Indonesia
Tulisan Marcel Bonneff ini versi aslinya berbahasa Prancis: “Ki Ageng Suryomentaram, Prince et Philosophe Javanais,” dimuat pertama kali di Archipel 16 (1978), hal. 175–203. Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Susan Crossley, “Ki Ageng Suryomentaraman, Javanese Prince and Philoshoper,” dimuat di Indonesia 57 (April 1994).

Kawruh Jiwa" width="150" height="150" /> Afthonul Afif, Peneliti Kawruh Jiwa
Versi bahasa Indonesia tulisan ini diterjemahkan oleh Afthonul Afif dari versi Inggrisnya atas izin Marcel Bonneff. Tulisan ini juga menjadi apendiks dalam buku Matahari dari Mataram, karya Afthonul Afif dan kawan-kawan. Afthonul Afif adalah seorang peneliti Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram. Dua bukunya tentang Ki Ageng Suryomentaram yaitu: Matahari dari Mataram; Menyelami Spiritualitas Jawa Rasional Ki Ageng Suryomentaram (2012) dan Ilmu Bahagia menurut Ki Ageng Suryomentaram (2012). Ia juga aktif menulis tema psikologi kebahagiaan di berbagai media massa.
“Sang Pemimpin” dan Para Pengikutnya
idorong oleh perhatian yang nyata terhadap “pengajaran”, KAS merefleksikan secara panjang lebar perihal pendekatan yang perlu dipakai oleh seseorang yang mempelajari “Ilmu Jiwa”.[1] Yang pertama, dia harus menyadari bahwa ilmu ini sangat sederhana dalam ajaran-ajarannya, namun (sekaligus) sangat sulit ketika akan dipraktikkan.
Sederhana dalam hal cara dia menggambarkan pikirannya. Hal tersebut diujarkan dalam perumpamaan, di mana setiap gagasan ditampilkan melalui peristiwa sehari-hari, meski sering kali mengandung risiko, karena hal itu di hadapan kita nampak sebagai sesuatu yang remeh-temeh. “Hal pertama kali yang mesti seseorang lakukan untuk memastikan keberlanjutan keturunannya adalah memiliki mertua, istri, lalu anak, kondisi yang tidak berlaku bagi sapi-sapi, misalnya, karena mereka tak perlu memiliki mertua dan istri.”[2] Menciptakan secara konstan perumpamaan-perumpamaan seperti itu sesuai dengan gagasan bahwa pengalaman seseorang merupakan sumber utama bagi kebangkitan kesadarannya.
Elemen-elemen dari setiap pernyataan yang berbeda secara hati-hati didefinisikan dan dianalisis satu per satu. Alasan-alasan disampaikan melalui serangkaian antitesis, dirancang secara dialektis, untuk menggugah para pendengar dan pembacanya tentang citra harmoni dalam setiap argumen yang dia sampaikan.
Sangat sedikit kata-kata dalam bahasa asing, bahkan Indonesia sendiri, yang bisa ditemukan. Meski KAS menemukan sendiri istilah-istilah yang digunakannya (kramadangsa, ukuran kaping sakawan, raos sewenang-wenang, dan lain-lain), namun secara umum dia sebenarnya menggunakan kosa-kata yang sederhana untuk menghindari perangkat-perangkat literer yang baku. Jika kalimat yang dia gunakan kemudian tidak selamanya baku, hal ini tidak bisa dilepaskan dari fakta bahwa versi asli ceramah-ceramahnya bersumber dari bahasa lisan, sama halnya dengan kegemarannya menggunakan ungkapan-ungkapan yang paradoks.
Adalah sebuah kesalahan ketika ajaran Kawruh Jiwa dianggap sebagai pendekatan yang bersifat doktriner atau sebuah “Mantra Suci”. Yang lebih penting di sini adalah ketulusan maksud dari para pembelajar, begitu juga bagi pengajarnya. KAS tidak ingin ajarannya mengebiri semangat atau menimbulkan fanatisme pada para pengikutnya; dia ingin nasihat-nasihatnya tersebut dapat disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan dan kemampuan mental mereka. Sementara pengetahuan tentang sistem filosofi atau keyakinan dalam ajaran kebatinan justru menghambatnya.
Pendek kata, teknik-teknik gaya bahasanya menarik perhatian penulis. Hal itu merefleksikan bagaimana sikap pengajarannya yang menunjukkan sebuah penekanan untuk merasionalkan hal-hal, sesuatu yang sangat berbeda dengan “bualan” yang dapat ditemukan di berbagai ajaran kebatinan; hal itu juga menegaskan rasa hormat Ki Ageng terhadap para pengikutnya. Hal-hal tersebut Ki Ageng sampaikan dalam bahasa krama, sambil tetap berhati-hati untuk menghindari penggunaan istilah-istilah yang berlebihan (krama inggil) yang berkonotasi feodalistik. Sebaliknya, dia menggunakan bahasa ngoko (bahasa Jawa yang dipakai sehari-hari oleh orang biasa) untuk percakapan-percakapan pendek atau komentar-komentar mendadak dalam ceramah-ceramahnya semata-mata sebagai tanda dari sebuah keakraban, sehingga menciptakan suasana santai ketika dia sedang berbicara dalam pertemuan-pertemuan tersebut.
Bagi orang Jawa, nada bicara (dalam percakapan) dan kata-kata yang digunakan sangat penting maknanya, karena hal itu berdampak secara emosional. Dalam kata pengantar edisi bahasa Indonesia, Ki Oto Suastika memberikan sejumlah peringatan: “Kesulitan-kesulitan yang dijumpai dalam penerjemahan karya ini bersumber dari banyaknya istilah-istilah pengungkapan dan bentuk-bentuk ujaran dalam bahasa Jawa yang menggunakan konsep rasa.”[3] Begitu juga dengan Ki Sangoebrangta (Ki Pronowidigdo), salah seorang yang pertama kali menyebarkan ajaran-ajaran Ki Ageng (atau nasihat-nasihatnya, yaitu wejangan), menyebutkan dalam sebuah pengantar untuk pembaca di majalah Poesara, bahwa dia tetap mempertahankan penggunaan bahasa Jawa supaya tidak terjadi kesalahpahaman terhadap wejangan-wejangan KAS “seperti yang berhubungan dengan pemahaman tentang konsep kepekaan (rasa) dan perangai”, meski dia akhirnya juga memberikan pemakluman terhadap penggunaan huruf latin ketimbang huruf Jawa.[4]
Memahami Ajaran KAS
Bagi para pengikut Kawruh Jiwa (pelajar), ajaran-ajaran KAS, baik yang terucap maupun tertulis, baru merupakan langkah pertama. Memahami ajaran-ajaran tersebut dalam kaitannya dengan situasi kehidupan nyata (setelah mampu menguasai prinsip-prinsip umumnya dan memiliki pemahaman yang mencukupi untuk mempraktikkannya selama proses belajar) itu lebih penting. Seorang pelajar harus mampu “memahami caranya memahami” (ngertos carane ngertos) agar mendapatkan inti pemahaman tentang hal-hal (nandhes), yaitu mencapai pemahaman yang kokoh (kekah pangertosanipun). Mungkin agak bermasalah jika anjuran tersebut dibakukan dalam sistem pengajaran, sebab anjuran-anjuran tersebut lebih sebagai asupan bagi pikiran. Apa yang kemudian penting bagi para pengikut Kawruh Jiwa adalah mereka perlu memperdebatkan gagasan-gagasan yang terkandung dalam ajaran-ajaran tersebut. Pelajar yang lebih berpengalaman akan membimbing para pelajar baru dalam sebuah “pertemuan” (bahkan meski hanya dilakukan oleh dua orang) yang dikenal dengan Junggring Salaka.[5] Pada hakikatnya periode pembelajaran tersebut bersifat seumur hidup; setiap kali menjumpai ketidakberuntungan (raos cilaka), kondisi ini perlu dilihat melalui sudut pandang ajaran, yang kemudian akan memungkinkan perasaan seseorang tentang dirinya menjadi lebih jernih. Namun demikian, adalah sebuah kesalahan ketika ajaran Kawruh Jiwa dianggap sebagai pendekatan yang bersifat doktriner atau sebuah “Mantra Suci”. Yang lebih penting di sini adalah ketulusan maksud dari para pembelajar, begitu juga bagi pengajarnya. KAS tidak ingin ajarannya mengebiri semangat atau menimbulkan fanatisme pada para pengikutnya; dia ingin nasihat-nasihatnya tersebut dapat disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan dan kemampuan mental mereka. Sementara pengetahuan tentang sistem filosofi atau keyakinan dalam ajaran kebatinan justru menghambatnya.
Ada dua jenis pertemuan di antara para pelajar: pasinaon dan jawah kawruh. Yang pertama adalah kesanggupan untuk belajar (sinau) dan mengembangkan teknik-teknik analisis diri. Ketika mereka telah sampai pada tahap menguasai prinsip-prinsip dan istilah-istilah dalam ajaran, para pelajar kemudian dapat melanjutkan pada jenis pertemuan yang kedua, yaitu “kehujanan ilmu” (papanggihan jawah kawruh). Tahapan ini berupa upaya-upaya memberikan bantuan kepada mereka yang menderita akibat gangguan psikologis tertentu dengan secara teliti menganalisis penyebab-penyebab masalah mereka itu (ngudari reribed). Untuk jenis psikoterapi ini (mungkin bisa diistilahkan demikian), sangat penting untuk menguasai dimensi keempat (ukuran kaping sekawan), yaitu kemampuan “merasakan apa yang orang lain rasakan” (feel what others are feeling).
Ki Ageng menciptakan sendiri sejumlah tembang (uran-uran) dalam bentuk macapat dan beberapa panembrama (tembang-tembang sambutan) yang dirancang untuk membantu para pelajar mengingat bagian-bagian terpenting dari nasihat-nasihatnya.
Secara umum, terlepas dari pertemuan-pertemuan yang memiliki konsekuensi-konsekuensi praktis dan langsung tersebut, seorang pelajar harus mampu, melalui contoh yang dia tentukan sendiri dan dengan kemampuan yang dia miliki sendiri, memberikan pengaruh yang bermanfaat bagi lingkungan sosialnya.
Akhirnya, untuk melihat peran dari ajaran-ajaran Kawruh Jiwa, perlu juga dilihat suplemen-suplemen yang terkandung di dalamnya, yaitu syair dan drama. Ki Ageng menciptakan sendiri sejumlah tembang (uran-uran) dalam bentuk macapat dan beberapa panembrama (tembang-tembang sambutan) yang dirancang untuk membantu para pelajar mengingat bagian-bagian terpenting dari nasihat-nasihatnya.[6] Tembang-tembang itu dibaca dan disenandungkan secara bersama-sama dalam pertemuan. Sementara untuk drama, dalam sebuah pentas alegoris—Raos Mlenet (perasaan tertekan)—KAS mengulang kembali gagasan terpentingnya tentang pernikahan: bahwa seseorang harus bebas memilih siapa yang bakal dia nikahi. Diceritakan dalam sebuah keluarga terdapat tiga tokoh protagonis: ayah, ibu, dan anak perempuan, di mana masing-masing pihak telah memiliki pilihan perihal calon suami untuk si anak perempuan. Hal itu kemudian melahirkan konflik di antara mereka. Si anak mengancam akan bunuh diri jika orang tuanya tetap memaksakan pilihan mereka (perlu dicatat bahwa dorongan untuk bunuh diri adalah sebuah gangguan psikologis, seperti yang disebutkan dalam karya-karya KAS). Konflik tersebut akhirnya bisa terselesaikan berkat bantuan salah seorang Pelajar Kawruh Jiwa yang membimbing mereka untuk memahami bahwa konflik tersebut terjadi semata-mata karena masing-masing pihak kurang memiliki pemahaman terhadap motivasi mereka dan memiliki egoisme di antara mereka.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa KAS menemukan sosok pendukung setia bagi gagasan-gagasannya pada diri Prawirowiworo. Ki Prono, mantan anggota Perkumpulan Selasa Kliwon, juga bisa disebut sebagai salah seorang yang pertama-tama memberikan dukungannya. Bagi Ki Haditomo, salah seorang pengikut KAS, dua orang itu bersama dengan Ki Ageng, merupakan semacam tritunggal, di mana Ki Prono mewakili pikiran (cipta), Ki Prawiro mewakili hati (manah), dan Ki Ageng adalah tubuhnya (raga).[7]
Warisan KAS Untuk Bangsa
Salah satu ceramah publik pertama KAS diterbitkan dan diberi komentar oleh M. Soedi,[8] kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh R. Imam Moehni dengan judul Inwijding tot het eeuwigdurende geluk van B.R.M. Soerjomentaram (Pengantar untuk Kebahagiaan Abadi, terbit 9 Maret, 1930).[9] Penerjemah memberikan sebuah penjelasan tentang istilah-istilah Jawa yang digunakan KAS dalam sebuah pengantar panjang, serta memberikan komentar-komentar atas pernyataan-pernyataan KAS, yang waktu itu masih menyandang sebutan “Pangeran.” Dengan cara yang sama, di Surakarta pada 1931, dasar-dasar ajaran KAS juga diterbitkan namun dalam bentuk yang lebih lengkap.[10] Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa sejak saat itu KAS telah memiliki sejumlah pengikut yang menyebarkan gagasan-gagasannya.
Pada 1932 dilanjutkan dengan pertemuan yang bertajuk Junggring Salaka Agung—sebuah pertemuan tahunan untuk mempertemukan perwakilan-perwakilan dari perkumpulan pelajar di berbagai daerah.[11] Namun, KAS dan para pengikutnya menolak untuk membuat sebuah perkumpulan yang terstruktur: perkumpulan-perkumpulan tersebut tidak terbentuk secara formal, para pengikutnya tidak diwajibkan membayar iuran masuk dan dapat keluar dari perkumpulan sewaktu-waktu ketika mereka menghendakinya—perlu disebutkan bahwa kelompok belajar itu dapat diselenggarakan hanya oleh dua orang, bersifat luwes (non-directive), dan tak seorang pun diperkenankan mengklaim dirinya sebagai guru, bahkan Suryomentaram sendiri, yang oleh para pengikutnya hanya disebut sebagai “bangkokan”.[12] Meski begitu, sejenis panitia lokal tetap dibutuhkan untuk bekerja sama dan menjalin koordinasi dengan panitia umum (Panitya Umum) yang berkedudukan di Surakarta.
KAS juga menyampaikan ceramah yang beraroma nasionalistik (Raos Pantja Sila merupakan ceramah yang disampaikan pada 1955).
Hanya sedikit organisasi atau bahkan nyaris tidak ada yang bisa dianggap sebagai wadah bagi penyebaran pemikiran-pemikiran KAS. Yang muncul di tahun 1930-an hanyalah sejenis gerakan, seperti sebuah pertemuan yang diikuti dengan pertemuan lainnya (meskipun demikian, hal ini tetap penting untuk dilihat sebagai penanda bagi perluasan gagasan-gagasan KAS waktu itu—penerj.). Pertemuan-pertemuan awal tersebut mengundang sejumlah opini bernada mengejek, meski kemudian segera lenyap. Bagaimanapun juga, setelah Junggring Salaka Agung menyelenggarakan sejumlah diskusi dan publikasi, ajaran-ajaran KAS kemudian menjadi lebih mapan. Pertemuan di Yogyakarta pada 1937 merupakan yang terakhir diselenggarakan sebelum perang. Apakah kemudian gerakan tersebut kehilangan momentum? Selama pendudukan Jepang, memang benar bahwa situasi negeri ini tidak memungkinkan bagi tumbuhnya diskusi-diskusi filosofis tentang kebahagiaan personal sebagaimana yang dilahirkan KAS. Seperti yang sudah diungkapkan, KAS yang disibukkan oleh perlawanan terhadap kekuasaan penjajah ikut terlibat dalam arena politik dan mendukung semangat perlawanan yang bisa dilihat dari keikutsertaannya dalam perlawanan terhadap kembalinya Belanda. Namun Ki Ageng tidak kekurangan pengikut. Pada 1948, setelah terjadi Peristiwa Madiun, dia menyampaikan sebuah seruan untuk persatuan kepada para pengikutnya melalui Djawah Kawruh, terbitan berkala yang dia dirikan namun hanya mampu terbit selama dua bulan. Sejak awal 1950-an, ketika suasana damai mulai terwujud, dia mulai sering berkunjung ke daerah-daerah untuk menghidupkan kembali perkumpulan-perkumpulan di daerah. Dia memberikan sejumlah kuliah di Jawa Barat (Jakarta, Bogor, Cianjur, Bandung) untuk mengenalkan gerakannya.[13]
Pada penyelenggaraan Junggring Salaka Agung di Megelang tahun 1953, dia menjelaskan dasar-dasar tentang dimensi keempat (ukuran kaping sekawan), sebuah gagasan yang disebarkan dalam majalah Dudu Kowe, publikasi lainnya yang juga berumur pendek.[14] Pada 1953 juga berdiri yayasan penerbitan Windu Kentjana di Surakarta, yang menerbitkan atau menerbitkan ulang ceramah-ceramah KAS. Bersamaan dengan itu, di Magelang Ki Djasoewadi juga mendirikan perusahaan dengan nama CV Harapan yang menerbitkan karya-karya KAS. Sejak saat itu, penyebarluasan gagasan-gagasan filosofis KAS semakin berkembang dan telah memberikan pemasukan rutin bagi perkumpulan. KAS sendiri kemudian berterima kasih atas penerbitan itu karena sedikit banyak dia juga menerima pemasukan darinya.[15]
Meski Ki Ageng sering kali membuat (pernyataan) serangan-serangan terhadap irasionalitas yang diajarkan dalam kebatinan, dan secara terang-terangan memisahkan dirinya dari kecenderungan tersebut, namun dia (ternyata) tidak bisa sepenuhnya menghindari penilaian yang menganggap bahwa gerakan Kawruh Jiwa juga sebuah aliran di mana dia sendiri bertindak sebagai seorang guru.
Dapatkah gerakan ini dikatakan sepenuhnya memisahkan diri dari kehidupan politik, sebagaimana dikehendaki oleh para pemimpinnya? Untuk menilai hal ini, kita bisa melihat misalnya melalui selebaran yang dibuat oleh Panitya Kawruh Jiwa Klaten di tahun-tahun menjelang pemilu 1955. Ternyata perkumpulan ini tidak sepenuhnya steril dari politik, karena dalam selebaran tersebut terdapat sebuah syair yang disenandungkan dengan diiringi gamelan (sendhoman) yang menyerukan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilu. Keterlibatan tersebut merupakan wujud sumbangsih bagi perkembangan negeri, serta sarana untuk menyampaikan tuntutan-tuntutan rakyat (wong cilik).[16] Seperti yang bisa dilihat, pada tahun-tahun itu KAS sendiri juga menyampaikan ceramah yang agak berbeda, yaitu ceramah yang beraroma nasionalistik (Raos Pantja Sila merupakan ceramah yang disampaikan pada 1955).
Selama masa kolonial dan pendudukan Jepang, beberapa kali gerakan Kawruh Jiwa menjadi sasaran kecurigaan. Ketika kemerdekaan telah diraih, pelajar disarankan untuk menunjukkan rasa hormat dan kepedulian kepada mereka yang ingin mengenal gerakan ini: semua buku yang dipelajari, di mana KAS sendiri yang sepenuhnya bertanggung jawab, harus ditunjukkan secara jujur kepada mereka yang kemungkinan akan atau ingin meneliti.[17]
Meski Ki Ageng sering kali membuat (pernyataan) serangan-serangan terhadap irasionalitas yang diajarkan dalam kebatinan, dan secara terang-terangan memisahkan dirinya dari kecenderungan tersebut, namun dia (ternyata) tidak bisa sepenuhnya menghindari penilaian yang menganggap bahwa gerakan Kawruh Jiwa juga sebuah aliran di mana dia sendiri bertindak sebagai seorang guru. Apakah hanya kesalahan penilaian yang dibuat oleh para pengamat, atau semata penilaian berdasar fakta yang nampak dari luar dan dari perilaku-perilaku tertentu yang ditunjukkan oleh para pelajar, gerakan ini bisa dibilang menunjukkan semua ciri dari sebuah “aliran kebatinan”. Dalam sebuah kesempatan, Clifford Geertz memasukkan gerakan Kawruh Jiwa ke dalam aliran kebatinan, berdasarkan pada pengamatannya dan komentar-komentar yang disampaikan oleh seorang guru Kawruh Jiwa dari Pare (sebuah kota kecamatan di Kabupaten Kediri, Jawa Timur). Namun demikian, bagi Geertz sendiri gerakan ini lebih memilih menggunakan “analisis fenomenologis” (untuk menemukan/mencapai kebenaran—penerj.) ketimbang meditasi/semedhi, sebuah teknik yang merupakan bagian terpenting dari ajaran-ajaran kebatinan.[18] Ketika Ki Ageng meninggal, sebuah tulisan yang dimuat di terbitan berkala Varia menyebutkan bahwa dia merupakan “tokoh di dalam dunia kebatinan”.[19] Dalam sebuah entri “Surya Mataram, Ki Ageng” yang tercantum dalam Ensiklopedi Umum (hal. 1270–71), disebutkan informasi: ‘Pangeran Surya Mataram yang kemudian menggunakan nama Ki Ageng adalah guru dari aliran kebatinan yang dikenal sebagai Ilmu Begdja. Pengikutnya tersebar luas dan berasal dari berbagai daerah, meski kurang ada informasi dan organisasi yang bisa menjelaskan gerakan ini. Ajarannya disampaikan melalui ceramah-ceramah di hadapan para peserta yang duduk “lesehan” (Jawa: duduk di atas lantai/tanah)….’ Namun pada 1953 gerakan Kawruh Jiwa tidak dimasukkan sebagai aliran kebatinan di Daerah Istimewa Yogyakarta.[20]
Pada pertemuan Junggring Salaka yang terakhir, digelar di Purwokerto[21] tahun 1959, dibagikan buku kecil kepada para peserta yang di dalamnya terdapat fakta-fakta menarik seputar pertemuan dan informasi berharga tentang latar belakang sosial serta asal-usul para anggota.
Pertemuan tersebut diselenggarakan oleh panitia lokal yang diketuai Ki Notoamidjojo. Setelah upacara pembukaan dan semua tamu telah menempati tempatnya, KAS memberikan sebuah ceramah. Selain itu, sebuah sandiwara dengan judul Tjipta Djiwa juga dimainkan selama dua hari saat pertemuan berlangsung. KAS memimpin debat dan memberikan tanggapan terhadap pertanyaan dan komentar yang disampaikan oleh pelajar kepada sejumlah pembicara (KAS sendiri, Ki Kartosumanto, dan Ki Prono). Para peserta kemudian diminta untuk menyampaikan kesulitan-kesulitan serta perkembangan yang telah mereka capai dalam mempelajari “Ilmu Jiwa” di perkumpulan mereka masing-masing.
Nama para pelajar biasanya didahului oleh partikel ki untuk laki-laki dan nyi untuk perempuan (sebagaimana juga berlaku dalam gerakan Taman Siswa).
Dalam publikasi tercatat 257 nama dan alamat anggota panitia lokal yang berasal dari lima puluh kota di Jawa, baik kota besar maupun menengah. Terdapat sejumlah kota besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang bertanggung jawab menyebarluaskan informasi tentang pertumbuhan gerakan ke berbagai daerah. Di Temanggung, Magelang, juga Jember, terdapat lebih banyak panitia lokal daripada di kota-kota lainnya. Kota-kota dari bagian barat Pulau Jawa juga memiliki panitia, seperti Jakarta, Bogor, dan Bandung. Dalam dokumen tersebut juga tercatat perwakilan dari Madura dan Lampung.
Kecuali untuk Suryomentaram (Ki Ageng) dan Pronowiworo (Kyahi), nama para pelajar biasanya didahului oleh partikel ki untuk laki-laki dan nyi untuk perempuan (sebagaimana juga berlaku dalam gerakan Taman Siswa); jumlah peserta perempuan jauh lebih sedikit dibanding peserta laki-laki. Disebutkan juga perihal latar belakang profesi para peserta: pegawai, guru sekolah rakyat, kepala desa, mantri pengairan, dan bahkan dalang. Meski sejumlah pegawai tinggal di kauman, sangat sedikit yang menggunakan nama-nama bernuansa Islam. Nama-nama Cina juga jarang; namun kontribusi keuangan mereka, yang bisa dilihat dari iklan-iklan yang tercantum dalam selebaran publikasi tentang sejumlah usaha yang mereka kelola (batik, percetakan, otobus, dan pusat-pusat perbelanjaan), tetap penting. Perlu juga disebut bahwa tidak ada nama yang berakhiran ningrat (sebuah indikasi kehormatan), dan berdasarkan nama serta profesi yang telah tercatat, mereka umumnya berasal dari golongan priyayi kelas menengah atau rendah.
Setelah penyelenggaraan kongres yang terakhir ini, KAS hanya menyisakan tiga tahun waktu hidupnya, dan dalam beberapa bulan dia dalam keadaan sakit. Setelah kematiannya, para pengikutnya di Yogyakarta kemudian mengumpulkan karya-karya KAS dan menerbitkannya dengan Ki Atmosutidjo sebagai pemimpin dan pemberi dukungan moral. Beberapa publikasi selanjutnya diedarkan.[22]
Hari ini (merujuk tahun ’60-an, setelah kematian Ki Ageng—penerj.), di kota tempat pemerintahan Kesultanan Yogyakarta pada zaman dulu, perkumpulan Kawruh Jiwa yang dipimpin oleh Ki Haditomo, selalu menyelenggarakan pertemuan setiap 35 hari, yaitu setiap Minggu Pon, hari di mana sang Filsuf wafat. Terlihat juga Nyi Suryomentaram, janda KAS, berperan dalam menyebarluaskan ajaran-ajaran suaminya. Sementara Grangsang (putra dari pernikahan pertama KAS) dianggap sebagai pewaris ajaran spiritual sang ayah dan sosok yang akan melanjutkan gerakan tersebut. Meski tanggung jawab profesionalnya (Grangsang adalah dokter di kesatuan Angkatan Laut berpangkat letnan kolonel) sering kali membuatnya harus meninggalkan tugas memimpin perkumpulan, namun dia tetap berusaha menghidupkan gagasan-gagasan ayahnya dengan dibantu oleh Ki Oto Suastika dan Yayasan Idayu; dia juga berkomitmen untuk membangun/mengembangkan gerakan yang telah ayahnya rintis.
Bersambung…
Baca juga:
Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892–1962) Bagian IV – Habis
Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892-1962) Bagian I
Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892–1962) Bagian II
Catatan Kaki:
[1.] Bagian yang paling menjelaskan prosedur ini terdapat dalam Tandesan.
[2.] Raos Pantja Sila, hal. 5.
[3.] Cf. Filsafat Rasa Hidup, hal. 7.
[4.] Ki Sangoebrangta, “Pendidikan oentoek ketentraman doenia, wedjangan Toeankoe Pangeran Soerjamataram (Kiai Ageng Beringin),” dalam Poesara 1: 10 (Januari 1932).
[5.] Dalam wayang, Junggring Salaka dijelaskan sebagai rumah para dewa dan tempat mereka menyelenggarakan pertemuan.
[6.] Dalam bagian Uran-uran Bedja.
[7.] Dari sebuah wawancara dengan Ki Haditomo (Mei 1975).
[8.] M. Soedi, Ngelmi–Kawruh–Pitedah. Edisi keenam karya ini menyertakan sebuah pengantar tertanggal 15 April 1929. Sulit untuk menyusun kronologi terhadap publikasi-publikasi yang paling awal; seperti Uran-uran Bedja dan Pangawikan pribadi (kemungkinan ditulis oleh Prawirowiworo), kemungkinan terbit tahun-tahun itu juga.
[9.] Penulis berterima kasih kepada Mr. Tsuchiya yang telah menyediakan tulisan ini.
[10.] Wedjangan.
[11.] Junggring Salaka yang pertama diselenggarakan di Salatiga; pada 1933 diselenggarakan di Surakarta, 1934 di Kudus, 1935 di Madiun, 1936 di Wonosobo, dan 1937 di Yogyakarta. Setelah jeda selama tiga belas tahun, Junggring Salaka yang ketujuh diselenggarakan di Magelang pada 1953, kemudian di Surabaya pada 1954, di Semarang pada 1956, di Tulungagung pada 1957, dan yang terakhir di Purwokerto pada 1959. Dalam buku peringatan untuk pertemuan yang terakhir ini (21, 22, 23 Maret), sebuah tulisan Kjai Pronowidigdo menjelaskan tentang sejarah gerakan Kawruh Jiwa (“Riwajatipun Kawruh Djiwa”).
[12.] Istilah ini digunakan untuk merujuk binatang tertentu yang karena kekuatan dan usianya kemudian dianggap lebih mampu untuk memimpin kelompoknya. Istilah tersebut dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai “patriarch”.
[13.] Pada 1952 di Jakarta dia berbicara kepada Panitya Filsafat dan Kebatinan (Philosophical and Kebatinan Commitee), kepada Yayasan Hidup Bahagia (Happy Life Foundation) yang diketuai oleh Mr. Wongsonegoro, dan kepada perkumpulan masyarakat Cina, yakni Sam Kauw Hwee dan Khong Kauw Hwee.
[14.] Peristiwa tersebut juga dimuat dalam terbitan berkala Siaran.
[15.] Dari wawancara dengan Ki Haditomo.
[16.] Sendona bab Pemilihan Umum.
[17.] “Manawi Junggring Salaka kedhatengan wakiling Pamarintah ingkang gadhah tugas naliti pakempalan-pakempalan dan grombolan-grombolan kanca-kanca cekap namung nyaturaken buku-buku Kawruh Jiwa wau….” (Buku Peringatan).
[18.] Clifford Geertz, The Religion of Java, 2nd ed. (Chicago dan London: University of Chicago Press, 1976), hal. 344–345.
[19.] Varia 5: 206 (28 Maret 1962). Tulisan tersebut ditulis oleh Siauw Tik Kwie, seorang Pelajar Kawruh Jiwa yang kemudian menjadi penerjemah karya-karya KAS yang diterbitkan oleh Yayasan Idayu dengan nama Ki Oto Suastika.
[20.] Republik Indonesia: Daerah Istimewa Jogjakarta (Jakarta: Kementrian Penerangan, 1953); cf. hal. 675–82.
[21.] Lihat catatan 54.
[22.] Ki Atmosutidjo, Gandulan… ; Ki Djojodinomo, Ular-ular… ; Ki Suwardi Partosardjono, Sadjimpit Hatsil… (diterbitkan oleh Panitya Kawruh Jiwa di Magelang yang tetap aktif pada 1970).
Blakra’an (baca: dolan) ke Kepatihan Pakualaman Sabtu malam kemarin, 10/11, saya berangkat bersama laron yang menclok di jaket dan nyelip di sela helm saya. Sebagian area Piyungan-Potorono-Kotagede malam itu mati listrik –pemadaman bergilir– PLN biasa menyebutnya begitu. Maka yang terjadi adalah laron-laron yang mengerumuni lampu jalan, beralih mengejar lampu sepeda motor atau mobil. Wah, ini momen puitik, pikir saya. Di antara laron yang beterbangan, hujan yang menjelang, dan jalanan yang padat kendaraan, saya memikirkan acara peluncuran buku Antologi Puisi Mata Khatulistiwa di Kepatihan Pakualaman Sabtu malam itu. Mengapa acara Sastra ini menghadirkan orang-orang pemerintahan, dosen, dan akademisi yang lain –selain seniman tentu saja? Mengapa pula acara ini dihelat di lingkungan Pura Pakualaman?
Acara ini diawali dengan sajian makan malam di sisi belakang pendapa Kepatihan. Setelah MC membuka acara, Muhammad Bagus Febrianto – pengageng urusan macapat Kadipaten Pakualam– tampil membacakan beberapa padha dalam pupuh Dhandhanggula dan Kinanthi untuk menyambut para hadirin. Lantas Ibu Nana Ernawati, ketua Lembaga Seni dan Sastra Reboeng (selanjutnya: Reboeng), menyampaikan pengantar tentang peluncuran buku Mata Khatulistiwa. “Mengapa acara yang biasanya di gedung kesenian, harus di Kepatihan Pakualaman?” Ya, saya juga tanya itu tadi di jalan, Bu. “Sebenarnya ini sudah menjadi krenteg, supaya masyarakat dan kerajaan ada silaturahmi,” lanjut Bu Nana. Hmmm, saya menggumam. “Semua kitab suci agama, termasuk Al-Qur’an ditulis dalam bentuk puisi. Di sini saya ingin mengatakan keberadaan puisi seperti tersisihkan. Tidak seperti seni tari, musik, dan seterusnya,” kata Bu Nana. Di akhir acara saya mendapat keterangan lebih lanjut dari Iman Budi Santosa, editor Mata Khatulistiwa.

Foto bersama seusai peluncuran buku.
Lantas Bu Nana mempersilakan beberapa tamu undangan naik ke panggung di depan para hadirin untuk turut meluncurkan buku Mata Khatulistiwa. Antara lain, ketua BPAD DIY, ketua TBY DIY, dan Eros Djarot. Menurut Eros Djarot ia mewakili kakaknya, Slamet Rahardjo, yang malam itu sedang syuting program televisi. Program apa ya, saya hanya menduga Sentilan Sentilun, begitu juga kedua MC yang memandu acara dengan heboh. Tapi kok belakangan Butet Kertaradjasa hadir ke Kepatihan, bahkan membaca dua puisi karya Bu Nana Ernawati? Siapa dong pemeran Sentilun yang sedang syuting dengan Slamet Rahardjo? Sudah. Banyak tanya di dalam kepala malah bikin ruwet, nanti saja tanya langsung.
Usai peluncuran buku secara resmi dan berfoto, acara dilanjutkan dengan pembacaan puisi oleh para tamu undangan Reboeng. Pembacaan puisi yang dipandu oleh dua MC yang heboh pun tidak menghilangkan kesan formal yang dibawa oleh para tamu undangan. Meski memang artikulasi dan karakter puisi yang dibacakan juga memiliki ruh dan semangat di sekujur tubuh puisi, namun kesan itu tetap berbekas di kepala saya. Tentu tidak semua tamu undangan yang begitu. MC kadang berceletuk ketika pembaca puisi dan penyair yang dipanggil maju disambut tepuk tangan, “Nyapres-nyapres. Pendukungnya banyak ya.” Lalu hadirin tertawa. Pembacaan puisi diacak, mulai dari Aceh, melompat ke Jawa Barat, meluncur ke Sumatera Utara, menengok Sumatera Barat, terbang ke Flores, singgah ke Jawa Timur, balik lagi ke Aceh, berderap ke Papua dan mendarat tuntas di Yogyakarta melalui pembacaan oleh Butet Kertaredjasa atas puisi Nana Ernawati.
Di sela-sela pembacaan puisi, Teater Eska menampilkan musikalisasi dua puisi dari Papua dan Jawa Timur, karya dua penyair yang syairnya ada di dalam buku Mata Khatulistiwa. Lalu Jejak Imaji menambahkan alat musik lain di adonan keragaman musik mereka, dengan saxophone mereka menyajikan musik puisi karya Nana Ernawati, kalau nggak salah ingat. Lalu Serat Djiwa membawa suasana Kepatihan yang basah oleh gerimis menuju kesenyapan dengan beberapa aransemen musik etnik di Nusantara merespons keanekaragaman puisi dalam buku Mata Khatulistiwa. Tampak dari alat musik mereka yang kawin dengan alat musik Eropa: Gambus, Gitar, Sapek Dayak, Akordeon yang sering digunakan di Melayu, Perkusi Papua, Biola, dan Cello. Pupuh sinom padha pertama pada Serat Wedhatama karya Mangkunegara IV pun dibacakan untuk memungkasi pentas: “Nulada laku utama, tumrape wong Tanah Jawi, Wong Agung ing Ngeksiganda, Panembahan Senopati, kepati amarsudi, sudane hawa lan nepsu, pinesu tapa brata, tanapi ing siyang ratri, amamangun karenak tyasing sesama.” Keragaman di Nusantara saya tangkap dengan cukup jelas dari seluruh rangkaian penampilan.
Singkatnya kalau “Nusantara” kita akan bicara lokalitas, kalau “Indonesia” kita akan bicara globalitas.

Poster peluncuran buku Antologi Puisi Mata Khatulistiwa.
Buku ini memuat puisi yang menunjukkan nilai-nilai kedaerahan dari 29 provinsi di Indonesia. Saya menangkap sebuah lanskap yang dipotret oleh beberapa puisi yang dibacakan atau dimusikkan malam itu, adanya persinggungan atau justru saling berhadapan antara Tradisi dan Modernitas. Misalnya, Irwan Segara yang memotret pertahanan diri Orang Badui, Banten, atau Indrian Koto tentang Orang Rantai di Minang. Buku ini merupakan refleksi atas kebingungan dan ketercerabutan Indonesia dari Nusantara. Manusia Nusantara yang aneka ragam ini dipaksa dan didesak oleh Indonesia untuk terus menjauhi dirinya sendiri; sebuah kritik yang keras, tegas, sekaligus anggun. Begitu.
Mengundang orang pemerintahan, politisi dan akademisi hadir dan membaca puisi, plus diiringi musikalisasi yang hibrid adalah brilian. Namun menurut saya meniadakan diskusi di acara launching buku sekomplet Mata Khatulistiwa, bagai puisi yang gagal membangun metafora. Bagaimana masyarakat bisa tahu gagasan di balik tiap puisi di dalam buku kalau begini ‘kan? Dan sebaliknya, bagaimana para penyair dan Reboeng mengetahui gagasan para pembacanya di acara itu? Eman banget, Rek! Bagaimana juga mengetahui bahwa para hadirin memahami gagasannya masing-masing jika tanpa diskusi? Kalau yang terakhir ini urusan pribadi tentu saja.
~~

Kedung Darma Romansha, penyair.
Jarum jam di sisi timur panggung menunjuk pukul sembilan lebih, saya mengira pembacaan puisi oleh seluruh tamu undangan Reboeng telah berakhir, seorang demi seorang tampak saling berpamitan. Aprinus Salam, Eros Djarot, Sri Adiningsih, Sri Surya Widati, Sitoresmi Prabuningrat, dan beberapa yang lain seingat saya beranjak meninggalkan Kepatihan sebelum acara usai. Saat masih gerimis. Lalu saya beranjak juga keluar ruangan untuk merokok, dan di sana bertemu dengan beberapa penyair yang menunggu giliran membaca puisi. Masing-masing membacakan puisi sesuai daerah mereka berasal. Di muka pintu saya dipanggil Hasan Gauk, teman asal Lombok, yang sedang merokok lintingan bersama Nermi Silaban, Kedung Darma Romansha, Irwan Segara, Indrian Koto dan lainnya. Saya pun bergabung, tentu saja untuk minta tembakau Senang yang ia bawa sekantong besar itu. Enak tembakaunya, halus, di lidah.
Mario F. Lawi, Latief S. Nugraha, Mas Hamdy Salad, Pak Landung Simatupang, Dedet Setiadi, dan beberapa sastrawan senior lain yang hadir tetap di tempat. Mereka ternyata juga menunggu giliran membaca puisi. Mata Khatulistiwa ini menghimpun puisi karya 55 penyair Nusantara dengan catatan penutup yang ditulis oleh Kris Budiman. Nilai lokalitas dari berbagai daerah ditunjukkan oleh para penyair dalam buku ini dengan memotret peristiwa yang dekat dengan diri mereka. Mungkin ini adalah buku pertama di Indonesia dengan konsep mempersatukan puisi-puisi karya penyair di Indonesia dengan tema khusus: nilai-nilai dan kenyataan kampung halaman para penyair.
Mata Khatulistiwa sebetulnya adalah fenomena antropologi yang disampaikan berupa puisi.
Misalnya, Indrian Koto, membaca puisinya yang memotret kehidupan Orang Rantai di tanah Minang. Tenang dan mengalir. Kedung Darma Romansha, menghadirkan dua puisi tentang Pantura Jawa Barat. Saya ingat di puisi yang pertama, ia menyetel lagu dangdut koplo dari handphone miliknya sebagai pengiring. Kedua, ini juga menjadi ciri dirinya dan Pantura, saweran. Dengan meniru logat penyanyi dangdut koplo ia membuat repetisi, “Ya Pak sawerannya ya, Pak Butet sawerannya, Pak Landung sawerannya, Bu Nana sawerannya dong…” Hadirin tertawa. “Yang digoyang yang…Yang digoyang yang…Yang digoyang yang…” Bu Nana beneran menyawer. “Asiik… Wik… Wik… Wik… Wik… Aaah…” Hadirin kembali tertawa. Para penyair muda-tua juga tertawa. Wah ternyata semua orang mengikuti video itu. “Salam Dangdut Pantura!” Kedung berteriak, tuntas.
Apa yang saya dapat dari acara peluncuran buku Mata Khatulistiwa sebagai-paling minim-pembaca Sastra Indonesia? Saya bertanya pada diri saya sendiri, saya coba jawab sendiri, Anda kalau mau ikut menjawab dan bertanya silahkan ya.
Melalui diktat pelajaran sekolah dulu, kita tahu kata “Indonesia” baru saja digunakan pada tahun 1928, 90 tahun yang lalu. Kata ini hanya selalu berperan politis. Belakangan saya baru mengetahui dari Kyai Jadul Maula pada salah satu serial Ngaji Dewa Ruci di Pondok Pesantren Budaya Kaliopak, Yogyakarta pertengahan tahun ini, bahwa kata ini lebih awal digunakan. Kyai Jadul menyebut ada sebuah manuskrip surat yang tersimpan di perpustakaan Kraton Ngayogyakarta antara kesultanan Demak dan kesultanan Aceh yang menggunakan kata Indunisiyah. Penulisannya dalam huruf pegon, kala itu pesantren dan kraton masih utuh tak terpisahkan. Kata ini digunakan, menurutnya, untuk menyepakati pemersatuan wilayah antara seluruh kesultanan dan kerajaan di Nusantara waktu itu. Oke. Saya kesampingkan data ini, karena buku Mata Khatulistiwa ternyata berangkat dari fakta sejarah yang lebih muda. Yakni Indonesia 90 tahun belakangan. Sementara kata “Nusantara”, melalui diktat sekolahan dan kuliahan (bagi yang kuliah) kita juga tahu, ada lebih banyak tafsir longgar atas kata itu yang hari ini lebih fungsional di wilayah Kebudayaan daripada “Indonesia.” Singkatnya kalau “Nusantara” kita akan bicara lokalitas, kalau “Indonesia” kita akan bicara globalitas. Betul?

Iman Budi Santosa, penyair.
Acara sudah ditutup saat itu, pembaca terakhir adalah Butet Kertaredjasa yang khas dengan medok Jogja itu. Atas saran Mas Latief S. Nugraha akhirnya saya putuskan untuk ngobrol dengan Iman Budi Santosa (IBS) yang berperan sebagai editor buku Mata Khatulistiwa, selain dirinya ada: Nurul Ilmi Elbana, dan Nana Ernawati. IBS, sastrawan senior yang turut mendirikan Persada Studi Klub bersama Umbu Landu Paranggi, Teguh Ranusastra Kumbara, dan lain-lain pada 1969 ini adalah penggagas penyusunan antologi Mata Khatulistiwa. Sebagai penggagas dan editor, IBS tidak memberi anotasi sedikitpun pada setiap puisi di dalam Mata Khatulistiwa. “Yang penting adalah, jupuken (baca: ambilah) dari duniamu. Sing Lampung yo jupuken sak isomu (baca: ambilah sebisamu). Karena pada waktu globalisasi, lokalitas itu tertindih,” katanya.
Dari IBS saya memperoleh keterangan, bahwa persoalan hari ini bermula dari penyeragaman. Ini tampak misalnya ketika Anda pergi berkunjung atau tinggal di luar negeri. Misalnya ada orang bertanya, dari mana asal Anda? Anda menjawab, Indonesia. Indonesia baru hadir saat itu, detik itu. Namun, jika Anda ada “di dalam” Indonesia, jawaban Anda justru akan dikejar. Dari mana asal Anda? Dari Jawa Timur. Jawa Timurnya mana? Ngawi. Ngawinya mana? Paron. Paronnya mana? Itulah kampung halaman. Begitu terus, dan Anda akan selalu menemui kenyataan bahwa kita ini berbeda-beda. “Pada waktu kita ngomong air, neng kene banyu, neng kono ci, neng kono aya, neng kono aing, neng kono danun, cobo?” IBS memberi contoh kecil.
Ruangan sudah mulai sepi waktu itu, IBS yang duduk di samping kiri saya menambahkan keterangan, “Mata Khatulistiwa itu isinya bukan sekadar puisi. Nek dibanding-bandingke, seperti Al-Qur’an, itu bentuknya juga puisi tho, tapi sebetulnya isinya adalah nilai-nilai antropologis. Mata Khatulistiwa sebetulnya adalah fenomena antropologi yang disampaikan berupa puisi,” katanya dengan logat khas Jawa Timur bagian barat. Negara yang seharusnya terbebani pekerjaan “penjagaan persatuan” semacam ini. Namun keragaman yang nyata sehari-hari kita hadapi ini sedang ditunjukkan sebisanya, semampunya, oleh mereka para penyair dalam buku ini. “Negara, yang dipikirkan Indonesia, itu satu. Keragaman ini pada suatu saat akan terlupakan, padahal isih enek. Iki lho sing medeni,” IBS menambahi keterangan. Saya simpulkan ya, kehadiran seluruh keragaman Nusantara dalam Mata Khatulistiwa juga merupakan bentuk ajakan untuk kembali pulang ke lokalitas – meminjam IBS – yang tersisih dan tertindih oleh Indonesia itu. Wah, saya justru ada pertanyaan lagi: Sebenarnya ke mana seluruh keragaman yang terancam ini akan bermuara?
~~~
Foto: Mas Rency Timoho
Kamis, 3 Mei 2018 lalu, tepat 188 tahun dari hari ketika Pangeran Diponegoro diasingkan. Pengasingan ini telah menjadi pengalaman pertama Pangeran meninggalkan Jawa. Sepeninggalnya itu, Pangeran tak pernah kembali lagi ke tanah kelahirannya. Meski demikian, seperti semua pahlawan yang diasingkan, sosok Diponegoro diafirmasi sebagai seorang manusia berdaulat. Pangeran Diponegoro tentu bukan simbol kekalahan pribumi melawan kelicikan kolonialisme. Sebaliknya ia adalah salah satu penanda perlawanan dan perjuangan ‘kaum Muslim’ melawan kezaliman yang ditumbuhkan Belanda di negeri ini.
Oleh karena simbol perjuangan itu, Pangeran hidup di dalam memori bangsa Indonesia. Ia dimaknai dalam kehadirannya sebagai seorang pahlawan. Kehadirannya sebagai seorang pahlawan seringkali menuntut pengesahan total bahwa dirinya bukan berjuang karena ambisi kekuasaan politik semata. Sejarawan Peter Carey bahkan menegaskan bahwa betapa bermaknanya perjuangan lima tahun orang Jawa dalam Java Oorlog yang dipimpin oleh Pangeran sendiri. Bahkan Perang Jawa menjadi unik dibandingkan perlawanan-perlawanan lainnya, karena “… untuk pertama kali pemberontakan [sic!] pecah di lingkungan salah satu keraton Jawa Tengah-Selatan, yang pokok masalahnya terletak lebih pada kesulitan ekonomi daripada ambisi kekuasaan seorang kerabat keraton.” (Peter Carey, “The Power of Prophecy: Prince Dipanegara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855”, a.b. Parakirti T. Simbolon, Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855, Jakarta: Gramedia, 2008, hlm. xxxix).
Dalam kezaliman yang terus dilestarikan misi penjajahan itulah Diponegoro diasingkan dengan segenap kehinaan yang ditayangkan oleh Belanda. Seorang Pangeran muda dari Belanda sewaktu mengunjungi pengasingan Diponegoro di Fort Rotterdam, Makasar, bahkan memperlihatkan rasa simpatinya. Sebab, Prince Hendrik de Zeevaarder, pangeran muda itu, bahkan menceritakan bagaimana Belanda memperlakukan Pangeran Jawa ini. Dalam sebuah surat yang ditulis untuk ayahnya, ia mengatakan:
“Hari pertama [di Makassar] melihat Benteng di sini, saya bertemu dengan tahanan kita yang kelihatan tidak bahagia, Diepo Negoro … yang jatuh ke tangan kita secara curang. Ia mendatangi saya, menggandeng tangan dan menarik saya masuk ke kamarnya, yang berada di lantai satu, ia mengatakan … bahwa ia sangat gembira ada seseorang yang datang mengunjunginya di tempat kediaman yang menyedihkan itu. … ia tertawa lebar, tetapi raut kegirangannya itu terlihat dipaksakan, tidak spontan, tidak wajar … orangnya menyenangkan dan saya dapat melihat semangatnya yang masih membara” (Dikutip dari Peter Carey, “Destiny: The Life of Prince Dipanegara, 1785-1855”, a.b. Th Bambang Murtianto dan PM Laksono, Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro, 1785-1855, Jakarta: Kompas, 2014, hlm. 407).
Sebuah Refleksi Kezaliman yang Aktual
Perjuangan Pangeran Diponegoro memang perlu dihidupkan kembali. Dalam hayat bangsa ini, Diponegoro tidak hanya hidup dalam tradisi dan dimaknai dalam konteks historisnya yang telah mati. Pemaknaan yang tepat untuk membawa ‘semangatnya yang masih membara’ itu terkadang memerlukan refleksi yang mendalam. Sejarawan Taufik Abdullah pernah menjelaskan arti kehadiran sosok pahlawan dalam kekinian kita. Sejarawan senior itu berkata, “Pengakuan akan kepahlawanan seseorang bukanlah terutama masalah Sejarah, tetapi pantulan kesadaran sejarah. Pahlawan hadir dalam sejarah setelah masyarakat yang mengalami peristiwa historis mengadakan renungan. Dalam perenungan itu terjadilah suatu penggabungan antara hari lampau yang telah dilalui dan hari kini yang sedang dijalani serta hari nanti yang harus ditempuh” (Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1996, hlm. 6).
Dalam kesadaran ‘semangat yang terus membara’ pada memori kolektif bangsa, kita memilih Pangeran Diponegoro sebagai sosok pahlawan. Penyimbolannya sebagai penentang kezaliman-pun senantiasa hadir dalam semangat historical booming seperti pada masa awal kemerdekaan. Kenyataan sejarah tanpa anakronisme-anakronisme atau interpolasi kekinian-pun kini telah mampu menjelaskan bulatan-bulatan riwayat dari kelahirannya, pembulatan tekad, pembentukan keteguhan kepribadian melalui agama Islam, dan perang-perang yang dilaluinya, hingga nanti ia diasingkan dan wafat dalam pengasingan. Oleh karenanya, kenyataan sejarah yang telah jelas itulah, sosok Pangeran Diponegoro bersama pejuang-pejuang yang lainnya selalu aktual dalam masa yang sedang kita jalani atau ke masa-masa lain yang akan kita tempuh. Jika demikian, maka siapa kiranya yang meragukan bahwa semangat penentangannya melawan ketimpangan yang terjadi di masanya akan tetap aktual?
Bersama dengan ‘dua aktual’ itu, kita menghayati kontekstualitas kepahlawanan Diponegoro yang dihidupkan dalam renungan peradaban oleh kaum pergerakan, untuk melawan ‘kezaliman’ kontekstual-aktual dalam bentuknya yang selalu bersifat kekinian. Keyakinan atas hidupnya imaji kepahlawanan Pangeran Diponegoro dalam memori bangsa Indonesia menyebabkan ia terus dikenang secara inspiratif, dijadikan simbol perlawanan terhadap penjajahan, sosok yang berdaulat, dan anti penindasan.
Dari kisah hidup Pangeran Diponegoro kita mampu memahami betapa panji-panji agami Islam yang dipupuk oleh nenek buyut Sang Pangeran sedari kecil menjadi pilihan untuk mengatasi seluruh kekacauan sosial-ekonomi dan agama sebelum meletusnya perang Jawa. Pangeran Diponegoro memahami, ia tengah berada pada sebuah ambang peradaban. Di balik punggungnya ia merasakan tenggelamnya tatanan lama Jawa dengan segenap kewibawaan dan harga dirinya. Sedangkan ‘Orde Baru’ Daendels dan kekalahan menyakitkan dari Inggris yang menjarah kekayaan literasi perpustakaan keraton Yogyakarta terletak di depannya. Seakan dari semburat peradaban Barat itulah, ‘kehancuran Tanah Jawa’ menjadi suatu kepastian. Sejak zaman bubrah-nya tatanan lama Pulau Jawa itu, pajak-pajak dibebankan terlalu berat, mental pribumi dirusak, harga diri kaum perempuan sering dihinakan di keputren keraton, gagal panen, penyakit yang mewabah, candu, dan kerusuhan-kerusuhan menggejala. Dari kesemua itu, Jawa sebagai sebuah bangsa menghadapi bencana yang berdampak lama bagi peradabannya: keruntuhan adab dan moralnya. Dalam bahasa cendikiawan Muslim paling berpengaruh saat ini, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, rusaknya tatanan Jawa dalam berbagai aspeknya disebut de-Islamisasi (Syed Muhammad Naquib al-Attas, “Islam and Secularism”, a.b. Khalif Muammar, Islam dan Sekularisme, Bandung: Pimpin, 2010, hlm. 57).
De-Islamisasi Konseptual: Sejarah Diponegoro sebagai Pokok
‘Kezaliman’ bisa menjelaskan bagaimana keruntuhan dan kehancuran Tanah Jawa dan bubrah-nya tatanan lama itu bisa disebut sebagai ‘de-Islamisasi’. Di lain pihak, dari puncak-puncak pemikiran Prof. Al-Attas, Islamisasi menjadi salah satu telaah paling penting dalam merenungkan proses terjadinya satu tatanan yang ideal dan di mana de-Islamisasi merenggut idealitasnya. Islamisasi menjadi konsep paling baik dan tepat untuk menjelaskan aktualitas kezaliman, dan mengapa ia tidak terputus pada satu rangkaian peristiwa dalam sejarah tertentu.
Dalam konteks kedirian Pangeran Diponegoro, inilah sebab mengapa ia mendaku diri sebagai ‘imam agung’ yang melekatkan gelar ‘Sayidin’ (pemimpin agama) dan ‘Panatagama’ (penata agama). Secara kolektif, ia adalah seorang pejuang yang tengah mewujudkan tatanan ‘perbaikan’ yang memangku peran sebagai ‘Ratu Adil’ untuk mempimpin perjuangan ‘menyucikan Tanah Jawa’ (yang ditimbulkan oleh kolonialisme)
Menurut Prof. Al-Attas, hakikat Islamisasi adalah sebuah proses pembebasan. Pembebasan yang hendak disasar oleh Islamisasi adalah ruh manusia daripada jasad-jasmaninya. Tindakan yang paling bermakna bagi manusia adalah berpangkal dari ruhnya, dan oleh sebab itu segala bentuk ‘keruntuhan’ dan ‘kebubrahan’ sama dengan menyasar unsur ruh dibanding ‘kerusakan’ jasmani. Kerusakan jasmani hanyalah satu dampak kecil dari kerusakan ruh yang telah menjauh dari Islamisasi. Ia menjadi salah satu saja korban dalam de-Islamisasi yang bertentangan dengan Islamisasi (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, hlm. 55).
Dari tatanan pembebasan itulah, Islamisasi menjadikan kehidupan termaknai dengan harmonisme dan ketentraman bahkan secara jasmaniah (sebagai dampak dari pembebasan ruh itu), dan juga wujud akurnya manusia dengan alam. Dalam hubungan-hubungan inilah kita mampu mengerti mengapa suatu kondisi yang penuh dengan pembebasan yang menyasar sistem ruh dalam manusia menyebabkan manusia mencapai kesadarannya sebagai penjaga alam lingkungannya. Sementara dalam rangkaian situasi yang de-Islamistis, wisdom manusia mengalami kehancurannya. Keadaan dan proses ini menyebabkan pembudakkan dan kehancuran tatanan yang berpangkal dari pikiran sampai hidupnya eksploitasi alam dan kacaunya aspek-aspek dalam kehidupan.
Dalam artian lain, peradaban Barat yang konon ingin mengentaskan peradaban Jawa yang masih ‘tradisional’ itu, menjadi tonggak awal masuknya ketimpangan jiwa bangsa Eropa yang akhirnya merusak tatanan lama Jawa-Islam nun adiluhung.
Islamisasi, menurut Prof. Al-Attas, adalah sebuah devolusi atau penyerahan pada keadaan asalnya. Sebaliknya, dalam keadaannya yang merusak ruh, manusia hanya terjelma dalam diri jasmani yang alpa, jahil, dan zalim. Dalam keadaan individu demikian, manusia yang kehilangan ruh, bukanlah manusia yang sempurna. Sehingga dalam pengertian kolektif (non-individu), sosial, historis, dalam paparan Prof. Al-Attas, Islamisasi merujuk pada perjuangan suatu komunitas menuju pencapaian kualitas moral dan etika sebagai sebagian dari kesempurnaan sosial yang telah dicapai pada zaman Nabi, shalallahu ‘alayhi wassalam, di bawah tuntunan Allah Subhanawata’ala (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, hlm. 56).
Dalam konteks kedirian Pangeran Diponegoro, inilah sebab mengapa ia mendaku diri sebagai ‘imam agung’ yang melekatkan gelar ‘Sayidin’ (pemimpin agama) dan ‘Panatagama’ (penata agama). Secara kolektif, ia adalah seorang pejuang yang tengah mewujudkan tatanan ‘perbaikan’ yang memangku peran sebagai ‘Ratu Adil’ untuk mempimpin perjuangan ‘menyucikan Tanah Jawa’ (yang ditimbulkan oleh kolonialisme), dan juga sebagai ‘khalifatur Rasul’ yang seakan mengemban misi kenabian, sebagaimana misi ‘Islamisasi’ itu dijalankan untuk ‘kesempurnaan sosial menuju kualitas moral dan etika’. Sebab, kesaksian Pangeran terhadap kerusakan tatanan adalah kematian peradaban Jawa itu sendiri. Dalam keruntuhan itu, moral dan etika manusia Jawa mengalami kemerosotan dan menghalanginya mencapai kesempurnaan sosial—atau keadilan sosial.
Konteks kisah hidup Diponegoro oleh karenanya bukan saja menjadi satu rangkaian sejarah yang terputus dalam perjalanan sejarah agama di Nusantara. Ia menjadi satu bagian dari hayat islamisasi sejak pertama kali menyentuh dan memberikan peran rasionalisasi daya berpikir dan berjiwa bangsa-bangsa di Kepulauan Melayu-Nusantara. Itulah sebab Prof. Al-Attas secara konseptual-aktual melekatkan gambaran Islamisasi dari akar-akar filosofisnya menuju pada cabang-cabang praktisnya di Nusantara, yakni secara historis menggejala dalam rangkaian peristiwa-peristiwa. Di antara Islamisasi yang secara historis menggejala itu –kelahiran, kehidupan, dan tragedi– Pangeran Diponegoro adalah satu babakan tersendiri dalam salah satu perjuangan Islamisasi di Nusantara, tatkala ia akhirnya menemukan konfrontan peradabannya: peradaban Barat melalui kolonialisme Belanda yang de-Islamistis.
Sejarah perkembangan realitas Islam di Nusantara salah satunya terbentuk melalui kedirian Diponegoro sebagai pusat, dengan lingkungan historisnya adalah alam yang melingkupinya. Di bawah panji-panji agami Islam yang ditawarkan Diponegoro, serta kesaling-terkaitnya komunitas santri dalam perjuangannya itu, memperlihatkan betapa agami Islam memberi kekuatan yang aktual. Karena kekuatannya pula, kedirian Diponegoro menjadi sosok inspiratif pada zaman-zaman setelah kematiannya sekalipun. Diponegoro bukan hanya dimaknai sebagai seorang pahlawan, tetapi sebagai suatu hayat yang berada di tengah-tengah permasalahan segala zaman. Karena suatu tatanan baru yang berdaulat hendak ditegakkan maka relevansi kehadiran Diponegoro menjadi selalu kontekstual pula.
Kehadiran Barat dalam peradaban Jawa itulah yang disaksikan Diponegoro sebagai de-Islamisasi—bukan hanya dalam bidang agama itu sendiri, tapi juga aspek-aspek sosial, politik, dan ekonomi Jawa. De-Islamisasi berkembang karena keruntuhan moral individual orang Jawa. Di sanalah terletak kemerosotan mental Jawa dihadapan peradaban kompeni yang eksploitatif. Ketika Jawa dihadapkan dengan ragam pilihan dalam mengembalikan tatanan lama ataukah menuruti arus penguasaan Belanda, akhirnya ‘pemimpin-pemimpin palsunya’ memilih mendekatkan diri pada kejahilan dan kekeliruan (zulm) yang dipraktekkan Belanda. Maka menjadi terang bahwasannya ini merupakan tragedi kemanusiaan dalam perspektif Islamisasi itu sendiri.
Kemanusiaan Diponegoro: Suatu Simpulan
Berada pada puncak-puncak nalar Islamisasi, di mana Diponegoro berusaha untuk mengembalikan tatanan baru yang suci dari pengaruh kekeliruan (zulm), Pangeran telah menjadi sosok yang merepresentasikan esensi kesejatian dari kemanusiaan. Ia menjadi sosok yang mengabdikan diri dan jasadnya pada satu pendekatan esensial dalam memperbaiki jiwa peradaban melalui individu-individunya. Sebagai seorang Muslim-Jawa, Pangeran sadar betul tingkah laku bangsa-bangsa Barat yang pernah berhubungan dengan keraton. Sejak era kedatangan Daendels –sebuah awal keruntuhan Jawa dimulai– lalu diikuti dengan Inggris, dan dikembalikan pada Belanda –yang telah menjajaki watak kesewengannya dalam merenggut harga diri orang Jawa– orang Jawa selalu ditimpa kemalangan. Dalam bahasa Pangeran, kemalangan yang menimpa orang Jawa salah satu bermusabab dari dijauhkannya orang Jawa dari ‘hukum Ilahi yang disampaikan oleh Nabi dan dipaksa tunduk pada hukum Eropa.’ (Peter Carey, Takdir …, hlm.288, 289 dan 195).
Diponegoro menjadi esensial sebagai pejuang kemanusiaan karena kediriannya dan lingkungan sejarah dan Budaya yang melingkupinya.
Dalam artian lain, peradaban Barat yang konon ingin mengentaskan peradaban Jawa yang masih ‘tradisional’ itu, menjadi tonggak awal masuknya ketimpangan jiwa bangsa Eropa yang akhirnya merusak tatanan lama Jawa-Islam nun adiluhung. Ini senada dengan definisi de-Islamisasi yang disampaikan Prof. Al-Attas: “Deislamisasi adalah penyerapan konsep-konsep asing ke dalam fikiran umat Islam, yang kemudian menetap dan mempengaruhi pemikiran serta penalaran mereka. Inilah yang menyebabkan kelalaian terhadap Islam dan kelalaian terhadap kewajiban kepada Allah dan Nabi-Nya, kewajiban yang sesungguhnya diberikan kepada dirinya sebenarnya. Oleh karena itu, kelalaian ini juga adalah ketidakadilan (zulm) …” (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, hlm. 57) Kemerosotan yang dialami oleh manusia Jawa pada berbagai aspek –dalam situasi ketidak-adilan yang merenggut keadaan semestinya dari kehidupan politik, sosial, dan ekonomi, dan serta hayat keagamaan dalam keseharian mereka– merupakan bentuk de-Islamisasi yang mengakibatkan kejahilan dan kekeliruan.
Sebab, menurut Alija Ali Izetbegovic, “Tanpa sentuhan ilahi, hasil evolusi [dalam pandangan Darwinisme] tidak akan berupa manusia, melainkan binatang yang berkembang, seekor binatang super, atau makhluk bertubuh manusia dan memiliki kecerdasan manusia tapi tanpa hati dan kepribadian. Kecerdasannya yang tanpa pertimbangan-pertimbangan moral mungkin sekali akan lebih efisien, tapi pada saat yang sama juga akan lebih kejam. Sebagian orang membayangkan jenis makhluk ini sebagai datang dari sebuah planet yang jauh di alam semesta ini; sebagaian yang lain melihatnya sebagai produk peradaban kita pada tingkat perkembangannya yang tinggi.” (‘Aliya ‘Ali Izetbegovic, “Islam between East dan West”, a.b. Ahsin Mohammad, Islam antara Timur dan Barat, Bandung: Pustaka, 1993, hlm. 34).
Artiannya, makhluk materi dalam tradisi Darwinian telah gagal dalam melakukan penggambaran manusia. Kenyataannya, manusia adalah makhluk ‘Ilahiyah’ yang mau dan mampu melakukan perjuangan untuk mencapai ‘sentuhan ke-Ilahi-an’ untuk melawan kezaliman—yakni kondisi terhadap kebutaan total atas eksistensi. Dalam kondisi ke-ilahi-an tersebutlah manusia bisa dilihat dari kemanusiaannya. Diponegoro menjadi esensial sebagai pejuang kemanusiaan karena kediriannya dan lingkungan sejarah dan budaya yang melingkupinya. Pangeran hidup bersama misi yang diembannya dalam mengembalikan tatanan Jawa yang berdaulat di bawah ‘ajaran keselamatan Kanjeng Nabi dan Gusti Allah’. Allahu a’lam.
Cilodong, 12 Mei 2018
Seorang akademisi sekaligus seniman dari salah satu yang berdomisili di Yogyakarta, Prof. Suminto A. Sayuti, pernah mengemukakan cerita menarik ketika menjadi pembicara dalam sebuah forum ilmiah di suatu kampus. Prof. Sayuti mengemukakan bahwa dirinya pernah membuat marah banyak orang ketika dirinya menyatakan tidak terlalu bangga saat wayang kulit ditetapkan sebagai warisan budaya oleh UNESCO.
Prof. Sayuti memberikan alasan mengapa ia tidak merasa terlalu bangga dengan capaian tersebut. Memang benar sebagai atribut budaya, wayang kulit mendapat penghargaan global, tetapi apalah artinya penghargaan itu jika di dalam negeri sendiri wayang kulit tidak menjadi sebuah budaya yang “dihidup-hidupkan” oleh masyarakat luas atau bahkan dunia kampus. Pagelaran wayang kulit paling tidak hanya muncul setahun sekali untuk memeriahkan sebuah event tertentu.
Realitas ini bagi Prof. Sayuti menunjukkan bahwa capaian global tersebut hanya bersifat semu semata, karena wayang tidak lebih sebagai benda yang “difosilkan” –istilah ini murni dari penulis. Contohnya, ketika kita melihat fosil binatang purba di museum kita akan terkagum-kagum dengan fosil tersebut. Tetapi benda tersebut berjarak dengan kita, namun yang bisa kita lakukan hanyalah melihatnya dari balik kotak kaca atau garis pembatas agar benda tersebut tidaklah rusak.
Sebagaimana fosil dalam museum tadi, eksistensi wayang kulit juga begitu berjarak dari kehidupan sehari-hari masyarakat sehingga keberadaanya justru menjadi absrud. Di satu sisi wayang kulit dianggap sebagai “masterpiece” kebudayaan dunia tetapi disisi lain karena “keagungannya” tersebut justru menghasilkan jarak dari kehidupan sehari-hari.
Lebih parah menurut Prof. Sayuti penghargaan dari UNESCO tersebut tidak berimplikasi pada peningkatan taraf hidup para dalang misalnya. Wayang boleh diakui dunia tetapi kesejahteraan dalang justru kian hari kian memprihatinkan. Lambat laun jika hal ini terus terjadi bisa jadi para dalang yang cekatan memainkan pertunjukan tersebut akan punah dan hilang sama sekali. Dan, apa yang tersisa hanyalah entitas wayang itu sendiri yang sepenuhnya menjadi “fosil”.
Fosil-isasi mungkin memiliki maksud untuk melindungi suatu entitas atau obyek yang dipandang memiliki nilai lebih, tetapi eksistensi dari entitas itu tidak diperhatikan sama sekali. Ia dipandang tidak lebih dari penanda masa lampau yang tidak memiliki relevansi dengan masa kini. Kalaulah ada posisinya, maka fungsi dari obyek tersebut adalah sebagai benda yang dapat mengantarkan kita untuk bernostalgia dengan masa lampau tersebut.
Kasus wayang kulit yang menjadi tema sentral dalam pembicaraan Prof. Sayuti –sejatinya– dapat dikontekstualisasikan untuk membaca kasus Resolusi Jihad yang dicanangkan para kyai sebagai landasan historis sumbangsih santri dalam pendirian negeri (termasuk tentunya melibatkan nama kyai kondang Nusantara Hasyim Asy’ari). Beberapa tahun yang lalu Resolusi Jihad mungkin hanya diingat di kalangan santri saja, tetapi kini pemerintah memaknai ulang Resolusi Jihad sebagai suatu peristiwa sejarah yang penting bagi bangsa Indonesia dan –entah kepentingan apa yang melatar belakanginya– memilih menjadikannya hari nasional (dikenal dengan istilah Hari Santri).
***
Pengakuan Resolusi Jihad sebagai peristiwa nasional yang penting tentunya berpotensi menjadikan kita semua terlena bagitu saja dengan capaian tersebut. Sebagaimana kisah wayang yang diceritakan Prof. Sayuti, sangat mungkin kasus Resolusi Jihad menjadi sebuah ritual nostalgia belaka atas masa lampau yang tidak memiliki relevansi dengan keadaan masyarakat saat ini. Resolusi Jihad sebagai “maha karya” para santri (dan kyai) untuk melawan kolonialisme yang menyengsarakan rakyat hanya berhenti menjadi “secarik kertas” yang tersimpan dengan “mewah” dalam sebuah “museum”. Resolusi Jihad sekedar menjadi “fosil” untuk setiap tahun dirayakan oleh kalangan santri dan masyarakat secara umum dalam rangka bernostalgia mengenang sebuah kejadian yang “sakral” di masa lampau.
Strategi “pembumian” wayang ala Prof. Sayuti itulah yang sejatinya juga harus diaplikasikan dalam konteks Resolusi Jihad.
Mengacu pada data yang dimunculkan sejumlah intelektual dan aktivis muda NU yang tergabung dalam jaringan Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA), menunjukkan bahwa saat ini banyak masyarakat bawah –terutama di daerah yang didominasi oleh kalangan santri– menderita akibat berbagai ekspoitasi sumber daya alam. Di sebagian tempat tanah mereka diserobot paksa, di tempat lain sumber mata air diprivatisasi, di kawasan yang lain lagi lingkungan mereka tercemar oleh dampak-dampak dari kegiatan eksplorasi perusahaan-perusahaan asing (FNKSDA: 2013). Temuan tersebut menunjukkan bahwa pengakuan resolusi jihad yang dilakukan oleh pemerintah –sejak tahun 2015– ternyata tidak berimplikasi pada peningkatan keamanan dan kesejahteraan santri sebagai salah satu eksponen warga negara di negeri ini. Apalah artinya pengagung-agungan suatu “teks”, jika spirit anti penindasan yang termanifestasi dalam “teks” tersebut justru tidak teraplikasikan secara nyata di bumi Indonesia?
Bila Prof. Sayuti –dalam kasus wayang kulit– menawarkan sebuah jalan keluar untuk mengatasi realitas yang tidak ideal tersebut, dengan mengusulkan kepada kampus-kampus di Yogyakarta agar memberi ruang aktualisasi pada wayang kulit dengan cara mengadakan tangggap wayang setiap minggunya. Terlebih bagi kampus-kampus yang memiliki program studi/jurusan ilmu budaya di dalamnya, dibandingkan dengan mengadakan diskusi tentang wayang yang telah diakui UNESCO. Menurut Prof. Sayuti hanya dengan cara semacam itulah wayang menjadi tidak lagi berjarak dengan realitas masyarakat, karena hampir setiap saat bisa mereka saksikan tiap minggu. Begitu pula dengan kesejahteraan para dalang tentunya. Ketika permintaan akan pagelaran wayang semakin meluas tentunya justru semakin meningkatkan taraf hidup para dalang dan bahkan sangat potensial menumbuhkan dalang-dalang baru karena merasa dengan mendalami seni wayang maka dirinya dapat mengaktualisasikan jiwa seninya tanpa harus khawatir dengan problem finansial untuk menopang hidupnya.
Strategi “pembumian” wayang ala Prof. Sayuti itulah yang sejatinya juga harus diaplikasikan dalam konteks resolusi Jihad. Resolusi jihad haruslah ditransformasikan menjadi sebuah framework yang memandu logika kerja para akademisi, ataupun dalam dakwah para santri dan kyai. Dalam dunia kampus upaya menjadikan Resolusi Jihad sebagai framework berpikir para akademisi –terlebih akademisi Nahdliyin– akan menjadikan mereka kritis terhadap realitas yang tidak ideal di sekeliling mereka. Di kalangan pesantren logika Resolusi Jihad ini akan memperkuat rasa Ukhuwwah Islamiyah (persaudaraan Islam) dan Ukhuwwah Wataniyah (cinta tanah air) serta menghasilkan gerakan perlawanan yang kuat membela kedaulatan agama, bangsa dan negara.
Wallahuallam.
Berbicara Sejarah Banyuwangi, tak bisa terlepas dari arsip-arsip Belanda. Terhitung sejak 1767, kolonialisme Belanda telah bercokol di Bumi Blambangan. Lebih-lebih, tak banyak sumber lokal yang bisa dirujuk sehingga hal ini menempatkan arsip Belanda menjadi sumber primer.
Celakanya, arsip-arsip Belanda tersebut, melahirkan dua kesulitan sekaligus. Pertama, arsip-arsipnya hampir tak ada yang tersimpan di Banyuwangi. Jika tidak di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) di Jakarta, ya ada di Lieden, Belanda. Butuh waktu, tenaga dan juga biaya, bukan?
Soal bahasa adalah ihwal yang lebih menyulitkan lagi. Semua arsip tersebut, sudah barang tentu berbahasa Belanda. Bahasa yang berlaku pada masa itu. Tak banyak penggiat sejarah di Banyuwangi yang memiliki kompetensi tersebut.
Di tengah kesulitan demikian, datanglah seorang bernama Pitoyo Boedi Setiawan. Ia dilahirkan dari pernikahan seorang serdadu sukarelawan berkebangsaan Belanda yang menikahi blesteran Jawa-Negro. Ia lahir dan tumbuh di Purworejo, Jawa Tengah bersama kelima saudaranya.
Pada masa Jepang, ia bersama beberapa saudaranya sempat di tahan. Kemudian, dilepaskan setelah pasukan Dai Nippon itu hengkang usai Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Tiga saudaranya, mengikuti kewarganegaraan sang ayah dan tinggal di Belanda, sedangkan Pitoyo bersama seorang saudaranya memilih tetap menjadi warga Indonesia.
Pitoyo tinggal di Surabaya, ia bekerja di pelayaran sekaligus memiliki biro travel. Di kota itu ia membangun biduk rumah tangga pertamanya. Meskipun akhirnya harus bercerai, namun perceraian itu menjadi titik balik bagi kehidupannya. Setelah bercerai dengan istri pertamanya, ia memutuskan untuk pindah ke Banyuwangi. Ia meminang seorang gadis yang dikenalnya kala mengantar tamu dari Perancis untuk berwisata di Banyuwangi dan Bali. Perempuan yang disuntingnya tersebut adalah Artatik. Seorang janda dari seniman Banyuwangi, Fatrah Abal.
Keputusan Pitoyo menikahi Artatik dan memilih tinggal di Banyuwangi, mengantarkan hidupnya pada takdir yang lain. Kemampuannya berbahasa Belanda (dan juga Inggris) sejak kecil, menjadikannya sebagai penerjemah arsip-arsip Belanda tentang Banyuwangi.
Dwi Pranoto, seorang penggiat sejarah di Banyuwangi mendapat tugas untuk mencari sejarah lahirnya Banyuwangi. Ia pun mengakses arsip-arsip Belanda di ANRI. Arsip-arsip tersebut kemudian diserahkan kepada Pitoyo untuk diterjemahkannya. Bisa jadi, Pranoto mengetahui kemampuan Pitoyo itu dari Fatrah Abal. Meskipun telah bercerai, ia masih menjalin hubungan baik dengan bekas istrinya itu, bahkan dengan suami barunya.
Sampai saat ini, hasil terjemah dari Pitoyo tersebut, masih berupa manuskrip. Tulisan tangan, yang pernah diterbitkan – sejauh pengetahuan penulis – hanya Blambangansch Adatsrecht.
Dengan penuh ketekunan, Pitoyo menerjemahkan arsip-arsip tersebut. Bahkan, ia meminta saudaranya di Belanda untuk mengakses arsip-arsip lain yang tersimpan di Belanda. Atas jasa-jasanya inilah, banyak kisah tentang Banyuwangi yang terkuak. Mulai dari peperangan Puputan Bayu (1771 – 1772) hingga perkembangan tari Gandrung yang menjadi ikon Banyuwangi.
Hasil terjemahan dari Pitoyo itulah kemudian menjadi rujukan para penulis dan penggiat sejarah di Banyuwangi. Seperti terjemahnya atas De Indische Gids II yang ditulis oleh C. Lekkerkerker (1923), Blambangansch Adatsrecht karya Dr. Y.W. de Stoppelaar (1926), hingga Gandroeng van Banjoewangi karya John Scholte (1927).
Sampai saat ini, hasil terjemah dari Pitoyo tersebut, masih berupa manuskrip. Tulisan tangan, yang pernah diterbitkan – sejauh pengetahuan penulis – hanya Blambangansch Adatsrecht. Karya tersebut diterbitkan oleh Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB) pada 1991 dengan judul Hukum Adat Blambangan.
Selain itu, karya terjemah Pitoyo hanya ditemukan dalam kutipan di artikel karya penulis-penulis Banyuwangi. Seperti Hasan Ali, Fatrah Abal, Dwi Pranoto, Armaya dan lain sebagainya.
Karya terjemah Pitoyo atas arsip-arsip Belanda itu, kini kembali menggema. Sengker Kuwung Belambangan, sebuah NGO kebudayaan berbasis di Banyuwangi kembali menerbitkan karya terjemah Pitoyo. Kali ini adalah terjemah jilid kesebelas dari De Opkomst van het Nederlandsch gezag in Nederlandsch-Indie/ Java yang disunting oleh Jhr. Mr. J.K.J de Jonge dan M.L. van Deventer.
Terjemah yang diterbitkan dengan judul Belanda di Bumi Blambangan: Naskah-Naskah Arsip Kolonial Lama yang Belum Diterbitkan (Oktober: 2018) itu, memang tak keseluruhan. Hanya beberapa bagian buku saja yang diterjemahkan. Utamanya yang berkaitan langsung dengan Banyuwangi. Paling banyak adalah arsip berupa surat yang ditulis oleh seorang Gubernur Jendral Hindia Belanda G.J Petrus Albertus van der Parra (w. 1775), ada delapan surat yang diterjemahkannya. Adapula empat arsip yang ditulis oleh Johannes Vos, seorang Gubernur dari Pesisir Timur Laut Jawa yang menjabat pada 1761-1765.
Setidaknya, ada tiga orang yang turut berjasa dalam mewujudkan buku primer dalam kajian sejarah Banyuwangi ini. Ialah Kang Munawir dan Banjoewangi Tempoe Doeloe (BTD) yang telah meluangkan waktu untuk mengarsipkan manuskrip terjemah karya Pitoyo dan mengetiknya ulang. Kemudian, Mas Emha Aji Rawamidi yang mengeditorinya, serta Mas Antariksawan Jusuf yang berusaha untuk mewujudkannya sebagai buku.
Waba’du, buku ini amat penting untuk para pengkaji sejarah Banyuwangi. Menyajikan sumber-sumber primer. Namun, bagi kalangan pemula (awam), membaca buku ini perlu bacaan-bacaan pendamping agar bisa mengerti alur ceritanya dengan baik. Selain Ujung Timur Jawa 1763-1813: Perebutan Hegemoni Blambangan (Yogyakarta: Pustaka Ifada, 2012) karya Sri Margana, juga ada Suluh Blambangan 1 & 2 (Banyuwangi: SKB, 2017) karya M. Hidayat Aji Rawamidi.
Selamat Membaca.
Jauh sebelum Nusa-Antara ini berbentuk negara-bangsa dan Bahasa persatuannya belum lagi dirumuskan, sastra populer dalam bahasa lingua-franca Melayu Rendah sudah memulai debutnya memenuhi hasrat literasi orang banyak. Memang, di sisi lain muncul lebih awal khazanah Sastra Melayu Klasik yang bagi sebagian pihak dianggap tonggak awal lahirnya sastra Indonesia. Sebutlah Hikayat Abdullah karya Abdul Kadir Bin Munsyi yang manuskripnya berhuruf Jawi sudah selesai tahun 1849. Begitu pula karya-karya Hamzah Fansuri yang digubah dalam abad ke-16 dianggap A. Teeuw memiliki rintisan syair modern. Akan tetapi saya beranggapan karya Melayu Klasik tetaplah Melayu Klasik, alih-alih sastra daerah sebagaimana suluk Ronggowarsito atau kabanti Muhammad Idrus Kaimuddin di Buton .
Singkat hikayat, sebelum “sastra kanon” yang dengan hormat kita sebut sastra Indonesia modern lahir, pada tahun 1875 sudah muncul roman Lawah-Lawah Merah yang menandai tonggak Kesusasteraan Melayu Rendah.1 Penamaan ini merujuk realitas penggunaan bahasa Melayu Pasar dalam pergaulan sehari-hari, sehingga ada yang menyebutnya bahasa Melayu Kerja (untuk membedakannya dengan Melayu-Sekolah, yang formal). Semua golongan masyarakat, mulai pribumi, Belanda totok, peranakan Tionghoa dan Indo, menggunakan bahasa ini. Otomatis, ketika digunakan sebagai bahasa tulis, para penulisnya juga berasal dari berbagai latar belakang etnik, bangsa dan Budaya.
Melihat pemakaiannya yang luas, Pramoedya Ananta Toer, seperti biasa, memiliki kemampuan menamainya dengan ungkapan lebih sublim: Sastra Lingua-Franca.2 Potensi lingua-franca inilah yang hendak direngkuh kolonial Belanda, tapi dari aspek Bahasa Melayu Tinggi, sembari menolak realitas lingua-franca Melayu Rendah—demi politik bahasa yang akan menyatukan daerah jajahan, dengan agen kaum terpelajar.
Munculnya Penerbit Balai Pustaka (BP) menandai proyek ini, dengan produk pertamanya Azab dan Sengsara Seorang Gadis (1919) karya Merari Siregar.3 BP juga mempunyai majalah dwi-mingguan bernama Pandji Pustaka dengan rubrik andalan “Memajukan Kesusasteraan” asuhan Sutan Takdir Alisjahbana (STA). Sejak itu, jalur literasi Indonesia bersimpang dua: satu bertahan dengan bahasa Melayu Rendah yang produknya digolongkan sebagai sastra populer, dan kedua sastra Melayu Tinggi sebagai representasi bahasa kaum terpelajar, intelektual dan mengandung nilai keindahan yang dianggap menitis dalam sastra Indonesia modern (untuk mempermudah pembahasan saya sebut sebagai sastra non-populer).
Peranan Pemuda
Para pemuda terpelajar-nasionalis kemudian “mengambil-alih” proyek kolonial ini. Tentu tanpa mengabaikan bahwa gagasan yang sama, dalam waktu yang sama atau mungkin lebih awal, juga sudah berkecambah di benak mereka. Tapi apa pun, “proyek” kolonial mempercepat atau mempertegas upaya “pengambil-alihan”. Tak pelak, para pemuda menjadikannya sebagai proyek kebangsaan yang memunculkan produk sosial-budaya-politik Sumpah Pemuda, Oktober 1928. Sejak itu, disadari atau tidak, simpangan sastra populer dan sastra non-populer kian menajam, oposisi lingua-franca Melayu Rendah vs Melayu Tinggi kian menjadi (sekalipun dalam kajian cultural-studies belakangan tak ada batas-batas yang jadi halangan).
Sumpah Pemuda yang berhasrat menjunjung tinggi bahasa persatuan (Bahasa Indonesia) serta kolonialis Belanda yang menyokongnya di satu sisi—belakangan diketahui setengah hati—membuat dunia literasi akhirnya merujuk penuh bahasa lingua franca ala Melayu-gedong. Balai Pustaka sendiri sebenarnya bukan hanya institusi yang mereproduksi standar estetika sastra, namun juga menyasar, jika bukan menyensor, sisi ideologis sebuah karya. Itulah misalnya yang terlihat dari dua karya Abdul Muis. Menurut C.W. Watson (via Jakob Sumardjo, 2004: 32), novelet Abdul Muis Saidjah (1913) yang ditulis dalam bahasa Melayu Rendah, tidak pernah dilirik Balai Pustaka untuk diterbitkan. Sebaliknya, novelnya yang sudah ditulis dalam Bahasa Melayu Tinggi, Untung Surapati, juga ditolak karena berisi kisah pemberontakan.
Contoh lain adalah ketika STA diterima bekerja di BP, konon ia langsung disukai pimpinan BP, Dr. Drewes, karena bahasa Indonesia STA dianggap kebelanda-belandaan (meskipun bahasa novel-novelnya sangat ke-Minangkabau-an). Ini bagian upaya Belanda untuk mengikis pengaruh gaya bahasa Minangkabau yang dominan dalam bahasa Melayu Tinggi, khususnya melalui buku-buku terbitan BP. Selain menyukai bahasa Melayu beraroma Belanda, pejabat BP juga merekrut redaktur dari etnik non-Minangkabau seperti H.B. Jassin (Gorontalo), L.K. Bohang (Minahasa) dan Achdiat Kartamihardja (Sunda).4 Mereka lupa bahwa STA adalah juga keturunan Minangkabau!
Sampai di sini, para pangreh praja kebudayaan Belanda berhasil mengendalikan, atau setidaknya meminimalisir kehadiran “bacaan liar” (sebutan untuk sastra Melayu-Rendah) dan “benih perlawanan” (istilah saya untuk visi ideologis teks sastra) dengan menekankan pemakaian bahasa Melayu Sekolah sambil terus membina kerjasama dengan pengarang non-populer, tanpa sadar sebagai “bunuh diri politik”. Dalam prosesnya kemudian, Balai Pustaka pun menjadi alamat kritik karena dianggap mapan serta perpanjangan tangan kolonial. Armjin Pane dan Amir Hamzah, termasuk pegawai kesayangan BP, STA, pada tahun 1933 lalu mendirikan institusi alternatif: Pujangga Baru. Wadah ini dianggap lebih membebaskan, baik dalam hal teknis pengelolaan penerbitan, maupun pemakaian gaya bahasa dalam tiap karangan yang diterbitkan.5
Akibat rentetan peristiwa itu, pengguna Bahasa Melayu Rendah menyusut hanya di kalangan Orang Tionghoa atau Peranakan saja, namun mereka masih terus melanjutkan profesi kepengarangan dengan percaya diri sehingga karya mereka kemudian dikenal sebagai Sastra Peranakan Tionghoa. Lebih dari itu, bahasa Melayu Rendah menurut saya sudah menjalankan fungsi oposisinya dengan baik, sekalipun perannya telah menyusut. Ibarat lilin yang membuka jalan terang meski dengan tubuh hancur.
Apa lacur, bahasa Melayu-Rendah yang tinggal sebatas bahasa Peranakan itu pun akhirnya “punah” pasca Peristiwa 65. Salah satu penyebabnya ialah Keputusan Presiden Soeharto tentang pelarangan bahasa/aksara Tionghoa dan pembubaran sekolah Tionghoa (1967). Bukan hanya bahasa etnik yang bisa punah, bahasa lingua-franca juga bisa menyusut untuk kemudian lenyap. Peristiwa 65 tidak hanya menghilangkan tubuh manusia, melainkan juga bahasa manusia, sekaligus menjadi titik nadir perjalanan sastra Indonesia modern (non-populer), dengan dua simpangan pula—tanpa mengabaikan adanya simpangan lain. Yakni sastrawan yang berada di tubuh Lekra dan sastrawan Manifes Kebudayaan—serta sastrawan lain yang netral atau tak berkubu, semisal Rendra atau Ajib Rosidi. Kita tahu dalam banyak kajian, karya sastrawan Lekra kemudian dilarang tampil dan para pelakunya banyak yang menjadi eksil tak bisa pulang.
Bagaimana dengan sastra popular Indonesia pasca-65? Tidak ada yang menyinggung nasibnya sama sekali.6 Betapa pun sepanjang perjalanannya sejak awal abad ke-19, Bahasa Melayu Pasar telah melahirkan banyak karya dengan berbagai ragam gaya dan fenomena. Selain karya-karya pada periode awal Sastra Melayu Rendah (1875-1882), juga ada kisah-kisah per-nyai-an (1900-1924), sastra Peranakan Tionghoa (1920-1966), Roman Pergaulan (1938-1941), Roman Medan atau Roman Picisan (tahun 1930-1950) di samping cerita rakyat (fabel atau legenda) yang ditulis berdasarkan selera masyarakat kota. Kesemuanya itu menjadi antitesis dari bahasa dan sastra Indonesia modern yang mapan dan tertib.
Bahasa dan Sastra tak Berumah
Berbagai macam nama yang disematkan pada masa kelahiran hingga pertumbuhan sastra populer kita, apakah sastra Melayu Rendah, Melayu Pasar atau Lingua Franca, sebenarnya menunjukkan tiadanya “rumah kebangsaan” buat mereka. Tidak ada rujukan tempat dan alamat yang jelas menyertai penyebutan itu. Dalam batas tertentu ini berbanding terbalik dengan sastra non-populer yang beroleh rumah kebangsaan dari Balai Pustaka dan dilegitimasi oleh peristiwa Sumpah Pemuda.
Ada pun sastra berbahasa Melayu Rendah dan sebangsanya, sejak awal tidak memiliki tempat dan alamat pasti. Mungkin satu-satunya nama yang mengikat secara tempat adalah Roman Medan. Ini merujuk pada perkembangan sastra popular (meliputi roman, drama, juga komik) yang marak sekitar tahun 50-an di Kota Medan. Akan tetapi itu pun dalam konteks pinggiran (pheripery). Medan yang menjadi kota besar orang Melayu, sekaligus kota terbesar kedua di Indonesia, dianggap berada di bawah Jakarta dalam hal capaian kebudayaan.
Sebutan Roman Medan itu (kadang disebut juga Roman Picisan) jelas untuk merendahkan, hal yang membuat Hamka dan pegiat seni di Medan mencoba melawan. Hamka yang telah ikut meramaikan sastra periode Roman Pergaulan, mencoba mendudukan perkara ini dari persfektif kebudayaan nasional.7 Nasib Roman Pergaulan sendiri, yang sejatinya menyusupkan cita-cita kemerdekaan,8 justru lenyap dari pembicaraan.
Itu satu potret yang menyiratkan bahwa sastra populer sejak awal masa kelahirannya sampai berkiprah sepanjang hampir dua abad, tidak memperoleh pengakuan, hal yang kemudian menempatkan pandangan noise terhadap kehadirannya. Seolah-olah sastra populer bebas dari pergulatan, yang tidak memiliki akar tradisi dan visi sama sekali. Pemahaman ini berlanjut sampai sekarang, sehingga karya sastra popular dianggap sepenuhnya lahir dari kuasa Dewa Industri yang berideologikan hiburan dan uang. Saya kira, kita perlu menyadari akar historisisme sastra popular (di) Tanah Air untuk melihat keberadaannya yang tidak serta-merta, melainkan berproses sedemikian panjang. Periode ini boleh disebut sebagai masa perumusan dan berkecamuknya identitas kebangsaan.
Dengan menyadari ini, kita tidak akan menafikan munculnya visi-visi fundamental yang menyeluruh dari berbagai produk kebudayaan. Peran sastra populer di masa itu berhasil mengakomodasi bahasa pasar/pergaulan menjadi bahasa tulis (cetak) yang memunculkan bahasa (sastra) sebagai salah satu medium pembentukan (pembayangan bangsa) ala Ben Anderson. Sebab, dunia tulis inilah kemudian melahirkan deretan jurnalis dan memunculkan penerbitan pers yang sangat signifikan dalam penyemaian benih nasionalisme dan pergerakan.
Para wartawan yang turun ke lapangan, selain menulis dalam bentuk laporan atau berita, juga menulis cerita sebagai bentuk persaksian sehingga banyak di antara wartawan yang sekaligus juga sebagai pengarang, jika kata sastrawan dianggap terlalu mentereng. Konsepsi “fakta-fiksi” yang mengemuka dalam sastra mutakhir kita atau “ketika jurnalisme dibungkam sastra harus bicara” ala Seno Gumira Ajidarma sudah ada sejak dulu.
Karena itulah kita masih menemukan karya-karya sastra popular yang memiliki aktualitas hingga hari ini seperti Hikayat Siti Mariah, Hikayat Kadiroen, Student Hijo, Pacar Merah Indonesia, dan seterusnya. Bahkan bisa dikatakan, kesemarakkan kesusasteraan Melayu Rendah maupun sastra Peranakan Tianghoa yang berbarengan dengan tumbuh-kembangnya dunia pers itu, membuat Belanda merasa perlu mengimbanginya dengan menciptakan “institusi” bahasa resmi yang, langsung atau tidak, membuka jalan bagi lahirnya bahasa Indonesia dan sastra non-populer Tanah Air.
Pertanyaannya kemudian: bagaimana signifikansi sastra popular kita sekarang? Masihkah ia memuat ideologi dan visi kebangsaan, seperti pada masa dahulu, atau tak lebih serupa musik dangdut yang berpotensi besar tapi berakhir di panggung dan label industri?
Sedang dengan sastra non-populer pun kita enggan “berbagi”: terlalu banyak kepentingan yang membuatnya mampus dikoyak-koyak sepi—apatah lagi sastra popular yang menyasar pasar cum selera massa. Walahu’alam bissawab.
Catatan:
1 Ini merupakan roman terjemahan karya Pont Jest, pengarang Prancis, yang dikerjakan dalam Bahasa Melayu Rendah oleh H.D. Wiggers, ayah pengarang Melayu Rendah terkenal FDJ Pangemanann . Lihat Jakob Sumardjo, Kesusasteraan Melayu Rendah Masa Awal (2004: 2)
2 Katrin Bandel, “Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia”, Sastra, Nasionalisme, Pascakolonialisme (1013: 29)
3 Jakob Sumardjo, ibid (2004: 1)
4 Subagio Sastrowardoyo, “Pendahuluan” dalam Bunga Rampai Kenangan pada Balai Pustaka (1992: 12)
5 Lihat Keith Foulcher, Pujangga Baru, Kesusasteraan dan Nasionalisme di Indonesia 1933-1942 (1991: 18).. Armjn Pane misalnya mengkritik karya terbitan Balai Pustaka terlalu officieel (kaku, resmi). Untuk kerjasama penerbitan tetap dilakukan dengan perusahaan milik orang Belanda, Kolff & Co, namun dianggap sebagai pihak yang kooperatif.
6 Pada November 2013 Penerbit Marjin Kiri, menerbitkan buku Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film, namun tidak dibicarakan di situ nasib sastra popular, terutama yang berasal dari Peranakan Tionghoa.
7 Lihat Marije Plomp, “Pusat Roman Picisan dan Pusat-Pusat yang Lain; Kehidupan Budaya di Medan 1950-1958” dalam Jennifer Lindsay dan Maya H.T. Liem (penyunting), Ahli Waris Kebudayaan Dunia, Menjadi Indonesia 1950-1965 (2011: 429)
8 Lihat Sudarmoko, Roman Pergaulan (2008: 3)