Islam Jawa
Akhir-akhir ini saya nyaris berkesimpulan bahwa makna hidup tak mungkin didapat dari proses abstraksi-abstraksi pemikiran dan permenungan filosofis berjarak. Melainkan ia bisa digenggam, hanya dari proses mengalami secara intim-subjektif pengalaman-pengalaman kehidupan. Sederhananya untuk dapat merengkuh makna hidup, orang, saya anjurkan untuk menjadi pecinta daripada menjadi filsuf.
Kalaupun “makna hidup”––katakanlah begitu––bisa ditangkap dari permenungan berjarak para filsuf, makna tersebut saya kira kok bersifat objektif, jauh, dan dingin, alias tak membantu banyak hal atas keputusan spesifik dari ribuan gejala dan pengalaman yang kita hayati secara spesifik. Ia ada “jauh” di sana, oleh karenanya apa guna?
Persis seperti dalam menghayati agama, makna hidup harus dijemput tepat pada saat anda “menceburkan” diri dalam pengalaman fana keduniaan anda. Mungkin metafor yang baik untuk melukiskan ini adalah saat anda belajar bersepeda.
Agama, atau lebih tepatnya kebenaran agama, digapai bukan dengan mematuhi rumusan baku yang bersifat umum dan mengekang, yakni dengan cara melibatkan diri dalam pertengkaran diskursif terkait madzhab-madzhab aturan-aturan yang beragam tentang juklak dan juknis seperti tertera dalam banyak buku panduan bersepeda.
Kebenaran agama adalah hal intim yang diperoleh dari jalan menerjunkan diri untuk dengan komitmen dan tekad sempurna berani mengayuh sepeda dengan keterlibatan penuh, meski ia harus berkali-kali terluka karena sepeda anda tersungkur. Tapi tekadnya untuk merengkuh kebenaran akan memicu anda untuk bangkit dan bangkit lagi. Anda, percayalah, akan dibangkitkan oleh cinta.
Kebenaran agama adalah hal intim yang diperoleh dari jalan menerjunkan diri untuk dengan komitmen dan tekad sempurna berani mengayuh sepeda dengan keterlibatan penuh, meski ia harus berkali-kali terluka karena sepeda anda tersungkur. Tapi tekadnya untuk merengkuh kebenaran akan memicu anda untuk bangkit dan bangkit lagi. Anda, percayalah, akan dibangkitkan oleh cinta.
Para faqir dan guru suci kita telah sering memperingatkan kita bahwa menghafal kitab suci tak akan mengantarkan kita pada kebenaran, apalagi kearifan. Kebenaran didapat sungguh dari upaya intim kita untuk “mengalami” percik-percik pengalaman. Banyak orang menyebut upaya ini sebagai “cinta”, dan sepertinya saya setuju.
Sungguh saya akan bergetar, jika menemui seseorang yang dengan tanpa sedikitpun mundur––tentu setelah melewati uji rentang waktu yang lama––untuk terus menerus memperjuangkan cintanya. Ia, bagi saya telah “mengalami” cinta sebagai proses spiritual yang sublim, dan oleh karenanya saya akan segera bersimpuh di depannya (lirik Tarli Nugroho).
Para faqir dan guru suci kita telah sering memperingatkan kita bahwa menghafal kitab suci tak akan mengantarkan kita pada kebenaran, apalagi kearifan. Kebenaran didapat sungguh dari upaya intim kita untuk “mengalami” percik-percik pengalaman. Banyak orang menyebut upaya ini sebagai “cinta”, dan sepertinya saya setuju.
Saya sarankan, jika anda ingin merengkuh kebenaran, singkirkan jauh-jauh permenungan filosofis berjarak dan jadilah pecinta yang buta. Karena, jika cinta saya buta, ungkap anda, saya pasti akan menemukan jalan bersamanya.
Tapi, tunggu dulu. Pandangan saya di atas sebenarnya masih hitam-putih. Yakni Saya seolah membuat garis tegas wilayah antara filsuf dan pecinta. Padahal, dalam hidup, saya sering menemukan seorang filsuf yang berusaha mengalami kehidupan dengan bantuan permenungan berjaraknya. Karena bagaimanapun, pengalaman yang tak direfleksikan hanya akan menambah deretan pengalaman yang tak terangkai.
Namun, sebenarnya, apa yang saya ingin katakan sebenarnya sederhana, yakni saya ingin mengalami hidup ini dari menggeluti kekayaan elemen yang mendukungnya: permenungan, ilmu pengetahuan, rasa seni, keterlibatan etis, keindahan, dsb.
Karena, kita tahu, akhir-akhir ini ada kecenderungan banyak orang meyakini bahwa hanya dengan kelebatan panduan ilmu pengetahuan, tafsir agama, dan doktrin-doktrin agama semata, mereka merasa telah meringkus kebenaran. Mereka abai bahwa hidup adalah kecamuk gejala yang sejatinya perlu didekati tidak hanya dengan ilmu tapi juga seni; tidak hanya dengan tafsir kitab suci, melainkan juga dengan etika dan akhlak kemanusiaan––yang sejatinya saya yakini segaris dengan agama yang fitri.
Sudah. Kalau begitu, anda ingin jadi filsuf atau pecinta.
Di bulan puasa yang tenang, marilah kita berdendang tembang dolanan bocah karya dalang Ki Slamet Gundono yang riang. Bagi yang pernah mendengarkan bagaimana tembang ini dilantunkan, tentu imajinasi anda akan melayang. Namun bagi yang belum, semoga bisa meresapi maknanya yang terdalam.
Sebelum dimulai, bayangkan anda seperti diiringi petikan gitar mandolin Slamet Gundono. Baik, kita mulai, yaa…
Atine bolong
Atine kosong
Atine mlompong
(hatinya bolong
Hatinya kosong
Hatinya melompong)
Neng langit ana lintang
Lintang….lintang luku
Ana bocah…
Ana bocah…
Bocah cilik gambar jagad
(di langit ada bintang
Bintang..bintang luku
Ada anak
Ada anak
Anak kecil melukis dunia)
Reff.
Cantel neng lintang
Sampir neng mbulan
Pepe neng srengenge
(gantungkan di bintang
Sampirkan di bulan
Jemur di matahari)
Ana bocah…..
Ana bocah…
Bocah cilik…
Bocah cilik gambar jagad
(ada anak
Ada anak
Anak kecil melukis dunia).
Tembang sederhana ini terinspirasi dari masa kecil Slamet Gundono yang sering bermain-main di sawah kampungnya. Bersama teman-temannya, Gundono kecil berlarian menyusuri pematang sawah. Setelah lelah, mereka akan menyebur ke Kali Gung yang saat itu masih dipenuhi air yang bening, hingga ikan-ikan masih tertangkap mata telanjang dan mudah ditangkap dengan tangan. Sembari mandi di kali, mereka mencari ikan dengan kedua telapak tangannya. Atau dengan menyusuri padas tempat ikan bersembunyi, mengamati lubangnya, kemudian saat ikan atau udang keluar, jari mungil mereka segera menarik buntut ikan atau udang tersebut.
Setelah memperoleh ikan atau udang, mereka akan membakarnya dengan klaras (daun pisang kering) di pinggir kali, kemudian memakannya beramai-ramai. Ketika mereka saling menatap, mereka tergelak bersama-sama karena saling melihat mulut mereka hitam penuh jelaga. Satu orang kemudian ada yang usil. Tangan mereka mengambil jelaga, kemudian diusapkan ke wajah temannya. Mereka kembali terbahak, kemudian berlariang dan..byuuurr….terjun ke kali lagi. Sungguh indah masa-masa itu.
Suasana seperti ini dalam bayangan Slamet Gundono dewasa dibaca sebagai suasana ketika anak-anak sedang melukis dunia, nggambar jagad. Kelak saat dewasa, lukisan mereka akan muncul lagi dan menginspirasi mereka dalam melakoni urip. Urip kui pancen mung dolanan. Laibun walahwun. Hal itulah yang dialami dan dirasakan Slamet Gundono selama hidupnya. Masa kecilnya memberikan banyak inspirasi dalam membuat karya lakon dan sekar. Masa kecil dan suasan kampung ternyata membuatnya jejeg menyangga tubuhnya yang besar dan beban hidupnya yang berat.
Kelak saat dewasa, lukisan mereka akan muncul lagi dan menginspirasi mereka dalam melakoni urip. Urip kui pancen mung dolanan.
Tembang di atas ini ditulis ketika Slamet Gundono sudah dewasa. Oleh karenanya, sekar ini merupakan imajinasi balik Slamet Gundono. Saat dewasa, ia telah mengalami lika liku hidup penuh warna; susah, senang, penat, bosan, muak, bahagia, atau sedih. Pait legi wis dilek. Baik terhadap sesuatu di luar dirinya maupun terhadap dirinya sendiri. Imajinasi ini secara psikologis menjadi mekanisme pertahanan dirinya (ego deffens mechanism) agar tak larut dengan masalah hidup, meskipun tak dimungkiri masalahnya membuat kesehatannya menurun dan penyakit kaki gajahnya semakin parah.
Mekanisme pertahanan diri umum diajarkan dalam kajian psikologi. Teori yang dicetuskan oleh Sigmund Freud, filosof perang dunia ke II dari Jerman ini menunjuk pada proses tak sadar yang melindungi seseorang dari kecemasan melalui pemutarbalikan kenyataan. Namun menurut Freud pula, pada dasarnya cara ini tak mengubah kenyataan, melainkan hanya mengubah persepsi seseorang terhadap masalah tersebut. Jadi, cara ini hanya bentuk penipuan diri.
Menurut Freud, ada sepuluh cara seseorang mempertahankan egonya, yaitu represi (menekan kecemasan), supresi (menahan kecemasan), reaksi formasi (mengubah mimik wajah), fiksasi (meminta tolong orang lain), regresi (kembali ke masa lalu yang indah), denial (menyangkal), proyeksi (menyalahkan hal lain), sublimasi (mengalihkan ke hal positif), rasionalisasi (membuat masuk akal perilakunya), displasment (mengelak), menarik diri, fantasi (melamun), dan intelektualisasi (menganalisa).
Teori ini tentu saja tak semuanya tepat, karena mekanisme pertahanan ini hanyalah istilah Freud saja. Bagi orang Jawa, regresi, fantasi, atau sublimasi misalnya, justru dibutuhkan untuk membangun kejujuran dan ketulusan diri (bolong, mlompong, kosong), bukan menipu diri. Yaa, seperti yang dilakukan Slamet Gundono ini. Ia tak mungkin menghasilkan karya-karya besar, seperti tembang ini, kalau ia tak berfantasi, kembali, dan mengendapkan pengalaman masa kecilnya dan pikiran dan hatinya. Dengan ego deffens mechanism, Slamet Gundono sekar nggambar jagad.
Dalam tembang ini, Slamet Gundono menggunakan kata kosong, mlompong, dan bolong untuk melukiskan hati yang ikhlas, jujur, dan apa adanya. Hati seperti ini hanya dimiliki oleh anak-anak, karena mereka masih suci, fitri, dan belum teracuni oleh beragam pengetahuan. Ikhlas, jujur, dan apa adanya oleh orang Jawa diterjemahkan dalam sikap semeleh atau narima ing pandhum. Sikap semeleh atau narima ing pandhum dianggap sebagai puncak kecerdasan manusia Jawa setelah seseorang mendayagunakan seluruh kemampuannya di hadapan pemilik kehidupan. Lahaula wala quata illa billahil ngaliyil adzim.
Dalam psikologi terdapat juga teori yang disebut dengan tabula rasa. Menurut teori ini, setiap bayi lahir itu ibarat batu tulis yang bersih. Perilaku selanjutnya akan dipengaruhi pengalamannya. Teori ini merupakan epistimologi yang dicetuskan oleh filosof Inggris abad 17, John Locke, bahwa manusia yang lahir tak memiliki mental bawaan dari leluhurnya.
Dalam kehidupan nyata, teori ini juga tak sepenuhnya tepat. Di Jawa, pengaruh genetik dari orangtua justru dianggap berpengaruh terhadap kepribadian seseorang. Bahkan, orang Jawa sangat perhatian dengan apa yang disebut rah ayu, darah yang ayu, artinya keturunan yang baik. Adapun roh ayu (ruh baik) dan reh ayu (kemulyaan) menjadi hak Gustialah.
Terhadap rah ayu (kemudian menjadi salam rahayu), para leluhur Jawa mengajarkan, hendaknya manusia Jawa mempersiapkan dengan serius jika ingin memiliki keturunan yang baik. Apalagi jika itu menyangkut kepemimpinan, maka dikenal peribahasa trahing kusumo rembesing madu. Bahwa pemimpin harus berasal dari bibit yang baik agar dapat melahirkan ajaran dan kepemimpinan (tauladan) yang baik.
Trah (dari Bahasa Arab itroh yang artinya keluarga atau keturunan) sangat penting dalam kepemimpinan Jawa. Dalam sebuah diskusi, Ki Herman Sinung Janutama menyatakan, setidaknya ada lima laku yang harus dilakukan dan dipersiapkan oleh calon pemimpin dalam ajaran Jawa, yaitu lelana (mencari ilmu), tedak sungging atau susur leluhur (jelas leluhurnya), manages (menegaskan atau memantapkan diri), jumeneng (disahkan), dan lengser (tahu diri kapan harus turun tahta).Tahap-tahap ini bukan untuk gagah-gagahan atau eksklusif, melainkan agar terjamin kualitas bobot, bibit, bebet-nya. Meskipun demikian, tersebab oleh kondisi zamannya, terkadang ada juga trah ratu yang seharusnya menjadi ratu tetapi memilih menjadi pujangga atau rakyat biasa.
Untuk menyiapkan rah ayu nanti derivasinya akan menurunkan beragam aturan dan upacara daur hidup yang ketat dan sangat berat. Dari mulai memilih calon istri, mendidik anak, hingga pendidikannya. Dalam konteks ini, dengan tujuan agar kosmologi Islam Jawa ini semakin merasuk dalam uripe wong Jawa, maka Kanjeng Sultang Agung Anyakrakusumo (1593-1645 M) pada tahun 1633 M (1555 saka), memerintahkan seluruh Kesultanan Mataram yang meliputi seluruh Pulau Jawa, Madura (kecuali Banten Batavia, dan Blambangan) untuk menggunakan sistem penanggalan (kalender) lunar (yang berdasar perputaran bulan). Tujuannya tentu saja agar kehidupan sehari-hari orang Jawa tersambung dengan ajaran Islam dan Jawa. Tentu saja hal ini terkait dengan cara hidup orang Jawa sesuai kosmologinya.
Melaui tembang ini, dalam pemahaman Slamet Gundono, semua itu hanya akan disandang oleh mereka yang hatinya bolong, mlompong, dan kosong. Yakni, orang yang manah (hati) selalu terikat dengan lemah (tanah) dan Gustialah (Tuhan). Ati, bumi, Gusti. Kosong bukan berarti tak berisi. Pun demikian, Sebaliknya, kosong itu isi, dan agar berisi harus kosong. Atine bolong, kosong, mlompong.
Melaui tembang ini, dalam pemahaman Slamet Gundono, semua itu hanya akan disandang oleh mereka yang hatinya bolong, mlompong, dan kosong. Yakni, orang yang manah (hati) selalu terikat dengan lemah (tanah) dan Gustialah (Tuhan). Ati, bumi, Gusti.
Dalam kalender Sultan Agungan (Islam Jawa), wulan pasa (puasa/ramadan) itu diartikan madya, apa adanya, semeleh. Sedangkan wulan besar (haji) diartikan kosong, suwung. Jika disambungkan dengan urutan dalam rukun Islam, maka ini dapat ditafsirkan, agar kelak manusia Jawa setelah madya di wulan pasa, ditambah membersihkan diri dengan zakat, dapat benar-benar kosong/suwung di wulan besar. Dengan begitu, kita akan tetap menjadi bocah cilik yang atine tetep bolong, sehingga mampu nggambar jagad.
Atine bolong
Atine kosong
Atine mlompong
Ana bocah…..
Ana bocah…
Bocah cilik…
Bocah cilik gambar jagad
Selamat menikmati ibadah puasa 1443 H.
Wallahua’lam bissawab.
*Baca Lengkap Tulisan Yusuf Effendi terkait Ki Selamet Gundono dalam Buku Bocah Cilik Gambar Jagad
Tulisan ini merupakan pembacaan sederhana dari kisah sejarah yang tersimpan. Patut diakui, Banyumas menyimpan banyak cerita-cerita tutur yang turun temurun. Cerita tutur/folklore akan menjadi cerita yang selalu mengasyikan dan penuh imaji. Cerita tutur yang muncul di masyarakat, tidak serta merta hampa atau kosong belaka. Tentu ada kisah nyata yang melatardepani sekaligus melatarbelakangi dari cerita tutur itu sendiri. Mau tidak mau, cerita tutur tidak semata-mata menjadi cerita fiktif tanpa data.
Cerita tutur bisa saja merupakan fakta sejarah, namun minim literatur. Literatur data berupa teks maupun segala yang berkaitan dengan tulisan. Akan tetapi, cerita tutur kerap memiliki bukti nyata dengan wujud petilasan, entah berupa benda. Penulis hendak mengatakan demikian, walau agak riskan, bahwa “sebuah sejarah yang diciptakan ataupun yang dituliskan pada dasarnya mengandung unsur subjektifitas.” Artinya, sebuah sejarah tidak lepas dari kepentingan sesuai zamannya atau setidaknya akan menemukan kabegjan seiring waktu berjalan.
Sebagai sample sederhana, peringatan Hari Santri menjadi gambaran nyata akan sejarah yang terpendam, alih-alih ingin dilupakan. Penetapan hari santri, tidak lepas dari peran pemangku kekuasaan yang menerima sejarah perjuangan para santri dan ulama atas jasanya kepada Republik ini.
Resolusi Jihad yang dimotori Kyai – Santri menjadi embrio peringatan Hari Santri di Republik ini. Resolusi Jihad menjadi sajian nyata dari sejarah yang nyaris dilupakan, anak muda jaman now, mungkin akan mengatakan, “sejarahnya ada tapi tidak dianggap.” Tentunya, menjadi persoalan yang berkepanjangan apabila kenyataan sejarah selalu demikian: dilupakan, disimpan dan tidak dituliskan.
Sejarah yang Berubah
Hari ulang tahun Kabupaten Banyumas mengalami perubahan. Bermula diperingati pada bulan April setiap tahunnya. Mulai tahun 2016 diperingati pada bulan Februari setiap tahunnya. Sebelum tahun 2016, Kabupaten Banyumas berdiri mulai tahun 1582 M. Namun, sejak tahun 2016, berdirinya Kabupaten Banyumas semenjak tahun 1571 M.
Setelah rentang waktu yang panjang, sejauh masa 445 tahun, sejarah Banyumas ditata ulang. Perubahan tahun kelahiran tersebut menjadi penanda, bahwa sejarah bisa diatur kembali. Perubahan hari lahir Banyumas berdasarkan Perda Kabupaten Banyumas Nomor 10/2015 tentang Hari Jadi Kabupaten Banyumas, menggantikan Perda Nomor 2/1990.
Selanjutnya, pada tahun 2015, DPRD Kabupaten Banyumas membentuk Panitia Khusus mengkaji hari jadi Banyumas. Sejak Pansus dibentuk, penelusuran dan pengkajian kembali dilakukan. Hasilnya, pada tahun 2016 dijadikan awal perayaan atas perubahan sejarah Kabupaten Banyumas. Pada tahun tersebut, sebagai tetenger, hari jadi Kabupaten Banyumas menjadi lebih tua, mundur selama 11 tahun.
Hasilnya, pada tahun 2016 dijadikan awal perayaan atas perubahan sejarah Kabupaten Banyumas. Pada tahun tersebut, sebagai tetenger, hari jadi Kabupaten Banyumas menjadi lebih tua, mundur selama 11 tahun.
Perubahan hari kelahiran tersebut berdasar awal masa kuasa Raden Kanjeng Jaka Kaiman, yaitu tahun 1571 M. Sementara tahun 1582 M, merupakan tahun selesainya Raden Kanjeng Jaka Kaiman menjadi Bupati Banyumas yang pertama. Ini menandakan, bahwa perubahan sejarah bisa diwujudkan, apabila disokong oleh pemangku kekuasaan dengan segenap perangkat pendukungnya.
Dua kisah sejarah di atas, Hari Santri dan Hari Jadi Banyumas menjadi kenyataan, bahwa penulisan sejarah dapat diulang sebagai kenyataan yang diakui dan disahkan.
Peran Ulama yang Terpendam
Sebagaimana jamak diketahui, bahwa Raden Kanjeng Jaka Kaiman adalah Bupati Banyumas pertama yang berkuasa tahun 1571-1582 M. Kisah yang tertulis dan lazim menjadi bahan cerita, Raden Kanjeng Jaka Kaiman disebut juga dengan Adipati Mrapat, karena membagi wilayah kekuasaan menjadi empat bagian.
Raden Kanjeng Jaka Kaiman merupakan putra wayah dari Pangeran Senopati Mangkubumi II atau dikenal juga dengan Raden Kanjeng Banyak Galeh. Putra perempuan dari Pangeran Senopati Mangkubumi II menikahi Raden Kanjeng Banyak Sosro. Raden Kanjeng Banyak Sosro adalah putra dari Raden Kanjeng Harya Baribin. Namun, Raden Kanjeng Banyak Sosro wafat saat Raden Kanjeng Jaka Kaiman masih kecil. Kemudian, Raden Kanjeng Jaka Kaiman diasuh oleh Nyai Roro Ngaisah. Adapun Nyai Roro Ngaisah merupakan adik dari Raden Kanjeng Banyak Sosro. Maka, Raden Kanjeng Jaka Kaiman diasuh oleh Bibinya sendiri, yang tidak lain merupakan putra dari Raden Kanjeng Harya Baribin. Sementara itu, eyang Raden Kanjeng Jaka Kaiman, Pangeran Senopati Mangkubumi II berkuasa di Kadipaten Pasirbatang kisaran tahun 1525-1549 M.
Sisik melik Pangeran Senopati Mangkubumi II tidak terpisah dari kisah sejarah Babad Pasirluhur. Pangeran Senopati Mangkubumi II atau Raden Kanjeng Banyak Galeh merupakan adik dari Raden Kanjeng Banyak Blanak atau Pangeran Senopati Mangkubumi I. Keduanya merupakan putra dari Raden Kanjeng Banyak Kesumba, di mana Raden Kanjeng Banyak Kesumba adalah putra dari Raden Kanjeng Banyak Wiratha. Sedangkan Raden Kanjeng Banyak Wiratha adalah putra dari Raden Kanjeng Banyak Roma dan Raden Kanjeng Banyak Roma dalah putra dari Raden Kanjeng Kamandaka. Dalam silsilah ini, Pangeran Senopati Mangkubumi II merupakan keturunan kelima Raden Kanjeng Kamandaka. Raden Kanjeng Banyak Blanak kemudian bersyahadat, setelah Syekh Makhdum Wali menghadap.
Begitupun, keberadaan Pangeran Senopati Mangkubumi II tidak bisa lepas dari sosok penting proses penyebaran Islam di Banyumas, yaitu Syekh Makhdum Wali. Syekh Makhdum Wali merupakan utusan dari Kesultanan Demak yang masuk wilayah Pasirluhur sekitar abad 14 M. Masuknya Syekh Makhdum Wali pada kisaran abad 14 M dapat ditilik dari tahun kuasa Raden Kanjeng Banyak Blanak yaitu antara 1469-1522 M. Sementara itu, dalam kisah tutur yang masyhur, Syekh Makhdum Wali dikubur satu liang dengan Pangeran Senopati Mangkubumi II. Dari sini dapat dilihat, bahwa Syiar Islam di Banyumas dilakukan oleh Raden Kanjeng Banyak Blanak/ Pangeran Senopati Mangkubumi I dan Raden Kanjeng Banyak Galeh/ Pangeran Senopati Mangkubumi II beserta Syekh Makhdum Wali.
Selain Syekh Makhdum Wali, Pangeran Senopati Mangkubumi I, Pangeran Senopati Mangkubumi II, sosok lain sebagai penyebar agama adalah Syekh Abdush Shomad dan Syekh Hasanudin. Syekh Abdush Shomad masyhur sebagai keturunan dari Kanjeng Sunan Gunungjati, Cirebon. Adapun Syekh Hasanudin merupakan putra dari Syekh Abdush Shomad. Syekh Hasanudin inilah yang kemudian erat bersinggungan dengan Raden Kanjeng Jaka Kaiman.
Ulama penyebar Islam di Banyumas tersebut dapat dikatakan sezaman dengan Raden Kanjeng Jaka Kaiman. Melihat rentang waktu saat berkuasa, antara Pangeran Senopati Mangkubumi I pada tahun I469-1522 M, Pangeran Senopati Mangkubumi II berkuasa antara 1525-1549 M dan Raden Kanjeng Jaka Kaiman berkuasa antara 1571-1582 M. Artinya, kehidupan Raden Kanjeng Jaka Kaiman tidak bisa dilepaskan dari keberadaan ulama-ulama tersebut. Jika memang Raden Jaka Kaiman merupakan putra wayah dari Pangeran Senopati Mangkubumi II, maka bisa dimungkinkan, Raden Kanjeng Jaka Kaiman bersinggungan juga dengan Syekh Makhdum Wali. Melihat kedekatan antara Syekh Makhdum Wali dengan Pangeran Senopati Mangkubumi II.
Kisah Pangeran Senopati Mangkubumi II sebagai eyang dari Raden Kanjeng Jaka Kaiman berhenti dititik silsilah. Hanya “pelengkap” dari silsilah kelahiran Raden Kanjeng Jaka Kaiman dalam membentuk berdirinya Banyumas saat itu. Sejauh ini, peran Pangeran Senopati Mangkubumi II tidak tertulis banyak dalam literatur berdirinya Banyumas.
Menyibak Mbah Lambak
Syekh Abdush Shomad menjadi penyebar Islam yang datang dari Kilen (Barat/ Cirebon). Sementara itu, Syekh Makhdum Wali merupakan ulama yang datang dari Wetan (Timur/ Demak). Banyak dituturkan bahwa Syekh Abdush Shomad memasuki Jombor (Cilongok, Banyumas) pada abad ke-16 M, namun penulis memiliki pandangan jika Syekh Abdush Shomad masuk ke Banyumas abad ke-15 M.
Mungkin ini tidak lazim, namun pandangan ini merujuk salah satu putra dari Syekh Abdush Shomad, yaitu Syekh Hasanudin yang menjadi menantu bupati sekaligus menjadi penasihat spiritual keraton. Menurut cerita tutur yang masyhur, Syekh Hasanudin menikah dengan putri Raden Kanjeng Jaka Kaiman. Pernikahan tersebut melahirkan putra, yaitu Raden Kanjeng Ragan Tali. Raden Kanjeng Raga Tali yang kemudian melakukan syiar agama di wilayah Gerduren, Purwojati hingga akhir hayat.
Hasilnya, pada tahun 2016 dijadikan awal perayaan atas perubahan sejarah Kabupaten Banyumas. Pada tahun tersebut, sebagai tetenger, hari jadi Kabupaten Banyumas menjadi lebih tua, mundur selama 11 tahun.
Dikisahkan pada saat itu, bahwa Raden Jaka Kaiman setelah membagi wilayah kekuasannya menjadi empat, kemudian mengadakan sayembara membangun keraton. Kabar sayembara tersebut didengar oleh Syekh Hasanudin. Setelah meminta restu dari Syekh Abdush Shomad juga meminta restu dari kakenya, yaitu Syekh Abdus Salam, Gunung Lurah, Cilongok, Syekh Hasanudin dengan yakin mengikuti sayembara mbangun kraton. Sayembara membangun keraton ini dilakukan karena pemerintahan Banyumas yang baru hasil mrapat harus segera terbentuk.
Setelah sayembara dilakukan dan terbentuk keraton, kemudian Raden Kanjeng Jaka Kaiman menjadikan Syekh Hasanudin sebagai penasihat spiritual keraton. Tentunya merujuk kisah tersebut, pembacaan penulis, sayembara membangun keraton dilakukan Raden Kanjeng Jaka Kaiman saat awal menjabat sebagai Bupati Banyumas, tahun 1571. Bila demikian, ketika Syekh Hasanudin mengikuti sayembara, tentu saja Syekh Abdush Shomad yang menjadi orangtua Syekh Hasanudin juga ada di abad dan tahun tersebut. Syekh Hasanudin dan Syekh Abduh Shomad tentunya berpengaruh dalam kehidupan Raden Kanjeng Jaka Kaiman.
Terlebih makam Syekh Hasanudin yang dikenal juga dengan Mbah Lambak berada di komplek Makam Kalibening. Bahkan, menurut cerita tutur versi Jombor (Syekh Abdush Shomad) Makam Syekh Hasanudin berada di barat Makam Raden Kanjeng Jaka Kaiman namun bukan yang dicungkub, melainkan yang berada di sebelahnya lagi, makam yang tidak dicungkub. Walaupun umum dikisahkan, bahwa makam Syekh Hasanudin yang berada di barat makam Raden Kanjeng Jaka Kaiman merupakan petilasan.
Penulis memaknai, keberadaan makam Syekh Hasanudin sebuah kenyataan sejarah, baik makam yang berada di dekat Raden Kanjeng Jaka Kaiman, maupun yang berada di komplek makam Kalibening. Sebab sama-sama berada di sisi barat makam Raden Kanjeng Jaka Kaiman. Makam yang berada di sisi barat lazim diartikan sebagai makam yamg dituakan sosoknya.
Selain itu, masih dari cerita tutur, Raden Kanjeng Jaka Kaiman sering juga mengunjungi Syekh Abdush Shomad di Jombor. Selain berkunjung ke Syekh Abdush Shomad, putra dari Raden Kanjeng Jaka Kaiman yang disebut sebagai Raden Bagus Santri juga nyantri di Pesantren Jombor (Syekh Abdush Shomad), hingga dimakamkan di makam Jombor.
Dalam hal ini, peran ulama telah ada sejak awal berdirinya Banyumas. Ada kebersamaan antara ulama dan umara dalam menjalankan pemerintahan. Akan tetapi, tapak jejak ulama saat itu, masih belum terekspos, luput dari penyertaan dalam penulisan sejarah berdirinya Banyumas. Umumnya dalam kisah Babad Banyumas, lebih kepada kisah pantangan Sabtu Pahing, dengan tokoh-tokoh yang masyhur dalam cerita tersebut. Sekaligus kisah keris yang melekat kuat dalam sejarah tersebut.
Sementara itu, peran Pangeran Senopati Mangkubumi II, yang menjadi Eyang Raden Kanjeng Jaka Kaiman, Syekh Hasanudin yang menjadi penasihat keraton, Syekh Abdush Shomad yang sering dikunjungi Raden Jaka Kaiman sekaligus Syekh Makhdum Wali yang sezaman juga luput dalam catatan latar belakang sejarah berdirinya Banyumas.
Objektifitas sejarah memang sebuah keniscayaan. Terlebih bila mengacu pada kelas sosial, yaitu kelas ningrat dengan kelas rakyat. Peran ulama di Banyumas, pada waktu itu, sekedar pelengkap. Latar belakang berdirinya Banyumas yang bersumber dari Babad Pasirluhur dan Babad Banyumas, pun dengan sumber dari cerita tutur yang kuat, rasanya perlu menjadi teks lengkap sebagai literasi sejarah. Linnabi walahumul Fatihah buat pendiri-pendiri Banyumas.
Wallahu’alam.
Gambar di bawah ini namanya kayon. Banyak sumber mengasalkan kata ini dari kata kayu dalam bahasa Jawa yang berarti pohon dan wit-witan (tumbuhan), maupun dr kata hayyu atau hayyun dari bahasa Arab (yang dilafalkan lidah Jawa menjadi kayu atau kayun) yang berarti ‘hidup’. Kata kayu ditambah akhiran -an menurut kaidah fonetis Jawa menjadi kayon (bukan kayuan), persis seperti kata turu (tidur) mendapat akhiran -an menjadi turon bukan turuan.
Arti dua cabang asal kata ini sepertinya justru saling melengkapi. Seperti simbol pohon kalpataru yang terpampang dan memenuhi gambarnya, hal ini memang mau menunjuk arti ‘pohon kehidupan’ (pohon kalpataru). Namun dalam bahasa jawa, selain kata wit yang berarti pohon, kata wit juga bisa berarti kependekan kata wiwit atau wiwitan yang berarti “permulaan”. Jadi ini juga soal “permulaan kehidupan”, atau juga terkait permulaan kehidupan yang dimetaforkan seperti pohon, yakni ada awal-akarnya kemudian berkembang bertumbuh, bercabang, berdaun, beranting, berbunga dll.
Makna dan simbolisasi yang baru saya paparkan sungguh terkonfirmasi oleh salah satu deskripsi setiap dalang wayang kulit purwa di tengah pakeliran saat menancapkan kayon-nya, kemudian mendendangkan sulukan (pathet sanga wantah) yang mengilustrasikan kayon awal mulai pohon kehidupan itu.
Kayune purwa sejati. (Ke)hidup(an) permulaan sejati. Yang dahannya semesta, beranting cahaya pelangi, kembangnya bintang-bintang, berkelopak langit, berbuah matahari dan bulan, tersirami embun dan hujan, juga berpuncak angkasa, dst.
Jadi sebenarnya kayon ini ingin mengajarkan tentang awal mula sejati kehidupan atau alam semesta ini (yang sebenarnya sekaligus akhirnya). Lalu apa permulaan sejati atau awal mula dari kehidupan ini?
Jadi sebenarnya kayon ini ingin mengajarkan tentang awal mula sejati kehidupan atau alam semesta ini (yang sebenarnya sekaligus akhirnya). Lalu apa permulaan sejati atau awal mula dari kehidupan ini?
Jawabannya kita temukan di paragraf Wirid Hidayat Jati-nya Ranggawarsita, saya kutipkan:
“Kang dingin Ingsun anitahake Kayu…’ (ingat kata ‘kayu’)”.
“Yang pertama Saya (Allah) mencipta/memerintahkan Hayyu (zat hidup/ kecenderungan pertama Dzat-Nya)…’
“Nuli cahya aran Nur Mukammad”
“Baru selanjutnya cahaya yang bernama Nur Muhammad”.
Saya kutip kata perkata biar orang tidak mengira saya ngelindur. Di paragraf ini sebenarnya Ranggawarsita ingin menceritakan awal-mula kehidupan bukan dari sisi penciptaan dunia menurut syariat lahir, melainkan dari konsep penciptaan semesta dari haqiqat-esotoris seperti diamini banyak tokoh sufi seperti Ibn Arabi, Jilli, Jami, Burhanpuri, bahwa semesta ini merupakan merupakan tajalli atau pendararan kecenderungan pertama Dzat-Nya (Syu’un dzatiyah) yang bernama Hayyu atau kayu yang kemudian mencipta cahaya atau nur muhammad.
Kecenderungan Dzat-Nya yg pertama ini (Kayu) oleh Ranggawarsita disebut juga sajaratul yakin (harafiahnya pohon yakin/pohon hidup) yang olehnya dimaknai “bertumbuh di alam adam-ma’dum” atau di alam “gaib-nya gaib” alias di alam puncak tertinggi (pertama) kegaiban tuhan, yang oleh Ranggawarsita disebut sebagai tempat kegaiban pertama alam ahadiyat (dados wahananing ngalam akadiyat).
Dari kegaiban pertama ini lalu munculllah nur Muhammad di alam kegaiban kedua (alam wahdat), terus hingga alam ketiga (alam sirr/rasha), keempat (alam arwah), kelima (alam misal), keenam (alam jisim kebendaan dunia ini) hingga ketujuh (dunia insan kamil manusia), yang sering disebut ‘martabat tujuh’ (kasapta martabat).
Jadi Ranggawarsita tak sendiri. Teori penciptaan ini diamini juga oleh sufi lain seperti Hamzah Fansuri, al-Jilli, Burhanpuri, dll. Dan sekali lagi teori ini tidak bertentangan (hanya sisi esotoris dalam memandang) dengan teori kejadian al Qur’an dari sisi lahir-eksoterik dari “ketiadaan” menjadi “ada”.
Dari sisi esotorik inilah kehidupan (kayu) bermula dari penyingkapan kegaiban berlapis-lapis atau peluberan (faidh, tanazzul) kecenderungan dzat-Nya bernama “hayyu” tadi melahirkan kehidupan dunia ini (dunia ini madźhar-Nya). Atau dalam bahasa lain, (kehidupan) dunia ini atau alam semesta ini hanya tajalli atau manifestasi atau pen-“nyata”-an dari Wujud dari Yang Maha Hidup (Hayyu).
Tak aneh misalnya gunungan wayang itu yang awalnya dinamai kayon Blumbangan dikenali masyarakat diciptkan oleh Sunan Kalijaga. Lalu disempurnakan menjadi Kayon Gapuran di zaman Mataram kartasura (jangan mencarinya di zaman Majapahit, yg cuma menyisakan parwa-parwanya (cerita wayang) tp tak diketemukan wayang kulitnya).
Jadi jangan heran jika kayon itu muncul dalam perubahan suasana di setiap babak lakon cerita: di awal, tengah, dan akhir wayang). Ia juga menandai munculnya sulukan (harafiah Arab-nya “perjalanan” hidup kembali kepada-Nya) alias tembang peralihan di setiap lakon (laku, mlaku, lakon perjalanan kehidupan) wayang.
Akhirnya kayon adalah lambang perjalanan kehidupan yang berasal dari-Nya dan sedang menuju-Nya. Lambang untuk mengenali awal-mula kehidupan manusia (kayun purba sejati). Ia bahkan bukan semata mengajari tauhid lahir bahwa Tuhan kita adalah Allah. Namun bahwa satu-satunya yang benar-benar ‘ada’ (yakni tauhid wujud), adalah Dia. Keber-ada-an bumi dan alam semesta ini hanyalah ‘bayangan’ (wayangan), alias tidak haqiqi, majazi, dari keber-Ada-an mutlaq-Nya. Termasuk hidup kita ini hanya bersifat metaforik (majazi), karena yang benar-benar hidup adalah Yang Maha Hidup. Dalam bahasa lahir-syariat, hidup kita ini hanya pinjaman.
Akhirnya kayon adalah lambang perjalanan kehidupan yang berasal dari-Nya dan sedang menuju-Nya. Lambang untuk mengenali awal-mula kehidupan manusia (kayun purba sejati). Ia bahkan bukan semata mengajari tauhid lahir bahwa Tuhan kita adalah Allah.
Makanya saya tidak terlalu kaget, ada seorang ustadz yang mengharamkan ajaran tauhid wayang ini, yang dari mulutnya keluar semua yg tak ada dalilnya ia bid’ahkan. Namun saya sedih, karena kita (para pewaris walisanga ini) benar-benar kehilangan ajaran mulia ini dari tikungan-tikungan sejarah kolonialismenya sehingga tak lagi mengenali ajaran penting ini. Ringkasnya para muslim kita hari juga sudah mulai “kelangan enggok“. Mungkin ini nasib sejarah, saya memaklumi.
Saya tiba-tiba ingat zikirnya simbah-simbah tetangga dulu: “ya kayu ya kayumu” (Ya Hayyu, Ya Qayyum(u).
Sosoknya akan selalu diliputi misteri. Abadi. Tapi ajarannya –yang lebih menekankan pada suara hati dibanding praktik-praktik fikih– diam-diam banyak dihayati. Ceritanya, berpuluh-puluh cerita, menetes dari bibir orang-orang yang mencintai.
Orang-orang Lemahabang.
Seh Lemahabang bisa mati. Terbunuh. Tapi tidak untuk ajaran rahasia, manunggaling kawula gusti, Tuhan telah menyatu dalam diri kita, yang diwariskannya itu. Benar-benar merembes dan membekas dalam hati.
Meski dipanggil seratus orang wali, aku tak mau datang, aku bukan abdi mereka, aku tak diperintah mereka. Wali dengan aku sama –daging berujud bangkai. Sebentar busuk jadi tanah. Aku tak bisa didesak oleh santri yang bodoh dan senang menipu orang, oleh mereka yang mengaku dekat dengan Tuhan, dan tak tahu citra diri sendiri adalah bangkai. Mereka yang berkeliaran mengumbar ilmu kepada setiap orang yang suka ditipu. Mereka yang menyuruh orang untuk sembahyang di Masjid Demak, yang mereka sebut rumah Allah. Itu bohong belaka. Aku dulu ikut salat di sana, aku amat menyesal. Tapi itu kulakukan karena belum menyadari hakikat diri. Sekarang dapat kukatakan…
Kawula dan gusti sudah ada dalam diriku, siang dan malam tak bisa memisahkanku dari mereka. Tapi hanya saat ini nama kawula-gusti berlaku, selagi aku mati. Nanti, bila aku hidup lagi, gusti dan kawula lenyap, yang tinggal hanya hidupku, ketenteraman langgeng dalam Ada sendiri. Di sana tak dikenal kematian dan perasaan sedih. Yang ada hanya kenikmatan kekal abadi. Itulah mengapa aku sekarang merasa menderita, sebab berada di alam kematian (dunia ini) dekat surga-neraka.
Hai Pangeran Bayat, bila kau belum mengerti kebenaran dari kata-kataku, bisa dikatakan kau masih terbenam dalam masa kematian. Di sini (dunia) memang banyak hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yang menimbulkan hawa nafsu. Kau tak lihat itu hanya akibat pancaindera?
Itu hanya impian, dan sama sekali tak mengandung kebenaran, sebentar lenyap. Gila saja orang yang terikat padanya, tak seperti Syekh Siti Jenar. Aku tak tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya yang kuusahakan ialah kembali kepada kehidupan.
Itu yang diucapkan Seh Lemahabang kepada Pangeran Tembayat –murid Sunan Kalijaga. Sebelum ia disidang dan Sunan Kudus memenggal kepalanya. Empat paragraf panjang itu, yang dinukil dari Serat Siti Jenar yang diterbitkan Tan Khoen Swie dan diulang-ulang di banyak buku setelahnya, untuk menyebut beberapa, Abdul Munir Mulkhan, Intisari Ajaran Syekh Siti Jenar (2015), Bambang Marhiyanto, Siti Jenar Menggugat (2000), Abu Fajar Al-Qalami, Legenda Siti Jenar (2005), Nizzatul Haq, Cerita Mistik Dibalik Kisah Syekh Siti Jenar (2007), Rahimsyah, Siti Jenar: Cikal Bakal Faham Kejawen (2006), bisa jadi puncak kefasihan dan perdebatan Islam Abangan dalam tradisi Jawa.
Tuhan dalam diri
Hidup bermula dari sepi
Kematian datang di tengah suara ramai
Itukah yang hendak ditunjukkan Lemahabang? Ya. Satu dari sekian banyak wali yang menolak pusat dan penyatuan kekuasaan itu ingin agar orang percaya Yang Ilahi telah bermukim dalam diri. Bukannya di langit tinggi.”Di mana Tuhan jika tidak di dalam diri,” kata Lemahabang. “Kelilingilah dunia, terbanglah hingga langit lapis ketujuh, kamu tetap tidak akan menemukan Tuhan.”
Belum cukup. Kita dapati ucap Lemahabang lainnya yang disebut wejangan sasahidan.
Saya inilah sebenar-benarnya Allah
Allah adalah badan saya
Rasul itu rahasia saya
Muhammad itu cahaya saya
Saya tak kenal maut
Saya tak mengenal lupa, dan kekal selamanya
Saya mengetahui segala gerak-gerik dan tingkah laku makhluk-Nya
Saya tak pernah salah, Maha Melihat dan Maha Memutuskan
Saya yang meliputi seluruh alam semesta
Seh Lemahabang inilah Allah sesungguhnya
Para wali marah. Menganggap omongan itu kebrutalan, sesat. Dan Lemahabang didakwa membahayakan rakyat. Ia harus dihukum atas sikapnya. Seperti kemudian kita temukan dalam ucapan Sunan Bonang. “Bagaimana caranya dan apa yang harus aku lakukan untuk mengakhiri hidupmu?” Sunan Giri bahkan mengecam Lemahabang dengan alasan “berani membuka ilmu rahasia dengan tak sepantasnya, diberikan pada tiap orang.” Giri pantas khawatir karena Lemahabang mengajarkan paham itu tanpa ditutup-tutupi kepada murid-muridnya yang tersebar di banyak tempat. “Islam dibangun atas dasar syariat,” ujar Sunan Kudus. “Kita tak bisa menjalankan perintah ibadah tanpa melalui tingkatan syariat.”
Sunan Kudus ingin agar Lemahabang akhirnya menuruti ucapannya, kembali dari jalannya yang menyimpang. Ia tak ingin ajaran Lemahabang berkembang. Sebab itu bisa meracuni iman yang baru saja terbentuk di masyarakat –di saat itu para wali sedang giatnya menanamkan keyakinan monoteisme dari keyakinan sebelumnya, politeisme-pantheisme.
Dalam kisahnya yang paling tersebar luas, Lemahabang diceritakan, ia tidak menganggap penting segala tertib, ia mencibir syariat. Baginya: syahadat, salat, zakat, puasa dan haji itu hal-hal yang tak perlu. Omong kosong itu. Hanya orang bodoh yang percaya, karena terus berharap surga dari sana. Tak ada guna lagi salat kita. Itu hanya basa-basi belaka. Suatu kesia-siaan. Hidup kita tak dihabiskan demi itu.Banyak orang tampak khusyuk salatnya, bibirnya terus berucap doa. Tapi hatinya tetap saja memikirkan dunia. Ia membuat tamsil untuk iman yang lembek seperti itu “Islamnya ibarat kelapa, dan hanya makan serabutnya. Padahal yang nikmat adalah buah dan airnya.”
Ia membuat tamsil untuk iman yang lembek seperti itu “Islamnya ibarat kelapa, dan hanya makan serabutnya. Padahal yang nikmat adalah buah dan airnya.”
Bagi Lemahabang, itulah awal kemerosotan. Untuk apa salat jika perangainya tetap buruk, masih suka mencuri. Untuk apa bibir lelah berdoa, jika masih menyimpan dengki. Kadang masih suka berharap imbalan.
Tuduhan itu amat telak. Lemahabang seperti ingin menegaskan kepada orang yang merasa dirinya suci bahwa inti kebahagiaan ditemukan dalam sikap menyerah secara mutlak. Bukan sekian ibadah yang membikin muak. Dan yang lebih merisaukan ialah kecamannya kepada konsep Tuhan yang berjarak. Bagi Lemahabang, Tuhan tak lagi dipandang sebagai Dia yang terlampau jauh, tak terhampiri, melainkan Dia yang tak berjarak.
Bagaimana kita harus menafsirkan ucapan itu? Agak sulit dan membingungkan memang. Di dalam banyak penuturan kisahnya, ia bukan semata-mata ingin menyingkap Tuhan. Ia, dengan mengaku dirinya Allah, ingin mengutuk mereka yang bertugas menjaga kemurnian Islam. Ia menolak sikap pura-pura.
Wali pembangkang yang utama. Kata Nancy K. Florida dalam disertasinya Menyurat Yang Silam Menggurat Yang Menjelang (1995) ketika menyoal Lemahabang. Dua puluh lima tahun sesudah buku itu ditulis, Lemahabang masih dianggap “orang yang mau bebas dari segala” tokoh oposisi terhadap hegemoni kekuasaan rohani para wali.
Tak mustahil, apa yang sebenarnya terjadi lebih dari 500 tahun lalu itu pertarungan dalam memperebutkan hegemoni antara Lemahabang dan kelompok wali. Masing-masing ingin membangun imperiumnya sendiri. Satu, ingin meneguhkan batas. Lainnya, mau bebas. Ia coba menghilangkan sekat-sekat yang membelenggu diri. Tak peduli titah raja dan perintah nabi.
Untuk sikapnya itu, ia sadar betapa jauhnya ia dari yang diimpi-impikan semua orang bagi dirinya: wali suci di tanah Jawa. “Kelaparan, sakit telah saya alami sambil mencari nafkah, meskipun Tuhan ada, ia tak dapat saya mintai apa-apa…”
Karena sikapnya itulah ia hendak dibungkam dan dilupakan. Tapi, tak semua orang seperti Sunan Kudus –yang mengumpat Lemahabang sebagai “sesat” dengan alasan yang sering dipakai “mengaku Tuhan”.
Rasanya aneh sekali, sampai sekarang riwayat Lemahabang masih hidup di tengah-tengah orang Jawa. Orang-orang Lemahabang. Ia berada antara dongeng dan sejarah, antara gelap dan terang. Jelaslah, betapa besar pengaruh dari ide-idenya, bila “bahaya panteisme (lewat ajaran Lemahabang) amat dekat bahkan sudah masuk ke dalam benteng monoteisme yang dijaga demikianketat.” Kata penulis buku Manunggaling Kawula Gusti. P.J. Zoetmulder.
Begitulah sejarah mencatat: ia kontroversial dan misterius. Ceritanya bertumpuk-tumpuk antara legenda dan mitos. Dan punya banyak versi.
Begitulah sejarah mencatat: ia kontroversial dan misterius. Ceritanya bertumpuk-tumpuk antara legenda dan mitos. Dan punya banyak versi.
Gunung Jati, Cirebon –tempat leluhur saya. Sosok Lemahabang banyak dibicarakan. Orang percaya asal-usulnya dari sana, Desa Lemahabang, 15 kilometer arah timur Lemahwungkuk –yang dahulu menjadi pusat Kraton Kasepuhan.
Dalam naskah Tan Khoen Swie, dalam bait-bait Asmarandana yang terjemahannya sebagai berikut, di sana disebutkan:
Besarlah perguruan Sunan Giri (Giri Gajah)
Dicintai para ulama
Adalah seorang muridnya
Dari negeri Siti Jenar
Bernama San Ngali Ansar
Terkenal di tempat tinggalnya (Cirebon Girang)
Dipanggil Syekh Lemahabang
Juga banyak pengikutnya yang meyakini: Lemahabang meregang nyawanya di ujung keris Sunan Gunung Jati yang ditikamkan Sunan Kudus di pelataran Masjid Sang Cipta Rasa di tahun 1506. Ia, yang tak pernah mengaku diri sebagai sufi yang terbenam dalam cinta akan Tuhan, kemudian dimakamkan di Kemlaten, Anggaraksa, sekarang dikenal dengan nama Kanggraksan. Versi lain –tulisan Abdul Munir Mulkhan– menyebut Lemahabang mangkat di padepokannya Krendhasawa, Mantingan, Jepara, dengan cara menghela nafas sendiri. Para pengikutnya di Cigugur, Kuningan, yakin bahwa makamnya tak pernah ada sebab tubuhnya “moksa” usai dihukum mati. Saudara saya, yang sekarang menjaga makam Sunan Gunung Jati, membuat pengakuan bahwa kubur Lemahabang atau Syekh Abdul Jalil bin Syekh Datul Sholeh persis di samping pusara Syekh Datul Kahfi di bukit Amparan Jati.
Barangkali menjadi tak penting letak kubur, tempat para wali mengeksekusi, dan asal-usul dari wali kutub itu. Meskipun di musala makam Lemahabang di Kemlaten tertulis asal-usul sang tokoh. Karena orang akan berdebat tak habis-habisnya.Sebab sosoknya sudah banyak bercampur dengan legenda dan dongeng. Dalam satu catatan ia dianggap bersekutu dengan setan karena bisa malih rupa menjadi cacing, kodok, dan burung.
Lepas dari semua kontroversi. Ia adalah manusia yang melihat diri sendiri sebagai makhluk merdeka dan tak kenal tingkatan antara kawula dan gusti.
Kemlaten. 30 menit dari rumah. Siang itu, di sela rimbun pohonan, antara ratusan makam sekelilingnya, cungkup makam Lemahabang –dalam kepustakaan Jawa, ia lebih sering disebut Siti Jenar, ada pendapat itu nama aslinya, banyak pula yang menampik itu sekadar julukan– tampak kecil sederhana, seorang tengah tirakat. Sudah lewat 20 hari. Ia bukan pengikut tarekat Akmaliyah. Iwak teluh sirah sanunggal. Ia hanya menyukai hal-hal gaib, datang dengan maksud khusus.
Menutup kekosongan itu. “Aku ingin tahu kebenaran,” katanya. “Syahadat, salat, puasa, dan zakatku belum cukup sebagai Muslim.”[]
Sebagai wangsa Mataram Islam, PB VI yang bernama lengkap Raden Mas Sapardan (1807-1849 M) terlahir dari pasangan Susuhunan Pakubuwana V dan istrinya KRAy. Sasrakusuma banyak mengalami problematika kehidupan. Dinaikkan ke tahta dalam usia muda pada saat itu usia enam belas tahun, dikenal sebagai raja yang mbalelo sekaligus cerdas. Ke-mbalelo-annya ini dikarena sebagai wangsa Mataram ia selalu berpergian dengan menggunakan busana Walandi atau Belanda. Namun, sang raja dalam memerintah dinasti Mataram tidak lama hanya sekitar tujuh tahun saja dari tahun 1827-1830 M.
Pada masa susuhan memimpin sedang terjadi perang Jawa (1825-1830 M). Perang Jawa ini yang membuat pihak Belanda mengalami kerugian yang begitu besar dan tentunya imbasnya kembali ke Keraton Surakarta dan Yogyakarta. Sekaligus mencopot PB VI sebagai raja dikarenakan ia dianggap membangkang dan bersekutu dengan kaum pinggiran untuk memberontak kepada kolonial pada masa itu. Pakubuwana yang berusia pada dua puluh tiga tahun ditangkap pada bulan Juni 1830 di Pantai Selatan Jawa ketika sang raja sedang menjalin hubungan dengan Ratu Pantai Selatan, dan kemudian sang raja muda diturunkan dari tahta sebagai raja Mataram Surakarta dan dibuang ke pulau terpencil di Ambon (M.C Ricklefs, 2005:257)
Akhir Abad XVIII, gerak raja Jawa selalu dibatasi oleh pihak Belanda. Mereka (kolonial) sangat mengintervensi raja dalam masalah-masalah keraton. Maka keraton Surakarta pada masa itu mengalih-fokuskan ke dalam kerajaan, ke dalam kegiatan-kegiatan keraton dan etika pribadi raja sendiri (John Pemberton, 2018:88) Di balik dinding keraton ritual-ritual yang diistimewakan dilakukan di muka umum sebagai pelestarian budaya Jawa dari para leluhur yang harus dilestarikan. Karena di samping sebagai penjaga tradisi leluhur, seorang raja juga harus memiliki hubungan yang erat dengan rakyatnya dengan cara melestarikan kebudayaan Jawa.
Karena di samping sebagai penjaga tradisi leluhur, seorang raja juga harus memiliki hubungan yang erat dengan rakyatnya dengan cara melestarikan kebudayaan Jawa.
Seorang penguasa mutlak muslim (Muhammedaansch despot), kalaulah ia ingin dihormati oleh rakyatnya harus keluar sedikit dari Keratonnya. Tampaknya ini bertentangan dengan apa yang diinginkan oleh pihak kolonial. Bagi pihak Belanda raja harus tetap diam di Keratonnya supaya rakyat stabil tidak ada pemberontakan kepada Belanda. Sebagai seorang Mohammedaansch despot yang gemar membaca, khususnya sejarah tradisional Jawa dan rupanya ia seorang penulis yang cukup ulung dengan kepiawaiannya dalam menulis (Nancy K. Florida, 2020:75). Kepiawaiannya PB VI dalam menulis sastra yang membuat ia sangat dimusuhi oleh De Kock sebagai Gubernur Jenderal pada saat itu. Sebagai seorang raja yang gemar menulis banyak karya yang telah ia guaratkan salah satunya mengenai Babad Jaka Tingkir.
Babad Jaka Tingkir ditulis dengan bahasa dan ungkapan puitis sejarah, dengan tradisi kepenulisan di Surakarta dan Keraton Surakarta. Gayanya, gaya tulisan yang sekarang bisa dianggap sebagai “renaisans Surakarta” yakni penulisan dari Surakarta Abad XVIII-XIX. Penulisan babad ini ditulis dengan jumlah yang banyak dan panjang bahkan di akhir-akhir isinya sangat sesuai dengan sejarah yang ada di istana-istana kerajaan Surakarta.
Babad Jaka Tingkir memuat adegan keraton sebagaimana terjadi di istana kerajaan kuno yakni Majapahit dan Demak. Namun demikian, istana yang dipaparkan pasti berkaitan dengan Keraton Surakarta. Syair ini selalu memetakan Keraton Surakarta tetapi ada juga memetakan di tempat yang lain. Bahkan sang penulis selalu menceritakan Keraton Surakarta sampai hal-hal yang bersifat khusus di dalam Keraton Surakarta seperti halnya Keputren yang ada di istana Keraton Surakarta. Dengan melihat hal ini kita bisa mengetahui bagaimana babad ini ditulis di dalam lingkungan kerajaan Keraton Surakarta dan sang penulis tidak lain dan tidak bukan adalah Sinuhun sendiri.
Babad Jaka Tingkir ini ingin memberikan informasi terhadap raja yang besar raja yang agung raja segala raja pada masanya. Sesuai judul babad ini, Babad Jaka Tingkir ingin mengungkapkan kisah sang Raja Agung dari Pajang yakni Pangeran Hadiwijaya namun dalam babad ini tidak mengisahkan sejarah raja agung tersebut. Babad ini hanya mengisahkan asal muasal raja agung tersebut, silsilah keluarga, dan daerah yang menopang kerajaan Pajang. Tidak menceritakan secara eksplisit mengenai sang raja sendiri. Babad ini ingin memberikan edukasi kepada kita sebagai orang Jawa khususnya dan Nusantara pada umumnya, bahwasanya masa lalu bisa dijadikan pijakan untuk menatap masa depan, karena orang yang bisa mengetahui masa lalunya dia akan mengetahui masa depannya.
Ki Ageng Pengging Sebagai Simbol Perlawanan
Sebagai ayah Jaka Tingkir yang menjadi nama babad ini ia adalah cucu dari Brawijaya V dan anak dari Handayaningrat. Sebagai keturunan darah biru, Ki Ageng yang harusnya melanjutkan tampuk kepemimpinan dari sang ayahandanya malah mengubah haluan menjadi seorang kiai desa yang sederhana dan disegani oleh para santri-santrinya. Ki Ageng menjadi simbol perlawanan kaum pinggiran kepada pusat kerajaan di Demak Bintoro karena ke-mbalelo-annya yang tidak mau menghadap kepada raja Demak.
Sebagai keturunan darah biru, Ki Ageng yang harusnya melanjutkan tampuk kepemimpinan dari sang ayahandanya malah mengubah haluan menjadi seorang kiai desa yang sederhana dan disegani oleh para santri-santrinya.
Sebagai bapak dari Jaka Tingkir Ki Ageng mengajarkan Islam di daerah pedalaman Jawa dengan bercorak Tasawuf Falsafi sesuai dengan apa yang diajarkan oleh gurunya yakni Syech Lemah Abang atau Syech Siti Jenar. Ajaran Islam yang mereka amalkan ini menurut anggapan para wali Sembilan dan para fuqaha kerajaan Demak membahayakan umat Islam dan akan membawa masyarakat awam ke dalam sifat panteisme. Dengan salah satunya dalih inilah Ki Ageng dipanggil beberapa kali untuk menghadap sang Raja Demak Bintoro. Dan juga sang Raja Demak mencurigai Ki Ageng memberontak dirinya sebagai penguasa kerajaan Islam dalam tuturnya “ Ing Pengging tila kabupaten, sarta kapernah Santana dening Sultan Demak, bokmenawi amikir sumeja jumeneng ratu” yang artinya Pengging bekas kabupaten, lagipula ia masih kerabatan Sultan Demak mungkin ia berpikir ingin menjadi raja. (De Graff dan PIgeaud, 2019:358)
Dengan asumsi inilah sang Raja Demak mengutus bawahannya memanggil Ki Ageng sampai tiga kali berturut-turut untuk menghadap sang raja, walaupun nanti hasilnya nihil Ki Ageng tidak pernah menghadap ke Demak. Dalam panggilannya yang ketiga oleh sang Raja dengan dikepalai oleh Sunan Kudus Ki Ageng ditantang untuk menentukan pilihan yang terakhir kalinya. Pilihan yang diberikan oleh penguasa pusat untuknya adalah antara di luar atau di dalam artinya Ki Ageng disuruh memilih di antara pilihan politis versus kekuasaan rohaniah dan praktik lahir muslim taat versus kesadaran batin sufi, yang di atas atau di bawah, di kuasai atau menguasai dan sebagainya. Maka Ki Ageng Pengging Menjawab:
Yen miliya jero mapan sisip / yen miliya ing jaba pan asar / semang-semang pangidhepe / yen miliya ing luhur / pan kemandhang dipun ulati / lamun miliya ngarsa / yaketi sasar usur / sasare pithung medhahab / ngisor dhuwur kiwa tengen duwek mami / orane duwek ing awing / (BJT XXIX: 15)
Yang artinya: Kalau memilih yang dalam salah / kalau memilih yang luar tersesat / Bimbanglah dalam kepercayaan / Kalaulah memilih yang atas / Bagai memburu gema / kalaulah memilih depan / sungguh kesasar tersesat / Kesasar Tujuh madzhab / Atas, bawah, kiri, kanan, milikku / tak ada yang kumiliki/ (BJT XXIX: 15)
Penolakan Ki Ageng Pengging ini dianggap sebagai musuh negara dan karenanya menandatangani kematiannya. Dan lawan bicaranya secara langsung mengeksekusi hukuman mati tersebut kepada Ki Ageng. Namun, hanya dengan kehendak ki Ageng sendirilah Sunan Kudus bisa menusukkan kerisnya di sikunya yang membawa kematian bagi Ki Ageng sendiri. Bahkan dengan kematiannya pun junjungan Pengging ini tidak dapat ditentukan keberadaannya.
Setelah keberhasilan Sunan Kudus mebunuh Ki Ageng Pengging kembalilah dia ke Demak bak pahlawan yang habis memenangkan peperangan yang besar, ia diseruapakan dengan kera putih utusan Prabu Rama, raja legendaris yang amat terekenal itu. Sang pangeran datang melaporkan kesusesannya tiu untuk membunuh Ki Ageng Pengging. Laporan ini juga dituliskan dalam Babad Jaka Tingkir sendiri yang berbunyi:
Ananging sanget lenggona / sumiwing ngarsa nerpati / tan rumaos yen kebawah / akiyas kedah ngengkoki / tan arsa nampik milih / sedayane pan winengku / (BJT XXXII : 7)
Yang artinya: / Namun kukuh menolak / Menghadap sang raja / Tak merasa kalau di bawah / Berdalih memaksa mengaku / Tak hendak menolak memilih / semuanya diliputinya / (BJT XXXII : 7)
Babad Jaka Tingkir berhenti pada pupuh Sinom ini yang menandakan bahwasanya kisah sang Pangeran Pajang terhenti dalam kisah sang ayahandanya yang bersikukuh tidak mau menghadap sang Raja Demak sehingga menemukan ajalnya. Yang perlu diketahui bagi penguasa pusat adalah jangan meremehkan orang-orang pinggiran yang kapan saja bisa memberontak ketika hak dan kewajibannya terabaikan.