Menu

Indonesia

Sore menjelang malam dan toko wallpaper saya di Gading Serpong menjadi sepi. Di luar gelap gulita: angin kenceng dan hujan lebat. Pikir pulang pada sore hari yang tidak bersahabat ini membuat saya resah. Langganan tidak ada. Rupanya sore ini akan saya tutup awal supaya anak buah saya bisa pulang tidak terlalu malam. Tapi Takdir tidak menghendak demikian! Baru pikir mau tutup awal, tiba-tiba datang seorang laki-laki berambut cepak memakai moto-cross (trail bike) yang 250 cc. “Kok aneh!” pikirku, Si lelaki bermotor gede ini tidak berminat membeli apa-apa! Ia tidak tertarik memilih wallpaper buatan Korea atau tegel buatan Italia, tapi datang untuk nongkrong saja di bawah bagian atap depan toko saya. Di sana ia cari tempat teduh untuk berlindung dari hujan yang semakin deras. Siapa sosok yang misterius ini?

Anak buah saya, Jaenal, menegor saya: “Ayo! Mr Peter, ajak masuk dong! Kasihan kalau dia tetap di luar! Pasti kehujanan dan terguyur basah!”

“OK, Jaenal, suruhlah masuk! Cepatlah!” Lelaki setengah baya masuk dengan kesan kikuk seperti sama sekali tidak merasa nyaman.

Waktu saya menatap muka dan cari tahu siapa tamu baru ini, Jaenal berbisik keras di telinga saya: “Mr Peter! Awas! Lihatlah di paha sang tamu ada pistol semi-otomatis!” Mata saya langsung bergeser kepada Glock 17 9x19mm buatan Austria isi standar untuk Pasukan Gegana yang diikat kepada kaki atas sang lelaki. Saya merinding! Mau memberi pelindungan, datang seorang polisi anti-teror! Seketika Gading Serpong beralih menjadi zona amat tidak nyaman di benih otak saya!

Apa yang sedang terjadi? Saya langsung membuka suara: “Maaf, Pak, tapi siapa dirimu? Mengapa berkeliaran dengan pistol begini?” Saya menoleh kepada Glock 17 yang bersandar di paha sang tamu. “Mungkin bagi orang Indonesia melihat polisi bersenjata lengkap masuk toko hal biasa-biasa saja tapi untuk seorang Inggris seperti saya amat tidak normal!” Saya panasaran sambil was-was. Lelaki dengan amat lelah menjawab: “Ya, begini, Pak, sekarang sudah dua hari dua malam saya tidak bisa tidur! Beronda terus untuk menjaga Polres Tangerang Selatan dan Kota Tangerang, dan melindung 100 vihara Budhis dari serangan teroris yang mau membela penderitaan bangsa Rohingya di Rakhine! Sungguh situasi yang gawat nih!”

Rohingya? Rakhine? Myanmar? Daerah perbatasan barat Myanmar yang dihuni keturunan orang Arab Islam sejak abad ke-7 yang disebut warga Rohingya? Apakah daerah ini yang dibela teroris Tangsel ini, yang menjadi biang keladi sang tamu bersenjata ini? Langsung saya merenung. Apakah semua ini tidak melibatkan temanku dari Oxford, Daw Aung San Suu Kyi, yang sejak 6 April 2016 menjadi State Counsellor (Penasihat Negara) Myanmar? Apakah nasib saya kena imbas teror Tangsel terkait langsung dengan penolakan Daw [Tante] Suu untuk membicara Truth to Power (Kebenaran kepada Kekuasaan)? Setiap langkah ada akibatnya! Tapi mana bisa seorang Daw Suu, yang telah saya kenal baik sejak tahun 1980-an, bertindak demikian?

**

Waktu saya kenal beliau dan keluarganya ia begitu gagah berani melawan Angkatan Bersenjata Myanmar – Tatmadaw – yang brutal itu! Ia sosok yang mengalami tahanan rumah berkepanjangan! Selama 16 tahun, ia hidup terkurung di rumahnya, 54 University Avenue, Yangon, jauh dari keluarga. Begitu kuat batin hingga ia memilih panggilan sebagai pembela masa depan bangsa daripada mendampingi suaminya – juga teman baikku – Michael Aris (1946-1999) – waktu ia menderita kanker prostat sampai meninggal tepat pada Hari Ulang Tahun ke-53 pada 27 Maret 1999!

Ini pejuang demokrasi yang mengumumkan bahwa perjuangannya adalah “perang kemerdekaan kedua” (Burma’s Second Struggle for Independence), yang pertama melawan kolonialis Inggris, yang kedua melawan tentara Myanmar! Ialah putri pendiri Myanmar, Bogyoke (Jenderal) Aung San (1915-1947), yang sempat membuat perjanjian Panglong (12 Februari 1947) yang dirayakan setiap tahun sebagai Union Day – Hari Berserikatan Myanmar. Hari itu tiga minoritas terkemuka Myanmar (Shan, Kachin dan Chin) diberi janji oleh pemerintah bahwa mereka akan meraih  “otonomi daerah penuh dalam administrasi intern sebagai daerah perbatasan” dan serangkaian ‘state’ (pemerintah daerah yang otonom) direncanakan akan disahkan oleh Konstituante (Constitutional Assembly).

Sejak mendirikan partai pro-demokrasi, National League for Democracy (NLD), pada 27 September 1988, Daw Suu menjadi searah dengan mantan Perdana Menteri U Nu (1907-1995; menjabat, 1948-1956/1957-58/1960-1962), pendiri League for Democracy and Peace (LDP), yang telah mengumumkan pada tahun 1948 – tahun kelahiran saya di Yangon (30 April) – bahwa Rohingya mempunyai hak penuh sebagai warga Myanmar dan bisa meraih otonomi daerah sama seperti etnis lain dalam Perserikatan Myanmar (Union of Burma). Demi menjaga bahwa daerah Myanmar yang dihuni mayoritas Islam selalu diwakili di Dewan Perwakilan Rakyat – sang perdana Menteri, yang terkenal seorang Budhis saleh, mengharuskan bahwa selalu ada paling sedikit dua anggota Muslim di Parlemen Myanmar. Kebijakan politik yang tercerah ini bertahan sampai Maret 1962 waktu terjadi coup d’etat oleh Jenderal Ne Win (menjabat 1962-1987) dan sebuah resim fasis militer mulai menindas semua minoritas di Myanmar, sampai Rohingya dan warga Myanmar Muslim yang lainnya dicabut kewarganegaraannya pada 1982!

Kalau perjuangan kedua Myanmar yang dipimpin Daw Suu adalah melawan tentara Myanmar yang bengis itu mengapa ia sekarang bisa sejoli dengan  jenderal-jenderal?  Apalagi, mengapa ia bisa membiarkan genosida di Rakhine yang dilancarkan dengan operasi bumi-hangus dan pembantaian besar-besaran sesudah 25 Agustus 2017 sebagai tindak balik kepada serangan ARSA (Arakan Rohingya Salvation Army)? Menurut laporan PBB operasi ini telah mengakibatkan lebih dari 7.000 anak dipaksa menyaksikan orang tua disembelih di muka mata mereka, 17.000 lebih perempuan diperkosa saling bergantian (gang rape), 34.000 warga dilempar ke api puing-puing rumahnya dan 750.000 terpaksa melarikan diri ke kamp-kamp pengungsi di Cox’s Bazaar di Bangladesh.

Kejahatan ini mirip yang dilakukan pemerintah Turki Ottoman pada bangsa Armenia pada Perang Dunia pertama  (1914-1918) waktu selama dua tahun (1915-1917) 1.5 juta warga minoritas imperium Ottoman dibantai secara sistematis oleh tentara Turki. Layak benar dijuluk genosida oleh komisi khusus PBB – yang salah satu anggota adalah mantan jaksa agung Indonesia, Marzuki Darusman (menjabat 1999-2001). Layak benar juga bahwa mantan Komisaris Tinggi (High Commissioner) Komisi Hak Azasi Manusia PBB, Pangeran Zeid bin Ra’ad al-Hussein (menjabat 2014-2018), seorang diplomat kawakan Jordania, mengarisbawahi bahwa Daw Suu juga terlibat dalam genosida tersebut berkat statusnya sebagai kepala pemerintah sipil Myanmar. Dan tanggung jawab tidak behenti di sana, menurut Sang Komisaris Tinggi, sebab ada tindakan kejahatan pribadi dari pihak Daw Suu yang telah menggelapkan secara sistematis bukti pemerintah yang terkait genosida dan membiarkan ‘hate speech’ disebarkan di medsos dan internet tentang partai NLD, yang nota bene sekarang menjadi partai yang tidak ada satu pun perwakilan bangsa Muslim Myanmar di barisnya.  Betapa beda situasi di bawah Perdana Menteri U Nu pra-1962!

Tugas seorang Daw Suu, menurut Pangeran Zeid, dengan status sebagai pemimpin bangsa dan pemenang Hadiah Nobel (1991) adalah memberi teladan kepada bangsa.  Seperti Mahatma Gandhi (1869-1948), yang selalu konsisten dalam perjuangan untuk persahabatan Hindu-Muslim dan hak dalit (orang yang di luar kasta) sehingga ia dengan senang hati mengumumkan akan menggulung bendera dan mengungsi ke pegunungan Himalaya kalau tidak ada warga yang mau mengindahkannya! Kalau contoh Gandhi terlalu tinggi bagi Daw Suu, menurut Pangeran Zeid, paling minim yang bisa dilakukan sang pemenang Hadiah Nobel Myanmar adalah untuk mengundurkan diri dari pemerintah dan kembali kepada tahanan rumah. Dengan demikian dia akan menjadi sebuah mercusuar (moral example) untuk bangsa.

Tapi kenyataan tidak demikian! Mengapa?

**

Kalau saya bisa panggil Daw Suu dan secara “ghaib” menatap muka dengan dia – apa yang kita bisa sharing? Dari pihak Daw Suu pasti dia akan bilang – “Tapi kamu, Peter, tidak pernah kenal saya dengan sesungguhnya! Saya bukan seorang Jeanne d’Arc versi Myanmar, atau seorang Mahatma Gandhi, Mandela, Martin Luther King atau pun seorang Gus Dur yang membela hak minoritas di negaramu pada zaman Reformasi! Saya sama sekali tidak hidup di cakrawala besar itu. Dunia saya kecil dan sangat terbatas! Bukan pejuang hak azasi manusia atau pemimpin moral dunia, cakrawala saya adalah Birma Budhis (Burman Buddhist)! Yang lain saya sama sekali tidak peduli! Saya boleh dikatakan “katak di bawah tempurung” versi Birma! Isu refoulement (bergeser kembali ke luar negara) orang-orang Benggala yang telah datang ke negaraku akibat kebijakan bangsamu, Inggris, pada zaman kolonial (1826-1948), menurutku layak! Dan gembar-gembor pembantaian massal oleh PBB, Amnesty Internasional dan Human Rights Watch itulah hoax news doang! Dua negara yang penting bagi kita (orang Myanmar) sekarang adalah India dan Tiongkok!

Yang lain kita tidak peduli – apalagi negara tetangga ASEAN beragama mayoritas Islam seperti Malaysia dan Indonesia. Mereka sama sekali tidak penting bagi kita! Saya tidak heran sama sekali bahwa Mas Peter berhadapan dengan tamu bersenjata di toko – itulah ciri khas negaramu baru-baru ini! Dan ingat benar, Peter, saya anak tangsi! Bapak saya adalah seorang jenderal yang dengan tangan dingin pernah membunuh seorang kepala desa berkebangsaan India waktu Burma Independence Army (BIA) masuk Myanmar dengan tentara kekaisaran Jepang pada bulan Februari-Maret 1942 dan lempar mayat ke kandang babi! Jadi insting saya adalah nasionalis Birma! Pun saya masih mewakili dapil yang sama dengan ayahku di parlemen Myanmar (Pyithu Hluttaw)– kacang ora ninggal lanjaran!

Dan jawaban saya?

“Daw Suu, setiap pagi saya bangun jam lima pagi untuk merenung sejam dan melatih meditasi. Setiap pagi saya memakai selimut Chin yang kamu telah memberi kepada saya waktu saya berkunjung ke rumahmu di Yangon pada 19 Juni 1996 untuk merayakan HUT ke-61 anda. Bagi saya, apa yang terjadi adalah kenyataan yang tidak akan merobah memori dari persahabatan kita berdua pada tahun-tahun penuh harapan di Oxford. Ini romantisisme-ku!

“Tapi dari sisi lain saya merasa anda telah memilih jalan yang serba salah! Dengan sengaja anda telah memberi pelindungan dan justifikasi untuk tindakan kejahatan tentaramu yang sama sekali tidak bisa diterima. Keselamatan dari begitu banyak orang ada di tanganmu dan anda telah menyia-nyiakan mereka. Alih-alih memberi pelindungan, anda dengan aktif telah menolong pihak militer dengan tindakan yang iblis itu. Semua keluhuran moralmu sudah menjadi berkeping-keping! Sirna seperti salju di siang  bolong! Dan ingatlah, walaupun anda dan sekutu anda di Tatmadaw (tentara Myanmar) mengakui mau melindungi Perserikatan Myanmar dan kedaulatan negaramu dari wong liyan, pada kenyataan tindakan anda telah merugikan negaramu dan menyerahkan Myanmar terikat kaki dan tangan kepada Tiongkok. Dari sekarang, Beijing akan menjadi pelindung utamamu! Dalam waktu singkat anda akan mengalami nasib sama dengan negara-negara Baltik di zaman Uni Soviet (1922-1991), dan negaramu akan menjadi jaringan kecil dalam proyek “One Belt, One Road” Tiongkok. Semua kedaulatanmu akan hilang! Inilah karmamu. Yang menyebar angin akan menuai topan! Adieu!”

 

 

Sumarsam : Gamelan, Wayang, dan Dakwah

Salah satu hal yang mendarah daging diyakini oleh orang Jawa adalah kisah mengenai Sunan Kalijaga yang menyebarkan Islam dengan Wayang. Argumen tersebut juga sangat diyakini oleh Sumarsam –seorang profesor etnomusikologi, di Universitas Wesleyan, Amerika– beliau mengajukan satu pandangan yang sangat bijak –mengutip sikap dari Soedjatmoko– bila ada orang yang meminta pertimbangan beliau terkait sejarah wayang di Indonesia.

Bila ada orang yang meminta beliau menjelaskan ihwal tersebut maka beliau akan berangkat dari argumen lokal, meski dengan konsekuensi data historiografinya memang sangat minim dalam perspektif akademik. Satu hal yang selalu beliau tekankan adalah “Jawa memiliki cara pandang sendiri yang berbeda dengan cara pandang ‘akademik’ mainstream, ada Historiografi Jawa dan ada Historiografi Konvensional”, terang Sumarsam.

“Sikap bijaksana dalam berfikir seperti itu menjadi penting untuk dimiliki seorang akademisi bila ingin penelitannya kontekstual”, tandas Sumarsam. Bila seorang akademisi hanya memakai Historiografi Konvensional saja untuk mendekati Jawa, maka sudah barang tentu tidak akan mendapatkan hasil yang objektif. Oleh karena itu disinilah letak pentingnya memberikan tempat kepada Historiografi Jawa (baca: lokal) itu sendiri untuk menjelaskan dirinya, dengan perspektifnya sendiri. Dengan demikian suatu penelitian akademik akan lebih otentik dan mengakar.

Namun, sikap Sumarsam ini justru sering dibantah oleh para akademisi di Indonesia sendiri, hal yang berbeda ketika beiau mempresentasikan temuannya di luar negeri.

Ketika beliau diminta untuk menjelaskan tentang wayang oleh mahasiswanya di Amerika, maka sikap itulah yang beliau utarakan dan penerimaan mahasiswa terhadapnya baik adanya..Kuliahnya selalu diapresiasi ketika beliau memulai kelas dengan sebuah analogi, beliau sangat sadar bila mahasiswanya langsung diajak berdiskusi tentang wayang dalam pengertian yang konvensional, jelas tidak akan mengerti secara utuh –bahkan berpotensi gagal dalam mengkontekstualisasnyai– ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti apa sebenarnya wayang itu? Dan apa yang dirasakan oleh orang-orang Jawa ketika menonton wayang?. Ia senang membuat  analogi dengan teori Joseph Campbell —Professor Literature bidang Mythology dan Comparative Religion— ketika dirinya dimintai pendapat oleh George Lucas –Sutradara film Starwars– saat membuat film itu.

Joseph Campbell menjelaskan bahwa Mitologi, dongeng dan legenda adalah metafora kehidupan masyarakat atau analogi dari kehidupan masyarakat, sehingga tidak bisa ditangkap mentah-mentah, namun bisa ditangkap sari-sarinya. Pada titik ini penjelasan lokal pasti akan mendapatkan ruang rasionalisasinya, meskipun tidak memiliki data-data yang lengkap, namun penjelasan lokal sudah barang pasti yang mampu menggambarkan konteks-konteks sosial yang ada secara mendalam, kebudayaan harus tetap hadir tanpa ada ruang berdebat lagi.

***

Warisan terbesar yang ditinggalkan para wali tanah Jawi (baca: Islam di Nusantara), yang mungkin akan susah diterima oleh para muslim hari ini, sebenarnya adalah wayang (kulit) dan bukan “peradaban teks”. Selain Para wali kita tidak meninggalkan teks—kecuali sedikit yang itupun dalam bentuk huruf Hanacara—peradaban teks hanya bisa menyingkap secara terbatas “olah kebudayaan” proses Islamisasi awal, yang sebenarnya telah memanifes dan membentuk “diri” kita, dalam tata ontologi (tauhid) sufisme-Islam yang ingin diperjuangkan.

Mungkin para wali, menurut saya, sangat sadar peradaban teks seberapapun agung dan besar kontribusinya terhadap hidup ini, ia pada akhirnya tak mengantarkan kita pada “akhlak” atau “budi utama”, alias mengantarkan manusia menuju diri paripurna atau utuh-nya (baca: janma utama/insan kamil).

Wayang dengan komponen unsur tembang, cerita, teater, sastra, gending, seni rupa, musik, dan suaranya, seperti dirumuskan Kalijaga, adalah sarana “tanpa menggurui” masyarakat Jawa dan sekitarnya untuk melihat “diri” mereka sendiri. Ia seolah mengajak kita melihat sembilan “fakultas” dalam diri kita (baca: babahan hawa sanga), yang memanifes dalam diri wujud Pandawa, Sembadra, Karna, dan Kresna, agar sisi gelap “kecenderungan” jahat kita tidak tergelar dalam wujud Kurawa yang berjumlah 100 itu. Wayang dengan begitu merupakan eksempalar yang diperlambat ihwal “perang besar” manusia mengalahkan diri-nya sendiri (baca: Jihad Akbar). Inilah cara mengenali diri, seperti diserukan secara kuat oleh “tasawuf”. Man ‘Arafa Nafsahu, Arafa Rabbahu. Siapa mengenal dirinya, Ia akan mengenal Tuhannya. Atau dalam istilah Jawa disebut “mulat sarira”; melihat dirinya sendiri.

 

Dalam pupuh ke-8 “Serat Cebolek” karangan Yasadipura, hal ini terkonfirmasi:

Punapa malih rasaning Kawi

Bima Suci kalihan Wiwaha

Pan sami keh sasmitane

Ngenting rasaning ngelmu

Yen patitis kang mardikani

Kadyangga Kawi Rama

Punika tesawuf

 

Apalagi “rasa”-nya (makna) Kawi

Bima Suci dan Arjuna wiwaha

Sungguh penuh pralambangnya

Sebuah “makna” ilmu yang sangat dalam

Jika tepat (dalam) menguliti maknanya

Seperti halnya Kawi Rama(yana)

Itu merupakan Tasawuf

 

Peradaban teks dengan begitu, dalam kerangka ontologi sufisme (baca: tauhid wujudi), hanya membantu sedikit—atau malah secara deontologis mengkerangkeng “laku” manusia (baca: suluk) yang sebenarnya berjumlah sebanyak jumlah manusia di bumi ini, seperti disitir oleh sebuah perkataan “hikmah” seorang sufi di awal abad Islam. Karena semakin manusia berhasil menderet dan mengeksplisitasi larangan dan seruan dari ajaran, maka semakin terpapar pada mata kita “pelanggarannya”. Ini seolah membenarkan aksioma, “Tidak ada satu koruptor pun yang pada dasarnya menolak bahwa perbuatannya itu tercela dan melanggar agama.” Ini bukan ihwal ketidaktahuan “pengetahuan” akan benar-salah, melainkan cermin “diri” yang telah kotor atau sebentuk kegagalan mewujudkan “diri” kemanusiaannya yang memang tak pernah ia “gulawentah”.

Akhirnya saya sedikit mafhum, warisan terbesar kita sebenarnya jikapun ia terselip dalam peradaban teks kita—yang sebenarnya bukan hanya teks “logis-rasional”, karena berwujud bahasa metafora “sastrawi” yang ditembangkan—hanya merupakan pandu awal agar kita menerjunkan diri dalam olah diri atau riyalat dalam bahasa Jawanya (baca: riyadhoh), sebagai ejawantah ilmu “Kasidan Jati”, “kasampurnan”, atau “ma’rifat”. Olah diri atau tepatnya “olah budi” (mesu budi) tersebut dimulai dengan cara mengenali diri, yang dalam bahasa kita, disampaikan dalam bentuk beragam ungkapan dari sejak zaman Yasadipura hingga Suryomentaram, yakni dari mulai term “mulat-sarira”, “mawas-diri”, “nanding-sarira”, “tepa-sarira”, “nyawang-karep”, hingga “pangawikan pribadi”.

Olah diri, lelaku, atau olah budi dengan begitu adalah “(le)laku” sekaligus proses “budaya” (baca: budi-daya) alias mendayakaan seluruh komponen bagian diri kita yang berjumlah empat itu yang berujud (1) Karsa [Raga], (2) Cipta, (3) Jiwa,  dan (4) Rasa kita—yang dengan sendirinya berbeda dengan “kebudayaan” seperti didefinisikan Kuntjaraningrat yang lebih menekankan sebagai semata “hasil” dari cipta-rasa-karsa dan bukan pada “proses” mengolahnya—agar diri kita menuju keadaan kesempurnaan, keutuhan, atau mencapai keutamaan hakiki manusia (Kasidan Jati/ngelmu kasampurnan) dalam mengemban tugas “kekhalifahan” di muka ini untuk menyebarkan rahmat bagi semesta. Hal ini dirumuskan para leluhur dengan ungkapan indah, “Manunggaling Karsa, Cipta, Jiwa, dan Rasa Agawe Rahayuning Bumi”.

Kebudayaan atau budaya dari defenisi di atas, yang posisi wayang berdiri di dalamnya, dengan begitu dalam makna utuhnya adalah olah budi (amasah mesu budi) atau katakanlah “proses Suluk” atau “lelaku” untuk terus-menerus menyelaraskan atau memanunggalkan karsa, cipta, jiwa, serta rasa kita, yang diujungnya akan termanifes dalam tata-budaya, tata-nilai, tata-masyarakat, tata-negara, juga tata-adat, yang hari ini warisan tersebut lamat-lamat kita tinggalkan dan abaikan.

 

Ngelmu iku kelakone kanthi laku            Ilmu itu tercapai melalui sebuah “laku” (diri)

Lekase lawan kas                                   (yang) permulaannya diawali dengan kesungguhan

Tegese kas nyantosani                           yakni kesungguhan yang membantu memperkokoh  (diri)

Setya budya pangekese dur angkara     terus mengolah budi, agar keburukan dan angkara musnah

(Mangkunegara IV, “Serat Wedhatama”, pupuh ke-3, Tembang Pocung)

 

Dalam kerangka ini pula wejangan Wedhatama ihwal “ngelmu iku kelakone kanthi laku” menjadi sedikit bisa dipahami. Ngelmu itu—jauh dari pengertiannya yang semata dicapai sebatas lewat jalan “praktik” (“learning by doing”) dalam bahasa hari ini—sebenarnya adalah sebentuk capaian atau buah dari olah diri “ruhaniah” untuk mendayakan seluruh potensi dan fakultas dalam diri kita (baca: Karsa, Cipta, Jiwa, Rasa)—yang dengan sendirinya berbeda dengan ilmu yang hanya menekankan aspek kognitif-rasional-diskursif fakultas diri hasil sekolah hari ini. Dan kita tahu dari para sesepuh, olah diri “lelaku” tersebut berujung pada jatuhnya anugerah pengetahuan kesempurnaan (budi) atau ma’rifat (kakenan nugrahaning hyang widhi). Yakni dalam bahasa Wedhatama disebut sebagai ngelmu bangkit mikat reh mangukut, kukutaning Jiwangga—alias berujung pada konsep “ora ana apa-apa kejaba dudu”, sebuah proklamasi ontologis “tauhid” (awas roroning atunggil) tentang tidak ada apapun realitas atau kenyataan yang haq kecuali Allah. La ilaha illallah. La maujuda illallah. Sebuah gerak nafi (menegasi) dan istbat (mengafirmasi). Selain-Nya dalam gradasi wujud adalah “bathil” alias tidak “haq”. Dan hanya manusialah yang bisa mencipta (baca: Cipta) tatanan realitas semesta menjadi “haq” agar ia bisa menjadi cermin atau ayat yang memanifestasikan tajalli “Sang Realitas Haq” (Sang Hakikat)— dalam bahasa Wedhatama wujudollah sumrambah alam sakalir.

Laku Ilmu dengan  begitu—atau sebenarnya “perjalanan” lelaku kita menuju Allah (sangkan paraning dumadi)—adalah (1) mengedalikan keinginan dorongan nafsu keinginan natural diri rendah kita yang bisa menyesatkan (Karsa), (2) menajamkan akal-cipta agar kita mengenali haq-batil dengan cara “waspada” terhadap pamrih diri (Cipta), (3) menggosok cermin hati kita dengan mengisi nama-nama-Nya  yang indah (emut/eling), (4) juga memperindah “rasa” estetik-moral yang akan mengantarkan kita pada hakikat kehidupan (wosing/rosing dumadi), yang dengan itu bisa menjadi bekal manusia sebagai “wakil tuhan” menyebarkan rahmat bagi semesta atau turut memperindah alam semesta (memayu ayuning bawana), serta menebar kasih bagi sesama (memangun karyenak tyasing sesama). Karena kebenaran (agama) harus menjadi pakaian yang mempercantik diri menuju akhlak luhur atau budi utama sebagai Manusia (Agama ageming Aji, mring atining tata karma, nggon anggon agama suci)

Dan hanya dari laku ilmu dalam pengertian di atas, kita akan bisa menyingkirkan kejahatan dan keburukan (baca: Bathil) yang sebenarnya merupakan manifestasi dorongan nafsu egotism yang muncul melalui stimulus pancadriya yang melecut kehendak dan nafsu kita. Agar proses berilmu mau tidak mau harus dimulai dengan—dalam bahasa Wedhatama—memperkokoh dan meneguhkan tekad (nyantosani) serta kegigihan disiplin awal kita (kas) untuk terus-menerus mengolah dan mengutuhkan seluruh aspek kemanusiaan budi kita (setya budya), agar keburukan yang sebenarnya bersumber dalam diri kita dapat diberantas (pangekesing dur angkara). Dengan cara seperti itu, proses perjalanan “berbudaya” dalam mengutuhkan kemanusiaan kita akan bisa memberi dampak dalam usaha mempercantik dan “mengindahkan” dunia (memayu hayuning bawana) juga turut bisa menebar rahmat bagi alam semesta.

Allahu a’lam

Yogyakarta, 21 Oktober 2017

“Dengan cara apa Tuhan seharusnya kita didekati?” “Dengan cara feminin atau dengan cara maskulin?” tanya saya dalam sebuah diskusi kecil di rumah kontrakan teman. Sontak, diskusi—atau tepatnya obrolan—yang memang sedang membincangkan ihwal Spiritualitas itu kemudian senyap. Juga termasuk saya, yang sebenarnya tak begitu sadar kenapa pertanyaan itu tiba-tiba terlontar. Teman-teman seketika segera membalikkan pertanyaan itu pada sang penanya. Sang penanya diam, tak tahu jawabnya.

Selang beberapa hari, saya berfikir. Saya lalu teringat beberapa wejangan para Faqir. Kata para guru sufi, sifat “feminin” Tuhan, kata mereka, selalu mengatasi sifat “maskulin”-nya, atau seperti tersitir dalam sebuah hadist qudsi, “Rahman dan Rahim Tuhan selalu melebihi atau mendahului murkanya”. Lalu saya teringat “nama-nama indah” (baca: asma’ul husna) Tuhan yang sering dihafalkan waktu kecil itu, yang setelah saya cermati memang membenarkan dugaan saya. Maha Penghukum, Maha Pemaksa, Maha Kuat, juga Maha Perkasa “tenggelam” dalam sifat-sifat Maha-Pemurah, lembut, welas, asih, pengampun, pembuka rahmat, pemelihara, adil, bijaksana, mulia, dll. Singkatnya, saya menemukan segudang feminitas di dalamnya, melebihi aspek “maskulin”-Nya.

Saya sebenarnya tak benar-benar tahu, apa yang sedang tampil di dunia hari ini. Yang jelas, banyak media memberitakan perang dan kekerasan, bahkan mengatas-namakan agama juga ras. Sungguh cara-cara yang “maskulin”. Saya sungguh menyukai metafor ini, “Di saat para lelaki bersorak usai kemenangan perang, para Wanita sebaliknya menangisi kematian para putera-putera yang mereka besarkan dengan kasih-sayang.”

Saya juga, sekali lagi, tak tahu apakah Ashin Wirathu—biarawan Budha Burma penghasut kebencian etnis-agama di Myanmar atas sekelompok muslim etnis Rohingya yang beritanya beredar hari-hari kemarin—bersepakat dengan saya. Tapi, banyak media membenarkan, jika ia tak keberatan disebut “Bin Laden-nya Burma”. Ia, katanya terlibat dalam “Gerakan 969” yang menyerukan pemutusan bisnis dan pernikahan dengan Muslim Burma di tahun 2001, juga pemindahan etnis Rohingya di “negeri ketiga”. Ia tidak sendiri, kabarnya 2600 biarawan Budha juga ribuan pengagum di media sosial mendukungnya. Setelah masa pemenjaraannya (2003-2010), Wiratu dibebaskan. Sejak itu, ia sering disebut-sebut sebagai dalang pemicu kerusuhan, pembunuhan, penjarahan, dan pengusiran Muslim Rohingya pada juni 2013, yang menewakan 200 orang, dan lebih dari 100.000 muslim Rohingya terusir. “Mungkin anda bisa hidup dengan kebaikan dan cinta, tapi anda tidak akan bisa tidur di samping ‘anjing gila’,” katanya.

Dari Wirathu kita belajar bahwa (kepicikan) agama bisa bertaut dengan nasionalisme juga “maskulinitas”. Mungkin saya juga terlalu menyederhanakan dan mengabaikan latar sejarah mereka. Tapi yang jelas, tidak kurang beberapa biarawan Budha lain mengecam praktik “maskulinitas” Wirathu yang bertentangan dengan ajaran Budha. Mungkin perkaranya bukan semata agama tapi juga kekhawatiran. Ya kekhawatiran, bahwa “negeri Buddist” akan berubah menjadi “negeri Muslim”. Ketakutan yang dihadapi dengan ketakutan, kata Aung San Kyi. Pada akhirnya, lingkaran kekerasan terus berlangsung.

Saya juga, kali kedua, tak benar-benar tahu bagaimana lingkar kekerasan dan “maskulinitas” ini terus beroperasi. Dalam soal Wirathu, Ia sering menyatakan ia tidak ingin menikah. “Saya tidak ingin bersanding dengan wanita,” katanya singkat dalam sebuah wawancara dimuat di The Guardian. Masa pahit dan kelamnya saat kecil, memaksanya berhenti sekolah dan segera bergabung menjadi biarawan Budhist di umur 14.

Apakah “feminitas” semakin menjauhi dirinya, saya juga tak benar-benar paham. Ini mirip, jika kita cermati, bagaimana para fundamentalis Taliban dalam memperlakukan wanita. Obyek pertama sasaran pertama penerapan hukum “syari’ah”-nya adalah wanita. Para wanita menjadi sasaran cambuk atas praktik perzinaan, dieksklusi dari ruang publik, ditertibkan karena dianggap sumber mala, hingga mereka musti dibungkus ke-“persona”-an dengan burqah. Mungkin pengkaitan ini agak ngawur dan serampangan. Tapi yang bisa saya amini, bahwa tampilan praktik beragama kita hari ini memang benar-benar maskulin. Bahkan Tuhan pun dibayangkan semata-mata dari sifat “maskulin”-Nya: penghukum juga pemberi azab bagi yang melanggar perintahnya.

Jika Tuhan, oleh para guru suci kita dulu, sering “ditemukan” dan “didekati” dengan rasa cinta (baca: mahabbah), kenapa itu tidak sedikitpun menggugah kita. Tuhan benar-benar telah kita tempeli baju Keagungan dan Keperkasaan , sehingga melupakan sifat “Keindahan”-Nya.  Kita seru sekeras-kerasnya Ke-“Jalal”-an serta ke-“Qahar”-an Nya, sembari menyingkirkan ke-“Jamal”-an Nya.  Apakah Tuhan benar-benar telah menjadi “laki-laki”?

Saya jadi ingat, pernyataan ekskatik Ibn Arabi bahwa “perempuan” adalah epifani-Nya (baca: tajalli) paling sempurna di bumi ini. Karena, tanpa wanita, kita benar-benar tak punya preseden untuk mengalami keindahan “wajah”-Nya. Mungkin ini signifikansi pernyataan Nabi kita ihwal tiga hal yang paling ia cintai: kesejukan mata saat sholat, parfum, dan wanita—yang sering dibelokkan oleh para orientalis Islam awal bahwa nabi seorang womenizer. Tapi tidakkah—jangan-jangan—pengertian saya tentang “maskulinitas” juga sebenarnya kurang tepat.

Dulu, syahdan seorang Yogini keluar dari pertapaannya melewati kerumunan orang di sebuah pasar dengan bertelanjang. Orang-orang ribut dan mencercanya. Namun, saat sang pertapa perempuan tersebut melewati seorang Wali-Faqir yang dimuliakan di India, segera ia buru-buru menutupi tubuh dengan pakaiannya.

Ada cerita serupa yang terjadi di Baghdad. Di masa Mansyur Al Hallaj, sufi syahid itu, kerumunan orang gempar karena melihat seorang wanita yang dikenal salihah di kota itu berjalan di tengah-tengah orang ramai dengan membuka burqa-nya. Seseorang memberanikan diri menanyakannya: “Kenapa kau membuka kerudungmu?” Sang wanita menjawab: “Saya tak lagi melihat ‘laki-laki’ di kota ini.” “Seandainya tak ada Mansyur, maka saya akan membuang seluruh kain yang menempel di tubuh ini.”

Saya semakin bingung. Apalagi harus menjawab bagaimana Tuhan seharusnya “didekati”, lewat bakti-ketaatan, pengetahuan, atau cinta? Lewat jalan “maskulin” atau “feminin”? Namun, saya jadi sedikit tahu, bahwa untuk menyebut kata ganti dia (laki-laki), Qur’an masih memberi ruang pada kata “dzat” (yang memang menunjuk pada Allah), yang kita tahu itu adalah bentuk kata “feminin” dalam tata bahasa Arab. Jadi apakah saya sudah menjawab pertanyaan di muka. Saya kira belum.

Karangduren, 22 mei 2015.