Gambang Djakarte
1
Hari-hari menjelang Lebaran, orang-orang diajak mengimajinasikan dan menghitung segala hal dengan kata, angka, dan tanda persen (%). Pusat perbelanjaan dan pertokoan biasa mengumumkan sedang mengadakan program memeriahkan Ramadhan dan Lebaran. Penguasa dan pedagang membuat permainan kata dan tanda agar kita terbujuk. Di spanduk, angka-angka dituliskan agar nafsu belanja meningkat. Pencantuman % semakin membuat konsumen girang tiada tara.
Pada saat menjalankan ibadah puasa, kita dibujuk keranjingan belanja. Bermula dari kelihaian-muslihat iklan dan pengumuman, kerumunan orang berada di pusat perbelanjaan dan pertokoan. Mereka sedang “beribadah” dengan uang demi benda-benda.
Imajinasi uang dan benda pernah jadi ajaran lugu dalam buku bacaan bocah berbahasa Jawa berjudul Tataran (1950) karangan R Widnjadisastra. Dua bocah, Koentjoeng dan Bawoek, memutuskan tak menggunakan uang untuk membeli mercon. Keputusan itu membuat ibu “senang.”
Membeli mercon memang dianggap sia-sia. Ibu pun berkata: La jen kowe ora pada toekoe mretjon, taktoekokake sandangan sing apik-apik. Doewit sing kanggo mretjon, diwoewoehi dienggo toekoe katok karo klambi. Pada masa lalu, bocah sering bingung dalam menghadapi Lebaran. Pakaian baru lumrah diharapkan tapi mercon tetap saja jadi godaan.
Penjelasan bijak dari bapak: Wis genah mretjon koewi regane larang. Toer jen ora kebeneran, njilakani awak. Bapak malah sempat bergurau jika uang para bocah sedesa batal digunakan membeli mercon, uang itu sudah bisa dibelikan rumah. Kita ingin belajar pengertian larang atau mahal.
2
Selama Ramadhan dan Lebaran, sekian kebutuhan pokok dan benda-benda mengalami perubahan harga menjadi mahal. Orang harus berpikir serius dalam penggunaan uang dan faedah. Mahal mengesankan pengorbanan besar dan berani menanggung risiko.
Kini, harga mahal tak melulu untuk mercon. Pangan dan sandang mengalami penaikan harga. Orang-orang biasa mengeluh: bulan beribadah malah harga-harga mahal. Pemerintah biasa disalahkan akibat tak sanggup mengendalikan harga. Mereka pun curiga pada pengusaha, tengkulak, dan pedagang.
Anggapan segala hal jadi mahal mulai diubah oleh pusat perbelanjaan dan pertokoan. Baju, sepatu, dan sandal biasa diumumkan berharga murah melalui program diskon. Di pengumuman atau iklan, tercantum pesan berlagak sakral dilengkapi sajian foto-foto komoditas. Sebutan hemat atau murah membenarkan rangsangan publik mau bernafsu belanja.
Penulisan angka dan % menggugah gairah berhitung uang dan kemungkinan mendapat pelbagai komoditas. Imajinasi atau pikiran itu berbarengan dengan isi pengajian di masjid-masjid. Amal kebaikan orang selama Ramadhan bakal dilipatgandakan. Pagi sampai malam, orang gampang terjebak memikirkan diskon belanja dan pahala dari amalan-amalan: murah dan berlipatganda. Belanja dan beramal berbeda misi dan dampak. Mereka pun bingung.
3
Kita sejenak menengok rekaman imajinatif tentang harga menjelang Lebarang. Rekaman terdapat dalam cerpen berjudul “Hudjan Duit” garapan Firman Muntaco, dimuat di buku Gambang Djakarte (1963). Alinea pembuka agak mencengangkan: “Langit membening biru, mentari pukul 10, dan Pasar Baru seperti besi berani terus djuga menarik datang ratusan kendaraan jang mengangkut tiba ribuan orang, rata-rata bawa satu niat: rela kosongkan isi kantong untuk ditukar dengan barang-barang, alat-alat ketjantikan dan lain-lain, sebab disementara mereka membanjanglah detik-detik Lebaran diambang pintu dengan segala kemeriahannja.”
Kesibukan orang menjelang Lebaran adalah belanja. Kita anggap saja itu “ibadah” melenceng dari ajaran-ajaran agama saat disampaikan dalam pengajian di masjid-masjid. Keramaian di pusat perbelanjaan, pertokoan, dan pasar mungkin bersaing dengan keramaian di masjid. Diskon dan pahala berbeda tempat.
Firman Muntaco mencatat kebiasaan jelang Lebaran, para pemilik toko membuat pengumuman sensasional demi laris dan untung: “Obral Besar”, “Anti Mahal”, “Lebaran, Harga Dibanting.” Pola itu berlaku sampai sekarang. Sekian slogan dan bujukan bersebaran di pelbagai tempat. Kita bisa mendapati slogan murah, hemat, obral, diskon, gratis, dan berhadiah demi bisnis-perdagangan selama Ramadhan dan Lebaran.
Simbol-simbol berkaitan agama tak lupa dipamerkan atau dicantumkan agar terkesan “menghormati” bulan ibadah. Kita mungkin ingin menuduh bukan menghormati tapi menodai. Harga pangan naik tapi harga baju, celana, sepatu, sandal, kosmetik, dan jilbab malah murah. Kita diajak “beriman” agar membeli demi keparlentean saat Ramadhan, tak berniat demi ibadah atau berbagi rezeki ke sesama. Ramadhan dan Lebaran melulu berarti harga dan benda-benda. Bisnis untuk pemerolehan uang cenderung seru ketimbang “bisnis” orang mencari pahala paling melimpah.
Kita mungkin sulit beranjak dari nalar Koentjoeng dan Bawoek. Mereka rela tak membeli mercon tapi membeli busana baru. Pada cerita bocah itu belum ada penjelasan bahwa harga busana murah atau mendapat diskon. Mereka hidup di desa, biasa belanja di pasar tradisional atau pedagang keliling. Mereka belum mengenal pusat perbelanjaan dengan sebutan-sebutan aneh berbahasa asing. Kita masih repot belajar kata dan makna. Permainan tanda dalam iklan dan pengumuman lekas saja menjerumuskan kita pada pengertian “mumpung”, bukan kebenaran realitas menjalankan ibadah selama Ramadhan demi iman dan takwa. Berpikir pahala mulai diganggu kata dan tanda mengenai harga. Ramadhan dan Lebaran rawan bermakna harga. Begitu.