Semua ajaran, baik agama, budaya, maupun suatu pemikiran akan abadi jika diiringi oleh sejarahnya dalam penuturan atau pewarisannya. Sejarah tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia sebagai makhluk rasional, sosial, maupun spiritual. Alasan inilah yang mendasari bahwa tidak ada satu pun ajaran agama, budaya, maupun pemikiran yang tidak memuat sejarah di dalamnya. Dalam hal ini, sejarah tidak hanya berfungsi sebagai media penyampai ajaran, tetapi lebih dari itu, sejarah menjadi bagian tidak terpisahkan dari ajaran.
Tengoro atau tanda ini tegas dijelaskan dalam ajaran Islam di Surat Al-Fatihah ayat 6-7. Jalan yang lurus atau kebenaran “shirotol mustaqim” bukan jalan Al-Qur’an maupun Hadis Nabi, tapi jalan orang-orang yang dianugerahi nikmat (iman dan Islam – Shirotolladziina an’amta). Yang penulis garisbawahi dari ayat ini adalah “jalan orang-orang yang mendapatkan nikmat” adalah petunjuk bahwa untuk mendapatkan sesuatu itu kita harus menjalani (meneladani dengan menggali sejarahnya) orang orang yang telah mendapatkan sesuatu yang kita maksud. Karena itulah pada ayat-ayat dan surat-surat berikutnya, Al-Qur’an banyak memaparkan kisah-kisah sejarah manusia sebelumnya (qoshoshu Al-Qur’an). Kesakralan sejarah merupakan pemahaman kolektif semua umat beragama dan pegiat budaya (budayawan) yang kemudian diurai dan disimpulkan oleh Karen Amstrong, penulis Buku “The History of Good”.
Sejarah adalah sakral dan wingit bagi Agamawan dan Budayawan, kesakralan ini tercermin dari bagaimana kedua kelompok ini memperlakukan sejarah dan menyandarkan laku kehidupan mereka terhadap sejarah. Contoh, sejarah para nabi sangat sakral bagi kaum beragama. Semua agama-agama di dunia dalam mentransfer nilai luhur agama kepada para pemeluknya, selain menggunakan bahasa sastra yang tinggi juga menggunakan narasi sejarah yang sarat dengan nilai. Begitu juga sejarah lokal leluhur suatu masyarakat, diperlakukan sakral oleh masyarakatnya.
Upacara adat atau ritual-ritual adat masyarakat biasanya disandarkan kepada peristiwa sejarah yang dialami oleh tokoh atau masyarakat setempat. Sebagai Contoh, adat pelarangan memotong hewan sapi di kota Kudus yang sakral adalah dilatarbelakangi oleh peristiwa pelarangan Sunan Kudus kepada kaum muslim untuk menyembelih sapi di tanah tersebut karena menghormati pemeluk agama Hindu yang saat itu sudah lebih dulu ada. Sejarah yang sakral inilah yang akan mampu mempengaruhi kehidupan masyarakat sebagai bentuk nilai luhur dan pemandu dalam sikap hidup.
Harus diakui bahwa sejarah tidak bisa dibandingkan dengan ekonomi yang merupakan kebutuhan material yang sangat mendesak bagi masyarakat, akan tetapi pemahaman Sejarah adalah kebutuhan jiwa bagi setiap manusia yang harus dipenuhi karena jika pemahaman sejarah ini gagal maka akan berpengaruh buruk kepada peradaban manusia ke depan. Tentu pemahaman sejarah yang penulis maksud menyesuaikan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Kebutuhan sejarah bagi orang awam, Agamawan, Budayawan dan akademisi tentu berbeda. Sejarah akan sangat berguna bagi masyarakat umum jika sejarah tersebut berupa kisah-kisah inspiratif yang mengandung nilai luhur dan nasehat moral serta spiritual bagi mereka. Mereka tidak begitu peduli terkait angka tahun, nama-nama, artefak, dan lain-lain. Bagi kaum akademisi, sejarah diharuskan bersandar kepada sumber-sumber yang mereka yakini secara subyektif sebagai sumber kebenaran sejarah. Sejarah ditentukan dengan penelitian dan metodologi ilmiah yang semua harus bersandar fakta yang terlihat dan terbaca oleh panca indra. Sementara kaum budayawan dan agamawan, menggabungkan kedua pemahaman diatas dengan kritis. Budayawan dan agamawan memiliki pendirian sendiri yang kuat terhadap pemahaman sejarahnya.
Penulis membagi sejarah berdasarkan taraf pemahaman ini bukan berarti masing-masing ruang tertutup tembok tebal aliran pemikiran untuk tidak saling berhubungan, tetapi ketiga ruang itu memiliki pintu-pintu penghubung. Dari pintu-pintu itulah terjadi dialektika sejarah.
Logika cinta
Sejarah tidak hanya sebagai ilmu yang memiliki fungsi pendidikan, hiburan dan inspirasi, tetapi lebih daripada itu sejarah harus menjadi nilai luhur yang membentuk masyarakatnya menjadi beradab dan bermartabat. Untuk mewujudkan itu metodologi akademik tidak cukup untuk menarasikan sejarah yang luhur, dalam hal ini dibutuhkan pelibatan jiwa dan cinta dari sejarawannya. Pelibatan jiwa dan cinta dalam penulisan sejarah ini akan menghadirkan narasi sejarah yang memiliki ruh dan akan membentuk karakter masyarakat.
Untuk mengenal Nabi Muhammad SAW maka kita harus mencari informasi tentang pribadi beliau dari para pecinta dalam hal ini adalah para sahabat. Jika kita ingin mengenal Nabi Muhammad melalui informasi dari Abu Jahal maka yang akan kita dapatkan adalah informasi sesat tentang Nabi. Begitu juga ketika kita ingin mengenal Nusantara, maka kita harus mencari informasi dari para pecintanya. Pemahaman sejarah akan dangkal jika sumber primernya dari pendapat manusia asing yang menulis Nusantara tanpa cinta dan jiwa.
Sebagai contoh adalah sosok Ratu Kalinyamat Jepara yang berkuasa di abad ke-15. Sejarawan akademik gagap mengenali sosok perempuan yang mengobarkan perang melawan Portugis di Malaka meneruskan perjuangan kakeknya, Raden Patah raja pertama Demak Bintoro ini. Sang Ratu digambarkan melakukan Topo udo/telanjang tanpa memakna teks tersebut menurut pemahaman para pecintanya.
Bagi masyarakat Jepara, Sang ratu adalah sosok perempuan mulia yang sangat mereka hormati, beliau adalah santri dari para walisanga dan perempuan agung yang nasab keturunan dari ayahnya menyambung kepada Raja-raja Majapahit, sedangkan nasab keturunan dari ibunya terhubung ke Sunan Ampel bahkan sampai kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Secara turun-temurun di masyarakat, mereka memaknai topo udo bukan telanjang dalam arti fisik, tetapi topo udo itu adalah istilah dari perjalanan spiritualnya dalam melepas rasa kepemilikan terhadap harta dunia untuk kemudian memimpin Jepara dengan bekal kematangan intelektual dan spiritual (Sufistik). Pemahaman sejarah ini terus tumbuh dan bertahan dalam alam bawah sadar masyarakat Jepara dan diwariskan sebagai foklor lisan dari generasi ke generasi. Pemahaman ini tidak luntur meskipun banyak narasi-narasi negatif tentang Ratu mereka didukung oleh narasi sejarawan akademik.
Secara turun-temurun di masyarakat, mereka memaknai topo udo bukan telanjang dalam arti fisik, tetapi topo udo itu adalah istilah dari perjalanan spiritualnya dalam melepas rasa kepemilikan terhadap harta dunia untuk kemudian memimpin Jepara dengan bekal kematangan intelektual dan spiritual (Sufistik).
Besarnya penghormatan kepada Sang Ratu ini masih bisa kita saksikan dengan tetap terjaganya Masjid Makam Mantingan dan ramainya masyarakat berziarah ke makamnya. Di sakralkannya sejarah Sang Ratu ini mempengaruhi karakter Masyarakat dalam beberapa hal, : 1). Menjaga masyarakat tetap religius dan mampu bertahan dari gelombang materialisme dan globalisasi. 2). Masyarakat yang mencintai Sang Ratu akan menjadi masyarakat yang memiliki rasa pamomong (perhatian) terhadap budaya Nusantara, percaya diri dan berwawasan luas, dan 3). Menumbuhkan rasa persatuan, patriotisme dan cinta tanah air.
Menjaga nalar sejarah yang mandiri
Teks “Sejarah di tulis oleh para pemenang” adalah pil pahit yang harus ditelan oleh masyarakat sejarah yang selalu beranggapan bahwa metodologi ilmiah menjamin kejujuran dan obyektifitas sejarawan. Slogan “obyektif” melahirkan tekstualis, tekstualis melahirkan kebekuan terhadap tafsir atau kemungkinan-kemungkinan lain tentang sebuah realitas sejarah.
Beberapa tahun yang lalu, jagad sejarah nasional digegerkan oleh hasil proyek penulisan kamus sejarah nasional yang tidak mencantumkan KH. Hasyim asy’ari sebagai tokoh Islam yang mengobarkan semangat anti penjajahan. Di tahun-tahun sebelumnya juga jagad sejarah nasional digegerkan oleh terbitnya buku “Fatwa dan Resolusi Jihad” karya Ng. Agus Sunyoto yang mengungkap fakta kronologi dan latar belakang perang 10 November di Surabaya. Sebuah fakta sejarah yang tidak terjangkau oleh peneliti-peneliti akademik, sehingga fakta tersebut diungkap oleh orang yang latar pendidikannya tidak dari study bidang sejarah. Dua peristiwa ini merupakan puncak gunung es dari realitas hari ini yang mana institusi akademik dalam bidang sejarah belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat sejarah. Untuk memenuhi itu, maka masyarakat akhirnya mengambil jalan lain, dengan kemandirian diri melakukan penelitian-penelitian menggunakan metodologinya sendiri yang khas.
Nalar sejarah yang mandiri adalah nalar sejarah yang jujur dan tidak meninggalkan khazanah lokalitasnya, nalar sejarah yang memenangkan dan mendasarkan analisanya pada fakta mental, spiritual, dan budaya daripada analisa orang lain yang tidak mengenal budayanya. Nalar ini senantiasa terjaga secara turun-temurun dan lestari meski harus berhadapan dengan nalar akademik murni yang penalarannya berdasarkan pada teks semata.
Leave a Reply