Menu

Irfan Afifi

Izinkan pada awal tulisan ini, saya membuat disclaimer bahwa seluruh isi tulisan pengantar ini, anggap saja sejenis sendau-gurau juga sebuah racauan. Dan oleh karena itu, para pembaca tak perlu menganggapnya terlalu serius, apalagi membatinkannya dalam sebuah permenungan yang menyendiri.

Karena hal ini berkait dengan seorang sosok dan juga terkait sebuah ajaran yang begitu luhur, wingit, serta lungid, yakni sosok bernama Ki Ageng Suryomentaram dengan ajaran “Kawruh Jiwa”-nya, dimana dari sejak dini pada saripati-inti ajaran tokoh ini sendiri, mewanti-wanti para pembacanya untuk tak menjadikannya sebagai semata ‘diskursus’: bahan permenungan, alih-alih intellectual exercise yang tanpa ujung. Ia, Ki Ageng Suryomentaram, semata menyodorkan aksioma-aksioma [baca: sebuah ajakan] sebagai pelecut yang bisa membantu seseorang untuk segera masuk mengenali dan mengawasi realitas kediriannya sendiri. Tak lebih dari itu.

Karena, jika anda telah menyambut ajakannya ini, hati-hati, bukan saja Anda akan tergetar dan terkesima menyaksikan realitas diri Anda sendiri yang begitu mengagumkan, namun Anda juga akan mengalami transformasi diri yang tanpa terkatakan [tan kena kinira ngapa], yakni sebuah perubahan diri yang tidak memiliki capaian presedennya sebelumnya. Bagi Anda yang belum siap membaca tulisan ini, awas, urat Anda bisa putus.

****

Lepas dari kaidah “Kawruh Jiwa” [baca: ajaran Ki Ageng] yang akan segera diuraikan secara melimpah dalam buku ini, saya akan menyingggung sedikit terkait pijkan dasar spiritualitas [dasar bentangan ilmu ruhani], yang sayangnya bahkan sering dibaikan oleh para pelajar Kawruh Jiwa sendiri [baca: para pengikut Ki Ageng], yakni terutama persis seperti telah dijelaskan dalam dokumen surat-surat “pra-Kawruh Jiwanya” Ki Ageng yang berjudul “Buku Langgar 1920-1928” [belum diterbitkan].

Dengan menyinggung ulang dokumen awal tulisan Ki Ageng Suryomentaram ini, bukan saja kita bisa memblejeti dasar-pijakan spiritual macam apa yang membuat Ki Ageng bisa merumuskan Kawruh Jiwa-nya, melainkan juga kita bisa merunut cadangan kultural macam apa yang memungkinkan sosok agung ini muncul dan hadir, sekaligus bagaimana prasyarat cadangan-cadangan tersebut memungkinkan ajaran Kawruh Jiwa-nya bisa melampaui kelemahan ajaran spiritual-ruhani sebelumnya, serta pada saat bersamaan, juga sekaligus bisa menemukan signifikansi orisionalitas gagasannya sendiri.

Saking wingit dan sakralnya, Ki Ageng Suryomentaram berusaha memeras pijakan kawruhnya [rumusan pengetahuannya] dalam Buku Langgar—sebagaimana tertera dalam salah satu tulisan ‘surat’-nya yang berjudul “Pedagogie”—dengan rumusan yang agak berani sekaligus simbolik. Ia mengatakan bahwa basis pijakan pengetahuan yang ia rumuskan, adalah semata merupakan “pijakan atau bekal manusia untuk menjalankan unsur-unsur kedewataan dalam dirinya” [sanguning manungsa supados anetepi Kadewatanipun].

Rumusan ini berangkaat dari asumsi sederhana bahwa di dalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling berperang yakni,

[1] unsur ke-buto-an atau sifat raksasa [atau katakanlah unsur kehewanan dalam diri, diri kecil, dan nafsu], sedangkan yang kedua,

[2] unsur ke-dewa-an atau unsur ‘ketuhanan’ atau ‘kemalaikatan’ di dalam diri terdalam manusia. Ini adalah unsur fitrah jiwa terdalam manusia, hati nurani [pancaran cahaya Tuhan yang bersemayam dalam diri: Nur Muhammad].

Nah ilmu mengenali diri atau sering disebut ilmu ‘mawas diri’ ini sejatinya —sebagai langkah mendasar sekaligus puncak untuk mengenali hakikat kenyataan dan hidup ini—adalah ilmu untuk mengenali hakikat sejati terdalam dari diri, plus usaha mengeluarkan, merealisasikan, dan menegakkan pancaran unsur kedewataan yang bersemayam dalam diri manusia itu sendiri [baca: ilmu ruhani, khalifatullah}.

Kendaraan atau wahana untuk mencapai derajat pengenalan diri ini [plus realisasinya] oleh Ki Ageng dinamai dengan apa yang diistilahkannya sebagai Sih atau rasa welas asih atau cinta. Yakni sebuah daya yang sebenarnya berasal atau masih berada dalam area kuasa yang memancar dari Kraton Surga [inggih punika Sih ingkang kabawani Kraton Swarga]. Alias, sebuah daya untuk menundukkan dan ‘menguasai bumi seisinya’ [smarabumi]. Meminjam kalimat Suryomentaram sendiri,

“Apakah kalian sudah tahu, jika pada alam semesta-keseluruhan ini tidak ada daya yang bisa mengunguli ketinggian daya dibanding rasa cinta-sejati?”

[Punapa sampeyan sampun mangertos yen ing jagad sawegung punika mboten wonten daya ingkang nglangkungi luhuripun katimbang raos sih sejati?]

Karena, menurutnya, pada dasarnya kebutuhan manusia di dunia ini selain makan tak lain hanya rasa cinta. Berjuta-juta orang dengan susah payah mencari harta benda [semat], kehormatan-pangkat [drajat] dan kuasa-jabatan [pangkat] agar dikasihi dan mendapat cinta dari yang lain. Namun ternyata apa yang didapatinya justru sebaliknya: perselisihan, iri-hati, sombong, rasa benci atas jalan hidupnya sendiri, juga rasa benci terhadap orang lain karena tidak mencintai dan mengasihinya. Model pencarian kebahagian yang seperti inilah yang akan mengantarkannya kepada ‘neraka kesengsaraan’.   

Sungguh ini dikarenakan ketidakmengertian akan hakikat gerakan hidup, alias ketiadaan pengetahuan dan ilmu, dimana gerakan kodrati hidup tadi dipaksa tunduk pada keinginan dan kehendak sewenang pribadinya sendiri [kehendak-nafsu]; tanpa ilmu nyata. Oleh karenanya Ki Ageng menyarankan, untuk sampai kepada pengetahuan terkait hakikat hidup [meruhi dat-ing dumadi: Ilmu hakikat], seseorang harus mengambil jalan lurus siratalmustaqim bernama pengetahuan “mengenali dirinya sendiri” [ilmu ma’rifat], karena sumber segala kesengsaraan kita adalah ketidakmengertian akan realitas diri ini.

Dalam bahasa pasemon pewayangan, apa yang ingin dikerjakan oleh Ki Ageng Suryomentaram adalah mengajarkan ilmu kedewataan [baca: ilmu ruhani] supaya tergelar di alam dunia mayapada ini, alias alam semesta dunia ini. Atau dalam bahasa yang lebih simbolis, ia mendapat mandat dari Bathara Guru, yakni melalui penasehatnya Bathara Narada, penguasa kayangan Dewata, untuk mendirikan Univeritas Kagungan Dalem Bathara Guru, yakni sebuah universitas yang akan mengajarkan ilmu kedewataan atau ilmu ruhani, supaya tegak dan berdiri di alam mayapada dunia ini [angadekaken unipersitit kaagungan dalem jumeneng wonten ngarcapada].

Sebuah ilmu yang menuntun para mahasiswanya untuk mengenali realitas hakikat kediriannya sendiri [baca: man arafa nafsahu] yang belakangan akan dinamai oleh Ki Ageng Suryomentaram sendiri dengan nama “mawas diri” atau “pangawikan pribadi” [alias ilmu tentang mengawasi dan mengenali diri sendiri]. Siapa yang telah mengenali diri sejatinya akan sampai kepada unsur atau pancaran hakikat kedewataan yang bersemayam dalam diri ini [jumeneng pribadi]. Di belakang hari, penamaan ilmu ini berganti lagi menjadi bernama “Kawruh Jiwa” untuk mengeliminasi konotasi dan jebakan mistifikasinya.

Dalam konteks ini pula, perlu kita dicatat bahwa usaha Ki Ageng Suryomentaram menelurkan “Kawruh Jiwa” ini oleh karenanya juga harus dibaca dalam rentang rangkaian tradisi keilmuan ruhani sebelumnya [baca: surat wiridan], yakni sebagai sebentuk cadangan kultural ke-Jawa-an yang memungkinkan sosok ini menelurkan gagasan orisionalnya, yang secara bersamaan juga telah terolah secara matang bahkan melampaui tradisi spiritual sebelumnya sekaligus. Dalam hal ini, Ki Ageng Suryomentaram bisa juga kita anggap merupakan rantai kristalisasi puncak dari bentang rangkaian ajaran keruhanian Jawa sebelumnya tersebut.

Dan hanya di tangannya sematalah, yakni melalui metode rasional-objektifnya, ia bisa menepis aspek mistifikasi ajaran keruhanian maupun spiritualitas lama yang pekat dengan jebakan irrasionalitas dan normativitas sendiri yang melenakan. Pada Kawruh Jiwa-lah ajaran keruhanian lama mencapai kematangan rasional objektifnya, sebut saja begitu, sehingga bisa menjadi suguhan makanan ruhani [pengetahuan obyektif, alih-alih normatif] yang dapat diambil oleh siapapun tanpa membedakan baju tempelan identitas suku, kelompok, agama, maupun kebangsaan apapun. Alias telah menjangkau aspek universalitasnya bagi kemanusiaan seluruhnya.

Namun begitu, ajaran yang ditelurkannnya, sekali lagi tak boleh dilupa, masih merupakan rangkaian benang yang sama dari ajaran spiritual-ruhaniyah kemanusiaan sebelumnya [Jawa-Islam]. Dalam jalur pengatahuan “mawas diri” atau “pangawikan pribadi”-nya misalnya [baca: ilmu pengenalan akan dirinya sendiri], tema ini hampir ditemukan merata dalam tradisi spiritual-ruhani sebelumnya.

Bahkan dalam ulasan yang lebih eksplisit serta padat pada ajaran Bangkokan Kawruh Jiwa-nya bernama “Buku Langgar”, Ki Ageng sendiri dengan sadar berusaha menilik ulang dan me-review saripati ajaran-ajaran tradisi sebelumnya ini, yakni dimulai dari ajaran sejak zaman akhir Prabu Brawijaya, zaman Demak akhir, masa Sultan Agung beserta Sastra Gendhing-nya, masa Mataram Akhir, Kartasura Akhir, serta pada zaman Giyanti, hingga zaman Penjajahan Belanda pada masa ia hidup. Ia menunjukkan kelebihan ajaran-ajaran yang terselenggara pada setiap masa-masa tersebut, plus menunjukkan jebakan-jebakannya.

Bahkan tokoh agung ini juga mengulas secara terpisah saripati ajaran pada masa “Sekolahan Gaib Zaman Islam” [jaman kuwalen: zaman para wali], yang sering dikenal sebagai masa dimana para wali tanah Jawi menyebarkan ajaran ruhaninya, yang relatif ia beri porsi ulasan yang cukup padat, untuk sekali lagi menimbang kelebihan serta potensi jebakannya. Tak hanya itu, ia juga membandingkan dengan tradisi ajaran Budhisme, serta memberi tambahan ulasan kritik terkait kecenderungan kultifikasi benda-benda gaib [kultus benda] seperti dilakukan oleh para pelaku dan penganut Theosofi, yang memang pada saat itu, awal abad 20, mulai menyebar di tanah jajahan Hindia Belanda.

Hal ini, bagi saya, bukan sesuatu yang mencengangkan. Karena, dalam dokumen Primbon 9 jilid yang dikeluarkan Keraton Surakarta, bernama “Kitab Primbon seri-Adam Makna” yang telah banyak beredar, dimana dikatakan pada pengantar pendahuluannya, bahwa Ki Ageng Suryomentaram merupakan cucu dari seseroang pangeran pemilik berjubel-jubel kitab dan manuskrip kuno tinggalan warisan kesusateran Kraton Jawa Mataram Islam: Pangeran Harjo Tjakraningrat. Dan Suryomentaram, konon mendapat limpahan kepustakaan ini dari kakeknya tersebut. Juga dari koleksi manuskrip milik kakeknya ini pulalah, 9 jilid Kitab Primbon yang telah disebut, akhirnya bisa diterbitkan dalam edisi latin dan tersebar di kalangan masyarakat.

Signifikansi informasi barusan sebenarnya hanya ingin meletakkan kesadaraan terkait satu hal: Ki Ageng Suryomentaram bukan hidup dalam ruang vakum dalam menelurkan gagasan-gagasannya. Plus hal ini terkait ide mendasar, bahwa Ki Ageng benar-benar berinteraksi dengan gagasan dan ajaran ruhani zamannya.

Bahkan, dalam riwayat hidupnya, ia pernah terseret secara kuat dalam laku “lelana-brata” [baca: santri lelana], dalam pengelanaan ruhani dan tirakat ke makam dan petilasan-petilasan keramat di banyak tempat pada masanya [gua langse, dll]. Juga terkait keputusannya ‘keluar’ [melarikan diri] dari kenyamanan keraton dalam lelaku asketiknya: seperti menjadi penggali sumur, kuli angkut koper, berdagang kain keliling di daerah Banyumas, menanggalkan gelar resmi kepangeranannya, mendesak pemerintah kolonial untuk menuruti permintaan berhajinya ke Makkah, menyerahkan sebagian besar harta bendanya kepada pelayannya, hingga menjadi petani biasa sampai umur tuanya di Desa Bringin, Salatiga. Laku-laku inilah, latar penting yang memungkinkan sosok ini melahirkan gagasan-gagasan ‘orisionil’ Kawruh Jiwanya di belakang hari.

Dari cadangan kultural kejawaan inilah yang mumungkinkan sosok Ki Ageng bisa menyandingkan dan menukil secara enak pengetahuan-pengetahuan lama-lama tersebut. Juga dalam konteks ilmu pengenalan diri sendiri, Ki Ageng dengan enak bisa memeras dan mengambil saripati ajaran-ajaran lama Jawa-Islam dengan pengetahuan pangawikan pribadi-nya sendiri, yakni dengan cara mengeluarkan signifikansi mistis makna selubung ‘rahasia’ tokoh semacam Siti Jenar dengan kisah cacingnya, maupun Kanjeng Kyai Kopek sang sosok macan-nya Sultan Agung, maupun signifikansi mistik-simbolis jembatan kayu melintang [wot galinggang] yang dipakai Sunan Kalijaga saat bertapa di Pulau Upih.

Semua simbol ini mengacu pada perjalanan atau dalam bahasa lamanya disebut ‘lelaku’ ruhani dalam rangka mengenali dan menemui diri sejatinya sendiri. Persis seperti perjalanan ruhani sosok Bima dalam pewayangan dalam usahanya menemui ‘dirinya sendiri’ dalam wujud sosok kecilnya [baca: Dewa Ruci]. Sebuah perjalanan ruhani untuk menemui Diri-nya sendiri atau sering disebut ‘suluk’ [dimana istilah tasawuf ini telah diserap dalam bahasa Jawa untuk menamai genre tembang alit macapat dalam tradisi Jawa—baca kesusateraan Suluk].

Dan dalam galur bentangan keilmuan ruhani inilah Kawruh Jiwa ini harus ditempatkan sebagai masih dalam rangkaian kontinum keilmuan lama untuk mengenali jiwa terdalam diri manusia [baca: mulat sarira]. Yakni tentu dengan kebaruan sodoran metodologi obyektifnya, alias alih-alih normatif dan mistis seperti tradisi ruhani sebelumnya, dan oleh karenanya, Kawruh Jiwa dengan begitu bisa dikatakan merupakan pematangan gagasan-gagasan objektif dari tradisi ilmu ruhani sebelumnya.

Hal ini sekaligus memberi arti dan signifikansi baru kenapa Ki Ageng lebih memilih kata ‘kawruh’ yang lebih berkononotasi obyektif-empiris, daripada kata ‘ngilmu’ yang lebih berkonotasi mistik dan normatif misalnya. Alias secara ringkas ia berhasil menelurkan prinsip-prinsip objektif keilmuan, dengan maksud memperluas pengandaian cakupan universalitasnya, terkait perangkat pengetahuan akan pengenalan realitas diri yang bisa membantu manusia Jawa juga Indonesia atau bahkan dunia secara luas, dengan sodoran metode barunya.

Juga penting ditilik, bahkan sejak pertalian erat juga relasi persaudaranya dengan Ki Hajar Dewantara, yakni jauh sebelum pertemuan rutin “Selasa Kliwon” pada tahun-tahun yang mendahului dalam menelurkan pendirian Taman Siswa dimana ia terlibat, Ki Ageng Suryomentaram telah berinteraksi secara intens dengan gagasan-gagasan filsafat Barat zamannya. Dalam sebuah suratnya ia menyinggung hal ini secara implisit:

Aku kelingan dek Paman Ajar isih sekolah. Sok Bengkat barang, mungsuhe Nabi Kilir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kali. Nek Lud-ludan Pei karo Batara Narada lan Sidarta Kapilawastu. Jing Ngloco Pitagoras utawa Plato. Nek Bas-basan janji karo Prabu Brawijaya, betah sawengi. Nek mul-mulan adate mungsuhe Laose dibut loro karo Konghuchu. Jing tukang mungsuhake Aristoteles karo Kant.”

Artinya,

“Aku masih ingat saat paman Ajar [Ki Hajar Dewantara; pen.] masih sekolah, kadang bermain pedang-pedangan juga. Musuhnya Nabi Khidir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau bermain kartu bersama Bathara Narada dan Sidarta Kapilawastu. Yang mengocok Pitagoras dan Plato. Jika bermain bas-basan, janjian sama Prabu Brawijaya. Tahan semalaman. Kalau bermain gulat biasanya musuhnya Laotse, dikeroyok bareng Konfusius. Yang menjadi tukang adunya Aristoteles bersama Immanuel Kant.”

Kutipan di atas ingin menyodorkan keterangan implisit, bahwa Ki Ageng bukan saja tidak mengisolasi diri dari gagasan-gagasan besar dunia zamannya—seperti dugaan banyak orang—dan malah ia sebenarnya berada tepat pada pusaran aliraan deras gagasan-gagasan besar zamannya tersebut, namun ia memilih tak larut dan melarutkan diri. Bahkan ia malah membentuk pusarannya sendiri. Karena seturut perkataannya sendiri, jika hanya terseret arus dalam relasi perhubungan yang semakin meningkat antar-bangsa, bangsa yang tidak dapat memberi sumbangan gagasannya kepada dunia [alias cuma mengunyah teori dari luar] akan sirna tanpa guna [dene bangsa ingkan mboten saged urun bade sirna].

***

Buku Trilogi Ki Ageng Suryomentaram yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini adalah rangkaian panjang lelaku sang penulis dalam menyajikan suguhan makanan ruhani “Kawruh Jiwa”-nya Ki Ageng Suryomentaram, agar dapat dicicipi siapapun dalam merasakan buah penerapan Kawruh Jiwanya Ki Ageng. Konon Muhaji Fikriono katanya dalam usaha menuliskan karyanya ini perlu menunggu umur kematangan ruhani di usia 50. Juga, Trilogi buku ini juga semacam elaborasi terkait cadangan kultural ilmu ruhani ke-Jawa-an, seperti yang telah disebut, yang membentuk dan memungkinkan Ki Ageng Suryomentaram menelurkan Kawruh Jiwanya yang begitu orisinil, namun juga masih merupakan jejak bentangan benang tradisi keilmuan ruhani yang berturutan sebelumnya.

Pembacaan rentang tradisi pengetahuan ruhani kejawaan ini sangat diperlukan bukan semata untuk mendudukkan latar kultural yang memungkinkan sosok agung Suryomentaram lahir, namun juga dalam bahasa tokoh ini sendiri, agar bangsa Jawa pada khususnya, mampu, tentu dengan cadangan-cadangan kulturalnya yang kaya tersebut, untuk merumuskan tata-sosial baru yang lebih mulia [saged tata bebrayan enggal ingkang langkung mulyo].

Karena, bagaimanapun, usaha menyelenggarakan keilmuan ruhani dari mandat kayangan Dewata, punya kendala dan rintangannya sendiri, meski tradisi keilmuan ruhani ini merupakan warisan kaya yang dimiliki bangsa Jawa juga Indonesia secara umum. Namun begitu, bangunan Universitas Keilmuan Diri-Ruhani di masa yang lama, menurut Ki Ageng, atapnya sudah banyak yang retak, patah, dan rompal di sana-sini [unipersitit kina ingkang pager-payonipun sampun sami popol].

Banyak para maha-guru dan professornya yang ikut merawat dan menjaga universitas ruhani tersebut telah banyak yang terserang oleh ‘cacing kebencian’ [kremi gething], serta banyak papan dan dinding kayu universitasnya telah tergerogoti oleh rayap ‘merasa unggul sendiri’, serta telah dihinggapi kesombongan dan rasa jumawa [ama pambegan], sehingga urgensi pendirian universitas pengetahuan diri yang baru [baca: Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru] perlu disegerakan. Dan dalam latar seperti itulah Ki Ageng Suryomentaram hadir.

Karena, penghalang terbesar untuk mengenali kenyataan diri—yang akan membawa pada keadaan bahagia bersama [baca: zaman windukencana]—adalah sebuah rasa “merasa lebih dari yang lain”, rasa sombong, rasa ‘lebih unggul dari yang lain’, juga rasa iri. Rasa-rasa ini muncul dikarenakan sebagai penanda akan betapa tidak tahunya dia akan kenyataan dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Dan melihat diri melalui ‘pangawikan pribadi’-nya Ki Ageng berguna untuk membedol rasa-rasa ini sampai kepada akar-akarnya, yang akan mengantarkan seseorang masuk kepada surga ‘rasa-tentram’ dan kedamaian. Karena tercapainya rasa tentram diri ini pulalah yang membuatnya akan bisa menyaksikan dan rajin mengawasi rasanya orang lain, sehingga menemukan cermin ‘rasa yang sama’ terhadap yang lain.

Juga dari jalur pengenalan diri inilah, orang mulai bisa mendeteksi asal sumber kesengsaraan manusia, alias rasa tak pernah cukup dari keinginannya [karep/karsa]. Dikarenakan sifat keinginan ini memang memiliki kondisi kekukarangan, celaka, dan sengsara terus-menerus [dat-ing karep punika cilaka]. Setiap kali melihat orang miskin, orang kaya, orang rendahan, orang berpangkat, orang pandai, orang bodoh, seseorang bisa merasakan kesengsaraan yang sama yang diderita mereka, karena telah menyatu dengan keinginan yang membuatnya memasuki kondisi rasa kekurangan tanpa ujung.

Dalam penglihatan diri ini, ia mulai bisa menyaksikan bahwa terpenuhinya keinginaan tidak akan membuat orang bahagia, karena segera akan mengingini sesuatu yang lebih, tak puas [baca: mulur]. Dan memang begitulah keinginan. Namun, dari jalur ini pula, seseorang akan mulai bisa memilah antara “Aku” sebagai pengawas-keinginan dengan keinginan dan rasa-rasa yang ditimbulkannya sebagai objek awasannya. Aku yang mengawasi keinginan, ternyata mandiri dan terbebas dari kesengsaraan yang dimunculkannya [aku dudu karep].

Akhirnya sang-Aku bisa mengawasi keinginan [karep] se-enaaknya [tanpa perlu mengubahnya], alias tidak khawatir lagi, karena terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan tersebut, tidak akan menyebabkan kebahagian seterusnya maupun kesusasahan seterusnya: senang sebentar, lalu susah lagi [karena keinginannya mengembang; mulur], atau jika tidak terpenuhi susah, lalu senang kembali [karena keinginannya mengempis: mungkret].  

Kesadaran sang-Aku pengawas [Diri besar] yang tak lagi terbelit dengan gerakan keinginaan subyektifnya akhinya muncul ke permukaan. Ia sekarang bisa mengawasi keinginannya sendiri, yang secara alami memang memiliki sifat “sewenang-wenang” serta “tak mau bersusah payah” dalam pemenuhannya [alias tak bisa diubah], yang ini jelas melawan prinsip alamiah kenyataan hidup itu sendiri.

Ketika, sang rasa “Aku” telah muncul ke permukaan [sampun medal saking korining pikiran] ia bisa merasakan rasa tentram yang tanpa kira, yakni sejenis rasa damai yang bukan dikarenakan terpenuhinya keinginan, melainkan rasa Aku yang telah terbebas, dan telah bisa menerima sifat kinginaan yang ‘maha lucu’ itu [tanpa perlu lagi mengubahnya], yang pada dasarnya tidak bisa lagi membuat Aku sengsara [karena aku hanya mengawasi].

Pada saat inilah akan muncul rasa tangguh [raos tatag], serta telah bisa menerima keadaan dan kejadian yang telah terjadi di masa lalu [musnahnya rasa sesal—getun], serta telah siap menghadapi apa yang akan berlangsung di masa mendatang [rasa khawatir hilang—sumelang], karena baik terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan, tidak akan membuat kebahagiaan yang bersifat terus-menerus [dalam arti rasa senang terus-terusan] maupun kesengsaraan yang terus-menerus [sedih yang terus-terusan]: karena rasa senang dan susah ini pada dasarnya terus-menerus bergantian seiring gerakan keinginan yang bersifat mengembang-mengempis [mulur-mungkret].

Kondisi inilah yang akan mengantarkan kita pada terpilahnya watak-watak kehewanan atau ke-buto-an yang telah berpisah dengan watak kedewataannya [andadosaken sigaring pilahipun wateg-wateg kahewanan lan wateg-wateg kadewatan].

Seseorang akhirnya berdiri tegak dalam berpengetahuan sebagai pribadi [baca: madeg pribadi kawruh] dalam mengawasi kenyataan. Pengetahuan dan proses mengetahuinya tidak lagi digunakan semata sebagai perabot yang tunduk pada pemenuhan keinginannya [penilaian subyektifnya], yang sayangnya jika dibiarkan bisa menyuburkan pengetahuan “kata-katanya” [katanya kitab, katanya buku, katanya teori, katanya orang, dll] maupun pengetahuan “pantas-pantasnya’, alias pengetahuan berdasar kebiasaan dari yang apa dinyakininya [gugon-tuhon], melainkan telah bergerak kepada pengetahuan yang sudah terlepas dari unsur subyektivitas keinginan dan kehendaknya, alias Kawruh Nyata [Ilmu Nyata]. Yakni sejenis ilmu pengetahuan yang telah dimengerti, diketahui, dan dirasakannya sendiri berdasar prinsip obyektif kenyataan hidup yang telah teralami [baca: kasunyatan, hakikat, kahanan jati].

Dalam amsal pewayangan, orang yang telah menegakkan sang Aku ini akan manunggal dengan Batara Wisnu [tetep sarira Bethara Wisnu], memakai mahkota “merasa benar sendiri” [ngrasuk makutha rumaos leres], alias sudah mengerti, mengetahui, dan merasakan sendiri, karena telah duduk di singgasana Kawruh Nyata atau Ilmu Nyata [lenggah ing dampar kawruh nyata], serta kemudian menjadi sang Aku yang maha serba tahu [semuanya kuketahui, bahkan termasuk yang tidak kuketahuipun, aku tahu].

Namun setiap kali sang Aku melihat yang lain, ia ternyata melihat orang lain seperti bayangannya sendiri yang juga “merasa benar sendiri’ [tiap orang pasti begitu], meskipun dasar penyangga pengetahuan “merasa benar sendiri”-nya tersebut adalah pengetahuan yang “kata-katanya” [jare-jare] atau “menurut ini-menurut itu” [biridan], maupun “pengetahuan pantas-pantasnya berdasar semata kebiasaan yang dinyakininya” [gugon tuhon].

Ia melihat orang lain juga ‘merasa benar sendiri’ meskipun belepotan di sana-sini. Padahal, siapapun yang bersikeras memaksa orang lain untuk supaya “merasa keliru” tanpa didampingi suguhan sajen Dewi Sinta bernama ‘rasa welas asih’ yang sempurna, tentu pasti akan kwalat” [pramila tiyang ingkang ngogek-ngogek dating tiyang sanes, ingkang supados rumaos klentu mboten mawi Dewi Sinta, Sih ingkang sampurna, tamtu kwalat].

Rasa Aku-mengawasi yang telah muncul dalam diri seseorang inilah yang dikatakan oleh “Kawruh Jiwa” bisa menjadi pandu dalam mengawasi dan menimang gerak naik-turunnya rasa-rasa beragam dalam hati yang terus berseliweran, plus untuk membedol dan mencabuti rasa-rasa ruwet yang telah berurat akar di dalamnya. Rasa tentram akhirnya akan bersemayam, karena telah bisa menerima dan mengawasi rasa-rasa yang berwarna tadi, yang memang berlangsung seturut hukum kejadian dan sifat keinginan.

Jika rasa tentram ini semakin bertambah dan mengakar dalam diri, ia bisa berdiri sebagai pribadi [jumeneng pribadi], alias tidak membutuhkan ‘rasa-welas-asih’ dari orang lain, karena dalam hatinya telah berlimpah dan kelebihan rasa cinta [sugih sih-kaya cinta], yakni sebagai hasil buah tanaman pengetahuan yang tumbuh dari pengenalan kenyataan dirinya sendiri. Jika buah ini telah matang, ia bahkan bisa membagikannya sebagai suguhan makanan bagi setiap makhluk di bumi untuk memetiknya.

Sang Maha-Kaya-“Cinta” ini [orang yang telah berkecukupan cinta, karena saking melimpahnya di dalam hatinya] kemudian juga bisa mulai bertani, menanamkan benih pengetahuan [kawruh] ke dalam hati orang lain dengan cara membajaknya dengan simpati, melembutkan tanah pertaniannya dengan alat garu bernama sabar, dan menyiangi gulmanya dengan rasa welas-asih.

Sabar dikarenakan berasal dari terang penglihatannya, bahwa menanam padi pasti akan menumbuhkan padi. Sedangkan simpati adalah penglihatan jiwanya dalam memandang orang lain, tidak ada lagi sekat-pemisah yang tidak mungkin bisa ditembus oleh kekuatan simpati. Jika anak panah simpati telah dilepaskan, semua yang berkerlipan akan termurnikan; sebuah senjata prabu Niwatakawaca dalam pewayangan, dimana saat sang Arjuna telah bisa mengalahkan sosok ini, ia disebut “lelananing jagad’ [sang pria sejatinya jagad raya].

Mungkin dalam rangka menjelaskan ajaran mulya pengenalan diri-ruhani inilah, penulis buku Trilogi Suryomentaram ini: Muhaji fikriono, bertungkus-lumus menuliskannya dalam tiga jilid tebal yang serba melingkupi sehingga memudahkan para pembaca. Dan, seperti sering dikatakan penulis buku ini kepada saya, bahwa ‘sudah saatnya’ ajaran ini perlu diwedar dan dijelentrehkan tanpa harus ditutup-tutupi lagi karena kekhawatiran akan efek getarnya bagi tradisi pengetahuan normatif ruhani sebelumnya.

***

Pesan Seri Buku Ki Ageng Suryomentaram Karya Muhaji Fikriono [Klik Link]

Namun, sebelum beranjak mengatamkan rangkaian buku trilogi ini, saya ingin mengingatkan kepada para pembaca, bahwa rangkaian ajaran yang akan Anda dapatkan dari hasil ‘membaca’ buku Suryomentaram ini, pada akhirnya adalah baru semata ‘katanya’ Suryomentaram [ilmu jare-jare dan biridan]. Alias Anda belum mengetahui dan merasakannya sendiri [mengerti, mengetahui, atau merasakan sendiri—Kawruh Nyata].

Maka, setelah selesei, segeralah lupakan ‘katanya’ Suryomentaram, tepislah pengetahuan ‘menurut’ Suryomentaram. Segeralah, mulai saat ini, di sini, dan dalam keadaan seperti ini [saiki, kene, ngene] mengenali dan mengawasi realitas diri Anda sendiri. Karena tak ada siapapun, makhluk bumi manapun, yang bisa mengajari Anda–tidak guru manapun, tidak kitab, tidak buku, tidak tulisan, atau tidak siapapun—dalam usaha mengenali realitas diri anda sendiri.

Wejangan Suryomentaram di bawah ini barangkali tepat untuk memungkasi paragraf pengantar tulisan ini:

Saya mengingatkan kepada semua yang mendengar

[Kulo pepenget dateng sedaya ingkang mirengaken],

Jangan pernah menjalankan ajaran-ajaran di atas

[sampun ngantos anglampahi wulangan punika],

Malah akan mendapat kesusahan yang tak terkira

[mindak angsal kesusahan ingkang tanpa upami].

Ajaran-ajaran di atas hanya untuk tiang-sandaran saat duduk semata

[wulangan punika namung kangge cagak lenggahan kemawon],

Atau semata sebagai suguhan pengiring saat wedangan

[utawi pacitan wedangan],

Jangan sampai dibaca saat sendiri

[sampun dipun waos ijen-ijenan],

Sebab nanti kalau ada setan yang lewat, juga akan ikut tertarik untuk mengamalkannya

[sabab mangke yen wonten setan langkung lajeng kapingin nglampahi],

Akhirnya bisa membahayakan, rusak dunia-akhiratnya

[wasana kadrawasan, risak donya-ngakeratipun].

Akhir kata selamat membaca. Langeng bungah-susah!

Klandungan, Malang. 26 Januari 2024

Irfan Afifi

Pelajar Kawruh Jiwa, ngiras-ngirus Tukang Sapu Langgar.co

*** Tulisan pengantar ini ditulis untuk mengenang momen ‘kasendal-mayang’ rasa gemetar diri yang tak terkira karena membolak-balik “Buku Langgar 1920-1928” [belum terbit] selama masa tiga tahun.

Akhir-akhir ini saya nyaris berkesimpulan bahwa makna hidup tak mungkin didapat dari proses abstraksi-abstraksi pemikiran dan permenungan filosofis berjarak. Melainkan ia bisa digenggam, hanya dari proses mengalami secara intim-subjektif pengalaman-pengalaman kehidupan. Sederhananya untuk dapat merengkuh makna hidup, orang, saya anjurkan untuk menjadi pecinta daripada menjadi filsuf.

Kalaupun “makna hidup”­­––katakanlah begitu––bisa ditangkap dari permenungan berjarak para filsuf, makna tersebut saya kira kok bersifat objektif, jauh, dan dingin, alias tak membantu banyak hal atas keputusan spesifik dari ribuan gejala dan pengalaman yang kita hayati secara spesifik. Ia ada “jauh” di sana, oleh karenanya apa guna?

Persis seperti dalam menghayati agama, makna hidup harus dijemput tepat pada saat anda “menceburkan” diri dalam pengalaman fana keduniaan anda. Mungkin metafor yang baik untuk melukiskan ini adalah saat anda belajar bersepeda.

Agama, atau lebih tepatnya kebenaran agama, digapai bukan dengan mematuhi rumusan baku yang bersifat umum dan mengekang, yakni dengan cara melibatkan diri dalam pertengkaran diskursif terkait madzhab-madzhab aturan-aturan yang beragam tentang juklak dan juknis seperti tertera dalam banyak buku panduan bersepeda.

Kebenaran agama adalah hal intim yang diperoleh dari jalan menerjunkan diri untuk dengan komitmen dan tekad sempurna berani mengayuh sepeda dengan keterlibatan penuh, meski ia harus berkali-kali terluka karena sepeda anda tersungkur. Tapi tekadnya untuk merengkuh kebenaran akan memicu anda untuk bangkit dan bangkit lagi. Anda, percayalah, akan dibangkitkan oleh cinta.

Kebenaran agama adalah hal intim yang diperoleh dari jalan menerjunkan diri untuk dengan komitmen dan tekad sempurna berani mengayuh sepeda dengan keterlibatan penuh, meski ia harus berkali-kali terluka karena sepeda anda tersungkur. Tapi tekadnya untuk merengkuh kebenaran akan memicu anda untuk bangkit dan bangkit lagi. Anda, percayalah, akan dibangkitkan oleh cinta.

Para faqir dan guru suci kita telah sering memperingatkan kita bahwa menghafal kitab suci tak akan mengantarkan kita pada kebenaran, apalagi kearifan. Kebenaran didapat sungguh dari upaya intim kita untuk “mengalami” percik-percik pengalaman. Banyak orang menyebut upaya ini sebagai “cinta”, dan sepertinya saya setuju.

Sungguh saya akan bergetar, jika menemui seseorang yang dengan tanpa sedikitpun mundur––tentu setelah melewati uji rentang waktu yang lama––untuk terus menerus memperjuangkan cintanya. Ia, bagi saya telah “mengalami” cinta sebagai proses spiritual yang sublim, dan oleh karenanya saya akan segera bersimpuh di depannya (lirik Tarli Nugroho).

Para faqir dan guru suci kita telah sering memperingatkan kita bahwa menghafal kitab suci tak akan mengantarkan kita pada kebenaran, apalagi kearifan. Kebenaran didapat sungguh dari upaya intim kita untuk “mengalami” percik-percik pengalaman. Banyak orang menyebut upaya ini sebagai “cinta”, dan sepertinya saya setuju.

Saya sarankan, jika anda ingin merengkuh kebenaran, singkirkan jauh-jauh permenungan filosofis berjarak dan jadilah pecinta yang buta. Karena, jika cinta saya buta, ungkap anda, saya pasti akan menemukan jalan bersamanya.

Tapi, tunggu dulu. Pandangan saya di atas sebenarnya masih hitam-putih. Yakni Saya seolah membuat garis tegas wilayah antara filsuf dan pecinta. Padahal, dalam hidup, saya sering menemukan seorang filsuf yang berusaha mengalami kehidupan dengan bantuan permenungan berjaraknya. Karena bagaimanapun, pengalaman yang tak direfleksikan hanya akan menambah deretan pengalaman yang tak terangkai.

Namun, sebenarnya, apa yang saya ingin katakan sebenarnya sederhana, yakni saya ingin mengalami hidup ini dari menggeluti kekayaan elemen yang mendukungnya: permenungan, ilmu pengetahuan, rasa seni, keterlibatan etis, keindahan, dsb.

Karena, kita tahu, akhir-akhir ini ada kecenderungan banyak orang meyakini bahwa hanya dengan kelebatan panduan ilmu pengetahuan, tafsir agama, dan doktrin-doktrin agama semata, mereka merasa telah meringkus kebenaran. Mereka abai bahwa hidup adalah kecamuk gejala yang sejatinya perlu didekati tidak hanya dengan ilmu tapi juga seni; tidak hanya dengan tafsir kitab suci, melainkan juga dengan etika dan akhlak kemanusiaan––yang sejatinya saya yakini segaris dengan agama yang fitri.

Sudah. Kalau begitu, anda ingin jadi filsuf atau pecinta.

Gambar di bawah ini namanya kayon. Banyak sumber mengasalkan kata ini dari kata kayu dalam bahasa Jawa yang berarti pohon dan wit-witan (tumbuhan), maupun dr kata hayyu atau hayyun dari bahasa Arab (yang dilafalkan lidah Jawa menjadi kayu atau kayun) yang berarti ‘hidup’. Kata kayu ditambah akhiran -an menurut kaidah fonetis Jawa menjadi kayon (bukan kayuan), persis seperti kata turu (tidur) mendapat akhiran -an menjadi turon bukan turuan.

Arti dua cabang asal kata ini sepertinya justru saling melengkapi. Seperti simbol pohon kalpataru yang terpampang dan memenuhi gambarnya, hal ini memang mau menunjuk arti ‘pohon kehidupan’ (pohon kalpataru). Namun dalam bahasa jawa, selain kata wit yang berarti pohon, kata wit juga bisa berarti kependekan kata wiwit atau wiwitan yang berarti “permulaan”. Jadi ini juga soal “permulaan kehidupan”, atau juga terkait permulaan kehidupan yang dimetaforkan seperti pohon, yakni ada awal-akarnya kemudian berkembang bertumbuh, bercabang, berdaun, beranting, berbunga dll.

Makna dan simbolisasi yang baru saya paparkan sungguh terkonfirmasi oleh salah satu deskripsi setiap dalang wayang kulit purwa di tengah pakeliran saat menancapkan kayon-nya, kemudian mendendangkan sulukan (pathet sanga wantah) yang mengilustrasikan kayon awal mulai pohon kehidupan itu.

Kayune purwa sejati. (Ke)hidup(an) permulaan sejati. Yang dahannya semesta, beranting cahaya pelangi, kembangnya bintang-bintang, berkelopak langit, berbuah matahari dan bulan, tersirami embun dan hujan, juga berpuncak angkasa, dst.

Jadi sebenarnya kayon ini ingin mengajarkan tentang awal mula sejati kehidupan atau alam semesta ini (yang sebenarnya sekaligus akhirnya). Lalu apa permulaan sejati atau awal mula dari kehidupan ini?

Jadi sebenarnya kayon ini ingin mengajarkan tentang awal mula sejati kehidupan atau alam semesta ini (yang sebenarnya sekaligus akhirnya). Lalu apa permulaan sejati atau awal mula dari kehidupan ini?

Jawabannya kita temukan di paragraf Wirid Hidayat Jati-nya Ranggawarsita, saya kutipkan:

“Kang dingin Ingsun anitahake Kayu…’ (ingat kata ‘kayu’)”.

“Yang pertama Saya (Allah) mencipta/memerintahkan Hayyu (zat hidup/ kecenderungan pertama Dzat-Nya)…’

“Nuli cahya aran Nur Mukammad”

“Baru selanjutnya cahaya yang bernama Nur Muhammad”.

Saya kutip kata perkata biar orang tidak mengira saya ngelindur. Di paragraf ini sebenarnya Ranggawarsita ingin menceritakan awal-mula kehidupan bukan dari sisi penciptaan dunia menurut syariat lahir, melainkan dari konsep penciptaan semesta dari haqiqat-esotoris seperti diamini banyak tokoh sufi seperti Ibn Arabi, Jilli, Jami, Burhanpuri, bahwa semesta ini merupakan merupakan tajalli atau pendararan kecenderungan pertama Dzat-Nya (Syu’un dzatiyah) yang bernama Hayyu atau kayu yang kemudian mencipta cahaya atau nur muhammad.

Kecenderungan Dzat-Nya yg pertama ini (Kayu) oleh Ranggawarsita disebut juga sajaratul yakin (harafiahnya pohon yakin/pohon hidup) yang olehnya dimaknai “bertumbuh di alam adam-ma’dum” atau di alam “gaib-nya gaib” alias di alam puncak tertinggi (pertama) kegaiban tuhan, yang oleh Ranggawarsita disebut sebagai tempat kegaiban pertama alam ahadiyat (dados wahananing ngalam akadiyat).

Dari kegaiban pertama ini lalu munculllah nur Muhammad di alam kegaiban kedua (alam wahdat), terus hingga alam ketiga (alam sirr/rasha), keempat (alam arwah), kelima (alam misal), keenam (alam jisim kebendaan dunia ini) hingga ketujuh (dunia insan kamil manusia), yang sering disebut ‘martabat tujuh’ (kasapta martabat).

Jadi Ranggawarsita tak sendiri. Teori penciptaan ini diamini juga oleh sufi lain seperti Hamzah Fansuri, al-Jilli, Burhanpuri, dll. Dan sekali lagi teori ini tidak bertentangan (hanya sisi esotoris dalam memandang) dengan teori kejadian al Qur’an dari sisi lahir-eksoterik dari “ketiadaan” menjadi “ada”.

Dari sisi esotorik inilah kehidupan (kayu) bermula dari penyingkapan kegaiban berlapis-lapis atau peluberan (faidh, tanazzul) kecenderungan dzat-Nya bernama “hayyu” tadi melahirkan kehidupan dunia ini (dunia ini madźhar-Nya). Atau dalam bahasa lain, (kehidupan) dunia ini atau alam semesta ini hanya tajalli atau manifestasi atau pen-“nyata”-an dari Wujud dari Yang Maha Hidup (Hayyu).

Tak aneh misalnya gunungan wayang itu yang awalnya dinamai kayon Blumbangan dikenali masyarakat diciptkan oleh Sunan Kalijaga. Lalu disempurnakan menjadi Kayon Gapuran di zaman Mataram kartasura (jangan mencarinya di zaman Majapahit, yg cuma menyisakan parwa-parwanya (cerita wayang) tp tak diketemukan wayang kulitnya).

Jadi jangan heran jika kayon itu muncul dalam perubahan suasana di setiap babak lakon cerita: di awal, tengah, dan akhir wayang). Ia juga menandai munculnya sulukan (harafiah Arab-nya “perjalanan” hidup kembali kepada-Nya) alias tembang peralihan di setiap lakon (laku, mlaku, lakon perjalanan kehidupan) wayang.

Akhirnya kayon adalah lambang perjalanan kehidupan yang berasal dari-Nya dan sedang menuju-Nya. Lambang untuk mengenali awal-mula kehidupan manusia (kayun purba sejati). Ia bahkan bukan semata mengajari tauhid lahir bahwa Tuhan kita adalah Allah. Namun bahwa satu-satunya yang benar-benar ‘ada’ (yakni tauhid wujud), adalah Dia. Keber-ada-an bumi dan alam semesta ini hanyalah ‘bayangan’ (wayangan), alias tidak haqiqi, majazi, dari keber-Ada-an mutlaq-Nya. Termasuk hidup kita ini hanya bersifat metaforik (majazi), karena yang benar-benar hidup adalah Yang Maha Hidup. Dalam bahasa lahir-syariat, hidup kita ini hanya pinjaman.

Akhirnya kayon adalah lambang perjalanan kehidupan yang berasal dari-Nya dan sedang menuju-Nya. Lambang untuk mengenali awal-mula kehidupan manusia (kayun purba sejati). Ia bahkan bukan semata mengajari tauhid lahir bahwa Tuhan kita adalah Allah.

Makanya saya tidak terlalu kaget, ada seorang ustadz yang mengharamkan ajaran tauhid wayang ini, yang dari mulutnya keluar semua yg tak ada dalilnya ia bid’ahkan. Namun saya sedih, karena kita (para pewaris walisanga ini) benar-benar kehilangan ajaran mulia ini dari tikungan-tikungan sejarah kolonialismenya sehingga tak lagi mengenali ajaran penting ini. Ringkasnya para muslim kita hari juga sudah mulai “kelangan enggok“. Mungkin ini nasib sejarah, saya memaklumi.

Saya tiba-tiba ingat zikirnya simbah-simbah tetangga dulu: “ya kayu ya kayumu” (Ya Hayyu, Ya Qayyum(u).

Tulisan ini akan saya mulai dengan menyorongkan dilema. Sesaat setelah menerima undangan panitia untuk menjadi salah satu narasumber dalam rangkaian acara Kongres Kebudayaan Desa 2020 ini, muncul sebuah kelebat pikiran yang menghinggapi saya dalam bentuk dilema, atau mungkin malah semacam paradoks. Dilema tersebut jika dalam bentuk pertanyaan kurang lebih saya bahasakan seperti ini: Bagaimana kita membincang dan mempercakapkan kebudayaan, yang kita tahu di era ini pengertian atasnya telah menyusut menjadi semata sebagai kesenian, tradisi, dan pengetahuan tradisional semata—tentu saja terkait relasinya dengan Pandemi Covid-19 ini—dimana pada saat yang bersamaan seluruh kebijakan struktural-programatis penanganan pandemi Corona ini didasarkan pada temuan sains atau nalar modern—yang oleh manusia hari ini sering ditempatkan, didirikan, dan dihadapkan vis-avis dengan pengertian kebudayaan yang telah disusutkan tadi, yang justifikasinya didakwa berada di seberang yang ilmiah tersebut? Atau pada titik mana, tepatnya, tulisan saya ini berikutnya bisa masuk akal didiskusikan dalam bangun carut-marut diskursus yang menyertai munculnya virus yang melanda dan sedang menghantui jagad manusia hari ini? Atau dari jurusan lain, bagaimana saya mempercakapkan sudut pandang kebudayaan yang sejak bangsa ini memproklamirkan kemerdekaannya, nalar kebudayaan dalam pengertian mendasarnya sebagai sistem makna dan pengatahuan telah berpisah secara diametral dengan nalar pandangan dunia keilmuan sains yang diajarkan di sekolah dan universitas? Dari jawaban atas pertanyaan ini, sedikitnya, semoga kita bisa menjernihkan duduk perkara kebudayaan dalam konteks kebijakan, entah itu terkait pandemi yang melanda kita, maupun agenda keseluruhan dalam level penilikan ulang “wilayah” kebudayaan yang hingga hari ini merupakan ranah pinggiran terlantar dalam jejaring tata-sosial, ekonomi-politik kita, yang ternyata terus saja secara sembunyi maupun terang-terangan kita rindukan.

Jika kita menyakini, sebagaimana Daoed Joesoef, salah satu mantan Menteri Pendidikan kita, bahwa kebudayaan seturut dengan aspek maknanya sebagai “sistem ide” dan “nilai” dan “pengetahuan” yang dikandungnya adalah merupakan inang dari sistem pengetahuan dan keilmuan (sistem pendidikan), atau dalam rumusan lain ia, kebudayaan, merupakan faktor konstitutif sistem pendidikan dan sistem pengatahuan, kenapa hari ini dua hal ini dimana sistem pengetahuan modern (sains) yang mewujud dalam bangun-tubuh sekolah dan universitas kita, sungguh sedang berdiri hadap-perhadap dengan kebudayaan yang telah menyempit menjadi sistem perilaku dan nilai yang ada di sebarang justifikasi ilmiah? Ada apa ini? Ada problem mendasar apa yang menghinggapi bangsa ini?

Kita mafhum gerak dan munculnya sistem pendidikan di negeri kita merdeka ini, jika kita mau berlapang dada, muncul dan hadir pertama-tama dari gerak eksogen dibanding desakan gerakan endogen. Ia sistem pendidikan modern ini adalah sesuatu yang didesakkan dari luar oleh kolonialisme di masa Politik Etis yang dicangkokkan penjajah bersama seluruh perangkat sistem pengatahuan (juga pada akhirnya perilaku dan nilai) yang baru, yang memang berseberangan dengan pandangan dunia masyarakatnya. Meski pada awalnya, Belanda sebenarnya telah berusaha mengenali dan mensurvei sistem pendidikan asli pribumi untuk dijadikan dasar yang melambari bangun sistem pendidikan baru, namun pilihan akhir penjajah adalah mengintrodusir sistem pengetahuan dan ilmu yang mencerabutkan akar pengetahuan lama. Ia hadir dari sesuatu yang sama sekali asing (dan kemudian dicangkokkan) dari inang kebudayaan lain, yang sayangnya hingga hari ini menyebabkan fase transisi tanpa ujung (belum/tidak berhasil) kita selesaikan sebagai bangsa. Atau mungkin benar apa yang dikatakan Umar Khayam, kita ini masih terus dalam keadaan “rasa terbelah dan gamang” dalam menyambut kebudayaan modern, tanpa/belum mau/belum berhasil menyelesaikan transisi ini.

Atau mungkin benar apa yang dikatakan Umar Khayam, kita ini masih terus dalam keadaan “rasa terbelah dan gamang” dalam menyambut kebudayaan modern, tanpa/belum mau/belum berhasil menyelesaikan transisi ini.

Akibatnya, sayup-sayup kebudayaan dalam pengertian khususnya sebagai sistem pengetahuan tradisional (atau kebudayaan dalam pengertian tradisionalnya) yang memandu perilaku keseharian yang memberi makna bagi hidup, masih menghidupi dan menafasi kita (alias dalam derajat tertentu belum tergantikan, terutama di desa) di satu sisi, namun (berkebalikan dengan itu) di sisi lain seluruh perangkat, gaya, pranata dan istitusi ekonomi, politik, dan kemasyarakatan secara lahir tampil dalam wujud kulit dan baju modernitas tergelar dalam tampilan luarnya dan telah menjadi imperatif norma yang terus-menerus menginterupsi pandangan pengetahuan tradisional tersebut. Maka tak aneh, jika bangsa ini telah legal testosterone enanthate berhasil menyorongkan neologisme (istilah baru) bernama “budayawan” yang tak punya padanan katanya pada level pranata keilmuan dan kebudayaan pada negara-negara yang telah memeluk sistem keilmuan modern (sains) secara utuh? Istilah ini seolah ingin menyodorkan bahwa terdapat nalar berbeda (bisa jadi berkait dengan nalar lama/atau bahkan berkait dengan tradisi yang masih hidup di pinggir modernitas) yang berada di luar demarkasi rasionalitas modern sains yang memandu sekolah dan universitas maupun kebijakan publik yang tunduk pada norma sains itu, yang ingin terus menyuarakan kebenarannya, dan sekaligus menjadi interupsi atas klaim nalar sains yang mengatur secara menyeluruh pranata sosial modern, mulai dari pranata sosial pemerintahan, bank, organisasi sosial, dll, yang senyatanya sudah, minimal secara lahir, menjadi entitas faktual dan kehidupan sehari-hari masyarakat ini.

Mungkin juga keberadaan pranata seperti kebudayaan dan kesenian tradisional yang sayup-sayup masih berusaha setengah mati dipertahankan, atau keberadaan sistem pendidikan tradisional bernama “pondok” atau “pesantren”—ya sistem yang oleh Ki Hajar Dewantara dipandang sebagai sistem pendididkan “asli” pribumi itu—sebagai lokus pengetahuan “lain” di luar sains yang hingga hari ini masih terus mencoba bertahan di pinggiran demarkasi rasionalitas keilmuan dan sistem pendidikan modern (sains), atau banyaknya praktik maupun pengetahuan tradisi yang terus saja berdenyut, meski sayup-sayup, menyuarakan kearifan-kearifan yang banyak berseberangan dengan atau minimal berjalan terpisah di luar nalar modern, atau juga masih terdapatnya arus sistem ekonomi tradisional—sebagaimana dikatakan H. Boeke—yang tak segera terintegrasi atau berjalan sendiri/terpisah dari ekonomi modern yang mendasarkan capaian akumulasi kapital dalam mantra ekonomi kapitalisme modern. Atau juga munculnya pranata-pranata atau wadah-wadah pengajian atau ruang-ruang berskala masif pengajian kultural yang terus-menerus subur menjamur yang melabrak jam-positivisme waktu kerja produktif sebagaimana digariskan oleh waktu masyarakat industrial?

Apa yang sebenarnya tengah berlangsung pada masyarakat ini? Apakah sebenarnya ia “gamang” atau “enggan” menggabungkan diri dengan gerak laju modernitas secara penuh? Apakah memang sebagai bangsa kita belum berhasil, untuk tak mengatakannya gagal, me-reintergrasi pada level kebudayaan dalam pengertian mendasarnya, dalam bangun keilmuan dan kebudayaan modern secara utuh. Mungkin “keterbelahan” ini juga yang menyebabkan kita masih terus menyusu pada induk inang kebudayaan lain yang menjadikan kita masih terus-menerus jadi konsumen kebudayaan, yang oleh karenanya membuat kita tak begitu berdaulat dan mandiri secara kebudayaan, politik, maupun ekonomi, alih-alih membincangkan kepribadian bangsa. Kegagagalan ini menyebabkan perumitan ke level dalam dinamika kebudayaan itu sendiri (dalam hal struktur kebudayaan dan pandangan lama, yang lamat-lamat masih berdetak), atau dalam bahasa lain “involusi”, yakni telah berpisahnya dengan dinamika gerak perubahan yang terus berlangsung di luar kendali dirinya, yang alih-alih kita diharapkan menjadi “actor kebudayaan” yang berdaulat, tegak, dan mandiri dalam konteks individu, masyarakat, maupun bangsa dalam deru silang-kebudayaan arus teknologi-informasi mendunia yang meruah ke sekujur bumi, yang dengan sendirinya diikuti oleh suatu proses yang sering disebut sebagai cultural impasse (kebuntuan budaya).

Apa yang sebenarnya tengah berlangsung pada masyarakat ini? Apakah sebenarnya ia “gamang” atau “enggan” menggabungkan diri dengan gerak laju modernitas secara penuh? Apakah memang sebagai bangsa kita belum berhasil, untuk tak mengatakannya gagal, me-reintergrasi pada level kebudayaan dalam pengertian mendasarnya, dalam bangun keilmuan dan kebudayaan modern secara utuh.

Debat maupun polemik riuh terkait arah kebudayaan dari sejak Polemik Kebudayaan Sutan Takdir Alisyahbana di tahun 1930-an, Surat Kepercayaan Gelanggang, hingga Manifesto Kebudayaan, belum mengakhiri maupun menyeleseikan keterbelahan kebudayaan ini. Dan bahkan dalam derajat tertentu, meski keseluruhan manifestasi pranata sosial kita telah berubah menjadi institusi modern, dan sebagian besar wajah-tampilan, gaya hidup, perangkat teknologi, perilaku konsumsi dan politik kita, sepenuhnya telah dipandang modern dalam bentuknya, namun sistem pengetahaun dan sistem nilai kita secara halus masih ditaburi dengan tebaran struktur kearifan-religius dan tradisi yang masih bertebaran di ruang hidup kultural kita. Lalu, jika pada kenyataannya kearifan tradisi, dan nalar pengetahuan secara sembunyi, masih hidup dalam ruang kultural kita, akankah kita mampu merekonstruksi kearifan kebudayaan sesuai tantangan kekinian, tanpa terjebak pada perumitan kebudayaan ke dalam (baca: involusi), yang jangan-jangan usaha pengatasan atas masalah “keterbelahan” kultural kita ini sebenarnya merupakan solusi bagi upaya mengintegrasikan bangun identitas kultural bangsa ini yang akan menopangnya menuju kedaulatan dan kemandirian bangsa?

Lalu, jika pada kenyataannya kearifan tradisi, dan nalar pengetahuan secara sembunyi, masih hidup dalam ruang kultural kita, akankah kita mampu merekonstruksi kearifan kebudayaan sesuai tantangan kekinian, tanpa terjebak pada perumitan kebudayaan ke dalam (baca: involusi), yang jangan-jangan usaha pengatasan atas masalah “keterbelahan” kultural kita ini sebenarnya merupakan solusi bagi upaya mengintgrasikan bangun identitas kultural bangsa ini yang akan menopangnya menuju kedaulatan dan kemandirian bangsa?

Saya jauh-jauh hari, merasa tak terlalu punya pretensi awal untuk bisa menjawab pertanyaan ini. Namun begitu, permasalahan yang saya sodorkan bisa menjadi undangan bagi siapapun untuk mengenali duduk perkara, minimal berkait relasi kebudayaan dan pengetahuan. Karena bagaimanapun, sistem pendidikan yang tercerabut dari akar sistem pandangan dunia dan kebudayaan masyarakatnya tidak akan memperkokoh kedirian dan kemandirian sebagai bangsa, dan dampak lanjutannya akan melanggengkan kegamangan dan keterbelahan kultural sebagaimana saya sedikit diskusikan di paragraf-paragraf sebelumnya.

Desa Sebagai Pijakan

Desa sebagamaina sering muncul dalam bayang imaji kita, ia sering kita bayangkan sebagai sesuatu yang ideal. Di ruang kultural ini, kita sering membayangkan imaji kebersamaan, gotong-royong, kesederhanaan manusianya, kemandirian, juga kearifan (tradisional), yang tak lagi kita dapatkan saat kita menghirup udara kebudayaan kota. Ia kita bayangkan sebagai tempat kembali bagi orang-orang yang telah menyesap udara pengap suasana kejengahan Kota. Ia seolah ingin ditempatkan sebagai soko guru kebudayaan yang menyambungkan kesinambungan dengan akar di masa lalu.

Bayangan ini tak sepenuhnya salah. Namun begitu, ada banyak yang telah berubah dengan desa kita. Sejak kita merdeka, kebijakan sentralisasi pendidikan, politik, ekonomi, juga kebudayaan, telah banyak memangkas kearifan, khasanah tradisi, kekayaan atau juga keunikan pengetahuan tradisionalnya (saya sebenarnya ingin menghindari istilah ini) yang kita gadang-gadang tumbuh dan berkembang dalam pertemuan kreatif dengan arus perubahan yang terus berdenyut. Namun faktanya ia merupakan sesuatu yang ada di pinggir, atau karena keterputusan dinamika makna internal yang tak lagi dikenali, ia akhirnya terpinggirkan. Belum lagi jika melihat kebijakan pembangunan (modernisme) yang kadang memang dalam derajat tertentu sengaja didesakkan tanpa menimbang integrasi dan ketersambungan akar tradisional yang menyangganya, benar-benar telah membuat warisan-warisan yang menyangga bangun pandangan dunia masyarakat yang menghidupi ruang kultural ini berada di ruang “transisi”—atau dalam situasi “keterbelahan”—yang hingga kini tak pernah menemukan ruang pemecahan mendasar, di saat seluruh situasi, pranata sosial, serta daya dukung kultural-sosial telah banyak berubah di luar kendali kita.

Ini belum termasuk menimbang fakta perkembangan teknologi-informasi global yang telah menyesaki praktik sehari-sehari masyarakat desa kita hari ini. Sehingga hiruk-pikuk deru silang riuh teknologi-informasi telah ikut menentukan arah perkembangan gerak perubahan yang tak lagi bisa kita elakkan. Maka lengkaplah “kegamangan” ini melanda di sekujur penjuru kota hingga desa. Dan mungkin justru titik inilah relevansinya kita membincangkan desa sebagai soko guru kebudayaan penyangga.

Tema seminar seperti yang disodorkan panitian Kongres Kebudayaan ini membunyikan judulnya dengan gagah: “Kebudayaan: Merekontruksi Ulang Alam Pikiran Nusantara Sebagai Basis Peradaban dan Tata Nilai Indonesia Baru.” Mungkin judul ini ingin menegaskan satu hal: kebutuhan, atau sebut saja kerinduan untuk menyambungkan dengan akar masa lalu yang menyangga diri kita saat ini. Sebuah kehendak untuk tak mau terputus dengan akar, yang dalam tulisan saya di atas juga bisa dimaknai keterputusan, kebingungan, dan keterbelahan (karena tak lagi tersambung/ atau berjalan sendiri-sendiri), yang melalui cara itu, dibayangkan bangunan dasar kultural bangsa kita bisa berpijak pada dasar akar yang kokoh (dan dengan cara itu pula kita mungkin membayangkan gagasan kemandirian dan kedaulatan), yang darinya pada situasi baru ini, apalagi di era pandemik ini, kita punya daya pemaksa yang mengharuskan kita sebagai bangsa, untuk menilik dan memeriksa ulang akar-akar yang menyangga kita tersebut, serta mendesak kita, terutama di saat krisis, untuk menengok ulang perihal arah praktik kultural mendasar kita yang bisa jadi telah menimbulkan krisis, bencana, dan pandemi. Dan di titik itulah membincangkan Desa mungkin menemukan signifikansi dan relevansinya.

Namun, untuk melakukan tilikan ke belakang tersebut, saya ingin berbelok sebentar, dan mengetengahkan temuan dalam sebuah disiplin psikologi sosial. Dalam sebuah pendekatan baru dalam disiplin ini, tepatnya pada apa yang disebut sebagai teori “representasi sosial” yang dikenalkan dari disiplin psikologi sosial, ada sebuah temuan menarik yang ingin saya bagi. Terdapat asumsi dalam pendekatan teori ini yang mengatakan, bahwa dalam menerima nilai, budaya, dan praktik baru (yang asing), sebuah masyarakat mempunyai perangkat “pengetahuan sosial” atau semacam “nalar sosial” untuk menerjemahkan, menanggapi, mengkonstruk ulang fenomena sosial tadi, yang secara sosial kemudian disebarkan merata ke dalam masyarakat. Jadi proses penerimaan nilai, pandangan, dan praktik hidup modern, untuk mengambil satu contoh, tidak diterima melalui proses mental individual yang terpisah dari nilai-nilai masyarakatnya. Karena dalam koridor disiplin ini, “perilaku individu merupakan cerminan dari sistem pemikiran sosial dan sistem pemikiran sosial tersebut dibangun atas dasar kehidupan kolektif setiap individu sebagai bagian anggotanya”.

Jadi proses penerimaan nilai, pandangan, dan praktik hidup modern, untuk mengambil satu contoh, tidak diterima melalui proses mental individual yang terpisah dari nilai-nilai masyarakatnya. Karena dalam koridor disiplin ini, “perilaku individu merupakan cerminan dari sistem pemikiran sosial dan sistem pemikiran sosial tersebut dibangun atas dasar kehidupan kolektif setiap individu sebagai bagian anggotanya”.

Dalam proses penerimaan nilai, pandangan, dan praktik modernitas, misalnya, masyarakat kita tidak mengunyah fenomena sosial bernama modernitas itu secara mentah semata. Masyarakat berusaha mengklasifikasi dan menamai realitas baru atau elemen-elemen asing dalam keseharian tersebut sesuai sebut saja dengan repertoire makna yang sudah dikenal sebelumnya.

Hal ini bermakna, pengertian modernitas yang menjadi identitas kita hari ini sebagai contoh, justru dibentuk oleh katakanlah “pengetahuan awam” yang memandu individu, yakni dalam konteks sosialnya untuk mendekati makna maupun menafsir realitas bernama “modernitas” tersebut. Oleh karenanya, konteks kultural memainkan peran utama. Karena “ruang budaya” seperti telah banyak kita ketahui merupakan wadah pengetahuan bersama yang tidak bisa disepadankan dengan prinsip kesahihan dalam konteks pengetahuan ilmiah. Atau dalam jalur lain, yang memandu kita dalam menerima, menyerap sistem pengetahuan maupun kebudayaan baru yang asing, bukan pertama-pertama ditentukan oleh justifikasi kesahihan penalaran ilmiah seperti di sekolah, melainkan respon “skema pengetahuan kultural sehari-hari” yang kemudian kita integrasikan dalam praktik keseharian masyarakat.

Dalam jalur ini, ruang budaya juga dipandang merupakan tempat endapan sistem nilai, ungkapan, penilaian sosial, sistem simbolik, mitologi, tradisi, agama, yang semuanya mengalir menyatu dalam bahasa. Bahasa orang kebanyakan dengan begitu merupakan wadah pengetahuan kultural bersama (pengetahuan awam) untuk menafsir, mengaproriasi, maupun menerjemahkan modernitas dalam praktik keseharian, pandangan, dan nilai masyarakat.

Dalam beberapa penelitian yang saya baca terkait pendekatan ini, mengetengahkan temuan yang menurut saya menarik. Karena bukan saja mengelak dari rumusan besar, bahwa untuk menyongsong gerak modernitas dunia, masyarakat Dunia Ketiga dipaksa untuk memilah, meneliti, dan (pada akhirnya) menghilangkan hambatan tradisi kultural sebagai prasyarat menuju modernitas, melainkan masyarakat justru punya konsep sendiri yang masih berjangkar pada tradisi-kultur untuk mengapropriasi modernitas tersebut.

Modernitas, sebagaimana sering didengungkan, bagi masyarakat Dunia Ketiga, bukan merupakan sebuah “gerak dalam”, alias sebuah gerak yang tidak lahir dari masyarakat itu sendiri. Ia lahir dari usaha untuk mengikuti gerak sejarah dunia agar ia tidak tertinggal dalam peradaban dunia. Oleh karena itu untuk mengatasi ketertinggalan peradaban tersebut, ia perlu mengubah ataupun menyesuaikan lapisan nilai tata-pemerintahan, ekonomi, maupun kulturalnya, sebagaimana dipersyaratkan oleh Barat (sebagai acuan modern). Ini berarti dibutuhkan suatu pengetahuan acuan tertentu tentang Timur di segala aspeknya, yang senyatanya memang didefinisikan menurut kebutuhan Barat (Modernitas). Inilah yang menjadikan kita sebagai sebagai bangsa yang terkurung dalam jebakan sejarah, sebuah jebakan yang membuat Dunia Ketiga tidak bisa kembali lagi ke keadaan semula; menemukan arah dan rumusannya sendiri.

Ini berarti dibutuhkan suatu pengetahuan acuan tertentu tentang Timur di segala aspeknya, yang senyatanya memang didefinisikan menurut kebutuhan Barat (Modernitas). Inilah yang menjadikan kita sebagai sebagai bangsa yang terkurung dalam jebakan sejarah, sebuah jebakan yang membuat Dunia Ketiga tidak bisa kembali lagi ke keadaan semula; menemukan arah dan rumusannya sendiri.

Yang saya ingin katakan sebenarnya, pada level yang halus di satu sisi terdapat sebut saja tingkat “keterhubungan” yang relatif sinambung dalam dinamika internal psikologis-kultural masyarakat, namun di sisi lainnya “pengetahuan kultural” atau “ruang kultural” tersebut tak pernah benar-benar diakui atau mendapat pengesahan justifikasi ilmiahnya sebagai norma yang diacu oleh setiap “kebijakan” pranata dan kebudayaan modern yang telah menjadi realitas faktual keseharian kita. Karena “pengetahuan kultural” ini diabaikan sekaligus tak terintegrasikan ke dalam bangun utuh sistem pengetahuan (pendidikan) dalam tubuh institusi modern pendidikan kita secara sinambung, alih-alih ke dalam bangun pranata dan struktur kebijakan publik modern kita (alias masih berdiri terpisah, karena dianggap di seberang yang ilmiah/modern—“tradisional” dan selalu diperlawankan dengan yang “modern”[tradisional vs modern]), warisan pengetahuan ini tidak berkembang secara sehat, wajar, bahkan distorsif. Akhirnya sebut saja “kearifan pengetahuan awam” ini mengalami patahan-patahan yang tak lagi terurus, yang dalam derajat tertentu mengalami perumitan ke dalam logika internalnya. Dan karena tak lagi menjadi inang kebudayaan yang menyangga bangun –atau dalam bahasa lain faktor konstitutif—bagi pengetahuan ilmiah (sistem pendidikan kita) yang menjadi norma bersama kehidupan modern, keadaan ini menyebabkan kondisi “keterbelahan’ seperti saya maksud dalam paragraf-paragraf sebelumnya.

Belum ada usaha untuk memikirkan secara serius di tingkatan epistemologis, bagaimana “warisan-warisan” pengetahuan maupun kearifan tersebut, untuk mengangkatnya ke dalam derajat “ilmiah” tertentu ke level penelitian-penelitian serius, meski dalam kadar tertentu ia mempunyai kontradiksinya sendiri, yang dengannya menjadikannya di satu sisi berdiri “sejajar” yang layak dipertimbangkan proses pengaturan kebijakan bersama masyarakat, juga di sisi lain bisa menjadi “cadangan kearifan” yang terus dimaknai secara baru sesuai kebutuhan gerak perubahan “dinamis” masyarakat, yang secara faktual masih terus berusaha menjaganya agar tak punah. Karena dalam beberapa takaran khusus, pengetahuan tradisional tersebut—baik sebagai perasan nilai agama yang berserak dalam masyarakat maupun nilai religiusitas yang telah tertubuhkan, terolah, dan termanifestasikan secara lebih spesifik dalam tradisi dan kebudayaan—masih belum tergantikan dalam menafsir secara eksistensial “kebermaknaan hidup” masyarakat dan masih menjadi penyangga bangun pandangan dunia (world-view) secara lebih utuh, meski ia terus saja terpinggirkan dalam deru nalar pengetahuan ilmiah modern yang telah mendunia. Nah, pada titik ini desa merupakan titik pijak juga titik berangkat yang tepat untuk memulai semua itu, karena merupakan “oase” yang terus-saja dengan setengah mati dijaga agar terus mengalir.

Nah, pada titik ini Desa merupakan titik pijak juga titik berangkat yang tepat untuk memulai semua itu, karena merupakan “oase” yang terus-saja dengan setengah mati dijaga agar terus mengalir.

Kebudayaan sebagai Basis Sistem Pengetahuan

Penggalan kalimat “Merekontruksi Ulang Alam Pikiran Nusantara Sebagai Basis Peradaban dan Tata Nilai Indonesia Baru” seperti tertera dalam topik Kebudayaan dalam Kongres Kebudayaan Desa kali ini, menyiratkan (secara halus) sebuah usaha juga tekad untuk melibatkan gagasan Alam pandangan dunia (Nusantara) yang seringkali diabaikan dan tak lagi diperhatikan, di saat rasionalitas modern (sains) telah menjadi imperatif moral maupun epistemologis yang dipandang legitimate atas seluruh praktik kehidupan publik modern kita, minimal dalam konteks keabsahan publiknya. Ia, alam pandangan Nusantara, sebagai sesuatu sistem pandangan dunia secara diametral memang berseberangan dengan ontologi materialistic-positivisme kehidupan modern, dipandang masih berdenyut dan menyangga bangun pengetahuan masyarakat dalam pengertian eksistensial hidup, namun ia kekurangan keabsahan legitimasi ilmiah publiknya karena tak lagi terintegrasi dalam tubuh sistem pandangan dunia pendidikan modern maupun praktik dan kehidupan modern secara umum, serta oleh karenanya dengan itu perlu untuk dilibatkan menjadi basis yang menopang akar kedirian bangsa, yang kita bayangkan akan mengantarkan kita perihal tegaknya kedirian karena disangga oleh akar yang kokoh (kedaulatan). Dan lewat jalur arah pemaknaan inilah mungkin judul gagah di atas ingin diarahkan.

Belum lagi jika menimbang bahwa seluruh bangunan yang menyangga integrasi sosial-kultural, seperti nilai “gotong-royong”, “harmoni”, “rukun”, “saling berbela-rasa”, “persatuan”, kebersamaan,” “solidaritas”, “tepa-salira” “kesederhanaan”, “ketuhanan”, “musyawarah”, dan nilai penopang lainnya yang relatif menjaga diri kita dalam sebuah keutuhan sebagai bangsa, mungkin tidak pertama-pertama muncul dari sistem pandangan dunia modern beserta justifikasi ilmiahnya, melainkan ia pertama lahir dari bangun pandangan dunia Nusantara lama sebagai inang kebudayaannya. Ketertiban moral, kebersamaan, gotong-royong, dan saling tolong-menolong misalnya, yang masih terus terselenggara dan bertahan di masyarakat ini bukan karena dorongan ketertiban hukum postif modern misalnya, melainkan lebih pada ‘warisan’ kearifan dan hikmat-kebijaksanaan dari sistem pengetahuan atau pandangan dunia lama, yang masih mendasarkan konsep kemanusiaan sebagai suatu konsep yang bukan menegasi prinsip ketuhanan misalnya, sebagaimana dalam gagasan humanism Barat, melainkan sebuah konsep kemanusiaan yang masih mendasarkan dirinya dan bertumpu kepada konsep ketuhanan.

Belum lagi jika menimbang bahwa seluruh bangunan yang menyangga integrasi sosial-kultural, seperti nilai “gotong-royong”, “harmoni”, “rukun”, “saling berbela-rasa”, “persatuan”, kebersamaan,” “solidaritas”, “tepa-salira” “kesederhanaan”, “ketuhanan”, “musyawarah”, dan nilai penopang lainnya yang relatif menjaga diri kita dalam sebuah keutuhan sebagai bangsa, mungkin tidak pertama-pertama muncul dari sistem pandangan dunia modern beserta justifikasi ilmiahnya, melainkan ia pertama lahir dari bangun pandangan dunia Nusantara lama sebagai inang kebudayaannya.

Jika hanya konsep berupa sistem pandangan dunia dan kearifan lama kita masih memandu perilaku sosial-kultural minimal dalam pengertian eksistensial-ontologisnya pada masyarakat ini, kenapa seluruh bangun warisan sistem kearifan, perilaku, tradisi, dan norma-norma tradisional tersebut tak pernah menjadi nalar/kebijakan “arus utama” dalam kebijakan publik pengaturan sosial-kultural kita sebagai bangsa? Mungkin faktornya, seperti saya telah jelaskan di paragraf-paragraf sebelumnya, dikarenakan karena kegagalan proses “re-integrasi kultural”, atau proses penyeleseian masa transisi kultural yang hingga hari ini tak kunjung menemukan rumusan pemecahan masalah mendasarnya. Atau mungkin juga, karena proses reintegrasi kultural tersebut yang tak kunjung terselesaikan, menyebabkan warisan kearifan, pengetahuan praktik kultural, dan sistem norma-nilai sebagai hasil saling-silang pengaruh kebudayaan dan agama, benar-benar terabaikan, yang oleh karenanya menyebabkan “keterputusan” pengetahuan juga nilai dengan laju perubahan gerak modernitas, alias ia tak lagi berkembang secara wajar dan sehat, yang dalam derajat tertentu juga bermakna kehilangan konteks pemaknaan dinamis yang ikut men-drive gerak perubahan zaman. Maka dalam sudut optik ini, mau tak mau, jika kita masih menginginkan bangsa ini kokoh dan tegak berdiri  dengan ‘akar’ yang menopang kedirian bangsa (alias berdaulat & mandiri), sebuah usaha untuk menggali, merekontruksi, atau katakanlah mengilmui kembali alam pikiran Nusantara, atau bahkan sistem pandangan dunia, yang sebenarnya telah termaktub dan terkandung dalam dasar-filsafat (philoshophie grondslag) Pancasila bangsa kita, sebagaimana diamanatkan oleh tema Kongres Kebudayaan Desa kali ini, sebenarnya telah menemukan relevansi kokoh pada dirinya.

Bahkan jika kita mau berlapang dada, nilai kemanusiaan yang didasarkan pada prinsip Ketuhanan, sebagaimana tertera dalam dasar filsafat Pancasila kita, dalam galur rasionalitas pengetahuan ilmiah modern, ia tak menemukan justifikasi ilmiah-positivistiknya (ketuhanan dalam paradigama sains tidak dianggap sebagai fakta ilmiah). Artinya saya ingin katakan, apa yang yang menopang nilai “gotong-royong”, “persatuan”, “kemanusiaan”, bahkan “keadilan” dan “kerakyatan” kita tidak pertama ditopang nilai rasionalitas modern yang telah mengokupasi sistem pendidikan dan kehidupan publik kita, melainkan disanggga oleh warisan nilai-nilai kearifan, hikmat, dan kebijaksanaan (kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan dalam permusyawaratan) yang merupakan resapan nilai agama (religiositas) yang telah menubuh dalam kebudayaan. Dan dari struktur sistem pengetahuan pandangan dunia lama jenis tersebut, sebut saja begitu, bangunan kokoh kebangsaan kita masih relatif tegak.

Sistem Pandangan Dunia Penyangga Nilai Integrasi Masyarakat

Saya ingin mengulang proposisi awal terkait desa, bahwa ia merupakan soko guru kebudayaan yang meyangga bangun nilai-nilai besar yang mengikat integritas keutuhan kebangsaan kita yang masih berpaut dengan akar kultural masyarakat yang terus saja kita rindukan. Dan dari jalur ini, saya akan mengeksplorasi sekadarnya secara ringkas, tentu dikarenakan pembatasan dan keterbatasan panjang tulisan dalam kesempatan ini, yakni berkait gagasan nilai-nilai besar ini dalam keterkaitannya dengan nilai-nilai kultural yang berakar dalam sistem pengetahuan maupun sistem pandangan dunia lama yang terus saja mencoba bertahan. Saya akan mengelaborasi hal ini dari sudut sistem pengetahuan Jawa, atau sebut saja nalar kebudayaan Jawa sebagai satu eksemplar—sebuah wilayah kultural yang paling saya akrabi—dimana nilai-nilai besar tersebut dalam derajat tertentu masih mendasarkan pada sistem pandangan kultural masyarakat.

Saya akan mengelaborasi hal ini dari sudut sistem pengetahuan Jawa, atau sebut saja nalar kebudayaan Jawa sebagai satu eksemplar—sebuah wilayah kultural yang paling saya akrabi—dimana nilai-nilai besar tersebut dalam derajat tertentu masih mendasarkan pada sistem pandangan kultural masyarakat.

Gagasan “Kebudayaan” misalnya, seperti pada topik yang dipilih dalam acara Kongres Kebudayaan kali ini, tidak muncul pertama dari konsep masyarakat industri layaknya dalam tahapan sejarah masyarakat Eropa, yang sering menyorongkan kata “culture” yang lebih dekat pada makna “bercocok tanam” (cultuur/Belanda), alias semata dekat dengan olah peradaban material semata. Gagasan “budi” “buddhaya” atau “budya” atau bahkan “budi daya” (mendayakan budi), dalam tradisi masyarakat kita masih berkait dengan sesuatu yang ruhani. Dalam khasanah “Serat Wedhatama” misalnya, laku mengolah budi (amasah mesu budi, mendayakan budi/budaya) sebagai sebuah laku mengolah seluruh dimensi lahir-batin fakultas yang membentuk kedirian manusia (yakni 1. karsa/raga, 2. cipta, 3. jiwa, dan 4. rasa) adalah merupakan laku utuh berkemanusiaan itu sendiri dalam pengertian ruhaniah, alias masih berpijak pada gagasan tentang sesuatu yang ilahiah (Ketuhanan).

Proposisinya sederhana laku mengolah seluruh empat potensi kemanusiaan ini adalah laku meng-“aktual”-kan potensi “ilahiah” yang secara fitrah ada dalam diri manusia, yaitu laku atau olah mengontrol atau menundukkan (1) Karsa yang punya kecenderungan pada pemuasan kesenangan egotis sebagai sebuah disiplin ragawi yang berdampak ruhani, dan laku menajamkan (2) Cipta untuk mengenali kebenaran dan kebatilan (kebermanfaatan), juga sebuah laku mejernihkan atau mengorientasikan kembali (3) Jiwa/Kalbu arah kehidupan kita dalam perspektif yang lebih menyeluruh (tidak semata untuk tujuan hidup di dunia ini, namun juga hidup setelah mati), dan terakhir sebuah laku mengolah kepekaan (4) Rasa mengenali keindahan, mengukuhkan kepedulian, empati, dan mengasah kasih sayang (asah-asih), yang darinya akan mengantarkan sedikit-demi sedikit penyingkapan akan arah & aliran (rahasia) hidup yang lebih utuh.

Jadi jika olah budi atau sebut saja olah mendayakan budi (karsa/cipta/jiwa/rasa)—Koentjaraningrat mendifinisikan kebudayaan sebagai “hasil” cipta-karsa-rasa manusia, bukan “proses” (bandingkan dengan Wedhatama)—alias olah mengutuhkan kedirian manusia itu sendiri sebagai sesuatu yang bersifat ruhani dalam pengertian terluasnya, maka tidak aneh jika dalam khasanah Serat Wedhatama ini laku mengolah empat fakultas diri ini alias olah budi atau budaya ini dinamai dalam term “sembah”: Sembah Raga (karsa/kehendak), Sembah Cipta, Sembah Jiwa, dan Sembah Rasa. Bahkan secara lebih eksplisit empat tahapan olah “sembah” ini (proses berkebudayaan) disepandakan dalam proses tahapan laku empat dalam gagasan pandangan dunia agama tertentu (Islam) bernama: Syariat (sembah raga), Tarekat (sembah Cipta), Hakikat (sembah Jiwa), dan Ma’rifat (sembah Rasa)—artinya konsep kebudayan sangat berpaut dengan Agama, alias tak terpisahkan.

Bahkan secara lebih eksplisit empat tahapan olah “sembah” ini (proses berkebudayaan) disepandakan dalam proses tahapan laku empat dalam gagasan pandangan dunia agama tertentu (Islam) bernama: Syariat (sembah raga), Tarekat (sembah Cipta), Hakikat (sembah Jiwa), dan Ma’rifat (sembah Rasa)—artinya konsep kebudayan sangat berpaut dengan Agama, alias tak terpisahkan.

Jika kita bersepakat bahwa tujuan diturunkannya agama—saya mengambil contoh Islam—adalah untuk menantang manusia meningkatkan derajat kemanusiaannya dalam bingkai prinsip “kebebasan” (ikhtiyar) yakni dari kondisi “basyariah” (derajat kehewanan, alias masih menuruti dorongan natural-hewani-nabatinya) menuju derajat kemanusiaan utuh (“insaniah”) yang telah mengatasi hambatan (kecenderungan) natur-nya, maka ajaran agama tak lain dari proses berkebudayaan itu sendiri, alias proses mengutuhkan olah berkemanusiaan itu sendiri, yakni sesuai kecenderungan dorongan “fitrah” (dorongan kepada yang lurus/kebaikan, keindahan, dll, alias dorongan ilahiah), yang tidak lain adalah sebenarnya nama lain “ajaran” yang ingin disorongkan oleh agama. Oleh karenanya kita sering mendefiniskan kebudayaan sebagai usaha keluar dari kondisi nature (basyariah) menuju culture (insaniyah).

Dari seluruh olah/laku “proses berbudaya” tersebut, seperti ditegaskan oleh Wedhatama, muara puncaknya adalah meningkatnya proses berkemanusian menuju kualitas “manusia utama” (janma utama) atau manusia berbudi utama. Di Sumatera, Bugis, dan Makassar, pada masa awal Islamisasi Nusantara, kita tahu gagasan “insan kamil” (manusia paripurna/utama/utuh) merupakan ajaran pokok yang telah menyebar dan membentuk struktur pandangan dunia Nusantara. Maka kita sering mendengar, bahwa kata “budi” (akar dari kata budaya) sering dikaitkan dengan “akhlak” dan “perbuatan baik” (akhlak-budi-pekerti). Bahkan kita juga dapat menghubungkan kata “kearifan” (dari kata “arif”, seakar kata dengan “ma’rifat” sebagai padanan dalam tahapan “sembah Rasa” yang telah saya jelaskan) dengan istilah lain “adat” (alias salah satu dimensi kebudayaan) yang dalam bahasa Arabnya berbunyi “urf” (adat atau arif-urf-ma’rifat). “Adat” atau “urf” (produk kearifan) (ingat istilah ini dari bahasa Arab, “addat-isti’addat”) adalah pengetahuan/kearifan (ma’rifat) atau nilai-nilai kebaikan yang telah termanifestasi dalam proses olah-kemanusiaan masyarakat sesuai tantangan partikularnya (manusia Jawa, manusia Sunda, manusia Nusantara, dll) sebagai produk “kearifan” atau “kebijaksanaan” dalam menerjemahkan secara lokal nilai-nilai universal keagamaan yang dianutnya. Nama-nama seperti “Arif Budiman”, “Arif Wicaksono”, menyiratkan akan gagasan pandangan dunia perihal gagasan sekaligus doa yang disematkan orang tua yang muncul dari struktur pandangan dunia terkait gagasan olah-kemanusiaan tersebut.

Makanya, seperti saya telah tekankan di paragraf sebelumnya, bahwa konsep “kemanusiaan” atau sebut saja gagasan “menjadi orang” (dadi wong) selalu terkait dan disandarkan pada konsep “ketuhanan”, seperti dirumuskan dalam Pancasila, yang berseberangan dan melawan prinsip “humanity” sebagai gagasan yang menegasi (atau minimal berdiri berseberangan dengan gagasan) (ke-)tuhan(-an). Dan dalam olah proses berkemanusian tersebut, kebudayaan sungguh tak terpisahkan dari gagasan agama. Malah saya menemukan, jika kebudayaan kita artikan dalam maknanya sebagai sistem pengetahuan (ide, dan makna)—selain makna lain sebagai sistem perilaku (pranata) dan produk budaya, laku olah kemanusian mengaktualkan empat fakultas kediriaan manusia itu (budaya), disebut Wedhatama sebagai, merupakan “laku berpengatahuan” atau “laku berilmu” itu sendiri. Dalam sebuah adigium yang cantik, Wedhatama menyebut: “Ngelmu iku kalakone kanthi Laku” (Ilmu itu tercapainya melalui laku-berkemanusian). Laku di sini, tidak pertama-tama terkait makna “praktik” atau “mempraktikan” sebagaimana dipahami secara sederhana oleh orang kebanyakan (ini hanya separuh benar), namun sebagaimana dieksplisitkan dalam Serat ini, adalah laku mengolah unsur kemanusiaan (olah kemanusiaan) atau mengolah empat fakultas kemanusiaan: (1) Karsa/Raga (amagang Laku), (2) Cipta (laku), (3) Jiwa (pepuntoning Laku), 4. Rasa (hasil laku, sudah tak ada lagi petunjuk).

Laku di sini, tidak pertama-tama terkait makna “praktik” atau “mempraktikan” sebagaimana dipahami secara sederhana oleh orang kebanyakan (ini hanya separuh benar), namun sebagaimana dieksplisitkan dalam Serat ini, adalah laku mengolah unsur kemanusiaan (olah kemanusiaan) atau mengolah empat fakultas kemanusiaan: (1) Karsa/Raga (amagang Laku), (2) Cipta (laku), (3) Jiwa (pepuntoning Laku), 4. Rasa (hasil laku, sudah tak ada lagi petunjuk).

Yang ingin saya katakan, proses menjadi manusia (berbudaya) dalam galur sistem pengetahuan ini adalah merupakan laku berilmu itu sendiri, dan ujung dari olah ini adalah kearifan dan kebijaksanaan, budi-pekerti, dan akhlak. Makanya dalam istilah tradisi, kata “sarjana” (dari bahasa Jawa) yang dalam perbendaharaan kesusasteraan serat, suluk, dan babad, sering dimaknai sebagai “orang yang telah tuntas/selesai dalam olah fakultas kemanusiaannya” (wong kang wus putus ing olah ngelmi/budi). Istilah ini sekaligus berbeda dengan istilah “sujana” (orang yang telah mengetahui banyak hal namun belum bisa menubuhkan dalam proses berkemanusiaannya secara paripurna). Makanya istilah capaian berpengetahuan atau berilmu selalu diandaikan berkait dengan peningkatan kualitas kedewasaan moral-ruhani-akhlak seseorang. Orang seperti ini dipandang sudah “sepuh” (dewasa/disesep ampuhe), karena telah bisa bersikap “arif” karena telah mengenali dan menempatkan kebenaran secara adil “sesuai tempatnya” dalam jaring bangun-susun kebenaran yang lebih utuh dan menyeluruh (bener durung mesti pener/becik). Dan orang yang telah mengenali pengetahuan ini dalam olah berkemanusiaan dalam laku/lelakon/lelaku hidupnya dikatakan telah mendapat pengetahuan “hikmah”, “kearifan”, dan “kebijaksanaan”.

Oleh karenanya, konotasi berilmu selalu berkait dengan gagasan kedewasaan. Dikatakan seseorang “telah menjadi orang” atau “dadi wong” (kemanusiaan), bisa merujuk orang yang berpengaruh, atau orang yang memiliki posisi atau jabatan tinggi misalnya, sebenarnya ingin menunjuk perihal besar tanggung jawab moral yang diembannya, maupun kedalaman pengetahuannya yang menubuh sebagai tempat sandaran orang banyak (yang dipimpinnya), alias telah “tegak” dan mandiri (baik secara pengetahuan, ekonomi, moral, maupun ruhani), sebagai hasil dari proses olah berkemanusiaanya. Pada istilah yang berkebalikan dengan “menjadi orang” (dadi wong) kita juga mendapati istilah “durung jawa” (belum Jawa/mengerti), yang sering dikonotasikan pada sikap atau perilaku anak-anak atau kekanak-kanakan, karena masih terbelenggu sikap egotis “menang sendiri” atau “benar sendiri” yang berlawanan dengan prinsip pengaturan kehidupan bersama yang didasarkan pada prinsip menanggalkan sikap “mementingkan diri sendiri” dan invidualisme. Hal itulah yang menyebabkan, dalam tradisi kita, khususnya Jawa, dalam level kebudayaannya, dipenuhi istilah nanding-sarira (membandingkan antar diri), ngukur-sarira (mengukur diri), tepa-salira (menakar diri dari sudut pengetahuan, rasa atau kebenaran orang lain/alias merasakan rasa orang lain/ tenggang rasa), hingga mulat sarira dan mawas diri (mengawasi atau mengenali diri sendiri), yang sebenarnya merupakan katakanlah tahapan proses berkemanusiaan diri yang tidak mungkin berhasil tegak tanpa proses memanusiakan (baca: nguwongke) manusia lain dalam kebersamaan hidup (gotong-royong), yang memang secara ontologis saling mengandaikan.

Keberhasilan dalam olah-kemanusiaan untuk mencapai kedewasaan (alias telah mampu ber-tepa-salira [tenggang rasa], mandiri [dadi wong], dan mengatasi sikap “mementingkan diri sendiri”) inilah yang menyangga bangun “persatuan”, “kebersamaan”, dan prinsip “gotong-royong” ataupun “kerukunan”. Oleh karenanya dari sejak awal saya katakan bahwa olah-kemanusiaan (prinsip kemanusiaan) yang didasarkan pada prinsip ketuhanan (prinsip ketuhanan) dalam nalar pengetahuan ini akan mengantarkan pada kondisi “persatuan” dan “gotong-royong” (prinsip persatuan). Bahkan sebagaimana olah berkemanusiaan yang bertujuan pada usaha penanggalan sikap “mencari benar sendiri” (alias telah melampaui egotisme individualnya, alias bersikap adil pada dirinya sendiri) maupun proses olah kemanusiaan yang berujung pada budi-pekerti-utama atau “adab”, maka kalimat sila Pancasila “kemanusiaan yang adil dan ber-adab” punya titik hubung relevansi makna dengan proses berkemanusiaan (berkebudayaan) seperti yang telah saya elaborasi.

Dan ini ditambah penegasan sila “Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat dan Kebijaksanaan dalam permusyawaratan Perwakilan”, yang hanya mengafirmasi saja elaborasi yang telah saya kemukakan. Karena proses berkebudayaan (olah kemanusiaan) sebagai sebuah proses berpengetahuan itu sendiri, dimana dalam laku mengutuhkan kedirian kemanusiaan seseorang akan mengantarkan pada capaian pengetahuan “kearifan” atau “kebijaksanaan”, maupun “hikmat”, alias proses menerjemahkan kebenaran dalam konteks pergulatan kemanusiaan yang spesifik dan particular ke-Indonesiaan, atau telah berhasil menempatkan kebenaran pada “porsi” dan “tempat”, dan “takaran”-nya karena telah menyisihkan sikap “menang sendiri” (alias telah arif, bijak, kebijaksanaan) karena dipandu dalam payung musyawarah, untuk mencegah dorongan ingin “benar sendiri” atau “semaunya sendiri”. Dan pada pandu “hikmat”, “kebijaksanaan” (kearifan) inilah bukan hanya prinsip “kerakyatan” kita arahkan, melainkan dari jalan ini gagasan adil—ingat kata ini berakar dalam istilah al Qur’an (‘adl)—bisa terselenggara (Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia).

Karena bagaimanapun, sikap mencari “benar sendiri” maupun “semaunya sendiri” (alias berangkat dari egotisme dan menafikan kebersamaan/gotong royong) akan menjadi penghalang terbesar mengenali sesuatu sesuai “porsi” dan “tempat”-nya dalam jaring “kebenaran” hidup secara lebih menyeluruh (kearifan), apalagi dalam usaha untuk menempatkan, mendudukkan, atau menciptakan kondisi sesuai tatanan sesuai “porsi”, “takaran”, “tempat”-nya sebagaimana dikandung dalam istilah adil seperti yang ingin diusahakan (keadilan). Dan dari proses olah berkemanusiaan ini, keadilan sosial tak mungkin terselenggara, tanpa pengandaian nilai “adil terhadap diri sendiri” yang dicapai dari keberhasilan olah berkemanusiaan (Kemanusiaan) atau berkebudayaan yang menuntun usaha memanusiakan manusia lain (Persatuan), dalam rangka mengaktualkan “fitrah” kebenaran “ilahiah” yang tertanam dalam diri yang selaras serta dikukuhkan oleh kebenaran ajaran agama kita tersebut (Ketuhanan).

***

Nah di penghujung tulisan ini saya ingin katakan, nilai-nilai besar yang menopang bangsa ini sebagaimana telah saya elaborasi di atas ternyata disangga oleh bangun sistem pandangan dunia lama, sebut saja begitu—dalam istilah topik Kongres Kebudayaan Desa ini dibahasakan dengan istilah “Alam Pikiran Nusantara”—yang lambat laun tidak lagi kita kenali, atau alih-alih kita ilmui, atau bahkan kita singkirkan, yang sebenarnya masih berdenyut secara halus dalam ruang kesadaran dan alam pikiran bangsa ini. Dan saya kira desa merupakan ruang kultural tempat nilai-nilai besar yang menopang bangsa tersebut masih terus dijaga dan dipertahankan, meski ia juga pada sisi lain terus saja terdesak ke pinggiran.

Dan saya kira Desa merupakan ruang kultural tempat nilai-nilai besar yang menopang bangsa tersebut masih terus dijaga dan dipertahankan, meski ia juga pada sisi lain terus saja terdesak ke pinggiran.

Di masa pandemik ini, mungkin banyak orang tersadar betapa bangun tata sosial politik bangsa kita begitu lembek dan rapuh. Juga pada takaran tertentu, rajutan kultural kebersamaan masyarakat, kita rasa tak setangguh dulu. Orang-orang dipaksa untuk merenung sekaligus memikirkan, juga tergagap-gagap pada saat bersamaan, ihwal tata kebiasaan baru, yang mungkin tak punya presedennya di belakang. Harus ada usaha serius untuk memikirkan bangun integrasi kultural dalam pengertian mendasarnya, yang bukan hanya untuk mempersiapkan tata “new normal” semata, melainkan juga untuk mengusahakan penyeleseian masalah “transisi kultural” yang telah saya sebut di awal tulisan ini. Karena tanpa usaha ulang untuk mengilmui kembali nalar pandangan dunia masyarakat ini, yang sebenarnya secara faktual masih menyangga bangun kedirian kita sebagai bangsa, dan kemudian mengenali “warisan” kearifan pandangan dunia lama tersebut beserta turunan praktik kulturalnya, juga sekaligus mendudukkannya dalam dialektika yang dinamis dalam arus perubahan dunia modern dunia, kita akan terus-menerus terseok-seok, alih-alih berdiri berdaulat di tengah arus perubahan yang tak sepenuhnya kita kendalikan.

Kenapa saya tak melulu berfokus pada tata nilai baru atau oleh orang banyak disebut new-normal itu, karena dalam cara pandang tradisi hal itu punya nilai dan makna lain, yang dari cara pandang tersebut mengakibatkan cara penanggapan dan penyeleseian lain atasnya. Bencana besar Pageblug yang hari ini melanda dunia—kamus Bausastra Poerwadarminta mendefinisikan pageblug sebagai masa dimana banyak penyakit menular (ungsum lelara nelular)—dalam kacamata tradisi adalah sebuah peristiwa siklik (cakramanggilingan), alias terjadi sebuah pergerakan kosmis berulang dari suatu kondisi menuju kondisi lain seperti dalam adegan gara-gara dalam pewayangan. Dan orang bersikap, setelah gara-gara reda (sirep), bukan untuk kembali pada keadaan semula, melainkan telah terbarukan dan siap menyesuaikan diri dengan keadaan baru. Dan kesiapan itu dicapai dengan mengubah kedirian kita yang juga ikut terbarukan, lewat proses “laku ruhani” (tapa) yang mengubah.

Dari struktur nalar ini, pageblug, bencana, ataupun pandemi, harus menggeret orang untuk menengok kedirian dan masyarakatnya. Karena pengandainnya, jika terjadi huru-hara atau bencana pada jagad gede kita, pasti ada yang tak beres dari jagad cilik ruhani diri kita. Pasti ada ketidakberesan ruhani, yang gradasinya bermuara menaik menuju para orang-orang kunci yang menentukan praktik kehidupan bersama, yang menyebabkan guncangan kosmis ini. Jika jagad ruhani kita dipenuhi “keserakahan”-yang menyebabkan nalar eksploitasi di luar kendali atas lingkungan maupun atas manusia lain, atau “ketidakjujuran” atau “menang-sendiri”, juga kondisi ruhani “tak amanah”-yang menyebabkan aturan bersama yang muncul justru menimbulkan perpecahan, maraknya perselisihan, atau suburnya kebencian, dan masih banyak lainnya, maka kita diminta berbenah. Pasti ada yang mesle dari cara berelasi kita (dunia ini) terkait alam, manusia, dan juga Tuhan, alias ada yang salah dari proses olah berkemanusiaan atau berkebudayaan kita, bahkan di dunia ini, secara lebih mendasar. Dan mungkin inilah saat yang tepat untuk mengeavaluasi olah-berkemanusiaan atau olah-berkebudayaan kita bersama sebagai bangsa, yang juga bisa menjadi sumbangsih atas dunia, atau bahkan merupakan titik krusial yang sebenarnya menjadi prasyarat menyemai kemandirian dan kedaulatan kita sebagai bangsa, dan (akhirnya) saya kira desa merupakan titik pijak yang tepat untuk memulainya.

 

Cepokpojajar, Bantul, 1 Juli 2020


*(Makalah ini disampaikan dalam acara Kongres Kebudayaan Desa 2020, 6 Juli 2020, Kampung Mataraman, Jl. Ringroad Selatan, Glugo No. 93, Panggungharjo, Yogyakarta 55188)

Bulan Desember lalu saya mendapat email dari orang yang saya kenal semata dari tulisannya, yaitu Sdr. Irfan Afifi, dengan tawaran agar kumpulan artikel ini diterbitkan dalam bahasa Indonesia.  Lampiran pada email tersebut terdiri dari terjemahan awalnya Irfan. Tawaran ini pasti saya terima dengan senang hati, oleh karena sejak dulu pembaca yang saya bayangkan ketika saya menulis adalah orang Indonesia. Akhirnya mungkin bayangan saya itu bisa menjadi nyata.

Artikel-artikel ini diterbitkan pertama kali dalam bahasa Inggris sejak tahun 1987 sampai dengan bulan Desember tahun lalu (2019): jadi rentang waktu lebih dari tiga puluh tahun. Semua artikel ini berdasarkan naskah-naskah bahasa Jawa yang telah saya pelajari mulai sejak tahun 1970an di Surakarta. Dari awal saya jatuh cinta dengan karya sastra Jawa dan sampai sekarangpun masih begitu. Dari awal saya juga khususnya terpesona dengan karya yang mengajak kita untuk mempertanyakan pendapat atas sastra Jawa yang telah membeku dan untuk memperlihatkan karya yang membuka kepada pengertian baru –yang hidup– atas masa lalu, masa kini, dan masa depan Indonesia. Dan juga, harus saya akui, bahwa karya yang beraroma Sufi yang paling menarik hati saya dan jejak dari pembacaannya tetap tertulis di hati saya.

Dan juga, harus saya akui, bahwa karya yang beraroma Sufi yang paling menarik hati saya dan jejak dari pembacaannya tetap tertulis di hati saya.

Maka kumpulan artikel ini saya maksudkan sebagai sumbangan saya kepada wacana sastra, Islam, dan Jawa. Semoga sumbangan saya ini dapat menjadi semacam undangan kepada manusia Indonesia, khususnya manusia Jawa, untuk meneruskan usaha awal saya ini dengan menggali dengan sungguh-sungguh, sumber manuskrip dan pikiran Jawa dari masa dulu. Saya rasa kalau dibaca dan dirasakan dengan serius, sumber ini bisa melahirkan gagasan yang baru dan mencerahkan bagi hari depan kita semua. Dan hasil galian orang Indonesia sendiri atas sumber-sumber ini juga bisa menjadi sumbangan yang berarti kepada dunia Islam yang lebih luas.

Saya rasa kalau dibaca dan dirasakan dengan serius, sumber ini bisa melahirkan gagasan yang baru dan mencerahkan bagi hari depan kita semua. Dan hasil galian orang Indonesia sendiri atas sumber-sumber ini juga bisa menjadi sumbangan yang berarti kepada dunia Islam yang lebih luas.

Sekata dua patah kata atas proses penulisan kembali saya atas artikel saya sendiri: kerja kerasnya Sdr. Irfan dalam membuat terjemahan awal menjadi dasar kuat, yang di atasnya saya “menggubahnya kembali” supaya lebih terdengar seperti suara saya sendiri dan juga saya tambahkan di sana-sini sekaligus koreksi kesalahan-kesalahan yang saya temukan di dalam artikel aslinya. Namun pasti masih ada kesalahan dalam naskah ini; dan atas semua kesalahan dan kekurangan itu saya mohon maaf sebesar-besarnya.

Cukup banyak kutipan dari puisi Jawa di dalam tulisan saya di dalam kumpulan ini. Terjemahan saya dari tembang Jawa ke bahasa Inggris dalam artikel asli, saya buang semua. Lebih enak, saya rasa, langsung dari Bahasa Jawa ke Indonesia. Kalau bahasa Jawanya padat, saya mencoba untuk mengulang kepadatan itu dalam bahasa Indonesia saya. Dan kalau yang ada di dalam bahasa Jawa ambigu atau “pakai semu,” saya sebisanya mencoba untuk mengutarakan ambiguitas itu di gubahan saya dalam bahasa Indonesia.

Akhirnya, saya ingin mengungkapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Sdr. Irfan Afifi dan Penerbit Buku Langgar, juga kepada semua teman saya di Indonesia yang pernah saya cintai dan yang masih saya sayangi.

 

Nancy K. Florida, Universitas Michigan, Februari 2020


Catatan:

Tulisan ini diambil dari pengantar penulis di buku yang baru saja terbit tanggal 15 Juli 2020, Nancy K. Florida, “Jawa-Islam di Masa Kolonial: Suluk, Santri, dan Pujangga Jawa,” Buku Langgar, Yogyakarta, Juli 2020. Buku Langgar, 2020, 14x21cm, 278 Hlm.

Pesan Buku Kontak No WA: 081229303896 (doel)

Saya tak benar-benar tahu, apakah gejala formalisme beragama kita yang kian marak di Indonesia belakangan ini, yang bahkan pada taraf tertentu punya dimensi atau semangat untuk mengekslusi atau menyingkirkan kelompok (agama) lain, pada ambang tertentu, sudah membuat kita sebagai bangsa, semakin menjauh dari prinsip dan nilai kebersamaan, dan kegotong-royongan, atau sebut saja pesatuan Indonesia, sebagaimana dulu nilai-nilai tersebut dipancangkan oleh para pendiri bangsa di masa awal kemerdekaan negeri ini. Saya tak punya kapasitas menilainya.

Namun, saya tiba-tiba mengingat sebuah istilah yang dulu dikenalkan Soekarno di rapat BPUPK, tanggal 1 Juni 1945, saat ia berkesempatan menyodorkan gagasannya terkait dasar filsafat Negara Indonesia (philosofische grondslag)—yang kemudian ia namai sendiri dengan nama “Pancasila”, yang berarti “lima asas” atau “lima dasar”. Saat mengemukakan sila yang kelima (Soekarno tak mementingkan urutan sila ini, karena baginya hanya sekadar “urut-urutan kebiasaan saja”), ia menyarankan Indonesia Merdeka harus berdasar prinsip Ketuhanan. Yakni bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, namun masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan (menurut kepercayaan) Tuhannya sendiri. Hendaknya Negara Indonesia ialah Negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara Kebudayaan yakni dengan tiada “egoisme agama”. Bahwa prinsip kelima daripada negara kita, ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain (Soekarno, 1984: 147-154).

Apa makna kalimatnya? Atau bagaimana tepatnya kita merespon istilah “ketuhanan yang berkebudayaan” yang ia sorongkan, di saat Sekularisme telah meresapi bangun ruang hidup kita secara keseluruhan—sebagaimana dulu dicetuskan dalam bingkai nalar sains abad modern yang memang berusaha menyingkirkan sejauh-jauhnya peran agama juga Tuhan menyingkir di sisi pinggir peradaban dunia? Atau Juga bagaimana memaknai istilah Soekarno tersebut, di saat agama telah terdomestifikasi sebagai ajaran ritual peribadatan semata, sehingga membuatnya saling hadap perhadap dengan wilayah “kebudayaan” di satu sisi, maupun gejala sains (paradigma modernisme yang telah menyangga bangun keseluruhan pranata sosial modern kenegaraan kita saat ini) yang secara umum telah memilah ranah-ranah politik, kebudayaan, seni, dan agama—terutama dalam arena diskursus politik publik demokrasi liberal—sebagai sesuatu yang saling memisahkan dan saling bediri hadap-perhadap satu dengan yang lain di sisi lainnya? Dan lalu bagaimana kita menyambungkan makna prinsip ketuhanan, yang senyatanya telah kita sepakati menjadi satu bagian dasar negeri kita, juga bagaimana menyambungkan makna agama sebagai “petunjuk keseluruhan hidup” dalam konteks kebangsaan kita yang semakin larut dalam diskursus politik demokrasi liberal yang mendomestifikasi peran agama ke dalam ruang privat?

Saya ingin menjawabnya dengan mengais khazanah tradisi dari “Serat Wedhatama” dalam literatur Jawa. Dalam pembendaharaan serat ini, terdapat sebuah istilah penting terkait definisi “kebudayaan” yang dari khasanah pengetahuan tersebut barangkali istilah kebudayaan itu kita ambil: yakni “olah budi” atau “budya”. Jika kita bersepakat arti kebudayaan—sebagaimana didefinisikan Koentjaraningrat sebagai “hasil olah Cipta, karsa, dan rasa manusia”, maka kebudayaan dalam konotasi tertentu merupakan sebuah proses “olah budi” kemanusian, tentu jika kata “budi” kita maknai seturut dengan pemaknaan Wedhatama dimana istilah “budi” menunjuk aspek terdalam keseluruhan diri manusia: yakni Karsa, Cipta, Jiwa, dan Rasa. Olah Budi dengan demikian adalah proses mengolah unsur terdalam bagian diri (sifatnya rohani), atau proses mengolah Karsa, Cipta, Jiwa, dan Rasa kita agar kemanusiaan kita menjadi lebih utuh.

Tak mengherankan jika kita mendapati, salah satu defenisi kebudayaan berbunyi sebagai olah “men-daya-kan budi kemanusian kita (baca: budaya, budi-daya) yakni agar kita bergerak dari kecenderungan sifat-sifat hewan yang memang secara alami menggerakkan hidup kita (nature), menuju kondisi kemanusiaan yang lebih utuh dalam berelasi mengatur hidup bersama yang lebih memanusiakan orang (culture). Dalam konteks ini sebenarnya kata “budaya” dengan segenap konotasi “ruhaninya” tak benar-benar sepadan dengan kata “cultuur” (belanda) ataupun “culture” (inggris) yang lebih punya asosiasi kepada aktivitas “bercocok tanam”.

Masalahnya dulu, terutama dalam pengertian tradisi Jawa, juga bahkan di Nusantara secara keseluruhan, kata olah budi masih berkait sesuatu yang ruhani, alias masih menyandarkan Tuhan dalam bangun proses mengutuhkan potensi kedirian kemanusiaan tersebut. Karena sejatinya olah potensi Karsa, Cipta, Jiwa, dan Rasa, (olah-budi, atau budaya) dari keseluruhan potensi yang tersimpan dalam diri kita adalah sejenis usaha mengolah potensi “ilahiah” atau “ruhaniah” di dalam diri yang seringnya kalah dengan dominasi dorongan “kehewanan” yang menghambat proses kita menjadi “manusia”. Oleh karenanya, di dalam literatur “Serat Wedhatama” proses “olah budi” atau proses berbudaya tersebut masih diembel-embeli dengan kata “sembah”: yakni Sembah Karsa, sembah Cipta, sembah Jiwa, dan sembah Rasa.

Keberhasilan dari proses mengolah potensi “ilahiah” kemanusian kita ini akan mengantarkan kita kepada derajat kemanusiaan yang bisa memuliakan manusia lain alias mengantarkan kita menjadi manusia yang utuh dan “paripurna” (insan kamil). Sebuah capaian kemanusiaan yang telah membantu kita memperindah budi-pekerti dan akhlak yang utama (janma utama).

Keberhasilan dari proses mengolah potensi “ilahiah” kemanusian kita ini akan mengantarkan kita kepada derajat kemanusiaan yang bisa memuliakan manusia lain alias mengantarkan kita menjadi manusia yang utuh dan “paripurna” (insan kamil). Sebuah capaian kemanusiaan yang telah membantu kita memperindah budi-pekerti dan akhlak yang utama (janma utama). Dan bukankah ini, mengambil contoh ajaran Islam, merupakan tujuan puncak diturunkan ajaran agama: yakni menyempurnakan akhlak utama. Yakni budi-pekerti yang dicapai manusia setelah melalui proses perjuangannya mengolah-budinya atau setelah proses olah “berkebudayaan”nya, dari kondisi status kemanusiaannya yang sebelumnya terbelenggu dorongan-dorongan alami hewaninya (basyar) menuju diri kemanusiaan yang dilimputi oleh akhlak dan budi-pekerti utama untuk mengatur hidup bersama yang saling mengamankan dan menebarkan kedamaian, kebersamaan, dan rahmat kepada siapapun (insan). 

Dalam koridor penafsiran ini, ajaran inti beragama adalah mengolah budi kemanusiaan dari status “kehewanan” kita menuju potensi “kemanusiaan” kita, alias ajaran berkebudayaan atau bahkan proses berkebudayaan itu sendiri, dalam visi ketuhanan yang membantu kita memperindah pola kehidupan bersama dalam sebuah tata-kemasyarakatan. Dan dengan kerangka ini pula, agama—beserta ajaran tentang ketuhanannya—seharusnya tak bediri terpisah dengan “kebudayaan”, serta hendaknya mengukuhkan “olah-kedirian” berkebudayaan atau olah proses kemanusiaan sebuah masyarakat, yang memang secara factual bersifat particular-lokal (Indonesia) dan memang berbeda-beda pada setiap bangsa dan masyarakat. Inilah ajaran ketuhanan yang telah membantu menegakkan jati-diri olah-kebudayaan kebangsaan masyarakat tertentu, yakni telah melampaui ajaran hitam-putihnya (syari’at) sebagai batu bata-utama awal dalam menata hidup yang telah mengantarkannya kepada capaian “hikmat”, “kebijaksanaan”, dan “kearifan” (satu akar kata dengan ma’rifat). Sebuah agama yang tidak lagi mengawang dalam ajaran dan doktrin yang masih berjarak dan memisahkan diri pergulatan kebudayaan sebuah masyarakat, melainkan ajaran keagamaan dan ketuhanan yang membantu mengutuhkan jati-diri “kebudayaan” sebuah bangsa dalam mengekplorasi olah potensi “ilahiyah” yang bersemanyam dalam “fitrah” kemanusiaan yang berkecenderungan lurus (hanif) tersebut.

“Ketuhanan yang berkebudayaan” sebagai salah satu sila dari Pancasila seperti disorongkan Soekarno di atas, dengan sendirinya sekarang memiliki relevansi dan memungkinkan kita memaknainya untuk kebutuhan kita hari ini. Bahwa dalam visi dan prinsip ketuhanan dan ajaran agama, hendaknya membantu kita untuk mengatur hidup bersama dalam bingkai kerakyatan yang tidak semata dipandu olah ajaran hitam-putih (parsial menurut egoisme kelompok maupun golongan [agama] tertentu) melainkan seharusnya dipandu oleh penglihatan utuh dalam bingkai “hikmat” (mengambil hikmah “baik” dari peristiwa “buruk”, alias telah melampaui baik-buruk), maupun dalam bingkai kebijaksanaan dan kearifan (ma’rifat) yang tidak lagi mencari menang-menangan dalam payung “musyawarah”. Yakni olah kemanusiaan dalam mengatur hidup bersama dalam semangat “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, dalam permusyawaratan”. Dalam bahasa Soekarno, olah kemanusian dalam bingkai ketuhanan tersebut dengan sendirinya bersifat “kebudayaan, yakni dengan tiada ‘egoisme agama’” yang tidak membenarkan “egotisme kebenaran” dari prinsip ketuhanan tertentu.

Dalam kalimat lain, prinsip ketuhanan dalam proses olah kemanusiaan yang mengutuhkan proses berkebudayaan sebuah bangsa seharusnya juga mengejawantah dalam akhlak maupun budi pekerti luhur.

Dalam kalimat lain, prinsip ketuhanan dalam proses olah kemanusiaan yang mengutuhkan proses berkebudayaan sebuah bangsa seharusnya juga mengejawantah dalam akhlak maupun budi pekerti luhur. Yakni sebuah prinsip ketuhanan yang telah membantu olah budi-pekerti dalam proses menjadi manusia seutuhnya dalam mengejar kecenderungan fitrahnya sesuai konteks pergulatan kebangsaannya yang memiliki tantangan dan kondisi yang memang berbeda dengan bangsa lain. Nah, prinsip ketuhanan dan ajaran agama seperti inilah yang telah terbukti membantu manusia Indonesia menemukan jati-diri kemanusiaannya. Ketuhanan yang mengantarkan penganutnya kepada akhlak utama dan budi-pekerti luhur dan ketuhanan yang tidak lagi mengekslusi, menyingkirkan, dan menghina “tuhan” kelompok lain, alias ketuhanan—dalam bahasa Soekarno—“ketuhanan yang berkebudayaan, yakni ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain.” Sebuah prinsip ketuhanan dan agama yang justru membantu memperkokoh jati-diri kebudayaan sebuah bangsa dalam menata kehidupan bersama. Ajaran agama yang dengan sendirinya bisa menebar rahmat bagi alam semesta.