Menu

Film India

The India film-maker must turn to life, to reality. De Sica, and not De Mille, should be his ideal.” — Satyajit Ray

Tentang Tiga Orang Bengali

Ada tiga orang Bengali yang mengubah hidup saya. Dua yang pertama datang dari khazanah Sinema India komersial buatan Bombay yang kita kenal sebagai Bollywood, yaitu aktor Mithun Chakraborty dan penyanyi latar Kumar Sanu. Orang ketiga adalah novelis terbesar Bengali, Bibhutibhusan Banerji. Namun, dari tiga orang Bengali itu, saya butuh jalan yang terlalu berliku untuk sampai kepada apa yang disebut sebagai Sinema Bengali.

Mithun pertama kali datang dalam kotak kaset original soundtrack Disco Dancer (1982), film terpenting dalam karir Mithun, bersama kepulangan seorang paman dari Malaysia. Suara penyanyi Vijay Benedict yang meneriakkan “I am a disco dancer, I am a disco dancer” saya anggap sebagai suara Mithun. Mithun, yang dalam Encyclopaedia of Indian Cinema disebut sebagai Bachchan-nya masyarakat kelas bawah India, kemudian menjadi Bachchan-nya anak-anak kampung dan kota kecil Indonesia di awal ’90an. Ia, bersama para jagoan pemarah dari Bombay era ’80an macam Sanjay Dutt, Sunny Deol, dan Anil Kapoor, mendominasi layar kaca Indonesia, menyusul anak-anak Soeharto yang masuk ke industri penyiaran dan memutar film-film India secara gila-gilaan. Mereka tak sekeren dan selincah para jagoan Hongkong, yang lebih urban dengan jas dan dasi dan pistol otomatisnya, dan kemampuan kungfunya. Tapi, mungkin karena itu, para jagoan India ini dirasa lebih dekat, lebih mudah diidentifikasi sebagai bagian dari “kami”.

Mereka tak sekeren dan selincah para jagoan Hongkong, yang lebih urban dengan jas dan dasi dan pistol otomatisnya, dan kemampuan kungfunya. Tapi, mungkin karena itu, para jagoan India ini dirasa lebih dekat, lebih mudah diidentifikasi sebagai bagian dari “kami”.

Pertengahan tahun 90an, menjelang kejatuhan Soeharto, para jagoan berwajah kusut ini kemudian minggir pelan-pelan saat tiga Khan (Aamir, Salman, Shah Rukh) yang lebih manis dan lebih pandai menangis menguasai Bollywood dan akhirnya layar televisi Indonesia. Bersamaan dengan itu, suara Kumar Sanu, mendominasi sinema India, dan pada akhirnya menguasai radio dan rumah-rumah di kota-kota kecil pantura Jawa. Saat bioskop-bioskop kecil yang biasa memutar Film India mulai bertumbangan, diduga akibat perubahan pola impor film, dan mulai dominannya Kelompok 21, suara Kumar Sanu yang kemudian mengambil wujudnya dalam bentuk keping VCD bajakan menjadi pertahanan paling akhir para penggemar “film India”.

Pater Pancali saya temukan di Perpustakaan Fakultas Sastra UGM, saat kultur “budaya tinggi” Jogja tak memberi saya banyak kesempatan untuk bertahan dengan Mithun Chakraborty dan Kumar Sanu. (Saya bergaul di antara para mahasiswa yang belum akan merasa pintar jika tak nonton film Prancis atau mendiskusikan film Hollywood tua yang tak pernah tayang di bioskop kita.) Menyangkanya sebagai buku bacaan keagamaan, dalam edisi Indonesianya yang bersampul hitam dan bergambar patung perunggu Siwa menari, Pater Pancali berakhir sebagai “kitab suci” menulis bagi saya. Saya masih mengingat getaran-getaran saat pertama kali membaca buku itu, dan saya masih merasakan ketika membacanya ulang. Pater Pancali membuat Satyajit Ray jadi sutradara. Buku yang sama membuat saya menjadi seorang penulis.

Sebenarnya Pater Pancali tidak benar-benar asing. Di sela-sela obrolan tentang Mithun dan Sanjay Dutt, seorang teman pernah menyebut-nyebut tentang film India kaliber dunia yang hanya pernah didengarnya. Maka, sebesar keinginan saya segera ingin memulai menulis novel begitu menyelesaikan membaca Pater Pancali, sebesar itu pula dorongan saya untuk menonton film Pater Pancali. Namun, dorongan itu bertepuk sebelah tangan dengan kenyataan. Saya mendapati tak ada seorang pun yang menyimpan film itu di dunia ini. Saya mengobrak-abrik pasar-pasar VCD bajakan di Jakarta. Saya bisa dapatkan boxset filmaker siapa saja, dari mana saja, tapi saya tak temukan film Satyajit Ray di sana. Seorang teman di IKJ yang saya mintai bantuan bilang, ia tak menemukan film itu di perpustakaan. Rental-rental di Jogja, yang menjelang masa keruntuhannya, juga tak menyimpannya. Beberapa kerabat di Malaysia saya minta bantuan untuk mencarikanya, sama saja. “Satyajit Ray tak ada. Kalau Aishwarya Rai banyak,” kata penjual DVD.

Maka, sebesar keinginan saya segera ingin memulai menulis novel begitu menyelesaikan membaca Pater Pancali, sebesar itu pula dorongan saya untuk menonton film Pater Pancali. Namun, dorongan itu bertepuk sebelah tangan dengan kenyataan. Saya mendapati tak ada seorang pun yang menyimpan film itu di dunia ini.

Dari Pater Pancali-nya Banerji, saya butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa bertemu dengan Pater Pancali-nya Ray. Perjumpaan yang sangat sulit itu, seperti yang pernah saya tulis di Aku dan Film India Melawan Dunia, banyak memberi gambaran tentang sinema India di Indonesia, mulai dari distribusinya, pola konsumsinya, dan persepsi publik (Indonesia) atasnya. Saya kira, hal ini bisa juga dipakai menjelaskan tentang sinema Bengali secara lebih khusus.

Tentang Tiga Film Bengali

Saya menonton trilogi Apu dari Ray (Pater Pancali [1955], Aparajito [1956], dan Apur Sansar [1959]) tak kurang dari lima tahun setelah saya membaca dwilogi Banerji (Pater Pancali dan Aparajito). Film yang luar biasa, tak diragukan. Tamasya mata yang sulit dilupakan. Bayangan saya tentang Sarbajaya terjawab; seorang ibu yang nyinyir karena terlalu miskin saya dapatkan pada diri Karuna Banerjee. Dengan mata bulatnya, Durga mengisi seluruh sudut film ini, dan Ray menjadikan matanya yang penuh rasa takjub sebagai mata penonton. Film ini juga memberi apa yang novelnya tak punya: sebuah klimaks. Kedatangan Harihar yang disambut kediaman Sarbajaya ada di novel, tapi bagaimana Sarbajaya menggigit kain yang dibawa Harihar untuk Durga kemudian ambruk, yang disusul teriakan pilu Harihar, hanya bisa kita temukan di film. Tanpa ragu saya akan sebut, itu adalah salah satu klimaks paling menggetarkan yang bisa kita temukan di film manapun.

Tapi, kalau boleh jujur, di film pertama dari tiga film yang populer disebut sebagai trilogi Apu ini, saya justru banyak kehilangan Apu, kepada siapa saya sebagai pembaca dan kemudian penulis luruh dan larut. Kemesraan Apu dan ibunya lesap oleh kenyinyiran Sarbajaya kepada Indir Tua di awal film dan kemuramannya oleh kemiskinan di sebagian besar film. Banerji berbuih-buih menggambarkan kelahiran Apu dan kebahagian Sarbajaya, dan itu memang tak mungkin disalin ke gambar oleh Ray, dan karena itu film kehilangan salah satu elemen terindah dari novel. Apu yang gambek dengan ibunya hilang sama sekali dari film, demikian juga dengan bagian Apu dan telur gembala, sementara antusiasme Apu yang meluap-luap atas kedatangan rombongan jatra terlalu disederhanakan oleh Ray dengan hanya memberikan Apu sebuah mahkota dari kertas. Dan di film saya kehilangan kutipan dari Banerji yang saya pegang sebagai penulis: “Api berasal dari api. Kita tak bisa menyalakan obor dengan seunggun abu yang dingin.”

Ya, saya tak seberuntung Salman Rushdi yang konon menonton filmnya dulu sebelum membaca novelnya. Apu dalam teks Banerji menguasai saya terlalu dalam, sehingga menghalangi saya untuk tergetar oleh gambar Ray dengan getaran-getaran yang sama ketika saya membaca untuk pertama kali Pater Pancali. Tentu saja itu tidak fair, dan ini jelas bias seorang penulis, tapi Anda tak bisa berbohong soal pengalaman menonton. Mungkin perkenalan saya dengan film-film Mithun dan suara Kumar Sanu yang jauh lebih dulu dibandingan dengan film-film Ray juga punya peran, saya tak tahu.

Yang jelas, perjumpaan dengan film-film Ray tak mendorong saya untuk memburu film-film Bengali lain. Mendengar tentang Mrinal Sen dan Ritwik Gathak sangatlah menarik, namun saya tak tahu mesti mencari ke mana. Pada saat yang sama, sesuatu sedang terjadi di Bollywood. 3 Idiots dari Raju Hirani sedang sangat dibicarakan, dan internet memberi akses yang menyenangkan, yang bahkan tak bisa diberikan pasar VCD bajakan. Kemunculan kembali film-film polisi India yang membasmi kejahatan sembari bergaya menggelegakkan kembali kenangan saya atas jagoan-jagoan di masa remaja. Lalu sebuah pekerjaan mempertemukan saya dengan film Aparna Sen.

Kemunculan kembali film-film polisi India yang membasmi kejahatan sembari bergaya menggelegakkan kembali kenangan saya atas jagoan-jagoan di masa remaja. Lalu sebuah pekerjaan mempertemukan saya dengan film Aparna Sen.

Lagi-lagi dimulai dari buku. Sebuah penerbit di Jogja meminta saya mengeditori terjemahan kumpulan cerpen Kunal Basu, The Japanese Wife. Dengan memakai standar Banerji, membaca cerita-cerita Basu tak terlalu mengesankan. Realisme magis yang tanggung. Kosmopolitasnisme yang ganjil. Beberapa cerita terasa terlalu melodramatis. Tapi, segera saya tahu, dari buku yang tak terlalu saya suka itu, dihasilkan film yang sangat saya sukai. Saya bahkan sempat-sempatnya mengindonesikan terjemahan Inggrisnya.

The Japanese Wife (2010) Aparna Sen membuat The Japanese Wife-nya Basu jadi lebih realis, hal yang saya bayangkan sebagai keharusan dalam film dan cerita Bengali. Pada saat yang sama, elemen-elemen sinema Jepang yang puitik masuk lewat karakter Miyage, si istri Jepang. Tentang film ini, dengan sedikit berlebihan saya pernah menulis: “… seperti membaca Kawabata yang kusam berkabut dengan latar Banerji yang indah karena keterangbenderangannya.” Meskipun sekarang tak yakin apakah kalimat itu tepat atau tidak, yang jelas itu pengalaman menonton yang menyenangkan.

Buku lain membuat saya berjumpa dengan film Bengali berikutnya. Sebuah film India aneh nongol di televisi jelang dini hari. Dimainkan oleh dua bintang besar Bollywood, Ajay Devgan dan Aishwariya Rai, yang tentu saja segera saya kenali. Film itu diputar dalam bahasa aslinya, tidak di-dub, sesuatu yang jarang saya temukan dilakukan televisi Indonesia terhadap film India. Dan film itu saya tunggu betul karena sebelumnya saya membaca bahwa film tersebut merupakan adaptasi dari cerpen O Henry yang paling dikenal, “Gifts of The Magi”. Film yang indah. Film ini berjudul Inggris, Raincoat (2004), dan berbahasa Hindi, jadi mungkin tak akan dihitung sebagai bagian dari sinema Bengali. Tapi yang terpenting, pada film ini saya dipertemukan dengan Rituparno Ghosh—jauh sebelumnya saya pernah menonton Choker Bali, juga di televisi, tapi itu pengalaman menonton yang tidak lengkap, dan saya tak tahu apa-apa soal Ghosh. Dari Raincoat, saya kemudian menemukan The Last Lear (2007), film Ghosh berbahasa Inggris dan lagi-lagi dimainkan para bintang Bollywood. Lalu, Titli (2002), sebuah film Bengali.

Coba tebak, di film ini saya bertemu dengan siapa? Mithun Chakraborty. Ya, Mithun kami. Ia boleh dibilang memerankan dirinya sendiri.

Titli indah dan sederhana, atau sederhana dan karena itu indah. Dan unik. Sebuah cerita perjalanan yang mungkin saja dipikirkan oleh setiap orang: tidakkah Anda pernah berpikir bahwa di bus atau di kereta atau di jalanan Anda bisa akan berpapasan dengan bintang film yang Anda puja? Juga cinta segitiga yang ganjil—dan indah. Dan Mithun Chakraborty yang muncul dari balik kabut dalam gerak lambat, dengan diiringi suara siulan, yang jika diperpanjang pastilah akan terdengar suara Kumar Sanu di sana. Di sini Mithun tak memukul siapa pun, tapi hati mereka yang pernah remaja di awal 90an dan menghabiskan waktunya di depan televisi akan dibuat KO.

Tiga Hal dari Titli (dan Film Bengali) untuk Film Indonesia

Titli, saya duga, semacam tribut atas banyak hal yang disukai Ghosh. Namun, jika bisa saya ringkas, ia adalah tribut atas tiga hal besar: musik, sastra, dan sinema.

Dalam film yang hanya punya satu original soundtrack, yang diputar di pembuka dan penutup film, Titli memperdengarkan dua buah lagu Hindi tua (salah satunya saya kenali sebagai OST Aradhana, film perdananya Rajesh Khanna, megastar Bollywood sebelum Bachchan dan Shah Rukh) dan dua lagu dari golden era-nya Rock n Roll Barat (Fernando dari ABBA dan Strawberry Field Forever dari The Beatles). Film ini juga bertabur puisi. Aparna Sen (ibu Titli) mengenang masa cinta monyetnya dengan Mithun (yang berperan jadi aktor Bollywood bernama Rohit Roy) dengan menyitir sajak-sajak Tagore. Namun, di atas semuanya, film ini menghabiskan banyak menitnya untuk membicarakan film.

Obrolan Titli (Konkona Sen Sharma) dan ibu Titli, Urmi (Aparna Sen), adalah obrolan tentang sinema Hindi, dari Dilip Kumar hingga Fardeen Khan. Obrolan tentang film Hindi masih disambung ketika Rohit menceritakan kehidupannya sebagai aktor di Bombay. Di antara itu, ada dua sekuen kilas balik hitam-putih yang menceritakan masa-masa ketika Rohit masih berjuang sebagai aktor mesti melepas kekasih hatinya. Saya tak tahu film tua apa yang benar-benar diacu oleh Ghosh, tapi saya yakin itu merujuk pada film-film Bengali lama.

Dalam satu tepukan, Ghosh menjelaskan kepada kita betapa film-filmnya tak terpisahkan dari elemen-elemn seni lain. Dan, saya kira, itulah yang juga kita bisa dapat setelah menonton film-film Satyajit Ray (apalagi pada diri Ray sendiri kita dapatkan paket komplet: sutradara, penulis, perupa, juga musisi). Pada Pater Pancali-nya Ray, misalnya, kita tak hanya mendapatkan film terpenting, jika bukan terhebat, yang pernah dibuat India, tapi kita juga diperkenalkan dengan prosa terbesar India dan nama Banerji, dan tentu saja musik Ravi Shankar.

Saya tak tahu bagaimana menyebutnya secara tepat. Untuk menghindari istilah “interdisipliner”, yang terdengar terlalu akademis, saya sering memakai istilah “keberkaitan”; bahwa film-film Bengali tak terpisahkan dari elemen-elemen penting dan pokok dari kebudayaan Bengali. Saya hampir yakin, paket komplit pada diri Satyajit Ray memberikan dasar kuat bagi karakter “keberkaitan” ini. Namun, bisa juga, semua itu disusun di waktu yang lebih awal, yaitu pada diri Tagore, yang mewarisi dunia bukan hanya dengan sastranya, tapi juga karya rupa dan terutama musik. Atau, mungkin lebih awal lagi.

Kembali kepada Titli, tribut-tribut yang diberikan Ghosh di filmnya kepada sinema-sinema yang membesarkannya memberi gambaran lain dari sinema Bengali secara umum. Ini bukan saja soal respek atau rasa terima kasih, tapi juga gambaran tentang pengakuan atas akar. Ini tentang keberlanjutan: bahwa film ini tak akan ada tanpa film-film sebelumnya. Ini tentang karakter menyejarah. Dan dengan karakter itulah saya kira sinema Bengali bisa merayakan 100 tahunnya dengan bangga. 100 tahun itu bukan hanya angka dari tanggalan masehi, tapi terutama tentang eksistensi yang memanjang menantang waktu dan tak terputus—meski tentu saja ini bukan berarti tanpa hambatan.

Kemembumian yang khas dari film-film Bengali saya kira punya kontribusi besar bagi keberlanjutan itu. (Saya ingin menyebutnya dengan lebih sederhana sebagai “berciri realis”, tapi saya khawatir ini dikacaukan dengan realisme sebagai ideologi.) Hal ini mungkin sedikit perlu dijelaskan. Sinema Bengali sejak awal muncul sebagai wujud dari reaksi keras atas sinema India awal, yang didominasi oleh gaya teater Parsi yang ekstravagan, yang gemebyar, demikian yang ditulis oleh Sharmistha Gooptu. Mereka mengidealkan film sebagai karya seni, untuk membedakan diri dari para produsen-saudagar yang memproduksi film-film sebagai komoditas. Dan karena itu, mereka menghendaki anasir-anasir khas Bengali (Bengali subjects) untuk penonton Bengali. Jelas bahwa pandangan ini bias kelas menengah terdidik Bengali masa kolonial, yang dikenal sebagai Bhadralok (yang saya bayangkan punya kedekatan makna dengan kepriayian di Jawa). Dengan dinamika internalnya, misalnya dengan munculnya kelas Brahmo (kalangan brahmin yang tercerahkan secara Barat dan sekuler secara agama yang muncul di akhir masa kolonial) di mana Satyajit Ray jadi bagiannya, dan kemudian munculnya para sineas kiri seperti Ritwik Ghatak dan Mrinal Sen (dengan realisme sosialnya dan kritiknya yang sangat keras terhadap nilai-nilai bhadralok), saya kira kita tetap mendapati sinema Bengali tak terlalu jauh dari apa yang diidealkan oleh Satyajit Ray yang saya kutip di depan.

Karakter membumi ini membuat saya merasa relatif mudah membedakan film-film Bengali dengan film-film dari produk sinema regional lain di India, lebih-lebih dengan Bollywood. Devdas-nya Bimal Roy, meskipun berbahasa Hindi, terasa sekali Bengalinya, lebih-lebih jika dibandingkan dengan Devdas-nya Bhansali. Bukan semata yang pertama hitam-putih dengan cerita lebih realis, sementara yang terakhir begitu grandour, dengan kostum dan setting megah, tapi dua film dari novel yang sama itu memang dihasilkan oleh pendekatan dan ideologi sinema yang sangat berbeda. Karena alasan yang sama, apa pun bahasanya, saya merasa karya-karya Rituparno Ghosh adalah bagian dari sinema Bengali. Hal yang saya saya rasakan ketika menonton A Death in The Gunj (2016) dari Konkona Sen Sharma, yang oleh situs Film Companion baru-baru ini ditahbiskan sebagai salah satu dari 25 film Hindi terbaik dalam sepuluh tahun terakhir.

Khusus di Titli, kemembumian itu digambarkan dengan kederhanaan cerita, meskipun premis film ini tak main-main: kisah cinta segitiga antara ibu, anak, dan seorang bintang Bollywood. Ini karena keluarga Titli, satu keluarga kelas menengah di perkebunan teh Darjeeling, digambarkan dengan sangat realis, sementara sosok superstar Rohit Roy digambarkan oleh sebagai manusia biasa yang punya masa lalu pahit dan punya kisah cinta yang gagal. Dan dalam karakter-karakter yang membumi ini, larik-larik klasik Kalidasa dan puisi liris Tagore menguar dan masuk dalam cerita film sebagaimana kabut tiba-tiba memenuhi dataran tinggi Darjeeling: sangat normal, begitu nyata. Karakter-karakternya tak membutuhkan kondisi khusus atau karakter yang aneh untuk mendendangkan dan membicarakan sajak-sajak Tagore atau Kalidasa. Ghosh, tak seperti di film-film horor kita (dan hanya di film horor), tak membutuhkan perempuan berwajah aneh dan bertingkah ganjil untuk bisa mengucap sajak-sajak dari abad ke-5 M.

Dan Sebuah Kritik

Sebagaimana yang saya sebut di awal esai ini, saya membutuhkan jalan berliku untuk bertemu film-film Bengali. Saya membutuhkan Bollywood untuk sampai ke sana. Saya harus melewati buku-buku untuk pertemu film Satyajit Ray, Aparna Sen, dan Ghosh, baru setelah itu sinema Bengali yang lebih luas. Dan saya termasuk beruntung karena kebetulan saya kuliah sastra dan kemudian menulis. Itu setidaknya membuat saya bisa membaca Banerji, lalu Basu, dan pernah melewatkan waktu dengan cerpen-cerpen O. Henry. Jika saja saya tak pernah melewati masa remaja saya dengan tendangan Mithun dan suara sengau Kumar Sanu dan saya kuliah di jurusan biologi, film-film Bengali mungkin tak pernah saya jumpai.

Saya percaya, semua pembelajar dan penggila film pasti akan berusaha sangat keras untuk bisa menonton film-film Ray—seperti yang pernah saya lakukan. Tapi, tanpa pengalaman dengan film India secara umum, juga keingintahuan yang sedikit melenceng, saya tidak membayangkan Ray, yang adalah bagian sah dari khazanah sinema dunia, bisa menarik seseorang untuk tahu lebih jauh tentang sinema Bengali.

Bahkan ketika jalan berliku itu telah tertempuh, film-film Satyajit Ray telah ditonton, juga Mrinal Sen, dan Ritwik Ghatak, hingga Aparna Sen dan Rituparno Ghosh, dan pengalaman tentang sinema India secara umum telah punya, juga keingintahuan yang tak lazim itu begitu menggebu, saya tak yakin bisa melangkah lebih jauh. Seperti yang sering saya alami, saya tak tahu mesti menuju ke mana.

Kebingungan dan kepustusasan itu pernah saya alami bahkan dengan film-film Bollywood paling standar—dan saya kira sampai sekarang saya masih merasakan keputusasaan itu. Tapi, setidaknya beberapa hal telah berubah. Akses internet menolong banyak orang-orang malang penggemar India macam saya, sementara jaringan bioskop mulai sedikit demi sedikit kembali membuka pintu untuk film-film India—meskipun dengan cara dan ukuran yang kadang sangat menyebalkan. Di antara itu, akses terhadap sinema-sinema regional India di luar Bollywood (Tamil, Telugu, Kannada, Marathi, dan terutama Malayalam, juga belakangan Gujarati) mulai terbuka, dan memberi kesegaran baru. Namun, bersamaan dengan itu, di manakah film-film Bengali?

Yang ingin saya katakan, di balik keunggulan estetiknya, kekhasan sinematiknya, sinema Bengali relatif tak dikenali. Lebih dari itu, ia kadang terlihat cenderung tidak ingin dikenali. Menolak formula-formula mainstream Bollywood sangat bisa diterima, dan itulah juga yang saya inginkan dari sinema Bengali. Menjaga jarak dari adegan mobil terbang dan polisi yang bisa menangkis peluru macam sinema Selatan jelas wajar—“itu nggak Bengali banget,” kira-kira begitu. Bahkan saya bisa paham kalau mereka tak mau menyerahkan sepertiga durasi film “untuk enam lagu di film yang bukan film musikal”, sebagaimana yang pernah dikatakan Ray. Tapi saya tak habis pikir bila film-film bermutu itu hanya bisa didapati di festival-festival film yang ekslusif, yang mungkin hanya bisa kita tonton setelah ada perayaan 100 tahun. Sungguh sayang.

Idealisme sinema Bengali patut dipuji, dan seharusnya begitulah seni dan kebudayaan dibangun dan dirayakan. Dan sebagai penyeimbang atas arus mainstrem sinema Bollywood dan para pengekornya, sinema Bengali memang harus menjaga marwah itu.

Idealisme sinema Bengali patut dipuji, dan seharusnya begitulah seni dan kebudayaan dibangun dan dirayakan. Dan sebagai penyeimbang atas arus mainstrem sinema Bollywood dan para pengekornya, sinema Bengali memang harus menjaga marwah itu. Namun, sebagai sebuah industri, sinema bengali membutuhkan penonton yang nyata, bukan semata para kritikus dan juri festival. Ia mestinya ada di bioskop-bioskop di seluruh dunia, dan bukan hanya di buku-buku katalog. Ya, kita punya persoalan dengan bioskop yang bersegmen, dan saya kira di India juga. Tapi, itu masalah yang terpisah. Yang lebih penting, sinema Bengali mesti mengupayakan sendiri pintu masuk untuk menuju khazanah sinema mereka yang kaya. Dan, menurut saya, itu sepatutnya adalah produk sinema itu sendiri. Saya kira, sinema Telugu dengan Bahubali-nya bisa jadi semacam acuan. Bukan berkait drama kostum dan bajet besarnya, tapi dalam hal bagaimana ia berhasil menarik perhatian. Hal yang sama saya kira bisa dilihat juga pada sinema Marathi. Saya tak tahu yang paling ideal untuk sinema Bengali, tapi sesuatu mesti dilakukan.

Dari penulis biografi Satyajit Ray, Andrew Robinson, saya mendapati bahwa Ray kecil sangat menyukai film Hollywood dan bahkan kurang menyukai film-film Bengali awal. Robinson juga bilang, bacaan Ray lebih cenderung enteng dibanding sastrawi. Namun, seperti kita kemudian tahu, dari kelucahan Hollywood-lah Ray menemukan Neorealisme Italia. Dari De Mille ia berjumpa De Sica, dan bukan sebaliknya. “Jika saja ia mau sedikit membuka hati dengan film populer…” tulis Shyam Benegal, sutradara India, yang sering diidentikkan dengan “middle cinema”, tentang Ray. Saya rasa, angan-angan yang sama bisa ditujukan kepada sinema Bengali.

*Ditulis untuk Public Lecture “100 Years of Bengali Cinema” di JAFF 2019, 21 Des. 2019.

Besok saya mau nonton bioskop. Dan saya butuh bilang begitu karena setiap rencana ke bioskop, apalagi setelah keluar darinya, selalu ada perasaan istimewa. Bukan “istimewa” yang istimewa-istimewa amat sebenarnya, atau setidaknya setinggi arti dengan atribut yang melengkapi kata itu. Mungkin perasaan yang khusus, lebih tepatnya.

Saya sebut khusus, karena pada dasarnya saya memang jarang pergi ke bioskop—mungkin boleh disebut langka jika dibandingkan setidaknya dengan cap penggila Film yang disematkan beberapa teman terhadap saya. Rasa khusus itu biasanya membuat ingatan tentang kapan dan film apa yang pernah saya tonton langsung segera saya bisa ingat.

Bahkan, seperti hari ini, memikirkan bioskop cukup untuk memanggil kembali ingatan hampir lengkap tentang hubungan saya dengan film, tapi lebih khusus lagi hubungan saya dengan bioskop.

**

Nonton film itu banyak mudaratnya dibanding bermanfaat. Saya kira itu dianut oleh kebanyakan kalangan santri di mana saja, termasuk di masyarakat desa saya. Tidak berfaedah, buang waktu, bikin malas ngaji, bahkan bisa lupa salat. Itu hanya sedikit saja alasan. (Kalau mau dideret lebih lengkap, mungkin hasil akhirnya bukan sebuah tulisan kenangan, melainkan sebuah novel baru.) Maka, seingat saya, kecuali untuk film-film Rhoma Irama (yang justru banyak diceritakan secara lisan oleh bapak saya), meminta izin untuk menonton film nyaris selalu ditanggapi dengan kecurigaan oleh orangtua saya.

Dan kecurigaan itu sama sekali tidak salah. Kami, bocah-bocah haus hiburan di puncak kejayaan Orde Baru, sekaligus di puncak ketertinggalan kami sebagai orang Indonesia udik pada Pelita V, tentu saja tidak menonton film yang cocok dengan usia kami, lebih-lebih film yang menginspirasi agar kami rajin masuk sekolah.

Cawat Sally Marcelina, sempak Yurike Prastica, atau kutang Eva Arnaz adalah sebagian dari motivasi kami menonton. Saya kira, kami sudah membicarakan hal-hal macam itu ketika saya belum lagi kelas lima MI. Itu waktu yang sama ketika kami juga sudah mulai berbagi bacaan Freddy S. dan Eddy D. Iskandar, di antara pembicaraan kisah cinta ganjil dan berbau paedofil ala Pangeran Purbaya dan embannya Cempaka dari serial drama radio Babat Tanah Leluhur.

Film jadi bagian hidup kami lewat program Film Cerita Akhir Pekan TVRI, yang diputar tiap Sabtu malam, sehabis Berita Terakhir jam 11.30 malam itu. Juga layar tancap, yang masuk desa secara sangat acak. Tapi, terutama dari pemutaran-pemutaran film video ketika ada orang kampung atau tetangga kampung punya hajatan. Jelas, rating dan parenting sama sekali tak terlintas di pikiran para juru putarnya.

Bioskop sebenarnya tak jauh-jauh amat. Hanya sekitar 25 kilometer ke arah barat. Tuban, kota terdekat dari desa kami, punya tiga bioskop yang sangat terkenal. Saya selalu menyimak jadwal tayang bioskop-bioskop itu dari Radio RKPD, tapi tak pernah berkesempatan nonton.

Tapi, tentu saja itu tak sesederhana kelihatannya. Pertama, 25 kilo meter bukanlah jarak yang dekat jika angkutan umum yang tersedia di desamu hanya cikar dan dokar. Beberapa orang punya sepeda pancal, tapi lebih sedikit yang cukup gila untuk ngontel 50 kilo meter PP demi sebuah film di bioskop. Dulu, dulu sekali, di kecamatan, 15-an kilo meter ke timur, katanya ada gedung pertunjukan yang sekaligus merangkap jadi gedung film. Sayangnya, bioskop itu hanya sampai di generasi bapak saya. Generasi kami cuma kebagian riwayatnya saja.

Bioskop biasanya hanya bisa dicapai oleh segerombolan remaja nekat. Ketika tersebar berita bahwa film Rhoma Irama Bunga Desa syuting di desa yang tak jauh dari desa kami, semua orang sangat penasaran ingin tahu macam mana film itu. Konon, beberapa orang keranjingan berjalan kaki untuk bisa sampai bioskop—mungkin jalan kaki dan menumpang truk atau kendaraan apa pun, lebih tepatnya. Tapi, remaja-remaja nekat ini, bagaimanapun jauh lebih tua dari kami. Kami waktu itu masih terlalu kecil untuk jadi bagian dari mereka. Dan itu adalah masalah kedua.

Masalah ketiga, dan ini yang paling penting dan ditegaskan berulang-ulang oleh para orangtua dan guru ngaji kami: bioskop itu lebih banyak mudaratnya dibanding manfaatnya, seperti juga film. Masalah ini menimbulkan masalah keempat: lalu dari mana kami dapat sangu untuk nonton?

Bioskop, oleh karena itu, memang sedikit identik dengan anak nakal. Teman saya yang saat itu sudah menempuh SMP di Tuban dan bisa berbual-bual tentang film bioskop dikenal karena kebengalannya. Meski begitu, bisa nonton bioskop adalah salah satu yang saya pikirkan ketika memutuskan melanjutkan sekolah menengah di Babat, kota kecil di selatan Bengawan Solo, yang punya sebuah bioskop tua yang legendaris. Tapi pikiran itu tak pernah terlaksana. Pertama, mungkin karena saya tak cukup bengal. Kedua, karena uang saku saya sangat cekak bahkan untuk sekadar berusaha jadi bengal. Ketiga, dan ini yang lebih penting, bioskop itu sudah keburu tumbang duluan, berbarengan dengan bertumbangannya bioskop-bioskop di kota-kota kecil di paroh akhir ‘90-an.

Ketika saya ke Jogja dan memutuskan jadi tukang azan agar dapat kamar gratisan, saya kira saya tidak berjodoh dengan bioskop. Tapi, saya salah duga.

Pengaruh Pergaulan Metropolis memang mustahil dilawan. Dan, Kenikmatan Terlarang itu tak pernah bisa diabaikan.

Hidup (baca: takdir—biar lebih terdengar religius) membawa saya ke sebuah kamar yang berbagi dinding dengan sebuah menara air di sebuah loteng masjid di Ratmakan. Itu adalah sebuah kampung padat di lereng sempit lembah Kali Code. Sebuah lorong kecil di bawah jembatan Jalan Senopati akan menghubungkan kampung itu dengan Sayidan, kampungnya band ska Shaggy Dog. Di lorong itu pula, sesekali, terutama di masa kampanye pemilu, orang Ratmakan yang PDI-P dan oknum Sayidan yang PPP akan terlibat saling ancam.

Mungkin terdengar gegabah, tapi bagi saya Ratmakan adalah sebuah limbo. Itu adalah neraka yang bernuansa surga, atau sebaliknya surga yang bercitarasa neraka, tergantung perasaan Anda. Di situ, saya melakukan hal yang akan diidealkan orangtua dan para guru ngaji saya di rumah: mengajari salat dan mengaji anak-anak, menyumbangkan suara sumbang saya untuk ikut bersahutan di udara Jogja yang sumpek, menuntun para ibu membetulkan hafalan doa dan bacaan Qurannya; singkatnya, saya belajar untuk jadi berguna bagi nusa-bangsa dan agama. Tapi, di situ juga saya untuk pertama kalinya mesti membiasakan diri bergaul dengan teman yang setengah mabuk atau sama sekali mabuk, menghadapi keragaman Jogja yang bagi saya waktu itu sangat ekstrem, dan— ironisnya—mulai menyadari (yang kemudian berujung jadi keyakinan) bahwa saya tampaknya tidak akan bisa berguna bagi agama saya, setidaknya dengan cara-cara yang biasa.

Tapi limbo itu mungkin lebih jelas terasa dalam arti geografis dibanding sosiologis. Masjid itu hanya 10 menit jalan kaki dari Malioboro yang kondang itu, 7 menit dari nasi goreng babi Jalan Mataram yang nauzubillah ramainya, 6 menit dari Papillon, diskotik paling tenar di Jogja waktu itu, yang kisah tentang turis-turis Arabnya yang menghambur-hamburkan uang di tempat parkir sampai ke beranda masjid kami.

Saya sih tak ambil pusing dengan yang macam itu, tapi coba yang berikut ini. Hanya 2 menit ke arah barat, saya bisa menemukan pasar buku Shopping dan dua bioskop yang bersandingan dengannya, Senopati dan Jogja. Ke timur, dengan jarak yang lebih dekat lagi, saya sudah bisa langsung ada di depan loket Bioskop Permata.

Masjid itu, bukannya membuat saya jadi muslim yang tambah kaffah dan lebih taat syariat, justru memperkenalkan saya dengan salah satu tempat paling profan dalam kehidupan dunia yang penuh tipu daya ini: bioskop.

**

Masalahnya, setan tak kurang cara untuk menggoda manusia, demikian K.H. Zainuddin MZ memperingatkan.

Jarak sedekat apapun (dan akses semudah apapun) sebenarnya tak akan berarti apa-apa jika saya tidak salah pergaulan.

Sejak kecil, bersama sepakbola dan musik, saya memang tak pernah menganggap film semata sebagai hiburan. Tapi, di Jogja, lebih tepatnya di sebuah rumah reot dan kumuh di lingkungan perum dosen di Bulaksumur, saya menemukan pembenarannya. Di rumah di mana pada akhir ‘90-an film porno ditonton bersama dan didiskusikan, film-film diputar dan beredar tak kalah kencangnya dengan fotokopian buku Tetralogi Buru-nya Pram. Acara nonton bareng, terutama di pusat-pusat kebudayaan asing, terkhusus di LIP Sagan (yang hanya lima menit jalan), jadi kerutinan macam pengajian mingguan ibu-ibu arisan.

Saya sebenarnya tak larut-larut amat dengan kesesatan dan penyesatan yang nyata itu. Saya cukup bisa jaga diri. Saya mesti ada di masjid terutama ketika manjing Maghrib, dan itu sebisa mungkin saya penuhi. Masalahnya, setan tak kurang cara untuk menggoda manusia, demikian K.H. Zainuddin MZ memperingatkan.

Terlalu miskin untuk beli buku, sementara tugas kuliah Sastra tak pernah jadi bagian dari masalah, dan pengajian ibu-ibu yang mesti saya urus hanya seminggu sekali, saya kekurangan cara untuk menghabiskan waktu luang. Biasanya, sehabis jamaah salat isya, saya melenggang ke Shopping. Saat itu, Shopping Center berada tepat di pinggir jalan besar, dengan gerbang masuk di sebelah selatan. Di belakangnya, berdiri bersebelahan dengan angker dan kumuh Bioskop Senopati dan Jogja Theater.

Niat awalnya tentu saja kios-kios buku dengan koleksi karya sastra (biar cuma UGM, kita ini mahasiswa Sastra Indonesia, begitu ‘kan, Bal?) Pura-pura pilih-pilih, siapa tahu bisa menyelesaikan sebiji-dua biji cerpen Putu Wijaya yang bukunya tebal-tebal dan harganya mahal itu. Tapi itu tak bisa dilakukan terlalu sering dan tak boleh terlalu lama. Karena itu, untuk tampak memantaskan diri, saya beredar ke kios-kios lain. Ujungnya, biasanya, saya akan nyantol di lapak-lapak majalah bekas, karena pengawasannya yang relatif lebih longgar. Dan seingat saya, dibanding lapak jenis lain, di lapak macam inilah saya lebih banyak menghabiskan waktu.

Majalah bekas jelas lebih murah dibanding buku bekas. Karena itu, di sini, pura-pura menawar jauh lebih kecil risikonya. Kalau terpaksa beli, dan kadang saya memang melakukannya (dengan tujuan utama untuk investasi tentunya), saya bisa beli selembar-dua lembar Matra bekas atau Horison lama seharga Rp1.000-15.000. Tapi, biasanya, saya sangat sedikit menghabiskan waktu untuk majalah-majalah berbudaya itu. Majalah-majalah macam Majalah Film, Ria Film, atau Vista TV adalah tujuan utama saya. (Liberty atau Popular, kalau sedang khilaf dan ada kesempatan, ya tentu saja ikut dibaca juga.)

Ria Film dan terutama Majalah Film (yang sebenarnya tabloid itu) adalah kemewahan yang jarang di masa remaja. Saya mungkin sudah membacanya ketika belum usia SMP, tapi itu perjumpaan yang langka. Dan di Jogja saya melihatnya bertumpuk-tumpuk, berdebu, dan tampak tak berguna. Menyentuhnya, lalu membongkarnya dalam tumpukan-tumpukan, benar-benar bikin gemetar.

Seingat saya, saya tak pernah membeli satu eksemplar pun Majalah Film, meskipun harganya pasti lebih murah dibanding Matra atau Horison. Tapi membacanya (kembali) adalah racun. Saya tak tahu persisnya, tapi Majalah Film tampaknya tutup bersama ambruk dan rusaknya industri film Indonesia di paroh akhir ‘90-an itu. Dan, karena itu, majalah yang punya tagline “Bacaan Bergengsi Penonton Film” itu relatif mendekati hal yang identik dengan film indonesia di masa itu: syur, semlohe, dan jauh dari bergengsi.

Dan racun itu segera terasa. Lebih cepat daya rusaknya, terutama karena saya hanya membutuhkan beberapa langkah saja ke arah belakang Shopping untuk mewujudkan diri menjadi “penonton film yang bergengsi”, sekaligus menemukan gambar Inneke Koesherawati atau Malvin Shaina yang statis di sampul majalah itu bergerak di layar putih.

Meski demikian, film pertama yang saya tonton di bioskop di Jogja adalah sebuah Film India.

**

Gair sebenarnya bukan film India idaman saya. Sama-sama dibintangi Ajay Devgan, saya jauh lebih ingin nonton Gundaraj, film yang lagu-lagunya sangat saya kenal. Tapi tak apalah. Belum pernah mendengar soal Soboharsono, bioskop dekat alun-alun utara yang identik dengan film India yang mungkin waktu itu sudah kukut, saya kira itu akan jadi kesempatan terakhir dan satu-satunya nonton film India di sebuah bioskop di Jogja.

Lagi pula, sebuah film India yang mainstream tampaknya pilihan bijak untuk seorang merbot masjid. Bandingkan, misalnya, kalau saya nonton film Amerika esek-esek Private Lessons, film awal ’80-an yang posternya menggilakan itu, film yang mungkin sudah berpuluh tahun diputar ulang di bioskop itu. Maka, setelah menyelesaikan pergulatan yang hebat, saya masuk—untuk pertama kalinya—ke gedung bioskop. Itu Bioskop Permata, bioskop kelas bawah paling legendaris di Jogja.

Sebelum dengan gemetar mengangsurkan uang untuk beli tiket masuk, saya tahu saya sudah melakukan kesalahan. Dan meskipun rasa berdosa karena menonton film bukanlah perasaan yang asing bagi saya, malam itu jelas saya mesti melewati rasa berdosa paling besar—dan berlapis-lapis—yang pernah saya rasakan.

Bagaimana perasaan saya setelah itu ketika kembali mengajar anak-anak TPA Tepuk Anak Soleh? Bagaimana saya mesti bilang ketika menceramahi mereka soal bersikap jujur dan taat kepada orangtua di akhir salat taraweh? Saya memang tak soleh-soleh amat: baca Freddy S. sejak kanak kanak; dulu sering keluar pondok untuk nonton bola; saat di Jogja masuk UKM persma dan senang nonton film Prancis yang tak dipahami dan hanya sedikit mengerti kalau ada adegan erotisnya; kalau ngendon di Perpus Sastra bukannya baca bacaan bergizi macam cerpenis Dwi Cipta, tapi malah menyantap novel-novel kodian punya Umar Nur Zain, La Rose, atau Motinggo Busye, juga menapis rubrik Jagading Lelembut di Djoko Lodang; kemudian nyandu Majalah Film bekas di Shopping. Tapi, setelah masuk bioskop, saya merasa kotor. Bagaimanapun, sampai di malam jahanam itu, saya tetaplah mahasiswa baik-baik, dengan nilai IPK tiga koma, penulis cerpen pemula yang sudah pernah dapat piala, juga pelajar sekaligus kakak teladan di desa saya. Coba bayangkan kalau Anda jadi saya.

Tapi bukan hanya itu. Bayangkan jika malam itu seseorang yang mengenal saya di masjid melihat saya masuk bioskop. Apapun yang saya tonton di dalam, entah film India ecek-ecek atau film Amerika esek-esek, jelas tak akan ada bedanya. Maka, boleh jadi, begitu saya balik dari bioskop, saya akan menemukan barang-barang saya yang tidak banyak itu sudah terlempar dari kamar saya di loteng masjid. Jadi, saya juga merasa berdosa secara ekonomi.

Rasa berdosa jenis lain menyusul begitu saya yakin saya aman. Tak usah njelimet berpikir, saya tahu saya akan mengulangi dosa itu lagi di lain waktu.

Dan sembari menunggu saya mengulanginya, saya mencoba meredam rasa berdoa itu. Dengan puasa Senin-Kamis, misalnya. Cukup manjur. Lagipula, lumayan ‘kan dapat kepala ayam gratis?

**

Saya tak ingat apakah malam itu saya menonton Gairah yang Nakal atau Perempuan dalam Gairah atau film Inneke yang lain. Tapi saya ingat betul, alih-alih merasa bersalah, saya justru merasa sangat konyol.

Dan saya memang nonton lagi.

Lalu bagaimana dengan rasa berdosa itu? Tentu saja tetap. Tapi, saya mulai belajar bahwa rasa berdosa berbeda dengan dosa.

Usai mengisi pengajian ibu-ibu yang ustadnya tidak datang—saya ingat saat itu saya bicara tentang waktu-waktu yang tak diperbolehkan untuk menunaikan salat—saya bergegas mengendap-endap ke Permata. Saya tak tahu hendak nonton film apa. Ujungnya, yang ada saja. Malam itu saya nonton Raped by An Angel, yang dibintangi Simon Yam.

Di lain waktu, saya akhirnya tak bisa menahan diri untuk tak melihat gambar Inneke Koesherawati versi layar lebar. Seperti biasa, setelah iseng-iseng baca Majalah Film bekas, saya akhirnya memutuskan menjajal bioskop kumuh di belakang Shopping itu (yang saat ini telah disulap jadi Taman Pintar itu). Kalau di siang hari, untuk masuk ke Bioskop Senopati, saya mesti melewati lapak lapak buku dengan sajian utama novel-novel bekas Freddy S. dan/atau Enny Arrow. Di malam hari, tempat itu bisa terasa seperti dunia yang berbeda.

Saya tak ingat apakah malam itu saya menonton Gairah yang Nakal atau Perempuan dalam Gairah atau film Inneke yang lain. Tapi saya ingat betul, alih-alih merasa bersalah, saya justru merasa sangat konyol. Sebabnya, film yang sama, tentu dengan judul dan adegan yang sudah disesuaikan, satu atau dua hari sebelumnya sudah saya tonton di RCTI. Untung, tiketnya cuma Rp1.000. Jadi, dosa ekonominya tak terlalu berat untuk ditanggung.

Untuk sedikit merasa bergengsi, saya biasanya pindah ke bioskop sebelah. Di Jogja Theater, yang kalau tak salah sekarang menjadi tempat relokasi Pasar Buku Shopping, semua filmnya impor. Setidaknya, judul filmnya pakai bahasa Inggris semua. Dan karena itu, saya mesti bayar dua kali lipat lebih mahal dibanding Senopati dan Permata.

Saya ingat dua film—dan mungkin karena hanya dua itu saja—yang pernah saya tonton di Jogja Theater. Keduanya adalah Sexual Arousal dan Tale of The Kama Sutra: The Perfumed Garden. Film pertama, dibintangi Francois Yip dan tak ketemu entrinya di Wikipedia, saya tonton karena tergoda judulnya, meskipun saat itu tak ngerti artinya. Film kedua, untuk orang yang baru sayup-sayup dengar nama Mira Nair, ditonton karena mengira itu film nyeni—padahal Kama Sutra: Tale of Love dan Tale of The Kama Sutra bukan saja dua film yang berbeda, tapi juga berbeda derajat.

**

Saya tak tahu apakah orang-orang Ratmakan tahu saya nonton bioskop—dengan film-film macam itu. Tapi, sampai saya pamit baik-baik di ujung tahun ketiga kuliah saya, saya hanya pernah ditegur oleh pengurus masjid untuk keteledoran yang sifatnya keseharian: lupa menyapu halaman, telat bangun subuh, tak mau cium tangan sama ustad yang kasih pengajian, atau semacam itu. Jika ada yang berulang-ulang dan membuat saya hampir diusir, itu adalah soal sepakbola (kapan-kapan cerita itu bisa saja keluar juga).

Ketika kemudian saya tak lagi memiliki jadwal azan, dan tak harus mengurusi pengajian anak-anak dan ibu-ibu, jadi anak kos yang bebas sebebas-bebasnya, rupanya layar bioskop tak terlalu menarik lagi untuk dijelajahi. Ya, mungkin karena saya lebih menyukai nonton film sendirian. Tapi, terutama, karena saya tetap tak pernah cukup punya uang—yang kemudian dilegalisir dengan tutupnya semua bioskop yang tadi saya sebut. (Meski begitu, saya tak akan melupakan malam menyebalkan saat, untuk pertama kalinya dan sekali-kalinya, saya masuk Bioskop Mataram, mengantri puluhan orang, agar bisa nonton sebuah film yang canggung dan banci berjudul Gie.) Saat menonton film sudah benar-benar jadi kebutuhan, saya lebih memilih lari ke rental film jika saya punya kelebihan uang makan.

Manakala saya mulai memburuh, dan merasa cukup sah untuk mencari kompensasi kepenatan sehabis kerja, bioskop sama sekali tak masuk dalam kepala saya. Saya membeli komputer bekas ber-CD ROM, dan membawa pulang 5-10 film setiap akhir pekan. Ketika bertahun-tahun kemudian saya mengumpulkan ratusan judul film dalam format kepingan, bahkan membuat sebuah blog khusus membahas film, judul yang bisa dimasukkan ke daftar film yang saya tonton di bioskop tetap tak banyak bertambah. Jika semua film itu saya jadikan file, saya rasa saya tak akan membutuhkan flash disk lebih dari 32 GB.

Karena itulah, setiap memikirkan bioskop, lebih-lebih setelah memasukinya, rasa khusus itu masih menyisa. Mungkin bukan lagi rasa berdosa, tapi debar yang sama, yang dulu saya alami ketika pertama kali mengulurkan uang membeli tiket di Bioskop Permata, 17 tahun lalu, biasanya masih berulang. Dan mungkin masih akan terus seperti itu.


*Ditulis dengan rasa bersalah yang masih sama terhadap warga Ratmakan, khususnya Mas Jun, Mas Dul, Pak Man, dan Bu Sri—semoga kalian memaafkan saya.