Menu

Belanda

Sebagai wangsa Mataram Islam, PB VI yang bernama lengkap Raden Mas Sapardan (1807-1849 M) terlahir dari pasangan Susuhunan Pakubuwana V dan istrinya KRAy. Sasrakusuma banyak mengalami problematika kehidupan. Dinaikkan ke tahta dalam usia muda pada saat itu usia enam belas tahun, dikenal sebagai raja yang mbalelo sekaligus cerdas. Ke-mbalelo-annya ini dikarena sebagai wangsa Mataram ia selalu berpergian dengan menggunakan busana Walandi atau Belanda. Namun, sang raja dalam memerintah dinasti Mataram tidak lama hanya sekitar tujuh tahun saja dari tahun 1827-1830 M.

Pada masa susuhan memimpin  sedang terjadi perang Jawa (1825-1830 M). Perang Jawa ini yang membuat pihak Belanda mengalami kerugian yang begitu besar dan tentunya imbasnya kembali ke Keraton Surakarta dan Yogyakarta. Sekaligus mencopot PB VI sebagai raja dikarenakan ia dianggap membangkang dan bersekutu dengan kaum pinggiran untuk memberontak kepada kolonial pada masa itu. Pakubuwana yang berusia pada dua puluh tiga tahun ditangkap pada bulan Juni 1830 di Pantai Selatan Jawa ketika sang raja sedang menjalin hubungan dengan Ratu Pantai Selatan, dan kemudian sang raja muda diturunkan dari tahta sebagai raja Mataram Surakarta dan dibuang ke pulau terpencil di Ambon (M.C Ricklefs, 2005:257)

Akhir Abad XVIII, gerak raja Jawa selalu dibatasi oleh pihak Belanda. Mereka (kolonial) sangat mengintervensi raja dalam masalah-masalah keraton. Maka keraton Surakarta pada masa itu mengalih-fokuskan ke dalam kerajaan, ke dalam kegiatan-kegiatan keraton dan etika pribadi raja sendiri (John Pemberton, 2018:88) Di balik dinding keraton ritual-ritual yang diistimewakan dilakukan di muka umum sebagai pelestarian budaya Jawa dari para leluhur yang harus dilestarikan. Karena di samping sebagai penjaga tradisi leluhur, seorang raja juga harus memiliki hubungan yang erat dengan rakyatnya dengan cara melestarikan kebudayaan Jawa.

Karena di samping sebagai penjaga tradisi leluhur, seorang raja juga harus memiliki hubungan yang erat dengan rakyatnya dengan cara melestarikan kebudayaan Jawa.

Seorang penguasa mutlak muslim (Muhammedaansch despot), kalaulah ia ingin dihormati oleh rakyatnya harus keluar sedikit dari Keratonnya. Tampaknya ini bertentangan dengan apa yang diinginkan oleh pihak kolonial. Bagi pihak Belanda raja harus tetap diam di Keratonnya supaya rakyat stabil tidak ada pemberontakan kepada Belanda. Sebagai seorang Mohammedaansch despot yang gemar membaca, khususnya sejarah tradisional Jawa dan rupanya ia seorang penulis yang cukup ulung dengan kepiawaiannya dalam menulis (Nancy K. Florida, 2020:75). Kepiawaiannya PB VI dalam menulis sastra yang membuat ia sangat dimusuhi oleh De Kock sebagai Gubernur Jenderal pada saat itu. Sebagai seorang raja yang gemar menulis banyak karya yang telah ia guaratkan salah satunya mengenai Babad Jaka Tingkir.

Babad Jaka Tingkir ditulis dengan bahasa dan ungkapan puitis sejarah, dengan tradisi kepenulisan di Surakarta dan Keraton Surakarta. Gayanya, gaya tulisan yang sekarang bisa dianggap sebagai “renaisans Surakarta” yakni penulisan dari Surakarta Abad XVIII-XIX. Penulisan babad ini ditulis dengan jumlah yang banyak dan panjang bahkan di akhir-akhir isinya sangat sesuai dengan sejarah yang ada di istana-istana kerajaan Surakarta.

Babad Jaka Tingkir memuat adegan keraton sebagaimana terjadi di istana kerajaan kuno yakni Majapahit dan Demak. Namun demikian, istana yang dipaparkan pasti berkaitan dengan Keraton Surakarta. Syair ini selalu memetakan Keraton Surakarta tetapi ada juga memetakan di tempat yang lain. Bahkan sang penulis selalu menceritakan Keraton Surakarta sampai hal-hal yang bersifat khusus di dalam Keraton Surakarta seperti halnya Keputren yang ada di istana Keraton Surakarta. Dengan melihat hal ini kita bisa mengetahui bagaimana babad ini ditulis di dalam lingkungan kerajaan Keraton Surakarta dan sang penulis tidak lain dan tidak bukan adalah Sinuhun sendiri.

Babad Jaka Tingkir ini ingin memberikan informasi terhadap raja yang besar raja yang agung raja segala raja pada masanya. Sesuai judul babad ini, Babad Jaka Tingkir ingin mengungkapkan kisah sang Raja Agung dari Pajang yakni Pangeran Hadiwijaya namun dalam babad ini tidak mengisahkan sejarah raja agung tersebut. Babad ini hanya mengisahkan asal muasal raja agung tersebut, silsilah keluarga, dan daerah yang menopang kerajaan Pajang. Tidak menceritakan secara eksplisit mengenai sang raja sendiri. Babad ini ingin memberikan edukasi kepada kita sebagai orang Jawa khususnya dan Nusantara pada umumnya, bahwasanya masa lalu bisa dijadikan pijakan untuk menatap masa depan, karena orang yang bisa mengetahui masa lalunya dia akan mengetahui masa depannya.

Ki Ageng Pengging Sebagai Simbol Perlawanan

Sebagai ayah Jaka Tingkir yang menjadi nama babad ini ia adalah cucu dari Brawijaya V dan anak dari Handayaningrat. Sebagai keturunan darah biru, Ki Ageng yang harusnya melanjutkan tampuk kepemimpinan dari sang ayahandanya malah mengubah haluan menjadi seorang kiai desa yang sederhana dan disegani oleh para santri-santrinya. Ki Ageng menjadi simbol perlawanan kaum pinggiran kepada pusat kerajaan di Demak Bintoro karena ke-mbalelo-annya yang tidak mau menghadap kepada raja Demak.

Sebagai keturunan darah biru, Ki Ageng yang harusnya melanjutkan tampuk kepemimpinan dari sang ayahandanya malah mengubah haluan menjadi seorang kiai desa yang sederhana dan disegani oleh para santri-santrinya.

Sebagai bapak dari Jaka Tingkir Ki Ageng mengajarkan Islam di daerah pedalaman Jawa dengan bercorak Tasawuf Falsafi sesuai dengan apa yang diajarkan oleh gurunya yakni Syech Lemah Abang atau Syech Siti Jenar. Ajaran Islam yang mereka amalkan ini menurut anggapan para wali Sembilan dan para fuqaha kerajaan Demak membahayakan umat Islam dan akan membawa masyarakat awam ke dalam sifat panteisme. Dengan salah satunya dalih inilah Ki Ageng dipanggil beberapa kali untuk menghadap sang Raja Demak Bintoro. Dan juga sang Raja Demak mencurigai Ki Ageng memberontak dirinya sebagai penguasa kerajaan Islam dalam tuturnya “ Ing Pengging tila kabupaten, sarta kapernah Santana dening Sultan Demak, bokmenawi amikir sumeja jumeneng ratu” yang artinya Pengging bekas kabupaten, lagipula ia masih kerabatan Sultan Demak mungkin ia berpikir ingin menjadi raja. (De Graff dan PIgeaud, 2019:358)

Dengan asumsi inilah sang Raja Demak mengutus bawahannya memanggil Ki Ageng sampai tiga kali berturut-turut untuk menghadap sang raja, walaupun nanti hasilnya nihil Ki Ageng tidak pernah menghadap ke Demak. Dalam panggilannya yang ketiga oleh sang Raja dengan dikepalai oleh Sunan Kudus Ki Ageng ditantang untuk menentukan pilihan yang terakhir kalinya. Pilihan yang diberikan oleh penguasa pusat untuknya adalah antara di luar atau di dalam artinya Ki Ageng disuruh memilih di antara pilihan politis versus kekuasaan rohaniah dan praktik lahir muslim taat versus kesadaran batin sufi, yang di atas atau di bawah, di kuasai atau menguasai dan sebagainya. Maka Ki Ageng Pengging Menjawab:

Yen miliya jero mapan sisip / yen miliya ing jaba pan asar / semang-semang pangidhepe / yen miliya ing luhur / pan kemandhang dipun ulati / lamun miliya ngarsa / yaketi sasar usur / sasare pithung medhahab / ngisor dhuwur kiwa tengen duwek mami / orane duwek ing awing / (BJT XXIX: 15)

Yang artinya: Kalau memilih yang dalam salah / kalau memilih yang luar tersesat / Bimbanglah dalam kepercayaan / Kalaulah memilih yang atas / Bagai memburu gema / kalaulah memilih depan / sungguh kesasar tersesat / Kesasar Tujuh madzhab / Atas, bawah, kiri, kanan, milikku / tak ada yang kumiliki/ (BJT XXIX: 15)

Penolakan Ki Ageng Pengging ini dianggap sebagai musuh negara dan karenanya menandatangani kematiannya. Dan lawan bicaranya secara langsung mengeksekusi hukuman mati tersebut kepada Ki Ageng. Namun, hanya dengan kehendak ki Ageng sendirilah Sunan Kudus bisa menusukkan kerisnya di sikunya yang membawa kematian bagi Ki Ageng sendiri. Bahkan dengan kematiannya pun junjungan Pengging ini tidak dapat ditentukan keberadaannya.

Setelah keberhasilan Sunan Kudus mebunuh Ki Ageng Pengging kembalilah dia ke Demak bak pahlawan yang habis memenangkan peperangan yang besar, ia diseruapakan dengan kera putih utusan Prabu Rama, raja legendaris yang amat terekenal itu. Sang pangeran datang melaporkan kesusesannya tiu untuk membunuh Ki Ageng Pengging. Laporan ini juga dituliskan dalam Babad Jaka Tingkir sendiri yang berbunyi:

Ananging sanget lenggona / sumiwing ngarsa nerpati / tan rumaos yen kebawah / akiyas kedah ngengkoki / tan arsa nampik milih / sedayane pan winengku / (BJT XXXII : 7)

Yang artinya: / Namun kukuh menolak / Menghadap sang raja / Tak merasa kalau di bawah / Berdalih memaksa mengaku / Tak hendak menolak memilih / semuanya diliputinya / (BJT XXXII : 7)

Babad Jaka Tingkir berhenti pada pupuh Sinom ini yang menandakan bahwasanya kisah sang Pangeran Pajang terhenti dalam kisah sang ayahandanya yang bersikukuh tidak mau menghadap sang Raja Demak sehingga menemukan ajalnya. Yang perlu diketahui bagi penguasa pusat adalah jangan meremehkan orang-orang pinggiran yang kapan saja bisa memberontak ketika hak dan kewajibannya terabaikan.

 

Kunjungan kenegaraan Belanda yang diwakili oleh Raja Willem-Alexander dan Ratu Maxima ke negara Indonesia, membawa berita tersendiri yang cukup menarik perhatian. Antara lain tentang permintaan maaf oleh Raja Willem-Alexander atas kekerasan yang dilakukan oleh Belanda di Indonesia usai Proklamasi 17 Agustus 1945. Selain itu, yang tidak kalah menghebohkan adalah berita tentang pengembalian benda pusaka berupa Keris milik Pangeran Diponegoro kepada Presiden Joko Widodo di istana negara, yang memancing banyak reaksi dari berbagai kalangan. Esai di bawah ini adalah karya Peter Carey yang turut andil dalam merespon mengenai keris Pangeran Diponegoro, yang diterjemahkan oleh Feureau Himawan Sutanto, Bandung. Kepada mereka berdua dan pihak-pihak yang terlibat, redaksi langgar.co mengucapkan banyak terima kasih. (Redaksi)

Pada hari Rabu, 4 Maret 2020, hampir 190 tahun sejak Pangeran Diponegoro, yang perjuangannya mirip dengan ‘William the Silent’, Pangeran Diponegoronya Belanda, ditahan oleh Jenderal Hendrik Merkus de Kock di Magelang, Jawa Tengah (28 Maret 1830) dengan cara yang khianat, Museum Volkenkunde (Museum etnografis) di Leiden mengumumkan bahwa keris pusaka sang pangeran, Kangjeng Kiai Nogo Siluman (Yang Mulia Baginda Raja Naga yang Tidak Kasat Mata), akhirnya ditemukan. Menurut siaran pers mereka, keris ini akan dikembalikan ke Indonesia, hanya beberapa hari sebelum kunjungan kerajaan Raja Willem-Alexander dan Ratu Maxima ke Indonesia (10-13 Maret 2020).

Pengaturan waktunya pun sempurna. Namun tujuan pengembalian keris ini bukanlah untuk menebus kesalahan dimasa lalu melalui diplomasi warisan. Seperti yang dikatakan oleh filsuf hukum dan spesialis dalam karya seni jarahan, Jos van Beurden, kalau tujuannya untuk menebus kesalahan, maka pengembalian keris ini terjadi “sangat terlambat (rijkelijk laat).”[1]

Udang dibalik batu dalam pengembalian keris ini adalah perjanjian dagang.

Rombongan utusan dagang Belanda yang besar yang dipimpin oleh menteri-menteri Sigrid Kaag (Menteri Kerja Sama Dagang dan Pembangunan Luar Negeri), Cora van Nieuwenhuizen (Menteri Infrastruktur dan Manajemen Air), Bruno Bruins (Menteri Perawatan Medis), yang dikirim ke negara bekas jajahan mereka untuk mendahului kunjungan keluarga kerajaan menggarisbawahi kepentingan dibalik pengembalian keris ini. Seperti yang dikatakan mantan Perdana Menteri Belanda, Joop de Uyl (menjabat, 1973-77), dalam ucapan salah guna katanya yang terkenal, “Kami adalah bangsa pengubur mayat (We are a nation of undertakers [begrafenisondernemers])!” Namun, di samping tujuan dagang dan politik, apa sebenarnya arti penting kejadian ini?

Nogo Siluman[2] tampaknya bukanlah salah satu senjata pusaka yang paling disayang oleh Diponegoro. Dia tidak pernah menyinggung tentang keris ini dalam autobiografinya yang setebal 1.100 halaman, Babad Diponegoro (1831-32). Keris ini juga tidak tercatat diantara tombak-tombak dan belati-belati yang dibagikan oleh pemerintah Penjajahan Belanda kepada anggota keluarga Diponegoro setelah ia ditahan. Lebih lanjut lagi, keris ini juga tidak disinggung oleh Jenderal De Kock dalam laporannya yang sangat mendetil tentang perbincangannya dengan Diponegoro pada bulan Maret 1830 yang bersejarah itu.[3] Bagaimana keris ini bisa jatuh ke tangan komandan pasukan Belanda kelahiran Antwerp yang bernama Colonel Jan-Baptist Cleerens (1785-1850) (Gambar 5), yang kemudian mempersembahkan keris itu kepada Raja Willem I (bertakhta 1813-40) pada tanggal 11 Januari 1831, tetap menjadi misteri sampai hari ini. Tapi kita bisa mengira-ngira berdasarkan beberapa informasi yang kita ketahui. Karena Cleerens adalah perwira yang ditugaskan untuk menyiapkan “perundingan damai” dengan sang pangeran pada 16 Februari 1830 di Remokamal di Banyumas, dan Diponegoro menerimanya dengan hangat — sebagai ‘seseorang yang hatinya bisa dipercaya (kang tyas pan langkung pitajengipun)’ dalam autobiografinya[4] — mungkin saja dalam kesempatan ini belati pusaka itu diberikan untuk sebagai tanda jadi kesepakatan antar kedua pria tersebut atas janji yang diberikan Cleerens bahwa pihak Belanda akan melakukan perundingan dengan itikad baik.

Tentu saja kita ketahui bahwa Belanda kemudian mengingkari perjanjian ini. Dan akibatnya menjadi bencana — untuk bangsa Belanda dan juga bangsa Indonesia.

Seperti yang ditulis oleh Pangeran Hendrik sang Pelaut (Prins Hendrik de Zeevaarder, 1820-1872), putra bungsu Raja Willem II (bertakhta 1840-49) (Gambar 2) yang pada saat itu masih berumur 16 tahun, dalam buku hariannya (Gambar 3) dengan penuh kejujuran setelah bertemu dengan Diponegoro di tempat penahanannya di Benteng Rotterdam, Makassar, pada tanggal 7 Maret 1837:

Semua orang tahu kalau Diponegoro memberontak melawan kita, tapi penahanannya akan selalu, menurut hemat saya, menjadi sebuah noda dalam reputasi orang Belanda sebagai manusia yang mulia. Benarlah bahwa ia adalah seorang pemberontak, akan tetapi, dia datang menemui kita untuk mengakhiri sebuah perang yang telah memakan begitu banyak korban jiwa dikedua belah pihak, dan dia datang menemui kita dengan memegang janji yang diberikan pihak Belanda untuk melakukan perundingan dengan itikad baik. Kemudian dia ditahan atas perintah Jenderal de Kock. Saya percaya bahwa urusan ini, yang telah membawa berbagai keuntungan bagi kita (mengenai kepemilikan kita atas keseluruhan pulau Jawa), telah mengakibatkan bahaya besar dalam artian moral, karena kalau dimasa depan kita ketiban sial dimana kita terlibat dalam sebuah peperangan lagi di pulau Jawa, atau kita [orang Belanda] atau [mereka] orang Jawa akan dikalahkan, karena tak seorang pun petinggi pribumi akan bersedia menjalin hubungan dengan kita lagi—dan ini tidak akan hanya terjadi di pulau Jawa, namun demikian halnya pula di semua tempat [di seantero kepulauan Hindia-Belanda/Indonesia].”

[“Iedereen weet dat Diepo Negoro [Diponegoro] in opstand tegen ons is geweest maar zijn gevangennemen zal altoos volgens mijne wijze van de zaak in te zien, een schandvlek aan de oude hollandsche trouw zijn. Het is waar hij was muiteling, maar hij kwam om een eind te maken aan eene oorlog die aan ons en aan hem zoo’n veel volk heeft gekost had en wat nog meer is hij kwam vertrouwende op de hollandsche trouw om te onderhandelen. Toen is hij gevat op order van de Generaal De Kock. Ik geloof dat deze zaak die ons het is waar zeer veel gedient heeft (betrekkelijk ons bezit van Geheel Java) ons het grootste kwaad gedaan heeft in het moreel want indien wij voor ons ongeluk weer oorlog op Java krijgen zal een der beiden ten onder gaan wij of de Javaan, want geen een Hoofd zal dan immer meer iets met ons te doen willen hebben. Dat zal niet alleen op Java gebeuren maar overal.”][5]

Ramalan Pangeran Hendrik pun terbukti benar. 112 tahun kemudian, pada tanggal dan bulan yang sama (8 Maret 1830) dengan hari ketika Diponegoro datang ke Magelang diikuti 700 orang pengikutnya untuk berunding dengan Jenderal de Kock, pasukan Belanda pun mengalami kekalahan besar di tangan pasukan Jepang (8 Maret 1942). Kebanyakan orang Indonesia pun merayakan kekalahan ini — ‘tidak akan ada seorang pun kepala suku [orang Indonesia] yang bersedia menjalin hubungan dengan kita lagi. [geen een (Indonesisch) Hoofd zal dan immer meer iets met ons te doen hebben]!’ Jarang ada Schadenfreude (kegembiraan atas malapetaka [yang ketiban musuh]) lebih bisa dinikmati daripada ini!

Lalu bagaimanakah nasib Yang Mulia Baginda Raja Naga yang Tidak Kasat Mata dalam pengasingannya selama 189 tahun di Belanda? Masih ada begitu banyak teka-teki yang harus dipecahkan. Dikutuk untuk berada ditengah kegelapan di Koninklijk Kabinet van Zeldzaamheden (Koleksi Benda Langka Kerajaan) di Den Haag (1831-83) kemudian di gudang berdebu di Rijks Ethnographisch Museum/Rijksmuseum voor Volkenkunde (Museum Etnografis Negara; pasca-2005, Museum Volkenkunde [Museum Etnologi]) di Leiden, nasib belati ini adalah sebuah kisah pengasingan dan kelupa-lupaan. Jauh di mata, jauh di hati. Mirip, malah, dengan nasib mantan pemiliknya, Pangeran Diponegoro, yang menghabiskan sepertiga hidupnya (1833-55) di dalam dua buah “kamar yang panas dan menyedihkan” — demikian tulis Pangeran Hendrik — di Benteng Rotterdam yang berada di Makassar, di kepulauan Celebes (Sulawesi) nun jauh di sana.

Nasib belati ini sangat berbeda dengan sebilah belati kerajaan lain — keris yang satu ini adalah keris yang betul-betul bergaya Nogosiluman dengan tiga belas kelukan (ěluk) pada bilahnya (lihat catatan kaki 2) — yang dirampas oleh Letnan-Gubernur Inggris, Thomas Stamford Raffles (menjabat, 1811-16) dari Sultan Yogyakarta (bertakhta 1792-1810/1811-12/1826-28) setelah pasukan Inggris menjarah keratonnya pada hari Sabtu dini hari, tanggal 20 Juni 1812 dan kemudian mengasingkan sang sultan ke Pinang (1812-15).

Senjata pusaka ini, yang dipersembahkan oleh Raffles sendiri pada bulan Mei 1817 kepada Putra Mahkota Inggris, yang dikemudian hari diangkat menjadi Raja George IV (bertakhta 1820-30), seorang anggota keluarga kerajaan Inggris yang dikenal menyukai persenjataan dan segala hal yang berkaitan dengan militer walau ia sendiri tidak pernah maju ke medan tempur, telah lama disimpan di Koleksi Persenjataan Kerajaan (Royal Armoury Collection) di Puri Windsor dimana keris ini bisa dinikmati melalui internet (lihat foto 1).[6] Bagaimanapun perasaan anda tentang adil atau tidaknya menyimpan peninggalan bersejarah dari zaman penjajahan didalam museum di negeri penjajah, setidaknya belati yang satu ini dikuratori dan dipelihara dengan baik. Sangat berbalikan dengan ketidakpedulian Belanda terhadap senjata pusaka pribadi Diponegoro yang selama lebih dari satu abad hilang di museum-museum negara itu. Tapi mungkin inilah saatnya dimana sebuah masa depan yang baru sedang menanti keris yang seperti Kucing Cheshire — kadang kasat mata, kadang menghilang — ini, dan ia akan mentertawai mantan penculiknya sembari terbang menuju tanah air diatas sayap Garuda.

Gambar 1: Perbandingan dua buah keris: Atas: Keris pribadi Sultan Hamengkubuwono II dari Yogyakarta, yang bergaya Nogosiluman dengan tiga belas kelukan (ěluk), sekarang berada di Koleksi Persenjataan Kerajaan (Royal Armoury Collection) di Puri Windsor, Inggris; dan Bawah: Keris milik Diponegoro, yang bergaya Nogososro dengan sebelas kelukan (ěluk), sebelumnya keris ini berada di Museum Volkenkunde (Museum etnografis), Leiden dan kini (pasca akhir Maret 2020) berada di Museum Nasional, Jakarta. Photo oleh Koleksi Persenjataan Kerajaan dan Profesor Sri Margana (Universitas Gajah Mada/Leiden University).

Gambar 2: Pangeran Hendrik Sang Pelaut (1820-72), putra bungsu Raja Willem II dari Nederland (bertakhta 1840-49), lukisan cat minyak oleh Jan-Baptist van der Hulst (1790-1862) kini berada di Istana ‘Het Loo,’ menggambarkan sang pangeran sedang berpakaian letnan kelas dua angkatan laut Belanda sebelum dia berlayar ke Indonesia pada tanggal 17 Oktober 1836 diatas fregat Bellona (Kapten Pieter Arriëns). Photo oleh Komunitas Sejarah Oranje-Nassau (Geschiedkundige Vereniging Oranje-Nassau).

Gambar 3: Halaman dari buku harian Pangeran Hendrik sang Pelaut dimana ia bercerita tentang pertemuannya dengan Pangeran Diponegoro pada tanggal 7 Maret 1837 di Benteng Rotterdam, Makassar, dan pada halaman ini tercantum sketsa tangan yang menggambarkan Pangeran Diponegoro dengan tutup kepala muslim bergaya Bugis. Arsip Kerajaan (Koninklijke Huis Archief [Den Haag]), GO54-309-01 (Arsip Pangeran Hendrik), ‘Dagboek’, 7-03-1837. Gambar oleh Koninklijke Huis Archief, Den Haag.

Gambar 4: Sketsa pensil yang menggambarkan Diponegoro yang dibuat oleh Adrianus Johannes (Jan) Bik (1790-1872) yang dibuat di Balai Kota (Stadhuis) Batavia (pasca-1942, Jakarta) di akhir bulan April 1830 sebelum sang pangeran berlayar di atas korvet perang Pollux ke pengasingannya di Sulawesi (3/4 Mei 1830). Sketsa ini menggambarkan sang pangeran berpakaian “imamat” yang ia gunakan selama Perang Jawa, yang terdiri dari turban, baju koko/pakaian yang terbuat dari katun (kabaya) dan jubah. Sebuah selempang digantungkan di bahu kanannya dan pusaka keris Kangjeng Kiai Bondoyudo (Yang Mulia Baginda yang Bertanding Tanpa Senjata) terselip di tali pinggangnya yang terbuat dari sutra dan berhiaskan bunga-bunga. Pipinya yang agak kempot, yang menonjolkan tulang pipi sang pangeran yang tinggi, disebabkan karena penyakit malaria tropisnya yang terus menerus kambuh yang dideritanya sejak ia berkelana di hutan-hutan di daerah Bagelen dan Banyumas pada tiga bulan terakhir Perang Jawa (11 November 1829-16 Februari 1830). Gambar oleh Rijksmuseum, Amsterdam.

Gambar 5: Penahanan Diponegoro oleh Jenderal de Kock pada hari Minggu, 28 Maret 1830, lukisan cat minyak diatas kanvas oleh Raden Saleh (sekitar 1811-80), 112 x 179 cm, diselesaikan pada bulan Maret 1857. Saleh melukiskan Kolonel Jan-Baptist Cleerens (1785-1850) sebagai figur Yudas Iskariot dengan menyender ke sebuah tiang yang berdiri di bagian kiri Rumah Keresidenan dan matanya memandang dengan penuh arti ke arah pemirsa. Kolonel kelahiran Antwerp ini sebenarnya tidak menghadiri penahanan Diponegoro, tapi Saleh telah memasukkan dia dalam lukisannya ini untuk menggarisbawahi pengkhianatannya. Lukisan ini kini menggantung di Istana Negara di Jakarta. Gambar seizin Sekretariat Presiden Republik Indonesia.

 

Catatan Kaki:

[1] Eric Brassem, “Nederland geeft ‘verloren’ kris terug aan Indonesië”, Trouw (4 Maret 2020).

[2] Nama keris ini memang membingungkan karena bentuk kerisnya yang bukan merupakan tipe Nogo Siluman, yang mana keris tipe Nogo Siluman memiliki tiga belas kelukan (ěluk) pada bilahnya, namun keris ini merupakan tipe Nogososro yang hanya memiliki sebelas kelukan (ěluk). Apalagi, menurut Ketum Sekretariat Nasional Perkerisan Indonesia (SNKI), Fadli Zon, itu bukan dhapur [bentuk bilah] Nogo Siluman (Naga Siluman) tapi dhapur Nogo Rojo (Naga Raja): ‘Naga Raja memang mirip dengan Naga Sasra, hanya beda di mahkota’, tweet, 12-03-20. Menurut ahli keris lain, Mpu Nilo, ‘untuk mengetahui apakah keris tersebut Nogo Siluman atau bukan, sangat mudah: keris Nogo Siluman memiliki dhapur berbentuk naga tanpa badan. Naga tersebut hanya sebatas leher tanpa bagian tubuh yang menjalar ke ujung keris’. Sumber dari kebingungan ini mungkin sebagian disebabkan oleh sebuah uraian tentang belati Diponegoro ini yang ditulis oleh komandan pasukannya yang masih muda (22 tahun), Ali Basah Sentot Prawirodirjo (sekitar 1808-55), tertanggal 27 Mei 1830 (Susan Legêne, De Bagage van Blomhoff en Van Breugel; Japan, Java, Tripoli en Suriname in de negentiende-eeuwse Nederlands cultuur van het imperialisme [Amsterdam: Museum voor de Tropen, 1998], hlm. 290-91), dan sebagian lagi disebabkan karena deskripsi yang dibuat oleh pelukis Raden Saleh Syarif Bustaman (sekitar. 1811-80), yang juga masih muda pada saat itu (20 tahun), dalam uraiannya yang tentatif tentang senjata itu ketika keris itu tiba di Koninklijk Kabinet van Zeldzaamheden (Koleksi Benda Langka Kerajaan) pada pertengahan bulan Januari 1831, lihat Werner Kraus dan Irina Vogelsang, Raden Saleh; The Beginning of Modern Indonesian Painting (Jakarta: Goethe Institut, 2012), hlm.36-37.

[3] Universiteitsbibliotheek Leiden (UBL), KITLV H (=Hollands MS) 340, H.M. de Kock, Verslag van het voorgevallene met den Pangeran Dipo-Nagoro kort vóór, bij en na zijne overkomst [Laporan tentang yang terjadi dengan Pangeran Diponegoro sedikit sebelum, selama dan sesudah kedatangnya (kepada kami)], 1 April 1830.

[4] Peter Carey, The Power of Prophecy; Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855 (Leiden: KITLV Press, 2007), hlm.669 catatan kaki 55.

[5] Arsip Kerajaan (Koninklijke Huis Archief (Den Haag), GO54-309-01 (Arsip Pangeran Hendrik), ‘Dagboek’, 7-03-1837, dikutip dalam Katrientje Huyssen van Kattendijke-Frank (ed), Met prins Hendrik naar de Oost; De reis van W.J.C. Huyssen van Kattendijke naar Nederlands-Indië, 1836-1838 (Zutphen: Walburg, 2004), hlm. 121.

[6] https://www.rct.uk/collection/67495/kris-and-scabbard (Kris dan sarungnya, besi, emas, rubi, berlian, dan kayu, RCIN 67495).

 

*Judul asli sesai ini “Gara-Gara Nila Setitik, Rusak Susu Sebelanga [Een Schandvlek op De Oud Hollands Trouw]: Sebuah Renungan Tentang Pengembalian Keris Pusaka Pangeran Diponegoro, Kangjeng Kiai Nogo Siluman”

Simbah saya bernama Gemi, Sugemi. Di Jawa ada sebuah wejangan (baca: nasihat) yang bunyinya: Gemi, Nastiti, lan Ngati-ati yang artinya irit, teliti, dan berhati-hati. Ya, Gemi memang berarti irit atau pandai mengatur pengeluaran. Memang dulu simbah saya itu seorang pedagang, dan sifat Gemi memang sangat lekat dalam pembawaannya sehari-hari. Ia rutin tiap pagi melapak di Pasar, tepatnya Pasar Legi Kotagedhe. Pasar itu konon telah ada sejak pemerintahan Panembahan Senopati (1584-1601), dan merupakan satu-satunya pasar tertua di Jogja yang masih eksis hingga hari ini. Ingatan saya tentang sosok simbah –yang masih lestari– adalah tentang kebiasaannya memberi oleh-oleh kepada cucunya selepas Ngarung (baca: melapak) di Pasar.

Pasar (baca: kata tersebut) bagi simbah saya atau mungkin bagi masyarakat Jawa secara umum identik dengan dua hal. Pertama, merujuk pada petanda untuk menyebut sebuah tempat yang menjadi sentra perdagangan. Kedua, merujuk pada sistem perhitungan hari (penanggalan) yang disebut Pasaran. Terdapat dua keterangan yang akan muncul ketika seorang Jawa ditanyai perihal pasar, yaitu keterangan tempat dan keterangan waktu.

Pasaran adalah siklus perhitungan lima harian (Pancawara) dalam penanggalan Jawa-Islam yang digunakan pada sistem kalender Jawa Sultan Agungan atau Anno Javanico (Ricklefs, 2001). Lima hari tersebut adalah hari Pon, Wage, Kliwon, Legi, dan Pahing. Selain pasaran, setidaknya masih terdapat empat siklus perhitungan hari lain yang digunakan dalam Anno Javanico, diantaranya: paringkelan atau sadwara (siklus enam harian), padinan atau saptawara (siklus tujuh harian), padewan atau hastawara (siklus delapan harian), serta Padangon atau Sangawara (siklus sembian harian).

Ya, orang Jawa sejak dulu memang terkenal Gemi, Nastiti, lan Ngati-ati bahkan dalam menghitung hari sekalipun. Sistem perhitungan hari inilah yang kemudian menjadi landasan dasar dalam bagi masyarakat jawa dalam melaksanakan kegiatan kesehariannya. Salah satunya adalah siklus perhitungan pasaran, yang kemudian mengejawantah menjadi semacam sistem Ekonomi lokal di Jawa. Perkawinan konsep antara perhitungan lima harian dengan konsep tata ruang tradisional di Jawa (Panasta Desa atau Mancalima) inilah yang kemudian menghasilkan sistem rotasi ekonomi yang oleh masyarakat Jawa sebut sebagai “Pasar” itu tadi. Penyelenggaraan pasar di Jawa selalu berpindah-pindah berdasarkan rotasi hari pasaran-nya, sistem rotasi ini bahkan masih digunakan hingga kini. Pasar yang paling besar dilaksanakan ketika hari (baca: pasar) Kliwon, biasanya bertempat di Kuthanagari (pusat kota/desa), pasar yang diselenggarakan pada hari itu disebut Pasar Kliwon. Kemudian pada hari Legi terdapat Pasar Legi di mancanagari  (daerah terluar) bagian timur, Pasar Pahing di selatan, Pasar Pon di barat, dan Pasar Wage di utara. Konsep rotasi pasar ini akan berulang setelah siklus sepasaran habis. Pola inilah yang berhasil dibaca oleh Van Ossenbruggen dalam kajian-kajiannya (Van Ossenbruggen, 1975).

Van Ossenbruggen mungkin adalah salah satu orientalis yang menurut saya jeli membaca pola ini selain simbah saya dan kebanyakan orang-orang tua di Jawa. Selain itu ada juga Titi Surti Nastiti, seorang antropolog Indonesia yang sempat melakukan penelitian tentang pasar di Jawa. Ia menulis sebuah desertasi yang berjudul Pasar di Jawa Zaman Mataram Kuna. Dalam kajian tersebut Ia menemukan beberapa kata kunci yang tercatat dalam prasasti-prasasti kuna pada masa Mataram Kuna (baca: Medang Kamulan) seperti “Apakan, Ampekan, atau Mapakan”. Kata-kata tersebut diperkirakan merupakan sebutan untuk menyebut sentra perdagangan (laiknya pasar pada konteks hari ini). Kata-kata tersebut masih memiliki ketersambungan akar dengan kata “Pekan” yang masih kita gunakan hingga hari ini. Pekan adalah petanda untuk menyebut siklus tujuh harian (Saptawara). Disinyalir siklus pekan (baca: perhitungan tujuh harian) ini merupakan peninggalan konsep perhitungan hari di kalender Saka yang digunakan pada masa Hindu-Budha. Mungkin imaji tentang sentra perdagangan di jaman itu dapat kita lacak dari istilah “Pekan Raya” yang juga masih eksis untuk menyebut event pameran perdagangan hari ini. Dalam perkembangannya, setelah kalender Saka ini disempurnakan oleh Sultan Agung (digabung dengan perhitungan Hijriah) konsep rotasi ekonomi yang semula menggunakan siklus perhitungan tujuh harian mungkin telah mengalami perevisian sejalan dengan masifnya penggunaan rumus perhitungan baru yang ditetapkan Sultan Agung (baca: siklus lima harian atau pasaran) (Nastiti, 2003).

Bila kita merujuk pemahaman simbah-simbah kita dulu definisi mengenai pasar pastilah sangat berbeda dengan pemahaman hari ini. Jelas dulu definisi tentang “pasar” bukanlah terjemahan kata “market” seperti yang kita pahami sekarang. Pengertian tentang “pasar” pada jaman dulu pengertiannya tidak hanya sebatas petanda untuk menyebut tempat berlangsungnya transaksi, atau tempat bertemunya penjual dan pembeli saja. Lebih dari itu, mungkin abstraksi kekinian yang paling relevan untuk mengimajinasikan pemahaman simbah-simbah kita dulu atas arti dari “pasar”, adalah ketika kita membayangkan sebuah perayaan. Di mana orang-orang berkumpul, mencari hiburan pelepas penat, memenuhi janji dengan koleganya, mencari jodoh, momong anak, dan mungkin masih banyak kegiatan yang mereka lakukan saat pasar dimulai.

Apakah sistem dan pemahaman mengenai konsep ekonomi lokal (baca: pasar) dari simbah-simbah kita ini hilang? Jawabannya: Tidak. Sadar atau tidak, kita masih sering menemuinya kok, bahkan bila berkenan merunutnya pun masih bisa. Beberapa pasar (baca: tradisional) di Jawa –meski tidak banyak– hingga hari ini masih mempertahankan perhitungan pasaran tersebut. Keriuhan akan terjadi di pasar saat hari pasaran-nya tiba, keriuhan ini biasanya dimulai dari menjelang pagi hingga tengah hari. Para pedagang dari seluruh penjuru desa akan berkumpul di pasar menjajakan berbagai macam barang dagangannya; dari mulai kebutuhan dasar, beragam jajanan, ternak, bahkan hingga barang bekas yang dikenal dengan istilah (klithikan). Biasanya juga digelar aneka macam ‘hiburan rakyat’, seperti sabung ayam, lomba kicau burung, cliwik (baca: istilah judi), dan lain sebagainya.

Salah satu contoh kasus yang saya temui berada di Jogja. Beberapa pasar di kota ini masih mempertahankan perhitungan pasarannya, ya meskipun  kini bisa dihitung dengan jari. Beberapa pasar tersebut antara lain: Pasar Kliwon di Bantul, Pasar Pon Godean, Pasar Pahing Sleman, Pasar Wage Tlagareha, Pasar Legi Wirobrajan, dan Pasar Legi Kota Gedhe. Ketika hari pasaran tiba, titik keriuhan di pasar-pasar itu memuncak. Tetapi dalam konteks hari ini (di Jogja khususnya), puncak keriuhan di pasar-pasar itu –kini– lebih  didominasi oleh para blanthik (baca: pedagang hewan) dan pedagang klithikan (baca: barang bekas).

Berkumpulnya para blanthik dan para peng-klithik setiap hari pasaran di Jogja ini bahkan telah menjadi ciri khas pasar-pasar tradisional di Kota Gudeg. Tinggal mereka mungkin (baca: kelas sosial) yang masih ngugemi (baca: memegang teguh) sistem rotasi ekonomi tradisional di tengah derasnya terjangan arus globalisasi ini. Sebagai contoh di Pasar Legi Kotagedhe, tempat simbah saya mencari nafkah dulu. Ketika pasaran tiba –sontak– Pasar Kotagedhe akan penuh sesak dengan sangkar-sangkar burung yang pating tlalang menghalangi jalan, plus beraneka jenis unggas, ikan dan hewan ternak. Tak ketinggalan, gelaran tikar yang dipenuhi barang bekas seperti rangka sepeda kuno, radio lawas, piringan hitam serta berbagai barang dagangan para pedagang klithikan di pinggir-pinggir trotoar jalan. Pasaran di Jogja nampaknya telah berubah menjadi perayaan lima harian bagi para pecinta binatang dan pecinta barang bekas.

Menyambung perunutan di atas, ihwal yang mungkin sangat menarik dari runutan tersebut menurut saya pribadi justru ada pada perubahan makna dari kata ‘pasar’ itu sendiri. Salah satu pertimbangan mengapa saya merasa ihwal tersebut menarik adalah -karena menyadarkan saya- tentang keberadaan “jarak” yang teramat jauh dari hal-hal sederhana yang sebenarnya ada disekitar saya. Bila oleh simbah saya, kata ‘pasar’ dipahami dalam dua pengertian, yaitu untuk menyebut “siklus lima harian dalam kalender Jawa” dan “tempat berkumpulnya orang-orang tua Jawa saat hari pasaran tiba.” Maka bagi saya atau mungkin generasi sepantaran saya, ketika mendengar kata’pasar’ yang tergambar dibenaknya justru pengertian yang sifatnya parsial –yang bisa jadi tidak mengakar – terjemahan term ekonomi lain yang berbeda dengan pemahaman simbah saya.

Pun ketika kata itu diserap dalam bahasa Indonesia, kata pasar hanya menjadi petanda yang maknanya ditentukan oleh kata lain yang tidak berasal dari sini (baca: barat). Pasar tidak lagi memiliki hubungan dengan keterangan tempat dan waktu yang dibayangkan oleh orang-orang tua Jawa di masa lalu. Dan, kita (baca: saya) bahkan tidak tahu mengapa hal itu bisa terjadi.

Tapi meski demikian, kita patut berbangga sih sebenarnya. Kita patut berbangga karena istilah pasar hingga hari ini masih tetap lestari (meskipun secara pemaknaan telah mengalami dekonstruksi yang hampir total). Kita harus bangga karena istilah pasar ternyata cukup relevan menjadi ‘kata penjembatan’ untuk menjelaskan term-term kunci dalam perekonomian modern yang dipahami generasi hari ini. Kita harus sedikit membusungkan dada ketika mendengar istilah pemasaran yang merupakan terjemahan dari kata marketing, lalu pasar modal terjemahan dari stock, dan pasar bebas untuk free-trade. Toh, akar tradisi dari istilah pasar itu kini juga tidak pernah dirujuk lagi kan, jadi tidak mengapa untuk ditinggalkan tentunya.

Faktanya, pasar (tradisional) yang masih bertahan dalam pengertian lawasnya toh kini telah kalah dengan “marketplacemarketplace” modern yang beragam jenisnya itu. Sehingga sangat wajar bila ia mulai dipinggirkan atau mungkin dipaksa untuk menempati sudut subordinat dalam perekonomian. Wajar pula,bila ia dilabeli dengan stempel udik, kotor, kumuh yang tidak sesuai standar hidup manusia modern, karena memang konsep tersebut tidak sesuai lagi untuk mendukung tesis-tesis terbaru yang diajukan oleh para sarjana ekonomi lulusan luar negeri itu tho.

Siapa yang berhak menuntut? Tentu jawabannya bukan saya, apalagi anda. Yang berhak menuntut sebenarnya adalah para Blanthik dan para pedagang Klithikan itu. Mereka adalah pewaris sah dari pasar (tradisional). Toh, mereka adalah para pedagang yang masih keukeuh mengimani sistem perdagangan berdasarkan perhitungan hari dari para leluhur untuk berkumpul dan membikin suatu perayaan yang membuat macet jalan itu. Bila tak percaya, mari kita tanyakan pada para Blanthik dan para pedagang Klithikan di Pasar Kotagedhe, bagaimana pendapat mereka tentang upaya subordinasi dan penegasian terhadap hal ihwal yang mereka pahami. Daripada kita menanyakan pertanyaan yang sama pada para ekonom kerakyatan yang memarkirkan mobilnya di Jalan MH. Thamrin, Menteng – pasti pertanyaan itu juga tidak akan terjawab tho.

Cepokojajar, akhir September 2018.


Referensi

Nastiti, Titi Surti. Pasar di Jawa Masa Mataram Kuna Abad VII – XI Masehi, Penerbit Pustaka Jaya, Jakarta, 2003.

Ricklefs, M.C. A History of Modern Indonesia Since c. 1200 Third Edition, Palgrave, England, 2001.

Soembogo, Wibatsu Harianto. Kitab Primbon Atasadhur Adammakna, Penerbit Soemodidjojo Maha Dewa diedarkan oleh C.V. Buana Raya Solo,Cetakan 10, Solo,  2008

Soembogo, Wibatsu Harianto. Kitab Primbon Lukmanakim Adammakna, Penerbit Soemodidjojo Maha Dewa diedarkan oleh C.V. Buana Raya Solo,Cetakan 11, Solo,  2013

Van Ossenbruggen, F.D.E. Asal Usul Konsep Jawa Tentang Mancapat dan Hubungannya Dengan Sistem-Sistem Klasifikasi Primitif, Penerbit Bhatara, Jakarta, 1975.

Zoetmulder, P.J. Kalangwang Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang, Penerbit Djambatan, 1994.

______________, Baboning Kitab Primbon Seri Kebatinan, Penerbit Karangroo, Solo, ____

Melengkapi review saya atas buku Prof. Dr. Alfons Van der Kraan, Lombok: Penaklukan, Penjajahan, dan Keterbelakangan (1870-1940), berikut saya mengajukan beberapa tafsiran dari data-data yang ditawarkan Kraan.

Saya pernah berkorespondensi dengan Kraan, terutama soal bukunya ini.  Baginya, bukunya tentang Lombok tersebut merupakan produk dari gairah masa muda seorang sarjana. Maksudnya, bahwa di dalam penelitiannya tersebut banyak hal yang sudah usang secara asumtif maupun teoritik. Singkatnya, banyak hal yang harus direvisi oleh Kraan.

Kraan  mengirimkan satu artikel panjang lainnnya mengenai Lombok, terutama menyoroti sejarah pendidikan modern di kalangan penduduk Lombok sejak zaman penjajahan Belanda sampai menjelang kemerdekaan Indonesia. Hal ini menunjukkan tingkat keseriusan Kraan meneliti Lombok.

Saya pertama kali memperoleh informasi tentang penelitian Kraan mengenai Lombok dari salah satu tulisan dari kumpulan tulisan (almarhum) Kuntowijoyo yang diedit oleh AE Priyono, Paradigma Islam: Interprestasi untuk Aksi (terbitan Mizan). Menurut Kuntowijoyo, penelitian Kraan adalah salah satu contoh penelitian sejarah sosial yang bergizi: datanya padat, ketat, dan banyak. Tetapi bukan berarti tanpa celah.

Para menak Karangasem Bali di Lombok juga berhasil membangun infrastruktur ilmu pengetahuan mereka, seperti ribuan naskah kuno yang mereka koleksi dan perbanyak nantinya disita Belanda dan sebagian dipindah ke pulau Bali.

Sebagai bagian dari generasi muda Sasak, saya tidak ingin naif atau terjebak dalam “poskolonialitas kekanak-kanakan”: menolak semua yang ditulis oleh orang luar (outsider). Berhadapan dengan produksi pengetahuan tentang “kita” oleh “orang luar” adalah suatu keniscayaan zaman. Persoalannya, selama ini kita selalu mencukupkan diri dengan para produsen pengetahuan dari luar itu tanpa memberikan alternatif atau terlibat aktif dalam praksis pengetahuan itu sendiri, terlebih ketika terkait dengan diri sendiri. Artinya sepanjang kita memiliki sikap kritis dan tidak mencukupkan diri dengan penjelasan mereka tentang “kita”, maka interaksi dengan produksi intelektual “orang luar” tersebut akan menjadi suatu yang produktif secara intelektual.

Sejak 1970-an, generasi ketiga dari intelektual dunia yang terlibat dalam dekolonisasi bangsanya menegaskan penolakan mereka tentang ketunggalan sistem nalar dalam memproduksi pengetahuan. Acuan-acuan universalisme dalam pengetahuan telah runtuh dan dianggap hal yang tidak bermoral. Berbeda dengan kritik kaum posmodernis di Eropa yang menolak metanaratif dari nubuat pencerahan Eropa secara internal, kaum dekolonial ini secara nasab tumbuh dari rahim perlawanan politik cum intelektual bangsa-bangsa terjajah. Pada dekade itulah mereka berbicara soal politik pengetahuan (politic of knowledge) yang singkatnya kurang lebih demikian: tidak ada patokan nalar; perayaan atas keragaman nalar; agar bisa menyikapi produksi pengetahuan Barat maka harus menguasainya dengan seksama sampai ke konteksnya (dalam artian luas) sehingga jelas batas kewilayahannya; dan saatnya produk pengetahuan modern dibaca  di dalam koridor tradisi intelektual yang beragam di dunia.

Penelitian Kraan tentang Lombok merupakan salah satu penelitian paling serius tentang Lombok. Kraan memilih suatu fase paling krusial dari terbentuknya masyarakat Lombok modern. Persoalan yang harus digarisbawahi di sini, bahwa penelitian Kraan ini diterjemahkan di tengah sebuah masyarakat yang hampir saja tidak mewarisi catatan sejarah apapun tentang diri mereka. Saya sedikit nyinyir dengan beberapa komentar atas terbitnya terjemahan buku Kraan ini, terutama dari kalangan orang Sasak dan Bali (baik Bali di pulau Bali atau di Lombok), yang mengharapkan keberadaan suatu postur bulat dari historiografi Lombok. Saat ini, seperti terjadi di mana-mana, imaginasi soal sejarah masa lalu sedang menjamur sampai di luar koridor praksis pengetahuan itu sendiri. Biasanya, mereka akan masuk di salah satu kotak: mengglorifikasikan data sejarah yang menguntungkan status quo mereka; atau mereka terjebak dalam mistifikasi atas apa yang mereka bayangkan sendiri sebagai sejarah.

Sementara itu, Kraan sendiri lebih tertarik dengan dinamika penting masyarakat Sasak dalam periode yang sangat krusial, yakni peralihan dari zaman Kolonial Bali Karangasem, masa kembalinya kolonial Belanda, sampai dengan zaman pra-kemerdekaan. Tiga periode yang dianggap produktif untuk melihat masyarakat Sasak hari ini.

Seperti diketahui, Belanda telah menginvensi Bali atau ke-Bali-an secara serius, terutama untuk menyusun Bali sebagai anti-tesa bagi Jawa yang merosot oleh kedatangan Islam. Bali juga disusun sebagai suatu produk kolonial yang paling dihasrati oleh kultur persangkaan kolonial. Kita tidak memperoleh postur bulat dari proses invensi Bali dan Ke-Bali-an ala kolonial tersebut. Tapi praktis baru pada tahun 1894 Belanda mengambil alih kekuasaan dari para penguasa Bali yang sebelumnya dibiarkan lebih leluasa mengelola kekuasaannya jika dibandingkan dengan kalangan yang sama di pulau Jawa. Para penguasa dari Bali Karangasem bahkan melebarkan kekuasaannya sampai ke Lombok. Dalam banyak penelitian disebutkan tentang kekayaan kerajaan Karangasem Bali ini ketika mengendalikan bagian Timur Bali dan Pulau Lombok. Sumber pendapatan mereka dari rebues lintas laut saja sangat besar. Para menak Karangasem Bali di Lombok juga berhasil membangun infrastruktur ilmu pengetahuan mereka, seperti ribuan naskah kuno yang mereka koleksi dan perbanyak nantinya disita Belanda dan sebagian dipindah ke pulau Bali.

Pada sisi lain, hubungan Bangsawan Bali atau orang Bali dengan orang Lombok sangat ambivalen sampai hari ini. Orang Bali menegakkan mentalitas superior mereka karena pernah menjajah Lombok. Mentalitas ambivalen tersebut tidak faktual tetapi merupakan tanda-tanda dari psiko-sosial masyarakat jajahan. Pola ini tidak begitu jelas, terutama soal bentuk kolonial domestik semacam kasus Karangasem Bali atas Lombok. Apakah hubungan antara para menak Karangasem di Lombok dengan masyarakat Sasak hanya hubungan penjajah dengan yang dijajah? Sebagai generasi Sasak yang hidup berhimpitan, bahkan jarak tembok rumah dengan orang Bali Lombok, saya mendapatkan adanya dinamika yang lebih kaya tentang hubungan kedua kelompok masyarakat yang sangat dominan dalam ruang sosial masyarakat Lombok.

Di titik inilah saya melihat kelihaian Kraan, dia mencoba keluar dari sebuah kumparan bola es sejarah orang Lombok dan Bali yang sangat krusial dengan cara mengambil periode lebih akhir dari dinamika masyarakat Lombok yang jelas lebih “ringan” bebannya.

Sejak pertengahan abad 19 Masehi, Belanda mulai khawatir dengan situasi kultur kolonial Eropa yang saling caplok satu dengan lainnya. Kerjasama perdagangan antara kaum bangsawan Karangasem di pulau Lombok dengan sejumlah konsorsium perdagangan Eropa-kolonial, seperti Inggris dan Skandinavia, sangat mengkhawatirkan pemerintah-penjajah Belanda. Mereka mengirim para pengawas perdagangan dan diplomat yang biasanya dari kalangan hadrami Indonesia. Menguatnya kontrol kolonial bersamaan dengan menguatnya persaingan internal puak penguasa Karangasem di pulau Lombok (Cakranegara, Pajang, Pagutan, dan lain-lain). Masing-masing sub-kerajaan memperebutkan monopoli atas tanah dan para penggarapnya (orang Sasak). Kondisi semacam itu membuat posisi orang Sasak semakin terjepit dan lemah sehingga menumbuhkan benih perlawanan di antara mereka terhadap kekuasaan penguasa Karangasem.

Kembali ke beberapa ­uneg-uneg soal buku Kraan:

Pertama, Kraan membangun tesisnya berdasarkan pada tiga kelompok, kelas-kelas sosial di Lombok: Triwangsa (menak Bali), perwangsa (menak sasak/pembesar sasak), petani bebas dan panjak (buruh tani yang tidak memiliki tanah). Soal kelas petani bebas dan buruh tani bisa dikomparasikan dengan pendapat (alm) Ong Hok Ham mengenai kelompok tani yang memiliki tiyang cekap (tanah cukup) dalam konteks Jawa (Rembang, Pati, Blora, dan sebagainya). Kelompok tani bebas inilah dalam konteks kolonial Jawa menjadi “tulang punggung” pemberontakan terhadap kolonialisme Belanda yang pernah ada. Masih menurut Ong, pada pemberontakan Pangeran Dipanegara (Perang Jawa), para batur (kelas paling miskin yang tidak memiliki rumah dan pekerjaan) menjadi tulang punggung pendukung pemberontakan Dipanegara. Dari dua pendapat ini, menurut tafsiran saya, Ong ingin mengatakan bahwa “tulang punggung” pemberontakan dan perlawanan selalu adalah kelas sosial yang paling rendah karena merekalah yang menerima keburukan hidup akibat “ulah” kelas-kelas yang lebih tinggi, maka jarang sekali ada pemberontakan yang ‘ikhlas’ dari kelas ekonomi mapan dalam lintasan sejarah.

Walaupun saya tidak sepenuhnya bersepakat soal posisi para batur dan tiyang cekap sebagai tulang punggung Perang Jawa. Penempatan kaum pariah dalam suatu peristiwa sejarah di negeri ini seringkali menjadi suspen (kejutan yang setaraf dengan isapan jempol) oleh para peneliti asing. Dalam Perang Jawa misalnya, Peter Carey menyebut keberadaan para begundal, tukang garong, dan batur. Tetapi adakah penjelasannya yang lebih bertenaga soal mereka secara lebih detail? Di sini saya selalu kecewa, analisis kelas sosial mereka yang masih “liberal” sebenarnya bagian dari suspen narasi mereka untuk selalu mengabaikan fakta-fakta utama yang mereka hindari, yakni isu  Islam. Dalam kasus Perang Jawa, para peneliti luar sangat bias dalam melihat posisi sentral jaringan tarekat dan pesantren yang menyokong perlawanan Dipanegara.

Kedua, persaingan di antara kelas-kelas sosial tersebut dalam mengakumulasi kekuasaan dalam artian yang luas. Misalnya, Kraan menggambarkan bagaimana “triwangsa” menguasai masyarakat Sasak dengan mengikat para “perwangsa”, dan memberikan kepada mereka hak-hak atas tanah. Jadi, kelompok “kolaborator” di kalangan Sasak yang berperan serta dalam melanggengkan kekuasaan bangsa Bali di Lombok terdiri dari para perwangsa. Hal ini sudah pasti terjadi dalam hubungan “penjajah” dan “terjajah” di manapun. Di Jawa maupun di kawasan lain. Dalam konteks Jawa, bagaimana VOC (sebelum digantikan oleh pemerintah Hindia Belanda) menyuburkan dan menguatkan feodalisme untuk melanggengkan penjajahan mereka. Bahkan VOC-Belanda menambahi beberapa jabatan monarkhis untuk memperkuat pengaruh mereka atas orang Jawa, seperti penunjukan bupati-bupati di sejumlah daerah penting tanpa mensyaratkan “darah biru” untuk jabatan tersebut. Kelompok inilah yang kadang disebut priyayi. Pejabat-pejabat kolonial dari pribumi ini selalu bersikap mendua dalam isu-isu kemerdekaan pada awal abad 19 karena mereka takut kehilangan jabatan kolonial tetapi juga membaca potensi pergerakan nasional pada saat itu.

Dalam sejarah kolonial Indonesia, para kolaborator kolonial ini nantinya menjadi priyayi dan kaum borjuasi nasional yang sangat jarang disinggung dalam catatan sejarah Indonesia. Setahu saya, Indonesia adalah satu-satunya negara paskakolonial yang tidak memiliki catatan tentang kaum borjuasi nasionalnya.

Hal menarik dari Kraan, profanisasi terhadap beberapa istilah seperti triwangsa atau perwangsa. Maknanya disempitkan sebagai suatu kosa-kata feodal semata. Merosotnya kosa-kata kekuasaan lokal disebabkan oleh semakin mapannya bentuk kontrol kolonial terhadap para elit masyarakat jajahan, dan telah menumbuhkan suatu sistem kontrol efektif dengan menempatkan mereka sebagai jongos kolonial. Kuatnya sistem kontrol kolonial biasanya didukung oleh mapannya kontrol pengetahuan kolonial atas masyarakat dan tanah jajahannya.

Ketiga, soal bentuk, formasi, dan motif-motif “congah” (pemberontakan) di kalangan masyarakat Lombok. Congah atau pemberontakan yang ditampilkan oleh Kraan dalam bukunya ingin membantah klaim sejumlah elite Sasak mengenai wilayah kekuasaan mereka. Sampai hari ini sebagian besar para menak Sasak mengklaim bahwa moyang mereka memiliki wilayah kerajaan seperti luasnya kerajaan ala Jawa yang dengan sendirinya mengandaikan adanya stabilitas sosial, politik, ekonomi, dan Budaya pada masa sebelum Bali datang ke Lombok. Jika klaim ini benar, lantas kenapa pemberontakan-pemberontakan yang terjadi bersifat sporadik dan tidak menggambarkan bahwa mereka memiliki struktur (tidak saja fisik) pada masa sebelumnya sehingga soliditas kaum pemberontak sangat lemah. Hal ini, jika dibandingkan dengan pemberontakan-pemberontakan dalam konteks Jawa benar-benar tidak sama bentuk, formasi, dan motifnya. Kembali pada pemberontakan Dipanegara misalnya, terlihat sekali bahwa pemberontakan ini berjalan lama, sekitar lima tahun karena dukungan yang kuat dari kelompok sosial bawah sampai atas dengan mengandalkan struktur sosial Jawa yang sangat kuat pada saat itu.

Di Lombok ada proses glorifikasi historis yang sangat fanatik akan posisi ke-menak-an, seakan mereka bersih dan tidak pernah memiliki catatan hitam dalam sejarah.

Keempat, sebagai lanjutan dari yang ketiga, Kraan ingin menunjukkan bahwa formasi ke-menak-an yang dikenal sekarang di Lombok lebih banyak dibentuk pada masa penjajahan efektif Belanda. Terutama kelompok “perwangsa” yang menduduki posisi sebagai kepala distrik. Kepala-kepala distrik pada masa Belanda inilah yang paling banyak membentuk formasi ke-menak-an pada masa sekarang, yang tentunya tidak bisa digeneralisir. Delapan kedistrikan dengan sembilan kepala distrik utama, ditambah dengan empat kedistrikan di wilayah Lombok Barat dapat ditelusuri jejak-jejaknya pada keluarga-keluarga bangsawan yang menempati posisi elit politik saat ini. Karena posisi status quo mereka berlanjut sampai pada masa paling nyaman, masa Orde Baru.

Ada satu fakta miris yang diungkap oleh Kraan saat Belanda datang ke Lombok (sekitar 1894), bagaimana para perwangsa datang ke kepala pasukan Belanda setiap hari, saat itu di Cakranegara, untuk mencari muka agar mendapatkan posisi penting pada masa penjajahan Belanda. Para perwangsa datang untuk minta “jatah” kepada Belanda. Hal yang sama juga dilakukan oleh para triwangsa. Sempitnya motif politik para perwangsa berefek buruk dengan dikembalikannya seluruh tanah orang Bali yang sempat diambil oleh para petani (petani bebas dan panjak) yang dulunya menggarap tanah-tanah druwe dalem milik perwangsa. Hal itu terjadi pada tahun keempat penjajahan belanda di Lombok pada masa residen Liefrinck.

Memang hal yang aneh di kalangan menak Sasak saat ini ketika tidak mau mengungkap posisi mereka sebagai kolaborator penjajahan pada masa Bali maupun Belanda. Kalau kita dibandingkan dengan para bangsawan Jawa, narasi kerjasama Belanda dengan para bangsawan menjadi kajian dan diskursus umum. Di Lombok ada proses glorifikasi historis yang sangat fanatik akan posisi ke-menak-an, seakan mereka bersih dan tidak pernah memiliki catatan hitam dalam sejarah.

Kelima, Kraan menghabiskan hampir sebagian besar energinya untuk memberikan gambaran mengenai penderitaan para petani: baik petani bebas maupun panjak (slave). Dalam bagian ini, kajian Kraan soal struktur kolonialisme sudah terhitung maju. Kalau kita merujuk kajian yang dilakukan Walter D. Mignolo soal struktur penjajahan orang putih terhadap para pribumi dan para budak impor dalam membentuk dan mematangkan kapitalisme putih, maka kajian Kraan yang fokus pada nasib buruk petani Sasak sangat membantu dalam melihat struktur kolonial Bali dan Belanda, terutama soal penjajahan Bali atas Lombok. Selama ini dikatakan bahwa penjajahan Bali sama dengan model penguasaan raja Jawa atas kerajaan tetangganya. Kraan menunjukkan bahwa keberadaan kerajaan Bali di Lombok berada pada masa krusial, yakni era perdagangan yang sangat maju. Kraan meyakini bahwa raja-raja Bali yang ada di Lombok termasuk raja-raja yang kaya raya di kawasan Timur Indonesia pada saat itu. Kekayaan mereka diakumulasi dari pajak yang sangat mencekik (dalam konteks Jawa hal ini dianggap biasa saja), peron luat, dan perdagangan sangat maju. Pencapaian dalam bidang perdagangan yang maju itulah yang menjadi salah satu motif penting Belanda mau mengintervensi penjajahan Bali di Lombok.

Keenam, soal struktur sosial masyarakat Sasak sebelum kedatangan Bali Karangasem ke Lombok. Apakah benar atau faktual ada kerajaan-kerajaan pra-Bali di Lombok, seperti Langko, Bayan, Selaparang, Pejanggik, Kahuripan, Kerekok, Memelak dan sebagainya? Kraan tidak mau berdebat soal ini. Dia membangun andaian demikian: terdapat beberapa desa otonom di Lombok Pra-Bali. Setiap desa otonom memiliki para pemuka yang membawahi petani bebas dan buruh tani. Desa otonom ini tidak terlalu luas. Artinya, tidak seluas “kerajaan” dalam bayangan orang Sasak saat ini tentang masa lalu mereka. Sebuah desa otonom bisa seluas kelurahan dalam konteks sekarang atau mungkin lebih kecil lagi.

Poin ini mengingatkan pada asumsi alternatif mengenai lema kedatuan dan kerajaan. Para datu bisa saja bukanlah para raja seperti dalam imaginasi modern atau kaum feodal kesiangan. Para datu adalah mereka yang dihormati karena kualitas personal dan kemampuan mereka memberikan kebaikan bersama bagi orang di sekitarnya. Para datu diteladani karena wibawa dan otoritas ruhani mereka, bukan karena semata perangkat kekuasaan politik mereka.

Sepintas persoalan desa otonom yang diajukan Kraan menarik, padahal pendapat seperti itu mengikuti saja pendapat para sejarawan Barat mengenai kerajaan-kerajaan di Indonesia. Misalnya, tesis Sutherland mengenai basis kerajaan-kerajaan besar di Nusantara yang berbasis pada desa otonom. Persoalannya, apakah desa otonom dalam konteks Sasak pra-Bali sudah sebesar wilayah desa otonom dalam konteks Jawa yang kemudian dijelmakan menjadi kerajaan-kerajaan besar? Kalau mengikuti narasi (alm) Pak Pram dalam naskah Mangir, maka sangat jelas bahwa desa otonom dalam konteks Sasak Pra-Bali sebesar perdikan “Mangir”. Dalam naskah Mangir, saya menghargai poin soal bagaimana Pak Pram meratapi hancurnya otonomi desa dalam sejarah Jawa. Dari gambaran semacam ini, jelas sekali bahwa salah satu kelemahan para Indonesianis adalah ortodoksi, yakni kesenangan mereka merawat ide-ide pendahulu mereka tanpa pernah mau membangun teori baru berdasarkan fakta-fakta yang mereka kaji. Kraan dalam konteks bukunya ini banyak sekali mendaur ulang kajian-kajian para Orientalis dalam bidang sejarah ketika berhapan dengan fakta-fakta sejarah di Jawa.

Masih banyak sekali yang dapat kita tafsirkan dari kajian Kraan yang sangat studious ini, misalnya data-data perpajakan yang sangat kaya. Banyak sekali, dan alangkah baiknya memang buku Kraan ini dibaca langsung ke teks Inggrisnya. Wallahu’alam.