Menu

Afthonul Afif

ASAP putih meliuk usai Liong Kwo Tjun menyentuhkan ujung Hio di atas nyala lilin. Semerbak harum cendana menyergap indra penciuman siapa saja yang berada di ruang sembahyang. Tjun, begitu dia dipanggil, berjalan menuju satu per satu pintu dan berdiri di depannya. Di sana ada tiga pintu. Pintu paling barat untuk pengikut Konghucu. Bagian tengah untuk penganut Tao dan paling Timur untuk pengikut Buddha. Pada setiap pintunya Tjun berhenti sejenak dan mengatupkan tangan. Bibirnya bergetar merapal doa.

Pada pintu terakhir, tepatnya pintu masuk agama Buddha, Tjun berbalik badan dan berjalan menuju teras paling barat. Dia berhenti tepat di depan Altar. Di sana dia menancapkan tiga hio berwarna merah lantas merapal doa lagi. Kata Tjun, itu salam untuk Tian/Tuhan. Sebelum melakukan ritual apapun, warga Tionghoa biasanya berdoa pada Tian. Tian berarti yang mulia dan menempati kedudukan paling atas. Maka, altarnya diletakkkan di teras klenteng dan menghadap ke luar. Tujuannya agar Asap Hio bisa sampai ke atas berikut rapalan doa yang dipanjatkan.

Usai berdoa, Tjun berjalan memasuki pintu masuk paling barat dan melakukan ritual yang sama: menancapkan tiga hio berwarna merah ke altar Dewa Penjaga lantas berdoa. Begitu seterusnya hingga dia berada di depan altar Hok Tik Tjing Sien atau Dewa Bumi (Dewanya para petani).

Seperti bertamu ke rumah orang, bertamu ke klenteng juga harus menjaga kesopanan. Tidak boleh berkata kotor, apalagi berkelahi. “Itu tuan rumah di klenteng ini,” katanya menunjuk patung Hok Tik Tjing Sien.

Dewa Bumi berwujud orang tua berjenggot panjang, berjubah merah, dan tersenyum. Dikatakan dalam buku 600 Tahun Pelayaran Muhibah Zheng He (262 Tahun Tay Kak Sie) pada 2005 lalu, Dewa Bumi memiliki tugas menjaga panen palawija lancar serta manusia dan ternak hidup sejahtera. Namun seiring perubahan zaman, tugas Dewa Bumi semakin kompleks. Urusan pemerintahan termasuk melindungi keamanan desa, ketenteraman rumah dan kuburan, gunung, lembah, hingga tumbuhan juga menjadi tanggung jawabnya. “Kebanyakan warga Tionghoa di Kudus kan petani. Jadi pemilihan dewa disesuaikan dengan warganya. Tak heran di setiap klenteng memiliki dewa berbeda-beda tergantung masyarakat atau pemilik klentengnya,” katanya.

Dewa Bumi memiliki tugas menjaga panen palawija lancar serta manusia dan ternak hidup sejahtera.

Tjun, warga Tionghoa yang juga menjadi penasihat di Klenteng Hok Hien Bio mengaku tidak banyak warga Tionghoa yang datang ke klenteng. Klenteng lebih sering sepi, kecuali ada acara tertentu, seperti Bee Gwee, Ciswak, atau Imlek. Kadang-kadang ada yang datang untuk berkomunikasi dengan dewa.

Ya, dewa juga bisa berkomunikasi dengan manusia. Begitu sebaliknya. Komunikasi ini biasa dilakukan ketika sulit menentukan pilihan. Maka, biasanya warga Tionghoa datang ke klenteng dan mencoba melakukan ritual pak pwee atau pakpoe.

Penasaran dengan ritual ini, saya pun mencoba melakukan komunikasi dengan Dewa Bumi. Dipandu Tjun, saya memulainya dengan meminta izin Tian. Saya tancapkan tiga hio berwarna merah ke altar Tian lantas meminta izin.

Menancapkan hio juga ada aturannya. Badan harus tegak. Hio juga harus tegak lurus. Saat menancapkan hio, disarankan untuk sedikit membungkuk sebagai tanda hormat.

Pemilihan jumlah hio juga ada maksudnya. Hal ini disesuaikan dengan kepercayaan masing-masing orang. Namun biasanya berjumlah ganjil. Bisa satu, tiga, hingga kelipatannya. “Masalah jumlah ini memang ada filosofinya. Ada maknanya. Jadi tergantung individu masing-masing. Ada yang cukup tiga, ada yang sampai ratusan. Tergantung kebutuhan dan keperluan. Kalau saya biasanya tiga. Yang ganjil lebih mantep,” katanya. Usai menancapkan hio, saya mohon izin dengan menyebut nama dan mengutarakan maksud.

Sebelum bertemu Dewa Bumi, saya bertemu dengan Dewa Penjaga terlebih dahulu. Altarnya terletak persis di depan pintu masuk utama bagian barat. Maka setelah menancapkan hio, saya baru menemui Dewa Bumi.

Altar Dewa Bumi di Klenteng Hok Hien Bio cukup mewah. Berbeda dengan Dewa Penjaga. Altar Dewa Bumi berbentuk rumah mini berbahan kayu. Penuh ukiran dan tampak mewah. Tjun sendiri tidak mengetahui makna ukiran itu. Namun terlihat ada beberapa bentuk hewan (saya tidak yakin bentuknya. Mungkin singa, macan, atau semacamnya). Ada juga ukiran bunga dan tulisan mandarin. Di tengah rumah, ada patung Dewa Bumi dan dua patung lainnya. Di altar juga terlihat beragam ornanem berwarna merah, seperti lilin, tempat hio, bendera dengan tulisan mandarin, hingga pak pwee atau pakpoe. Pak pwee ini terbuat dari bambu yang didesain menyerupai bentuk hati. Pak pwee jumlahnya sepasang. Kegunaannya untuk berkomunikasi dengan dewa.

Altar Dewa Bumi di Klenteng Hok Hien Bio cukup mewah. Berbeda dengan Dewa Penjaga. Altar Dewa Bumi berbentuk rumah mini berbahan kayu. Penuh ukiran dan tampak mewah.

Sesuai arahan Tjun saya mencoba berkomunikasi dengan Dewa Bumi. Setelah meminta izin, saya diminta menunggu beberapa menit. Diyakini Tjun, dewa tidak langsung hadir setelah dimintai izin. Maka setelah dua menit berlalu, saya baru bisa melakukan ritual pak pwee.

Caranya cukup mudah. Yakni dengan melempar pak pwee ke tanah. Dari lemparan ini akan terjadi beberapa kemungkinan. Kemungkinan itu, menurut Tjun sesuai dengan konsep Yin Yang.

Tjun menjelaskan ada empat posisi pak pwee usai dilempar. Pertama dua tertelungkup yang artinya dewa tidak setuju. Kedua posisi dua terlentang artinya dewa tertawa atau diartikan bisa ya atau tidak (terserah). Ketiga satu terlentang, satu tertutup yang artinya setuju. Terakhir, salah satu atau dua-duanya berdiri tanpa bersandar pada apapun. Itu artinya akan terjadi hal yang mengejutkan.

Langkah pertama, saya meminta izin kepada dewa. Setelah meminta izin, saya diminta menunggu. Menurut keterangan Tjun, dewa tidak langsung hadir. Maka setelah dua menit berlalu, barulah saya memutar pak pwee di atas hio yang dipercaya umat Tionghoa sebagai alat penyampai maksud. Setelahnya pak pwee saya lempar ke tanah. Tujuannya untuk mengetahui dewa berkenan berkomunikasi dengan saya atau tidak. Beruntung, pak pwee lemparan saya dalam posisi satu terlentang dan satu tertutup. Itu artinya saya diterima. Saya berlanjut dengan empat pertanyaan. Setiap pertanyaan, saya harus izin dulu pada Dewa Bumi dengan menyebut nama dan pertanyaan kemudian memutar pak pwee di atas hio persis seperti langkah pertama tadi. Dari pertanyaan yang saya ajukan, ada yang disetujui, ada yang tidak disetujui, dan ada pula yang ditertawai.

Beruntung, pak pwee lemparan saya dalam posisi satu terlentang dan satu tertutup. Itu artinya saya diterima.

Tjun mengatakan bahwa pak pwee ini harus dilempar oleh orang yang ingin meminta bantuan kepada dewa. Tidak bisa diwakilkan. Pak pwee juga tidak boleh digunakan lebih dari tiga kali untuk pertanyaan yang sama. Alternatifnya bisa menggunakan pertanyaan lain. Dan yang paling penting, tidak boleh memaksanakan kehendak. Sebab ada kalanya dewa tidak mengizinkan, namun umat memaksa ingin mendapat persetujuan. Hal ini, menurut Tjun menyalahi aturan penggunaan pak pwee.

Selain pak pwee, ada juga ramalan nasib di klenteng ini. Namanya Ciamsi. Ciamsi berupa batang bambu yang digunakan untuk meramal nasib. Batang bambu itu diletakkan di wadah dan diberi nomor. Jumlahnya sekitar 100 batang. Cara penggunaannya dikocok untuk mengeluarkan batang bambu yang sudah diberi nomor tadi. Batang bambu yang keluar itulah yang kemudian disesuaikan dengan syair-syair yang dibacakan oleh Biokhong (penjaga klenteng) sebagai jawaban ramalan. Selain warga Tionghoa, banyak orang Jawa yang melakukan ritual ini. “Banyak yang meminta saya untuk membacakan Ciamsi. Baik Konghucu, Tao, Buddha, Katolik, hingga Islam,” kata Chudori, Biokhong asli Jawa. Kata Tjun, banyak yang cocok dengan ramalan Ciamsi.

Selain Dewa Bumi, di klenteng ini juga memiliki dewa lain, seperti Makco Kwan Iem Poo Sat (Dewi Welas Asih), Dewa Pengobatan Po Seng Tay Te atau Paw Shen Ta Ti dan beberapa dewa lain. Karena menjadi tempat peribadatan umat Tridharma (ajaran Taoisme, Buddhisme, dan konfusianisme), maka selain dewa dalam ajaran konfusianisme juga ada dewa dalam ajaran Buddhisme dan Taoisme.

Siang itu, Tjun memang sengaja sembahyang di kota kelahirannya. Meski sudah tinggal di Semarang, sepekan sekali, Tjun menyempatkan berkunjung ke Kudus. Selain mengurus pekerjaan, dia juga sembahyang di Klenteng Hok Hien Bio. “Banyak yang cocok dengan klenteng ini, termasuk saya,” kata salah satu penasihat di Klenteng Hok Hien Bio.

Baca juga: Kontestasi Politik Identitas Golongan Tionghoa Muslim

 

Lampion dan Altar  

LAMPION berwarna merah terpasang. Di depan altar, buah-buahan seperti pir, jeruk, apel tertata rapi. Terlihat dua lelaki bersusah payah menggeser lilin berukuran jumbo. Tamu klenteng sudah berdatangan. Ada yang dari Semarang, Jakarta hingga Sumatra.

Sore itu, pada Januari 2017 klenteng Hok Hien Bio ramai. Pengurus klenteng keluar masuk untuk menyiapkan acara Bee Gwee. Bee Gwee sendiri adalah ritual untuk menghormati Dewa Bumi. Biasanya acara ini diselenggarakan sebelum perayaan Imlek.

Bambang Goenarto atau Go Tjwan Bing, pengurus klenteng sekaligus ahli feng shui yang saat itu masih hidup mengatakan, jika perayaan Bee Gwee dilaksanakan di depan klenteng. Kata Bambang, Dewa Bumi tidak mengizinkan ada arak-arakan. Padahal umumnya perayaan Bee Gwee dilaksanakan di luar klenteng dengan mengarak tandu dewa dan atraksi liong-liong. “Dewa mintanya begitu. Kali ini agak berbeda,” katanya kala itu.

Kata Bambang, Dewa Bumi tidak mengizinkan ada arak-arakan. Padahal umumnya perayaan Bee Gwee dilaksanakan di luar klenteng dengan mengarak tandu dewa dan atraksi liong-liong.

Untuk mengetahui Dewa Bumi berkenan atau tidak, Bambang sebelumnya berkomunikasi dengan dewa. Kata Bambang, untuk berkomunikasi dengan dewa, ada ritualnya tersendiri. Namun Bambang tidak menjelaskan secara detail prosesinya.

Dalam berkomunikasi dengan dewa, Bambang mengaku tidak selalu berhasil. Ada kalanya gagal. Kegagalan ini biasanya karena tidak konsentrasi, keadaan kurang bersih, dan tidak sunggung-sungguh. Selama tidak fokus, komunikasi tidak bisa mulus. “Dalam Islam, tahajud menjadi salah satu cara bekomunikasi dengan Allah. Kadang bisa berkomunikasi kadang tidak. Lagi-lagi tergantung hati. Nah, dalam berkomunikasi dengan dewa juga demikian,” katanya.

Bambang lahir di Kudus, 14 Mei 1956 dan meninggal pada 2018 lalu itu memang menjadi salah satu ahli Feng Shui di Kudus.

Menurut Bambang, Feng Shui adalah ilmu alam. Feng berarti angin dan shui berarti air. Namun feng shui bisa juga dikatakan sebagai ilmu topografi Tionghoa. Bisa pula dikatakan sebagai ramalan dalam perhitungan Tionghoa.

Lelaki bershio monyet api ini mengatakan bahwa Feng Shui tidak sebatas pada pengaturan arah atau tata letak bangunan. Namun bisa diterapkan untuk menentukan hari baik, jodoh, percintaan, rumah tangga, peruntungan, hingga pemakaman. Lebih luas Feng Shui juga bisa digunakan untuk menentukan karir, perlindungan, dan keselamatan diri. Orang Jawa menurut Bambang, juga melakukan ritual serupa. Salah satunya dalam menentuan hari baik.

Lebih luas Feng Shui juga bisa digunakan untuk menentukan karir, perlindungan, dan keselamatan diri.

Maka sebagai keturunan Tionghoa Jawa, begitu dia menyebut dirinya, Bambang selalu menyocokkan hitungan Jawa dan Feng Shui ketika ada orang yang meminta untuk dicarikan hari baik.

Dalam kesempatan itu, saya meminta Bambang membaca karakter dan peruntungan saya. Pertama-tama, Bambang menanyakan tanggal lahir, bulan, dan tahun kelahiran saya untuk menentukan shio. Dalam dunia Feng Shui dikenal dengan istilah bazi. Bazi dilakukan dengan membaca karakter, keuangan, kesehatan hingga karir seseorang dengan menggunakan sifat atau kepribadian seseorang.

Setelah membaca karakter, Bambang memberi beberapa petunjuk tentang karir. Dia juga memberi wejangan agar kehidupan saya semakin baik.

Untuk jodoh, Bambang juga melakukan hal yang sama. Bedanya hasil hitungan akan dicocokkan dengan shio pasangan. Kemudian baru diketahui cocok atau tidak (sial: jiong: ciong).

Jika cocok, tentu saja hubungan bisa berlanjut ke pernikahan. Jika jiong, ada dua pilihan. Pertama tidak dilanjutkan karena terlalu beresiko. Bisa juga dilanjutkan namun harus melalui ruwatan atau Ciswak. “Kalau mau lanjut, memang harus buang jiong dulu. Tetapi kalau jiongnya terlalu berat, saya sarankan tidak usah melanjutkan pernikahan. Karena beresiko,” katanya.

Dia mengatakan bahwa shio sangat memengaruhi sifat dan masa depan seseorang. Agar ramalan lebih akurat, Bambang kadang-kadang mengombinasikan hitungannya dengan melihat garis tangan, memasukkan unsur Yin Yang, dan lima elemen (air, kayu, api, tanah, dan logam) sehingga ramalannya lebih akurat.

Feng Shui mengenal konsep pengolahan energi. Namun pengolahan energi ini dapat berubah bentuk untuk tujuan tertentu melalui proses metafisika.

Kata Bambang, Feng Shui mengenal konsep pengolahan energi. Namun pengolahan energi ini dapat berubah bentuk untuk tujuan tertentu melalui proses metafisika. Tak heran ilmu satu ini cukup sulit dipelajari. Bahkan tidak banyak yang menguasainya.

Untuk mempelajari ilmu ini, Bambang mengaku harus berlajar bertahun-tahun. Awalnya berguru ke Surabaya. Lalu pindah ke Semarang hingga berlanjut di Jakarta. Agar lebih fasih lagi, Bambang juga belajar ke negeri leluhurnya, Tiongkok. “Kan ada dalilnya, belajarlah hingga ke negeri China, Maka saya pun belajar hingga ke sana,” katanya lantas terkekeh. Dia percaya Yin (negatif) dan Yang (positif) yang menyebabkan kehidupan tidak konstan. Tak heran jika manusia kadang senang kadang sedih. Kadang sakit, lain waktu sehat.

Selain ramalan dan sembahyang, masih ada ritual Tionghoa lainnya. Namanya Ceng Beng. Kata Tjun, Ceng Beng merupakan ziarah kubur leluhur. Kegiatannya mendoakan sekaligus membersihkan makam sebagai bentuk penghormatan kepada keluarga yang sudah meninggal atau biasa dikatakan sebagai sembahyang kubur. Ceng Bing biasanya jatuh pada 4 atau 5 April setiap tahunnya.

Dikutip dari tionghoa.info, kata Ceng Beng berasal dari dialek hokkian yang merupakan salah satu istilah dalam astronomi Tiongkok. Istilah itu mengacu pada salah satu dari 24 posisi matahari yang jatuh pada 4-5 April. Pada hari itu diyakini cahaya matahari akan bersinar paling terang, sehingga cuaca menjadi lebih hangat (http://www.tionghoa.info/hari-ceng-beng-festival-ching-ming/). Maka, saat itu diyakini inilah waktu terbaik untuk melakukan tradisi Ceng Beng ini.  “Jika NU ada ziarah kubur, kami ada Ceng Beng. Ya, kami juga melakukan penghormatan leluhur,” katanya.

Namun, dia melanjutkan, tradisi semacam ini dijauhi oleh Tionghoa Kristen. Penyebabnya karena tidak sesuai dengan ajaran Kristen. Keseluruhan prosesi itu dianggap sebagai bentuk penyembahan kepada arwah orang mati (leluhur). Bagi Tionghoa Kristen penyembahan selain kepada Tuhan berarti melanggar iman Kristiani. Jika Muhammadiyah tidak ada tradisi ziarah kubur, maka sama halnya dengan pemeluk agama Kristen, tidak terkecuali bagi Tionghoa Kristen.

Perbedaan pandangan ini tentu saja menimbulkan perdebatan tersendiri di kalangan warga Tionghoa, tak terkecuali bagi Tjun.

Klenteng menyediakan makanan, seperti sate, gulai, dan beberapa kudapan untuk tamu.

Suatu malam, saya bertandang ke Klenteng Hok Hien Bio dan mengikuti kegiatan di sana. Dalam kegiatan itu beberapa warga Tionghoa terlihat duduk di meja untuk menjamu tamu. Saat itu bertepatan dengan Ramadhan. Klenteng menyediakan makanan, seperti sate, gulai, dan beberapa kudapan untuk tamu. Baik warga Tionghoa, tamu Muslim, atau pemeluk agama lain dipersilakan untuk mencicipi. Terlihat beberapa umat Buddha dan Islam berkumpul di sana, kecuali Tionghoa Kristen. “Tionghoa Kristen memang tidak mau ke klenteng. Apalagi mengikuti ritual. Sebab ajarannya begitu. Beberapa masih nekat ke sini. Itu pun diam-diam. Takut ketahuan,” kata salah satu warga. Warga yang lain menimpali. “Ya, kalau Tionghoa Kristen memang tidak ke klenteng. Takut. Nah kalau ada yang ke sini, mereka pakai masker, biar tidak ketahuan,” katanya.

Tjun yang saat itu hadir juga mengatakan bahwa Tionghoa Kristen memang tidak mengikuti ritual. Permaslahannya terletak pada kepercayaan bahwa ritual atau tradisi Tionghoa bertentangan dengan ajaran Kristiani. Sama halnya dengan warga Tionghoa lainnya yang menganggap bahwa Tionghoa Kristen tidak melestarikan budaya leluhur. Perbedaan itu sebetulnya dipahami keduanya bahwa setiap kepercayaan memiliki dasar-dasarnya yang kuat. Tionghoa Kristen mengikuti ajaran agama Kristen. Sedangkan warga Tionghoa melaksanakan tradisi leluhur. “Sebetulnya agak sulit menerima. Rasanya aneh saja. Namun tentu saja kami memaklumi,” kata Tjun.

Tjun menyangkal adanya sesembahan dalam ritual yang dijalankannya. Dia mengatakan bahwa tradisi ini sebagai bentuk penghormatan saja. Adanya patung dewa lengkap dengan altarnya juga sebagai bentuk penghormatan kepada dewa. Dengan adanya patung itu, mereka semakin fokus berdoa. Sedangkan penggunaan hio dalam ritual juga bukan bentuk sesembahan. Namun untuk meningkatkan konsentrasi agar khusyuk dalam menjalankan ritual. Kayu cendana yang dibakar akan mengeluarkan aroma terapi yang baik untuk menenangkan diri.

Pemberian buah dalam Ceng Beng maupun di altar dewa juga kadang diperbebatkan. Padahal, dalam pandangan orang Tionghoa, buah yang ditaruh di depan altar ada maknanya. Buah apel misalnya, menjadi simbol keselamatan. Buah jeruk berarti kesuksesan. Sedangkan pir berarti tata krama. Semuanya menjadi simbol untuk menjembatani hubungan antara manusia dengan leluhur atau dewa. “Nanti buah-buahannya juga dimakan kok,” terangnya. Dia terlihat membetulkan kacamatanya.

Pemberian buah dalam Ceng Beng maupun di altar dewa juga kadang diperbebatkan.

Bagi Tjun penghormatan kepada keluarga tidak dilakukan semasa hidup saja. Tetapi terus terjalin hingga orangtua telah meninggal dunia. Maka ritual Ceng Beng dilakukan untuk menghormati leluhur dengan tujuan agar ikatan kekeluargaan terus terjaga. Namun, kata Tjun, sebagian Tionghoa Kristen berpendapat bahwa ritual itu merupakan penyembahan. Padahal ritual itu menjadi bagian dari tradisi, bukan penyembahan terhadap orang mati atau berhala. “Saya perlu meluruskan ini agar orang tidak salah paham,” katanya.

Namun orang Tionghoa Kristen memiliki pandangan berbeda. Bagi Go Poen Tjwan atau Timotius Seno Joyo, salah satu Tionghoa Kristen asal Kudus mengakui bahwa ritual di klenteng memang telah menjadi perdebatan di kalangan Tionghoa Kristen. Sebab ritual yang dilaksanakan tidak sejalan dengan ajaran mereka. Jika ada Tionghoa Kristen yang melaksanakan ritual di klenteng tentu saja dinilai sebagai pelanggaran terhadap ajaran Kristen. “Jadi jelas kami tidak melakukan ritual di klenteng,” katanya.

Untuk ritual Ceng Bing misalnya, Seno, sapaan akrabnya mengatakan tidak melaksanakannya. Sebab Kristen mengajarkan bahwa manusia diciptakan dari tanah dan akan kembali ke tanah. Dalam ajaran Kristen, orang yang sudah meninggal tidak lagi berurusan dengan orang yang masih hidup melainkan langsung dengan Tuhan.

Dalam Alkitab (Kejadian 3:19) Tuhan berfirman bahwa “Dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali menjadi tanah. Karena di situlah engkau diambil; sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu.” Dari firman itu Seno menyimpulkan bahwa jika ingin berbuat baik dengan orangtua atau keluarga, maka seharusnya dilakukan semasa hidup. Sebab ketika manusia sudah meninggal dunia, maka jiwa, roh, dan nyawanya akan kembali lagi kepada Tuhan. “Yang sudah meninggal ya sudah. Urusannya sudah langsung kepada Tuhan, bukan lagi dengan manusia,” katanya.

Dia mengibaratkan Kristen itu mirip dengan Muhammadiyah. Sedangkan Katolik sama dengan Nahdlatul Ulama (NU). “Setelah ada kematian, kami tidak ada kegiatan apapun. Tidak ada kirim doa dan lainnya. Dalam hal ini, saya mengibaratkan agama Kristen nyaris sama dengan Muhammadiyah. Nah kalau di NU kan ada 7 hari kematian, sebulan kematian, setahun kematian dan seterusnya, kurang lebih sama seperti NU. Bisa dibilang Katolik dan NU toleransinya lebih tinggi. Sedangkan Kristen dan Muhammadiyah lebih strength,” tuturnya. Kendati demikian, dia mengaku, rutin ke kuburan untuk membersihkan makam orangtuanya.

Menurut keterangan Seno, ritual Tionghoa sudah bercampur dengan Jawa. Bukan asli Tiongkok lagi. Misalnya saja ritual tabur bunga. Baginya kegiatan itu bukan tradisi Tionghoa. “Itu kan sebetulnya campuran dengan Jawa dan ada unsur ajaran Buddhanya juga. Jadi tidak betul-betul asli Tiongkok,” akunya.

Itu kan sebetulnya campuran dengan Jawa dan ada unsur ajaran Buddhanya juga. Jadi tidak betul-betul asli Tiongkok.

Perbedaan pandangan ini tentu saja menjadi perselisihan tersendiri bagi Tionghoa dan Tionghoa Kristen. Meski berbeda, Seno mengakui bahwa tidak ada perdebatan sengit atau konflik besar. Tentu saja ada pro dan kontra, akan tetapi selalu disikapi bijaksana. “Kamu dengan kepercayaanmu. Aku dengan kepercayaanku,” begitu katanya.

Dia tidak memungkiri ada keluarga yang memiliki perbedaan pandangan. Itu wajar. Namun biasanya tidak ada perdebatan lanjutan. Misalnya soal ritual penentuan hari baik, letak pemakaman, hingga Ciswak (penolak bala).

Seno menceritakan ada Tionghoa yang masih menghitung hari saat meninggal. Makanya muncul istilah gunung, guntur, segoro, dan sat. Dalam hitungan Jawa namanya neptu pasaran orang meninggal. Ada maknanya. Gunung berarti mendapat kemuliaan. Guntur akan mendapat banyak kesulitan. Segoro berarti murah rezeki. Terakhir sat atau asat artinya mengalami kesulitan ekonomi. Dalam hitungan Tionghoa juga demikian. Misalnya meninggalnya hari Senin, nanti dikuburkan hari Rabu. Jika hitungan kurang baik, maka akan dilakukan ritual tolak bala atau Ciswak. Untuk menolak bala ada beberapa cara seperti melepas burung merpati dan memecah semangka. Nah biasanya yang demikian ini dilakukan orang klenteng (Buddha, Tao, dan Khonghucu). “Lagi-lagi ini karena kepercayaan masing-masing,” jelasnya.

Dalam esai berjudul Menafsir Ulang Hubungan Tradisi Cina dan Kekristenan di Indonesia yang disarikan dari tesis berjudul “Reimagining Chinese Culture Tradision: The Quandary between Chinese Culture Tradition and Christian Dogma in Indonesia” oleh Ira Chuarsa menjelaskan bahwa fenomena hubungan Tionghoa dengan Tionghoa-Kristen menimbulkan perdebatan. Tak sedikit perselisihan muncul karena adanya keluarga bukan Kristen menjalankan tradisi itu. Juga perselisihan akibat pandangan bahwa Cina-Indonesia-Kristen tidak berbakti kepada leluhur.

Dalam tulisannya, Ira menawarkan solusi untuk mengatasi kesenjangan berbagai identitas dengan memahami ulang makna ‘agama’. Praktik-praktik tradisi Cina yang dipahami dalam prespektif fenomenologis yakni menyerap makna dan membangun tafsir intersubjektif dan lintas-budaya antara budaya penafsir dan budaya dalam praktik budaya itu sendiri.

Namun bagi Seno sulit menafsirkan makna agama itu sendiri. Baginya, antara agama dan tradisi atau kepercayaan dengan budaya memiliki keterikatan dan sulit dipisahkan. “Agama dan tradisi itu seperti menyatu satu sama lain. Sulit dipisahkan. Makanya, saya katakan, tidak usah diperdebatkan. Lakukan saja menurut keyakinan masing-masing,” katanya.

Baca juga: Batik Tok Wi

 

Tionghoa Kristen 

LELAKI itu berjalan pelan dan berhenti di sebuah ruangan di Gereja Isa Al Masih Kudus. Di ruang itulah, dia meminta saya menunggu. Beberapa menit kemudian dia kembali.

Namanya Liem Tjong Hian atau Lukas Sutrisno. Dia tercatat sebagai koordinator pendeta di Gereja Isa Al Masih Kudus. Lukas, begitu keluarga memanggilnya lahir dua tahun sebelum merdeka. Saat itu Jepang masih menjajah Indonesia.

Saya tertarik mengenalnya karena dia Tionghoa, pendeta, dan beragama Kristen. Maka, posisinya sangat penting dalam membahas hubungan tradisi Tionghoa dengan Tionghoa kristen. Tentu saja ditilik dari kacamata seorang Pendeta Kristen Tionghoa.

Lukas hanya tersenyum saat saya bertanya hubungan klenteng, Tionghoa, dan Tionghoa Kristen. “Saya ini tidak mengetahui leluhur saya. Kakek dan nenek sudah meninggal saat saya lahir. Yang saya tahu ya, Papa dan Mama. Bagaimana saya menghormati leluhur, jika saya saja tidak mengenal mereka. Tahu fotonya saja tidak,” katanya. Suaranya halus, namun jelas. Sesekali meninggi saat mengucapkan kalimat “Bagaimana saya menghormati leluhur, jika saya saja tidak mengenal mereka. Tahu fotonya saja tidak.” Ya, kalimat itu mendapatkan penekanan untuk memperkuat argumennya.

Lukas mengaku sejak kecil dididik orangtuanya secara Kristen. Dia tidak mengenal penyembahan seperti di klenteng. “Kami diajarkan untuk taat kepada Tuhan Yesus berikut dengan ajarannya,” tuturnya.

Maka segala ritual di klenteng tidak dia jalankan. Misalnya Bee Gwee, Ciswak, Ceng Beng, hingga ritual lain di klengteng. Bahkan ramalan hingga penentuan hari baik juga tidak dia percayai.

Firman Tuhan yang tertuang dalam Keluaran (20:3-5) Perjanjian lama berbunyi “Jangan ada padamu Allah lain di hadapan-Ku (20:3). Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di air di bawah bumi (20:4). Jangan sujud menyembah kepada atau beribadah kepadanya, sebab aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu yang membalas kesalahan bapa kepada anak-anakya, kepada keturunanya yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci aku (20:5).” Itu salah satu firman yang menjadi pedoman umat Kristen dalam menjalankan ajaran Yesus. Dia menekankan kata TUHAN harus menggunakan huruf kapital. Sebab kata TUHAN ini untuk membedakan Tuhan buatan manusia atau TUHAN yang dia yakini. “Ya memang harus dibedakan. Jika disamakan, nanti maknanya juga sama. Padahal itu jelas berbeda,” begitu dia menjelaskan.

Jangan sujud menyembah kepada atau beribadah kepadanya, sebab aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu yang membalas kesalahan bapa kepada anak-anakya, kepada keturunanya yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci aku (20:5).

Kendati demikian, dia tidak memungkiri bahwa dalam keluarga besarnya masih ada yang melaksanakan peribadatan di klenteng. Bahkan perdebatan sering terjadi karena mereka berbeda keyakinan.

Dia mencerikan suatu hari papanya meninggal dunia. Saat akan dikebumikan, salah satu kerabat tergopoh-gopoh ke kuburan sambil membawa semangka. Rupanya kerabatnya akan memasukkan semangka itu ke dalam kuburan papanya. Lukas pun melarang.

Menurut kepercayaan kerabat, kematian papanya tepat pada dino renteng. Hal itu diyakini akan berdampak buruk terhadap keluarga. Maka kerabat yang masih percaya dengan ramalan, memaksa Lukas untuk memberikan Ciswak agar bisa menolak bala. “Saya katakan waktu itu pada adik Papa saya. Ora usah digawan-gawani koh. Iki wong Kristen kok,” kata Lukas. Kerabatnya pun menjawab. “Mengko nek ono opo-opo piye. Matine pas dino renteng,” katanya. Tetapi Lukas bersikeras melarang siapa saja yang memasukkan semangka dan lele ke dalam kuburan Papanya. “Semongkone mengko tak pangane. Lelene mengko tak gorenge,” jawab Lukas singkat. Setelah perdebatan itu, jasad papanya lenyap dari pandangan karena diuruk tanah.

Tepat 40 hari setelah kematian itu, anak dari kerabatnya (kerabat yang akan memasukkan semangka yang diceritakan di awal) meninggal dunia. Kematian itu membawa perselisihan antarkeluarga. Kerabat menyalahkan tindakan Lukas yang  tidak memercayai ramalan itu. Sedangkan Lukas tetap berpegang teguh pada keyakinannya.

Lukas datang ke rumah duka dan turut berbelasungkawa. Namun dia diusir. Dadanya dipukuli. Dia tidak diperbolehkan menginjakkan kaki di rumah duka. Suasana menjadi tidak kondusif. Sebagian keluarga menenangkan kerabatnya. Sebagian lagi meminta Lukas pergi dari sana. Lukas pun pulang dengan perasaan tidak karuan.

Lukas memaklumi tindakan itu secara rasional. Dia tetap berpikiran positif bahwa kerabatnya masih tidak terima anaknya meninggal dunia. Benar saja, seiring berjalannya waktu, kerabatnya itu mulai menerimanya kembali. “Lagi-lagi ini kan perkara kepercayaan. Kalau sejak dalam pikiran percaya bahwa dino renteng itu bakal membuat sial, ya kejadian betulan. Semua tergantung dengan pikiran masing-masing,” begitu Lukas menceritakan.

Dalam primbon Jawa memang ada istilah dino renteng. Dino renteng adalah hari yang jumlah neptu dan pasarannya (weton) sama selama tiga hari berturut-turut.

Dalam primbon Jawa memang ada istilah dino renteng. Dino renteng adalah hari yang jumlah neptu dan pasarannya (weton) sama selama tiga hari berturut-turut. Ada yang bilang dino renteng ini baik untuk menuntut ilmu. Ada juga yang menggunakannya untuk meramal cuaca.

Tak dipungkiri, banyak orang yang masih percaya hari-hari tertentu (dianggap baik). Tradisi itu hingga kini masih dijalankan. Biasanya orang mencari hari baik untuk menikah, mencari keberuntungan, menolak sial, hingga pemakaman. Namun bagi iman Kristen, Lukas menyebut tidak ada hari tertentu untuk melaksanakan kegiatan. Semua hari baik. Dan Lukas meyakini itu.

Lukas mengatakan bahwa dalam ajaran Kristen melakukan kunjungan ke makam memang tidak diwajibkan. Namun tidak juga dilarang. Sesuai imam Kristen, yang sudah meninggal ya sudah. “Kalau ingin berbakti dengan orangtua seharusnya dilakukan saat orangtua masih hidup,” katanya.

Kuburan juga tidak perlu dihias terlalu mewah. Sederhana saja. “Kuburan orang Tionghoa itu mahal. Ada yang sampai ratusan juta. Kalau kami rasa kok berlebihan.  Pembuatan altar di klenteng juga demikian. Padahal tidak perlu mengeluarkan biaya yang begitu mahal hanya untuk mempercantik makam,” tuturnya.

Namun, dia mengatakan bahwa perkara agama dan tradisi itu memang memiliki keterikatan. Lukas mengatakan, Tuhan telah berfirman dalam Matius 9:29 “Jadilah kepadaku menurut imanmu.” Tuhan juga berfirman dalam Yakobus 2:22 yang berisi “Iman bekerja sama dengan perbuatan-perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna.”  Maka Lukas meyakini bahwa terjadilah sesuai imanmu. “Maksudnya, kamu mantap yang mana, ya silakan,” tuturnya.

Iman bekerja sama dengan perbuatan-perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna.

Dari firman itu Lukas menjelaskan bahwa iman berarti percaya pada janji Tuhan. Maka, sesuai imam Kristen tentu saja dia bertindak sesuai dengan janji Tuhan tersebut.

Saat sedang berdiskusi, Seno yang kebetulan menjadi salah satu sekertaris di Gereja Isa Al Masih muncul. Seno pun turut berdiskusi. Dia mengatakan bahwa semua agama pasti mengajarkan hal baik. Maka dia mengatakan terjadilah sesuai imanmu. “Selama ini kami tidak memperdebatkan soal keyakinan. Ya sudah masing-masing,” ungkap lelaki berusia 61 tahun ini.

Khusus Imlek, Seno mengaku semua warga Tionghoa masih merayakannya. Baik itu Tionghoa Katolik, Tionghoa Kristen, maupun Tionghoa Muslim.

Seno mengatakan bahwa Imlek bukanlah hari raya umat Khonghucu, melainkan penanggalan bulan dalam kalender Tionghoa. Biasanya disebut tahun baru Tionghoa.

Seperti perayaan Idul Fitri, saat Imlek Seno dan warga Tionghoa mengunjungi keluarga dan kerabat secara bergantian. Warga yang lebih muda biasanya mendatangi yang lebih tua. Seno juga akan menyantap makanan bersama saat Imlek. Ada daging, buah-buahan, hingga aneka kudapan khas Imlek, seperti kue keranjang dan siu mie (mie panjang umur) untuk dimakan bersama keluarga. Kebanyakan warga Tionghoa juga membeli baju baru hingga membagikan ang pauw (amplop berisi uang).

Dia mengatakan bahwa tradisi perayaan Imlek di Tiongkok dan sekitarnya jauh lebih kuat.

Dia mengatakan bahwa tradisi perayaan Imlek di Tiongkok dan sekitarnya jauh lebih kuat. Kegiatan mengunjungi keluarga besar, terutama yang lebih tua, ketika Imlek tiba juga menjadi agenda besar warga Tionghoa di sana. “Kebetulan saya di Hongkong tepat saat imlek. Itu sekitar beberapa tahun lalu. Di sana ramai sekali. Bandara saja penuh. Eh ternyata mereka melakukan perjalanan untuk bersilaturahmi ke sanak saudara. Jadi kalau di sini ya kayak lebaran,” tuturnya. Namun, dia menegaskan bahwa itu bukan bagian dari ritual sembahyang, hanya tradisi asli Tionghoa saja.

Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Kudus Peter M. Faruq. Peter sapaan akrabnya mengatakan bahwa ritual di klenteng memang tidak dijalankan oleh warga Tionghoa Muslim. Namun, dia tidak memungkiri kalau masih merayakan Imlek bersama keluarga. Baginya antara Imlek dan ritual keagamaan di klenteng itu berbeda. Imlek merupakan tahun baru dalam penggalan kalender Tionghoa.

Dalam buku yang ditulis oleh Hew Wai Weng dan diterjemahkan oleh Afthonul Afif berjudul Berislam Ala Tionghoa: Pergulatan Etnisitas dan Religiositas di Indonesia (2019) menjelaskan bahwa ada tiga jenis tanggapan terhadap perayaan Imlek bagi warga Tionghoa Muslim. Haram, tidak haram dengan persyaratan, dan tidak haram sekalipun disertai ritual adat Tionghoa. Dalam bukunya itu, Weng menjelaskan bahwa banyak Tionghoa Muslim yang menilai bahwa perayaan Imlek tidak haram selama tidak menyertakan ritual seperti membakar dupa dan memberikan sesembahan. Sebagian lain menganggap bahwa perayaan Imlek dalam berbagai bentuknya tetap tidak diperbolehkan. Sedangkan ada juga yang masih menjalakan ritual adat untuk menunjukkan penghormatan kepada leluhur. Tiga hal ini masing-masing dipengaruhi oleh pengalaman sosial, interaksi keluarga, dan budaya.

Kebanyakan dari kami tidak ke klenteng, apalagi mengikuti ritual. Kalau merayakan Imlek ya di rumah saja.

Merujuk pada alasan yang kedua Peter tetap merayakan Imlek. Peter mengatakan bahwa perayaan Imlek umumnya memang masih dijalankan oleh warga Tionghoa Muslim di Kudus. “Kebanyakan dari kami tidak ke klenteng, apalagi mengikuti ritual. Kalau merayakan Imlek ya di rumah saja,” ungkapnya.

Dalam cara menanggapi Imlek, Peter menyebutkan bahwa apa yang dilakukan oleh kalangan Tionghoa Muslim tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Tionghoa Kristen, merayakan Imlek tanpa perlu menyertainya dengan ritual menurut tradisi Tionghoa. “Kalau Katolik memang masih mengikuti tradisi di klenteng. Namun kalau Kristen tidak. Sebab ada kepercayaan tidak boleh memuja selain Tuhan Yesus,” paparnya.

Sejumlah Tionghoa Muslim juga masih melaksanakan ritual Ceng Beng. Sebagian lagi tidak. Kegiatan Ceng Beng dilaksanakan dengan mengunjungi makam, membersihkan makam, berdoa, dan memberi makanan. Peter sendiri mengaku hanya ikut-ikutan saja. Asal gabung tanpa mengikuti ritualnya.

Bagi Peter, ziarah kubur itu wajib. Maka, setiap malam Jumat dia selalu menziarahi makam orangtuanya. Tentu saja ini berbeda dengan ritual Ceng Beng, meski sama-sama melakukan kunjungan ke makam leluhur, namun ziarah yang dia lakukan mengikuti tata cara Islam. Tujuannya adalah mendoakan orangtua yang sudah meninggal, tentu saja tanpa dupa atau sesembahan.

Baca juga: Meninggalkan Pasar

 

Biokhong 

PAGI itu, sekitar pukul 10.00 saya berkunjung ke Klenteng Hok Hien Bio. Klenteng ini beralamat di Jalan A. Yani No 10 Kudus. Di sana, saya bertemu dengan Chudori, Biokhong atau juru kunci klenteng ini. Dia beretnis Jawa dan pemeluk agama Buddha. Orang-orang biasa menyebutnya dukun klenteng. Ini karena dia menguasai seni ramalan Tionghoa. Salah satunya adalah memandu ritual Ciamsi.

Dulu, sebelum tinggal di klenteng, dia hidup di Undaan, wilayah Kudus bagian selatan yang berjarak sekitar 9–10 kilometer dari pusat kota. Suatu hari, dia berkenalan dengan orang Tionghoa dan menawarinya pekerjaan sebagai Biokhong. Waktu itu dia ragu menerima tawaran tersebut. Namun oleh kenalannya itu, dia dijanjikan untuk diajari tata cara menjalankan ritual di klenteng. Choduri setuju. Sejak saat itu dia pun resmi menjadi Biokhong di sana.

Selama mengabdi di klenteng, dia diajari banyak hal. Mulai dari sembahyang, ritual, memandu Ciamsi, hingga ritual membakar kertas.

Dalam perjalanannya, dia pun mengajak istri dan anak-anaknya untuk tinggal di klenteng. Hingga kini, dia dan istrinya masih tinggal di sana. Sedangkan anak-anaknya ada yang sudah mentas dan masih sekolah.

Upah menjadi Biokhong tidak banyak. Bisa dikatakan kurang untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari. Belum lagi biaya sekolah anak. Untuk itu, dia mencari tambahan penghasilan dari membantu pengunjung klenteng melakukan ritual Ciamsi hingga membuat perkumpulan barongsai di klenteng. “Upah dari sini memang sedikit. Kalau saya dan istri tidak mencari tambahan penghasilan ya repot. Dapur tidak mengepul,” katanya.

Perkumpulan barongsai dia dirikan bersama anak dan teman-temannya. Dia melatih personelnya setiap hari agar mampu tampil memukau.

Perkumpulan barongsai dia dirikan bersama anak dan teman-temannya. Dia melatih personelnya setiap hari agar mampu tampil memukau. Dari usahanya ini, dia sering diundang ke beberapa tempat. Kadang untuk acara sekolah hingga acara sunatan. Hasilnya memang tidak seberapa. Namun cukup untuk menambal kebutuhan hidup sehari-hari dan sisanya untuk melestarikan kesenian barongsai.

Tidak hanya itu, dia juga kadang diminta memandu ritual Ciamsi. Ritual ini hanya bisa dilakukan oleh dirinya, dan tidak sedikit warga Tionghoa yang meminta bantuannya untuk melakukan ritual ini. “Ya kadang dikasih limapuluh ribu. Kadang seratus ribu. Tidak tentu,” katanya.

Suatu malam ketika saya berkunjung, saya menyaksikan ada orang yang ingin melakukan ritual Ciamsi. Saat itu Chudori menolak. Katanya, dia sedang lelah, dan ini membuatnya sulit berkonsentrasi. Dia khawatir ramalannya tidak akurat. “Lagian sudah terlalu malam. Mending besok pagi saja,” dia menyarankan.

Tidak hanya orang Katolik, ritual itu juga dilakukan oleh orang Tionghoa Kristen, bahkan ada pula yang Muslim. Khusus untuk Tionghoa Kristen, mereka biasanya melakukannya secara diam-diam. Tidak jarang mereka datang dengan menutup wajahnya. “Khawatir kalau ketahuan pendeta,” jelasnya. Ada juga yang melakukan Pak Pwee. Mungkin sedang bingung dengan suatu masalah. Ya, meski mereka bukan orang klenteng, Chudori tetap membantu.

Orang Tionghoa Kristen yang datang biasanya minta air doa. Air itu, dia sendiri yang mendokan. Banyak yang cocok, namun ada pula yang tidak. “Orang Islam dan Tionghoa Kristen memang masih banyak yang ke sini. Mereka yang masih percaya dengan ritual klenteng. Bagi saya sah-sah saja. Tidak perlu ada yang diperdebatkan,” tuturnya.

Orang Tionghoa Kristen yang datang biasanya minta air doa. Air itu, dia sendiri yang mendokan.

Terkait Tionghoa Kristen yang masih mengunjungi klenteng, Seno mengakui memang masih ada. Namun baginya, itu urusan masing-masing. Orang lain tidak berhak menghakimi atau menentukan dosa atau tidak.

Dia menjelaskan, ada dua tipe orang Tionghoa Kristen yang sering mengunjungi klenteng.

Pertama Tionghoa Kristen yang hanya berkunjung ke klenteng saat diminta bantuan atau sengaja hadir karena ada kegiatan. Kategori yang kedua yakni Tionghoa Kristen yang masih berdoa di klenteng. Kategori terakhir ini dalam imam Kristen dikatakan mendua di hadapan Tuhan.

Seno mengaku sering berkunjung ke klenteng untuk mengikuti kegiatan di sana. Misalnya perayaan Imlek atau Bee Gwee. Namun dia menyangkal mengikuti ritualnya. “Saya hanya ikut saja. Tidak tidak ikut ritualnya,” ujarnya.

Baca juga: Kesaksian Seorang Editor Penggerutu

 

Geger Kudus 

LIONG KWO TJUN tumbuh di sebuah kota kecil bernama Kudus. Kota dengan aroma tembakau dan pengaruh Islam yang kuat. Kehidupannya adem ayem. Tidak ada gejolak antara warga Tionghoa dengan orang Jawa. Mereka hidup rukun bertetangga. Baik dengan umat Islam maupun umat agama lain. Meski demikian, dulu di kota ini pernah terjadi peristiwa kelam yang tercatat dalam sejarah. Pada 1918, terjadi kerusuhan besar yang dikenang sebagai Geger Kudus. Kerusuhan ini melibatkan warga Tionghoa dan Jawa.

Dalam buku berjudul Kudus karya Amen Budiman disebutkan bahwa pada 30 Oktober 1918 Kudus pernah menjadi tempat perseteruan antara warga pengangkut pasir (pribumi) dengan warga Tionghoa yang saat itu sedang melintas di depan menara Kudus. Warga Tionghoa yang sedang melaksanakan pawai berpapasan dengan warga pengangkut pasir. Karena menghalangi jalan hingga salah satu pengendara kuda dalam pawai itu terjatuh, warga Tionghoa pun tidak terima dan memaki-maki pengangkut pasir. Karena kedua pihak sama-sama tidak terima, maka terjadilah perkelahian.

Amen menyebutkan sehari setelah peristiwa itu, tepatnya malam hari, rumah dan toko warga Tionghoa dilempari batu dan dibakar. Banyak korban berjatuhan dalam aksi kekerasan ini. Baik dari warga pribumi maupun Tionghoa. Kerusuhan ini pun menjadi noktah hitam dalam sejarah Kudus.

Sejak saat itu, kehidupan warga Tionghoa Kudus mulai terancam. Keberadaan mereka terasingkan karena dianggap berbeda. Tidak berhenti di situ, pada 1967, saat Tjun berusia 9 tahun, Soeharto melarang semua hal yang berbau Tionghoa ditampilkan di depan publik. Perayaan budaya warga Tionghoa tidak boleh dilaksanakan, kecuali di area klenteng. Mereka juga dipaksa mengganti nama. Bahasa Mandarin tak boleh diajarkan di sekolah. Meski semuanya sudah dilaksanakan, mereka tetap saja dianggap “asing”. Ketika peristiwa September 1965 meletus, mereka lagi-lagi menjadi sasaran kekerasan karena dianggap komunis. Pengebirian ruang gerak mereka tertuang dalam Inpres No.14 Tahun 1967. Karena larangan ini, warga Tionghoa termarjinalkan secara politik.

Perayaan budaya warga Tionghoa tidak boleh dilaksanakan, kecuali di area klenteng.

Pada masa itu, kehidupan memang serba sulit. Selalu saja ada alasan untuk mencurigai mereka. Meski demikian, dia tidak pernah merasa dikucilkan oleh teman-temannya.

Namun dia mengaku pernah mendapatkan perlakuan diskriminatif dari lurah di desanya. Dia dituduh sebagai anak Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun Tjun tidak menghiraukannya. “Santai saja. Yang penting saya masih tercacat sebagai warganya, meski masih dianggap asing,” katanya diiringi derai tawa.

Tjun tidak memiliki nama lain. Baik nama Indonesia maupun Jawa. Namanya tetap Liong Kwo Tjun. Padahal saat itu Soeharto sedang gencar memerintahkan warga Tionghoa untuk mengganti nama. “Saat itu saya masih lemah perekonomiannya. Jadi tidak terlalu dipermasalahkan,” katanya.

Namun pengucilan itu berakhir ketika Gus Dur menjabat sebagai Presiden RI. Disebutkan dalam buku Bapak Tionghoa Indonesia karya MN. Ibad dan Akhmad Fikri AF bahwa Inpres tersebut dicabut oleh Gus Dur. Gus Dur juga mengeluarkan Kepres No. 19 Tahun 2002 dan meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional. Kemudian dijelaskan dalam buku yang sama bahwa Sosilo Bambang Yudoyono juga mengeluarkan kebijakan berupa UU No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Etnis Tionghoa dalam undang-undang ini telah diakui sebagai warga negara Indonesia asli. Kini warga Tionghoa dapat bernafas lega, meski mereka menyadari bahwa sewaktu-waktu mereka dapat dikambinghitamkan kembali ketika situasi politik tidak menentu.  “Ono sing ngomong. Wah wong Cino kuwi pinter bisnis. Duite akeh. Itu omong kosong. Orang Cina yang tidak bisnis juga banyak. Yang gak punya uang ya banyak. Yang nakal-nakal ya banyak. Ini bukan karena etnisnya, tetapi personalnya. Namun cap bagi orang Tionghoa seakan tidak ada habisnya. Makanya banyak orang Tionghoa yang enggan masuk ke politik. Ahok hanya satu dari seribu yang berbeda,” ungkapnya.

Ono sing ngomong. Wah wong Cino kuwi pinter bisnis. Duite akeh. Itu omong kosong. Orang Cina yang tidak bisnis juga banyak. Yang gak punya uang ya banyak. Yang nakal-nakal ya banyak. Ini bukan karena etnisnya, tetapi personalnya.

Tjun merasa sudah menjadi orang Jawa asli. Itulah mengapa dia enggan berpindah kewarganegaraan. Sebab dia lahir dan mencari makan di negara ini. “Kalau disuruh pindah, jelas tidak mau. Saya ingin tetap di Indonesia. Mengabdi di sini. Saya ini kurang Jawa apa? Saya tidak doyan makanan Tiongkok. Saya pernah pergi ke sana beberapa kali. Namun saya tidak bisa makan. Maka setiap kali berpergian, saya sering membawa sambel trasi,” katanya lantas tertawa. Dia memainkan ponselnya. Katanya, ada mahasiswa yang ingin bertemu dengannya. Namun beberapa saat ditunggu, mahasiswa itu tak kunjung datang.

Tjun dididik secara Katolik oleh orangtuanya. Namun sebagai Tionghoa, dia juga diajarkan untuk menjunjung tinggi ikatan kekeluargaan sesuai ajaran leluhurnya, seperti berbakti kepada orangtua, kerabat, dan leluhur. Tak hanya itu, dia juga diajarkan untuk tetap berbakti setelah orangtua dan keluarga meninggal dunia.

Dalam tradisi Tionghoa, kata Tjun, menghormati orangtua dan leluhur harus dilakukan sepanjang hidup. Baik kepada keluarga yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia. Penghormatan itu dilakukan agar hubungan kekerabatan mereka tidak terputus.

Selain penghormatan kepada leluhur, Tjun juga diajarkan untuk melaksanakan segala ritual di klenteng. Baginya ritual merupakan tradisi yang tidak bisa dipisahkan dari statusnya sebagai keturunan Tionghoa. Maka selain rajin ke gereja, dia juga rajin ke klenteng.

Pada 1983, Tjun menikahi pacarnya, seorang Tionghoa-Kristen bernama Esther Ikawati, 60. Tjun bershio ayam dan Esther bershio babi. Menurut perhitungan feng shui kedua shio ini cocok, meski berbeda keyakinan.

Tjun menyadari perbedaan itu sejak mengenal Esther di sekolah. Esther terkenal sebagai Tionghoa-Kristen yang taat. Esther, begitu Tjun mengisahkan, tidak akan mengubah keyakinannya hanya untuk menikahinya.

Esther selalu membujuk Tjun untuk tidak lagi mendatangi klenteng.

Bagi Esther, melakukan ritual di klenteng merupakan sebuah larangan. Bahkan terhitung perbuatan dosa. Esther selalu membujuk Tjun untuk tidak lagi mendatangi klenteng. Namun Tjun seringkali menasehati istrinya bahwa menghormati keyakinan orang lain itu lebih penting. “Jadi perbedaan kami ini tidak hanya sekedar beda gereja saja. Tetapi beda tradisi juga. Saya masih melaksanakan ritual di klenteng. Sedangkan istri saya, ke klenteng saja tidak mau. Anehnya, kami masih satu atap,” jelasnya.

Esther, kata Tjun, tidak pernah memintanya pindah agama. Namun, istrinya berulang kali memintanya agar tidak mengikuti ritual di klenteng.

Esther berpandangan bahwa ritual itu salah. Ritual itu larangan. Larangan yang terus menerus dilukukan akan berdampak buruk bagi seseorang. “Jadi istri saya selalu bilang tidak usah ke klenteng koh. Tidak perlu mengikuti ritual di sana. Biar nanti kalau meninggal dunia bisa bersama-sama. Bisa masuk surga bersama,” Tjun menirukan saran istrinya. Namun Tjun menolak. Tjun geleng-geleng kepala. “Saya jawab saja. Kita ini mati kapan? Apa bisa kita merencanakan kematian bersama? Aku bisa mati lebih dulu. Kamu juga bisa mati lebih dulu. Sudahlah, kamu jalankan saja apa yang kamu yakini. Aku juga menjalankan apa yang aku yakini,” kata Tjun. Dalam ajaran Kristen, mengkristenkan orang bisa mendatangkan pahala. Itulah mengapa Esther selalu mengajak Tjun untuk menghentikan ritual di klenteng. Meski nyaris tidak pernah mengajak Esther ke klenteng, Tjun merasa sikap istrinya itu aneh.  “Bagi saya tetap aneh. Keturunan Tionghoa tetapi meninggalkan ritual di klenteng. Lha wong ini budaya leluhur,” katanya lantas tertawa.

Namun, Tjun sadar bahwa perbedaan itu memang tidak perlu dibesar-besarkan. Tjun bertekad dia tidak akan meminta istrinya berpindah agama atau mengikuti ritual di klenteng. “Saya katakan. Ya sudahlah, keyakinan kita memang beda. Namun yang lain kan tidak. Jika sulit menyatukan perbedaan, maka satukan saja persamaan kita. Kita lupakan perbedaan. Toh kami masih suka dengan sambel trasi.

***

Janji Keadilan Bagi Tionghoa di Indonesia

Setelah kekuasaan Orde Baru tumbang, kondisi sosial-politik di Indonesia mengalami pergeseran yang signifikan. Tidak hadirnya kekuatan politik dominan membuat gelombang demokrasi melanda hampir di segala bidang kehidupan, tidak terkecuali di bidang kebudayaan. Kondisi ini memungkinkan berbagai praktek kebudayaan yang pada saat Orde Baru berkuasa dilarang tampil secara publik kemudian satu persatu mulai berani menampakkan dirinya kembali, salah satunya adalah kebudayaan etnis Tionghoa.

Meski diperolehnya kembali kebebasan tersebut harus ditebus dengan sebuah kerusuhan massa—atau yang dalam ingatan kolektif bangsa ini dikenal sebagai ‘Tragedi Mei 1998’—yang memakan banyak korban jiwa dari kalangan etnis Tionghoa, namun masa-masa sesudah itu tidak bisa dipungkiri telah membawa banyak perubahan bagi kehidupan mereka di Indonesia. Indonesia pasca-Orde Baru, atau juga biasa disebut dengan “Era Reformasi” telah membuka kesempatan yang lebih luas bagi orang Tionghoa Indonesia untuk dapat mengekspresikan Identitas kebudayaan mereka kembali tanpa perlu khawatir dengan larangan dari pemerintah. Praktis sejak tahun 1999, mereka pun akhirnya bisa merayakan kembali Hari Raya Imlek tanpa perlu takut-takut lagi (Turner, 2003; Turner dan Allen, 2007).

Pribumi dan Non Pribumi

Sebelumnya, tepat pada 16 September 1998, Presiden B.J. Habibie mengeluarkan Instruksi Presiden No. 26/1998 yang menghapuskan penggunaan istilah “pribumi” dan “non pribumi” untuk menyebut orang pribumi dan orang Tionghoa. Momen bersejarah ini pun kian sempurna ketika pada 17 Januari 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keputusan Presiden No. 6/2000 yang berisi pencabutan Instruksi Presiden No.14/1967 tentang pelarangan agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina, yang kemudian diteruskan dengan pencabutan larangan penggunaan nama Tionghoa buat orang-orang Tionghoa Indonesia pada 2001. Keputusan presiden ini selanjutnya diterjemahkan lewat Keputusan Menteri Agama No.13/2001 tentang penetapan Hari Raya Imlek sebagai hari libur fakultatif (hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya) dan diteruskan dengan pencabutan larangan penggunaan bahasa Tionghoa baik lisan maupun tulisan (Setiono, 2002). Ketika menghadiri perayaan Imlek yang diselenggarakan MATAKIN pada tanggal 17 Februari 2002, Presiden Megawati Soekarnoputeri juga mengumumkan bahwa mulai tahun 2003 Imlek akan ditetapkan menjadi hari libur Nasional.

Kembali Ke Kancah Politik

Perlu juga dicatat bahwa sejak bergulirnya Era Reformasi telah lahir kesadaran di kalangan orang-orang Tionghoa Indonesia untuk meramaikan kembali kancah politik nasional, mengingat sepanjang pemerintahan Orde Baru hak-hak politik dan budaya mereka tidak mendapatkan penyaluran yang memadai. Berbagai kelompok peranakan Tionghoa pun beramai-ramai membentuk partai politik, paguyuban, perhimpunan, LSM, dan sebagainya. Di antaranya adalah Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (PARTI), Partai Bhinneka Tunggal Ika (PBI), Paguyuban Sosial Marga Tionghoa (PSMTI), Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI), Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), Gerakan Anti Diskriminasi (GANDI), Solidaritas Pemuda Pemudi Indonesia Untuk Keadilan (SIMPATIK), dan sebagainya (Setiono, 2002; Turner dan Allen, 2007: 122-123).

Perlu juga dicatat bahwa sejak bergulirnya Era Reformasi telah lahir kesadaran di kalangan orang-orang Tionghoa Indonesia untuk meramaikan kembali kancah politik nasional, mengingat sepanjang pemerintahan Orde Baru hak-hak politik dan budaya mereka tidak mendapatkan penyaluran yang memadai.

Namun sangat sedikit di antara partai-partai politik yang dikomandoi oleh orang Tionghoa tersebut menuai kesuksesan berarti. Hampir semua partai yang berdiri waktu itu, selain PBI yang hanya mendapatkan satu kursi di parlemen dari daerah pemilihan Kalimantan Barat, tidak memenuhi ketentuan ambang batas (treshold) elektoral yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Thee Kian Wie, ekonom senior dari LIPI, berpendapat bahwa kecenderungan tersebut merupakan tanda-tanda positif bagi perbaikan kehidupan dan masa depan orang Tionghoa di Indonesia, namun satu hal yang membuatnya nampak kurang begitu nyaman dari fenomena tersebut adalah terkait dengan penonjolan yang berlebihan terhadap ciri-ciri ketionghoaan dalam partai-partai yang ada, karena seolah-olah mereka hanya mewakili kepentingan orang-orang Tionghoa saja, selain juga bisa memicu munculnya kembali penilaian berbau rasial dari kelompok pribumi (Turner, 2003: 349).

Gagasan Pembauran

Senada dengan Thee, Ong Hok Ham, sejarawan peranakan yang sejak dulu mendukung gagasan pembauran, juga menunjukkan ketidakyakinannya bahwa partai-partai berbasis etnis yang didirikan oleh sejumlah tokoh Tionghoa akan mampu menjadi sarana perjuangan bagi perbaikan nasib masyarakat Tionghoa di Indonesia. Dugaan Ham terbukti benar. Jangankan merealisasikan tujuan tersebut, bersaing mendapatkan suara dalam pemilu 1999 saja, bahkan sekedar menjadi kontestan, partai-partai tersebut terlihat kurang kompetitif. Strategi yang kemudian dipilih oleh tokoh-tokoh Tionghoa justru mengembangkan mekanisme lobi, strategi politik yang oleh Ham dipandang sebagai langkah meniru lobi-kobi berbasis etnis yang lazim terjadi dalam perpolitikan Amerika. Sistem lobi ini dimaksudkan untuk menjaga idependensi sikap di tengah iklim politik yang kurang menentu. Sebab, jika sikap politik itu telah digariskan secara tegas, hal ini justru akan merugikan masyarakat Tionghoa sendiri karena sikap politik mereka akan lebih mudah ditebak, dan yang lebih penting adalah kenyataan bahwa jarang sekali partai yang didirikan oleh kelompok minoritas akan mampu berkembang menjadi lebih besar di kemudian hari. Tentang sikapnya ini Ham berpendapat:

~~~

“…. partai politik dari golongan minoritas cenderung mengisolasi golongan minoritas dari dunia perpolitikan bangsa. Sementara itu, partai politik dari minoritas etnis atau ras tidak pernah memiliki kursi banyak dalam parlemen, karena jumlah mereka terlalu sedikit. Masalahnya adalah apakah bisa dilahirkan politik minoritas yang independen, yang berjuang bagi kepentingan minoritas, seperti menghapus diskriminasi, dan bagi seluruh bangsa” (Kompas, 13 Agustus 1999).

~~~

Thee dan Ham selanjutnya lebih menyarankan supaya orang-orang Tionghoa untuk bergabung ke dalam partai-partai politik yang sudah ada, yang secara politis lebih terbuka terhadap, dan lebih mampu mengakomodasi kepentingan berbagai golongan di Indonesia, misalnya PDI-P, Golkar, PAN, PKB, dan lain-lain. Hasilnya ternyata memang lebih bagus. Pada pemilu 1999, ada beberapa orang etnis Tionghoa yang berhasil menjadi anggota DPR, MPR dan DPRD. Di DPR ada nama Kwik Kian Gie (kemudian diganti karena diangkat menjadi menteri) dan Tjiandra Wijaya Wong dari PDI-P, Alvin Lie Ling Piao dari PAN, Enggartiasto Lukita dari Golkar. Sementara di MPR ada nama Hartarti Murdaya (Chow Lie Ing) dari Walubi yang mewakili Utusan Golongan dan Daniel Budi Setiawan yang menjadi wakil Utusan Daerah Jawa Tengah dari PDI-P. Seharusnya ada lagi seorang etnis Tionghoa yang menjadi anggota DPR yaitu Frans Tshai yang mewakili PDI-P Bogor, namun pada saat-saat terakhir ia disingkirkan dan tempatnya diberikan kepada orang lain (INTI, 2003).[1]

Beberapa etnis Tionghoa bahkan pernah menduduki beberapa jabatan strategis di pemerintahan lokal, di antaranya Basuki Tjahaja Purnama, menjabat sebagai Bupati Belitung Timur periode 2005-2010, dan setahun kemudian, Christiandy Sanjaya terpilih sebagai Wakil Gubernur Kalimantan Barat. Jumlah keterlibatan orang-orang Tionghoa dalam politik praktis mengalami peningkatan cukup signifikan pada Pemilu 2009. Terdapat sekitar 100 calon legislatif di tingkat DPR yang berasal dari etnis Tinghoa. Belum lagi caleg untuk tingkat DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Dalam daftar tersebut, misalnya, selain nama Alvin Lie (PAN Jateng), Rudianto Tjen (PDI-P, Bangka), Charles Honoris (PAN Jatim), Henky Kurniadi (PDI-P Jatim), Agoes (Hanura), L Walanda (Sulawesi Utara), Tan Fu Yong (DKI Jakarta), dan Samuel Nitisaputra (Kalimantan Timur), Frans Tjai dan Eddy Sadeli (P. Demokrat), AB Susanto (PKB), Tommy Satnjoto, Hertanto Surya, Sri Mutiara Sutardji (PKPI), Anton Gautama (PDI-P), Siegvrieda, Joseph Mangondow (Pelopor), Hendry Tjandra (PIB), Kimmy Himawan (PAN), dan sebagainya (Suara Karya, 31 Maret 2009).[2]

Kebebasan Masyarakat Tionghoa Indonesia

Iklim kebebasan di Era Reformasi juga disambut dengan terbitnya banyak publikasi seputar masyarakat Tionghoa di Indonesia, dari kajian yang sifatnya serius hingga yang lebih populer.[3] Kondisi ini juga dimanfaatkan sebagian kalangan untuk menerbitkan media berkala yang menyuarakan aspirasi masyarakat Tionghoa di Indonesia.[4] Sampai akhir April 2008, setidaknya masih terbit sembilan media yang mengambil segmentasi warga keturunan Tionghoa: lima media cetak berbahasa Mandarin (Indonesia Shang Bao, Gui Ji Ri Bao, Suara Indonesia, Harian Indonesia (Reji Ri Bao), dan Kun Dian Ri Bao), tiga media cetak berbahasa Indonesia (Era Baru, Majalah Sinergi, dan majalah Suara Baru), dan sebuah media berbahasa Inggris (The Universal Daily News) (Prasetyo, 2010: 172-173).

Bagaimana dengan orang-orang Tionghoa Muslim Indonesia dalam merespon perubahan situasi politik tersebut?

Dipicu oleh kekecewaan terhadap Golkar yang dianggap kurang mampu mengawal proses pembauran selama berkuasa, Junus Jahja dan sejumlah tokoh Tionghoa, di antaranya HM. Jusuf Hamka, Budi Susanto, Dr. Dih Liang, mendirikan Partai Pembauran Indonesia (Parpindo) dengan pertimbangan dibutuhkannya sebuah wadah partai politik yang sanggup menampung aspirasi masyarakat terhadap masalah pembauran bangsa dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Parpindo yang memilih Pancasila sebagai basis ideologinya ini bersifat terbuka bagi seluruh warga negara tanpa memandang suku, keturunan, dan agamanya (Kompas, 6 Juni 1998). Menurut Junus, agenda pembauran selama Orde Baru berkuasa berjalan tanpa arah, digerakkan oleh pihak yang tidak ‘becus’ dan tidak peduli terhadap pembauran itu sendiri. Meski agenda asimilasi sudah dicetuskan sejak tahun 1960-an, bahkan telah menjadi slogan resmi rezim Orde Baru, namun terbukti hasilnya tidak maksimal dan tepat sasaran karena rezim yang berkuasa memang belum menganggap masyarakat Tionghoa sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia itu sendiri. Sebab, agenda pembauran yang sejati, dalam artian memperkuat infrastruktur bagi terciptanya pembauran yang bersifat alamiah, belum menjadi isu mayor bagi hadapan pemerintah Orde Baru. Junus menuturkan:

~~~

“Kita ini bukan economic animals, dan juga bukan mewakili kelompok yang bersemangat cukongisme. … di antara orang-orang keturunan Cina ini ada pemain bulu tangkis, dokter-dokter yang bekerja sebagai pegawai negeri, dan lainnya. Selama ini mereka dipukul rata saja dan pergerakan pembauran di Indonesia tidak lagi ditangani oleh mereka yang mempunyai perhatian terhadap masalah ini, tapi sudah kemasukan orang-orang yang menginginkan pembahasannya meluas tidak hanya pada masalah Cina saja.”[5]

~~~

Sayang, rendahnya dukungan baik dari kalangan Tionghoa sendiri maupun masyarakat Indonesia secara umum membuat Parpindo kurang mampu bersaing dengan partai-partai lainnnya, bahkan dinyatakan tidak lolos dalam Pemilu 1999. Namun, kondisi tersebut lantas tidak membuat Junus patah semangat untuk tetap menempatkan urgensi asimilasi bagi orang-orang Tionghoa di Indonesia sebagai pokok perhatiannya. Salah satunya disampaikan melalui seruan terhadap orang-orang Tionghoa Muslim untuk menyikapi perubahan politik pasca tumbangnya Orde Baru sebagai peluang untuk menunjukkan peran mereka secara lebih luas. Dengan kata lain, kebebasan itu harus bisa dimanfaatkan oleh orang-orang Tionghoa Muslim untuk berpartisipasi lebih aktif di berbagai bidang kehidupan. Namun, tetap perlu diwaspadai bahwa potensi konflik antara etnis Tionghoa dengan penduduk pribumi belum sepenuhnya hilang meski orde kekuasaan telah berganti.

Akar Konflik dan Potensi Memediasinya

Menurut Jahja, selama pemerintah Orde Baru berkuasa, sebenarnya praktek diskriminasi tidak hanya ditujukan kepada etnis Tionghoa semata, tetapi penduduk pribumi pun turut merasakannya. Orang Tionghoa memang dilarang mengekspresikan kebudayaannya dan dibatasi keterlibatannya dalam bidang politik, namun mereka dimanjakan pemerintah dalam sektor ekonomi. Sebaliknya, meskipun penduduk pribumi lebih leluasa berkecimpung dalam kehidupan politik, namun aksesnya terhadap sumber-sumber ekonomi relatif dibatasi oleh pemerintah Orde Baru. Kondisi ini, kalau tidak disikapi secara serius oleh pemerintahan baru di Era Reformasi tentu potensial menjadi ancaman bagi terciptanya kerjasama dan sikap saling menghormati antara kedua kelompok tersebut. Kondisi ini, lanjut Jahja, sebenarnya peluang bagi orang-orang Tionghoa Muslim untuk memerankan fungsinya sebagai mediator bagi kedua kelompok. Posisi orang-orang Tionghoa Muslim yang relatif dapat diterima oleh penduduk pribumi membuat mereka lebih leluasa menjalin kerjasama dengan penduduk pribumi, yang kemudian dapat dilanjutkan dengan menjembatani kedua kelompok dalam kegiatan-kegiatan publik (Ali, 2007: 14-15).

Orang Tionghoa memang dilarang mengekspresikan kebudayaannya dan dibatasi keterlibatannya dalam bidang politik, namun mereka dimanjakan pemerintah dalam sektor ekonomi. Sebaliknya, meskipun penduduk pribumi lebih leluasa berkecimpung dalam kehidupan politik, namun aksesnya terhadap sumber-sumber ekonomi relatif dibatasi oleh pemerintah Orde Baru.

Sependapat dengan Junus Jahja, Budi Setyagraha, tokoh Tionghoa Muslim dari Yogyakarta, melihat bahwa terbuka lebarnya pintu kebebasan di Era Reformasi tersebut semestinya bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh orang-orang Tionghoa untuk terlibat dalam berbagai bidang kehidupan di negeri. Mereka sebaiknya tidak hanya berkonsentrasi di bidang bisnis saja, tetapi harus lebih berani memasuki jenis profesi lainnya, mungkin menjadi guru, dosen, peneliti, tentara, polisi, jaksa, hakim, pengacara, artis, wartawan, sastrawan, begitu juga menjadi politikus. Orang-orang Tionghoa harus berusaha keluar dari isolasi yang selama ini mengungkungnya. Politik bukan lagi sesuatu yang menakutkan dan perlu dijauhi, sebaliknya perlu dipelajari dan dipahami. Etnis Tionghoa harus turut berpolitik praktis melalui partai politik-partai politik  yang sesuai dengan pilihannya atau bersama-sama komponen bangsa lainnya mendirikan partai politik untuk dijadikan alat perjuangan guna mencapai apa yang selama ini mereka harapkan. Bagi orang-orang Tionghoa Muslim sendiri, lanjut Budi, kondisi ini juga merupakan peluang bagi mereka untuk lebih aktif dalam mengusung agenda-agenda asimilasi. Posisi mereka yang lebih dapat diterima oleh penduduk pribumi harus mereka manfaatkan secara maksimal sebagai jalan untuk memasuki bidang-bidang pekerjaan yang selama ini identik dengan penduduk pribumi, seperti guru, dosen, karyawan, peneliti, artis, pengacara, notaris, insinyur, dan sebagainya (Bernas, 19 Maret 2006).

Tionghoa Muslim

Bersambut dengan seruan dua tokoh di atas, pertemuan penulis dengan dua orang Tionghoa Muslim asal Semarang dan Kudus, sebut saja Hasan dan Hendra, sedikit banyak telah membuktikan bahwa bagi orang Tionghoa Muslim sendiri pun selanjutnya merasa lebih bisa diterima dan dipersepsi secara positif oleh orang-orang pribumi ketika mereka berkecimpung di bidang profesi yang umumnya juga ditekuni oleh orang-orang pribumi. Sebenarnya, dengan menyandang identitas sebagai Muslim pun mereka merasa sudah lebih bisa diterima, apalagi ketika mereka menekuni pekerjaan-pekerjaan yang sering dikaitkan dengan orang-orang pribumi. Kondisi ini menggambarkan bahwa prasangka dan diskriminasi yang sering mereka terima sebenarnya bukan semata dipicu oleh persoalan perbedaan ras dan agama, tetapi juga erat kaitannya dengan perbedaan profesi yang berujung pada perbedaan tingkat kesejahteraan ekonomi antara mereka dengan penduduk pribumi.

Kesejahteraan ekonomi yang cukup mencolok tidak bisa dipungkiri telah membuat orang-orang pribumi cemburu terhadap mereka, hingga kemudian muncul stereotip negatif seperti economic animals (binatang ekonomi) yang rakus dan egois.

Kesejahteraan ekonomi yang cukup mencolok tidak bisa dipungkiri telah membuat orang-orang pribumi cemburu terhadap mereka, hingga kemudian muncul stereotip negatif seperti economic animals (binatang ekonomi) yang rakus dan egois. Itulah sebabnya ketika ada orang-orang Tionghoa yang menekuni jenis profesi selain di bidang bisnis, orang-orang pribumi cenderung melihat mereka sebagai pengecualian, apalagi jika mereka sekaligus seorang Muslim. Hal ini mengindikasikan bahwa hubungan antara kedua belah pihak sejauh ini memang sarat akan prasangka dan kecurigaan, seperti yang diungkapkan oleh Hasan dan Hendra berikut:

~~~

“Sangat sulit menghilangkan stigma buruk terhadap orang-orang Cina, apalagi untuk mereka yang kaya-kaya. Mereka umumnya juga hidup secara eksklusif, dan kurang bergaul dengan penduduk pribumi. Bahkan, cenderung menganggap rendah orang pribumi. Coba Anda lihat saja, di sepanjang jalan-jalan utama di Semarang Anda bisa melihat banyak sekali orang-orang Cina yang mempekerjakan orang-orang Jawa. Mereka juga memperlakukan orang-orang pribumi layaknya seorang pembantu. Ini mungkin penyebab mengapa masyarakat pribumi juga sering membenci orang-orang Cina. … tapi ini tidak semua mas, karena nampaknya ada pengecualian bagi orang Tionghoa yang masuk Islam. Sejak menjadi Muslim pada tahun 1997 sambutan masyarakat pribumi sangat welcome, mereka seakan-akan tidak percaya kalau ada orang Cina yang masuk Islam. Namun satu hal juga yang mungkin membuat mereka semakin menerima saya adalah karena saya ini kan bukan Cina kaya? Saya hanya seorang karyawan swasta, sama juga dengan mereka, jadi mereka tidak iri atau cemburu kepada saya. Menurut saya pekerjaan itu penting banget mas, karena ini sumber kecemburuan yang sebenarnya paling jelas.”[6] 

“Bagi mereka yang belum tahu kalau saya adalah seorang Muslim, mungkin mereka akan menganggap saya itu sama saja dengan orang-orang Cina lainnya, yang dianggap lebih suka hidup eksklusif menggerombol dengan sesama golongannya. Tapi, kebetulan saya ini bukan pebisnis mas, karena dorongan hati saya lebih condong pada mengajar. Sejak kecil saya merasa kurang trampil dalam manajemen, saya lebih suka dengan sesuatu yang bersentuhan dengan pendidikan. Itulah mengapa saya sekarang memilih menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi swasta di semarang. Bagi teman-teman atau mahasiswa saya yang tahu keislaman saya, mereka sangat bersimpati dan mendukung saya. Saya dianggap orang Cina yang melawan arus atau orang Cina yang mbalelo, tapi konotasinya tentu yang positif.”[7]

~~~

Senada dengan kecenderungan di atas, Maulana dalam penelitiannya juga membuktikan hal serupa di kalangan masyarakat Tionghoa Muslim Yogyakarta. Dia menyebutkan ada kecenderungan di kalangan mereka untuk berprofesi di bidang yang tidak terkait langsung dengan aktivitas bisnis, sesuatu yang mungkin selama masa pemerintahan Orde Baru bukanlah pilihan yang populer bagi mereka. Beberapa nama bisa disebut, di antaranya adalah Ahmad Sutanto dan Margaretta, dosen di Fakultas Ekonomi dan Fakultas-MIPA Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, Grace Lestariana, dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dan Hendrik, dosen di Fakultas Teknik Universitas Islam Indonesia (Maulana, 2010: 109). Sebenarnya di kalangan orang-orang Tionghoa Muslim sendiri juga terdapat kecenderungan kuat untuk mencoba berkarir di instansi pemerintah sebagai pegawai negeri sipil (PNS), namun karena kesempatan untuk melakukannya masih terbatas maka mereka kemudian memilih untuk berkarir di institusi-institusi swasta. Fenomena ini merupakan bukti nyata bahwa telah terjadi perubahan-perubahan orientasi pada diri orang-orang Tionghoa dalam konteks Indonesia pasca-Orde Baru, kecenderungan yang disadari atau tidak, ternyata telah membantu mengikis prasangka-prasangka negatif terhadap mereka dari masyarakat pribumi. Dengan kata lain, tidak semua orang Tionghoa Indonesia merupakan aconomic animals yang patut dicurigai dan dibenci, demikian pengakuan seorang warga pribumi ketika dimintai pendapatnya mengenai kecenderungan tersebut.

Perubahan-perubahan orientasi pada diri orang-orang Tionghoa dalam konteks Indonesia pasca-Orde Baru, ternyata telah membantu mengikis prasangka-prasangka negatif terhadap mereka dari masyarakat pribumi.

~~~

“Awalnya agak aneh sih melihat orang Cina kok jadi guru atau jadi dosen. Kebanyakan dari mereka kan pedagang yang menganggap uang sebagai tujuan utama mereka. Menurut saya, ini gejala yang patut dicermati dan disambut baik, karena semakin banyak orang-orang Cina yang berani mengambil langkah ini, maka saya yakin penilaian orang-orang Jawa lambat laun akan berubah.”[8]

~~~

Kenangan Orde Baru

Sayangnya, mengingat kesempatan yang tersedia masih sangat terbatas untuk berkarir di Institusi-institusi pemerintah, maka kita belum bisa menjumpai lebih banyak lagi orang-orang Tionghoa yang menempuh jalan tersebut. Namun, terlepas dari masih minimnya kesempatan tersebut, Indonesia pasca-Orde Baru tetaplah akan dikenang oleh masyarakat Tionghoa Indonesia sebagai salah satu babak terpenting dalam sejarah keberadaan mereka di negeri ini. Demokratisasi di bidang politik telah melahirkan kembali kesadaran di kalangan masyarakat Tionghoa akan pentingnya ketersediaan saluran-saluran partisipasi bagi mereka, selain sebagai sarana perjuangan bagi kepentingan-kepentingan mereka, hal ini juga dapat dipandang sebagai bukti keseriusan mereka untuk terlibat lebih jauh dalam upaya-upaya perbaikan negeri ini.

Demokratisasi di bidang politik telah melahirkan kembali kesadaran di kalangan masyarakat Tionghoa akan pentingnya ketersediaan saluran-saluran partisipasi bagi mereka.

Di kalangan Tionghoa Muslim sendiri, iklim kebebasan di Indonesia pasca-Orde Baru ini kemudian segera direspon dengan cara semakin menguatkan konsolidasi dan merumuskan orientasi gerakan ke depan secara lebih sistematis. Ambil contoh, pada 23 Maret 2005 DPD PITI Jateng menyelenggarakan Musyawarah Wilayah yang mengusung agenda utama yaitu merumuskan strategi-strategi gerakan yang diharapkan lebih mampu mewujudkan terciptanya suasana saling menghormati dan kerjasama antara masyarakat Tionghoa Muslim dengan penduduk pribumi. Kegiatan ini diikuti oleh hampir seluruh anggota DPD PITI Jawa Tengah, di antaranya dari Semarang, Pekalongan, Rembang, Kudus, Purbalingga, Tegal, Surakarta, Salatiga, Jepara, Purwokerto, Blora, dan lain-lain. Beberapa tokoh penting Tionghoa Muslim Jawa Tengah juga hadir dalam acara tersebut, seperti H. Fuad Sahil, Jaisar Amit, Maksum Pinarto, Gautama Setiadi, Harry Afandi, dan Iskandar. Salah satu butir rekomendasi dari acara tersebut adalah disepakatinya pembangunan Islamic Center yang rencananya akan dibangun di Semarang dan diharapkan mampu menjadi pusat kegiatan dan pembelajaran pengetahuan keislaman bagi orang-orang Tionghoa Muslim di Jawa Tengah (Suara Merdeka, 22 Maret 2005).[9]

Ruang Demokrasi Tionghoa Muslim

Di tahun yang sama, DPP PITI juga menyelenggarakan Musyawarah Nasional III yang diselenggarakan di Surabaya. Munas yang kemudian menetapkan HM. Trisno Adi Tantiono sebagai Ketua Umum DPP PITI ini dapat dianggap sebagai momen paling bersejarah bagi masyarakat Tionghoa Muslim Indonesia pasca-Orde Baru, sebab melalui forum ini kemudian lahir kesepakatan tentang penggunaan kembali kata Tionghoa dalam nama PITI. Di tahun-tahun itu juga tanda-tanda semakin menggeliatnya aktivitas komunitas Tionghoa Muslim Indonesia mulai terasa, setidaknya jika dilihat dari dibangunnya masjid dan pusat keislaman di beberapa daerah, di antaranya Masjid Cheng Ho di Surabaya, Purbalingga, Bandung, dan Palembang, Masjid Ja’mi An Naba’ KH. Tan Shin Bie di Purwokerto, Masjid Cheng Ho Jawa Tengah di Semarang, serta Islamic Center di Kudus (Tanudjaja, 2005).[10] Makin maraknya aktivitas komunitas Tionghoa Muslim di Indonesia pasa-Orde Baru ini kemudian mematahkan tesis yang menganggap bahwa keislaman mereka semata hanya untuk mencari perlindungan penguasa. Jika tesis ini benar, semestinya sebagian besar orang Tionghoa yang telah memeluk Islam ketika Orde Baru masih berkuasa akan kembali lagi kepada keyakinan terdahulu mereka seiring dengan tumbangnya kekuasaan Orde Baru yang pernah mengebiri kebebasan mereka hampir di segala bidang kehidupan telah tumbang.

Meski iklim demokrasi di Indonesia pasca-Orde Baru telah memberi kesempatan bagi orang-orang Tionghoa Muslim untuk menunjukkan identitas dan pandangan-padangan mereka secara lebih terbuka, namun hal ini bukan berarti tidak ada lagi masalah serius yang bakal mereka hadapi di waktu-waktu selanjutnya. Menurut pengamatan Ali (2007: 14-15), posisi mereka tetap berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, keputusan untuk memeluk Islam memang semakin mendekatkan mereka dengan pemerintah dan masyarakat pribumi, namun di sisi lain mereka juga menghadapai situasi baru yang cukup dilematis, yakni hubungan mereka dengan orang-orang Tionghoa terancam memburuk.

Jika mereka terlalu dekat dengan pemerintah dan penduduk pribumi, maka hal ini dikhawatirkan akan mengganggu hubungan mereka dengan orang-orang Tionghoa non-Muslim, sementara jika mereka terlalu dekat dengan orang-orang Tionghoa, maka mereka kemudian akan rentan terhadap prasangka-prasangka negatif dari penduduk pribumi.

Jika mereka terlalu dekat dengan pemerintah dan penduduk pribumi, maka hal ini dikhawatirkan akan mengganggu hubungan mereka dengan orang-orang Tionghoa non-Muslim, sementara jika mereka terlalu dekat dengan orang-orang Tionghoa, maka mereka kemudian akan rentan terhadap prasangka-prasangka negatif dari penduduk pribumi, misalnya jalan memeluk Islam hanya sekedar untuk mencari posisi aman. Dengan demikian, menjadi Muslim tidak kemudian selalu bermakna sebagai telah purnanya proses asimilasi orang-orang Tionghoa ke dalam masyarakat pribumi, karena dalam konteks Indonesia pasca-Orde Baru, telah terjadi perubahan-perubahan mendasar terkait dengan orientasi pembentukan identitas mereka seiring semakin terbukanya kebebasan untuk menunjukkan identitas mereka yang sebenarnya. Dengan kata lain, menjadi Muslim sekarang ini tidak selalu sebangun dengan menjadi pribumi, karena gelombang ‘resinifikasi’ kebudayaan yang tidak bisa dibendung lagi itu juga turut melanda kalangan Tionghoa Muslim Indonesia. Petikan kesaksiaan salah seorang dari mereka berikut ini mungkin bisa memberi gambaran tentang bagaimana mereka menanggapi gelombang perubahan tersebut.

~~~

“Sekarang kondisinya telah jauh berubah, tidak seperti zaman Orde Baru yang penuh dengan hambatan-hambatan. Orang-orang Cina itu tidak bisa dipaksa lagi untuk menghapus ciri-ciri yang mereka miliki, apalagi jika hal itu berhubungan dengan kepercayaan-kepercayaan yang telah diwariskan selama berabad-abad lamanya. Meski saya ini sudah menjadi Muslim sejak lama dan dalam banyak hal mengikuti cara-cara atau kebiasaan-kebiasaan orang Jawa, namun ketika ada kesempatan untuk merayakan hari-hari besar Tionghoa, atau apapun lah yang berhubungan dengannya, dalam hati pun saya merasa sangat antusias dan gembira. Ibaratnya, kita pernah kehilangan barang berharga yang kita miliki, nah ternyata sekarang barang itu telah kembali lagi.”[11]

~~~

Bersambung… (untuk mendownload versi panjangnya).


Catatan:

 

[1] Keterangan lebih detil bisa dilihat secara online di http://id.inti.or.id/specialnews/25/tahun/2003/bulan/02/tanggal/01/id/292/print/. Dikunjungi pada 10 Januari 2011.

[2] Sumber onlinenya bisa dilihat di http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=223505. Dikunjungi pada 15 April 2011.

[3] Penjelasan lebih lanjut, lihat, Agus Setiadi, ”Geliat Sang Naga dalam Pustaka: Buku-Buku Tentang Kebudayaan Tionghoa di Era Reformasi”, dalam I. Wibowo dan Thung Ju Lan (eds.), Setelah Air Mata Kering: Masyarakat Tionghoa Pasca-Peristiwa Mei 1998 (Jakarta: Penerbit Kompas, 2010), hal. 139-165.

[4] Lihat, Stanley Adi Prasetyo, ”Adakah Media untuk Kalangan Tionghoa?, dalam I. Wibowo dan Thung Ju Lan (eds.), Setelah Air Mata Kering: Masyarakat Tionghoa Pasca-Peristiwa Mei 1998 (Jakarta: Penerbit Kompas, 2010), hal. 116-183.

[5] “Tidak Berjalannya Asimilasi Mendorong Pembentukan Parpindo”, Kompas, 9 Juni 1998. Tersedia sumber onlinenya bisa di http://indo982.tripod.com/n0698/n0698_20.html. Dikunjungi pada 15 Mei 2009.

[6] Wawancara dengan Hasan di Masjid Agung Baiturrahman Semarang pada 21 Oktober 2008.

[7] Wawancara dengan Hendra di salah satu rumah makan di bilangan simpang lima Semarang pada 4 November 2008.

[8] Wawancara dengan salah seorang warga Yogyakarta.

[9] “Muswil PITI akan Diselenggarakan 23 Maret 2005.” Tersedia secara online di http://www.suaramerdeka.com/harian/0503/22/nas19.htm. Dikunjungi pada 14 Maret 2009.

[10] Lihat juga http://www.muslimtionghoa.com/index.php?action=generic_content.main&id_gc=46. Dikunjungi pada 8 Agustus 2008.

[11] Wawancara dengan Hasan di Masjid Agung Baiturrahman Semarang pada 21 Oktober 2008.

Tulisan Marcel Bonneff ini versi aslinya berbahasa Prancis: “Ki Ageng Suryomentaram, Prince et Philosophe Javanais,” dimuat pertama kali di Archipel 16 (1978), hal. 175–203. Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Susan Crossley, “Ki Ageng Suryomentaraman, Javanese Prince and Philoshoper,” dimuat di Indonesia 57 (April 1994).

Afthonul Afif, Peneliti <a href=

Kawruh Jiwa" width="150" height="150" /> Afthonul Afif, Peneliti Kawruh Jiwa

Versi bahasa Indonesia tulisan ini diterjemahkan oleh Afthonul Afif dari versi Inggrisnya atas izin Marcel Bonneff. Tulisan ini juga menjadi apendiks dalam buku Matahari dari Mataram, karya Afthonul Afif dan kawan-kawan. Afthonul Afif adalah seorang peneliti Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram. Dua bukunya tentang Ki Ageng Suryomentaram yaitu: Matahari dari Mataram; Menyelami Spiritualitas Jawa Rasional Ki Ageng Suryomentaram (2012) dan Ilmu Bahagia menurut Ki Ageng Suryomentaram (2012). Ia juga aktif menulis tema psikologi kebahagiaan di berbagai media massa.


erhatian terhadap sejarah (Indonesia) kontemporer diharapkan mampu memberikan sumber-sumber baru dan bukti-bukti segar yang akan memperjelas peran Suryomentaram dalam perjuangan kemerdekaan dan reformasi sosial bersamaan dengan tumbuhnya nasionalisme, yang dimulai dari Jawa kemudian Indonesia. Suryomentaram dapat dilihat sebagai bagian dari mereka yang termasuk aristokrat Yogya (atau Surakarta) yang selanjutnya disebut sebagai “priyayi yang terpelajar/tercerahkan”. Jika dilihat pada masanya, mereka ini merupakan orang-orang yang resah untuk memainkan peran dalam mengenalkan sebuah perilaku baru yang disesuaikan dengan kebutuhan zaman, dan dalam memperjuangkan tatanan sosial yang lebih fleksibel dibandingkan dengan kaumnya yang hidup di era kolonial. Mereka mencurahkan perhatian terhadap nasib petani, mengakui peran pentingnya dalam menjaga keseimbangan sosial, dan menghembuskan semangat baru dalam pepatah lama “nagara mawa tata, desa mawa cara” (negara yang mengatur, desa yang bekerja).

Mungkin kita berhutang kepada cara berpikir Jawa karena aspek-aspek yang kurang dikenal dari riwayat hidup KAS yang bersifat agak legendaris tersebut, yaitu motif-motif dan penilaian terhadap tindakan-tindakannya, dapat dipahami dengan baik. Demikianlah Pangeran Suryomentaram–Siddharta meninggalkan istananya untuk menyibak penderitaan manusia, kemudian mengawali pencarian yang berakhir pada “pencerahan” (bahkan nama yang dipilih untuk tempat peristirahatannya, Bringin, memiliki makna yang penting); Budha–Suryomentaram menunjukkan “jalan tengah”. Ada Suryomentaram yang sangat kecewa, bahkan muak, dengan kondisi-kondisi yang dia jumpai di keraton. Perilakunya sama dengan yang ditunjukkan oleh pemberontak sebelumnya, contoh-contoh yang mewarnai sejarah Mataram. Pemberontakannya (madeg kraman) seperti yang dilakukan Diponegoro,1 dipicu oleh sebuah kemerosotan moral dan perselisihan dalam keluarga, sekalipun pada kasus ini tidak menimbulkan implikasi-implikasi tertentu bagi kekuasaan keraton. Wujud pemberontakan Diponegoro ini dapat dilihat dari caranya berpakaian (bisa dilihat dari jubah dan sorbannya), caranya berlindung dalam laku spiritual, dan caranya kerap berkunjung ke tempat-tempat yang tidak terjangkau cengkeraman kekuasaan. Diponegoro juga menyepi di Goa Langse dan menyusuri Pantai Parangtritis. Perilaku seperti itu mungkin dapat dianggap sebagai tanda-tanda bagi sebuah “kebangkitan karisma”, yang dapat memancing ketakutan penguasa. Bringin, seperti halnya Tegalrejo, merupakan tempat di mana dia mampu menarik diri, yang membuatnya bisa melepaskan diri dari kontrol kekuasaan, dan selanjutnya menjadi tempat dari mana sebuah tatanan moral baru dihasilkan.

Namun, waktu telah berubah sejak Diponegoro. Bangkitnya kesadaran nasional dan pembebasan masyarakat merupakan tujuan dari jihad jenis baru. Pendidikan adalah yang terpenting. Editor edisi Indonesia karya-karya Suryomentaram memiliki alasan yang bagus untuk menyebut Krishnamurti. Apakah KAS telah membaca karya-karyanya? Nampaknya demikian.2 Di berbagai kesempatan, keduanya berbagi (menyuarakan) gagasan pendidikan yang sama. Mereka menyebut gagasan-gagasan sezamannya (melalui ungkapan): “Belajar mengenal diri sendiri,” “kebijaksanaan adalah jalan tengah di antara dua ekstrem,” “kamu adalah orang lain.” Apa yang mereka sampaikan itu tak terikat waktu alias universal.3 Selanjutnya, Suryomentaram adalah guru; seperti juga Ki Hajar. Namun, Ki Hajar telah mengasimilasikan teori-teori pendidikan Barat dan menulis untuk para intelektual di generasinya, mengarahkan tindakan-tindakannya dalam pengertian konflik kebudayaan—baginya “Pembaratan” (Westernization) bersifat problematis. Sementara hal ini tidak berlaku bagi Ki Ageng, yang tidak merasa perlu menampilkan warisan kebudayaan Jawa.

Tidak diragukan lagi bahwa khazanah kebudayaan Jawa telah begitu memengaruhinya, dan dia sepenuhnya menyadari hal tersebut. Tidak sulit menemukan elemen-elemen pokok pemikirannya dalam khazanah kesusastraan Jawa abad ke-19, yang memiliki keterkaitan dengan tradisi kebijaksanaan lama. Konsep tentang tanggung jawab individu ketika menghadapi bahaya yang muncul dalam kehidupan sehari-hari mengingatkan pada penggalan syair dalam Wulang Reh yang begitu terkenal itu, sebuah syair yang diciptakan oleh Paku Buwono IV (1788-1820):

Bener luput ala becik lawan begja

Cilaka apan saking

Ing badan priyangga

Dudu saka wong liya

Pramila den ngati-ati

 (pupuh VII, durma 3)

Benar atau salah, keburukan atau kebenaran, juga kebahagiaan

Atau kemalangan, penyebabnya ditemukan

Dalam tiap-tiap diri kita

Dan bukan dalam diri orang lain

Maka dari itu kita mesti berhati-hati

Begitu juga ungkapan-ungkapan seperti “sepi ing pamrih” (tidak berpamrih), “andhap-asor” (kesopanan), dan “tepa-selira” (memahami orang lain = dimensi keempat dalam ajaran KAS), merupakan prinsip-prinsip yang juga dikenal oleh para pembaca ajaran moral abad ke-19. Mawas diri, eling lan waspada, yaitu pengendalian diri untuk memastikan tindakan-tindakan sosial yang tertib/terpuji, adalah ajaran KAS yang juga telah disinggung oleh para pujangga. Ungkapan “sapa temen tinememan” (siapa yang bersungguh-sungguh) yang berasal dari khazanah puisi (Jawa) yang mengekspresikan kebulatan tekad atau ketetapan hati dalam segala situasi sama dengan istilah tatag dalam ajaran KAS. Masih banyak lagi sumber-sumber yang dapat disebut dalam tradisi kesusastraan ini, yang (secara umum) diakui sebagai ajaran dalam kebatinan Jawa sepanjang abad ke-20.

Lalu mengapa KAS menunjukkan kesan menolak istilah tersebut sementara tidak untuk gagasannya? Pertama, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, KAS tidak ingin menganggap dirinya sebagai seorang guru dengan ajaran yang sarat akan misteri dan magis, yang membuat para muridnya terjebak dalam penipuan diri dan diliputi harapan-harapan palsu. Harus diingat, bahwa karisma dan aura kebangsawanan yang dimiliki KAS lebih disebabkan oleh hal-hal yang dia sampaikan (bukan karena dia memiliki kekuatan supranatural tertentu—penerj.).4 Alasan kedua barangkali lebih fundamental: apakah mungkin memberikan definisi kebatinan untuk ajaran-ajaran KAS jika dalam ajarannya sendiri Tuhan dianggap sekadar kebetulan/kurang penting? Mempertimbangkan rendahnya ketertarikan KAS terhadap persoalan-persoalan keagamaan, sebuah penjelasan yang memuaskan barangkali telah diberikan oleh Moh. Said; bahwa Ki Ageng ingin membatasi ajarannya sebagai filsafat “eksistensial”: “saya pribadi menganggap bahwa (pembatasan) ini dikarenakan KAS sepenuhnya sadar akan keterbatasan-keterbatasan manusia dalam memahami apa yang ada di balik realitas hidup sehari-hari (kini dan di sini) dan bukan dikarenakan penolakan a priori terhadap eksistensi sebuah realitas yang tak kasatmata.”5 Dapat juga dikatakan bahwa jika Tuhan tidak memiliki tempat dalam pemikiran para filsuf, hal itu karena Dia sendiri sudah ada di mana-mana (dalam segala hal, dalam konsep Alam Agung atau alam semesta).

Dalam cara berpikir Jawa, apakah Tuhan atau Manusia yang menempati posisi terpenting? Tentu saja Manusia. Meskipun para spiritualis telah meminjam (gagasan) dari agama Hindu atau Budha, dari mistisisme Islam atau beberapa ajaran teosofi (bahkan kadang-kadang dari ilmu kedokteran), teori-teori tersebut pada akhirnya bersumber dari sebuah dorongan psikologis tunggal: jiwa adalah korban dari sebuah kebingungan yang hebat, sasaran dari sebuah kecemasan dasar (fundamental anxiety), yang mesti diatasi sebelum keselarasan batin dan pemenuhan psikologis dapat ditemukan (atau sebuah kondisi kekosongan: sunya). Ini adalah pendekatan yang sepenuhnya bersifat individual, yang terbagi ke dalam tahapan-tahapan yang berbeda (yang sama banyaknya dalam pemikiran KAS), masing-masing di antara tahapan-tahapan itu mewakili beberapa jenis kemajuan dalam mencapai Kebenaran, yaitu suatu langkah yang lebih maju dalam upaya seseorang untuk menemukan kebebasan.6 Pada saat yang bersamaan tahapan-tahapan tersebut merupakan semacam “pemusatan psikologis” di mana tujuan utamanya adalah kedamaian spiritual. Selubung harus disibakkan, penutup7 harus disingkirkan, sebelum kebenaran itu muncul. Dan kebenaran itu adalah, sebagaimana yang disebut Suryomentaram sebagai Aku, pengalaman mistik tentang kehadiran yang ilahiah.

Hal ini barangkali adalah gambaran yang sempurna dari toleransi, toleransi Jawa yang dirayakan, kecuali jika kepicikan dogmatis terjadi… dan tidak toleran! Sayang, implikasi-implikasi politis dari pendekatan ini masih kurang diperhatikan. Pemenuhan personal (personal fulfilment) secara de facto berhubungan dengan pencapaian sosial (dalam konteks relasi antarmanusia) dan keseimbangan dalam hubungan di antara kelas-kelas sosial yang berbeda; kondisi yang oleh KAS ingin diwujudkan secara bersamaan, sebagaimana dilambangkan dengan celana pendek hitam (representasi kelas bawah) dan sarung bangsawan (kain yang dikalungkan di lehernya) yang dia pakai.

Perilaku seperti itu, yang hanyalah salah satu dari “perilaku-perilaku yang berfungsi sebagai pedoman hidup bagi orang Jawa,”8 kadang-kadang disebut dengan “priyayinisme”, atau mungkin dapat diistilahkan sebagai “tradisional”. Kecenderungan semacam ini nampaknya sulit untuk berubah. Tetapi pengertian tentang perilaku bijak juga berkembang dalam kehidupan orang Jawa secara umum, yang dalam konteks ajaran KAS lebih dipahami sebagai kesalehan atau kesederhanaan sosial (public modest). Sekalipun pemikiran KAS lahir dari alam mental terdalam (the mental depth), di mana aliran-aliran kebatinan juga berakar di situ, namun KAS hendak membersihkan mereka dari selubung-selubung takhayul dan pengertian-pengertian yang berbau mistis. Terhadap alasan inilah pemikiran KAS dalam konteks nasional kemudian sering dianggap sebagai “modern”, mengingat hanya dengan membersihkan pikiran dari selubung-selubung takhayul itulah pemenuhan psikologis (psychological fulfilment) baru dapat diwujudkan. Itulah sebabnya Ki Ageng kemudian lebih memilih menggunakan kata “kawruh” (ilmu, dalam pengertian yang rasional), ketimbang kata “ngelmu” (ilmu dalam pengertian esoteris atau mistis).

Ceramah-ceramah KAS, buku-buku atau tulisan-tulisan tentang Kawruh Jiwa yang telah diterbitkan

Dalam sumber-sumber bacaan berikut ini, yang jauh dari lengkap, buku-buku yang tidak dapat penulis dapatkan tetap penulis cantumkan dalam daftar buku-buku tentang “Kawruh Begdja” di belakang buku-buku yang sudah penulis pastikan keberadaannya.

1. Soedi, Ngelmi–Kawruh–Pitedah Sedjatining Gesang (Wedjangan KAS), 1929 (?); Magelang, 1965 (Edisi keempat), 20 halaman. Dicetak stensilan.

2. Imam Moehni, Inwijding tot het eeuwigdurende geluk van B.R.M. Soeήomentaram, Djokjakarta, 71 halaman. (Pengantar ditulis pada 1930).

KAS, Uran-uran Bedja, (1930?); Surakarta, Windu Kentjana, 1955 (Edisi keenam), 17 halaman.

(KAS), Pangawikan prίbadi, (1930?).

KAS, Wedjangan Kawruh Bedja sawetah, 1931, Pertemuan di Surakarta; 1957 (Edisi ketujuh), 37 halaman. Dicetak Stensilan (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ki Oto Suastika: Wejangan Pokok Ilmu Bahagia, Jakarta, Yayasan Idayu, 1975, 33 halaman).

Ki Sangoebrangta (Ki Pronowidigdo), “Pendidikan oentoek ketentraman doenia wedjangan Toeanku Pangeran Soerjamataram (Kiai Ageng Beringin),” Poesara 1, 10 (13 Januari, 1932), hal. 79–81 (dalam bahasa Jawa).

KAS, Kawruh pamomong.

KAS, Djiwa persatuan.

KAS, Djiwa buruh.

KAS, Ilmu djiwa.

KAS, Seni Suara, 1951, Pertemuan di Magelang; 1956 (Edisi kedua), 10 halaman (dalam bahasa Indonesia).

KAS, Perang dunίa kapίng III, 1951, Pertemuan di Pati; 1956 (Edisi keempat.), 18 halaman.

KAS, Pandangan keadaan dunia.

KAS, Pembangunan djiwa warga negara, 1951, Pertemuan di Surakarta, Windu Kentjana, 1955 (Edisi kedua), 28 halaman (dalam bahasa Jawa).

KAS, Aku iki wong apa? 1952, Pertemuan di Yogyakarta; 1956 (Edisi keempat), 30 halaman.

KAS, Ukuran kaping sakawan, 1953, Pertemuan di Magelang; Surakarta, Windu Kentjana, 1953 (Edisi pertama), 39 halaman. (Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ki Oto Suastika: Ukuran Keempat, Jakarta, Yayasan Idayu, 1974, 32 halaman).

(KAS), Sendon Djunggring Salaka Agung VII, 1953 (di Magelang).

KAS, Tandesan: Wedjangan Kawruh Bedja sawetah (djilid I); Surakarta, Windu Kentjana, 1954 (Edisi pertama), 43 halaman.

KAS, Mawas diri, 1954, Pertemuan di Surabaya; 1956 (Edisi pertama), 54 halaman.

KAS, Kawruh laki-rabί; Surakarta, Windu Kentjana, 1955 (Edisi ketiga), 60 halaman.

KAS, Piageming gesang; Surakarta, Windu Kentjana, 1955 (Edisi kedua), 22 halaman. (Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: Idjazah hidup; Jogjakarta, “Soejadi,” 12 halaman, dicetak stensilan).

KAS, Raos Pantja-Sila; Surakarta, Windu Kentjana, 1955 (Edisi ketiga), 24 halaman.

KAS, Uran-uran raos Pantja Sila.

KAS, Tata negara.

KAS, Djiwa Ngajogjakarta.

KAS, Hal kesempurnaan (Naskah berbahasa Indonesia oleh Ki Pronowidigdo); Magelang, Harapan, 1956, 20 halaman.

KAS, Sandiwara Raos Mlenet; Surakarta, Windu Kentjana, 1956 (Edisi pertama), 56 halaman.

KAS, Pilsapat raos gesang, 1956, Pertemuan di Semarang; Magelang, Harapan, 1959 (Edisi kedua), 17 halaman. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia:

1)  Oleh Kjai Pronowidigdo, Pilsapat Rasa-hidup, Jogjakarta, 1957 (Edisi pertama), 30 halaman;

2)  Oleh Ki Oto Suastika, Filsafat Rasa Hidup, Jakarta, Yayasan Idayu, 1974, 28 halaman.

Buku Peringatan Djunggring Salaka Agung ke XI, tgl. 21–23 Maret 1959, di Purwokerto, Panitya Dj. S. A. ke XI, Purwokerto.

Ki Djojodinomo, Ular-ular djiwa Bangsa Indonesia, Ngajogjakarta, 18 halaman.

Ki Atmosutidjo, Gandulan kangge kantja-kantja peladjar—Kawruh Djiwa, Jogjakarta, 1962, 18 halaman. Dicetak stensilan.

Ki Suwardi Partosardjono, Sadjimpit Hatsil Njumerepi gagasan (pasinaon Kawruh-Djiwa babon saking Suwargi Ki Ageng Surjomentaram), Magelang, “P.K.D.,” 1970, 31 halaman. Dicetak stensilan.

Moh. Said Reksohadiprodjo, “Ki Ageng Suryomentaram, 20 Mei 1892-18 Maret 1962,” Pusara  44: 4 (April 1975), hal. 137–39.

Habis…

Monggo dibaca lagi:

Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892-1962) Bagian I

Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892–1962) Bagian II

Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892–1962) Bagian III


Catatan Kaki:

1. Tentang sejarah Diponegoro dan gagasan perlawanan; cf. sebuah tesis yang luar biasa ditulis oleh Peter Carey, lihat juga studinya yang lain yang berjudul The Cultural Ecology of Early Nineteenth Century Java: Pangeran Dipanegara, A Case Study (Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 1974), 25 halaman.

2. Menurut informasi yang disampaikan Ki Haditomo (wawancara).

3. Banyak perkataan yang sama dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan Krishnamurti dan KAS; sebagai contoh: “Jangan mendekat atau berjarak; lihatlah hanya pada fakta-fakta, dan ketika kamu telah memahami fakta-fakta itu, maka kemudian tiada kenikmatan atau penderitaan; yang ada hanyalah fakta.” Krishnamurti On Education (Bombay: Orient Longman, 1974), hal. 40.

Krishnamurti lahir pada 1885. Kedua laki-laki itu dengan demikian sezaman. Mereka juga menunjukkan kesederhanaan (yang juga bisa dilihat dalam cara berpakaian Krishnamurti) dan nasionalisme.

Tidak mungkin untuk membandingkan keduanya di sini, tetapi tidak ada salahnya disebutkan bahwa dalam pemikiran KAS tidak disebutkan secara jelas perkembangan tentang (rasa) estetika dan gagasan tentang perlunya sebuah kebudayaan baru, dua gagasan yang dikembangkan oleh Krishnamurti (Ibid., hal. 37). Namun perlu diingat, keduanya memang belum pernah bertemu, meski keduanya terhubung oleh tradisi pemikiran yang saling terkait, yakni Jawa dan India. Ambil contoh dalam pemikiran Ki Hajar, yang terpengaruh oleh Rabindranath Tagore dengan “Model India”-nya.

4. Mungkin akan membantu jika hal itu dilihat sebagai hasil dari proses pencarian yang panjang sehingga dalam makna tertentu mirip dengan wahyu.

5. Moh. Said Reksohadipodjo, “Ki Ageng Suryomentaram,” dalam Pusara 44: 4 (April 1975), hal. 138.

6. Dalam pendekatan spiritual Jawa, De Jong menyebutkan tiga komponen inti: citra tentang Raja, penjarakan, dan representasi; lihat Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1976), hal. 151. (Adaptasi dalam bahasa Indonesia atas tesis De Jong “Een Javaanse Levenshouding,” Vrije Universiteit, Amsterdam, 1973). Penulis melihat konsep emansipasi (distansi) sebagai sesuatu yang penting dalam karya-karya KAS.

7. Gagasan tentang “selubung” atau layar penutup (warana, aling-aling), yang menyembunyikan kesadaran sejati, yang secara umum terdapat dalam ajaran-ajaran kebatinan.

8. Meminjam ungkapan De Jong (ibid.).

PADA sebuah sore di pekan terakhir Mei 2017 sekelompok anak muda penggiat literasi di kota ini mengajak saya bertemu di sebuah kedai kopi kecil yang berlokasi persis di depan kampus Universitas Muria Kudus. Sebagian besar dari mereka saya ketahui berlatar belakang sebagai jurnalis.

Saya tidak perlu berpikir lama-lama untuk mengiyakan ajakan itu. Lagian mereka juga bukan sosok-sosok yang asing bagi saya. Kebetulan juga waktu itu saya memang sedang mencari-cari alasan untuk keluar rumah. Saya merasa sudah tidak sanggup lagi berdamai dengan rasa bosan dan penat setelah seharian bersusah payah dan nyaris menyerah untuk memungkasi sebuah tulisan.

Pukul 16.30 saya berangkat dari rumah, sementara mereka sudah menunggu di lokasi. Saya geber motor saya dengan kecepatan tinggi supaya mereka tidak menunggu terlalu lama. Sesampai di lokasi saya menyaksikan mereka sudah duduk berhadap-hadapan di depan dua meja yang digabungkan menjadi satu. Dari halaman parkir kedai saya menangkap kesan bahwa ini adalah pertemuan yang sudah disiapkan sebelumnya.

“Silahkan duduk, mas,” sambil menyeret sebuah kursi Imam mempersilahkan saya duduk.

Selain Imam, di pertemuan ini hadir pula Zakki, Mala, Ayu, Islakh, Mail, Farid dan Salam. Rasanya sudah cukup lama saya tidak bertemu mereka dalam formasi selengkap ini. Sejak sebagian dari mereka lulus kuliah dan mulai bekerja saya sudah semakin jarang bertemu mereka. Bukan tidak pernah usaha semacam ini dilakukan sebelumnya, namun ternyata lebih sering berujung gagal. Saya kira ini adalah siklus yang wajar dalam sebuah pertemanan.

Pertemuan sore itu terasa istimewa dan menggembirakan. Mereka saling berbagi kabar soal kemajuan-kemajuan hidup pribadi masing-masing, terutama di bidang dunia kepenulisan. Belum lama Mala berhasil menyedot perhatian publik berkat liputannya yang menyentuh tentang Soesilo Toer di Blora, seorang doktor lulusan Rusia yang memilih jalan hidup sebagai pemulung, sekaligus adik kandung penulis terkemuka Indonesia, Pramoedya Ananta Toer.

Zakki, yang belakangan lebih banyak menghabiskan waktunya di Semarang dan bergabung dengan Aliansi Jurnalis Independen di kota itu, mulai sering memenangi beasiswa liputan yang diadakan oleh lembaga-lembaga bergengsi yang beberapa hasil liputannya telah dirilis oleh sejumlah media online besar berbasis di Jakarta. Belum lagi Islakh, mahasiswa psikologi Universitas Muria Kudus, yang akhir-akhir ini, di tengah-tengah kesibukannya menyelesaikan skripsinya tentang peristiwa 1965, berhasil mencatatkan namanya sebagai mahasiswa berprestasi berkat keikutsertaannya di berbagai forum ilmiah bergengsi di berbagai kota besar di Indonesia.

Selain Mala, yang menyelesaikan pendidikan tingginya di Univeristas Diponegoro Semarang, dan sekarang bekerja sebagai redaktur di harian Radar Kudus Jawa Pos, semua yang hadir di pertemuan ini merupakan produk dari lembaga-lembaga pendidikan tinggi lokal: IAIN Kudus dan UMK. Tidak bermaksud melebih-lebihkan, atau memandang remeh yang lainnya, apa yang mereka capai sejauh ini boleh dibilang mengejutkan dan membesarkan hati, lebih-lebih di tengah kultur literasi kota Kudus yang masih jauh untuk disebut berkembang.

Jujur saja, berkat kehadiran orang-orang muda seperti mereka, saya merasa kembali dibuat jatuh hati pada kota kelahiran saya ini, setelah kurang lebih dua puluh tahun lamanya saya tinggalkan dan abaikan. Lagi-lagi, tidak bermaksud membuat glorifikasi, saya berkeyakinan bahwa masa depan literasi kota Kudus di tahun-tahun mendatang akan banyak ditentukan, atau paling tidak diwarnai, oleh orang-orang muda ini.

“Begini, mas. Bagaimana kalau kita menerbitkan sebuah buku tentang Kudus? Beberapa dari kami sudah memiliki tulisan jadi, sementara yang lain sepertinya siap untuk membuat tulisan susulan,” ujar Ayu.

Tanpa terasa, hampir satu jam obrolan kami berlangsung. Hal yang paling mengesankan saya dari obrolan sore itu adalah semakin berkembangnya daya jelajah mereka dalam memilih bacaan-bacaan bagus dan menarik, juga cara mereka membuat apresiasi tentangnya. Saya melihat kegemaran mereka terhadap buku bukan sekadar ekspresi dari gaya hidup orang muda terpelajar masa kini yang hendak mendefinisikan diri, gejala yang mudah kita jumpai di banyak kota besar di Indonesia, bahwa buku sudah mulai ditempatkan bukan dalam fungsi tradisionalnya sebagai jendela pengetahuan belaka, namun sudah beranjak menjadi penanda kelas dan identitas.

Justru sering kali, di kota-kota kecil yang akses terhadap bacaan tidak semelimpah di kota-kota besar, kita akan menjumpai orang-orang yang cara mereka memperlakukan sebuah buku akan terlihat lebih tulus dan jujur. Mereka menyadari keterbatasan akses untuk mendapatkannya, dan begitu mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan, mereka menanggapinya dengan penuh gairah dan menempatkannya layaknya sebuah kitab suci.

Di tengah-tengah obrolan tentang buku yang membuat anak-anak muda ini nyaris tidak pernah bosan, sesekali kami saling melempar ejekan tentang kekonyolan-kekonyolan hidup masing-masing yang, bahkan jika diketahui seluruh penduduk bumi sekali pun, kami sama sekali tidak akan menganggapnya sebagai aib. Bukan dalam rangka merundung, bukan pula untuk meninggikan diri, namun semata sebagai cara kami memulihkan kehangatan dan keakraban yang belakangan semakin langka kami dapati. Secangkir kopi robusta Muria di depan saya tandas, menyisakan kerak hitam yang hampir mengering di dasar cangkir.

Kami memutuskan menghentikan obrolan ketika azan maghrib berkumandang dan bersepakat untuk melanjutkannya setelah menunaikan sembahyang maghrib. Saat kami beranjak dari tempat duduk, Imam memberitahu penjaga kedai bahwa kami akan kembali lagi setelah selesai sembahyang.

“Jangan pada pulang dulu ya, masih ada hal penting yang perlu kita bicarakan setelah shalat maghrib,” seru Ayu mengingatkan teman-temannya.

~~

SEBENARNYA apa yang hendak kita bicarakan, tampaknya serius banget?,” saya mencoba membuka percakapan setelah kami berkumpul kembali di meja yang sama.

Ayu dan Mala saling melempar pandangan, sementara yang lain terdiam dan seolah-olah sedang menunggu ada di antara yang hadir di situ mulai membuka pembicaraan. Zakki mengalihkan perhatian ke ponselnya yang sejak dia duduk tampak menyala berkali-kali. Islakh tampak senyum-senyum, sepertinya hendak menyampaikan sesuatu, namun beberapa saat saya menunggu tak kunjung keluar dari mulutnya pernyataan apa pun.

“Sudah sampaikan saja, Parist Penerbit siap kok menerbitkannya,” ujar Mail, jebolan Lembaga Pers Mahasiswa Paradigma, IAIN Kudus, yang juga pengelola sebuah rumah penerbitan kecil di Kudus, sambil tertawa kecil memecah kebuntuan.

“Begini, mas. Bagaimana kalau kita menerbitkan sebuah buku tentang Kudus? Beberapa dari kami sudah memiliki tulisan jadi, sementara yang lain sepertinya siap untuk membuat tulisan susulan,” ujar Ayu.

Ayu menyebutkan bahwa dia sendiri, Mala, Zakki, dan Imam masing-masing sudah memiliki satu tulisan yang siap disunting. Ayu meminta saya untuk menyunting tulisan-tulisan mereka sekaligus memberikan semacam kata pengantar supaya kelak ketika semua tulisan mereka sudah terkumpul dan siap diterbitkan, memiliki kerangka perspektif yang jelas.

Dalam hati saya sangat gembira menyambut rencana ini, meski saya masih merasa perlu menahan diri untuk menunjukkannya di hadapan mereka. Lagian saya sendiri juga belum memiliki gambaran jelas bentuk tulisan seperti apa yang sudah mereka buat dan sebagiannya lagi yang bakal mereka susulkan. Namun sepertinya saya memang harus menunda memberikan tanggapan sebelum mereka menyampaikan rencana mereka secara jelas terlebih dulu.

Yen kuat dilakoni, yen ora kuat ditinggal ngopi. Ungkapan yang saya plesetkan dari lirik lagunya Via Vallen ini kira-kira menggambarkan kondisi pikiran saya waktu itu: mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa projek ini akan berhasil tanpa merasa perlu terbebani, meski harus menerjang wilayah yang belum sepenuhnya kami kenali.

Setelah selesai dengan ponselnya, Zakki segera menceburkan diri dalam obrolan yang makin seru itu. Dia memulainya dengan menyebut sebuah buku yang belum lama dia selesai baca. Belum banyak menjelaskan buku apa yang dia maksud, dia sudah berkali-kali bilang kalau buku itu sangat bagus dan membuatnya terkesan.

“Aku tahu, mas Zakki. Narasi toh? Yang diterbitkan Pindai Yogya itu toh?,” Ayu menyambar tanpa aba-aba.

Mala, Imam, Islakh, juga tak mau ketinggalan membuat kesaksian tentang betapa bagusnya buku yang Zakki maksud. Sepertinya mereka sudah membaca buku itu, atau kalau belum menuntaskannya, paling tidak mereka sudah memegang dan mengenali tulisan-tulisan di dalamnya. Saya pura-pura tidak tahu menahu perihal buku yang sanggup membikin anak-anak muda ini terbius, meski di antara kami mungkin saya lah orang pertama yang memegang buku ini. Saya membelinya di Yogya tidak lama setelah buku ini diterbitkan.

Zakki menyebut sejumlah nama beken dalam buku itu. Yang lain pun segera menimpali. Di antara sederet penulis yang menjadi kontributornya, ada nama yang mereka sebut berulang-ulang karena tulisannya mereka anggap menonjol. Dia adalah Rusdi Mathari, atau Cak Rusdi, yang sekarang sudah meninggalkan kita semua dan damai di kehidupan barunya. Mari kita doakan beliau, semoga amal baik beliau semasa hidup diterima dan kuburnya dilapangkan oleh Yang Maha Kuasa. Alfatehah…

Sampai di situ saya kira-kira sudah dapat membayangkan tulisan seperti apa yang hendak mereka buat. Ya, mereka tampaknya sedang terpapar sebuah genre penulisan dalam jurnalisme yang menonjolkan kedalaman dengan alur penceritaan panjang layaknya karya sastra. Tulisan semacam ini oleh publik Indonesia dikenal sebagai Jurnalisme Sastrawi atau Prosa Jurnalisme.

Meski saya belum sepenuhnya yakin, semata karena saya memang belum membaca tulisan yang mereka buat sebelumnya, mereka sanggup menghasilkan tulisan semacam itu dengan kualitas sama bagusnya dengan tulisan-tulisan dalam Narasi.  Namun saya menyadari keraguan saya ini tidak perlu saya sampaikan saat itu juga di depan mereka. Saya khawatir hal ini justru akan mengacaukan mood mereka ketika mereka sedang di puncak semangat untuk berkarya. Di luar penilaian apa pun, hal yang patut saya tanggapi dengan rasa gembira dan kagum adalah mereka telah menentukan kiblat yang menurut saya benar—setidaknya tepat.

Dalam suasana yang sedang bagus-bagusnya itu, Zakki melanjutkan penjelasannya. Berbekal pengetahuan yang dia peroleh dari berbagai pelatihan jurnalisme yang dia ikuti, umumnya di Jakarta, dia menjelaskan dengan cukup detil perihal bentuk tulisan yang sedang kami diskusikan. Dia menyertai penjelasannya dengan menyebut sosok-sosok penting yang telah berjasa mempopulerkan genre ini di Indonesia, sebut saja Andreas Harsono, Linda Christanty, Bondan Winarno, Rusdi Mathari, Fahri Salam, dan lain-lain. Selain paling senior di antara kawan-kawannya yang hadir di situ, Zakki adalah orang yang menurut saya memiliki pengetahuan paling luas seputar jurnalisme sastrawi atau prosa naratif.

Pembicaraan kami sudah mulai mengerucut. Entah seperti apa nanti hasilnya, kami menyepakati bahwa projek penulisan yang sedang kami rancang ini berkiblat pada bentuk prosa naratif. Mereka yang sebelumnya menyebutkan sudah memiliki tulisan jadi akhirnya menunda untuk menyerahkannya ke saya setelah diskusi kami berujuang pada disepakatinya standar-standar penulisan. Mereka merasa perlu untuk memperbaikinya. Saya pikir memang akan lebih baik jika projek ini dimulai dari start yang paling awal guna mencapai hasil yang lebih maksimal.

Tahap selanjutnya kami membahas tentang tema apa yang akan mereka tulis. Soal ini kami menyepakatinya diserahkan kepada masing-masing penulisnya. Sebagian sudah memiliki bayangan, sementara sebagian yang lain masih mencari-cari. Saya mengusulkan untuk menulis sesuatu yang memang sudah diketahui dan dikenali dengan cukup baik sebelumnya. Selain setiap penulis akan memiliki gambaran awal tentang topik yang akan dia tulis, saya juga menandaskan bahwa tulisan yang baik adalah tulisan yang akhirnya berhasil ditulis. Sebagus apa pun ide kita, akan percuma saja selagi ia masih merupakan wilayah yang sama sekali tidak dapat kita jangkau.

Menimbang bahwa ini adalah ide yang bagus, saya dengan senang hati menerima tawaran mereka untuk memimpin projek ini dan menyediakan diri sebagai editornya. Diam-diam, saya memang sudah menunggu momen seperti ini sejak lama. Bukan apa-apa, pengetahuan saya tentang kota saya sendiri memang masih sangat minim, dan saya ingin tahu lebih dalam lewat tulisan-tulisan mereka. Selain itu pula, Kudus sebagai sebuah kota di pesisir pantai utara Jawa dengan sejarahnya yang panjang dan perannya yang sangat menentukan dalam Islamisasi di Jawa, sejauh ini memang belum banyak dikaji dan ditulis. Dan menurut saya, pilihan pada bentuk prosa naratif merupakan pilihan yang tepat. Selain kita akan tetap mendapatkan kedalaman informasi, tulisan jenis ini juga dapat dikonsumsi oleh publik secara luas.

Satu hal yang juga saya sampaikan kepada mereka adalah bahwa saya sendiri sebenarnya bukan orang yang terlatih dalam tradisi penulisan semacam ini. Kesediaan saya menerima tawaran mereka semata sebagai sikap seorang pemula yang tertarik dengan hal baru untuk dipelajari. Bekal yang saya miliki untuk mengawal projek ini tidak banyak. Inilah yang membuat saya tidak berpikir muluk-muluk dengan membayangkan projek ini kelak akan berdampak ini dan itu.

Yen kuat dilakoni, yen ora kuat ditinggal ngopi. Ungkapan yang saya plesetkan dari lirik lagunya Via Vallen ini kira-kira menggambarkan kondisi pikiran saya waktu itu: mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa projek ini akan berhasil tanpa merasa perlu terbebani, meski harus menerjang wilayah yang belum sepenuhnya kami kenali.

Pukul 21.00 kami berpisah dengan membawa kesepakatan dalam suasana hati terbaik, seolah-olah kami sedang mengawal sebuah misi “kenabian”.

Tanpa kami sadari, diam-diam kami justru sedang membiarkan hantu masuk ke kepala kami, dan memberinya ruang untuk terus bergentayangan menebar terornya di benak setiap orang yang terlibat—di bulan-bulan berikutnya yang panjang dan menegangkan.

~~

MESKI tradisi kepenulisan saya tidak tumbuh dari rahim jurnalisme, namun saya cukup menyadari bahwa saya akan rugi besar jika mengabaikan perkembangannya sama sekali. Untuk tujuan apa?

Saya bukan seorang pembaca sastra yang baik. Dan, jika alasan saya membacanya saya sampaikan kepada mereka yang bergulat di situ, mungkin mereka akan geram dan bahkan mengecam. Saya melakukannya semata dalam rangka kesenangan pribadi, sebagai katarsis, meski acapkali setelahnya saya justru mendapatkan masalah baru. Tapi untungnya ini lebih jarang terjadi. Hanya dari karya-karya yang menurut saya bagus saja saya tersandung masalah-masalah baru.

Melalui sastra, saya sering menjumpai dunia yang rumit ini terpadatkan dalam struktur yang dapat saya pahami: Ada persoalan yang diangkat, babak, konflik, progresi dan transformasi, karakter yang ditonjolkan, juga emosi yang dikuak. Tugas ini seringkali tidak berhasil dilakukan dengan baik oleh disiplin yang saya tekuni, ilmu sosial. Persis di titik ini sastra mampu mengisi kekosongan pemaknaan atas dunia.

Minat saya terhadap struktur dan cerita membuat saya lebih menyukai prosa ketimbang puisi. Oleh karenanya, jangan sekali-kali menanyakan puisi siapa atau seperti apa yang menurut saya bagus. Bagi saya semua puisi sama sulitnya untuk dipahami. Bahkan, ketika sedang dalam emosi-emosi ekstrem sekali pun, entah yang menyenangkan atau menyedihkan, yang oleh banyak teman dianggap sebagai momen terbaik untuk berpuisi, dimensi puitik dalam jiwa saya tetap saja tumpul. Benar, saya sungguh payah soal ini.

Hal yang sama juga berlaku untuk karya-karya jurnalisme. Saya lebih menyukai hasil-hasil liputan yang mendalam, yang menghadirkan persoalan dalam bentuk kisah, meski lagi-lagi tidak banyak yang sudah saya baca. Dari yang sedikit itu, saya sangat terkesan dengan tulisan Andreas Harsono, Hoakiao dari Jember, yang menurut saya adalah tulisan terbaik dalam buku antologi yang disinggung di atas.

Melalui tokoh Ong Tjie Liang, yang kemudian kita ketahui adalah dirinya sendiri, Harsono berhasil mengangkat kegetiran hidup etnik Tionghoa di Jawa, juga di Indonesia secara umum, lewat teknik penceritaan berlapis tanpa kehilangan karakter arsitektoniknya, kekhasan yang juga dapat kita jumpai dalam tulisan-tulisannya yang lain.

Namun, nyaris tidak ada yang sanggup menandingi kekaguman saya terhadap karya naratif yang satu ini, Zaman Edan: Indonesia di Ambang Kekacauan, sebuah laporan yang disusun dari invesitigasi yang dikerjakan jurnalis asal Inggris, Richrad Lloyd Parry, selama tiga tahun berturut-turut pada 1996-1999 di daerah-daerah paling membara di Indonesia yang menandai kejatuhan rezim Orde Baru.

Jika cuma saya yang bersaksi, mungkin Anda tidak akan percaya perihal betapa bermutunya karya yang dalam edisi aslinya berjudul In the Time of Madness: Indonesia on the Edge of Chaos (2005) ini. Baiklah, saya merasa perlu kutipkan di sini kesaksian yang disampaikan sendiri oleh Farid Gaban—salah seorang jurnalis senior yang reputasinya dalam dunia jurnalisme Indonesia nyaris tidak ada yang meragukan—tentang buku itu.

“Jurnalisme sastrawi dalam praktik dan contoh nyata. Liputan Richrad Lloyd Parry tentang konflik Dayak-Madura di Kalimantan, kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, serta referendum berdarah di Timor Leste disajikan dalam sebuah dongeng mirip novel. Dan, inilah novel horor yang membuat film-film Alfred Hitchcock terasa hambar, sekaligus membuat kita akan bertanya: inikah wajah Indonesia sebenarnya?”

Jika masih belum percaya, saya kutipkan satu lagi. Tak tanggung-tanggung, kali ini pujian disampaikan oleh Literary Review, majalah kritik karya paling disegani di Inggris, bahkan juga di dunia, yang berbasis di London. Demikian bunyinya:

“Richrad Lloyd Parry selalu menyuguhkan kisah-kisah dahsyat. Dia menulis dengan kepekaan dan kepiawaiaan, mengais fragmen-fragmen cerita dari sana-sini lalu menyusunnya sehingga pembaca mendapatkan gambaran nyata tentang sebuah bangsa yang sedang meluncur ke titik terendahnya… Richrad Lloyd Parry adalah wartawan pemberani dan tak kenal lelah yang masuk ke dalam borok kejahatan manusia serta kembali dengan sebuah kisah yang terlalu mengerikan untuk dipercaya… Reportase yang indah dan berani.”

Belum percaya juga?

Alangkah sialnya saya!

Tiba-tiba pikiran saya terpelanting pada teman-teman muda saya yang sedang mengerjakan liputan naratif tentang kota mereka itu. Andai saja mereka membaca buku ini sebelum mereka menyusun laporan mereka, mungkin bekal yang mereka miliki untuk membangun plot dan mengembangkan karakter menjadi lebih kaya. “Tapi sudahlah. Projek itu sudah hampir selesai. Lagian, masih ada kesempatan-kesempatan berikutnya, bukan?,” batin saya.

Tidak bermaksud melebih-lebihkan, atau memandang remeh yang lainnya, apa yang mereka capai sejauh ini boleh dibilang mengejutkan dan membesarkan hati, lebih-lebih di tengah kultur literasi kota Kudus yang masih jauh untuk disebut berkembang.

Harapan saya yang berkembang kelewat jauh itu sontak saya rasakan sebagai sebuah kecongkakan. Bagaimana mungkin saya menuntut mereka melakukan sesuatu yang bahkan teman-teman mereka di daerah-daerah lain yang iklim literasinya lebih sehat belum tentu sanggup melakukannya? Bukankah itu sama juga saya mematok standar yang seharusnya dipenuhi oleh mereka yang sudah terlatih untuk orang-orang muda yang masih belajar itu? Bahkan, bukankah media-media besar tanah air yang telah memiliki sumberdaya mapan sekali pun nyaris tidak peduli dengan produksi karya-karya jurnalistik semacam itu?

Sungguh saya merasa bersalah kepada mereka. Mestinya saya fokus saja pada semangat mereka ketimbang mengeluhkan keterbatasan-keterbatasan yang sebenarnya juga terjadi di mana saja, dan dirasakan siapa saja.

Alamak… betapa bengisnya tuntutan itu jika saya bandingkan dengan kerepotan mereka ketika harus turun ke lapangan untuk menggali informasi dengan ongkos yang dirogoh dari kantung mereka sendiri yang saya ketahui tidak dalam itu. Dibuat sadar oleh kondisi yang sebenarnya, saya merasa seperti ditampar oleh kenyataan yang jika tidak dipahami secara terbalik, seterusnya akan menunjukkan siapa diri saya sesungguhnya: seorang penggerutu yang ke mana-mana membanggakan kekerdilannya.

Belum sepenuhnya siap menerima kenyataan bahwa saya ternyata seburuk itu, pikiran saya tiba-tiba dihantam oleh ucapan Samuel Butler, penyair Inggris abad ke-15, yang entah bagaimana datangnya, merangsek begitu saja ke dalam kesadaran saya.

“The truest characters of ignorance are vanity and pride and arrogance.” [Wujud asli kedunguan ada dalam sifat sombong, besar kepala dan congkak].

~~

PADA pertengahan 2010 saya membaca dua karya liputan Andreas Harsono bertajuk Panasnya Pontianak, Panasnya Politik dan Ahmadiyah, Rechtstaat dan Hak Asasi Manusia, yang diunggah di blog pribadinya, yang versi lebih pendeknya kalau tidak salah diterbitkan oleh mingguan Gatra, ketika sedang meriset tema seputar politik identitas. Kedua tulisan ini memberi saya gambaran nyata tentang bagaimana ketegangan-ketegangan sosial berbasis identitas bekerja di lapangan, bukan lagi sekadar sebagai konstruksi pengetahuan seperti yang saya dapat dari membaca buku-buku teoretik.

Untuk keperluan tulisan ini, saya membaca kedua tulisan itu lagi. Jika pembacaan saya terdahulu berfokus pada kandungannya, sekarang saya lebih berorientasi pada bentuk dan strukturnya.

Meski banyak mengadopsi teknik-teknik yang digunakan dalam karya sastra, terutama cerpen dan novel, prosa naratif tetap saja sebuah karya jurnalisme. Bentuknya yang eksploratif tidak kemudian membuatnya menarik diri dari fakta. Ia tetap berpatokan pada prinsip baku jurnalisme 5W 1H.

Andreas Harsono, dalam pengantarnya untuk buku Jurnalisme Sastrawi (2008) menyebutkan bahwa dalam prosa naratif “who” berubah menjadi karakter, “what” menjadi plot atau alur, “where” menjadi setting, “when” menjadi kronologi, “why” menjadi motivasi, dan “how” menjadi narasi.

Jan Whitt dalam Women in American Journalism: A New History (2008) memberikan sebuah definisi menarik tentang apa itu jurnalisme sastrawi:

“Literary journalism is not fiction—the people are real and the events occurred—nor is it journalism in a traditional sense. There is interpretation, a personal point of view, and (often) experimentation with structure and chronology. Another essential element of literary journalism is its focus. Rather than emphasizing institutions, literary journalism explores the lives of those who are affected by those institution.”

[Jurnalisme sastrawi bukanlah karya fiksi—ada orang-orang yang benar-benar hadir dan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Ia juga bukan jurnalisme dalam pengertian tradisional. Di dalamnya melibatkan penafsiran dari sudut pandang pribadi, dan terdapat eksperimentasi dengan struktur dan kronologi. Ciri mendasar lain dari jurnalisme sastrawi adalah terletak pada titik tekannya. Ketimbang memberi perhatian pada institusi-institusi, jurnalisme sastrawi justru menggali kehidupan orang-orang biasa yang dipengaruhi oleh institusi-institusi tersebut].

Prosa jurnalisme atau jurnalisme sastrawi atau jurnalisme eksploratif atau jurnalisme naratif, dan masih ada beberapa sebutan lainnya, pertama kali berkembang di Amerika pada 1960-an sebagai gerakan jurnalisme baru (new journalism) dengan Tom Wolfe sebagai pencetusnya. Namun demikian, bukan berarti tulisan-tulisan dengan karakter sejenis belum pernah dibuat sebelumnya.

Di kalangan jurnalis naratif sendiri, ada beberapa karya yang terbit sebelum tahun 1960-an yang sering mereka sebut sudah membawa ciri-ciri jurnalisme baru ini, seperti Hiroshima (1946) oleh John Hersey, A Hanging (1931) oleh George Orwell, The San Francisco Earthquake (1906) oleh Jack London, atau yang lebih awal lagi seperti The Watercress (1892) oleh Henry Mayhew.

Lalu ciri apa saja yang dapat dikenali dari jurnalisme sastrawi sehingga ia berbeda dengan jurnalisme tradisional? Norman Sims dalam True Stories: A Century of Literary Journalism (2008) menyebutkan:

“Among the shared characteristics of literary journalism are immersion reporting, complicated structures, character development, symbolism, voice, a focus on ordinary people—if for no other reason than that celebrities rarely provide the necessary access—and accuracy.”

[Di antara ciri umum dari jurnalisme sastrawi adalah liputan mendalam, struktur yang rumit, perkembangan karakter, simbolisme, suara, penekanan pada kehidupan orang biasa—semata karena alasan bahwa para pesohor jarang memberikan kecukupan akses—dan akurasi].

Sekarang saya mafhum, mengapa kawan-kawan muda saya itu dalam perjalanan menyelesaikan laporan mereka menjumpai banyak kendala. Menghasilkan tulisan dengan ciri-ciri di atas ternyata memang bukan perkara gampang, bahkan mungkin bagi mereka yang sudah terlatih sekali pun.

Sepertinya—meminjam perspektif ilmu neurologi—dibutuhkan kemampuan memaksimalkan serta menyeimbangkan cara kerja otak kanan dan kiri sekaligus untuk melakukannya. Dengan kata lain, penulisnya perlu menguasai kemampuan berpikir logis dalam berbagai bentuknya—memilih, memilah, menyusun, menganalisis, dan lain-lain—juga berpikir kreatif layakanya seorang seniman mengelola ide-idenya.

Ya, jurnalisme sastrawi adalah tulisan yang mengombinasikan teknik-teknik yang khas dipakai dalam penulisan sastra, seperti membangun dialog, karakter, emosi, alur, setting, konflik, dan lain-lain. Dan, di saat bersamaan ia juga tetap harus berpedoman pada keakuratan empiris dan koherensi logis. Bayangkan, Anda dipaksa untuk mengadopsi dua orientasi kepribadian yang tampak saling bertolak belakang ke dalam diri Anda—sikap dingin seorang ilmuwan dan kreativitas serta spontanitas seorang seniman.

Berat?

Rasanya kok begitu.

~~

FASE paling kritis dan mendebarkan dari proses ini akhirnya tiba juga: menunggu mereka mengirimkan tulisan lalu memberi kesempatan kepada saya untuk menyuntingnya.

Sejak pertemuan pertama pada Mei 2017 lalu, kami sudah membuat kesepakatan bahwa total waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan projek ini adalah enam bulan. Tiga bulan untuk proses liputan dan penulisan, dua bulan untuk penyuntingan dan perbaikan, dan satu bulan terakhir untuk persiapan penerbitan menjadi sebuah buku. Untuk mengawal rencana ini, Ayu berinisiatif membuat group WA sebagai media komunikasi di mana dia sendiri bertindak sebagai adminnya.

Untuk jumlah minimal tulisan yang akan dihasilkan kami menyepakatinya di angka sepuluh, ditambah satu pengantar dari saya, jumlah yang menurut kami sudah cukup untuk dikumpulkan menjadi sebuah karya antologi. Mengingat jumlah orang yang terlibat tidak lebih dari sepuluh, kami membuka kemungkinan kepada setiap penulis untuk membuat tulisan lebih dari satu.

Bila mengacu pada jadwal yang sudah dibuat, mestinya di bulan Agustus 2017 semua tulisan sudah terkumpul di tangan saya. Namun apa mau dikata, hingga minggu pertama September 2017, baru tulisannya Zakki yang saya terima, dan sebulan kemudian disusul oleh tulisan Ayu. Berhubung tidak ada sesuatu yang mengharuskan kami untuk segera menyelesaikan projek ini, ditambah berbagai kendala teknis yang dihadapi masing-masing penulis, kami pun memperbarui kesepakatan dengan memperpanjang tenggat hingga lima bulan ke depan sejak Oktober 2017. Ya, membuat tulisan panjang bergaya naratif memang sekali lagi tidak mudah. Bahkan para jurnalis yang sudah terlatih sekali pun butuh waktu hingga berbulan-bulan untuk menyelesaikan satu tulisan panjang mereka, pikir saya.

Dengan tulisan Zakki dan Ayu sudah di tangan, setidaknya saya memiliki gambaran tentang bentuk tulisan yang sudah dihasilkan. Lagian dengan dikirim secara bertahap pekerjaan saya akan menjadi lebih ringan. Saya memiliki cukup waktu untuk menyunting tulisan mereka dan memberikan catatan-catatan perbaikan sejauh itu diperlukan, tentu dengan wawasan saya yang amat terbatas dalam menangani tulisan semacam ini. Tidak menjadi soal, namanya juga masih di tahap belajar, asalkan dilakukan dengan sungguh-sungguh pasti ada faedahnya.

Gambar: Para Penulis Buku ” Yang Asing di Kampung Sendiri”

Satu minggu sebelum perpanjangan waktu pertama habis, baru satu tulisan dari Mala yang disusulkan. Saya mulai panik. Bayang-bayang bahwa proses ini akan berujung anti-klimaks mulai mengganggu pikiran saya.

Lewat group WA yang sudah kami buat, saya mencoba mengintensifkan komunikasi. Saya mulai mengajak mereka mengenali satu per satu masalah yang mereka hadapi. Ada yang kooperatif dan aktif menyampaikan permasalahannya, ada pula yang hanya diam sejuta bahasa. Saya berusaha memakluminya, watak orang memang beda-beda. Mungkin ada tipe orang yang memang lebih nyaman jika harus memerinci permasalahan mereka lewat percakapan langsung tanpa perlu diketahui oleh orang lain. Ya, ini adalah kemungkinan yang tidak dapat saya abaikan.

“Apa perlu saya menerapkan metode Sokratik untuk memancing mereka agar terbuka dengan semua kendala yang mereka hadapi? Haruskah saya membantu mereka mendayagunakan seluruh potensi mereka guna memecahkan kebuntuan ini? Haruskah saya menghadirkan seorang teman yang sudah dianggap maestro dalam penulisan naratif untuk memberikan pencerahan kepada mereka?”

Nah, sifat takabur saya mulai muncul lagi. Sial, mengapa pula saya harus mengetahuinya secepat ini?

Melalui tulisan Yang Asing di Kampung Sendiri, kami akan membawa pembaca pada sebuah desa tua di Kudus yang sedang mencoba mematut-matutkan diri menjadi sebuah desa wisata yang salah satu strateginya adalah dengan mengangkat kembali khazanah tradisi peninggalan leluhur mereka.

Dugaan saya bahwa membuat tulisan panjang dengan sekian tuntutan teknis adalah jenis pekerjaan berat makin terbukti. Saya menjumpai dalam diri mereka sebuah gambaran yang kaffah—tentang persoalan-persoalan mendasar yang tampaknya juga dialami oleh semua orang yang mulai menceburkan diri dalam peradaban tulis-menulis—sejak eranya Plato hingga Tere Liye—sejak zamannya Cleopatra hingga Nella Kharisma.

Saya mulai sadar bahwa pemberlakuan tenggat justru akan membuat mereka makin tertekan. Saya pun berpikir bahwa projek ini sebaiknya memang digulirkan tanpa perlu mematok batas waktu. Biarkan ia menyelesaikan dirinya sendiri, entah kapan itu, persis seperti cara dunia menjemput kiamat.

Lalu bagaimana dengan nasib tiga tulisan yang sudah melewati proses penyuntingan itu? Betapa kecewa penulisnya jika proses ini akhirnya harus dihentikan sementara mereka sudah bersusah payah membuatnya dengan pedoman teknikal yang njlimet itu? Ini sungguh dilematis. Dalam situasi demikian saya tidak mampu lagi berpura-pura sabar dan bijak.

Kepada ketiga pengirim pertama tulisan itu saya mencoba mengajukan pilihan: dilanjutkan dengan tetap mematok tenggat, dilanjutkan tanpa tenggat meski dengan resiko akan menghadapi ketidakpastian, atau dihentikan saja dan saya akan berusaha mencarikan nasib yang layak untuk tiga tulisan yang sudah dibuat itu.

Sungguh, saya ketiban sial untuk ke sekian. Kondisi yang saya rasakan genting ini, kekecewaan yang sudah terlanjur saya borong di awal ini, kesia-siaan yang saya kutuk setiap kali terjaga ini, ternyata oleh Mala dan Ayu ditanggapi enteng belaka. Di sini kekecewaan saya tiba-tiba segera beralih kepada mereka berdua. Bagaimana mungkin mereka mengabaikan kepedulian saya yang sedang mekar-mekarnya ini—semata untuk mengangkat wibawa dunia literasi kota Kudus ke puncak tertinggi yang hanya akan terjadi sekali saja dalam sejarahnya?

“Mau gimana lagi, mas. Demikian lah situasinya. Toh kita hanya bisa berusaha. Selebihnya, mana tahu kita?,” ucap Ayu dengan datarnya, menunjukkan bahwa dia tidak mau tahu dengan keresahan saya.

“Aku yang sudah berkali-kali merasakan pengalaman sepertimu saja tidak kecewa kok mas. …Ada sih, tapi sedikit saja,” susul Mala, dan kali ini benar-benar berhasil membikin saya malu.

Nah, masih ada Zakki. Bagaimana dengan dia?

“Yo gapopo mas… Lagian tulisan yang kukirim kemarin hanya pengembangan dari tulisan yang sebelumnya sudah pernah dimuat di media lain kok,” ujar Zakki dengan entengnya. Sesama laki-laki memang mustahil bisa saling mengerti!

“Kalian bersekongkol ingin mempermalukanku? Berani-beraninya kalian ini?!”

Tenang, saya mengucapkannya hanya dalam batin.

~~

TERNYATA, kami masih diberi kesempatan untuk melanjutkan perjalanan. Kali ini, meski sudah memasuki minggu kedua Januari 2018 dan belum ada tulisan baru yang disusulkan, perasaan dan pikiran saya terasa lebih ringan dan lapang. Ingin sekali saya ucapkan terima kasih kepada Ayu, Mala dan Zakki. Namun, setelah saya pikir-pikir buat apa juga? Lagian, apa mereka pantas menerimanya? Toh mereka sudah membuat saya kehilangan muka, dan celakanya di depan diri saya sendiri.

Diam-diam, saya menikmati tulisan mereka. Saya tidak ingin terburu-buru merampungkannya, mumpung juga belum ada tulisan baru yang masuk. Alur ceritanya saya cerna dan rasakan pelan-pelan. Adegan-adegannya saya kenang. Dan… cukup! Pujiannya tidak perlu banyak-banyak.

Rasa kesal saya kepada mereka tiba-tiba berubah menjadi benih-benih harapan, dan ini yang selalu menjadi masalah besar bagi saya. Soalnya, saya selalu menuntut lebih kepada orang-orang yang sudah berhasil mengambil perhatian saya. “Gawat. Mengapa saya bisa sejujur ini?,” batin saya. Saya benar-benar tidak suka. Bukan apa-apa, kalau mereka tahu, bisa besar kepala mereka.

Dalam Melacak Jejak Penemu Kretek, Zakki mengajak kita mengenali sosok Djamhari, tokoh yang diduga sebagai penemu kretek, meski sampai hari ini kebenarannya juga masih simpang siur. Menyadari keterbatasannya dalam mengakses sumber-sumber primer, Zakki meminjam kisah penelusuran Edi Supratno, sejawaran Kudus yang bertahun-tahun meneliti Djamhari, sebagai material ceritanya. Meski begitu, dia cukup berhasil mengangkat sosok Djamhari hingga orang akan mempertimbangkannya sebagai tokoh yang memang benar-benar pernah hidup di Kudus. Maklum saja, kisah hidupnya selama ini lebih banyak diselubungi oleh mitos-mitos. Dia sepertinya tahu kapan harus memperkaya narasinya dengan menyisipkan bacaan-bacaan relevan yang dia gali sendiri. Saya kira Zakki telah mengambil perannya secara proporsional.

Gusjigang merupakan akronim dari gus, ngaji dan dagang, yang secara umum merupakan gambaran ideal dari kepribadian santri Kudus yang dalam diri mereka sekaligus terdapat kualitas-kualitas seperti keluhuran budi pekerti, ketaatan menjalankan ajaran agama dan kemahiran dalam berdagang.

Melalui tulisan Yang Asing di Kampung Sendiri, Mala membawa kita pada sebuah desa tua di Kudus yang sedang mencoba mematut-matutkan diri menjadi sebuah desa wisata yang salah satu strateginya adalah dengan mengangkat kembali khazanah tradisi peninggalan leluhur mereka. Mula-mula dia mengajak kita mengenali sebuah tradisi yang sudah dijalankan secara turun-temurun selama ratusan tahun yang tidak mungkin akan kita temukan di desa-desa lain di seantero Kudus, yaitu ritual nganten mubeng dari Desa Loram Kulon. Tinjauan kesejarahannya membangkitkan romantisme, membuat pembacanya tergoda untuk membayangkan tahun-tahun awal ketika Islam baru masuk di kota ini. Keutamaan-keutamaan dan tabu-tabu di balik tradisi dia sebutkan satu per satu, dengan harapan mungkin dapat dijadikan sebagai bahan renungan. Namun, dia ujung kisah dia menutupnya dengan nada getir:

“…tak banyak tulisan yang mengabadikan cerita-cerita rakyat di daerah ini. Warga desa yang memiliki kesadaran untuk menggali potensi-potensi desanya juga belum banyak, untuk tidak mengatakannya tidak ada sama sekali. Mereka hanya berlomba-lomba melaksanakan tradisi, sementara banyak situs warisan budaya tidak tertedeksi atau bahkan hilang.”

Mereka yang menghasrati sejarah sebagai pemuas romantisme belaka akan kembali dihantam kegetiran berikutnya. Kali ini lewat Tidak Lebih Dari Sekadar Lembaran Rupiah, karya reportase Ayu yang berkisah tentang sebuah stasiun kereta yang—bukannya dilindungi dan dijadikan sebagai ikon yang merekam perkembangan sebuah kota dari masa ke masa—justru terancam mengalami alih fungsi bahkan hilang untuk selama-lamanya karena keputusan untuk menyewakan lahan kepada pihak swasta secara resmi sudah diterbitkan.

Bayangkan, pada 17 Agustus 2017 bangunan bersejarah itu masih digunakan sebagai lokasi upacara peringatan kemerdekaan Indonesia oleh sebuah komunitas pecinta sejarah di Kudus, dan tidak genap dua bulan kemudian, situs yang menjadi saksi Agresi militer Belanda I ini secara resmi dan terbuka dinyatakan ditutup untuk umum dengan alasan seperti yang disebutkan di atas.

Pada 11 Mei 2018 sebuah pesan masuk di email saya. Rupanya Salam dan kedua kawannya, Salim dan Ismah, mengirim sebuah tulisan yang sebenarnya sudah mereka janjikan setahun lalu. Mereka memberi judul Jenang Kudus, Tak Sekadar Dibuat dan Dijual untuk karya liputan keroyokan mereka. Dalam pengantarnya di emailnya, Salam menyebutkan bahwa tulisan ini mereka adaptasi dari tulisan yang sebelumnya sudah terbit di sebuah majalah yang dikelola oleh lembaga pers mahasiswa di Kudus. Bukan persoalan buat saya, yang penting projek penulisan ini tetap bergulir menemukan titik akhirnya.

Mereka yang menyukai dimensi romantik dari sejarah dan menjadikannya sebagai klangenan saya anjurkan untuk memulai membaca buku ini dari tulisan mereka itu. Dengan spirit menggebu-gebu khas anak muda, sepertinya mereka mengupayakan tulisan mereka dapat menjadi bagian dari usaha-usaha untuk mengangkat kembali dan melestarikan local wisdom atau potensi-potensi ekonomi berbasis tradisi di sebuah daerah agar manfaatnya dapat dirasakan seluas-luasnya oleh masyarakat. Dan upaya mereka ini saya kira cukup berhasil dengan menjadikan tradisi pembuatan jenang di Kudus sebagai sampelnya.

Spirit serupa juga akan kita temukan dalam beberapa tulisan lainnya yang baru disusulkan beberapa bulan kemudian setelah Salam dan kedua temannya mengirimkan tulisan mereka. Dalam kategori ini kita dapat menyebut di antaranya: Selayang Pandang Situs Patiayam oleh Imam, Parijoto, antara Mitos dan Fakta oleh Farid, Malam 1 Suro di Negeri Pewayangan dan Hikayat Sebuah Desa Di Dalam Desa oleh Islakh, dan Cerita di Balik Secarik Kain Keramat oleh Ayu.

Pada Juni 2018 Zakki mengirimkan kabar baik. Dia berhasil menyelesaikan tulisan keduanya yang dikembangkan dari liputannya tentang puasa Dalail Khairat di sebuah kampung santri di bagian timur kota Kudus yang sebelumnya pernah dimuat di portal berita Vice Indonesia pada 5 Juni 2008. Tulisan yang bertajuk Hikayat Puasa 1.000 Hari ini dengan apik menggambarkan eksistensi sebuah tradisi keagamaan yang sudah berusia ratusan tahun, yang kalau dirunut sanadnya akan berujung kepada Imam Ibn Sulaiman Al-Jazuli, seorang ulama besar dari Maroko yang hidup pada abad ke-15.

Lewat tulisannya ini, Zakki hendak menegaskan bahwa puasa dalail khairat merupakan potret sesungguhnya dari Islam Nusantara yang bercorak hibrid, produk dari persinggungan yang panjang antara ulama-ulama nusantara dengan guru-guru mereka dari pusat dunia Islam di Timur Tengah. Dalam praktik puasa ini, Zakki menemukan:

“…simpul jaringan ulama Nusantara dengan ulama di Timur Tengah. Agen utama persebaran dalail khairat di Nusantara adalah Syekh Mahfudz al-Termasi yang pernah menimba ilmu di Haramain (Makkah dan Madinah). Dia meninggal di Makkah pada usia 51 tahun bertepatan pada 20 Mei 1920. Adalah Muhammad Amin al-Madani selaku guru yang mengijazahkan puasa dalail khairat kepadanya. Tradisi puasa ini kemudian dia bawa ke tanah air dan menyebar ke seluruh penjuru nusantara.”

Pada pertengahan September 2018, Imam menambah daftar tulisan tentang potret keberagamaan masyarakat Kudus yang berakar pada tradisi dengan mengirim tulisan keduanya yang berjudul Etos Gusjigang, yang versi pendeknya pernah diterbitkan oleh sebuah harian terkemuka di Jawa Tengah. Gusjigang merupakan akronim dari gus, ngaji dan dagang, yang secara umum merupakan gambaran ideal dari kepribadian santri Kudus yang dalam diri mereka sekaligus terdapat kualitas-kualitas seperti keluhuran budi pekerti, ketaatan menjalankan ajaran agama dan kemahiran dalam berdagang.

Tulisan tersebut sebenarnya lebih tepat disebut esai ketimbang prosa naratif karena unsur-unsur yang harus dipenuhi dari sebuah tulisan naratif nyaris tidak kita temukan di dalamnya. Tidak menjadi soal. Bagi saya, fungsinya yang dapat memperkaya cakupan tema untuk karya antologi ini, juga nilai informasinya yang saya kira penting untuk diketahui banyak orang, menjadi dasar pertimbangan saya mengapa akhirnya memasukkan tulisan Imam itu.

Selain itu, umumnya sebuah buku yang dihimpun dari tulisan banyak orang, masing-masing penulisnya akan menjadi pihak yang paling bertanggungjawab atas tulisan yang mereka buat. Itu artinya, setiap tulisan adalah cermin dari setiap penulisnya. Justru di sinilah letak kelebihan dari karya antologi ini, keutuhannya hanya dapat dilihat dari kekhasan setiap bagian yang menyusunnya.

“Lho… kok jadi mirip semboyan negara kita, Bhineka Tunggal Ika, ya?”

Minggu terakhir September 2018, genap sepuluh tulisan di tangan saya dan sudah melewati proses penyuntingan. Rasanya sungguh melegakan. Projek sederhana ini akhirnya tunai juga. Untuk menyingkat proses, saya segera mengirim naskah ini kepada Mail untuk ditindaklanjuti ke tahap pra-cetak. Sepuluh tulisan dan satu pengantar yang sengaja saya panjang-panjangkan saya kira sudah layak untuk disulap menjadi sebuah buku.

Dan, kejutan tiba-tiba terjadi di detik-detik terakhir. Ketika kami sudah memilih Yang Asing di Kampung Sendiri: Kudus dalam Prosa Jurnalisme sebagai judul untuk karya ini, dan Mail sudah menemukan format tata letak dan desain sampul yang kami anggap paling pas, di siang hari yang gerah pada 10 November 2018, bersamaan dengan momentum peringatan Hari Pahlawan, Mala tiba-tiba mengirim sebuah pesan ke WA saya.

“Mas, mohon cek email.”

“Oke,” jawab saya pendek, sependek pesan pembuka yang dia kirim.

Begitu saya membuka email, saya temukan sebuah pesan pengantar yang agak panjang namun jauh dari kesan bertele-tele untuk sebuah tulisan yang dia lampirkan. Saya segera mengunduhnya dan tak lama kemudian membukanya.

Saya terkejut, atau mungkin lebih tepatnya girang, menyambut email itu. Di detik-detik terakhir dari proses yang menguras pikiran dan emosi saya ini, Mala membuat kejutan dengan mengirim sebuah tulisan yang panjangnya lebih dari 5.000 kata atau setara dengan 30.000 karakter lebih. Di bagian paling atas di halaman pertama tulisannya menggantung sebuah kalimat: Nasibnya Tak Seindah Kisah Damar Wulan.

~~

14 NOVEMBER 2018. Tumpukan buku tersungkur di sudut meja yang biasa saya pakai untuk mengetik. Sore itu penampakannya lusuh dan mulai berdebu. Saya membatin, mengapa buku ini cepat sekali berdebu, padahal hujan sudah mulai turun sejak sebulan terakhir di kampung saya. Rupanya, saya sendiri yang menyebabkan buku-buku ini lebih disukai debu: saya tidak menyentuh mereka selama hampir dua minggu.

Saya ambil dan bersihkan satu per satu buku-buku itu. Pelan-pelan debu yang mengotori mereka saya singkirkan. Saya merasa berasalah telah mengabaikan mereka, rasanya sama persis dengan ketika saya sudah membuat kecewa orang-orang yang saya sayangi. Mestinya saya bersama mereka sejak minggu pertama sampai menjelang minggu keempat November 2018 ini. Saya membutuhkan mereka untuk membekali saya sesuatu yang akan saya bawa pada sebuah acara di akhir bulan ini.

Saat saya selesai meletakkan buku-buku yang sudah saya bersihkan itu di bagian yang lebih dekat dengan posisi laptop saya, pikiran saya mendadak tertuju kepada mereka yang lain—siapa lagi kalau bukan teman-teman muda saya yang tulisan-tulisan mereka sebelumnya saya cabik-cabik itu. Mungkin, ini karena untuk beberapa pekan ke depan saya harus meninggalkan mereka, sementara dalam dua pekan terakhir saya hampir menghabiskan setiap malam dengan sebagian dari mereka.

Saya sedih dan kecewa dengan diri saya sendiri setiap kali mengingat hari-hari panjang itu, ketika hampir setiap saat saya menyumpahi dan memaki-maki tulisan-tulisan mereka. Memangnya, apa yang sudah saya lakukan buat mereka sehingga saya seolah-olah memiliki hak untuk memperlakukan mereka sesuka hati saya?

Kebingungan dan kecemasan benar-benar saya rasakan sore itu ketika saya teringat dengan percakapan terakhir kami dua malam sebelumnya ketika kami menyinggung perihal makna “masa depan” dan “keberhasilan” bagi orang-orang yang memilih menggeluti dunia literasi seperti mereka. Bisa-bisanya saya malam itu menertawakan pertanyaan-pertanyaan mereka, dan bahkan ketika keesokan harinya saya mengingatnya lagi, saya masih menganggapnya sebagai lelucon yang pantas untuk diolok-olok. Lagi, memang apa yang sudah saya lakukan untuk membuat hidup mereka menjadi lebih ringan dan mudah?

Tatapan mata saya kembali tertuju pada tumpukan buku di depan saya, namun pikiran saya sore itu sebenarnya sedang tertambat pada sepotong percakapan dengan Islakh di malam jahanam itu.

“Sebenarnya apa toh yang sedang kita cari, mas?”

“Apa benar, buku bisa menyelamatkan hidup orang-orang sepertiku di sebuah kota yang masyarakatnya nyaris tidak pernah menganggap buku sebagai benda berharga?”

“Aku sih sebenarnya bisa cuek, tapi bagaimana aku harus bersikap jika pertanyaan itu muncul dari mulut orangtuaku?”

Kapan kowe berhasil, le?”

Adakah sikap abai yang lebih vulgar dibanding sinisme yang berkedok keutamaan berpikir rasional di hadapan berondongan pertanyaan-pertanyaan eksistensial dari jenisnya yang paling transparan dari seorang anak muda yang sedang gundah dan begitu serius mendefinisikan diri dan masa depannya?

Jika pertanyaan-pertanyaan tersebut kembali diajukan kepada saya sekarang, malam ini, ketika saya kembali berurusan dengan tumpukan buku-buku lusuh itu, jujur saya akan menjawabnya:

“Tidak tahu.”

“Tidak tahu.”

“Dan, tidak tahu.”

 

Kudus, 15 November 2018 

**


[Tulisan ini juga dimuat di portal Kongkow: Basabasi.co; per tanggal 19 November 2018 pada kolom Celoteh, dan dipersembahkan kepada rekan-rekan penulis buku “Yang Asing di Kampung Sendiri” yaitu: Diyah Ayu Fitriyani, Imam Khanafi, Islakhul Mutaqin, Ismah Nurani, Muhammad Farid, Muhammad Nur Salim, Noor Syafaatul Udhama, Yaumis Salam, dan Zakki Amali.]

Tulisan Marcel Bonneff ini versi aslinya berbahasa Prancis: “Ki Ageng Suryomentaram, Prince et Philosophe Javanais,” dimuat pertama kali di Archipel 16 (1978), hal. 175–203. Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Susan Crossley, “Ki Ageng Suryomentaraman, Javanese Prince and Philoshoper,” dimuat di Indonesia 57 (April 1994).

Afthonul Afif, Peneliti <a href=

Kawruh Jiwa" width="150" height="150" /> Afthonul Afif, Peneliti Kawruh Jiwa

Versi bahasa Indonesia tulisan ini diterjemahkan oleh Afthonul Afif dari versi Inggrisnya atas izin Marcel Bonneff. Tulisan ini juga menjadi apendiks dalam buku Matahari dari Mataram, karya Afthonul Afif dan kawan-kawan. Afthonul Afif adalah seorang peneliti Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram. Dua bukunya tentang Ki Ageng Suryomentaram yaitu: Matahari dari Mataram; Menyelami Spiritualitas Jawa Rasional Ki Ageng Suryomentaram (2012) dan Ilmu Bahagia menurut Ki Ageng Suryomentaram (2012). Ia juga aktif menulis tema psikologi kebahagiaan di berbagai media massa.


“Sang Pemimpin” dan Para Pengikutnya

idorong oleh perhatian yang nyata terhadap “pengajaran”, KAS merefleksikan secara panjang lebar perihal pendekatan yang perlu dipakai oleh seseorang yang mempelajari “Ilmu Jiwa”.[1] Yang pertama, dia harus menyadari bahwa ilmu ini sangat sederhana dalam ajaran-ajarannya, namun (sekaligus) sangat sulit ketika akan dipraktikkan.

Sederhana dalam hal cara dia menggambarkan pikirannya. Hal tersebut diujarkan dalam perumpamaan, di mana setiap gagasan ditampilkan melalui peristiwa sehari-hari, meski sering kali mengandung risiko, karena hal itu di hadapan kita nampak sebagai sesuatu yang remeh-temeh. “Hal pertama kali yang mesti seseorang lakukan untuk memastikan keberlanjutan keturunannya adalah memiliki mertua, istri, lalu anak, kondisi yang tidak berlaku bagi sapi-sapi, misalnya, karena mereka tak perlu memiliki mertua dan istri.”[2] Menciptakan secara konstan perumpamaan-perumpamaan seperti itu sesuai dengan gagasan bahwa pengalaman seseorang merupakan sumber utama bagi kebangkitan kesadarannya.

Elemen-elemen dari setiap pernyataan yang berbeda secara hati-hati didefinisikan dan dianalisis satu per satu. Alasan-alasan disampaikan melalui serangkaian antitesis, dirancang secara dialektis, untuk menggugah para pendengar dan pembacanya tentang citra harmoni dalam setiap argumen yang dia sampaikan.

Sangat sedikit kata-kata dalam bahasa asing, bahkan Indonesia sendiri, yang bisa ditemukan. Meski KAS menemukan sendiri istilah-istilah yang digunakannya (kramadangsa, ukuran kaping sakawan, raos sewenang-wenang, dan lain-lain), namun secara umum dia sebenarnya menggunakan kosa-kata yang sederhana untuk menghindari perangkat-perangkat literer yang baku. Jika kalimat yang dia gunakan kemudian tidak selamanya baku, hal ini tidak bisa dilepaskan dari fakta bahwa versi asli ceramah-ceramahnya bersumber dari bahasa lisan, sama halnya dengan kegemarannya menggunakan ungkapan-ungkapan yang paradoks.

Adalah sebuah kesalahan ketika ajaran Kawruh Jiwa dianggap sebagai pendekatan yang bersifat doktriner atau sebuah “Mantra Suci”. Yang lebih penting di sini adalah ketulusan maksud dari para pembelajar, begitu juga bagi pengajarnya. KAS tidak ingin ajarannya mengebiri semangat atau menimbulkan fanatisme pada para pengikutnya; dia ingin nasihat-nasihatnya tersebut dapat disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan dan kemampuan mental mereka. Sementara pengetahuan tentang sistem filosofi atau keyakinan dalam ajaran kebatinan justru menghambatnya.

Pendek kata, teknik-teknik gaya bahasanya menarik perhatian penulis. Hal itu merefleksikan bagaimana sikap pengajarannya yang menunjukkan sebuah penekanan untuk merasionalkan hal-hal, sesuatu yang sangat berbeda dengan “bualan” yang dapat ditemukan di berbagai ajaran kebatinan; hal itu juga menegaskan rasa hormat Ki Ageng terhadap para pengikutnya. Hal-hal tersebut Ki Ageng sampaikan dalam bahasa krama, sambil tetap berhati-hati untuk menghindari penggunaan istilah-istilah yang berlebihan (krama inggil) yang berkonotasi feodalistik. Sebaliknya, dia menggunakan bahasa ngoko (bahasa Jawa yang dipakai sehari-hari oleh orang biasa) untuk percakapan-percakapan pendek atau komentar-komentar mendadak dalam ceramah-ceramahnya semata-mata sebagai tanda dari sebuah keakraban, sehingga menciptakan suasana santai ketika dia sedang berbicara dalam pertemuan-pertemuan tersebut.

Bagi orang Jawa, nada bicara (dalam percakapan) dan kata-kata yang digunakan sangat penting maknanya, karena hal itu berdampak secara emosional. Dalam kata pengantar edisi bahasa Indonesia, Ki Oto Suastika memberikan sejumlah peringatan: “Kesulitan-kesulitan yang dijumpai dalam penerjemahan karya ini bersumber dari banyaknya istilah-istilah pengungkapan dan bentuk-bentuk ujaran dalam bahasa Jawa yang menggunakan konsep rasa.”[3] Begitu juga dengan Ki Sangoebrangta (Ki Pronowidigdo), salah seorang yang pertama kali menyebarkan ajaran-ajaran Ki Ageng (atau nasihat-nasihatnya, yaitu wejangan), menyebutkan dalam sebuah pengantar untuk pembaca di majalah Poesara, bahwa dia tetap mempertahankan penggunaan bahasa Jawa supaya tidak terjadi kesalahpahaman terhadap wejangan-wejangan KAS “seperti yang berhubungan dengan pemahaman tentang konsep kepekaan (rasa) dan perangai”, meski dia akhirnya juga memberikan pemakluman terhadap penggunaan huruf latin ketimbang huruf Jawa.[4]

Memahami Ajaran KAS

Bagi para pengikut Kawruh Jiwa (pelajar), ajaran-ajaran KAS, baik yang terucap maupun tertulis, baru merupakan langkah pertama. Memahami ajaran-ajaran tersebut dalam kaitannya dengan situasi kehidupan nyata (setelah mampu menguasai prinsip-prinsip umumnya dan memiliki pemahaman yang mencukupi untuk mempraktikkannya selama proses belajar) itu lebih penting. Seorang pelajar harus mampu “memahami caranya memahami” (ngertos carane ngertos) agar mendapatkan inti pemahaman tentang hal-hal (nandhes), yaitu mencapai pemahaman yang kokoh (kekah pangertosanipun). Mungkin agak bermasalah jika anjuran tersebut dibakukan dalam sistem pengajaran, sebab anjuran-anjuran tersebut lebih sebagai asupan bagi pikiran. Apa yang kemudian penting bagi para pengikut Kawruh Jiwa adalah mereka perlu memperdebatkan gagasan-gagasan yang terkandung dalam ajaran-ajaran tersebut. Pelajar yang lebih berpengalaman akan membimbing para pelajar baru dalam sebuah “pertemuan” (bahkan meski hanya dilakukan oleh dua orang) yang dikenal dengan Junggring Salaka.[5] Pada hakikatnya periode pembelajaran tersebut bersifat seumur hidup; setiap kali menjumpai ketidakberuntungan (raos cilaka), kondisi ini perlu dilihat melalui sudut pandang ajaran, yang kemudian akan memungkinkan perasaan seseorang tentang dirinya menjadi lebih jernih. Namun demikian, adalah sebuah kesalahan ketika ajaran Kawruh Jiwa dianggap sebagai pendekatan yang bersifat doktriner atau sebuah “Mantra Suci”. Yang lebih penting di sini adalah ketulusan maksud dari para pembelajar, begitu juga bagi pengajarnya. KAS tidak ingin ajarannya mengebiri semangat atau menimbulkan fanatisme pada para pengikutnya; dia ingin nasihat-nasihatnya tersebut dapat disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan dan kemampuan mental mereka. Sementara pengetahuan tentang sistem filosofi atau keyakinan dalam ajaran kebatinan justru menghambatnya.

Ada dua jenis pertemuan di antara para pelajar: pasinaon dan jawah kawruh. Yang pertama adalah kesanggupan untuk belajar (sinau) dan mengembangkan teknik-teknik analisis diri. Ketika mereka telah sampai pada tahap menguasai prinsip-prinsip dan istilah-istilah dalam ajaran, para pelajar kemudian dapat melanjutkan pada jenis pertemuan yang kedua, yaitu “kehujanan ilmu” (papanggihan jawah kawruh). Tahapan ini berupa upaya-upaya memberikan bantuan kepada mereka yang menderita akibat gangguan psikologis tertentu dengan secara teliti menganalisis penyebab-penyebab masalah mereka itu (ngudari reribed). Untuk jenis psikoterapi ini (mungkin bisa diistilahkan demikian), sangat penting untuk menguasai dimensi keempat (ukuran kaping sekawan), yaitu kemampuan “merasakan apa yang orang lain rasakan” (feel what others are feeling).

Ki Ageng menciptakan sendiri sejumlah tembang (uran-uran) dalam bentuk macapat dan beberapa panembrama (tembang-tembang sambutan) yang dirancang untuk membantu para pelajar mengingat bagian-bagian terpenting dari nasihat-nasihatnya.

Secara umum, terlepas dari pertemuan-pertemuan yang memiliki konsekuensi-konsekuensi praktis dan langsung tersebut, seorang pelajar harus mampu, melalui contoh yang dia tentukan sendiri dan dengan kemampuan yang dia miliki sendiri, memberikan pengaruh yang bermanfaat bagi lingkungan sosialnya.

Akhirnya, untuk melihat peran dari ajaran-ajaran Kawruh Jiwa, perlu juga dilihat suplemen-suplemen yang terkandung di dalamnya, yaitu syair dan drama. Ki Ageng menciptakan sendiri sejumlah tembang (uran-uran) dalam bentuk macapat dan beberapa panembrama (tembang-tembang sambutan) yang dirancang untuk membantu para pelajar mengingat bagian-bagian terpenting dari nasihat-nasihatnya.[6] Tembang-tembang itu dibaca dan disenandungkan secara bersama-sama dalam pertemuan. Sementara untuk drama, dalam sebuah pentas alegoris—Raos Mlenet  (perasaan tertekan)—KAS mengulang kembali gagasan terpentingnya tentang pernikahan: bahwa seseorang harus bebas memilih siapa yang bakal dia nikahi. Diceritakan dalam sebuah keluarga terdapat tiga tokoh protagonis: ayah, ibu, dan anak perempuan, di mana masing-masing pihak telah memiliki pilihan perihal calon suami untuk si anak perempuan. Hal itu kemudian melahirkan konflik di antara mereka. Si anak mengancam akan bunuh diri jika orang tuanya tetap memaksakan pilihan mereka (perlu dicatat bahwa dorongan untuk bunuh diri adalah sebuah gangguan psikologis, seperti yang disebutkan dalam karya-karya KAS). Konflik tersebut akhirnya bisa terselesaikan berkat bantuan salah seorang Pelajar Kawruh Jiwa yang membimbing mereka untuk memahami bahwa konflik tersebut terjadi semata-mata karena masing-masing pihak kurang memiliki pemahaman terhadap motivasi mereka dan memiliki egoisme di antara mereka.

Telah disebutkan sebelumnya bahwa KAS menemukan sosok pendukung setia bagi gagasan-gagasannya pada diri Prawirowiworo. Ki Prono, mantan anggota Perkumpulan Selasa Kliwon, juga bisa disebut sebagai salah seorang yang pertama-tama memberikan dukungannya. Bagi Ki Haditomo, salah seorang pengikut KAS, dua orang itu bersama dengan Ki Ageng, merupakan semacam tritunggal, di mana Ki Prono mewakili pikiran (cipta), Ki Prawiro mewakili hati (manah), dan Ki Ageng adalah tubuhnya (raga).[7]

Warisan KAS Untuk Bangsa

Salah satu ceramah publik pertama KAS diterbitkan dan diberi komentar oleh M. Soedi,[8] kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh R. Imam Moehni dengan judul Inwijding tot het eeuwigdurende geluk van B.R.M. Soerjomentaram (Pengantar untuk Kebahagiaan Abadi, terbit 9 Maret, 1930).[9] Penerjemah memberikan sebuah penjelasan tentang istilah-istilah Jawa yang digunakan KAS dalam sebuah pengantar panjang, serta memberikan komentar-komentar atas pernyataan-pernyataan KAS, yang waktu itu masih menyandang sebutan “Pangeran.” Dengan cara yang sama, di Surakarta pada 1931, dasar-dasar ajaran KAS juga diterbitkan namun dalam bentuk yang lebih lengkap.[10] Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa sejak saat itu KAS telah memiliki sejumlah pengikut yang menyebarkan gagasan-gagasannya.

Pada 1932 dilanjutkan dengan pertemuan yang bertajuk Junggring Salaka Agung—sebuah pertemuan tahunan untuk mempertemukan perwakilan-perwakilan dari perkumpulan pelajar di berbagai daerah.[11] Namun, KAS dan para pengikutnya menolak untuk membuat sebuah perkumpulan yang terstruktur: perkumpulan-perkumpulan tersebut tidak terbentuk secara formal, para pengikutnya tidak diwajibkan membayar iuran masuk dan dapat keluar dari perkumpulan sewaktu-waktu ketika mereka menghendakinya—perlu disebutkan bahwa kelompok belajar itu dapat diselenggarakan hanya oleh dua orang, bersifat luwes (non-directive), dan tak seorang pun diperkenankan mengklaim dirinya sebagai guru, bahkan Suryomentaram sendiri, yang oleh para pengikutnya hanya disebut sebagai “bangkokan”.[12] Meski begitu, sejenis panitia lokal tetap dibutuhkan untuk bekerja sama dan menjalin koordinasi dengan panitia umum (Panitya Umum) yang berkedudukan di Surakarta.

KAS juga menyampaikan ceramah yang beraroma nasionalistik (Raos Pantja Sila merupakan ceramah yang disampaikan pada 1955).

Hanya sedikit organisasi atau bahkan nyaris tidak ada yang bisa dianggap sebagai wadah bagi penyebaran pemikiran-pemikiran KAS. Yang muncul di tahun 1930-an hanyalah sejenis gerakan, seperti sebuah pertemuan yang diikuti dengan pertemuan lainnya (meskipun demikian, hal ini tetap penting untuk dilihat sebagai penanda bagi perluasan gagasan-gagasan KAS waktu itu—penerj.). Pertemuan-pertemuan awal tersebut mengundang sejumlah opini bernada mengejek, meski kemudian segera lenyap. Bagaimanapun juga, setelah Junggring Salaka Agung menyelenggarakan sejumlah diskusi dan publikasi, ajaran-ajaran KAS kemudian menjadi lebih mapan. Pertemuan di Yogyakarta pada 1937 merupakan yang terakhir diselenggarakan sebelum perang. Apakah kemudian gerakan tersebut kehilangan momentum? Selama pendudukan Jepang, memang benar bahwa situasi negeri ini tidak memungkinkan bagi tumbuhnya diskusi-diskusi filosofis tentang kebahagiaan personal sebagaimana yang dilahirkan KAS. Seperti yang sudah diungkapkan, KAS yang disibukkan oleh perlawanan terhadap kekuasaan penjajah ikut terlibat dalam arena politik dan mendukung semangat perlawanan yang bisa dilihat dari keikutsertaannya dalam perlawanan terhadap kembalinya Belanda. Namun Ki Ageng tidak kekurangan pengikut. Pada 1948, setelah terjadi Peristiwa Madiun, dia menyampaikan sebuah seruan untuk persatuan kepada para pengikutnya melalui Djawah Kawruh, terbitan berkala yang dia dirikan namun hanya mampu terbit selama dua bulan. Sejak awal 1950-an, ketika suasana damai mulai terwujud, dia mulai sering berkunjung ke daerah-daerah untuk menghidupkan kembali perkumpulan-perkumpulan di daerah. Dia memberikan sejumlah kuliah di Jawa Barat (Jakarta, Bogor, Cianjur, Bandung) untuk mengenalkan gerakannya.[13]

Pada penyelenggaraan Junggring Salaka Agung di Megelang tahun 1953, dia menjelaskan dasar-dasar tentang dimensi keempat (ukuran kaping sekawan), sebuah gagasan yang disebarkan dalam majalah Dudu Kowe, publikasi lainnya yang juga berumur pendek.[14] Pada 1953 juga berdiri yayasan penerbitan Windu Kentjana di Surakarta, yang menerbitkan atau menerbitkan ulang ceramah-ceramah KAS. Bersamaan dengan itu, di Magelang Ki Djasoewadi juga mendirikan perusahaan dengan nama CV Harapan yang menerbitkan karya-karya KAS. Sejak saat itu, penyebarluasan gagasan-gagasan filosofis KAS semakin berkembang dan telah memberikan pemasukan rutin bagi perkumpulan. KAS sendiri kemudian berterima kasih atas penerbitan itu karena sedikit banyak dia juga menerima pemasukan darinya.[15]

Meski Ki Ageng sering kali membuat (pernyataan) serangan-serangan terhadap irasionalitas yang diajarkan dalam kebatinan, dan secara terang-terangan memisahkan dirinya dari kecenderungan tersebut, namun dia (ternyata) tidak bisa sepenuhnya menghindari penilaian yang menganggap bahwa gerakan Kawruh Jiwa juga sebuah aliran di mana dia sendiri bertindak sebagai seorang guru.

Dapatkah gerakan ini dikatakan sepenuhnya memisahkan diri dari kehidupan politik, sebagaimana dikehendaki oleh para pemimpinnya? Untuk menilai hal ini, kita bisa melihat misalnya melalui selebaran yang dibuat oleh Panitya Kawruh Jiwa Klaten di tahun-tahun menjelang pemilu 1955. Ternyata perkumpulan ini tidak sepenuhnya steril dari politik, karena dalam selebaran tersebut terdapat sebuah syair yang disenandungkan dengan diiringi gamelan (sendhoman) yang menyerukan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilu. Keterlibatan tersebut merupakan wujud sumbangsih bagi perkembangan negeri, serta sarana untuk menyampaikan tuntutan-tuntutan rakyat (wong cilik).[16] Seperti yang bisa dilihat, pada tahun-tahun itu KAS sendiri juga menyampaikan ceramah yang agak berbeda, yaitu ceramah yang beraroma nasionalistik (Raos Pantja Sila merupakan ceramah yang disampaikan pada 1955).

Selama masa kolonial dan pendudukan Jepang, beberapa kali gerakan Kawruh Jiwa menjadi sasaran kecurigaan. Ketika kemerdekaan telah diraih, pelajar disarankan untuk menunjukkan rasa hormat dan kepedulian kepada mereka yang ingin mengenal gerakan ini: semua buku yang dipelajari, di mana KAS sendiri yang sepenuhnya bertanggung jawab, harus ditunjukkan secara jujur kepada mereka yang kemungkinan akan atau ingin meneliti.[17]

Meski Ki Ageng sering kali membuat (pernyataan) serangan-serangan terhadap irasionalitas yang diajarkan dalam kebatinan, dan secara terang-terangan memisahkan dirinya dari kecenderungan tersebut, namun dia (ternyata) tidak bisa sepenuhnya menghindari penilaian yang menganggap bahwa gerakan Kawruh Jiwa juga sebuah aliran di mana dia sendiri bertindak sebagai seorang guru. Apakah hanya kesalahan penilaian yang dibuat oleh para pengamat, atau semata penilaian berdasar fakta yang nampak dari luar dan dari perilaku-perilaku tertentu yang ditunjukkan oleh para pelajar, gerakan ini bisa dibilang menunjukkan semua ciri dari sebuah “aliran kebatinan”. Dalam sebuah kesempatan, Clifford Geertz memasukkan gerakan Kawruh Jiwa ke dalam aliran kebatinan, berdasarkan pada pengamatannya dan komentar-komentar yang disampaikan oleh seorang guru Kawruh Jiwa dari Pare (sebuah kota kecamatan di Kabupaten Kediri, Jawa Timur). Namun demikian, bagi Geertz sendiri gerakan ini lebih memilih menggunakan “analisis fenomenologis” (untuk menemukan/mencapai kebenaran—penerj.) ketimbang meditasi/semedhi, sebuah teknik yang merupakan bagian terpenting dari ajaran-ajaran kebatinan.[18] Ketika Ki Ageng meninggal, sebuah tulisan yang dimuat di terbitan berkala Varia menyebutkan bahwa dia merupakan “tokoh di dalam dunia kebatinan”.[19] Dalam sebuah entri “Surya Mataram, Ki Ageng” yang tercantum dalam Ensiklopedi Umum (hal. 1270–71), disebutkan informasi: ‘Pangeran Surya Mataram yang kemudian menggunakan nama Ki Ageng adalah guru dari aliran kebatinan yang dikenal sebagai Ilmu Begdja. Pengikutnya tersebar luas dan berasal dari berbagai daerah, meski kurang ada informasi dan organisasi yang bisa menjelaskan gerakan ini. Ajarannya disampaikan melalui ceramah-ceramah di hadapan para peserta yang duduk “lesehan” (Jawa: duduk di atas lantai/tanah)….’ Namun pada 1953 gerakan Kawruh Jiwa tidak dimasukkan sebagai aliran kebatinan di Daerah Istimewa Yogyakarta.[20]

Pada pertemuan Junggring Salaka yang terakhir, digelar di Purwokerto[21] tahun 1959, dibagikan buku kecil kepada para peserta yang di dalamnya terdapat fakta-fakta menarik seputar pertemuan dan informasi berharga tentang latar belakang sosial serta asal-usul para anggota.

Pertemuan tersebut diselenggarakan oleh panitia lokal yang diketuai Ki Notoamidjojo. Setelah upacara pembukaan dan semua tamu telah menempati tempatnya, KAS memberikan sebuah ceramah. Selain itu, sebuah sandiwara dengan judul Tjipta Djiwa juga dimainkan selama dua hari saat pertemuan berlangsung. KAS memimpin debat dan memberikan tanggapan terhadap pertanyaan dan komentar yang disampaikan oleh pelajar kepada sejumlah pembicara (KAS sendiri, Ki Kartosumanto, dan Ki Prono). Para peserta kemudian diminta untuk menyampaikan kesulitan-kesulitan serta perkembangan yang telah mereka capai dalam mempelajari “Ilmu Jiwa” di perkumpulan mereka masing-masing.

Nama para pelajar biasanya didahului oleh partikel ki untuk laki-laki dan nyi untuk perempuan (sebagaimana juga berlaku dalam gerakan Taman Siswa).

Dalam publikasi tercatat 257 nama dan alamat anggota panitia lokal yang berasal dari lima puluh kota di Jawa, baik kota besar maupun menengah. Terdapat sejumlah kota besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang bertanggung jawab menyebarluaskan informasi tentang pertumbuhan gerakan ke berbagai daerah. Di Temanggung, Magelang, juga Jember, terdapat lebih banyak panitia lokal daripada di kota-kota lainnya. Kota-kota dari bagian barat Pulau Jawa juga memiliki panitia, seperti Jakarta, Bogor, dan Bandung. Dalam dokumen tersebut juga tercatat perwakilan dari Madura dan Lampung.

Kecuali untuk Suryomentaram (Ki Ageng) dan Pronowiworo (Kyahi), nama para pelajar biasanya didahului oleh partikel ki untuk laki-laki dan nyi untuk perempuan (sebagaimana juga berlaku dalam gerakan Taman Siswa); jumlah peserta perempuan jauh lebih sedikit dibanding peserta laki-laki. Disebutkan juga perihal latar belakang profesi para peserta: pegawai, guru sekolah rakyat, kepala desa, mantri pengairan, dan bahkan dalang. Meski sejumlah pegawai tinggal di kauman, sangat sedikit yang menggunakan nama-nama bernuansa Islam. Nama-nama Cina juga jarang; namun kontribusi keuangan mereka, yang bisa dilihat dari iklan-iklan yang tercantum dalam selebaran publikasi tentang sejumlah usaha yang mereka kelola (batik, percetakan, otobus, dan pusat-pusat perbelanjaan), tetap penting. Perlu juga disebut bahwa tidak ada nama yang berakhiran ningrat (sebuah indikasi kehormatan), dan berdasarkan nama serta profesi yang telah tercatat, mereka umumnya berasal dari golongan priyayi kelas menengah atau rendah.

Setelah penyelenggaraan kongres yang terakhir ini, KAS hanya menyisakan tiga tahun waktu hidupnya, dan dalam beberapa bulan dia dalam keadaan sakit. Setelah kematiannya, para pengikutnya di Yogyakarta kemudian mengumpulkan karya-karya KAS dan menerbitkannya dengan Ki Atmosutidjo sebagai pemimpin dan pemberi dukungan moral. Beberapa publikasi selanjutnya diedarkan.[22]

Hari ini (merujuk tahun ’60-an, setelah kematian Ki Ageng—penerj.), di kota tempat pemerintahan Kesultanan Yogyakarta pada zaman dulu, perkumpulan Kawruh Jiwa yang dipimpin oleh Ki Haditomo, selalu menyelenggarakan pertemuan setiap 35 hari, yaitu setiap Minggu Pon, hari di mana sang Filsuf wafat. Terlihat juga Nyi Suryomentaram, janda KAS, berperan dalam menyebarluaskan ajaran-ajaran suaminya. Sementara Grangsang (putra dari pernikahan pertama KAS) dianggap sebagai pewaris ajaran spiritual sang ayah dan sosok yang akan melanjutkan gerakan tersebut. Meski tanggung jawab profesionalnya (Grangsang adalah dokter di kesatuan Angkatan Laut berpangkat letnan kolonel) sering kali membuatnya harus meninggalkan tugas memimpin perkumpulan, namun dia tetap berusaha menghidupkan gagasan-gagasan ayahnya dengan dibantu oleh Ki Oto Suastika dan Yayasan Idayu; dia juga berkomitmen untuk membangun/mengembangkan gerakan yang telah ayahnya rintis.

Bersambung…

Baca juga:

Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892–1962) Bagian IV – Habis

Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892-1962) Bagian I

Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892–1962) Bagian II


Catatan Kaki:

[1.] Bagian yang paling menjelaskan prosedur ini terdapat dalam Tandesan.

[2.] Raos Pantja Sila, hal. 5.

[3.] Cf. Filsafat Rasa Hidup, hal. 7.

[4.] Ki Sangoebrangta, “Pendidikan oentoek ketentraman doenia, wedjangan Toeankoe Pangeran Soerjamataram (Kiai Ageng Beringin),” dalam Poesara 1: 10 (Januari 1932).

[5.] Dalam wayang, Junggring Salaka dijelaskan sebagai rumah para dewa dan tempat mereka menyelenggarakan pertemuan.

[6.] Dalam bagian Uran-uran Bedja.

[7.] Dari sebuah wawancara dengan Ki Haditomo (Mei 1975).

[8.] M. Soedi, Ngelmi–Kawruh–Pitedah. Edisi keenam karya ini menyertakan sebuah pengantar tertanggal 15 April 1929. Sulit untuk menyusun kronologi terhadap publikasi-publikasi yang paling awal; seperti Uran-uran Bedja dan Pangawikan pribadi (kemungkinan ditulis oleh Prawirowiworo), kemungkinan terbit tahun-tahun itu juga.

[9.] Penulis berterima kasih kepada Mr. Tsuchiya yang telah menyediakan tulisan ini.

[10.] Wedjangan.

[11.] Junggring Salaka yang pertama diselenggarakan di Salatiga; pada 1933 diselenggarakan di Surakarta, 1934 di Kudus, 1935 di Madiun, 1936 di Wonosobo, dan 1937 di Yogyakarta. Setelah jeda selama tiga belas tahun, Junggring Salaka yang ketujuh diselenggarakan di Magelang pada 1953, kemudian di Surabaya pada 1954, di Semarang pada 1956, di Tulungagung pada 1957, dan yang terakhir di Purwokerto pada 1959. Dalam buku peringatan untuk pertemuan yang terakhir ini (21, 22, 23 Maret), sebuah tulisan Kjai Pronowidigdo menjelaskan tentang sejarah gerakan Kawruh Jiwa (“Riwajatipun Kawruh Djiwa”).

[12.] Istilah ini digunakan untuk merujuk binatang tertentu yang karena kekuatan dan usianya kemudian dianggap lebih mampu untuk memimpin kelompoknya. Istilah tersebut dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai “patriarch”.

[13.] Pada 1952 di Jakarta dia berbicara kepada Panitya Filsafat dan Kebatinan (Philosophical and Kebatinan Commitee), kepada Yayasan Hidup Bahagia (Happy Life Foundation) yang diketuai oleh Mr. Wongsonegoro, dan kepada perkumpulan masyarakat Cina, yakni Sam Kauw Hwee dan Khong Kauw Hwee.

[14.] Peristiwa tersebut juga dimuat dalam terbitan berkala Siaran.

[15.] Dari wawancara dengan Ki Haditomo.

[16.] Sendona bab Pemilihan Umum.

[17.]Manawi Junggring Salaka kedhatengan wakiling Pamarintah ingkang gadhah tugas naliti pakempalan-pakempalan dan grombolan-grombolan kanca-kanca cekap namung nyaturaken buku-buku Kawruh Jiwa wau….” (Buku Peringatan).

[18.] Clifford Geertz, The Religion of Java, 2nd ed. (Chicago dan London: University of Chicago Press, 1976), hal. 344–345.

[19.] Varia 5: 206 (28 Maret 1962). Tulisan tersebut ditulis oleh Siauw Tik Kwie, seorang Pelajar Kawruh Jiwa yang kemudian menjadi penerjemah karya-karya KAS yang diterbitkan oleh Yayasan Idayu dengan nama Ki Oto Suastika.

[20.] Republik Indonesia: Daerah Istimewa Jogjakarta (Jakarta: Kementrian Penerangan, 1953); cf. hal. 675–82.

[21.] Lihat catatan 54.

[22.] Ki Atmosutidjo, Gandulan… ; Ki Djojodinomo, Ular-ular… ; Ki Suwardi Partosardjono, Sadjimpit Hatsil… (diterbitkan oleh Panitya Kawruh Jiwa di Magelang yang tetap aktif pada 1970).