan bermukim di kota-kota luar Gresik”.

Pilihan Sanggar Lentera menyelenggarakan pameran lukisan di gedung DPRD Kabupaten Gresik bikin aku merasa ganjil. Maksud rasa ganjil bukan hal negatif. Tapi, rasa ganjil tersebab kewajaranku pada tempat pameran lukisan—khususnya di Kabupaten Gresik—yang terbiasa diselenggarakan di kafe, mall, gedung serba guna milik perusahaan, atau gedung serba guna milik pemerintah daerah. Rasa ganjil memperluas pengetahuanku, bahwa penyelenggaraan pameran lukisan tidak membatasi tempat di mana saja, termasuk gedung DPRD Kabupaten Gresik sebagai ruang alternatif bagi seniman untuk berekspresi.
Lewat tulisan Muhammad Syahrul Munir (Ketua DPRD Kabupaten Gresik) dalam katalog Lentera Bersinar Lagi, aku mengetahui alasan Sanggar Lentera menyelenggarakan pameran lukisan di gedung DPRD Kabupaten Gresik. Begini nukilan tulisannya: “Gedung DPRD sebagai rumah rakyat sudah sepatutnya menjadi ruang ekspresi dan dialog bagi semua elemen masyarakat, termasuk para seniman. Inilah bentuk keterbukaan kami dalam mendukung pengembangan kesenian dan kebudayaan lokal secara inklusif dan berkelanjutan. Lebih dari itu, kami juga mengajak seluruh elemen masyarakat, khususnya komunitas seni dan budaya, untuk terus mengawal dan memberi masukan terhadap kebijakan daerah, terutama dalam implementasi Peraturan Daerah no. 9 tahun 2019 tentang Pemajuan Kebudayaan Daerah….”
Pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi tidak menampilkan tema khusus. Aku menikmati lukisan yang menampilkan interaksi antar manusia. Atau, aku menikmati lukisan yang menampilkan permainan unsur rupa (titik, garis, bidang, hingga warna) yang menghasilkan emosi. Atau, aku menikmati kecenderungan figur hewan (ayam jago, merpati, bebek, ikan tawar, ikan laut, penyu, kuda, dan naga) pada lukisan yang dipamerkan, seperti: Kris Adji AW (Jago 1 dan Jago 2), M. Syarifuddin (Harmoni Air dan Ksatria dan 9 Naga), Achmad Safi’I (Keluarga Kecil Bahagia dan Berangkat Lelang), hingga Erfi Sulistyanto (Momong dan Dunia Bawah Air).
Pengalaman Berkunjung
Gedung DPRD Kabupaten Gresik (selanjutnya aku tulis: rumah rakyat) adalah bangunan berarsitektur kolonial Belanda. Cirinya: beberapa pilar lingkaran di serambi, dinding bangunan yang tebal, serta desain yang simetri. Rumah rakyat tidak terlalu antik, justru megah. Kemegahannya terlihat pada penggunaan panel kayu dan cermin untuk menutup dinding, serta penggunaan bahan marmer untuk lantai. Lain itu, pada serambi dan lorong di rumah rakyat, terpajang potret-potret yang menghiasi dinding. Potret-potret itu berfungsi menambah suasana, serta mengingat sejarah rumah rakyat.
Di rumah rakyat, pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi menggunakan serambi dan lorong. Sebagai tempat berpameran, para anggota Sanggar Lentera tidak menstrerilkan potret-potret itu dari dua ruang tersebut (serambi dan lorong). Ketidaksterilan dari potret-potret itu berakibat dua ruang tersebut mengalami polusi visual. Maksud polusi visual adalah wilayah yang tercemar oleh benda yang tidak diinginkan dan mengganggu keindahan selama berlangsungnya pameran. Secara tidak sadar, selama berlangsungnya pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi, potret-potret itu menjadi polusi visual.
Barangkali para anggota Sanggar Lentera tidak menstrerilkan potret-potret itu karena menggunakan alat penyanggah. Memang alat penyanggah menjadi solusi terbaik untuk mengganti pemajangan lukisan-lukisan pada dinding di dua ruang tersebut. Tapi, polusi visual menimbulkan masalah. Sebab, potret-potret itu—mau tidak mau—ikut terlibat sebagai bagian pameran. Jadi, di dua ruang tersebut, potret-potret itu sama nilainya dengan lukisan-lukisan itu. Bagi pengunjung yang sedang menikmati pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi, keberadaan potret-potret itu dapat mengecohkan pandangan.
Aku turut terpapar polusi visual pada pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi. Paparan polusi visual bikin mataku lebih dulu mengarah ke potret-potret itu daripada lukisan-lukisan itu. Meski begitu, berkat terpapar polusi visual, pada sebuah momen di serambi, aku tidak sengaja mendapatkan pengalaman baru, yaitu: dua potret yang ada dan dua lukisan yang dipajang saling berikatan. Aku tersadar tidak perlu membedakan potret-potret itu dengan lukisan-lukisan itu. Aku harus menganggap polusi visual tidak ada di dua ruang tersebut. Biarkan segala visual saling menyempal dan menyempil di mataku.
Serambi
Di serambi bagian kanan atas dinding, aku memandang potret Giri Kedaton Gresik dan potret Dermaga Nelayan Masyarakat Lumpur-Gresik. Dua potret tersebut merupakan karya Syafiq Noer, juga termasuk potret-potret yang tidak disterilkan para anggota Sanggar Lentera. Pada potret Giri Kedaton Gresik, aku mengenal situs bersejarah yang berkaitan dengan kerajaan Islam dan pesantren di Gresik. Aku pernah beberapa kali ke sana (Giri Kedaton) bersama kawan. Sedangkan, pada potret Dermaga Nelayan Masyarakat Lumpur-Gresik, aku mengetahui rekaman tempat di Kelurahan Lumpur. Aku mengetahui karena pernah tinggal di Kelurahan Lumpur pada masa kecil.
Di depan bawah potret Giri Kedaton Gresik dan potret Dermaga Nelayan Masyarakat Lumpur-Gresik, berdiri dua alat penyanggah yang masing-masingnya memajang lukisan Ksatria dan 9 Naga karya Muhammad Syarifuddin dan lukisan Keluarga Kecil Bahagia karya Achmad Safi’i. Aku memandang dua lukisan tersebut. Lalu, aku tidak sengaja membagi pandangan terhadap dua lukisan dan dua potret tersebut. Lama-kelamaan, aku merasa dua potret dan dua lukisan tersebut saling berikatan. Benang merah ikatan itu hanyalah citra yang aku rasakan, seperti semangat perjuangan (potret Giri Kedaton Gresik terikat lukisan Ksatria dan 9 Naga) serta ingatan asal mula (potret Dermaga Nelayan Masyarakat Lumpur-Gresik terikat lukisan Keluarga Kecil Bahagia).

Pada lukisan Ksatria dan 9 Naga, aku lebih memperhatikan figur laki-laki berpakaian putih dan hijau, dengan tangan kanan mengangkat keris dan tangan kiri memegang tali kekang, sedang menunggangi kuda putih. Aku meyakini bahwa figur laki-laki yang berpakaian putih dan hijau adalah ksatria. Lalu, kuda yang mengangkat sepasang kaki depannya—meminjam simbol patung kuda—menandakan ksatria telah gugur di medan perang. Aku bertanya sendiri: “Medan perang macam apa yang membuat ksatria gugur?”
Kalau menengok di bawah kuda adalah kepulauan Indonesia, aku mengimajinasikan medan perang berada di daerah Giri (Gresik). Kemunculan imajinasiku perihal daerah Giri akibat memandang potret Giri Kedaton Gresik. Juga, kecocokan imajinasiku terhadap ciri berpakaian ksatria yang begitu mirip dengan model seorang tokoh di poster Walisongo. Setelah memandang lukisan Ksatria dan 9 Naga, aku turut mengimajinasikan apa yang tampak pada potret Giri Kedaton Gresik sebagai situs medan perang.
Lalu, siapa musuhnya? Bisa sembilan naga—atau aku menganggap naga berkepala sembilan—yang mengitari ksatria. Aku beranggapan naga berkepala sembilan karena semua figur naga pada lukisan Ksatria dan 9 Naga tidak utuh memperlihatkan badannya. Jadi, aku menunjuk Hydra (naga berkepala banyak dalam mitologi Yunani) daripada Shenlong (dewa naga dalam mitologi Cina). Apalagi Hydra sangat destruktif karena memiliki racun yang mematikan. Sedangkan Shenlong berkemampuan mengontrol alam.
Meski masing-masing kepala naga terlihat garang dan hidup (tidak sekarat), aku menangkap suasana kemenangan. Tangkapan itu merupakan hasil tafsir bebas terhadap gambaran sinar matahari—membuat awan di sekelilingnya berkilauan—di bagian atas lukisan Ksatria dan 9 Naga. Padahal ksatria telah gugur di medan perang. Tersisa kepala-kepala Hydra yang mengeliling kepulauan Indonesia. Atau, aku menduga, Hydra masih harus hidup agar selalu memunculkan ksatria-ksatria baru meski gugur melulu.

Pada lukisan Keluarga Kecil Bahagia, aku memperhatikan figur tiga makhluk yang hidup pada tiga dunia. Pertama, dunia laut dengan makhluk ikan, penyu, dan koral. Kedua, dunia darat dengan makhluk tiga manusia (sepasang suami dan istri yang menggendong anak). Ketiga, dunia langit dengan makhluk tiga merpati. Entah kenapa figur tiga makhluk yang hidup pada tiga dunia selaras dengan penampakan potret Dermaga Nelayan Masyarakat Lumpur-Gresik, yaitu: langit, laut, dan sepasang nelayan.
Citra yang aku tangkap pada lukisan Keluarga Kecil Bahagia sangat religius, sangat tegak lurus di jalan Tuhan. Sebab, suami dan anak mengenakan peci dan istri mengenakan jilbab. Pakaian mereka (suami, ibu, dan anak) sangat sopan. Kemudian aku tersadar bahwa kaki anak berbentuk ekor ikan. Akhirnya, aku menduga anak yang digendong ibu bukanlah anak sebenarnya. Tapi, anak dalam pengertian harapan bagi suami dan istri. Harapan itu diperkuat oleh tiga merpati di atas mereka (suami dan istri) yang bisa menyimbolkan kesetiaan dan cinta.
Jadi, tafsir bebasku terhadap lukisan Keluarga Kecil Bahagia adalah kesabaran suami dan istri untuk mendapatkan anak. Aku menganggap suami dan istri begitu sabar, tanpa pernah goyah dan tetap enggan bersedih. Padahal suami dan istri berada di dasar laut. Atau, jangan-jangan, suami dan istri telah aman karena tirai misteri terbuka di kedalaman laut. Sebab itu, suami dan istri dikelilingi ikan, penyu, dan koral. Apalagi makhluk laut itu (ikan, penyu, dan koral) mengilaukan warnanya masing-masing.
Pada bagian atas lukisan Keluarga Kecil Bahagia, tampak pantulan cahaya di permukaan air. Aku menganggap pantulan cahaya di permukaan air adalah simbol perlindungan Tuhan. Simbol itu makin membulat setelah aku menelisik detail pandangan suami ke arah wajah ibu, lalu pandangan ibu mengarah ke arah wajah anak. Sedangkan anak membalas pandangan ke arah wajah ibu. Detail tersebut menyiratkan hubungan kasih sayang. Dan, aku menyukai mereka yang sama-sama tersenyum.

Setelah lukisan Keluarga Kecil Bahagia, aku kembali memandang potret Dermaga Nelayan Masyarakat Lumpur-Gresik. Tiba-tiba aku mengingat masa kecil di dekat tempat yang direkam. Waktu itu, siang di tepi pantai. Aku, sepupu, dan paman sama-sama duduk menghadap laut. Beberapa menit kemudian, paman mengeluarkan gunting kuku, lalu satu per satu memotong kuku jariku dan kuku jari sepupu. Pada bakda asar, kami (aku, sepupu, dan paman) sudah berada di teras rumah emak (ibunya ibuku).
Lalu, aku kembali lagi ke lukisan Keluarga Kecil Bahagia setelah memandang potret Dermaga Nelayan Masyarakat Lumpur-Gresik. Memang ingatan masa kecilku sangat berbeda dengan apa yang tampak pada lukisan Keluarga Kecil Bahagia. Sebab, ingatan masa kecilku tetaplah sebatas masa lalu, sedangkan ayah dan ibu (figur dalam lukisan Keluarga Kecil Bahagia) mengharapkan anak dengan penuh kebahagiaan. Meski begitu, muncul sedikit kesamaannya, yaitu: kehangatan yang memendar di keluarga.
Lorong
Di lorong, potret-potret yang tidak disterilkan oleh para anggota Sanggar Lentera adalah potret-potret Ketua DPRD Kabupaten Gresik dari pelbagai periode. Potret-potret itu (potret-potret Ketua DPRD Kabupaten Gresik) dipajang di dinding bagian atas (warna dasar putih). Barangkali, potret-potret itu memang sengaja dipajang di lorong. Sebab, lorong menghubungkan ke ruang Ketua DPRD Kabupaten Gresik, beberapa Ruang Wakil Ketua DPRD Kabupaten Gresik, resepsionis, hingga ruang rapat.
Masing-masing alat penyanggah telah memajang lukisan-lukisan karya para anggota Sanggar Lentera di depan dinding lorong. Ketika masuk di lorong, aku menganggap pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi tidak hanya lukisan-lukisan itu, juga termasuk potret-potret itu. Jadi, secara tidak langsung, aku menikmati pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi dengan dua cara pandang: pertama, pandangan sejajar ke arah lukisan-lukisan itu; kedua, pandangan mendongak ke potret-potret itu.

Potret-potret itu memiliki nama masing-masing. Sayang, ukuran tulisan yang kecil dan pemajangan potret-potret itu terlalu tinggi membuat pandanganku kesusahan untuk membaca namanya. Jadi, aku lebih fokus memandang setiap wajah pada potret-potret itu. Aku sempat berpikir di ruang lorong, betapa banyak jumlah potret itu, yang bisa sebagai penanda betapa panjang jalan tugas DPRD Kabupaten Gresik. Apalagi tugas DPRD Kabupaten Gresik begitu penting, yaitu: legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Aku merasa aneh, setelah memandang potret-potret itu, lalu berpindah pandangan ke beberapa lukisan yang menarasikan profesi. Keanehan akibat tercipta jarak ketika aku melakukan dua cara pandang terhadap lukisan-lukisan itu dan potret-potret itu. Jadi, potret-potret itu seolah tinggal di langit, sedangkan lukisan-lukisan itu seolah tinggal di bumi. Aku mengimajinasikan bahwa potret-potret itu menerima suara yang diterbangkan dari bumi. Tapi, aku tidak yakin apakah potret-potret itu mengenal siapa pemilik wajah yang menerbangkan suara.
Karena langit terlalu tinggi, potret-potret itu harus menengok ke bawah bumi. Kalau sudah menengok, potret-potret itu dapat mengenal dua perempuan sedang bekerja. Perempuan pertama, duduk menggarap songkok. Perempuan kedua, berkeliling membopong bakul rujak di kepalanya. Dan, dua perempuan itu diabadikan di lukisan Kampung Songkok Kemuteran karya Didik S. Hadi (perempuan pertama) dan lukisan Bok Tingen (Jual Rujak Keliling) karya Achmad Husaeni (perempuan kedua).
Berikutnya, dari bumi, potret-potret itu dapat mengetahui keberkahan ikan bandeng. Keberkahan ikan bandeng yang menggerakkan orang-orang untuk bertambak. Hasil tambak itu pun menjadi perayaan orang-orang untuk melelang ikan bandeng terbesar setiap akhir bulan Ramadan. Pada hari raya Idul Fitri, orang-orang memakan olahan ikan bandeng. Keberkahan ikan bandeng diabadikan di lukisan Teko Buri (Usai Kerja Mirik Tambak) karya Achmad Husaeni dan lukisan Berangkat Lelang karya Achmad Safi’i.
Imajinasiku sebatas imajinasi. Sehingga potret-potret itu yang ditempatkan di atas dinding dan lukisan-lukisan itu yang ditempatkan di bawah bukanlah persoalan keberjarakan antara lembaga pemerintah (tidak hanya DPRD Kabupaten Gresik) dengan masyarakat. Toh, lembaga pemerintah memiliki peran penting dalam menyelenggarakan pemerintahan, menjalankan kebijakan publik, serta mencapai tujuan negara. Juga, lewat masyarakat pula, terlahir para pemimpin untuk mengisi lembaga pemerintah.

Terakhir, aku memandang lukisan Damar Kurung 4.0 karya Yayak Achmad Hidayat. Aku menangkap figur orang-orang: melambaikan tangan, menyapa, duduk, naik vespa, naik skuter, berkumpul, hingga berbicara. Aku merasakan keguyuban. Seperti keguyuban para anggota Sanggar Lentera setelah lama tidak pameran bersama, keguyuban para pengunjung yang menikmati pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi, serta keguyuban rumah rakyat sebagai ruang alternatif bagi seniman untuk berekspresi. (*)
Secara khusus saya tidak pernah diajar oleh guru yang kami banggakan itu, Prof. Dr. Kuntowijoyo, MA. Mulanya, saya mengenalnya secara lamat-lamat sewaktu Aliyah dulu melalui bukunya, Identitas Politik Umat Islam. Sebagai mahasiswa Sejarah ndadakan, karena sebelumnya saya menekuni pelajaran-pelajaran agama langsung dalam bahasa arabnya, nama Kuntowijoyo lebih saya kenal sebagai budayawan, tepatnya pemikir Islam dan sastrawan ketimbang sejarawan.
Tanggal 19 September 2000, sembilan hari setelah saya masuk ke kampus Sastra Universitas Gadjah Mada, saya menghadiahi diri dengan buku beliau berjudul Khotbah di atas Bukit. Tokoh Barman dan Popi, mewakili dua dunia yang sangat berbeda pada awalnya, menginspirasi saya menulis semacam cerpen yang dimaksudkan sebagai surat lamaran menjadi anggota redaksi Balairung. Sayangnya, saya tidak diterima oleh lembaga tersebut. Entah alasan apa. Barman dengan realitas kotanya bagi saya adalah masa lalu, seperti halnya yang saya bayangkan dengan masa Aliyah saya, dan pengembaraan bersama Popi menuju puncak bukit dengan lilitan birahinya adalah for the college soul.
Lantas “perkenalan” saya dengan beliau semakin intens, baik secara literer berhadapan dengan teks-teks beliau, maupun kenal dalam ruang-ruang pergunjingan, antara mitos dan pencitraan, di pembicaraan-pembicaraan ringan mahasiswa. Kadangkala membahas tulisan beliau, mengkroscekkan cerita tentang AOI di novel Lingkar Tanah Lingkar Air-nya Ahmad Tohari dengan tulisan beliau di Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi, dan menggunjingkan bahwa konon Pak Kunto sakit gara-gara diracun oleh Amerika setelah kunjungan beliau ke luar negeri. Yang terakhir ini, tidak bisa dipercaya kebenarannya.
Pada semester 1 saya dibekali matakuliah Pengantar Ilmu Sejarah. Pengetahuan ini yang segera saya rasakan membedakan antara sejarah di sekolah dengan sejarah di kuliahan. Buku beliau Pengantar Ilmu Sejarah terbitan Bentang Yogyakarta itulah yang kami pelajari. Pada gilirannya, buku ini tidak saja menemani saya pada semester itu saja, namun semester-semester berikutnya sampai ketika saya menyusun skripsi, meski saya tidak menggunakannya sebaga referensi, namun satu bukunya yang lain yakni Metodologi Sejarah. (Saya jadi teringat, bahwa Prof. Dr. Bambang Purwanto sewaktu mengajar matakuliah Seminar Sejarah selalu menekankan untuk tidak malu membaca buku pengantar ilmu sejarah tersebut. Bahkan ia mengaku sampai 3 kali membacanya sewaktu menulis disertasi—mungkin saya yang lupa, apakah benar disertasi. Sebab buku tersebut baru diterbitkan pada tahun 1995).
Praktis, sampai dengan semester 5 saya tidak berkesempatan diajar oleh Pak Kunto. Pada semester 6, jurusan Sejarah menawarkan matakuliah Kapita Selekta Sejarah Sosial Politik yang dikoordinatori oleh beliau. Saya segera mengambilnya, berharap setidaknya sekali pertemuan saya bisa diajar oleh beliau. Namun, lagi-lagi beliau berhalangan. Sebab kesehatannya sangat tidak memungkinkan untuk mengajar. Saya mendengar bahwa beliau secara rutin berobat pada hari rabu, hari—seperti yang pernah saya pelajari dari ta’limul muta’allim—adalah hari baik untuk memulai kegiatan belajar-mengajar. Meski demikian, beliau sangat serius membuat silabus matakuliah tersebut, menunjukkan buku-buku referensi, memberi saran-saran praktis, dan kesediaan untuk melakukan komunikasi melalui surat-menyurat tentang perkuliahan itu. Meski sangat singkat, saya merasa tidak kehilangan “rasa tulisan” yang khas beliau itu. Yakni suatu tulisan yang direktif, memberi pemetaan, namun sangat hati-hati.
Setelah membaca silabus itu, pada pertemuan kedua saya masih berharap beliau bisa mengajar. Saya telah mempersiapkan sekitar lima pertanyaan yang berhubungan dengan sejarah sosial, tepatnya sejarah “orang kecil”, dan prosophography. Seperti yang diumumkan bahwa beliau berusaha menerima pertanyaan-pertanyaan mahasiswa pada hari Sabtu, dan jawabannya sudah akan tersedia pada hari Sabtu berikutnya yang akan diantar oleh istrinya ke jurusan Sejarah. Namun itulah, hanya menjadi saksi dari niat baik Pak Kunto. Meski sangat antusias, kami sadar bahwa beliau dalam keadaan sakit dan tidak mungkin dibebani dengan pertanyaan-pertanyaan yang barangkali jawabannya sudah bisa ditemukan di buku-buku beliau. Matakuliah itu dalam prakteknya tidak berjalan sama sekali. Sampai dengan ujian akhir, kami tidak mendapatkan kejelasan apakah matakuliah tersebut dianggap ada, artinya diujikan, ataukah tidak. Sampai saat ini, di final transkripsi nilai saya, matakuliah tersebut masih terpampang tanpa ada nilai!
**********
Tepatnya kapan kami tidak ingat pasti. Yang jelas terjadi pada bulan-bulan awal tahun 2004. Saya, Anna Mariana (2000), Uji Nugroho dan Husni Thamrin (2001), dan Mohammad (2003) sowan ke rumah Prof. Dr. Kuntowijoyo MA. Selain untuk mengurus peluncuran buku beliau yang berjudul Raja, Priyayi, dan Kawula, niat utama kami adalah bersilaturrahmi. Pada pagi harinya Husni telah menelpon Bu Susilaningsih untuk memohon izin kedatangan kami. Ba’da Isya kami menuju rumah beliau, pelan-pelan menelusuri jalan Lingkar Utara, untuk menemukan papan nama bertuliskan Apotik di dekat UPN Veteran. Rumah beliau di samping toko obat itu.
Di depan rumah, kami dibukakan pintu oleh anak beliau yang alumni Fakultas Teknik. Kami dipersilahkan masuk oleh Bu Susilaningsih, dan kemudian menyusul Pak Kunto yang dipapah oleh istrinya itu. Kami berempat memperkenalkan diri dan sekadar berbasa-basi. Pembicaraan lantas berkisar tentang beliau semasa mahasiswa, beberapa kawan beliau, Prof. Dr. Djoko Suryo salah satunya, dan lain-lain.
Kami sebagaimana layaknya seorang anak didik, berkeluh kesah tentang dunia perkuliahan. Beliau menimpali bahwa kondisinya sangat jauh lebih baik dibanding dahulu, masa beliau. Saya juga sempat curhat kepada beliau; bahwa di tengah jalan saat mengerjakan skripsi, timbul krisis eksistensi menyangkut studi sejarah (capturing the past, apa yang sedang ditangkap?), dan—seperti umumnya—masa depan lulusan Sejarah. Dalam puncak krisis terbersit pikiran untuk mutung, tidak melanjutkan kuliah.
Pak Kunto lebih tertarik memberi komentar (tepatnya menasehati) untuk persoalan pertama. Sambil bercerita (meski suaranya seperti tertelan kembali, beliau memaksakan untuk berbicara sendiri, tidak melalui penjelasan istrinya) beliau menasehati; bahwa mereka berdua (Pak Kunto dan istrinya) dulu mempunyai seorang kawan yang sangat idealis, tidak setuju dengan sistem-sistem yang ada, dan akhirnya memutuskan diri untuk tidak lulus. Kawannya yang sangat pintar itu bernama Taufik Rahzen. Kebetulan saya pernah mendengar dan membaca nama itu sebagai moderator dalam acara “Pram dan Kita” di UC Universitas Gadjah Mada pada 14-02-2003, dan di buku Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia karya Claire Holt, sebagai editor buku tersebut. Saya mencoba mengingat-ingat wajahnya pada acara yang saya ikuti itu. Tidak berhasil.
Namun bukan itu yang penting. Pak Kunto ingin menunjukkan bahwa kawannya itu sempat lama kesulitan mencari tempat. Meski pintar dan banyak pergaulan, kesempatan untuk mendapatkan peluang yang lebih baik sering terganjal karena persoalan kesarjanaan. “Tapi sekarang dia sudah mapan”, demikian jelas beliau.
Pak Kunto lebih lanjut menasehati kami: “Bagaimanapun dan apapun hasilnya, baik atau buruk, kalian harus lulus”. Kalian harus lulus. Ini yang masih terngingang di telinga saya. Apapun hasilnya, saya harus lulus.
Tidak terasa bagi kami bahwa pembicaraan telah berlangsung sekitar satu setengah jam. Sebelumnya, berkali-kali istrinya mengingatkan Pak Kunto untuk istirahat. “Bapak kalau mau istirahat”, “belum, belum”, tahan beliau sambil geleng-geleng kepala. Kami yakin bahwa Pak Kunto adalah orang yang tidak enakan, untuk segera masuk kamar meninggalkan kami yang waktu itu jarum jam belum menunjuk angka 9. Dan sebaliknya, kami agak keras kepala untuk cepat-cepat mohon diri. Bukan karena apa-apa, kami masih ingin berbincang lebih lama. Untunglah, masih setengah gelas teh di atas meja. Segera kami menghabiskannya untuk memberi tanda kekalahan, dan akhirnya kami segera undur diri.
Mengenai bukunya yang diterbitkan penerbit Ombak itu, beliau menyerahkan royaltinya kepada BKMS (Badan Keluarga Mahasiswa Sejarah). Kami kaget karena beliau masih ingat BKMS. Kami, di BKMS, bukan lagi “adik angkatan” yang sedang mendapat sumbangan dari “kakak angkatan” yang jaraknya kurang lebih 35 tahun itu. Tetapi kami adalah mahasiswa-mahasiswa beliau (yang konon mewakili BKMS), mahasiswa-mahasiswa yang tidak dikenal dan mengenal baik beliau. Barangkali, selain untuk masa depannya, sumbangan itu lebih untuk masa lalunya, demikian pikir kami. Oleh penerbit Ombak, BKMS diberi royalti beliau dalam bentuk buku cetakan yang harus dijual sendiri.
Kami merasa mendapat tiga karunia sekaligus; bisa bertemu dan berbincang dengan beliau, mendapat pengetahuan baru dengan terbitnya buku tersebut, dan mendapat royalti yang seharusnya beliau terima. Oleh kawan Husni dan Uji Nugroho, buku-buku tersebut digunakan untuk mengongkosi sebagian biaya perjalanan ke Medan dalam pertemuan Munas IKAHIMSI (Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah se-Indonesia) di Universitas Sumatera Utara.
Pak Kunto, yang sekilas saya kenal dan tentu saja tidak mengenal saya itu kini telah tiada. Pak Kunto, yang setiap kali kami mahasiswa sejarah keluar kota selalu ada yang menanyakan kabarnya itu, kini telah pergi. Pergi, untuk perjalanan yang lebih jauh. Pak Kunto, yang pernah saya sesalkan dalam melakukan periodisasi kesadaran keagamaan umat; dari periode mitos, periode ideologi, dan terakhir periode ilmu itu kini telah secara ikhlas masuk pada periode yang diinginkannya.
Saya pernah menganggap bahwa periodisasi itu bias modernisme Pak Kunto, atau bahkan secara naif saya menyangka itu bias muhammadiyah Pak Kunto. Kini beliau memasuki alam yang tidak mengenal Muhammadiyah-NU, mitos, ideologi, ataukah ilmu. Yang ada adalah alam keabadian. Dan bagi saya, yang abadi adalah pahala yang beliau dapatkan dari ilmu yang beliau amalkan.
Selamat jalan Pak Kunto…
Klebengan, 23 Februari 2005 (beberapa jam sepulang dari takziah meninggalnya beliau)
*Tulisan ini pernah dimuat pada laman Facebook Ahmad Nashih Luthfi pada 20 Juli 2011
Awal tahun 2025, Rick Steves, presenter acara-acara wisata dari Amerika merilis sebuah buku bertajuk On the Hippie Trail: Istanbul to Kathmandu and the Making of a Travel Writer [1]. Saya sempat membaca buku itu secara cepat, meski baru di bab pengantarnya saja di google book secara gratisan. Secara garis besar buku ini berisi kisah perjalanannya sewaktu masih muda, saat ia masih menjadi seorang penganut hippie[s]. Hippies adalah semacam gerakan kontra budaya di tahun 1960-1970an yang menyuarakan anjuran perdamaian, anti perang, dan kebebasan. Gerakan semacam ini menjamur di Eropa dan Amerika kala itu. Uniknya para penganjurnya kebanyakan merupakan anak-anak dari pensiunan tantara yang terlibat perang.
Komunitas hippies menyuarakan kritiknya terhadap operasi-operasi militer negara-negara adikuasa seperti Amerika, Rusia dan anggota-anggota NATO dengan cara traveling keliling dunia dengan bus sekolah (Thomas Bus) atau minibus Volkswagen yang dicorat-coret dengan graffiti bertemakan bunga dan alam. Selain menyuarakan aspirasi perdamaian, perjalanan yang dilakukan para hippies ini juga mereka maknai sebagai pencarian spiritualnya, sebab banyak hippies yang tertarik dengan ajaran hindhu, buddha, dan sufism (Islam). Mereka tertarik dengan praktik meditasi atau yoga dari agama-agama tersebut yang secara gamblang, jelas, benar-benar menawarkan makna kedamaian hidup yang tidak dimiliki negara-negara barat.
Selain menyuarakan aspirasi perdamaian, perjalanan yang dilakukan para hippies ini juga mereka maknai sebagai pencarian spiritualnya, sebab banyak hippies yang tertarik dengan ajaran hindhu, buddha, dan sufism (Islam).
Di Eropa titik awal perjalanan komunitas hippies ini dimulai dari Berlin di Jerman dan Amsterdan di Belanda, sementara di Amerika hijrah rombongan hippies biasanya ini dimulai dari San Fransisco dan New York. Sementara kota-kota yang menjadi tujuan para peziarah hippies ini adalah kota-kota yang memiliki akar spiritual yang kuat di ketiga agama ini, yakni Kathmandu (Nepal), Lahore (Pakistan), Varanasi/Delhi (India), dan destinasi akhirnya biasanya adalah Pantai Malabar di Selatan India. Kadang para peziarah ini ada yang mengambil perjalanan lanjutan hingga ke Chiang Mai (Thailand) bahkan Bali (Indonesia). Masifnya perjalanan para peziarah hippies di tahun 1960-1970an ke kota-kota suci di Asia kemudian membuat kota-kota di kawasan timur dunia ini terkenal dengan julukan Hippie Trail atau Jalur Hippie.
Tidak main-main dampaknya, gelombang gerakan ke timur ala hippies ini bahkan mampu menyeret nama-nama besar, salah satunya adalah The Beatles yang memulai perjalanan ke India di tahun 1968, bahkan George Harrison sang gitaris pun sempat dibuat terpukau oleh permainan gitar Ravi Shankar. Ada juga Steve Jobs sang pendiri Apple, yang mendapat ijazah spiritual dari Neem Karoli baba atau Maharaj-Ji. Selain itu, konon katanya orang-orang yang terlibat dalam perjalanan hippies di tahun 60-70an inilah yang kemudian kini seringkali disebut sebagai bule pelopor, yang membuka destinasi wisata di Nepal, India, Thailand, dan Indonesia (Bali).
Inspirasi Gerakan Hippies
Kembali ke buku Rick Steves, dalam buku tersebut ia berkisah tentang perjalanan “hijrah”nya melintasi Hippie Trail dari Istanbul (Turki) ke Kathmandu (Nepal) melintasi 6 negara yakni Turki, Iran, Afganistan, Pakistan, India dan Nepal. Saat memulai perjalanan ziarahnya ke timur, ia berusia 23 tahun, dan ia mengaku terinspirasi melakukan perjalanan tersebut dari Islam. Islam, menurut Rick Steves, dalam salah satu rukunnya menyarankan pemeluknya dari berbagai belahan dunia untuk menunaikan Haji sekali seumur hidup, yaitu melakukan perjalanan ke rumah Allah di kota suci Mekah, guna napak-tilas nabi-nabi terdahulu dalam menegakkan keimanannya. Sekali seumur hidup.
Melakukan perjalanan menjadi term kunci yang diletakkan Muhammad SAW dalam ajarannya, Islam. Bahkan saking utamanya makna perjalanan dalam ajaran Islam, Muhammad SAW pun memberikan umatnya teladan dengan melakukan perjalanan dari Mekah ke Madinah yang ia sebut Hijrah. Tak hanya itu ia pun menempatkan waktu pertama dimulainya perjalanan tersebut sebagai awal dimulainya perhitungan dalam kalender Hijriah.
Dalam ajaran Islam, haji dan hijrah tak semata hanya menjadi sebuah perjalanan traveling belaka, ia seharusnya menjadi perjalanan spiritual, perjalanan keimanan, perjalanan untuk mencari Allah, Tuhan-nya.
Di titik ini, Rick Steves dan para peziarah hippies terinspirasi dari Islam. Di level eksoteris (lahiriyah) memang benar perjalanan kaum hippies ke kota-kota di Timur jauh menjadi sebuah perjalanan pembuktian untuk melawan narasi negatif dari Barat, yang ditanamkan oleh orang tua-orang tua mereka, tentang kebengisan bangsa Timur, ketidak-beradaban orang-orang Timur yang layak untuk dibumi hanguskan, dibunuh, dan diperangi. Di sini dengan mereka melakukan perjalanan ke timur, mereka ingin membuktikan bahwa propaganda yang itu tidak benar, bohong, dan hanya dibuat-buat.
Dan, benar saja, tak hanya sisi kemanusiaan yang para peziarah hippies ini dapat dalam perjalanannya ke timur, banyak diantara mereka yang juga mendapatkan pencerahan spiritual. Tak hanya manusia yang mereka temui, ndilalah-nya mereka juga ketemu Tuhan pada level Esoteris (batiniyah)-nya.
Perjalanan Agung
Setelah mengulik beberapa video bedah buku Rick Steves di Youtube, saya kemudian teringat film lawas dari Perancis tentang Haji, yaitu Le Grand Voyage (2004). Film ini mengisahkan seorang pemuda keturunan Perancis-Maroko bernama Reda yang dimintai oleh ayahnya untuk mengantar sang ayah menunaikan ibadah haji. Mereka berangkat dari Perancis ke Arab Saudi tidak naik pesawat, melainkan dengan mengendarai mobil. Melintasi jarak 5.000 km lebih, melewati sembilan negara yakni Perancis, Itali, Slovenia, Kroasia, Serbia, Bulgaria, Turki, Yordania hingga akhirnya sampai ke Arab Saudi.
Dikisahkan selama perjalanan itu, mobilnya sempat di tumpangi orang asing, ayahnya sempat masuk rumah sakit karena kedinginan, ditahan diperbatasan karena visanya bermasalah, hingga uang sakunya sempat dicuri orang yang menjadi barengannya. Pokoknya banyak hal yang terjadi selama perjalanan itu. Hingga akhirnya ketika mereka memasuki perbatasan antara Yordania dan Arab Saudi, mereka bisa tenang karena ternyata banyak rombongan yang sama dengan mereka, pergi haji dengan menggunakan mobil. Setelah bergabung dengan beberapa rombongan kafilah yang juga ingin berhaji, beberapa orang dari rombongan sempat kagum saat mendengar kisah perjalanan Reda dan ayahnya yang menempuh jarak 5.000 km hanya demi berhaji.
Ada satu penjelasan menarik dari film lawas ini, saat adegan ayah Reda menerangkan padanya alasan mengapa ia memilih berhaji dengan mengendari mobil. Kurang lebih apa yang ayah Reda jelaskan adalah perihal esensi dari ibadah haji yang kini sudah banyak mengalami pergeseran, seiring dengan perkembangan teknologi transportasi. Dulu orang berhaji bisa memakan waktu berbulan-bulan lamanya, selama perjalanan itu mereka bertemu orang-orang baru, lingkungan baru, dan masalah-masalah baru, yang besar kemungkinan bisa menggoyahkan niat dan perhitungannya untuk sampai ke Mekah di bulan Dzulhidjah. Sebelum akhirnya bertamu ke rumah Allah, ujian jarak ratusan atau bahkan hingga ribuan kilometer akan menempa hatinya para peziarah haji terlebih dulu.
Namun kini semuanya bisa diselesaikan dalam hitungan jam, dengan naik pesawat para rombongan haji pun dapat langsung menuju ke kota Mekah dengan cepat, praktis, dan efisien. Namun disitulah letak masalahnya menurut ayah Reda, kini haji yang menjadi rukun terakhir dalam ajaran Islam telah menjadi semacam kegiatan wisata rohani semata, yang menekankan pada aspek tujuan, hanya sekedar sampai ke tanah suci semata. Menegasikan aspek transformasi keimanan yang di masa lalu terwadahi dalam ujian yang dinamakan “perjalanan”. Pesan ini cukup jelas ditekankan oleh tokoh ayah Reda dalam film Le Grand Voyage bahwa baginya perjalanan agung haji merupakan sebuah ritual transformasi keimanan yang harus ditempuh dengan melakukan perjalanan, setiap kesulitan yang dihadapi dan orang-orang baru yang ditemui sepanjang perjalanan adalah ujian keimanan yang menyati dalam ibadah haji ini.
Namun kini semuanya bisa diselesaikan dalam hitungan jam, dengan naik pesawat para rombongan haji pun dapat langsung menuju ke kota Mekah dengan cepat, praktis, dan efisien. Namun disitulah letak masalahnya menurut ayah Reda, kini haji yang menjadi rukun terakhir dalam ajaran Islam telah menjadi semacam kegiatan wisata rohani semata, yang menekankan pada aspek tujuan, hanya sekedar sampai ke tanah suci semata.
Pada titik ini, saya merasa ada satu benang merah antara gerakan perjalanan hippies dengan ibadah haji yang dikatakan sebagai ibadah penyempurna dalam rukun Islam, di mana dua-duanya sama-sama memaknai perjalanannya sebagai transformasi spiritual.
Pertanyaan sekarang, bagaimana kita selaku umat muslim hari ini memaknai perjalanan agung (red: Haji) dalam diri kita, yang kini telah disimplifikasi oleh pemerintah dengan sistem kredit ONH yang harus dibayar tiap tahun?
—
[1] Steves, R. (2025). On the hippie trail: Istanbul to Kathmandu and the making of a travel writer. Avalon Travel.
Berbekal cerita lisan dan salinan buku Kudus yang ditulis oleh sejarawan Jawa Tengah, Amen Budiman, saya berangkat ke kota masyhur ini. Dari kalimat demi kalimat buku tanpa titimangsa itu lamat-lamat tampak betapa Kudus adalah alamat kisah-kisah kanon legendaris: konon yang sukar ditampik.
“Meskipoen Koedoes itoe ada satoe kota afdeeling ketjil, toch di antero Midden Java ia ada jang paling terkenal sendiri dalem kalangan banjaknja orang Indonesier hartawan dan dalem kalangan ke-igama-an Islam.” – “Poen Koedoes djadi terkenal lantaran productie roko kreteknja. Tjobalah pembatja tjari satoe kota, dimana berdiam sedikitnja 20 orang millioenairs, dan poeloehan lagi tonnairs? Tjoba pembatja tjari lagi kota, dimana ada lebih dari 200 mesdjit, dan banjak pendoedoeknja jang sama apal Qoeran?”[1]
Suatu etos kerja dan perilaku yang khas. Jejak-jejak temu-aruh budaya yang tua itu hidup berumur panjang. Keberadaan Masjid Menara Kudus, misalnya. Kehadiran Museum Kretek, contoh yang lain lagi.
Tetapi, tujuan kedatangan saya kali ini tidak semata-mata ke pusat Kota Kudus, melainkan ke Kampung Budaya Piji Wetan di kaki Gunung Muria.
Citra Lain Desa
Jika desa kerap dipandang seakan-akan berada dalam kondisi gelap dan tertinggal, tidak kelihatan—keberadaannya di pinggir; menjadi saksi, bukan yang disaksikan—pemandangan berbeda terjadi di Dusun Piji Wetan, Desa Lau, Kecamatan Dawe. Ada suatu kesadaran atas kenyataan yang selama ini tumbuh mekar secara alamiah bahwa desa adalah tempat produksi pengetahuan dan kebudayaan. Dengan alur yang pendek, pengetahuan yang lempang itu direproduksi menjadi beragam karya seni visual yang dapat dilihat dari segi wacana juga dari segi estetik—andaikata itu yang dikehendaki.
Desa tidak saja mawa cara, namun juga mawa acara dan mawa wicara. Desa punya adat, desa punya peristiwa, desa punya cerita!
Dikemas dalam program Residensi dan Pameran Tapa Ngeli: Muria, Santri, Kretek yang diselenggarakan oleh Kampung Budaya Piji Wetan (KBPW), sebuah proses belajar tentang ekologi budaya dan tradisi terjalin antara seniman, warga, maupun alam. Melalui tangan dingin Karen Hardini selaku kurator residensi dan pameran tersebut, 15 seniman dan kolektif multidisiplin asal Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta saling silang gagasan dan estetika di sini. Dalam praktik residensi, para seniman bergerak dan bekerja menelusuri arus besar dan arus kecil Kudus, lalu mengartikulasikannya menjadi karya, dan dipamerkan. Nilai-nilai rural yang semula dianggap sakral atau yang nyaris tidak dikenal, dikesankan kembali secara luwes sehingga memiliki probabilitas untuk dikelola lebih jauh di kemudian hari.
Seakan tidak ada yang lapuk dari masa lalu—ketetapan yang coba dipertahankan—ketika tersaji kembali secara visual, baik orisinal maupun artifisial. Kiranya dengan cara itulah transmisi memori sosial historis berlangsung sebagai sumber petualangan yang sebelumnya dirasa mustahil. Ada yang sedang bertumbuh, ada yang sedang berubah. Dan warga desa hidup di dunia yang dianggap sebagai nyata atau dekat dengan yang nyata. Barangkali demikianlah obsesi.
Dalam hal ini, KBPW tengah menampilkan keadaan desa yang senantiasa punya siasat untuk merebut peristiwa-peristiwa jadi faktual, kontekstual, dan relasional, implementasi dari proses produksi pengetahuan-kebudayaan yang dinamis. Berbeda dengan keadaan kota yang dibangun berjejalan di antara simpang siur jalan raya yang macet: semua serba dipaksakan.
Kehidupan santri dan industri yang menubuh, tumbuh secara organik dalam kehidupan warga Muria-Kudus seturut dengan relasi antara manusia dan alam yang terhubung dalam banyak lini, dalam ritus dan situs, dalam kehidupan keseharian. Di tengah situasi yang demikian itu karya para seniman menunjukkan sesuatu yang bergerak tidak pernah final untuk dileburkan (mungkin juga dikaburkan) dengan kehidupan warga masyarakat dalam tatapan dan pemahaman baru bertumpu pada pengetahuan dan kebudayaan lama. Entitas nilai-nilai lokal itu mbanyu mili, menubuh, terwariskan, meregenerasi hingga masa-masa kemudian tetap tumbuh merebak dan (mencoba) bertahan dengan segenap penyesuaian-penyesuaiannya.
Iring-iringan peristiwa tersebut merupakan keping-keping puzzle yang tengah disusun untuk mewujudkan berdirinya Folktarium Muria: sebuah museum folklor berbasis masyarakat sebagai pusat pembelajaran, pelestarian, dan pengembangan cerita rakyat serta budaya lokal yang hidup di kawasan Muria.
Kudus dalam Tiga Anasir
Muria, santri, dan kretek menjadi motif lambaran segenap aktivitas dalam residensi hingga pameran. Di atasnya ditempatkan hal-hal dalam suatu posisi dan oposisi antara pusat dan pinggir, antara yang utuh dan sebagian, antara yang besar dan kecil, yang sebelumnya terpisah kemudian terhubung, menyatu, dan berkelindan satu sama lain. Melalui praktik residensi seni, para seniman mengalami dan tinggal bersama dengan segenap variabel dari lokus yang ditempatinya.
Sejak semula ada hubungan timbal balik, bahkan menjadi titik balik di sini. Tidak heran jika kemudian yang ditelusuri dan diupayakan hadir ialah arus kecil di kaki Gunung Muria: antara ruang keagamaan yang personal dan komunal, juga ruang industrial khas kawasan pesisir utara Jawa Tengah yang selama ini tidak banyak mendapat lampu sorot ketika membicarakan Kudus.
Dalam Folktarium Muria-Pameran Residensi Tapa Ngeli tampak adanya upaya untuk mempresentasikan sekaligus merepresentasikan pengetahuan warga yang turun-temurun dirawat, yang coba diwariskan; atau yang selama ini telah jadi asing dan terpinggirkan. Seperti juga terjadi di banyak tempat, sudah galib kalau hal-hal yang tumbuh organik dalam kehidupan akan menubuh dan karenanya seakan tidak kasatmata. Untuk itu dibutuhkan ruang sela. Dalam hal ini seniman menjadi mata yang lain, kesadaran baru, tentang tempat tinggal yang mengandung kisah-kisah dengan benang merah yang panjang tiada habis-habisnya.
Istilah tapa ngeli selaras dengan praktik kerja residensi. Seturut dengan itu, orkestrasi tafsir falsafah tapa ngeli pada karya-karya seniman memperlihatkan ‘pergerakan’ terhadap sesuatu yang ajek dengan ‘penolakan’ atau ‘perlawanan’ lewat bentuk baru dan tawaran wacana lain tentang Muria, santri, dan kretek di gigir sejarah besarnya. Yang dieksplor para seniman adalah folklor yang terbit di pinggir konteks global-lokal Muria-Kudus.
Dengan kata lain, residensi singkat itu serupa celah bagi seniman untuk menatap sejarah lain, sejarah warga, asumsi di luar dominasi narasi arus utama yang penuh, yang saklek, yang dogmatik.
Ada seniman yang menatap Kudus dengan kaca cermin, ada yang menggunakan kacamata, ada pula yang menggunakan kaca pembesar. Tidak aneh apabila para seniman justru mengalami residensi di rumah sendiri—mereka yang telah akrab memiliki kesempatan melihat lebih dekat dan berpeluang menemukan sisi lain, mereka yang sebelumnya asing justru menemukan ‘dirinya sendiri’. Kehangatan jalinan interaksi dan kolaborasi antara seniman dan warga semasa residensi menjadi landasan, latar, dan tampak dalam praktik kolaborasi penciptaan karya para seniman. Hasilnya adalah suatu respons ruang, karya yang dipancangkan di tempat tertentu, site-specific, dekat dengan masyarakat dan alam selaku saksi siklus peradaban Muria-Kudus.
Keputusan Karen Hardini selaku kurator untuk menampilkan karya dengan pendekatan site-specific merupakan satu pertimbangan yang terarah dan terukur. Secara lanskap kewilayahan memungkinkan untuk mempresentasikan karya adalah di ruang terbuka, bukan menempelkan karya di dinding sebuah ruang. Dengan demikian interaksi langsung antara seniman, karya, warga, dan audiens melalui lokasi dan konteks keberadaan karya serta narasi atasnya dapat menubuh. Kendati demikian, tentu saja tidak semua karya didesain khusus dan sesuai dengan lokasi keberadaannya. Ada seniman yang menampilkan karya sebagaimana kekhasan karya-karyanya, namun ada pula yang kemudian tampil dengan karya yang seakan bukan dirinya. Hasilnya ada karya yang dibuat untuk lokasi tertentu, ada yang dibuat berdasar narasi lokasi tertentu, namun ada pula karya dengan konteks relasi antara daerah asal seniman dengan Kudus sebagai lokus. Hal tersebut wajar adanya. Sebab, karya-karya yang dihasilkan dari praktik residensi memiliki nalar penciptaan yang berbeda dan menjadi pertaruhan bagi setiap seniman, juga kurator!
Sejarah sebagai Pertanyaan
Menurut rute karya-karya para seniman dalam Folktarium Muria-Pameran Residensi Tapa Ngeli, saya saksikan langkah laku yang bertopang pada peluang, yakni memberi kesempatan pada yang selama ini dianggap kurang atau bahkan tidak berarti, memberi pengertian bahwa yang kecil pun mengandung nilai. Seluk-beluk kampung yang selama ini tidak terjamah justru dibuka untuk dijelajahi beramai-ramai. Baik yang di dalam rumah maupun yang di luar rumah, bersemi sebagai ilmu, motif, konteks, wacana, narasi yang tumbuh bersama menjadi pertanyaan.
Pertanyaan pertama atas sejarah Kudus coba dijawab oleh Lembana Agroecosystem yang notabene adalah para seniman berakar Madura yang berbasis di Yogyakarta. Menghadirkan karya bertajuk “Abhântal Tana Asapo’ Bhâko”, Lembana Agroecosystem menyuguhkan kompleksitas relasi antara Kudus dengan Madura: syiar Islam dan tembakau. Hasilnya adalah seni peristiwa yang memaparkan sejarah panjang relasi keduanya.

Di dalam instalasi yang memadupadankan berbagai literatur dan material, Lembana Agroecosystem mencobahadirkan tanah Madura di Kudus. Perjumpaan dan kedekatan antara Madura dan Kudus itulah yang ditawarkan untuk dialami bersama di sebuah ruang yang prasaja. Melalui instalasi visual ingatan dipanjangkan dengan menampilkan rekaman tahlilan, tembakau krosok, alat linting, sarung, hingga terpal biru bergambar lanskap pertanian tembakau. Tidak hanya soal itu, ditampilkan pula satu hal yang kritis agaknya—atau pragmatis: makam palsu, makam artifisial. Diletakkan di los UMKM KBPW, produksi wacana yang diusung Lembana Agroecosystem seakan sedang dipasarkan lewat pameran ini.
Masih tentang keterhubungan budaya, Umar Farq menghadirkan karya bertajuk “Ambang” untuk menjawab pertanyaan sejarah antara pesisir utara dengan pesisir selatan. Seniman asal Purworejo itu membuat gapura yang tidak utuh dan tampak rawan runtuh. Material batu bata merah segera melontarkan tatapan saya pada keberadaan Menara Kudus: jejak sejarah akulturasi identitas, spiritualitas, dan religiositas. Yang juga menarik untuk dicermati adalah teks dan rajah pada lempeng-lempeng semen di ceruk-ceruk susunan batu-bata yang tugur itu.
Menempatkan “Ambang” di pintasan antara rumah warga dengan pusat aktivitas seni di Piji Wetan seperti meletakkan segenap persoalan yang akan terjadi di setiap momen. Umar Farq—yang juga berlatar pesantren—seakan tengah menampilkan dirinya secara personal juga komunal sebagai yang berasal dari selatan. Pantulan-pantulan atau bahkan tarikan-tarikan hubungan utara dan selatan itu kemudian menampilkan Umar Farq yang lain. Karya hasil residensi ini serong, memotong kompas adat kebiasaan Umar Farq yang identik dengan lukisan kaligrafi di atas kanvas.
Sejarah yang intim direkonstruksi oleh Jaladara Collectiva bekerja sama dengan ibu-ibu Piji Wetan dengan menghadirkan ruang domestik keluarga menjadi ruang kolektif warga berupa dapur performatif atau instalasi ruang dapur beserta segenap artefak peralatan memasak hingga resep masakannya. “Rewang: Perigi di Balik Panggung Perayaan”, demikian tajuk karya yang dibuat oleh kolektif seniman perempuan asal Jepara ini. Apakah di sini terdapat wacana tentang dapur sebagai tubuh perempuan? Entahlah. Yang pasti, ada memori kolektif di sini. Lebih-lebih karya dari Jaladara ditempatkan pada lokasi yang sudah karib dengan tatapan warga sebagai dapur bersama. Suatu narasi tentang benda-benda milik warga yang sering kali digunakan dalam rewang: peristiwa memasak yang kolosal.
Syahdan, sebuah belik yang sudah lama terlupakan, yang sejak 2014 kering, tiba-tiba kembali memancarkan mata air. Sebuah keajaiban! Tidak tanggung-tanggung, peristiwa aneh tapi nyata ini segera disambut anak-anak Piji Wetan yang asyik mandi meski air berubah menjadi keruh karenanya. Belik Kendhindhing, di situlah lokasi karya Febri Anugerah bertajuk “Ingatan- Ingatan yang Berkabut” dihadirkan.
Di tengah tegalan memori warga kembali ketika Febri Anugerah memasang relief pohon Kedhindhing yang telah lama tiada. Karya berbahan baku limbah plastik itu ditanam pada gundukan tanah, disertai relief burung-burung yang tersebar di berbagai penjuru. Bentangan sehelai kain transparan serupa kelir kisah menerangkan narasi yang disusun menjadi judul karya.
Karya ini berangkat dan ditempatkan di lokasi yang mengilhaminya. Hubungan antara karya dan lokasi pun terjalin erat. Cerita-cerita lampau itu dinarasikan kembali, bahkan menjadi cerita baru.
Selanjutnya disajikan sejarah Muria yang ditatap oleh Divasio P. Suryawan dari Lasem. Bertajuk “Tilar Jāti: Dharmaguna kang Lestari”, Divasio P. Suryawan menyajikan kain batik, rokok, dan kopi lelet yang memperlihatkan kehangatan keterlibatan warga Piji Wetan pada karyanya. Cakruk menjadi satu ruang penting bagi masyarakat desa dalam membingkai cerita sejarah kesehariannya. Kisah-kisah itulah yang kemudian dialihmediakan ke dalam helai-helai batik yang dibuat bersama warga. Menjuntai di cakruk, kain batik berwarna indigo—sebagai bentuk tanggung jawab ekologis—memperlihatkan stilisasi motif-motif dari etiket rokok Kudus dan Lasem, juga ilustrasi alih media ke dalam batik foto lama berupa aktivitas melinting rokok, petani tembakau, ibu-ibu membatik, flora fauna Muria, ukiran, ornamen arsitektur vernakular joglo pencu Kudus, dan lanskap panorama Gunung Muria dari berbagai sudut pandang yang disinari matahari—konon ditatapnya dari Pantai Lasem.
Sementara praktik membatik rokok dengan kopi atau nglelet (rokok-rokok itu racikan warga Piji Wetan, Mbah Gito) menjadi bagian dari aktivisme warga atau siapa saja yang akan mencobanya di cakruk. Secara umum karya ini menampilkan jejak langkah kehidupan keseharian warga desa di Muria, khususnya Piji Wetan, yang senantiasa berhubungan dengan kerja-kerja pelestarian secara organik dan autentik. Kait tarik Lasem dan Kudus, itulah yang hendak digarisbawahi oleh Divasio P. Suryawan dalam narasi visual yang berkelindan dalam batik.
Tetapi bagaimana jadinya jika pepatah petitih ajaran Sunan Muria dihadirkan dalam mural graffiti di tembok-tembok kota? Praktik itulah yang dilakukan Kudus Street Art bersama sejumlah seniman dalam membuat karya bertajuk “Harmoni Lereng Muria”. Mural dan graffiti menghiasi tembok-tembok yang sebelumnya sepi semata di tujuh lokasi yang terpisah-pisah. Sebagai artefak, mural-mural itu dipotong dalam lima buah kanvas, semacam puzzle, dan dipajang di dinding gang Piji Wetan. Mural yang urban itu pun hadir di lingkungan rural.
Nalar ruang publik sejak awal memang sudah menjadi lahan bagi karya mural. Artinya, pendekatan site-specific pada pameran hasil residensi ini adalah ruang lingkup karya-karya Kudus Street Art. Di sini, mural dan graffiti menandai suatu zaman sekaligus mempertebal lambaran masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang sebidang tembok. Oleh karenanya, tidak hanya menjadi ornamen, karya-karya yang dibuat Kudus Street Art menawarkan refleksi yang tidak segera sirna, bahkan ketika pameran telah paripurna.
Lain lagi dengan karya A.O.D.H. yang bertajuk “Widada Nir ing Sambekala”. Sejarah tubuh manusia Kudus, berupa fragmen siklus hidup, ditafsirkan di sebuah kios kosong yang sumuk, pengap, dengan debu merebak mendesak dada. Terdapat sehelai rajah; tikar pandan yang digelar dengan uba rampe sesaji; juga kuali berisi air, alat noise dengan senar silang sengkarut yang menghasilkan bunyi-bunyian aneh: instalasi audio-visual yang perfomatif. Pada dasarnya, yang ditampilkan seniman-seniman asal Kudus ini adalah instalasi resonansi.
Karya dengan judul selarik doa ini menghimpun segenap material riil yang simbolik serta material artistik yang menarasikan satu fase kehidupan ‘manusia Jawa’, yakni mitoni atau usia tujuh bulan kandungan. Dalam ritus, upacara mitoni berhubungan erat dengan air yang dimaknai sebagai sumber kehidupan. Air dalam kuali inilah yang dimainkan dan menghasilkan bunyi dari sensor yang dipasang. Tidak hanya itu, ‘sensor’ juga bekerja untuk ‘menyembunyikan’ sejumlah simbol dalam piranti sesaji sehingga tampak tidak pepak. Kesadaran kolektif atau respons terhadap lubang-lubang yang ada menjadi bagian penting bagi permainan karya A.O.D.H..
Di tanah lapang sisi simpang jalan, Fitri DK menghadirkan karya bertajuk “Urip Urup” yang terilhami falsafah “Pager Mangkok” ajaran Sunan Muria. Praktik dan pemaknaan gotong royong ala pager mangkok dikembangkan pada empat lembar batik bermotif gunungan hasil bumi yang dibentangkan pada ragangan bambu, tiang, dan tangga di pusatnya memancang. Di sini Fitri DK juga menampilkan bilangan tujuh pada jumlah mangkuk yang disajikannya: tiga mangkuk ditutup cetakan lino bergambar tangan tengadah berisi pohon, tanah, hasil bumi, empat lainnya berisi biji-bijian, umbi-umbian, rempah-jejamuan, dan rajangan tembakau. Kendi tidak lain melambangkan air sebagai sumber kehidupan. Lagi-lagi citra desa yang khas ditampilkan. Citra kehidupan yang harmoni, saling berbagi, saling empati dalam relasi baik sesama manusia maupun hubungannya dengan alam diartikulasikan melalui karya ini. Keberpihakan Fitri DK pada isu-isu sosial dan lingkungan tidak pernah lepas dan menjadi benang merah pada karyanya.
Sementara itu, sejarah tersembunyi di balik tembok industri rokok Kudus dipresentasikan dalam fotografi naratif oleh Budi Kusriyanto. Di satu sisi, karya bertajuk “Bapak dan Brak: Melihat Lebih Dekat” ini menjadi ruang keluarga bagi Budi Kusriyanto bersama sang bapak. Menggunkan screen sablon tilas yang digunakan bapaknya, foto-foto kehidupan wong cilik di sekitar brak pabrik rokok—orang-orang biasa di balik industri raksasa—ditampilkan menjadi gambar-gambar negatif yang terpentang pada rusuk-rusuk gawang di bawah naungan rumpun bambu. Dunia terdekat, atau barangkali dapat disebut jagat kecil, itulah yang ditampilkan seniman asli Kudus ini. Bapak dan dunianya, brak dan dunianya. Estetika karya yang (lagi-lagi) prasaja, tetapi bukan berarti apa adanya.
Masih terasa intimasinya, potongan-potongan kisah, potongan-potongan ingatan, milik warga Piji Wetan dijahit menjadi satu falsafah yang mengilhami karya “Ageman Amongjiwa”, sebuah instalasi berbasis kain bekas. Dibuat oleh Kolektif Matrahita bergotong royong dengan warga Piji Wetan, potong demi potong kain dalam karya ini menampakkan corak busana, lanskap desa, hewan ternak, hingga tetumbuhan yang karib dalam keseharian warga. Sebuah artefak dari guyub rukun warga dan seniman ketika menghidupkan kembali dongeng-dongeng masa kecil dari memori yang bolong.
Dengan lekas jelas terlihat bahwa narasi visual karya Matrahita adalah menjahit keterhubungan antara manusia dengan alam tempat tinggalnya. Kiranya memang tepat karya ini ditempatkan di sebuah bangunan dengan halaman yang permai. Di dalamnya ada ‘ageman’ yang bisa ‘dipakai’ oleh audiens. Jika dikaitkan dengan (kawasan maupun sunan) Muria-Kudus, apakah karya ini metafor dari agama ageming aji? Lalu bentang kain itu menjulurkan akar-akar yang menjalar dari (atau ke) arah mesin jahit: masa lalu sekaligus masa depannya.
Dan pada sebuah taman, Feri Arifianto—fotografer asal Surakarta, menghadirkan karya bertajuk “Hantaran”. Ia menampilkan karya fotografi objek dengan sejumlah elemen yang dijumpai di Kudus. Batu bata, tegel, kayu naga muria, mawar, kantil, kenanga, serut, kemangi hitam, dimaksudkan sebagai hantaran sesaji untuk sebuah sumber air. Seperti ‘lampu taman’, karya Feri Arifianto diletakkan di taman halaman rumah warga bersisian dengan pohon besar—tidak sekadar ditempel di dinding ruangan. Hal menarik lainnya adalah, dimunculkan kesan bagaimana jika terdengar gemeremang suara tumbuhan yang berdoa. Suara tahlil para peziarah di Kudus dan Muria diperdengarkan lamat-lamat dan hanya akan menyala jika sensor bekerja. Antara suara doa dan objek simbolik disatukan dengan nalar sama-sama sebagai hantaran. Sebuah relasi olang-alik antara karya, alam, dan spiritualitas yang bersipaut.
Suara alternatif coba diorkestrasi lewat panji-panji berupa narasi ulang hubungan kretek dan santri oleh Isrol Medialegal. “Racikan Tangan Terampil”, demikian bunyi suara itu. Dua hal yang telah jadi citra kebudayaan masyarakat Kudus itu dipancangkan di sisi-sisi persimpangan jalan kampung dalam citra visual kemasan kretek: media komunikasi produsen dengan kosumen. Bukan sekadar estetika, dibuat dengan metode direct transfer fabric, sablon, dan cat semprot di atas kain Medialegal mendesain ulang etiket rokok lama sebagai upaya membaca kembali tubuh kebudayaan masyarakat Kudus. Tidak hanya itu, secara kolektif dan hangat, siang malam Isrol bersama Kudus Street Art dan warga menyemprotkan karya stensilnya di tembok-tembok rumah warga Piji Wetan. Semacam upaya mengarsipkan narasi visual dan kultural jati diri suatu kampung.
Jati diri yang lebih luas mencakup (gunung) Muria, santri, dan kretek disusun oleh Mellshana lewat karya bertajuk “Menilik Bilik Muria”. Potongan-potongan peradaban Muria dari masa ke masa disatukan dan dilekatkan menjadi kolase di dalam bilik berselimut kain putih transparan yang melingkar di tengah lanskap tanah lapang. Komposisi kemasan rokok era 1900-an, foto-foto para peracik dan pelinting dari PT Djarum dekade 1960-an—1970-an, flora fauna di Gunung Muria, kehidupan pesantren, peranan wanita Kudus, artefak-artefak purba dari Selat Muria, menjadi kolase yang bercerita pancang dan melingkar antara ujung yang satu dengan yang lain memiliki keterhubungan. Pada karya kolase ini Mellshana tampilkan bagian-bagian penting dari sejarah pokok Muria.
Percakapan mengenai Muria yang lain dibentangkan lewat nalar arsip di “Museum Orang Biasa: Sejarah dan Ingatan Warga” susunan Kolektif Arungkala. Di sini Arungkala menyoal historiografi yang luput dari historiografi dominan tentang Muria maupun Kudus dan memori kewargaan di Piji Wetan. Jebakan kultus tokoh yang dominan dilepaskan dan digantikan dengan pengetahuan yang tidak lazim beralas arsip untuk mengisi fragmen yang hilang. Kemudian dihadirkan agensi kolonial Justus Karl Hasskarl. Keberadaannya penting mengingat semenjak perjalanan botanis kolonial tersebut, setelah Oktober 1843, nama Gunung Muria baru dipakai di peta buatan Belanda menggantikan nama sebelumnya; Gunung Jepara! Pengetahuan semacam ini boleh jadi baru bagi masyarakat Muria sendiri.
Arsip yang dihadirkan tidak sekadar sebagai material artistik, tetapi juga sebagai intervensi terhadap sejarah dominan. Sosok rekaan bernama Kirdjo, personifikasi orang lokal, satu dari sembilan asisten Hasskarl pun dimunculkan. Bahkan arsip-arsip museum ini dibuat dengan AI—justru untuk mengalihkan pandangan terhadap arsip yang sering kali dianggap suci lagi sahih. Dengan memalsukan arsip, Arungkala memproduksi spekulasi bahwa sejarah bisa direkayasa.
Untuk menunjukkan sumber data dari pengetahuan alternatif itu, Arungkala membuat catatan warga, pengarsipan berbasis warga, memori warga tentang Piji Wetan. Melalui kolaborasi dengan agensi lokal, material milik warga sebagai artefak, sebagai arsip, dihadirkan menjadi koleksi museum ini. Di sini warga membuat riwayatnya sendiri dari kehidupan sehari-hari: ibu-ibu menulis resep atau simbah-simbah menuturkan kesehariannya. Arungkala menampilkan karya seni bukan sebagai yang selesai, melainkan sebagai metode. Maka karya yang dipamerkan bukanlah hasil, bukan artefak, tetapi catatan proses. Tidak ada yang gigantis pada karya prototipe ini, tetapi ada percakapan panjang yang menanti di belakang.
Terakhir, MIVUBI selaku kolektif seni di ruang virtual bersama Marten Bayuaji menghadirkan karya bertajuk “Pilgrims: Trail of The Southern Ridge”. Sebuah minecraft video game variable dimensions yang bisa dimainkan bersama untuk menapaki tujuh situs di Gunung Muria. Ziarah, pertemuan virtual dengan Sunan Muria, hingga perjalanan spiritual hingga puncak Argopiloso pada game ini mendudukkan gunung sebagai pancer, sebagai patokan, petunjuk arah bagi yang sedang bertualang. Senyampang dengan itu Marten Bayuaji berkolaborasi dengan Penggiat Konservasi Muria (Peka Muria) melilitkan kain putih di pohon-pohon langka dan perlu dilindungi di hutan Muria. Alas putih jadi presentasi site-specific Marten Bayuaji yang terkoneksi dengan karya MVUBI dalam game tersebut. Melalui karya virtual yang terhubung dengan situasi riil, MVUBI x Marten Bayuaji seperti tengah membuat sejarah sendiri; sejarah yang bisa ditempuh oleh banyak orang tanpa harus mengalaminya.
Demikianlah, suatu perjalanan mengitari sejarah memang membutuhkan napas panjang. Narasi pengetahuan yang diproduksi berlapis-lapis dan tidak bisa dilepaskan satu sama lain. Meskipun, tentu saja ada yang terbenam dari sebuah zaman, ada pula yang kemudian justru mengemuka. Tetapi, di mana perbatasan antara pusat dan pinggir ketika desa serupa rumah ibu, sedangkan kota sekadar ruang pelarian—juga penantian?
[1] Kesaksian A.A. Achsien, tokoh politisi NU, bertajuk “Menara Koedoes, Asal-oesoelnja nama kota Koedoes” di Star Magazine, Nr. 2, 15 Pebruari 1939, ternukil dalam Amen Budiman, Kudus, hlm. 147.
Tulisan ini merupakan catatan atas tatapan terhadap program Folktarium Muria-Pameran Residensi Tapa Ngeli yang diselenggarakan sepanjang 21—27 April 2025 oleh Kampung Budaya Piji Wetan, Muria-Kudus.