Pendidikan Dua Kaki

“Sesoeatoe bangsa mengadjar dirinja sendiri! Sesoeatoe bangsa hanjalah dapat mengadjarkan apa jang terkandoeng didalam djiwanja sendiri!”

(Sukarno, 1963: 615).

Sastrodarsono menjadi orang terpandang. Profesinya sebagai guru bantu di Sekolah Dasar (SD) menjadikan ia dihormati orang-orang. Ia hidup mapan, gampang mencari istri—tanpa khawatir ditampik calon mertua—serta mendapat predikat baru: priyayi. Kehidupan susahnya sebagai anak petani berubah total. Ia bersekolah dan lulus. Bangku pendidikan benar-benar merubah nasibnya. Kala itu, jangankan lulus sekolah profesi keguruan, lulus kelas lima SD saja sudah dianggap orang ‘terpelajar’ yang dihormati di sana-sini.

Bagi penikmat sastra 90-an, telah mengenal Para Priyayi (Umar Kayam, 1992) sebagai tonggak dalam kesusastraan kita. Kepiawaian Umar Kayam dalam menghadirkan nuansa kehidupan masyarakat secara dekat dan realis, menjadikan karya ini sulit lingsir dari kesan pembaca kala itu. Sastrodarsono yang saya sebut di atas adalah satu tokoh dalam novel itu. Ia membawakan lakon berubahnya nasib seseorang karena ia bersekolah. Sekali lagi, sekolah terbukti mampu merubah nasib tidak hanya satu-dua Sastrodarsono, melainkan Sastrodarsono-Sastrodarsono lainnya. Pendidikan selain menjadi kawah pengetahuan, juga candradimuka strata sosial. Pendidikan saat itu tidak hanya penting, bahkan sakral.

Namun, beda masa beda cerita. Kini jangankan lulusan SD, lulusan sarjana saja banyak yang menganggur dan keteteran menjamin masa depannya. Apa yang berubah? Banyak hal berubah, dan selalu akan terus berubah. Termasuk (seharusnya) dunia pendidikan kita. 

Pendidikan di Indonesia telah mengalami pergeseran besar dari masa ke masa. Pada 1938 silam, kita kekurangan tenaga pengajar (guru profesional) karena minimnya lulusan profesi guru. Dulu, hanya lima persen (5%) saja bangsa Indonesia yang melek baca-tulis (M. Natsir, 1954: 63). Sekarang dunia pendidikan kita berkelimpahan guru, dengan masih banyak lulusan pendidik yang menganggur. Di sisi yang sama, anak usia belum SD saja banyak yang sudah mahir baca-tulis di akun social media mereka. 

Mengiring Perubahan

Perubahan ini bersifat dinamis di satu sisi, namun juga dilematis di sisi yang lain. Dunia pendidikan ditodong oleh zaman untuk selalu peka, tanggap, dan responsif terhadap fakta ini. Soedjatmoko, pada zamannya, selalu mengingatkan pentingnya kesadaran ‘tanggap perubahan’ tersebut dengan tanpa kehilangan pijakan pada harga (diri) kebudayaan sendiri. 

Satu gagasan yang kerapkali keras disuarakan oleh Soedjatmoko adalah pentingnya mawas diri terhadap tren perubahan dunia. Isu-isu penting, khususnya pergeseran dan perkembangan keilmuan terus menerus diwanti-wantikan kepada publik Indonesia. Ia bercerita, bahwa kampus-kampus mapan dunia telah begitu antusias dan serius pada penelitian berkelanjutan dengan pada saat yang sama iklim pendidikan di Indonesia masih terperangkap jaring perdebatan sistem pendidikan dan alur birokrasi yang rumit. Saya menghindari kata “ruwet” yang mungkin lebih pas. 

“Menjadi negara Dunia Ketiga, Indonesia tertinggal dalam pemanfaatan bidang-bidang ilmu pengetahuan strategis untuk mendorong pembangunan, di antaranya bio teknologi, mikro elektronika, dan informatika. Sementara negara-negara lain telah menghadirkan terobosan-terobosan ilmu pengetahuan yang mendorong kemaslahatan masyarakat secara ekonomi maupun budaya”. Ujar Soedjatmoko di banyak kesempatan.

Karena dunia terus berubah, seorang intelektual tidak boleh berhenti meng-upgrade diri. Belajar tidak pernah terbatasi jenjang apapun. Sedemikian, Soedjatmoko menekankan pentingnya memiliki semangat belajar sepanjang hayat. Bahwa dirinya yang banyak hadir di forum internasional, bertemu banyak tokoh yang beragam, mengalami perubahan rezim—pra kemerdekaan, era Sukarno, dan Soeharto—dituntut selalu meningkatkan wawasan keilmuan yang dimiliki. Dari jalan belajar dan belajar terus-menerus inilah ia pun tidak pernah kering gagasan. Dengan etos belajar semacam ini, seseorang dapat berpandangan terbuka, sehingga bersedia membuka diri, berdiskusi dengan beragam pemikiran.

Semangat keterbukaan dalam diri Soedjatmoko, terejawantah dalam iklim keluarga. “Rumah kami tidak pernah tutup. Selalu ada orang datang untuk berdiskusi dan makan bareng”, tutur Isna, salah satu anak Soedjatmoko. Baik orang-orang besar, maupun siapa saja diterima sama. Hamengkubuwana IX, Rendra, Gus Dur, adalah bagian dari dari tamu-tamu yang kerap berkunjung ke rumah (Isma Savitri, 2022).

Gelanggang jelajahnya yang sebegitu luas ternyata tidak menipiskan sama sekali moralitas pada dirinya.  Soedjatmoko memandang perlunya pendampingan nilai-nilai moral (spiritual) dalam gerak rasionalitas. Pandangan semacam ini tentu empan papan dengan budaya Indonesia yang memiliki sejarah kebudayaan panjang. Banyak nilai beragam agama, diterima secara resap dan padu dengan keseharian bangsa kita. Maka, dalam praktik pendidikan, khususnya sejak dini, perlu ditanamkan pentingnya olah otak dan watak sekaligus (Soedjatmoko, 1989).

Landasan nilai yang pada gilirannya menjadi referensi moralitas, berdampingan dengan rasionalitas bernalar, menjadikan identitas diri tidak gampang merepih.

“Jelas bahwa usaha pembangunan memerlukan penilaian terus menerus sehingga dapat diadakan koreksi seperlunya. Di sinilah pentingnya Pancasila, bukan saja sebagai falsafah negara, tapi juga sebagai batu ujian konkrit terhadap langkah-langkah pertumbuhan masyarakat”

(Soedjatmoko, 1976). 

Maksud dari implementasi nilai Pancasila tersebut dijelaskan oleh Soedjatmoko sebagai “masyarakat adil dan makmur di mana keadilan sosial disebut lebih dahulu daripada kemakmuran, dan kemakmuran tidak dilihat lepas dari keadilan” (Soedjatmoko, 1976). Tanpa spirit semacam ini, pendidikan yang diselenggarakan justru akan semakin memperlebar kesenjangan antara kaum terdidik dengan masyarakat tanpa didikan sekolah. Ini adalah proteksi penting untuk menghindari kolonialisme terselubung, yakni kolonialisme atas nama ilmu pengetahuan.

Gagasan Soedjatmoko terkait pendidikan, dapat diringkas pada: pertama mendesaknya kesadaran adaptif akan perubahan budaya dan dinamika global, kedua menumbuhkan etos belajar sepanjang hayat secara mandiri dan penuh tanggung jawab, dan ketiga menumbuhkan tindakan rasional yang bermoral.

Menuju “Manusia Baru”

Ketiga gagasan tersebut tidak lepas dari ide “manusia baru” (Soedjatmoko, 1989) yang semakin ke sini semakin relevan. Manusia baru yang dimaksud Soedjatmoko ditandai dengan:

Pertama, tahu banyak hal (well informed). Mereka memiliki kemampuan mencerna informasi sebanyak-banyaknya secara integratif dan konseptual. Kedua, mampu bersikap rasional dalam menghadapi keadaan yang tak menentu. Mereka mampu menahan diri untuk tidak bereaksi secara gegabah, dalam artian dapat(belajar) menguasai kebimbangan dan ketakutan atas realitas yang terus-menerus berubah. Ketiga, memiliki daya kreatif yang tinggi. Dapat mengolah variabel-variabel yang ditemui menjadi potensi keuntungan. Keempat, memiliki kepekaan dan solidaritas sosial yang tinggi terhadap isu-isu keadilan. Kepekaan ini khususnya diarahkan terhadap golongan masyarakat miskin, serta harkat kemanusiaan secara umum. Kelima, percaya pada diri sendiri untuk mandiri, serta dapat bekerja sama dan berorganisasi dengan baik. Keenamtidak mengacuhkan nilai moral. Yakni, kemampuan merelevansikan (interpretasi) ketentuan-ketentuan agama seturut dinamika sosial terbaru.

Relevansi pemikiran Soedjatmoko ini terasa begitu telak saat pandemi Covid-19 kemarin. Saling silang informasi yang sedemikian gencar, menuntut setiap orang untuk dapat mencerna secara rasional. Kemudian, pengalihan pembelajaran di sekolah pada media daring dengan segenap konsekuensinya—penguasaan operasionalisasi aplikasi online—yang bagi banyak kalangan di perdesaan bahkan belum terpikirkan, mau tidak mau harus dilakukan. Walaupun pada awalnya banyak orang tua gelagapan, toh akhirnya mereka dapat beradaptasi.

Interpretasi atas hukum-hukum agama juga diuji ketat. Pandemi yang levelnya global adalah peristiwa baru dan dadakan. Dalam kondisi semacam ini, kebekuan interpretasi teologis hanya akan menambah chaos dan keguncangan prinsip. Sampai di sini, sebenarnya kita telah mulai memasuki babak “manusia baru” sebagaimana diancangkan oleh Soedjatmoko jauh-jauh waktu.

Refleksi

Soedjatmoko berusaha menggagas sebangun konsep yang seimbang antara sisi luar (perabadan global) dan sisi dalam (mentalitas kebudayaan). Ini seperti berdiri di atas dua kaki yang berbeda. Konsep semacam ini bukannya tanpa celah. Justru pada keduanya, secara inheren cukup dilematis. Ritme perubahan sekarang ini berlari sangat cepat dan maraton, sedangkan pada perkara-perkara teknis dasar, dunia pendidikan dalam negeri masih banyak yang belum beres. Tanpa adanya sinergi semangat dan komitmen semua pihak, tak ayal malah akan memicu bom waktu keruntuhan orientasi pendidikan sendiri.

Kendati demikian, dunia pendidikan kita, melalui serangkaian konsep-konsep kunci mengenai lanskap pendidikan global dan manusia barunya Soedjatmoko seperti dibetot dari tidur panjang. Saya melihat, ini bukan utopia semata. Apa yang disampaikan Soedjatmoko tersebut, merupakan bagian dari living pengetahuan yang dialaminya sendiri. Kita boleh ingat bahwa jurusan yang diambilnya pada mulanya adalah kedokteran, dan ini pun tidak rampung. Ia mencoba berkuliah lagi di Harvard University, dan kembali urung terselesaikan. Artinya, melalui dirinya sendiri, Soedjatmoko memberi contoh apa yang disebutnya sebagai “belajar sepanjang hayat” secara mandiri. Sedemikian, ia tetap dapat mengambil peran penting dalam khazanah keilmuan sebagai ‘orang besar’, bahkan di taraf internasional. Kalau boleh menyebut nama lain, mungkin Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bisa dikatakan sebagai contoh lain pembelajar mandiri yang pengaruhnya mendunia

Terakhir, kalau pun pada faktanya jalan menuju ‘manusia baru’ ini masih sangat panjang, setidaknya kita bisa memulai dengan menggarap-memberesi praktik pendidikan di lingkup-lingkup terdekat. Misalnya, menyempatkan diri mengajar anak-anak berliterasi; mengenalkan kepada mereka pentingnya buku dan kemampuan berbahasa yang baik. Dari sini, bibit kedaulatan belajar bisa tersemai. Tentu saja bila aparatur negara yang mengurusi pendidikan tergerak untuk serius dan pro aktif hasilnya akan lebih cepat dan massif. Tetapi, menunggu momentum seperti itu, saya pikir terlalu rawan dan rentan.

Jika memang sudah saatnya Indonesia bergegas berlari, setidaknya harus dikenali dulu jantung budaya sendiri. Jangan sampai begitu langkah kaki digegas, jantung jebol karena ternyata ia telah dilemahkan oleh penyakit menahun yang menjangkitinya: jiwa korup dan birokrasi yang berbelit. Kita semua berharap Indonesia segera madeg pribadi di kancah dunia. Pertanyaannya, apakah kita sudah berjalan ke depan sebagaimana yang ditempuh Soedjatmoko selama hidupnya, atau hanya berputar-putar dari satu harapan ke harapan lain, namun enggan memulai? []


Daftar Pustaka:

Kayam, Umar. 1992. Para Priyayi. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Natsir, M. 1954. Capita Selecta. Bandung: W. Van Hoeve.

Savitri, Isma. 2022. “Soedjatmoko, Visioner yang Dikenal Dunia”. Dalam https://majalah.tempo.co/read/selingan/165575/soedjatmoko-pemikir-indonesia-yang-dikenal-dunia, diakses pada 04/06/2022.

Soedjatmoko. 1976. “Pengaruh Pendidikan Agama terhadap Kehidupan Sosial”, dalam Kertas kerja untuk seminar Pendidikan Agama dan Sistem Pendidikan Bangsa, Jakarta.

Soedjatmoko. 1989. “Manusia Indonesia Menjelang Abad ke 21 dan Pendidikannya”, dalam Kuliah Studium Generale IKIP Jakarta, Jakarta

Soedjatmoko. 1989.”Masa Depan Indonesia: Menuju Manusia Baru”, dalam Sarasehan Harian Kompas, Jakarta

Sukarno. 1963. Dibawah Bendera Revolusi jilid I. Jakarta: Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi. 

Akhmad Faozi
Penulis adalah peziarah Ki Ageng Suryomentaram. Momong anak lanang dan penikmat literasi. Lahir di Pati, nyantri di Kajen, tinggal di Bantul.