Suluk Kesenian Jumaldi Alfi

Saat pertama kali mendengar seniman kenamaan Jumaldi Alfi akan menggelar pameran dengan tema “Digital Spritualism”, entah kenapa saya tiba-tiba mempunyai inisiatif untuk mewawancarai perupa yang eksentrik ini. Bisa jadi tema pameran ini memang secara sadar memantik saya untuk lebih lanjut mendalami makna spiritualitas dari sudut pandang perupa Jumaldi Alfi. Seringnya seniman ini menggugah tulisan-tulisan pendek dan aktivitas berbau spiritualitas melalui status Facebook-nya yang kerap saya ikuti, tambah memantapkan saya untuk meminta jadwal wawancara seniman yang satu ini.

Untuk orang yang belum banyak mengenalnya, Jumaldi Alfi adalah seorang perupa yang telah memamerkan karyanya secara nasional maupun international. Perupa kelahiran Lintau, Tanah Darat, Sumatra Barat ini, tercatat pernah melakukan pameran international di berbagai negara mulai dari Belanda, Amerika, Perancis, Tiongkok, dan banyak lagi yang lainnya. Beberapa prestasi seperti karya lukis terbaik Fakultas Seni Rupa (FSR) ISI, Yogyakarta (1998), Finalis Indonesian Art Award V (1998), Finalis Indonesian Art Award X (2003) pernah ia dapatkan. Bahkan dirinya dinobatkan sebagai 20 perupa nasional dari 500 perupa dunia sebagai perupa yang karyanya paling laris di pasaran. Dari sana bisa dikatakan bahwa jalan sebagai seorang perupa telah mencapai titik tertinggi yang mungkin tidak banyak dimiliki oleh seniman yang lainnya.

Dari sanalah sore itu (17/8), saya bertemu di studio miliknya, Sarang Building di daerah Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul. Galeri yang cukup megah dengan konsep modern yang rimbun dengan pohon-pohon besarnya. Sesampainya di sana saya langsung disambut hangat oleh Uda Alfi (panggilan akrabnya) di depan studio Sarang Building. Konsep galeri yang disampingnya terdapat coffee shop, membuat perbincangan kami yang hampir memakan waktu dua jam semakin hangat disertai suguhan kopi Vietnam drip tentunya.

Setelah sedikit saling bertukar kabar dan menanyakan agenda rutinan yang sedang dikerjakan, saya tidak berpikir panjang, kemudian langsung mengajukan beberapa pertanyaan. Beginilah kira-kira pertanyaan dan jawabannya;

Saya akan memulai obrolan ini terkait pameran Anda yang mengambil tema “Digital Spritualism”. Apa kira-kira maksudnya, bisa anda jelaskan?

Sebenarnya gini, saya tidak tahu apakah tema ini tepat atau tidak, tapi bagi saya tema ini merupakan sepontanitas seorang seniman melihat fenomena social keagamaan yang terjadi pada tahun-tahun terakhir ini. Bagaimana gairah spiritualitas berbaju agama ini menguat dan berkembang pesat, di satu sisi bagi saya hal itu menarik. Dimana tiba-tiba simbol-simbol agama entah itu Islam atau agama lain itu muncul. Kebetulan Islam sebagai agama mayoritas lebih ditonjolkan. Hal tersebut sebenarnya juga terjadi di negara-negara lain, seperti di Amerika latin, USA, bahkan juga bisa kita lihat terjadi di Israel yang kelompok garis kerasnya juga menguat.

Sebenarnya hal tersebut tidak bisa kita pungkiri bahwa perkembangan dunia digital itu bisa dikatakan membantu atau bisa jadi mempercepat laju pengentalan agama yang cenderung formalistik melalui simbol-simbolnya yang muncul. Hal ini tentu beda halnya dulu ketika zaman kita belajar/mengerti agama yang harus bertatap muka secara langsung, di surau-surau dengan waktu-waktu khusus bahkan harus jelas sanad gurunya siapa.

Tetapi hari ini, kita bisa belajar agama melalui teknologi yang ada, mulai dari ribuan tulisan di internet yang tidak terikat ruang dan waktu, bahkan “mohon maaf” kita membaca situs-situs agama tersebut bisa di kamar mandi. Hal tersebut tidak lazim di zaman kita kecil dulu, dan banyak lagi kemudahan-kemudahan untuk mengakses pengetahuan itu.

Walaupun begitu, jika hal tersebut dijejalkan pada kita setiap harinya, tanpa kontrol, tanpa adanya bimbingan guru yang tepat. Banyaknya informasi tersebut bisa ditelan sesukanya, bahkan seringkali kita tidak tahu kadar yang tepat, kapan harus berhenti dan merasa cukup, sering kali bahkan hal itu membuat kita merasa turah-turah benar.

Menariknya juga dalam hal ini muncul selebritas agama baru, bukan agamanya tapi orang-orang-nya. Kalau dulu jika kita belajar agama kan jelas, gurunya siapa, sanad kiai-nya dari mana, pernah mondok di mana. Kalau sekarang tiba-tiba banyak orang menjadi pendakwah. Dari situ-kan kemudian pendakwahan-pendakwahan menjadi instan dan ringan bahkan cenderung dangkal.

Dari konten-konten itulah sebenarnya pameran ini dengan karya-karya seperti itu muncul. Tetapi bagaimanapun yang sudah saya bicarakan panjang di atas hanyalah opini, pandangan, kita tidak bicara benar dan salah. Kalau kata Picasso bahwa seni itu kebohongan yang dibenar-benarkan. Dalam hal ini, prinsipnya bahwa seni itukan visual, tinggal sedalam mana visual itu menarik dan cerita yang ada dibaliknya itu bisa untuk merangsang daya pikir dan imajinasi kita.

Kalau kata Picasso bahwa seni itu kebohongan yang dibenar-benarkan. Dalam hal ini, prinsipnya bahwa seni itukan visual, tinggal sedalam mana visual itu menarik dan cerita yang ada dibaliknya itu bisa untuk merangsang daya pikir dan imajinasi kita.

Dalam beberapa tahun ini, saya sering lihat status-status facebook Anda selalu mengulas tema-tema spiritual, bahkan beberapa bulan lalu kalau gak salah saya melihat Anda sering melalukan ziarah kubur. Apa makna itu semua bagi Anda?

Sebenarnya saya juga tidak tahu kenapa tiba-tiba saya malah sering melakukan yang mungkin lima atau enam tahun yang lalu tidak terbayang oleh saya, tetapi akhirnya hari ini malah jadi semacam candu seperti itu, jadi intensitasnya meninggi, hahaha. Ya misalnya kalau dirunut pengalaman pribadi masa kecil saya, kan banyak kasus-kasus ketika di satu titik, orang itu refleksinya melihat sesuatu ke belakang yang paling dasar.

Misalnya ziarah dan mengunjungi tempat-tempat yang kuno itu pengalaman masa kecil ketika masih di Minang dulu. Tapi memang kalau dulu konteksnya berbeda karena dipengaruhi lingkungan. Di Minang sendiri banyak situs-situs kuno seperti itu, jadi dari dulu saya memang senang dengan hal-hal terkait sejarah dan masa lalu. Membayangkan kejadian-kejadian masa lalu sehingga mengetahui peninggalannya di sana apa, dari sana kemudian imajinasi saya bermain berlari kemana-mana.

Dan memang lingkungan keagamaan juga banyak memengaruhi. Di tempat saya sendiri terdapat dua arus besar keagamaan. Pertama, Islam Tradisional yang banyak dikenal dengan Tarbiyah kalau secara organisasi Perti. Hal ini sama halnya kalau di Jawa, NU yang secara praktek keagamaannya relatif sama. Kebetulan saja ibu, paman, dan keluarga besar saya berangkat dari sana.

Kemudian juga ada kelompok yang lebih muda yang biasanya lebih ke arah Muhammadiyah. Kalau saya sendiri, karena dari kecil sekolah mulai dari Muhammadiyah diajar oleh guru-guru Muhammadiyah, kalau sore sekolah di Madarasah Ibtidaiyah Asiyah itu, jadi memang saya dibentuk di kultur Muhammadiyah. Kebetulan saya menyukai seni, mungkin gabungan-gabungan tersebutlah yang membuat saya seperti ini.

Jadi bedasarkan paparan anda tadi, yang membuat Anda kembali menganggit aktivitas keagamaan atau spritualitas adalah pergulatan batin di masa lalu Anda. Bukankah seperti itu?

Iya sebenarnya kalau ditarik ke belakang betul seperti itu, perubahan itu terjadi dan mulai intens baru-baru ini atau lebih jauh beberapa tahun ini sekitar empat tahunan lah. Ada nuansa kerinduan atas pengalaman masa lalu saya yang dipenuhi aktivitas keagamaan tadi. Saya tumbuh di kultur keagamaan yang homogen, saling menghargai dengan berbagai perbedaan antara kultur Minang dan Islam, yang di dalamnya ada organisasi keagamaan seperti Tarbiyah dan Muhamadiyah dan itu tidak masalah.

Tetapi setelah datang ke Yogyakarta pada tahun1990-an dengan kultur Yogya yang lebih kosmopolit membuat perbedaan itu menjadi sangat jelas. Perbedaan yang ada tidak hanya pada Islam sendiri tapi juga lain agama, seperti saat saya kos mahasiswa dulu, penghuninya banyak yang berbeda agama dan keyakinan. Saya semacam mengalami shock culture dengan lingkungan yang sangat berbeda, mulai dari agama, cara pandang, seperti itu.

Jika dulu di kampung saat menanggapi perbedaan itu, kita selalu melihatnya dari sudut pandang agama formal, itu orang kafir dan ada semacam doktrin yang melekat di dalamnya. Namun setelah di Yogya saya tumbuh bersama perbedaan tersebut. Awalnya ada semacam alergi, kemudian agak betahanan dengan pemahaman lama, tapi saya akhirnya hidup berdampingan, dan lama-lama saya mengamati bahwa ternyata keyakinan ritual berbeda, tetapi secara ruh spirit sama aja dengan saya. Dari sana saya malah intens berkawan dengan mereka, sampai malah agak kebablasen, yang membuat saya jadi berpikiran liberal. Di mana pada satu titik saya menganggap bahwa persoalan agama itu sama saja, itu hanya soal bungkus dan kulitnya saja. Sehingga pada suatu waktu saya meninggalkan syariat, hanya satu hal yang tidak saya tinggalkan yaitu puasa ramadhan saja. Dan hal itu saya anggap hal biasa, bagian dari proses diri saya.

Di mana pada satu titik saya menganggap bahwa persoalan agama itu sama saja, itu hanya soal bungkus dan kulitnya saja. Sehingga pada suatu waktu saya meninggalkan syariat, hanya satu hal yang tidak saya tinggalkan yaitu puasa ramadhan saja. Dan hal itu saya anggap hal biasa, bagian dari proses diri saya.

Kemudian jika dispesifikkan dari pengalaman Anda tadi, adakah pengalaman yang menggetarkan sebagai titik balik sehingga hal tersebut memengaruhi Anda hingga sekarang?

Iya jadi masa liberal diri saya kira-kira sampai masa akhir kuliah saya. Jadi tiba-tiba ada kesadaran dalam diri bahwa saya merasa ada kekosongan di dalam diri saya. Hal ini terkait bahwa di dunia seni itu banyak kebebasan yang diterima, contoh yang paling dasar itu adalah kebebasan berimajinasi. Tapi ternyata ketika imajinasi itu dibebaskan menjadi liar, ternyata saya tidak mampu untuk mengontrolnya, pada titik itulah mengingatkan saya pada agama untuk mencantolkan imajnasi tadi agar tidak hanyut.

Dari sanalah kemudian saya mulai mendekati lagi keintiman dalam beragama. Dan menariknya ketika saya mendekat lagi pada agama, kumpul saya sama dengan teman-teman NU, awalnya cuma ngobrol dan akhirnya saya ikuti aktivitas mereka, ada yang mengajak ziarah kubur dan lain-lain. Saya merasa nyaman dengan itu tradisi-tradisi itu. Ketika sampai titik itu tiba-tiba saya ingin menggali diri saya kembali, saya teringat bahwa saya juga mempunyai tradisi yang sama. Dari sanalah saya mulai menulis pengalaman reflektif masa lalu saya tersebut banyak di sosial media.

Sebelumnya, pengalaman yang bisa kita sebut menggetarkan tadi itu banyak, tapi salah satu hal yang bisa saya ceritakan adalah saat saya akan menikah dengan istri saya. Hal ini sangat menarik. Saya sendiri tidak tahu, kenapa dalam perjalanan cinta saya, selalu bertemu perempuan yang berbeda agama kemudian menjadi pacar saya, terhitung dua mantan saya lah ya. Termasuk istri saya sekarang, dimana sebelum menikah kita pernah berdialog di mana dia yang mempunyai keyakinan tapi ragu dan mau belajar agama yang saya yakini. Tapi saya sendiri sudah punya keyakinan, malah ingin saya tinggalkan dengan tidak ingin menyakini apa-apa agnostik (tidak percaya salah satu keyakinan apapun).

Pada saat kita berialog itu, saya mengatakan bahwa saya akan mengikuti keyakinanmu. Saat itu saya sudah tidak mempertimbangkan keluarga saya lagi jika mesti berpindah keyakinan. Tetapi justru istri saya malah mengikuti keyakinan saya. Dari sanalah mungkin kesadaran keagamaan saya meningkat, saya mulai kembali menjalani ritual agama yang lama saya tinggalkan dan hampir pudar. Dari hal tersebut juga saya mulai membuka kitab lagi, belajar agama lagi, sebagai wujud tanggung jawab saya sebagai orang yang dianggap lebih tahu soal Islam di mata istri saya. hahaha

Dari sanalah mungkin kesadaran keagamaan saya meningkat, saya mulai kembali menjalani ritual agama yang lama saya tinggalkan dan hampir pudar. Dari hal tersebut juga saya mulai membuka kitab lagi, belajar agama lagi, sebagai wujud tanggung jawab saya sebagai orang yang dianggap lebih tahu soal Islam di mata istri saya. hahaha

Dari pengalaman spiritual yang cukup menarik tersebut, apakah hal itu mempengaruhi proses kreatif dalam membuat karya-karya lukis Anda?

Hal ini jelas, sangat memengaruhi karya-karya lukis saya tentunya. Jadi jika boleh saya mengutip kalimatnya Jim Supangkat seorang pengamat seni dan curator, dia ngomong bahwa kalau diteliti 90 persen seniman perupa di Indonesia itu secara kekaryaan itu spiritual. Maksudnya itu apa, bukan konseptual atau apa ya, tapi lebih mengandalkan rasa dari pada apa yang dipikirkan. Karena kebanyakan kita itu berkarya dulu kemudian baru dipikirkan. Itu memang pengalaman saya berkarya seperti itu, jadi apa yang saya rasakan itukan hasil dari pengalaman-pengalaman yang pernah saya alami bukan pengalaman orang lain. Maka karya saya itu sangat personal sekali, hal ini bukan berarti saya anti politik, ataupun anti sosial, tetapi yang jelas hal itu bukan tema dari karya saya.

Tema saya ya diri saya sendiri, yang berhubungan dengan realitas sosial yang saya alami. Kalau dulu memang itu tidak begitu saya sadari, mengalir begitu saja. Tapi sekarang saya mulai menyadari bahwa karya saya mendahulukan rasa dari pada pikir, dan sekarang dari opini-opini saya kemudian saya memunculkan konsep yang melambari dari apa yang saya rasakan. Secara visual-pun sekarang banyak mengalami pergeseran, kalau dulu lebih mengandalkan spontanitas, baik secara warna, garis, dan pola. Tetapi sekarang lebih tertata lebih filosofis dan konseptual tentunya.

Beberapa kali saya sering melihat Anda melukis punggung Anda sendiri apakah hal tersebut juga merupakan bagian dari perjalanan spiritual yg mawujud dalam proses pengkaryaan Anda?

Iya lukisan dengan tema pungung itu merupakan bentuk refleksi saya selama hampir 30 tahun berkarya di seni rupa. Jadi garis besarnya kan saya itu bergelut di visual art lukisan, kemudian semenjak dua tahunan ini saya menimbang ulang apa sih lukisan itu? Jadi seri punggung itu bagian dari refleksi saya bagaimana memandang dan melihat lukisan itu sendiri. Menurut saya sendiri memandang dan melihat itu berbeda, kalau memandang itu lebih pada apa yang ada di depan kita, seperti secara fisik itu harus ada obyek yang berada di depan mata kita cukup di sana. Tetapi kalau melihat selain ada obyek itu apa sih di dalamnya ada berupa lapisan-lapisan. Ibaratnya gini;

“Saya memandang matamu, itu hanya melihat mata yang disana ada retina hitam seperti itu, tetapi jika melihat kita tidak sekedar bentuk fisiknya di mana mata kadang juga menyimpan kesedihan, marah dan mungkin juga kegembiraan, di sana kita bisa sebut ada makna”.

Jika kita mau sambungkan pada ilmu tasawuf itukan setelah syariat ada hakikat, pada tahap itulah saya ingin mengatakan bahwa melihat itu mempunyai lapisan bagian dari proses mendekat pada hakikat. Hal itu belum lagi bicara lebih jauh terkait dan makrifat. Nah pada lukisan seri punggung itu, kenapa saya selalu melihat ke belakang dan selalu melihat lukisan, bahwa itu artinya saya ingin mempelajari kembali, merefleksikan, kemudian memikirkan ulang, tentang apa sih makna praktik-praktik lukisan yang saya geluti selama ini.

Dan pada akhirnya hal ini berhubungan dengan proses kembali saya kepada tradisi-tradisi saya masa lalu seperti ziarah kubur dengan ziarah visualnya seperti lukisan saya tersebut. Dan ketika ziarah kubur itupun, saya sebenarnya tidak melihat bentuk nisannya atau artefaknya atau apa yang terkait dengan kepercayaan-kepercayaan pada umumnya. Tetapi ketika ziarah apa yang saya bayangkan adalah bahwa saya akan juga kembali ke sini, terus kemudian bekal apa yang akan saya bawa, apa saja yang telah saya kerjakan.

Dan ketika ziarah kubur itupun, saya sebenarnya tidak melihat bentuk nisannya atau artefaknya atau apa yang terkait dengan kepercayaan-kepercayaan pada umumnya. Tetapi ketika ziarah apa yang saya bayangkan adalah bahwa saya akan juga kembali ke sini, terus kemudian bekal apa yang akan saya bawa, apa saja yang telah saya kerjakan.

Apa lagi jika pergi ke makam para auliya, wali, saya selalu membayangkan bagaimana ia telah memberi makna pada hidup. Walaupun mereka tidak ada ikatan dengan saya secara langsung saat ini, tapi bagi saya mereka itu ibarat kepingan puzzle yang membuat saya sekarang menjadi Islam. Bayangkan jika para aulia itu tidak ada mungkin saya tidak masuk Islam. Maka dari itu saya ingin mencari akar mungkin secara runutnya tidak ada, tapi saya pikir secara emosional itu ada.

Pameran Tunggal Jumaldi Alfi “Digital Spritualism”, di Studio Sarang Building (Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul (8/2020).

Melihat proses itu, kira-kira seri lukisan punggung ini kapan membuat Anda merasa cukup dengan seri pungung itu?

Dalam proses kerja saya sebenarnya, saya tidak pernah membatasi, biarlah mengalir. Bisa jadi pada suatu ketika saya mengakhiri seri ini saya ganti obyek lain, dan mungkin pada momen tertentu saya akan kembali lagi. Dan bagi saya itu biasa ketika masuk bilik-bilik ide di waktu bersamaan.

Di atas sebenarnya sudah di singgung sedikit bahwa sebenarnya seniman sangat spiritualis, bisa Anda jelaskan lebih lanjut terkait hal ini bagi Anda sendiri?

Seni dan agama sebenarnya-kan sama terkait ilmu rasa dan ilmu keyakinan. Misalnya di seni itu saya diajari bagaimana kita mempertahankan keyakinan. Sama dengan agama, orang Islam meyakini bahwa kebenaran itu miliknya. Dan begitupun orang nasrani, katolik berkeyakinan sama kebenaran juga ada dalam keyakinannya. Jika hal itu coba kita paksakan pada orang lain tentu akan mental. Persis di seni juga seperti itu, jika kamu meyakini bahwa warna yang keren itu merah, lalu kamu memaksa pemahamanmu seperti itu pada orang yang meyakini bahwa biru yang paling keren, itu tidak bakalan ketemu. Tapi di situ-kan pasti ada pilihan dan dialog, bahwa prisipnya warna atau keyakinan itu sama yaitu keindahan. Dalam seni rupa keindahan itu divisual juga dalam tindakan, pun begitu juga bahwa rahmatan lil alamin itu selain kasih sayang juga keindahan dan harmonisasi.

Memang dalam prosesnya setiap seniman mengalami goncangan dalam diri itu pasti terjadi, saya pun mengalami hal tersebut. Pilihannya orang seni apapun, jika ia serius mendalami jalan seni itu pilihanya ada dua, jika ia dekat dengan agama ia akan menjadi religius. Kedua ia juga bisa menjadi anti agama, (ketika ia sudah menyakini bahwa seni itu lebih kuat). Jadi tidak aneh jika ada orang seni tidak percaya Tuhan karena ia telah menemukan makna dari keindahan yang dijalaninya. Namun itukan keterbatasan kalimat saja, untuk mengungkapkan makna dari keindahan, tetapi intinya ia memuja keindahan. Namun keindahan sendiri bagi saya adalah cahaya illahiah.

Jadi tidak aneh jika ada orang seni tidak percaya Tuhan karena ia telah menemukan makna dari keindahan yang dijalaninya. Namun itukan keterbatasan kalimat saja, untuk mengungkapkan makna dari keindahan, tetapi intinya ia memuja keindahan. Namun keindahan sendiri bagi saya adalah cahaya illahiah.

Jika saya boleh meminta contoh salah satu seniman yang memiliki spiritualitas yang mungkin menginspirasi proses Anda siapa?

Tentu yang paling dekat dengan saya ya Nasirun. Kalau Nasirun korelasinya kan jelas dalam titik hubungan antara spiritual, religi dengan seninya itu sangat jelas di topang dengan latar bekang keluarganya yang juga penganut agama yang taat. Kemudian yang kelihatan seolah bertolak belakang, tapi ia sangat spiritualis adalah Ugo Untoro, memang dalam praktiknya ia tidak kelihatan agamis. Bahkan karya-karyanya tidak mencerminkan itu semua. Tapi jalannya saya lihat mencerminkan sebagai suluk kesenian. Dimana intensitasnya ia mengenali dirinya melalui garis atau yang lainnya. Mungkin bungkusnya banyak orang melihat seperti orang chaos. Tapi ketika ia bekerja intensitasnya ia seperti orang wirid. Karna saya satu bulan dengan dia saat di Australia. Bagaimana ketika melukis menjalani ritualnya itu, seperti orang wirid dan mengalirnya sudah menyatu. Antara pikiran rasa dan goresan yang dihasilkannya. Memang secara fisikal ia tidak menjalankan ritual agama, tapi bukan di sana saya melihatnya.

Bagaimana ketika melukis menjalani ritualnya itu seperti orang wirid dan mengalirnya sudah menyatu. Antara pikiran rasa dan goresan yang dihasilkannya. Memang secara fisikal ia tidak menjalankan ritual agama, tapi bukan di sana saya melihatnya.

Dan yang membuat saya terkesan adalah ketika di suatu malam di Australia, tiba-tiba Ugo meminta tolong saya untuk mengirimkan uang pada ibunya ke Indonesia karna Ugo tidak ada internet banking. Ia menyatakan bahwa ibunya meminta tolong bahwa besok pagi ibunya harus membayar tukang. Hal ini bukan masalah uangnya, tetapi reaksi dia saat dihubungi ibu-nya harus saat itu juga dikirimkan uangnya padahal saat itu di Australia jam 12 malam. Dan sebenarnya kejadian itu bukan terjadi sekali dua kali. Dari sana saya berpikir bagaimana penghormatan Ugo terhadap ibunya sangat luar biasa.

Kita tahu sendiri di Islam bagaimana ajaran menghormati seorang ibu bagian dari ajaran puncaknya. Tapi Ugo mungkin tanpa tahu dalil surga di bawah telapak kaki ibu, ia sudah menjalankan itu semua menjadi praktik kesehariannya. Yang terbaru saat masa covid 19 ini dengan inisiatifnya ia menelepon saya, meminta patungan untuk membantu teman-teman seniman yang terdampak bencana ini. Bayangkan seorang Ugo yang kita lihat seperti itu tidak memakai baju agama, ternyata telah menjalankan praktik spiritualitasnya pada laku kesehariannya tidak lagi pada wacana dan apalagi diskursus agama. Hal ini kontradiktif dengan agamawan yang ada hari ini. hahaha…

Ini mungkin pertanyaan terakhir bagi anda, setelah Anda mencapai puncak karir kesenirupaan Anda, dengan apa yang Anda ceritakan dari awal sampai akhir tadi. Apa kira-kira yang ingin Anda perbuat ke depannya?

Ini yang sedang saya pikirkan dan terus berjalan, mulai dari saya melukis seri pungung dan aktivitas seperti ziarah kubur dan sebagainya. Dulu saat pertama kali saya datang ke Yogya, saya hanya kepikiran jadi pelukis karena saya suka menggambar. Saya sama sekali tidak kepikiran untuk menjadi kaya punya materi, dalam pikiran saya bisa hidup sajalah dari proses saya ini. Tetapi dalam perjalanannya saya mengalami fase jatuh bangun yang ekstrem dalam kehidupan. Dalam suatu fase lukisan saya tidak ada yang laku selama lima tahun. Tapi saya mendapat momentum lagi, yang membuat saya mendapatkan rezeki sampai turah-turah. Ketika seperti itu, kemudian saya kembalikan lagi pada diri saya sendiri, apakah betul ya, ini yang saya harapkan.

“Jikalau saya dalam proses berkesenian saya menjadi kaya, mudah-mudahan membuat saya entah itu dalam karya dan tindakan/perilaku saya semakin baik, tetapi jika tidak, tidak usah saya dibikin kaya. Tetapi ternyata semakin hari rezeki saya bertambah, berarti ada yang dititipkan kepada saya.

Kemudian Saya baru ingat bahwa saya pernah menulis dan bukunya masih ada. Kira-kira tulisan saya itu seperti ini “Jikalau saya dalam proses berkesenian saya menjadi kaya, mudah-mudahan membuat saya entah itu dalam karya dan tindakan/perilaku saya semakin baik, tetapi jika tidak, tidak usah saya dibikin kaya. Tetapi ternyata semakin hari rezeki saya bertambah, berarti ada yang dititipkan kepada saya. Maka dari sana saya tidak lagi menjadi seniman tapi aktivis kesenian. Lalu kebetulan saya bersahabat dengan Nasirun. Saya mendapatkan hal-hal positif dari dia, dan ini yang kita sebut dengan zakat kebudayaan dan kesenian. Jadi apa yang saya dapatkan sekarang sudah berlebih, karena dapatnya saya dari kesenian, ya lebihnya saya salurkan untuk membangun ruang-ruang seperti mengorganisasikan perupa-perupa muda dari Minang. Membuka ruang untuk pameran di galeri saya, membuat acara diskusi juga acara Suluk Kebudayaan dengan teman-teman Langgar. Hal itu cukup membuat saya bahagia seperti halnya saya ketika melukis. Dan saya baru menyadari bahwa kesenian itu tidak hanya melahirkan visual tapi juga intelektual. Dari sana saya semakin yakin bahwa kesadaran kebudayan itu penting, tapi sering kita tinggalkan. Dengan langkah kecil saya tersebut saya menginginkan kemaslahatan yang lebih luas dengan memberi ruang untuk belajar bersama terkait kekayaan kesenian dan kebudayaan yang kita punya selama ini.

 

Doel Rohim
Redaktur langgar.co, bergelut di PP Budaya Kaliopak. Bisa disapa via Twiter @doelrohim961 Ig: Doel_96