Menu

Identitas

Sebelum melangkah pada lestari-melestarikan Bahasa, baiknya kita bertanya bagaimana bahasa itu bisa ‘tercipta, dan diciptakan’? Meski pertanyaan tersebut akan mengarahkan kita pada ragam ilmu sosial yang terpolarisasi oleh ilmu pengetahuan (modern) hari ini; sejarah, sosiologi, budaya, dan geografi. Ilmu pengetahuan tersebut jika kita telusuri dalam konsep pengetahuan moyang kita bersifat menyeluruh, seperti satuan lingkaran; antara bulatan satu, sisi sebagiannya terbentuk dari bulatan sisi lingkaran lainnya, ia saling mengisi, hingga terciptanya bentuk rupa. Ia bersifat partikular, sekaligus universal dalam kosmologinya, sehingga ia selalu selaras dengan alam. Namun kemudian, ilmu pengetahuan modern memecahnya menjadi bentuk kepingan puzzle. Ia universal, namun belum tentu partikular. Dampak karena belum tentu partikular adalah, ia tidak tahu lagi di mana kepingan-kepingan puzzle itu diletakkan, ia sibuk menguji satu persatu ke dalam sebuah kolom kepingan yang ‘dikiranya’ pas. Tidak tergambar lagi bentuk gambaran besar apa sebenarnya yang ia susun dalam puzzle itu.

Hal yang erat kaitannya bahasa adalah budaya. Keduanya tak terpisahkan, bisa dikatakan bahwa bahasa menciptakan budaya, dan budaya menciptakan bahasa. Jika bahasa itu diletakkan pada sebuah riwayat setiap individu, maka dengan mudah hal itu tercipta dengan sendirinya oleh keluarga serta masyarakat sejak individu itu dilahirkan. Keluarga dan masyarakat tersebut terbentuk dari kesamaan Entitas komunal yang kemudian membentuk Identitas. Identitas inilah yang kemudian menciptakan ragam Kebudayaan; identitas suku, etnik, bangsa, agama.

Bahasa bagi saya adalah salah satu fragmen artefak kebudayaan. Artefak dalam arti ia tidak dekaden, tapi terus mengalami pemaknaan; dikonstruksi dan dikomposisikan kembali sesuai konteks zamannya.[1] Selain sebagai medium komunikasi sehari-hari, bahasa merupakan produk dari ilmu pengetahuan, ia diproduksi dan bersifat being, bahkan fluktuatif (berubah-ubah) layaknya identitas itu tercipta. Dengan demikian, kita bisa memahami dan bisa memposisikan bagaimana bahasa itu diletakkan. Jika kita mampu memahami dan meletakkan bahasa itu pada posisi dan proporsinya, maka terciptalah sebuah kesadaran baru akan kegunaan dan manfaat dari bahasa itu. Dengan demikian, bahasa akan lestari dengan sendirinya.

Jika kita mampu memahami dan meletakkan bahasa itu pada posisi dan proporsinya, maka terciptalah sebuah kesadaran baru akan kegunaan dan manfaat dari bahasa itu. Dengan demikian, bahasa akan lestari dengan sendirinya.

Jika kita telusuri pasca berakhirnya perang Jawa, dimulailah babak baru dalam sejarah bangsa kita yaitu Indonesia modern. Kemudian pemerintah kolonial Hindia Belanda, memberlakukan kebijakan sistem pemerintahan baru yang disebut politik etis. Salah satu dari program politik etis adalah sistem pendidikan; diciptakannya ruang kelas bukan sebatas ruangan di kelas, tetapi menciptakan kelas-kelas sosial; inlander[2], priyayi[3], timur asing[4], europenean[5]. Pendidikan jadi terpolakan, semuanya tersekat sejak dari sekat ruangan kelas, hingga membentuk sekat-sekat baru dalam kehidupan riil; sosial, ekonomi, suku, bahkan agama yang terus menjalar hingga hari ini.

Pada zaman pemerintahan kolonial di Hindia Belanda, bahasa ilmu pengetahuan waktu itu adalah  bahasa Belanda. Pada rentang waktu yang panjang, orang yang bisa mengakses pendidikan adalah orang-orang berdarah biru saja (ningrat). Pendidikan diarahkan untuk mengisi pos-pos kolonial; perusahaan perkebunan, kereta api hingga di struktur pemerintahan. Itu semua adalah untuk kelangsungan kekuasaan pemerintah kolonial. Sehingga yang terjadi, orang-orang ningrat yang mempunyai akses pendidikan (jiwa dan raganya) terbangun dan terbentuk oleh orientasi keinginan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Hanya sedikit saja kamu bumi putra biasa yang bisa mengakses pendidikan. Kaum bumi putra inilah yang kemudian menciptakan kelas sosial baru, yaitu para Priyayi.[6]

Baru kemudian di awal abad ke-20, melihat realitas sosial yang sangat timpang dan memprihatinkan, munculah sosok ningrat (priyayi) baru yang memilih keluar dari keningratannya. terdapat juga yang terlahir dari kelas sosial baru para priyayi; Sukarno, Hatta, Sjahrir, Otto Iskandar Dinata, Kartini, Lasminingrat, Sri Dewi Sartika, Cut Nyak Dien adalah sosok-sosok besar yang muncul mewakili kegentingan bangsanya yang sangat memprihatinkan pada saat itu. Mereka membuka kran pendidikan agar bisa diakses dan dimiliki oleh seluruh lapisan masyarakat.

Pendidikan yang utama kala itu adalah kesadaran berbangsa, kesadaran berbangsa menyadarkan kesadaran suku bangsa. Bahwa bangsa ini terdiri dari ribuan suku, salah satunya suku Sunda. Maka kemudian, kesadaran berbangsa harus dilandasi dengan kesadaran suku/wilayah. Keduanya adalah idetitas satuan yang sama, seperti ‘Tritangtu’ dalam konsep alam berfikir kebudayaan manusia Sunda “Tilu sapamulu, dua sakarupa, hiji eta keneh”. Jadi, identitas ‘lokal, nasional, dan global’ tidaklah semestinya dipertentangkan. Milan Kundera, seorang novelis yang mengeksflorasi perihal ketidakkekalan dan identitas, mengatakan bahwa identitas itu terus berubah dan bersifat fluktuatif. Artinya kalau identitas itu berhenti dan dikristalkan menjadi baku-tetap, maka ia akan tertutup dan mengeras dengan sendirinya.[7]

Terkait bahasa lokal dalam konteks global, perlu dipahami bahwa bahasa lokal itu mengisi pondasi dan ruang-ruang kosong yang membuat bahasa dan budaya global itu eksis. Tanpa bahasa dan budaya lokal, maka tatanan global dunia tidak dapat hadir. Inilah konsep Tilu Sapamulu atau Tritangtu yang tidak lahir dari dualisme oposisi binernya cartesian-newtownian yang saling meniadakan, melainkan lahir dari filsafat Karuhun yang mensistesa dualisme menjadi dualitas yang saling mengadakan.

Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimana kita melestarikan bahasa lokalitu? Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah bagian dari berlakunya tatanan dunia modern. Kemajuan, dan percepatan ibarat syahadat untuk kita menjadi manusia modern. Belum lagi keglamoran dalam bentuk konsumerisme adalah pola hidup yang teramat dekat dengan dunia harian kita.

Jika kita mau membuka lembaran-lembaran dampak yang ditinggalkan modernitas, kita akan menemukan bongkahan besar di dalamnya; ialah kekeringan spiritual[8]. Tidak ada kesakralan dan makna hidup dalam dunia material modern. Jika kita tidak menyadari hal ini, selamanya kita akan tererosi oleh arus dunia modern ini.

Salah satu jalan alternatif untuk mengetengahi itu semua adalah Kearifan lokal atau budaya. Orang Barat menyebut konsep ini dengan sekadar slogan eksotis “back to nature”. Salah satu yang menarik perhatian saya, dalam membaca gejala yang sudah saya kemukakan di atas, adalah perihal pendidikan. Pendidikan menurut saya adalah pola asuh, layaknya seorang ibu mengasuh anaknya, itulah pendidikan.

Terdapat satu lakon atau legenda di masyarakat Sunda, yaitu Sangkuriang. Cerita Sangkuriang bisa bercerita akan kita yang sudah lupa pada ibu (Sunda); mulai dari ilmu pengetahuan yang bisa dibahasakan oleh bahasa Sunda, kebudayaan Sunda, kesenian Sunda, pertanian, teknologi dan sebagainya. Bukankah kerajaan moyang kita juga punya interaksi (budaya, dagang dsb.) dengan bangsa lain. Artinya kebudayaan global juga terjadi kala itu, sebagaimana kita hari, tentu dengan bentuk-ragam yang berbeda. Namun yang menjadi catatan besar, bagaimana kita bisa belajar pada moyang yang tidak lupa akan jati dirinya, yaitu manusia Sunda, sebab itulah mereka menciptakan pesan zaman (legenda Sangkuriang) yang akan diwariskan pada anak cucunya hari ini.

Mungkin kita bisa belajar kembali pada Si Kabayan dengan cerita urakan spiritualisnya, Mundinglaya, atau bahkan karakter perempuan Dayang SUmbi. Anak muda yang hari ini gandrung dengan isu-isu feminisme misalnya, mungkin bisa belajar kembali, bahkan lebih maju dari sosok perempuan Sunda yang bernama Dayang Sumbi. Bagaimana ia kokoh dengan pendiriannya bahwa Sangkuriang adalah anaknya, lalu ia mencari cara agar siasat Sangkuriang tidak terjadi.

Contoh lain adalah dampak kerusakan alam lingkungan, mungkin sebenarnya manusia itu tahu bahwa alam-lingkungan layaknya ibu yang sudah merawatnya, namun ia keukeuh dengan ambisinya; perkebunan sawit, tambang batu bara, tambang pasir sungai, tambang emas dan lain sebagainya. Ambisi yang mirip layaknya Sangkuriang ingin memperistri Dayang Sumbi sebagai sang Ibu. Pertanyaannya kemudian, bagaimana revolusi besar yang dilakonkan oleh Dayang Sumbi bisa lahir dan hadir di perempuan-perempuan Sunda hari ini, yaitu teguh pada prinsip dan mencari cara untuk menggagalkan ambisi Sangkuriang pada sang ibu. Sangat menarik bukan?

Pertanyaannya kemudian, bagaimana revolusi besar yang dilakonkan oleh Dayang Sumbi bisa lahir dan hadir di perempuan-perempuan Sunda hari ini, yaitu teguh pada prinsip dan mencari cara untuk menggagalkan ambisi Sangkuriang pada sang ibu. Sangat menarik bukan?

Itu semua adalah pesan zaman yang dilegendakan oleh moyang kita dalam bentuk lakon; salah satu contohnya adalah Sangkuriang dan Dayang Sumbi. Mungkin masih banyak lagi legenda yang telah dilakonkan (dalam bentuk pamali misalnya) yang belum kita pahami realita-imajisitasnya hari ini. Kita tidak akan bertanya lagi apakah cerita itu benar adanya atau tidak, akan tetapi bagaimana kita bisa memahami cerita itu dan dampak yang dirasakan hari ini. Bukankah dengan demikian cerita legenda itu bisa dihadirkan da nada yang kita perbuat untuk hari depan. Dengan demikian, purnalah tugas moyang kita dalam mewariskan pesan zamannya untuk anak cucunya yang hidup saat ini.

Jika kita mau kembali pulang ke alam rumah Sunda, cukuplah kita melihat apa yang ada di dalam rumah kita sendiri, bahwa ‘rumah Sunda’ sudah lebih dari cukup, telah diwarisi moyang untuk menghidupi kita. Di dalam rumah Sunda itu sudah barang tentu terdapat peralatan untuk menopang kehidupan; mulai dari bahasa, adat, kebudayaan, teknologi, hingga ilmu pengetahuan. Hanya saja, seringkali kita merasa bosan di rumah, lalu mengira rumput tetangga lebih hijau dari rumput rumah sendiri. Biarlah itu semua bagian dari perjalanan hidup yang harus dilewati, dan mengajarkan pada kita untuk tidak lagi pergi jauh, mencari terus keluar yang tidak akan pernah berujung.

 

[1] Munculnya wikipediawan (Indonesia, Sunda dan lainnya) adalah salah satu usaha pemaknaan tersebut. Derasnya istilah-istilah baru dalam bahasa asing (inggris) khususnya, perlahan menggerus makna-makna bahasa kita. Tidak bisa dielak, karena bagaimanapun itu semua perkembangan akan realitas global hari ini. Sebagai contoh; anak muda yang ‘keminggris’, ia lebih percaya diri menggunakan term-term Inggris dalam percakapannya, karena ia mengakses ilmu pengetahuan baru yang lahir dalam term tersebut. belum lagi kedepannya percakapan dagang (ekonomi) akan berporos di China, tentu perkembangan bahasa pun akan mengikutinya. Itu semua kita maknai sebagai ‘kebudayaan’.

[2] Sebuah ejekan yang dilontarkan sterotipe oleh orang Belanda kepada penduduk pribumi (masyarakat lokal). Orang Belanda yang hegemonial merasa dirinya superior, imbasnya pribumi merasa inferior.

[3]Kelas sosial terhormat (darah biru), kala itu hanya golongan ini yang mempunyai akses pada pendidikan.

[4] Meliputi ‘peranakan’. Cina, India, dan eropa lainnya.

[5] Orang-orang eropa kulit putih, stigma rasial masih berlangsung hingga hari ini di Eropa, bahkan Amerika.

[6] Novel Umar Khayam yang berjudul ‘Para Priyayi’ sangat menarik dalam bercerita kelas sosial baru ini.

[7] Perang antar suku dan sebagainya adalah bentuk dari pembakuan identitas (terlepas dari bumbu politik), semangat primordialisme, politik identitas yang terjadi di ibu kota belakangan kemarin, dan munculnya kerajaan-kerajaan baru belakangan ini adalah perwujudan bentuk pengkristalan dari identitas yang dibakukan.

[8]Orang-orang Eropa hingga dari mulai abad ke-19 hingga hari ini berbondong-bondong mempelajari dunia spiritual; mereka mempelajari Buddhisme, Hinduisme, Taoisem, Zen-Buddhisme dan sebagainya adalah fakta riil yang terjadi.

Janji Keadilan Bagi Tionghoa di Indonesia

Setelah kekuasaan Orde Baru tumbang, kondisi sosial-politik di Indonesia mengalami pergeseran yang signifikan. Tidak hadirnya kekuatan politik dominan membuat gelombang demokrasi melanda hampir di segala bidang kehidupan, tidak terkecuali di bidang kebudayaan. Kondisi ini memungkinkan berbagai praktek kebudayaan yang pada saat Orde Baru berkuasa dilarang tampil secara publik kemudian satu persatu mulai berani menampakkan dirinya kembali, salah satunya adalah kebudayaan etnis Tionghoa.

Meski diperolehnya kembali kebebasan tersebut harus ditebus dengan sebuah kerusuhan massa—atau yang dalam ingatan kolektif bangsa ini dikenal sebagai ‘Tragedi Mei 1998’—yang memakan banyak korban jiwa dari kalangan etnis Tionghoa, namun masa-masa sesudah itu tidak bisa dipungkiri telah membawa banyak perubahan bagi kehidupan mereka di Indonesia. Indonesia pasca-Orde Baru, atau juga biasa disebut dengan “Era Reformasi” telah membuka kesempatan yang lebih luas bagi orang Tionghoa Indonesia untuk dapat mengekspresikan Identitas kebudayaan mereka kembali tanpa perlu khawatir dengan larangan dari pemerintah. Praktis sejak tahun 1999, mereka pun akhirnya bisa merayakan kembali Hari Raya Imlek tanpa perlu takut-takut lagi (Turner, 2003; Turner dan Allen, 2007).

Pribumi dan Non Pribumi

Sebelumnya, tepat pada 16 September 1998, Presiden B.J. Habibie mengeluarkan Instruksi Presiden No. 26/1998 yang menghapuskan penggunaan istilah “pribumi” dan “non pribumi” untuk menyebut orang pribumi dan orang Tionghoa. Momen bersejarah ini pun kian sempurna ketika pada 17 Januari 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keputusan Presiden No. 6/2000 yang berisi pencabutan Instruksi Presiden No.14/1967 tentang pelarangan agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina, yang kemudian diteruskan dengan pencabutan larangan penggunaan nama Tionghoa buat orang-orang Tionghoa Indonesia pada 2001. Keputusan presiden ini selanjutnya diterjemahkan lewat Keputusan Menteri Agama No.13/2001 tentang penetapan Hari Raya Imlek sebagai hari libur fakultatif (hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya) dan diteruskan dengan pencabutan larangan penggunaan bahasa Tionghoa baik lisan maupun tulisan (Setiono, 2002). Ketika menghadiri perayaan Imlek yang diselenggarakan MATAKIN pada tanggal 17 Februari 2002, Presiden Megawati Soekarnoputeri juga mengumumkan bahwa mulai tahun 2003 Imlek akan ditetapkan menjadi hari libur Nasional.

Kembali Ke Kancah Politik

Perlu juga dicatat bahwa sejak bergulirnya Era Reformasi telah lahir kesadaran di kalangan orang-orang Tionghoa Indonesia untuk meramaikan kembali kancah politik nasional, mengingat sepanjang pemerintahan Orde Baru hak-hak politik dan budaya mereka tidak mendapatkan penyaluran yang memadai. Berbagai kelompok peranakan Tionghoa pun beramai-ramai membentuk partai politik, paguyuban, perhimpunan, LSM, dan sebagainya. Di antaranya adalah Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (PARTI), Partai Bhinneka Tunggal Ika (PBI), Paguyuban Sosial Marga Tionghoa (PSMTI), Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI), Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), Gerakan Anti Diskriminasi (GANDI), Solidaritas Pemuda Pemudi Indonesia Untuk Keadilan (SIMPATIK), dan sebagainya (Setiono, 2002; Turner dan Allen, 2007: 122-123).

Perlu juga dicatat bahwa sejak bergulirnya Era Reformasi telah lahir kesadaran di kalangan orang-orang Tionghoa Indonesia untuk meramaikan kembali kancah politik nasional, mengingat sepanjang pemerintahan Orde Baru hak-hak politik dan budaya mereka tidak mendapatkan penyaluran yang memadai.

Namun sangat sedikit di antara partai-partai politik yang dikomandoi oleh orang Tionghoa tersebut menuai kesuksesan berarti. Hampir semua partai yang berdiri waktu itu, selain PBI yang hanya mendapatkan satu kursi di parlemen dari daerah pemilihan Kalimantan Barat, tidak memenuhi ketentuan ambang batas (treshold) elektoral yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Thee Kian Wie, ekonom senior dari LIPI, berpendapat bahwa kecenderungan tersebut merupakan tanda-tanda positif bagi perbaikan kehidupan dan masa depan orang Tionghoa di Indonesia, namun satu hal yang membuatnya nampak kurang begitu nyaman dari fenomena tersebut adalah terkait dengan penonjolan yang berlebihan terhadap ciri-ciri ketionghoaan dalam partai-partai yang ada, karena seolah-olah mereka hanya mewakili kepentingan orang-orang Tionghoa saja, selain juga bisa memicu munculnya kembali penilaian berbau rasial dari kelompok pribumi (Turner, 2003: 349).

Gagasan Pembauran

Senada dengan Thee, Ong Hok Ham, sejarawan peranakan yang sejak dulu mendukung gagasan pembauran, juga menunjukkan ketidakyakinannya bahwa partai-partai berbasis etnis yang didirikan oleh sejumlah tokoh Tionghoa akan mampu menjadi sarana perjuangan bagi perbaikan nasib masyarakat Tionghoa di Indonesia. Dugaan Ham terbukti benar. Jangankan merealisasikan tujuan tersebut, bersaing mendapatkan suara dalam pemilu 1999 saja, bahkan sekedar menjadi kontestan, partai-partai tersebut terlihat kurang kompetitif. Strategi yang kemudian dipilih oleh tokoh-tokoh Tionghoa justru mengembangkan mekanisme lobi, strategi politik yang oleh Ham dipandang sebagai langkah meniru lobi-kobi berbasis etnis yang lazim terjadi dalam perpolitikan Amerika. Sistem lobi ini dimaksudkan untuk menjaga idependensi sikap di tengah iklim politik yang kurang menentu. Sebab, jika sikap politik itu telah digariskan secara tegas, hal ini justru akan merugikan masyarakat Tionghoa sendiri karena sikap politik mereka akan lebih mudah ditebak, dan yang lebih penting adalah kenyataan bahwa jarang sekali partai yang didirikan oleh kelompok minoritas akan mampu berkembang menjadi lebih besar di kemudian hari. Tentang sikapnya ini Ham berpendapat:

~~~

“…. partai politik dari golongan minoritas cenderung mengisolasi golongan minoritas dari dunia perpolitikan bangsa. Sementara itu, partai politik dari minoritas etnis atau ras tidak pernah memiliki kursi banyak dalam parlemen, karena jumlah mereka terlalu sedikit. Masalahnya adalah apakah bisa dilahirkan politik minoritas yang independen, yang berjuang bagi kepentingan minoritas, seperti menghapus diskriminasi, dan bagi seluruh bangsa” (Kompas, 13 Agustus 1999).

~~~

Thee dan Ham selanjutnya lebih menyarankan supaya orang-orang Tionghoa untuk bergabung ke dalam partai-partai politik yang sudah ada, yang secara politis lebih terbuka terhadap, dan lebih mampu mengakomodasi kepentingan berbagai golongan di Indonesia, misalnya PDI-P, Golkar, PAN, PKB, dan lain-lain. Hasilnya ternyata memang lebih bagus. Pada pemilu 1999, ada beberapa orang etnis Tionghoa yang berhasil menjadi anggota DPR, MPR dan DPRD. Di DPR ada nama Kwik Kian Gie (kemudian diganti karena diangkat menjadi menteri) dan Tjiandra Wijaya Wong dari PDI-P, Alvin Lie Ling Piao dari PAN, Enggartiasto Lukita dari Golkar. Sementara di MPR ada nama Hartarti Murdaya (Chow Lie Ing) dari Walubi yang mewakili Utusan Golongan dan Daniel Budi Setiawan yang menjadi wakil Utusan Daerah Jawa Tengah dari PDI-P. Seharusnya ada lagi seorang etnis Tionghoa yang menjadi anggota DPR yaitu Frans Tshai yang mewakili PDI-P Bogor, namun pada saat-saat terakhir ia disingkirkan dan tempatnya diberikan kepada orang lain (INTI, 2003).[1]

Beberapa etnis Tionghoa bahkan pernah menduduki beberapa jabatan strategis di pemerintahan lokal, di antaranya Basuki Tjahaja Purnama, menjabat sebagai Bupati Belitung Timur periode 2005-2010, dan setahun kemudian, Christiandy Sanjaya terpilih sebagai Wakil Gubernur Kalimantan Barat. Jumlah keterlibatan orang-orang Tionghoa dalam politik praktis mengalami peningkatan cukup signifikan pada Pemilu 2009. Terdapat sekitar 100 calon legislatif di tingkat DPR yang berasal dari etnis Tinghoa. Belum lagi caleg untuk tingkat DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Dalam daftar tersebut, misalnya, selain nama Alvin Lie (PAN Jateng), Rudianto Tjen (PDI-P, Bangka), Charles Honoris (PAN Jatim), Henky Kurniadi (PDI-P Jatim), Agoes (Hanura), L Walanda (Sulawesi Utara), Tan Fu Yong (DKI Jakarta), dan Samuel Nitisaputra (Kalimantan Timur), Frans Tjai dan Eddy Sadeli (P. Demokrat), AB Susanto (PKB), Tommy Satnjoto, Hertanto Surya, Sri Mutiara Sutardji (PKPI), Anton Gautama (PDI-P), Siegvrieda, Joseph Mangondow (Pelopor), Hendry Tjandra (PIB), Kimmy Himawan (PAN), dan sebagainya (Suara Karya, 31 Maret 2009).[2]

Kebebasan Masyarakat Tionghoa Indonesia

Iklim kebebasan di Era Reformasi juga disambut dengan terbitnya banyak publikasi seputar masyarakat Tionghoa di Indonesia, dari kajian yang sifatnya serius hingga yang lebih populer.[3] Kondisi ini juga dimanfaatkan sebagian kalangan untuk menerbitkan media berkala yang menyuarakan aspirasi masyarakat Tionghoa di Indonesia.[4] Sampai akhir April 2008, setidaknya masih terbit sembilan media yang mengambil segmentasi warga keturunan Tionghoa: lima media cetak berbahasa Mandarin (Indonesia Shang Bao, Gui Ji Ri Bao, Suara Indonesia, Harian Indonesia (Reji Ri Bao), dan Kun Dian Ri Bao), tiga media cetak berbahasa Indonesia (Era Baru, Majalah Sinergi, dan majalah Suara Baru), dan sebuah media berbahasa Inggris (The Universal Daily News) (Prasetyo, 2010: 172-173).

Bagaimana dengan orang-orang Tionghoa Muslim Indonesia dalam merespon perubahan situasi politik tersebut?

Dipicu oleh kekecewaan terhadap Golkar yang dianggap kurang mampu mengawal proses pembauran selama berkuasa, Junus Jahja dan sejumlah tokoh Tionghoa, di antaranya HM. Jusuf Hamka, Budi Susanto, Dr. Dih Liang, mendirikan Partai Pembauran Indonesia (Parpindo) dengan pertimbangan dibutuhkannya sebuah wadah partai politik yang sanggup menampung aspirasi masyarakat terhadap masalah pembauran bangsa dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Parpindo yang memilih Pancasila sebagai basis ideologinya ini bersifat terbuka bagi seluruh warga negara tanpa memandang suku, keturunan, dan agamanya (Kompas, 6 Juni 1998). Menurut Junus, agenda pembauran selama Orde Baru berkuasa berjalan tanpa arah, digerakkan oleh pihak yang tidak ‘becus’ dan tidak peduli terhadap pembauran itu sendiri. Meski agenda asimilasi sudah dicetuskan sejak tahun 1960-an, bahkan telah menjadi slogan resmi rezim Orde Baru, namun terbukti hasilnya tidak maksimal dan tepat sasaran karena rezim yang berkuasa memang belum menganggap masyarakat Tionghoa sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia itu sendiri. Sebab, agenda pembauran yang sejati, dalam artian memperkuat infrastruktur bagi terciptanya pembauran yang bersifat alamiah, belum menjadi isu mayor bagi hadapan pemerintah Orde Baru. Junus menuturkan:

~~~

“Kita ini bukan economic animals, dan juga bukan mewakili kelompok yang bersemangat cukongisme. … di antara orang-orang keturunan Cina ini ada pemain bulu tangkis, dokter-dokter yang bekerja sebagai pegawai negeri, dan lainnya. Selama ini mereka dipukul rata saja dan pergerakan pembauran di Indonesia tidak lagi ditangani oleh mereka yang mempunyai perhatian terhadap masalah ini, tapi sudah kemasukan orang-orang yang menginginkan pembahasannya meluas tidak hanya pada masalah Cina saja.”[5]

~~~

Sayang, rendahnya dukungan baik dari kalangan Tionghoa sendiri maupun masyarakat Indonesia secara umum membuat Parpindo kurang mampu bersaing dengan partai-partai lainnnya, bahkan dinyatakan tidak lolos dalam Pemilu 1999. Namun, kondisi tersebut lantas tidak membuat Junus patah semangat untuk tetap menempatkan urgensi asimilasi bagi orang-orang Tionghoa di Indonesia sebagai pokok perhatiannya. Salah satunya disampaikan melalui seruan terhadap orang-orang Tionghoa Muslim untuk menyikapi perubahan politik pasca tumbangnya Orde Baru sebagai peluang untuk menunjukkan peran mereka secara lebih luas. Dengan kata lain, kebebasan itu harus bisa dimanfaatkan oleh orang-orang Tionghoa Muslim untuk berpartisipasi lebih aktif di berbagai bidang kehidupan. Namun, tetap perlu diwaspadai bahwa potensi konflik antara etnis Tionghoa dengan penduduk pribumi belum sepenuhnya hilang meski orde kekuasaan telah berganti.

Akar Konflik dan Potensi Memediasinya

Menurut Jahja, selama pemerintah Orde Baru berkuasa, sebenarnya praktek diskriminasi tidak hanya ditujukan kepada etnis Tionghoa semata, tetapi penduduk pribumi pun turut merasakannya. Orang Tionghoa memang dilarang mengekspresikan kebudayaannya dan dibatasi keterlibatannya dalam bidang politik, namun mereka dimanjakan pemerintah dalam sektor ekonomi. Sebaliknya, meskipun penduduk pribumi lebih leluasa berkecimpung dalam kehidupan politik, namun aksesnya terhadap sumber-sumber ekonomi relatif dibatasi oleh pemerintah Orde Baru. Kondisi ini, kalau tidak disikapi secara serius oleh pemerintahan baru di Era Reformasi tentu potensial menjadi ancaman bagi terciptanya kerjasama dan sikap saling menghormati antara kedua kelompok tersebut. Kondisi ini, lanjut Jahja, sebenarnya peluang bagi orang-orang Tionghoa Muslim untuk memerankan fungsinya sebagai mediator bagi kedua kelompok. Posisi orang-orang Tionghoa Muslim yang relatif dapat diterima oleh penduduk pribumi membuat mereka lebih leluasa menjalin kerjasama dengan penduduk pribumi, yang kemudian dapat dilanjutkan dengan menjembatani kedua kelompok dalam kegiatan-kegiatan publik (Ali, 2007: 14-15).

Orang Tionghoa memang dilarang mengekspresikan kebudayaannya dan dibatasi keterlibatannya dalam bidang politik, namun mereka dimanjakan pemerintah dalam sektor ekonomi. Sebaliknya, meskipun penduduk pribumi lebih leluasa berkecimpung dalam kehidupan politik, namun aksesnya terhadap sumber-sumber ekonomi relatif dibatasi oleh pemerintah Orde Baru.

Sependapat dengan Junus Jahja, Budi Setyagraha, tokoh Tionghoa Muslim dari Yogyakarta, melihat bahwa terbuka lebarnya pintu kebebasan di Era Reformasi tersebut semestinya bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh orang-orang Tionghoa untuk terlibat dalam berbagai bidang kehidupan di negeri. Mereka sebaiknya tidak hanya berkonsentrasi di bidang bisnis saja, tetapi harus lebih berani memasuki jenis profesi lainnya, mungkin menjadi guru, dosen, peneliti, tentara, polisi, jaksa, hakim, pengacara, artis, wartawan, sastrawan, begitu juga menjadi politikus. Orang-orang Tionghoa harus berusaha keluar dari isolasi yang selama ini mengungkungnya. Politik bukan lagi sesuatu yang menakutkan dan perlu dijauhi, sebaliknya perlu dipelajari dan dipahami. Etnis Tionghoa harus turut berpolitik praktis melalui partai politik-partai politik  yang sesuai dengan pilihannya atau bersama-sama komponen bangsa lainnya mendirikan partai politik untuk dijadikan alat perjuangan guna mencapai apa yang selama ini mereka harapkan. Bagi orang-orang Tionghoa Muslim sendiri, lanjut Budi, kondisi ini juga merupakan peluang bagi mereka untuk lebih aktif dalam mengusung agenda-agenda asimilasi. Posisi mereka yang lebih dapat diterima oleh penduduk pribumi harus mereka manfaatkan secara maksimal sebagai jalan untuk memasuki bidang-bidang pekerjaan yang selama ini identik dengan penduduk pribumi, seperti guru, dosen, karyawan, peneliti, artis, pengacara, notaris, insinyur, dan sebagainya (Bernas, 19 Maret 2006).

Tionghoa Muslim

Bersambut dengan seruan dua tokoh di atas, pertemuan penulis dengan dua orang Tionghoa Muslim asal Semarang dan Kudus, sebut saja Hasan dan Hendra, sedikit banyak telah membuktikan bahwa bagi orang Tionghoa Muslim sendiri pun selanjutnya merasa lebih bisa diterima dan dipersepsi secara positif oleh orang-orang pribumi ketika mereka berkecimpung di bidang profesi yang umumnya juga ditekuni oleh orang-orang pribumi. Sebenarnya, dengan menyandang identitas sebagai Muslim pun mereka merasa sudah lebih bisa diterima, apalagi ketika mereka menekuni pekerjaan-pekerjaan yang sering dikaitkan dengan orang-orang pribumi. Kondisi ini menggambarkan bahwa prasangka dan diskriminasi yang sering mereka terima sebenarnya bukan semata dipicu oleh persoalan perbedaan ras dan agama, tetapi juga erat kaitannya dengan perbedaan profesi yang berujung pada perbedaan tingkat kesejahteraan ekonomi antara mereka dengan penduduk pribumi.

Kesejahteraan ekonomi yang cukup mencolok tidak bisa dipungkiri telah membuat orang-orang pribumi cemburu terhadap mereka, hingga kemudian muncul stereotip negatif seperti economic animals (binatang ekonomi) yang rakus dan egois.

Kesejahteraan ekonomi yang cukup mencolok tidak bisa dipungkiri telah membuat orang-orang pribumi cemburu terhadap mereka, hingga kemudian muncul stereotip negatif seperti economic animals (binatang ekonomi) yang rakus dan egois. Itulah sebabnya ketika ada orang-orang Tionghoa yang menekuni jenis profesi selain di bidang bisnis, orang-orang pribumi cenderung melihat mereka sebagai pengecualian, apalagi jika mereka sekaligus seorang Muslim. Hal ini mengindikasikan bahwa hubungan antara kedua belah pihak sejauh ini memang sarat akan prasangka dan kecurigaan, seperti yang diungkapkan oleh Hasan dan Hendra berikut:

~~~

“Sangat sulit menghilangkan stigma buruk terhadap orang-orang Cina, apalagi untuk mereka yang kaya-kaya. Mereka umumnya juga hidup secara eksklusif, dan kurang bergaul dengan penduduk pribumi. Bahkan, cenderung menganggap rendah orang pribumi. Coba Anda lihat saja, di sepanjang jalan-jalan utama di Semarang Anda bisa melihat banyak sekali orang-orang Cina yang mempekerjakan orang-orang Jawa. Mereka juga memperlakukan orang-orang pribumi layaknya seorang pembantu. Ini mungkin penyebab mengapa masyarakat pribumi juga sering membenci orang-orang Cina. … tapi ini tidak semua mas, karena nampaknya ada pengecualian bagi orang Tionghoa yang masuk Islam. Sejak menjadi Muslim pada tahun 1997 sambutan masyarakat pribumi sangat welcome, mereka seakan-akan tidak percaya kalau ada orang Cina yang masuk Islam. Namun satu hal juga yang mungkin membuat mereka semakin menerima saya adalah karena saya ini kan bukan Cina kaya? Saya hanya seorang karyawan swasta, sama juga dengan mereka, jadi mereka tidak iri atau cemburu kepada saya. Menurut saya pekerjaan itu penting banget mas, karena ini sumber kecemburuan yang sebenarnya paling jelas.”[6] 

“Bagi mereka yang belum tahu kalau saya adalah seorang Muslim, mungkin mereka akan menganggap saya itu sama saja dengan orang-orang Cina lainnya, yang dianggap lebih suka hidup eksklusif menggerombol dengan sesama golongannya. Tapi, kebetulan saya ini bukan pebisnis mas, karena dorongan hati saya lebih condong pada mengajar. Sejak kecil saya merasa kurang trampil dalam manajemen, saya lebih suka dengan sesuatu yang bersentuhan dengan pendidikan. Itulah mengapa saya sekarang memilih menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi swasta di semarang. Bagi teman-teman atau mahasiswa saya yang tahu keislaman saya, mereka sangat bersimpati dan mendukung saya. Saya dianggap orang Cina yang melawan arus atau orang Cina yang mbalelo, tapi konotasinya tentu yang positif.”[7]

~~~

Senada dengan kecenderungan di atas, Maulana dalam penelitiannya juga membuktikan hal serupa di kalangan masyarakat Tionghoa Muslim Yogyakarta. Dia menyebutkan ada kecenderungan di kalangan mereka untuk berprofesi di bidang yang tidak terkait langsung dengan aktivitas bisnis, sesuatu yang mungkin selama masa pemerintahan Orde Baru bukanlah pilihan yang populer bagi mereka. Beberapa nama bisa disebut, di antaranya adalah Ahmad Sutanto dan Margaretta, dosen di Fakultas Ekonomi dan Fakultas-MIPA Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, Grace Lestariana, dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dan Hendrik, dosen di Fakultas Teknik Universitas Islam Indonesia (Maulana, 2010: 109). Sebenarnya di kalangan orang-orang Tionghoa Muslim sendiri juga terdapat kecenderungan kuat untuk mencoba berkarir di instansi pemerintah sebagai pegawai negeri sipil (PNS), namun karena kesempatan untuk melakukannya masih terbatas maka mereka kemudian memilih untuk berkarir di institusi-institusi swasta. Fenomena ini merupakan bukti nyata bahwa telah terjadi perubahan-perubahan orientasi pada diri orang-orang Tionghoa dalam konteks Indonesia pasca-Orde Baru, kecenderungan yang disadari atau tidak, ternyata telah membantu mengikis prasangka-prasangka negatif terhadap mereka dari masyarakat pribumi. Dengan kata lain, tidak semua orang Tionghoa Indonesia merupakan aconomic animals yang patut dicurigai dan dibenci, demikian pengakuan seorang warga pribumi ketika dimintai pendapatnya mengenai kecenderungan tersebut.

Perubahan-perubahan orientasi pada diri orang-orang Tionghoa dalam konteks Indonesia pasca-Orde Baru, ternyata telah membantu mengikis prasangka-prasangka negatif terhadap mereka dari masyarakat pribumi.

~~~

“Awalnya agak aneh sih melihat orang Cina kok jadi guru atau jadi dosen. Kebanyakan dari mereka kan pedagang yang menganggap uang sebagai tujuan utama mereka. Menurut saya, ini gejala yang patut dicermati dan disambut baik, karena semakin banyak orang-orang Cina yang berani mengambil langkah ini, maka saya yakin penilaian orang-orang Jawa lambat laun akan berubah.”[8]

~~~

Kenangan Orde Baru

Sayangnya, mengingat kesempatan yang tersedia masih sangat terbatas untuk berkarir di Institusi-institusi pemerintah, maka kita belum bisa menjumpai lebih banyak lagi orang-orang Tionghoa yang menempuh jalan tersebut. Namun, terlepas dari masih minimnya kesempatan tersebut, Indonesia pasca-Orde Baru tetaplah akan dikenang oleh masyarakat Tionghoa Indonesia sebagai salah satu babak terpenting dalam sejarah keberadaan mereka di negeri ini. Demokratisasi di bidang politik telah melahirkan kembali kesadaran di kalangan masyarakat Tionghoa akan pentingnya ketersediaan saluran-saluran partisipasi bagi mereka, selain sebagai sarana perjuangan bagi kepentingan-kepentingan mereka, hal ini juga dapat dipandang sebagai bukti keseriusan mereka untuk terlibat lebih jauh dalam upaya-upaya perbaikan negeri ini.

Demokratisasi di bidang politik telah melahirkan kembali kesadaran di kalangan masyarakat Tionghoa akan pentingnya ketersediaan saluran-saluran partisipasi bagi mereka.

Di kalangan Tionghoa Muslim sendiri, iklim kebebasan di Indonesia pasca-Orde Baru ini kemudian segera direspon dengan cara semakin menguatkan konsolidasi dan merumuskan orientasi gerakan ke depan secara lebih sistematis. Ambil contoh, pada 23 Maret 2005 DPD PITI Jateng menyelenggarakan Musyawarah Wilayah yang mengusung agenda utama yaitu merumuskan strategi-strategi gerakan yang diharapkan lebih mampu mewujudkan terciptanya suasana saling menghormati dan kerjasama antara masyarakat Tionghoa Muslim dengan penduduk pribumi. Kegiatan ini diikuti oleh hampir seluruh anggota DPD PITI Jawa Tengah, di antaranya dari Semarang, Pekalongan, Rembang, Kudus, Purbalingga, Tegal, Surakarta, Salatiga, Jepara, Purwokerto, Blora, dan lain-lain. Beberapa tokoh penting Tionghoa Muslim Jawa Tengah juga hadir dalam acara tersebut, seperti H. Fuad Sahil, Jaisar Amit, Maksum Pinarto, Gautama Setiadi, Harry Afandi, dan Iskandar. Salah satu butir rekomendasi dari acara tersebut adalah disepakatinya pembangunan Islamic Center yang rencananya akan dibangun di Semarang dan diharapkan mampu menjadi pusat kegiatan dan pembelajaran pengetahuan keislaman bagi orang-orang Tionghoa Muslim di Jawa Tengah (Suara Merdeka, 22 Maret 2005).[9]

Ruang Demokrasi Tionghoa Muslim

Di tahun yang sama, DPP PITI juga menyelenggarakan Musyawarah Nasional III yang diselenggarakan di Surabaya. Munas yang kemudian menetapkan HM. Trisno Adi Tantiono sebagai Ketua Umum DPP PITI ini dapat dianggap sebagai momen paling bersejarah bagi masyarakat Tionghoa Muslim Indonesia pasca-Orde Baru, sebab melalui forum ini kemudian lahir kesepakatan tentang penggunaan kembali kata Tionghoa dalam nama PITI. Di tahun-tahun itu juga tanda-tanda semakin menggeliatnya aktivitas komunitas Tionghoa Muslim Indonesia mulai terasa, setidaknya jika dilihat dari dibangunnya masjid dan pusat keislaman di beberapa daerah, di antaranya Masjid Cheng Ho di Surabaya, Purbalingga, Bandung, dan Palembang, Masjid Ja’mi An Naba’ KH. Tan Shin Bie di Purwokerto, Masjid Cheng Ho Jawa Tengah di Semarang, serta Islamic Center di Kudus (Tanudjaja, 2005).[10] Makin maraknya aktivitas komunitas Tionghoa Muslim di Indonesia pasa-Orde Baru ini kemudian mematahkan tesis yang menganggap bahwa keislaman mereka semata hanya untuk mencari perlindungan penguasa. Jika tesis ini benar, semestinya sebagian besar orang Tionghoa yang telah memeluk Islam ketika Orde Baru masih berkuasa akan kembali lagi kepada keyakinan terdahulu mereka seiring dengan tumbangnya kekuasaan Orde Baru yang pernah mengebiri kebebasan mereka hampir di segala bidang kehidupan telah tumbang.

Meski iklim demokrasi di Indonesia pasca-Orde Baru telah memberi kesempatan bagi orang-orang Tionghoa Muslim untuk menunjukkan identitas dan pandangan-padangan mereka secara lebih terbuka, namun hal ini bukan berarti tidak ada lagi masalah serius yang bakal mereka hadapi di waktu-waktu selanjutnya. Menurut pengamatan Ali (2007: 14-15), posisi mereka tetap berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, keputusan untuk memeluk Islam memang semakin mendekatkan mereka dengan pemerintah dan masyarakat pribumi, namun di sisi lain mereka juga menghadapai situasi baru yang cukup dilematis, yakni hubungan mereka dengan orang-orang Tionghoa terancam memburuk.

Jika mereka terlalu dekat dengan pemerintah dan penduduk pribumi, maka hal ini dikhawatirkan akan mengganggu hubungan mereka dengan orang-orang Tionghoa non-Muslim, sementara jika mereka terlalu dekat dengan orang-orang Tionghoa, maka mereka kemudian akan rentan terhadap prasangka-prasangka negatif dari penduduk pribumi.

Jika mereka terlalu dekat dengan pemerintah dan penduduk pribumi, maka hal ini dikhawatirkan akan mengganggu hubungan mereka dengan orang-orang Tionghoa non-Muslim, sementara jika mereka terlalu dekat dengan orang-orang Tionghoa, maka mereka kemudian akan rentan terhadap prasangka-prasangka negatif dari penduduk pribumi, misalnya jalan memeluk Islam hanya sekedar untuk mencari posisi aman. Dengan demikian, menjadi Muslim tidak kemudian selalu bermakna sebagai telah purnanya proses asimilasi orang-orang Tionghoa ke dalam masyarakat pribumi, karena dalam konteks Indonesia pasca-Orde Baru, telah terjadi perubahan-perubahan mendasar terkait dengan orientasi pembentukan identitas mereka seiring semakin terbukanya kebebasan untuk menunjukkan identitas mereka yang sebenarnya. Dengan kata lain, menjadi Muslim sekarang ini tidak selalu sebangun dengan menjadi pribumi, karena gelombang ‘resinifikasi’ kebudayaan yang tidak bisa dibendung lagi itu juga turut melanda kalangan Tionghoa Muslim Indonesia. Petikan kesaksiaan salah seorang dari mereka berikut ini mungkin bisa memberi gambaran tentang bagaimana mereka menanggapi gelombang perubahan tersebut.

~~~

“Sekarang kondisinya telah jauh berubah, tidak seperti zaman Orde Baru yang penuh dengan hambatan-hambatan. Orang-orang Cina itu tidak bisa dipaksa lagi untuk menghapus ciri-ciri yang mereka miliki, apalagi jika hal itu berhubungan dengan kepercayaan-kepercayaan yang telah diwariskan selama berabad-abad lamanya. Meski saya ini sudah menjadi Muslim sejak lama dan dalam banyak hal mengikuti cara-cara atau kebiasaan-kebiasaan orang Jawa, namun ketika ada kesempatan untuk merayakan hari-hari besar Tionghoa, atau apapun lah yang berhubungan dengannya, dalam hati pun saya merasa sangat antusias dan gembira. Ibaratnya, kita pernah kehilangan barang berharga yang kita miliki, nah ternyata sekarang barang itu telah kembali lagi.”[11]

~~~

Bersambung… (untuk mendownload versi panjangnya).


Catatan:

 

[1] Keterangan lebih detil bisa dilihat secara online di http://id.inti.or.id/specialnews/25/tahun/2003/bulan/02/tanggal/01/id/292/print/. Dikunjungi pada 10 Januari 2011.

[2] Sumber onlinenya bisa dilihat di http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=223505. Dikunjungi pada 15 April 2011.

[3] Penjelasan lebih lanjut, lihat, Agus Setiadi, ”Geliat Sang Naga dalam Pustaka: Buku-Buku Tentang Kebudayaan Tionghoa di Era Reformasi”, dalam I. Wibowo dan Thung Ju Lan (eds.), Setelah Air Mata Kering: Masyarakat Tionghoa Pasca-Peristiwa Mei 1998 (Jakarta: Penerbit Kompas, 2010), hal. 139-165.

[4] Lihat, Stanley Adi Prasetyo, ”Adakah Media untuk Kalangan Tionghoa?, dalam I. Wibowo dan Thung Ju Lan (eds.), Setelah Air Mata Kering: Masyarakat Tionghoa Pasca-Peristiwa Mei 1998 (Jakarta: Penerbit Kompas, 2010), hal. 116-183.

[5] “Tidak Berjalannya Asimilasi Mendorong Pembentukan Parpindo”, Kompas, 9 Juni 1998. Tersedia sumber onlinenya bisa di http://indo982.tripod.com/n0698/n0698_20.html. Dikunjungi pada 15 Mei 2009.

[6] Wawancara dengan Hasan di Masjid Agung Baiturrahman Semarang pada 21 Oktober 2008.

[7] Wawancara dengan Hendra di salah satu rumah makan di bilangan simpang lima Semarang pada 4 November 2008.

[8] Wawancara dengan salah seorang warga Yogyakarta.

[9] “Muswil PITI akan Diselenggarakan 23 Maret 2005.” Tersedia secara online di http://www.suaramerdeka.com/harian/0503/22/nas19.htm. Dikunjungi pada 14 Maret 2009.

[10] Lihat juga http://www.muslimtionghoa.com/index.php?action=generic_content.main&id_gc=46. Dikunjungi pada 8 Agustus 2008.

[11] Wawancara dengan Hasan di Masjid Agung Baiturrahman Semarang pada 21 Oktober 2008.