Covid-19
Ketika akhir bulan Maret 2020 saya menulis dengan tajuk “Revolusi Covid-19,”banyak komentar/pertanyaan yang saya terima. Semampu saya, komentar/pertanyaan itu sudah saya jawab satu persatu dalam tulisan berikutnya “”Revolusi Covid-19”: Konfirmasi“. Dalam jawaban tersebut, saya menyandarkan argumen pada SARS-CoV-2, virus penyebab wabah Covid-19, sebagai aktor non-manusia (actant). Namun, saya menyimak bahwa banyak dari komentar atau pertanyaan tersebut berasal dari kelompok yang memiliki konsumsi bacaan kritis, misalnya studi tentang kapitalisme. Satu benang merah dari banyak pertanyaan/komentar itu yang dapat saya lihat adalah titik tolak pertanyaan yang berangkat dari (kepentingan) manusia. Misalnya, kalau bukan oleh manusia, atau lebih spesifik manusia yang dianggap progresif, maka susah diterima akan lahir sebuah revolusi. Saya dapat memahami ketika tulisan bertajuk “Revolusi Covid-19” itu diluncurkan, banyak komentar yang cenderung kontra terhadapnya.
Tidak ada yang salah dalam hal itu. Sesuatu yang sangat normal karena yang bertanya/berkomentar adalah manusia. Bagi saya, namun, semua komentar/pertanyaan tersebut hanya menambah bukti terhadap bagaimana saya melihat klaim-klaim yang selama ini beredar. Bahwa meskipun secara retoris manusia selalu dikatakan sebagai bagian dari ekologi, manusia selalu dikatakan sebaiknya jangan melihat semuanya berpusat di manusia (antroposentris), pada kenyataannya semuanya itu cenderung menjadi seruan-seruan di atas kertas, yang susah untuk dijadikan sebagai kerangka untuk menganalisis sesuatu. Ketika dihadapkan pada satu persoalan seperti Covid-19, sudut pandang yang dikampanyekan itu rontok, dengan atau tanpa disadari oleh manusia yang melontarkan komentar/pernyataan itu sendiri.
Bahwa meskipun secara retoris manusia selalu dikatakan sebagai bagian dari ekologi, manusia selalu dikatakan sebaiknya jangan melihat semuanya berpusat di manusia (antroposentris), pada kenyataannya semuanya itu cenderung menjadi seruan-seruan di atas kertas…
Selain karena susah menerima non-manusia sebagai aktor pembeda, saya melihat sudut pandang seperti yang muncul dalam pertanyaan/komentar tersebut berasal dari satu sistem pemikiran yang dalam tradisi Marxis disebut sebagai proses produksi nilai-lebih dalam pabrik. Saya akan membuka lapisan ini.
Marx (terutama dalam Capital I) merumuskan proses produksi nilai-lebih dalam pabrik melalui suatu rumus K = k + V. Saya sebut ini sebagai rumus I. K di sini mengacu pada total kapital yang dimiliki oleh seorang kapitalis ketika memulai usahanya dalam pabrik; k adalah kapital konstan yang menyimbolkan alat-alat produksi seperti mesin-mesin dan bahan mentah; dan V adalah kapital variabel yang merupakan elemen dari kerja Buruh.
Kapital disebut kapital karena kemampuannya berkembang (valorisasi kapital). Proses penganakan kapital dalam produksi mengubah formula di atas menjadi K’ = k + V + N. Saya sebut ini sebagai rumus II. Dimana K’ adalah total kapital setelah proses produksi dimana di dalamnya terdapat nilai-lebih. K’ lebih besar dari K. Itulah sebabnya disebut bahwa kapital mengalami valorisasi atau penganakan. Berikutnya adalah k, kapital konstan, dengan komposisi seperti yang dipaparkan di atas. V adalah waktu kerja buruh yang dibayar oleh kapitalis. N adalah nilai-lebih yang dieksploitasi oleh oleh kapitalis melalui waktu kerja-lebih buruh. N menjadi selisih antara K’ dengan K.
Yang dimaksud waktu kerja-lebih buruh dapat saya pahami sebagai berikut. Untuk hidup, misalnya, pada dasarnya seorang buruh hanya perlu bekerja katakanlah 6 jam dalam sehari. Pada kenyataannya, misalnya, dia bekerja selama 8 jam. Yang dibayar di pabrik adalah waktu-kerjanya yang 6 jam. Ini disebut kerja-perlu. Sementara sisanya yang 2 jam lagi adalah kerja-lebih. Kapitalis, salah satunya, mengambil/mengeksploitasi keuntungan dari kerja-lebih 2 jam yang tidak berbayar, dan ini yang membentuk nilai-lebih (N).
Untuk hidup, misalnya, pada dasarnya seorang buruh hanya perlu bekerja katakanlah 6 jam dalam sehari. Pada kenyataannya, misalnya, dia bekerja selama 8 jam.
Dari penjelasan itu, maka segera terlihat bahwa dalam rumus II, nilai-lebih (N) dieksploitasi oleh kapitalis dari waktu kerja-lebih buruh. Dengan demikian, dapatlah disebutkan bahwa dalam rumus II, buruh memiliki peran sentral memproduksi nilai-lebih dalam proses penganakan kapital.
Lantas, dimana peran non-buruh dalam proses produksi nilai-lebih? Dalam rumus II seperti di atas, non-buruh ada di k, kapital konstan, tapi tidak terlihat berperan sebanyak buruh dalam memproduksi nilai-lebih. Atau dengan kata lain, dapat saya sebutkan bahwa rumus II adalah suatu proses produksi nilai-lebih yang sangat berpusat pada buruh. Orang menyebutnya labour-centred. Nilai-lebih dilihat datang dari eksploitasi terhadap buruh. Saya menyebut konsepsi kapitalisme seperti ini sebagai “konsepsi kapitalisme model tunggal”.
Saya menduga bahwa komentar/pertanyaan terhadap tulisan bertajuk “Revolusi Covid-19” di atas, mereka sadari atau tidak, bersumber dari, atau setidaknya ada hubungannya dengan, pemahaman yang berakar pada rumus I dan II tentang proses valoriasi kapital di dalam pabrik.
Rumus II di atas pula, saya duga berdasarkan hasil bacaan saya terhadap banyak buku David Harvey, yang menjadi akar tulisan-tulisannya, sehingga dia, seperti yang saya kritik dalam tulisan “Revolusi Covid-19”melihat revolusi masih akan datang. Sementara saya, dalam tulisan itu melihat revolusi sedang berlangsung, yang saya sebut dengan “Revolusi Covid-19”. Dengan kata lain, bagi David karena konsepsi kapitalismenya adalah “model tunggal” dimana peran buruh vital, elemen revolusioner terutama adalah buruh.
Meski dalam beberapa kesempatan David menulis tentang kota dan urbanisasi dan melihat kota sebagai situs perlawanan anti-kapitalisme masa kini, saya tidak melihatnya secara rigid menjelaskan, atau melahirkan suatu rumusan, tentang bagaimana produksi nilai-lebih di kota atau dalam proses urbanisasi sebagai varian spesifik dalam moda produksi kapitalisme, berbeda dengan produksi nilai-lebih di dalam pabrik. Dengan kata lain, teori produksi nilai-lebih yang dibayangkan oleh David ketika ia menulis tentang kota, kemungkinan besar adalah teori produksi nilai-lebih dalam pabrik. Sehingga, karena elemen revolusioner dalam teori produksi nilai-lebih dalam pabrik adalah buruh, maka, meskipun sudah mengidentifikasi kota dan proses urbanisasi sebagai situs anti-kapitalisme masa kini, saya sedikit berani “berspekulasi” bahwa isi kepala David tentang produksi nilai-lebih adalah rumusan produksi nilai-lebih di dalam pabrik. Ini yang saya lihat, salah satunya, membuat dia susah untuk menafsirkan bahwa non-Marxis macam SARS-CoV-2 juga punya revolusi.
Lantas sistem produksi nilai-lebih seperti apa yang saya bayangkan ketika mengatakan bahwa non-buruh juga dapat melakukan revolusi?
Dalam hal ini saya banyak membaca buku dan artikel-artikel Jason W. Moore, dimana dia mengembangkan apa yang saya sebut sebagai “kapitalisme model ganda”. Di dalam tulisan bertajuk “Krisis, Ketidakadilan, dan Keadilan Sosial-Ekologis” di majalah PRISMA yang terbit pada tahun 2019, saya sudah menguraikan (menjelaskan, menotasikan, dan menggunakannya sampai keluar nilai moneter) rumusan-rumusan Jason W. Moore dalam bagaimana saya menganalisis krisis air di Yogyakarta. Jadi, apabila ada keingintahuan lebih lanjut dari pembaca tentang detil-detil seperti sumber pustaka, saya sarankan untuk membuka tulisan itu.
Dalam tulisan itu, saya berusaha menunjukkan bahwa non-buruh juga memiliki agensi/materialitas, sama dengan buruh. Sehingga, saya menyebut krisis air di Yogyakarta sebagai krisis sosial-ekologis. Yang membentuk krisis bukan hanya aktivitas manusia, dalam hal ini buruh, seperti yang banyak disampaikan dalam teks soal krisis kapitalisme. Konsepsi-konsepsi krisis dalam kapitalisme biasanya membayangkan suatu produksi komoditas (barang jualan) yang berkelebihan. Sehingga dia disebut krisis “overproduction”. Karena akibat dari produksi yang berlebihan adalah juga PHK, maka semakin banyak terjadi pengangguran buruh. Sehingga krisis model ini sering juga disebut sebagai krisis “pengangguran”. Di dalam pemodelan krisis seperti ini, buruh memegang peran penting sebagai agen yang bekerja memproduksi komoditas. Saya melihat ini sebagai elemen “manusia” atau “sosial” di dalam krisis kapitalisme.
Dalam model krisis sosial-ekologis, saya melihat non-manusia juga berperan penting. Misalnya dalam krisis air di Yogyakarta seperti yang saya jelaskan dalam tulisan di PRISMA itu, saya melihat pasokan air dari aquifer (batuan sarang) yang kalah banyak dari tingkat ekstraksi air tanah oleh manusia. Kekurangan pasokan ini adalah sumbangan dari non-manusia terhadap krisis yang timbul. Jadi, krisis dalam kapitalisme juga dapat terjadi karena kekurangan pasokan (“underproduction”). Ini yang saya maksud sebagai dimensi “ekologi” dalam krisis kapitalisme. Penting disampaikan, saya tidak melihat manusia terpisah dari ekologi. Yang saya maksud “ekologi” dalam konteks ini adalah non-manusia. Sehingga, elemen manusia + elemen non-manusia, sosio + ekologi, membentuk krisis sosial-ekologis.
Penting disampaikan, saya tidak melihat manusia terpisah dari ekologi. Yang saya maksud “ekologi” dalam konteks ini adalah non-manusia. Sehingga, elemen manusia + elemen non-manusia, sosio + ekologi, membentuk krisis sosial-ekologis.
Model konsepsi kapitalisme yang dapat melihat peran non-buruh, atau lebih umum, non-manusia, seperti ini adalah “kapitalisme model ganda”. Kapitalisme model ganda membayangkan bahwa produksi nilai-lebih bukan hanya berpusat pada eksploitasi terhadap waktu kerja-lebih buruh, namun juga apropriasi terhadap non-buruh. Jadi, “ganda” yang dimaksud di sini adalah proses apropriasi dan eksploitasi.
Yang dilakukan dalam membangun konsepsi “kapitalisme model ganda” adalah “membuka” kapital konstan sehingga elemen-elemennya terlihat menjadi lebih eksplisit. Saya memformulasikannya sebagai K’ = Mu + Ba + P + V + N. Saya sebut ini rumus III. K’ dalam rumus III ini adalah total kapital setelah valorisasi. Mu adalah elemen-elemen murah yang diapropriasi oleh kapitalisme. Dapat kita masukkan ke dalam Mu adalah calon buruh, bahan mentah, bahan makanan, dan energi murah. Semuanya disebut murah karena kapitalis tidak melakukan investasi untuk memproduksi mereka untuk siap diapropriasi. Jadi murah di sini adalah murah bagi kapitalis. Saya ambil contoh, buruh.
Katakanlah seorang buruh bekerja di satu pabrik pada usia 18 tahun. Kapitalis pemilik pabrik merekrutnya, mempekerjakannya, dan kemudian membayar gajinya. Pertanyaannya, siapa yang menanggung semua biaya, merawat, dan membesarkan buruh hingga berusia 18 tahun, atau hingga siap untuk bekerja di pabrik? Jawabanya adalah: orang tua atau keluarga si buruh. Intinya, kemungkinan besar bukan kapitalis. Kapitalis tidak mengeluarkan apa-apa selama 18 tahun hingga buruh dapat dipekerjakan. Inilah sebabnya, calon buruh yang sudah siap bekerja di pabrik ini disebut “buruh murah.”
Katakanlah seorang buruh bekerja di satu pabrik pada usia 18 tahun. Kapitalis pemilik pabrik merekrutnya, mempekerjakannya, dan kemudian membayar gajinya. Pertanyaannya, siapa yang menanggung semua biaya, merawat, dan membesarkan buruh hingga berusia 18 tahun, atau hingga siap untuk bekerja di pabrik?
Hal yang sama terjadi terhadap bahan mentah, bahan makanan, dan energi murah. Saya ambil satu contoh lagi, misalnya energi minyak bumi. Kapitalis minyak bumi tidak ikut berinvestasi dalam menciptakan minyak bumi melalui proses geologis selama jutaan tahun. Bumi yang melakukannya. Kapitalis hanya datang dan mengambil begitu saja (mengapropriasi) minyak dari dalam Bumi. Ba dalam rumus III di atas adalah biaya untuk mengambil begitu saja (biaya apropriasi). Selanjutnya P adalah peralatan untuk produksi. V dan N masing-masing adalah kapital variabel dan nilai-ebih, sama seperti dalam rumus II.
Jadi, dengan membuka kapital konstan, sekarang kita dapat melihat bahwa sumber nilai-lebih ada dua yaitu apropriasi non-buruh dan eksploitasi buruh – “kapitalisme model ganda”.
Konsepsi kapitalisme model ganda memungkinkan percakapan yang lebih sambung dengan isu-isu yang selama ini berada di luar kapitalisme model tunggal, seperti isu lingkungan, feminisme, dan “sektor informal perkotaan”. Isu lingkungan, seperti perhitungan atas kerja Bumi menghasilkan minyak bumi dan juga dampak lingkungan yang muncul karena pengambilan minyak bumi, tidak ada dalam neraca perhitungan produksi nilai-lebih kapitalisme model tunggal. Demikian juga segala kerja merawat dalam diskursus feminisme. Atau juga “sektor informal perkotaan”. “Sektor informal perkotaan” diletakkan dalam tanda kutip karena ini adalah bahasa kekuasaan dan sampai sekarang saya belum menemukan istilah yang lebih fungsional. Dia disebut “informal,” sependek bacaan saya, karena tidak memiliki izin dari otoritas dan tidak membayar pajak. Logika “informalitas” kekuasaan, dengan demikian, ujungnya adalah “formalisasi” lewat izin dan kemudian pembayaran pajak. “Sektor informal perkotaan” tidak ada dalam neraca produksi nilai-lebih kapitalisme model tunggal, tapi diakui berperan penting menopang sektor formal yang tercatat dalam neraca ekonomi kapitalisme. Di kota macam Jakarta misalnya, sektor informal perkotaan menyediakan makanan yang relatif murah. Banyak pekerja kantoran yang disebut sebagai sektor formal membeli makanan di warung sektor informal.
“Sektor informal perkotaan” tidak ada dalam neraca produksi nilai-lebih kapitalisme model tunggal, tapi diakui berperan penting menopang sektor formal yang tercatat dalam neraca ekonomi kapitalisme.
Sekarang bagaimana kapitalisme model ganda dapat menjelaskan Revolusi Covid-19? Revolusi adalah suatu perubahan sosial-ekologis. Dalam kasus Covid-19, perubahan itu sangat dahsyat. Tanpa saya sampaikan di sinipun tentang perubahan-perubahan itu, saya percaya pembaca sudah paham maksud saya. Yang melakukan revolusi, dalam hemat saya, adalah orang atau elemen yang berada dalam suatu sistem, tapi tidak diuntungkan dari, atau malah justru dirugikan oleh, beroperasinya sistem tersebut.
Sehingga, sangat dapat dipahami, dalam kapitalisme model tunggal, karena yang dianggap berperan besar dalam produksi nilai-lebih adalah buruh, maka yang dibayangkan sebagai elan revolusioner adalah buruh. Sebagai elemen yang tidak diuntungkan dari, atau malah dirugikan oleh, beroperasinya sistem kapitalisme, maka, demikian jalan pemikiran ini bergulir, buruh menghendaki perubahan. Buruh menghendaki revolusi.
Sebagai elemen yang tidak diuntungkan dari, atau malah dirugikan oleh, beroperasinya sistem kapitalisme, maka, demikian jalan pemikiran ini bergulir, buruh menghendaki perubahan. Buruh menghendaki revolusi.
Dalam kapitalisme model ganda, buruh bukan satu-satunya aktor yang berperan dalam produksi nilai-lebih, ada juga non-buruh yang hadir dalam berbagai bentuk “murah” seperti calon buruh, bahan mentah, bahan pangan, dan energi itu tadilah. Karena mereka ini dalam rumusan dilihat ikut berkontribusi dalam produksi nilai-lebih, maka konsekuensinya mereka juga harus dihitung sebagai agen perubahan. Jadi, memasukkan/menghitung peran mereka dalam rumusan produksi nilai-lebih, pada dasarnya adalah langkah untuk lebih mempertimbangkan mereka sebagai agen yang dapat menciptakan pembeda.
SARS-CoV-2, seperti yang disebutkan di banyak publikasi, secara umum dapat dijelaskan sebagai virus yang bertransmisi ke manusia. Logikanya sederhana. Operasi kapitalisme telah membabat hutan, mengurug laut, menimbun rawa-rawa, menghambat aliran sungai, mencemari udara, dan lain-lain. Intinya, mendegradasi lingkungan. Degradasi lingkungan telah menyebabkan habitat patogen (virus, bakteri, dan mikro-organisme penyebab penyakit) mengalami degradasi. Mereka harus mencari habitat yang baru. Dan manusia adalah target empuk bagi mereka.
Di titik ini, SARS-CoV-2 dapat dilihat sebagai elemen yang berada dalam sistem kapitalisme, namun dia tidak diuntungkan dari, atau justru dirugikan oleh, beroperasinya kapitalisme. Kerugian baginya adalah degradasi terhadap habitatnya. Maka, sangat rasional kemudian kalau kita melihatnya menginginkan perubahan, atau yang dalam hal ini saya sebut sebagai revolusi.
Maka, sangat rasional kemudian kalau kita melihatnya menginginkan perubahan, atau yang dalam hal ini saya sebut sebagai revolusi.
Akhirul kalam, dengan mendudukkannya dalam teori produksi nilai-lebih, saya berharap tulisan ini dapat membuat lebih jelas tentang kapitalisme model tunggal dan ganda, bagaimana perbedaan di antara keduanya berkonsekuensi terhadap cara kita memahami dunia, misalnya dalam hal ini adalah memahami/menjelaskan Covid-19, dan tentu saja mungkin akan membantu kita untuk merumuskan dunia seperti apa yang kita inginkan sejak sekarang ke depan.
Seekor kucing hitam yang tengah hamil besar melintas di bawah kursi-kursi tunggu Stasiun Tawang Semarang. Saya perhatikan ia berjalan berlenggak-lenggok agak kesusahan, tak menghiraukan rombongan manusia yang terdiri dari kepolisian dan tenaga medis yang tengah melakukan pengecekan corona (Covid-19) di area stasiun. Polisi tersebut berseragam lengkap dengan masker dan sarung tangan; tenaga medis yang menggunakan alat pelindung diri (APD) warna putih menutupi semua bagian tubuh dan beberapa menenteng tabung gas disinfektan. Kucing hamil berbadan kurus itu berlalu tanpa saya sempat bertanya, “Cing, apakah kamu aman dari corona?” Rasa-rasanya yang menjawab hanya nada dari lagu Gambang Semarang, anthem stasiun yang sering saya dengar ketika kereta tiba dan berangkat.
Sebelum berada di Stasiun Tawang, saya melakukan perjalanan dari tempat tinggal saya di Jalan Dewi Sartika Barat menuju Tanah Mas, Semarang Utara, dalam misi yang agak lain: mencari alamat seseorang yang saya kagumi pemikirannya sejak dulu. Seseorang yang banyak mengubah pikiran saya memandang dunia. Saya naik Trans Semarang dari Halte Dewi Sartika menuju Halte Pengampon yang di depannya ada Pasar Ikan. Di dalam bus warna merah itu kursi penumpang secara selang-seling diberi tanda silang hitam untuk memberi jarak antar satu penumpang dengan penumpang lain. Per bus hanya dibatasi 20 orang saja. Bandingkan ketika normal, Trans Semarang jurusan Unnes-Undip sering membludak bahkan penumpang sampai ditetel-tetel agar bisa masuk. Belum lagi pas jam pulang kerja dan pulang sekolah. Kali ini saya rasakan lengang, bahkan pernah saya jadi satu-satunya penumpang dalam bus sejuta umat andalan masyarakat Semarang itu.
Sial, saya turun kejauhan dari tujuan dan harus berjalan sepanjang lebih dari tiga kilo dalam kondisi mengganti puasa Ramadhan kemarin. Baiklah tak apa-apa. Selama berjalan melewati Kota Lama, ada perbedaan mencolok yang saya rasakan: udara yang saya hirup rasanya lebih segar lewat hidung menuju paru-paru. Kota Lama yang ketika weekend juga ramai saat itu sangat lengang, di jalan-jalan banyak orang yang saya temui menggunakan masker. Beberapa titik, toko, swalayan, dan rumah makan di depannya tersedia peralatan membersihkan tangan dengan hand sanitizer. Saya betul-betul menikmati perjalanan itu meski agak panas dan haus.
Saya melewati Benteng Takesi yang tak terurus dan mungkin telah jadi rumah hantu, memperhatikan dua kapal penyeberang sederhana di sebuah kanal di area Pasar Boom Lama, melewati perumahan-perumahan di Jalan Bandarhardjo yang tak jauh dari Pelabuhan Tanjung Mas. Siang itu saya seperti benar-benar merasakan hidup, setelah kurang lebih 2 minggu melakukan karantina mandiri—pusing juga di ruangan terus. Sedangkan koordinasi kerja beralih daring menggunakan aplikasi Trello. Di jalan saya mendengar orang-orang di pinggiran juga banyak membicarakan tentang corona. Dari selentingan jualan yang sepi, efek corona yang bahaya bagi orang yang menderita penyakit komplikasi, hingga anak-anak sekolah yang masih bisa teriak-teriak dengan temannya ketika bermain. Saya memang hanya mendengar selintas, tapi entah kenapa cerita-cerita itu begitu membekas.
Bagi para-para orang pinggiran yang saya temui sepanjang jalan itu, terutama bagi para tukang becak, penjual makanan keliling, penjual es lilin menggunakan sepeda, tukang tambal ban, dan orang-orang yang ekonominya Subsisten mereka seperti tak ambil pusing dengan isu corona. Ekonomi untuk bisa hidup lebih penting meski harus menggadaikan diri terpapar virus yang siap mengintai setiap waktu. Akhirnya, tujuan saya sampai. Saya menemukan rumah orang itu. Saya cukup marem dengan hanya melihat wujudnya saja. Tujuan saya datang hanya ingin tahu di lingkungan seperti apa si pemikir itu tinggal. Setelah menemukan rumah yang bersahaja itu sekilas, saya pulang dalam keadaan senang—dan itu lebih dari cukup. Setidaknya saya telah mengamalkan dua dari enam ajaran Ali bin Abi Thalib tentang menuntut ilmu: kesungguhan dan dekat dengan guru.
“…orang-orang yang ekonominya subsisten, mereka seperti tak ambil pusing dengan isu corona.”
Sebelum pulang saya menyempatkan berjalan-jalan ke Kota Lama lagi. Landmark Semarang satu ini rasa-rasanya dari awalnya pasar malam saat ini lebih mirip necropolis (kota mati). Banyak gedung-gedung, wisata sejarah, dan café yang tutup sementara. Sebut saja dari pusat Taman Sri Gunting, Gereja Blenduk, Gedung Marba, Spiegel Café, Galeri UMKM, Gedung Monodhuis, Semarang Contemporary Art Gallery, dan lain-lain pada tutup. Kota Lama mendadak sepi. Keadaan kota jadi lumpuh untuk sementara. Seorang Bapak pemilik galeri barang antik terlihat hanya menunggu pengunjung yang entah kapan datangnya. Dua orang ibu yang bekerja sebagai tukang parkir di dekatnya juga nampak termenung menunggu motor bisa terparkir. Di sisi lain, ibu penjaga otoped dan sepeda listrik kesal mendapati seorang pengemis yang meminta-minta di tengah sepinya wisawatan untuk menyewa. “Aku juga susah, mikir otak mau pecah,” begitu selintas kalimat yang saya dengar, tapi pakai bahasa Jawa Semarangan.
Hal yang tak jauh berbeda saya temukan di area Simpang Lima. Masjid Baiturrahman ditutup untuk sementara, sedangkan mall legendaris Citra Land milik Ciputra Grup yang selalu ramah ketika hari Sabtu dan Minggu juga lockdown, nyaris seperti gedung tak bernyawa. Hal yang paling kelihatan pula adalah areal Pujasera. Pusat jajanan kuliner (street food) Semarang berada. Jika dalam kondisi normal Pujasera ramai dengan hiasan lampu kelap-kelip dan warna-warni, di tengah pageblug corona jadi sangat sepi.
Kondisi yang sama pun terjadi di area Tugu Muda, wisata seperti Lawang Sewu ditutup. Sementara, institusi-intitusi pendidikan di Semarang baik yang negeri maupun yang swasta pun demikian. Seperti terjadi di UDINUS, selain meliburkan mahasiswanya untuk sementara waktu, Rektor Edi Noersasongko mengambil keputusan wisuda yang rencananya akan digelar pada Maret terpaksa ditunda hingga Agustus. Dari pantauan lewat kaca Trans Semarang, saya juga melihat kampus-kampus yang saya lewati secara berjejer-jejeran dari Unika Soegijapranata, Untag Semarang, Akademi Teknik Perkapalan, Universitas Ivet, dan STIP Farming sepi tak seperti biasanya. Dari teman yang masih kuliah di Undip dan Unnes pun kabarnya sama, ada imbauan untuk mengkarantina diri.
Akibat yang ditimbulkan corona pun tak main-main, khususnya dalam sektor ekonomi. Kebijakan seperti social distancing membuat warteg, kedai kopi, hingga pengusaha resto anjlok pendapatannya. Akhirnya sejumlah cara seperti take away (dibawa pulang) dan delivery (pengiriman) dilakukan. Beberapa juga memperpendek shift kerja jadi lebih awal, menyemprot disinfektan, dan memberi jarak meja setidaknya satu meter.
Kebijakan seperti social distancing membuat warteg, kedai kopi, hingga pengusaha resto anjlok pendapatannya.
Saya pun membaca-baca berita, Walikota Semarang Hendrar Prihadi atau Hendi lewat surat edaran nomor B/1395/440/III/2020 menyatajan Kota Semarang meningkatkan kewaspadaan terhadap penularan virus corona. Semua pihak dari jajaran pemerintah, BUMN/BUMD, instansi pendidikan, hotel, mal, tempat ibadah, dan lain-lain untuk aktif melakukan pencegahan Covid-19. Langkah yang dilakukan yaitu dengan sosialisasi dan edukasi pencegahan virus corona, menunda kegiatan yang melibatkan banyak orang, membikin posko informasi terpadu, meliburkan sekolah, pembersihan fasilitas umum (BRT, mesin ATM, finger print, alat permainan), kapal-kapal tertentu seperti Viking Sun tak boleh bersandar, dan membentuk Satgas Covid-19. Hal yang sudah sepatutnya.
Dan kota paling sibuk di Jawa Tengah ini pun menolak statis di masa kritis. Roda ekonomi harus tetap berjalan meski kota mengancam. Terlebih para pekerja yang hidup dari jalan-jalan yang ramai itu.[]
Kursi-kursi di Kota Lama diberi tanda silang untuk mencegah penyebaran virus corona. (Dok. Penulis)
Sebagian besar kedai-kedai makanan legendaris di Kota Lama juga tutup selama waktu tertentu. Penjualan mengalami penurunan. (Dok. Penulis)
Di beberapa titik di Kota Lama disediakan alat mencuci tangan. (Dok. Penulis)
Tulisan ini adalah tanggapan atas berbagai pertanyaan yang muncul terhadap tulisan saya yang bertajuk “Revolusi Covid-19”. Komentar ini umumnya muncul di sosial media. Kalau saya tidak memiliki akses, ke sosial media terkait, misalnya grup Whatsapp, dengan berbagai cara komentar-komentar itu sampai pada saya. Saya menanggapi komentar-komentar itu dengan positif, dalam arti, tulisan itu dibaca. Berikut ini saya coba sampaikan pertanyaan-pertanyaan yang muncul dan menjawabnya satu-satu.
Pertanyaan-pertanyaan saya ambil sendiri dari pesan, dan dengan demikian, sangat bisa terjadi kesalahan dalam bagaimana saya memformulasikan ulang pertanyaan tersebut, kalau merasa itu terjadi, sampaikan saja. Kepada beberapa pemilik komentar, saya sudah minta izin untuk meng-copy pertanyaannya dan menjadikannya sebagai bagian dari tanggapan ini, meskipun namanya tidak saya sampaikan. Ada banyak pemilik komentar yang memang saya tidak minta izin secara langsung/personal, namun karena komentar-komentar mereka muncul di media sosial, saya anggap izin melalui komunikasi personal itu tidak terlalu dibutuhkan. Kalau ada yang keberatan karena komentarnya muncul dalam bentuk tanya jawab ini, silakan kontak penulis secara langsung. Di atas semua itu, saya minta maaf karena tulisan itu ternyata jelek dan menimbulkan banyak pertanyaan.
Berikut ini saya sampaikan dalam komentar-komentar tersebut dalam bentuk poin/tema komentar, komentar yang muncul, dan jawaban saya.
Tentang name-dropping
Komen (K): Name-dropping (bawa-bawa nama Latour dan Harvey)
Jawab (J): Saya memahamai name-dropping sebagai tindakan membawa nama orang terkenal untuk membuat diri pelakunya terlihat mengesankan. Saya tidak name-dropping. Saya punya kritik dan kebutuhan menyebut nama Harvey dan Latour. Harvey saya kritik. Dan bagiku poin kritiknya substansial. Harvey melihat kondisi sekarang akan membawa ke situasi “riot and revolution”. Atau dia melihat revolusi akan terjadi. Saya melihatnya revolusi sudah terjadi. Apakah itu tidak cukup substansial? Substansial dalam arti menempatkan tulisan saya dalam dunia diskusi Covid-19 yang sedang berlangsung, sekaligus menawarkan cara baru melihat dunia kita sekarang. Dan saya jelaskan dalam tulisan itu kenapa saya menganggap sudah terjadi revolusi.
Rasanya ada hal yang sangat mendasar di sini, yaitu masalah politik ontologi (political ontology). Harvey kemungkinan tinggal dan menulis di negara kaya (Amerika Serikat), aku tinggal dan menulis di negara miskin (Indonesia). Jadi ada kemungkinan intensitas dan kompleksitas permasalahan yang aku lihat/rasakan lebih intens dan kompleks dibandingkan dengan apa yang dilihat/dirasakan Harvey.
Latour; saya membutuhkan dia untuk menjelaskan bahwa non-manusia juga adalah bisa menjadi aktor perubahan. Dalam kasus ini yang menjadi actant adalah SARS-CoV-2.
Harvey melihat kondisi sekarang akan membawa ke situasi “riot and revolution”. Atau dia melihat revolusi akan terjadi.
Apakah revolusi sedang terjadi?
K1: Naif kalau menyimpulkan revolusi sedang terjadi. Virus mengganggu supply chain tapi terus apa? Yang kerja di Purwakarta masih jalan terus. Industri-industri otomotif yang sempat tutup di Jepang sudah siap-siap mau kerja lagi. Tambang dan pembabatan hutan masih lanjut jalan.
K2: Virus sudah berkali-kali terjadi sebelum Covid-19 tahun 2020. Ada juga yang jauh lebih pandemik dan menimbulkan banyak korban jiwa, tapi karena “kontradiksi subjektif” belum memadai, tidak menghasilkan revolusi.
K3: Virus tidak bisa jadi agensi perubahan sosial. Tidak ada prasyaratnya. Karena ia tidak punya kesadaran kelas. Tidak bisa diajak mengorganisir class struggle. Ia memukul secara sporadis. Ke kiri dan ke kanan. Pasca wabah kita bisa makin progresif juga bisa terjatuh makin terpuruk. Melahirkan pemerintahan yang totaliter. Kalo mengocok ulang iya. Tapi pendulumnya tidak jelas. Ke kiri apa ke kanan. Ia membuat perubahan mendadak iya. Menjungkirbalikkan konfigurasi kekuasan global iya. Tapi itu belum menjadi pertanda kemenangan kelas pekerja dan kelangsungan ekologi. Jadi meletakkan wabah, pada dirinya sebagai agen perubahan menuju tatanan yang lebih baik ya itu terlalu dini. Semua tergantung kesiapan gerakan rakyat melihat situasi krisis kapitalisme pasca-wabah. Kalo gerakan kita terorganisir ada kemungkinan ke arah lebih baik. Kalau tidak terjadi kerusuhan atau bangkitnya rezim ketertiban militeristik.
K4: Menarik, tapi saya tidak sepakat kalau Covid-19 ini disebut revolusioner dan progresif pada dirinya sendiri. Bahwa perjangkitan ini bikin sistem yang mengorkestrasi hidup kita jadi lemah dan mengocok ulang kekuasaan itu satu hal. Tapi kocokan ulang itu belum tentu revolusiner. Kita bisa saja jadi lebih feodal atau fasis setelah pandemi ini berlalu. Kelompok kanan juga merayakan Covid-19 ini soalnya.
J: Kita mendiskusikan revolusi yang berbeda. Revolusi yang saya diskusikan di tulisan itu bukan revolusi yang kawan-kawan diskusikan. Yang saya diskusikan adalah revolusi dari virus oleh virus untuk virus. Jadi manusia mati, nasib manusia tidak berubah, atau yang miskin tambah miskin, ya emang gitu. Kalau mau perbaiki manusia, kelas sosial dan seterusnya, ya manusia harus bikin revolusinya sendiri,atau cari cara supaya revolusi virus jadi “bukaan” untuk memperbaiki manusia, atau bajak itu revolusi virus. Dan soal dulu ada pandemik banyak dan tak kalah seram, ya. Dan orang dulu tak menyebutnya revolusi. Aku kasi nama era kita dengan “Revolusi Covid-19”. Itu bedanya.
“Yang saya diskusikan adalah revolusi dari virus oleh virus untuk virus. Jadi manusia mati, nasib manusia tidak berubah, atau yang miskin tambah miskin…”
Modal yang ambruk
K: Modal tidak ambruk. Ini aja udah recovery kecil-kecilan. Harga emas naik, migas tidak terganggu, tapi untuk di bursa efek memang berpengaruh khususnya currency nilai mata uang juga.
J:Tidak ada dalam tulisan “Revolusi Covid-19” saya sebut modal ambruk.
Tentang Teori Konspirasi
K: Penggemar teori konspirasi. Semacam lubricant utk masturbasi intelektual
J: Iya. Lebih tepatnya saya melihat diri saya sebagai “konstruksionis”
Tawaran
K1: Tawarannya masih terlalu simpel dan kabur.
J: Tawarannya “revolusi permanen” (frase terakhir dalam tulisan “Revolusi Covid-19”). Apa itu? Utopianya: menggunakan nilai-guna, menggeser nilai-tukar, sebagai cara mengatur kehidupan bersama (manusia dan non-manusia).
MetabolicRift (MR)
K: Justru yang bisa dibaca dari tulisan itu yakni, dalam masyarakat kapitalisme, retaknya metabolisme alam, memicu krisis, bahkan pertumbuhan mencapai limitnya. Tapi, mereka selalu bisa pulih, mereorganisasi ulang lagi dan lagi, alias bernegasi.
J: Boleh juga. Aku mengikuti teori MR yang didorong oleh Bellamy Foster dkk. Tapi, teori MR menurutku sudah tumbang kalau kita baca kritik-kritik Jason Moore. Dan menurutku semua kritik Jason Moore terhadap teori MR masuk akal. Topik ini sebenarnya di luar tema, tapi aku anggap relevan aku jawab karena ini aku lihat adalah debat canggih dalam teori tentang kapitalisme kontemporer.
Revolusi
K: Kondisi ini mungkin bisa dipertautkan di ranah kontekstual rill proletar atau peasant— apakah percik-percik itu nampak? Atau stagnan, itu sih kalau saya memandang revolusi
J: Kalau dalam tulisan “Revolusi Covid-19” aku lihat revolusi sebagai “Sebuah perubahan spontan-organik, radikal, dan cepat.” Teori revolusi model ini aku temukan dalam teks anarkisme (misalnya: buku-buku Bookchin), ketimbang Marxis (misalnya: Trotsky).
Multispecies ethnography
K: Dalam etnografi berkembang pendekatan multispecies ethnography.
J: Ya itulah. Meski aku bukan pemuja Latour, dan juga bukan pemuja Marx, Harvey, Bookchin, Trotsky, Moore,dst. Aku ambil mana yang berguna untuk hidupku. Salah satu kritik yang menuruku sangat relevan terhadap Actor Network Theory (ANT) adalah kritik dari Rebecca Lave, bahwa ANT yang cenderung “structureless,” membuat dia sangat mudah kompatibel dengan neoliberalisme, karena tidak ada struktur yang mau ditumbangkan. Makanya aku tidak berlama-lama dengan ANT. Tapi aku butuh Latour untuk menjelaskan apa yang ada dalam kepalaku tentang kondisi kita sekarang.
Negasi terhadap revolusi proletariat
K: Negasinya atas potensi revolusi proletariat seperti diajukan marxisme terlalu simpel. BB tidak melihat kait-kelindan secara dialektis antara revolusi agen biologis virus ini dengan revolusi agen manusia yang anti-kapitalistik.
J: Aku melihat poin ini relevan dengan tulisanku, dan menurutku ini komen yang paling nyambung sekaligus berbobot. (Maap, ini sudah pasti subjektif). Meski aku tidak yakin apakah yang aku tangkap sesuai dengan maksud pengkritik, aku bisa melihat kaitan itu dengan jelas dalam kepalaku, meski tidak keluar dalam tulisan. Misalnya dengan menyebutkan SARS-CoV-2 adalah produk kapitalisme (i.e. karena hutan-hutan ditebang). Namun jawabanku kira-kira, Revolusi Covid-19 yang aku maksud memang bukan revolusi Marxis. Tidak ada partai, kepemimpinan, dst, setidaknya itu yang aku bayangkan dari Revolusi Covid-19 milik Virus SARS-CoV-2 ini. Kalau aku sambungkan secara “metabolisme” (revolusi biologis dan manusia agen anti-kapitalisme), maka akan ada tuntutan untuk juga menyambungkan secara praksis revolusi (partai vs. non-partai, terpimpin vs. organik); dan itu tidak mudah (aku tidak/belum sanggup). Makanya aku lari ke revolusi anarkis (organik, spontan) saja. Dan rasanya memang aksi revolusioner SARS-CoV-2 lebih cocok dengan sudut pandang Anarkis daripada Marxis. Dan dengan sendirinya, tidak ada kewajiban bagiku, setidaknya dalam tulisan itu, untuk bertaut dengan diskusi soal revolusi proletariat, dengan cara menuliskan eksplisit bahwa aku tidak sedang menulis soal revolusi proletariat (yang aku sebut revolusi Marxis).
Revolusi Covid-19 yang aku maksud memang bukan revolusi Marxis.
Kenapa memilih kata “revolusi” bukan misalnya “krisis” untuk mendefinisikan kondisi sekarang? Aku melihat kata “krisis” sudah jenuh, jadi “new normal”. Sdah tidak ada efeknya.
Agensi Perubahan
K: tawaran agensi yang diajukan masih kabur. Belum sampai mengajukan hipotesis siapa yang seharusnya memegang kendali di tengah kelumpuhan sistem oleh pandemi ini. Sebagai kontra atas oligarki dunia maupun nasional. Kaum miskin kota? Netizen? Dst? Apa kita bisa bayangkan virus sebagai agen anti-kapitalisme baru?
J: Kalau mau dilanjut ke revolusi permanen, dalam tulisan “Revolusi COVID-19” di alinea kedua dari akhir, ada agensi yang ditawarkan: “kelompok-kelompok miskin yang menderita paling besar dari kasus pandemi ini”.[]
Dalam tulisannya yang bertajuk “Anti-Capitalist Politics in the Time of Covid-19” yang dimuat di laman Jacobin, geografer David Harvey membayangkan pandemi Covid-19 bisa memicu “riot and revolution”. Dalam kesempatan ini, saya berusaha memahami detak jantung Planet ini secara lebih dekat tentang apa yang sebenarnya yang sedang terjadi. Saya sampai pada titik bahwa revolusi sudah bukan akan terjadi, tapi sedang berlangsung.
Dalam sebuah kesempatan, sosiolog Bruno Latour menyebutkan bahwa “Any thing that does modify a state of affairs by making a difference is an actor—or, if it has no figuration yet, an actant”. Hanya yang membuat perbedaan yang dapat dihitung sebagai aktor. Actant dalam tulisan-tulisan Latour kita kenal sebagai aktor non-manusia. Hari-hari ini adalah hari-hari yang sangat intents dimana kita berhadapan dengan actant yang bahkan tak bisa kita lihat dengan mata biasa. Dia bernama “severe acute respiratory syndrome coronavirus 2” (SARS-CoV-2) yang kemudian akrab disebut sebagai virus Corona. Virus ini telah mengocok ulang kekukasaan di level dunia melalui penyakit yang ditimbulkan, yang akrab disebut dengan Coronavirus diseases 2019 (COVID-19).
Saya melihat momen ini sebagai momen revolusi. Sebuah perubahan spontan-organik, radikal, dan cepat. Ini bukanlah sebuah revolusi Marxis di mana elan revolusioner yang dibayangkan adalah kaum buruh. Ini adalah sebuah revolusi ekologi/lingkungan abad XXI di mana elan revolusinernya adalah non-manusia. Dari beberapa tulisan kontemporer yang terbit sejak meledaknya pandemi bernama Covid-19 ini, saya sampai pada satu titik pemikiran bahwa pada dasarnya virus corona ini adalah buah dari relasi antara manusia dengan non-manusia. Saya tidak ingin menyebut yang terakhir sebagai “alam,” karena saya memahami manusia sebagai bagian yang integral dari apa yang disebut sebagai “alam” itu.
Saya tidak ingin menyebut yang terakhir sebagai “alam,” karena saya memahami manusia sebagai bagian yang integral dari apa yang disebut sebagai “alam” itu.
Pendek cerita, dalam salah satu versi pendapat, virus corona muncul karena ruang hidup atau habitatnya terdesak dan karena itu manusia menjadi sasaran berikutnya untuk dijadikan inang. Poin soal asal-usul virus corona ini belum konklusif. Sebuah penjelasan lain yang masuk lebih detil dan eksplisit dari tulisan yang pernah saya baca juga rasanya sangat masuk akal. Bahwa banyak patogen (bakteri, virus, atau mikroorganisme lain penyebab penyakit) yang tadinya berada dalam habitatnya di hutan, kini bergerak meninggalkan hutan karena hutannya sudah semakin habis. Patogen-patogen itu mencari inang-inang yang baru. Dan manusia, hanyalah satu spesies yang menjadi sasaran mereka di dalam universal yang disebut sebagai alam itu.
Revolusi non-manusia bukanlah barang baru. Contoh revolusi ekologi yang radikal misalnya, pernah terjadi di Danau Victoria, Afrika, ketika spesies Ikan Kakap (Lates niloticus) dari Sungai Nil dimasukkan oleh manusia ke dalam Danau Victoria dengan tujuan meningkatkan produktivitas daging ikan dari demi menutupi permintaan dari terutama pasar Eropa. Ternyata di sana ia menjadi spesies asing (alien species). Begitu dia masuk, maka rantai makanan segera diubah. Perubahan radikal terjadi pada rantai makanan karena Ikan Kakap memangsa ikan pemangsa Alga. Alga kehilangan predator dan populasinya meledak. Kondisi populasi Alga yang semakin besar (Algae bloom) membuat Danau berubah menjadi danau beracun. Ia beracun karena Alga yang populasinya meledak memiliki kandungan microcystin yang beracun bagi hati manusia yang mengkonsumsinya. Microcystin ini bisa terbawa lewat air.
Revolusi Covid-19 berlangsung sangat spontan-organik. Bayangkan, dari sudut pandang virus corona semuanya ini adalah soal eksistensi spesies mereka: ini soal bagaimana mereka memperbanyak diri. Soal hidup atau mati. Suatu gerakan yang sangat progresif-revolusioner! Namanya spesies, harus hidup dan berbiak. Itu proses organik. Namun, dari sudut pandang inang seperti manusia, ini adalah penyakit. Begitu cerdik, virus ini memilih tempat yang sangat lunak untuk menjadi basis spasial pengorganisasiannya: di paru-paru inangnya. Mereka berdiam dan memperbanyak diri di sana.
Revolusi Covid-19 juga radikal dan cepat. Di bidang politik, ia sangat radikal kalau kita lihat bagaimana konjungtur geopolitik global dikocok ulang karena kehadirannya. Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat yang sebelum pandemi adalah negara-negara kaya negara dunia pertama yang sangat kuat di segala lini, tiba-tiba terlihat berubah menjadi pariah didera oleh wabah Covid-19. Tentu saja ada ketimpangan dalam bagaimana cara negara kaya macam negara-negara Eropa Barat menanggapi wabah Covid-19 dengan cara negara miskin seperti Indonesia. Tulisan ini tidak akan masuk membahas itu, karena sudah didiskusikan dalam tulisan bertajuk “Revolusi Permanen: Cari Alternatif terhadap Moda Produksi Kapitalisme”.
Di sisi lain, kekuatan geopolitik lain seperti China dan Kuba menjadi terlihat begitu jagoan. Sampai saat ini, dunia melihat China berhasil menghadapi ledakan pandemi Covid-19. China seolah lulus menjalani ujian untuk menjadi pusat dari kapitalisme global berikutnya, setelah AS yang kini masih bertarung menyelamatkan warganya dari ledakan populasi SARS-CoV-2. Kuba, negara kecil itu, menjadi jagoan karena media-media, terutama media sosial kita, memperlihatkan bagaimana negara itu mengirim dokter-dokternya untuk membantu negara-negara yang sedang kena serangan wabah. Selain itu, para ilmuwan Kuba juga diberitakan sudah memproduksi Interferon yang disebut-sebut dapat meningkatkan kekebalan tubuh untuk menghadapi serangan dari virus macam SAR-CoV-2.
Di tingkat nasional, kocok ulang kekuasaan politik belum terjadi hingga saat ini. Namun sudah terlihat bagaimana wibawa pemerintah pusat semakin berkurang. Pemerintah di bahwa kepemimpinan Jokowi yang pada awalnya tidak begitu menghiraukan pandemi korona, harus membayar mahal untuk itu.
Pemerintah di bahwa kepemimpinan Jokowi yang pada awalnya tidak begitu menghiraukan pandemi korona, harus membayar mahal untuk itu.
Pada sekitar akhir Februari 2020, terbaca di berita bahwa pemerintah menyampaikan akan memberikan insentif bagi pemengaruh (influencer) asing sebanyak 72 miliar Rupiah. Dana insentif itu ditujukan untuk satu hal: menggaet wisatawan, yang tentu saja ujungnya adalah meningkatkan pemasukan. Alih-alih menutup pintu masuk ke Indonesia seperti bandara untuk mencegah masuknya virus corona seperti yang dilakukan negara-negara lain, pemerintah malah mengundang wisatawan agar berbondong-bondong datang ke Indonesia.
Menteri-menteri Jokowi terlihat pada waktu-waktu itu masih menganggap enteng revolusioner non-manusia ini. Berbagai pernyataan muncul tentang penangkal Covid-19, mulai dari do’a, empon-empon, rempah-rempah, hingga sayur lodeh. Terbukti tak ada yang secara meyakinkan dapat mencegah pertumbuhan populasi virus ini. Pada waktu itu ide mengenai re-alokasi APBN untuk penanganan Covid-19 terlihat tidak mungkin.
Pada akhir Maret 2020, situasi politik sudah berubah. Nyaris 180 derajat. Atau, kalau sebelumnya mengarah ke utara, kini menghadap ke selatan. Re-alokasi APBN sekarang adalah langkah yang disuarakan banyak elit dan tampaknya akan diambil pemerintah. Secara politik pemerintah pusat sudah semakin tergerus kewibawaannya. Media sosial penuh dengan berbagai jejak digital Jokowi dan menteri-menterinya yang sekitar satu bulan sebelumnya menganggap sepele virus corona. Bahkan kadang-kadang yang dibagikan warganet bukan hanya tautan, tapi tangkapan layar yang mengandung judul berita dimana terbaca pemerintah meremehkan virus corona. Dan bukan cuma 2 atau 3, kadang-kadang 6 tangkapan layar berita sekaligus, digabung menjadi satu.
Pemerintah daerah seperti Kota Tegal, sudah tidak peduli dengan pemerintah level di atasnya. Pada tanggal 23 Maret 2020, Pemerintah Kota Tegal menyatakan local lockdown terhadap Kota Tegal. Sehari setelahnya, pada 24 Maret 2020, terbaca di media Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, menanggapi proses local lockdown ini dengan menyebutkan bahwa “belum ada cerita lockdown”. Namun, Walikota Tegal, Dedy Yon Supriyono terus melaju. Pada 26 Maret 2020, di media kembali terbaca dia mengadakan konferensi pers yang menyatakan bahwa di Tegal diberlakukan local lockdown.
Hal yang sama terjadi dengan pemerintah Provinsi Papua yang terlihat juga sudah tidak mempedulikan pemerintah pusat yang menginginkan adanya satu proses pengambilan kebijakan yang tersentral di Jakarta. Pemprov Papua menutup Bandara Sentai Jayapura untuk penerbangan penumpang terhitung sejak 26 Maret 2020. Tujuannya adalah mencegah aliran orang, yang tentu saja akan memperbesar peluang mengalirnya juga virus corona, ke Papua melalui bandara itu. Pemerintah pusat tidak setuju. Hal ini misalnya terlihat dari berita di media daring yang menyebutkan Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, yang tidak menyetujuinya. Kasus Tegal dan Papua ini adalah material empiris yang memperlihatkan bagaimana pemerintah pusat sudah berkurang wibawa politiknya.
Di bidang ekonomi, perubahan tak kalah radikal. Pada minggu kedua Maret 2020, sebagai contoh, orang terkaya di Dunia, Jeff Bezos, pemilik laman toko on-line raksasa, Amazon, mengalami kehilangan kekayaan sebesar lebih dari 100 triliun Rupiah dalam semalam karena harga saham Amazon turun.
Di dalam negeri, hal yang sama juga terjadi. Pabrik-pabrik dengan bahan baku dari, dan yang memasarkan produknya ke, China, terbaca sudah terancam bangkrut pada awal Maret 2020. Yang lebih fenomenal sekaligus misterius barangkali adalah proyek pembangunan infrastruktur kereta cepat Jakarta-Bandung. Pembangunan infrastruktur adalah jantung dari pemerintahan Jokowi. Ia berfungsi memompakan kapital ke berbagai daerah. Fenomenal karena proyek ini juga dihentikan pada awal Maret 2020. Pada 1 Maret, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyebutkan bawah proyek pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung itu menyebabkan banjir, misalnya, pada ruas jalan tol Jakarta-Cikampek. Namun, penting dicatat, pada tanggal 25 Februari, di media terlihat bahwa menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, menyatakan bahwa proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung terhalang oleh virus corona karena mobilitas pekerja dan pasokan bahan baku macet dari China yang pada saat itu sedang berjuang menghadapi virus corona. Jadi, bagi orang seperti saya penghentian ini tetaplah sebuah misteri. Apakah ia dihentikan karena pasokan pekerja dan barang yang terhambat dari China karena pandemi Covid-19, ataukah karena ia menyebabkan banjir?
Lebih detil, menjelang akhir Maret, di media terbaca bahwa sebagian besar toko di beberapa mall di Jabodetabek seperti, Summarcon Mall di Bekasi, Plaza Indonesia, Lippo Mall Puri, Senayan City, dan Central Park, tutup untuk meminimalisir penyebaran virus corona.
Di Semarang, kedai-kedai kopi pun mulai tutup. Kedai Kopi Kang Putu, misalnya, sudah tutup sejak pertengahan Maret 2020. Bagi yang tidak tutup, maka omzetnya menurun drastis. Pada akhir Maret 2020, seorang pekerja di Café di kawasan Tembalang menyatakan pada saya bahwa Café mereka mengalami penurunan omzet sampai 87% sejak beberapa hari terakhir.
Di ranah kebudayaan, perubahan radikal sudah sampai sangat personal. Mendengar orang batuk sedikit, kita atau kawan lain langsung menyeletuk: corona?! Atau kalau tidak, diam-diam masing-masing berfikir, wah jangan-jangan si anu kena corona, aku bisa tertular! Secara periodik, tiba-tiba kita menjadi rajin cuci tangan dengan sabun, ganti baju dan merendamnya dengan deterjen, dan mandi. Semuanya untuk membersihkan badan kita dari virus corona.
Persentuhan antar orang seperti bersalaman otomatis menjadi tak boleh. Kebiasaan berkumpul-kumpul seperti mengaji atau nongkrong di kafe-kafe, ditiadakan dulu. Seorang kawan saya yang berencana menikah beberapa bulan ke depan, suatu ketika bercerita soal itu dan terlihat galau dengan berbagai ketidakpastian soal pernikahannya.
Pemerintah provinsi macam Gubernur DKI Jakarta dan Gubernur Jawa Tengah sudah menyarankan agar warga tidak pulang kampung, baik dari Jakarta maupun dari Semarang. Karena dikhawatirkan seseorang yang pulang ke kampung membawa serta virus corona dalam dirinya dan menularkannya pada orang lain, terutama orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah seperti orang berusia lanjut. Kelompok aktivis masyarakat adat di media sosial bahkan sudah memutar ide me-lockdown komunitas-komunitas adat agar orang luar tidak masuk. Dari seorang kawan di hulu Waduk Sempor, Jawa Tengah, saya mendapatkan kabar bahwa Koramil setempat menganjurkan setiap orang yang baru datang dari rantau untuk memeriksakan kesehatannya. Dalam pesan melalui Whatsapp yang beredar di grup-grup warga di Semarang, Gubernur Jawa Tengah juga memberikan perhatian pada angka pulang kampung perantau yang mengalir dari Jabodetabek ke berbagai daerah di Jawa Tengah.
Di tengah-tengah revolusi yang sedang berlangsung, spesies manusia dipaksa untuk memikirkan eksistensinya. Bagi negara dengan pelayanan kesehatan yang jelek seperti Indonesia, bobrok itu disingkap. Influencer tidak dikasih ruang untuk menutupi kebobrokan itu. Mana sistem yang bagus dan bobrok, dengan telanjang terlihat.
Bagi negara dengan pelayanan kesehatan yang jelek seperti Indonesia, bobrok itu disingkap. Influencer tidak dikasih ruang untuk menutupi kebobrokan itu. Mana sistem yang bagus dan bobrok, dengan telanjang terlihat.
Perbincangan hari-hari belakangan ini sudah semakin berkembang. Selain bagaimana caranya agar populasi dan persebaran virus corona ini tidak semakin naik dan meluas, tema juga sudah mulai menyentuh ketahanan pangan. Ini terutama terjadi, dugaan saya, karena rakyat melihat bahwa pemerintah cenderung tidak punya model/arah yang jelas dalam menghadapi Covid-19. Kelompok-kelompok rakyat miskin seperti di Jakarta sudah mulai memobilisir bantuan dari publik untuk membantu kebutuhan kaum miskin kota. Hal yang sama saya lihat terjadi di Yogayakarta. Berbagai kelompok sudah mengambil inisiatif memobilisir ketersediaan bahan makanan melalui dapur umum. Di grup-grup Whatsapp sudah beredar langkah-langkah aplikatif bagi kelompok masyarakat sipil untuk mencukupi kebutuhan pangan masyarakat. Idenya sangat beragam, mulai dari menghidupkan lumbung-lumbung makanan di kampung-kampung, hingga pertanian perkotaan gaya Havana, Kuba, ketika negara itu diembargo oleh negara-negara blok kapitalis macam Amerika Serikat.
Pertanyaan besar sekarang menantang eksistensi manusia—namun secara berbeda/timpang. Kemana Revolusi Covid-19 ini akan membawa kita? Apakah sebagai individu kita akan mampu selamat melewati zaman pandemi ini? Berikutnya, apakah kelompok kapitalis yang berperan besar dalam memproduksi pandemi melalui aktivitasnya yang mendegradasi ekosistem seperti hutan-hutan yang sebelumnya menjadi rumah patogen akan mampu melakukan penyembuhan diri dan kembali mengisi dunia pasca-Covid-19 dengan aktivitas yang sama mengakumulasikan kapital? Apakah kelompok-kelompok miskin yang menderita paling besar dari kasus pandemi ini mampu melakukan agregasi aksi politik untuk membidik perubahan, misalnya kocok-ulang elit yang berkuasa atau perubahan yang lebih struktural di berbagai bidang, misalnya, peningkatan kualitas penjagaan kelestarian lingkungan ataupun peningkatan pelayanan kesehatan? Apakah negara sebagai kerangka kepengaturan masih bisa dipertahankan oleh elitnya, ataukah ia akan runtuh?
Saya melihat semuanya berada dalam satu derap langkah yang sama, menuju apa yang dalam kesempatan sebelumnya saya sebut sebagai Revolusi Permanen!
Dalam hemat saya, ini semua tergantung pada imajinasi politik seperti apa yang kita miliki dalam mengatur kehidupan bersama di Planet ini, wabilkhusus di Pulau Jawa yang padat. Aktivitas-aktivitas solidaritas non-negara, tampaknya, adalah bibit-bibit suatu perubahan radikal yang akan terus berkembang, dan tak mungkin dilepaskan dari dinamika populasi dan persebaran virus corona. Semuanya bisa dilihat sebagai kaki-kaki dari kelompok-kelompok terkait dalam usahanya mempertahankan hal yang sangat mendasar: eksistensi diri dan kelompoknya. Saya melihat semuanya berada dalam satu derap langkah yang sama, menuju apa yang dalam kesempatan sebelumnya saya sebut sebagai Revolusi Permanen!
Sebelumnya, mari mendoakan para korban Corona (Covid-19) yang telah meninggal dunia, terlepas darimana dia dan apa agamanya. Mugya padhang laku lan jembar kubure, diterima di sisi Tuhan kepercayaan masing-masing.
Pada 31 Desember 2019, tepat di hari pergantian tahun, China mengumumkan tentang munculnya kasus Corona. Selang beberapa bulan, virus Corona telah menyebar ke semua negara di dunia. Tanggal 11 Maret 2020, WHO mengumumkan bahwa Corona telah menjadi pandemi global.
Kota-kota besar di dunia dalam kondisi lockdown. Tempat-tempat suci beribadah pun mengalami nasib yang serupa, termasuk Ka’bah. Menariknya, walaupun Ka’bah ditutup, di Twitter, akun @hsharifain, memublikasikan sebuah video yang menunjukkan kawanan burung merpati terbang dengan begitu bebas memutari Ka’bah, seolah kawanan merpati tersebut melakukan thawaf.
Frank M. Snowden, penulis Epidemic and Society: From Black Death to the Present, dalam wawancaranya dengan situs The New Yorker, menjelaskan bahwa kejadian luar biasa karena Wabah selalu memunculkan pertanyaan tentang bagaimana sebenarnya hubungan manusia dengan Tuhannya.
Lepas dari aksi teknis nan taktis demi menekan dampak Corona, selagi para ilmuwan bekerja mencari vaksin maupun obat penawarnya, hampir semua manusia memiliki pertanyaan; Apa yang sebenarnya terjadi pada umat manusia? Apa yang akan terjadi pada umat manusia?
Dua pertanyaan bersifat hipotikal di atas tentu sulit untuk dijawab secara ilmiah. Sebagai gantinya, atas kementokan ‘dunia ilmiah’, setiap jawaban yang muncul tidak lepas dari latar belakang serta motif si penjawab.
Apabila si penjawab seorang dokter, tentu ia akan memberi jawaban yang berlandaskan ilmu kedokteran ditambah pengalamannya. Beda lagi kalau yang menjawab seorang sejarawan, karena telah membaca banyak referensi sejarah, kebanyakan sejarawan akan memberi jawaban, “itu hal biasa”.
Namun, yang belum cukup diamati ialah seperti apa jawaban spiritualitas sastra Jawa bernafas Islam dalam memandang sekaligus menyikapi Corona? Akankah Corona menjadi indikator kuat bahwa hari ini, manusia sedang berada di dalam masa transisi zaman Kalatidha menuju Kalabendu?
Pada dasarnya, kepanikan yang memunculkan skenario-skenario menakutkan di pikiran berarti mendahului kehendak Tuhan, atau ndhisiki karsa.
Psikologi Manusia Akhir Zaman
Umat manusia telah berkali-kali ditimpa wabah. Mulai dari Pes, Malaria, Flu Spanyol (H1N1), Flu Burung, SARS, MERS, hingga Covid-19. Anehnya, Corona, yang jumlah kematiannya tidak mencapai angka jutaan seperti yang terjadi pada kasus Black Death, menimbulkan ketakutan dan kepanikan yang luar biasa melalui distribusi berita di media-media. Lantas, sebenarnya, apa yang membuat panik? Corona atau berita?
Kepanikan dipicu ketakutan yang berlebihan, sehingga muncul beragam skenario menakutkan di pikiran. Untuk menghindari skenario-skenario buruk pikiran, manusia melakukan tindak ketergesaan. Puncaknya, akibat kepanikan, terkuak fakta tentang betapa manusia menyembah egonya.
Pada dasarnya, kepanikan yang memunculkan skenario-skenario menakutkan di pikiran berarti mendahului kehendak Tuhan, atau ndhisiki karsa.
Ingat pada awal bulan Maret 2020. Tatkala pemerintah baru saja mengumumkan adanya dua kasus Corona di Depok, seketika harga masker disetel penjualnya pada harga tinggi, masyarakat memborong masker sampai habis, satu pembeli minimal membeli tiga kotak masker, dan bahan makanan di minimarket pun ikut tumpas.
Bagi yang cukup uang, sangat mudah untuk berjaga-jaga, bagi yang kere senjata terbaik untuk mendapat keselamatan semata doa. Peristiwa ini sekiranya menjadi implementasi faktual dari bait Sinom Serat Kalatidha yang masyhur berikut ini.
Amenangi jaman edan
ewuh aya ing pambudi
melu edan nora tahan
yen tan melu anglakoni
boya kaduman melik
kaliren wekasanipuh
ndilalah karsa Allah
begja-begjane kang lali
luwih begja wong kang eling lawan waspadha
(Ranggawarsita, Serat Kalatidha, Sinom, bait 7)
Hidup di zaman kegilaan
tidak mudah berbuat kebaikan
ikut gila tidak tahan
kalau tidak ikut gila
tidak mungkin mendapat keinginan
lapar pada akhirnya
untungnya takdir Allah
beruntung-untungnya orang lupa
masih untung orang yang ingat dan waspada
(Ranggawarsita, Serat Kalatidha, Sinom, bait 7)
Respon pemerintah berjalan lamban. Bukannya mencegah kepanikan, pemerintah Indonesia justru menambah kepanikan masyarakat dengan mendiskon tiket pesawat, dan menginstruksikan agar sektor pariwisata tetap beroperasi seperti biasanya.
Kekacauan terjadi secara serentak dari tingkat bawah hingga atas struktur sosial masyarakat. Pemerintah Indonesia memrioritaskan keberlanjutan ‘uang’ sementara masyarakat mengedepankan keselamatan masing-masing akibat pengaruh media.
Semuanya mbingungi karepe dhewe, uang sangat penting untuk menjaga nyawa, tapi apakah mungkin mencari uang tanpa pakai nyawa?
Dhasar karoban pawarta
pinudya dadya pangarsa
wekasan malah kawuri
yen pinikir sayěkti
mundhak apa anèng ngayun
andhědhěr kaluputan
sinaraman banyu lali
lamun tuwuh dadi kekembanging beka
(Ranggawarsita, Serat Kalatidha, Sinom, bait 4)
Namanya juga ditimpa berita
ingin jadi yang di depan
ternyata malah di belakang
biar apa berada di depan?
(hanya akan) membuka kesalahan
disirami air lupa
kalau tumbuh jadi suburnya sengsara
(Ranggawarsita, Serat Kalatidha, Sinom, bait 4)
Sajian terjemahan di atas masih berupa terjemahan literal. Apabila dikontekstualisasikan terhadap peristiwa kepanikan Corona, dapat diambil satu benang merah bahwa semua manusia bernafsu ingin berada di depan, paling depan untuk mewujudkan kepentingan pribadi akibat ketergesaan. Bukannya memperoleh apa yang diinginkan malah menunjukkan keegoisan yang pada akhirnya menebarkan kesusahan bagi sesama.
Serat Kalatidha, sebagai hasil interpretasi Ranggawarsita atas Jangka Jayabaya, memiliki arti ‘zaman penuh kesamaran’, memberi sinyal masuknya zaman Kalabendu setelah terjadinya zaman Kalatidha. Bahwa zaman Kalatidha yang serba tidak pasti menimbulkan kebingungan bertindak terkait apa yang harus dilakukan. Sebab semua orang pasti sudah tahu harus menyelamatkan apa dan siapa, namun belum tentu tahu apa yang harus dilakukan secara benar.
Inilah watak sejati peradaban digital yang katanya serba mudah namun yang terjadi sebenarnya adalah zaman kesamaran. Orang menjadi repot sendiri, ketika tahu informasi dan data pengidap Corona dari media. Kekhawatiran yang terlanjur dengan cepat menjalari kemudian memicu munculnya satu gagasan, “alangkah tenangnya kalau tidak tahu” Padahal, sebelumnya menuntut untuk tahu.
Inilah watak sejati peradaban digital yang katanya serba mudah namun yang terjadi sebenarnya adalah zaman kesamaran. Orang menjadi repot sendiri, ketika tahu informasi dan data pengidap Corona dari media.
Akumulasi yang Akan Datang
Untuk sementara, para peneliti menduga bahwa Corona yang bermula di Cina dikarenakan kegemaran warga Wuhan memakan hewan liar. Bagi sebagian orang, memakan kelelawar, trenggiling, katak, ular, dan lain sebagainya merupakan perilaku tidak lazim. Akan tetapi bagi yang doyan, makan hewan yang ‘tidak biasa’ jelas sudah jadi kebiasaan.
Seandainya diruntut, kemunculan wabah yang menimpa manusia selalu berawal dari perilaku menyimpang manusia ketika berinteraksi dengan alam, terutama binatang. Wabah Pes, Flu Spanyol, Malaria, SARS, MERS, dan Corona, bukankah semuanya terlontar dari tubuh binatang?
Tuhan yang telah menundukkan alam bagi manusia (Qs. Ibrahim 13:32-34) ternyata ditafsirkan secara berlebihan. Agenda manusida dalam perusakan alam tidak sekadar dijalankan pada tataran fisik, namun juga mengacaukan putaran rantai makanan. Bisa jadi penyebabnya berasal dari pelajaran biologi di sekolah yang menyatakan bahwa pemegang kekuasaan tertinggi rantai makanan adalah manusia.
Apabila benar Corona merupakan rangkaian dari Kalabendu, maka tidak meleset nubuat yang disampaikan di dalam Jangka Jayabaya bahwa Kalabendu dimulai dari rusaknya alam. Sunan Pakubuwana IX, kompetitor Ranggawarsita, dalam Sekar Kusumawicitra menyebut Kalabendu sebagai Kaliyuga, “dan masuknya zaman Kaliyuga ditandai dengan eksploitasi pepohonan hutan”.
Lebih lanjut, Mangkunegara IV mendesrkipsikan melalui tembang Pocung, Ringgit Madya Lampahan Jaya Purusa, peristiwa yang dialami manusia sebelum dan selama masa Kalabendu berlangsung.
datan dangu kadhatengan kalabendu
angancik pailan
larang sandhang lawan bukti
wewulanan tan ana tibaning jawah
sumur-sumur kali-kali kalenipun
sendhang myang bengawan
sadaya kasatan warih
tanem tuwuh tiwas tan tuwuh palastra
buron banyu pitik iwen akeh lampus
tan antuk pasaban
sumawana para janmi
ting bilulung keh mati saking kalapan
kuwur-kawur saparan-parane bingung
kang samyarsa pindhah
mring nagari Malawapati
malah kesah ngungsi mring praja Widarba
saya dangu janma wimbuh ura-uru
rebut sandhang boga
rusuh rina lawan wengi
tanpa kendhat lakuning bangsat beradhat
Terjemahan:
tidak lama datanglah Kalabendu
menapak (masa) paceklik
mahal pakaian dan makanan
berbulan-bulan tidak ada turun hujan
sumur-sumur, sungai-sungai, dan parit
sumber air hingga sungai besar
semua kekeringan air
menanam hanya sia-sia
air langka ayam dan unggas semua mati
tiada tempat berkumpul
begitu juga para manusia
berlarian kesana-kemari banyak yang mati (akibat) kepanikan
berlarian tanpa arah kebingungan
yang semua ingin pergi
(dari) nagari Malawapati
mengungsi pergi ke negeri Widarba
semakin hari semakin gelap hati
berebut pakaian dan makanan
bertengkar (di) siang dan malam
tak ada hentinya bertindak jahat
Tidak dapat dipungkiri, muncul dan sebaran suatu wabah tidak lepas dari faktor alam, di samping otoritas pemangku pemerintahan. Layaknya penduduk Malawapati yang cari selamat dari masa sengsara dengan cara mengungsi ke negeri tetangga, Widarba. Ketakutan membuat manusia ibarat tidur malam berselimut takut.
Selama manusia kurang mampu menempatkan diri pada keseimbangan biosentris, sadar mana yang layak dikonsumsi dan tidak, bisa jadi Corona bukan yang terakhir. Di hari kemudian, entah kapan, mungkin saja muncul wabah lain yang lebih menakutkan daripada Corona. Menakutkan di sini bukan selamanya dalam artian sifat wabah itu sendiri, melainkan distribusi berita.
Selama manusia kurang mampu menempatkan diri pada keseimbangan biosentris, sadar mana yang layak dikonsumsi dan tidak, bisa jadi Corona bukan yang terakhir.
Waktu Untuk Manekung Anungku Samadhi
Tingkat kematian Corona yang tidak setinggi SARS dan MERS mengundang satu pertanyaan penting, kenapa sampai hari ini belum ada vaksin penangkal yang ditemukan?
Belum ditemukannya vaksin Corona tersebut mengakibatkan diberlakukannya lockdown pada daerah-daerah yang dinilai sedang dalam masa genting menghadapi Corona.
Jeff McMahon dalam Forbes menuliskan satu fakta penting, bahwa kebijakan lockdown sebenarnya membuat manusia lebih aman dari kematian akibat pencemaran lingkungan daripada virus Corona itu sendiri.
Apabila ditelusuri, kebijakan lockdown pada dasarnya memiliki dua fungsi. Pertama, mencegah penyebaran virus yang lebih massif di suatu wilayah. Kedua, menjadi momen bagi masyarakat, secara kolektif, untuk lebih merenungkan kehidupan.
Selama ini, sebelum Corona menimpa, umat manusia memburu cita-cita dan pencapaian tiada henti. Bekerja terus menerus tanpa sempat berdiam diri lalu melakukan instropeksi. Bagai mesin yang dituntut terus bekerja tanpa diperbolehkan untuk cooling down oleh mandor atau majikan.
Kebijakan lockdown yang berimbas pada berbagai aktifitas manusia seolah menjadi tanda dari Tuhan, bahwa manusia diperintah untuk ngunjal ambegan (mengambil nafas panjang) dari kepadatan hidup sembari menutup mata dalam keheningan (manekung anungku samadhi) bukan dalan ketakutan. Oleh sebab itu, langkah paling efektif menekan sebaran Corona tidak lain hanyalah lockdown.
Dari manekung dalam momen lockdown, mungkin manusia tidak akan pernah tahu apa yang hendak disampaikan Tuhan, namun setidaknya manusia bisa lebih menyadari posisinya yang semata makhluk sekalipun telah melakukan banyak pencapaian di berbagai aspek kehidupan. Tidak lebih.
dene sarananipun badhe anyumerepi Gusti Allah saha kaananipun alam kelangenan, punika namung saking semedi, semedi mekaten anentremaken roh tuwin ngeningaken cipta. Saha salebetipun semedi, sampeyan anyipta angekoki Allah.
(Martadarsana, Wedha Sanyata)
Adapun metode untuk mengenal Tuhan juga keadaan alam yang sejati, hanyalah lewat semedi, semedi itu menentramkan roh dan menenangkan pikir. Pun di dalam semedi, Anda rapaljan nama ‘Allah’.
(Martadarsaba, Wedha Sanyata)
Corona dan Sebuah Peradaban Akhir
Pada tahun 1963, Nikolai Kardashev, seorang fisikawan terkemuka Rusia, mencetuskan teori Type of Civilization. Sebuah teori yang menentukan peringkat peradaban manusia. Type I, umat manusia mengonsumsi energi dari planetnya sendiri.
Type II, umat manusia mampu memaksimalkan sumber energi yang terdapat di tata surya, termasuk komet, matahari, asteroid, dan planet di tata surya. Type III, galaksi Bima Sakti telah ditundukkan umat manusia.
Dalam hal ini, Michio Kaku, fisikawan kuantum setengah Jepang, menyebutkan bahwa saat ini manusia sedang berada di Type I dari teori Type of Civilization.
Michio Kaku dengan optimis percaya bahwa di masa depan, manusia mampu mencapai type III. Namun, sebelum beranjak ke type II, mengingat tingginya ego manusia setelah merefleksi peristiwa Corona, akan lebih baik bagi manusia jika Tuhan menghendaki kiamat saja.