Corona
Tulisan ini merupakan hasil pengamatan saya terhadap sikap salah satu kelompok Tarekat yang cukup mainstream di Indonesia dalam rangka merespon Wabah yang terjadi di berbagai belahan dunia khususnya Indonesia. Saya sebut merespon karena kelompok ini telah mengambil sikap terlebih dahulu -menurut catatan saya- sejak awal Januari sebelum pemerintah Indonesia. Wabah yang dimaksudkan adalah Covid-19 atau yang lebih dikenal masyarakat luas sebagai Corona.
Fahmi dan Zaky (bukan nama sebenarnya) adalah diantara pengikut tarekat Syadziliyyah yang berjejaring hingga K.H. Abdul Jalil bin KH. Mustaqim Tulungagung Jawa Timur. Silsilah ini saya sebut sebagai Syadziliyyah “Jaringan Tulungagung” mengingat perkembangan tarekat ini amat pesat oleh KH. Abdul Jalil dengan pusatnya di pesantren PETA (Pesulukan Thoriqot Agung)/ Sultan Agung ’74 Tulungagung. Sepeninggal KH. Abdul Jalil kepemimpinan pesantren diberikan kepada KH. Sholahuddin atau yang lebih dikenal dengan Gus Saladdin. Selain pengasuh pesantren PETA, praktis Gus Saladdin menggantikan ayahnya sebagai mursyid Syadziliyyah.
Sejak merebaknya virus Covid-19 (Corona) Fahmi dan Zaky telah menerima instruksi semacam ritual tolak bala’ dari salah seorang mursyidnya di Tulungagung.
Sejak merebaknya virus Covid-19 (Corona) Fahmi dan Zaky telah menerima instruksi semacam ritual tolak bala’ dari salah seorang mursyidnya di Tulungagung. Pada akhir bulan Desember seluruh jama’ah Syadziliyyah jaringan Tulungagung diperintahkan untuk meminum air degan (kelapa muda). Sebelumnya telah diperintahkan untuk membuat sayur daun ketela. Instruksi tersebut tersebut berlanjut hingga awal Januari agar jamaah membuat Jenang Sumsum. Perintah ini tidak berhenti, ketika virus tersebut mulai masuk ke Indonesia awal Februari, jama’ah diminta untuk membuat sabuk dari kain hijau yang tengahnya diberi janur kuning. Teranyar bentuk ikhtiar yang disyaratkan oleh mursyid adalah menggunakan gelang dari janur yang telah direbus di pergelangan tangan kiri selama 6 bulan dan makan jenang sumsum di kasih sedikit janur setiap seminggu sekali, disamping sabuknya tetap dipakai.
Bahkan lebih jauh, dalam rangka menghindari penularan virus secara kelembagaan Sultan Agung ‘74 telah meliburkan segenap agenda yang sifatnya mengumpulkan masa seperti rutinan Kliwonan dan Khususiyyah Mingguan. Maklumat lain adalah tidak diperkenankan membicarakan tentang Covid-19 atau virus Corona per tanggal 20 Maret. Tujuannya adalah agar tidak menimbulkan kegaduhan dan simpang siur informasi. Hal terkait virus tersebut agar dijelaskan oleh orang yang ahli dalam hal ini adalah tenaga medis. Ketika artikel ini saya revisi pada minggu pertama bulan April ada perintah baru yaitu mblonyohi (mengolesi) pusar dengan kunyit.
Tentu saja berbagai macam instruksi tersebut menggerakan para jama’ah Syadziliyah jalur Tulungagung untuk ngestuaken dawuh mursyid (menjalankan perintah pembimbing). Para pengikut tarekat secara berkala mempersiapkan ubo rampe yang diperintahkan guru baik secara individual maupun komunal. Dari berbagai grup Whatsapp atau Facebook misalnya, mereka mem-posting persiapan Janur yang dijemur, gelang Janur, atau menjahit kain hijau. Bahkan beberapa juga membagikan secara gratis kepada sesama pengikut Syadziliyyah yang tidak membuat sendiri. Instruksi ini amat masif dijalankan dari hulu hingga hilir jaringan. Meski ada beberapa orang karena keterbatasan tidak mengenakan hal tersebut. Tetapi jama’ah yang fanatik dan meyakini wushul-nya mursyid melakukan semua instruksi tersebut.
Sekalipun sama-sama Syadziliyah, yang penulis amati instruksi semacam ini tidak muncul dari tarekat Syadziliyah jaringan Watucongol Muntilan, Somalangu Kebumen, atau Cidahu Banten. Masing-masing jaringan Syadziliyah ini sebenarnya memiliki mursyid yang tidak kalah tersohor. Bila dibandingkan dengan jalur Tulungagung bahkan bisa jadi lebih terkenal. Hal tersebut mengingat tokoh mursyid atau pengasuh pesantrennya masuk dalam jajaran ulama yang dikenal secara nasional. Namun strukturisasi jamaah yang rapi menjadikan pengikut jaringan Tulungagung bisa dibilang lebih banyak daripada yang lain.
Tentang bentuk instruksi tersebut memang tidak muncul secara langsung dari induk ajaran Syadziliyah (baca: Abu Hasan As-Syadzili) sendiri. Ini lebih dari bentuk “kreatifitas” mursyid pribadi atas kedekatannya kepada Allah hingga memperoleh petunjuk langsung. Tentu saja sangat memungkinkan terjadi perbedaan sikap antara satu mursyid dengan yang lainnya. Kalau diperhatikan dengan seksama bahan-bahan yang dianjurkan dalam isyarat tersebut sudah sangat Jawa, semisal: degan, jenang sumsum, janur kuning dan kunyit. Tentu saja komposisi ini bukan hal yang lumrah digunakan di Maroko, asal Syekh Abu Hasan As-Syadzili.
Kalau diperhatikan dengan seksama bahan-bahan yang dianjurkan dalam isyarat tersebut sudah sangat Jawa, semisal: degan, jenang sumsum, janur kuning dan kunyit. Tentu saja komposisi ini bukan hal yang lumrah digunakan di Maroko, asal Syekh Abu Hasan As-Syadzili.
Belajar dari Kasus di Bantul
Malam itu hari rabu, minggu ketiga setelah Majelis Ulama Indonesia mengumumkan bolehnya -bahkan cenderung melarang- untuk tidak melakukan sembahyang Jumat. Alasannya jelas, untuk memperlambat penyebaran wabah Corona. Takmir masjid Al-Islam sedang melakukan rapat untuk menentukan apakah tetap mengadakan shalat Jumat atau tidak. Tentu saja nama masjid tersebut bukan sebenarnya, bahwa itu berada di sebuah dusun di Bantul adalah benar.
Termasuk hadir dalam rapat tersebut adalah Fahmi, praktis karena beliau adalah salah satu kordinator divisi dalam ketakmiran. Mawardi, salah seorang takmir mengawali rapat tersebut dengan memberikan gambaran tentang wabah, sikap MUI, NU dan Muhammadiyah yang meliburkan sementara aktivitas Shalat Jumat. Chamid salah seorang pengurus yang tingkat pemahamannya lebih awam lebih memilih untuk libur jumatan dengan pertimbangan keselamatan. Tetapi soal usia dan pengaruh tentu saja Chamid jauh di bawah Fahmi dan Mawardi sehingga berakhir pada kalimat “saya ngikut saja”. Mawardi adalah alumni pesantren di Bantul sekaligus menjadi pengajar untuk saat ini. Ia menguatkan pemaparannya dengan hadis yang dikutip dari beberapa kitab hadis dan fikih. Baginya instruksi 3 lembaga tersebut adalah final demi kemaslahatan. Tugas ketakmiran adalah menjelaskan kepada jamaah masjid agar tidak muncul persepsi dilarang “Jumatan” terlebih kepada orang-orang sepuh yang telah menganggap ibadah mutlak. “Kita tidak boleh kehilangan keimanan” Fahmi mengawali pendapatnya. “Saya memang tidak mengerti soal dalil-mendalil, tapi saya yakin bahwa kita Jum’atan itu tidak apa-apa. Toh semua sudah digariskan oleh Allah, kenapa harus takut pada Corona!”, semakin mantap Fahmi berargumen. Fahmi sendiri, selain seorang pengikut tarekat Syadziliyyah ia adalah alumni pesantren PETA. Suatu ketika ia pernah bercerita kepada penulis bahwa ia pernah amat dekat dengan Kyai Jalil, bahkan pernah mengikuti beliau untuk laku ritual. Baginya kalau Kyai memerintahkan jalan ya jalan, kalau puasa maka ia akan puasa, tanpa sedikitpun bertanya alasan.
“Saya memang tidak mengerti soal dalil-mendalil, tapi saya yakin bahwa kita Jum’atan itu tidak apa-apa. Toh semua sudah digariskan oleh Allah, kenapa harus takut pada Corona!”
Busyro sebagai ketua takmir nampaknya semakin kebingunan untuk mengambil sikap. Dua kubu saling berseberangan ini nampaknya memiliki keyakinan masing-masing. Ketokohan keduanya masing-masing bisa menjadi kekuatan sekaligus kelemahan ketakmiran. Sekalipun Fahmi tidak memberikan alasannya, kecuali masalah keimanan. Sikap Busyro sebenarnya jelas, memilih pendapat Mawardi. Selain lebih masuk akal untuk kemaslahatan juga dia adalah ketua salah satu organisasi keagamaan di kampung. Meski nampak mengambang rapat malam itu memutuskan jumatan untuk sementara libur.
Meski keputusan takmir meliburkan Jumatan, Fahmi tetap berangkat ke masjid jumat itu. Chamid yang masih kerabat bercerita kalau lik-nya saat itu berkalung Janur. Ia tidak tahu alasannya dan tidak berani bertanya. Maka Jum’at hari itu digelar dengan 2 baris jamaah saja. Terutama orang tua yang pikirannya hanya ibadah. Menurut pengakuan salah seorang jamaah ada sekitar 20 orang. Meskipun bisa jadi jumlah tersebut terlalu dilebihkan berdasarkan pengamatan salah seorang warga.
Berbeda dengan Zaky yang menjadi Kyai Masjid sekaligus tokoh sentral. Di masjidnya yang kurang lebih berjarak 10 km dari dusun di desa Fahmi jama’ah Jumatan masih seperti biasanya. Masjid dan serambi penuh dengan jamaah, sekalipun tidak menerima jama’ah dari luar kampung. Beberapa warga sekitar masjid adalah pengikut tarekat sehingga tidak ada kontroversi soal jum’atan. Penerimaan ini sekaligus juga kesepahaman soal instruksi mursyid tentang beberapa hal yang dipersiapkan untuk menghadapi wabah. Namun demikian Zaky masih memberi batas-batas antara jamaah tarekat dan jamaah masjid, sehingga ia tidak mengumumkan hal terkait tarekat pada jamaah masjid.
Memahami Nalar Kelompok Tarekat
Sebagaimana telah kami tuliskan pada artikel sebelumnya bahwa kelompok tarekat merupakan salah satu bagian komunitas yang amat unik, solid dan berkekuatan. Kekuaatan pada kelompok ini bisa dimaknai secara ideologi dengan kuatnya keyakinan kegamaan dengan basis tasawuf yang acapkali berhadapan dengan cara pandang kelompok legal formal syariat yang mengacu pada fikih murni (tasawuf vis a vis fiqih); atau kekuatan dalam makna yang sebenarnya yaitu sebagai sebuah gerakan masa. Untuk contoh yang pertama seperti kasus pada Fahmi. Sedangkan untuk contoh kedua adalah sebagaimana Zaky dengan mudah menggerakkan jamaahnya untuk tetap bertahan mengadakan Jumatan.
Kelompok tarekat itu memiliki alur logika tersendiri yang bisa jadi dipandang aneh atau nyleneh oleh masyarakat di luar kelompoknya, terlebih orang umum yang sama sekali tidak mengerti tareka
Kelompok tarekat itu memiliki alur logika tersendiri yang bisa jadi dipandang aneh atau nyleneh oleh masyarakat di luar kelompoknya, terlebih orang umum yang sama sekali tidak mengerti tarekat. Ketidakpahaman ini acapkali menimbulkan sikap kecurigaan atau kesan negatif terhadap kelompok tarekat. Garis tindakan kelompok tarekat tidak didasarkan arahan (fatwa) ulama secara umum. Mereka digerakkan oleh instruksi yang diberikan oleh mursyid sebagai pimpinan tertinggi kelompok ini. Mempertanyakan perintah mursyid adalah suatu pantangan, mengingat sifat ketundukan murid (orang yang mengikuti) kepada mursyid (orang yang menunjukkan) bersifat mutlak. Sikap Fahmi yang tidak menjelaskan alasannya mengapa ia menggunakan Janur, atau asumsi bahwa dirinya telah kebal penyakit tentu saja tidak dapat dilepaskan. Ia hanya tunduk pada mursyid tanpa perlu merasa mengeluarkan dalil agama.
Sebagai catatan penting, bahwa pengetahuan kelompok sufistik diproduksi dari proses irfani. Yakni sebuah pengetahuan yang diterima melalui mata batin dalam bentuk -yang saya sebut dengan- al-isyarah as-sirriyyah (isyarat yang rahasia), sebuah bisikan ilahiyyah yang adakalanya diterima melalui proses khalwat (menyendiri), berziarah ke makam orang shalih, i’tikaf di masjid atau muncul secara tiba-tiba begitu saja. Sehingga tidak mengherankan kalau tindakan yang diperintahkan itu terkadang semacam tidak logis, aneh atau kehilangan konteksnya. Untuk memperoleh pengetahuan yang didasarkan pada intuisi ini tidak semua guru tarekat mendapatkannya. Hanya orang-orang yang telah wushul saja yang medapatkan pengetahuan ini.
Memang logika pengetahuan tersebut tidak jarang terjadi benturan antara nalar kaum fiqih (baca: fuqaha’) dengan kelompok sufistik (Bayani vis a vis ‘Irfani); kelompok sufi dengan filosof (Irfani vis a vis Burhani) dan filosof melawan sufi (Burhani vis a vis ‘Irfani). Formulasi nalar ini termanifestasikan dalam tiga bentuk penalaran: (1) Bayani, adalah sistem strukturalitas epistemologi yang muncul dalam bidang filologi, ushul fiqih, teologi dan balaghah difungsikan untuk menafsirkan teks-teks keagamaan dengan model analogi (qiyas) dengan tendensi kembali pada teks sebagai sandaran. Mengenai hal ini setiap fan ilmu memilih menggunakan istilah mereka sendiri agar terlihat lebih mandiri. Ahli hukum dan ahli nahwu menyebutnya istilah Qiyas. Ahli balaghah menamainya al-Tasybih. Ahli teologi menyebutnya al-Istidlal bi al-Syahid (far’) ‘ala al-Ghaib (asl); (2) ‘Irfani adalah sistem epistemologi gnostik yang yang melekat dalam sufisme, Syi’ah dan Isma’iliyyah. Nalar ini merupakan interpretasi esoterik terhadap teks-teks keagamaan dan filsafat iluminasi yang didasarkan pada metode penyingkapan intuitif mistik (al-Kasyf) atau ilham yang terpengaruhi oleh filsafat Hermetisme; (3) Burhani adalah model epistemologi demonstratif berdasarkan nalar observatoris-rasionalis-empiris (al-Istintaj al-‘Aqli) secara umum digunakan oleh filosof.
Bagi penulis, al-isyarah al-sirriyyah yang diperoleh oleh mursyid sejajar dengan syatahat para sufi. Produksi pengetahuan ini adalah manifestasi dari bahasa al-Quran “hudan lil muttaqin” (petunjuk bagi kaum yang bertaqwa). Signifikansi makna “hudan” itu sendiri relatif, antara hudan-nya ahli tasawuf, hudan-nya ahli fiqh, serta hudan-nya seorang sastrawan maupun hudan-nya seorang saintis. Degan, sayur ketela, sabuk hijau, Janur dan sederet lainnya tentu saja diperoleh melalui al-isyarah al-sirriyyah yang tidak memerlukan penjelasan.
Signifikansi makna “hudan” itu sendiri relatif, antara hudan-nya ahli tasawuf, hudan-nya ahli fiqh, serta hudan-nya seorang sastrawan maupun hudan-nya seorang saintis. Degan, sayur ketela, sabuk hijau, Janur dan sederet lainnya tentu saja diperoleh melalui al-isyarah al-sirriyyah yang tidak memerlukan penjelasan.
Di sisi lain ada hal yang secara sosial tidak boleh dilewatkan, popularitas sebuah tarekat seringkali dikarenakan intuisi kosmik guru tarekat. Yang dalam ranah lebih luas menjelma menjadi kontestasi kelompok tarekat, sekalipun terkadang beraliran sama. Munculnya Babad Kedung Kebo selain sebagai Pledoi Cokronegoro 1 atas sikapnya yang lebih membela Belanda juga sebagai penegasan asumsi bahwa spiritualitasnya lebih matang daripada Diponegoro. Sebagaimana belakangan diketahui bahwa Cokronegoro 1 dan Diponegoro adalah sama-sama pengikut tarekat Shattariyah dari jalur Kyai Taftazani Mlangi. Bentuk pencarian petunjuk Diponegoro melalui Joyomustopo di Pajimatan Imogiri yang menghasilkan “perang darah” serta kegagalan pencarian Kembang Wijoyokusumo oleh Kiai Janodin, Abu Kasan dan Kyai Mufid di Pulau Nusakambangan sebenarnya suatu al-isyarat al-sirriyah yang amat jelas. Andaikan Diponegoro tetap memberontak melawan Belanda konsekuensinya adalah timbulnya banyak korban dan mempertegas bahwa ia bukan Ratu Adil yang dimaksud dalam ramalan Jayabaya, Raja Kediri. Dalam perspektif Cokronegoro 1 Diponegoro sedang dilanda kesombongan (takabbur). Pernyataan ini tidak dimaksudkan untuk memihak antara Diponegoro atau Cokronegoro 1, hanya saja untuk mempertegas bahwasannya terdapat ruang kontestasi secara sosial antara satu kelompok tarekat dengan tarekat lainnya.
Walhasil, mari kita hilangkan sikap kecurigaan pada kelompok tarekat, terlebih memandangnya sebagai kelompok yang irrasional. Sembari kita mengikuti perkembangan instruksi dari mursyid tarekat Syadziliyyah dalam menyikapi wabah sebagai bentuk ikhtiar. Kita juga bisa mengamati perkembangan popularitas dan bargaining kelompok tarekat ini dibandingkan kelompok tarekat lain yang hari ini tidak semasif ini arahan mursyidnya. Mursyid yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah Ibu Nyai Umi Zahra, istri dari Almarhum KH. Abdul Jalil. Semoga beliau senantiasa diberi kesehatan dan umur panjang.
*Wushul secara sederhana berarti pencapaian seorang salik terhadap maqam ma’rifat billah (mendapat petunjuk dari Allah)
Bantul, 07 April 2020 pukul 01.53 WIB.

Gelang janur.

Sabuk hijau dari kain di dalamnya ada janur.
Sumber Bacaan:
https://langgar.co/jejaring-tarekat-abdusshomad-al-palimbani/
Peter Carey, Babad Kedung-Kebo dan Historiografi Perang Jawa, 2017.
Martin Van Bruineseen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat.
Al-Jabiri.Muhammad Abid, Bunyah al-‘Aql ‘Arabi, 1990.
Dalam tulisannya yang bertajuk “Anti-Capitalist Politics in the Time of Covid-19” yang dimuat di laman Jacobin, geografer David Harvey membayangkan pandemi Covid-19 bisa memicu “riot and revolution”. Dalam kesempatan ini, saya berusaha memahami detak jantung Planet ini secara lebih dekat tentang apa yang sebenarnya yang sedang terjadi. Saya sampai pada titik bahwa revolusi sudah bukan akan terjadi, tapi sedang berlangsung.
Dalam sebuah kesempatan, sosiolog Bruno Latour menyebutkan bahwa “Any thing that does modify a state of affairs by making a difference is an actor—or, if it has no figuration yet, an actant”. Hanya yang membuat perbedaan yang dapat dihitung sebagai aktor. Actant dalam tulisan-tulisan Latour kita kenal sebagai aktor non-manusia. Hari-hari ini adalah hari-hari yang sangat intents dimana kita berhadapan dengan actant yang bahkan tak bisa kita lihat dengan mata biasa. Dia bernama “severe acute respiratory syndrome coronavirus 2” (SARS-CoV-2) yang kemudian akrab disebut sebagai virus Corona. Virus ini telah mengocok ulang kekukasaan di level dunia melalui penyakit yang ditimbulkan, yang akrab disebut dengan Coronavirus diseases 2019 (COVID-19).
Saya melihat momen ini sebagai momen revolusi. Sebuah perubahan spontan-organik, radikal, dan cepat. Ini bukanlah sebuah revolusi Marxis di mana elan revolusioner yang dibayangkan adalah kaum buruh. Ini adalah sebuah revolusi ekologi/lingkungan abad XXI di mana elan revolusinernya adalah non-manusia. Dari beberapa tulisan kontemporer yang terbit sejak meledaknya pandemi bernama Covid-19 ini, saya sampai pada satu titik pemikiran bahwa pada dasarnya virus corona ini adalah buah dari relasi antara manusia dengan non-manusia. Saya tidak ingin menyebut yang terakhir sebagai “alam,” karena saya memahami manusia sebagai bagian yang integral dari apa yang disebut sebagai “alam” itu.
Saya tidak ingin menyebut yang terakhir sebagai “alam,” karena saya memahami manusia sebagai bagian yang integral dari apa yang disebut sebagai “alam” itu.
Pendek cerita, dalam salah satu versi pendapat, virus corona muncul karena ruang hidup atau habitatnya terdesak dan karena itu manusia menjadi sasaran berikutnya untuk dijadikan inang. Poin soal asal-usul virus corona ini belum konklusif. Sebuah penjelasan lain yang masuk lebih detil dan eksplisit dari tulisan yang pernah saya baca juga rasanya sangat masuk akal. Bahwa banyak patogen (bakteri, virus, atau mikroorganisme lain penyebab penyakit) yang tadinya berada dalam habitatnya di hutan, kini bergerak meninggalkan hutan karena hutannya sudah semakin habis. Patogen-patogen itu mencari inang-inang yang baru. Dan manusia, hanyalah satu spesies yang menjadi sasaran mereka di dalam universal yang disebut sebagai alam itu.
Revolusi non-manusia bukanlah barang baru. Contoh revolusi ekologi yang radikal misalnya, pernah terjadi di Danau Victoria, Afrika, ketika spesies Ikan Kakap (Lates niloticus) dari Sungai Nil dimasukkan oleh manusia ke dalam Danau Victoria dengan tujuan meningkatkan produktivitas daging ikan dari demi menutupi permintaan dari terutama pasar Eropa. Ternyata di sana ia menjadi spesies asing (alien species). Begitu dia masuk, maka rantai makanan segera diubah. Perubahan radikal terjadi pada rantai makanan karena Ikan Kakap memangsa ikan pemangsa Alga. Alga kehilangan predator dan populasinya meledak. Kondisi populasi Alga yang semakin besar (Algae bloom) membuat Danau berubah menjadi danau beracun. Ia beracun karena Alga yang populasinya meledak memiliki kandungan microcystin yang beracun bagi hati manusia yang mengkonsumsinya. Microcystin ini bisa terbawa lewat air.
Revolusi Covid-19 berlangsung sangat spontan-organik. Bayangkan, dari sudut pandang virus corona semuanya ini adalah soal eksistensi spesies mereka: ini soal bagaimana mereka memperbanyak diri. Soal hidup atau mati. Suatu gerakan yang sangat progresif-revolusioner! Namanya spesies, harus hidup dan berbiak. Itu proses organik. Namun, dari sudut pandang inang seperti manusia, ini adalah penyakit. Begitu cerdik, virus ini memilih tempat yang sangat lunak untuk menjadi basis spasial pengorganisasiannya: di paru-paru inangnya. Mereka berdiam dan memperbanyak diri di sana.
Revolusi Covid-19 juga radikal dan cepat. Di bidang politik, ia sangat radikal kalau kita lihat bagaimana konjungtur geopolitik global dikocok ulang karena kehadirannya. Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat yang sebelum pandemi adalah negara-negara kaya negara dunia pertama yang sangat kuat di segala lini, tiba-tiba terlihat berubah menjadi pariah didera oleh wabah Covid-19. Tentu saja ada ketimpangan dalam bagaimana cara negara kaya macam negara-negara Eropa Barat menanggapi wabah Covid-19 dengan cara negara miskin seperti Indonesia. Tulisan ini tidak akan masuk membahas itu, karena sudah didiskusikan dalam tulisan bertajuk “Revolusi Permanen: Cari Alternatif terhadap Moda Produksi Kapitalisme”.
Di sisi lain, kekuatan geopolitik lain seperti China dan Kuba menjadi terlihat begitu jagoan. Sampai saat ini, dunia melihat China berhasil menghadapi ledakan pandemi Covid-19. China seolah lulus menjalani ujian untuk menjadi pusat dari kapitalisme global berikutnya, setelah AS yang kini masih bertarung menyelamatkan warganya dari ledakan populasi SARS-CoV-2. Kuba, negara kecil itu, menjadi jagoan karena media-media, terutama media sosial kita, memperlihatkan bagaimana negara itu mengirim dokter-dokternya untuk membantu negara-negara yang sedang kena serangan wabah. Selain itu, para ilmuwan Kuba juga diberitakan sudah memproduksi Interferon yang disebut-sebut dapat meningkatkan kekebalan tubuh untuk menghadapi serangan dari virus macam SAR-CoV-2.
Di tingkat nasional, kocok ulang kekuasaan politik belum terjadi hingga saat ini. Namun sudah terlihat bagaimana wibawa pemerintah pusat semakin berkurang. Pemerintah di bahwa kepemimpinan Jokowi yang pada awalnya tidak begitu menghiraukan pandemi korona, harus membayar mahal untuk itu.
Pemerintah di bahwa kepemimpinan Jokowi yang pada awalnya tidak begitu menghiraukan pandemi korona, harus membayar mahal untuk itu.
Pada sekitar akhir Februari 2020, terbaca di berita bahwa pemerintah menyampaikan akan memberikan insentif bagi pemengaruh (influencer) asing sebanyak 72 miliar Rupiah. Dana insentif itu ditujukan untuk satu hal: menggaet wisatawan, yang tentu saja ujungnya adalah meningkatkan pemasukan. Alih-alih menutup pintu masuk ke Indonesia seperti bandara untuk mencegah masuknya virus corona seperti yang dilakukan negara-negara lain, pemerintah malah mengundang wisatawan agar berbondong-bondong datang ke Indonesia.
Menteri-menteri Jokowi terlihat pada waktu-waktu itu masih menganggap enteng revolusioner non-manusia ini. Berbagai pernyataan muncul tentang penangkal Covid-19, mulai dari do’a, empon-empon, rempah-rempah, hingga sayur lodeh. Terbukti tak ada yang secara meyakinkan dapat mencegah pertumbuhan populasi virus ini. Pada waktu itu ide mengenai re-alokasi APBN untuk penanganan Covid-19 terlihat tidak mungkin.
Pada akhir Maret 2020, situasi politik sudah berubah. Nyaris 180 derajat. Atau, kalau sebelumnya mengarah ke utara, kini menghadap ke selatan. Re-alokasi APBN sekarang adalah langkah yang disuarakan banyak elit dan tampaknya akan diambil pemerintah. Secara politik pemerintah pusat sudah semakin tergerus kewibawaannya. Media sosial penuh dengan berbagai jejak digital Jokowi dan menteri-menterinya yang sekitar satu bulan sebelumnya menganggap sepele virus corona. Bahkan kadang-kadang yang dibagikan warganet bukan hanya tautan, tapi tangkapan layar yang mengandung judul berita dimana terbaca pemerintah meremehkan virus corona. Dan bukan cuma 2 atau 3, kadang-kadang 6 tangkapan layar berita sekaligus, digabung menjadi satu.
Pemerintah daerah seperti Kota Tegal, sudah tidak peduli dengan pemerintah level di atasnya. Pada tanggal 23 Maret 2020, Pemerintah Kota Tegal menyatakan local lockdown terhadap Kota Tegal. Sehari setelahnya, pada 24 Maret 2020, terbaca di media Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, menanggapi proses local lockdown ini dengan menyebutkan bahwa “belum ada cerita lockdown”. Namun, Walikota Tegal, Dedy Yon Supriyono terus melaju. Pada 26 Maret 2020, di media kembali terbaca dia mengadakan konferensi pers yang menyatakan bahwa di Tegal diberlakukan local lockdown.
Hal yang sama terjadi dengan pemerintah Provinsi Papua yang terlihat juga sudah tidak mempedulikan pemerintah pusat yang menginginkan adanya satu proses pengambilan kebijakan yang tersentral di Jakarta. Pemprov Papua menutup Bandara Sentai Jayapura untuk penerbangan penumpang terhitung sejak 26 Maret 2020. Tujuannya adalah mencegah aliran orang, yang tentu saja akan memperbesar peluang mengalirnya juga virus corona, ke Papua melalui bandara itu. Pemerintah pusat tidak setuju. Hal ini misalnya terlihat dari berita di media daring yang menyebutkan Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, yang tidak menyetujuinya. Kasus Tegal dan Papua ini adalah material empiris yang memperlihatkan bagaimana pemerintah pusat sudah berkurang wibawa politiknya.
Di bidang ekonomi, perubahan tak kalah radikal. Pada minggu kedua Maret 2020, sebagai contoh, orang terkaya di Dunia, Jeff Bezos, pemilik laman toko on-line raksasa, Amazon, mengalami kehilangan kekayaan sebesar lebih dari 100 triliun Rupiah dalam semalam karena harga saham Amazon turun.
Di dalam negeri, hal yang sama juga terjadi. Pabrik-pabrik dengan bahan baku dari, dan yang memasarkan produknya ke, China, terbaca sudah terancam bangkrut pada awal Maret 2020. Yang lebih fenomenal sekaligus misterius barangkali adalah proyek pembangunan infrastruktur kereta cepat Jakarta-Bandung. Pembangunan infrastruktur adalah jantung dari pemerintahan Jokowi. Ia berfungsi memompakan kapital ke berbagai daerah. Fenomenal karena proyek ini juga dihentikan pada awal Maret 2020. Pada 1 Maret, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyebutkan bawah proyek pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung itu menyebabkan banjir, misalnya, pada ruas jalan tol Jakarta-Cikampek. Namun, penting dicatat, pada tanggal 25 Februari, di media terlihat bahwa menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, menyatakan bahwa proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung terhalang oleh virus corona karena mobilitas pekerja dan pasokan bahan baku macet dari China yang pada saat itu sedang berjuang menghadapi virus corona. Jadi, bagi orang seperti saya penghentian ini tetaplah sebuah misteri. Apakah ia dihentikan karena pasokan pekerja dan barang yang terhambat dari China karena pandemi Covid-19, ataukah karena ia menyebabkan banjir?
Lebih detil, menjelang akhir Maret, di media terbaca bahwa sebagian besar toko di beberapa mall di Jabodetabek seperti, Summarcon Mall di Bekasi, Plaza Indonesia, Lippo Mall Puri, Senayan City, dan Central Park, tutup untuk meminimalisir penyebaran virus corona.
Di Semarang, kedai-kedai kopi pun mulai tutup. Kedai Kopi Kang Putu, misalnya, sudah tutup sejak pertengahan Maret 2020. Bagi yang tidak tutup, maka omzetnya menurun drastis. Pada akhir Maret 2020, seorang pekerja di Café di kawasan Tembalang menyatakan pada saya bahwa Café mereka mengalami penurunan omzet sampai 87% sejak beberapa hari terakhir.
Di ranah kebudayaan, perubahan radikal sudah sampai sangat personal. Mendengar orang batuk sedikit, kita atau kawan lain langsung menyeletuk: corona?! Atau kalau tidak, diam-diam masing-masing berfikir, wah jangan-jangan si anu kena corona, aku bisa tertular! Secara periodik, tiba-tiba kita menjadi rajin cuci tangan dengan sabun, ganti baju dan merendamnya dengan deterjen, dan mandi. Semuanya untuk membersihkan badan kita dari virus corona.
Persentuhan antar orang seperti bersalaman otomatis menjadi tak boleh. Kebiasaan berkumpul-kumpul seperti mengaji atau nongkrong di kafe-kafe, ditiadakan dulu. Seorang kawan saya yang berencana menikah beberapa bulan ke depan, suatu ketika bercerita soal itu dan terlihat galau dengan berbagai ketidakpastian soal pernikahannya.
Pemerintah provinsi macam Gubernur DKI Jakarta dan Gubernur Jawa Tengah sudah menyarankan agar warga tidak pulang kampung, baik dari Jakarta maupun dari Semarang. Karena dikhawatirkan seseorang yang pulang ke kampung membawa serta virus corona dalam dirinya dan menularkannya pada orang lain, terutama orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah seperti orang berusia lanjut. Kelompok aktivis masyarakat adat di media sosial bahkan sudah memutar ide me-lockdown komunitas-komunitas adat agar orang luar tidak masuk. Dari seorang kawan di hulu Waduk Sempor, Jawa Tengah, saya mendapatkan kabar bahwa Koramil setempat menganjurkan setiap orang yang baru datang dari rantau untuk memeriksakan kesehatannya. Dalam pesan melalui Whatsapp yang beredar di grup-grup warga di Semarang, Gubernur Jawa Tengah juga memberikan perhatian pada angka pulang kampung perantau yang mengalir dari Jabodetabek ke berbagai daerah di Jawa Tengah.
Di tengah-tengah revolusi yang sedang berlangsung, spesies manusia dipaksa untuk memikirkan eksistensinya. Bagi negara dengan pelayanan kesehatan yang jelek seperti Indonesia, bobrok itu disingkap. Influencer tidak dikasih ruang untuk menutupi kebobrokan itu. Mana sistem yang bagus dan bobrok, dengan telanjang terlihat.
Bagi negara dengan pelayanan kesehatan yang jelek seperti Indonesia, bobrok itu disingkap. Influencer tidak dikasih ruang untuk menutupi kebobrokan itu. Mana sistem yang bagus dan bobrok, dengan telanjang terlihat.
Perbincangan hari-hari belakangan ini sudah semakin berkembang. Selain bagaimana caranya agar populasi dan persebaran virus corona ini tidak semakin naik dan meluas, tema juga sudah mulai menyentuh ketahanan pangan. Ini terutama terjadi, dugaan saya, karena rakyat melihat bahwa pemerintah cenderung tidak punya model/arah yang jelas dalam menghadapi Covid-19. Kelompok-kelompok rakyat miskin seperti di Jakarta sudah mulai memobilisir bantuan dari publik untuk membantu kebutuhan kaum miskin kota. Hal yang sama saya lihat terjadi di Yogayakarta. Berbagai kelompok sudah mengambil inisiatif memobilisir ketersediaan bahan makanan melalui dapur umum. Di grup-grup Whatsapp sudah beredar langkah-langkah aplikatif bagi kelompok masyarakat sipil untuk mencukupi kebutuhan pangan masyarakat. Idenya sangat beragam, mulai dari menghidupkan lumbung-lumbung makanan di kampung-kampung, hingga pertanian perkotaan gaya Havana, Kuba, ketika negara itu diembargo oleh negara-negara blok kapitalis macam Amerika Serikat.
Pertanyaan besar sekarang menantang eksistensi manusia—namun secara berbeda/timpang. Kemana Revolusi Covid-19 ini akan membawa kita? Apakah sebagai individu kita akan mampu selamat melewati zaman pandemi ini? Berikutnya, apakah kelompok kapitalis yang berperan besar dalam memproduksi pandemi melalui aktivitasnya yang mendegradasi ekosistem seperti hutan-hutan yang sebelumnya menjadi rumah patogen akan mampu melakukan penyembuhan diri dan kembali mengisi dunia pasca-Covid-19 dengan aktivitas yang sama mengakumulasikan kapital? Apakah kelompok-kelompok miskin yang menderita paling besar dari kasus pandemi ini mampu melakukan agregasi aksi politik untuk membidik perubahan, misalnya kocok-ulang elit yang berkuasa atau perubahan yang lebih struktural di berbagai bidang, misalnya, peningkatan kualitas penjagaan kelestarian lingkungan ataupun peningkatan pelayanan kesehatan? Apakah negara sebagai kerangka kepengaturan masih bisa dipertahankan oleh elitnya, ataukah ia akan runtuh?
Saya melihat semuanya berada dalam satu derap langkah yang sama, menuju apa yang dalam kesempatan sebelumnya saya sebut sebagai Revolusi Permanen!
Dalam hemat saya, ini semua tergantung pada imajinasi politik seperti apa yang kita miliki dalam mengatur kehidupan bersama di Planet ini, wabilkhusus di Pulau Jawa yang padat. Aktivitas-aktivitas solidaritas non-negara, tampaknya, adalah bibit-bibit suatu perubahan radikal yang akan terus berkembang, dan tak mungkin dilepaskan dari dinamika populasi dan persebaran virus corona. Semuanya bisa dilihat sebagai kaki-kaki dari kelompok-kelompok terkait dalam usahanya mempertahankan hal yang sangat mendasar: eksistensi diri dan kelompoknya. Saya melihat semuanya berada dalam satu derap langkah yang sama, menuju apa yang dalam kesempatan sebelumnya saya sebut sebagai Revolusi Permanen!
Sebelumnya, mari mendoakan para korban Corona (Covid-19) yang telah meninggal dunia, terlepas darimana dia dan apa agamanya. Mugya padhang laku lan jembar kubure, diterima di sisi Tuhan kepercayaan masing-masing.
Pada 31 Desember 2019, tepat di hari pergantian tahun, China mengumumkan tentang munculnya kasus Corona. Selang beberapa bulan, virus Corona telah menyebar ke semua negara di dunia. Tanggal 11 Maret 2020, WHO mengumumkan bahwa Corona telah menjadi pandemi global.
Kota-kota besar di dunia dalam kondisi lockdown. Tempat-tempat suci beribadah pun mengalami nasib yang serupa, termasuk Ka’bah. Menariknya, walaupun Ka’bah ditutup, di Twitter, akun @hsharifain, memublikasikan sebuah video yang menunjukkan kawanan burung merpati terbang dengan begitu bebas memutari Ka’bah, seolah kawanan merpati tersebut melakukan thawaf.
Frank M. Snowden, penulis Epidemic and Society: From Black Death to the Present, dalam wawancaranya dengan situs The New Yorker, menjelaskan bahwa kejadian luar biasa karena Wabah selalu memunculkan pertanyaan tentang bagaimana sebenarnya hubungan manusia dengan Tuhannya.
Lepas dari aksi teknis nan taktis demi menekan dampak Corona, selagi para ilmuwan bekerja mencari vaksin maupun obat penawarnya, hampir semua manusia memiliki pertanyaan; Apa yang sebenarnya terjadi pada umat manusia? Apa yang akan terjadi pada umat manusia?
Dua pertanyaan bersifat hipotikal di atas tentu sulit untuk dijawab secara ilmiah. Sebagai gantinya, atas kementokan ‘dunia ilmiah’, setiap jawaban yang muncul tidak lepas dari latar belakang serta motif si penjawab.
Apabila si penjawab seorang dokter, tentu ia akan memberi jawaban yang berlandaskan ilmu kedokteran ditambah pengalamannya. Beda lagi kalau yang menjawab seorang sejarawan, karena telah membaca banyak referensi sejarah, kebanyakan sejarawan akan memberi jawaban, “itu hal biasa”.
Namun, yang belum cukup diamati ialah seperti apa jawaban spiritualitas sastra Jawa bernafas Islam dalam memandang sekaligus menyikapi Corona? Akankah Corona menjadi indikator kuat bahwa hari ini, manusia sedang berada di dalam masa transisi zaman Kalatidha menuju Kalabendu?
Pada dasarnya, kepanikan yang memunculkan skenario-skenario menakutkan di pikiran berarti mendahului kehendak Tuhan, atau ndhisiki karsa.
Psikologi Manusia Akhir Zaman
Umat manusia telah berkali-kali ditimpa wabah. Mulai dari Pes, Malaria, Flu Spanyol (H1N1), Flu Burung, SARS, MERS, hingga Covid-19. Anehnya, Corona, yang jumlah kematiannya tidak mencapai angka jutaan seperti yang terjadi pada kasus Black Death, menimbulkan ketakutan dan kepanikan yang luar biasa melalui distribusi berita di media-media. Lantas, sebenarnya, apa yang membuat panik? Corona atau berita?
Kepanikan dipicu ketakutan yang berlebihan, sehingga muncul beragam skenario menakutkan di pikiran. Untuk menghindari skenario-skenario buruk pikiran, manusia melakukan tindak ketergesaan. Puncaknya, akibat kepanikan, terkuak fakta tentang betapa manusia menyembah egonya.
Pada dasarnya, kepanikan yang memunculkan skenario-skenario menakutkan di pikiran berarti mendahului kehendak Tuhan, atau ndhisiki karsa.
Ingat pada awal bulan Maret 2020. Tatkala pemerintah baru saja mengumumkan adanya dua kasus Corona di Depok, seketika harga masker disetel penjualnya pada harga tinggi, masyarakat memborong masker sampai habis, satu pembeli minimal membeli tiga kotak masker, dan bahan makanan di minimarket pun ikut tumpas.
Bagi yang cukup uang, sangat mudah untuk berjaga-jaga, bagi yang kere senjata terbaik untuk mendapat keselamatan semata doa. Peristiwa ini sekiranya menjadi implementasi faktual dari bait Sinom Serat Kalatidha yang masyhur berikut ini.
Amenangi jaman edan
ewuh aya ing pambudi
melu edan nora tahan
yen tan melu anglakoni
boya kaduman melik
kaliren wekasanipuh
ndilalah karsa Allah
begja-begjane kang lali
luwih begja wong kang eling lawan waspadha
(Ranggawarsita, Serat Kalatidha, Sinom, bait 7)
Hidup di zaman kegilaan
tidak mudah berbuat kebaikan
ikut gila tidak tahan
kalau tidak ikut gila
tidak mungkin mendapat keinginan
lapar pada akhirnya
untungnya takdir Allah
beruntung-untungnya orang lupa
masih untung orang yang ingat dan waspada
(Ranggawarsita, Serat Kalatidha, Sinom, bait 7)
Respon pemerintah berjalan lamban. Bukannya mencegah kepanikan, pemerintah Indonesia justru menambah kepanikan masyarakat dengan mendiskon tiket pesawat, dan menginstruksikan agar sektor pariwisata tetap beroperasi seperti biasanya.
Kekacauan terjadi secara serentak dari tingkat bawah hingga atas struktur sosial masyarakat. Pemerintah Indonesia memrioritaskan keberlanjutan ‘uang’ sementara masyarakat mengedepankan keselamatan masing-masing akibat pengaruh media.
Semuanya mbingungi karepe dhewe, uang sangat penting untuk menjaga nyawa, tapi apakah mungkin mencari uang tanpa pakai nyawa?
Dhasar karoban pawarta
pinudya dadya pangarsa
wekasan malah kawuri
yen pinikir sayěkti
mundhak apa anèng ngayun
andhědhěr kaluputan
sinaraman banyu lali
lamun tuwuh dadi kekembanging beka
(Ranggawarsita, Serat Kalatidha, Sinom, bait 4)
Namanya juga ditimpa berita
ingin jadi yang di depan
ternyata malah di belakang
biar apa berada di depan?
(hanya akan) membuka kesalahan
disirami air lupa
kalau tumbuh jadi suburnya sengsara
(Ranggawarsita, Serat Kalatidha, Sinom, bait 4)
Sajian terjemahan di atas masih berupa terjemahan literal. Apabila dikontekstualisasikan terhadap peristiwa kepanikan Corona, dapat diambil satu benang merah bahwa semua manusia bernafsu ingin berada di depan, paling depan untuk mewujudkan kepentingan pribadi akibat ketergesaan. Bukannya memperoleh apa yang diinginkan malah menunjukkan keegoisan yang pada akhirnya menebarkan kesusahan bagi sesama.
Serat Kalatidha, sebagai hasil interpretasi Ranggawarsita atas Jangka Jayabaya, memiliki arti ‘zaman penuh kesamaran’, memberi sinyal masuknya zaman Kalabendu setelah terjadinya zaman Kalatidha. Bahwa zaman Kalatidha yang serba tidak pasti menimbulkan kebingungan bertindak terkait apa yang harus dilakukan. Sebab semua orang pasti sudah tahu harus menyelamatkan apa dan siapa, namun belum tentu tahu apa yang harus dilakukan secara benar.
Inilah watak sejati peradaban digital yang katanya serba mudah namun yang terjadi sebenarnya adalah zaman kesamaran. Orang menjadi repot sendiri, ketika tahu informasi dan data pengidap Corona dari media. Kekhawatiran yang terlanjur dengan cepat menjalari kemudian memicu munculnya satu gagasan, “alangkah tenangnya kalau tidak tahu” Padahal, sebelumnya menuntut untuk tahu.
Inilah watak sejati peradaban digital yang katanya serba mudah namun yang terjadi sebenarnya adalah zaman kesamaran. Orang menjadi repot sendiri, ketika tahu informasi dan data pengidap Corona dari media.
Akumulasi yang Akan Datang
Untuk sementara, para peneliti menduga bahwa Corona yang bermula di Cina dikarenakan kegemaran warga Wuhan memakan hewan liar. Bagi sebagian orang, memakan kelelawar, trenggiling, katak, ular, dan lain sebagainya merupakan perilaku tidak lazim. Akan tetapi bagi yang doyan, makan hewan yang ‘tidak biasa’ jelas sudah jadi kebiasaan.
Seandainya diruntut, kemunculan wabah yang menimpa manusia selalu berawal dari perilaku menyimpang manusia ketika berinteraksi dengan alam, terutama binatang. Wabah Pes, Flu Spanyol, Malaria, SARS, MERS, dan Corona, bukankah semuanya terlontar dari tubuh binatang?
Tuhan yang telah menundukkan alam bagi manusia (Qs. Ibrahim 13:32-34) ternyata ditafsirkan secara berlebihan. Agenda manusida dalam perusakan alam tidak sekadar dijalankan pada tataran fisik, namun juga mengacaukan putaran rantai makanan. Bisa jadi penyebabnya berasal dari pelajaran biologi di sekolah yang menyatakan bahwa pemegang kekuasaan tertinggi rantai makanan adalah manusia.
Apabila benar Corona merupakan rangkaian dari Kalabendu, maka tidak meleset nubuat yang disampaikan di dalam Jangka Jayabaya bahwa Kalabendu dimulai dari rusaknya alam. Sunan Pakubuwana IX, kompetitor Ranggawarsita, dalam Sekar Kusumawicitra menyebut Kalabendu sebagai Kaliyuga, “dan masuknya zaman Kaliyuga ditandai dengan eksploitasi pepohonan hutan”.
Lebih lanjut, Mangkunegara IV mendesrkipsikan melalui tembang Pocung, Ringgit Madya Lampahan Jaya Purusa, peristiwa yang dialami manusia sebelum dan selama masa Kalabendu berlangsung.
datan dangu kadhatengan kalabendu
angancik pailan
larang sandhang lawan bukti
wewulanan tan ana tibaning jawah
sumur-sumur kali-kali kalenipun
sendhang myang bengawan
sadaya kasatan warih
tanem tuwuh tiwas tan tuwuh palastra
buron banyu pitik iwen akeh lampus
tan antuk pasaban
sumawana para janmi
ting bilulung keh mati saking kalapan
kuwur-kawur saparan-parane bingung
kang samyarsa pindhah
mring nagari Malawapati
malah kesah ngungsi mring praja Widarba
saya dangu janma wimbuh ura-uru
rebut sandhang boga
rusuh rina lawan wengi
tanpa kendhat lakuning bangsat beradhat
Terjemahan:
tidak lama datanglah Kalabendu
menapak (masa) paceklik
mahal pakaian dan makanan
berbulan-bulan tidak ada turun hujan
sumur-sumur, sungai-sungai, dan parit
sumber air hingga sungai besar
semua kekeringan air
menanam hanya sia-sia
air langka ayam dan unggas semua mati
tiada tempat berkumpul
begitu juga para manusia
berlarian kesana-kemari banyak yang mati (akibat) kepanikan
berlarian tanpa arah kebingungan
yang semua ingin pergi
(dari) nagari Malawapati
mengungsi pergi ke negeri Widarba
semakin hari semakin gelap hati
berebut pakaian dan makanan
bertengkar (di) siang dan malam
tak ada hentinya bertindak jahat
Tidak dapat dipungkiri, muncul dan sebaran suatu wabah tidak lepas dari faktor alam, di samping otoritas pemangku pemerintahan. Layaknya penduduk Malawapati yang cari selamat dari masa sengsara dengan cara mengungsi ke negeri tetangga, Widarba. Ketakutan membuat manusia ibarat tidur malam berselimut takut.
Selama manusia kurang mampu menempatkan diri pada keseimbangan biosentris, sadar mana yang layak dikonsumsi dan tidak, bisa jadi Corona bukan yang terakhir. Di hari kemudian, entah kapan, mungkin saja muncul wabah lain yang lebih menakutkan daripada Corona. Menakutkan di sini bukan selamanya dalam artian sifat wabah itu sendiri, melainkan distribusi berita.
Selama manusia kurang mampu menempatkan diri pada keseimbangan biosentris, sadar mana yang layak dikonsumsi dan tidak, bisa jadi Corona bukan yang terakhir.
Waktu Untuk Manekung Anungku Samadhi
Tingkat kematian Corona yang tidak setinggi SARS dan MERS mengundang satu pertanyaan penting, kenapa sampai hari ini belum ada vaksin penangkal yang ditemukan?
Belum ditemukannya vaksin Corona tersebut mengakibatkan diberlakukannya lockdown pada daerah-daerah yang dinilai sedang dalam masa genting menghadapi Corona.
Jeff McMahon dalam Forbes menuliskan satu fakta penting, bahwa kebijakan lockdown sebenarnya membuat manusia lebih aman dari kematian akibat pencemaran lingkungan daripada virus Corona itu sendiri.
Apabila ditelusuri, kebijakan lockdown pada dasarnya memiliki dua fungsi. Pertama, mencegah penyebaran virus yang lebih massif di suatu wilayah. Kedua, menjadi momen bagi masyarakat, secara kolektif, untuk lebih merenungkan kehidupan.
Selama ini, sebelum Corona menimpa, umat manusia memburu cita-cita dan pencapaian tiada henti. Bekerja terus menerus tanpa sempat berdiam diri lalu melakukan instropeksi. Bagai mesin yang dituntut terus bekerja tanpa diperbolehkan untuk cooling down oleh mandor atau majikan.
Kebijakan lockdown yang berimbas pada berbagai aktifitas manusia seolah menjadi tanda dari Tuhan, bahwa manusia diperintah untuk ngunjal ambegan (mengambil nafas panjang) dari kepadatan hidup sembari menutup mata dalam keheningan (manekung anungku samadhi) bukan dalan ketakutan. Oleh sebab itu, langkah paling efektif menekan sebaran Corona tidak lain hanyalah lockdown.
Dari manekung dalam momen lockdown, mungkin manusia tidak akan pernah tahu apa yang hendak disampaikan Tuhan, namun setidaknya manusia bisa lebih menyadari posisinya yang semata makhluk sekalipun telah melakukan banyak pencapaian di berbagai aspek kehidupan. Tidak lebih.
dene sarananipun badhe anyumerepi Gusti Allah saha kaananipun alam kelangenan, punika namung saking semedi, semedi mekaten anentremaken roh tuwin ngeningaken cipta. Saha salebetipun semedi, sampeyan anyipta angekoki Allah.
(Martadarsana, Wedha Sanyata)
Adapun metode untuk mengenal Tuhan juga keadaan alam yang sejati, hanyalah lewat semedi, semedi itu menentramkan roh dan menenangkan pikir. Pun di dalam semedi, Anda rapaljan nama ‘Allah’.
(Martadarsaba, Wedha Sanyata)
Corona dan Sebuah Peradaban Akhir
Pada tahun 1963, Nikolai Kardashev, seorang fisikawan terkemuka Rusia, mencetuskan teori Type of Civilization. Sebuah teori yang menentukan peringkat peradaban manusia. Type I, umat manusia mengonsumsi energi dari planetnya sendiri.
Type II, umat manusia mampu memaksimalkan sumber energi yang terdapat di tata surya, termasuk komet, matahari, asteroid, dan planet di tata surya. Type III, galaksi Bima Sakti telah ditundukkan umat manusia.
Dalam hal ini, Michio Kaku, fisikawan kuantum setengah Jepang, menyebutkan bahwa saat ini manusia sedang berada di Type I dari teori Type of Civilization.
Michio Kaku dengan optimis percaya bahwa di masa depan, manusia mampu mencapai type III. Namun, sebelum beranjak ke type II, mengingat tingginya ego manusia setelah merefleksi peristiwa Corona, akan lebih baik bagi manusia jika Tuhan menghendaki kiamat saja.