Menu

Budaya

/1/

Marilah kita bersama-sama membayangkan diri sedang melakukan muhibah Budaya ke pelbagai geokultural Indonesia kita tercinta. Kita mulai dari ujung Barat Indonesia. Pada saat menjejakkan diri di bumi Serambi Mekkah, kita niscaya bersua dengan – apa yang disebut – budaya Aceh dan budaya Gayo. Pada saat tiba di Tapanuli, kita berjumpa dengan budaya Batak. Sesampai di Sumatra Barat, kita bertemu dengan – apa yang lazim disebut – budaya Minangkabau. Begitu menjejakkan kaki di Pekanbaru atau Jambi, kita bersua dengan elok budaya Melayu – tanah air bahasa Indonesia.

Beralih pulau, kemudian kita bermuhibah ke Kalimantan Selantan, di sini kita berkenalan dengan budaya Banjar dan budaya Dayak. Ketika melanjutkan perjalanan budaya ke bumi Celebes atau Sulawesi, kita berjumpa dengan budaya Bugis dan Makassar yang mirip, tetapi berbeda. Juga bersua budaya Toraja, Kawanua, Minahasa, Buton, dan lain-lain. Ketika menapakkan tilas-jejak di bumi Cendrawasih, kita berasyik-masyuk dengan budaya Dani, budaya Asmat, budaya Ekagi, budaya Waropen, dan lain-lain. Selanjutnya, sewaktu menyusuri wilayah selatan Indonesia, kita niscaya bersua budaya Sunda, budaya Jawa, budaya Bali, budaya Sasak, budaya Bima, budaya Rote, budaya Sumba, budaya Sabu, budaya Bajawa, dan lain-lain.Budaya-budaya lokal tersebut kian tampak kaya dan elok oleh matra-matra historis, sosiologis, sosiokultural, dan religiokultural. Oleh karena itu, sungguh, betapa luar biasa indah memukau-menakjubkan-mengesiapkan keanekaragaman dan kemajemukan atau kebhinekaan budaya di Indonesia, yang menjelma sebuah panorama ratna budaya nan permai tak tepermanai.

Memang, tak bisa dipungkiri, Indonesia berdiri atau terbentuk di atas pertiwi yang sudah lebih dahulu memiliki budaya yang sangat beraneka ragam dan majemuk – yang acap kita sebut budaya daerah, budaya etnis, atau di sini kita sebut budaya lokal. Budaya lokal yang beraneka ragam dan majemuk itu telah menjadi “bahan dasar-pokok yang sangat penting” dalam pendirian dan pembentukan, bahkan pengembangan Indonesia. Kendati desain keindonesiaan kita diwariskan oleh kolonialisme Belanda, tetapi desain keindonesiaan kita yang dikonstruksi oleh para pendiri bangsa dan bapak-ibu bangsa bertumpu pada imajinasi Majapahit atau Nusantara yang menerobos batas-batas desain kolonial Belanda berkat konstribusi budaya lokal dan pencapaian kebudayaan dan peradaban lokal nan gemilang. Itu sebabnya, budaya-budaya lokal menjadi bagian terpadu desain keindonesiaan kita atau Budaya Indonesia kita. Secara yuridis-formal, sebagaimana telah disuratkan secara gamblang dalam Undang-undang Dasar 45, budaya-budaya lokal itu sudah ditetapkan sebagai bagian terpadu keindonesiaan kita yang berarti pengakuan dan penerimaan keanekaragaman dan kemajemukan budaya. Karena itu, keberadaan, kelangsungan, dan kelanggengan Indonesia pun pasti beralaskan keanekaragaman dan kemajemukan budaya termasuk budaya-budaya lokal.

Itu sebabnya, budaya-budaya lokal menjadi bagian terpadu desain keindonesiaan kita atau budaya Indonesia kita.

Hal tersebut sudah menjadi suatu keniscayaan bagi Indonesia, yang tidak bisa ditolak, diingkari, dan atau dinafikan oleh siapapun manusia Indonesia – bahkan oleh bangsa lain. Pengingkaran, penolakan, apalagi penafian akan keanekaragaman dan kemajemukan budaya di Indonesia bisa meruntuhkan, malah melenyapkan “bangunan” Indonesia kita. Bukankah guncangan-guncangan budaya acap terjadi dan notabene telah merawankan bangunan keindonesiaan kita? Namun, Indonesia tetap eksis dan keindonesiaan tetap nyata, tak sampai runtuh. Mengapa demikian? Ini karena keanekaragaman atau kemajemukan budaya dan keindonesiaan sudah berkoeksistensi, bersimbiose mutualisme, membentuk jejaring budaya yang bertali-temali, bukan sekadar berkelindan.

Maka, benar belaka ketika nenek moyang kita dahulu secara cerdik-jitu mengungkai dan mengumandangkan sesanti: bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangruwo! Ini semua menyiratkan pesan bahwa landasan pluralisme dan multikulturalisme budaya telah membuat Indonesia tetap bertahan dan akan membuat kokoh-langgeng Indonesia pada masa depan. Karena itu, pluralisme dan multikulturalisme budaya perlu menjadi asas keindonesiaan  sekaligus, menjadi wawasan pembentukan dan penguatan keindonesiaan kita; pluralisme dan multikulturalisme budaya harus menjadi asas segenap lapangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, misalnya kehidupan politik, ekonomi, sosial, dan hukum.

/2/

Di bawah naungan terang asas pluralisme dan multikulturalisme budaya tersebut kita bisa memandang, menempatkan, dan memperlakukan beratus-ratus budaya lokal di Indonesia sekedudukan, setara, sederajat, dan atau sejajar. Kesetaraan, kesejajaran, dan kesederajatan budaya-budaya lokal itu niscaya dapat menjadi ragi tumbuhnya penghayatan, pemahaman, sikap, dan atau perilaku saling menghargai/menghormati budaya yang berbeda-beda di Indonesia di kalangan pemangku budaya. Lebih lanjut, hal tersebut dapat mengikis, malah dalam jangka panjang bisa menghilangkan prasangka sosial budaya yang acap masih merebak di Indonesia. Pada tahapan berikutnya niscaya akan tumbuh penghormatan atas hak hidup budaya di Indonesia khususnya budaya lokal.

Selanjutnya itu semua bakal mendorong berkembangnya kemauan dan kemampuan pemangku budaya lokal untuk merantau ke dalam budaya lain dan atau melakukan perantauan budaya (cultural passing over) untuk kemudian pulang kembali (coming back) ke dalam budaya lokal masing-masing dengan pandangan budaya yang segar dan sikap budaya yang konstruktif. Sebagai contoh, pemangku budaya Sasak mau dan mampu merantau ke dalam budaya Jawa yang kemudian berkembang menjadi kebiasaan merantau ke dalam budaya Jawa untuk kemudian kembali ke dalam budaya Sasak dengan pandangan budaya yang lebih segar dan sikap budaya yang sangat konstruktif. Jika semua pemangku budaya lokal di Indonesia dapat atau sudi berbuat demikian, maka keanekaragaman dan kemajemukan budaya Indonesia niscaya bertahan dan terpelihara, bahkan dapat berkembang baik di dalam masyarakat Indonesia. Inilah salah satu wujud kompetensi budaya atau kompetensi multikultural yang dibutuhkan dan perlu dikuasai oleh manusia Indonesia yang “beribu” budaya lokal sangat bermacam-macam; sebuah kompetensi multicultural yang bersari penghormatan kepada beranekaragam dan kemajemukan budaya di Indonesia.

Agar kompetensi multikultural tersebut berkembang secara positif-konstruktif, sudah barang tentu, pengenalan, penghayatan, pemahaman, dan apresiasi multi-budaya atau minimal lintas budaya harus terjadi atau berlangsung secara berkelanjutan, terbuka, dan bermakna di dalam diri manusia Indonesia atau komunitas Indonesia. Manusia Indonesia yang membentuk diri ke dalam gugusan-gugusan komunitas tertentu harus sudi membuka diri – bahkan memperkaya diri –untuk bisa mengenal, menghayati, dan memahami serta mengapresiasi budaya lain yang hidup dan berkembang di Indonesia khususnya budaya-budaya lokal yang beranekaragam dan majemuk. Hal tersebut dapat berlangsung atau terjadi secara intensif dan inspiratif dalam berbagai komunitas manusia Indonesia bilamana tersedia informasi mengenai budaya-budaya Indonesia khususnya budaya-budaya lokal secara memadai-mutakhir. Informasi yang dimaksud dapat berupa cetak dan elektronis, tidak sekadar informasi lisan. Selain itu, juga berlangsung muhibah-mubibah budaya, anjangsana-anjangsana budaya, perjalanan-perjalanan budaya, festival-festival budaya, dan atau apresiasi-apresiasi budaya di antara berbagai komunitas budaya di Indonesia. Ini semua tentu mempersyaratkan adanya politik (ke)budaya(an) yang multikultural dan pluralistis.

Dalam bingkai politik (ke)budaya(an) yang pluralistis dan multikultural itulah dapat tumbuh-berkembang subur – mengutip istilah Umar Kayam – semangat budaya yang pluralistis dan multikultural pada semua gugusan komunitas manusia Indonesia. Dalam semangat budaya seperti itulah tak ada lagi prasangka budaya, tak ada lagi perasaan inferioritas atau seperioritas budaya, tak ada lagi perasaan ketidakberdayaan budaya, dan atau tak ada lagi konfrontasi-agresi-hegemoni (perbenturan-penyerangan-penistaan) antar-budaya; yang ada saling menjunjung-menghormati antar-budaya, saling menghidupi-mengembangkan antar-budaya, saling memperkaya-memperelok antar-budaya, dan atau kolaborasi-sinergi antar-budaya serta solidaritas antar-budaya di Indonesia. Kendati mungkin dianggap utopia atau mimpi semata bagi banyak orang, hal tersebut jelas merupakan keadaan dan suasana budaya yang kita rindukan. Beralaskan hal tersebut kita dapat menempatkan budaya Jawa. Penempatan budaya Jawa seperti tersebut akan menampakkan adanya semangat budaya pluralistis dan multikultural yang sekaligus membuktikan berjalan atau berfungsinya politik budaya yang pluralistis dan multikultural.

Dalam bingkai politik (ke)budaya(an) yang pluralistis dan multikultural itulah dapat tumbuh-berkembang subur – mengutip istilah Umar Kayam – semangat budaya yang pluralistis dan multikultural pada semua gugusan komunitas manusia Indonesia.

/3/

Dalam konteks politik budaya yang pluralistis dan multikultural,  harus diakui dengan jujur-jernih bahwa jagat kebudayaan jawa sangatlah beranekaragam, majemuk, dan luar biasa kaya yang membentuk berbagai-bagai gugusan budaya Jawa; budaya Jawa tidaklah homogen, singular, monolitis, monodimensional, monodiversitas, atau monokultural sebagaimana pada umumnya dipahami. Secara geokultural, sosiokultural, religiokultural, historis, sosiologis, dan dimensional, budaya Jawa menampakkan kekayaan, keapikan, dan keelokan luar biasa. Betapa tidak! Secara sosiologis, kita bisa menyaksikan gugusan-gugusan budaya Jawa di dalam lingkaran konsentris pemerintahan Jawa masa lampau [Kerajaan Mataram] dan di luar lingkaran konsentris Kerajaan Mataram [sabrang – sabrang watan], budaya Jawa pusat dan pinggiran, budaya Jawa pedalaman dan pesisiran, dan budaya Jawa perdesaan dan perkotaan.

Secara historis, kita dapat menyaksikan gugusan-gugusan budaya Jawa pada masa pra-Hindu-Budha, pada masa Hindu-Budha, pada masa Islam, pada masa kolonialisme Barat [ekspansi bangsa Barat], dan pada masa negara-bangsa Indonesia, yang masing-masing saling menyatakan-menegaskan diri sekaligus saling mempengaruhi-meluluhkan diri ke dalam totalitas budaya Jawa. Secara religiokultural, kita bisa menyaksikan gugusan budaya Jawa komunitas santri dan abangan serta komunitas lain; secara sosiokultural, kita melihat gugusan budaya Jawa komunitas priyayi [tradisi besar] dan komunitas orang biasa (wong cilik) [tradisi kecil] serta komunitas menengah yang sedang tumbuh atau komunitas keraton yang terus bertahan; dan secara geokultural kita mendapati gugusan budaya Jawa Bagelan, budaya Jawa Cirebon-an dan Tegal-an, budaya Jawa Mataraman, budaya Jawa sabrang wetan [Jawa Timur-an, budaya Jawa komunitas transmigran, budaya Jawa Tondano, budaya Jawa Deli-Serdang, dan lain-lain.

Selain itu, secara dimensional-holistis, kita juga dapat menyaksikan sistem material [ekonomi dan teknologi] budaya Jawa, sistem sosial budaya Jawa, dan sistem simbolis [sistem gagasan, sistem makna, dan sistem nilai] budaya Jawa. Di samping memiliki pelbagai kesamaan-kemiripan, gugusan-gugusan budaya Jawa tersebut tentulah memiliki perbedaan-perbedaan yang jelas. Kesamaan-kemiripan budaya Jawa terjadi pada tataran “doktrin”, pesan dasar, visi dasar atau common platform, sedangkan perbedaan terjadi pada ranah dan matra aktualisasi, artikulasi, institusionalisasi, dan atau kontekstualisasi “doktrin” atau visi dasar budaya Jawa. Ini semua menunjukkan panorama “ke-ratna-mutu-makinam-an” budaya Jawa yang semburat apik.

Antara doktrin utama atau visi dasar nilai budaya Jawa dan aktualisasi-artikulasi-kontekstualisasi nilai budaya Jawa sebagaimana disebut di atas jelas ada jalinan hubungan yang menyatu, padu, dan tak terpisahkan. Dikatakan demikian sebab – meminjam istilah filsafat perenialnya Hossein Nasr – doktrin utama, pesan dasar atau visi dasar dengan aktualisasi-artikulasi-kontekstualisasi budaya Jawa selalu membentuk hubungan yang banyak dalam yang satu (the many in the one) dan sebaliknya hubungan yang satu dalam yang banyak (the one in the many). Lebih lanjut, hal ini membuktikan bahwa pada satu sisi terdapat pluralitas dan multikulturalitas. budaya Jawa pada tataran artikulatif-kontekstual, tetapi pada sisi lain terdapat singularitas dan homogenitas budaya Jawa pada tataran doktriner atau visi dasar. Singularitas dan homogenitas budaya Jawa pada tataran doktriner atau visi dasar secara niscaya menjadi common platform bagi pluralitas dan multikulturalitas budaya Jawa pada tataran artikulatif-kontekstual. Pluralitas dan multikulturalitas budaya Jawa pada tataran artikulatif-kontekstual tersebut bisa memberi kontribusi berarti atau bermakna pada kebersatuan-keutuhan budaya Jawa pada doktriner atau visi dasar.

Lebih jauh, hal tersebut di atas mengimplikasikan bahwa terdapat hubungan dinamis dan dialektis dalam budaya Jawa. Setidak-tidaknya ada 2 (dua) macam hubungan  dinamis dan dialektis, yaitu sebut saja hubungan vertikal dan horizontal. Pertama, secara vertikal, doktrin utama atau visi dasar nilai budaya Jawa dapat dibayangkan selalu berhubungan dinamis dan dialektis dengan artikulasi, dan atau kontekstualisasi nilai budaya Jawa. Bagaimanakah hubungan dinamis dan dialektis itu bisa berlangsung? Pada suatu saat, doktrin utama atau visi dasar nilai budaya Jawa dapat menjadi kompas, pumpunan, kemudi atau orientasi perubahan-perubahan transformatif budaya Jawa pada tataran aktual, artikulatif, dan atau kontekstual. Di sini aktualisasi, artikulasi atau kontekstualisasi nilai budaya Jawa bertransformasi sedemikian rupa tanpa harus mengubah, memengaruhi atau menggeser doktrin utama atau visi dasar nilai budaya Jawa. Misalnya, perubahan aktualisasi, artikulasi atau kontekstualisasi konsepsi toleransi dalam budaya Jawa tidak mengubah atau tidak memengaruhi doktrin nilai toleransi dalam budaya Jawa.

Di sini aktualisasi, artikulasi atau kontekstualisasi nilai budaya Jawa bertransformasi sedemikian rupa tanpa harus mengubah, memengaruhi atau menggeser doktrin utama atau visi dasar nilai budaya Jawa.

Akan tetapi, pada saat lain, bisa terjadi perubahan dinamis dan dialektif budaya Jawa pada tataran artikulatif dan kontekstual yang justru memengaruhi, mengubah, menggeser atau justru memperkaya doktrin utama atau visi dasar budaya Jawa. Di sini perubahan aktualisasi, artikulasi, dan atau kontekstualisasi budaya Jawa mampu menggoyahkan, meruyakkan, menggeser, memperkaya, memperluas, dan atau mempercanggih doktrin utama atau visi dasar budaya Jawa. Misalnya, perubahan aktualisasi, artikulasi atau kontekstualisasi nilai keperwiraan atau keutamaan dalam budaya Jawa membuat nilai tersebut diterima sebagai doktrin atau visi dasar budaya Jawa; atau artikulasi atau kontekstualisasi konsepsi ngluruk tanpa bolo menang tanpa ngasorake yang dicetuskan oleh Sosrokartono telah memperkaya etika keutamaan dalam doktrin atau visi dasar budaya Jawa.

Selain itu, kedua, secara horizontal hubungan dinamis dan dialektis juga dapat terjadi pada tataran aktualisasi, artikulasi, dan kontekstualisasi budaya Jawa dalam konteks geografis, geokultural, sosiokultural, sosiologis, dan historis. Secara geokultural, misalnya, gugusan budaya Jawa varian Mataraman memengaruhi, menggeser, bahkan mengubah gugusan budaya Jawa varian Arek karena demikian intensifnya mobilitas dan migrasi manusia Jawa Mataraman ke wilayah-wilayah budaya Jawa varian Arek. Demikian juga secara religiokultural, perjumpaan budaya Jawa varian santri dengan varian abangan telah membuat budaya Jawa varian abangan dipengaruhi, diperkaya, atau diubah oleh budaya Jawa varian santri. Bukti hal ini dikemukakan oleh Max Woordward dalam tulisan The Slametan: Textual Knowledge and Ritual Performance in Javanese Islam di mana doa (donga) slametan atau kenduren yang lazim dilaksanakan oleh kalangan abangan selalu membutuhkan kalangan santri [karena santri dianggap paling otoritatif dalam soal donga] pada satu pihak dan pada pihak lain kalangan santri selalu menerimanya.

Selain itu, secara sosiologis, perjumpaan budaya Jawa varian pusat [tradisi besar ala Refieldian] dengan budaya Jawa varian pinggiran [tradisi kecil ala Refieldian] telah membuat tradisi kecil Jawa merembes, menggeser, memperkaya, bahkan mengubah tradisi besar seperti terlihat pada berbagai bentuk kesenian. Selanjutnya, sebagai contoh berikutnya, secara historis berkembangnya budaya Jawa varian Islam telah memengaruhi, membongkar, menggeser, bahkan mengubah sekaligus menggantikan budaya Jawa varian Hindu-Buddha seperti ditunjukkan oleh Nancy K. Florida dalam tulisan Pada Tembok Keraton Ada Pintu: Unsur Santri dalam Dunia Kepujanggaan “Klasik” di Keraton Surakarta.

Selain itu, secara sosiologis, perjumpaan budaya Jawa varian pusat [tradisi besar ala Refieldian] dengan budaya Jawa varian pinggiran [tradisi kecil ala Refieldian] telah membuat tradisi kecil Jawa merembes, menggeser, memperkaya, bahkan mengubah tradisi besar seperti terlihat pada berbagai bentuk kesenian.

Dinamika dan dialektika hubungan di antara gugusan-gugusan atau varian-varian budaya Jawa – baik pada tataran doktriner atau visi dasar maupun pada tataran aktualisasi-artikulasi-kontekstualisasi – sebagaimana dikemukakan di atas jelas menunjukkan adanya transformasi budaya Jawa. Dalam pidato pengukuhan guru besar bertajuk Transformasi Budaya Kita [1989], Umar Kayam menunjukkan lekuk-liku proses transformasi budaya Jawa. Menurut Kayam, transformasi budaya Jawa relatif berhasil dalam batas-batas tertentu, tetapi juga berlangsung gamang dan kikuk, bahkan susah penuh masalah dalam hal-hal tertentu kendati pada akhirnya masalah itu dapat diatasi. Demikian juga Simuh dalam buku bertajuk Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa [KPG, 2019] telah memperlihatkan proses transformasi nilai religius budaya Jawa yang relatif berjalan mulus dan cukup berhasil meskipun ketegangan-ketegangan kecil terjadi yang kemudian dapat diatasi atau diselesaikan.

Sedangkan berlangsungnya transformasi budaya Jawa terutama nilai budaya Jawa ini jelaslah merupakan pertanda positif-konstruktif bagi budaya Jawa. Dikatakan demikian karena semua budaya – termasuk budaya Jawa – yang ingin eksis-kokoh secara terus-menerus dan berkelanjutan pasti mampu melaksanakan transformasi budaya secara kreatif-inovatif. Di samping itu, juga karena adanya transformasi budaya Jawa tersebut menandakan bahwa budaya Jawa mampu melaksanakan fitrah dan perintah kesejarahan setiap budaya, yaitu fitrah dan perintah untuk secara berkala bersedia bertransformasi. Budaya apapun dan manapun yang tidak bersedia, tidak mampu atau malah gagal bertransformasi niscaya bakal mundur, tenggelam, atau malah mati sebagaimana sudah terbukti pada budaya-budaya besar yang berjaya pada masa lalu.

Sedangkan berlangsungnya transformasi budaya Jawa terutama nilai budaya Jawa ini jelaslah merupakan pertanda positif-konstruktif bagi budaya Jawa.

Kemampuan budaya Jawa bertransformasi – termasuk mengatasi masalah-masalah seperti disintegrasi, disorientasi, dislokasi atau malah inersei budaya Jawa – membuktikan bahwa budaya Jawa masih tetap hidup dan eksis-kokoh pada satu sisi dan pada sisi lain membuktikan tumbuh atau berkembangnya kreativitas dan inovasi dalam budaya Jawa di tengah konteks keindonesiaan dan kesejagatan. Dari sini jelaslah bahwa kreativitas dan inovasi budaya itulah yang telah membuat budaya Jawa mampu bertransformasi, mampu mengatasi disintegrasi, disorientasi, dislokasi, dan bahkan involusi yang muncul selama proses transformasi budaya Jawa. Memang, tak bisa dipungkiri, dalam setiap transformasi budaya Jawa pasti terjadi disintegrasi, disorientasi, dan atau dislokasi budaya Jawa karena transformasi budaya Jawa pasti dimulai dengan pelapukan, peruyakan, perusakan, dan pembongkaran unsur-unsur atau aspek-aspek budaya Jawa yang hendak mengalami transformasi. Akan tetapi, hal tersebut tidak sampai mengakibatkan disintegrasi, disorientasi, dan atau dislokasi berkepanjangan dan berlarut-larut serta menuju jalan buntu; tidak sampai juga menimbulkan – meminjam istilah Clifford Geertz dalam buku Involusi Pertanian [Penerbit Bharata, 1983; Komunitas Bambu, 2018] – persoalan involusi budaya Jawa berkat berfungsi dan berperannya kreativitas dan inovasi dalam budaya Jawa. Jadi, kunci utama keselamatan dan keberhasilan suatu transformasi budaya – dalam hal ini transformasi budaya Jawa – adalah kreativitas dan inovasi budaya Jawa; ini berarti daya-cipta dan daya-temu budaya Jawa menjadi ruh atau jiwa transformasi budaya Jawa.

Tentu saja tidak hanya budaya Jawa, kreativitas dan inovasi budaya harus juga dikandung-dimiliki oleh budaya-budaya lokal di Indonesia yang demikian beraneka ragam, berwarna-warni dan majemuk. Mengapa demikian? Hal ini diperlukan oleh budaya-budaya lokal agar budaya-budaya lokal itu mampu melaksanakan transformasi budaya seperti halnya budaya Jawa. Kemampuan budaya-budaya lokal bertransformasi menandakan budaya-budaya lokal itu tetap hidup dan eksis-nyata di tengah-tengah konteks keindonesiaan dan kesejagatan. Untuk itu, sebagai condition sine qua non, kreativitas dan inovasi budaya harus ditumbuhkan, dikembangkan, dan dikuatkan dalam budaya-budaya lokal di Indonesia dengan berbagai jalur, media, dan siasat. Hidup, tumbuh, dan atau berkembangnya kreativitas dan inovasi dalam budaya-budaya lokal niscaya bakal membuat budaya-budaya lokal itu selamat dan berhasil bertransformasi sehingga bisa berfungsi secara optimal bagi para pemangku budaya lokal. Bilamana semua budaya lokal – tidak hanya budaya Jawa – mampu bertransformasi secara selamat dan berhasil berkat dorongan kreativitas dan inovasi, maka keanekaragaman dan kemajemukan budaya di Indonesia terwujud, terpelihara, dan terjaga.

Lebih lanjut, hal ini berarti pluralisme dan multikulturalisme budaya di Indonesia menjadi kian kuat-kokoh menghidupi keindonesiaan kita di tengah kelokalan dan kesejagatan (glokalisasi). Karena itu, obor kreativitas dan inovasi budaya harus terus-menerus dinyalakan-dibarakan demi terjaganya pluralisme dan multikulturalisme budaya.Di sini dapat dikatakan, berhubung budaya Jawa sudah berusaha menyalakan-membarakan obor kreativitas dan inovasi budaya Jawa sehingga mampu eksis-kokoh secara multicultural dan plural, maka budaya-budaya lokal lain dan budaya nasional Indonesia [kalau memang ada secara de facto] juga harus berusaha keras-cerdas dan sekuat daya-upaya menyalakan-membarakan obor kreativitas dan inovasi budaya supaya juga hidup-eksis secara multicultural dan plural. Kreativitas dan inovasi budaya di sini menjadi “motor atau mesin utama” transformasi budaya yang berasaskan multikulturalisme dan pluralisme. Di sinilah perhitungan budaya berlangsung. Di sini pulalah pertaruhan budaya kita lakukan: pluralisme dan multikulturalisme budaya di Indonesia tetap terjaga atau tenggelam-mati, menjelma monokulturalisme dan singularisme budaya di Indonesia. Kita harus hati-hati dalam hal ini karena taruhan kita adalah keindonesiaan dan kebangsaan kita.

 

“Mbuh mas saiki akeh wong do ilang jawane, cah cilek-cilek wes ilang toto kromone, dikandani angel, agomo seng dadi cekelane urip malah seneng di nggo nyalah-nyalahke liyane” demikian tutur Simbah salah satu warga Guyangan lor desa di Gunung Kidul.

Mendengar perkataan dari Simbah yang sehari-harinya hidup sebagai petani di dataran tinggi Gunung Kidul di atas, saya sebagai anak muda menghelakan nafas dan sejenak berfikir. Apakah demikian kalut-nya kondisi sosial kebudayaan kita hari ini? Desa sebagai tempat tinggal, sumber Kearifan dan keluhuran budi, benarkah sekarang mengalami distorsi dan peminggiran kebudayaan sedemikian rupa, sehingga keluh kesah dengan spontan tersebut muncul.

Dengan pelan saya mencoba menyelami lebih jauh, seperti apa sebenarnya kondisi sosial kebudayaan yang terjadi di sebuah pedesaan di dataran tinggi Gunung Kidul tersebut, tempat di mana saya sedang menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN) selama 2 bulan, belajar kembali menemukan serpihan diri.

Bagi masyarakat Jawa, terutama di kalangan orang-orang tua, nilai dan etika Jawa memang menjadi perhatian yang sangat serius. Bagi mereka, manusia yang nJawani  atau orang yang bisa diangap memenuhi kriteria sebagai manusia Jawa adalah pertama, orang yang mempunyai kecakapan budi dengan manusia yang lain, Tata krama, unggah-ungguh, sebagai konsekuensi hidup bebrayan (bermasyarakat). Kedua, juga kemantapan mental, seperti nilai-nilai filosofi yang menjadi lelaku, laku, atau suluk untuk menopang kehidupan manusia menghadapi kasunyatan, (realitas hidup) dari mulai dilahirkan sampai ajal kematian datang. Seperti tepo sariro, nrimo ing pandum, sabar, wang sinawang,  dan banyak lagi. (Baca: Saya, Jawa, dan Islam karya Irfan Afifi, 2019)

Namun semua itu berbanding terbalik dengan manusia Jawa hari ini, terutama yang sudah terlanjur mengenyam dunia pendidikan modern, dengan logika positivistik, yang serba logis, rasional dan material. Dua hal yang sudah disebutkan di atas mungkin tidak dianggap sebagai suatu hal yang penting mempengaruhi gerak hidup masyarakat. Karena memang bersifat abstrak dan tidak kongkrit, paling mentok hal-hal tersebut dibicarakan dalam diskursus mimbar akademik yang sangat berjarak dengan kehidupan masyarakat. Dan parahnya, kalaupun hal tersebut dibicarakan, bukan dalam rangka mengurai benang kusut persoalan sosial-kebudayaan yang terjadi, ataupun usaha  merumuskan nilai dan jati diri masyarakat agar tumbuh subur, justru nilai-nilai dan laku hidup masyarakat tersebut dibicarakan untuk mendefinisikan atau sekadar eksotisme yang berlebihan.

Semua orang berlomba-lomba untuk menunjukkan bahwa kemuliaan seseorang dilihat dari harta kekayaan yang dikumpulkan, bukan lagi kearifan dan kemaslahatan.

Bagi masyarakat desa sendiri terutama generasi muda, arus pembicaraan mereka berkutat kepada cara bagaimana memenuhi kebutuhan ekonomi, sistem nilai semua dikerahkan dan dipaksakan untuk sesuai logika dasar ekonomi, siapa cepat ia dapat, rugi atau untung, kalah atau menang. Semua orang berlomba-lomba untuk menunjukkan bahwa kemuliaan seseorang dilihat dari harta kekayaan yang dikumpulkan, bukan lagi kearifan dan kemaslahatan. Dan itu terjadi di hampir semua aspek kehidupan, baik lapangan politik, budaya bahkan agama.

Bisa dilihat dan dirasakan, gesekan, tarik- menarik tersebut terjadi sangat kerasnya antara nilai Modernitas dan lokalitas di tengah masyarakat pedesaan terutama dikalangan para orang tua dan pemuda. Seperti keluhan yang saya kutip di awal tulisan ini, simbah yang  berkeluh kesah tersebut merepresentasikan orang tua, yang pernah merasakan tiga zaman, kemerdekaan, zaman peralihan orde lama ke Orde Baru dan reformasi sampai hari ini, dan beliau menegaskan bahwa Inilah zaman ketika wong jowo wes ilang jawane mas, sementara para anak muda hari ini menjawab, wes mbah ora usah aneh-aneh, saiki mikerke awakke dewe-dewe wae, kerjo seng mempeng go luru seneng. Tanpa ada tutur kata yang lembut dan bersahaja. Si mbah yang bertanya pun mengambil nafas yang dalam, sambil diam sejenak dan kedua mata berkaca.

Desa dan Kearifan 

Desa sebagai unit lembaga masyarakat terkecil ke-4 setelah keluarga, RT dan RW, sebenarnya mempunyai mekanisme secara naluriah, tatanan hukum yang tak tertulis bagi masyarakat untuk membentengi warganya dari gempuran nilai-nilai baru yang tidak produktif. Selain itu, Desa, padukuhan, kampung atau semacamnya yang merupakan institusi asli masyarakat Nusantara ini juga mempunyai modal sosial yang tak terkira jumlahnya, sebagai khazanah kearifan menopang jalannya hidup bersosial dan bermasyarakat. 

Hukum sosial dan hukum adat contohnya. Ketika salah satu anggota masyarakat melakukan suatu kesalahan di tengah masyarakat, hukum sosial tersebut dijalankan namun tidak secara formal, ada kesalahan kemudian ada hukuman tapi lebih kepada kesadaran diri, seperti kata-kata saru, kwalat, ora elok, pantangan Mo Limo, yang digunakan sebagai alat untuk menghukumi anggota  masyarakat yang melakukan perbuatan, yang tidak baik dan tak terpuji. (RM. Sosrokartono, Sangkan Paraning Dumadi) 

Dengan adanya sistem bahasa yang berjangkar kuat di laku hidup masyarakat ini, secara tidak sadar saksi tersebut menjadi tata nilai, pengetahuan dan laku bersama yang tidak semata bersifat hitam putih, benar dan salah, namun selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan. Artinya dengan melakukan nilai dan ajaran-ajaran tersebut manusia tidak hanya akan menjadi tertib sosial namun juga akan menjadi tertib diri, karena sesuai dengan Fitrah  manusia yang suka terhadap keindahan dan menolak kerusakan. 

Selain sistem nilai hukum di atas yang berfungsi sebagai jaring pengaman masyarakat, desa juga mempunyai modal sosio-kutural sebagai penopang pembangunan manusia, ekonomi dan demokrasi. (Baca: Desa Membangun Indonesia; 2014). Adanya acara seperti sambatan, kerja bakti, ngalong, rewang, tahlilan, yasinan, kenduren, kajatan dan selametan, merti dusun, rasulan menjadi konsepsi dunia di kalangan orang Jawa yang kemudian menjadi tatanan. Bagi masyarakat pedesaan terutama masyarakat Jawa, bahwa kehidupan di alam semesta merupakan tatanan semesta. Relasi antar setiap elemen dengan elemen yang lain adalah perwujudan sebuah sistem jaringan dan watak keterhubungan setiap elemen pada jaringan tersebut, dan saling bergantung. (Baca: Dadi Wong Wadon, 2015)

Dunia batin dan pikiran masyarakat jawa ini kemudian menggerakkan masyarakat untuk selalu merekatkan hubungan, menciptakan komitmen sosial, tatanan beserta tuntunan bagi masyarakat untuk  menjaga dan mengembangkan kehidupan bersama. Dan, inilah sebenarnya modal sosial yang kuat menghujam, tidak semata pengetahuan namun juga konsekuensi logis dari hidup bermasyarakat di desa.

Sejauh dari pengalaman saya sendiri srawung dengan anak-anak desa tempat saya belajar, apa yang saya gelisahkan ini sangat jarang menjadi tema pembicaraan mereka, atau bahkan cenderung diremehkan.

Pertanyaannya sejauh ini adalah, apakah sumber-sumber kearifan yang seperti ini juga menjadi perhatian bagi masyarakat dewasa ini. Bagaimana anak muda sebagai pemegang estafet kepemimpinan masa depan di desa-desa mereka, melihat potensi yang demikian, apakah akan selalu mengembangkan dengan mempelajarinya, atau justru meninggalkan atau membiarkannya tetap hidup dengan kekeringan makna, atau lenyap semata akan menjadi cerita dongeng bagi anak cucunya. Sejauh dari pengalaman saya sendiri srawung dengan anak-anak desa tempat saya belajar, apa yang saya gelisahkan ini sangat jarang menjadi tema pembicaraan mereka, atau bahkan cenderung diremehkan. Pembicaraan yang berkaitan dengan kehidupan sosial-budaya hanya sebatas ke-budaya-an sebagai bentuk dan seremoni, seperti perayaan, seni pertunjukan dan ritual-ritual yang sudah kehilangan fungsi aslinya. Karena memang pembicaraan dan diskursus yang berkaitan dengan hal tersebut minim dan cenderung tidak ada sama sekali.

Religiusitas Kaum Pedesaan

Pada dasarnya agama memang tidak hanya membahas urusan-urusan langit, yang mengajarkan manusia kepada pencapaian-pencapaian surga. Namun sejak awal, fungsi agama adalah pembebasan bagi masyarakat, menjawab persoalan-persoalan di bumi. Seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad sang pembawa wahyu, sebelum sang Nabi memberikan peringatan dan perintah-perintah Allah, terlebih dahulu yang dikerjakan Nabi adalah memberikan perhatian yang penuh terhadap problem-problem sosial dan kemanusiaan, mengangkat derajat budak dan para perempuan.

Melihat ukiran sejarah yang diciptakan Nabi sebagai panutan kita bersama ini, bisa dipastikan ketika semua umat Islam meneladani nabi, kehadiran agama di tengah kehidupan akan menemukan fungsi dan relevansinya di tengah masyarakat. Agama akan menjadi dinamisator dan fasilitator terhadap kehidupan serta mampu menjawab problem sosial yang ada, bukan malah memicu munculnya sebuah konflik di tengah masyarakat.

Tapi faktanya agama dan umat beragama akhir-akhir ini menampakkan wajah yang berbeda. Seperti yang diuraikan di atas, agama tidak lagi berfungsi sosial dan kemanusiaan, tapi justru sebaliknya religiusitas seseorang menjadi pemicu adanya konflik dan problem sosial di tengah masyarakat. Kasus dan isu-isu fundamentalisme agama, radikalisme berbasis agama, politisasi ayat serta kapitalisasi produk bernada syari’ah dan hijrah menjadi hal sangat marak kita temui belakangan ini, tidak ketinggalan juga mulai muncul gejalanya di kehidupan desa. Meskipun sebenarnya isu ini sangat elitis, di masyarakat akar rumput getaran dan gesekannya semakin kesini semakin terasa. Inilah yang sering kita temui dan rasakan di tengah masyarakat, tempat di mana kita KKN.

Nilai-nilai agama yang sebenarnya bisa menjadi tenaga dan justifikasi untuk menjawab problem-problem sosial, terasa tumpul dan tidak berdaya untuk memberikan solusi atau minimal mengurai benang kusut berbagai persoalan di tengah masyarakat. Kehidupan 2 bulan di dataran tinggi Gunung Kidul, memberikan pelajaran penting sekaligus cambuk yang sangat berharga, menurut saya, terutama bagi kalangan Akademisi, Sarjana Agama, dan para pemuka agama untuk dapat memikirkan hal ini. di tengah hidup yang serba keterbatasan sumber daya, alam, manusia, dan ekonomi, di pedesaan Gunung Kidul, yang terlihat, isu-isu Agama justru menciptakan ketegangan di tengah masyarakat.

Nilai-nilai agama yang sebenarnya bisa menjadi tenaga dan justifikasi untuk menjawab problem-problem sosial, terasa tumpul dan tidak berdaya untuk memberikan solusi atau minimal mengurai benang kusut berbagai persoalan di tengah masyarakat.

Berawal dari isu-isu elit yang terpaksa mereka dapatkan dari berbagai media, pemahaman keagamaan yang kurang mendalam, provokasi yang memang diciptakan dari kelompok Islam puritan dan radikal, semakin menciptakan ketegangan tersebut menjadi-jadi. Konflik-konflik yang awalannya semata perbedaan cara memahami agama, bagaimana mempraktikkan pemahaman agama yang mereka yakini, dan tafsiran-tafsirannya. menjadi isu politik yang memunculkan polarisasi sosial di tengah masyarakat, kegelisahan yang terpendam dan tak tahu kepada siapa mereka harus mengadu dan menceritakan.

Apalagi dalam konteks Religiusitas Masyarakat Jawa, yang menampakkan percampuran agama dan Budaya menjadi entitas  yang tak bisa terpisahkan. Islam sebagai agama mayoritas dalam sejarahnya masuk di kepulauan Nusantara memang menggunakan media budaya masyarakat setempat untuk mengajarkan nilai dan ajarannya. Para wali yang tercatat sebagai ulama pertama  yang membawakan Islam ke Jawa kemudian mengelaborasi ajaran Islam disesuaikan dan dipadupadakan dengan budaya yang sudah ada di tengah masyarakat saat itu.

Pada perkembangan selanjutnya corak keberagamaan yang memadukan antara budaya dan Islam inilah yang membentuk praktik dan corak keberagamaan tersebut muncul dengan ekspresi dan bentuk yang berbeda dengan apa yang ada di Timur tengah. Namun dengan bentuk perpaduan yang dinamis ini banyak kalangan umat Islam yang muncul belakangan malah justru menyalah-nyalahkan, menyerang dengan slogan, bid’ah, syirik, dan semacamnya.

Dengan situasi yang demikian kehidupan sosial kebudayaan di tengah masyarakat yang selama ini berjalan dengan aman dan wajar karena beriringan dengan konteks kebutuhan masyarakat, sesuai dengan alam batin dan pikiran manusia dimana agama Islam di peluk, menjadi semakin kusut dan rumit, dan pada akhirnya banyak dari masyarakat yang dulu bersiteguh dengan adat dan sekaligus mengamalkan ajaran Islam dalam balutan kebudayaan menjadi mengambang dan tak tahu arah, cenderung bersifat apatis dan pragmatis.  

Tradisi, Adat Istiadat Alternatif Jawaban

Melihat dinamika sosial keagamaan yang demikian kiranya penting diskursus kebudayaan digalakkan kembali, kalau perlu ditumbuh-kembangkan dalam arus pembicaraan akademik maupun non-akademik secara produktif sampai memunculkan sebuah konsep gerakan sosial berbasis kebudayaan. Mengapa demikian, sejauh pengalaman penulis kehidupan di desa yang kaya dengan instrumen sosial dan budaya seperti yang sudah di babar di awal tulisan ini, sebenarnya tidak hanya sebagai festival sosial-budaya yang bersifat seremonial semata, namun di sinilah nilai-nilai agama yang substantif terutama Islam tersimpan dan kemudian menjadi laku masyarakat. 

Terutama di masyarakat Jawa, semenjak Islam masuk ke tanah Jawa dibawa oleh para Wali Sanga di awal abad-14, percampuran selaras dan berimbang antara tradisi, adat istiadat, dengan nilai-nilai Islam menjadi corak yang unik dan kontekstual. (Saya, Jawa dan Islam, Irfan Afifi, 2019)

Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi akhlakul karimah muncul dengan ekspresi yang berwarna dengan karakteristik yang tidak lagi mendikotomikan lagi antara budaya dan nilai-nilai agama. Namun di antara keduanya saling menopang, berjalan beriringan, dan pada tahap selanjutnya ketika semua anggota masyarakat menjalankan dan menjaga Adat Istiadat yang ada, tanpa disadari mereka sudah menjalankan perintah Allah swt,  sekaligus mempraktikkan nilai-nilai Islam yang rahmatallilalamin di tengah kehidupan bersama. Pada sisi ini, religiusitas dan budaya  kaum pedesaan terutama agama Islam selayaknya mampu menjadi jawaban atas kebuntuan sosial dan tugas kita bersama adalah bagaimana adat dan budaya masyarakat yang masih eksis sampai hari ini, perlu kita jaga dan terus kembangkan. Wallahua’alam

 

Abdul Rohman, Mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Mengabdi di Pondok Pesantren Budaya Kaliopak, Piyungan, Bantul. No WA: 0895379822734

  

 

 

Memahami Jawa~

Tulisan ini tidak saya rangkai untuk menyemprit pihak-pihak atau orang-orang tertentu yang termasuk dalam sasaran wicara saya. Tidak pula ia saya pancangkan sebagai tembakan ke arah pihak atau orang-orang tertentu itu. Sebagaimana ia tidak saya arahkan agar mereka berhenti mengerjakan sesuatu yang menjadi bahan cuilan di dalam tulisan yang saya niatkan untuk mengingatkan diri saya sendiri serta diri orang-orang yang selama ini bergelut dengan saya. Tapi memang tulisan ini berangkat dari peristiwa akhir-akhir ini. Terutama berkaitan dengan para ustadz yang sangat lahap membincangkan banyak hal di luar kompetensi mereka sebagai juru dakwah.

Belakangan, memang ada banyak ustadz yang membicarakan tidak hanya tema terkait keahliannya dalam ilmu agama, melainkan juga hal-hal lain seperti sejarah, budaya, bahkan isu-isu politik internasional. Saya menonton beberapa video ceramah ustadz-ustadz yang membicarakan hal-hal di luar wilayah keilmuannya itu. Ada sisi baiknya. Saya percaya itu. Tapi sejauh ini saya, tentu juga dengan keterbatasan, melihatnya lebih banyak sisi belum baiknya. Malah irama pembicaraan mereka cenderung membangkitkan gairah kebencian dan klaim superioritas golongan. Dua hal yang akhir-akhir ini marak menjadi isi ruang publik masyarakat Indonesia.

Bagaimana mungkin seorang ustadz tiba-tiba membincangkan sejarah nusantara hanya berbekal membaca buku sejarah, yang itupun buku tersebut ia sesuaikan dengan minat ideologinya?

Sederhana saja memahaminya. Bagaimana mungkin seorang ustadz tiba-tiba membincangkan sejarah nusantara hanya berbekal membaca buku sejarah, yang itupun buku tersebut ia sesuaikan dengan minat ideologinya? Bila dianalogikan; apa mungkin dan sahih bagi seorang pembelajar ilmu tentang penyakit untuk menjadi dokter dalam bidang kepenyakitan yang ia khatamkan ilmunya dari buku tersebut? Seharusnya tidak boleh. Tapi belakangan, pintu-pintu kemungkinan terbuka lebih lebar dan bebas. Seorang ustadz hari ini tidak harus lagi memiliki latar belakang pendidikan pesantren. Ia hanya cukup bermodal tradisi menonton ceramah para ustadz dari internet, lalu setelah itu ia memberanikan diri berdakwah ke hadapan umat.

 

Cocokologi Islam dan Jawa~

Ada lagi ustadz yang belakangan ini berceramah tentang asal-usul nama-nama daerah di nusantara, namun, sangat jauh dari asas-asas ilmu penelusuran asal-usul kata, yang biasanya masuk ke dalam bahasan antropologi linguistik. Tentu saja di sana tidak hanya antropologi linguistik yang dibutuhkan untuk melacak sejarah toponimi setiap wilayah. Ia juga harus ditunjang dengan ilmu lain seperti sastra, filologi, arkeologi, sejarah, dan sejenisnya. Ada pula ustadz-ustadz di youtube yang belakangan membincangkan banyak hal. Mulai dari Budaya, sejarah, sejarah Islam terutama, sampai hal-hal yang bersifat mistik-legenda. Khusus dalam uraian mereka tentang kebudayaan Jawa, apa yang kita temukan dari sana ternyata relatif baik dan bermanfaat. Kita jadi terbuka pada dimensi islamis dari fakta-fakta kebudayaan yang selama ini ada dalam kehidupan kita. Hanya saja, ada sisi yang fatal dan vital di sana, yang dibuang begitu saja. Sehingga kebaikan dan kemanfaatannya menjadi hilang atau setidaknya berkurang banyak seketika.

Contoh. Ada ustadz yang mejelaskan sejarah Islam di nusantara. Kita tidak tahu ia mengambil mata kuliah sejarah itu dulu dari mana atau dari siapa dan apa referensinya. Tapi itu kita enyahkan dulu. Ilmu sekarang sangat gampang dijumput dari mana saja. Sepengematan dangkal saya, nanti biasanya tema yang ia bicarakan akan dikaitkan dengan ayat tertentu, hadis tertentu, dan isu-isu politik tertentu pula. Jadi semacam ayatisasi atau pencocokan peristiwa sejarah atau fakta budaya dalam sejarah. Dalil-dalil yang dirasa cocokpun biasanya akan dicocokkan.

Kita tidak bisa mengingkari bahwa nafas Islam ada dalam khazanah kebudayaan kita. Apalagi kebudayaan Jawa. Hanya saja, tentu saja penyimpulan bahwa “ada Islam” di sana tidak secepat itu bisa ditemukan atau diutarakan.

Prihal Budaya~

Di satu sisi itu ada benarnya. Kita tidak bisa mengingkari bahwa nafas Islam ada dalam khazanah kebudayaan kita. Apalagi kebudayaan Jawa. Hanya saja, tentu saja penyimpulan bahwa “ada Islam” di sana tidak secepat itu bisa ditemukan atau diutarakan. Itupun juga harus ditegaskan bahwa sekalipun “ada Islam” di sana, ia tidak tidak “se-islam” itu. Maksud saya, islam yang menjadi nafas kebudayaan itu bukan Islam seperti yang diceritakan sang ustadz tersebut. Bener ning ora pener, kata orang Jawa. Mengapa? Wajah kita hari ini saja bukan wajah kita 20 tahun yang lalu. Islam yang kita amalkan hari ini, meskipun kita menyandarkannya pada jejak keisalam para wali songo misalnya, bukanlah sepersis seperti Islam yang dulu diamalkan oleh para wali songo. Dengan demikian, merupakan kekeliruan pula jika sang ustadz yang membicarakan Islam atau kebudayaan ciptaan wali songo dalam irama Islam ala Sayyid Quthb dan kawan-kawan hebatnya.

Maksud saya begini. Betul bahwa “ketan, kolak, apem” dan mustaka masjid kuno di Jawa yang berbentuk daun “kluwih” itu digunakan oleh para wali dulu untuk menyimbolkan ajaran Islam yang bersumber dari ayat atau hadis tertentu. Cuma, seperti halnya matematika, untuk menemukan ayat-hadis di balik simbol daun kluwih atau ketan-kolak-apem itu, harus ada jalannya. Mengapa “ketan, kolak, apem” itu dijadikan sebagai media untuk mengungkapkan salah dan permohonan maaf (khothoan qola afwan) pada bulan Ruwah? Mengapa pula untuk menerapkan ajaran Islam tentang maaf dan meminta maaf sebelum memasuki bulan puasa itu disimbolkan dengan ketan, kolak, dan apem? Ada apa di balik ketan, kolak, apem? Apa hubungannya dengan ayat-hadis tentang permohonan dan pemberian maaf? Mengapa “daun kluwih” diletakkan sebagai puncak mustaka masjid kuno, yang oleh seorang ustadz, ia disebut merupakan perwujudan dari ayat: dzalika fadhlullah yuktihi man yasya? Apa hubungannya daun kluwih dengan masjid? Mengapa ia diletakkan sebagai puncak mustaka masjid?

Tanpa memahami nalar di balik laku simbolisasi itu, merupakan sesuatu yang sumir untuk “menebak”, “membacakan”, dan melantik ayat-hadis tertentu sebagai landasan bagi sebilah keris, sebungkus nasi uduk, dan sebuah bangunan suci.

Nalar Lokal~

Pasti ada nalar tersimpan di balik laku simbolisasi itu. Tidak serta-merta daun kluwih itu digunakan tanpa Nalar Lokal-tempatan khas Islam Jawa. Begitu juga ketan, kolak, apem. Begitu pula keris dalam coraknya yang khas, aneka kuliner, dan lain-lain semisalnya. Tanpa memahami nalar di balik laku simbolisasi itu, merupakan sesuatu yang sumir untuk “menebak”, “membacakan”, dan melantik ayat-hadis tertentu sebagai landasan bagi sebilah keris, sebungkus nasi uduk, dan sebuah bangunan suci. Sekali lagi, sangat bisa dan sangat boleh untuk mengatakan bahwa semua fakta kebudayaan di Jawa sebagai perwujudan dari ajaran Islam. Tapi nalar yang bekerja di balik simbolisasi itu bagaimana? Mengapa kok daun kluwih dipakai? Kenapa bukan yang lain? Kekenapaan dan kemengepaan itulah yang seharusnya dulu ditemukan. Baru kemudian bisa ditemukan apa ayat-hadis di yang melatarinya.

Jadi, epistemologi lokalnya seharusnya ditemukan dan dibahas dulu. Jika epistemologi lokalnya tidak ditemukan atau tidak diketahui, maka mustahil pula menemukan ayat atau hadis yang berada di balik pekerjaan simbolisasi itu atau menjadi latar dari produk kebudayaan tertentu. Logikanya mudah saja. Karena nalar lokalnya belum ketemu, kok bisa ayat dan hadisnya langsung disebutkan? Jika rasionalitas di balik pengambilan simbol yang nanti dihubungkan dengan ayat atau hadis tidak diketahui, lalu bagaimana mungkin ayat atau hadis tersebut dengan sangat mudah dipakai untuk menjelaskan? Nah, di situlah saya melihat ustadz-ustadz pembahas budaya lokal itu sebagai pelaku cocokologi. Lha wong nalarnya belum ketemu, kok langsung dibuatkan ayat-hadisnya?

 

Tasawuf Jawa~

Sekarang ada pertanyaan baru. Mengapa para ustadz-ustadz yang membincangkan tema-tema di atas langsung menuju ke ayat atau dalil dari Al quran dan hadis? Mengapa mereka tidak melewati penelusuran nalar atau penemuan epistemologi lokalnya terlebih dahulu? Satu hal yang saya tangkap. Mudah-mudahan saya salah. Bahwa rata-rata mereka berasal dari golongan Islam bercorak purifikasi. Sebagaimana jamak diketahui, bahwa mereka sebenarnya anti atau setidaknya kurang bersahabat dengan kebudayaan lokal yang dibangun di atas fondasi tasawuf. Bukan rahasia pula bahwa mereka juga tidak bersetuju dengan tasawuf. Apalagi tasawufnya tasawuf lokal pula. Tasawuf, bagi mereka terhitung bid’ah. Tasawuf lokal lebih-lebih lagi. Kelak, mereka biasanya akan mengamini pendapat para sarjana dari “luar”; bahwa Islamnya orang Jawa adalah Islam Sinkretis, perpaduan Hindu-Budha.

Sulit memahami kebudayaan Jawa dalam penuh-seluruhnya tanpa memahami betul dan menjadi pelaku Tasawuf Jawa.

Pada titik itulah saya dapat memahaminya. Tidak mungkin mereka akan masuk ke dalam samudera tasawuf, apalagi tasawuf Jawa, yang jelas-jelas melandasi atau menjadi asas produksi kebudayaan Jawa. Maka tentu lebih baik langsung mencarikan ayat-hadisnya. Padahal, nalar dari setiap simbolisasi kebudayaan, terutama di Jawa, berdiri di atas fondasi tasawuf Jawa. Seharusnya mereka terlebih dahulu masuk ke dalam samudera tasawuf Jawa itu. Sulit memahami kebudayaan Jawa dalam penuh-seluruhnya tanpa memahami betul dan menjadi pelaku tasawuf Jawa.

Karena itu, ceramah mereka, terutama tentang sejarah Islam di nusantara, boleh dicek, tidak ada satupun kata “tasawuf” apalagi kata: “tasawuf jawa” yang meluncur di sana. Lebih mudah untuk menemukan kata-kata semacam “jihad” dan sejenisnya. Aku berlindung kepada Allah dari pikiran yang zalim. Wallahu alam.

Tradisi pesantren sebetulnya terkait erat dengan wayang. Sejak adanya tradisi pesantren di Nusantara, wayang mulai menjadi bagian dari kehidupan santri. Di dalam Serat Walisana ada disebutkan para wali bermusyawarah di Pesantren Giri untuk merumuskan berbagai hal terkait dakwah Islam sebagai sarana mewujudkan kesejahteraan masyarakat, termasuk bagaimana menggunakan wayang sebagai pemersatu masyarakat dari berbagai latar sosial dan keyakinan. Meski sebelumnya kemungkinan wayang digunakan sebagai alat pemanggil arwah, pada masa Walisanga fungsi wayang dikembangkan, dari semata ritual menjadi media edukasi masyarakat untuk menemukan jatidiri kemanusiaannya. Walisanga memodifikasi berbagai aspek-aspeknya yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam, menjadi sistem pagelaran yang mengajak penontonnya bercermin untuk mengenal hakikat diri dan kenyataan hidupnya. Di dalam pagelaran wayang kulit purwa, yang digelar adalah wewayanganipun ngagesang (bayang-bayang dari totalitas kehidupan). Memahami bagaimana pagelaran wayang bekerja sebagai “universitas kehidupan” yang menghibur dan membebaskan, berarti memahami salah satu aspek penting dari metode dakwah di dalam sejarah Islam di Nusantara. Dengan demikian, memahami wayang juga akan memperkokoh basis Islam Nusantara yang saat ini tengah menjadi isu penting bagi Nahdlatul Ulama.

Saat ini, para kiai dan santri milenial perlu mengenali kembali tradisi wayang. Kendala bahasa tidak dapat dijadikan alasan dalam memahami makna pagelaran wayang. Meski wayang menggunakan bahasa Jawa yang sulit dipahami remaja, ungkapan-ungkapan wayang masih dapat dipahami melalui ekspresi lakon, alur cerita, dan teks pembanding seperti komik wayang. Wayang bisa menjadi alat introspeksi diri. Tokoh-tokoh dari lakon wayang merupakan refleksi atas pergulatan unsur-unsur di dalam diri manusia. Menonton wayang itu menjadi alat memahami jalan kerohanian diri sendiri, karena tiap manusia memiliki seribu satu cara dan jalan menuju Tuhan. Anak-anak muda tidak boleh terlena dengan tradisi di luar dirinya. Sebab perilaku itu bisa membuat kita tidak adil terhadap tradisi sendiri, menjadi sebuah pengingkaran. Itulah yang mengakibatkan krisis jati diri. Maka para kiai dan kalangan pesantren perlu kembali mengakrabkan diri dengan wayang yang menjadi bagian penting dalam sejarah dan proses dakwah Islam di Indonesia. Kehadiran kiai dan pesantren diharapkan dapat mengembalikan pertunjukan wayang sebagai media dakwah, tidak hanya sebagai tontonan yang penuh gebyar namun membuat lengah secara rohani.

Wayang merupakan khazanah pengetahuan pesantren. Di dalamnya terdapat struktur ajaran dan kerohanian Islam yang total: syariat, tarekat, hakikat dan makrifat. Dan melalui wayang inilah Walisanga membangun dan menanamkan dasar-dasar ajaran Islam yang membuat kalangan pribumi alih-alih alergi dan phobi terhadap agama ini, melainkan bisa langsung merasakan manisnya substansi ajarannya di dalam nguwongke wong, memanusiakan manusia.

Para wali melakukan reformasi dan transformasi wayang menjadi lebih dinamis dan edukatif. Fungsi pertunjukannya yang bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lain, menjadi media yang tepat untuk menyebarkan Islam ke berbagai pelosok. Melalui wayang, ajaran Islam yang dibawa langsung dari Arab maupun melalui para pendakwah yang berasal dari Persia, India, Cina dan sebagainya, dipadukan dengan berbagai unsur lokal maupun singular dari kenusantaraan kita, dipribumisasikan sedemikian rupa sehingga melahirkan komunitas Islam dari kalangan pribumi secara masif.

Memperkenalkan kembali wayang bisa dimulai oleh kiai dan santri yang ikut duduk menyimak pagelaran wayang semalam suntuk, meskipun belum sepenuhnya paham. Setidaknya menjadi simbol dan pesan pengayoman kepada masyarakat bahwa wayang adalah bagian dari tradisi Islam Nusantara. Kalau para kiai ikut menonton, tentu secara langsung maupun tidak langung akan terjadi interaksi yang dinamis antar berbagai komponen pagelaran wayang, dalang, wiyaga, pesinden dan penonton. Sinden mungkin akan menjadi lebih sopan dalam berpenampilan dan dalang juga mungkin di dalam membawakan lakon akan terdorong untuk belajar kembali lebih intens tentang makna lakon kaitannya dengan spiritualitas Islam. Sebaliknya, para kiai mungkin juga akan belajar tentang aspirasi kehidupan yang lebih luas dari berbagai kalangan yang lebih terbuka. Saya sangat mengapresiasi beberapa pesantren yang mulai mengajak kembali para santri untuk mempelajari hakikat pagelaran wayang ini.

 

Tiga Faktor

Ada tiga faktor yang membuat pesantren terkesan selama ini seolah-olah menjauh dari warisan Budaya para wali ini. Pertama, keterputusan. Sebelum penjajah Eropa datang, antara kraton dan pesantren itu satu kesatuan. Kraton didirikan untuk menyebarkan agama yang berbasis budaya. Para pangeran belajar kepada para kiai di berbagai pesantren. Namun, ketika kolonial masuk mengintervensi kraton-kraton nusantara, melalui proses devide et impera dengan strategi antara lain memisahkan budaya Jawa dengan keislaman, antara kraton dan pesantren mulai menjauh, hingga kemudian kraton dikendalikan oleh kolonial sehingga keduanya tidak menjadi satu kesatuan lagi dan terciptalah semacam dualisme: santri – abangan. Dalam hal ini, wayang dianggap sebagai budaya abangan yang tidak pantas ditonton oleh kaum santri di pesantren.

Keterasingan antara kiai dan pesantren dengan wayang, dimulai dari keterputusan dan keterbelahan jiwa di dalam sejarah Islam ini. Hal ini semakin mendalam terutama sejak merosotnya kesultanan Mataram sebagai pusat penyebaran budaya Islam, dan kemudian terbukanya terusan Suez pada tahun 1869 M, menjadikan arus pembelajaran keislaman yang datang dari Tanah Arab berlangsung semakin masif. Para santri mulai mempelajari Islam langsung dari khazanah dunia Arab dan melupakan berbagai media dakwah dan budaya pembelajaran dari para penyebar Islam masa awal, abad XV-an.

Kedua, dan ini merupakan kelanjutan dari yang pertama, adalah terjadinya secara umum proses pembelokan orientasi para dalang. Banyak dalang yang terputus pengetahuannya dari sistem pengetahuan keislaman dan intensitas perkembangan spiritualnya pun memudar karena tercerabut dari akar. Dalang pada gilirannya menempatkan diri semata-mata sebagai artis hiburan dan menjalani kehidupan yang bebas. Pagelaran wayang pun mengalami “demoralisasi” ketika lakon dan gaya yang ditampilkan lebih menonjolkan aspek hiburan yang sensasional, pada saat yang bersamaan dengan memudarnya pula tingkat apresiasi terhadapnya sebagai acuan pengetahuan spiritual yang berbasis pada ilmu keagamaan.

Ketiga, puncak dari kedua faktor di atas adalah kelahiran sistem politik liberal pada era pasca-kemerdekaan di dalam negara kita, Republik Indonesia. Sistem politik ini ditandai dengan lahir dan berkembangnya beragam partai politik berdasarkan aliran, yang saling bersaing melalui pemilu untuk memperebutkan posisi sebagai pemimpin pemerintahan. Pembelahan jiwa bangsa di atas semakin parah ketika menemukan wadah (perangkap) institusionalnya di dalam partai-partai politik aliran ini, yang garis besarnya terepresentasikan dalam 4 partai pemenang pemilu tahun 1955, yaitu PNI, Masyumi, NU dan PKI. Masyumi dan NU merepresentasikan pembelahan lebih lanjut kaum santri menjadi modernis – tradisionalis, sementara PNI dan PKI merepresentasikan pembelahan lebih lanjut kaum abangan menjadi nasionalis – komunis. Wayang dan banyak kesenian tradisional lain yang sudah telanjur dikonotasikan sebagai kesenian abangan, bukan santri, semakin terperangkap di dalam keterasingannya ketika dijadikan alat kampanye sarana mobilisasi massa oleh partai-partai abangan seperti PNI dan PKI. Sebaliknya partai-partai santri seperti Masyumi dan NU untuk mengimbanginya banyak mengeksploitasi simbol-simbol keislaman yang cenderung berbahasa Arab atau bahkan merujuk langsung kepada Al-Qur’an dan Hadis, sebagai sarana penambang suara massa. Klimaks dari persaingan politik ini, sebagaimana telah diketahui bersama, adalah tragedi kemanusiaan bangsa kita dengan meletusnya peristiwa 1965 yang sangat traumatik itu.

Dan lakon itu sendiri adalah peristiwa-peristiwa yang di alami oleh diri kita, sebagai sebuah ketentuan Tuhan Yang Maha Misteri. Sehingga, di dalam totalitas tontonan itu, kita sebetulnya sedang menyaksikan “lakon” kita sendiri sebagai instropeksi, dan di atas semua itu, Tuhan sedang menyaksikan tindakan kita, karena DIA-lah hakekatnya yang sedang “menanggap” lakon-lakon kehidupan ini.

Demikianlah, trauma peritiwa 1965 sebagai klimaks dari persaingan politik dalam sistem demokrasi liberal ini, sepertinya menjadi semacam kunci yang menutup rapat kesadaran kaum santri terhadap wayang kulit dan juga kesenian tradisi lokal lainnya, dan bahkan cenderung mengeluarkannya dari tradisi Islam. Tragis, produk kesenian karya para wali ini dianggap bukan bagian dari Islam, dan pada titik tertentu diharamkan. Maka kemudian seni di lingkungan pesantren mengalami masa kegersangannya, hingga kini seolah hanya mengenal hadrah dan kasidah sebagai seni yang bisa disebut sebagai “Islami”. Dan pada saat yang sama, dimensi “unthinkable” dari wayang semakin lebar menganga.

Banyak pihak turut memprihatinkan hal ini. Diperlukan upaya-upaya lintas disiplin dan sektoral yang berkesinambungan untuk mendekatkan kembali kesenian wayang kulit ini dari akar sejarah, tradisi, dan keilmuannya. Secara tidak langsung upaya-upaya ini juga akan menyumbang bagi ikhtiar mengutuhkan kembali keterbelahan jiwa bangsa ini. Tentu saja hal ini mesti dilakukan dengan terlebih dahulu menyadari, mengurai, dan mengatasi halangan-halangan yang ditimbulkan oleh ketiga faktor di atas. Kalau efek dari ketiga faktor di atas tidak dihilangkan, maka hubungan antara budaya lokal dan khazanah Islam yang menjadi akar tradisi dan keilmuannya, akan benar-benar terputus. Akibatnya telah dan akan terus muncul generasi yang ahistoris, kehilangan jati diri, lebih berakar ke luar dibandingkan kepada sejarah, tradisi, dan budaya sendiri. Dalam era globalisasi dewasa ini yang semakin massif dan mengasingkan, jiwa-jiwa terbelah dari generasi bangsa yang tercerabut dari akar tradisinya sendiri ini akan menimbulkan fenomena-fenomena perilaku yang tidak mendukung bagi cita-cita kita menjadi bangsa yang berkepribadian, maju, dan berdaulat.

 

11 Malam 11 Lakon 11 Dalang

Pada 2011, saya bersama teman-teman Lesbumi dan berbagai komunitas budaya di Yogyakarta, menginiasiasi Pagelaran Wayang Kulit menampilkan Lakon-lakon Ajaran Sunan Kalijaga selama 11 Malam dengan 11 Lakon dan 11 Dalang sebagai bagian dari rangkaian agenda Peringatan 500 tahun Sunan Kalijaga (Memetri Luhuring Laku Sunan Kali) yang berlangsung pada tanggal 15 – 30 Juli. Kegiatan tersebut mengambil tema: “Meneguhkan Jatidiri Bangsa dan Hikmah Bhineka Tunggal Ika”. Pagelaran ini adalah bagian dari upaya untuk menghayati fungsi pagelaran wayang sebagai media edukasi, mengenali, merekonstruksi dan menyelami ajaran-ajaran mulia para leluhur. Pagelaran juga dimaksudkan menjadi ruang publik masyarakat lintas agama, suku, kelas dan golongan, di mana mereka tidak hanya hadir sebagai penonton, tetapi juga berinteraksi satu sama lain sambil berintrospeksi, serta kembali belajar tentang sejarah, tradisi, dan filosofi peninggalan para leluhur sendiri.

Pagelaran wayang dibuka dengan lakon “Lahire Bathara Kala” oleh dalang Ki Cermo Suteja. Disambung “Jumenengan Yudhistira” oleh Ki Mas Lurah Simun Cermo Joyo. Lalu lakon “Kumbayana” oleh Ki Mas Lurah Cermo Subronto. Lakon “Kartapiyoga Maling (Semar mBarang Jantur)” oleh Ki Hadi Sutikno. “Mustakaweni” oleh Ki Suwondo Timbul Hadiprayitno. “Dewa Ruci” oleh Ki Mas Lurah Cermo Radyo Harsono. “Wahyu Makutarama” oleh Ki Edi Suwondo Gito Gati. “Gandawardaya” oleh Ki Sudiyono. “Semar Minto Bagus” oleh Ki Gunawan. “Pandu Swarga” oleh Ki Sutarko Hadiwacono. Dan ditutup dengan lakon”Pandawa Moksa” oleh dalang Ki Seno Nugroho.

Kalau kita cermati, deretan kisah wayang yang digelar selama 11 malam di atas, membentuk semacam serial yang menggambarkan siklus kehidupan, perjalanan manusia semenjak dari lahir, tumbuh berkembang, dewasa, hingga meninggal dunia. Di dalam masing-masing fase itu, kita diingatkan kepada tantangan-tantangan dan hambatan-hambatan yang bersifat jasmani dan rohani, yang mengiringi dan mengintai pertumbuhan kesadaran dan spiritual jiwa kita di dalam menggapai kesempurnaan, menumbuhkan kedewasaan, mematangkan integritas dan mengukuhkan jati dirinya.

Lakon “Lahire Bathara Kala” mengingatkan kita bahwa pada setiap kelahiran bayi yang sudah sewajarnya disambut dengan kegembiraan, namun mestilah dibarengi dengan kewaspadaan akan bahaya yang selalu mengintai dari Sang Kala. Lakon “Jumenengan Yudhistira” memberikan kita kunci penting bagi pertumbuhan orientasi dan kesempurnaan kemanusiaan kita, yaitu tentang potensi dari kejernihan yang dihirup oleh nafas kita yang mesti terus dilatih, dipupuk dan dikuatkan dengan laku syukur dan ingat kepada Sang Pencipta. Lakon “Kumbayana” atau “Durna Kajarwa” mengingatkan kita tentang bahaya dari hawa nafsu di dalam diri kita yang selalu berupaya menggagalkan dan menjerumuskan orientasi kemanusiaan kita ke dalam perilaku yang hina. Lakon “Semar mBarang Jantur” mengingatkan akan bahaya kesombongan dari pengetahuan dan pentingnya menggunakan rasa yang halus di dalam melihat fakta-fakta kehidupan. Demikian seterusnya hingga lakon “Dewa Ruci” yang merupakan puncak kedewasaan dan kematangan kesadaran seseorang, setelah melalui perjuangan berat menaklukan angkara, kemanjaan, dan kecengengan pribadi yang berakar dari hawa nafsu, menemukan pengetahuan sejati yang bersumber dari kedalaman diri yang murni. “Wahyu Makutarama” mengajarkan kepada kita tentang kebijaksanaan untuk menyatukan diri dengan unsur-unsur alam semesta, hingga akhirnya dalam lakon “Pandawa Mokswa” kita diajarkan tentang bagaimana meniti akhir kehidupan kita, memperoleh kematian yang baik (husnul khatimah).

Di dalam kelir, antara dalang, wayang dan lakon, dengan iringan gending yang menghanyutkan, telah terjalin satu kesatuan yang tak terpisahkan, menjadi sebuah “gambar hidup” dan pada gilirannya secara lebih mendalam dan sayup-sayup menghadirkan ke dalam kesadaran penonton yang jeli, suatu “gambaran kehidupan”.

Lalu dua tahun kemudian, 30 September-10 Oktober 2013 kami menggelar acara serupa, menampilkan lakon-lakon yang menggambarkan pengetahuan tentang hakikat dan proses terbentuknya suatu tatanan kehidupan, dan bagaimana kita mesti menempatkan diri dan berpartisipasi di dalam menjaga dan mengarahkannya agar terbentuk relasi-relasi yang berkeseimbangan dan mensejahterakan. Baik itu relasi-relasi di dalam lingkungan geografis, ekologis, tata diri dan sosial hingga terbentuknya tatanan pemerintahan (ketatanegaraan) yang mampu untuk melindungi, menyeimbangkan dan mengarahkan. Pagelaran dibuka oleh Dalang Ki Suhar Cermo Djiwandono dengan kisah Makukuhan (Dumadine Gunung-gunung). Malam kedua hingga malam keempat, menampilkan dalang Ki Suwaji, Ki Sumono, dan Ki Suharno dengan lakon Watu Gunung (Dumadine Wuku, Dina), Romo Tundung, dan Senggono Duto. Malam kelima hingga malam ketujuh, menampilkan Ki Utoro Wijoyanto, Ki Sugeng Cermo Handoko, dan Ki Bambang Wiji Nugraha dengan kisah Lahire Sekutrem (Dumadine Gaman), Abiyoso Lahir, dan Sentanu Banjut. Malam kedelapan hingga malam kesepuluh, menampilkan Ki Sri Mulyono, Ki Wisnu Gito Saputra, dan Ki Danang Purbo Wibowo dengan lakon Gondomono Luweng, Lenga Tala, dan Bedahe Dworowati. Dan pada malam terakhir, menampilkan dengan Ki Udreka dengan kisah Jumenengan Parikesit.

Sebelum lakon-lakon wayang itu digelar, kami melakoni Lampah Ratri Merti Luhuring Laku Sunan Kali, yakni perjalanan malam demi menjaga dan memaknai tindakan luhur Sunan Kalijaga. Laku ini semacam napak tilas perjalanan Sunan Kalijaga dari Demak menuju ke arah Selatan, untuk mencari dan menentukan lokasi pendirian kerajaan Mataram Islam, demi mempertahankan dan mengembangkan budaya bangsa sebagai pusat peradaban, yang waktu itu secara internal sedang rapuh karena proses disintegrasi pasca-runtuhnya imperium Majapahit akibat perang saudara yang berkepanjangan dan semakin terancam dengan kedatangan bangsa Portugis yang menandai awal era kolonial. Perjalanan tersebut mengandung tiga makna, yakni tafaul (napak tilas), tafakkur (berpikir), dan tadzakkur (berdzikir). Kami mengambil air dari situs Sendang Banyu Urip, tempat Sunan Kalijaga pernah membersihkan, menginisiasi dan menempa wali-wali muda sebagai generasi yang melanjutkan tugas Walisanga. Selama berjalan peserta dituntut untuk diam, sambil membawa air sendang dalam kendi yang secara simbolik menggambarkan pengetahuan sejati yang bersumber dari kedalaman diri serta kemanunggalan dengan empat unsur alam yang terdapat di dalam tubuh manusia, yaitu tanah, air, api, dan udara.

Hidup manusia ditunjang empat unsur itu, tapi sering kali lupa. Lampah Ratri bertujuan untuk mengingat dan memikirkan hal itu, sembari berdzikir kepada Allah. Karena kebahagiaan dan kesejahteraan hidup manusia juga ada dalam kesatuan dan keseimbangan empat unsur tersebut. Selama dalam perjalanan, peserta belajar dan menghayati lagi tentang hablun minallah (hubungan dengan Allah), hablun minannas (hubungan sesama manusia), dan hablun minal alam (hubungan dengan alam).

Perjalanan napak tilas tersebut sekaligus untuk mengingat kembali peran Sunan Kalijaga dalam proses pendirian Kerajaan Mataram Islam. Dalam Babad Matawis dipaparkan bagaimana Sunan Kalijaga membekali Sutawijaya (Panembahan Senapati) dengan sejumlah nasehat yang kelak menjadi dasar kepemimpinannya. Sunan Kalijaga adalah sosok yang menjaga proses krusial transisi kerajaan-kerajaan Nusantara seperti Majapahit, Demak, Pajang, dan Mataram (Islam) sehingga tidak berlangsung secara destruktif. Beliau adalah tokoh lintas generasi dan arsitek budaya Islam Jawa, guru ruhani para raja sekaligus pelindung dan pembimbing keberagamaan kawulo cilik, di hampir semua aspek kehidupan, dan penanda puncak dari semuanya itu tergambar dalam kolaborasi harmonis beragam seni dan kisah di dalam pagelaran wayang kulit. Maka sudah sepatutnya sebagai bangsa yang kaya akan budaya lokal, tidak melupakan hubungan dinamis antara agama dan budaya seperti yang dicontohkan Sunan Kalijaga dalam menyampaikan syiar Islam.

 

Nasehat Kepemimpinan Sunan Kalijaga

Sebelum mendirikan Kerajaan Mataram, Sutawijaya mendapatkan nasehat dari Sunan Kalijaga. Sebagaimana dipaparkan oleh peneliti sastra Jawa dari UGM Ratna Sakti Mulya, nasehat itu terdapat dalam Babad Matawis. Nasehat atau piwulang Sunan Kalijaga itu meliputi tiga hal.

Pertama, bekal hidup agar selamat lahir batinnya, yang dimetaforakan dengan pertumbuhan pohon Wijayamulya yang apabila ditanam dengan rasa kasih, diperlakukan sesuai tatanan yang berlaku, disiram dengan air supaya segar, maka pohon Wijayamulya akan tumbuh subur, berdaun, dan berbunga yang segar dan indah.

Dalam proses pembelajaran, ketika sedang melaksanakan pembelajaran tidak boleh keras kepala dan tidak membuat tatanan sendiri, melainkan harus dipenuhi dengan kasih sayang, kemauan, mantap hati, dan bersungguh-sungguh. Selain itu, perlu juga menyadari bahwa segala pengetahuan bermuara pada Allah, Tuhan Sang Maha Bijaksana.

Kelir adalah sasmita dari jagat yang kelihatan, wayang-wayang yang ditancapkan di kiri dan kanan menggambarkan golongan makhluk-makhluk Tuhan. Batang pisang ialah bumi. Blencong adalah lampu kehidupan. Gamelan ialah keserasian antara peristiwa-peristiwa. Siapakah dalang? Dalang adalah ruh yang “ditanggap” Tuhan untuk menggerakkan sebuah lakon kehidupan. Wayang-wayang adalah unsur-unsur di dalam tubuh (diri) kita.

Kedua, watak utama sebagai petinggi. Sunan Kalijaga memberikan nasehat bahwa watak utama seorang pemimpin adalah mengayomi dan menciptakan suasana nyaman bagi warganya. Selain itu, hendaknya para Petinggi membangun Langgar asri dengan persediaan air yang melimpah, menyantuni fakir miskin dan orang terlantar, para yatim piatu serta pendeta. Jujur dan malu kepada Tuhan dan sesama juga merupakan watak yang harus dimiliki para petinggi. Hal tersebut disampaikan Sunan Kalijaga kepada Sutawijaya, dengan harapan agar nasehat itu kelak disampaikan kepada para Petinggi Mataram.

Ketiga, mewujudkan kerajaan yang ideal. Nasehat kali ini dibingkai dalam sebuah cerita seorang Wiku di Gunung Rasa Mulya, kepada Raden Sujanadi dan kedua adiknya yang akan segera menjadi raja.

Wiku menyampaikan, bahwa jika kelak menjadi raja, maka pekerjakanlah orang yang baik, seperti yang dimetaforakan dengan empat hal, yakni wanita, keris, intan, dan burung. Wanita melambangkan bahwa ia harus bertutur halus, sareh, dan tertib dalam bersikap. Keris, harus tajam pikirannya dan ahli berperang. Intan, ia harus memiliki hati dan pikiran yang bening. Sedangkan burung, memiliki makna mengetahui hal yang tersamar, yang baik dan yang buruk.

Namun selain menjalankan empat hal tersebut, seorang raja juga harus hati-hati karena ada empat pantangan yang harus dihindari. Pertama, bersenang-senang, berjudi hingga menghabiskan harta benda. Kedua, gemar bercinta atau main perempuan sehingga lalai pada tugas dan kewajibannya. Ketiga, suka berotak kosong, yakni sering menghabiskan waktu hanya untuk makan dan minum, tidak mau belajar atau membaca. Keempat, melupakan asal mula dan menganggap kedudukannya sebagai raja adalah berkat kehebatan dirinya sendiri.

Nasehat atau piwulang itulah yang dilaksanakan dan dipegang teguh oleh Sutawijaya selama memimpin kerajaan Mataram, sekaligus diwariskannya kepada para pemimpin setelahnya. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika Kerajaan Mataram dapat bertahan sampai 500 tahun, berkat ajaran dari Sunan Kalijaga.

 

Mengenal (kembali) Wayang

Sebagaimana telah diuraikan dalam paragraf-paragraf awal. Pakeliran wayang kulit purwa diciptakan melalui kreatifitas para Wali. Tidak dari ruang kosong, melainkan ditransformasikan dari berbagai bentuk yang pernah ada sebelumnya, diiringi dengan berbagai gending gamelan, dihidupkan dengan kisah-kisah yang dirangkai, diadaptasi dan direka ulang dari berbagai sumber yang sudah dikenal maupun misterius, sehingga membentuk “sejarah” yang dihayati bersama dan menjadi konteks bagi proses pembentukan subyek-subyek kemanusiaan yang sedang diupayakan.

Banyak diskusi tentang kesejarahan wayang ini. Di kalangan akademisi Barat terdapat perbedaan pendapat tentang asal-usul wayang. Prof. Poensen, menyatakan teori bahwa pertunjukan wayang mula-mula lahir di Jawa dengan bantuan dan bimbingan orang Hindu. Teori Poensen ini didukung pula oleh pendapat Prof. Vert yang menganggap bahwa Wayang dan Gamelan sangat dipengaruhi oleh peradaban yang lebih tinggi, yaitu Hindu. Namun teori ini disanggah oleh Prof. Niemann yang mengatakan tidak mungkin wayang berasal dari Hindu. Hal ini dikuatkan oleh Dr. Brandes yang mengemukakan beberapa kenyataan bahwa orang Hindu mempunyai teater yang sama sekali berbeda dengan teater Jawa dan hampir seluruh istilah teknis yang terdapat dalam wayang adalah khas Jawa, bukan Sanskerta. Berdasarkan kenyataan-kenyataan di atas, Brandes dan diperkuat oleh telaah Hazeu, berpendapat bahwa pertunjukan wayang tidak mungkin diambil dari Hindu.

Lebih jauh, seorang Indonesianis asal Belanda, Th.G. Pigeaud dalam Javaansche volkvertoningen. Bijdrage tot de beschrijving van land en volk (1938) menegaskan bahwa dugaan pertunjukan boneka wayang sebagai permainan yang terpisah sudah ada sejak dulu dan kemudian diisi dengan mistik Islam adalah tidak benar, karena semua orang tahu bahwa berita-berita mengenai wali-wali penyebar Islam, mereka itulah yang memberi peranan penting pada tujuan pertunjukan wayang dalam bentuknya yang sekarang. Itu berarti, pertunjukan Wayang Purwa adalah benar-benar hasil kreasi para Walisanga terutama Sunan Kalijaga dalam mereformasi secara menyeluruh seni pertunjukan wayang.

Namun, banyak yang meragukan hal-ihwal di atas, walaupun mereka juga tidak bisa menjawab ketika ditanya balik: “Kalau bukan oleh para Wali, lalu oleh siapa wayang diciptakan?”. Mereka umumnya menyadari bahwa Pakeliran Wayang Kulit dengan segala unsur pertunjukannya sebagaimana dikenal sekarang ini belum ada pada zaman Majapahit. Jadi, tidak mungkin muncul diciptakan dalam zaman Hindu-Budha, apalagi melihat boneka-boneka wayangnya yang terbuat dari kulit kerbau atau sapi yang terlarang untuk disembelih kultur Hindu. Namun di sisi lain, mereka menganggap kisah Ramayana-Mahabharata diambil dari kitab suci agama Hindu, sehingga mereka tidak habis pikir bertanya-tanya: “Bagaimana mungkin Dakwah Islam dengan menggunakan Kitab Suci Hindu?” dan “Bagaimana pula para pendeta Hindu rela melihat Kitab Sucinya dijadikan bahan untuk Dakwah Islam?”.

 

Ngaji Wayang

Orang-orang tua dahulu menyebut pagelaran wayang kulit antara lain dengan sebutan pasugatan, yang berasal dari kata sugata, artinya guru. Jadi, mendatangi pasugatan wayang kulit berarti menghadiri suatu perguruan, yang tidak hanya menunjuk kepada tempat melainkan juga proses dan peristiwa berguru. Dalam hal ini, siapakah yang menjadi guru, di mana dan nilai-nilai apa yang diajarkannya? Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa dalanglah yang menjadi guru, dan yang diajarkannya adalah lakon (cerita, kisah) yang dimainkan di dalam kelir (layar, tirai). Oleh karena itu, dalang sering disebut sebagai orang yang ngudal piwulang (menyampaikan dan menguraikan ajaran).

Gambar: Ilustrasi Jantung dan Wahdatul Wujud (Oleh: Rahmat Affandi)

 

Menarik diperhatikan bahwa di dalam pakeliran, ajaran diuraikan dan sekaligus tersembunyi di dalam gelaring cariyos (rangkaian cerita). Oleh karena itu, seorang dalang dituntut kemampuannya untuk menemukan dan memahami inti ajaran di dalam suatu lakon dan dengan pemahamannya itu dia mengembangkan sanggit (kreatifitas pertunjukan) sehingga dapat diterima oleh penanggap dan para penontonnya dengan memuaskan. Di awal dan akhir pagelaran wayang, seringkali seorang dalang memainkan golek (boneka) di dalam kelir, sebuah ungkapan simbolik golekana (carilah), yang merupakan pesan kepada para penonton untuk mencari dan terus menggali makna-makna yang tersembunyi di dalam lakon yang sedang dan telah dimainkan.

Demikianlah, oleh para dalang yang piawai, cerita-cerita di dalam lakon dan wayang-wayangnya begitu hidup dan kuat membawa para penontonnya hanyut di dalam kisah yang dimainkan. Di dalam kelir, antara dalang, wayang dan lakon, dengan iringan gending yang menghanyutkan, telah terjalin satu kesatuan yang tak terpisahkan, menjadi sebuah “gambar hidup” dan pada gilirannya secara lebih mendalam dan sayup-sayup menghadirkan ke dalam kesadaran penonton yang jeli, suatu “gambaran kehidupan”. Para bijak telah menyampaikan, bahwa keseluruhan unsur di dalam pagelaran wayang kulit itu adalah sasmita (lambang) yang menunjuk kepada keberadaan Tuhan. Lebih jelas lagi, bagaimana Tuhan bertindak, mencipta, dan mengatur alam semesta ini di belakang layar kehidupan.

Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi di dalam Kitab Futuhat Makkiyah telah menyampaikan: “Barangsiapa ingin tahu arti sejati, bahwa Tuhanlah yang berkarya di belakang layar alam ciptaan, hendaknya ia memandang pertunjukan bayangan (khayal) dan bayangan-bayangan (suwar) yang ditampilkan pada layar, lalu memperhatikan siapakah yang berbicara dalam bayangan-bayangan itu, menurut hemat anak-anak kecil yang duduk agak jauh dari layar yang dibentangkan antara mereka dan para boneka. Demikian juga bentuk-bentuk dunia ini: kebanyakan orang masih seperti anak-anak. Di sini kita dapat belajar, dari mana asalnya peristiwa-peristiwa yang dibeberkan (di layar). Anak-anak kecil tertawa dan merasa gembira, orang-orang dungu memandang hal-hal itu sebagai banyolan dan senda gurau, tetapi orang-orang bijak berfikir dan mengetahui, bahwa itu semua oleh Tuhan hanya diatur sebagai suatu perumpamaan, agar manusia tahu, bahwa hubungan antara dunia ini dan Tuhannya seperti antara boneka dan dalangnya, lagipula bahwa layar itu merupakan tirai al-kadar (takdir) yang tak dapat disingkirkan oleh siapa pun.” Sebelum Syekh Ibnu Arabi, Imam Junaid (al-Baghdadi) sudah mengatakan, “supaya hamba di hadapan Tuhan bersikap sebagai sebuah boneka (sabah).”

Di dalam pagelaran wayang kulit purwa, yang digelar adalah wewayanganipun ngagesang (bayang-bayang dari totalitas kehidupan).

Demikianlah, dapat kita pahami, kelir adalah sasmita dari jagat yang kelihatan, wayang-wayang yang ditancapkan di kiri dan kanan menggambarkan golongan makhluk-makhluk Tuhan. Batang pisang ialah bumi. Blencong adalah lampu kehidupan. Gamelan ialah keserasian antara peristiwa-peristiwa. Siapakah dalang? Dalang adalah ruh yang “ditanggap” Tuhan untuk menggerakkan sebuah lakon kehidupan. Wayang-wayang adalah unsur-unsur di dalam tubuh (diri) kita. Dan lakon itu sendiri adalah peristiwa-peristiwa yang di alami oleh diri kita, sebagai sebuah ketentuan Tuhan Yang Maha Misteri. Sehingga, di dalam totalitas tontonan itu, kita sebetulnya sedang menyaksikan “lakon” kita sendiri sebagai instropeksi, dan di atas semua itu, Tuhan sedang menyaksikan tindakan kita, karena DIA-lah hakekatnya yang sedang “menanggap” lakon-lakon kehidupan ini.

Pada titik inilah, pagelaran wayang menjadi suatu peristiwa “ngaji” yang sangat bermartabat, berbudaya dan bernilai seni tinggi. Oleh para guru di dalam masyarakat Jawa, ngaji dijabarkan sebagai sebuah ungkapan dari “ngangsu kaweruh marang Kang Sawiji” (menggali pengetahuan menuju ke Yang Satu).

Wallahu A’lam bis Showab

(Bersambung ke bagian kedua)

 


(Artikel ini diolah dari wawancara, beberapa artikel dalam nu.or.id, dan artikel dalam katalog Matja, Seni Wali-wali Nusantara, Katalog Pameran Senirupa Muktamar Nahdlatul Ulama ke-33, 2015).

Kamis, 3 Mei 2018 lalu, tepat 188 tahun dari hari ketika Pangeran Diponegoro diasingkan. Pengasingan ini telah menjadi pengalaman pertama Pangeran meninggalkan Jawa. Sepeninggalnya itu, Pangeran tak pernah kembali lagi ke tanah kelahirannya. Meski demikian, seperti semua pahlawan yang diasingkan, sosok Diponegoro diafirmasi sebagai seorang manusia berdaulat. Pangeran Diponegoro tentu bukan simbol kekalahan pribumi melawan kelicikan kolonialisme. Sebaliknya ia adalah salah satu penanda perlawanan dan perjuangan ‘kaum Muslim’ melawan kezaliman yang ditumbuhkan Belanda di negeri ini.

Oleh karena simbol perjuangan itu, Pangeran hidup di dalam memori bangsa Indonesia. Ia dimaknai dalam kehadirannya sebagai seorang pahlawan. Kehadirannya sebagai seorang pahlawan seringkali menuntut pengesahan total bahwa dirinya bukan berjuang karena ambisi kekuasaan politik semata. Sejarawan Peter Carey bahkan menegaskan bahwa betapa bermaknanya perjuangan lima tahun orang Jawa dalam Java Oorlog yang dipimpin oleh Pangeran sendiri. Bahkan Perang Jawa menjadi unik dibandingkan perlawanan-perlawanan lainnya, karena “… untuk pertama kali pemberontakan [sic!] pecah di lingkungan salah satu keraton Jawa Tengah-Selatan, yang pokok masalahnya terletak lebih pada kesulitan ekonomi daripada ambisi kekuasaan seorang kerabat keraton.” (Peter Carey, “The Power of Prophecy: Prince Dipanegara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855”, a.b. Parakirti T. Simbolon, Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855, Jakarta: Gramedia, 2008, hlm. xxxix).

Dalam kezaliman yang terus dilestarikan misi penjajahan itulah Diponegoro diasingkan dengan segenap kehinaan yang ditayangkan oleh Belanda. Seorang Pangeran muda dari Belanda sewaktu mengunjungi pengasingan Diponegoro di Fort Rotterdam, Makasar, bahkan memperlihatkan rasa simpatinya. Sebab, Prince Hendrik de Zeevaarder, pangeran muda itu, bahkan menceritakan bagaimana Belanda memperlakukan Pangeran Jawa ini. Dalam sebuah surat yang ditulis untuk ayahnya, ia mengatakan:

“Hari pertama [di Makassar] melihat Benteng di sini, saya bertemu dengan tahanan kita yang kelihatan tidak bahagia, Diepo Negoro … yang jatuh ke tangan kita secara curang. Ia mendatangi saya, menggandeng tangan dan menarik saya masuk ke kamarnya, yang berada di lantai satu, ia mengatakan … bahwa ia sangat gembira ada seseorang yang datang mengunjunginya di tempat kediaman yang menyedihkan itu. … ia tertawa lebar, tetapi raut kegirangannya itu terlihat dipaksakan, tidak spontan, tidak wajar … orangnya menyenangkan dan saya dapat melihat semangatnya yang masih membara” (Dikutip dari Peter Carey, “Destiny: The Life of Prince Dipanegara, 1785-1855”, a.b. Th Bambang Murtianto dan PM Laksono, Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro, 1785-1855, Jakarta: Kompas, 2014, hlm. 407).

Sebuah Refleksi Kezaliman yang Aktual

Perjuangan Pangeran Diponegoro memang perlu dihidupkan kembali. Dalam hayat bangsa ini, Diponegoro tidak hanya hidup dalam tradisi dan dimaknai dalam konteks historisnya yang telah mati. Pemaknaan yang tepat untuk membawa ‘semangatnya yang masih membara’ itu terkadang memerlukan refleksi yang mendalam. Sejarawan Taufik Abdullah pernah menjelaskan arti kehadiran sosok pahlawan dalam kekinian kita. Sejarawan senior itu berkata, “Pengakuan akan kepahlawanan seseorang bukanlah terutama masalah Sejarah, tetapi pantulan kesadaran sejarah. Pahlawan hadir dalam sejarah setelah masyarakat yang mengalami peristiwa historis mengadakan renungan. Dalam perenungan itu terjadilah suatu penggabungan antara hari lampau yang telah dilalui dan hari kini yang sedang dijalani serta hari nanti yang harus ditempuh” (Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1996, hlm. 6).

Dalam kesadaran ‘semangat yang terus membara’ pada memori kolektif bangsa, kita memilih Pangeran Diponegoro sebagai sosok pahlawan. Penyimbolannya sebagai penentang kezaliman-pun senantiasa hadir dalam semangat historical booming seperti pada masa awal kemerdekaan. Kenyataan sejarah tanpa anakronisme-anakronisme atau interpolasi kekinian-pun kini telah mampu menjelaskan bulatan-bulatan riwayat dari kelahirannya, pembulatan tekad, pembentukan keteguhan kepribadian melalui agama Islam, dan perang-perang yang dilaluinya, hingga nanti ia diasingkan dan wafat dalam pengasingan. Oleh karenanya, kenyataan sejarah yang telah jelas itulah, sosok Pangeran Diponegoro bersama pejuang-pejuang yang lainnya selalu aktual dalam masa yang sedang kita jalani atau ke masa-masa lain yang akan kita tempuh. Jika demikian, maka siapa kiranya yang meragukan bahwa semangat penentangannya melawan ketimpangan yang terjadi di masanya akan tetap aktual?

Bersama dengan ‘dua aktual’ itu, kita menghayati kontekstualitas kepahlawanan Diponegoro yang dihidupkan dalam renungan peradaban oleh kaum pergerakan, untuk melawan ‘kezaliman’ kontekstual-aktual dalam bentuknya yang selalu bersifat kekinian. Keyakinan atas hidupnya imaji kepahlawanan Pangeran Diponegoro dalam memori bangsa Indonesia menyebabkan ia terus dikenang secara inspiratif, dijadikan simbol perlawanan terhadap penjajahan, sosok yang berdaulat, dan anti penindasan.

Dari kisah hidup Pangeran Diponegoro kita mampu memahami betapa panji-panji agami Islam yang dipupuk oleh nenek buyut Sang Pangeran sedari kecil menjadi pilihan untuk mengatasi seluruh kekacauan sosial-ekonomi dan agama sebelum meletusnya perang Jawa. Pangeran Diponegoro memahami, ia tengah berada pada sebuah ambang peradaban. Di balik punggungnya ia merasakan tenggelamnya tatanan lama Jawa dengan segenap kewibawaan dan harga dirinya. Sedangkan ‘Orde Baru’ Daendels dan kekalahan menyakitkan dari Inggris yang menjarah kekayaan literasi perpustakaan keraton Yogyakarta terletak di depannya. Seakan dari semburat peradaban Barat itulah, ‘kehancuran Tanah Jawa’ menjadi suatu kepastian. Sejak zaman bubrah-nya tatanan lama Pulau Jawa itu, pajak-pajak dibebankan terlalu berat, mental pribumi dirusak, harga diri kaum perempuan sering dihinakan di keputren keraton, gagal panen, penyakit yang mewabah, candu, dan kerusuhan-kerusuhan menggejala. Dari kesemua itu, Jawa sebagai sebuah bangsa menghadapi bencana yang berdampak lama bagi peradabannya: keruntuhan adab dan moralnya. Dalam bahasa cendikiawan Muslim paling berpengaruh saat ini, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, rusaknya tatanan Jawa dalam berbagai aspeknya disebut de-Islamisasi (Syed Muhammad Naquib al-Attas, “Islam and Secularism”, a.b. Khalif Muammar, Islam dan Sekularisme, Bandung: Pimpin, 2010, hlm. 57).

De-Islamisasi Konseptual: Sejarah Diponegoro sebagai Pokok

‘Kezaliman’ bisa menjelaskan bagaimana keruntuhan dan kehancuran Tanah Jawa dan bubrah-nya tatanan lama itu bisa disebut sebagai ‘de-Islamisasi’. Di lain pihak, dari puncak-puncak pemikiran Prof. Al-Attas, Islamisasi menjadi salah satu telaah paling penting dalam merenungkan proses terjadinya satu tatanan yang ideal dan di mana de-Islamisasi merenggut idealitasnya. Islamisasi menjadi konsep paling baik dan tepat untuk menjelaskan aktualitas kezaliman, dan mengapa ia tidak terputus pada satu rangkaian peristiwa dalam sejarah tertentu.

Dalam konteks kedirian Pangeran Diponegoro, inilah sebab mengapa ia mendaku diri sebagai ‘imam agung’ yang melekatkan gelar ‘Sayidin’ (pemimpin agama) dan ‘Panatagama’ (penata agama). Secara kolektif, ia adalah seorang pejuang yang tengah mewujudkan tatanan ‘perbaikan’ yang memangku peran sebagai ‘Ratu Adil’ untuk mempimpin perjuangan ‘menyucikan Tanah Jawa’ (yang ditimbulkan oleh kolonialisme)

Menurut Prof. Al-Attas, hakikat Islamisasi adalah sebuah proses pembebasan. Pembebasan yang hendak disasar oleh Islamisasi adalah ruh manusia daripada jasad-jasmaninya. Tindakan yang paling bermakna bagi manusia adalah berpangkal dari ruhnya, dan oleh sebab itu segala bentuk ‘keruntuhan’ dan ‘kebubrahan’ sama dengan menyasar unsur ruh dibanding ‘kerusakan’ jasmani. Kerusakan jasmani hanyalah satu dampak kecil dari kerusakan ruh yang telah menjauh dari Islamisasi. Ia menjadi salah satu saja korban dalam de-Islamisasi yang bertentangan dengan Islamisasi (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, hlm. 55).

Dari tatanan pembebasan itulah, Islamisasi menjadikan kehidupan termaknai dengan harmonisme dan ketentraman bahkan secara jasmaniah (sebagai dampak dari pembebasan ruh itu), dan juga wujud akurnya manusia dengan alam. Dalam hubungan-hubungan inilah kita mampu mengerti mengapa suatu kondisi yang penuh dengan pembebasan yang menyasar sistem ruh dalam manusia menyebabkan manusia mencapai kesadarannya sebagai penjaga alam lingkungannya. Sementara dalam rangkaian situasi yang de-Islamistis, wisdom manusia mengalami kehancurannya. Keadaan dan proses ini menyebabkan pembudakkan dan kehancuran tatanan yang berpangkal dari pikiran sampai hidupnya eksploitasi alam dan kacaunya aspek-aspek dalam kehidupan.

Dalam artian lain, peradaban Barat yang konon ingin mengentaskan peradaban Jawa yang masih ‘tradisional’ itu, menjadi tonggak awal masuknya ketimpangan jiwa bangsa Eropa yang akhirnya merusak tatanan lama Jawa-Islam nun adiluhung.

Islamisasi, menurut Prof. Al-Attas, adalah sebuah devolusi atau penyerahan pada keadaan asalnya. Sebaliknya, dalam keadaannya yang merusak ruh, manusia hanya terjelma dalam diri jasmani yang alpa, jahil, dan zalim. Dalam keadaan individu demikian, manusia yang kehilangan ruh, bukanlah manusia yang sempurna. Sehingga dalam pengertian kolektif (non-individu), sosial, historis, dalam paparan Prof. Al-Attas, Islamisasi merujuk pada perjuangan suatu komunitas menuju pencapaian kualitas moral dan etika sebagai sebagian dari kesempurnaan sosial yang telah dicapai pada zaman Nabi, shalallahu ‘alayhi wassalam, di bawah tuntunan Allah Subhanawata’ala (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, hlm. 56).

Dalam konteks kedirian Pangeran Diponegoro, inilah sebab mengapa ia mendaku diri sebagai ‘imam agung’ yang melekatkan gelar ‘Sayidin’ (pemimpin agama) dan ‘Panatagama’ (penata agama). Secara kolektif, ia adalah seorang pejuang yang tengah mewujudkan tatanan ‘perbaikan’ yang memangku peran sebagai ‘Ratu Adil’ untuk mempimpin perjuangan ‘menyucikan Tanah Jawa’ (yang ditimbulkan oleh kolonialisme), dan juga sebagai ‘khalifatur Rasul’ yang seakan mengemban misi kenabian, sebagaimana misi ‘Islamisasi’ itu dijalankan untuk ‘kesempurnaan sosial menuju kualitas moral dan etika’. Sebab, kesaksian Pangeran terhadap kerusakan tatanan adalah kematian peradaban Jawa itu sendiri. Dalam keruntuhan itu, moral dan etika manusia Jawa mengalami kemerosotan dan menghalanginya mencapai kesempurnaan sosial—atau keadilan sosial.

Konteks kisah hidup Diponegoro oleh karenanya bukan saja menjadi satu rangkaian sejarah yang terputus dalam perjalanan sejarah agama di Nusantara. Ia menjadi satu bagian dari hayat islamisasi sejak pertama kali menyentuh dan memberikan peran rasionalisasi daya berpikir dan berjiwa bangsa-bangsa di Kepulauan Melayu-Nusantara. Itulah sebab Prof. Al-Attas secara konseptual-aktual melekatkan gambaran Islamisasi dari akar-akar filosofisnya menuju pada cabang-cabang praktisnya di Nusantara, yakni secara historis menggejala dalam rangkaian peristiwa-peristiwa. Di antara Islamisasi yang secara historis menggejala itu kelahiran, kehidupan, dan tragedi Pangeran Diponegoro adalah satu babakan tersendiri dalam salah satu perjuangan Islamisasi di Nusantara, tatkala ia akhirnya menemukan konfrontan peradabannya: peradaban Barat melalui kolonialisme Belanda yang de-Islamistis.

Sejarah perkembangan realitas Islam di Nusantara salah satunya terbentuk melalui kedirian Diponegoro sebagai pusat, dengan lingkungan historisnya adalah alam yang melingkupinya. Di bawah panji-panji agami Islam yang ditawarkan Diponegoro, serta kesaling-terkaitnya komunitas santri dalam perjuangannya itu, memperlihatkan betapa agami Islam memberi kekuatan yang aktual. Karena kekuatannya pula, kedirian Diponegoro menjadi sosok inspiratif pada zaman-zaman setelah kematiannya sekalipun. Diponegoro bukan hanya dimaknai sebagai seorang pahlawan, tetapi sebagai suatu hayat yang berada di tengah-tengah permasalahan segala zaman. Karena suatu tatanan baru yang berdaulat hendak ditegakkan maka relevansi kehadiran Diponegoro menjadi selalu kontekstual pula.

Kehadiran Barat dalam peradaban Jawa itulah yang disaksikan Diponegoro sebagai de-Islamisasi—bukan hanya dalam bidang agama itu sendiri, tapi juga aspek-aspek sosial, politik, dan ekonomi Jawa. De-Islamisasi berkembang karena keruntuhan moral individual orang Jawa. Di sanalah terletak kemerosotan mental Jawa dihadapan peradaban kompeni yang eksploitatif. Ketika Jawa dihadapkan dengan ragam pilihan dalam mengembalikan tatanan lama ataukah menuruti arus penguasaan Belanda, akhirnya ‘pemimpin-pemimpin palsunya’ memilih mendekatkan diri pada kejahilan dan kekeliruan (zulm) yang dipraktekkan Belanda. Maka menjadi terang bahwasannya ini merupakan tragedi kemanusiaan dalam perspektif Islamisasi itu sendiri.

Kemanusiaan Diponegoro: Suatu Simpulan

Berada pada puncak-puncak nalar Islamisasi, di mana Diponegoro berusaha untuk mengembalikan tatanan baru yang suci dari pengaruh kekeliruan (zulm), Pangeran telah menjadi sosok yang merepresentasikan esensi kesejatian dari kemanusiaan. Ia menjadi sosok yang mengabdikan diri dan jasadnya pada satu pendekatan esensial dalam memperbaiki jiwa peradaban melalui individu-individunya. Sebagai seorang Muslim-Jawa, Pangeran sadar betul tingkah laku bangsa-bangsa Barat yang pernah berhubungan dengan keraton. Sejak era kedatangan Daendels sebuah awal keruntuhan Jawa dimulai– lalu diikuti dengan Inggris, dan dikembalikan pada Belanda yang telah menjajaki watak kesewengannya dalam merenggut harga diri orang Jawa– orang Jawa selalu ditimpa kemalangan. Dalam bahasa Pangeran, kemalangan yang menimpa orang Jawa salah satu bermusabab dari dijauhkannya orang Jawa dari ‘hukum Ilahi yang disampaikan oleh Nabi dan dipaksa tunduk pada hukum Eropa.’ (Peter Carey, Takdir …, hlm.288, 289 dan 195).

Diponegoro menjadi esensial sebagai pejuang kemanusiaan karena kediriannya dan lingkungan sejarah dan Budaya yang melingkupinya.

Dalam artian lain, peradaban Barat yang konon ingin mengentaskan peradaban Jawa yang masih ‘tradisional’ itu, menjadi tonggak awal masuknya ketimpangan jiwa bangsa Eropa yang akhirnya merusak tatanan lama Jawa-Islam nun adiluhung. Ini senada dengan definisi de-Islamisasi yang disampaikan Prof. Al-Attas: “Deislamisasi adalah penyerapan konsep-konsep asing ke dalam fikiran umat Islam, yang kemudian menetap dan mempengaruhi pemikiran serta penalaran mereka. Inilah yang menyebabkan kelalaian terhadap Islam dan kelalaian terhadap kewajiban kepada Allah dan Nabi-Nya, kewajiban yang sesungguhnya diberikan kepada dirinya sebenarnya. Oleh karena itu, kelalaian ini juga adalah ketidakadilan (zulm) …” (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, hlm. 57) Kemerosotan yang dialami oleh manusia Jawa pada berbagai aspek dalam situasi ketidak-adilan yang merenggut keadaan semestinya dari kehidupan politik, sosial, dan ekonomi, dan serta hayat keagamaan dalam keseharian mereka merupakan bentuk de-Islamisasi yang mengakibatkan kejahilan dan kekeliruan.

Sebab, menurut Alija Ali Izetbegovic, “Tanpa sentuhan ilahi, hasil evolusi [dalam pandangan Darwinisme] tidak akan berupa manusia, melainkan binatang yang berkembang, seekor binatang super, atau makhluk bertubuh manusia dan memiliki kecerdasan manusia tapi tanpa hati dan kepribadian. Kecerdasannya yang tanpa pertimbangan-pertimbangan moral mungkin sekali akan lebih efisien, tapi pada saat yang sama juga akan lebih kejam. Sebagian orang membayangkan jenis makhluk ini sebagai datang dari sebuah planet yang jauh di alam semesta ini; sebagaian yang lain melihatnya sebagai produk peradaban kita pada tingkat perkembangannya yang tinggi.” (‘Aliya ‘Ali Izetbegovic, “Islam between East dan West”, a.b. Ahsin Mohammad, Islam antara Timur dan Barat, Bandung: Pustaka, 1993, hlm. 34).

Artiannya, makhluk materi dalam tradisi Darwinian telah gagal dalam melakukan penggambaran manusia. Kenyataannya, manusia adalah makhluk ‘Ilahiyah’ yang mau dan mampu melakukan perjuangan untuk mencapai ‘sentuhan ke-Ilahi-an’ untuk melawan kezaliman—yakni kondisi terhadap kebutaan total atas eksistensi. Dalam kondisi ke-ilahi-an tersebutlah manusia bisa dilihat dari kemanusiaannya. Diponegoro menjadi esensial sebagai pejuang kemanusiaan karena kediriannya dan lingkungan sejarah dan budaya yang melingkupinya. Pangeran hidup bersama misi yang diembannya dalam mengembalikan tatanan Jawa yang berdaulat di bawah ‘ajaran keselamatan Kanjeng Nabi dan Gusti Allah’. Allahu a’lam.

 

Cilodong, 12 Mei 2018

Dalam konteks penjajahan ekonomi sumber daya alam, kita bisa belajar dan menengok ulang bagaimana para aktor sosial maupun kelas sosial berelasi dengan kekuasaan di zaman Cultuurstelsel Belanda dahulu, yang kita tahu sejak kekalahan orang Jawa pada Perang Dipanegara (1825-1830), Jawa benar-benar telah menjadi di satu sisi ajang politik eksploitasi ekonomi pada level sumber daya alam melalui sistem Tanam Paksa (1830-1870) yakni untuk mengganti biaya kerugian perang Belanda, maupun di sisi lain akan menjadi lahan eksperimen politik kebudayaan pecah-belah penyingkiran Islam (identitas pemersatu pribumi)—yakni dengan cara menampik identitas Islamnya orang Jawa, yang dibayangkan melalui kesolidan identitas agama ini tenaga “revolusioner” yang dibawanya akan terus-menerus menginterupsi dan menggugat kekuasaan Kolonial.

Seperti diceritakan Ricklefs dalam “Polarizing Javanese Society, Islamic and Other Visions {c.1830-1930}”(2007), yakni tepat setelah kekalahan perang Dipanegara dimana akhirnya Jawa tunduk pada kuasa kolonial, polarisasi yang terjadi di masyarakat Jawa semakin menegas, saat (1) Para priyayi mulai dari regenten (bupati) hingga pejabat desa menjadi alat birokrasi yang ampuh untuk menerapkan eksploitasi sistem Tanam Paksa (coersed drudgery)—yang dari sistem ini para bangsawan pribumi mendapatkan keuntungan ekonomis dari prosentase hasil tanam—belakangan akan membentuk kelas khusus menjauh dari rakyat (Priyayi), juga (2) Kondisi mayoritas petani yang menjadi objek eksploitasi dalam penyelenggaraan sistem Tanam Paksa yang mengantarkan mereka pada kemelaratan (Abangan), dan yang terakhir (3) Para pedagang Islam dan Haji (kelas menengah), terutama di daerah pantai, yang sebenarnya relatif terlepas dari sistem ini, namun terlibat secara ekonomi juga politis, layaknya peran yang dimainkan oleh para saudagar Arab, China, dan sedikit India (Putihan).

Tidak aneh jika eksponen para pemberontak di tahun 1870 hingga 1880-an adalah para kyai dan tokoh desa pertanian di pedalaman Jawa, yang terlibat jauh dalam tarekat—dalam bingkai identitas Islam tradisional dan sufisme Jawa yang telah ditanamkan secara mendarah daging oleh Sultan Agung maupun para Wali (baca: Islam Jawa)—yakni yang memiliki ngelmu, mengamalkan suluk (laku) dan tirakat, memegang jimat-rajah, serta memegang keris-pusaka.

Tokoh-tokoh pemberontak kolonial seperti Akhmad Ngisa di Banyumas pada tahun 1870 dengan bersemangat menubuatkan datangnya “Ratu Adil” dan akan mengusir walanda (Belanda) dengan bekal piwulang Akmaliyah (baca: tarekat) pada para pengikut taninya.

***

Kita tahu, hari demi hari kelompok Islam Jawa ini semakin merenggang hubungannya dengan para pedagang-Haji yang semakin kasar mendesakkan ide-ide “ortodoksi”-nya di satu sisi (putihan), maupun semakin terpisahnya mereka dari kelompok elite priyayi yang di masa politik Etis (priyayi) yang kita tahu semakin menegaskan antusiasme pada kebudayaan dan nilai-nilai modern Belanda (kamilandanen), yang dalam suasana gamang meninggalkan identitas ke-Islaman mereka, yakni dengan cara menautkan identitas kejawaan dengan masa lalu Hindu-Budhanya (masa Majapahit) dengan bantuan temuan filologi dan arkeologi Belanda, maupun spiritualitas dunia yang sedang menjamur, juga rasionalitas pendidikan Politik Etis yang sedang berjalan.

Tokoh-tokoh pemberontak kolonial seperti Akhmad Ngisa di Banyumas pada tahun 1870 dengan bersemangat menubuatkan datangnya “Ratu Adil” dan akan mengusir walanda (Belanda) dengan bekal piwulang Akmaliyah (baca: tarekat) pada para pengikut taninya. Juga pemberontak bernama Kyai Hasan Maulani, Mas Malangyuda, Kyai Nur Hakim di pedalaman Jawa, atau Mas Cilik yang menyerukan pemberontakan para petani dengan keyakinan “ngelmu” dan “jimat”-nya di Tegal pada tahun 1864, yakni dengan cara menempelkan titel “Haji” meski tak pernah pergi ke Mekkah.

Serta kita juga dapat menemui pemberontakan Mas Rahmat—seperti dicatat apik dalam dalam autobiografi yang diedit oleh Ann Kumar “The Diary of a Javanese Muslim 1883-1886” (Canberra: 1985)—yang mempunyai hubungan dekat dengan Malangyuda juga dengan seorang pangeran Yogyakarta, Suryenggala di tahun 1883. Ia memperoleh kesaktiannya dari mengunjungi mulai dari makam para wali Jawa-Madura, gua wingit, menjadi santri di pesantren, hingga ber-tepekur di petilasan wingit Candi kuno leluhur orang Jawa.

Prototipe pemberontakan ini juga ditemukan pada “mahakarya” Sartono Kartodirjo “Peasant’s Revolt of Banten in 1888” yang terkenal itu yang mewakili spirit Islam Jawa sebelum terdesak badai reformasi Islam yang sebenarnya mulai menjangkiti para kelas menengah Islam Haji pasisir dan pedalaman, maupun sebagian para kyai pedalaman—yang notabene pelanjut “Islam Wali” (Islam tradisional)—seiring meningkatnya jamaah Haji sejak pembukaan Terusan Suez di tahun 1869.

Gelombang reformasi Islam ini berjasa menggelontorkan tuntutan “ortodoksi yang terbaharui” dari tanah Arab, maupun sedikit-demi-sedikit menyumbang kerenggangan sebagian pesantren dari pengajaran tasawuf tingkat lanjut yang menjadi penyangga pandangan dunia Islam Jawa—Ricklefs menyebutnya “Mystic Synthesis”—dan akhirnya menjadikan sebagian pesantren terbonsai dan terkurung dalam kecakapan teknis bahasa Arab maupun paradigma fikih dengan tambahan tasawuf akhlaqi seperlunya, yang pelan-pelan menjauh dari akar kejawaan lama.

Pengajaran kesusateraan Jawa  yang menjadi modus lumrah di pesantren seperti terekam di Pesantren Gebang Tinatar, Tegalsari, Ponorogo, Pesantren Jamsari di Madiun, maupun Pesantren Kyai Anggamaya di Kedu yang dibenarkan oleh catatan Belanda di masa sebelum Perang Dipanegara menjadi terkonfirmasi, karena memang merupakan Kawah Candradimuka tempat para pujangga Surakarta dari mulai Yasadipura I, Yasadipura II, maupun sang Pujangga panutup Ranggawarsita yang pernah menjadi santri di pesantren yang telah disebut di muka.

Di tahun 1866 dikeluarkan peraturan yang berusaha memisahkan penghulu dan pemimpin agama di desa (kyai) alias eksponen pelanjut Islam Jawa tradisional.

***

Dalam konteks masyarakat yang terpolarisasi hebat pasca kekalahan perang Jawa (1825-1830), yakni sejak diberlakukannya Cultuurstelsel dan berganti ke Politik Etis hingga awal abad 20, masyarakat Jawa mulai mengenal sistem ekonomi kapitalistik berjejaring dunia dengan skala yang sangat luas, peredaran masif ekonomi uang, pertanian varietas baru impor, kapitalisme perkebunan, pajak sewa, sistem transportasi yang bersambung di sepanjang Pulau Jawa, serta pendidikan sekolah modern Eropa yang lambat laun menggusur modus pendidikan pesantren—artinya juga menggeser pandangan dunianya—yang kita tahu menjadi penyangga identitas Islam Jawa, sungguh benar-benar semakin membelah masyarakat dalam kategori priyayi, abangan, dan putihan, yang sebenarnya tidak dikenal pada masyarakat Jawa setidaknya bermula pada akhir abad 19 hingga mengeras di awal abad 20. Pembelahan inilah yang kemudian didinamisir ke level terjauhnya melalui studi-studi antropologi seperti dilakukan Clifford Geertz, dan kawan-kawan.

Pembelahan ini tidak terjadi secara natural dalam pengertian strata sosial semata seperti dalam era-era sebelumnya, melainkan dalam hal ini telah menggeret pengkutuban tersebut ke posisi “saling konfrontasi” dalam konteks relasinya dengan kekuasaan ekonomi maupun politik kolonial. Yakni di mana posisi priyayi memerankan strata sebagai mesin birokrasi kolonial untuk menghisap keuntungan maksimal yang diselenggarakan para petani dalam sistem Tanam Paksa, dan sebagian para pedagang Haji yang menyediakan ketersediaan “cash money” seperti yang dilakukan para pedagang Arab, China dan India, serta yang terakhir para petani yang menjadi “obyek tertindas” yang terus menerus menderita kemelaratan, kecuali para petani pemilik tanah yang juga ikut mencicipi keuntungan ekonomi Tanam Paksa.

Nanti di akhir abad 19 hingga awal abad 20, seperti dicatat Steenbrik (1984), kita akan segera tahu serangkaian kebijakan kolonial yang bertujuan untuk memangkas, menekan, dan menggencet kelompok Islam Jawa (Islam Tradisional) yang masih tersisa dan sebenarnya telah berada di “pinggiran” serta kehilangan pemimpin priyayi maupun agamanya setelah Perang Jawa. Misalnya di tahun 1866 dikeluarkan peraturan yang berusaha memisahkan penghulu dan pemimpin agama di desa (kyai) alias eksponen pelanjut Islam Jawa tradisional. Pemerintah kolonial dengan sengaja menjadikan para penghulu sebagai pejabat sipil negeri di bawah administrasinya, dan melarang para Kyai mengumpulkan zakat, agar para penghulu menjadi lebih “setia” kepada Belanda dan pengaruh para Kyai bisa terkurangi.

Juga di dekade tahun-tahun itu kebijakan kolonial dengan bersemangat mencurigai setiap aktivitas bergerombol jamaah tarekat maupun perkumpulan doa yang melibatkan banyak orang, melarang praktik mistik popular yang ramai di pasar-pasar, merampas buku-buku primbon ataupun kitab-kitab, maupun serat-serat yang menubuatkan datangnya Ratu Adil yang dirasa dapat merongrong, maupun pemenjaraan tokoh pengajar pesantren yang jelas-jelas menentang sistem pengadilan hukum agama kolonial (penghulu) yang telah tunduk pada sistem administrasi kolonial. Dalam hal ini pemberontakan Kyai Ahmad Rifa’i Kalisasak yang terkenal bisa kita tempatkan dalam konteks kebijakan ini.

Bahkan di tahun 1905 semua guru agama dan pesantren diminta mendaftarkan dirinya kepada Bupati, beserta laporan kurikulum pengajarannya, kitab-kitab yang diajarkannya, beserta jumlah santrinya, agar ia berada terus-menerus dalam “kendali” kekuasaan kolonial. Pesantren dan guru agama yang membangkang akan ditindak tegas.

Plus, meski awalnya berusaha untuk membentuk pendidikan berdasar sistem pendidikan pribumi (pesantren), namun selanjutnya Pemerintah kolonial benar-benar membikin sistem pendidikan modern yang terpisah dan memisahkan, alias lepas dari sistem pendidikan pribumi (Steenbrink; 1984). Yakni sebuah usaha untuk mengganti seluruh pandangan dunia tradisional lama (yakni dengan unsur mistisismenya yang sulit dikendalikan) dan mengintegrasikan pendidikan umum dan Islam ke spirit modernisme yang lebih tertata dan bisa dikontrol dan dijinakkan. Dengan nalar ini kita menjadi mafhum kenapa tujuan utama dan misi Pendidikan Politik Etis adalah menghapus Budaya takhayul, klenik, mistik, dan khurafat. Dan, akhirnya sistem pendidikan Islam asli pribumi (pesantren) di awal abad 20 tersuruk di pinggiran, terisolasi, dan terabaikan.

Tumbuhnya pemberontakan para petani yang dipimpin para pemimpin lokal yang terserap dalam nuansa identitas ke-Islam-an Jawa, bagi saya menandai fakta penting, bahwa para kawula atau rakyat kebanyakan telah ditinggalkan oleh para pemimpinnya, baik dari para aristokrat Jawa maupun dari para pemimpin agama kelas menengah.

Seperti telah banyak diulas, Perang Dipanegara (1825-1830) menandai perlawanan terakhir bergabungnya elemen masyarakat mulai dari para kyai pemuka masyarakat, santri, para bangsawan/priyayi pemberontak, rakyat biasa, petani, blandong, penyamun, perampok, gali, hingga para pencuri dalam barisan bendera perang “sabilollah” Dipanegara melawan “kafir” Belanda untuk mempertahankan harga diri terakhir bangsa Jawa.

Dan Soekarno mungkin akan menangis saat melihat nasib para petani kita hari ini tidak sedang beranjak dari kondisi kemelaratannya.

***

Sejak kekalahan perang ini, pemberontakan-pemberontakan rakyat telah menjadi insiden pinggiran yang dengan mudah ditangani oleh Pemerintah Kolonial. Karena kita tahu, bahwa Keraton beserta para bangsawannya praktis di satu sisi telah kehilangan kuasa politiknya secara paripurna, maupun secara bersamaan diikuti perilaku para priyayi semakin terserap dalam “rasionalitas” modern Belanda (baca: “agama Budi” (akal), seperti dinubuatkan oleh Serat Gatholoco, Darmogandul, dan Babad Kedhiri), maupun di sisi lain keterkurungan mereka dalam benteng keraton sehingga dengan sendirinya terputus dengan mata-rantai sistem pengetahuan Islam tradisional yang diajarkan oleh guru-guru pesantren di Pedesaan, sehingga melecut kelompok yang disebut terakhir membentuk “jaringan Islam” internasional yang lebih massif di abad 19 hingga 20.

Pemberontakan para petani dan tokoh spiritual lokal ini juga mengungkap bahwa para tokoh yang masih membenamkan diri dalam denyut keagamaan dan penderitaan masyarakat-lah yang akan terus melawan. Masalahnya narasi trikotomi pembelahan masyarakat Jawa, yang sebenarnya merupakan kelanjutan dampak yang ditimbulkan oleh politik pecah-belah kebudayaan Belanda masih terus-menerus dihidupkan para sarjana kolonial beserta murid-muridnya hingga hari ini, yang bahkan dalam kasus tertentu didinamisir untuk saling membenturkan dan mengekslusi. Dan Soekarno mungkin akan menangis saat melihat nasib para petani kita hari ini tidak sedang beranjak dari kondisi kemelaratannya. Juga terkait ide persatuannya untuk menyatukan tiga kelompok ini (Nasionalis, Agama, dan Komunis) yang digagas dari sejak muda dalam payung Indonesia, justru tenggelam dalam narasi sejarah, serta politik pembelahan masih terus dilanggengkan sebagai lanjutan politik kebijakan kolonial Belanda yang telah menyorongkan estafetnya pada penguasa penjajah kapital baru yang sedang berlangsung hari ini. Akhirnya para petani kita terus-menerus berada di “pinggiran” dan masih terbaluti lumuran kemelaratan di sekujur tubuhnya hingga hari ini.

Allahu A’lam.

Irfan Afifi, 31 Maret 2016


Dr. Karel A. Steenbrink, “Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19”, Bulan Bintang, Jakarta, 1984.

M.R.C. Ricklefs, “Mystic Synthesis in Java: A History of Islamization from the Fourteenth to the Early Nineteenth Centuries”, (Norwalk, CT: EastBridge), 2006.

M.R.C. Ricklefs, “Polarizing Javanese Society, Islamic and Other Visions {c.1830-1930}” (Leiden: KITLV Press), 2007.

Ann Kumar “The Diary of a Javanese Muslim 1883-1886” (Canberra, Australian University Monograph), 1985.

Sartono Kartodirjo “Peasant’s Revolt of Banten in 1888”, (Brill Publisher, Series Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkund), 1966.