Menu

Indonesia

Bila diamati secara serius dan lapang rasa, sedekah adalah inti amal orang Jawa. Bedanya –seperti disalah-pahami oleh banyak kepala– orang Jawa tidak bersedekah hanya kepada manusia, akan tetapi kepada semua makhluk Gusti Allah. Termasuk binatang dan makhluk gaib dari berbagai jenis. Ini terkait dengan kosmologi Triloka atau pandangan dunia orang Jawa dalam keseluruhannya yang dianut oleh keseluruhan orang-orang Nusantara.

Sejauh ini, kesatuan pandangan dunia di Nusantara biasanya berbasis pada bilangan tiga. Kemudian dalam perkembangannya untuk melihat peristiwa kemanusiaan yang berbeda-beda, bilangan tiga mengalih-rupa menjadi; empat (catur), lima (panca), delapan (hasta), sembilan (sanga). Pandangan dunia triloka ini secara fisik bisa dilihat dari atap rumah atau atap masjid kuno yang bersusun tiga, lima, dan sembilan.

Tri artinya tiga. Loka artinya dunia/tempat/hutan/ruang. Kadangkala istilah triloka ini beralih-rupa dalam istilah lain semisal Tribuana dan Tripurusa. Tiga dunia atau tiga ruang itu adalah; dunia atas, dunia tengah, dunia bawah. Epistemologi triloka dalam narasi tradisi Keislaman di Nusantara ini dibangun di atas sebuah ayat dalam al-Quran, Surat  al-Naml: 17:

“Dan untuk Sulaiman dikumpulkan bala tentaranya dari jin, manusia dan burung, lalu mereka berbaris dengan tertib. Burung adalah lambang dari dunia atas. Manusia adalah lambang dunia tengah. Jin adalah lambang dunia bawah. Bagaimana konsepsi ini lahir? Tentu saja dari pengalaman berkebudayaan atau kesadaran tentang realitas serta keadaan geo-kultural-spiritual. Lain kesempatan akan dibicarakan.

Dunia Atas

Dunia atas adalah dunia langit. Menghargai dunia atas adalah dengan memantapkan kehambaan. Bahasa al-Quran-nya hablun minallah. Dalam narasi keilmuan Wali Songa, dunia langit ini disebut dengan istilah; baitul ma’mur. Pemegang perkara ini adalah Sunan Bonang. Ketersambungan dan kemenyambungan dengan dunia atas bagi orang Jawa diungkapkan dengan istilah manembah. Dalam perkakas simbolik sehari-hari, interaksi dengan dunia atas merupa dalam ibadah-ibadah mahdhah dan ibadah sosial-budaya, satu di antaranya: tumpengan. Tumpeng artinya tumuju ing pengeran (menuju kepada Allah Tempat Sandaran). Di atas nasi tumpeng yang berbentuk kerucut itu ada brambang/bawang dan cabai/lombok. Brambang artinya upaya memasuki dunia ambang atau dunia langit. Seperti halnya bawang yang artinya masuk ke dunia awang.

Langit ada tujuh lapis. Memasuki setiap lapisan-lapisan itu dilambangkan dengan lapisan-lapisan kulit bawang yang sangat tipis. Bentuk amal konkret memasuki tiap lapis langit itu adalah; pengakuan dan permohonan ampun atas tujuh; ‘ujub, sum’ah, riya, takabbur, kibr, hasud, dan kikir. Orang yang masih berpakaian tujuh dosa itu –bagi orang Jawa– doa-doanya akan lama sampai ke langit ketujuh. Cabai atau lombok itu sendiri melambangkan perintah untuk lumbu atau bersegera mendekat kepada Allah (wa sari’u ila maghfiratin min rabbikum [bersegeralah kalian untuk meraih ampunan Allah….]). Di bawah nasi kerucut itu ada banyak simbol-simbol dalam bentuk sayur-mayur dan lauk-pauk. Kesempatan lain akan dibabarkan.

Sedekah untuk dunia atas berbentuk zikir-zikir. Baik tasbih, tahmid, takbir, tahlil, hawqalah (la haula wal quwata). Sebagaimana anjuran nabi bahwa setiap sendi manusia yang berjumlah 360 itu ada sedekahnya. Orang yang tidak pernah berzikir, berarti tidak pernah bersedekah untuk dunia langit. Para wali menyumberkan amal sedekah langit ini dari al-Quran, Surat al-Mu’minun ayat 7:

“(Malaikat-malaikat) yang memikul ‘Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (Seraya mengucapkan): “Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala.

Dunia Tengah

Dunia tengah adalah dunia manusia, disebut juga dengan baitul muharram. Sunan Kalijaga adalah wali yang membawahi perkara ini. Dunia manusia, bagi orang Jawa adalah dunia rasa. Amal memahami dunia rasa ini biasa disebut dengan istilah; at-tashaddur (pen-dada-an/merasakan dengan rasa]. Bagian ini disimbolkan dengan bagian dada manusia. Bergaul dengan sesama manusia tidak membutuhkan kalkulasi rasional, melainkan kalkulasi rasa. Bahasa arabnya itu tadi; at-tashaddur.

Sedekah kepada sesama manusia adalah sumbu pembuktian dari kesungguhan bersedekah kepada langit dan dunia bawah (akan diterangkan di bawah). Di atas telah disebutkan bahwa inti dari setiap ibadah atau upacara apa saja dalam Budaya Jawa adalah; doa dan terlebih lagi sedekah. Mau membangun rumah, menaikkan atap, masuk rumah, ada doa dan sedekahnya. Begitu juga mau nikah, mau sunatan/tetakan, tedak siten (bayi yang berumur setahun dan mulai berjalan menginjak tanah), khatam ngaji, dan mau apa saja, bagi orang Jawa semua ada sedekahnya. Hafal lafal doa untuk setiap hajat atau tidak, terkadang tidak terlalu dipusingkan oleh orang Jawa. Yang terpenting adalah; sedekahnya itu.

Karena itu, materi sedekah orang Jawa menempati derajat; sulit untuk diganggu-ganti. Ia terkait dunia rasa. Soalnya setiap hidangan sedekah, ada makna-maknanya yang berhubungan dengan ketulusan niat dan hajat si tukang sedekah. Nasi kuning, kacang panjang, ayam ingkung, telur, dan entah apa lagi namanya, semuanya adalah lambang dari zikir-doa-hajat-dan terlebih lagi upaya orang Jawa untuk; karyenak tyasing sesami (mengenakkan hati/tyas sesama manusia) atau amal penyelerasan diri dengan keseluruhan alam semesta (rahmatan lil ‘alamin).

Untuk diri sendiri, mengenakkan hati ini dilakukan dengan terlebih dahulu menghalau ketakutan akan kehabisan harta karena bersedekah. Karena itu, materi sedekah orang Jawa itu pasti yang mahal-mahal. Mulai dari ayam, kambing, sampai kerbau. Apa maksud dari itu semua? Kata guru saya:

“…Kalau mau bergaul dan mengenakkan hati sesama itu jangan tanggung-tanggung…. Kalau mau bersedekah itu jangan yang murah-murah…yang mahal sekalian..!!! Kowe serius po ra nyedhaki Gustimu lan anggawe enak-ing ati sedulurmu [kamu serius apa gak mendekati Tuhanmu dan mengenakkan hati saudaramu?]. Sedekah kok cari yang paling hemat…!!!”

Pada kasus-kasus tertentu, penitik-beratan sedekah pada derajat dunia sosial ini seolah menempati tingkat yang lebih penting dari pada sedekah untuk dunia atas. Bahasa kasarnya; terkadang di Jawa ada banyak orang yang baik kepada sesama dan tetangga tapi amat jarang terlihat “di masjid”. Berbaik sangka merupakan kata kunci di sini.

 

Dunia Bawah

Dunia bawah adalah baitul muqaddas/maqdis. Wilayah ini diampu oleh Sunan Giri [versi sebelumnya, ada yang menyebutkan diampu oleh Sunan Kudus]. Dunia bawah merupakan dunia makhluk-makhluk gaib dan para saudara dari bangsa binatang. Secara jasadiah, ia disimbolkan dengan kelamin manusia. Mengurusi perkara dunia bawah ini merupakan bagian yang sangat penting bagi orang Jawa. Orang Jawa harus akrab dengan dunia gaib, dunia mistik. Soalnya itu juga bagian dari kelengkapan kemanusiaan orang Jawa. Jin dan bangsa-bangsa binatang bukan musuh. Bila mereka berada di rumah seseorang, akan diajak untuk bermusyawarah; silahkan tinggal di sini tapi jangan mengganggu, saling menghormati. Sebagaimana halnya manusia; bangsa jin dan hewan juga tidak suka kekerasan “doa”.

Bagi orang Jawa, setelah bersedekah dan mengenakkan hati sesama manusia, maka sedekah juga diniatkan untuk para saudara sesama makhluk Allah dari bangsa gaib dan bangsa binatang. Untuk mereka, materi sedekahnya tidak seperti materi sedekah kepada manusia. Melainkan dalam bentuk tulang-belulang, sisa-sisa makanan/minuman yang tidak termakan ketika acara sedekah dilangsungkan. Terkadang juga dalam bentuk pembakaran kemenyan/dupa dan bunga-bunga yang sudah didoakan.

Apakah sedekah untuk mereka itu dilakukan supaya bangsa jin dan hewan-hewan itu melindungi manusia? Dengan kata lain; apakah sedekah untuk mereka itu dikeluarkan dengan niat meminta perlindungan kepada mereka? Tidak. Tentu saja tidak. Anggapan demikian adalah sangkaan yang ditudingkan oleh banyak kalangan, dan jelas keliru di sini. Bersedekah untuk bangsa dari dunia bawah diamalkan semata-mata karena mereka juga dianggap sebagai sesama makhluk Allah yang harus merasakan nikmat dan berkahnya menyantap hidangan yang terlebih dahulu telah didoakan dengan zikir, salawat, dan pepuji pada Illahi.

Menjadi wajar bila sampai hari ini, kita masih berjumpa dengan para sesepuh yang sebelum membangun rumah, mereka terlebih dahulu menanam tulang kepala kerbau di bagian tengah rumah. Lalu tulang- belulang lainnya ditanam di setiap sudut rumah  dengan terlebih dahulu dagingnya dimasak dan dibagikan kepada para tetangga. Jika tidak kerbau, biasanya kambing, ayam, atau bahkan ikan. Terserah apa materinya. Intinya, mereka juga dianggap harus merasakan nikmatnya makan-minum yang terlebih dahulu telah dioles dengan doa-doa dan zikir-zikir. Kanjeng nabi sudah bilang bahwa makanan bangsa jin adalah tulang-belulang, bunga-bunga, dan semacamnya. Selain disantap oleh bangsa jin, nanti seluruh sedekah itu akan disantap juga oleh makhluk Allah lainnya seperti semut, cacing, dan semacamnya.

Dalam Shahih Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata; bahwasanya ia pernah membawakan pada Kanjeng Nabi SAW sebuah wadah berisi air wudhu dan hajat beliau. Ketika ia membawanya, Kanjeng Nabi saw bertanya; “Siapa ini?”. “Saya, Abu Hurairah”, jawabnya. Kanjeng Nabi saw pun berkata; “Carilah beberapa buah batu untuk kugunakan bersuci. Dan jangan bawakan padaku tulang dan kotoran.” Abu Hurairah berkata; kemudian aku mendatanginya dengan membawa beberapa buah batu dengan ujung bajuku. Hingga aku meletakkannya di samping beliau dan aku berlalu pergi. Ketika beliau selesai buang hajat, aku pun berjalan menghampiri beliau dan bertanya; “Ada apa dengan tulang dan kotoran?”.

Kanjeng Nabi saw menjawab; “Tulang dan kotoran merupakan makanan jin. Keduanya termasuk makanan jin. Aku pernah didatangi rombongan utusan jin dari Nashibin dan mereka adalah sebaik-baiknya jin. Mereka meminta bekal kepadaku. Lalu aku berdoa kepada Allah untuk mereka agar tidaklah mereka melewati tulang dan kotoran melainkan mereka mendapatkannya sebagai makanan” (HR. Bukhari no. 3860)

Tentang Dupa dan Saudaranya

Dupa, kemenyan, dan bunga-bunga, juga tidak hanya disajikan untuk para saudara-saudara sesama makhluk dari bangsa gaib. Ia juga mengandung makna simbolik yang khas. Jangan lupa –bahwa bagi orang Jawa– makna dari segala hal itu, ada tujuh lapis. Mulai dari yang paling harfiah sampai yang paling lungid (makna tingkat langit). Upacara rasulan yang melibatkan pembuatan nasi tumpeng, itu tidak hanya bermakna harfiah, namun juga makna tingkat langit yang terkait dengan hubungan rohani antara manusia dan pencipta. Bahasan ini di lain waktu akan dibabarkan.

Banyak orang salah memahami dupa dan kemenyan yang dibakar dalam upacara tertentu. Perlu dipahami dulu bahwa dupa itu merupakan benda simbolis yang dipergunakan atau dilibatkan dalam sebuah upacara tertentu sebagai ungkapan maksud-maksud mulia yang berdasar. Artinya, dupa dibakar bukan sebagai benda asal-asal bakar. Ia punya makna-makna tersembunyi yang bila dikaji akan tampak sangat rasional. Harap diperhatikan di sini, bahwa semua benda-benda tradisi, selalu merupakan simbol. Benda-benda itu –misalnya dupa– adalah sesuatu yang dipakai untuk mengatakan sesuatu yang lain. Dalam penelusuran saya, setidaknya ada beberapa makna dupa, kemenyan, dan bunga-bunga yang dibakar dalam berbagai upacara.

Pertama, dupa sebagai pernyataan bahwa upacara tersebut bersumber dari hati yang wangi. Kewangian hati itu diungkapkan dengan dupa, kemenyan, dan bunga-bunga yang memang juga wangi. Maksud “hati yang wangi” itu adalah hati yang tulus, ikhlas, bersih, tidak berharap apa-apa selain ridha Allah. Kedua, sebagai pernyataan bahwa para hadirin yang datang pada ritual tersebut merupakan orang-orang baik, yang hatinya wangi, persis wanginya dupa, kemenyan, dan bunga-bunga. Ketiga, upacara tersebut merupakan rangkaian doa. Doa pasti wangi, kecuali doa yang dipanjatkan untuk keburukan. Kewangian doa itu diungkapkan atau disimbolkan dengan dupa. Jadi, kalau di sana ada dupa dan kemenyan dibakar, serta bunga-bunga disajikan, itu artinya ada doa yang akan atau sedang dipanjatkan itu semata-mata untuk memohon kebaikan.

Keempat, dupa sebagai penegasan permintaan agar doa dikabulkan. Yang disasar pada bagian ini adalah kebul-nya si dupa atau asapnya itu. Kebul dimaksudkan di sini merupakan simbol dari harapan agar doa dikabulkan, hal ini digambarkan dengan kebul atau asap yang naik ke langit. Kalau sudah naik ke langit, ke arah mana lagi ia ditujukan kalau bukan kepada Tuhan? Begitulah doa. Ia terus melangit bersama rapalan doa yang dipermantra. Untuk maksud ini, di zaman ini terkadang dupa sebagai sebuah pralambang harapan keterkabulan doa diganti dalam bentuk rokok. Intinya tetap sama, yaitu ada asap yang dikebulkan. Bunga juga tetap dipakai.

Tentu saja ada makna-makna mulia lainnya di balik semua ini. Termasuk upacara sedekah laut dan sedekah bumi dan semisalnya.  Semua makna upacara itu harus dibaca dalam tujuh tingkat makna atau saptanama. Intinya bahwa semua maksud di balik upacara  itu ada hal-ihwal yang tidak sesepele tuduhan kemusyrikan. Jadi, jangan sembarangan menuduh yang bukan-bukan dulu. Lebih baik dikaji, dipelajari, dan ditabayyunkan.

 

Sunnah Nabi

Upacara keagamaan-kebudayaan yang dilakukan oleh orang Jawa hari ini boleh saja dituduh sebagai warisan peradaban pra-Islam. Ada pula yang menudingnya sebagai warisan kebudayaan Jahiliyah. Meski tuduhan itu bermasalah, akan tetapi harus diingat, bahwa pada masa Wali Songa, semua upacara warisan zaman sebelumnya itu telah mengalami Islamisasi seperti halnya tradisi memotong kambing orang Arab pra-Islam untuk menyambut kelahiran bayi, bahkan mereka tidak hanya memotong hewan. Nantinya darah hewan tesebut dialirkan ke kepala bayi yang baru dilahirkan. Lalu dagingnya dipersembahkan untuk berhala-berhala. Seperti halnya juga kumpul-kumpul pada hari Jumat yang jamak terjadi di kalangan bangsa Arab.

Ketika Islam datang, Kanjeng Nabi mengislamisasi kebudayaan tersebut. Upacaranya tetap dilangsungkan. Hewan Qurban untuk kelahiran anak tetap dipotong, akan tetapi, darahnya tidak dialirkan ke kepala bayi, melainkan dialirkan ke tanah. Lalu rambut bayi dicukur, dan daging hewannya dibagikan untuk dimakan bersama. Tradisi kumpul-kumpul hari Jumat juga tetap dijalankan, namun, diganti dengan ibadah salat Jumat di masjid. Dari sini, tampak bahwa merangkul kebudayaan lokal merupakan sunnah nabi. Tentu dengan penyesuaian-penyesuaian kreatif yang tiada henti berdasarkan kosmologi agama dan kosmologi masyarakat setempat.

Untuk Kanjeng Nabi SAW dan ahli bait-nya serta para wali di tanah Nusantara, Al-Fatihah.

Wallahu a’lam.

 

* Penulis adalah seorang muslim Jawa

Simbah saya bernama Gemi, Sugemi. Di Jawa ada sebuah wejangan (baca: nasihat) yang bunyinya: Gemi, Nastiti, lan Ngati-ati yang artinya irit, teliti, dan berhati-hati. Ya, Gemi memang berarti irit atau pandai mengatur pengeluaran. Memang dulu simbah saya itu seorang pedagang, dan sifat Gemi memang sangat lekat dalam pembawaannya sehari-hari. Ia rutin tiap pagi melapak di Pasar, tepatnya Pasar Legi Kotagedhe. Pasar itu konon telah ada sejak pemerintahan Panembahan Senopati (1584-1601), dan merupakan satu-satunya pasar tertua di Jogja yang masih eksis hingga hari ini. Ingatan saya tentang sosok simbah –yang masih lestari– adalah tentang kebiasaannya memberi oleh-oleh kepada cucunya selepas Ngarung (baca: melapak) di Pasar.

Pasar (baca: kata tersebut) bagi simbah saya atau mungkin bagi masyarakat Jawa secara umum identik dengan dua hal. Pertama, merujuk pada petanda untuk menyebut sebuah tempat yang menjadi sentra perdagangan. Kedua, merujuk pada sistem perhitungan hari (penanggalan) yang disebut Pasaran. Terdapat dua keterangan yang akan muncul ketika seorang Jawa ditanyai perihal pasar, yaitu keterangan tempat dan keterangan waktu.

Pasaran adalah siklus perhitungan lima harian (Pancawara) dalam penanggalan Jawa-Islam yang digunakan pada sistem kalender Jawa Sultan Agungan atau Anno Javanico (Ricklefs, 2001). Lima hari tersebut adalah hari Pon, Wage, Kliwon, Legi, dan Pahing. Selain pasaran, setidaknya masih terdapat empat siklus perhitungan hari lain yang digunakan dalam Anno Javanico, diantaranya: paringkelan atau sadwara (siklus enam harian), padinan atau saptawara (siklus tujuh harian), padewan atau hastawara (siklus delapan harian), serta Padangon atau Sangawara (siklus sembian harian).

Ya, orang Jawa sejak dulu memang terkenal Gemi, Nastiti, lan Ngati-ati bahkan dalam menghitung hari sekalipun. Sistem perhitungan hari inilah yang kemudian menjadi landasan dasar dalam bagi masyarakat jawa dalam melaksanakan kegiatan kesehariannya. Salah satunya adalah siklus perhitungan pasaran, yang kemudian mengejawantah menjadi semacam sistem Ekonomi lokal di Jawa. Perkawinan konsep antara perhitungan lima harian dengan konsep tata ruang tradisional di Jawa (Panasta Desa atau Mancalima) inilah yang kemudian menghasilkan sistem rotasi ekonomi yang oleh masyarakat Jawa sebut sebagai “Pasar” itu tadi. Penyelenggaraan pasar di Jawa selalu berpindah-pindah berdasarkan rotasi hari pasaran-nya, sistem rotasi ini bahkan masih digunakan hingga kini. Pasar yang paling besar dilaksanakan ketika hari (baca: pasar) Kliwon, biasanya bertempat di Kuthanagari (pusat kota/desa), pasar yang diselenggarakan pada hari itu disebut Pasar Kliwon. Kemudian pada hari Legi terdapat Pasar Legi di mancanagari  (daerah terluar) bagian timur, Pasar Pahing di selatan, Pasar Pon di barat, dan Pasar Wage di utara. Konsep rotasi pasar ini akan berulang setelah siklus sepasaran habis. Pola inilah yang berhasil dibaca oleh Van Ossenbruggen dalam kajian-kajiannya (Van Ossenbruggen, 1975).

Van Ossenbruggen mungkin adalah salah satu orientalis yang menurut saya jeli membaca pola ini selain simbah saya dan kebanyakan orang-orang tua di Jawa. Selain itu ada juga Titi Surti Nastiti, seorang antropolog Indonesia yang sempat melakukan penelitian tentang pasar di Jawa. Ia menulis sebuah desertasi yang berjudul Pasar di Jawa Zaman Mataram Kuna. Dalam kajian tersebut Ia menemukan beberapa kata kunci yang tercatat dalam prasasti-prasasti kuna pada masa Mataram Kuna (baca: Medang Kamulan) seperti “Apakan, Ampekan, atau Mapakan”. Kata-kata tersebut diperkirakan merupakan sebutan untuk menyebut sentra perdagangan (laiknya pasar pada konteks hari ini). Kata-kata tersebut masih memiliki ketersambungan akar dengan kata “Pekan” yang masih kita gunakan hingga hari ini. Pekan adalah petanda untuk menyebut siklus tujuh harian (Saptawara). Disinyalir siklus pekan (baca: perhitungan tujuh harian) ini merupakan peninggalan konsep perhitungan hari di kalender Saka yang digunakan pada masa Hindu-Budha. Mungkin imaji tentang sentra perdagangan di jaman itu dapat kita lacak dari istilah “Pekan Raya” yang juga masih eksis untuk menyebut event pameran perdagangan hari ini. Dalam perkembangannya, setelah kalender Saka ini disempurnakan oleh Sultan Agung (digabung dengan perhitungan Hijriah) konsep rotasi ekonomi yang semula menggunakan siklus perhitungan tujuh harian mungkin telah mengalami perevisian sejalan dengan masifnya penggunaan rumus perhitungan baru yang ditetapkan Sultan Agung (baca: siklus lima harian atau pasaran) (Nastiti, 2003).

Bila kita merujuk pemahaman simbah-simbah kita dulu definisi mengenai pasar pastilah sangat berbeda dengan pemahaman hari ini. Jelas dulu definisi tentang “pasar” bukanlah terjemahan kata “market” seperti yang kita pahami sekarang. Pengertian tentang “pasar” pada jaman dulu pengertiannya tidak hanya sebatas petanda untuk menyebut tempat berlangsungnya transaksi, atau tempat bertemunya penjual dan pembeli saja. Lebih dari itu, mungkin abstraksi kekinian yang paling relevan untuk mengimajinasikan pemahaman simbah-simbah kita dulu atas arti dari “pasar”, adalah ketika kita membayangkan sebuah perayaan. Di mana orang-orang berkumpul, mencari hiburan pelepas penat, memenuhi janji dengan koleganya, mencari jodoh, momong anak, dan mungkin masih banyak kegiatan yang mereka lakukan saat pasar dimulai.

Apakah sistem dan pemahaman mengenai konsep ekonomi lokal (baca: pasar) dari simbah-simbah kita ini hilang? Jawabannya: Tidak. Sadar atau tidak, kita masih sering menemuinya kok, bahkan bila berkenan merunutnya pun masih bisa. Beberapa pasar (baca: tradisional) di Jawa –meski tidak banyak– hingga hari ini masih mempertahankan perhitungan pasaran tersebut. Keriuhan akan terjadi di pasar saat hari pasaran-nya tiba, keriuhan ini biasanya dimulai dari menjelang pagi hingga tengah hari. Para pedagang dari seluruh penjuru desa akan berkumpul di pasar menjajakan berbagai macam barang dagangannya; dari mulai kebutuhan dasar, beragam jajanan, ternak, bahkan hingga barang bekas yang dikenal dengan istilah (klithikan). Biasanya juga digelar aneka macam ‘hiburan rakyat’, seperti sabung ayam, lomba kicau burung, cliwik (baca: istilah judi), dan lain sebagainya.

Salah satu contoh kasus yang saya temui berada di Jogja. Beberapa pasar di kota ini masih mempertahankan perhitungan pasarannya, ya meskipun  kini bisa dihitung dengan jari. Beberapa pasar tersebut antara lain: Pasar Kliwon di Bantul, Pasar Pon Godean, Pasar Pahing Sleman, Pasar Wage Tlagareha, Pasar Legi Wirobrajan, dan Pasar Legi Kota Gedhe. Ketika hari pasaran tiba, titik keriuhan di pasar-pasar itu memuncak. Tetapi dalam konteks hari ini (di Jogja khususnya), puncak keriuhan di pasar-pasar itu –kini– lebih  didominasi oleh para blanthik (baca: pedagang hewan) dan pedagang klithikan (baca: barang bekas).

Berkumpulnya para blanthik dan para peng-klithik setiap hari pasaran di Jogja ini bahkan telah menjadi ciri khas pasar-pasar tradisional di Kota Gudeg. Tinggal mereka mungkin (baca: kelas sosial) yang masih ngugemi (baca: memegang teguh) sistem rotasi ekonomi tradisional di tengah derasnya terjangan arus globalisasi ini. Sebagai contoh di Pasar Legi Kotagedhe, tempat simbah saya mencari nafkah dulu. Ketika pasaran tiba –sontak– Pasar Kotagedhe akan penuh sesak dengan sangkar-sangkar burung yang pating tlalang menghalangi jalan, plus beraneka jenis unggas, ikan dan hewan ternak. Tak ketinggalan, gelaran tikar yang dipenuhi barang bekas seperti rangka sepeda kuno, radio lawas, piringan hitam serta berbagai barang dagangan para pedagang klithikan di pinggir-pinggir trotoar jalan. Pasaran di Jogja nampaknya telah berubah menjadi perayaan lima harian bagi para pecinta binatang dan pecinta barang bekas.

Menyambung perunutan di atas, ihwal yang mungkin sangat menarik dari runutan tersebut menurut saya pribadi justru ada pada perubahan makna dari kata ‘pasar’ itu sendiri. Salah satu pertimbangan mengapa saya merasa ihwal tersebut menarik adalah -karena menyadarkan saya- tentang keberadaan “jarak” yang teramat jauh dari hal-hal sederhana yang sebenarnya ada disekitar saya. Bila oleh simbah saya, kata ‘pasar’ dipahami dalam dua pengertian, yaitu untuk menyebut “siklus lima harian dalam kalender Jawa” dan “tempat berkumpulnya orang-orang tua Jawa saat hari pasaran tiba.” Maka bagi saya atau mungkin generasi sepantaran saya, ketika mendengar kata’pasar’ yang tergambar dibenaknya justru pengertian yang sifatnya parsial –yang bisa jadi tidak mengakar – terjemahan term ekonomi lain yang berbeda dengan pemahaman simbah saya.

Pun ketika kata itu diserap dalam bahasa Indonesia, kata pasar hanya menjadi petanda yang maknanya ditentukan oleh kata lain yang tidak berasal dari sini (baca: barat). Pasar tidak lagi memiliki hubungan dengan keterangan tempat dan waktu yang dibayangkan oleh orang-orang tua Jawa di masa lalu. Dan, kita (baca: saya) bahkan tidak tahu mengapa hal itu bisa terjadi.

Tapi meski demikian, kita patut berbangga sih sebenarnya. Kita patut berbangga karena istilah pasar hingga hari ini masih tetap lestari (meskipun secara pemaknaan telah mengalami dekonstruksi yang hampir total). Kita harus bangga karena istilah pasar ternyata cukup relevan menjadi ‘kata penjembatan’ untuk menjelaskan term-term kunci dalam perekonomian modern yang dipahami generasi hari ini. Kita harus sedikit membusungkan dada ketika mendengar istilah pemasaran yang merupakan terjemahan dari kata marketing, lalu pasar modal terjemahan dari stock, dan pasar bebas untuk free-trade. Toh, akar tradisi dari istilah pasar itu kini juga tidak pernah dirujuk lagi kan, jadi tidak mengapa untuk ditinggalkan tentunya.

Faktanya, pasar (tradisional) yang masih bertahan dalam pengertian lawasnya toh kini telah kalah dengan “marketplacemarketplace” modern yang beragam jenisnya itu. Sehingga sangat wajar bila ia mulai dipinggirkan atau mungkin dipaksa untuk menempati sudut subordinat dalam perekonomian. Wajar pula,bila ia dilabeli dengan stempel udik, kotor, kumuh yang tidak sesuai standar hidup manusia modern, karena memang konsep tersebut tidak sesuai lagi untuk mendukung tesis-tesis terbaru yang diajukan oleh para sarjana ekonomi lulusan luar negeri itu tho.

Siapa yang berhak menuntut? Tentu jawabannya bukan saya, apalagi anda. Yang berhak menuntut sebenarnya adalah para Blanthik dan para pedagang Klithikan itu. Mereka adalah pewaris sah dari pasar (tradisional). Toh, mereka adalah para pedagang yang masih keukeuh mengimani sistem perdagangan berdasarkan perhitungan hari dari para leluhur untuk berkumpul dan membikin suatu perayaan yang membuat macet jalan itu. Bila tak percaya, mari kita tanyakan pada para Blanthik dan para pedagang Klithikan di Pasar Kotagedhe, bagaimana pendapat mereka tentang upaya subordinasi dan penegasian terhadap hal ihwal yang mereka pahami. Daripada kita menanyakan pertanyaan yang sama pada para ekonom kerakyatan yang memarkirkan mobilnya di Jalan MH. Thamrin, Menteng – pasti pertanyaan itu juga tidak akan terjawab tho.

Cepokojajar, akhir September 2018.


Referensi

Nastiti, Titi Surti. Pasar di Jawa Masa Mataram Kuna Abad VII – XI Masehi, Penerbit Pustaka Jaya, Jakarta, 2003.

Ricklefs, M.C. A History of Modern Indonesia Since c. 1200 Third Edition, Palgrave, England, 2001.

Soembogo, Wibatsu Harianto. Kitab Primbon Atasadhur Adammakna, Penerbit Soemodidjojo Maha Dewa diedarkan oleh C.V. Buana Raya Solo,Cetakan 10, Solo,  2008

Soembogo, Wibatsu Harianto. Kitab Primbon Lukmanakim Adammakna, Penerbit Soemodidjojo Maha Dewa diedarkan oleh C.V. Buana Raya Solo,Cetakan 11, Solo,  2013

Van Ossenbruggen, F.D.E. Asal Usul Konsep Jawa Tentang Mancapat dan Hubungannya Dengan Sistem-Sistem Klasifikasi Primitif, Penerbit Bhatara, Jakarta, 1975.

Zoetmulder, P.J. Kalangwang Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang, Penerbit Djambatan, 1994.

______________, Baboning Kitab Primbon Seri Kebatinan, Penerbit Karangroo, Solo, ____

Dulu saat mengkopi untuk pertama kalinya (sebagian) buku yang sering disebut banyak orang sebagai “ensiklopedia Jawa” atau sering dikenal umum sebagai “Serat Centhini” ini, saya mendapati pengalaman yang unik. Teman saya yang waktu ikut membuka lembar-lembar Serat dengan ketebalan 12 jilid ini sempat sedikit heran ihwal beberapa kutipan berbunyi Arab yang cukup mudah ditemukan, deretan nama tarekat yang muncul di beberapa bait, maupun nama-nama kitab khasanah ilmu pesantren yang beberapa kali menghiasi baris-baris “pada” dalam format tembang Macapat yang memang dipilih untuk menuliskan keseluruhan ajaran serat ini.

Teman saya mengira, Centhini adalah sejenis Kamasutranya Jawa atau minimal kitab kuliner Jawa (ingat karya E. Inandiak yang telah mengeksplorasi seksualitas Centhini yang baru-baru ini sempat beredar). Atau setidaknya, menurut dugaannya, serat ini adalah karya heterodok yang menyimpang dari Islam, atau malah ajaran kebatinan yang bersumber pada ajaran Hindu-Buda pada zaman Majapahit, yang masih terus dirawat oleh masyarakat Jawa yang tak terlalu rela warisan spiritual nenek moyangnya, hilang karena fajar Islam mulai menjelang di tanah Jawa. Setidaknya ia merupakan warisan “sinkretik”, tentu dengan nada peyoratif, imbuhnya. Banyak orang memang sering salah duga. Dan itu wajar.

Th. Pigeaud dalam “Literature of Java”-nya menyebut inti sebenarnya dari Serat Centhini adalah tembang mistik Islam Jawa yang berjudul “Suluk Centhini”

Para pakar kajian Jawa telah bersepakat bahwa serat ini masuk dalam kategori genre “suluk”, alias tembang mistis (tasawuf) Jawa. Bahkan dalam pengantar awal terbitan lengkapnya (1985), oleh penerbit Yayasan Centhini, nama sebenarnya serat ini adalah “Suluk Tambangraras”. Seperti dijelaskan Nancy K. Florida, ternyata kesusateraan Jawa mengenal dua genre sastra bernama “suluk” atau tembang/puisi, dan genre “wirid” atau berarti ajaran/prosa/gancaran. Ingat dua kata ini, “suluk” maupun “wirid” merupakan istilah kunci yang dalam tasawuf (tarekat). Dan dari identifikasi awal ini, kita sebenarnya sudah mulai bisa menduga—meski kata suluk mulai dicerabutkan dari akar sufismenya—bahwa karya ini memang dimaksudkan untuk menyampaikan ajaram mistik jawa (islam), ajaran paling puncak ihwal kesempurnaan hidup Jawa.

Belum lagi, menurut Poerbatjaraka, Serat Centini sebenarnya merupakan eksplorasi baru dari karya suluk yang lebih tua, yakni Suluk Djatiswara, sebuah karya tembang mistisisme (sufi) Jawa di zaman PB III. Artinya serat ini ada dalam galur kesusatraan mistik (Islam) Jawa, atau lebih khusus sufisme yang berkembang di tanah Jawa. Bahkan orang sekelas Th. Pigeaud dalam “Literature of Java”-nya menyebut inti sebenarnya dari Serat Centhini adalah tembang mistik Islam Jawa yang berjudul “Suluk Centhini”. Lalu bagaimana ihwal isinya?

Ensiklopedia Jawa

Serat Centhini yang kita kenal sekarang ini dalam 12 jilid yang terdiri dari 772 satuan bait (baca: “pada”) dikarang di zaman Pakubuwana V di tahun jawa 1742 atau 1814 M. Kemungkinan besar pangeran mataram yang kelak bergelar Pakubuwana V inilah yang menunjuk dewan penulis yang terdiri dari: R.Ng Yasadipura II, Raden Ranggasutrasna, serta Raden Sastradipura. Kita tahu, Yasadipura II, sang pujangga keraton tersebut, adalah santri Kyai Kasan (Iman) Besari di Pesantren Gebang Tinatar, Tegalsari, Ponorogo, tempat pelarian PB II saat pemberontakan Cina pecah. Ronggasutrasno pujangga Istana terkemuka penggubah beberapa tembang, sedangkan R. Ng. Sastradipura pernah pernah tercatat mengganti namanya menjadi Ahmad Ilhar setelah kepulangan Haji dari tanah Mekkah, serta mengarang berbagai suluk terkemuka.

Saya sendiri tak tega mengabaikan tafsiran “Islam” dalam serat ini, yakni hanya dengan melihat latar pesantren yang dilakoni Yasadipura II saat menghabiskan masa “ngaji”-nya di pesantren Kyai Imam Besari, Ponorogo, dan sempat menelurkan “Serat Dewa Ruci” yang terkemuka itu. Atau terkait Ronggasutrasno yang dikabarkan pernah mengarang “Serat Kidungan”, sebuah naskah “suluk” yang mengajarkan perlambang “ngelmu Islam sajati” ajaran wali tanah Jawa yang masyhur: Sunan Kalijaga. Atau Raden Ngabehi Sastradipura menganggit ”Suluk Rupa-rupi” juga kitab “Lungguhing Sipat Kalih Dasa Wonten Ing Badan.”(Tempat Sifat Duapuluh (Allah) Dalam Badan).

Bahkan beberapa riwayat—terutama pada Centhini versi Kamajaya (Yayasan Centhini)—menyebutkan, bahwa Kyai Kasan (imam) Besari sendiri plus Kyai Ahmad Kategan (ulama besar Surakarta) ikut terlibat dalam dewan penyusunan naskah serat ini, selain tiga tokoh yang telah disebut di atas. Dari latar demikian, kita—tepatnya saya—sepertinya perlu memberi ruang tafsir yang cukup bagaimana term-term islam—tepatnya sufisme—menghiasi bait-bait secara menyeluruh dalam serat ini.

Ada beberapa pakar yang telah mengeksplorasi, khasanah literatur pesantren yang memenuhi wajah Centhini secara keseluruhan. Dr. Soebardi, misalnya, dalam sebuah International Conggress of Orientalist di Australia tahun 1971, telah banyak membahas ihwal ini. Saya hanya akan mengulang temuan-temuannnya.

Suluk Centhini sebenarnya adalah cerita tentang “santri lelana”, santri yang mengembara. Tokoh kuncinya bernama Syekh Amongraga (Jayengresmi) selain tokoh-tokoh lain seperti Ki Baji panutra, Rancangkapti, Ken Tambangraras beserta pembantunya (cethi abdi) bernama Centhini, maupun tokoh bernama Jayengraga. Tokoh kunci Amongraga bersama dua saudaranya Jayengsari dan Niken Rancangkapti ini adalah anak keturunan Sunan Giri III (Giri Prapen) yang terpaksa harus meninggalakan kedaton-nya, saat penyerangan Sultan Agung dan Pangeran Pekik Surabaya, yang membuat kocar-kacir seluruh keturunan Giri.

Centhini dengan sangat apik melukiskan bagaimana tiga keturunan Giri bersama beberapa santri yang mendampinginya bisa lolos dari peperangan, saling terpisah, dan mengembara menelusur ke seluruh penjuru Pulau Jawa. Arah pengembaran yang berbeda dari ketiga keturunan ini justru memberi lanskap cerita yang kaya akan tradisi, topografi, busana, musik, bahasa, paramasastra, etika, katuranggan, petung, etika, erotisme, gaya hidup, serta khasanah “ngelmu” Jawa. Syaikh Amongraga sebagai tokoh kunci misalnya digambarkan sebagai “santri” sekaligus “guru” Islam yang mengembara menyusuri pertapaan, petilasan, gunung, hutan, gua, candi, dan pesantren di seluruh daratan pulau Jawa, setelah peristiwa penaklukkan Kedaton Giri. Ia menyusuri tempat suci dan pesantren Jawa ke arah barat hingga sempat berguru pada Syeikh Karang, Banten, Jawa Barat, kemudian menyusur hingga ke Timur menemui Ki Baju Panurta, dan sempat menyesap seluruh ilmu dari Guru pesantren di Wanamarta ini (Jawa Timur), dan menikahi salah satu anaknya Ken Tambangraras, serta selanjutnya memutuskan meninggalkan istrinya untuk mengembara ke pedalaman Jawa Timur, bersambung mengunjungi tempat suci, gua, petilasan, serta menemui para pertapa, ajar, wiku, dan guru-guru pesantren ke pedalaman Jawa Tengah selatan.

Hasil yang kita bisa baca, terbingkai dari cerita dari latar berbagai Pesantren kampung dan Perdesaan di sepanjang dataran pulau Jawa yang bisa dibayangkan di abad 17, Centhini merajut jalinan tenun verbal beribu-ribu helai pemikiran, adat, kebiasaan, sejarah, dan kesusasteraan, dan mistisisme ke-Islam-an Jawa. Atau secara ringkas bisa dikatakan, Centhini adalah—mengutip Nancy K. Florida—“untaian indah khasanah ‘ngelmu’ dunia pesantren Jawa yang kaya di abad 19 awal”.

Suluk Centhini sebenarnya adalah cerita tentang “santri lelana”, santri yang mengembara.

Selain itu, dalam babak-babak awal pengembaraan Syeikh Among Raga, Centhini memberi tekanan lebih pada kualitas spiritual tokoh ini—dengan memberi nama panggilan “syeh”—melebihi Ki Baju panurta, Ken Tambangraras, juga Djayengraga, yang berturut-turut merupakan tokoh-tokoh agama yang begitu dipandang di komunitas santri Desa Wanamarta. Gelar ini merujuk kualitas seperti digambarkan secara baik dalam Centhini, ihwal penguasaan disiplin ilmu-ilmu keislaman utama seperti “Fikh” (hukum Islam), “Usul” (Teologi Islam), dan mistisisme (tasawuf).

Bahkan tidak hanya dianggap santri-guru terpelajar yang taat menjalankan sholat lima waktu, melainkan Amongraga juga digambarkan santri yang cakap membaca Qur’an, mengutip Sunnah, dan menjalankan dzikir. Ia lebih dari semua, merupakan “santri-guru” par-excellent yang telah menyesap pengetahuan rahasia “ma’rifat” (mistisisme) Islam.

Beberapa kitab dalam khasanah pesantren yang beberapa kali Syeikh Amongraga sebut dalam bait-bait Centhini, khususnya dalam bidang Fikh diantaranya Mukarrar, Sudjak, Kitab Ibnu Kajar, Ilah, Sukbah, dan Kitab Sittin. Selain kitab-kitab Fikh, Syeikh Amongraga juga menyebut beberapa kitab dalam bidang Teologi (Usul) dalam bait-bait Centhini diantaranya, Semarakandi, Kitab Durat, Talmisan, Asanusi, Patakul Mubin, Bayan Tasdik, Sail, and Djuahiru. Selain Kitab Fikh dan Kalam (teologi), pada bait-bait Centhini juga beberapa kali menyebut kitab-kitab tafsir Qur’an seperti Tepsir Djalalen (“Tafsir al-Jalalaini”) Tepsir Baelawi (“Tafsir al-Jalalaini”). Baik kitab fikih, usul, maupun tapsir yang disebut di awal sebagian (besar) hingga hari ini masih dipelajaari di pesantren-pesantren kita.

Selain itu, dalam Serat Centhini juga disebut kitab tasawuf yang merupakan dasar ajaran “Kesempurnaan Hidup” yang menjadi puncak ilmu makripat Jawa, diantaranya Ulumuddin, Adkia, dan Kitab Insan Kamil. Kita dengan sangat mudah mengidentifikasi Ulumuddin sebagai nama Arab kitab “Ihya’ Ulumuddin” karya masterpiece Hujjatul Islam Al-Ghazali (1111 M). Kitab ini sangat popular dalam lingkungan pesantren hingga hari ini. Khusus terkait bab etika yang dijelaskan di sepertiga kitab ini malahan begitu popular. Kiai Saleh Darat Semarang (gurunya Kartini) misalnya pernah membuat ringkasannya dalam aksara Jawa pegon. Bahkan di tahun 1936, seorang Kiyai Hardjadarsana Purwokerta menggubah ringkasan ini dalam bentuk tembang dengan nama Serat Mundjijat.

Untuk Adkiya, sebagaimana disebutkan dalam Centhini sebenarnya merujuk judul kitab “Hidayat al-Adhkiya’ ila Tharïk al-Auliya’ (Petunjuk Orang-orang Pandai atas Jalan Para Wali), yang dikarang oleh Zain al-Din Ali al-Malaibari (1522 M).

Sedangkan terakhir Kitab Insan Kamil tidak lain adalah kitab yang dikarang oleh ‘Abd al-Karim b. Ibrahim al-Djïlï (antara tahun 1406-1417 M), dengan judul lengkap ”al-Insan al-Kamil fï Ma’rifat al-Awakhir wa’l-Awa’il”I. Manuskrip kitab ini pernah ditemukan di Banten. Kita tahu, Kitab “Insan Kamil” adalah usaha ekplisitasi ajaran wahdatul wujudnya Syaikh Ibn Arabi yang tersohor itu. Setidaknya, melalui karya murid Al Jilli, Al Burhanfuri, yang berjudul “Tuhfatu al-Mursalah ila ruh an-Nabi” yang banyak beredar di Nusantara, gagasan wahdatul wujud ibn Arabi menyebar ke Aceh dan Sumatera, serta menghiasi hampir secara menyeluruh gagasan pandangan dunia “manunggaling Kawula Gusti” di banyak literatur mistik Jawa.

Seluruh literatur pesantren yang disebut dalam Centhini di atas, sungguh menegaskan posisi Tokoh kunci Amongraga, yang begitu mekankan keseimbangan harmonis “sarengat” (syari’a) dan “tarekat” (thariqa) di satu sisi, “hakekat” (Haqiqa) dan “makripat” (ma’rifah) di sisi lain. Ia menunjuk “Syaria” dan “ma’rifa” sebagai “wadah sakalir”, sedangkan Ma’rifa dan Haqiqa sebagai “buah/biji anugerah” (widji nugaraha). Biji yang ditaruh di tempat yang tidak layak, hanya akan menjadikan kemurahan Tuhan tak lagi berarti. Oleh karenanya biji dan wadah adalah sesuatu yang tak terpisahkan. Hubungan harmonis antara keduanya akan mengantarkan pada kesempurnaan hidup (kasidan), atau sering disebut dengan “ngelmu kasampurnan”.

Namun lagi-lagi, warisan khasanah “ngelmu” yang terajut indah dalam Serat Centhini—yang senyatanya merupakan warisan khasanah Pesantren yang begitu berharga, tidak lagi diakrabi oleh santri-santri pesantren hari ini di satu sisi. Dan si sisi lain, orang-orang Jawa yang masih menekuni khasanah ngelmu ini begitu kewalahan menafsirkan term-term mistik Islam di dalamnya. Dan akhirnya, saya tak terlalu tahu, kapan kedua kelompok ini saling bersapa dan bekerjasama.

Wallahualam.

***

Kita tahu, terdapat suatu wawasan, bahkan mungkin suatu gagasan telah diciptakan dalam wacana sejarah perkembangan Seni rupa di Indonesia. Jika kita lihat fenomena lika-liku perjalanannya yang dinamis selama ini. Dimulai sejak deklarasi avant-gardis Sudjojono dan kawan-kawan yang menggugat dan menentang “Mooi-Indie” sebagai seni rupa penjajahan kolonialisme. Seiring dengan era kebangkitan Nasional, mereka meyakini seni rupa adalah alat (baca: media) atau senjata perjuangan untuk melawan penjajahan, demi kemerdekaan.

Bagi mereka, Mooi-Indie hanya banyak melukiskan tanah jajahan nan indah. Tentang sawah dengan padi menguning di bawah pemandangan gunung yang kebiruan. Sehingga pantas saja dan wajar jika para seniman Mooi-Indie kebanyakan adalah pendatang dari negeri Belanda yang ingin melihat tanah jajahan selaku turis.

Seiring dan searah dengan kebangkitan nasional. Di mana mulai merebaknya partai-partai berdiri. Sudjojono dan kawan-kawan mendirikan organisasi PERSAGI pada tahun 1937. Dengan tokoh-tokoh anggota lainnya antara lain seperti Agus Djaja, Setijoso, Suromo, Abdul Salam dan Emiria Sunassa.

Mereka tahu, sebelum abad ke-20, kepeloporan Raden Saleh (1814-1880) sudah dengan berani mulai merintis perjuangan ke arah kemerdekaan. Dapat ditandai dengan dua karyanya yang masyur “Penangkapan Pahlawan Diponegoro” dan ” Pertarungan Banteng melawan Harimau”. Meski masih tertindih dan dinaungi dalam bayangan alam penjajahan kolonialisme yang bercokol selama tiga setengah abad tapi ruh perjuangan untuk mendapatkan kemerdekaan telah mulai merasuk dalam khasanah seni rupa Indonesia pada masa itu.

Hingga setelah kemenangan revolusi kemerdekaan Agustus 1945. Sebagai buah hasil perjuangan PERSAGI, gaung kebangkitan dalam seni rupa kita semakin merebak. Kian bertambah kokoh, setelah diperkuat oleh hadirnya tokoh-tokoh seniman pejuang lain seperti Affandi, Hendra Gunawan, Sudarso, Dullah, Trubus, Surono, Harjadi, Soedibio, Otto Djaja, Rusli dan banyak lagi.

Mereka punya andil dalam peran memenangkan Revolusi Agustus 1945. Dapat dibuktikan semisal antara lain dengan karya lukisan Sudjojono “Sekko, Pemuda Gerilya”, “Penganten Revolusi” Hendra Gunawan, “Mengatur siasat” Affandi dan “Kekejaman Serdadu Kolonialis Belanda” Dullah.

Apakah mereka membuahkan deklarasi perjuangan seni rupa setelah berada di era kemerdekaan? Ketika semangat euforia kemenangan revolusi tengah menyala-nyala di dada juang mereka ?

**

Nah, karena beriringan dengan masa awal bergolaknya Perang Dingin, setelah Perang Dunia Ke-II (1939-1945) usai. Pertarungan sistem ideologi dan politik global dunia antara blok kapitalisme yang diwakili terutama oleh Amerika dan Inggeris melawan blok Sosialisme yang dipelopori oleh Uni Sovyet dan RRT.

Maka yang menonjol ketika itu adalah pertarungan dua ideologi yang dibawa oleh negara-negara yang terlibat dalam Perang Dingin. Pengaruhnya juga terjadi pada lini kebudayaan di negeri kita. Dampaknya adalah dikotomi pertentangan dan pergumulan antara Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) versus Manifes Kebudayaan (Manikebu).

Jika secara garis besar dan spesifik, Lekra digambarkan mengusung seni untuk rakyat” dan “politik sebagai panglima”, yang ejawantahnya di bidang seni rupa akhirnya melahirkan aliran “realisme” dengan maksud agar mudah dicerna dan dimengerti oleh rakyat.

Maka Manifes Kebudayaan (Manikebu) membawakan  seni untuk kemanusiaan dengan paham “Humanisme Universil”. Di bidang seni rupa lebih menonjolkan kebebasan berkarya, yang ternyata banyak didominasi oleh aliran “seni abstrak”.

Dengan demikian, bagaimanapun para senimannya terseleksi oleh kristalisasi dan konsolidasi pemahaman keberpihakan masing-masing. Tidak lepas dari pengaruh pertentangan politik dan ideologi global Perang Dingin. Misalkan kecenderungan per-zona wilayah lingkungan yang berkembang, jelas dalam hal ini relatif saling berbeda.

Di Yogya, seni rupa realisme lebih banyak dikembangkan oleh para seniman pejuang. Yang kemudian  setelah berdirinya ASRI tahun 1950, ajaran realisme mereka lebih mendominasi dikalangan anak didiknya. Ketimbang ragam aliran-aliran dekadensi lainnya dari pengaruh Barat, mengalir melalui Sticusa, akibat hasil kompromi dari perundingan Indonesia-Belanda lewat Konferensi Meja Bundar tahun 1949.

Selain ASRI yang berdiri tahun 1950. Di sini, merebak sanggar-sanggar, wadah komunitas bagi para seniman berkumpul secara guyub. Di samping sebagai bengkel kerja berkarya, sanggar menjadi tempat berdiskusi dan lain-lain, juga sekaligus buat tempat tinggal mereka.

Misalkan Seniman Indonesia Muda (SIM), Pelukis Indonesia (PI), tak ketinggalan Pelukis Rakyat –yang merupakan sanggar yang paling menonjol kala itu. Kemudian menyusul sanggar kumpulan para mahasiswa ASRI, seperti Sanggar Bambu dan Sanggar Bumi Tarung (SBT). Serta banyak lagi sanggar gurem lainnya yang menjamur.

Jika dikaitkan dengan suatu kelahiran atau semacam suatu deklarasi. Maka lampu sorot harus diarahkan pada tokoh pendiri utama dan pimpinan SBT: Amrus Natalsya, yang  menyatakan secara vokal di tahun 1960-an, bahwa SBT adalah sanggar Lekra yang berjuang untuk ikut serta berperan aktif demi memenangkan Revolusi Agustus 1945. Membela soko guru revolusi.

Mereka punya wawasan dan gagasan aliran seni realisme dari metode kreasi “1-5-1” yang pada intinya merupakan pembeda dari “realisme sosialis” Uni Sovyet dan RRT serta pembeda dari “realisme sosial” yang dibawakan oleh para seniman senior sebelumnya, sejak masa PERSAGI.

Begitu pula fenomena perkembangan yang terjadi di ITB seni rupa di Bandung. Beda lagi gaya dan daya penampilannya. Termasuk atmosfer langgam pergaulan hidup para senimannya yang cendrung lebih modern dalam tataran perorangan individu masing-masing. Karena peran Ries Mulder sebagai pelopor yang merintis seni rupa modern di ITB seni rupa Bandung. Maka alur pengaruh modernisme Barat Ries Mulder yang meadopsi gaya ala kubisme Picasso begitu dominan getarannya di sini. Semula terkaca pada kebanyakan karya tokoh-tokoh seniman pelukisnya seperti Ahmad Sadali, Boet Mochtar, Mochtar Apin, Srihadi, Popo Iskandar, Barli, Sunaryo dan AD Pirous. Walaupun dalam prosesnya mereka kemudian relatif menemu gaya individu masing-masing yang kembali mengakar.

**

Pada masa itu, di sekitar tahun 1960-an, tatkala berada dibawah pemerintahan “demokrasi terpimpin” Presiden Soekarno yang progresif revolusioner.

Tataran kredo “kepribadian nasional” di bidang kebudayaan begitu peka (sensitif) untuk bereaksi secara vokal, sehingga segala kegiatan yang berbau dan bernuansa Barat, mudah menjadi sasaran serangan kritik.

Sekitar tahun 1963, dalam seminar seni rupa di Pekan Kesenian Mahasiswa (PKM) di Denpasar, Amrus Natalsya mengatakan menolak dengan keras “westernisme” dalam pembentukan seni rupa Indonesia. Semacam suatu polemik kemudian terjadi, di mana pelukis Oesman Effendi di Jakarta pernah menyatakan : “Tak ada seni rupa Indonesia, yang ada semua berasal dari Barat”.

Uniknya, segaris dengan pendapat Amrus yang ingin Indonesia berpijak di atas kaki sendiri dengan jati diri (identitas)nya. Pelukis Gregorius Sidharta yang saat itu menjadi dosen ITB, menulis surat kepada kawannya, berkata : “saya ingin mencari dan menemukan nilai-nilai Indonesia”.

Jadi Amrus dan G. Sidharta sebenarnya berupaya membentuk karakteristik ciri khas karya seninya yang bernuansa ke-Indonesia-an. Dengan menggali unsur-unsur tradisional yang berurat dan berakar lama di kehidupan rakyat Indonesia. Terutama yang banyak terdapat dalam ragam hias, ornamen, dan totem-totem patung primitif.

Puncaknya, dampak dari perubahan total ini kemudian terjadi setelah pergolakan peristiwa “G30S 1965”. Lekra lengser tergusur rezim otoriter Orde Baru yang berkuasa. Sedangkan “Manikebu” yang dikatakan orang telah menikmati kebebasannya sendiri tanpa saingan, nasib keberadaannya pun semakin kurang jelas dan tak menentu, dibenamkan oleh hiruk pikuk kekuasaan Orde Baru yang kian otoriter. Mereka juga akhirnya menjadi korban penindasan rezim.

Pertanda yang menyolok dari perkembangan senirupa dibawah sistem kekuasaan rezim Orba adalah mulai tumbuh menjamur galeri-galeri dan art-shop. Tentu saja pameran-pameran senirupa yang bernuansa komersial akhirnya merebak melalui peran “kurator” ring satu rezim, selaku pihak yang dominan menentukan pilihan secara selektif. Para kolektor yang dekat dengan pemimpin saat itu pun semakin merajalela, seiring dengan adanya Balai lelang dan Biennale yang sering diselenggarakan.

Gejala ini dimungkinkan dengan melonjaknya situasi ekonomi Orba. Oleh dibukanya kran bantuan ekonomi asing yang mengandalkan utang melalui dana monoter dunia seperti Bank Dunia, IGGI, IMF dan lain-lain, disamping investasi modal asing kian terbuka lebih menganga.

**

Namun secara politik, ketika sistem kekuasaan Orba semakin otoriter, tentu kian lama menimbulkan tantangan  reaksi dan protes perlawanan dari massa rakyat. Terutama di sekitar tahun 1974, peristiwa Malari akhirnya meledak. Hal ini merupakan awal kebangkitan dari kepeloporan Gerakan mahasiswa yang berdemonstrasi menentang rezim penguasa yang otoriter. Apalagi ketika rezim penguasa semakin represif memberlakukan “depolitisasi” di kampus-kampus. Maka di bidang gerakan mahasiswa seni rupapun terjadi dinamika perlawanan. Dengan mengusung prinsip wacana dan wawasan yang tak lepas mengacu kepada lahirnya berbagai deklarasi perjuangan.

Dengan cerdas taktik perjuangan mahasiswa seni rupa dalam perlawanan pun dimulai. Mereka melakukan kritik sosial dan protes terhadap penguasa melalui berbagai trik dan manuver seni.

Misalkan mereka yang menghimpun diri lewat “Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB)” dengan para tokohnya antara lain Hardi, FX Harsono, Bonyong Munnie Ardhie dan Ris Purwana. Melakukan protes terhadap petinggi birokrat institusi mereka sendiri. Lahirlah karya-karya eksperimen yang lebih bernilai pembaruan. Seperti mengingatkan apa yang dicapai pada gerakan pembaruan seni rupa di Amerika dan Eropa tahun 1960-an. Dengan lahirnya aliran-aliran seni rupa baru seperti Dadaisme, Pop-art, dan Surealisme.

Melalui berbagai manuver dan deklarasi yang mereka lakukan, antara lain di samping GSRB, pernyatan “Desember Hitam”, “Kepribadian Apa?” dan tajuk “Nusantara-Nusantara”. Gerakan mereka akhirnya meluas melalui penyelenggaraan pameran Gerakan Seni Rupa Baru di TIM tahun 1975 yang diikuti pula oleh para seniman dari Bandung dan Jakarta.

Begitu pula seperti para pelukis muda “surealisme Yogya”, yang terdiri antara lain Ivan Sagito, Dede Eri Supria, Agus Kamal, Effendi, dan Lucia Hartini. Karya-karya mereka melontarkan kritik-sosial, melalui sentuhan permainan “absurditas” yang menyelubungi gaya “si uper-realis”  mereka yang intens.

Kemudian tampil seorang radikal dan militan, bernama Semsar Siahaan, dengan manifes deklarasinya “seniku, seni pembebasan”. Pelukis muda yang pernah mengikuti pendidikan selama setahun di San Francisco Art Institute ini. Ketika kuliah di ITB seni rupa Bandung, sempat bikin heboh dengan membakar patung “Irian dan Torso” karya dosennya Sunaryo, sebagai pernyataan protes terhadap apa yang dianggapnya sebagai suatu eksploitasi atas eksotisme patung asmat rakyat Papua.

Semsar bersama komunitas para perupa muda yang tergabung dalam “Taring Padi” mengusung semangat perjuangan dari apa yang telah ditempuh para pendahulunya. Seperti pengalaman gerakan seni rupa Sanggar Bumi Tarung (SBT) di tahun 1960-an.

Pasca Reformasi 1998 telah bertambah tumbuh merebak komunitas seni rupa progresif lainnya, Seperti antara lain Jaringan Kesenian Rakyat (Jaker), Jaringan Kerja Budaya (JKB), Sebumi,  dan Galeri Rupa Lentera di Atas Bukit.

Taring Padi, uniknya selain menonjolkan kebersamaan dalam komunitasnya. Nama perorangan mereka jarang ditampilkan. Tapi disamping Semsar, bisa kita sebut nama-nama mereka. Antara lain Mulyono, Yustoni Voluntero, Surya Wiryawan, Yohanes Adrianus Iswinarto dan Ibob Su su. Mereka lebih suka berpameran di lingkungan kaum tani di pedesaan. Tema-tema perjuangan yang penuh perlawanan atas ketidakadilan dan penindasan menjadi ciri khas dan karateristik karya-karya mereka.

**

Nah, hingga di sini secara garis besar, kita dapat menandai dari kilas balik dinamika perkembangan sejarah seni rupa kita. Buat kita baca secara kritis dan obyektif.

Bahwa di antara situasi gejolak dikotomi pertentangan politik hingga kepada masa rehat dalam status-quo sekalipun. Relatif tetap hidup semangat mempertahankan harga dan jati diri (identitas) bangsa. Rasa nasionalisme cinta tanah air, tegak berdiri diatas dua kaki, dengan jiwa kepribadian kita sendiri.

Seperti apa yang telah dan pernah dirintis oleh kepeloporan Raden Saleh dan Soedjojono dan kawan-kawan, sejak sekitar seabad yang lalu. Berlanjut di era ketika Amrus Natalsya dan G. Sidharta yang kita anggap mewakili zamannya. Hingga di era globalisasi sekarang ini.

Saat salah seorang pelukis kontemporer Edopop terinspirasi untuk tetap mengatakan kepeduliannya kepada bahasa seni rupa yang berlatar belakang lingkungan dan budaya sendiri. Kita tahu dihadapan kita, kini terpampang tanda tanya besar, “quo-vadis senirupa kita”. Mau kemana arah senirupa kita kini berjalan!?

Ketika negeri-negeri yang sedang berkembang merupakan nasion-nasion terpinggirkan dalam persaingan global.Tinggal layaknya “bebek lumpuh (lame-duck)” yang siap pakai sebagai sasaran empuk buat diubah alias disunglap menjadi negara-negara “boneka” satelit mereka. Bayangkan jika kita menjadi sebuah negara duplikat asing, tanpa jati diri (identitas) bangsa berjiwa kepribadian sendiri?

Jika kita kini berada dalam sikon dan konstelasi yang kian rawan (untuk tidak dikatakan parah) seperti dalam istilah yang sering digambarkan oleh para seniman kontemporer itu sendiri. Negeri yang penuh dengan carut marut, imbas “Art-Word” yang multi dimensi.

Sinar harapan seperti yang pernah dibayangkan dan diimpikan oleh para seniman senior “old-master” seperti yang terurai tersebut di atas menjadi tak berarti lagi. Maka sudah barang tentu harapan semacam itu. Semakin redup memudar ditelan masa.

Berdasarkan kedudukan kita sebagai negara berkembang di tengah era globalisasi sekarang ini. Jelas betapa sulit menggambarkan “romantisme kehendak” atau hasrat keinginan kita untuk kesana lagi.

Seperti mencari jarum dibawah tumpukan jerami, jalan perjuangan yang harus kita tempuh hari ini, untuk menegakkan jati diri (identitas) kita yang tampil beda, di tengah kesetaraan khalayak dunia.

**

Tapi biar bagaimanapun, jiwa dan semangat nasionalisme cinta tanah air (patriotisme) wajib dibangkitkan dengan penuh percaya diri.

Pesatnya kemajuan tehnologi yang membadai di era globalisasi merupakan tantangan berat yang harus kita lawan. Derasnya arus globalisasi memang semakin menggerus orisinalitas kemanusiaan dan mutu nilai-nilai kemurnian kearifan lokal yang telah kita miliki. Namun, itulah tantangan kita hari ini.

Sebagai contoh kecil yang sederhana. Dalam bidang senirupa penggunaan proyektor dan digital printing sebagai alat kemudahan berkarya, kini kian merebak. Sehingga sentuhan ketrampilan dan kepiawaian jari tangan seniman selaku bakat alam, seakan perannya tak begitu berarti dan berfungsi lagi.

Kemudian contoh kasus lain: secara ekonomis, memang benar jika harga karya lukisan seorang pelukis muda kontemporer Nyoman Masriadi melejit di balai lelang dunia, hasil karya permainan para pialang seni (baca: broker). Tentu hal itu membuat jurang kesenjangan semakin dalam, bila dibandingkan dengan harga karya lukisan para seniman gurem pegiat sosial. Itulah dampak gesekan persaingan sistem kapitalisme yang merasuk keranah karya seni rupa kita.

Tentu banyak lagi kendala yang terjadi dalam permasalah seni rupa kita yang menjadi tantangan untuk kita melakukan pilihan terbaik kedepannya. Kearah mana senirupa kita berjalan.

**

Kita tidak harus putus harapan. Kita masih memiliki modal tradisi baik, yang masih mumpuni untuk kita andalkan kedepan.Termasuk pesan dari pengalaman para sesepuh seni rupa kita dalam sejarah yang menghendaki kejayaan seni rupa kita tetap menampilkan ke-Indonesia-an yang bermartabat.

Jika kita tarik proyeksi garis perkembangan seni rupa yang sedang berjalan. Jelas, tidak lepas dari layar kaca petunjuk yang mencerminkan situasi dan kondisi global. Budaya dan seni, khususnya seni rupa, merupakan salah satu wahana media yang reflektif. Mencerminkan keberadaan lingkungan hidup dunia kita yang sebenarnya. Bahkan seorang seniman pemikir besar dunia dari Rusia, pernah mengatakan “seni adalah kaca pembesar dari tantangan zamannya.” Sehingga antara kenyataan dan harapan keberadaan (eksistensi) seni rupa kita akan selalu ada sinergi dan kontradiksi yang mutlak dalam kesatuannya.

Jalan terang selalu masih terbuka dalam celah masa status-quo yang terisi oleh keramahan waktu ini. Demi rasa lega, tenang dan santai selama dalam penantian, kreativitas kerja dalam berkarya di seni rupa jangan sampai tenggelam. Karena perjuangan tak pernah henti…..

***

Pak Wardoyo dan Wayang

https://www.youtube.com/watch?v=Q8ZacExjKuI

Ward William Keeler, adalah seorang expatriat asal Wilton, Connecticut yang sangat cinta dengan Jawa. Ia biasa dipanggil Ward, namun di Jawa ia lebih suka dipanggil Pak Wardoyo. Ia menyatakan bahwa nama Wardoyo itu memiliki makna yang sangat dalam, karena berasal dari bahasa Kawi yang berarti: hati.

Wardoyo tertarik dengan wayang dan uyon-uyon di Jawa, salah satu tokoh yang menginspirasinya adalah Ben Andersons. Menurutnya Wayang kulit Jawa adalah sebuah kesenian yang sangat sakral di Jawa, ketika tahun 1970an ia berkunjung ke Indonesia untuk pertama kalinya ia bertanya-tanya mengapa setiap ada pementasan wayang kulit banyak warga masyarakat Jawa berduyun-duyun menonton? Apa yang menarik dari pertunjukan tersebut? Mengapa semua orang Jawa senang menonton wayang? Pertanyaan-pertanyaan itu yang menjadi pokok pikiran Pak Waryodo yang saat itu sedang menyelesaikan desertasi.

Selama penelitiannya itu, ia menemukan ada perbedaan besar antara Budaya timur dan barat. Pak Wardoyo mengajukan satu tesis berkaitan dengan pemaknaan orang Jawa mengenai “Hierarki”. Jika di Eropa (termasuk Amerika) hierarki difahami sebagai sesuatu yang kurang baik, karena dekat dengan feodalisme –yang tidak disukai orang Eropa– maka di Jawa hierarki memiliki pemahaman tersendiri, yang memiliki ejawantah arti sangat dalam (baca: keadaan kejiwaan tertentu) yang tergambar dari ekspresi-ekspresi tradisi seperti wayang, beksan, dan gending.

Selain di Indonesia Pak Wardoyo juga sempat melakukan riset di Negara Birma, di sana ia juga menemukan suatu pemahaman lokal yang khas –yang hampir sama dengan pemahaman lokal di Indonesia– berkaitan dengan hierarki ini.

Namun, makin ke sini –sebuah kritik bijak dilontarkan oleh Pak Wardoyo– ia merasa kedalaman makna batiniah dari Hierarki di Jawa. Ia tidak lagi menemukan unsur “ning” dalam wayang yang dipentaskan hari ini, bulan ini ia telah menonton wayang sebanyak tiga kali, namun dalam tiga pertunjukan tersebut, ia tidak menemukan pesona yang sama –yang didapatkannya ketika menyelesaikan desertasi dahulu– saat berkunjung pertama kali di Indonesia. Pertunjukan wayang hari ini telah kehilangan jejer, kehilangan gending, bahkan kehilangan “ning” (baca: hening) yang begitu penting dalam wayang kulit.

Ia sangat rindu merasakan kramatnya “ning” dalam wayang kulit, karena ihwal tersebutlah yang memikatnya di tahun 70an. Ketika ia kembali ke Indonesia tahun 90an, ia tak menemukan “ning”-nya lagi.

***

Melengkapi review saya atas buku Prof. Dr. Alfons Van der Kraan, Lombok: Penaklukan, Penjajahan, dan Keterbelakangan (1870-1940), berikut saya mengajukan beberapa tafsiran dari data-data yang ditawarkan Kraan.

Saya pernah berkorespondensi dengan Kraan, terutama soal bukunya ini.  Baginya, bukunya tentang Lombok tersebut merupakan produk dari gairah masa muda seorang sarjana. Maksudnya, bahwa di dalam penelitiannya tersebut banyak hal yang sudah usang secara asumtif maupun teoritik. Singkatnya, banyak hal yang harus direvisi oleh Kraan.

Kraan  mengirimkan satu artikel panjang lainnnya mengenai Lombok, terutama menyoroti sejarah pendidikan modern di kalangan penduduk Lombok sejak zaman penjajahan Belanda sampai menjelang kemerdekaan Indonesia. Hal ini menunjukkan tingkat keseriusan Kraan meneliti Lombok.

Saya pertama kali memperoleh informasi tentang penelitian Kraan mengenai Lombok dari salah satu tulisan dari kumpulan tulisan (almarhum) Kuntowijoyo yang diedit oleh AE Priyono, Paradigma Islam: Interprestasi untuk Aksi (terbitan Mizan). Menurut Kuntowijoyo, penelitian Kraan adalah salah satu contoh penelitian sejarah sosial yang bergizi: datanya padat, ketat, dan banyak. Tetapi bukan berarti tanpa celah.

Para menak Karangasem Bali di Lombok juga berhasil membangun infrastruktur ilmu pengetahuan mereka, seperti ribuan naskah kuno yang mereka koleksi dan perbanyak nantinya disita Belanda dan sebagian dipindah ke pulau Bali.

Sebagai bagian dari generasi muda Sasak, saya tidak ingin naif atau terjebak dalam “poskolonialitas kekanak-kanakan”: menolak semua yang ditulis oleh orang luar (outsider). Berhadapan dengan produksi pengetahuan tentang “kita” oleh “orang luar” adalah suatu keniscayaan zaman. Persoalannya, selama ini kita selalu mencukupkan diri dengan para produsen pengetahuan dari luar itu tanpa memberikan alternatif atau terlibat aktif dalam praksis pengetahuan itu sendiri, terlebih ketika terkait dengan diri sendiri. Artinya sepanjang kita memiliki sikap kritis dan tidak mencukupkan diri dengan penjelasan mereka tentang “kita”, maka interaksi dengan produksi intelektual “orang luar” tersebut akan menjadi suatu yang produktif secara intelektual.

Sejak 1970-an, generasi ketiga dari intelektual dunia yang terlibat dalam dekolonisasi bangsanya menegaskan penolakan mereka tentang ketunggalan sistem nalar dalam memproduksi pengetahuan. Acuan-acuan universalisme dalam pengetahuan telah runtuh dan dianggap hal yang tidak bermoral. Berbeda dengan kritik kaum posmodernis di Eropa yang menolak metanaratif dari nubuat pencerahan Eropa secara internal, kaum dekolonial ini secara nasab tumbuh dari rahim perlawanan politik cum intelektual bangsa-bangsa terjajah. Pada dekade itulah mereka berbicara soal politik pengetahuan (politic of knowledge) yang singkatnya kurang lebih demikian: tidak ada patokan nalar; perayaan atas keragaman nalar; agar bisa menyikapi produksi pengetahuan Barat maka harus menguasainya dengan seksama sampai ke konteksnya (dalam artian luas) sehingga jelas batas kewilayahannya; dan saatnya produk pengetahuan modern dibaca  di dalam koridor tradisi intelektual yang beragam di dunia.

Penelitian Kraan tentang Lombok merupakan salah satu penelitian paling serius tentang Lombok. Kraan memilih suatu fase paling krusial dari terbentuknya masyarakat Lombok modern. Persoalan yang harus digarisbawahi di sini, bahwa penelitian Kraan ini diterjemahkan di tengah sebuah masyarakat yang hampir saja tidak mewarisi catatan sejarah apapun tentang diri mereka. Saya sedikit nyinyir dengan beberapa komentar atas terbitnya terjemahan buku Kraan ini, terutama dari kalangan orang Sasak dan Bali (baik Bali di pulau Bali atau di Lombok), yang mengharapkan keberadaan suatu postur bulat dari historiografi Lombok. Saat ini, seperti terjadi di mana-mana, imaginasi soal sejarah masa lalu sedang menjamur sampai di luar koridor praksis pengetahuan itu sendiri. Biasanya, mereka akan masuk di salah satu kotak: mengglorifikasikan data sejarah yang menguntungkan status quo mereka; atau mereka terjebak dalam mistifikasi atas apa yang mereka bayangkan sendiri sebagai sejarah.

Sementara itu, Kraan sendiri lebih tertarik dengan dinamika penting masyarakat Sasak dalam periode yang sangat krusial, yakni peralihan dari zaman Kolonial Bali Karangasem, masa kembalinya kolonial Belanda, sampai dengan zaman pra-kemerdekaan. Tiga periode yang dianggap produktif untuk melihat masyarakat Sasak hari ini.

Seperti diketahui, Belanda telah menginvensi Bali atau ke-Bali-an secara serius, terutama untuk menyusun Bali sebagai anti-tesa bagi Jawa yang merosot oleh kedatangan Islam. Bali juga disusun sebagai suatu produk kolonial yang paling dihasrati oleh kultur persangkaan kolonial. Kita tidak memperoleh postur bulat dari proses invensi Bali dan Ke-Bali-an ala kolonial tersebut. Tapi praktis baru pada tahun 1894 Belanda mengambil alih kekuasaan dari para penguasa Bali yang sebelumnya dibiarkan lebih leluasa mengelola kekuasaannya jika dibandingkan dengan kalangan yang sama di pulau Jawa. Para penguasa dari Bali Karangasem bahkan melebarkan kekuasaannya sampai ke Lombok. Dalam banyak penelitian disebutkan tentang kekayaan kerajaan Karangasem Bali ini ketika mengendalikan bagian Timur Bali dan Pulau Lombok. Sumber pendapatan mereka dari rebues lintas laut saja sangat besar. Para menak Karangasem Bali di Lombok juga berhasil membangun infrastruktur ilmu pengetahuan mereka, seperti ribuan naskah kuno yang mereka koleksi dan perbanyak nantinya disita Belanda dan sebagian dipindah ke pulau Bali.

Pada sisi lain, hubungan Bangsawan Bali atau orang Bali dengan orang Lombok sangat ambivalen sampai hari ini. Orang Bali menegakkan mentalitas superior mereka karena pernah menjajah Lombok. Mentalitas ambivalen tersebut tidak faktual tetapi merupakan tanda-tanda dari psiko-sosial masyarakat jajahan. Pola ini tidak begitu jelas, terutama soal bentuk kolonial domestik semacam kasus Karangasem Bali atas Lombok. Apakah hubungan antara para menak Karangasem di Lombok dengan masyarakat Sasak hanya hubungan penjajah dengan yang dijajah? Sebagai generasi Sasak yang hidup berhimpitan, bahkan jarak tembok rumah dengan orang Bali Lombok, saya mendapatkan adanya dinamika yang lebih kaya tentang hubungan kedua kelompok masyarakat yang sangat dominan dalam ruang sosial masyarakat Lombok.

Di titik inilah saya melihat kelihaian Kraan, dia mencoba keluar dari sebuah kumparan bola es sejarah orang Lombok dan Bali yang sangat krusial dengan cara mengambil periode lebih akhir dari dinamika masyarakat Lombok yang jelas lebih “ringan” bebannya.

Sejak pertengahan abad 19 Masehi, Belanda mulai khawatir dengan situasi kultur kolonial Eropa yang saling caplok satu dengan lainnya. Kerjasama perdagangan antara kaum bangsawan Karangasem di pulau Lombok dengan sejumlah konsorsium perdagangan Eropa-kolonial, seperti Inggris dan Skandinavia, sangat mengkhawatirkan pemerintah-penjajah Belanda. Mereka mengirim para pengawas perdagangan dan diplomat yang biasanya dari kalangan hadrami Indonesia. Menguatnya kontrol kolonial bersamaan dengan menguatnya persaingan internal puak penguasa Karangasem di pulau Lombok (Cakranegara, Pajang, Pagutan, dan lain-lain). Masing-masing sub-kerajaan memperebutkan monopoli atas tanah dan para penggarapnya (orang Sasak). Kondisi semacam itu membuat posisi orang Sasak semakin terjepit dan lemah sehingga menumbuhkan benih perlawanan di antara mereka terhadap kekuasaan penguasa Karangasem.

Kembali ke beberapa ­uneg-uneg soal buku Kraan:

Pertama, Kraan membangun tesisnya berdasarkan pada tiga kelompok, kelas-kelas sosial di Lombok: Triwangsa (menak Bali), perwangsa (menak sasak/pembesar sasak), petani bebas dan panjak (buruh tani yang tidak memiliki tanah). Soal kelas petani bebas dan buruh tani bisa dikomparasikan dengan pendapat (alm) Ong Hok Ham mengenai kelompok tani yang memiliki tiyang cekap (tanah cukup) dalam konteks Jawa (Rembang, Pati, Blora, dan sebagainya). Kelompok tani bebas inilah dalam konteks kolonial Jawa menjadi “tulang punggung” pemberontakan terhadap kolonialisme Belanda yang pernah ada. Masih menurut Ong, pada pemberontakan Pangeran Dipanegara (Perang Jawa), para batur (kelas paling miskin yang tidak memiliki rumah dan pekerjaan) menjadi tulang punggung pendukung pemberontakan Dipanegara. Dari dua pendapat ini, menurut tafsiran saya, Ong ingin mengatakan bahwa “tulang punggung” pemberontakan dan perlawanan selalu adalah kelas sosial yang paling rendah karena merekalah yang menerima keburukan hidup akibat “ulah” kelas-kelas yang lebih tinggi, maka jarang sekali ada pemberontakan yang ‘ikhlas’ dari kelas ekonomi mapan dalam lintasan sejarah.

Walaupun saya tidak sepenuhnya bersepakat soal posisi para batur dan tiyang cekap sebagai tulang punggung Perang Jawa. Penempatan kaum pariah dalam suatu peristiwa sejarah di negeri ini seringkali menjadi suspen (kejutan yang setaraf dengan isapan jempol) oleh para peneliti asing. Dalam Perang Jawa misalnya, Peter Carey menyebut keberadaan para begundal, tukang garong, dan batur. Tetapi adakah penjelasannya yang lebih bertenaga soal mereka secara lebih detail? Di sini saya selalu kecewa, analisis kelas sosial mereka yang masih “liberal” sebenarnya bagian dari suspen narasi mereka untuk selalu mengabaikan fakta-fakta utama yang mereka hindari, yakni isu  Islam. Dalam kasus Perang Jawa, para peneliti luar sangat bias dalam melihat posisi sentral jaringan tarekat dan pesantren yang menyokong perlawanan Dipanegara.

Kedua, persaingan di antara kelas-kelas sosial tersebut dalam mengakumulasi kekuasaan dalam artian yang luas. Misalnya, Kraan menggambarkan bagaimana “triwangsa” menguasai masyarakat Sasak dengan mengikat para “perwangsa”, dan memberikan kepada mereka hak-hak atas tanah. Jadi, kelompok “kolaborator” di kalangan Sasak yang berperan serta dalam melanggengkan kekuasaan bangsa Bali di Lombok terdiri dari para perwangsa. Hal ini sudah pasti terjadi dalam hubungan “penjajah” dan “terjajah” di manapun. Di Jawa maupun di kawasan lain. Dalam konteks Jawa, bagaimana VOC (sebelum digantikan oleh pemerintah Hindia Belanda) menyuburkan dan menguatkan feodalisme untuk melanggengkan penjajahan mereka. Bahkan VOC-Belanda menambahi beberapa jabatan monarkhis untuk memperkuat pengaruh mereka atas orang Jawa, seperti penunjukan bupati-bupati di sejumlah daerah penting tanpa mensyaratkan “darah biru” untuk jabatan tersebut. Kelompok inilah yang kadang disebut priyayi. Pejabat-pejabat kolonial dari pribumi ini selalu bersikap mendua dalam isu-isu kemerdekaan pada awal abad 19 karena mereka takut kehilangan jabatan kolonial tetapi juga membaca potensi pergerakan nasional pada saat itu.

Dalam sejarah kolonial Indonesia, para kolaborator kolonial ini nantinya menjadi priyayi dan kaum borjuasi nasional yang sangat jarang disinggung dalam catatan sejarah Indonesia. Setahu saya, Indonesia adalah satu-satunya negara paskakolonial yang tidak memiliki catatan tentang kaum borjuasi nasionalnya.

Hal menarik dari Kraan, profanisasi terhadap beberapa istilah seperti triwangsa atau perwangsa. Maknanya disempitkan sebagai suatu kosa-kata feodal semata. Merosotnya kosa-kata kekuasaan lokal disebabkan oleh semakin mapannya bentuk kontrol kolonial terhadap para elit masyarakat jajahan, dan telah menumbuhkan suatu sistem kontrol efektif dengan menempatkan mereka sebagai jongos kolonial. Kuatnya sistem kontrol kolonial biasanya didukung oleh mapannya kontrol pengetahuan kolonial atas masyarakat dan tanah jajahannya.

Ketiga, soal bentuk, formasi, dan motif-motif “congah” (pemberontakan) di kalangan masyarakat Lombok. Congah atau pemberontakan yang ditampilkan oleh Kraan dalam bukunya ingin membantah klaim sejumlah elite Sasak mengenai wilayah kekuasaan mereka. Sampai hari ini sebagian besar para menak Sasak mengklaim bahwa moyang mereka memiliki wilayah kerajaan seperti luasnya kerajaan ala Jawa yang dengan sendirinya mengandaikan adanya stabilitas sosial, politik, ekonomi, dan Budaya pada masa sebelum Bali datang ke Lombok. Jika klaim ini benar, lantas kenapa pemberontakan-pemberontakan yang terjadi bersifat sporadik dan tidak menggambarkan bahwa mereka memiliki struktur (tidak saja fisik) pada masa sebelumnya sehingga soliditas kaum pemberontak sangat lemah. Hal ini, jika dibandingkan dengan pemberontakan-pemberontakan dalam konteks Jawa benar-benar tidak sama bentuk, formasi, dan motifnya. Kembali pada pemberontakan Dipanegara misalnya, terlihat sekali bahwa pemberontakan ini berjalan lama, sekitar lima tahun karena dukungan yang kuat dari kelompok sosial bawah sampai atas dengan mengandalkan struktur sosial Jawa yang sangat kuat pada saat itu.

Di Lombok ada proses glorifikasi historis yang sangat fanatik akan posisi ke-menak-an, seakan mereka bersih dan tidak pernah memiliki catatan hitam dalam sejarah.

Keempat, sebagai lanjutan dari yang ketiga, Kraan ingin menunjukkan bahwa formasi ke-menak-an yang dikenal sekarang di Lombok lebih banyak dibentuk pada masa penjajahan efektif Belanda. Terutama kelompok “perwangsa” yang menduduki posisi sebagai kepala distrik. Kepala-kepala distrik pada masa Belanda inilah yang paling banyak membentuk formasi ke-menak-an pada masa sekarang, yang tentunya tidak bisa digeneralisir. Delapan kedistrikan dengan sembilan kepala distrik utama, ditambah dengan empat kedistrikan di wilayah Lombok Barat dapat ditelusuri jejak-jejaknya pada keluarga-keluarga bangsawan yang menempati posisi elit politik saat ini. Karena posisi status quo mereka berlanjut sampai pada masa paling nyaman, masa Orde Baru.

Ada satu fakta miris yang diungkap oleh Kraan saat Belanda datang ke Lombok (sekitar 1894), bagaimana para perwangsa datang ke kepala pasukan Belanda setiap hari, saat itu di Cakranegara, untuk mencari muka agar mendapatkan posisi penting pada masa penjajahan Belanda. Para perwangsa datang untuk minta “jatah” kepada Belanda. Hal yang sama juga dilakukan oleh para triwangsa. Sempitnya motif politik para perwangsa berefek buruk dengan dikembalikannya seluruh tanah orang Bali yang sempat diambil oleh para petani (petani bebas dan panjak) yang dulunya menggarap tanah-tanah druwe dalem milik perwangsa. Hal itu terjadi pada tahun keempat penjajahan belanda di Lombok pada masa residen Liefrinck.

Memang hal yang aneh di kalangan menak Sasak saat ini ketika tidak mau mengungkap posisi mereka sebagai kolaborator penjajahan pada masa Bali maupun Belanda. Kalau kita dibandingkan dengan para bangsawan Jawa, narasi kerjasama Belanda dengan para bangsawan menjadi kajian dan diskursus umum. Di Lombok ada proses glorifikasi historis yang sangat fanatik akan posisi ke-menak-an, seakan mereka bersih dan tidak pernah memiliki catatan hitam dalam sejarah.

Kelima, Kraan menghabiskan hampir sebagian besar energinya untuk memberikan gambaran mengenai penderitaan para petani: baik petani bebas maupun panjak (slave). Dalam bagian ini, kajian Kraan soal struktur kolonialisme sudah terhitung maju. Kalau kita merujuk kajian yang dilakukan Walter D. Mignolo soal struktur penjajahan orang putih terhadap para pribumi dan para budak impor dalam membentuk dan mematangkan kapitalisme putih, maka kajian Kraan yang fokus pada nasib buruk petani Sasak sangat membantu dalam melihat struktur kolonial Bali dan Belanda, terutama soal penjajahan Bali atas Lombok. Selama ini dikatakan bahwa penjajahan Bali sama dengan model penguasaan raja Jawa atas kerajaan tetangganya. Kraan menunjukkan bahwa keberadaan kerajaan Bali di Lombok berada pada masa krusial, yakni era perdagangan yang sangat maju. Kraan meyakini bahwa raja-raja Bali yang ada di Lombok termasuk raja-raja yang kaya raya di kawasan Timur Indonesia pada saat itu. Kekayaan mereka diakumulasi dari pajak yang sangat mencekik (dalam konteks Jawa hal ini dianggap biasa saja), peron luat, dan perdagangan sangat maju. Pencapaian dalam bidang perdagangan yang maju itulah yang menjadi salah satu motif penting Belanda mau mengintervensi penjajahan Bali di Lombok.

Keenam, soal struktur sosial masyarakat Sasak sebelum kedatangan Bali Karangasem ke Lombok. Apakah benar atau faktual ada kerajaan-kerajaan pra-Bali di Lombok, seperti Langko, Bayan, Selaparang, Pejanggik, Kahuripan, Kerekok, Memelak dan sebagainya? Kraan tidak mau berdebat soal ini. Dia membangun andaian demikian: terdapat beberapa desa otonom di Lombok Pra-Bali. Setiap desa otonom memiliki para pemuka yang membawahi petani bebas dan buruh tani. Desa otonom ini tidak terlalu luas. Artinya, tidak seluas “kerajaan” dalam bayangan orang Sasak saat ini tentang masa lalu mereka. Sebuah desa otonom bisa seluas kelurahan dalam konteks sekarang atau mungkin lebih kecil lagi.

Poin ini mengingatkan pada asumsi alternatif mengenai lema kedatuan dan kerajaan. Para datu bisa saja bukanlah para raja seperti dalam imaginasi modern atau kaum feodal kesiangan. Para datu adalah mereka yang dihormati karena kualitas personal dan kemampuan mereka memberikan kebaikan bersama bagi orang di sekitarnya. Para datu diteladani karena wibawa dan otoritas ruhani mereka, bukan karena semata perangkat kekuasaan politik mereka.

Sepintas persoalan desa otonom yang diajukan Kraan menarik, padahal pendapat seperti itu mengikuti saja pendapat para sejarawan Barat mengenai kerajaan-kerajaan di Indonesia. Misalnya, tesis Sutherland mengenai basis kerajaan-kerajaan besar di Nusantara yang berbasis pada desa otonom. Persoalannya, apakah desa otonom dalam konteks Sasak pra-Bali sudah sebesar wilayah desa otonom dalam konteks Jawa yang kemudian dijelmakan menjadi kerajaan-kerajaan besar? Kalau mengikuti narasi (alm) Pak Pram dalam naskah Mangir, maka sangat jelas bahwa desa otonom dalam konteks Sasak Pra-Bali sebesar perdikan “Mangir”. Dalam naskah Mangir, saya menghargai poin soal bagaimana Pak Pram meratapi hancurnya otonomi desa dalam sejarah Jawa. Dari gambaran semacam ini, jelas sekali bahwa salah satu kelemahan para Indonesianis adalah ortodoksi, yakni kesenangan mereka merawat ide-ide pendahulu mereka tanpa pernah mau membangun teori baru berdasarkan fakta-fakta yang mereka kaji. Kraan dalam konteks bukunya ini banyak sekali mendaur ulang kajian-kajian para Orientalis dalam bidang sejarah ketika berhapan dengan fakta-fakta sejarah di Jawa.

Masih banyak sekali yang dapat kita tafsirkan dari kajian Kraan yang sangat studious ini, misalnya data-data perpajakan yang sangat kaya. Banyak sekali, dan alangkah baiknya memang buku Kraan ini dibaca langsung ke teks Inggrisnya. Wallahu’alam.