Menu

Dakwah dan Politik

 

Saya mengenal namanya dari tempat saya kuliah: IAIN Purwokerto yang kemudian bertransformasi menjadi Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN SAIZU). Pilihan nama Saifuddin Zuhri menyeruak tanya dalam pikiran saya: siapakah tokoh Saifuddin Zuhri (Selanjutnya Kiai Saifuddin) itu? Apa dalih pemberian nama tersebut pada kampus saya? Pasalnya, nama perguruan tinggi Islam di Indonesia lazim menggunakan nama-nama dari masa silam Islam awal: Sunan Kalijaga, Sunan Ampel, Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati, Alauddin, dan lain-lain. Hingga kemudian, pemberian nama Saifuddin Zuhri membuat saya terbujuk untuk dapat menelusurinya lebih jauh. 

Tempo hari, saya menemukan dua buku induk penting tentang Kiai Saifuddin: Guruku Orang-Orang dari Pesantren (1977) & Berangkat dari Pesantren (1987).  Buku Guruku Orang-Orang dari Pesantren merupakan sebuah buku autobiografi yang menceritakan hal ikhwal pesantren dan segenap perjuangannya dalam mewujudkan kemerdekaan Republik Indonesia. Buku ini ditulis: “Bertujuan untuk membangun pengertian masyarakat terhadap Pondok Pesantren, sebagai sebuah persemaian pendidikan Islam yang merakyat dan sering diartikan oleh masyarakat umum secara salah bahkan hingga penilaian negatif. Buku tersebut sekaligus untuk menggugah kembali rasa hormat kepada guru dan tokoh lainnya yang mendidik semua anak-anak didik dengan perlakuan layaknya anak kandung sendiri”.

Terdapat kisah unik dibalik penulisan dan penerbitan buku Guruku Orang-Orang dari Pesantren. Sebagaimana pengakuan Kiai Saifuddin, bahwa penulisan buku tersebut karena disulut oleh Asrul Sani, seorang sastrawan sekaligus politisi dari NU. Asrul Sani mengusulkan agar Kiai Saifuddin sudah kondang di politik “berbuat sesuatu untuk dan atas nama pesantren” dengan cara menulis novel tentang alam pesantren. Mulanya Kiai Saifuddin keberatan, karena tidak pernah menulis novel. Akan tetapi, ia suka menuliskan tentang peri kehidupan orang lain. Seperti halnya saat menulis biografi KH. Abdul Wahab Hasbullah. Dari diskusi bersama Asrul Sani itu, akhirnya muncullah karya autobiografi yang memotret laku perjalanan hidupnya.

Setelah naskah buku itu selesai, Asrul Sani mengajak Kiai Saifuddin ke penerbit Pustaka Jaya yang digawangi oleh Ajip Rosidi. Kisah lainnya dari seorang Ajip, sebagaimana ditulis dalam autobiografinya “Hidup Tanpa Ijazah (Pustaka Jaya, 2008)”. Menurut Ajip Rosidi, naskah tersebut cukup baik untuk diterbitkan. Hanya saja perlu ada penyuntingan agar bisa dibaca lebih lentur. Sebenarnya Ajip hendak menyunting sendiri, tapi karena ia tidak begitu karib dengan Kiai Saifuddin, lalu menyarankan orang lain untuk melakukannya. Adalah Mahbub Djunaidi, penulis yang karib dengan Kyai Saifuddin, sekaligus mendapat amanah untuk menjadi editor naskahnya. Walhasil, naskah itu pun diserahkan ke Mahbub untuk disunting. Mahbub menyanggupi dan berjanji akan melakukannya dengan cepat. Nahas, seiring berjalannya waktu, Mahbub tak sungguh-sungguh menyerahkan hasil suntingan yang telah diserahkan kepadanya. Setiap ditagih oleh Ajip, selalu berkilah:

“Entar, nggak sabaran bener sih lu. Kalo udah selesai gue anterin.” Naskah itu benar-benar tidak sampai pada Ajip. Ajip begitu kecewa. Terlebih kelakuan Mahbub yang menerbitkan naskah “Guruku Orang-Orang dari Pesantren” pada penerbit yang ia pimpin: Penerbit Al-Ma’arif. Ajip menilai naskah yang diterbitkan tersebut tidak ada bedanya dengan naskah awal dari Kiai Saifuddin. Artinya, tidak ada penyuntingan sama sekali. Saat dikonfirmasi perihal perbuatannya tersebut, Mahbub dengan enteng menjawab, “Pokoknya jadi buku! Dibaca orang! Pengarangnya juga senang bukunya terbit.” Ucapan Mahbub seperti bertuah, buku menjadi best seller. Alhasil buku tersebut ternyata dikoleksi oleh 100 perpustakaan di Jepang. Sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Kato, Guru Besar Antropologi Universitas Chuo di Tokyo (kemenag.co.id, 15 November 2017). Menurutnya, buku karya Kiai Saifuddin merupakan buku penting bagi para akademisi di Jepang. Kemudian, pembacaan atas warisan-warisan buku Kiai Saifuddin menggoda saya untuk menafsir sekaligus memberi penghormatan dengan cara yang bisa saya lakukan.

Biografi, dan Genealogi Keilmuan Kiai Saifuddin

            Kiai Saifuddin lahir 1 Oktober 1919 di Kawedanan, Sokaraja, Banyumas. Perihal tempat kelahirannya, Kiai Saifuddin menulis: “Bangsaku bukanlah cuma penduduk desaku. Tanah airku bukanlah hanya Sokaraja, sebuah kota kawedanan kecil terletak antara Sungai Serayu dan kaki Gunung Slamet. Mungkin tidak akan dijumpai pada peta yang mana pun. Tetapi jika ditarik garis lurus segitiga antara Purwokerto-Purbalingga-Banyumas, pada titik di tengah-tengah itulah terletak kota kecilku”. Kiai Saifuddin lahir dan tumbuh di sebuah keluarga asketik, ialah Mohammad Zuhri dan Siti Saudatun. Ibunya berprofesi sebagai perajin batik, sedangkan ayahnya seorang petani dan kusir delman. Melalui doa, keteladanan, serta hikmah tradisi yang melekat pada kedua orang tuanya, Kiai Saifuddin seperti dipicu untuk melesat dalam semesta “perjalanan” yang menggetarkan. Ibunda Saudatun, kiranya yang meneguhkan perjalanan Kiai Saifuddin. Ibunda berucap: “Jangan mau jadi orang yang sengsara, padahal orang bodoh paling sengsara hidupnya”.

            Dengan gemblengan keagamaan yang kuat, Kiai Saifuddin muda menyerap ilmu dari lingkungan keluarga, yaitu para kiai di pesantren. Mula-mula Kiai Saifuddin kecil mengaji pada ayahnya: Mohammad Zuhri. Penjelasan tertuliskan “Aku memang sedikit-sedikit telah mempunyai kepandaian mengaji, tetapi sekedar pelajaran yang diberikan oleh Ayah dan pengajian di surau malam hari. kitab al-Qur’an dan Barzanji sudah aku khatamkan, ditambah kitab Safinah setengah jalan”. Ayah Kiai Saifuddin (Mohammad Zuhri) memiliki genealogi keilmuan yang mumpuni. Konon, Mohammd Zuhri bin Haji Abdurrasyid bin Haji Jakfar pernah menyesap ilmu ke berbagai pesantren: Pondok Bogangin Sumpiuh Banyumas, Ponpes Lirap Kebumen, Ponpes Gunungpring Watucongol Muntilan, dan Pesantren Tremas Pacitan.

Pertautan pesantren Mohammad Zuhri nyantri, konon merupakan simpul jejaring ulama pengikut Diponegoro. Pasalnya, Eyang H. Jakfar (kakek Mohammad Zuhri atau mbah buyut Kiai Saifuddin) merupakan laskar perang Diponegoro dari daerah Bagelen. Kiai Saifuddin juga mengaji ke berbagai kiai di Kauman, Sokaraja-Banyumas, di antaranya Kiai Nahrawi, Ustadz Abdul Fattah, Ustadz Muhajir; Kiai Khudlori. Kemudian guru Kiai Saifuddin lainnya, yakni: Kiai Ilyas, Kiai Khalimi, Kiai Muhammad Dini dari Karangbangkang, Kiai Khoiroji, Kiai Abdul Khalik, Kiai Abu Dzarrin, Kiai Ahmad Syatibi, Kiai Haji Raden Iskandar, Kiai Ahmad Bunyamin Purwokerto, Kiai Zuhdi Rawalo dan Mas Kiai Mursyid.

Santri Lelana

            Semasa masih muda, Kiai Saifuddin sibuk mengaji dan ibadah keaksaraan. Ia membentuk diri mulai zaman kolonial hingga orde baru. Membaca majalah dan buku dimaksudkan tindakan keaksaraan religius. Hari demi hari, jumlah buku terus bertambah. Ia khatam dan membagi isi buku melalui percakapan atau tulisan. Di Sokaraja, ia bersama santri dan para guru bergairah mengobrolkan tema-tema imperialisme, kapitalisme, non kooperatif berbarengan dengan diskusi mengenai fa’il, naibul fa’il, anwa’uz zakat, mad wajib muttashil. Pada masanya, Indonesia menapaki zaman pergerakan kemerdekaaan. Di situ ada peran pers. Kiai Saifuddin muda aktif dalam dunia pers dan turut membebaskan bangsa Indonesia. Ia melancong ke Solo untuk menekuni dunia pers sambil sekolah. Debut karier pers Kiai Saifuddin dimulai sebagai staf koresponden surat kabar Pemandangan yang terbit di Jakarta, untuk bertugas meliput berbagai peristiwa, khususnya bidang politik yang terjadi di Solo. Pendidikannya di Solo mangkrak karena tugasnya sebagai seorang wartawan terlalu menyita waktu. Setelah belajar di Manbaul ‘Ulum dan Salafiyah (tidak selesai), ia masih berupaya untuk melanjutkan pendidikannya di Lembaga Pendidikan Al-Islam, tapi tidak selesai juga.

Meskipun secara formal pendidikannya boleh dibilang gagal, tidak ada orang yang meragukan ke-aliman, kecerdasan, keluasan wawasannya, dan tentu saja kecintaanya pada organisasi. Ketekunan dalam dunia pers memungkinkan percakapan dan dialog dengan berbagai pihak. Ia karib dengan tokoh-tokoh Nasional seperti Sukarno, Bung Hatta, Soedirman, KH. Hasyim Asyari, KH. Wahab Hasbullah dan masih banyak lagi. Kita ingin mengenang Kiai Saifuddin (1939) mendapat surat dari idola: “Begitulah, surat yang aku terima tertulis di bagian si pengirimnya, nama A. Wahid Hasyim, Tebuireng Jombang”. Kiai Saifuddin itu Santri Kelana dalam konteks pengembaraan ilmu. Kesediaanya untuk menempuh perjalanan jauh hanya dengan kendaraan ala kadarnya, sesungguhnya merupakan “tradisi” para santri yang memiliki cita-cita besar untuk melakukan perubahan di tengah umat.  Aku sering naik sepeda untuk mengajar di dua madrasah (Purwokerto dan Sokaraja), sedangkan untuk tugas konsul NU aku naik bus. Kiai Saifuddin mengisahkan dalam bukunya yang berjudul “Berangkat dari Pesantren”.

Kesediaanya untuk menempuh perjalanan jauh hanya dengan kendaraan ala kadarnya, sesungguhnya merupakan “tradisi” para santri yang memiliki cita-cita besar untuk melakukan perubahan di tengah umat.

            Demikianlah santri kelana, meminjam istilah Gus Dur “Wandering Santris”. Dalam Ensiklopedia Nahdlatul Ulama (2014), jenis santri kelana inilah yang menjadi mediator melawan penjajah. Santri keliling atau santi kelana, seperti ditulis Ensiklopedia NU, menyebarkan informasi dari satu tempat, dan dari satu kiai ke kiai lain, juga dari pesantren ke pesantren. Santri kelana bahkan memimpin perlawanan fisik menghadapi penjajah. Dalam memoarnya ia menulis: “Aku tak bisa lagi lebih lama berada di rumah, karena semakin lama di rumah semakin besar kemungkinan mati konyol menjadi korban sia-sia. Pukul 16.40, rumah kutinggalkan setelah sebelumnya meneliti pistolku, FN 48, yang tinggal berisi empat butir peluru. Pistol itu aku selipkan pada pinggangku….”

Berdakwah dan Berpolitik

            Berdakwah dan berpolitik menjadi paket harokah Kiai Saifuddin dalam memahami Islam dan Indonesia. Kita mengingat Kiai Saifuddin adalah jurnalis, sekjen PBNU, anggota parlemen, DPA, pemimpin laskar Hizbullah, dan Menteri Agama. Berbagai predikat dimiliki dengan tumpukan tanggung jawab dan risiko. Ia selalu memajukan Islam dengan dakwah dan memuliakan Indonesia di wilayah kerja-kerja politik. Sekian pengalaman dan pemikiran diwariskan pada kita melalui buku bermutu: Dari Zaman ke Zaman (1947), Agama Unsur Mutlak dalam Nation Building (1965), Almaghfurlah KH. Abdul Wahab Chasbullah: Bapak dan Pendiri NU (1972), Guruku Orang-Orang dari Pesantren (1977), Sejarah Kebangkitan Islam da Perkembangannya di Indonesia (1980), Kaleidoskop Politik di Indonesia (1981), dan Berangkat dari Pesantren (1987).

            Sosok berpeci “miring” ini mungkin tidak berpikiran bakal menjadi politisi unggul. Foto peci “miring” memiliki masa lalu untuk pengisahan dan penjelasan. Pilihan menaruh peci di kepala menandakan kesungguhan mengenalkan iman, ideologi, dan tradisi. Berpeci mengartikan kemauan “berpolitik” dengan tutup kepala di hadapan kaum penjajah. Di kepala, ide-ide dibiarkan berbarengan tutup kepala. Kita dapat mengingat ia di berbagai kerja-kerja pemuliaan pesantren dan universitas Islam dalam sejarah Indonesia. Kala itu, Kiai Saifuddin ingat gagasan Satiman Wirjosandjojo untuk menginisiasi berdirinya “pesantren luhur” dalam bentuk pendidikan Tinggi. Pada 1962, Kiai Saifuddin menjadi Menteri Agama. Ia menunaikan kerja besar mendirikan IAIN di sekian provinsi. Bermula dari pesantren, Kiai Saifuddin memiliki misi di perguruan tinggi Islam. Ia mengenang: “Sejak pagi-pagi, aku telah membuat tanggul-tanggul agar IAIN tidak menjadi saingan dengan pondok pesantren. Kedua lembaga persemaian dan pendidikan generasi Islam ini mempunyai peranan yang berbeda, tetapi harus saling mengisi. Sistem pesantren tidak mungkin bisa diterapkan dalam IAIN. Sebaliknya, sistem IAIN tidak mungkin pula bisa diterapkan dalam pondok pesantren. Masing-masing mempunyai kekhususan dan identitas yang berbeda, namun tetap keduanya dibutuhkan menjadi kesatuan nilai dalam pendidikan Islam”.

Sosok berpeci “miring” ini mungkin tidak berpikiran bakal menjadi politisi unggul. Foto peci “miring” memiliki masa lalu untuk pengisahan dan penjelasan. Pilihan menaruh peci di kepala menandakan kesungguhan mengenalkan iman, ideologi, dan tradisi. Berpeci mengartikan kemauan “berpolitik” dengan tutup kepala di hadapan kaum penjajah

Lebih jauh lagi, Kiai Saifuddin memandang posisi IAIN menduduki fungsi strategis di bidang ukhuwah Islamiyah. Yakni keinginan agar para Ulama NU, Muhammadiyah, PSII, Perti dan lain-lain duduk sederet menjadi dosen. Kegairahan mendirikan IAIN juga memuat efek politik. Tertuliskan: “Efeknya di bidang politik ialah membendung atau setidak-tidaknya mengimbangi kampanye PKI yang giat membuka “universitas rakyat” di tiap-tiap kota untuk mendidik kader-kader komunis yang Marxis-Leninis-Stalinis-Maois”. Orang-orang pasti lekas mengingat kedongkolan Kiai Saifuddin terhadap kader-kader komunis. Ia berani memprotes penguasa (Ir.Soekarno) yang hendak membubarkan HMI. PKI ingin melenyapkan HMI, siasat dengan memanfaatkan kekuasaan Soekarno. Pengisahan Kiai Saifuddin: “Kalau Bapak tetap hendak membubarkan HMI, artinya pertimbangan saya bertentangan dengan kebijakan Bapak. Maka tugas saya sebagai pembantu Bapak hanya sampai di sini…!”

Keteladanan: Kesederhanaan dan Keaksaraan

            Puluhan tahun berselang dari kesibukan politik dan birokrasi, Kai Saifuddin memilih menunaikan ibadah keaksaraan. Ia tak perlu lagi menunggu orang lain mengadakan penulisan biografi. Buku autobiografi itu dijuduli “Berangkat dari Pesantren”. Buku tebal, ditulis setelah Kiai Saifuddin rampung menjadi menteri Agama. Buku yang memuat segala hal ihwal Kiai Saifuddin dalam pemuliaan Islam dan Indonesia. Pada masa sesudah rampung menjadi menteri, ia tetap menjadi tokoh terhormat: rajin menulis, menerbitkan buku, dan hidup sederhana. Ingatan menulis: ”Mengetik karangan hingga larut malam, kadang-kadang hingga pukul 03.00 dini hari, tanpa mengenakan baju. Jendela aku buka lebar-lebar. Mengetik sambil mengisap rokok tanpa henti, bisa sampai 20-30 batang. Ditemani oleh setoples kacang goreng dan setermos air es”. Kesederhanaanya semakin terlihat pada akhir 1980-an (purna menjadi Menteri Agama), Kiai Saifuddin memiliki kebiasaan baru yang tak dinyana oleh keluarganya. Selepas shalat dhuha, sekira pukul 09.00, ia keluar rumah, mengendarai mobilnya sendiri. Jelang dhuhur ia kembali ke rumah. Kita kaget bukan kepalang dengan apa yang dilakukan Kiai Saifuddin Zuhri. Rupanya, selepas shalat dhuha, ia pergi ke pusat perdagangan Glodok, Jakarta. Tanpa malu-malu, ia berdagang beras kecil-kecilan.

            Ia senang menyandang predikat kolumnis. “Dari kalangan pers dan kepartaian, aku mendapat gelar, “kolumnis”, artinya tukang mengisi kolom (column), ruangan dalam surat kabar”, tulis Kiai Saifuddin. Buku Kiai Saifuddin mengandung peran sebagai pelaku dan saksi sejarah. Hidup sejak zaman kolonial hingga orde baru ditandai dengan kecakapan literasi. Ia mahir mengutip dan mengingat perkataan atau kejadian yang historis. Kita simak catatan historis yang memukau: “Pada tanggal 23-26 Rabiul Akhir 1365 atau 26-29 Maret 1946. Muktamar NU ke-16 berlangsung di Purwokerto. Sebagai Konsul NU Kedu yang berkedudukan di Purworejo, aku tentu saja terpanggil untuk menghadirinya”. Dalam resepsi yang dihadiri oleh Panglima Besar Soedirman, Hadratus Syekh membacakan “Resolusi Jihad ke-2”.

Gus Mus dalam “Sejarah Sosial Pesantren Menurut KH. Saifuddin Zuhri (2016) karya Moh. Slamet Untung”, menilai: “Berbicara tentang budaya tulis menulis di kalangan NU, mungkin Pak Saifuddin Zuhri termasuk, kalau tidak satu-satunya, pengecualian. Beliau bukan saja penulis yang produktif, tapi juga aktif merekam sejarah tentang tokoh-tokoh kiai pesantren. Dari tangan beliau lahir banyak tulisan yang bukan saja sangat bermanfaat bagi NU dan warganya, tapi juga bangsa Indonesia secara umum”.

Dari Kiai Saifuddin, kita semakin mengerti bahwa sejarah Indonesia adalah sejarah dengan keutamaan para ulama dan santri. Kesungguhan dan keikhlasan berdakwah dan beraksi menebar benih-benih nasionalisme membuktikan ejawantah agama dalam cinta tanah air. Daftar ulama diangkat menjadi pahlawan terus bertambah di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Namun, kita menunggu Kiai Saifuddin bakal menjadi Pahlawan Nasional. Mengingat, ia punya segudang aksi demi memuliakan Indonesia. Kembali ke UIN SAIZU (Saifuddin Zuhri), kini penulis menanti pengenalan Kiai Saifuddin berlaku bagi civitas akademika (UIN SAIZU) melalui seminar atau seri diskusi memungkinkan penghormatan jasa. Saya sedikit ragu, buku-buku warisan Kiai Saifuddin terbaca oleh mahasiswa bahkan dosen UIN SAIZU. Semoga ada mahasiswa-mahasiswa UIN SAIZU atau dosen-dosen UIN SAIZU untuk mengingatkan, dan mencuatkan lagi tulisan-tulisan yang mengacu pada Kiai Saifuddin Zuhri, meski tidak harus ilmiah atau dimuat di Jurnal Internasional.

Dari Kiai Saifuddin, kita semakin mengerti bahwa sejarah Indonesia adalah sejarah dengan keutamaan para ulama dan santri. Kesungguhan dan keikhlasan berdakwah dan beraksi menebar benih-benih nasionalisme membuktikan ejawantah agama dalam cinta tanah air

Editor: Mohammad Hagie