Menu

Gus Dur

Bolehlah dikatakan bahwa pikiran seseorang pasti berbeda dari pikiran orang lain. Kata “pikiran” di sini digunakan untuk menyebut bangunan yang dibangun oleh seluruh apa pun yang ada dalam dunia mental manusia: sistem semiotika, sistem diskursus, sistem ekonomi, sistem politik, sistem sosial, sistem pengetahuan, sistem permainan, sistem operasi yang menghubungkan semua sistem lain, sistem logika yang bisa mengobjektifikasi semua sistem lain.

Pikiran bekerja dengan memunculkan “lubang” dalam dirinya. Lubang itu biasa disebut pertanyaan, soal, persoalan, masalah, question, problema dst. Ketika muncul sebuah lubang, maka pikiran manusia akan bergerak mencari apa pun yang bisa menutup lubang itu. Pikiran berusaha melenyapkan pertanyaan itu dengan mencari atau membuat jawaban untuk pertanyaan itu. Ketika sebuah pertanyaan sudah punya jawaban, maka lubang itu sudah tertutup, sehingga lubang itu lenyap. Lubang yang tidak ada lagi itu adalah keadaan damai pikiran.

Sistem-sistem dalam pikiran itu juga dibangun dari banyak sekali pertanyaan beserta jawabannya masing-masing. Sistem-sistem itu solid, pada, kokoh, perkasa jika semua pertanyaan yang menyusun sistem itu sudah mendapatkan jawabannya. Jadi pikiran manusia yang kokoh bisa dibayangkan sebagai sebuah kampung yang di situ semua laki-laki sudah beristeri dan masing-masing pasangan saling mencintai: tidak ada jomblo, dan tidak ada janda, dan duda.

Semakin banyak sistem yang ada di pikiran manusia, semakin rumit sistem-sistem itu, maka semakin besar bangunan mental, semakin besar pikirannya, semakin kokoh pikiran itu. Jadi selain memiliki tubuh daging, manusia juga memiliki badan pikiran itu. Manusia berkumpul dengan orang-orang yang memiliki ukuran dan kerumitan pikiran yang sama. Semakin sama ukurannya, semakin orang bisa saling memahami.

Pikiran yang besar memayungi orang yang pikirannya lebih kecil. Pikiran orang tua mengayomi pikiran anak-anak mereka. Pikiran paling besar melingkupi semua pikiran lain yang lebih kecil. Pikiran paling besar adalah pikiran yang memikirkan semua masalah yang dipikirkan oleh pikiran-pikiran yang lebih kecil.

Pikiran paling besar itu pun mengayomi yang lebih kecil. Idealnya seorang raja menjadi orang yang pikirannya paling besar se kerajaan, sehingga dia memikirkan semua masalah yang dipikirkan oleh orang-orang yang menjadi bawahannya.

Mungkin itulah sebabnya dulu Raja Jawa disebut “Wong Agung”, bukan badannya yang besar, melainkan pikirannya yang memikirkan penderitaan semua pikiran lain di kerajaannya. Jika seorang raja hanya memikirkan urusannya sendiri, maka dia bukan Wong Agung, melainkan seorang yang tidak cocok untuk menjadi raja. Tubuh pikiran itulah yang lebih banyak dihidupi oleh Wong Agung. Sehingga logis saja, Wong Agung tidak merasa susah ketika tubuh fisiknya sakit atau menderita: dia merasa lebih menderita ketika tubuh dan pikiran orang-orang yang diayominya menderita. Sebab tubuh semua orang, masalah semua orang adalah tubuh dan pikirannya sendiri.

Salah satu Wong Agung yang dikenal banyak orang adalah Gus Dur. Dia Wong Agung karena seumur hidup apa yang diurusi Gus Dur adalah bagaimana negara dan bangsa Indonesia selamat, bagaimana dia mengusahakan agar jangan sampai negara Indonesia hancur, agar jangan sampai bangsa Indonesia menderita karena kehancuran itu. Gus Dur bertindak ramah kepada semua orang karena dia mengayomi semua orang: memikirkan keselamatan semua orang. Namun sepertinya apa yang diayomi Gus Dur bukan hanya Indonesia. Lambang Nahdlatul Ulama adalah bola dunia yang disatukan oleh tali yang dikawal oleh sembilan bintang: Gus Dur adalah cucu pendiri NU. Jadi logis saja bahwa Gus Dur harus memikirkan bukan saja Indonesia tetapi juga memikirkan seluruh dunia.

Gus Dur sudah beberapa lama tidak lagi ada di dunia manusia hidup sekarang. Hampir semua orang merasa kehilangan. Tetapi sebetulnya mereka kehilangan Pengayom, seperti anak ayam kehilangan induknya. Sementara ini belum nampak orang yang mengayomi Indonesia. Barangkali beberapa orang adalah pengayom Indonesia, tetapi kita tidak kenal. Apa tandanya seseorang adalah Wong Agung? Ya itu tadi, semua orang merasa kehilangan pengayom ketika orang itu meninggal.

Entah siapa sekarang Wong Agung lain yang sedang menjalankan darma untuk mengayomi seluruh Indonesia dan seluruh dunia.

Gus Dur, selain seorang yang ahli dalam ilmu-ilmu sosial, juga mahaguru Sarkub (Sarjana Kuburan–ed), dan Sufi sekaligus. Salah satu ungkapannya soal Tasawuf, berkaitan dengan fenomena kaum Wujudi (juga Syuhudi-Hululi) di kalangan Pesantren, beliau menulis begini:

“Penulis beranggapan bahwa ulama tradisionalis kita banyak yang mengambil ajaran wihdatul wujûd itu bagi diri mereka sendiri, karena mereka sudah menguasai syari`at yang dalam hal ini berbentuk fiqh. Dengan kata lain, mereka menolak penyebaran wihdatul wujûd di kalangan orang awam, tetapi bagi kepentingan mereka sendiri, mereka juga menjalankan paham tersebut secara tertutup” (“Tasawuf dan kebatinan /Kejawen”, dalam Gus Dur Menjawab Kegelisahan Rakyat, hlm. 103).

Bagi Gus Dur, kalangan ulama pesantren itu menerima wihdatul wujûd untuk diri mereka sendiri, dan tidak diajarkan secara gegabah terhadap orang awam. Penafsiran Gus Dur tentang Syaikh Siti Jenar, juga berangkat dari sini, yang menurutnya, kesalahan Syaikh Siti Jenar bagi Wali Songo bukan soal wihdatul wujûd, tetapi soal pengajarannya kepada orang awam. Gus Dur kemudian memberikan penegasan bahwa mereka yang menerima wihdatul wujûd, pada dasarnya mereka orang yang telah bersyari`at terlebih dahulu. Gus Dur mengutip ungkapan yang berkembang di pesantren: man yatahaqqaq walam yatasyarra’ fahuwa zindîqun (barang siapa yang menempuh haqîqat dan tidak bersyari`at maka dia dianggap zindiq). Dalam  salah satu tulisan, saya pernah menulis juga ungkapan ini, dan penjelasannya.

Gus Dur, sebagaimana para mahaguru sufi di kalangan Sunni, menginginkan adanya keselarasan antara fiqh dan tasawuf. Ini menegaskan pentingnya melihat, ada  sebagian umat Islam, yang tidak mau menerima tasawuf, dan menganggapnya sesat, dan kalangan Sunni di kalangan Madzhab Syafii di Indonesia, memilih meneruskan para pendahulu mereka dalam berhubungan dengan tasawuf, daripada pikiran-pikiran salafi yang menolak tasawuf.

Meski begitu Gus Dur menekankan bahwa kaum tasawuf, dan utamanya disebut olehnya sebagai kaum syara’, dengan kaum kebatinan (Kejawen) memang berbeda, tetapi tidak bertentangan. Perbedaan bisa dilihat dengan jelas sekali, terutama karena ulama-ulama pesantren mendasarkan pada referensi fiqh sebelum mereka bertasawuf, karena memang tradisi yang dimiliki di pesantren demikian; dan orang Kejawen mengambil intinya diharmoniskan dengan kearifan Jawa. Persamaannya, mereka sama-sama menerima wihdatul wujûd: bagi sebagian ulama pesantren, digunakan untuk mereka sendiri, dan tidak diajarkan secara gegabah.

Penyelarasan antara fiqh dan tasawuf ini, di kalangan pesantren sebenarnya mengacu pada  ungkapan imam asy-Syafi`i dalam Diwan-nya: “Jadilah ahli fiqh dan sufi sekaligus, jangan hanya salah satunya. Sungguh demi Allah, saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang ini (yang hanya mempelajari ilmu fiqh tetapi tidak mau menjalani tasawuf), maka hatinya keras dan tidak dapat merasakan lezatnya takwa. Sebaliknya, orang itu (yang hanya menjalani tasawuf tetapi tidak mau mempelajari fiqh), maka ia akan bodoh, sehingga bagaimana bisa dia menjadi benar?” (Diwan al-Imam asy-Syafi`i, hlm. 34, versi ditahqiq Muhammad Afif az-Za’bi).

Begitulah, karena ulama-ulama pesantren, termasuk Gus Dur memiliki tradisi Syafi`iyah dan menghormati imam Syafi`i, pandangannya tentang kaum sufi dan fiqh meresap ke dalam tradisi pesantren. Yang lebih penting lagi, pandangan itu, juga bisa merekonsiliasi dengan mereka yang terlalu menekankan aspek literal syariat. Ungkapan di atas, menegaskan perlunya kesinambungan antara keduanya: seorang sufi harus terlebih dahulu tahu tentang kewajiban-kewajiban syari`at dan seorang ahli fiqh harus berani menyeberang untuk menekuni dunia tasawuf. Kedua hal itu tampak sekali berjalan beriringan di banyak pesantren, meskipun dari sudut tasawuf mereka berafiliasi ke dalam banyak Tarekat. Tentu saja, mereka yang menekuni dunia sufi di pesantren ini, sebagian menerima wihdatul wujûd yang diambil dari Ibnu `Arabi, sebagian menggunakan referensi al-Ghazali dalam kitab Ihyâ’ dan kitab-kitab akhlaknya, dan juga tokoh-tokoh lain termasuk Imam Junaid al-Baghdadi.

Karena penyebaran gagasan wihdatul wujûd atau pengungkapan pengalaman ekstatik ke publik tidak dilakukan dengan gegabah, maka tidak terjadi pertentangan hebat di kalangan ulama-ulama pesantren. Saya sendiri menerima tradisi Wujudiyah, melalui teoretisasi yang dilakukan dalam tradisi Qodiriyah-Naqsyabandiyah-Syathariyah, yang di dalam dzikir Qodiriyahnya, menggunakan penerjamahan batin dalam 17 makna, yang semuanya bermuara pada “Mboten wonten Dzat ingkang maujud anging panjenengan Gusti Alloh,” bersama-sama dzikir lahir tahlil. Dan, pandangan seperti ini, di pesantren Nahdliyin, tetap terus bisa bergerak dengan cara mereka sendiri.

Selain wihdatul wujûd, Gus Dur juga mengungkapkan soal tahallul (atau al-hulûl), yang juga muncul di kalangan sebagian kiai-kiai pesantren, tetapi pada saat yang sama mereka bertasawuf yang mengedepankan moralitas dan akhlak-akhlaknya (yang oleh Alwi Shihab disebut tasawuf sunni). Bahkan Gus Dur menunjukkan contoh Mbah Hasyim Asy`ari, dengan ungkapan:

“Kesimpulan bahwa umpamanya, K.H. Hasyim Asy`ari adalah orang yang mengikuti tasawuf Sunni, dengan melihat pada keputusan-keputusan beliau yang terdapat dalam dua belas kitab yang beliau karang semasa hidup, tentu tidak sepenuhnya menggambarkan pandangan beliau karena seseorang jauh lebih besar daripada tulisan-tulisan yang dibuatnya semasa hidup. Sebagai contoh, baru-baru ini jelas sekali tampak bahwa KH. Hasyim Asy`ari adalah salah scorang yang secara umum menerima tasawuf Sunni, tetapi secara pribadi, beliau mengikuti doktrin tahallul (penempatan diri pada makhluk lain). Hal ini terbetik dari ungkapan-ungkapan para ahli atau para pengikut tasawuf falsafi, yang bergerak masih tetap dalam lingkungan Nahdlatul Ulama (NU)”  (Gus Dur, “Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi”, dalam Alwi Sihab, Islam Sufistik, hlm. xx).

Jadi, menurut Gus Dur tidaklah tepat menganggap bahwa para ulama NU adalah orang-orang yang menerima tasawuf, yang oleh sebagian orang disebut dengan tasawuf Sunni dengan meninggalkan tasawuf falsafi; atau memusuhi pandangan tasawuf falsafi. Meski saya tidak setuju dan menggunakan pembagian ini, tetapi ada bagian-bagian dari pengalaman sufi yang diungkapkan secara filosofis melalui filosofi al-Wujud yang mereka ambil, termasuk di antaranya doktrin al-hulûl itu, tetapi pada saat yang sama mereka tetap kokoh dalam bersyariat, karena itu adalah bagian mutlak dalam tarekat dan tasawuf.

Dalam hal ini, ada dua hal penting dari kutipan Gus Dur di atas, yang perlu dijelaskan: al-hulûl dan wihdatul wujûd. Doktrin al-hulûl merujuk pada sufi besar al-Hallaj. Doktrin ini menyebutkan bahwa Tuhan (maksudnya adalah Cahaya-Nya, bukan Dzat-Nya) mengambil tempat atau berada dalam diri manusia, setelah manusia itu mampu membersihkan diri lewat disiplin diri sehingga hilanglah ke-aku-annya. Ini bisa terjadi karena  manusia memiliki dua unsur, yaitu lâhût (unsur-unsur ketuhanan) dan nâsût (unsur-unsur kemanusiaan/materi). Jadi, di sini yang dimaksud bersemayam ke dalam diri manusia bukan Dzat Tuhan (karena Dzat Tuhan tidak terbagi), tetapi cahaya dan sifat-sifat Tuhan yang bisa muncul dari diri manusia, manakala manusia telah mampu membersihkan hatinya, yaitu setelah melewati keterleburan (fanâ’).

Dalam keterleburan itu, tubuh manusia juga tidak sirna, karena yang dimaksud di situ adalah keterserapan batin, mata rohani. Konsep al-hulûl ini, merupakan perkembangan setelah adanya ittihâd, yaitu setelah terjadi keterserapan dan peleburan (fanâ’) sang sâlik ke dalam Cahaya Allah lalu muncul kesatuan rohani, karena pada dasarnya Cahaya-Nya itu menjadi sumber dari cahaya hatinya: cahaya Tuhan menjadi asal dari cahaya hatinya.

Ekstase spiritual terjadi karena keterserapan ke dalam energi spiritual ilahi yang memungkinkan cahaya spiritual seorang sâlik terpendar ke dalam asal Cahaya-Nya. Bila tidak muncul cahaya ilahi yang menghubungkan dengan cahaya sang sâlik, maka sang penempuh, belum memperoleh rahmat dan kemurahan Tuhan, karena masih dikuasai oleh nafsu sehingga menutup diri-Nya.

Sedangkan wihdatul wujûd adalah pendalaman lebih lanjut dari konsep al-hulûl. Konsep ini dihubungkan dengan Ibnu `Arabi. Dalam konsep wihdatul wujûd konsep lâhût dan nâsût dalam penyaksian al-Hallaj dinamakan dengan al-Haqq dan al-khalq dalam penyaksian Ibnu `Arabi. Meski ada dua aspek dalam diri manusia, tetapi aspek yang paling penting dari keduanya adalah al-Haqq, karena tanpa al-Haqq tidak ada wujud-wujud lain, termasuk alam. Karenanya, meskipun banyak makhluk dan berbagai alam, tetapi esensi dari alam itu sendiri, ada Dzat yang menghidupkan, yaitu al-Haqq, karena tanpa al-Haqq, al-khalq tidak akan ada. Dari sini “kesatuan wujud” kemudian bermakna bahwa alam dan makhluk yang tampak bervariasi itu pada dasarnya satu, yaitu al-Haqq sebagai Wujud Haqîqî. Wujud lain adalah wujud semu, karena pada akhirnya juga akan binasa, keberadaannya tergantung dari al-Haqq, satu-satunya Wujud Haqîqî.

Selain al-hulûl dan wihdatul wujûd, ada juga konsep yang juga dikutip Gus Dur yaitu wihdatusy syuhûd. Konsep ini ada yang menyebut mirip dengan wihdatul wujûd. Wihdatusy syuhûd ini diungkapkan di antaranya oleh Ibnul Farid yang disebut sebagai sulthan al-`âsyiqîn. Dalam konsep wihdatusy syuhûd, muncul kesatuan penyaksian bahwa yang disaksikan di mana-mana hanya Allah. Pluralitas alam dan atribut-atribut dunia menjadi lenyap, dan yang dilihat semata wujud Tuhan, sebagai Wujud Haqîqî. Tentu saja, yang dimaksud di sini bukan kesatuan Dzat Tuhan dengan dzat manusia, karena Dzat Tuhan tidak terbagi-bagi: yang dimaksud adalah Wujud Haqîqî pada dasarnya adalah al-Haqq (yaitu Allah), dan wujud-wujud lain dalam alam yang berwarna-warni adalah semu; dan yang terlihat adalah cahaya-Nya semata meliputi semua alam.

Gus Dur menyebut kaitan itu di kalangan sebagian pesantren demikian: “Ajaran wihdatul wujûd yang digunakan itu adalah wihdatusy syuhûd” (hlm. 105). Maksudnya, orang-orang di kalangan pesantren, menurut Gus Dur ada yang memiliki kemampuan weruh sakdurunge winarah, karena mereka telah mengalami wihdatusy syuhûd. Selain Gus Dur gigih membela konsep wihdatul wujûd, al-hulûl, dan wihdatusy syuhûd, yang paling penting maksudnya adalah banyak kiai pesantren, di mana Gus Dur termasuk salah satu di antaranya, memakai pemahaman itu untuk dirinya sendiri, tidak disebarkan secara gegabah.

Tidak semua salik yang sampai memiliki pengalaman yang sama dalam hubungannya dengan Cahaya Allah, meskipun mereka sama-sama mengalami fanâ’, keterleburan, dan keterserapan ke dalam al-Haqq. Situasi dan kondisi penyaksian, ittihâd, dan penyatuan pasca al-fanâ’ adalah penganugrahan, dia tidak bisa didekati dengan pemahaman rasional dan mengandalkan hafalan buku-buku teks sosiologi atau hitungan Matematika. Anugrah itu muncul setelah salik mengalami keterserapan dan lebur rohaninya ke dalam kekuasaan al-Haqq setelah terjadinya ekstase mendalam, atas bimbingan dan kuasa Allah, yang kemudian Dia ini memancarkan lewat  Cahaya-Nya; atau atas jadzbah dari Alloh. Formula kesaksian itu bisa melalui, formula kalam-kalam yang didengar oleh pendengaran batin dan melalui penglihatan batin.

Dalam kondisi ini, dengan sendirinya, sang sâlik menyaksikan adanya kesatuan rohani sesuai pengalaman yang dialaminya, sehingga ketika mendefinisikannya ke dalam ungkapan dan tulisan menjadi berbeda, meskipun kesaksiannya berasal dari cahaya yang sama: sebagian mengalaminya kemudian menyebutnya ittihâd, wihdatul wujûd, wihdatusy syuhûd, al-hulûl, dan lain-lain. Bahkan tokoh-tokoh sejenis imam sufi yang dijadikan panutan di kalangan NU, seperti imam Junaid al-Baghdadi dan al-Ghazali, menggambarkan orang yang mengalami ini sebagai orang yang telah mengalami esensi kebenaran menunggalkan Allah, bukan lagi dengan kata-kata, tetapi dengan penyaksian. Orang yang demikian memperoleh tauhidnya secara kokoh, pembenaran, lalu pelayanan.

Dalam hal ini, Imam Junaid al-Baghdadi mengemukakan: “Ketahuilah bahwa permulaan ibadah Allah adalah mengenal Dia (ma’rîfatullâh). Sedangkan pangkal mengenal Allah adalah bertauhid kepada-Nya. Sedangkan tatanan bertauhid adalah menafikan segala sifat dari diri-Nya. Dan dengan penafian itulah diperoleh dalil ke-Esa-an-Nya, dan sebab berdalil seperti itu adalah taufiq-Nya, lalu dengan taufiq Allah terjadi tauhid kepada-Nya. Dari tauhid lahirlah tashdîq, dari tashdîq terjadilah tahqîq dan berproseslah jadi ma’rîfah. Dari ma’rîfah muncullah isjtijâbah kemudian ijâbah. Dari sini terjadilah ittishâl. Dari ittishâl timbullah bayân. Dari bayân timbullah kebingungan. Dari kebingungan hilanglah bayân, dan dari hilangnya bayân terputuslah penyifatan terhadap-Nya dan dari keterputusan ini diperoleh hakikat wujûd. Dari hakikat wujud diperoleh hakikat syuhûd, karena kehilangan wujudnya, dan dari kehilangan tersebut jernihlah wujudnya, dan dengan kejernihan tersebut terlepaslah dari sifat-Nya. Dari keterlepasan hadirlah dengan segala totalitas-Nya… (Risâlah fî at-Tauhîd dalam Majmû’aah Rasâ’il al-Junaid, tahqiq Ali Hasan Abdul Qadir, Kairo, hlm. 58).

Imam al-Junaid kemudian membagi tauhid menjadi bagian: (1) tauhid `awam; (2) tauhid ahli haqâiq bi `ilmi zhâhir; (3) tauhid al-khâsh min ahli ma’rîfah. Bagian yang ketiga ada dua macam: pertama, pengakuan terhadap ke-Esa-an Tuhan bersamaan dengan hilangnya perhatian terhadap segala hal disertai dengan penegakan perintah, baik secara zahir maupun batin dengan menjalankan pertentangan rasa suka dan tidak suka yang datang dari selain Allah; kedua, persamaan yang konstan di hadapan Allah sehingga tidak ada orang ketiga antara dia dengan Tuhan, yang berarti adalah kesatuan.

Sementara Imam al-Ghazali membagi tauhid dalam empat tingkatan: pertama, isi (lub), mengucapkan lâ ilâha illallâh, sementara hatinya ingkar kepada Allah; kedua, isi dari isi (lubb al-lubb), yaitu membenarkan makna lafazhiyyah tersebut dalam hati sebagaimana berlaku di sebagian kaum muslimin, yang ini disebut tauhid awam; ketiga, qasyar (kulit), yaitu kesaksiaan akan hal tersebut secara intuitif dengan perantaraan nûr al-haqq, dan ini maqam al-muqarrabîn yang akan terimplementasikan bahwa keragaman adalah bersumber dari satu titik; keempat, kulit dari kulit (qasyar al-qasyar, tidak melihat dalam wujud kecuali al-wâhid. Apabila ia tidak melihat dirinya sendiri, karena tenggelam dengan tauhidnya, niscaya ia lenyap dari dirinya sendiri ke dalam tauhidnya, dengan arti bahwa ia telah lenyap dari melihat dirinya dan makhluk, atau disebut al-fanâ’ (Ihyâ’ `Ulûmuddîn, juz IV, hlm. 245, Beirut: Dar al-Ma’rifah).

Di bagian lain al-Ghazali juga menyebutkan:

“Setelah orang-orang yang ma’rîfah naik ke puncak hakikat, mereka sepakat bahwa tiada wujud yang tampak selain wujûd al-wâhid al-haqq. Tetapi sebagian mereka memiliki kondisi ini dalam bentuk ma’rîfat al-mi’ah, ada yang dalam rasa (kesadaran rohani-pen.). Dan hilanglah bagi mereka semua keanekaragaman. Mereka larut dalam kesendirian yang murni, dan dalam kesendirian tersebut akal mereka menjadi pasif, sehingga ia layaknya orang-orang yang terheran-heran dalam dzatnya, tiada cukup kesempatan  bagi mereka mengingat selain Allah, sekalipun terhadap diri mereka sendiri. Tak satu pun di sisi mereka kecuali Allah. Mereka mabuk kepayang yang mengalahkan fungsi rasionalitas akalnya, sehingga terucaplah anâ al-haqq, subhanî, mâ `azhama sya’nî. Kondisi ini jika dialami seseorang maka ia masuk maqam fanâ’, karena ia musnah dari dirinya, bahkan juga dinamakan fanâ’ al-fanâ’, karena ia fanâ’ dalam kefana’annya. Kondisi ini jika dikaitkan dengan orang yang mengalaminya, secara metafora disebut ittihâd dan secara definitif disebut tauhîd.” (Misykât al-Anwâr, hlm. 57-58.).

Jadi, kondisi ekstase spiritual setelah mengalami keterserapan dan lebur kesadaran rohaninya mengalama fanâ’ dan tinggal  kesatuan dengan cahaya-Nya, menurut al-Ghazali, secara definitif itulah yang disebut tauhid, dan secara metafora disebut ittihâd: adanya kesatuan dimana mereka yang mengalaminya telah menunggalkan semata hanya untuk dan kepada Allah, sebagai yang Ada, cahaya yang meneranginya, dan sumber segala cahaya dan kekuatan rohani alam semesta.

Untuk mengetahui seseorang telah mengalami fanâ’ dan keterleburan sehingga ekstase, menurut Syaikh Abdul Qadir al-Jilani dalam Sirr as-Asrâr menyebutkan 10 macam tanda: beberapa di antaranya tersembunyi dan hanya sang sufi dan Allah saja yang mengetahui; dan beberapa di antaranya bisa dilihat oleh orang lain. Bila seorang sâlik pernah mengalami ekstase, di antara yang terlihat cirinya adalah munculnya kesadaran batin yang kuat dan berdzikir kepada Allah secara diam terus menerus, membaca al-Qur’an  secara diam terus menerus, meneteskan air mata tatkala berdzikir, takut akan siksa Allah, rindu dan terharu kepada Allah karena ingat masa-masa kealpaan, kadang wajahnya pucat pasi atau merona karena senang mengalami peristiwa-peristiwa yang ada di sekitarnya yang orang lain tidak tahu, dan lain-lain. Ini menimbulkan perubahan dalam diri, baik dalam gerak fisik atau spiritual, karena mengalami ekstase spiritual (Sirr as-Asrâr wa Mathhar al-Anwâr, hlm. 75, pada Fashal 19 fî Bayâni al-Wajd wa ash-Shafâ).

Ekstase spiritual terjadi karena keterserapan ke dalam energi spiritual ilahi yang memungkinkan cahaya spiritual seorang sâlik terpendar ke dalam asal Cahaya-Nya. Bila tidak muncul cahaya ilahi yang menghubungkan dengan cahaya sang sâlik, maka sang penempuh, belum memperoleh rahmat dan kemurahan Tuhan, karena masih dikuasai oleh nafsu sehingga menutup diri-Nya. Batin sang salik belum waktunya dan belum bisa mendapatkan Cahaya-Nya, dan soal ini bukan karena Allah tidak sanggup membuka tabir yang menyelubungi sang sâlik, sama sekali bukan. Karena teramat agung dan tak bisa dijangkau, sehingga  Allah harus ditemukan lewat pembersihan hati sampai bisa mengalami keterserapan diri yang membuka mata batinnya sehingga ada penyaksian yang gemilang.

Al-Ghazali menyebutkan dalam Minhajul Abidin: “Ada yang mendapatkan itu setelah 50 tahun, 10 tahun, ada yang hanya dalam tempo 1 hari, dan ada juga yang hanya 1 jam, dan bahkan ada yang hanya sekejap, satu kali kedipan mata. Sudah barang tentu semua (limpahan cahaya itu-pen.) karena inâyah dan hidâyah-Nya. Namun begitu Allah memerintahkan kepada hamba-Nya untuk mencarinya secara sungguh-sungguh. Bagaimana urusan dan hasilnya hanyalah Allah yang mengetahui” (Minhajul Abidin, hlm. 377).

Orang yang telah mengalami fanâ’ dan kemudian ittihâd (dan seterusnya itu) atau ekstase spiritual, dalam kehidupan kesehariannya akan mengalami keistiqamahan dalam laku, kesabaran, keberanian, ridha, dan lain-lain akhlak yang layak sesuai dengan posisi dan tempat anugrah yang diberikan kepada Tuhan. Begitulah, orang seperti Gus Dur, dia ditempatkan dalam posisi yang Allah dan Dia sendiri yang tahu: pembelaannya terhadap pluralitas, komitmennya terhadap pembebasan, kesabarannya dalam menghadapi persoalan, dan berbagai karakter lain, adalah tanda-tanda yang terlihat dari kondisi seorang yang telah mengalami ekstase spiritual ini; dan tanda-tanda lain yang gemilang, kata Syaikh Abdul Qadir al-Jilani di atas, hanya Allah dan sang sufi sendiri yang tahu.

Dengan melakukan pembelaan yang gigih terhadap wihdatul wujûd, dengan catatan tidak boleh disebarkan secara gegabah dan hanya boleh digunakan untuk diri sendiri, pada dasarnya Gus Dur membela kiai-kiai pesantren yang mengambil faham itu untuk diri mereka, dan terutama pembelaan atas Mbah Hasyim Asy`ari. Dia adalah seorang kakek dan sekaligus guru spiritualnya yang sering hadir dalam mimpi-mimpinya. Apa yang ingin dibela Gus Dur, pada dasarnya menegaskan hal penting, yaitu diterimanya tasawuf falsafi bergandengan dengan tasawuf sunni di kalangan pesantren, bahkan dalam diri seseorang pun hal itu bisa terjadi. []


Tulisan ini, diperbaiki dari salah satu tulisan yang ada dalam Suluk Gus Dur.

Mari kita mulai dengan merujuk sejarah lama tentang Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M ./ 7 Rajab 475 H.) atau Makhdum Ibrahim Asmara yang dimakamkan di Gresik. Maulana Malik Ibrahim di sebut oleh HJ De Graaf dan TH Pigeaud sebagai generasi awal dari Wali Sanga dan peletak dasar islamisasi di tanah Jawa ( KIP, hlm 22). Tokoh ini meninggalkan satu karya tanpa judul, yang kemudian dikenal dengan Kropak Ferrara, karena tulisan ini tersimpan di Perpustakaan Ferrara, Italia.

Naskah ini kemudian dikirim ke Belanda untuk di-transliterasi-kan oleh GJ W Drewes ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan pada tahun 1978. Drewes mengaku bahwa teks aslinya menggunakan bahasa Jawa tua sebagaimana teks Pararaton (Drewes, hlm.5). Isi dari karya tersebut adalah pedoman bagi para pengkojah (Wali) di masa awal kedatangan Islam, untuk mewejangkan kabar keselamatan dan kedatangan Islam di tanah Jawa.

Karya Maulana Malik Ibrahim yang dinamakan Kropak Ferrera ini merupakan rujukan tertua untuk melihat praktik Islam awal yang dikembangkan oleh Wali Sanga di Nusantara. Dalam karya itu belum ada penyebutan istilah “santri”. Semua yang telah ber-sahadat disebut orang Islam atau wong Slam. Setelah penyebutan wong Slam ini selesai dijabarkan kemudian masuk ke dalam jenjang peng-amalan-nya yaitu : muslim, mukmin, dan takwa, yang menekankan pada keseimbangan antara pengamalan lahir (syariat Islam) dan pendalaman batin seperti perbaikan akhlak, membatasi nafsu, dan lain sebagainya.

Dalam Kropak tertua itu, tidak disebutkan strategi penyebaran Islam, kecuali penekanannya pada perbaikan akhlak pribadi, dan sebuah kewajiban wong Slam, yaitu: “hendaklah membimbing orang lain ke arah kebajikan, serta mencegah orang lain berbuat jahat” (Drewes, hlm. 19). Rujukan beberapa isi dari Kropak tersebut diperkirakan berasal dari beberapa kitab tasawuf utama yang menjadi bacaan masyarakat Islam di abad ke-13, diantaranya al-Bidayah karya Imam al-Ghazali, tafsir al-Baghawi, serta beberapa kitab lain yang membahas mengenai hukum-hukum fiqih yang berlaku pada periode tersebut.

Merujuk penelusuran yang saya lakukan tentang penggunaan istilah Santri di Jawa, saya menemukannya dalam Susuluk Besi yang dikarang oleh Pangeran Wijil Ing Kadilangu (keturunan Sunan Kalijaga). Susuluk Besi bercerita tentang seorang wali yang dipanggil Ki Besi (Habesi), yang bertapa di sebuah goa, dan di tempat itu, di sekitarnya sudah ada sebuah pesantren. Pemimpin pesantrennya bernama Ki Umat/Ki Penghulu/Kyai Guru/Ki Santri.

Dalam Susuluk Besi itu, Pangeran Wujil ing Kadilangu menyebutkan salah satu dialog Kyai Guru dengan Ki Besi :

Basa kene panggonan ing santri // mbok manulari ing mumurid ing wang // ingsun pamulangan gedhe

Di sini tempat para santri // nanti mempengaruhi murid-murid saya. // Aku ini guru besar…” (dalam Serat Suluk Jaman Ing Kraton Dalem Surakarta, hlm. 111).

Di bagian lain, Ki Besi memberikan jawaban:

Eh Kyahi menawa // kawasa jawab suale // itung ing tyas pukulun // ingkang santri tan pesti swarghi // yen pegata lan nalar // nalara puniku kalamun tan tinandangan // nadyan silih tandangana

Hai kyai,// apakah bisa menjawab soal, // yang ada pada hatiku, // para santri belum tentu masuk ke surga // bila tidak dengan nalar. // Nalar juga tidak, // bila tidak diamalkan, // walaupun kecil amalkanlah setiap hari…” ( dalam Ibid., hlm. 113).

Susuluk Besi ini adalah bagian dari berbagai suluk yang terhimpun dalam Serat Suluk Jaman Ing Kraton Dalem Surakarta. Naskah asli berada di perpustakaan Surakarta, Sasono Pustoko, dan telah ditransliterasikan ke dalam huruf latin oleh Nancy K Florida yang kemudian dicetak pada tahun 1984. Serat Suluk Jaman Ing Kraton Dalem Surakarta adalah hasil karya zaman keemasan sastra Islam Jawa di Surakarta, yang masa ini tercatat antara tahun 1757-1881. Antara tahun-tahun itulah naskah itu ditulis, karena setiap suluk yang ditulis tidak disebutkan tahunnya. Hanya pengarangnya saja yang disebutkan, yaitu: Pakubuwono III, Pakubuwono IV, Pangeran Wijil dari Kadilangu, Sastrawijaya dari Kajoran, Yosodipuro Posliyun, Tumenggung Arung Binang, Sastranegara, (Yasadipuro II), Ngabehi Wongsoniti, Ronggosutrasana, dan Panembahan Cakraningrat.

Istilah santri pada saat itu digunakan untuk mendeskripsikan mereka yang belajar di pesantren guna mendalami ilmu agama. Istilah ini mulai eksis dalam khasanah perbendaharaan kata masyarakat Jawa pada abad ke-16. Seperti tertuang dalam Serat Centhini, yang dipandang sebagai ensiklopedi tebal tentang peradaban dan kebudayaan Islam Jawa yang ditulis pada zaman Surakarta. Dalam Serat tersebut diriwayatkan bahwasanya telah berdiri banyak pesantren yang menjadi tempat di mana seorang ‘Kyai’ atau ‘Ki’ mengajar murid-murid yang disebut ‘santri’.

“… Ciptanipun punopo Seh Jayengrogo, boten karenan dhateng awakipun. Wekasan sadaya santri bubaran” ( Serat Centini , X: xvi). Di sini kata ‘santri’ merujuk pada murid-murid seorang kyai.

Kata santri mulai terlembagakan pada masa kolonial Hindia Belanda, ketika pemerintah mulai menginisiasi banyak penelitian antropologi. Kemudian istilah-istilah baru pun bermunculan dalam catatan-catatan para antropolog Belanda. Kemunculan istilah-istilah baru itulah yang menjadi sumber centang perenang definisi santri kedepannya. Di sini kemudian muncul istilah-istilah baru seperti: ‘putihan’ dan ‘abangan’. Konsep santri kemudian dioposisikan dengan abangan. Hal ini telah dikaji secara luas oleh MC Ricklefs dalam The Birth of Abangan menurut temuan Ricklefs istilah-istilah tersebut dipopulerkan oleh para misionaris, di antaranya dari NZG (Masyarakat Misionaris Belanda). Kelompok ini memiliki jurnal MNZG (Mededeelingen van wege het Nederlansche Zendelinggenootschap).

Referensi terawal yang ditemukan MC Ricklefs adalah tahun 1855, dengan mendasarkan pada terjemahan Hoezoo dari risalah Kristen, yang berbunyi: “Dan jangan pikir bahwa hal ini hanya berlaku di antara orang-orang profan (jawa: tiyang abangan), tapi juga di antara teman-temanku yang religius (jawa : tiyang putihan)”. (Ricklefs, hlm . 38-40)

Tesis Ricklefs tentang para misionaris Hindia Belanda inilah yang membuat pembedaan tegas antara santri dan abangan ini diperkuat dengan ditemukannya laporan Hartoon pada tahun 1856 yang menyebutkan: “Jumlah santri (pelajar-pelajar keagamaan) adalah besar dan tumbuh secara konstan. Hal ini susah dimengerti, untuk kebebasan mereka dari tugas-tugas wajib, yang sangat membantu persebaran ide-ide Muhammad. Santri ini, dan semua yang mematuhi waktu-waktu ibadah, disebut orang-orang putih, orang suci. Untuk membedakan sekelompok besar orang yang tidak mengambil bagian dari hal ini, dan oleh karena itu dengan penuh ejekan disebut orang merah” (Ricklefs, hlm. 41).

Ketika Perang Jawa mulai berkecamuk, istilah santri semakin menguat menjadi sebuah gerakan sosial yang turut mengancam kekuasaan kolonial. Perang Jawa berlangsung antara tahun 1825 hingga 1830. perang ini adalah perlawanan terbesar masyarakat Jawa terhadap kolonial yang lekat dengan jargon-jargon Islam yaitu Perang Sabilollah. Perang ini dipimpin oleh Pangeran Dipanagara, di mana para pengikut sang pangeran kebanyakan berasal dari kalangan santri dari pesantren-pesantren yang tersebar di Jawa. Akibat dari perang ini, Peter Carey mencatat dalam bukunya bahwa lebih dari 2 juta penduduk Jawa terpapar kerusakan perang, ¼ lahan pertanian rusak, dan lebih dari 200.000 orang meninggal akibat perang yang berkecamuk (Carey, hlm. xxi).

Dalam perkembangannya, istilah santri sebagai sebuah Identitas Nasional mulai terbentuk pada awal abad ke-20, terutama ketika masa Revolusi Kemerdekaan. Para santri pesantren di berbagai penjuru Nusantara kala itu, bertekad akan membela negaranya walau harus mengorbankan nyawa, tidak kurang dari 70 ribu pejuang. Dan, tekad perjuangan tersebut telah menjadi seruan utama di banyak pesantren di berbagai daerah, seperti Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi bahkan hingga Nusa Tenggara Barat. Saat itu dua organisasi Islam pun berdiri di Indonesia (baca : Hindia Belanda) untuk pertama kalinya, Muhammadiyah pada 1912 dan Nahdhlatul Ulama (NU) pada 1926. Kehadiran dua organisasi Islam ini turut memicu semangat para santri untuk membela Negara yang sebentar lagi akan berdiri. Para kyai dari pelosok-pelosok desa siap menjadi ujung tombang revolusi. Identitas santri kemudian semakin kukuh merasuk dalam semangat kebangsaan di Indonesia, mengejawantah menjadi entitas yang meng-“ada” hingga hari ini. Santri dan pesantren tidak lagi menjadi istilah lokal, yang erat kaitannya dengan citra ndesa dan udik. Kini santri telah bertransformasi menjadi sebuah identitas nasional Bangsa Indonesia.

Harus diakui santri hari ini telah menjadi identitas nasional (semenjak Hari Santri disahkan). Oleh karena itu santri harus sadar bahwa pengakuan simbolik tersebut, haruslah dibarengi dengan bangkitnya tanggung jawab untuk terus mengembangkan kemampuan mereka sendiri dan keberdayaan mereka sendiri dalam mengelola pesantren dan masyarakat. Tanpa harus terjebak pada sikap anti pada negara, apalagi anti asing, dan anti kemajuan, kita (baca: santri) harus belajar dari sejarah: santri tidak diajarkan untuk bersikap demikian. Kini, santri memiliki tugas berat, yaitu berjuang mempertahankan keutuhan bangsa. Menjaga tanah tumpah darah yang kini dipijak sebagai ‘sajadah’ untuk mengabdi kepada Allah, di dalam lapangan masyarakat dan kebangsaan, tanpa harus ‘nyinyir’ dengan kelompok lain. Di sisi lain, tanpa harus rendah diri dalam berkiprah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.


Referensi :

G.J.W. Drewes, Perdebatan Walisongo Seputar Makrifatullah, _________, Surabaya, 2002

Kamadjaya, Serat Centhini, Balai pustaka, Yayasan Centhini Indonesia, Yogyakarta 1988

M.C. Ricklefs, The Birth of Abangan, Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, 2006

Nancy K. Floryda, Serat Suluk Jaman Ing Kraton Dalem Surakarta, ____________, 1984

Peter L. Carey, The Power of Prophecy :Prince Dipanagara and The End of an Old Order in Java, 1785-1855, KITLV Press, 2007