Menu

Bandung Mawardi

Pada 15 Juli 2019, bocah-bocah sudah berusia 7 tahun masuk Sekolah dengan seragam baru: merah dan putih. Mereka resmi menjadi murid di Sekolah Dasar (SD). Konon, SD adalah jenjang penting dalam pembentukan manusia berilmu dan berkarakter. Koran-koran terbit pada 16 Juli 2019 memberitakan murid-murid SD memulai “hari baru”. Foto-foto mereka sedang berada di kelas atau mengikuti upacara bendera menandai ada kemauan menapaki hari-hari untuk belajar. Berita dan foto itu mengingatkan YB Mangunwijaya (Romo Mangun): arsitek dan sastrawan tapi serius memikirkan Pendidikan dasar. Serius itu terbukti dengan pembentukan Dinamika Edukasi Dasar di Jogjakarta.

Romo Mangun menginginkan pemajuan Indonesia bermula dari pemenuhan hak-hak bocah untuk beradab, cerdas, berkarakter, berestetika, berbahasa, dan berlogika selama menempuhi pendidikan di sekolah dasar (SD). Keinginan itu sering terabaikan dalam kebijakan-kebijakan pemerintah pada masa Orde Baru.

Kita sejenak mengingat ke biografi dan renungan Romo Mangun. Puluhan artikel pendidikan ditulis untuk mengingatkan dan “menjewer” pemerintah dan pelbagai pihak selama Orde Baru. Romo Mangun menginginkan ada perhatian serius untuk SD sebagai patokan mutu pendidikan-pengajaran di Indonesia.

Romo Mangun (1984) mengenang situasi batin dan pembelajaran saat pendudukan Jepang: “Saya menderita batin di zaman Jepang itu karena kehilangan kontinuitas suasanan pendidikan yang sangat memperhatikan segi-segi penghalusan budi dan pencerdasan akal sehat.” Di Magelang, Romo Mangun hidup dan bersekolah. Situasi fasis dan militer mengakibatkan pendidikan dasar bagi bocah mengalami represi dan perusakan. Memori saat bocah membekali kehendak Romo Mangun mengabdikan diri demi perbaikan pendidikan dasar di Indonesia. ( baca juga : Indonesia Raya dan Ketokohan )

Saya menderita batin di zaman Jepang itu karena kehilangan kontinuitas suasanan pendidikan yang sangat memperhatikan segi-segi penghalusan budi dan pencerdasan akal sehat.

Pendidikan bertujuan agar orang meresapkan dan mengamalkan humanisme dan religiositas tanpa abai penalaran-kecerdasan. Ambisi pendidikan mutakhir tampak berbeda dengan pengharapan Romo Mangun. Bocah-bocah di sekolah dasar sudah dianjurkan  menjadi “manusia pintar” atau “manusia cerdas” ketimbang “manusia berbudi”, “manusia beradab”, dan “manusia berkarakter”. Misi pembangunan karakter memang tercantum dalam kurikulum tapi sulit diwujudkan. Suguhan mata pelajaran dan rumus bersekolah melalui “soalisme-jawabanisme” membuat bocah-bocah tak mendapat hak-hak untuk penghalusan budi dan pencerdasan akal sehat.

Kita bisa mengingat misi pendidikan pada masa kolonialisme. Raden Poera Di Redja dalam buku berjudul ‘Ilmoe Pendidikan (Balai Poestaka, 1921) memberi keterangan bahwa puncak capaian pendidikan bagi bocah adalah kebahagiaan. Misi berbahagia dicapai dengan mengerti kebenaran, kewajiban, kebagusan, kebaikan, dan kemauan. Bersekolah mengajak Anak insaf pelbagai ilmu dan mengamalkan berpedoman nilai-nilai kebahagiaan.

Romo Mangun membahasakan secara berbeda untuk memberi gambaran situasi pendidikan dasar saat masa penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang. Ikhtiar pendidikan berkemanusiaan dan bergelimang nilai-nilai religius mengalami gangguan oleh pemberlakuan pendidikan berwatak fasis dan militer. Masa pendudukan Jepang menjadi trauma. Romo Mangun justru masih menemukan watak fasis dan militer dalam pola pendidikan dan pengajaran di SD masa Orde Baru.

Raden Poera Di Redja dalam buku berjudul ‘Ilmoe Pendidikan (Balai Poestaka, 1921) memberi keterangan bahwa puncak capaian pendidikan bagi bocah adalah kebahagiaan.

Pendidikan mesti seragam, menuruti kemauan penguasa. Kurikulum, mata pelajaran, profesionalitas guru, dan aturan sekolah diadakan dengan kebijakan-kebijakan berkecenderungan fasis dan militer. Pengharapan dan sindiran Romo Mangun pernah disajikan di Kompas, 24 Januari 1975. Romo Mangun sebagai pendidik menulis: “Di SD tunas-tunas hijau yang sudah terlalu pagi mengalami anarki korupsi dan kesewenangan mulai belajar dunia baru, sublimasi seni dan kejujuran serta keperwiraan manusia budayawan. Biji-biji perlawanan dan pengebalan diri terhadap lumpur dunia uang kekuasaan serakah ditandur di SD dalam tanah tumbuh yang masih suka ikhlas dan gembira menerima yang baik dan yang sejati.”

Romo Mangun beranggapan pendidikan SD mesti diperhatikan secara serius ketimbang ambisi penguasa untuk mendapat ribuan orang bergelar sarjana demi pembangunan nasional. Di SD, penguasa membuat kebijakan tak manusiawi dan etis bagi pembentukan kepribadian bocah. Sejak dini, murid-murid tak diperkenalkan dengan humanisme dan religiositas. Mereka justru melihat ketakberesan Indonesia. Pendidikan belum memberi pemenuhan hak-hak mengamalkan nilai-nilai kebenaran, kebaikan, kerukunan, dan keadilan. Romo Mangun pun berpesan bahwa peran guru SD untuk mendidik bocah tak lebih rendah ketimbang tugas profesor di perguruan tinggi. ( Baca juga: Kongres Kebudayaan: Teringat 1918 dan 2018 )

Di SD tunas-tunas hijau yang sudah terlalu pagi mengalami anarki korupsi dan kesewenangan mulai belajar dunia baru, sublimasi seni dan kejujuran serta keperwiraan manusia budayawan.

Sekarang, kita mengenang biografi dan gagasan Romo Mangun mengacu ke situasi pendidikan dasar di Indonesia. Di SD, pemerintah selalu menganjurkan nilai, prestasi, kecerdasan. Misi-misi berbahagia dan pembentukan insan humanis-religius luput dari perhatian. Pemerintah malah sibuk mengimpikan kemunculan ribuan sarjana bergelar master dan doktor. Pemberian beasiswa untuk mahasiswa tampak ambisius, berdalih Indonesia memerlukan ribuan doktor dan sarjana-sarjana tangguh luluhan dari universitas-universitas terkenal di Indonesia.

Dulu, Romo Mangun pernah usul agar pemerintah mengurusi SD ketimbang ambisius mengurusi perguruan tinggi saat situasi pembangunan di Indonesia mulai menguak aib dan kesalahan. Usulan tak digubris. Sejak 1970-an, Indonesia ingin menjadi negara besar ditopang oleh para sarjana agar menjalankan perintah dari penguasa. Kita pun jadi geli saat mengingat sang penguasa tak pernah kuliah dan tak bergelar sarjana tapi sanggup memerintah dan mengendalikan ribuan sarjana.

Romo Mangun (1973) sempat memberi sindiran melalui pembedaan peran antara “sarjana arifin” dan “kuli pintar”. Indonesia memerlukan sarjana arifin berpedoman humanisme dan religiositas ketimbang “kuli pintar” untuk menjalankan agenda-agenda ilusif pembangunan nasional.

Kita mengenang Romo Mangun agar tak selalu khilaf mengurusi SD. Sejak masa kolonialisme sampai abad XXI, SD menjadi perhatian besar dari Romo Mangun. Pilihan untuk mengadakan pembelajaran bagi bocah-bocah membuktikan misi pendidikan berbasis humanisme dan religiositas. Romo Mangun berpihak ke pembenahan pendidikan dan pengajaran di SD. Memori biografis dan situasi Indonesia masih memerlukan keseriusan menjadikan SD sebagai basis pembentukan manusia dengan penghalusan budi dan pencerdasan akal sehat. Begitu.

 

1

Hari-hari menjelang Lebaran, orang-orang diajak mengimajinasikan dan menghitung segala hal dengan kata, angka, dan tanda persen (%). Pusat perbelanjaan dan pertokoan biasa mengumumkan sedang mengadakan program memeriahkan Ramadhan dan Lebaran. Penguasa dan pedagang membuat permainan kata dan tanda agar kita terbujuk. Di spanduk, angka-angka dituliskan agar nafsu belanja meningkat. Pencantuman % semakin membuat konsumen girang tiada tara.

Pada saat menjalankan ibadah puasa, kita dibujuk keranjingan  belanja. Bermula dari kelihaian-muslihat  iklan dan pengumuman, kerumunan orang berada di pusat perbelanjaan dan pertokoan. Mereka sedang “beribadah” dengan uang demi benda-benda.

Imajinasi uang dan benda pernah jadi ajaran lugu dalam buku bacaan bocah berbahasa Jawa berjudul Tataran (1950) karangan R Widnjadisastra. Dua bocah, Koentjoeng dan Bawoek, memutuskan tak menggunakan uang untuk membeli mercon. Keputusan itu membuat ibu “senang.”

Membeli mercon memang dianggap sia-sia. Ibu pun berkata: La jen kowe ora pada toekoe mretjon, taktoekokake sandangan sing apik-apik. Doewit sing kanggo mretjon, diwoewoehi dienggo toekoe katok karo klambi. Pada masa lalu, bocah sering bingung dalam menghadapi Lebaran. Pakaian baru lumrah diharapkan tapi mercon tetap saja jadi godaan.

Penjelasan bijak dari bapak: Wis genah mretjon koewi regane larang. Toer jen ora kebeneran, njilakani awak. Bapak malah sempat bergurau jika uang para bocah sedesa batal digunakan membeli mercon, uang itu sudah bisa dibelikan rumah. Kita ingin belajar pengertian larang atau mahal.

2

Selama Ramadhan dan Lebaran, sekian kebutuhan pokok dan benda-benda mengalami perubahan harga menjadi mahal. Orang harus berpikir serius dalam penggunaan uang dan faedah. Mahal mengesankan pengorbanan besar dan berani menanggung risiko.

Kini, harga mahal tak melulu untuk mercon. Pangan dan sandang mengalami penaikan harga. Orang-orang biasa mengeluh: bulan beribadah malah harga-harga mahal. Pemerintah biasa disalahkan akibat tak sanggup mengendalikan harga. Mereka pun curiga pada pengusaha, tengkulak, dan pedagang.

Anggapan segala hal jadi mahal mulai diubah oleh pusat perbelanjaan dan pertokoan. Baju, sepatu, dan sandal biasa diumumkan berharga murah melalui program diskon. Di pengumuman atau iklan, tercantum pesan berlagak sakral dilengkapi sajian foto-foto komoditas. Sebutan hemat atau murah membenarkan rangsangan publik mau bernafsu belanja.

Penulisan angka dan % menggugah gairah berhitung uang dan kemungkinan mendapat pelbagai komoditas. Imajinasi atau pikiran itu berbarengan dengan isi pengajian di masjid-masjid. Amal kebaikan orang selama Ramadhan bakal dilipatgandakan. Pagi sampai malam, orang gampang terjebak memikirkan diskon belanja dan pahala dari amalan-amalan: murah dan berlipatganda. Belanja dan beramal berbeda misi dan dampak. Mereka pun bingung.

3

Kita sejenak menengok rekaman imajinatif tentang harga menjelang Lebarang. Rekaman terdapat dalam cerpen berjudul “Hudjan Duit” garapan Firman Muntaco, dimuat di buku Gambang Djakarte (1963). Alinea pembuka agak mencengangkan: “Langit membening biru, mentari pukul 10, dan Pasar Baru seperti besi berani terus djuga menarik datang ratusan kendaraan jang mengangkut tiba ribuan orang, rata-rata bawa satu niat: rela kosongkan isi kantong untuk ditukar dengan barang-barang, alat-alat ketjantikan dan lain-lain, sebab disementara mereka membanjanglah detik-detik Lebaran diambang pintu dengan segala kemeriahannja.”

Kesibukan orang menjelang Lebaran adalah belanja. Kita anggap saja itu “ibadah” melenceng dari ajaran-ajaran agama saat disampaikan dalam pengajian di masjid-masjid. Keramaian di pusat perbelanjaan, pertokoan, dan pasar mungkin bersaing dengan keramaian di masjid. Diskon dan pahala berbeda tempat.

Firman Muntaco mencatat kebiasaan jelang Lebaran, para pemilik toko membuat pengumuman sensasional demi laris dan untung: “Obral Besar”, “Anti Mahal”, “Lebaran, Harga Dibanting.” Pola itu berlaku sampai sekarang. Sekian slogan dan bujukan bersebaran di pelbagai tempat. Kita bisa mendapati slogan murah, hemat, obral, diskon, gratis, dan berhadiah demi bisnis-perdagangan selama Ramadhan dan Lebaran.

Simbol-simbol berkaitan agama tak lupa dipamerkan atau dicantumkan agar terkesan “menghormati” bulan ibadah. Kita mungkin ingin menuduh bukan menghormati tapi menodai. Harga pangan naik tapi harga baju, celana, sepatu, sandal, kosmetik, dan jilbab malah murah. Kita diajak “beriman” agar membeli demi keparlentean saat Ramadhan, tak berniat demi ibadah atau berbagi rezeki ke sesama. Ramadhan dan Lebaran melulu berarti harga dan benda-benda. Bisnis untuk pemerolehan uang cenderung seru ketimbang “bisnis” orang mencari pahala paling melimpah.

Kita mungkin sulit beranjak dari nalar Koentjoeng dan Bawoek. Mereka rela tak membeli mercon tapi membeli busana baru. Pada cerita bocah itu belum ada penjelasan bahwa harga busana murah atau mendapat diskon. Mereka hidup di desa, biasa belanja di pasar tradisional atau pedagang keliling. Mereka belum mengenal pusat perbelanjaan dengan sebutan-sebutan aneh berbahasa asing. Kita masih repot belajar kata dan makna. Permainan tanda dalam iklan dan pengumuman lekas saja menjerumuskan kita pada pengertian “mumpung”, bukan kebenaran realitas menjalankan ibadah selama Ramadhan demi iman dan takwa. Berpikir pahala mulai diganggu kata dan tanda mengenai harga. Ramadhan dan Lebaran rawan bermakna harga. Begitu.

Sejarah Indonesia mengandung sejarah getir Buruh. Sejarah mencatat jejak ajaran-ajaran tentang buruh, bermisi pengabdian atas kekuasaan dan hidup. Pengabdian sering ambigu, berpengertian sadar sebagai takdir atau pilihan untuk melakoni hidup dengan afirmasi hierarki sosial, ekonomi, teologi, politik, dan kultural. Buruh menjadi pokok dan tokoh: menjelaskan kisah manusia, dari zaman ke zaman. Buruh adalah manusia dengan derita, tawa, impian, air mata, doa, keluhan, kepasrahan, ketulusan.

Ki Ageng Suryomentaram (1985) menuturkan bahwa Jiwa Buruh adalah realisasi unsur-unsur pendidikan, pengalaman, pergaulan, dan pandangan hidup. Olahan pelbagai unsur membuat jiwa buruh tampil dalam corak-corak berbeda.  Buruh sering identik dengan golongan asor atau rendah. Buruh ada dalam inferiorisasi tapi memiliki akses meraih martabat: konsekuensi dan kompensasi utopis. Kualitas kerja buruh bisa diakumulasi sebagai modal, menaikkan posisi meski realisasi jiwa buruh masih terkekang dan teriikat oleh “pengabdian.” Buruh hidup dengan keterbatasan. Ikhtiar “mengatasi” dilakukan melalui afirmasi terhadap pelbagai nilai-nilai mengacu pada tatanan hidup kalangan elite.

Buruh ada dalam inferiorisasi tapi memiliki akses meraih martabat: konsekuensi dan kompensasi utopis.

Istilah buruh melekat ke pelbagai jenis pekerjaan. Nilai pengabdian buruh dalam anutan kultural Jawa dilegitimasi oleh penguasa sebagai kebajikan tertinggi dan terhormat. Pengabdian hampir seperti takdir, bersesuaian dengan referensi feodalistik. Pengajaran “jiwa buruh”  dan pengabdian memang halus, memakai medium sastra dan seni sebagai suguhan hiburan, edukasi, dan indoktrinasi. Buruh pun terjinakkan saat posisi mengawang untuk menggapai nilai-nilai formalistik-feodalistik, berbingkai kekuasaan, etika, estetika, filosofi.

Eksistensi dan kadar kepuasan buruh menentukan keberlangsungan tipe peradaban dalam jejaring ekonomi, politik, agama, hukum, pendidikan, dan seni. Sejarah Jawa tampil lugas, mengesankan puncak-puncak dan keruntuhan peradaban menggunakan acuan peran atau otoritas kelas penguasa. Buruh absen dari pembacaan peradaban. Jiwa buruh memang diajarkan secara intensif dalam pelbagai teks sastra Jawa tapi jarang tercatat sebagai subjek menentukan dalam kronik peradaban. Sekian teks sastra Jawa gamblang mengandung ajaran mengenai kodrat, mekanisme pengabdian, pamrih, berkah, dan kepasrahan.

Buruh pada masa lalu mungkin bisa disejajarkan dengan posisi abdi meski tak mutlak sama.

Buruh pada masa lalu mungkin bisa disejajarkan dengan posisi abdi meski tak mutlak sama. Serat Wulangreh gubahan Paku Buwono IV mengandung ajaran-ajaran untuk abdi: mengekspresikan pengabdian dengan pelbagai pembenaran dan janji muluk. Abdi menemukan makna kehadiran saat mengabdikan diri pada raja. Hidup dan mati dalam doktrin pengabdian  dikesankan seperti pencapaian tingkat kerohanian, mengacu ke kosmologi dan teologi. Pengabdian dikenai dalil-dalil profan dan sakral. Keringat buruh dan ketataatan pada Tuhan terepresentasikan dalam pengabdian pada raja.

Jiwa buruh tampak tampil dalam pembagian jenis perkerjaan atau pola pangkat (jabatan). Jiwa buruh terus mengalami penguatan dan pembentukan ulang sesuai situasi zaman. Nilai pengabdian buruh pun terukur melalui angka berkonteks ekonomi-politik. Penghitungan kualitatif bernalar kekuasaan tradisional segera dialihkan ke jenis kekuasan modern. Perubahan terjadi melalui klaim sosialisme, kapitalisme, modernisasi, demokratisasi, pembangunan, dan globalisasi. Jiwa buruh masih belum menemukan pintu kemerdekaan akibat  dominasi dari intruksi, imperatif, dan represi.

Ajaran menjadi abdi (buruh) dalam tarikan masa lalu terkandung dalam Serat Sasanasunu gubahan Yasadipura II. Abdi cenderung diartikan sebagai sebutan untuk calon priyayi (Sukri, 2004: 265). Yasadipuro II menulis: Kalamun tinitah sira/ angabdi jroning nagari/ den taberia sewaka/ yen durung pinaring sabin/ aywa sira angincih/ mrih mbalendung ingkang wadhuk/ pandhuk sadaya daya/ yen tak durung potong kardi/ tekdena awisma neg pasewakan (Jika engkau ditakdirkan/ menjadi abdi kerajaan/ hendaklah engkau rajin menghadap/ jika belum diberi sawah/ janganlah engkau bernafsu untuk memperoleh/ untuk menuruti keinginan perutmu/ atau ingin cepat memperoleh hasil/ jika engkau belum memperlihatkan kerja/ niatkanlah tinggal di paseban). Jiwa buruh dalam impian martabat kepriyayian terasakan dalam ajaran-ajaran dengan sentuhan kerohanian Jawa.

Misi dan nilai pengabdian malah tampil dalam eksplisitas pamrih tapi ada pengekangan etis dan politis pada diri buruh.

Misi dan nilai pengabdian malah tampil dalam eksplisitas pamrih tapi ada pengekangan etis dan politis pada diri buruh. Impian mesti dirawat dengan formalitas takdir, diacukan ke penguasa. Nilai dan makna kehadiran diri buruh hampir tak memiliki otonomi akibat kesenjangan pemberian-penerimaan. Model lawas disalin dalam kehidupan modern. Pemerolehan ijazah dari jenjang pendidikan tinggi tak sanggup menghapus mentalitas dan jiwa buruh demi pengabdian ber pamrih materialistik dan pragmatis. Jiwa buruh tanpa otonomi diri justru dilanggengkan, berdalil modern melalui institusi pendidikan, politik, ekonomi, media massa, atau keluarga.

Jiwa buruh pada masa sekarang identik dengan inferiorisasi dan mengandung stigma buram. Pola hubungan buruh-majikan masih diliputi godaan-godaan negatif dan destruktif. Ki Ageng Suryomentaram menuturkan: “Seorang buruh berjiwa persahabatan akan memandang majikan sebagai teman untuk mencukupi kebutuhan hidup bersama, teman untuk memberantas malas dan boros bersama, dan menjaga jangan sampai ada kekayaan digunakan untuk sewenang-wenang.” Tuturan mengandung kebajikan tapi susah direalisasikan pada zaman sekarang. Majikan nakal dan korupsi adalah kelumrahan. Buruh marah dan menderita adalah konsekuensi. Ajaran itu dimaksudkan untuk mencapai jiwa buruh merdeka dan bahagia. Begitu.

Pada 28 Maret 2019, Romo Sindhunata (pengelola majalah Basis) dan Mirna Yulistianti (editor Gramedia Pustaka Utama) mampir ke Bilik Literasi (Solo). Obrolan menjelang malam. Kami tak lagi sempat mengurusi tema politik dan korupsi terlalu menjengkelkan jelang hari coblosan, 17 April 2019. Kita mengobrolkan buku-buku dan masa lalu. Obrolan ringan bermaksud memberi penghormatan pada kerja menulis dan kemauan orang-orang jadi pembaca di hari-hari selalu sibuk. Kita mungkin keterlaluan melulu berpikiran buku.

Selama obrolan, wajah Romo Sindhunata semringah. Ia masih memberi pengertian-pengertian bergelimang harapan untuk hidup di abad XXI. Segala marah dan dendam pada politik amburadul dan wabah korupsi tak harus menimbulkan rusak, kehancuran, atau petaka tambahan. Situasi itu diladeni dengan renungan-renungan dihamparkan di halaman-halaman sekian buku.

Pada 2019, tiga buku Romo Sindhunata diterbitkan lagi oleh Gramedia Pustaka Utama, tak bermisi gamblang memberi sindiran kesemrawutan politik 2019. Tiga buku mengajak ke renungan-renungan mengurangi marah dan gerah: Aburing Kupu-Kupu Kuning, Menyusu Celeng, dan Air Kata Kata. Buku masih mungkin mendokumentasikan zaman, kelak bakal jadi referensi ingatan atas Indonesia.

Kedatangan Romo Sindhunata, Mirna Yuliastianti, dan teman-teman ke Solo untuk menghadiri pentas tari di Taman Budaya Jawa Tengah. Pentas diilhami dari buku berjudul Aburing Kupu-Kupu Kuning. Buku itu berhak mengingatkan kita pada pelbagai tema, tokoh, dan peristiwa dari masa lalu untuk terpikirkan di masa sekarang. Kita tak perlu terlalu sibuk mengurusi politik membikin sewot dan senewen. Pilihan merenungi hidup dan zaman dengan buku-buku membuat kita di tak gampang terbakar marah atau mengumbar benci ke segala penjuru.

Dua buku garapan Romo Sindhunata memiliki pemaknaan erat dengan situasi 2019 adalah Menyusu Celeng dan Air Kata Kata. Sekian hari, sebelum obrolan di Bilik Literasi dan acara peluncuran buku Menyusu Celeng di Bentara Budaya Yogyakarta, 30 Maret 2019, kita mendapat deretan berita mencengangkan dari KPK. Korupsi masih merajalela. Ketua umum partai politik, pejabat BUMN, dan anggota DPR ditangkap KPK dengan dugaan melakukan korupsi. Koran-koran menampilkan wajah mereka dan tumpukan duit. Kaum serakah duit masih ada di Indonesia berlagak mau memajukan dan memuliakan demokrasi. Mereka menodai demokrasi dan khianat pada jutaan orang.

Manusia bersorak/ celeng dhegleng sudah modar!/ Tapi langit masih kelabu/ dari sana terdengar teriak tersembunyi/ belum, celeng dhegleng belum mati/ Lihatlah!/ Nafsu ketamakannya masih sedalam laut/ Kelobannya setinggi langit/ Kekuasaannya seluas bumi.

Romo Sindhunata menjuluki koruptor dan politikus kotor adalah celeng. Kita mulai menanggapi situasi buruk dengan membaca buku-buku bercerita celeng berlatar Indonesia: masa lalu dan sekarang. Romo Sindhunata dalam puisi berjudul “Celeng Dhegleng” mengingatkan situasi politik 1998-1999 berdampak sampai sekarang. Indonesia diceritakan dengan celeng: Manusia bersorak/ celeng dhegleng sudah modar!/ Tapi langit masih kelabu/ dari sana terdengar teriak tersembunyi/ belum, celeng dhegleng belum mati/ Lihatlah!/ Nafsu ketamakannya masih sedalam laut/ Kelobannya setinggi langit/ Kekuasaannya seluas bumi. Keberakhiran rezim Orde Baru belum berarti ketamatan kaum koruptor dan politikus kotor. Indonesia masih dinodai orang-orang serakah duit dan menebar seribu muslihat. Daftar koruptor selalu bertambah. Buku tebal aib semakin tebal.

Nafsu korupsi terus membesar dan mewabah. Hukuman-hukuman dan sinis dari publik belum bisa merampungi lakon korupsi. Mereka kebal malu dan dosa. Romo Sindhunata membahasakan dengan celeng, mengartikan keserakahan dan kejahatan terus merusak Indonesia. Celeng itu berkeliaran dan beranak-pinak. Di puisi berjudul “Menguak Selendang Maya”, Romo Sindhunata menulis perihal celeng, bersumber dari lukisan Djoko Pekik: Tapi kenapa sejak celeng itu dilepas/ di atas kanvas/ di mana-mana malah berkeliaran/ celeng-celeng buas?/ Yang seharusnya bijak ternyata menceleng/ menipu dan berbohong lebih daripada dulu./ Yang dititipi kuasa malah menceleng/ menindas dan menggusur lebih daripada dulu./ Yang sudah berpunya makin menceleng/ mengeruk harta dan serakah lebih daripada dulu./ Yang seharusnya suci malah menceleng/ pura-pura murni dan makin munafik lebih daripada dulu. Puisi-puisi mungkin tak sempat terbaca oleh para tokoh di poster, spanduk, dan iklan sedang menginginkan doa dan dukungan berupa suara di hajatan demokrasi, 17 April 2019. Mereka itu sibuk, tak berwaktu cuma untuk membaca buku atau merenungi puisi.

Zaman celeng belum berakhir. Kita menanggung kutukan gara-gara celeng menghancurkan demokrasi dan pamer roman korupsi sepanjang masa. Kutukan demi kutukan jarang membuat kaum politik memiliki kehendak membenahi Indonesia. Omongan dan ulah mereka kadang semakin mengotori Indonesia. Debat-debat tak berkesudahan, saling fitnah, dan membuat pabrik kebencian menjadikan demokrasi jauh dari bijak dan kebahagiaan. Kita berhak marah dan mendendam tapi berkemungkinan membuat situasi bertambah amburadul. Kita bingung bersikap dan berkata gara-gara kutukan terlalu berat. Korupsi itu terlalu melukai dan menghinakan mufakat kita berbangsa-bernegara.

Tapi kenapa sejak celeng itu dilepas/ di atas kanvas/ di mana-mana malah berkeliaran/ celeng-celeng buas?/ Yang seharusnya bijak ternyata menceleng/ menipu dan berbohong lebih daripada dulu./ Yang dititipi kuasa malah menceleng/ menindas dan menggusur lebih daripada dulu./ Yang sudah berpunya makin menceleng/ mengeruk harta dan serakah lebih daripada dulu./ Yang seharusnya suci malah menceleng/ pura-pura murni dan makin munafik lebih daripada dulu.

Kita sampai ke novel Menyusu Celeng, novel untuk membuat perhitungan nasib Indonesia: sebelum dan setelah hari coblosan. Novel tak terlalu menghebohkan dibandingkan novel-novel gubahan Pramoedya Ananta Toer, Umar Kayam, Leila S Chudori, atau Eka Kurniawan. Di alur kesusastraan Indonesia, Romo Sindhunata masih sulit mendapatkan halaman pengakuan sebagai novelis meski teringat sebagai penulis buku laris Anak Bajang Menggiring Angin. Ia memang emoh sewot demi pengakuan dan pembesaran. Menyusu Celeng dikerjakan sebagai novel bertaburan puisi dan esai. Novel tak berpamrih minta pujian di puncak-puncak kesusastraan Indonesia abad XXI.

Novel bercerita kemunafikan, keserakahan, dendam, kebencian, dan nafsu berkaitan lakon-lakon politik, seni, sosial, dan ekonomi berlatar Indonesia, sejak 1965 sampai sekarang. Di novel, Sindhunata menulis: “Sebenarnya sudah tersedia kata atau istilah untuk para pelaku semacam itu, yakni koruptor dan politikus kotor. Sedang istilah untuk praktik mereka adalah korupsi dan politik uang. Namun rakyat kebanyakan menyebut mereka celeng. Mungkin karena bagi rakyat kebanyakan, sebutan celeng lebih mudaha ditangkap, dan lebih menggambarkan kejahatan dan keserakahan mereka daripada istilah koruptor atau politikus kotor.” Kita menanti para celeng dihukum dan bertobat. Penantian mungkin menghasilkan kecewa gara-gara celeng terlalu cepat beranak-pinak dan merajalela. Begitu.

Pada 9 Maret 1903, Wage Rudolf Supratman lahir di negeri masih terjajah. Sekian ahli sejarah mencatat penggubah lagu Indonesia Raya itu dilahirkan di Purworejo, sebelum menjalani hari-hari menjadi remaja dan dewasa di pelbagai kota: Surabaya, Makassar, Bandung, dan Jakarta. Warisan bersejarah berupa Lagu Kebangsaan menempatkan WR Supratman menjadi tokoh besar di imajinasi nasionalisme dan arus pergerakan politik kaum muda masa 1920-an.

Penghormatan diberikan pada komponis sering dirundung nelangsa. Pada 2013, tanggal kelahiran WR Supratman dipilih untuk peringatan Hari Musik Nasional. Pengesahan melalui Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2013. Tahun demi tahun, kita mulai memiliki peringatan Hari Musik Nasional dengan pelbagai ungkapan dan tema. Pada 2019, kita agak berantakan dalam ikhtiar mengenang WR Supratman dan mengartikan Hari Musik Nasional. Pada awal tahun, anjuran melantunkan Indonesia Raya di gedung bioskop sebelum pemutaran film menjadi polemik sengit. Rencana peraturan itu terbatalkan atau dibahas ulang. Polemik membara pun muncul gara-gara RUU Permusikan.

Kita belum ingin larut di polemik-polemik. Penghormatan pada WR Supratman lebih bermakna ketimbang kita tergesa ribut dan terjebak di hari-hari politik. Pada Hari Musik Nasional kita mengandaikan jutaan orang seantero Indonesia dan berada di pelbagai negara melantunkan Indonesia Raya. Ikhtiar kolosal mengingat sejarah Indonesia, menghormati tokoh, dan berharapan Indonesia tak semrawut menjelang hari berdemokrasi, 17 April 2019. Lagu itu terlaris sepanjang masa di Indonesia. Lagu terpilih dalam mengungkapkan ide-imajinasi Indonesia, dilantunkan sejak masa 1920-an.

Ketokohan WR Supratman mulai tampak pada Kongres Pemuda I (2916) dan Kongres Pemuda II (1928). Semula, ia berperan sebagai jurnalis untuk menulis berita-berita mengenai gairah kaum muda membesarkan nasionalisme. Sejak peristiwa sejarah 1926, ia sudah berkeinginan menggubah lagu memuliakan Indonesia. Ia sempat membahas keinginan itu bersama M Tabrani, pemimpin di Kongres Pemuda I. Keinginan mewujud di Kongres Pemuda II (1928) meski ada hambatan dan pembatasan. Alunan biola diperdengarkan mengesahkan gubahan lagu Indonesia Raya, belum diperkenankan menggunakan lirik.

Alunan biola diperdengarkan mengesahkan gubahan lagu Indonesia Raya, belum diperkenankan menggunakan lirik.

Kita mengenang adegan puitis setelah pembacaan Sumpah Pemuda (1928). Adegan dibahasakan oleh B Sularto di buku berjudul Sejarah Lagu Kebangsaan Indonesia Raya (1993): “Tangan kanan memegang alat penggesek biola. Tangan kiri mengepit biola. Ia berdiri tegak di antara tempat duduk para pengurus panitia kongres dengan tempat duduk para hadirin. Ratusan pasang mata menatap ke arahnya. Ia terlebih dahulu membungkukkan badan, memberi hormat. Kemudian Wage Rudolf Supratman mengalunkan irama lagu Indonesia dengan permainan biola yang merdu sekali. Selama beberapa menit, semua orang terdiam. Mereka terpukau….”  Sejarah lagu berlanjut dengan peran Soekarno dan para tokoh bangsa untuk menjadikan Indonesia Raya adalah lagu kebangsaan.

Situasi kolonialisme belum memberi sejumput girang pada sang komponis. Pada masa 1930-an, WR Supratman diterpa nelangsa, dari tahun ke tahun. Ia pun menderita sakit parah. “Nasibe Supratman dek semana memelas banget. Wis ora nduwe pegawejan, awake lelaranen, tur sadjak masjarakat kaja-kaja wis lali marang djenenge,” tulis Soebagijo IN di buku berjudul Wage Rudolf Supratman (1952). Politik nasionalisme sering digencet penguasa kolonial. Kehidupan WR Supratman di kancah pers, musik, sastra, dan asmara sering tak untung. Ia menanggungkan derita panjang meski semakin memiliki pergaulan bersama kaum nasionalis, terutama jalinan persahabatan dengan Soetomo selama tinggal di Surabaya. Derita berujung kematian pada 17 Agustus 1938. Ia berpamit sebelum Indonesia merdeka dan Indonesia Raya selalu dilantunkan di peringatan hari-hari bersejarah di Indonesia, sejak 1945.

Soekarno tentu menjadi tokoh terpenting dalam perubahan dan penetapan Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan. Soekarno peka musik dan lirik bersastra. Pada masa-masa berbeda, lagu itu mengisahkan Indonesia tapi jarang memunculkan biografi si penggubah. Jumlah buku mengenai WR Supratman masih terbatas, jarang diceritakan para guru di sekolah atau beredar di kalangan seniman dan kaum politik. Lagu semakin tenar tapi WR Supratman sering cuma terkenang melalui foto atau gambar dipasang di dinding kelas dan masuk di buku album pahlawan Indonesia.

Nasibe Supratman dek semana memelas banget. Wis ora nduwe pegawejan, awake lelaranen, tur sadjak masjarakat kaja-kaja wis lali marang djenenge

Pada 1983, kita mulai diajak mengenang WR Supratman dengan novel. Umar Nur Zain menulis novel berjudul Namaku Wage. Pengarang mengumumkan itu novel, bukan biografi. Imajinasi turut di pengisahan mengacu ke keterbatasan data-data sejarah. Di awal penulisan, Umar Nur Zain sudah kebingungan dan resah: “Cukup sulit mendapatkan riwayat hidup Wage Rudolf Supratman karena berbagai kelangkaan literatur mengenai dirinya. Juga muncul berbagai macam versi mengenai dirinya. Misalnya, diperdebatkan di mana Wage sebenarnya dilahirkan, apakah ia mempunyai istri yang sah, berapa saudaranya, dan sebagainya.” Persembahan novel dimaksudkan mengenalkan penggubah Indonesia Raya meski segala informasi belum bisa dipastikan kebenaran dan kesalahan.

Novel itu sengaja mendapat stempel dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan agar beredar ke perpustakaan umum dan sekolah seantero Indonesia. Para murid, guru, mahasiswa, dan pembaca umum diinginkan khatam Namaku Wage, menambahi pengenalan dan penghormatan pada WR Supratman. Penggubah lagu kebangsaan sering menderita ketimbang mendapat keberlimpahan harta, pujian, dan penghargaan. Lagu Indonesia Raya itu puncak dari kesadaran nasionalisme dan kesanggupan mengabaikan nasib diri demi Indonesia.

Kita semakin diajak mengenali WR Supratman di novel terbaru gubahan Yudhi Herwibowo berjudul Sang Penggesek Biola (2018). Penulisan novel memiliki data atau referensi melimpah ketimbang di masa penulisan Namaku Wage. Novel terbit setelah orang-orang diajak membuat peringatan rutin Hari Musik Indonesia mengacu ke tanggal kelahiran WR Supratman, sejak 2013. Yudhi Herwibowo perlu memunculkan adegan Soekarno dalam peringatan hari lahir Indonesia Raya pada 28 Oktober 1953. Lagu itu warisan terbesar WR Supratman. Soekarno berseru: “… Indonesia Raya ini menjadi lagu kebangsaan, sampai akhir zaman pula. Jangan ada sesuatu golongan memilih lagu baru, setialah kepada Indonesia Raya, setialah kepada Pancasila.” Begitu.

 

Bandung Mawardi

Kuncen Bilik Literasi

 


 

 

 

 

Pada 21 Februari 2019, orang-orang membuat peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional. Di Indonesia, peringatan itu biasa berisi laporan dari institusi kebahasaan di naungan pemerintah untuk menambahi sedih dan lara. Sekian bahasa daerah dikabarkan punah atau sekarat. Laporan jarang memberi girang berkaitan dengan pemajuan bahasa daerah di Indonesia, dari tahun ke tahun.

Anjuran-anjuran sering diberikan oleh pejabat, dosen, ahli bahasa, dan seniman adalah membiasakan menggunakan bahasa daerah di rumah. Kebijakan tambahan adalah memberlakukan hari berbahasa daerah di dinas-dinas pemerintah dan sekolah. Ada pula kebijakan mengadakan upacara dengan penggunaan bahasa daerah. Anjuran-anjuran itu jarang manjur. Di luar seribu anjuran, mereka belum getol mengajak orang-orang berkamus (lagi) untuk mengerti bahasa daerah. Kamus-kamus lama dibiarkan tertutup dan berdebu.

Pada abad XXI, kita masih memerlukan kamus Bahasa Jawa berdalih pemuliaan bahasa ibu atau daerah. Di toko buku, kita melihat Kamus Indonesia-Jawa susunan Sutrisno Sastro Utomo, terbitan Gramedia Pustaka Utama, 2015. Tebal 800 halaman. Harga 218 ribu. Penggunaan kamus-kamus terbitan baru mengingatkan kita pada perkamusan dan arus peradaban Jawa, sejak ratusan tahun silam. Sejarah itu berkesinambungan sampai sekarang. Sejarah dan perkembangan peradaban Jawa pernah ditentukan oleh para sarjana kolonial.

Kesadaran berbahasa Jawa dengan panduan kamus dimulai oleh jfc gericke dan T. Roorda. Pada tahun 1901, mereka menerbitkan Javaansch-Nederlandsch Handwoordenboek, terdiri dua jilid. Tebal 1.777 halaman. Mereka menggunakan aksara Jawa untuk penulisan kata-kata Jawa dan menggunakan aksara Latin untuk kata-kata Belanda. Kamus bersejarah dan langka. P. Swantoro melalui Dari Buku ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu (2002) mencantumkan pengakuan: “Saya sendiri baru 28 Agustus 1990 mendapatkan kedua jilid kamus Gericke-Roorda cetakan 1901, setelah berusaha selama beberapa tahun. Kedua jilid berukuran sama 17,5 x 27 cm. Kamus ini sekarang sudah dapat dikategorikan sebagai barang antik, tetapi masih tetap berguna sebagai bahan studi.”

Semula, kerja membuat kamus berkaitan pamrih menerjemahkan Perjanjian Baru ke bahasa Jawa. Penggarapan kamus pun mengandung misi agama, politik, kultural, dan literasi. Penerbitan kamus memengaruhi tata bahasa Jawa dalam publikasi surat kabar, majalah, buku. Padmasusastra (1843-1926) pernah memberi satire bahwa bahasa Jawa dibawa oleh sarjana kolonial ke Leiden (Belanda) untuk diolah lalu dikembalikan lagi ke Jawa. Kamus dan buku-buku pelajaran bahasa Jawa “dipulangkan” ke Jawa bercorak kolonial.

Kita menginsafi bahwa garapan dan penerbitan kamus selalu menentukan nasib bahasa dan sastra, berkontribusi dalam pembentukan peradaban Jawa. Selama ratusan tahun, kamus adalah panduan mengerti nasib bahasa dan sastra Jawa. Begitu.

Bahasa Jawa menjembatani kultur kolonial dan Jawa. Penerjemahan pelbagai teks agama, politik, hukum, dan sastra dilakukan secara serius sejak tahun 1800, bermaksud meraih dominasi dan kedaulatan di negeri jajahan (Vincent JH Houben, 2009). Kamus sangat diperlukan bagi proses penerjemahan dan kerja politik agar memahami peradaban Jawa. Kamus digunakan di jagat pendidikan bagi calon pejabat dan pegawai kolonial saat menjalankan tugas ke Jawa. Kamus susunan Gericke dan roorda perlahan memiliki peran penting dalam sejarah kolonialisme dan peradaban modern di Jawa. Kamus bahasa, identitas, mentalitas, nalar, dan imajinasi.

Pembuatan dan penerbitan kamus mulai berkembang di pertengahan abad XX.  WJS Poerwadarminta dibantu oleh CS Hardjasoedarma dan J Poedjasoedira menggarap Baoesastra Djawa (1939). Kamus itu mengacu ke Serat Baoesastra Djawi-Wlandi susunan TH Piageud. Poerwadarminta juga menggarap Baoesastra Indonesia-Djawi dan Baoesatra Djawi-Indonesia (1948). Dua kamus semakin memberi panduan bagi pengajaran bahasa Jawa. Pengaruh corak kolonial memang tak bisa semua dihindari. Di Jawa, studi bahasa dan sastra Jawa tetap harus mengacu ke publikasi buku-buku garapan kalangan sarjana kolonial. Mereka sudah ratusan tahun mengurusi bahasa dan sastra Jawa.

Pada masa kemerdekaan, bahasa dan sastra Jawa tetap berkembang. Pada 1957, terbit kamus berjudul Bausastra Djawa-Indonesia susunan S Prawiroatmojo. Studi mengenai Jawa juga semakin dikuatkan dengan penerbitan kamus Kawi atau Jawa Kuno. Pada 1977, terbit Kamus Kawi-Indonesia susunan S. Wojowasito. Ikhtiar menggarap kamus bermula dari pengajaran di Universitas Michigan, Amerika Serikat. Wojowasito memberikan kuliah mengenai bahasa kawi atau Jawa Kuno. Para mahasiswa sulit memahami pelbagai materi perkuliahan dan mengalami ketergantungan dengan pengertian-pengertian istilah dari Wojowasito. Kamus pun disusun demi memenuhi keinginan para mahasiswa asing dan mahasiswa Indonesia dalam mempelajari bahasa Kawi bermisi menguak peradaban Jawa melalui studi teks-teks klasik.

Kerja fenomenal menggarap kamus dilakukan oleh PJ Zoetmulder. Pada 1982, terbit Old Javanesse-English Dictionary susunan Zoetmulder bekerja sama dengan SO Robson. Setelah puluhan tahun berlalu, kamus itu diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Darusuprapta dan Sumarti Suprayitna, terbit berjudul Kamus Jawa Kuna-Indonesia (2004). Kerja penggarapan kamus dipicu oleh kontribusi kesarjanaan Herman Neubronner van der Tuuk melalui penerbitan Kawi-Balineesch-Nederlandsch Woordenboek, akhir abad XIX. Kita menginsafi bahwa garapan dan penerbitan kamus selalu menentukan nasib bahasa dan sastra, berkontribusi dalam pembentukan peradaban Jawa. Selama ratusan tahun, kamus adalah panduan mengerti nasib bahasa dan sastra Jawa. Begitu.