Hikmah
Kitab Rujukan dan Penjelasan Tentang Ilmu Hikmah
Kitab-kitab yang dijadikan rujukan dalam Amalan-amalan wirid hikmah di Pesantren, selain amalan tarekat dan Hizib-hizib dari guru tarekat mereka, adalah Kitab-kitab yang terkenal dipelajari, dibaca, dan diperjualbelikan sebagai kitab kuning di kalangan pesantren. Di antara kitab-kitab ini, pertama, yang disusun oleh Imam Ghozali berjudul Al-Aufaq, berisi berbagai khasiat wifiq untuk berbagai keperluan.
Kedua, Syaikh Ahmad bin Ali bin Yusuf al-Buni (w. 1225 M.) sangat terkenal di kalangan ahli hikmah dan menyusun dua kitab penting: Syamsul Ma`arif al-Kubro dan Manba’u Ushulil Hikmah. Kitab Syamsul Ma`arif di antaranya berisi silsilah keilmuan pengarang; berbicara huruf-huruf dan rahasianya; membahas susunan alam; membahas huruf dan keutamaan waktu-waktu; dan banyak lagi yang lain. Kitab al-Buni kedua berjudul Manba’u Ushulil Hikmah terdiri dari 4 jilid: berisi dasar-dasar dan dhowabith ilmu hikmah; marifat tentang pembuatan wifiq-wifiq (semacam rajah); syarah al-Burhatiyah; dan syarah Al-Jaljalutiyah al-Kubro, yang berisi penjelas khowash, fadhilah, dan kaifiyah membaca bait-bait dalam doa Al-Jaljalut al-Kubro.
Ketiga, Syaikh Muhammad Haqqi Nazili menyusun Khazinatul Asrar, juga banyak dijadikan rujukan ilmu hikmah, termasuk rujukan di dalam menjawab berapa pertanyaan di dalam Bahtsul Masail yang diadakan para ahli tarekat NU. Versi yang diterbitkan Al-Haramain, ada 194 masalah yang dibahas di kitab ini, dan di antara yang dibahas adalah keutaman dan khasiat Ayat Kursi, Basmalah, surat-surat Al-Qur’an, sholawat, Khatam Khawajikan, dan lain-lain.
Keempat, Ibnul Hajj at-Tilimsani al-Maghrabi menulis Syumusul Anwar yang berisi Rahasia-rahasia huruf dan khowash-nya; khowash Asmaul Husna, ayat-ayat Al-Qur’an; khowash niat, dan banyak lagi yang lain.
Kelima, Syaikh Ahmad ad-Dairabi juga menyusun Mujarrobat dairobi yang dikenal dengan kitabnya Fathu Mulkil Majid al-Mu’allaf li Naf`il Abid wa Qam`i likulli Jabbarin `Anid berisi banyak petunjuk dan khowash yang dikemukakan soal basmalah, surat Al-Fatihah, Ayat Kursi, Surah Yasin, Al-Mulk, Al-Waqiah, al-Qadar, al-Fil, dan beberapa surat lain; khowas asma ya Lathif, Lafdzul Jalalah, doa awal tahun-akhir tahun, doa penolak rihul ahmar, dan lain-lain.
Keenam, Sayyid Muhammad al-Maliki menulis Abwabul Faraj, termasuk kitab belakangan di antara kitab-kitab hikmah yang dibaca. Kitab ini menghimpun berbagai doa dan wirid tentang kelapangan hati dan menghapus berbagai kesulitan; ada yang dihubungkan untuk doa-doa memenuhi kebutuhan mendesak; menyembuhkan berbagai sakit dan upaya menolak berbagai kesulitan; ada yang diambil dari ayat-ayat Al-Qur’an, khowash istighfar, bab sholat istikhoroh, dan diakhiri dengan pembahasan sholawat kepada Nabi.
Beberapa kitab yang banyak dibaca dalam referensi ilmu hikmah di atas, belum lagi 2 kitab sholawat karangan Syaikh Yusuf bin Ismail an-Nabhani: Afdhalush Sholawat `ala Sayyidis Sadat dan Sa`adatud Darain. Meski mereka membaca kitab-kitab di atas, atau kitab-kitab lain yang memuat amalan hikmah, di dalam pengamalannya, para pengamal di kalangan pesantren tetap mengacu pada apa yang diberikan para pengijazah di kalangan guru-guru mereka: misalnya tentang kaifiyah dan jumlahnya. Kitab-kitab tersebut dibaca sebagai referensi dan pengaya dari berbagai amalan yang telah dimiliki.
Amalan ilmu-ilmu hikmah ini, adalah sesuatu yang dilakukan oleh guru-guru besar yang sangat dipandang di kalangan masyayikh sufi, termasuk masalah ilmu-ilmu huruf, wifiq-wifiq, dan lain-lainnya. Hal ini diakui oleh Syaikh Al-Buni di dalam kitab Syamsul Maarif, pada bagian akhir, menjelaskan sanad yang dimilikinya dalam pengambilan ilmu haqiqat dari Imam Ali melalui guru-guru seperti Imam Jafar ash-Shodiq, ilmu batin diambil dari Imam Ja’far Shodiq dari Qosim bin Muhammad dari Sayyiduna Abu Bakar dari Rosulullah. Sedangkan ilmu-ilmu rahasia huruf, disebut berasal dari berbagai masyayikh sufi, termasuk tentang ilmu-ilmu Wifiq, juga demikian.
Di dalam pengamalan ilmu-ilmu hikmah, beberapa penjelasan penting di antaranya diwasiatkan oleh para penyusun beberapa kitab tersebut, di antaranya begini:
Pesan Syaikh Ahmad Dairabi
Dalam pembukaan Mujarrobat Dairobi, disebutkan:
“Tatkala seorang zhalim merintangiku dan merintangi orang-orang terdekatku dengan mengambil tanah milik kami, maka aku putuskan untuk memohon dengan sungguh-sungguh dan merendahkan diri kepada Alloh, dengan berbagai doa dan istighotsah, yang akan dijelaskan dalam kitab ini. Aku juga mengamalkan Surat Yasin dan amalan lainnya sebagaimana yang akan dijelaskan pada bab yang membahas perihal amalan untuk menaruh rasa iba dalam diri seseorang, sehingga orang zhalim itu merasa iba kepada kami dan terjadilan perdamaian antara kami dan dia sebaik-baiknya.”
Penjelasan ini menagaskan bahwa para ahli hikmah yang sesungguhnya, adalah mereka yang tidak meninggalkan usaha (untuk melakukan perdamaian dan usaha-usaha lain yang perlu ketika menyangkut apa yang diperlukan), dengan tetap mengokohkan perjalanan mereka dengan berbagai wirid untuk istighotsah. Kedua-duanya dijalankan; dan pemilihan atas aurad tertentu itu sampai dimengerti pada asrar-nya, dan pengembalian semua kepada Alloh adalah kunci keselamtaan dalam melakoni ilmu-ilmu ini, seperti dijelaskan Syaikh Ahmad ad-Dairabi di atas, sebagai istighotsah, merendahkan diri kepada Alloh.
Pesan Syaikh Muhamamd Haqqi Nazili
Dalam Khazinatul Asrar, Syaikh Muhammad Haqqi Nazili pada bagian-bagian awal kitabnya menjelaskan demikian:
“Ketahuilah sesungguhnya ayat ini dan hadits-hadits itu penjelasan bagi asrar Al-Qur’an, menjadi peringatan, anjuran, dan pengingatan, pengajaran, bagi setiap orang untuk menekuni membaca Al-Qu’an, pengingat bagi orang-orang lupa, dan ancaman, pencelaan, bagi orang-orang yang menekuni (semata-mata wirid-wirid) selain dari Al-Qur’an. Berkata Imam Ad-Dainuri di kitab Kasyful Kunuz, lihatlah wahai akyas, dan berfikirlah wahai manusia, bahwa banyak aurad dan dzikir-dzikir yang mereka menyibukan dengannya di zaman ini, dari pengajaran masyayikh…”
Apa yang dikemukakan Syaikh Haqqi Nazili ini diperhalus lagi dengan sentuhan: “Dikatakan: “Seorang murid tidak akan menjadi murid sampai ia menemukan di dalam Al-Qur’an apa yang dicari, dan mengerti darinya kekurangan-kekuarangan dari adanya kelembihan-kelebihan, dan merasa cukup dengan Kalamul Maula (Al-Qur’an) daripada Kalamul Abid (perkataan syaikh misalnya)” (hlm. 3).
Meski begitu, maksudnya bukan berarti wirid-wirid dari syaikh ditinggal sama sekali, tetapi difahami jangan sampai meninggalkan wirid Al-Qur’an dan segala yang terkandung di dalamnya, semisal wirid tahlil, asmaul husna, ayat-ayat tertentu, istighfar, tasbih, tahmid, hauqalah, sholawat, dan rangkaian wirid yang diambil dari ayat-ayat Al-Qur’an dan sunnah Nabi. Di Jawa dan di pesantren, mantra-mantra Jawa dan hizib-hizib dilakukan, dengan tidak meninggalkan hal-hal fardhu, membaca Al-Qur’an, dan sejenisnya.
Pesan Syaikh Muhammad Al-Buni
Dalam kitab Syamsul Maarif wa Lathoiful Ma`arif Syaikh Al-Buni di bagian awal-awal, mensyaratkan wudhu untuk berinteraksi dengan kitabnya:
“Maka haram bagi orang yang meletakkan kitab ini di tangannya, atau memberikannya kepada orang yang tidak ahlinya (tidak layak diberi soal ilmu hikmah), atau menceritakannya bukan pada tempatnya (di dalam forum dan lingkaran orang), maka sesungguhnya yang melakukan itu semoga Alloh mengharamkan manfaat-manfaatnya, mencegah faedah-faedahnya, barokah-barokahnya, dan tidak memegangnya kecuali engkau dalam keadaan suci…” (jilid I: 2)
Penjelasan ini menegaskan bahwa untuk berintraksi dengan kitab ini saja harus dimulai kesucian, dan karenanya dimulai badan fisiknya bersuci, dan batinnya hanya diorientasikan untuk mencari ridho Alloh. Maka lebih lagi, dalam melakoni ilmu-ilmu hikmah yang diwariskan para wali di zaman dulu, di kalangan kyai-kyai pesantren, disadari tidak boleh didasarkan untuk hal-hal lain kecuali memohon kepada Alloh melalui amalan-amalan itu, adalah suatu pagar penting, agar tidak terpeleset di tengah jalan.
Ijazahan Amalan dari Guru yang Masih Hidup
Meskipun dalam tradisi sufi ada jenis guru yang membibing murid ketika sudah wafat, melalui metode Uwaisyi atau kelompok Uwaisy, sebagaimana disebut Syaikh Abdurrahman jami dala Nafahat al-Uns min Hadhratil Quds, tetapi di kalangan pesantren yang menghidupi Islam Jawa, amalan wirid banyak berhubungan dengan ijazahan dari seorang guru yang masih hidup, dan berhubungan dengan tradisi berdzikir agar semakin dekat dengan Alloh, tanpa harus menafikan sebagian di antara mereka telah mencapai penglihatan dan pertemuan dengan mereka yang sudah mati, termasuk dengan sebagian guru yang dikenal dengan Khidr.
Berkembanglah kemudian sebuah semboyan yang penulis temukan di kalangan mereka ini: “Barang siapa yang tidak memiliki guru, gurunya adalah syetan dan jin”. Semboyan ini, ditanamkan kepada murid dan masyarakat pesantren. Semboyan ini, ternyata ada juga dalam kitab Khozantul Asrar, yang ditulis oleh Syaikh Haqqi Nazili; ada juga dalam kitab Risalah Alussunnah Waljamaah yang dikarang oleh Syaikh Hasyim Asyari; dan dalam kitab Syaikh Abdul Qadir al-Jilani.
Murid berdzikir harus memiliki guru ini, membedakan ijazahan kalangan pesantren dengan sebagian mereka yang tidak dari kalangan pesantren-pesantren Islam Jawa dalam menjalankan wirid. Di kalangan mereka ini, wirid-wirid tertentu dijalankan sebagai hasil dari membaca dari buku dan kitab-kitab hadits, lalu menemukan amalan wirid tertulis di situ, lalu diamalkan untuk wirid harian dan personal, dengan keketatan berdasarkan kitab-kitab hadits tertentu. Bagi kalangan Islam Jawa, kecuali untuk wirid bakda maktubah (setelah sholat lima waktu), sebelum sebuah wirid yang ditemukan dari kitab hadits misalnya, atau dari kitab-kitab Fadha’ilul a’mal itu diujicoba dan telah dipraktikkan oleh guru-gurunya, belum secara langsung dimalkan sebagai wirid.
Prinsip kehati-hatian itu diterapkan berkaitan dengan semboyan yang berkembang di atas: “Barang siapa yang tidak memiliki guru (yang masih hidup), gurunya adalah syetan dan jin.” Semboyan ini ditanamkan karena telah dipraktikkan dan diujicobakan sebagai pengalaman dalam menjalankan tirakat (laku prihatin lewat metode dan cara-cara tertentu, dengan wirid-wirid tertentu), sampai-sampai Ibnu Arabi al-Hatimi dalam kitan Al-Hikam-nya, mengatakan begini: “man lam ya’khud ath-thariq `anirrijal, fahuwa yantaqilu min muhalin ila muhalin (Ibnu Arabi, “al-Hikam al-Ilahiyah”, dalam Syarhu Hikam asy-Syaikh al-Akbar, hlm. 153).
Dalam konteks itu, amalan wirid adalah bagian dari ath-thariq, jalan menuju Alloh. Dengan bimbingan guru yang hidup, sang murid yang telah memperoleh ijazah dapat terus berkonsultasi dan dibimbing untuk mencapai tahap tertentu. Guru-guru di alam barzakh juga ikut mendoakan sang murid, dan dengan demikian barokah guru yang telah dianggap melakukan tirakat dan menjalani wirid secara mudawamah itu, bisa memberikan manfaat batin dan peningkatan spiritual. Sampai akhirnya seorang murid mampu berjalan sendiri dan mudawamah dalam berdzikir, termasuk dalam ukuran dosis, jumlah dari bacaan-bacaan wirid itu, sang guru pun masih tetap dihormati sampai ia meninggal. Setelah meninggal pun tetap dikirimi al-Fatihah.
Dikatakan min muhalin ila muhalin, adalah berdasarkan pengalaman-pengalaman dari berbagai praktik yang telah ada. Seorang guru bercerita, bahwa wirid apa pun kalau dilakukan secara ajeg dengan jumlah tertentu, akan memberikan warid. Ada yang puas misalnya, hanya memperoleh mimpi-mimpi yang baik, tetapi ada juga mereka yang tidak hanya berhenti di situ. Warid adalah sesuatu yang datang ketika orang sudah menjalankan wirid secara ajeg dalam jangka waktu tertentu. Imam al-Ghazali dalam kitab Minhajul Abidin mengemukakan, kadang-kadang muncul bisikan-bisikan dari suara ghaib, dari berbagai jenis suara ghaib. Menurut cerita seorang guru tadi, kadang-kadang suara itu datang terus menerus dan energinya kuat, sampai taraf mengganggu.
Seorang guru menceritakan bahwa, betapa luas dan dalamnya samudra alam spiritual di dunia batin. Kadang-kadang seorang yang telah mudawamah wirid, baik yang ijazahan atau langsung mengamalkan dari buku sekalipun, pada taraf tertentu ada yang sampai mendapatkan warid, lalu terbuka olehnya sebagian kecil alam ghaib karena rahmat Alloh, baik dengan jalan melihat lewat bilqalbi, bisikan suara dalam hati yang keras dan hebat, atau memperoleh mimpi-mimpi tertentu.
Apalagi ketika hati seseorang telah dihidupkan oleh Alloh lewat mujahadah dzikir dan amalan wirid, akan banyak gangguan dari jenis alam-alam ghaib, sehingga orang tersebut harus bisa melawan dan menutup jalan-jalan suara itu; atau membedakan mana yang benar-benar dan mana yang tidak. Belum lagi kalau ia dihinggapi rasa ketakutan dan menjadi kecil berhadapan dengan alam raya semesta yang telah terbuka dalam hatinya, akan menjadikan orang-orang tertentu akan memerlukan seorang guru yang hidup untuk membimbingnya.
Bagi mereka yang tidak sampai dibukakan pintu hatinya menjadi hidup, dan juga tidak memiliki guru yang hidup tetapi mempraktikkan amalan wirid yang tidak ijazahan, akan mudah bosan dan pindah dari satu wirid ke wirid lain, karena memandang wirid yang dilakukannya tidak membuahkan hasil apa-apa, kecuali menemukan keraguan dan keraguan, dari keraguan ke keraguan lain, atau yantaqilu ila wirid ke wirid lain, yantaqilu ila muhalin ila muhalin yang lain. Ketika menghadapi situasi-situasi sperti itu, konsultasi dengan ahlinya, aka lebih menyelamatkan, yaitu guru yang masih hidup tadi.
Beberapa resep untuk menstabilkan keterbukaan terhadap dimensi dunia lain itu, masing-masing guru memiliki resep yang telah diujicoba oleh guru-gurunya. Ada yang mengawali amalan wirid-wirid lakunya dengan membaca 41 x surat al-Ikhlas, 41 x surat al-Falaq, 41 x surat an-Nas, dan 41 x ayat Kursi. Ada juga yang menggunakan surat al-Fatihah 100 x, dan ada juga yang menggunakan sholawat 100 atau 1000 x, mendawamkan lipatan jumlah istighfar, dan berbagai resep lain, dengan tetap munajat kepada Alloh. Dengan sendirinya, dapat dibayangkan apabila tidak memiliki guru yang masih hidup itu, bukan hanya yantaqilu min min muhalin ila muhalin, tetapi bisa dibimbing oleh jin; dan bila tidak demikian akan mengalami kebosanan berpindah-pindah amalan, dan sampai pada keadaan yang terparah, melayani jin; dan seterusnya.
Akan tetapi suatu yang jelas perlu disadari pula, bahwa ada juga mereka yang kadang mencoba dan merasa tidak memiliki efek buruk apa-apa dalam menjalankan sesuatu amalan wirid yang didapat dari buku, atau kitab. Hal seperti ini, menurut sebagian pengamal, dapat difahami dari dua hal: kalau hanya diamalkan dalam rentang waktu yang pendek, dan tidak diamalkan lagi tentu tidak akan berefek, saroir-nya belum kelihatan; tetapi kalau diamalkan dalam jumlah berlipatdalam jangka waktu yang panjang, tentu akan mendatangkan saroir amalan. Manakala dia dapat menguasai saroir dan efek-efeknya dari amalan, memang tidak masalah, tetapi menurut sebagian pengamal, ketika sudah seperti ini, mereka akan memerlukan guru di tengah jalan karena saror yang datang “sering tidak dapat dikuasi”, kecuali amalan itu dilepas dan tidak diamalkan lagi.
Makna Amalan Wirid Hikmah-Tarekat Bagi Para Pengamal di Pesantren Jawa
Mereka yang mengamalkan ilmu-ilmu hikmah dan wirid secara tekun, memberikan penjelasan-penjelasan, paling tidak dalam tiga hal penting: makna amalan-amalan itu sendiri bagi pengamal; hubungan amalan-amalan itu dengan penghayatan tauhid; dan beberapa peringatan sebagian untuk tidak hanya mengamalkan banyak hizib tanpa menekuni istighfar, sholawat, membaca Al-Qur’an yang tekun atau berbaiat tarekat.
Benteng Pengandel Ati dan Perahu
Diakui bahwa setiap pesantren, memiliki ciri-ciri tertentu dari sudut keilmuan yang dikembangkan, sekaligus berbeda dalam cara merespon dunia baru: berbeda-beda antara satu pesantren dengan pesantren lain. Meski begitu ada satu hal yang penting dilihat, bahwa pesantren di kalangan Islam Jawa bisa tetap eksis, bertahan, dan mengembangkan diri di tengah sistem sosial yang tidak sederhana dan terus berubah, adalah juga berhubungan dengan laku tirakat, dan laku rohani yang dimiliki oleh kyai, kolektif santri-santri pesantren, dan masyarakat yang berhubungan dengan pesantren, seperti telah disebutkan di muka.
Para kyai yang kyai, untuk bisa menjadi kyai di pesantren di kalangan muslim Jawa, berdasarkan pengamlaman bergaul dengan mereka, bukan hanya karena: sang kyai telah mampu mengaji kitab-kitab kuning tertentu; atau membangun gedung pesantren; atau mampu menata manajemen pesantren yang lebih baik; atau mampu merekrut santri yang berdatangan dari berbagai daerah. Lebih dari itu, selalu dan sering, seorang kyai pesantren dan masyarakat pesantren yang diasuhnya mengembangkan tradisi amalan wirid-ilmu hikmah dan tarekat yang dimiliki oleh pengasuhnya, kyainya, yang diperoleh dari guru-gurunya.
Aspek ini menggambarkan satu pandangan bahwa mengasuh anak didik dan mengembangkan pesantren, adalah bagian dari dimensi luarnya dari laku tirakat yang dijalani seorang kyai (disamping berkiprah di masyarakat dengan berbagai variasinya), di dalam mengarungi samudra kehidupan, dalam mempertahankan keilmuan pesantren dan cita-cita ideal masyarakat muslim yang diupayakan di tengah amsyarakat Jawa, dimana mereka hidup. Sementara tirakat batinnya adalah melakukan mujahadah terus menerus agar bersambung dengan Alloh dan Kanjeng Nabi Muhammad lewat amalan wirid-ilmu hikmah dan tarekat, yaitu praktik dzikir terus menerus yang dilanggengkan, disertai dengan cara, waktu, dan dosis jumlah yang harus dilajalankan; dan pembersihan jiwa terus menerus melalui akhlak-akhlak baik.
Oleh karena itu, meskipun dunia luarnya mengalami perubahan, di kalangan berbagai pesantren juga mengalami perubahan sendiri secara luas, atau dalam dimensi di luar mereka tampak berubah, sejauh mereka masih dan menjadi penyangga tradisi pesantren yang menginduk pada keyakinan-keyakinan sunni Asyari, dan menjadi penerus tradisi para walisongo; bukan mengganti baju mereka dengan wahhabi salafi dan berbagai variasinya, maka pesantren-pesantren dan kyai-kyai pesantren akan tetap mempertahankan amalan-amalan ilmu hikmah-tarekat. Ilmu-ilmu ini disertai dengan berbagai riyadlahnya adalah benteng pengandel ati, sekaligus perahu mereka dalam menjalani samudra kehidupan, agar tetap selamat dalam perjalanan ke akhirat, dengan tidak melupakan amal-amal di dunia.
Disebut benteng pengandel ati, menurut sebagian mereka yang saya temui, karena amalan-amalan itu, menjadi benteng yang dapat menjadi wasilah hatinya dapat bertahan menjalani hidup yang baik dari pasukan-pasukan nafsu, berupa hawa yang berwarna-warni untuk mengajak ketidaktaatan, dalam segala maknanya: ada hawa dendam, iri, mencintai dunia tanpa ingat akhirat, kesombongan, dan kekotoroan-kekotoran lainnya. Di dalam ilmu-ilmu hikmah, mereka ini adalah pasukan-pasukan digerakkan oleh setan yang selalau ingin menjerumuskan.
Sedangkan disebut kendaraan bersenjata, karena dengan amalan-amalan itu, sang pengamal di kalangan pesantren menaiki kendaraan-kendaraan amalan dalam mengarungi kehidupan, dan menjadi senjata batin ketika pasukan-pasukan hawa datang menyerang mempengaruhi nafsu, sehingga nafsu bergejolak tidak bisa dikontrol. Dengan amalan-amalan ilmu hikmah dan tarekat, pasukan hawa itu dikalahkan melalu peperangan untuk menenangkan control atas nafsu, sehingga nafsu tidak dikuasai hawa. Ini adalah hikmah yang didapat setelah para pengamal mencapai tingkat pengetahuan atas saroir amalan-amalan dan saroir dalam gejolak nafsu, dan mengetahui adanya saroir pasukan-pasukan hawa yang dilihatnya di dalam dimensi batin.
Amalan sebagai Jalan Bertarikat Para Pejalan
Seorang guru pesantren mengatakan kepada saya, yang redaksinya kurang lebih begini: “Di dunia ini, tidak hanya ada dimensi lahir, tetapi juga batin. Mengarungi samudra hidup ini, masing-masing orang memiliki maqam atau kedudukan, dan kedudukan itu berkaitan dengan bintang yang diraihnya. Kedudukan seorang pemimpin dan kyai berada dalam area perang bintang. Jadi harus kuat tirakat. ” Belum lagi kalau dihubungkan dengan dimensi di luar pesantren, yang juga memiliki khazanah spiritual dari jenis lain. Bintang mana yang akan bisa dipakai untuk mengarungi samudra hidup ini, selalu berkaitan dengan kekuatan pengetahuan yang bisa diraih dan dianugrahkan Alloh: ada yang bintangnya itu dihubungkan dengan ilmu-ilmu lahir dalam dimensi pengetahuan lahiriah, tetapi juga ada yang menghubungkannya dengan dimensi batin yang menggabungkan keduanya, dengan jenis-jenis wirid tertentu, yang di masing-masing pesantren bisa berbeda-beda.
Kecenderungan di kalangan pesantren di kalangan muslim Jawa, menggabungkan dua hal itu dipandang sebagai jalan terbaik: ilmu-ilmu lahir dan ilmu-ilmu batin. Dengan jalan lahir, dia akan bisa memiliki pengetahuan lahir untuk melihat, menganalisa, dan berinteraksi dalam tatatanan sistem sosial lahir di tengah umat Islam, dengan adanya patokan-patokan tertentu. Dengan jalan ilmu batin, dia akan memiliki kemampuan untuk memperkuat energi dalam diri di tengah kehidupan lahir yang sering menghempaskan manusia ke jalan yang tidak benar. Amalan-amalan wirid itu dijadikan salah satu kekuatan batin memperbagus akhlak budi luhur dengan menghancurkan kekuatan-kekuatan hawa nafsu yang bersarang dalam diri manusia, diganti dengan akhlak hati yang baik. Sebab diyakini, sikap seseorang dalam lahir memiliki hubungan yang kuat dengan akhlak batin: tentang keikhlasan, sabar, syukur, dan sejenisnya.
Dalam hal demikian, amalan wirid yang ditekuni itu berfungsi sebagai thariqat. Amalan wirid itu diibaratkan seperti jalan untuk menyelam menemukan hakikat ke dalam samudra untuk menggali dan memperoleh mutiara hidup. Menjalani amalan lahir dalam dimensi Islam dipandang sebagai syariat, yang dalam praktinya menurut para guru di kalangan pesantren Islam Jawa, masih harus dibarengi dengan praktik bertarekat, atau memiliki amalan wirid yang akan menghantarkannya menyelami hakikat hidup manusia itu, yaitu untuk mencapai, dalam bahasa mereka disebut ma’rifat dan ilmu hakikat.
Oleh Imam al-Qusyairi di dalam ar-Risalah al-Qusyairiyah, pencapaian itu didefinisikan: “Sifat orang-orang yang mengenal Alloh melalui Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya, kemudian ia membenarkan-Nya dalam melaksanakan ajaran-ajaran-Nya dalam perbuatannya. Ia membersihkan dirinya dari akhlak yang rendah dan dosa-dosa, sehingga ia memperoleh sambutan Alloh yang indah.” Tanda seorang telah ma’rifat, menurut Imam al-Qusyairi dengan mengutip sebagian guru sufi, adalah dikarunia haibah dari Alloh: ada yang berbentuk ilmu-ilmu tertentu, istiqamah, kedermawanan, wibawa, dan lain-lain.
Sebagian kyai yang pernah saya temui, meyakini jalan yang demikian adalah tugas penting menjadi manusia, sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur’an: “wama khlaqatul jinna wal insa illa liya’budun” (QS. Adz-Dzariyat ayat 56). Sebab, menurut Ibnu Abbas yang dikutip oleh Imam al-Qusyairi, makna illa liyabudun itu, adalah illa liya’rifun. Untuk sampai pada pengetahuan dan ada di maqam yang demikian, seseorang harus memiliki perahu tarekat/amalan wirid yang diijazahkan dari seorang guru, agar bisa menyelam dalam samudra hakikat hidup di dunia ini dengan selamat.
Khazanah batin, ijazahan amalan wirid inilah yang mengairi pesantren dan kyai-kyai di kalangan Islam Jawa. Terjadinya pergeseran dan perubahan sosial, bukan bergeser dalam fondasi pengetahuannya, meskipun satu atau dua kasus mungkin saja menunjukkan ke arah itu. Tetapi pergeseran terjadi pada dimensi luarnya saja, bukan fondasi batinnya. Praktik ijazahan dan amalan-amalan wirid pun tetap dijalankan, dari guru ke murid, dan begitu seterusnya.
Penyempurnaan Tauhid
Dalam pengijazahan amalan wirid ataupun tarekat di pesantren, seringkali ditekankan pentingnya tauhid dalam setiap amalan. Jangan sampai amalan menjadikan si murid lupa kepada Sang Pemberi rizki sesungguhnya dan sejati, atau Sang Penyembuh penyakit, Sang Pemberi kekuatan sesungguhnya, tidak boleh mempercayai amalan-amalan itulah yang mendatangkan ridzki atau yang menyembuhkan penyakit; apalagi menghamba kepada jin-setan. Ujian ijazahan amalan adalah ujian masalah ilmu tauhid, lebih khusus lagi kalau amalan itu berkaitan dengan amalan berdimensi rizki, ingin hidupnya bertambah baik, dan mampu mengobati penyakit-penyakit tertentu, atau amalan benteng diri, dan sejenisnya.
Para guru dan murid yang telah melakukan riyadhah tertentu, berdasarkan amalan tertentu, selalu diuji oleh ahwal dan keadaan untuk menyandarkan semua karunia yang telah ada dan diberikan Alloh, setelah melakukan amalan tertentu, adalah dikembalikan kepada Alloh; dan antara mereka yang mempercayai amalan-amalan itu yang dapat menyampaikan, sehingga terdengar kalimat-kalimatnya “amalan iki ampuh, amalan iki dari guru yang ampuh,” dan lain-lain. Di pesantren, kadang-kadang orang orang luar juga salah mengerti, perkataan-perkataan, semisal perkataan “amalan iki ampuh, atau amalan iki dari guru yang ampuh”, pada dasarnya difahami majazi. Sama dengan orang mengatakan, manusia punya kekuatan, untuk mengangkat benda-benda berat, yang kekuatan sejati hanyalah dari Alloh; dan perkataan lahir itu majazi.
Demikian pula, penyataan semacam “ilmu ini ampuh” adalah majazi, sedangkan hakikinya, adalah Allohlah yang memberi kekuatan itu. Akan tetapi juga tidak menutup kemungkinan ada yang terjebak mempercayai amalan-amalan itu sebagai memang ampuh, meskipun dia sendiri sering berdoa kepada Alloh. Hal seperti ini, adalah tahapan kesadaran tauhid, yang bertingkat-tingkat di kalangan orang beriman, karena perbedaan anugrah tajalli yang berbeda-beda dari Alloh, karena pencapaian hakikat-hakikat yang dirasakan berbeda-beda. Oleh karena itu, seorang pengamal wirid senantiasa disadari harus terus mencari ilmu, ta’lim, jangan sampai hanya berhenti pada amalan, tetapi mengilmui amalan-amalan itu juga penting.
Sama seperti para pejalan tarekat didalam tarekat, para pengambil amalan-amalan hikmah, juga adalah pejalan, yang meskipun telah berguru kepada kiai-kiai hebat, mereka adalah pejalan yang akan diuji dari detik ke detik, dari hijab ke hijab lain, dari hijab-hijab kegelapan ke hijab nur; dan ahwal ke kecanggihan untuk mengolah; dan begitu seterusnya. Penekunan mereka tentang pengobatan, jadzbur rizki, dan sejenisnya, tidak terlepas dari sejenis ujian bagi para penempuh di jalan Alloh. Kesadaran antara yang wasilah sebagai yang majazi dan aspek hakikinya sebagai haqiqat, tidak sama antara seorang murid satu dengan murid yang lain, sehingga aspek majazi dan haqiqi dari keampuhan amalan, juga dapat mempengaruhi kesadaran tentang Alloh, atau menunjukkan tingkatn-tentang seorang pengamalan tentang tauhidnya kepada Alloh.
Para guru pesantren yang konsen pada pencapaian kesadaran tauhid dalam amalan wirid dan tarekat, sangat menyadari ini, sehingga ilmu yang perlu dimiliki, oleh mereka ini, bukan semata riyadhah puasa, konsisten wirid, tetapi adalah ilmu kaum tarekat, yaitu ilmu laku hati, dalam tangga-tangga taubat, sabar, ikhlas, qona’ah, tawakkal, faqir, ridha, dan sejenis ini. Karena ahli amalan hikmah ini, telah berinteraksi dengan orang-orang, baik dalam pengobatan, kelancaran redzki, dan sejenisnya, tidak semata-mata tajrid, maka godaan kepada penyempurnaan tauhid, dan godaan untuk hanya fokus mengikis hijab sedikit demi sedikit, semakin besar. Dari riyadhah tajrid beralih berinteraksi dengan masyarakat, apalagi ada dimensi tukar menukar ekonomi, penyandaran diri kepada Alloh itu, memperoleh tantangn yang tidak sederhana.
Akan tetapi sebagian guru amalan yang saya temui, mengemukakan bahwa seorang ahli yang memiliki laku tarekat, tidak boleh tertipu oleh semata-mata penampakan lahir, karena amal-amal tergantung niatnya; meskipun tidak boleh mengabaikan amal-amal lahir. Kedua-duanya perlu seimbang. Ketika menjalani ilmu hikmah dan berhubungan dengan orang lain, yang penting niatnya, dan dalam praktiknya tidak bertentangan dengan kepatutan syariat lahir. Dengan jalan dikembalikan kepada niat yang baik ini, dan tawajjuhnya sebelum dzikir amalan untuk memperkokoh niat, hal-hal yang mungkin membelok-belokkan, dapat kembali disaksikan oleh nafs dan hawanya, juga ruh dan aqalnya, sebagai niat-niat yang lurus, atau sebaliknya, sebagai niat-niat yang berbelok. Penyempurnaan tauhid melalui ijazah-ijazah amalan, pada akhirnya juga akan menghantarkan seseorang pada keharusan untuk menjalani laku tarikat dalam hidup batinnya dan membenarkan niatnya.
Guru yang seperti ini, ketika didatangi murid, dan mengungkapkan persoalan kehidupannya dan meminta bantuan doa kepada sang pemberi ijazah, biasanya memberikan dua hal: Pertama, diberi nasehat-nasehat agar sabar dan sregep menjalani perintah-perintah fardhunya, memngqadhai yang sudah ditinggal, lalu diberi tulisan yang sudah di-asma’i, atau air yang sudah di-asma’i, atau media lain yang sudah di-asma’i. Kalau dalam bentuk tulisan, tulisan tersebut bisa diletakkan di depan rumah bagian pintu depan, atau di pintu belakang, atau disiramkan setelah digerus dengan air. Setelah itu orang yang datang itu diberi amalan dzikir tertentu, menurut jenis wirid dari guru yang memberikan. Kedua, diberi nasehat-nasehat tentang masalahnya, lalu diberi amalan dzikir untuk dijadikan benteng hidupnya, agar tidak putus asa dan selalu berdoa kepada Alloh, tanpa diberi air atau media.
Guru amalan yang memberikan nasehat, biasanya memberikan nasehat penting, bahwa setiap masalah yang datang, baik berupa sakit, kepailitan, dan sejenisnya, pada dasarnya adalah ujian yang diberikan Alloh kepada seorang yang sangat disayanginya. Ketika orang masih diuji, berarti dia masih disayangi Alloh. Ujian itu memiliki maksud agar yang tertimpa kepayahan (atau balaul mihnah, dalam bahasa Syaikh Namjmudidn Kubro), mampu mengambil hikmah. Di antara hikmahnya, dari yang sebelumnya tidak bersilaturahmi dengan guru, menjadi bersilaturahmi; dari yang sebelumnya belum berdzikir, jadi berdzikir; dan begitu seterusnya. Ujian itu untuk menguatkan diri seseorang yang diuji agar tahan uji dan tahan banting mengarungi kehidupan. Dzikir yang dilakukan adalah untuk memperkuat diri, hatinya tidak kosong, tetapi diisi dengan dzikir dan amalan-amalan lain, dengan selalu munajat kepada Alloh.
Tentang intensitas pengambilan ijazah, pada saat-saat situasi sosial genting, bisa karena ada ketegangan sosial, atau karena sesuatu dalam kekacauan sosial yang memungkinkan terjadi gesekan sosial, guru-guru pengijazah biasanya lebih banyak didatangi oleh para peminta ijazah. Contoh yang saya saksikan soal ini, adalah ketika terjadi pembantaian guru ngaji di Banyuwangi, yang berkedok pembantaian dukun santet, dimana-mana terjada ijazahan amalan tertentu atau peng-asma’-an. Jumlah peminta ijazah lebih banyak dari hari-hari biasanya. Setelah situasi sosial mereda dan normal, di antara para pengamal ijazah ini ada yang bertumbangan dan meninggalkannya, tetapi juga ada yang meneruskannnya.
Pengambilan ijazah murid dari guru amalan, akan memberi manfaat kepada pengambil ijazah, yang amalannya diteruskan oleh murid-muridnya kelak. Selain itu, amalan yang dijalaninya, akan menambah bacaan jumlah Fatihah yang dikirim murid kepada guru, karena bertambah jumlah murid yang mengambil ijazah, yaitu pembacaan surat Fatihah dalam kiriman wasilah-wasilah. Dalam keadaan seperti itu, penetapan dan konsistensi dzikir amalan, pada akhirnya disadari para pengamal sebagai anugrah dari Alloh, karena banyak pengamal yang sama jenis amalan dan gurunya, ada yang berhenti; dan juga tergantung niat-niat yang dimasukkan dalam amalan-amalan itu.
Pesantren yang menjadi basis dari guru-guru pemberi ijazah amalan yang disebut ampuh, banyak tersebar di pesantren di pesantren-pesantren kecil dan pesantren-pesantren besar. Selain itu ada pesantren-pensatren yang mengkhususkan belajar ilmu-ilmu hikmah dan tirakatan. Akan tetapi perkembangan pesantren yang sperti ini, seiring dengan banyak pesantren yang mengadopsi sistem sekolahan, muridnya semakin sedikit, dan tidak popular. Hanya orang-orang tertentu yang mengerti dan amau menganggap ilmu-ilmu semacam amalan tertentu dalam ilmu hikmah, itu menjadi penting, dia akan memburunya. Sedangkan bagi murid-murid yang pada umumnya hanya ta’lim, pesantren yang sudah banyak mengadopsi ilmu sekolah, dan semakin termodernisasi, minat terhadap ilmu-ilmu amalan ini semakin kecil, kecuali wirid-wirid standar
Di luar pesantren, juga banyak guru-guru yang mengajarkan dan memiliki ilmu-ilmu hikmah seperti di atas, meskipun kadang-kadang di tengah kampung, hanya menjadi guru TPQ, ngimami sholat di masjid, dan sejenisnya. Mereka ini juga kadang diminta bantuan untuk menghadapi kesulitan gangguan jin-santet, kelancaran kelahiran, dan memimpin ritual kampung, tetapi juga mampu melihat dunia barzakh, membuka menutup, dan hal-hal yang berkaitan dengan dunia seperti itu.
Dan, menjadi jelas, keberadaan para guru amalan ilmu-ilmu hikmah, dan murid-murid yang mengambil amalannya adalah salah satu aspek penting dari penyangga Islam Jawa tetap lestari, meskipun di sana sini terjadi kehidupan modern di kalangan masyarakat muslim Jawa. Semua ini berbarengan dengan semakin bergesernya makna-makna filosofi pada arsitektur, makna-makna filosofi pada busana dan kecantikan, terkomersialiasinya resep-resep herbal, mudahnya jangkauan komunikasi individual di kalangan masyarakat karena ada jaringan nirkabel, dan ekses-ekses lain yang berpengaruh terhadap tatanan Islam Jawa sendiri. Para guru amalan ilmu-ilmu nhikmah dan murid-muridnya masih saja banyak didatangi orang dari kalangan dekat dan jauh, bahkan seringkali dari mereka yang sudah bergelimang dengan modernitas dan kaum sekolahan.
Walhasil dan Peringatan
Sebagian pengamal ilmu-ilmu hikmah, karena sudah berpengalaman melihat saroir dari amalan-amalan itu, menceritakan kepada saya agar tidak fokus kepada hizib-hizib tanpa menekuni wirid-wirid yang berisi istighfar, sholawat, membaca Al-Qur’an, atau wirid yang diambil dari ayat Al-Qur’an, dan baiat tarekat. Seorang mubtadi, pemula di jalan ilmu-ilmu seperti ini ini, menceritakan pengalamannya, ketika mengamalkan wirid-wirid seperti ini, berefek pada kesombongan-kesombongan halus yang menggangu dalam berinteraksi dengan orang; dan kontrol terhadap emosi sulit dilakukan; dan menurutnya, berefek pada malas belajar, sehingga ditinggalkan dan berganti kepada ta’lim.
Sebagian lain, yang cukup lama berkecimpung di dalam ilmu seperti ini, dengan fokus pada hizib tertentu, terutama pada hizib yang dikenal keras, berefeka pada hadirnya pasukan-pasukan ghaib kadang berseliweran di sekitar rumah abagi yang diperlihatkan, dan membuat orang-orang lain, yang pernah melihat menjadi takut. Selain itu, tidak jarang ketika sang pengamal yang sudahpada tahap memperoleh sedikit khowash-nya, ketika agak marah atau membentak, berefek pada sakit atau tidak baik kepada orang yang dibentak. Karena sering seperti ini, sang pengamal yang menceritakan kepada saya ini, kemudian meninggalkan wirid hizib sejenis ini, dan lebih menekuni kepada wirid yang lain, yang tidak berefek seperti itu, seperti ke sholawat, istighfar, dan sejenisnya.
Meski begitu, sebagian pengamal yang bercerita kepada saya, dengan amalan wirid yang sama dari jenis kedua tadi, dalam jangka waktu tertentu, merasa memperoleh manfaat dan ketika berdoa banyak dikabulkan oleh Alloh. Karena efek yang baik ini, kemudian dia mudawamah dan meneruskan, amalan wirid-hizib yang diamlkan oleh orang lain dengan jenis amalan hizib sama, berefek tidak baik. Dengan demikian, pengamalan wirid tertentu di dalam ilmu-ilmu hikmah, harus sampai pada tingkat mengerti saroir dari amalan-amalan wiridnya itu, sampai dia memperoleh kesimpulan; dan mampu menguasai efek-efek dari wirid yang dilakukan, kapan dia tetap melanjutkan dan kapan dia bisa meninggalkan wirid, sang pengamallah yang harus bisa mengolah, meskipun sama-sama semua memperoleh dari seorang guru pemberi ijazah yang sama sekalipun.
Dari pengalaman bertemu dengan para pengamal wirid ilmu-ilmu hikmah, kebanyakan mereka mengakui bahwa amalan-amalan yang dapat menjadi wasilah, menjadi tambah baik hidupnya, tambah barokah, adalah amalan-amalan yang berhubungan dengan pembacaan wirid-wirid dari ayat Al-Qur’an, istighfar, sholawat, tasbih, baiat tarekat, dan sejenisnya. Kalaupun menggunakan amalan hizib, diteruskan dengan mengambil tarekatnya sekalian; atau diimbangi dengan lipatan jumlah sholawat dan istighfar yang banyak. Setelah itu, bagaimana menjalani hidup, dengan tetap berkiprah di masyarakat, tetapi juga tetap melakukan istighotsah melalui wirid-wirid dan amalan-amalan; mengganti keluhan-keluhan kepada manusia, dijadikan munajat-munajat hanya kepada Alloh, dan tetap memiliki harapan di tengah berbagai goncangan hidup yang pernah ia hadapi.
Mereka yang telah melewati ini, menyadari lebih baik mengumpulkan menjadi ahli ilmu-ilmu zhahir dan ilmu-ilmu batin sekaligus, bukan hanya menjadi ahli batin saja; dengan terus beramal diperkokoh niat-niat yang baik, disertai munajat untuk meminta istiqomah dzikir, meminta selamat iman dan Islam, bertambah rizqi barokah, dimudahkan urusan, dijadikan umurnya barokah, menjadi khusnul khatimah, dan doa-doa lain yang baik.
Wallohu alam.
Pesantren merupakan warisan penyangga penting Tradisi muslim Jawa yang sampai hari ini masih terus eksis dan berkembang, meskipun di sana sini terdapat Pesantren yang awalnya dikenal besar dan mati, tetapi juga ada pesantren baru yang dibuat. Pesantren di kalangan Islam Jawa ini banyak menyumbangkan kader santri dan masyarakat yang memengaruhi terhadap kondisi kultural bangsa Indonesia. Kontribusi itu berhubungan dengan nilai-nilai, pola pemahaman, dan keilmuan (turats) yang dikembangkan pesantren, yang kemudian meresap dan menjadi pendorong dalam sikap dan mewujud dalam perilaku di tengah-tengah masyarakat; pada saat yang sama tetap melestarikan tradisi Jawa; dan menjadi pelestarian komunikasi dengan bahasa Jawa.
Satu hal penting yang dilihat dalam tulisan ini adalah dimensi ijazahan Amalan wirid-ilmu Hikmah di pesantren, sebagai khazanah pesantren yang jarang dilihat. KBBI tidak memiliki definisi dari kata ilmu hikmah ini, meskipun mendefnisikan kata ilmu: “pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala di bidang pengetahuan; pengetahuan atau kepandaian (tentang soal duniawi, akhirat, lahir, batin dan sebagiannya).” Rangkaian dari kata ilmu ini, berjumlah tidak kurang dari 129 kata, misalnya ilmu administrasi, ilmu batin, ilmu tauhid, dan lain-lain, tetapi tidak ada yang digandeng dengan kata hikmah.
10 Kettlebell Exercises For Everyone | Fitness | MyFitnessPal where to buy anabolic steroids online fitness-2
Ilmu hikmah adalah ilmu yang diperoleh dari menjalankan berbagai amalan Wirid-wirid dan riyadhoh, dengan menjadikan Alloh sebagai sandaran, sehingga mampu merasakan efek-efek dari amalan-amalan itu, dan merasakan ada khowash-khowash di dalamnya melalui marifat batin. Karena level marifat batin berbeda-beda dan bertingkat-tingkat, penguasaan terhadap ilmu hikmah berbeda sesuai dengan tingkat pencapaian yang diperoleh sang pengamal dan anugerah yang diberikan Alloh; yang perwujudannya bisa berupa pengobatan, ahli ilmu-ilmu syariat, ahli penumbalan, ahli menggerakkan masyarakat, dan sejenisnya.
Tradisi ilmu ilmu amalan hikmah-tarekat di tengah kalangan pesantren di Jawa, dilihat dari sudut: apa saja amalan-amalan ijazahan wirid-ilmu hikmah dan tarekat, dan dimana sumber-sumber pengambilan ijazahnya; kitab-kitab apa saja yang dirujuk di kalangan pesantren dalam soal ilmu hikmah; mengapa pengamalan ijazahan amalan wirid-ilmu hikmah dan tarekat ini diperlukan seorang guru di pesantren; dan apa makna pentingnya ijazahan amalan wirid-ilmu hikmah dan tarekat bagi pesantren dan masyarakat pada zaman sekarang?
Ijazahan Amalan Wirid-Ilmu Hikmah dan Tarekat di Pesantren
Amalan-amalan wirid yang dijalankan di pesantren, berbeda-beda di antara mereka, sejalan dengan perbedaan jenis amalan yang dimiliki oleh kyai yang mengasuhnya, atau amalan pendiri pesantren yang terus menerus disambungkan, dalam tiga bentuk: (1) amalan yang dikhususkan untuk pribadi santri dan masyarakat, diminta Ijazah amalan atau karena diberi langsung oleh sang kyai; (2) amalan wirid kolektif santri-santri di hari-hari tertentu yang dijalankan secara langgeng; dan (3) amalan kolektif masyarakat sebagai perluasan dari jangkauan pengaruh kyai di luar pesantren, di tengah masyarakat di luar pesantren.
Amalan Khusus untuk Murid
Amalan seperti ini adalah untuk pribadi seseorang peminta amalan, yang amalan ini dimiliki seorang kyai dan telah menjadi wirid di dalam kehidupannya. Amalan jenis ini, ditentukan jumlah bilangan yang harus diwiridkan, waktu bacaan (apakah setiap shalat maktubah, setiap hari sekali, dan lain-lain), jenis bacaan, dibaca dan cara mewiridkannya. Amalan ini diberikan lewat dua cara: (1) kyai diminta oleh santri-murid tertentu atau masyarakat tertentu, kemudian kyai memberikan amalan wirid disesuaikan dengan tingkatan orang yang meminta dan jenis kebutuhannya, termasuk dosisnya; (2) kyai memberikan kepada orang tertentu yang dipilihnya, atau diberikan kepada mereka yang dianggap penting dari orang-orang yang dekat dengannya untuk meneruskan dan menjaga wirid yang telah diamalkannya.
Sebagai contoh, KH. Achmad Shidiq memiliki amalan mewiridkan surat al-Fatihah selama 100 x dalam sehari, yang diteruskan oleh anak cucu dan murid-muridnya. Sebagian masyarakat memperoleh ijazah amalan ini dari jalur keturunan KH. Achmad Shidiq. Amalan ini, ihda fatihah-nya kepada Kanjeng Nabi Muhammad, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali, dan al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad; lalu ditambah beberapa guru, yaitu KH. Abdul Hamid Kajoran, KH. Mundzir Mangunsari, dan KH. Dalhar Watucongol, dan Mbah Abdul Hamid Pasuruan; setelah itu Gus Miek (KH. Hamim Thohari Jazuli), KH. Achmad Shidiq, shohibul ijazah, dan kepada keluarga pengamal, dan kaum muslimin. Bagi sang pengamal, lebih diutamakan sebelum mengamalkan, harus menjalani wirid Dzikrul Ghafilin selama 40 hari.
Jenis lain dari ijazahan amalan seperti ini, contohnya seorang pengasuh pesantren mendawamkan (melanggengkan) wirid laqad ja’akum rasulun min anfusikum sampai akhir ayat, setelah selesai shalat maghrib selama 7 x setiap hari. Amalan wirid ini, dilakukan KH. Abdul Wahab Hasbulloh, yang diijazahkan kepada salah seorang anaknya, dan kemudian ada yang meminta ijazah untuk diwiridkan setiap hari. Ada juga seorang kyai pesantren yang mendawamkan wirid tarekat, dan dia memberikan amalan tarekat itu, untuk beberapa muridnya dan masyarakat yang meminta baiat kepadanya. Pesantren-pesantren lain, dan kyai-kyai lain juga memiliki amalan-amalan yang diwiridkan, yang bermakna dilanggengkan setiap hari, waktu tertentu, dengan jumlah bilangan tertentu.
Amalan-amalan yang dilakukan kyai dan diijazahkan itu, dibedakan menjadi dua: Pertama, amalan wirid ijazahan tarekat, dan kedua, amalan-amalan ijazahan non-tarekat. Pengertian tarekat di sini adalah wirid yang dilakukan di kalangan ordo sufi, diajarkan oleh guru mursyid, sesuai dengan tradisi di dalam tarekatnya. Tarekat Syathariyah, dalam sebagian sanad yang saya kenal, misalnya memudawamahkan wirid kalimah tahlil (la ilaha illallah) sampai pada kalimah Hu (HUWA), dengan jumlah: 100 x setelah ba’dha shalat isya dan shubuh. Di luar itu, setiap pengamalnya harus bisa meningkatkan pelanggengan dzikir dengan meningkatkan dosis sampai 70.000 x, dan begitu terus menerus diulang-ulang ketika mencapai angka pengamalan dzikir tahlil 70.000 x itu.
Amalan-amalan wirid yang diijazahkan itu, biasanya diberikan setelah sang guru ditemui oleh pemohon ijazahan, dengan mengemukakan maksud dan persoalan-persoalan yang dihadapinya: ada yang mengeluh keluarganya terus menerus mengalami sakit yang beruntun; ada yang terkena ilmu-ilmu ghaib atau gangguan jin; ada yang karena menanggung hutang begitu banyak; ada yang ingin pergi merantau dalam waktu yang panjang; dan lain-lain maksud. Jenis amalan yang diberikan sang kyai kepada pemohon, berbeda-beda sesuai dengan tingkatan dan maksud yang meminta; dan juga tergantung amalan wirid yang dimiliki seorang kyai.
Amalan Kolektif di Pesantren
Amalan ini untuk umum-kolektif yang harus dijalankan khusus di pesantren sebagai bagian dari wirid yang dijalankan oleh para santri. Guru atau pengasuh pesantren biasanya memperoleh amalan ini dari gurunya, lalu diteruskan di pesantrennya. Di antara jenis ini, sebagian pesantren mengamalkan wirid Ratib al-Haddad dan beberapa ratib lain. Penulis menemukan berbagai koleksi dan jenis wirid ini dilakukan di berbagai pesantren, hampir merata dari Jawa Timur sampai Banten, tetapi tentu saja tidak untuk seluruh pesantren. Meski Ratib al-Haddad ini disusun oleh al-Habib Abdullloh bin Alwi al-Haddad sebagai bagian dari wirid di kalangan tarekat Alawiyah dengan baiat dan ditambah wirid-wirid lain, tetapi untuk keperluan wirid, yang telah dipraktikkan tidak mesti berhubungan dengan pembaitan tarekat Alawiyah, tetapi cukup ijazahan yang diberikan guru, dan tidak ditambah dengan wirid-wirid lain yang ada di kalangan tarekat Alawiyah.
Di antara jenis lain wirid ini, adalah sholawatan dan maulid, pembacaan burdah, pembacaan al-Barzanji, dan tahlil. Tradisi pembacaan sholawatan dan pembacaan Maulid Shimtuddurar sekarang berkembang pesat, bukan hanya di pesantren-pesantren di kalangan Islam Jawa, tetapi juga sampai ke belahan dunia Islam. Khazanah Maulid Shimtuddurar, yang pusat ijazahannya, di antaranya dari habib Anis di Solo, dan banyak kyai mengambil ijazahan dari Habib Anis ini.
Menurut salah seorang pengasuh pesantren di Jawa Timur yang memiliki sanad dari Habib Anis yang ikut menyebarkan pembacaan Maulid Shimthuddurar ini, mengatakan kepada saya: “Kitab ini disusun dengan dibimbing oleh Nabi Muhamamd Saw, untuk menyempurnakan tradisi yang sudah ada sebelumnya…” Maksud tradisi yang ada sebelumnya adalah pembacaan sholawat dan kitab maulid yang ada di kumpulan Maulid ad-Daiba`i dan Maulid Syarful Anam, yang telah beredar secara luas dan merata di kalangan masyarakat Islam Jawa.
Saya pun bertanya, maksud penyempurnaan itu, dia menjawab: “Dalam kumpulan Maulid ad-Daiba’i dan Maulud Syarful Anam, di kitab kumpulan itu juga terdapat syiir-syiir yang tidak dikenali lagi siapa pengarangnya, tentang pujian-pujian kepada Kanjeng Nabi Muhammad itu.” Dalam konteks ini, Maulid Shimtuddurar jelas pengarangnya, yaitu Habib Ali bin Muhammad al-Habsy. Ihda Fatihah dan keperluan memperoleh kerberkahan dari sang pengarang dan bersambungnya sanad, yang menurut ceritanya, penyusunanan kitab itu langsung dibimbing Kanjeng Nabi Muhammad, menjadikan kumpulan Maulid Simthuddurar lebih mantab dan meyakinkan bagi sang kyai untuk diamalkan sebagai wirid Maulid.
Amalan Jama`i di Masyarakat
Amalan di pesantren atau amalan dari kyai tertentu yang kemudian dikembangkan di majlis-majlis pengajian, majlis shalawatan, dan majlis dzikir, melampaui lokalitas di pesantren sang kyai. Hal ini bisa terjadi, karena fungsi kyai di pesantren sebagai pendidik, selalu tidak terlepas dari fungsi sebagai orang yang dipandang sebagai “guru” di masyarakat, dan karenanya tidak jarang sang kyai atau pengasuh pesantren diminta untuk mengisi pengajian, majlis taklim, dan majlis dzikir; dan fungsi ta’lim di masyarakat sebagai bagian dari pengabdian seorang kyai untuk menyempurnakan kehidupan tauhidnya.
Dari jenis ini, lalu lahir gerakan-gerakan majlis dzikir, seperti Dzikril Ghafilin, Dzikir Sholawat Wahidiyah, pengajian Ratib al-Haddad, manaqib Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, Ratib al-Kubro, dan banyak lagi yang lain di tengah-tengah masyarakat umum. Amalan jama`i ini, biasanya mengambil hari-hari tertentu dalam sebulan sekali, atau selapanan sekali. Mereka yang mengamalkan dzikir jama`i ini, cukup sebulan sekali membacanya, atau setiap selapanan. Akan tetapi juga ada, di antara pengamal sebulan sekali ini di dalam jama`i, tetapi diamalkan setiap hari untuk amalan fardi. Seperti pengajian rutinan Ratib al-Haddad sebulan sekali, dan pada saat yang sama, oleh pengamal tertentu diamalkan untuk diri pribadi setiap hari berdasarkan ijazah dari seorang guru.
Sebagian Pusat Mengambil Ijazah Beberapa Jenis Amalan
Beberapa jenis amalan untuk pribadi murid atau masyarakat yang meminta, mencakup amalan-amalan yang berefek, untuk kelancaran rizki dan hidup istiqomah, pengobatan dan gangguan setan-jin, agar kuat berkiprah dimasyarakat dan disenangi keluarga-masyarakat, pertahanan diri dari serangan musuh, menghilangkan putus asa dan kebingungan, agar hajatnya terkabul, dan lain-lain, dengan disandarkan kepada Alloh. Di antara jenis-jenis wirid ini di antaranya: ayat-ayat hifzhi, ayat-ayat syifa’, doa nur buat, wirid hasbunalloh wani’mal wakil, wirid surat al-Fatihah, amalan Yasin Fadhilah, amalan Sholawat Nariyah, wirid tahlil, wirid tarekat, wirid asmaul husna, hizib-hizib, ratib, dan lain-lain.
Amalan 100 x Al-Fatihah
Amalan wirid 100 x surat Al-Fatihah, di antara pusatnya sekarang ini dikembangkan oleh para penganut Dzikrul Ghafilin, peninggalan Gus Miek dan KH. Achmad Shidiq, sehingga ijazahnya mengambil dari dua syaikh ini. Amalan ini juga dikenal sebagai amalan yang diambil dari beberapa kyai ternama, yang kemudian disebut dalam ijazah wasilah surat al-Fatihah di kalangan Dzikrul Ghafilin, yaitu KH. Abdul Hamid Pasuruan, KH. Abdul Hamid Kajoran, KH. Dalhar Watucongol, dan KH. Mundzir Mangunsari. Dalam tradisi Dzikrul Ghafilin, wirid surat Al-Fatihah ini bisa dicicil setiap selesai sholat, dan disebutkan dalam buku kecil Dzikrul Ghafilin, wirid ini diamalkan oleh Imam al-Ghazali.
Sebagian kyai juga mengamalkan dzikir ini, ada yang berjumlah 41 x, dan di antara yang mengamalkan ini, salah satu pusatnya di Geger Menjangan, Purworejo di kalangan keluarga penerus Mbah Imam Puro. Kyai-kyai di Jawa juga banyak mengamalkan witid surat Al-Fatihah ini, bahkan ada yang 500 x, dan juga 1000 x. Beberapa orang yang mimpi dengan Gus Dur, yang penulis temui, juga mengakui diminta mengamalkan wirid surat Al-Fatihah 100 x.
Amalan Sholawat Nariyah
Sholawat ini dikenal di seluruh dunia Islam, sebagai amalan wali bernama Imam Ibrahim at-Taji, dan sholawat ini disebut juag dalam kumpulan sholawat yang ditulis Imam Yusuf bin Ismail an-Nabhani berjudul Afdhalus Sholawat `ala Sayyidis Sadat. Di kalangan muslim Jawa, banyak kyai Jawa mengamalkan amalan ini. Nahdlatul Ulama pada masa kepemimpinan KH. Said Aqil Siradj bahkan pernah menyerukan gerakan 1 milyar membaca sholawat Nariyah. Pengamalan dilakukan sehari semalam dalam jumlah 4444 kali, dan setelah itu dibaca setiap hari atau setelah selesai sholat sesuai pengijazah amalan ini, bisa 7 x atau 15 x.
Salah satu pusat yang dijadikan sanad ijazah ini adalah Mbah Ma’shum Lasem, salah seorang pendiri NU dan kyai yang sangat dihormati, ayah dari KH. Ali Maksum. Di Banyuwangi, salah satu kyai yang mengamalkan ini adalah KH. Mawardhi Secawan Srono. Di tanah Jawa paling Barat, di Banten, pusat pengijazahnya di antaranya KH. Muhtadi Dimyati, putra dari ulama Banten terkenal, KH. Dimyati Banten; dan juga KH. Thobari Sadzili, salah satu dari cucu Syaikh Nawawi al-Bantani.
Di beberapa tempat juga ada Majlis Sholawat Nariyah, misalnya di Blitar yang dikaji oleh Umi Choisaroh dalam skripsinya, Sejarah Perkembangan Majlis ta’lim dan Dzikir Jamiyah Sholawat Nariyah Mustaghitsu al-Mughits di Dusun Mantenan Desa Sukorejo Kecamatan Udanawu Blitar 2011-2018 (UIN Sunan Ampel, 2019), dan Majlis ini cukup terkenal di Jawa Timur, yang diasuh oleh KH. Muhammad Sonhaji Nawal Karim Zubaidi (Gus Shon). Amalan ini sebelumnya dilaksanakan oleh kakek dan ayahnya, dan kini telah memiliki cabang yang cukup banyak tidak kurang dari 60 cabang.
Amalan Manaqib Syaikh Abdul Qodir al-Jilani
Amalan manaqib Syaikh Abdul al-Jailani sudah lama dikenal di Jawa, baik oleh penganut tarekat Qadiriyah atau masyarakat secara umum, di masa awal penyebaran Islam di tanah Jawa. Beberapa jenis Manaqib Syeh juga berbeda-beda, ada yang berbentuk nazhaman dan ada yang berbentuk prosa: yang berbentuk nazhaman disebut Manaqibul Akbar dengan wasilah kepada beberapa syaikh, yaitu Syaikhona Kholil Bangkalan; ada yang berbentuk prosa, seperti yang terkenal adalah Al-Lujainud Dani, yang banyak diterjemah ke dalam bahasa pegon; ada yang dengan judul Lubabul Ma`ani, An-Nurul Burhani, ada juga Jawahirul Maani, dan lain-lain.
Di Banyuwangi pusat ijazah amalan Manaqibul Akbar ada di Pesantren Darussalam Blokagung, dan para murid-murid mereka yang telah mendirikan pesantren. Di Jember Manaqib Syaikh di antaranya diamalkan jama`i oleh KH. Muzakki Syah, dengan ribuan jamaah; di Pasuruan ada Yayasan Serba Bakti (YSB) Pontren Suryalaya Nongko Jajar, Pasuruan; dan yang terkenal di Pasuruan, pengijazah manaqib dengan judul Jawahirul Ma`ani adalah KH. Ahmad Jauhari Umar (1945-2006), berpusat di Pesantren Darussalam Tegalrejo.
Pusat-pusat yang lain dimiliki oleh pusat-pusat tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah, seperti di Mranggen yang berpusat pada KH. Muslih al-Maraqi dan murid-muridnya, KH. Asrori al-Ishaqi dan para murid-muridnya, penerus tarekat KH. Mustain Ramli (di antaranya diteruskan Gus Mujib); KH. Abah Anom Suryalaya dan para muridnya di Tasikmalay; di Cilacap, Pesantren Kesugihan yang didirikan KH. Badawi Hanafi sekarang ini juga termasuk yang menyelenggarakan Manaqib Syaikh Abdul Qodir al-Jilani; dan di banyak tempat dari cabang-cabang tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di pulau Jawa.
Amalan Hizib Autad
Hizib ini selain diamalkan banyak kyai di Jawa juga diamalkan masyarakat muslim Jawa di berbagai majlis ta’lim dan pengajian, dimulai dengan Allohul Kafi Robbunal Kafi Qoshodnal Kafi Wajadnal Kafi, dan seterusnya. Pusat-pusat pengambilan amalan Hizib ini, terdapat di pusat-pusat Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
Hizib Nahsar-Hizib Bahr-Hizib Bar
Amalan Hizib ini juga dimiliki oleh banyak kyai di Jawa, dan sumber hizib-hizib ini adalah dari Syaikh Abul Hasan as-Sadzili. Pusat-pusat tarekat Sadziliyah di Jawa, adalah juga pusat pengambilan ijazah hizib-hizib Syaikh Sadzili ini.
Amalan Ayat Lima
Di antara beberapa jenis amalan ayat Al-Qur’an adalah Ayat Lima, Ayat 7, dan Ayat 15; dan di antara pusat yang menyebarkan Ayat Lima di antaranya dimiliki oleh para mursyid Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dari jalur Syaikh Ibrahim Brumbung, yang diwariskan kepada KH. Hasan Anwar ke KH. Madchan bin Abdul Manan. Dalam amalan mereka ini, pengamalan dilakukan puasa dan diamalkan selama 3 hari diamalkan sebanyak 313 x, dengan wasilah keguruan mereka; dan setelah itu diamalkan setiap hari. Di antara kyai lain yang menjaid pusat amalan ini adalah di Krapyak yang diamlkan oleh KHR. Abdul Qodir.
Amalan Yasin Fadhilah
Amalan Yasin Fadhilah banyak dilakukan kyai-kyai di Jawa, dan di antara pusat penyebaran amalan ini adalah para keluarga Mbah Imam Puro. Di Banyuwangi Yasin Fadhilah juga disebarkan melalui Pesantren Blokagung dalam kumpulan wirid-wirid yang sudah tercetak. Di Ceroben, tepatnya di Mertapada Kulon Kecamatan Astanajapura Cirebon, Yayasan PATWA (Yayasan At-Tarbiyatul Wathoniyah), dengan otoritas KH. Amad Syathori, juga menyebarkan amalan ini; dan beberapa doa dari Yasin Fadhilah di sini, variasinya ada yang diperoleh dari Syaikhona Kholil Bankalan.
Di Jawa Tengah, Mbah Maemun Zubair juga termasuk yang dikenal memberi ijazah Yasin Fadhilah; di Yogyakarta, Pesantren Wahid Hasyim, yang didirikan KH. Abdul Hadi juga mengamalkan Yasin Fadhilah, di Asrama Al-Hikmah; dan masih banyak lagi di Pesantrfen-pesantren di Jawa.
Sholawat Kubro
Amalan Sholawat Kubro yang merupakan sholawat yang dikenal diamalkan para wali di tanah Jawa di masa awal, di antaranya adalah KH. Imroni Abdullah di Jepara. KH. Imroni mengamalkan bersamaan dengan mujahadah Sholat Tasbih. Selain itu, Sholawat Kubro juga diamalkan keluarga dari Mbah Imam Puro yang terhimpun dalam kitab Manaqib-nya, dan tokoh ini makamnya ada di Geger Menjangan, Purworejo.
Ratib Al-Haddad
Banyak kyai di Jawa, baik yang keturunan langsung dari Sayyid atau Habib, atau yang dari suku Jawa-Madura, mengamalkan Ratib al-Hadad, yang disusun Al-Habib bin Abdullah bin Alwi al-Haddad. Di antara pusat pengijazah ini, bersumber dari KH. Asad Syamsul Arifin di Situbondo; KH. Abdul Hamid di Pasuruan; KH. Mufid Masud di PP Sunan Pandanaran; KH. Abdul Mukhit di Jejeran; Abuya Muhtadi Dimyati Banten, dan masih banyak Habib-Sayyid-syarif, dan kyai-kyai lain membaca Ratib ini, dan tersebar dari Banyuwangi, Cirebon sampai Banten.
Dalam tulisan di tebuireng online yang ditulis Arif Khuzaini, berjudul “Sejarah, Khasiat & Bacaan Ratib al-Haddad”, di antaranya dia menyebut pemberi ijazah Ratib ini yang di Indonesia, diperoleh dari beberapa guru: Habib Ali bin Husain al-Haddad Surabaya, Habib Ali Al-Jufri Jombang, Habib Muhammad as-Segaf Solo, Habib Alwi al-Haddad Peterongan, dan K. Ahmad Muntaha Pesantren Gedongsari Nganjuk, dan yang satu dari Yaman (Habib Ahmad bin Husain Aidid).
Ratib Kubro
Amalan Ratib Kubro juga dibaca oleh sebagian masyarakat-kyai di Jawa, dan sumber pengijazah dari amalan ini di antaranya adalah Habib Muhammad Luthfi bin Yahya. Rotib ini disusun Habib Thoha bin Hasan bin Yahya Ba `Alawi, adalah putra dari Habib Hasan bin Thoha bin Yahya Semarang, dan terhitung amalan ratib yang disusun lebih belakangan dibanding dengan Ratib Al-Haddad, ratib al-Atasy, dan ratib yang sejenis dari Hadhramaut. Dari Habib Luthfi, lalu menyebar ke berbagai muridnya, dan di antara penyebarannya melalui KH. Abdullah Saad di Pesantren al-Inshof, Karanganyar. Termasuk pengamalan Ratib Kubro di Yogyakarta, bertempat di Pesantren Kyai Khairani Cepokojajar Piyungan, juga dari Habib Muhammad Luthfi Pekalongan, dan kemudian berhubungan dengan KH. Abdullah Saad, Karanganyar.
Simtud Durar
Kitab Maulid Simtud Durar, disusun oleh Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi asal Hadhramaut (w.1915), yang dibaca seminggu sekali di Masjid Riyadh, Syaiun, Hadhramaut. Yang membawa ke Indonesia ada dua jalur, seperti disebutkan Muhammad Asad dalam alif.id (31 Juli 2019): pertama, dari kalangan murid, bernama Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi (w. 1917) di Cirebon, lalu ke Bogor, dan kemudian pindah ke Surabaya; lalu pembacaan Simtud Durar ini diteruskan oleh Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi (w. 1968), yang disebut Habib Ali Kwitang, yang juga murid penyusun Simtud Durar (Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi); dan mengadakan pembacaan Simtud Durar ini di kantor pusat Jamiat Khoir, dan kemudian di Masjid Kwitang yang terkenal pada tahun 1930-an.
Kedua, Simtud Durar juga dikenalkan oleh Habib Alwi, keturunan Habib Ali Al-Habsy penyusun Simtud Durar (w. 1953) sendiri. Putra Habib Ali penyusun Simtud Durar ini, ke Nusantara, menetap di Jakarta, kemudian ke Semrang, dan terakhir di Solo. Tahun 1934, Habib Alwi mendirikan masjid Riyadh di Solo. Setelah itu, penyebaran Simtud Durar dilakukan putra Habib Alwi yang bernama Habib Anis bin Ali al-Habsy (w. 2006), yang sangat terkenal. Ijazah Simtud Durar banyak bersumber dari Solo, dari Habib Anis dan murid-muridnya.
Dalail Khairat
Amalan Dalail Khairat berasal dari Imam al-Jazuli juga dilakukn oleh banyak kyai di Jawa, dan dilakukan berbagai pengikut tarekat. Sanad mereka banyak bersambung kepada Syaikh Mahfudz Termas, dan beberapa syaikh lain di Hijaz. M Bagus Irawan telah menerjemahkan Dalail Khoirot ini ke dalam bahasa Indonesia diterbitkan Keira Publising ( 2019) dan menulis “Sanad Dalail Khairat di Nusantara” (iqra.id., 3 Oktober 2019). Amalan Dalail Khaoirot ini banyak diamalkan disertai dengan puasa, ada yang setahun, lalu ditambah beberapa tahun, dan ditambah harus rajin membaca Al-Quran.
Di antara pusat penyebaran dan pengambilan ijazah adalah Habib Abdullah bin Muhsin al-Attas Empang Bogor (w. 1932) dan para muridnya; Abah Anom juga disebut penyambung rantai sanad Dalail Khoirot; di Pekalongan ada KH. Thohir bin Abdul Lathif (w. 1946). Sementara di Kudus, mujiz terkenal adalah KH. Ahmad Basyir, di Pesantren Darul Falah Jekulo; di Jombang ada KH. Djamaluddin Ahmad Tambakberas dan KH. Abdul Aziz Mansur Paculgowang; dan amalan Dalail Khoirot juga ada di Pesantren Lirboyo Kediri dan KH. Djazuli Usman di Ploso; di Blitar ada KH. Mahdi di Pesantren Miftahul Huda; di Malang, ada KH. Achmad Masduqi Mahfudz di PP Salafiyah Syafiiyah Nurul Huda; dan di Yogyakarta ada KH. Ali Maksum, dan di PP Sunan Pandanaran Yogyakarta, KH. Mufid Masud juga pengamal Dalail Khoirot yang memperoleh dari KH. Ma’ruf Surakarta dan KH. Abdul Muid Klaten; dan di Jawa tengah ada KH. Muhammadun Pondowan dan murid-muridnya.
Tarekat Qadiriyah
Di antara pemegang sanad tarekat Qadiriyah di Jawa, sekarang ini adalah KH. Ahmad Hisyam Syafaat Banyuwangi, yang memperoleh dari Syaikh Abdul Karim al-Mudarris Irak, seperti disebutkan di blokagung.net (30 Oktober 2014).
Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah
Amalan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, pusat baiat dan pengijazahannya di antaranya, melalui pusat-pusat seperti Syaikh Abdul Karim Banten dan murid-muridnya, Syekhona Kholil Bangkalan dan murid-muridnya, KH. Hasan Basuni Madura dan murid-muridnya, Syaikh Ibrahim Brumbung dan murid-muridnya, Abah Anom di Suryalaya dan murid-muridnya, KH. Asrori al-Ishaqi di Surabaya dan para penerusnya, KH. Mustain Romli dan para penerusnya, KH. Muslih Mranggen dan para penerusnya, KH. Hasan Anwar Purwodadi dan para penerusnya, Habib Ali Alhinduan Madura, dan lain-lain. Jaringan mereka ditulis oleh Martin van Bruinessen dalam buku Kitab Kuning.
Tarekat Syathariyah
Pusat Tarekat Syathariyah dulu ada di Pamijahan, bersumber dari KH. Abdul Muhyi dan jaringan murid-muridnya yang sangat luas; Ronggowarsito dan Ronggosasmito di Kartasura; Kyai Asy’ari Kaliwungu, yang dikenal sebagai Kyai Guru juga menjadi rantai sanad penting tarekat ini; dan di Yogyakarta kini tarekat ini ada di Jejeran (dari sanad Mbah Nawawi Jejeran) dan Giriloyo (Mbah Marzuqi Giriloyo). Sementara gabungan Sadziliyah-Syathariyah berpusat baiatnya dari Mbah Imam Puro dan keturunannya serta murid-muridnya yang tersebar.
Tarekat Syadziliyah
Pusat Sadziliyah yang cukup tua adalah Pesantren al-Kahfi atau Pesantren Sumolangu melalaui Kyai Sumolangu dan murid-muridnya; KH. Idris Jamsaren di Solo; KH. Dalhar di Pesantren Darussalam Watucongol dan para murid-muridnya; KH. Abdul Malik Purwokerto (Sadziliyah dan Naqsyabandiyah) dengan jaringan para muridnya yang luas; KH. Abdul Jalil Mustaqim di Pondok Peta Tulungagung dan para murid-muridnya, Habib Muhammad Luthfi di Pekalongan dan para murid-muridnya; KH. Siroj Payaman Magelang, KH. Ahmad Ngadirejo Klaten, KH. Abdullah Kaliwungu, KH. Siradj Panularan Surakarta, KH. Abdul Muid Tempursari Klaten, KH. Maruf Mangunwiyoto Jenengan, KH. Idris Kacangan Boyolali, dan beberapa yang lain.
Tarekat Naqsyabandiyah
Amalan Tarekat Naqsyabandiyah di Jawa telah dijelaskan Martin van Bruinessen dalam buku Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia (Mizan, 1996), yang pusat-pusatnya di antaranya: KH. Usman Gedang dan para muridnya, KH. Muhammad Ilyas di Sokaraja Banyumas dan para muridnya; Syaikh Abdul Hadi Giri Kusumo dan para murid-muridnya, sebelah tenggara Semarang; KH. Abdurrahman Kebumen; tarekat ini juga pernah ada di Pesantren Benda Kerep Cirebon; dan KH. Zain putra KH. Tholchah Cirebon. Di antara cabang-cabang penting yang sekarang berkembang-terkenal adalah KH. Mansur Popongan dan para penerusnya, KH. Arwani Kudus, Mbah Mangli Magelang, dan banyak lagi yang lain.
Dalam buku Zamaksyari Dhofier berjudul Tradisi Pesantren (LP3ES, 2011), disebut Syaikh Abdul Jalil Tegalsari Salatiga (w. 1916) termasuk penyebar Naqsyabandiyah awal dan mendapat langsung dari Mekkah, di luar jalur yang selama ini ada. Di Madura, beberapa mursyid Naqsyabandiyah juga disebut Martin adalah perempuan, seperti Nyai Thabibah (yang memperoleh dari KH. Ali Wafa) dan Syarifah Fatimah yang memiliki pengikut cukup banyak.
Tarekat Tijaniyah
Pengambilan amalan tarekat Tijaniyah bersumber di Pesantren Buntet, dan jaringan yang mengambil dari Pesantren Buntet.
Hizib Ghazali
Di antara sumber penting pengijazah Hizib Ghazali adalah KH. Chudlori di API Magelang dan para murid-muridnya, sebagaimana disebutkan oleh Bambang Pranowo dalam Memahami Islam Jawa (2009). Amalan Hizib Ghazali dilakukan dengan berpuasa selama 7 hari, dan dibaca setiap selesai sholat 5 waktu minimal 7 x dan maksimal 40 x. Di Banyuwangi, Hizib Ghazali juga diajarkan melalaui Pesantren Manbaul Ulum, Muncar Banyuwangi, dan di beberapa pesantren lain di Jawa.
Hifdzul Quran
Amalan menghafal Al-Qur’an di Jawa yang paling terkenal dan cukup tua adalah Pesantren Krapyak melalaui sanad KH. Munawwir. Dari KH. Munawwir kemudian banyak dikembangkan para muridnya di Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Beberapa pesantren yang menjadi pusat menghafal Al-Qur’an, di antaranya, selain Krapyak adalah PP. An-Nur Ngrukem, Bantul; juga ada di PP Sunan Pandanaran; juga ada di Wonosobo, dibawah otoritas KH. Muntaha; dan beberapa pesantren lain.
Amalan Ngaji Shahih Bukhari
Di antara pengijazah amalan dengan tirakat ngaji Shahih Bukhari, yang ternama adalah Hadhratusy Syaikh Hasyim Asyari (dan para murid yang mengambil ijazah darinya) dari Syaikh Mahfudh at-Tirmasi; KH. Zubair (ayah Mbah Maemun Zubair) dan para miuridnya; KH. MA Sahal Mahfuzh dari Syaikh Zubair dan Syaikh Yasin al-Fadani; KH. Maruf Amien yang memperoleh dari KH. Idris Kamali (menantu Hadhratusy Syaikh Hasyim Asyari); dan sebagian pusat-pusat yang lain.
Amalan Puasa Ndawud
Amalan Puasa Ndawud adalah sehari berpuasa dan sehari tidak. Amalan ini banyak pula diamalkan oleh banyak kyai di Jawa. Salah satu pemegang ijazah amalan ini adalah KH. Ahmad Hisyam Syafaat (Pesantren Blokagung Banyuwangi), yang sering memberi ijazah setiap tahun tepat menjelang tahun baru Hijriyah; di Yogyakarta, di antara pesantren yang mengijazahkan ini adalah Pesantren Ash-Sholihah Jonggrangan Sumberadi Mlati Sleman, yang didirikan KH. Muhamamd Zahid; dan di beberapa pesantren yang mengijazahkan Dalail Khoirot, biasanya juga mengijazahkan Puasa Ndawud.
Amalan Doa Nurbuat
Di antara amalan yang banyak pula dilakukan kyai-kyai di Jawa dan habaib adalah Doa Nurbuat. Di antara sumber pengijazah amalan ini di Yogyakarta di antaranya bersumber dari KH. Khalil Harun Segoroyoso dan para muridnya yang mengambil ijazah mereka. Pengamalannya yang bersumber dari kyai yang memperoleh dari KH. Kholil Harun, Doa Nurbuat ini diamalkan setiap hari 3 x atau 5 x, dengan dipungkasi Sholawat Tunjina 15 x.
Ayat-Ayat Syifa
Ayat-ayat Syifa adalah ayat-ayat yang diguankan menjadi wasilah memohon kesembuhan dan obat dari sakit badan dan batin. Di antara pusat dari jazahan ini bersumber dari Kyai Asyari Kaliwungu, KH. Munthaha dan KH Faqih Muntaha, yang telah terhimpun dalam sebuah rangkaian wirid Ayat Syifa, dipungkasi dengan sholawat Thibbil Qulub. Mursyid Sadziliyah-Syathariyah di Purworejo, KH. Adib Luthfi Hakim juga mengamalkan Ayat Syifa; dan banyak kyai lain juga mengamalkan ini.
Ayat-Ayat Hifzhi
Ayat-ayat Hifzhi adalah doa-doa untuk penjagaan dari segala gangguan jin setan dan hal-hal buruk lain. Di antara, yang menjadi sumber pengijazah amalan Ayat-Ayat Hifzhi, sebagaimana ada dalam amalan sebagian keturunan Mbah Imam Puro di manaqib-nya, adalah berasal dari Pesantren Poncol Salatiga, yang didirkan KH. Misbach, dan diteruskan para murid-muridnya.
Hasbunalloh wani’mal Wakil
Amalan hasbunalloh wani’mal wakil, di antara sumber pingijazahnya adalah KH. Abdul Hamid Pasuruan: ada yang dalam jumlah 450 x setiap hari, dan ada yang siang 450 x dan malam 900 x, sebagaimana yang diceritakan sebagian pengamalnya kepada saya; dan banyak kyai lain di Jawa.
Mantra Jawa di Pesantren
Meskipun kyai-kyai Pesantren di kalangan muslim Jawa menggunakan amalan wirid dalam bahasa Arab, tetapi mereka juga berbahasa Jawa dalam kebiasaan hariannya; dan tidak sedikit yang memiliki mantra-mantra berbahasa Jawa untuk keperluan-keperluan tertentu sebagai wirid, sebagai pelengkapnya. Di antara mereka yang memiliki mantra Jawa ini ada Guru Marzuki Giriloyo (Syathariyah), KH. Dalhar Watucongol (Syadziliyah), KH. Madchan Abdul Manan (Qadiriyah-Naqsyabandiyah-Syathariyah) di Purwodadi, Mbah Imam Puro di Purworejo (Sadziliyah-Sathariyah), dan beberapa kyai lain.
Apa yang disebutkan dari beberapa amalan dan sebagian penyebar amalan-amalan itu, hanya sebagian kecil saja, dan tentu banyak sekali kyai-kyai di Jawa yang mengamalkan amalan-amalan wirid yang tidak disebutkan di sini, dan di luar jangkauan yang saya ketahui.