Film
Seorang ilmuwan ahli vulkanologi datang untuk mempelajari aktivitas Gunung merapi. Ia dengan sungguh mencari tahu apakah mungkin, Gunung Merapi bisa menjadi titik akhir kehidupan manusia, layaknya Gunung Toba. Lalu seorang seniman perempuan pembuat Film mencari tahu bagaimana eksploitasi lingkungan berjalan dengan tambang pasir yang menjadi tumpuan hidup warga di sana. Kehidupan di sekitar merapi terus bergulir, kepercayaan ruhani masyarakat atas berbagai mitologi yang terus membayangi mereka juga terus hidup dan dihidupi. Begitulah film monisme akhirnya hadir dan tayang perdana di Jogja Asian Film Festival JAFF (2/12), Yogyakarta, setelah hampir setahun film garapan Riar Rizaldi ini menyambangi berbagai festival film internasional di berbagai negara.
Film Monisme diawali dari adegan pembantaian seorang manusia yang diseret ke tengah hutan dengan tali menjerat leher dengan kepala tertutup oleh para preman. Mereka para preman, dengan nada kasar agak senonoh dan penuh intimidasi itu lalu menggantungkan tali yang mengikat leher korban ke dahan pohon besar. Tanpa pikir panjang bos dari preman yang tampak tidak sabar, melayangkan batu besar dengan brutal ke kepala korban. Dan nyawa korban itu akhirnya melayang.
Gambar guguran lava Gunung Merapi tampak begitu dekat membawa penonton ke adegan selanjutnya. Teknik pengambilan gambar yang cukup untuk memotret gunung yang mempunyai ketinggian 2,910 itu, membuat penonton hanyut di dalamnya. Tampaknya Riar Rizaldi ingin membawa penonton pada eksperiens visual stratovolcano disertai audio yang dibuat mencekam lagi menggelegar. Entah kenapa, pada saat itu saya hanyut pada visual dan audio Merapi yang dipertontonkan, saya kemudian teringat pada letusan Merapi pada tahun 2010 yang mencekam itu. Waktu itu saya belum terlalu dewasa, tetapi melalui sepenggal adegan awal film ini saya jadi merasakan bagaimana kedigdayaan Merapi saat meluluhlantakkan Yogyakarta dan sekitarnya.
Film feature panjang yang disutradarai oleh Riar Rizaldi dengan produser BM Anggana ini memang menjadi debut pertama mereka berdua. Dengan bentuk film eksperimental, Riar mencoba menggabungkan gagasan antara film dokumenter dengan fiksi dan fiksi yang dokumenter. Sehingga komposisi fakta yang digali dari pengalaman subyek masyarakat sekitar ditambah dengan upaya observasi yang mendalam, dijadikan Riar sebagai bangunan cerita dalam film ini. Dari hal itulah kemudian fiksi terbentuk merangkai cerita antara aktualitas dengan mitos dan legenda sebagai ruh film ini. Bentuk film yang cukup eksploratif tersebut, akhirnya membawa film ini menyabet beberapa penghargaan di beberapa festival film internasional. Pada gelaran JAFF sendiri film ini membawa pulang Golden Hanoman penghargaan tertinggi di ajang tersebut.
Bentuk film yang cukup eksploratif tersebut, akhirnya membawa film ini menyabet beberapa penghargaan di beberapa festival film internasional. Pada gelaran JAFF sendiri film ini membawa pulang Golden Hanoman penghargaan tertinggi di ajang tersebut.
Kemudian cerita berlanjut. Seorang ilmuwan ahli vulkanologi (Rendra Bagus Pamungkas) ditemani asistennya (Kidung Paramadita) bercengkrama memandang Merapi dari sudut yang jauh. Sang ilmuwan tampaknya mempunyai obsesi yang tinggi tentang hukum rasionalitas, bagaimana materi dengan segala partikel yang membentuknya menciptakan kehidupan. Percakapannya mendalam, mereka berupaya memecahkan satu pertanyaan besar tentang Gunung Merapi sebagai sumber kehidupan atau sember punahnya peradaban.
Sang vulkanolog terus mencari tahu, bagaimana relasi manusia dan alam sesungguhnya. Melalui penelitiannya, ia berusaha membangun argumentasi bahwa manusia seharusnya bisa berdampingan dengan alam. Salah satu dialog menarik dari keduanya yang berhasil saya catat seperti di bawah ini;
“Manusia itu sama seperti cacing versi lebih besar dan kompleks saja” ungkap peneliti.
“Cacing yang mempunyai moral?” Sanggah sang asisten.
“Cacing mungkin lebih bermoral dari manusia,” tegas peneliti.
Dari dialog tersebut saya akhirnya mempunyai gambaran, tentang bagaimana film ini. Melalui tokoh peneliti, film ini sepertinya ingin menyuguhkan satu argumentasi secara ilmiah tentang Gunung Merapi sebagai unsur yang hidup dalam siklus dan ekosistem kehidupan ini. Dalam hal ini Merapi tidak hanya sebagai objek pun lanskap alam, ia adalah ruang dan waktu.
Lalu cerita berlanjut pada rekaman wawancara Yulianto sebagai petugas pengamatan Gunung Merapi. Ia dengan wajah masih tertutup masker menceritakan aktivitasnya selama ini menjadi garda depan informasi tentang aktivitas Gunung Merapi. Yulianto menjalani profesi ini memang mengikuti jejak ayahnya yang dulu juga menjadi penjaga pos pengamatan Merapi. Ketertarikannya dengan Merapi diawali ketika sejak kecil, ia sering ke kantor dan ikut kerja ayahnya. Semenjak itulah akhirnya ia menjalani profesinya sebagai bentuk tanggung jawab seperti yang sudah diwariskan oleh keluarganya terdahulu.
Dalam wawancara ini, Yulianto banyak menjelaskan secara vulkanologi gerak dan aktivitas Merapi. Bagaimana post pengamatan menetapkan status Merapi, ukurannya apa, lalu siasat apa yang harus dilakukan ketika melihat kondisi Merapi sudah dalam titik rawan. Ia juga tampak menjelaskan beberapa fungsi alat yang digunakan untuk memotret kondisi Merapi. Namun, dari semua itu yang menarik justru ada pada statementnya. Bahwa bagaimanapun alat ciptaan manusia untuk mengamati Merapi tetapi pada dasarnya tidak ada satupun orang yang benar-benar tahu atau bisa memprediksi kapan Merapi akan erupsi. Karena itulah Merapi sampai sekarang masih menyimpan sejuta misteri. Dari hal itu juga masih banyak kemungkinan untuk setiap orang memiliki daya untuk memahami dan menjelajahi.
Sementara itu gambar bergeser pada asisten peneliti (Kidung Paramadita). Sebagai pemeran pembantu dalam film ini, ia mempunyai peran yang vital untuk menghidupkan cerita dalam setiap babaknya. Dalam babak pertama ini, ia (Kidung Paramadita) asisten peneliti diberi porsi Riar untuk mengalami pengalaman mistik ketika menjalani penelitian di Merapi. Dalam salah satu scene adegan di tengah malam, ia tinggal di rumah di sekitar lereng Merapi. Saat itu ia mengalami pengalaman horor ketika dalam kondisi masih tertidur, tiba-tiba ia merasakan tubuhnya terguncang merasakan getaran seperti hal nya gempa bumi berkekuatan tinggi. Ruangan dalam adegan itu juga ikut terguncang, semuanya bergetar, sehingga membuat ia terbangun dari tidurnya. Ia bingung dengan kondisi yang sedang ia alami. Dari hal itu ia bergegas, bangkit dari tidur mengamati jendela kamarnya dengan desain minimalis itu. Di sanalah ia melihat peristiwa yang tidak wajar ada di tengah malam, yaitu pawai gunungan bertubuhkan manusia. Iring-iringan itu memang di luar nalar. Dengan iringan musik bergada (prajurit Mataram) dengan beberapa pengiringnya berwajahkan aneh lagi menyeramkan.
Adegan ini tampak ingin menggambarkan satu peristiwa yang banyak diyakini masyarakat di sana. Sebuah misteri tentang makhluk gaib yang ada dan hadir menghiasi memori kolektif mereka. Bentuknya bisa bermacam-macam, namun variasi cerita yang ada tentang mistisisme mahluk gaib di Merapi seperti menjadi bagian lain dari kesakralan Merapi itu sendiri. Tentu kita bisa percaya atau tidak dengan adanya kepercayaan semacam itu. Tetapi banyak masyarakat di sana sebagian besar meyakini hal tersebut. Dan film ini berhasil memotretnya sebagai bagian dari realitas yang muncul menjadi bumbu penyedap dalam film ini.
Adegan ini tampak ingin menggambarkan satu peristiwa yang banyak diyakini masyarakat di sana. Sebuah misteri tentang makhluk gaib yang ada dan hadir menghiasi memori kolektif mereka. Bentuknya bisa bermacam-macam, namun variasi cerita yang ada tentang mistisisme mahluk gaib di Merapi seperti menjadi bagian lain dari kesakralan Merapi itu sendiri.
Lalu cerita berakhir dengan tindakan tragis sekumpulan preman yang mengintimidasi peneliti dan asistennya saat mereka melakukan riset di suatu malam di hutan Merapi. Naasnya mereka bertemu dengan para preman yang sedang melakukan patroli. Para preman yang berwajah sama seperti dalam adegan pertama. Awalnya mereka sempat menyangkal bahwa tindakan mereka tidak melanggar aturan. Perdebatan terjadi di antara mereka. Namun sayang, para preman bertindak lebih ganas dari yang dibayangkan. Dengan kejam bos preman dengan wajah garang (Whani Darmawan) memperkosa asisten peneliti. Sedangkan peneliti tampak tidak berdaya, ia dikeroyok, mulutnya berulang kali dijejali dengan senapan. dan cerita mereka berdua selesai pada adegan itu juga.
Antara Realitas Sosial dan Potret Pilu di Dalamnya
Babak kedua dalam film Monisme menawarkan sudut pandang realisme yang cukup kuat. Beberapa adegan tidak banyak dipoles sedemikian rupa. Karakter muncul dengan pemeran yang sama. Kali ini Rendra Bagus Pamungkas hadir sebagai penambang pasir dengan wajah lusuh dengan debu. Sedangkan Kidung Paramadita memerankan karakter sebagai seorang seniman pembuat film. Bagi Rendra, entah bagaimana ia memerankan karakter yang sangat berbeda dengan karakter sebelumnya sebagai peneliti. Tetapi seperti adegan sebelumnya ia tampak cukup menghayati perannya tersebut. Sedangkan Kidung dengan tampilan eksentrik khas seorang seniman, berhasil menghidupkan karakter yang diembannya.
Gambaran kondisi dan dilema penambang pasir di sekitar Merapi menjadi gagasan utama dalam babak kedua ini. Eksploitasi alam yang mengancam ekosistem lingkungan dalam kasus film ini memang menjadi permasalahan yang cukup pelik. Penambangan pasir di Merapi dalam satu sisi memang mengancam kondisi lingkungan di sana. Tetapi disisi lain untuk menutupi kebutuhan ekonomi, banyak warga disana, sangat bergantung dengan aktivitas penambangan pasir ini.
Eksploitasi alam yang mengancam ekosistem lingkungan dalam kasus film ini memang menjadi permasalahan yang cukup pelik. Penambangan pasir di Merapi dalam satu sisi memang mengancam kondisi lingkungan di sana. Tetapi disisi lain untuk menutupi kebutuhan ekonomi, banyak warga disana, sangat bergantung dengan aktivitas penambangan pasir ini.
Sang seniman hadir dengan seorang teman untuk wawancara penambang pasir. Dialognya sederhana, singkat dan tidak berbelit. Awalnya mereka berada di sebuah warung makan untuk mengambil gambar penambang pasir dengan baju yang masih sama, lusuh. Dalam dialognya sang penambang pasir tak banyak menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Tentang bagaimana penambangan pasir selama ini berjalan, siapa saja dibelakangnya dan apa resiko penambangan yang mereka kerjakan. Penambang pasir tetap bergeming. Ia menjawab singkat dan membuat kecewa sang seniman yang merasa tak puas dengan hasil wawancaranya. lalu ia membeli makan untuk menetralkan suasana. Mungkin penambang pasir sedang lapar. Dan ia tak semangat menjawabnya.
Selepas makan, mereka siap mengambil gambar kembali. Namun di belakang mereka para preman tiba-tiba hadir di warung sederhana itu. Komplotan preman yang masih sama di babak pertama. Awalnya tidak ada masalah datangnya preman itu. Mereka tetap menjalankan wawancara. Para preman tampaknya mulai terganggu dengan aktivitas wawancara itu, mereka mendekat mempertanyakan aktivitas mereka. Dengan nada kesal, preman mengintimidasi sang seniman. Preman itu berusaha meminta izin aktivitasnya itu. Sang seniman menjelaskan maksud dan tujuannya, mereka sedang membuat film dokumenter soal tambang di Gunung Merapi. Mendengar hal itu para preman merasa hal itu tidak perlu. Sebagai penguasa wilayah di sana mestinya ia meminta izin kepada para preman itu. Sang seniman tetap ngotot bahwa ia tidak akan menyinggung kekuasaan mereka. Preman tampak tidak peduli soal hal itu. Penambang pasir berusaha membantu menjelaskan. Tetapi tetap gagal. File hasil wawancara diminta preman untuk di hapus, lalu mereka diusir dari warung itu.
Adegan berganti, para penambang pasir tampak berkumpul melepas lelah. Mereka bercerita soal aktivitas menambang pasir Merapi selama ini. Banyak dilema pilu mendengar cerita mereka. Bukan tanpa peduli, ia paham betul resiko penambangan yang mereka lakukan. Krisis air menjadi hal yang paling mencuat dari aktivitas yang mereka lakukan. Namun, apa boleh buat, tak ada pilihan lain bagi mereka. Kebutuhan ekonomi yang mendesak menjadi alasan kuat agar kehidupan mereka terus berjalan. Saat itulah letusan Merapi tak lagi mencekam bagi mereka. Justru saat Merapi mengeluarkan banyak material dari perutnya, di sana mereka mendulang banyak keuntungan. Adegan wawancara dokumenter itu selesai, dengan tatapan panjang menunggu kapan rezeki guguran material itu datang.
Kembali pada seniman pembuat film dan penambang pasir yang meratapi nasib buruknya. Berada di dalam kepala truk, penambang pasir itu berjejalan dengan sang seniman. Berada di tengah, diapit sopir dan perempuan seniman itu. Dengan posisi duduk yang tidak begitu nyaman. Entah kenapa penambang pasir menceritakan semuanya. Ia meminta seniman merekam semua omongannya. Terlanjur basah ungkapnya, biarkan sekalian tidak usah menyembunyikan identitasnya. Penambang pasir dengan wajah emosional dengan sebatang rokok yang tak lepas dari mulutnya, ia mengungkap siapa dalang di balik penambangan pasir di sana. Para elit politik pemegang kekuasaan yang rakus lah sebenarnya yang memberi jalan penambangan pasir itu ada. Merekalah sebenarnya para cukong sesungguhnya, mereka juga yang memberi izin dan sekaligus yang paling mendapat banyak keuntungan dari aktivitas penambangan pasir ini. Tegas penambang pasir ini dengan wajah geram. Lalu nasib penambang kecil yang sebatas kuli buruh angkut pasir seperti dirinya, tentu tak sebanding jika dibandingkan dengan keuntungan yang didulang para pemodal di atasnya. Ia tetap miskin, dan tidak ada pilihan lain untuk tidak tetap bekerja di sana.
Penambang pasir mengambil nafas panjang. Ia melanjutkan ceritanya. Lalu para preman yang mereka temui di warung tadi adalah orang yang hidup dari para bandar besar konglomerat yang berlindung dibalik kekuasaan politik mereka. Mereka para preman, memang dipelihara untuk mengintimidasi siapapun yang mengancam kepentingan penambangan yang mereka jalankan. Nasib para preman itu sebenarnya tak ubahnya seperti kuli penambang pasir itu, berada di bawah dan kapanpun bisa dilenyapkan ketika ia mulai tidak patuh dengan majikannya. Cerita selesai, seniman perempuan itu gemetar memegang handycam yang tak lepas di tangannya.
Merapi dan Semesta Mistiknya
Babak terakhir dalam film ini tentu lebih tidak terduga. Riar berusaha menghadirkan perspektif mistisisme dari para pelaku spiritualis dalam bahasa lain bisa disebut, dukun, orang pintar, atau semacamnya. Mereka dihadirkan dalam bentuk praktik dan laku hidup yang mungkin bagi banyak orang sulit dipahami. Tetapi mereka ada, yakin dan teguh dengan pendiriannya. Beberapa praktik memunculkan laku performatif dengan penghayatan yang dalam. Lagi-lagi Rendra Bagus Pamungkas hadir sebagai pemeran utamanya. Ia menjadi spiritualis yang begitu menghayati kepercayaannya.
Gunung Merapi memang bagi sebagian orang bukan hanya subyek yang mati. Gunung ini juga dipercaya mempunyai nyawa, ia hidup sama seperti makhluk Tuhan yang lainnya. Bukannya dalam sebuah kitab suci diterangkan bahwa semua ciptaan Tuhan memang sebenarnya hidup dalam ordernya masing-masing. Dari hal itulah, layaknya dalam sebuah relasi satu dengan yang lainnya harus saling menyapa dan menghargai. Babak ketiga dalam film ini, sependek yang saya pahami, tampaknya ingin menggambarkan bagaimana relasi manusia dengan alam (Merapi) melalui pendekatan spiritualitas yang masyarakat miliki.
Dalam sebuah adegan tokoh spiritualis digambarkan sebagai sosok orang tua yang tampil dengan sedikit kata. Hampir setiap adegan ia membisu, namun dengan ekspresi yang kuat karakter tokoh ini menjadi hidup. Suasana horor menyelimuti setiap adegan dalam babak ketiga ini. Dalam kegelapan malam, tokoh ini seperti membawa sesaji, berdialog secara batin dengan mahluk-mahluk penghuni Merapi. Adegan yang sangat epik muncul ketika tokoh spiritualis berada di atas semacam tanggul di bantaran sebuah kali. Ia berjalan di atas tanggul dengan suasana senja yang mulai tenggelam. Dengan background Gunung Merapi yang tampak gagah dan perkasa. Ia meletakan sebuah sesaji sebagai bentuk penghormatan mahluk-mahluk yang ada di sana. Namun kalimat pendek yang muncul dari tokoh spiritualis ini bisa menjadi satu gambaran sikap dari sang spiritualis yang diam. Ia menyebut kalimat “Allah hu Alam, Alam hu Allah”. Kalimat yang singkat, tapi mengisyaratkan sikap yang mendalam. Tentang esensi alam dan ke maha mutlakan kuasa Tuhan.
Namun kalimat pendek yang muncul dari tokoh spiritualis ini bisa menjadi satu gambaran sikap dari sang spiritualis yang diam. Ia menyebut kalimat “Allah hu Alam, Alam hu Allah”. Kalimat yang singkat, tapi mengisyaratkan sikap yang mendalam. Tentang esensi alam dan ke maha mutlakan kuasa Tuhan.
Ketika ia beranjak pergi, sesaji yang ditinggalkan kemudian dikerubungi sosok mahluk halus penunggu berperawakan perempuan. Wajahnya menyeramkan dengan tata kostum khas setan-setan Jawa pada umumnya. Para setan mahluk halus atau apapun sebutannya, tampak lahap menyantap sesaji yang ditinggalkan. Sedangkan tokoh spiritualis tampak mengamati dari kejauhan. Kemudian melenggang pergi.
Adegan berganti pada wawancara dokumenter kepada tokoh spiritualis sesungguhnya. Ia merupakan pemimpin kelompok Jathilan klasik Kudho Taruno Desa Wonolelo dari lereng Merapi. Puthut Juritno namanya, lelaki paruh baya itu menceritakan bagaimana profesinya selama ini sebagai pawang jathilan dan orang yang dianggap tahu soal hal-hal mistik di sekitar Merapi. Baginya Gunung Merapi memang bukan gunung sembarangan, ia meyakini kita sebagai manusia harus tahu tata aturan dan sopan santun ketika berada di Gunung Merapi. Begitu juga ketika ia ketika akan menggelar sebuah pertunjukan jathilan bersama kelompoknya. Tentu ia akan melakukan ritual khusus, seperti puasa atau tirakat lainnya sembari menyiapkan sesaji yang sudah ditetapkan sebelum pentas digelar. Hal itu semata ia lakukan agar pertunjukan yang ia gelar berjalan lancar.
Tidak semua pertanyaan bisa Juritno jawab dengan gamblang. Yang jelas dari wawancara ini ia menegaskan bahwa di Gunung Merapi ada sosok penunggu yang mesti kita hormati. Penghormatan yang lazim tentu dilakukan dengan terus menjaga adat tradisi seperti merti dusun, nyadran, dan labuhan Merapi. Semua bentuk tradisi itu sebagai bentuk upaya untuk menjaga relasi dengan Merapi itu sendiri.
Lalu adegan dilanjutkan dengan pentas Jathilan. Tabuh gamelan disertai tarian prajurit perang Mataraman menjadi sajian dari sebuah pentas Jathilan. Kesenian ini sendiri awalnya berangkat dari sebuah latihan peperangan di masa perang Jawa meletus tahun 1830 an. Sejarahnya panjang. Yang pasti kekalahan Pangeran Diponegoro saat perang Jawa menjadi salah satu titik penting kesenian ini berkembang. Kemudian tarian kolosal dengan ritme tabuhan gamelan yang rampak dengan nada yang terus berulang menghasilkan nada yang menghanyutkan. Bahkan di titik tertentu membawa pendengarnya sampai trans bahasa lain dari ndadi atau kesurupan. Saat itulah dipercaya mahluk halus memasuki jasad penari sehingga kehilangan kesadaran. Dalam film ini, pentas jathilan ini digambarkan seperti pentas pada umumnya, maksudnya tidak settingan. Saat beberapa penari mulai kesurupan, tokoh spiritualis masuk ke dalam gelanggang pentas. Ia menari, sambil tetap membawa sesaji. Kemudian menghilang.
Film Monisme diakhiri dengan munculnya gerombolan preman yang dengan brutal menghabisi spiritualis. Alur film kembali pada adegan awal. Pembunuhan tragis di tengah hutan di bagian awal film ini, akhirnya terungkap apa sebabnya dan siapa sosok yang dihilangkan nyawanya dengan keji itu. Ia adalah sosok spiritualis yang dengan teguh memegang keyakinannya tentang daya besar Merapi. Keyakinan dan kepercayaan yang selalu dihadapkan dengan kepentingan modal. Begitulah tampaknya kenyataan selalu berjalan. Atau justru melalui kontradiksi-kontradiksi yang ada, harapan baik akan terus dilambungkan. Film ini berhasil membawa penonton pada satu kesimpulan, setidaknya bagi saya, bahwa kenyataan memang tidak selalu seperti yang kita ideal kan. Dan film ini mempertegas itu semua dengan kompleksitas cerita yang ada.
Film berakhir. Soundtrack film Monisme berjudul “Semayam” karya Bin Idris membuat, sekali lagi, suasana akhir film ini menjadi sangat haru. Dengan nadanya yang mendalam ditambah liriknya yang jenaka, membuat film ini menjadi lengkap dan penuh. Agar pembaca tulisan ini merasakan getarannya. Saya sematkan lirik lagu di bawah sekaligus sebagai penutup tulisan ini.
Berjejak pada tanah bergulir dan merekah beriring dalam bising sunyi di bawah kakimu berdesakan, berjejalan, berhimpitan, membentuk barisan menunggu giliran di dalam dinginnya dekapanmu berselimut bebatuan dan lebur perlahan berpulang tanah berdiam dan merebah dan hening tak bergeming sunyi
Besok saya mau nonton bioskop. Dan saya butuh bilang begitu karena setiap rencana ke bioskop, apalagi setelah keluar darinya, selalu ada perasaan istimewa. Bukan “istimewa” yang istimewa-istimewa amat sebenarnya, atau setidaknya setinggi arti dengan atribut yang melengkapi kata itu. Mungkin perasaan yang khusus, lebih tepatnya.
Saya sebut khusus, karena pada dasarnya saya memang jarang pergi ke bioskop—mungkin boleh disebut langka jika dibandingkan setidaknya dengan cap penggila Film yang disematkan beberapa teman terhadap saya. Rasa khusus itu biasanya membuat ingatan tentang kapan dan film apa yang pernah saya tonton langsung segera saya bisa ingat.
Bahkan, seperti hari ini, memikirkan bioskop cukup untuk memanggil kembali ingatan hampir lengkap tentang hubungan saya dengan film, tapi lebih khusus lagi hubungan saya dengan bioskop.
**
Nonton film itu banyak mudaratnya dibanding bermanfaat. Saya kira itu dianut oleh kebanyakan kalangan santri di mana saja, termasuk di masyarakat desa saya. Tidak berfaedah, buang waktu, bikin malas ngaji, bahkan bisa lupa salat. Itu hanya sedikit saja alasan. (Kalau mau dideret lebih lengkap, mungkin hasil akhirnya bukan sebuah tulisan kenangan, melainkan sebuah novel baru.) Maka, seingat saya, kecuali untuk film-film Rhoma Irama (yang justru banyak diceritakan secara lisan oleh bapak saya), meminta izin untuk menonton film nyaris selalu ditanggapi dengan kecurigaan oleh orangtua saya.
Dan kecurigaan itu sama sekali tidak salah. Kami, bocah-bocah haus hiburan di puncak kejayaan Orde Baru, sekaligus di puncak ketertinggalan kami sebagai orang Indonesia udik pada Pelita V, tentu saja tidak menonton film yang cocok dengan usia kami, lebih-lebih film yang menginspirasi agar kami rajin masuk sekolah.
Cawat Sally Marcelina, sempak Yurike Prastica, atau kutang Eva Arnaz adalah sebagian dari motivasi kami menonton. Saya kira, kami sudah membicarakan hal-hal macam itu ketika saya belum lagi kelas lima MI. Itu waktu yang sama ketika kami juga sudah mulai berbagi bacaan Freddy S. dan Eddy D. Iskandar, di antara pembicaraan kisah cinta ganjil dan berbau paedofil ala Pangeran Purbaya dan embannya Cempaka dari serial drama radio Babat Tanah Leluhur.
Film jadi bagian hidup kami lewat program Film Cerita Akhir Pekan TVRI, yang diputar tiap Sabtu malam, sehabis Berita Terakhir jam 11.30 malam itu. Juga layar tancap, yang masuk desa secara sangat acak. Tapi, terutama dari pemutaran-pemutaran film video ketika ada orang kampung atau tetangga kampung punya hajatan. Jelas, rating dan parenting sama sekali tak terlintas di pikiran para juru putarnya.
Bioskop sebenarnya tak jauh-jauh amat. Hanya sekitar 25 kilometer ke arah barat. Tuban, kota terdekat dari desa kami, punya tiga bioskop yang sangat terkenal. Saya selalu menyimak jadwal tayang bioskop-bioskop itu dari Radio RKPD, tapi tak pernah berkesempatan nonton.
Tapi, tentu saja itu tak sesederhana kelihatannya. Pertama, 25 kilo meter bukanlah jarak yang dekat jika angkutan umum yang tersedia di desamu hanya cikar dan dokar. Beberapa orang punya sepeda pancal, tapi lebih sedikit yang cukup gila untuk ngontel 50 kilo meter PP demi sebuah film di bioskop. Dulu, dulu sekali, di kecamatan, 15-an kilo meter ke timur, katanya ada gedung pertunjukan yang sekaligus merangkap jadi gedung film. Sayangnya, bioskop itu hanya sampai di generasi bapak saya. Generasi kami cuma kebagian riwayatnya saja.
Bioskop biasanya hanya bisa dicapai oleh segerombolan remaja nekat. Ketika tersebar berita bahwa film Rhoma Irama Bunga Desa syuting di desa yang tak jauh dari desa kami, semua orang sangat penasaran ingin tahu macam mana film itu. Konon, beberapa orang keranjingan berjalan kaki untuk bisa sampai bioskop—mungkin jalan kaki dan menumpang truk atau kendaraan apa pun, lebih tepatnya. Tapi, remaja-remaja nekat ini, bagaimanapun jauh lebih tua dari kami. Kami waktu itu masih terlalu kecil untuk jadi bagian dari mereka. Dan itu adalah masalah kedua.
Masalah ketiga, dan ini yang paling penting dan ditegaskan berulang-ulang oleh para orangtua dan guru ngaji kami: bioskop itu lebih banyak mudaratnya dibanding manfaatnya, seperti juga film. Masalah ini menimbulkan masalah keempat: lalu dari mana kami dapat sangu untuk nonton?
Bioskop, oleh karena itu, memang sedikit identik dengan anak nakal. Teman saya yang saat itu sudah menempuh SMP di Tuban dan bisa berbual-bual tentang film bioskop dikenal karena kebengalannya. Meski begitu, bisa nonton bioskop adalah salah satu yang saya pikirkan ketika memutuskan melanjutkan sekolah menengah di Babat, kota kecil di selatan Bengawan Solo, yang punya sebuah bioskop tua yang legendaris. Tapi pikiran itu tak pernah terlaksana. Pertama, mungkin karena saya tak cukup bengal. Kedua, karena uang saku saya sangat cekak bahkan untuk sekadar berusaha jadi bengal. Ketiga, dan ini yang lebih penting, bioskop itu sudah keburu tumbang duluan, berbarengan dengan bertumbangannya bioskop-bioskop di kota-kota kecil di paroh akhir ‘90-an.
Ketika saya ke Jogja dan memutuskan jadi tukang azan agar dapat kamar gratisan, saya kira saya tidak berjodoh dengan bioskop. Tapi, saya salah duga.
Pengaruh Pergaulan Metropolis memang mustahil dilawan. Dan, Kenikmatan Terlarang itu tak pernah bisa diabaikan.
Hidup (baca: takdir—biar lebih terdengar religius) membawa saya ke sebuah kamar yang berbagi dinding dengan sebuah menara air di sebuah loteng masjid di Ratmakan. Itu adalah sebuah kampung padat di lereng sempit lembah Kali Code. Sebuah lorong kecil di bawah jembatan Jalan Senopati akan menghubungkan kampung itu dengan Sayidan, kampungnya band ska Shaggy Dog. Di lorong itu pula, sesekali, terutama di masa kampanye pemilu, orang Ratmakan yang PDI-P dan oknum Sayidan yang PPP akan terlibat saling ancam.
Mungkin terdengar gegabah, tapi bagi saya Ratmakan adalah sebuah limbo. Itu adalah neraka yang bernuansa surga, atau sebaliknya surga yang bercitarasa neraka, tergantung perasaan Anda. Di situ, saya melakukan hal yang akan diidealkan orangtua dan para guru ngaji saya di rumah: mengajari salat dan mengaji anak-anak, menyumbangkan suara sumbang saya untuk ikut bersahutan di udara Jogja yang sumpek, menuntun para ibu membetulkan hafalan doa dan bacaan Qurannya; singkatnya, saya belajar untuk jadi berguna bagi nusa-bangsa dan agama. Tapi, di situ juga saya untuk pertama kalinya mesti membiasakan diri bergaul dengan teman yang setengah mabuk atau sama sekali mabuk, menghadapi keragaman Jogja yang bagi saya waktu itu sangat ekstrem, dan— ironisnya—mulai menyadari (yang kemudian berujung jadi keyakinan) bahwa saya tampaknya tidak akan bisa berguna bagi agama saya, setidaknya dengan cara-cara yang biasa.
Tapi limbo itu mungkin lebih jelas terasa dalam arti geografis dibanding sosiologis. Masjid itu hanya 10 menit jalan kaki dari Malioboro yang kondang itu, 7 menit dari nasi goreng babi Jalan Mataram yang nauzubillah ramainya, 6 menit dari Papillon, diskotik paling tenar di Jogja waktu itu, yang kisah tentang turis-turis Arabnya yang menghambur-hamburkan uang di tempat parkir sampai ke beranda masjid kami.
Saya sih tak ambil pusing dengan yang macam itu, tapi coba yang berikut ini. Hanya 2 menit ke arah barat, saya bisa menemukan pasar buku Shopping dan dua bioskop yang bersandingan dengannya, Senopati dan Jogja. Ke timur, dengan jarak yang lebih dekat lagi, saya sudah bisa langsung ada di depan loket Bioskop Permata.
Masjid itu, bukannya membuat saya jadi muslim yang tambah kaffah dan lebih taat syariat, justru memperkenalkan saya dengan salah satu tempat paling profan dalam kehidupan dunia yang penuh tipu daya ini: bioskop.
**
Masalahnya, setan tak kurang cara untuk menggoda manusia, demikian K.H. Zainuddin MZ memperingatkan.
Jarak sedekat apapun (dan akses semudah apapun) sebenarnya tak akan berarti apa-apa jika saya tidak salah pergaulan.
Sejak kecil, bersama sepakbola dan musik, saya memang tak pernah menganggap film semata sebagai hiburan. Tapi, di Jogja, lebih tepatnya di sebuah rumah reot dan kumuh di lingkungan perum dosen di Bulaksumur, saya menemukan pembenarannya. Di rumah di mana pada akhir ‘90-an film porno ditonton bersama dan didiskusikan, film-film diputar dan beredar tak kalah kencangnya dengan fotokopian buku Tetralogi Buru-nya Pram. Acara nonton bareng, terutama di pusat-pusat kebudayaan asing, terkhusus di LIP Sagan (yang hanya lima menit jalan), jadi kerutinan macam pengajian mingguan ibu-ibu arisan.
Saya sebenarnya tak larut-larut amat dengan kesesatan dan penyesatan yang nyata itu. Saya cukup bisa jaga diri. Saya mesti ada di masjid terutama ketika manjing Maghrib, dan itu sebisa mungkin saya penuhi. Masalahnya, setan tak kurang cara untuk menggoda manusia, demikian K.H. Zainuddin MZ memperingatkan.
Terlalu miskin untuk beli buku, sementara tugas kuliah Sastra tak pernah jadi bagian dari masalah, dan pengajian ibu-ibu yang mesti saya urus hanya seminggu sekali, saya kekurangan cara untuk menghabiskan waktu luang. Biasanya, sehabis jamaah salat isya, saya melenggang ke Shopping. Saat itu, Shopping Center berada tepat di pinggir jalan besar, dengan gerbang masuk di sebelah selatan. Di belakangnya, berdiri bersebelahan dengan angker dan kumuh Bioskop Senopati dan Jogja Theater.
Niat awalnya tentu saja kios-kios buku dengan koleksi karya sastra (biar cuma UGM, kita ini mahasiswa Sastra Indonesia, begitu ‘kan, Bal?) Pura-pura pilih-pilih, siapa tahu bisa menyelesaikan sebiji-dua biji cerpen Putu Wijaya yang bukunya tebal-tebal dan harganya mahal itu. Tapi itu tak bisa dilakukan terlalu sering dan tak boleh terlalu lama. Karena itu, untuk tampak memantaskan diri, saya beredar ke kios-kios lain. Ujungnya, biasanya, saya akan nyantol di lapak-lapak majalah bekas, karena pengawasannya yang relatif lebih longgar. Dan seingat saya, dibanding lapak jenis lain, di lapak macam inilah saya lebih banyak menghabiskan waktu.
Majalah bekas jelas lebih murah dibanding buku bekas. Karena itu, di sini, pura-pura menawar jauh lebih kecil risikonya. Kalau terpaksa beli, dan kadang saya memang melakukannya (dengan tujuan utama untuk investasi tentunya), saya bisa beli selembar-dua lembar Matra bekas atau Horison lama seharga Rp1.000-15.000. Tapi, biasanya, saya sangat sedikit menghabiskan waktu untuk majalah-majalah berbudaya itu. Majalah-majalah macam Majalah Film, Ria Film, atau Vista TV adalah tujuan utama saya. (Liberty atau Popular, kalau sedang khilaf dan ada kesempatan, ya tentu saja ikut dibaca juga.)
Ria Film dan terutama Majalah Film (yang sebenarnya tabloid itu) adalah kemewahan yang jarang di masa remaja. Saya mungkin sudah membacanya ketika belum usia SMP, tapi itu perjumpaan yang langka. Dan di Jogja saya melihatnya bertumpuk-tumpuk, berdebu, dan tampak tak berguna. Menyentuhnya, lalu membongkarnya dalam tumpukan-tumpukan, benar-benar bikin gemetar.
Seingat saya, saya tak pernah membeli satu eksemplar pun Majalah Film, meskipun harganya pasti lebih murah dibanding Matra atau Horison. Tapi membacanya (kembali) adalah racun. Saya tak tahu persisnya, tapi Majalah Film tampaknya tutup bersama ambruk dan rusaknya industri film Indonesia di paroh akhir ‘90-an itu. Dan, karena itu, majalah yang punya tagline “Bacaan Bergengsi Penonton Film” itu relatif mendekati hal yang identik dengan film indonesia di masa itu: syur, semlohe, dan jauh dari bergengsi.
Dan racun itu segera terasa. Lebih cepat daya rusaknya, terutama karena saya hanya membutuhkan beberapa langkah saja ke arah belakang Shopping untuk mewujudkan diri menjadi “penonton film yang bergengsi”, sekaligus menemukan gambar Inneke Koesherawati atau Malvin Shaina yang statis di sampul majalah itu bergerak di layar putih.
Meski demikian, film pertama yang saya tonton di bioskop di Jogja adalah sebuah Film India.
**
Gair sebenarnya bukan film India idaman saya. Sama-sama dibintangi Ajay Devgan, saya jauh lebih ingin nonton Gundaraj, film yang lagu-lagunya sangat saya kenal. Tapi tak apalah. Belum pernah mendengar soal Soboharsono, bioskop dekat alun-alun utara yang identik dengan film India yang mungkin waktu itu sudah kukut, saya kira itu akan jadi kesempatan terakhir dan satu-satunya nonton film India di sebuah bioskop di Jogja.
Lagi pula, sebuah film India yang mainstream tampaknya pilihan bijak untuk seorang merbot masjid. Bandingkan, misalnya, kalau saya nonton film Amerika esek-esek Private Lessons, film awal ’80-an yang posternya menggilakan itu, film yang mungkin sudah berpuluh tahun diputar ulang di bioskop itu. Maka, setelah menyelesaikan pergulatan yang hebat, saya masuk—untuk pertama kalinya—ke gedung bioskop. Itu Bioskop Permata, bioskop kelas bawah paling legendaris di Jogja.
Sebelum dengan gemetar mengangsurkan uang untuk beli tiket masuk, saya tahu saya sudah melakukan kesalahan. Dan meskipun rasa berdosa karena menonton film bukanlah perasaan yang asing bagi saya, malam itu jelas saya mesti melewati rasa berdosa paling besar—dan berlapis-lapis—yang pernah saya rasakan.
Bagaimana perasaan saya setelah itu ketika kembali mengajar anak-anak TPA Tepuk Anak Soleh? Bagaimana saya mesti bilang ketika menceramahi mereka soal bersikap jujur dan taat kepada orangtua di akhir salat taraweh? Saya memang tak soleh-soleh amat: baca Freddy S. sejak kanak kanak; dulu sering keluar pondok untuk nonton bola; saat di Jogja masuk UKM persma dan senang nonton film Prancis yang tak dipahami dan hanya sedikit mengerti kalau ada adegan erotisnya; kalau ngendon di Perpus Sastra bukannya baca bacaan bergizi macam cerpenis Dwi Cipta, tapi malah menyantap novel-novel kodian punya Umar Nur Zain, La Rose, atau Motinggo Busye, juga menapis rubrik Jagading Lelembut di Djoko Lodang; kemudian nyandu Majalah Film bekas di Shopping. Tapi, setelah masuk bioskop, saya merasa kotor. Bagaimanapun, sampai di malam jahanam itu, saya tetaplah mahasiswa baik-baik, dengan nilai IPK tiga koma, penulis cerpen pemula yang sudah pernah dapat piala, juga pelajar sekaligus kakak teladan di desa saya. Coba bayangkan kalau Anda jadi saya.
Tapi bukan hanya itu. Bayangkan jika malam itu seseorang yang mengenal saya di masjid melihat saya masuk bioskop. Apapun yang saya tonton di dalam, entah film India ecek-ecek atau film Amerika esek-esek, jelas tak akan ada bedanya. Maka, boleh jadi, begitu saya balik dari bioskop, saya akan menemukan barang-barang saya yang tidak banyak itu sudah terlempar dari kamar saya di loteng masjid. Jadi, saya juga merasa berdosa secara ekonomi.
Rasa berdosa jenis lain menyusul begitu saya yakin saya aman. Tak usah njelimet berpikir, saya tahu saya akan mengulangi dosa itu lagi di lain waktu.
Dan sembari menunggu saya mengulanginya, saya mencoba meredam rasa berdoa itu. Dengan puasa Senin-Kamis, misalnya. Cukup manjur. Lagipula, lumayan ‘kan dapat kepala ayam gratis?
**
Saya tak ingat apakah malam itu saya menonton Gairah yang Nakal atau Perempuan dalam Gairah atau film Inneke yang lain. Tapi saya ingat betul, alih-alih merasa bersalah, saya justru merasa sangat konyol.
Dan saya memang nonton lagi.
Lalu bagaimana dengan rasa berdosa itu? Tentu saja tetap. Tapi, saya mulai belajar bahwa rasa berdosa berbeda dengan dosa.
Usai mengisi pengajian ibu-ibu yang ustadnya tidak datang—saya ingat saat itu saya bicara tentang waktu-waktu yang tak diperbolehkan untuk menunaikan salat—saya bergegas mengendap-endap ke Permata. Saya tak tahu hendak nonton film apa. Ujungnya, yang ada saja. Malam itu saya nonton Raped by An Angel, yang dibintangi Simon Yam.
Di lain waktu, saya akhirnya tak bisa menahan diri untuk tak melihat gambar Inneke Koesherawati versi layar lebar. Seperti biasa, setelah iseng-iseng baca Majalah Film bekas, saya akhirnya memutuskan menjajal bioskop kumuh di belakang Shopping itu (yang saat ini telah disulap jadi Taman Pintar itu). Kalau di siang hari, untuk masuk ke Bioskop Senopati, saya mesti melewati lapak lapak buku dengan sajian utama novel-novel bekas Freddy S. dan/atau Enny Arrow. Di malam hari, tempat itu bisa terasa seperti dunia yang berbeda.
Saya tak ingat apakah malam itu saya menonton Gairah yang Nakal atau Perempuan dalam Gairah atau film Inneke yang lain. Tapi saya ingat betul, alih-alih merasa bersalah, saya justru merasa sangat konyol. Sebabnya, film yang sama, tentu dengan judul dan adegan yang sudah disesuaikan, satu atau dua hari sebelumnya sudah saya tonton di RCTI. Untung, tiketnya cuma Rp1.000. Jadi, dosa ekonominya tak terlalu berat untuk ditanggung.
Untuk sedikit merasa bergengsi, saya biasanya pindah ke bioskop sebelah. Di Jogja Theater, yang kalau tak salah sekarang menjadi tempat relokasi Pasar Buku Shopping, semua filmnya impor. Setidaknya, judul filmnya pakai bahasa Inggris semua. Dan karena itu, saya mesti bayar dua kali lipat lebih mahal dibanding Senopati dan Permata.
Saya ingat dua film—dan mungkin karena hanya dua itu saja—yang pernah saya tonton di Jogja Theater. Keduanya adalah Sexual Arousal dan Tale of The Kama Sutra: The Perfumed Garden. Film pertama, dibintangi Francois Yip dan tak ketemu entrinya di Wikipedia, saya tonton karena tergoda judulnya, meskipun saat itu tak ngerti artinya. Film kedua, untuk orang yang baru sayup-sayup dengar nama Mira Nair, ditonton karena mengira itu film nyeni—padahal Kama Sutra: Tale of Love dan Tale of The Kama Sutra bukan saja dua film yang berbeda, tapi juga berbeda derajat.
**
Saya tak tahu apakah orang-orang Ratmakan tahu saya nonton bioskop—dengan film-film macam itu. Tapi, sampai saya pamit baik-baik di ujung tahun ketiga kuliah saya, saya hanya pernah ditegur oleh pengurus masjid untuk keteledoran yang sifatnya keseharian: lupa menyapu halaman, telat bangun subuh, tak mau cium tangan sama ustad yang kasih pengajian, atau semacam itu. Jika ada yang berulang-ulang dan membuat saya hampir diusir, itu adalah soal sepakbola (kapan-kapan cerita itu bisa saja keluar juga).
Ketika kemudian saya tak lagi memiliki jadwal azan, dan tak harus mengurusi pengajian anak-anak dan ibu-ibu, jadi anak kos yang bebas sebebas-bebasnya, rupanya layar bioskop tak terlalu menarik lagi untuk dijelajahi. Ya, mungkin karena saya lebih menyukai nonton film sendirian. Tapi, terutama, karena saya tetap tak pernah cukup punya uang—yang kemudian dilegalisir dengan tutupnya semua bioskop yang tadi saya sebut. (Meski begitu, saya tak akan melupakan malam menyebalkan saat, untuk pertama kalinya dan sekali-kalinya, saya masuk Bioskop Mataram, mengantri puluhan orang, agar bisa nonton sebuah film yang canggung dan banci berjudul Gie.) Saat menonton film sudah benar-benar jadi kebutuhan, saya lebih memilih lari ke rental film jika saya punya kelebihan uang makan.
Manakala saya mulai memburuh, dan merasa cukup sah untuk mencari kompensasi kepenatan sehabis kerja, bioskop sama sekali tak masuk dalam kepala saya. Saya membeli komputer bekas ber-CD ROM, dan membawa pulang 5-10 film setiap akhir pekan. Ketika bertahun-tahun kemudian saya mengumpulkan ratusan judul film dalam format kepingan, bahkan membuat sebuah blog khusus membahas film, judul yang bisa dimasukkan ke daftar film yang saya tonton di bioskop tetap tak banyak bertambah. Jika semua film itu saya jadikan file, saya rasa saya tak akan membutuhkan flash disk lebih dari 32 GB.
Karena itulah, setiap memikirkan bioskop, lebih-lebih setelah memasukinya, rasa khusus itu masih menyisa. Mungkin bukan lagi rasa berdosa, tapi debar yang sama, yang dulu saya alami ketika pertama kali mengulurkan uang membeli tiket di Bioskop Permata, 17 tahun lalu, biasanya masih berulang. Dan mungkin masih akan terus seperti itu.
*Ditulis dengan rasa bersalah yang masih sama terhadap warga Ratmakan, khususnya Mas Jun, Mas Dul, Pak Man, dan Bu Sri—semoga kalian memaafkan saya.