Menu

Indonesia

Tulisan ini merupakan pembacaan sederhana dari kisah sejarah yang tersimpan. Patut diakui, Banyumas menyimpan banyak cerita-cerita tutur yang turun temurun. Cerita tutur/folklore akan menjadi cerita yang selalu mengasyikan dan penuh imaji. Cerita tutur yang muncul di masyarakat, tidak serta merta hampa atau kosong belaka. Tentu ada kisah nyata yang melatardepani sekaligus melatarbelakangi dari cerita tutur itu sendiri. Mau tidak mau, cerita tutur tidak semata-mata menjadi cerita fiktif tanpa data.

Cerita tutur bisa saja merupakan fakta sejarah, namun minim literatur. Literatur data berupa teks maupun segala yang berkaitan dengan tulisan. Akan tetapi, cerita tutur kerap memiliki bukti nyata dengan wujud petilasan, entah berupa benda. Penulis hendak mengatakan demikian, walau agak riskan, bahwa “sebuah sejarah yang diciptakan ataupun yang dituliskan pada dasarnya mengandung unsur subjektifitas.” Artinya, sebuah sejarah tidak lepas dari kepentingan sesuai zamannya atau setidaknya akan menemukan kabegjan seiring waktu berjalan.

Sebagai sample sederhana, peringatan Hari Santri menjadi gambaran nyata akan sejarah yang terpendam, alih-alih ingin dilupakan. Penetapan hari santri, tidak lepas dari peran pemangku kekuasaan yang menerima sejarah perjuangan para santri dan ulama atas jasanya kepada Republik ini.

Resolusi Jihad yang dimotori Kyai – Santri menjadi embrio peringatan Hari Santri di Republik ini. Resolusi Jihad menjadi sajian nyata dari sejarah yang nyaris dilupakan, anak muda jaman now, mungkin akan mengatakan, “sejarahnya ada tapi tidak dianggap.” Tentunya, menjadi persoalan yang berkepanjangan apabila kenyataan sejarah selalu demikian: dilupakan, disimpan dan tidak dituliskan.

Sejarah yang Berubah

Hari ulang tahun Kabupaten Banyumas mengalami perubahan. Bermula diperingati pada bulan April setiap tahunnya. Mulai tahun 2016 diperingati pada bulan Februari setiap tahunnya. Sebelum tahun 2016, Kabupaten Banyumas berdiri mulai tahun 1582 M. Namun, sejak tahun 2016, berdirinya Kabupaten Banyumas semenjak tahun 1571 M.

Setelah rentang waktu yang panjang, sejauh masa 445 tahun, sejarah Banyumas ditata ulang. Perubahan tahun kelahiran tersebut menjadi penanda, bahwa sejarah bisa diatur kembali. Perubahan hari lahir Banyumas berdasarkan Perda Kabupaten Banyumas Nomor 10/2015 tentang Hari Jadi Kabupaten Banyumas, menggantikan Perda Nomor 2/1990.

Selanjutnya, pada tahun 2015, DPRD Kabupaten Banyumas membentuk Panitia Khusus mengkaji hari jadi Banyumas. Sejak Pansus dibentuk, penelusuran dan pengkajian kembali dilakukan. Hasilnya, pada tahun 2016 dijadikan awal perayaan atas perubahan sejarah Kabupaten Banyumas. Pada tahun tersebut, sebagai tetenger, hari jadi Kabupaten Banyumas menjadi lebih tua, mundur selama 11 tahun.

Hasilnya, pada tahun 2016 dijadikan awal perayaan atas perubahan sejarah Kabupaten Banyumas. Pada tahun tersebut, sebagai tetenger, hari jadi Kabupaten Banyumas menjadi lebih tua, mundur selama 11 tahun.

Perubahan hari kelahiran tersebut berdasar awal masa kuasa Raden Kanjeng Jaka Kaiman, yaitu tahun 1571 M. Sementara tahun 1582 M, merupakan tahun selesainya Raden Kanjeng Jaka Kaiman menjadi Bupati Banyumas yang pertama. Ini menandakan, bahwa perubahan sejarah bisa diwujudkan, apabila disokong oleh pemangku kekuasaan dengan segenap perangkat pendukungnya.

Dua kisah sejarah di atas, Hari Santri dan Hari Jadi Banyumas menjadi kenyataan, bahwa penulisan sejarah dapat diulang sebagai kenyataan yang diakui dan disahkan.

Peran Ulama yang Terpendam

Sebagaimana jamak diketahui, bahwa Raden Kanjeng Jaka Kaiman adalah Bupati Banyumas pertama yang berkuasa tahun 1571-1582 M. Kisah yang tertulis dan lazim menjadi bahan cerita, Raden Kanjeng Jaka Kaiman disebut juga dengan Adipati Mrapat, karena membagi wilayah kekuasaan menjadi empat bagian.

Raden Kanjeng Jaka Kaiman merupakan putra wayah dari Pangeran Senopati Mangkubumi II atau dikenal juga dengan Raden Kanjeng Banyak Galeh. Putra perempuan dari Pangeran Senopati Mangkubumi II menikahi Raden Kanjeng Banyak Sosro. Raden Kanjeng Banyak Sosro adalah putra dari Raden Kanjeng Harya Baribin. Namun, Raden Kanjeng Banyak Sosro wafat saat Raden Kanjeng Jaka Kaiman masih kecil. Kemudian, Raden Kanjeng Jaka Kaiman diasuh oleh Nyai Roro Ngaisah. Adapun Nyai Roro Ngaisah merupakan adik dari Raden Kanjeng Banyak Sosro. Maka, Raden Kanjeng Jaka Kaiman diasuh oleh Bibinya sendiri, yang tidak lain merupakan putra dari Raden Kanjeng Harya Baribin. Sementara itu, eyang Raden Kanjeng Jaka Kaiman, Pangeran Senopati Mangkubumi II berkuasa di Kadipaten Pasirbatang kisaran tahun 1525-1549 M.

Sisik melik Pangeran Senopati Mangkubumi II tidak terpisah dari kisah sejarah Babad Pasirluhur. Pangeran Senopati Mangkubumi II atau Raden Kanjeng Banyak Galeh merupakan adik dari Raden Kanjeng Banyak Blanak atau Pangeran Senopati Mangkubumi I. Keduanya merupakan putra dari Raden Kanjeng Banyak Kesumba, di mana Raden Kanjeng Banyak Kesumba adalah putra dari Raden Kanjeng Banyak Wiratha. Sedangkan Raden Kanjeng Banyak Wiratha adalah putra dari Raden Kanjeng Banyak Roma dan Raden Kanjeng Banyak Roma dalah putra dari Raden Kanjeng Kamandaka. Dalam silsilah ini, Pangeran Senopati Mangkubumi II merupakan keturunan kelima Raden Kanjeng Kamandaka. Raden Kanjeng Banyak Blanak kemudian bersyahadat, setelah Syekh Makhdum Wali menghadap.

Begitupun, keberadaan Pangeran Senopati Mangkubumi II tidak bisa lepas dari sosok penting proses penyebaran Islam di Banyumas, yaitu Syekh Makhdum Wali. Syekh Makhdum Wali merupakan utusan dari Kesultanan Demak yang masuk wilayah Pasirluhur sekitar abad 14 M. Masuknya Syekh Makhdum Wali pada kisaran abad 14 M dapat ditilik dari tahun kuasa Raden Kanjeng Banyak Blanak yaitu antara 1469-1522 M. Sementara itu, dalam kisah tutur yang masyhur, Syekh Makhdum Wali dikubur satu liang dengan Pangeran Senopati Mangkubumi II. Dari sini dapat dilihat, bahwa Syiar Islam di Banyumas dilakukan oleh Raden Kanjeng Banyak Blanak/ Pangeran Senopati Mangkubumi I dan Raden Kanjeng Banyak Galeh/ Pangeran Senopati Mangkubumi II beserta Syekh Makhdum Wali.

Selain Syekh Makhdum Wali, Pangeran Senopati Mangkubumi I, Pangeran Senopati Mangkubumi II, sosok lain sebagai penyebar agama adalah Syekh Abdush Shomad dan Syekh Hasanudin. Syekh Abdush Shomad masyhur sebagai keturunan dari Kanjeng Sunan Gunungjati, Cirebon. Adapun Syekh Hasanudin merupakan putra dari Syekh Abdush Shomad. Syekh Hasanudin inilah yang kemudian erat bersinggungan dengan Raden Kanjeng Jaka Kaiman.

Ulama penyebar Islam di Banyumas tersebut dapat dikatakan sezaman dengan Raden Kanjeng Jaka Kaiman. Melihat rentang waktu saat berkuasa, antara Pangeran Senopati Mangkubumi I pada tahun I469-1522 M, Pangeran Senopati Mangkubumi II berkuasa antara 1525-1549 M dan Raden Kanjeng Jaka Kaiman berkuasa antara 1571-1582 M. Artinya, kehidupan Raden Kanjeng Jaka Kaiman tidak bisa dilepaskan dari keberadaan ulama-ulama tersebut. Jika memang Raden Jaka Kaiman merupakan putra wayah dari Pangeran Senopati Mangkubumi II, maka bisa dimungkinkan, Raden Kanjeng Jaka Kaiman bersinggungan juga dengan Syekh Makhdum Wali. Melihat kedekatan antara Syekh Makhdum Wali dengan Pangeran Senopati Mangkubumi II.

Kisah Pangeran Senopati Mangkubumi II sebagai eyang dari Raden Kanjeng Jaka Kaiman berhenti dititik silsilah. Hanya “pelengkap” dari silsilah kelahiran Raden Kanjeng Jaka Kaiman dalam membentuk berdirinya Banyumas saat itu. Sejauh ini, peran Pangeran Senopati Mangkubumi II tidak tertulis banyak dalam literatur berdirinya Banyumas.

Menyibak Mbah Lambak

Syekh Abdush Shomad menjadi penyebar Islam yang datang dari Kilen (Barat/ Cirebon). Sementara itu, Syekh Makhdum Wali merupakan ulama yang datang dari Wetan (Timur/ Demak). Banyak dituturkan bahwa Syekh Abdush Shomad memasuki Jombor (Cilongok, Banyumas) pada abad ke-16 M, namun penulis memiliki pandangan jika Syekh Abdush Shomad masuk ke Banyumas abad ke-15 M.

Mungkin ini tidak lazim, namun pandangan ini merujuk salah satu putra dari Syekh Abdush Shomad, yaitu Syekh Hasanudin yang menjadi menantu bupati sekaligus menjadi penasihat spiritual keraton. Menurut cerita tutur yang masyhur, Syekh Hasanudin menikah dengan putri Raden Kanjeng Jaka Kaiman. Pernikahan tersebut melahirkan putra, yaitu Raden Kanjeng Ragan Tali. Raden Kanjeng Raga Tali yang kemudian melakukan syiar agama di wilayah Gerduren, Purwojati hingga akhir hayat.

Hasilnya, pada tahun 2016 dijadikan awal perayaan atas perubahan sejarah Kabupaten Banyumas. Pada tahun tersebut, sebagai tetenger, hari jadi Kabupaten Banyumas menjadi lebih tua, mundur selama 11 tahun.

Dikisahkan pada saat itu, bahwa Raden Jaka Kaiman setelah membagi wilayah kekuasannya menjadi empat, kemudian mengadakan sayembara membangun keraton. Kabar sayembara tersebut didengar oleh Syekh Hasanudin. Setelah meminta restu dari Syekh Abdush Shomad juga meminta restu dari kakenya, yaitu Syekh Abdus Salam, Gunung Lurah, Cilongok, Syekh Hasanudin dengan yakin mengikuti sayembara mbangun kraton. Sayembara membangun keraton ini dilakukan karena pemerintahan Banyumas yang baru hasil mrapat harus segera terbentuk.

Setelah sayembara dilakukan dan terbentuk keraton, kemudian Raden Kanjeng Jaka Kaiman menjadikan Syekh Hasanudin sebagai penasihat spiritual keraton. Tentunya merujuk kisah tersebut, pembacaan penulis, sayembara membangun keraton dilakukan Raden Kanjeng Jaka Kaiman saat awal menjabat sebagai Bupati Banyumas, tahun 1571. Bila demikian, ketika Syekh Hasanudin mengikuti sayembara, tentu saja Syekh Abdush Shomad yang menjadi orangtua Syekh Hasanudin juga ada di abad dan tahun tersebut. Syekh Hasanudin dan Syekh Abduh Shomad tentunya berpengaruh dalam kehidupan Raden Kanjeng Jaka Kaiman.

Terlebih makam Syekh Hasanudin yang dikenal juga dengan Mbah Lambak berada di komplek Makam Kalibening. Bahkan, menurut cerita tutur versi Jombor (Syekh Abdush Shomad) Makam Syekh Hasanudin berada di barat Makam Raden Kanjeng Jaka Kaiman namun bukan yang dicungkub, melainkan yang berada di sebelahnya lagi, makam yang tidak dicungkub. Walaupun umum dikisahkan, bahwa makam Syekh Hasanudin yang berada di barat makam Raden Kanjeng Jaka Kaiman merupakan petilasan.

Penulis memaknai, keberadaan makam Syekh Hasanudin sebuah kenyataan sejarah, baik makam yang berada di dekat Raden Kanjeng Jaka Kaiman, maupun yang berada di komplek makam Kalibening. Sebab sama-sama berada di sisi barat makam Raden Kanjeng Jaka Kaiman. Makam yang berada di sisi barat lazim diartikan sebagai makam yamg dituakan sosoknya.

Selain itu, masih dari cerita tutur, Raden Kanjeng Jaka Kaiman sering juga mengunjungi Syekh Abdush Shomad di Jombor. Selain berkunjung ke Syekh Abdush Shomad, putra dari Raden Kanjeng Jaka Kaiman yang disebut sebagai Raden Bagus Santri juga nyantri di Pesantren Jombor (Syekh Abdush Shomad), hingga dimakamkan di makam Jombor.

Dalam hal ini, peran ulama telah ada sejak awal berdirinya Banyumas. Ada kebersamaan antara ulama dan umara dalam menjalankan pemerintahan. Akan tetapi, tapak jejak ulama saat itu, masih belum terekspos, luput dari penyertaan dalam penulisan sejarah berdirinya Banyumas. Umumnya dalam kisah Babad Banyumas, lebih kepada kisah pantangan Sabtu Pahing, dengan tokoh-tokoh yang masyhur dalam cerita tersebut. Sekaligus kisah keris yang melekat kuat dalam sejarah tersebut.

Sementara itu, peran Pangeran Senopati Mangkubumi II, yang menjadi Eyang Raden Kanjeng Jaka Kaiman, Syekh Hasanudin yang menjadi penasihat keraton, Syekh Abdush Shomad yang sering dikunjungi Raden Jaka Kaiman sekaligus Syekh Makhdum Wali yang sezaman juga luput dalam catatan latar belakang sejarah berdirinya Banyumas.

Objektifitas sejarah memang sebuah keniscayaan. Terlebih bila mengacu pada kelas sosial, yaitu kelas ningrat dengan kelas rakyat. Peran ulama di Banyumas, pada waktu itu, sekedar pelengkap. Latar belakang berdirinya Banyumas yang bersumber dari Babad Pasirluhur dan Babad Banyumas, pun dengan sumber dari cerita tutur yang kuat, rasanya perlu menjadi teks lengkap sebagai literasi sejarah. Linnabi walahumul Fatihah buat pendiri-pendiri Banyumas.

Wallahu’alam.

Bolehlah dikatakan bahwa pikiran seseorang pasti berbeda dari pikiran orang lain. Kata “pikiran” di sini digunakan untuk menyebut bangunan yang dibangun oleh seluruh apa pun yang ada dalam dunia mental manusia: sistem semiotika, sistem diskursus, sistem ekonomi, sistem politik, sistem sosial, sistem pengetahuan, sistem permainan, sistem operasi yang menghubungkan semua sistem lain, sistem logika yang bisa mengobjektifikasi semua sistem lain.

Pikiran bekerja dengan memunculkan “lubang” dalam dirinya. Lubang itu biasa disebut pertanyaan, soal, persoalan, masalah, question, problema dst. Ketika muncul sebuah lubang, maka pikiran manusia akan bergerak mencari apa pun yang bisa menutup lubang itu. Pikiran berusaha melenyapkan pertanyaan itu dengan mencari atau membuat jawaban untuk pertanyaan itu. Ketika sebuah pertanyaan sudah punya jawaban, maka lubang itu sudah tertutup, sehingga lubang itu lenyap. Lubang yang tidak ada lagi itu adalah keadaan damai pikiran.

Sistem-sistem dalam pikiran itu juga dibangun dari banyak sekali pertanyaan beserta jawabannya masing-masing. Sistem-sistem itu solid, pada, kokoh, perkasa jika semua pertanyaan yang menyusun sistem itu sudah mendapatkan jawabannya. Jadi pikiran manusia yang kokoh bisa dibayangkan sebagai sebuah kampung yang di situ semua laki-laki sudah beristeri dan masing-masing pasangan saling mencintai: tidak ada jomblo, dan tidak ada janda, dan duda.

Semakin banyak sistem yang ada di pikiran manusia, semakin rumit sistem-sistem itu, maka semakin besar bangunan mental, semakin besar pikirannya, semakin kokoh pikiran itu. Jadi selain memiliki tubuh daging, manusia juga memiliki badan pikiran itu. Manusia berkumpul dengan orang-orang yang memiliki ukuran dan kerumitan pikiran yang sama. Semakin sama ukurannya, semakin orang bisa saling memahami.

Pikiran yang besar memayungi orang yang pikirannya lebih kecil. Pikiran orang tua mengayomi pikiran anak-anak mereka. Pikiran paling besar melingkupi semua pikiran lain yang lebih kecil. Pikiran paling besar adalah pikiran yang memikirkan semua masalah yang dipikirkan oleh pikiran-pikiran yang lebih kecil.

Pikiran paling besar itu pun mengayomi yang lebih kecil. Idealnya seorang raja menjadi orang yang pikirannya paling besar se kerajaan, sehingga dia memikirkan semua masalah yang dipikirkan oleh orang-orang yang menjadi bawahannya.

Mungkin itulah sebabnya dulu Raja Jawa disebut “Wong Agung”, bukan badannya yang besar, melainkan pikirannya yang memikirkan penderitaan semua pikiran lain di kerajaannya. Jika seorang raja hanya memikirkan urusannya sendiri, maka dia bukan Wong Agung, melainkan seorang yang tidak cocok untuk menjadi raja. Tubuh pikiran itulah yang lebih banyak dihidupi oleh Wong Agung. Sehingga logis saja, Wong Agung tidak merasa susah ketika tubuh fisiknya sakit atau menderita: dia merasa lebih menderita ketika tubuh dan pikiran orang-orang yang diayominya menderita. Sebab tubuh semua orang, masalah semua orang adalah tubuh dan pikirannya sendiri.

Salah satu Wong Agung yang dikenal banyak orang adalah Gus Dur. Dia Wong Agung karena seumur hidup apa yang diurusi Gus Dur adalah bagaimana negara dan bangsa Indonesia selamat, bagaimana dia mengusahakan agar jangan sampai negara Indonesia hancur, agar jangan sampai bangsa Indonesia menderita karena kehancuran itu. Gus Dur bertindak ramah kepada semua orang karena dia mengayomi semua orang: memikirkan keselamatan semua orang. Namun sepertinya apa yang diayomi Gus Dur bukan hanya Indonesia. Lambang Nahdlatul Ulama adalah bola dunia yang disatukan oleh tali yang dikawal oleh sembilan bintang: Gus Dur adalah cucu pendiri NU. Jadi logis saja bahwa Gus Dur harus memikirkan bukan saja Indonesia tetapi juga memikirkan seluruh dunia.

Gus Dur sudah beberapa lama tidak lagi ada di dunia manusia hidup sekarang. Hampir semua orang merasa kehilangan. Tetapi sebetulnya mereka kehilangan Pengayom, seperti anak ayam kehilangan induknya. Sementara ini belum nampak orang yang mengayomi Indonesia. Barangkali beberapa orang adalah pengayom Indonesia, tetapi kita tidak kenal. Apa tandanya seseorang adalah Wong Agung? Ya itu tadi, semua orang merasa kehilangan pengayom ketika orang itu meninggal.

Entah siapa sekarang Wong Agung lain yang sedang menjalankan darma untuk mengayomi seluruh Indonesia dan seluruh dunia.

Tujuh belas Agustus tahun 2019, sekali lagi bangsa Indonesia merayakan kemerdekaan. Mahardika….

Di kampung kami pada tanggal enam belas malam diadakan tirakatan di halaman sesepuh RT: semua berjaga, tidak tidur untuk menyambut saat-saat penting lahirnya negara Indonesia.

Acara tirakatan dimulai jam sembilan malam. Sambutan dibacakan berturut-turut dari Pak RT dan Pak Lurah. Lalu kami tahlilan bersama: mendoakan semua pahlawan yang sudah berkorban untuk lahirnya Indonesia. Gelas-gelas teh hangat dihidangkan di depan semua orang, bersama dengan kacang godog, pisang rebus, bakwan jagung, ceriping balado, dan bakpia di piring-piring.

Selesai tahlilan, dirembug dan disepakati bahwa untuk pawai se-desa maka kami akan menampilkan kesenian gedrug: kostum dan topeng siap disewa, beberapa pemuda akan dilatih untuk tariannya. Teh diseruput. Cemilan paling laris adalah kacang godog. Tetapi lama-kelamaan bakwan, bakpia, ceriping, dan seterusnya menipis pula. Minuman yang habis digelas bisa diisi ulang dengan teh hangat, atau jahe hangat atau kopi panas di termos-termos berkeran.

Acara selanjutnya adalah menonton live-streaming wayang semalam suntuk lakon Semar Mantu, dalang Ki Seno Nugroho. TV LED besar sudah dipasang di atas meja. Pada adegan pasewakan sitihinggil keraton Dwarawati, Prabu Kresna sedang berbincang dengan kakaknya yakni Prabu Baladewa yang melamar putri angkat Prabu Kresna yang bernama Rara Temon untuk Raden Lesmana Mandrakumara putra Prabu Duryudana Raja Astina. Belum ada keputusan dari Prabu Kresna, datanglah Petruk dan Bagong melamar gadis yang sama untuk adik mereka yakni Bambang Senet: terjadi benturan kepentingan antara Petruk dan Prabu Baladewa. Akhirnya Prabu Baladewa dan Bagong beradu mulut: akhirnya perselisihan dirampungi di alun-alun dengan adu gelut.

Di tengah wayangan itu, tongseng angsa campur ayam dihidangkan.

Di tengah wayangan itu, tongseng angsa campur ayam dihidangkan. Betapa nikmatnya tirakat kemerdekaan: tongseng pedas gurih sedap. Selepas tongseng, kami pun undur dari acara. Tetapi paginya,pada acara ngopi pagi muncul pertanyaan: Indonesia Merdeka, apa artinya?

Berurusan dengan arti, maka kita bisa mencari-cari asal-usul kata merdeka dalam bahasa Indonesia itu dalam bahasa yang lebih tua. Salah satunya bahasa Jawa kuna.

Maka kita bukalah Kamus Jawa Kuna Indonesia hasil kerja keras P. J. Zoetmulder et al. Ditemukan di situ kata mahardhika, yang artinya berkwalitas istimewa, luar biasa, khas, unggul sempurna, bijaksana, berbudi luhur, orang bijaksana; orang suci. Kata mahardhika berasal dari kata Sanskerta maharddhi yang artinya kemakmuran atau kekuasaan atau kesempurnaan besar; sangat makmur atau kuasa.

Jika memang kata merdeka berasal dari mahardhika, maka sudah terjadi pergeseran arti.

Jika memang kata merdeka berasal dari mahardhika, maka sudah terjadi pergeseran arti. Merdeka dalam benak saya tidak ada sambungannya dengan kualitas istimewa, luar biasa, khas, unggul sempurna, bijaksana, berbudi luhur, orang bijaksana. Entah berapa orang di Indonesia yang mulai berpikir bahwa merdeka artinya berkualitas istimewa: Indonesia merdeka adalah Indonesia yang berkualitas istimewa. Saya saja baru kali ini membayangkan bahwa merdeka artinya berkuallitas istimewa: kalau demikian, maka kenyataannya Indonesia tidak merdeka, sebab nampaknya belum berkualitas istimewa.

Mulai banyak disepakati juga bahwa merdeka sama dengan independent. Kemerdekaan adalah independence. Sementara dependent artinya bergantung. Sedangkan in-dependent artinya tidak bergantung. Kalau memang demikian bisa dikatakan bahwa Indonesia merdeka adalah Indonesia yang tidak bergantung.

Tetapi gagasan kita tentang kemerdekaan sepertinya tidak ada hubungannya dengan ketergantungan, melainkan mengacu pada keadaan bebas, lepas, lolos, dari penjajahan. Penjajahan adalah penindasan. Indonesia merdeka adalah Indonesia yang lepas dari penjajahan, penindasan (yang kebetulan dilakukan oleh orang Belanda dan Jepang, sejarahnya). Tetapi anehnya, susah dibayangkan bahwa rakyat Nusantara yang dijajah Belanda itu bergantung kepada Belanda, bahwa lalu setelah 17 Agustus 1945 kita tidak lagi bergantung pada Belanda. Malah, kalau kita persoalkan siapa menghidupi siapa, siapa menanggung siapa: maka jelas bahwa Belanda bergantung kepada Nusantara, dan Nusantara menanggung hidup Belanda. Merdeka-nya Indonesia lebih seperti ayam yang sudah sembuh dari sejumlah tengu (kutu unggas): Indonesia bebas dari beberapa parasit, tidak lagi dihisap oleh satu bangsa penindas.

Merdeka-nya Indonesia lebih seperti ayam yang sudah sembuh dari sejumlah tengu (kutu unggas): Indonesia bebas dari beberapa parasit, tidak lagi dihisap oleh satu bangsa penindas.

Indonesia merdeka sebagai kenyataan seperti hadir berupa tidak laginya ada orang asing yang menguasai secara langsung politik Indonesia: tidak lagi kita tunduk kepada Gubernur Jenderal VOC atau Gubernur Jenderal Hindia Belanda, atau kepada Jenderal Jepang. Semua pemimpin politik kita secara kasat mata adalah orang-orang Indonesia: mulai dari Presiden, Menteri, Anggota DPR, dan seluruh jajaran pemerintahan hingga RT.

Namun Indonesia merdeka bisa juga merupakan gagasan yang belum nyata jika kita mempertanyakan adakah memang Indonesia tidak lagi dihisap, adakah semua tengu sudah dipindahkan ke ayam lain atau telah ditumpas? Untuk menjawab pertanyaan itu maka perlulah kita menengok dan membandingkan 1) seberapa banyak sumber daya alam, sumber daya manusia Indonesia yang dikirim ke negara luar sedemikian rupa sehingga kita kekurangan, dan seberapa banyak kita menghisap sumber-sumber daya bangsa lain dan 2) seberapa banyak uang orang Indonesia yang mengalir ke negara-negara industri karena kita menjadi pasar melulu produk mereka, dan seberapa besar bangsa lain setor duit ke kita karena menjadi pasar bagi barang buatan kita. Kita defisit, Indonesia dihisap, kita kalah rakus dalam menghisap, demikianlah. Indonesia tekor.  Seluruh dunia barangkali bergantung kepada Indonesia: mereka tidak independen terhadap Indonesia. Negara-negara yang meraup untung besar dari penghisapan Indonesia adalah bayi-bayi dunia yang disusui ibu agung Nusantara yang sedemikian baik hati, sehingga kita anak-anaknya sendiri di sini selalu dan semakin merosot dalam keadaan melarat.

Entahlah.

Adakah memang para pendiri negara Indonesia tidak tahu bahwa tanah air dan bangsa Indonesia harus berhadapan dengan negara-negara, saudagar-saudagar raksasa yang gemar menghisap, meng-aking-kan siapa pun dan apa pun? Kalau mereka tidak tahu maka kita tidak bisa menyalahkan mereka atas nasib kita sebagai bangsa yang kebetulan menjadi korban parasitisme parah. Kalau mereka sadar akan penghisapan itu, maka barangkali memang mereka tahu betul dharma bangsa agung Nusantara sebagai Ibu penyayang yang membiarkan dirinya dihisap, dikeringkan oleh semua bangsa rakus di seluruh bumi.

Kalau dipikir betul-betul: betapa bodohnya kita, membiarkan diri dirampok sampai kere. Kita memperkaya semua bangsa rakus, sampai kita harus hidup semiskin-miskinnya. Entahlah ini bodoh atau pintar. Jangan-jangan memang nalar Keibuan itu memang sedang kita jalankan entah sadar atau tidak.

Kita memperkaya semua bangsa rakus, sampai kita harus hidup semiskin-miskinnya.

Dulu di jaman Majapahit konon bangsa kita pernah menjalankan peran bukan sebagai negeri kaya yang membiarkan diri dirampok bangsa lain. Tetapi saya tidak tahu apakah dulu kita pernah menjadi bangsa yang menghisap kekayaan bangsa lain, jangan-jangan pernah. Penghisapan memindahkan sumber daya yang ada di sebuah negeri ke negeri lain. Seperti ada semacam sirkulasi materi dari suatu tempat ke tempat lain, seolah kekayaan dunia seperti darah yang mengaliri seluruh bumi. Tempat-tempat yang kaya mengalirkan kekayaannya ke seluruh dunia. Salah satu caranya adalah dengan adanya penghisapan dari negara miskin ke negara yang kaya sumber daya: bisa dengan penaklukan militer, penaklukan ekonomi, penaklukan politik, penaklukan budaya. Penghisapan itu seperti akan terhenti sendiri ketika negara kaya yang dihisap itu sudah kering, dan negara penghisap tidak bisa lagi bergerak seperti lintah yang sudah gembung tubuhnya karena terlalu banyak menghisap darah. Lalu negeri miskin yang dulu pernah kaya itu pun pada gilirannya juga menghisap kekayaan yang dulu sudah dikumpulkan di negeri kaya yang dulunya miskin. Adakah demikian hukumnya?

Entahlah.

Tetapi sejak rampungnya perang Diponegoro, entah ke mana semua orang yang dulu pernah membuat Nusantara jaya itu, mana kebudayaan yang menghasilkan orang seperti Gajah Mada? Adakah sudah waktunya mereka lenyap? Atau mereka sengaja menghilang? Atau mereka memang tahu bahwa sudah waktunya Nusantara menjadi ibu yang menghidupi seluruh dunia, untuk jangka waktu tertentu, hingga nanti peran Nusantara akan berganti lagi entah sebagai apa di panggung besar bumi ini?

Atau jangan-jangan negeri ini dibangun oleh orang-orang yang beranggapan bahwa wilayah Indonesia adalah seluruh dunia: sehingga kita bertanggung jawab untuk menghidupi seluruh dunia? Ah itu seperti pembenaran yang dicari-cari belaka untuk kemiskinan dan kebodohan yang sedang kita derita. Kita kalah melulu: itu nyata. Secara ekonomi kita dihisap. Secara kebudayaan: kita menjadi bangsa peniru, kurikulun pendidikan tidak kita bikin sendiri tetapi didiktekan dari luar, semua budaya yang tumbuh dan menang di negeri ini adalah semua bibit budaya yang diambil dari luar sana, tanaman lokal semakin punah saja. Secara politik: apa yang kita putuskan tidak berpengaruh terhadap nasib negara lain, dan semua pihak yang berkepentingan untuk mengendalikan Indonesia sudah memasang semua pion dalam politik ekonomi kita.

Kita kalah melulu: itu nyata. Secara ekonomi kita dihisap.  

Tetapi bagaimana ini? Adakah kita menderita karena kemiskinan politik ekonomi kebudayaan ini? Lho, rasa-rasanya kita tidak. Kita sebagai bangsa sangat pintar dalam menghadapi kemiskinan: kita masih bisa tertawa-tawa dalam kemiskinan. Entah bagaimana ceritanya hingga kiita menjadi seperti itu. Jangan-jangan kita sudah diajari jurus rahasia oleh para leluhur kepada kita sejak bayi: teknik batin yang membuat kita tidak mampu menderita ketika, dalam ukuran orang lumrah, kita ini dalam keadaan semiskin-miskinnya. Barangkali kita diajari untuk memandang kemiskinan total itu sebagai non-masalah. Penelitian empiris mereka mungkin juga membuktikan bahwa 1) keadaan paling bangsat bisa terjadi kepada siapa pun, dan 2) siapa pun bisa tiba-tiba terjebak dalam keadaan tidak berdaya di hadapan kemelaratan yang mengelilinginya, 3) ternyata pikiran bisa diotak-atik agar kesengsaraan maksimal dari luar itu tidak mampu membuat kita bersedih. Dan sepertinya, entah sadar atau tidak, manusia yang tahan derita sejenis itulah yang kita anggap sebagai manusia unggul di Nusantara: bukan orang kaya, bukan orang pintar, bukan orang yang menguasai seluruh dunia, melainkan orang yang masih bisa ketawa ketika seluruh penderitaan dunia ditimpakan ke atas kepalanya.

Jangan-jangan kita sudah diajari jurus rahasia oleh para leluhur kepada kita sejak bayi: teknik batin yang membuat kita tidak mampu menderita ketika, dalam ukuran orang lumrah, kita ini dalam keadaan semiskin-miskinnya.

Kalau dalam urusan ini Indonesia jelas betul-betul sungguh-sungguh merdeka: kita istimewa sempurna unggul khas dalam hal cengar-cengir menertawakan derita sengsara kemelaratan kemiskinan kebodohan kita sendiri.

Asem…

Merdeka!

Kualitas Istimewa!

Pada 15 Juli 2019, bocah-bocah sudah berusia 7 tahun masuk Sekolah dengan seragam baru: merah dan putih. Mereka resmi menjadi murid di Sekolah Dasar (SD). Konon, SD adalah jenjang penting dalam pembentukan manusia berilmu dan berkarakter. Koran-koran terbit pada 16 Juli 2019 memberitakan murid-murid SD memulai “hari baru”. Foto-foto mereka sedang berada di kelas atau mengikuti upacara bendera menandai ada kemauan menapaki hari-hari untuk belajar. Berita dan foto itu mengingatkan YB Mangunwijaya (Romo Mangun): arsitek dan sastrawan tapi serius memikirkan Pendidikan dasar. Serius itu terbukti dengan pembentukan Dinamika Edukasi Dasar di Jogjakarta.

Romo Mangun menginginkan pemajuan Indonesia bermula dari pemenuhan hak-hak bocah untuk beradab, cerdas, berkarakter, berestetika, berbahasa, dan berlogika selama menempuhi pendidikan di sekolah dasar (SD). Keinginan itu sering terabaikan dalam kebijakan-kebijakan pemerintah pada masa Orde Baru.

Kita sejenak mengingat ke biografi dan renungan Romo Mangun. Puluhan artikel pendidikan ditulis untuk mengingatkan dan “menjewer” pemerintah dan pelbagai pihak selama Orde Baru. Romo Mangun menginginkan ada perhatian serius untuk SD sebagai patokan mutu pendidikan-pengajaran di Indonesia.

Romo Mangun (1984) mengenang situasi batin dan pembelajaran saat pendudukan Jepang: “Saya menderita batin di zaman Jepang itu karena kehilangan kontinuitas suasanan pendidikan yang sangat memperhatikan segi-segi penghalusan budi dan pencerdasan akal sehat.” Di Magelang, Romo Mangun hidup dan bersekolah. Situasi fasis dan militer mengakibatkan pendidikan dasar bagi bocah mengalami represi dan perusakan. Memori saat bocah membekali kehendak Romo Mangun mengabdikan diri demi perbaikan pendidikan dasar di Indonesia. ( baca juga : Indonesia Raya dan Ketokohan )

Saya menderita batin di zaman Jepang itu karena kehilangan kontinuitas suasanan pendidikan yang sangat memperhatikan segi-segi penghalusan budi dan pencerdasan akal sehat.

Pendidikan bertujuan agar orang meresapkan dan mengamalkan humanisme dan religiositas tanpa abai penalaran-kecerdasan. Ambisi pendidikan mutakhir tampak berbeda dengan pengharapan Romo Mangun. Bocah-bocah di sekolah dasar sudah dianjurkan  menjadi “manusia pintar” atau “manusia cerdas” ketimbang “manusia berbudi”, “manusia beradab”, dan “manusia berkarakter”. Misi pembangunan karakter memang tercantum dalam kurikulum tapi sulit diwujudkan. Suguhan mata pelajaran dan rumus bersekolah melalui “soalisme-jawabanisme” membuat bocah-bocah tak mendapat hak-hak untuk penghalusan budi dan pencerdasan akal sehat.

Kita bisa mengingat misi pendidikan pada masa kolonialisme. Raden Poera Di Redja dalam buku berjudul ‘Ilmoe Pendidikan (Balai Poestaka, 1921) memberi keterangan bahwa puncak capaian pendidikan bagi bocah adalah kebahagiaan. Misi berbahagia dicapai dengan mengerti kebenaran, kewajiban, kebagusan, kebaikan, dan kemauan. Bersekolah mengajak Anak insaf pelbagai ilmu dan mengamalkan berpedoman nilai-nilai kebahagiaan.

Romo Mangun membahasakan secara berbeda untuk memberi gambaran situasi pendidikan dasar saat masa penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang. Ikhtiar pendidikan berkemanusiaan dan bergelimang nilai-nilai religius mengalami gangguan oleh pemberlakuan pendidikan berwatak fasis dan militer. Masa pendudukan Jepang menjadi trauma. Romo Mangun justru masih menemukan watak fasis dan militer dalam pola pendidikan dan pengajaran di SD masa Orde Baru.

Raden Poera Di Redja dalam buku berjudul ‘Ilmoe Pendidikan (Balai Poestaka, 1921) memberi keterangan bahwa puncak capaian pendidikan bagi bocah adalah kebahagiaan.

Pendidikan mesti seragam, menuruti kemauan penguasa. Kurikulum, mata pelajaran, profesionalitas guru, dan aturan sekolah diadakan dengan kebijakan-kebijakan berkecenderungan fasis dan militer. Pengharapan dan sindiran Romo Mangun pernah disajikan di Kompas, 24 Januari 1975. Romo Mangun sebagai pendidik menulis: “Di SD tunas-tunas hijau yang sudah terlalu pagi mengalami anarki korupsi dan kesewenangan mulai belajar dunia baru, sublimasi seni dan kejujuran serta keperwiraan manusia budayawan. Biji-biji perlawanan dan pengebalan diri terhadap lumpur dunia uang kekuasaan serakah ditandur di SD dalam tanah tumbuh yang masih suka ikhlas dan gembira menerima yang baik dan yang sejati.”

Romo Mangun beranggapan pendidikan SD mesti diperhatikan secara serius ketimbang ambisi penguasa untuk mendapat ribuan orang bergelar sarjana demi pembangunan nasional. Di SD, penguasa membuat kebijakan tak manusiawi dan etis bagi pembentukan kepribadian bocah. Sejak dini, murid-murid tak diperkenalkan dengan humanisme dan religiositas. Mereka justru melihat ketakberesan Indonesia. Pendidikan belum memberi pemenuhan hak-hak mengamalkan nilai-nilai kebenaran, kebaikan, kerukunan, dan keadilan. Romo Mangun pun berpesan bahwa peran guru SD untuk mendidik bocah tak lebih rendah ketimbang tugas profesor di perguruan tinggi. ( Baca juga: Kongres Kebudayaan: Teringat 1918 dan 2018 )

Di SD tunas-tunas hijau yang sudah terlalu pagi mengalami anarki korupsi dan kesewenangan mulai belajar dunia baru, sublimasi seni dan kejujuran serta keperwiraan manusia budayawan.

Sekarang, kita mengenang biografi dan gagasan Romo Mangun mengacu ke situasi pendidikan dasar di Indonesia. Di SD, pemerintah selalu menganjurkan nilai, prestasi, kecerdasan. Misi-misi berbahagia dan pembentukan insan humanis-religius luput dari perhatian. Pemerintah malah sibuk mengimpikan kemunculan ribuan sarjana bergelar master dan doktor. Pemberian beasiswa untuk mahasiswa tampak ambisius, berdalih Indonesia memerlukan ribuan doktor dan sarjana-sarjana tangguh luluhan dari universitas-universitas terkenal di Indonesia.

Dulu, Romo Mangun pernah usul agar pemerintah mengurusi SD ketimbang ambisius mengurusi perguruan tinggi saat situasi pembangunan di Indonesia mulai menguak aib dan kesalahan. Usulan tak digubris. Sejak 1970-an, Indonesia ingin menjadi negara besar ditopang oleh para sarjana agar menjalankan perintah dari penguasa. Kita pun jadi geli saat mengingat sang penguasa tak pernah kuliah dan tak bergelar sarjana tapi sanggup memerintah dan mengendalikan ribuan sarjana.

Romo Mangun (1973) sempat memberi sindiran melalui pembedaan peran antara “sarjana arifin” dan “kuli pintar”. Indonesia memerlukan sarjana arifin berpedoman humanisme dan religiositas ketimbang “kuli pintar” untuk menjalankan agenda-agenda ilusif pembangunan nasional.

Kita mengenang Romo Mangun agar tak selalu khilaf mengurusi SD. Sejak masa kolonialisme sampai abad XXI, SD menjadi perhatian besar dari Romo Mangun. Pilihan untuk mengadakan pembelajaran bagi bocah-bocah membuktikan misi pendidikan berbasis humanisme dan religiositas. Romo Mangun berpihak ke pembenahan pendidikan dan pengajaran di SD. Memori biografis dan situasi Indonesia masih memerlukan keseriusan menjadikan SD sebagai basis pembentukan manusia dengan penghalusan budi dan pencerdasan akal sehat. Begitu.

 

Tulisan Marcel Bonneff ini versi aslinya berbahasa Prancis: “Ki Ageng Suryomentaram, Prince et Philosophe Javanais,” dimuat pertama kali di Archipel 16 (1978), hal. 175–203. Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Susan Crossley, “Ki Ageng Suryomentaraman, Javanese Prince and Philoshoper,” dimuat di Indonesia 57 (April 1994).

Afthonul Afif, Peneliti <a href=

Kawruh Jiwa" width="150" height="150" /> Afthonul Afif, Peneliti Kawruh Jiwa

Versi bahasa Indonesia tulisan ini diterjemahkan oleh Afthonul Afif dari versi Inggrisnya atas izin Marcel Bonneff. Tulisan ini juga menjadi apendiks dalam buku Matahari dari Mataram, karya Afthonul Afif dan kawan-kawan. Afthonul Afif adalah seorang peneliti Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram. Dua bukunya tentang Ki Ageng Suryomentaram yaitu: Matahari dari Mataram; Menyelami Spiritualitas Jawa Rasional Ki Ageng Suryomentaram (2012) dan Ilmu Bahagia menurut Ki Ageng Suryomentaram (2012). Ia juga aktif menulis tema psikologi kebahagiaan di berbagai media massa.


erhatian terhadap sejarah (Indonesia) kontemporer diharapkan mampu memberikan sumber-sumber baru dan bukti-bukti segar yang akan memperjelas peran Suryomentaram dalam perjuangan kemerdekaan dan reformasi sosial bersamaan dengan tumbuhnya nasionalisme, yang dimulai dari Jawa kemudian Indonesia. Suryomentaram dapat dilihat sebagai bagian dari mereka yang termasuk aristokrat Yogya (atau Surakarta) yang selanjutnya disebut sebagai “priyayi yang terpelajar/tercerahkan”. Jika dilihat pada masanya, mereka ini merupakan orang-orang yang resah untuk memainkan peran dalam mengenalkan sebuah perilaku baru yang disesuaikan dengan kebutuhan zaman, dan dalam memperjuangkan tatanan sosial yang lebih fleksibel dibandingkan dengan kaumnya yang hidup di era kolonial. Mereka mencurahkan perhatian terhadap nasib petani, mengakui peran pentingnya dalam menjaga keseimbangan sosial, dan menghembuskan semangat baru dalam pepatah lama “nagara mawa tata, desa mawa cara” (negara yang mengatur, desa yang bekerja).

Mungkin kita berhutang kepada cara berpikir Jawa karena aspek-aspek yang kurang dikenal dari riwayat hidup KAS yang bersifat agak legendaris tersebut, yaitu motif-motif dan penilaian terhadap tindakan-tindakannya, dapat dipahami dengan baik. Demikianlah Pangeran Suryomentaram–Siddharta meninggalkan istananya untuk menyibak penderitaan manusia, kemudian mengawali pencarian yang berakhir pada “pencerahan” (bahkan nama yang dipilih untuk tempat peristirahatannya, Bringin, memiliki makna yang penting); Budha–Suryomentaram menunjukkan “jalan tengah”. Ada Suryomentaram yang sangat kecewa, bahkan muak, dengan kondisi-kondisi yang dia jumpai di keraton. Perilakunya sama dengan yang ditunjukkan oleh pemberontak sebelumnya, contoh-contoh yang mewarnai sejarah Mataram. Pemberontakannya (madeg kraman) seperti yang dilakukan Diponegoro,1 dipicu oleh sebuah kemerosotan moral dan perselisihan dalam keluarga, sekalipun pada kasus ini tidak menimbulkan implikasi-implikasi tertentu bagi kekuasaan keraton. Wujud pemberontakan Diponegoro ini dapat dilihat dari caranya berpakaian (bisa dilihat dari jubah dan sorbannya), caranya berlindung dalam laku spiritual, dan caranya kerap berkunjung ke tempat-tempat yang tidak terjangkau cengkeraman kekuasaan. Diponegoro juga menyepi di Goa Langse dan menyusuri Pantai Parangtritis. Perilaku seperti itu mungkin dapat dianggap sebagai tanda-tanda bagi sebuah “kebangkitan karisma”, yang dapat memancing ketakutan penguasa. Bringin, seperti halnya Tegalrejo, merupakan tempat di mana dia mampu menarik diri, yang membuatnya bisa melepaskan diri dari kontrol kekuasaan, dan selanjutnya menjadi tempat dari mana sebuah tatanan moral baru dihasilkan.

Namun, waktu telah berubah sejak Diponegoro. Bangkitnya kesadaran nasional dan pembebasan masyarakat merupakan tujuan dari jihad jenis baru. Pendidikan adalah yang terpenting. Editor edisi Indonesia karya-karya Suryomentaram memiliki alasan yang bagus untuk menyebut Krishnamurti. Apakah KAS telah membaca karya-karyanya? Nampaknya demikian.2 Di berbagai kesempatan, keduanya berbagi (menyuarakan) gagasan pendidikan yang sama. Mereka menyebut gagasan-gagasan sezamannya (melalui ungkapan): “Belajar mengenal diri sendiri,” “kebijaksanaan adalah jalan tengah di antara dua ekstrem,” “kamu adalah orang lain.” Apa yang mereka sampaikan itu tak terikat waktu alias universal.3 Selanjutnya, Suryomentaram adalah guru; seperti juga Ki Hajar. Namun, Ki Hajar telah mengasimilasikan teori-teori pendidikan Barat dan menulis untuk para intelektual di generasinya, mengarahkan tindakan-tindakannya dalam pengertian konflik kebudayaan—baginya “Pembaratan” (Westernization) bersifat problematis. Sementara hal ini tidak berlaku bagi Ki Ageng, yang tidak merasa perlu menampilkan warisan kebudayaan Jawa.

Tidak diragukan lagi bahwa khazanah kebudayaan Jawa telah begitu memengaruhinya, dan dia sepenuhnya menyadari hal tersebut. Tidak sulit menemukan elemen-elemen pokok pemikirannya dalam khazanah kesusastraan Jawa abad ke-19, yang memiliki keterkaitan dengan tradisi kebijaksanaan lama. Konsep tentang tanggung jawab individu ketika menghadapi bahaya yang muncul dalam kehidupan sehari-hari mengingatkan pada penggalan syair dalam Wulang Reh yang begitu terkenal itu, sebuah syair yang diciptakan oleh Paku Buwono IV (1788-1820):

Bener luput ala becik lawan begja

Cilaka apan saking

Ing badan priyangga

Dudu saka wong liya

Pramila den ngati-ati

 (pupuh VII, durma 3)

Benar atau salah, keburukan atau kebenaran, juga kebahagiaan

Atau kemalangan, penyebabnya ditemukan

Dalam tiap-tiap diri kita

Dan bukan dalam diri orang lain

Maka dari itu kita mesti berhati-hati

Begitu juga ungkapan-ungkapan seperti “sepi ing pamrih” (tidak berpamrih), “andhap-asor” (kesopanan), dan “tepa-selira” (memahami orang lain = dimensi keempat dalam ajaran KAS), merupakan prinsip-prinsip yang juga dikenal oleh para pembaca ajaran moral abad ke-19. Mawas diri, eling lan waspada, yaitu pengendalian diri untuk memastikan tindakan-tindakan sosial yang tertib/terpuji, adalah ajaran KAS yang juga telah disinggung oleh para pujangga. Ungkapan “sapa temen tinememan” (siapa yang bersungguh-sungguh) yang berasal dari khazanah puisi (Jawa) yang mengekspresikan kebulatan tekad atau ketetapan hati dalam segala situasi sama dengan istilah tatag dalam ajaran KAS. Masih banyak lagi sumber-sumber yang dapat disebut dalam tradisi kesusastraan ini, yang (secara umum) diakui sebagai ajaran dalam kebatinan Jawa sepanjang abad ke-20.

Lalu mengapa KAS menunjukkan kesan menolak istilah tersebut sementara tidak untuk gagasannya? Pertama, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, KAS tidak ingin menganggap dirinya sebagai seorang guru dengan ajaran yang sarat akan misteri dan magis, yang membuat para muridnya terjebak dalam penipuan diri dan diliputi harapan-harapan palsu. Harus diingat, bahwa karisma dan aura kebangsawanan yang dimiliki KAS lebih disebabkan oleh hal-hal yang dia sampaikan (bukan karena dia memiliki kekuatan supranatural tertentu—penerj.).4 Alasan kedua barangkali lebih fundamental: apakah mungkin memberikan definisi kebatinan untuk ajaran-ajaran KAS jika dalam ajarannya sendiri Tuhan dianggap sekadar kebetulan/kurang penting? Mempertimbangkan rendahnya ketertarikan KAS terhadap persoalan-persoalan keagamaan, sebuah penjelasan yang memuaskan barangkali telah diberikan oleh Moh. Said; bahwa Ki Ageng ingin membatasi ajarannya sebagai filsafat “eksistensial”: “saya pribadi menganggap bahwa (pembatasan) ini dikarenakan KAS sepenuhnya sadar akan keterbatasan-keterbatasan manusia dalam memahami apa yang ada di balik realitas hidup sehari-hari (kini dan di sini) dan bukan dikarenakan penolakan a priori terhadap eksistensi sebuah realitas yang tak kasatmata.”5 Dapat juga dikatakan bahwa jika Tuhan tidak memiliki tempat dalam pemikiran para filsuf, hal itu karena Dia sendiri sudah ada di mana-mana (dalam segala hal, dalam konsep Alam Agung atau alam semesta).

Dalam cara berpikir Jawa, apakah Tuhan atau Manusia yang menempati posisi terpenting? Tentu saja Manusia. Meskipun para spiritualis telah meminjam (gagasan) dari agama Hindu atau Budha, dari mistisisme Islam atau beberapa ajaran teosofi (bahkan kadang-kadang dari ilmu kedokteran), teori-teori tersebut pada akhirnya bersumber dari sebuah dorongan psikologis tunggal: jiwa adalah korban dari sebuah kebingungan yang hebat, sasaran dari sebuah kecemasan dasar (fundamental anxiety), yang mesti diatasi sebelum keselarasan batin dan pemenuhan psikologis dapat ditemukan (atau sebuah kondisi kekosongan: sunya). Ini adalah pendekatan yang sepenuhnya bersifat individual, yang terbagi ke dalam tahapan-tahapan yang berbeda (yang sama banyaknya dalam pemikiran KAS), masing-masing di antara tahapan-tahapan itu mewakili beberapa jenis kemajuan dalam mencapai Kebenaran, yaitu suatu langkah yang lebih maju dalam upaya seseorang untuk menemukan kebebasan.6 Pada saat yang bersamaan tahapan-tahapan tersebut merupakan semacam “pemusatan psikologis” di mana tujuan utamanya adalah kedamaian spiritual. Selubung harus disibakkan, penutup7 harus disingkirkan, sebelum kebenaran itu muncul. Dan kebenaran itu adalah, sebagaimana yang disebut Suryomentaram sebagai Aku, pengalaman mistik tentang kehadiran yang ilahiah.

Hal ini barangkali adalah gambaran yang sempurna dari toleransi, toleransi Jawa yang dirayakan, kecuali jika kepicikan dogmatis terjadi… dan tidak toleran! Sayang, implikasi-implikasi politis dari pendekatan ini masih kurang diperhatikan. Pemenuhan personal (personal fulfilment) secara de facto berhubungan dengan pencapaian sosial (dalam konteks relasi antarmanusia) dan keseimbangan dalam hubungan di antara kelas-kelas sosial yang berbeda; kondisi yang oleh KAS ingin diwujudkan secara bersamaan, sebagaimana dilambangkan dengan celana pendek hitam (representasi kelas bawah) dan sarung bangsawan (kain yang dikalungkan di lehernya) yang dia pakai.

Perilaku seperti itu, yang hanyalah salah satu dari “perilaku-perilaku yang berfungsi sebagai pedoman hidup bagi orang Jawa,”8 kadang-kadang disebut dengan “priyayinisme”, atau mungkin dapat diistilahkan sebagai “tradisional”. Kecenderungan semacam ini nampaknya sulit untuk berubah. Tetapi pengertian tentang perilaku bijak juga berkembang dalam kehidupan orang Jawa secara umum, yang dalam konteks ajaran KAS lebih dipahami sebagai kesalehan atau kesederhanaan sosial (public modest). Sekalipun pemikiran KAS lahir dari alam mental terdalam (the mental depth), di mana aliran-aliran kebatinan juga berakar di situ, namun KAS hendak membersihkan mereka dari selubung-selubung takhayul dan pengertian-pengertian yang berbau mistis. Terhadap alasan inilah pemikiran KAS dalam konteks nasional kemudian sering dianggap sebagai “modern”, mengingat hanya dengan membersihkan pikiran dari selubung-selubung takhayul itulah pemenuhan psikologis (psychological fulfilment) baru dapat diwujudkan. Itulah sebabnya Ki Ageng kemudian lebih memilih menggunakan kata “kawruh” (ilmu, dalam pengertian yang rasional), ketimbang kata “ngelmu” (ilmu dalam pengertian esoteris atau mistis).

Ceramah-ceramah KAS, buku-buku atau tulisan-tulisan tentang Kawruh Jiwa yang telah diterbitkan

Dalam sumber-sumber bacaan berikut ini, yang jauh dari lengkap, buku-buku yang tidak dapat penulis dapatkan tetap penulis cantumkan dalam daftar buku-buku tentang “Kawruh Begdja” di belakang buku-buku yang sudah penulis pastikan keberadaannya.

1. Soedi, Ngelmi–Kawruh–Pitedah Sedjatining Gesang (Wedjangan KAS), 1929 (?); Magelang, 1965 (Edisi keempat), 20 halaman. Dicetak stensilan.

2. Imam Moehni, Inwijding tot het eeuwigdurende geluk van B.R.M. Soeήomentaram, Djokjakarta, 71 halaman. (Pengantar ditulis pada 1930).

KAS, Uran-uran Bedja, (1930?); Surakarta, Windu Kentjana, 1955 (Edisi keenam), 17 halaman.

(KAS), Pangawikan prίbadi, (1930?).

KAS, Wedjangan Kawruh Bedja sawetah, 1931, Pertemuan di Surakarta; 1957 (Edisi ketujuh), 37 halaman. Dicetak Stensilan (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ki Oto Suastika: Wejangan Pokok Ilmu Bahagia, Jakarta, Yayasan Idayu, 1975, 33 halaman).

Ki Sangoebrangta (Ki Pronowidigdo), “Pendidikan oentoek ketentraman doenia wedjangan Toeanku Pangeran Soerjamataram (Kiai Ageng Beringin),” Poesara 1, 10 (13 Januari, 1932), hal. 79–81 (dalam bahasa Jawa).

KAS, Kawruh pamomong.

KAS, Djiwa persatuan.

KAS, Djiwa buruh.

KAS, Ilmu djiwa.

KAS, Seni Suara, 1951, Pertemuan di Magelang; 1956 (Edisi kedua), 10 halaman (dalam bahasa Indonesia).

KAS, Perang dunίa kapίng III, 1951, Pertemuan di Pati; 1956 (Edisi keempat.), 18 halaman.

KAS, Pandangan keadaan dunia.

KAS, Pembangunan djiwa warga negara, 1951, Pertemuan di Surakarta, Windu Kentjana, 1955 (Edisi kedua), 28 halaman (dalam bahasa Jawa).

KAS, Aku iki wong apa? 1952, Pertemuan di Yogyakarta; 1956 (Edisi keempat), 30 halaman.

KAS, Ukuran kaping sakawan, 1953, Pertemuan di Magelang; Surakarta, Windu Kentjana, 1953 (Edisi pertama), 39 halaman. (Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ki Oto Suastika: Ukuran Keempat, Jakarta, Yayasan Idayu, 1974, 32 halaman).

(KAS), Sendon Djunggring Salaka Agung VII, 1953 (di Magelang).

KAS, Tandesan: Wedjangan Kawruh Bedja sawetah (djilid I); Surakarta, Windu Kentjana, 1954 (Edisi pertama), 43 halaman.

KAS, Mawas diri, 1954, Pertemuan di Surabaya; 1956 (Edisi pertama), 54 halaman.

KAS, Kawruh laki-rabί; Surakarta, Windu Kentjana, 1955 (Edisi ketiga), 60 halaman.

KAS, Piageming gesang; Surakarta, Windu Kentjana, 1955 (Edisi kedua), 22 halaman. (Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: Idjazah hidup; Jogjakarta, “Soejadi,” 12 halaman, dicetak stensilan).

KAS, Raos Pantja-Sila; Surakarta, Windu Kentjana, 1955 (Edisi ketiga), 24 halaman.

KAS, Uran-uran raos Pantja Sila.

KAS, Tata negara.

KAS, Djiwa Ngajogjakarta.

KAS, Hal kesempurnaan (Naskah berbahasa Indonesia oleh Ki Pronowidigdo); Magelang, Harapan, 1956, 20 halaman.

KAS, Sandiwara Raos Mlenet; Surakarta, Windu Kentjana, 1956 (Edisi pertama), 56 halaman.

KAS, Pilsapat raos gesang, 1956, Pertemuan di Semarang; Magelang, Harapan, 1959 (Edisi kedua), 17 halaman. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia:

1)  Oleh Kjai Pronowidigdo, Pilsapat Rasa-hidup, Jogjakarta, 1957 (Edisi pertama), 30 halaman;

2)  Oleh Ki Oto Suastika, Filsafat Rasa Hidup, Jakarta, Yayasan Idayu, 1974, 28 halaman.

Buku Peringatan Djunggring Salaka Agung ke XI, tgl. 21–23 Maret 1959, di Purwokerto, Panitya Dj. S. A. ke XI, Purwokerto.

Ki Djojodinomo, Ular-ular djiwa Bangsa Indonesia, Ngajogjakarta, 18 halaman.

Ki Atmosutidjo, Gandulan kangge kantja-kantja peladjar—Kawruh Djiwa, Jogjakarta, 1962, 18 halaman. Dicetak stensilan.

Ki Suwardi Partosardjono, Sadjimpit Hatsil Njumerepi gagasan (pasinaon Kawruh-Djiwa babon saking Suwargi Ki Ageng Surjomentaram), Magelang, “P.K.D.,” 1970, 31 halaman. Dicetak stensilan.

Moh. Said Reksohadiprodjo, “Ki Ageng Suryomentaram, 20 Mei 1892-18 Maret 1962,” Pusara  44: 4 (April 1975), hal. 137–39.

Habis…

Monggo dibaca lagi:

Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892-1962) Bagian I

Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892–1962) Bagian II

Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892–1962) Bagian III


Catatan Kaki:

1. Tentang sejarah Diponegoro dan gagasan perlawanan; cf. sebuah tesis yang luar biasa ditulis oleh Peter Carey, lihat juga studinya yang lain yang berjudul The Cultural Ecology of Early Nineteenth Century Java: Pangeran Dipanegara, A Case Study (Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 1974), 25 halaman.

2. Menurut informasi yang disampaikan Ki Haditomo (wawancara).

3. Banyak perkataan yang sama dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan Krishnamurti dan KAS; sebagai contoh: “Jangan mendekat atau berjarak; lihatlah hanya pada fakta-fakta, dan ketika kamu telah memahami fakta-fakta itu, maka kemudian tiada kenikmatan atau penderitaan; yang ada hanyalah fakta.” Krishnamurti On Education (Bombay: Orient Longman, 1974), hal. 40.

Krishnamurti lahir pada 1885. Kedua laki-laki itu dengan demikian sezaman. Mereka juga menunjukkan kesederhanaan (yang juga bisa dilihat dalam cara berpakaian Krishnamurti) dan nasionalisme.

Tidak mungkin untuk membandingkan keduanya di sini, tetapi tidak ada salahnya disebutkan bahwa dalam pemikiran KAS tidak disebutkan secara jelas perkembangan tentang (rasa) estetika dan gagasan tentang perlunya sebuah kebudayaan baru, dua gagasan yang dikembangkan oleh Krishnamurti (Ibid., hal. 37). Namun perlu diingat, keduanya memang belum pernah bertemu, meski keduanya terhubung oleh tradisi pemikiran yang saling terkait, yakni Jawa dan India. Ambil contoh dalam pemikiran Ki Hajar, yang terpengaruh oleh Rabindranath Tagore dengan “Model India”-nya.

4. Mungkin akan membantu jika hal itu dilihat sebagai hasil dari proses pencarian yang panjang sehingga dalam makna tertentu mirip dengan wahyu.

5. Moh. Said Reksohadipodjo, “Ki Ageng Suryomentaram,” dalam Pusara 44: 4 (April 1975), hal. 138.

6. Dalam pendekatan spiritual Jawa, De Jong menyebutkan tiga komponen inti: citra tentang Raja, penjarakan, dan representasi; lihat Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1976), hal. 151. (Adaptasi dalam bahasa Indonesia atas tesis De Jong “Een Javaanse Levenshouding,” Vrije Universiteit, Amsterdam, 1973). Penulis melihat konsep emansipasi (distansi) sebagai sesuatu yang penting dalam karya-karya KAS.

7. Gagasan tentang “selubung” atau layar penutup (warana, aling-aling), yang menyembunyikan kesadaran sejati, yang secara umum terdapat dalam ajaran-ajaran kebatinan.

8. Meminjam ungkapan De Jong (ibid.).

Teruntuk Franz Magnis-Suseno

Romo mengapa kau begitu mencintai Indonesia

Padahal banyak yang menyebutmu kafir, musuh negara?

 

Ini tanah kita, sawah kita

Aku akan tinggal dan mati di sini

Di tanah yang dicintai

***

 

Dan ketika hari itu…

Dengan kaki telanjang, dalam sejuk udara pagi dan bau ladang, di bawah pohon penuh burung. Seorang lelaki berkata pada temannya. “Tunggu. Aku akan berkhotbah kepada saudara-saudara kita, burung-burung itu.”

“Mereka bisu tuli, tak mengerti satu kata pun,” kata temannya. “Burung-burung tidak tuli. Kau tak tahu burung paham arti derita, gemetar tiap sepi. Aku tetap akan kesana. Khotbahku tak lama.”

Lalu lelaki itu berjalan perlahan mendekati pohon. Dengan gembira, dengan kata-kata lebih lembut dari cahaya, ia mulai bicara, burung-burung mengelilinginya.

 

Foto: Franz Magnis Suseno

“Saudara-saudara kecilku, banyak yang sudah diberikan Tuhan kepadamu. Ia telah anugerahkan kebebasan dan keindahan, Ia sisipkan sayap dan suara merdu. Lebih dari itu: di simpan-Nya telur kalian di bahtera Nuh agar keturunanmu tak punah. Memberimu bulu untuk menghangatkan tubuh. Juga udara juga langit luas tempat kalian terbang tiada terkira. Di atas semua itu, kalian tak menanam tak menuai, Ia memberi makan kalian, gandum dan biji-biji. Mencipta sungai dan mata air sebagai sumber minum, gunung-gunung dan lembah, tempat untuk berlindung, dan pohon tinggi tempat bersarang, rumah mungil buat pulang. Sungguh, Ia menyayangi kalian. Ia memberkati dengan banyak cinta dan rindu. Jadi berdoalah, belajarlah agar selalu berlaku sederhana, selalu memuji-Nya.”

Dan waktu lelaki itu henti bicara, burung-burung membuka paruhnya. Burung-burung mengibaskan seribu bulu halusnya, mulai membangun tempat ibadat kecil, mengangkut ranting-ranting, embun pagi pada daun-daun. Lalu dengan suara jernih, burung-burung berkata lirih: “Kepada diri sendiri, kami akan lurus hati.”

***

Itulah khotbah Santo Fransiskus Assisi –seorang tua penuh kasih yang pernah melarikan diri dari perang yang keji, jika ini dianggap penting– pada burung-burung di kota Alviano. Sebagaimana ditulis dalam kumpulan cerita Fioretti, Little Flowers of St. Francis (1476), ketika menara dan atap di puncak Subasio tampak berkilau. Ketika mega-mega di atas Umbria membangkitkan rasa haru. Ketika lonceng di San Giorgio berdentang keras memecah waktu.

Kebesaran nama Fransiskus dan kecintaannya kepada burung, yang digambarkan sedang memberi makan, yang menyentuh hati banyak orang, diabadikan dalam lukisan Giotto. Orang-orang berkata Fransiskus –yang tumbuh di masa perang antara kaum aristokrat dan kelompok villeins, para budak tuan tanah– hidup dengan perut lapar dan tubuh gemetar. Tapi menerimanya dengan tabah, bahkan penuh suka, meski harus mengetuk pintu. Sepanjang San Damiano dan Foligno.

Seorang teman Katolik saya pernah berkata: “Kotbah-kotbah Fransiskus, siapa pun bisa merasakan, memberi kekuatan, kalau ada batu jatuh ke dalamnya niscaya berubah jadi bunga-bunga, bahkan serigala bisa dibuatnya tersenyum…”

***

Syahdan, ketika Fransiskus, santo yang pernah dianggap gila, berkotbah di Gubbio. Ia mendengar kabar seekor serigala di kota Timur Laut Perugia itu telah memangsa sejumlah orang. “Aku akan pergi, bicara dengan serigala itu,” kata Fransiskus pada karib seperjalanan, Masseo. “Dengarkan, Fransiskus,” kata Masseo, “Kau cari mati!” “Tak usah khawatir, tuan, selama Kau hidup bagaimana mungkin aku mati. Toh hidup atau mati, sama saja…” jawab Fransiskus.

Sementara penduduk kota memanjat atap-atap rumah dan benteng untuk menyaksikan Fransiskus –seorang yang kesetiaannya terhadap gereja tak pernah goyah, meski ia tahu gereja amat busuk kala itu. Dengan lembut, dengan jubah tua yang tampak bekas robekannya, Fransiskus menyapa serigala yang berlari ke arahnya. “Tungggu, tunggu sebentar, saudaraku, aku melarangmu melukaiku atau siapa pun.” Seketika serigala berhenti, menundukkan kepala, dan mulai mendengarkan kata-katanya.

“Serigala,” lanjut Fransiskus, “Hingga hari ini, di sini, kau tak hanya membunuh ternak-ternak, juga manusia. Itu sebabnya orang marah padamu, mengangkat pedang dan tombak, menginginkan kematianmu. Aku tidak. Aku tak membencimu. Tapi ingin membuatmu dicintai. Aku ingin kau berdamai, dan berjanji tak lagi melukai. Aku ingin melihat matamu tetap jernih…”

Konon, sebagai tanda menaati perintah, serigala merebahkan diri di kaki Fransiskus –bekas anak ningrat yang sampai umur 25 tahun menghabiskan waktu dengan sia-sia. Seperti dicatat Thomas dari Celano, penulis pertama biografi Fransiskus.

Kemudian Fransiskus, sosok yang mengenalkan Palungan Greccio pada tiap Desember, kembali berkata-kata, “Serigala, bila kau mau berjanji, aku pastikan dirimu tak menderita, kau tak disakiti. Tak pernah kelaparan lagi. Penduduk Gubbio akan memberimu makan tiap hari. Sekarang, ulurkan kakimu sebagai tanda setuju.”

Untuk beberapa saat serigala diam, dan tiba-tiba mengulurkan kakinya dan meletakkannya pada tangan lelaki itu. Lalu, keduanya berjalan bersama memasuki alun-alun kota. Di sana ia memberikan khotbah yang indah, sementara serigala berbaring di kakinya.

Ketika khotbah selesai, orang pulang ke rumah lewat hutan sambil bernyanyi, burung lintas dan menggambarkan lagi doa yang baru saja keluar dari mulut Fransiskus di langit putih.

 

Tuhan, di saat ada benci, biarkan aku menabur kasih; saat terluka, kirimkan ampunan; saat muncul keraguan, tumbuhkan iman; saat timbul keputusasaan, sisipkan harapan; saat terlanda kesedihan, ingatkan aku tentang kegembiraan; dan saat ada kegelapan, timpakan cahaya yang datang kemudian. Keabadian, keabadian, keabadian…[]

 

A.R.